Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA


(BPH)

Oleh:
Ni Made Lilik Surya Pramasita
1502105044

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Pengertian
BPH (Benign Prostat Hyperplasia) adalah suatu penyakit dimana adanya pembesaran
pada kelenjar prostat, kelenjar prostat yang membesar itu memanjang ke atas ke
dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra.
BPH merupakan pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pria lebih
tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi urethral dan pembatasan
aliran urinarius. Secara patologis, BPH dikarakteristikkan dengan
meningkatnya jumlah sel stroma dan epitelia pada bagian periuretra prostat.
Peningkatan jumlah sel stroma dan epitelia ini disebabkan adanya proliferasi atau
gangguan pemrograman kematian sel yang menyebabkan terjadinya
akumulasi sel (Roehrborn, 2011).
2. Epidemiologi
Prostat adalah organ tubuh yang paling sering terkena penyakit pada pria berusia
di atas 50 tahun. Satu proses patologis yang paling banyak ditemukan adalah
hipertrofi protat jinak (benign prostatic hypertrophy, BPH). Setidaknya 70% pria
beursia 70 tahun mengalami BPH, 40% di antaranya mengalami beberapa gejala
obstruksi aliran keluar kandung kemih. Usia merupakan factor risiko untuk BPH.
Data menunjukkan bahwa pria ras kulit hitam yang memiliki risiko yang lebih tinggi
tampaknya berada pada status social ekonomi dan fasilitas kesehatan yang buruk
(Heffner, 2009).
BPH akan menyebabkan obstruksi uretra yang cukup berat sehingga memerlukan
intervensi medis pada sekitar 30% pria usia lanjut. Yang menarik bahwa ukuran
prostat secara keseluruan tidak berhubungan dengan adanya atau tingkat keparahan
obstruksi saluran kemih. Hipertrofi fibromuskular yang terjadi pada BPH dapat
menimbulkan denervasi sebagian prostat dan jaringan di sekitarnya, yang
menyebabkan iritasi uretra dan keluhan frekuensi dan urgensi saat berkemih,
inkotinensia urgensi dan nokturia (Heffner, 2009).
Di indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan kedua setelah
penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara umumnya, diperkirakan hampir
50 persen pria Indonesia yang berusia di atas 50 tahun, dengan kini usia harapan
hidup mencapai 65 tahun ditemukan menderita penyakit PPJ atau BPH ini.
Selanjutnya, 5 persen pria Indonesia sudah masuk ke dalam lingkungan usia di atas
60 tahun. Oleh itu, jika dilihat, dari 200 juta lebih bilangan rakyat indonesia, maka
dapat diperkirakan 100 juta adalah pria, dan yang berusia 60 tahun dan ke atas adalah
kira-kira seramai 5 juta, maka dapat secara umumnya dinyatakan bahwa kira-kira 2.5
juta pria Indonesia menderita penyakit BPH atau PPJ ini. Indonesia kini semakin hari
semakin maju dan dengan berkembangnya sesebuah negara, maka usia harapan hidup
pasti bertambah dengan sarana yang makin maju dan selesa, maka kadar penderita
BPH secara pastinya turut meningkat (Heffner, 2009).
3. Etiologi
Penyebab pasti BPH belum diketahui. Namun, menurut IAUI (2003) menjelaskan
bahwa terdapat banyak faktor yang berperan dalam hyperplasia prostat, seperti usia,
adanya peradangan, diet, serta pengaruh hormonal. Faktor tersebut selanjutnya
mempengaruhi prostat untuk mensintesis protein growth factor, yang kemudian
memicu proliferasi sel prostat. Selain itu, pembesaran prostat juga dapat disesbabkan
karena berkurangnya proses apoptosis. Menurut Roehrborn (2011) suatu organ dapat
membesar bukan hanya karena meningkatnya proliferasi sel, tetapi juga karena
berkurangnya kematian sel.
BPH jarang mengancam jiwa, namun keluhan yang disebabkan BPH dapat
menimbulkan ketidaknyamanan. BPH dapat menyebabkan timbulnya gejala LUTS
(lower urinary tract symptoms) pada lansia pria. LUTS terdiri atas gejala obstruksi
maupun iritasi yang meliputi frekuensi berkemih meningkat, urgensi, nokturia,
pancaran berkemih lemah dan serung terputus-putus, dan merasa tidak puas sehabis
berkemih.
4. Patofisiologi
BPH terjadi pada umur yang semakin tua (>45 tahun) dimana fungsi testis sudah
menurun. Akibat penurunan fungsi testis ini menyebabkan ketidakseimbangan
hormone testosterone dan dehidrotestosteron sehingga memacu
pertumbuhan/pembesaran prostat. Tonjolan biasanya terdapat pada lobus lateralis dan
lobus medius, tetapi tidak mengenai bagian posterior dari pada lobus medialis, yaitu
bagian yang dikenal sebagai lobus posterior, yang sering merupakan tempat
perkembangan karsinoma. Tonjolan ini dapat menekan uretra dari lateral sehingga
lumen uretra menyerupai celah atau menekan dari bagiann tengah. Kadang-kadang
penonjolan itu merupakan suatu polip yang sewaktu-waktu dapat menutup lumen
uretra (Purnomo,2011).
Pada penampang, tonjolan itu jelas dapat dibedakan dengan jaringan prostat yang
masih baik. Warnanya bermacam-macam tergantung kepada unsur yang bertambah.
Apabila yang bertambah terutama unsur kelenjar, maka warnanya kuning kemerahan,
berkonsistensi lunak dan terbatas tegas dengan jaringan prostat yang terdesak, yang
berwarna putih keabu-abuan dan padat. Apabila tonjolan itu ditekan maka akan keluar
cairan seperti susu(Hardjowidjoto,2010).
Apabila unsur fibromuskuler yang bertambah, maka tonjolan berwarna abu-abu
padat dan tidak mengeluarkan cairan seperti halnya jaringan prostat yang terdesak
sehingga batasnya tidak jelas. Gambaran mikrokopik juga bermacam-macam
tergantung pada unsur yang berproliperasi. Biasanya yang lebih banyak berproliferasi
adalah unsur kelenjar sehingga terjadi penambahan kelenjar dan terbentuk kista-kista
yang dilapisi epitel torak/koloid selapis yang pada beberapa tempat membentuk papil-
papil ke dalam lumen (Sylvia & Smetlzer, 2006).
Menurut Purnomo (2011) pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen
uretra prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intravesikal. Untuk mengeluarkan urine, buli-buli harus
berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini
menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor,
trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur
pada bulu-buli tersebut, dikeluhkan oleh pasien sebagai gejala prostatismus yang
muncul pada saluran kemih sebelah bawah atau Lower Urinary Tract Symptom
(LUTS).
5. Klasifikasi

Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradiasi, yaitu (Sjamsuhidayat & De
Jong, 2007) :
 Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (digital rectal
examination) atau colok dubur ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine
kurang dari 50 ml.
 Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih
menonjol, batas atas masih teraba dan sisa urine lebih dari 50 ml tetapi kurang
dari 100 ml.
 Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa
urin lebih dari 100 ml.
 Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi total.
6. Gejala klinis

Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai
Syndroma Protastisme (Hardjowidjoto,2010). Syndroma Protatisme dibagi menjadi
dua, yaitu:
1. Gejala Obstruktif yaitu:
a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan
mengejan yan disebabkan ileh karena otot destrusor buli-buli memerlukan
waktu beberapa lama untuk meningkatkan tekanan intravesikal guna
mengatasi adanya tekanan dalam uretra protatika.
b. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan
karena ketidakmampuan otot destrusor dalam mempertahankan tekanan
intra vesika sampai berakhir miksi
c. Terminal dribbling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing
d. Pancaran lemah: Kelemahan kekuatan dan caliber pancaran destrusor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas
2. Gejala Iritasi yaitu:
a. Urgensi yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi
pada malam hari (nokturia) dan pada siang hari
c. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing

7. Pemeriksaan fisik
1. Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapat
meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok
pada retensi urin serta urosepsis sampai syok – septik.
2. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui
adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada keadaan
retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien akan
terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual
urin.
3. Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra,
batu uretra, karsinoma maupun fimosis.
4. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis
5. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi
sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher
dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
a) Derajat I = beratnya  20 gram.
b) Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.
c) Derajat III = beratnya  40 gram.
8. Pemeriksaan diagnostik/penunjang

Pada pasien Benigna Prostat Hipertropi umumnya dilakukan pemeriksaan(Rahardja,


2010) :
1. Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar
gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien.
 Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.
 PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai
kewaspadaan adanya keganasan.
2. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara
obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan
penilaian :

 Flow rate maksimal  15 ml / dtk = non obstruktif


 Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
 Flow rate maksimal  10 ml / dtk = obstruktif.
3. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
 BOF (Buik Overzich ) untuk melihat adanya batu dan metastase pada
tulang.
 USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi,
volume dan besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk residual
urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan
supra pubik.
 IVP (Pyelografi Intravena), digunakan untuk melihat fungsi exkresi
ginjal dan adanya hidronefrosis.
 Pemeriksaan Panendoskop, untuk mengetahui keadaan uretra dan
buli-buli.
9. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakan dengan pengkajian dan pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan diagnostik.

Pada pengkajian dan pemeriksaan fisik ditemukan adanya tanda gejala seperti
peningkatan frekuensi berkemih, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-
anyangan, abdomen tegang, volume urine menurun, dan harus mengejan saat
berkemih, aliran urine tidak lancar, dribling (keadaan dimana urine terus menetes
setelah berkemih), rasa seperti kandung kemih tidak kosong dengan baik, retensi
urine akut (bila lebih dari 60 ml urine tetap berada dalam kandung kemih setelah
berkemih) (Smeltzer, 2001). Pada pemeriksaan rectal toucher dapat diketahui derajat
dari BPH, yaitu : derajat I = beratnya  20 gram, derajat II = beratnya antara 20 – 40
gram, derajat III = beratnya  40 gram.
Pemeriksaan IVP atau US pada pasien BPH biasanya menunjukkan elevasi dasar
kandung kemih akibat prostat yang membesar; trabekulasi, penebalan dan
divertikulum dinding kandung kemih, elevasi ureter, dan gangguan pengosongan
kandung kemih. IVP atau US dapat memperlihatkan hidronefrosis, walau jarang.
Pemeriksaan urodinamik dengan uroflowmetry, jika didapatkan laju aliran kurang dari
10 mL/detik, pasien dianggap mengalami obstruksi saluran keluar kandung kemih
yang signifikan (McPhee &Ganong, 2010).
10. Therapy/tindakan penanganan
Modalitas terapi BPH adalah (Purnomo,2011) :
1). Observasi
Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 – 6 bulan kemudian setiap
tahun tergantung keadaan klien
2). Medikamentosa
Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang, dan
berat tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan berasal dari:
phitoterapi (misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens, dll), gelombang alfa
blocker dan golongan supresor androgen.
3). Pembedahan
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
a. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.
b. Klien dengan residual urin  100 ml.
c. Klien dengan penyulit.
d. Terapi medikamentosa tidak berhasil.
e. Flowmetri menunjukkan pola obstruktif
Pembedahan dapat dilakukan dengan :
a. TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat )
b. Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy
c. Perianal Prostatectomy
d. Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy
4). Alternatif lain (misalnya: Kriyoterapi, Hipertermia, Termoterapi, Terapi
Ultrasonik .
11. Komplikasi

Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2007) komplikasi BPH adalah :


1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2. Infeksi saluran kemih
3. Involusi kontraksi kandung kemih
4. Refluk kandung kemih
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut
maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan
mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu
endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut
dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan
pielonefritis.
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu miksi
pasien harus mengedan.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Data Subjektif
- Pasien mengatakan sering tidak tuntas untuk buang air kecil
- Pasien mengatakan sering buang air kecil pada malam hari
- Pasien mengeluh nyeri saat buang air kecil
Data Objektif
- Terjadi pembesaran pada prostat
- Prostat mengalami kemerahan
- Pasien mengalami peningkatan suhu tubuh
2. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul:


 Retensi urin berhubungan dengan sumbatan ditandai dengan urine menetes,
disuria,berkemih sedikit
 Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis ditandai dengan
melaporkan nyeri secara verbal
 Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive (pemasangan indwelling
kateter)
 Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang pajanan ditandai dengan
pengungkapan masalah
3. Rencana Asuhan Keperawatan

Diagnosa
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional Evaluasi
Keperawatan
Retensi urin Setelah diberikan asuhan NIC Label : Urinary Retention NIC Label : Urinary Retention Care S: pasien mengatakan
a. Memberikan perawatan yang
berhubungan keperawatan selama 3 x 24 Care sudah bisa berkemih
lebih spesifik untuk mengatasi
dengan jam, diharapkan pasien dapat a. Lakukan tindakan yang dengan lancar
inkontinensia klien
sumbatan berkemih dengan normal berfokus pada inkontinensia
b. Membantu mengosongkan O: pola eliminasi pasien
ditandai dengan dengan kriteria hasil: yang dialami klien
kandung kemih dengan teknik normal, jumlah output
b. Rangsang refleks kandung
urine menetes, NOC Label : Urinary
nonfarmakologis urine dalam rentang
kemih dengan
disuria,berkemi Elimination c. Membantu klien untuk
normal, tidak ada tanda-
mengaplikasikan kompres
h sedikit a. Pola eliminasi urine mengosongkan kandung
tanda distensi abdomen
dingin di perut, mengelus
pasien dalam rentang kemih
paha bagian dalam atau d. Memandirikan klien dan A: tujuan tercapai
normal
b. Jumlah urin sesuai dengan air mengalir keluarga
P: pertahankan kondisi
c. Gunakan kateter e. Memastikan apakah output
dengan intake pasien
d. Minta klien dan keluarga pasien
c. Karakteristik urin sesuai dengan input cairan
memperhatikan input dan
normal klien
d. Pengosongan kandung output cairan klien
e. Memonitor input dan output NIC Label: Urinary Catheterization
kemih yang sempurna
a. Meningkatkan pengetahuan
e. Tidak adanya gangguan cairan klien
klien dan keluarga serta
pada pola perkemihan
NIC Label: Urinary menurunkan kecemasan klien
(nocturia,
inkontinensia) Catheterization terhadap prosedur yang akan
f. Tidak ada darah ketika
a. Jelaskan prosedur dilakukan
berkemih b. Mencegah terjadinya infeksi
pemasangan kateter
g. Pasien tidak mengeluh c. Menurunkan rasa nyeri pada
b. Gunakan teknik sterile ketika
sakit ketika berkemih saat prosedur dilakukan
melakukan pemasangan
h. Pasien tidak merasa
kateter
panas ketika berkemih
c. Gunakan selang kateter d. Mencegah terjadinya infeksi
dengan ukuran yg paling akibat pemasangan kateter
kecil, tidak memaksakan
ukuran yang besar
d. Tunjukkan dan ajarkan pasien
untuk melakukan perawatan
atau pengosongan urin bag.

Nyeri akut Setelah diberikan asuhan NIC Label: Pain Management NIC Label: Pain Management S: pasien mengatakan
a. Mengetahui karakteristik nyeri
berhubungan keperawatan selama 3 x 24 a. Lakukan pengkajian nyeri nyeri yang dialami
yang dialami px
dengan agen jam, diharapkan nyeri px secara komprehensif sudah hilang
b. Mengetahui tingkat nyeri yang
cedera biologis berkurang dengan kriteria termasuk lokasi,
dialami px melalui respon O: tidak ada respon
ditandai dengan hasil: karakteristik, durasi,
nonverbal nonverbal yang
NOC Label : Pain Control
melaporkan frekuensi, kualitas dan faktor c. Komunikasi terapeutik dapat
a. Pasien mampu menunjukkan adanya
nyeri secara presipitasi membantu menenangkan px
mengenali faktor nyeri pada pasien
b. Observasi reaksi non verbal
verbal sehingga data yang didapat
penyebab
dari ketidaknyamanan A: tujuan tercapai
b. Pasien mampu c. Gunakan teknik komunikasi lebih akurat
d. Mengetahui apakah ada P: pertahankan kondisi
mengenali onset terapeutik untuk mengetahui
hubungan nyeri yang dialami pasien
(lamanya sakit) pengalaman nyeri pasien
c. Pasien mampu d. Evaluasi riwayat nyeri yang px dengan riwayat nyeri yang
menggunakan metode dialami pasien pernah dialami
e. Evaluasi bersama pasien dan e. Mengetahui penyebab
pencegahan
d. Pasien mampu tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan control nyeri
menggunakan metode ketidakefektifan kontrol secara komprehensif
f. Menurunkan tingkat nyeri
non analgetik untuk nyeri masa lampau
f. Kontrol lingkungan yang akibat pengaruh lingkungan
mengurangi nyeri
g. Mempercepat hilangnya nyeri
e. Pasien mampu dapat mempengaruhi nyeri
h. Membantu pasien mengontrol
melaporkan gejala seperti suhu ruangan,
nyeri yang dialami
pada tenaga kesehatan pencahayaan dan kebisingan i. Menentukan intervensi yang
f. Pasien mampu g. Kurangi faktor presipitasi
tepat sesuai dengan
h. Pilih dan lakukan
mengenali gejala-
karakteristik nyeri
penanganan nyeri
gejala nyeri j. Memandirikan pasien untuk
g. Pasien mampu (farmakologi, non
mengontrol nyeri yang dialami
melaporkan nyeri farmakologi dan inter k. Membantu mengurangi nyeri
sudah terkontrol personal) dengan teknik farmakologis
i. Kaji tipe dan sumber nyeri l. Mengetahui efektifitas
NOC Label : Pain Level untuk menentukan intervensi pengobatan
j. Ajarkan tentang teknik non m. Membantu mengurangi nyeri
a. Pasien mengetahui
n. Membantu pasien mengatasi
farmakologi
luas bagian tubuh yang
terpengaruh k. Berikan analgetik untuk nyeri
b. Pasien mampu
mengurangi nyeri
melaporkan frekuensi l. Evaluasi keefektifan kontrol
nyeri nyeri
c. Pasien mengetahui m. Tingkatkan istirahat
n. Kolaborasikan dengan dokter
panjangnya episode
dengan pemberian analgetik
nyeri
d. Pasien memberikan jika keluhan dan tindakan
pernyataan nyeri nyeri tidak berhasil
e. Tidak terjadi
perubahan pada
frekuensi pernafasan
f. Tidak terjadi
perubahan nadi
g. Tidak terjadi
perubahan tekanan
darah
h. Tidak terjadi
perubahan ukuran
pupil
i. Tidak terjadi keringat
berlebih
j. Pasien tidak
mengalami kehilangan
selera makan
Risiko infeksi Setelah dilakukan tindakan NIC Label : Infection Control NIC Label : Infection Control S: pasien mengatakan
a. Mencegah terjadinya infeksi
berhubungan keperawatan selama 3x24 jam a. Bersihkan lingkungan setelah tidak mengalami tanda-
nosocomial yang dapat
dengan prosedur status kekebalan pasien dipakai pasien lain tanda infeksi seperti
b. Batasi pengunjung bila perlu memperburuk kondisi pasien
invasive meningkat dengan kriteria kemerahan, serta
c. Instruksikan pengunjung
baru
(pemasangan hasil: bengkak
untuk mencuci tangan saat b. Mengurangi resiko infeksi
NOC Label: Knowledge :
indwelling
berkunjung dan setelah yang mungkin ditularkan oleh O: tidak ada
Infection Management
kateter)
berkunjung pengunjung peningkatan WBC
a. Pasien dan keluarga
d. Gunakan sabun anti mikroba c. Mengurangi kuman yang
mampu A: tujuan tercapai
untuk cuci tangan ditularkan melalui tangan
mendeskripsikan e. Cuci tangan sebelum dan
pengunjung P: pertahankan kondisi
proses penularan sesudah tindakan d. Membantu membunuh kuman
pasien
penyakit keperawatan yang ditularkan melalui tangan
b. Pasien dan keluarga f. Gunakan universal e. Mencegah terjadinya infeksi
mampu precaution dan gunakan selama melakukan intervensi
mendeskripsikan sarung tangan selama kontak keperawatan
f. Mengurangi resiko terjadinya
faktor yang dengan kulit yang tidak utuh
g. Tingkatkan intake nutrisi dan infeksi akibat kontak dengan
mempengaruhi
cairan kulit yang tidak utuh
terhadap proses
h. Berikan terapi antibiotik bila g. Nutrisi dan cairan dapat
penularan penyakit
perlu meningkatkan imunitas pasien
c. Pasien dan keluarga
i. Observasi dan laporkan tanda h. Mengurangi infeksi yang
mampu
dan gejal infeksi seperti dialami pasien
mendeskripsikan kemerahan, panas, nyeri, i. Agar dapat melakukan
tindakan yang dapat tumor penanganan infeksi dengan
j. Kaji temperatur tiap 4 jam
dilakukan untuk segera
k. Catat dan laporkan hasil
j. Perubahan temperature
pencegahan proses
laboratorium, WBC
merupakan salah satu indicator
penularan penyakit l. Istirahat yang adekuat
d. Pasien dan keluarga m. Kaji warna kulit, turgor dan terjadinya infeksi
k. Peningkatan WBC
mampu tekstur, cuci kulit dengan
menunjukkan terjadinya
mendeskripsikan tanda hati-hati
n. Ajarkan klien dan anggota infeksi pada pasien
dan gejala infeksi
l. Istirahat yang cukup dapat
e. Pasien dan keluarga keluarga bagaimana
membantu meningkatkan
mampu mencegah infeksi
imunitas pasien
mendeskripsikan
m. Memantau adanya tanda-tanda
penatalaksanaan yang
infeksi
tepat untuk infeksi n. Karena mencegahan infeksi
harus dilakukan oleh semua
pihak
Defisiensi Setelah dilakukan tindakan NIC Label : Teaching : Disease NIC Label : Teaching : Disease S: pasien mengatakan
pengetahuan keperawatan selama 1x30 Proces Process sudah mengetahui
a. Tingkat pengetahuan pasien
berhubungan menit pasien mengetahui a. Berikan penilaian tentang tentang penyakit yang
akan mempengaruhi perilaku
dengan kurang tentang proses penyakit tingkat pengetahuan pasien dideritanya
sehat pasien
pajanan ditandai dengan kriteria hasil: tentang proses penyakit yang
b. Meningkatkan pengetahuan O: pasien terlihat
NOC Label: Knowledge :
dengan spesifik
pengungkapan Disease Process b. Jelaskan patofisiologi dari pasien mengenai penyakit mampu menjalani
masalah a. Pasien dan keluarga penyakit dan bagaiman hal yang dialaminya perawatan dengan
c. Mengajarkan pasien untuk
familiar dengan nama ini berhubungan dengan disiplin
mengenal tanda dan gejala
penyakit anatomi dan fisiologi
A: tujuan tercapai
b. Pasien dan keluarga c. Gambarkan tanda dan gejala yang mungkin terjadi
d. Meningkatkan pengetahuan
mampu yang biasa muncul pada P: pertahankan kondisi
pasien mengenai penyakit
mendeskripsikan penyakit pasien
d. Gambarkan proses penyakit yang dialaminya
proses penyakit
e. Identifikasi kemungkinan e. Mengetahui penyebab
c. Pasien dan keluarga
penyebab dengan cara yang penyakit sehingga pengobatan
mampu
tepat yang diberikan dapat tepat
mendeskripsikan
f. Sediakan informasi tentang
sasaran
faktor penyebab
kondisi pasien f. Agar pasien mengetahui
d. Pasien dan keluarga
g. Sediakan bagi keluarga
kondisi penyakit yang sedang
mampu
informasi tentang kemajuan
dialaminya
mendeskripsikan
pasien g. Agar keluarga mengetahui
faktor resiko h. Diskusikan perubahan gaya
kemajuan pengobatan yang
e. Pasien dan keluarga
hidup yang mungkin
dijalani pasien
mampu
diperlukan untuk mencegah h. Perubahan gaya hidup dapat
mendeskripsikan efek
komplikasi di masa yang membantu mempercepat
penyakit
akan datang dan atau proses proses penyembuhan
f. Pasien dan keluarga
i. Pilihan terapi yang tepat akan
pengontrolan penyakit
mampu
i. Diskusikan pilihan terapi mempercepat proses
mendeskripsikan tanda j. Gambarkan rasional penyembuhan pasien
j. Meningkatkan pengetahuan
dan gejala rekomendasi manajemen
g. Pasien dan keluarga pasien dan keluarga mengenai
terapi
mampu intervensi yang diberikan
mendeskripsikan sehingga mampu menjalani
perjalanan penyakit intervensi dengan disiplin
h. Pasien dan keluarga
mampu
mendeskripsikan
tindakan untuk
menurunkan
progresifitas penyakit.
DAFTAR PUSTAKA

Basuki, Purnomo. 2006. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI


Katalog Dalam Terbitan (KTD)

Brunner, L. dan Suddarth, D. (2007). Buku Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume
1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Doengoes. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.

Hardjowidjoto, S. 2010. Benigna Prostat Hiperplasi. Surabaya: Airlangga University


Press.

Heffner, Linda J et al. 2009. At a Glance Sistem Reproduksi Edisi Kedua. Jakarta:
Erlangga Medical Series.

Joanne McCloskey, dkk. 2004. Nursing Intervention Classification (NIC). United States
of America: Mosby.

Nanda Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. 2010. Jakarta: EGC

McPhee, Stephen J., Ganong, William F.(2010). Patofisiologi Penyakit : Pengantar


Menuju Kedokteran Klinis. Jakarta : EGC Mitchell, Kumar, Abbas, & Fausto.
(2008). Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins & Cotran. Edisi 7. Jakarta:
EGC

Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC

Sue Moorhead, dkk. 2008. Nursing Outcame Classification (NOC). United States of
America: Mosby.

Sylvia A. Price&Smetlzer., 2006. Patifisiologi: Konsep klinis Proses-proses Penyakit


Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC.

Purnomo, B. B. (2011). Dasar-dasar Urologi. Jakarta: Sagung Seto.

Anda mungkin juga menyukai