Anda di halaman 1dari 154

SIMULASI REAKTOR TIGA FASA REAKSI KATALITIK

HIDRODEOKSIGENASI (HDO) MINYAK SAWIT

TESIS

Karya tulis sebagai salah satu syarat


Untuk memperoleh gelar Magister dari
Institut Teknologi Bandung

Oleh
Affandry Taufik
NIM:23015030
Program Studi Magister Teknik Kimia

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG


Maret 2018
ABSTRAK

SIMULASI REAKTOR TIGA FASA REAKSI KATALITIK


HIDRODEOKSIGENASI (HDO) MINYAK SAWIT

Oleh
Affandry Taufik
NIM : 23015030
(Program Studi Magister Teknik Kimia)

Energi alternatif berbasis sumber daya nabati merupakan pilihan terdepan sumber
bahan bakar terbarukan. Indonesia sebagai negara penghasil minyak nabati berupa
minyak inti sawit perlu mengembangkan sebuah alur proses untuk konversi minyak
nabati menjadi bahan bakar pengganti minyak bumi. Salah satu proses terbaik untuk
mengkonversi minyak nabati adalah Hidrodeoksigenasi (HDO) Penelitian HDO
minyak inti sawit yang dilaksanakan di Lab.TRKK ITB sukses menghasilkan
katalis yang memiliki aktivitas unggul, diberi nama PDO 130-1,2T dan akan
digunakan pada reaktor LCO Treater UP IV Pertamina Balongan.

Simulasi reaktor HDO skala industri dilakukan untuk mendapatkan profil kinerja
reaktor HDO yang telah dirafinasi (RPKO) dengan katalis PDO 130-1,2T.
Persamaan kinetika HDO hidrodeoksigenasi RPKO diwakili oleh kinetika HDO
metil miristat. Simulasi dilakukan menggunakan perangkat ODE23 dan PDEPE
program Matlab 2015b. Variabel temperatur fasa cair masuk reaktor (𝑇𝑖𝑛 ), WHSV,
rasio umpan daur ulang terhadap umpan trigliserida (HC/TG), rasio debit hidrogen
masuk unggun pertama terhadap debit quencing (Qin/Qquench), dan Tekanan
operasi digunakan untuk melihat sensitivitas variabel-variabel tersebut terhadap
unjuk kerja reaktor. Meningkatkan 𝑇𝑖𝑛 , rasio HC/TG dan Tekanan operasi reaktor
terbukti mampu memperbesar kelarutan hidrogen dalam fasa cair. Memperbesar
konversi TG dapat dilakukan dengan cara meningkatkan 𝑇𝑖𝑛 , dan Tekanan operasi
atau menurunkan WHSV, rasio Qin/Qquench dan rasio HC/TG.

Kata kunci : Simulasi, Tiga Fasa, Hidrodeoksigenasi (HDO), RPKO

ii
ABSTRACT

SIMULATION OF TRICKLE-BED REACTOR FOR


CATALYTIC HYDRODEOXYGENATION (HDO) OF PALM
OIL

By
Affandry Taufik
NIM : 23015030
(Master of Chemical Engineering Program)

Vegetable oil resources are the leading choice of renewable fuel sources. As a great
exporter of palm oil and palm kernel oil, Indonesia needs to develop a process to
convert vegetable oil to green fuel. Hydrodeoxygenation (HDO) is the best process
to convert vegetable oil into green fuel. HDO of palm kernel oil has been studied
in TRKK Laboratory, ITB. The catalyst shown good performance at certain
condition then named PDO 130-1,2T.

Performance study of PDO 130-1,2T has been simulated in LCO Treater UP IV


Pertamina Balongan using RPKO (Refined Palm Kernel Oil) as the feed. The
Yuwan’s kinetic equation can represent hydrodeoxigenation of palm kernel oil as a
whole.

ODE23 and PDEPE in Matlab 2015b used as a tools for one and two-dimensional
simulation. The variables that used in this simulation are the ratio of hydrocarbon
to triglycerides (HC/TG), WHSV (Weight Hourly Space Velocity), liquid phase
inlet temperature (Tin ), ratio hydrogen entering first bed to second bed
(Qin/Qquench) and pressure. Increasing Tin , rasio HC/TG and pressure could
maximized hydrogen solubility in liquid phase. Increasing 𝑇𝑖𝑛 and pressure or
lowering WHSV, ratio Qin/Qquench and ratio HC/TG led to increase conversion
of triglycerides.

Keywords : Simulation, Hydrodeoxygenation (HDO), Fixed Bed Reactor,


Triglycerides, Three Phase

iii
HALAMAN PENGESAHAN

SIMULASI REAKTOR TIGA FASA REAKSI KATALITIK


HIDRODEOKSIGENASI (HDO) MINYAK SAWIT

Oleh
Affandry Taufik
NIM : 23015030
( Program Studi Teknik Kimia )

Institut Teknologi Bandung

Menyetujui
Pembimbing

Tanggal : 8 Maret 2018

Pembimbing I Pembimbing II

____________________________ _________________
Dr. Ir. I.G.B.N. Makertihartha Prof. Dr. Subagjo
NIP. 196401151989031001 NIP. 195203131976031004

iv
PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS

Tesis S2 yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan Institut


Teknologi Bandung, dan terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa hak cipta
ada pada pengarang dengan mengikuti aturan HaKI yang berlaku di Institut
Teknologi Bandung. Referensi kepustakaan diperkenankan dicatat, tetapi
pengutipan atau peringkasan hanya dapat dilakukan seizin pengarang dan harus
disertai dengan kebiasaan ilmiah untuk menyebutkan sumbernya. Memperbanyak
atau menerbitkan sebagian atau seluruh tesis haruslah seizin Direktur Program
Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung.

Sitasi hasil penelitian Tesis ini dapat ditulis dalam bahasa Indonesia sebagai
berikut:
Taufik, A. (2018): Simulasi reaktor tiga fasa reaksi katalitik hidrodeoksigenasi
(HDO) minyak sawit, Tesis Program Magister, Institut
Teknologi Bandung.

dan dalam bahasa Inggris sebagai berikut:


Taufik, A. (2018): Simulation of trickle-bed reactor for catalytic
hydrodeoxygenation (HDO) of palm oil, Master’s Program
Thesis, Institut Teknologi Bandung.

Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh tesis haruslah seizin Dekan
Sekolah Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung.

v
Bismillahirrahmanirrahim

Dipersembahkan kepada Mama, Papa, dan Guru-guru

vi
UCAPAN TERIMA KASIH/ KATA PENGANTAR

Sepatutnya puji dan syukur kepada Allah SWT serta sholawat dan salam kepada Nabi
Muhammad SAW penulis sampaikan karena laporan penelitian ini dapat diselesaikan
sesuai waktu yang dialokasikan. Naskah laporan penelitian yang berjudul “Simulasi
reaktor tiga fasa reaksi katalitik hidrodeoksigenasi (HDO) minyak sawit” ini disusun
sebagai salah satu Tugas Akhir di Program Studi Teknik Kimia Institut Teknologi
Bandung.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. I.G.B.N. Makertihartha selaku pembimbing I dan Prof. Dr. Subagjo selaku
pembimbing II, atas segala saran, bimbingan dan nasihatnya selama penulisan tesis
ini.
2. Staf akademik di lingkungan di Program Studi Teknik Kimia atas segala ilmu yang
disampaikan.
3. Kedua orang tua penulis yang senantiasa memberikan kasih sayang, doa, dan
bimbingan kepada penulis.
4. Rekan-rekan penulis, mahasiswa Program Magister Teknik Kimia angkatan 2015
yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis.
5. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah ikut membantu
penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam naskah laporan penelitian ini masih banyak terdapat
kekurangan baik dari segi materi atau penyajiannya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, penulis berharap semoga naskah
proposal penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Maret 2018

Penulis

vii
DAFTAR ISI

ABSTRAK .............................................................................................................. ii
ABSTRACT ........................................................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iv
PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS..................................................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH/ KATA PENGANTAR .......................................... vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xvi
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG...................................................... xvii
Bab I Pendahuluan............................................................................................ 1
I.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
I.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 2
I.3 Tujuan Penelitian............................................................................... 3
I.4 Ruang Lingkup .................................................................................. 3
Bab II Tinjauan Pustaka..................................................................................... 4
II.1 Minyak Sawit ................................................................................... 4
II.1.1 RPO ........................................................................................ 4
II.1.2 RPKO ..................................................................................... 5
II.2 Reaksi HDO ..................................................................................... 7
II.3 Mekanisme Reaksi HDO Trigliserida .............................................. 9
II.4 HDO Senyawa Model .................................................................... 10
II.4.1 HDO Metil Palmitat dan Asam Oleat Sebagai Senyawa
Model RPO .......................................................................... 10
II.4.2 HDO Metil Laurat dan Metil Miristat Sebagai Senyawa
Model RPKO........................................................................ 11
II.5 Kinetika Reaksi HDO .................................................................... 14
II.6 Aplikasi HDO di Industri ............................................................... 20
II.7 Reaktor HDO Industri .................................................................... 21
II.8 Simulasi HDO Bio-oil dan Asam Stearat ...................................... 24
II.8.1 Simulasi HDO Bio-Oil......................................................... 24
II.8.2 Simulasi HDO Asam Stearat ............................................... 25
II.9 Pemodelan Reaktor Unggun Tetap ................................................ 26

viii
II.9.1 Model Pseudohomogen Ideal Satu Dimensi ........................ 27
II.9.2 Model pseudohomogen dengan dispersi aksial ................... 28
II.9.3 Model Pseudohomogen Dua Dimensi ................................. 29
II.9.4 Model Heterogen Satu Dimensi Dengan Gradien Antarmuka
.............................................................................................. 30
II.9.5 Model Heterogen Dengan Gradien Antarmuka Dan Gradien
Antarpartikel ........................................................................ 32
II.9.6 Model Heterogen Dua Dimensi ........................................... 34
II.9.7 Model Heterogen Tiga Fasa ................................................. 35
BAB III Metodologi Penelitian........................................................................... 39
III.1 Langkah Penyelesaian Simulasi Model Reaktor .......................... 39
III.2 Sistem Reaksi Kimia .................................................................... 42
III.3 Model Kinetika ............................................................................. 44
III.4 Model Reaktor .............................................................................. 45
III.4.1 Neraca Massa Unggun Ke-1 ............................................... 46
III.4.2 Neraca Energi Unggun Ke-1 .............................................. 47
III.4.3 Kondisi Batas Unggun Ke-1 ............................................... 47
III.4.4 Neraca Massa Unggun Ke-2 ............................................... 48
III.4.2 Neraca Energi Unggun Ke-2 .............................................. 49
III.4.5 Kondisi Batas Unggun Ke-2 ............................................... 50
III.5 Parameter Fisika-Kimia dan Perpindahan ................................... 51
III.6 Program Simulasi ......................................................................... 51
BAB IV Hasil Simulasi dan Pembahasan ........................................................... 53
IV.7 Unjuk kerja reaktor model satu dimensi....................................... 53
IV.7.1 Unjuk kerja reaktor pada satu kondisi operasi ................... 53
IV.8 Unjuk kerja reaktor pada beberapa variasi kondisi operasi .......... 62
IV.8.1 Pengaruh 𝑇𝑖𝑛 terhadap tekanan parsial hidrogen ............... 62
IV.8.2 Pengaruh WHSV ................................................................ 73
IV.8.3 Pengaruh rasio HC/TG ....................................................... 81
IV.8.4 Pengaruh rasio rasio Qin/Qquench ..................................... 89
IV.8.5 Pengaruh tekanan operasi ................................................... 97
IV.9 Unjuk kerja reaktor model dua dimensi ..................................... 104
IV.9.1 Profil hidrogen di fasa gas ................................................ 104
IV.9.2 Profil hidrogen di fasa cair ............................................... 106
IV.9.3 Profil propana dan air di fasa gas ..................................... 107
IV.9.4 Profil propana dan air di fasa cair .................................... 109

ix
IV.9.5 Profil konsentrasi TG dan HC di fasa cair ....................... 111
IV.9.6 Profil temperatur fasa gas dan fasa cair ........................... 113
BAB V Kesimpulan dan Saran ........................................................................ 115
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 116
LAMPIRAN ........................................................................................................ 123

x
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Estimasi Parameter Fisika-kimia dan Perpindahan ..................... 124


A.1 Estimasi Viskositas Komponen ............................................ 124
A.1.1 Estimasi viskositas Trigliserida................................ 124
A.1.2 Estimasi viskositas Hidrokarbon .............................. 124
A.1.3 Estimasi viskositas Gas ............................................ 124
A.2 Estimasi Densitas Komponen ............................................... 125
A.2.1 Estimasi densitas Gas ............................................... 125
A.3 Estimasi Kapasitas panas Komponen ................................... 126
A.3.1. Estimasi kapasitas panas Trigliserida...................... 126
A.3.2. Estimasi kapasitas panas Hidrokarbon .................... 126
A.3.3. Estimasi kapasitas panas Gas .................................. 127
A.4 Estimasi Panas Pembentukan Komponen............................. 127
A.4.1 Estimasi panas pembentukan Trigliserida ................ 127
A.4.2 Panas pembentukan Hidrokarbon ............................ 127
A.4.3 Panas pembentukan Gas ........................................... 128
A.5 Konduktivitas Thermal Komponen ...................................... 128
A.5.1 Konduktivitas Thermal Gas dan Cairan ................... 128
A.5.2 Konduktivitas Thermal Trigliserida dan Hidrokarbon
............................................................................................ 128
A.6 Estimasi Tekanan Uap Komponen ....................................... 128
A.6.1 Estimasi tekanan uap Trigliserida ............................ 128
A.6.2 Estimasi tekanan uap Hidrokarbon .......................... 129
A.7 Estimasi Konstanta Henry .................................................... 129
A.7.1 Estimasi Konstanta Henry Hidrogen dalam Trigliserida
............................................................................................ 129
A.7.2 Estimasi Konstanta Henry Hidrogen dalam
Hidrokarbon ....................................................................... 129
A.8 Estimasi Volume Molar Komponen ..................................... 130
A.8.1 Estimasi Volume Molar Trigliserida ........................ 130
A.8.2 Estimasi Volume Molar Hidrokarbon ...................... 130
A.9 Estimasi Diffusi Komponen ................................................. 130
A.9.1 Estimasi Diffusi semua komponen........................... 130
A.10 Estimasi Konstanta Perpindahan Massa Komponen .......... 130
A.10.1 Koefisien Perpindahan Massa Fasa Gas ke Fasa Cair
............................................................................................ 130
A.10.2 Koefisien Perpindahan Massa Fasa Cair ke Fasa Padat
............................................................................................ 131
A.11 Estimasi Konstanta Perpindahan Panas Komponen ........... 131
A.11.1 Estimasi Konstanta Perpindahan Panas Fasa Gas ke
Fasa Cair ................................................................. 131
A.11.2 Estimasi Konstanta Perpindahan Panas Fasa Cair ke
Fasa Padat ............................................................... 131
A.12 Diffusi Efektif ..................................................................... 132
A.13 Dispersi Massa dan Panas................................................... 132

xi
A.13.1 Dispersi massa ........................................................ 132
A.13.2 Dispersi panas ........................................................ 132
A.14 Konsentrasi hidrogen di fasa cair ....................................... 132
A.15 Konstanta kesetimbangan uap cair ..................................... 133

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1 Struktur molekul trigliserida dalam minyak sawit ........................ 5


Gambar II.2 Komposisi asam lemak RPO......................................................... 5
Gambar II.3 Komposisi asam lemak RPKO ..................................................... 6
Gambar II.4 Mekanisme reaksi HDO trigliserida ............................................. 9
Gambar II.5 Mekanisme Reaksi HDO metil palmitat .................................... 11
Gambar II.6 Mekanisme reaksi HDO asam oleat ........................................... 11
Gambar II.7 Mekanisme HDO metil laurat .................................................... 12
Gambar II.8 Mekanisme HDO metil laurat .................................................... 13
Gambar II.9 Mekanisme HDO metil miristat ................................................. 14
Gambar II.10 Proses NexBTL® dari Nestle Oil dan Ecofining™ dari UOP/Eni
yang telah disederhanakan .......................................................... 20
Gambar II.11 Proses Bio-SPK UOP .................................................................. 21
Gambar II.12 Reaktor HDO dengan sistem proses berdaur ulang dari IFP yang
telah disederhanakan ................................................................... 22
Gambar II.13 Reaktor simulasi HDO minyak hasil pirolisis ............................ 24
Gambar II.14 Model reaktor ideal ..................................................................... 28
Gambar II.15 Model reaktor heterogen dengan gradien antarmuka .................. 32
Gambar II.16 Model reaktor heterogen tiga fasa ............................................... 38

Gambar III.1 Langkah-langkah simulasi persamaan reaktor satu dimensi ....... 41


Gambar III.2 Langkah-langkah persamaan reaktor dua dimensi ...................... 42
Gambar III.3 Satu mol TG menghasilkan 3 mol HC ........................................ 43
Gambar III.4 Konfigurasi reaktor LCO treater UP VI Balongan dan ruang
lingkup simulasi .......................................................................... 44

Gambar IV.1 Profil tekanan parsial hidrogen ................................................... 54


Gambar IV.2 Profil konsentrasi hidrogen yang berkesetimbangan dengan fasa
cair ............................................................................................... 55
Gambar IV.3 Profil konsentrasi propana dan air di fasa gas ............................. 56
Gambar IV.4 Profil konsentrasi propana dan air pada fasa cair dan permukaan
katalis .......................................................................................... 58
Gambar IV.5 Profil konsentrasi TG, HC dan konversi ..................................... 60
Gambar IV.6 Profil temperatur fasa gas, fasa cair dan permukaan katalis ....... 61
Gambar IV.7 Profil laju reaksi .......................................................................... 62
Gambar IV.8 Pengaruh 𝑇𝑖𝑛 terhadap tekanan parsial hidrogen........................ 63
Gambar IV.9 Pengaruh 𝑇𝑖𝑛 terhadap konsentrasi hidrogen di fasa cair ........... 64
Gambar IV.10 Pengaruh 𝑇𝑖𝑛 terhadap konsentrasi propana di fasa gas ............. 65
Gambar IV.11 Pengaruh 𝑇𝑖𝑛 terhadap konsentrasi air di fasa gas...................... 65
Gambar IV.12 Pengaruh 𝑇𝑖𝑛 terhadap konsentrasi propana di fasa cair ............ 66
Gambar IV.13 Pengaruh 𝑇𝑖𝑛 terhadap konsentrasi air di fasa cair ..................... 67
Gambar IV.14 Pengaruh 𝑇𝑖𝑛 terhadap konsentrasi TG dan konversi ................. 69
Gambar IV.15 Pengaruh 𝑇𝑖𝑛 terhadap konsentrasi HC ...................................... 69
Gambar IV.16 Pengaruh 𝑇𝑖𝑛 terhadap temperatur fasa gas dan fasa cair........... 70

xiii
Gambar IV.17 Pengaruh 𝑇𝑖𝑛 terhadap kenaikkan temperatur total (ΔT) fasa cair
dan fasa gas ................................................................................. 71
Gambar IV.18 Pengaruh 𝑇𝑖𝑛 terhadap laju reaksi kimia .................................... 72
Gambar IV.19 Pengaruh WHSV terhadap parsial hidrogen ............................... 73
Gambar IV.20 Pengaruh WHSV terhadap konsentrasi hidrogen di fasa cair ..... 74
Gambar IV.21 Pengaruh WHSV terhadap konsentrasi propana di fasa gas ....... 75
Gambar IV.22 Pengaruh WHSV terhadap konsentrasi air di fasa gas ................ 76
Gambar IV.23 Pengaruh WHSV terhadap konsentrasi propana di fasa cair ...... 77
Gambar IV.24 Pengaruh WHSV terhadap konsentrasi air di fasa cair ............... 77
Gambar IV.25 Pengaruh WHSV terhadap konsentrasi dan konversi TG ........... 78
Gambar IV.26 Pengaruh WHSV terhadap konsentrasi HC ................................ 78
Gambar IV.27 Pengaruh WHSV terhadap temperatur fasa gas dan fasa cair ..... 79
Gambar IV.28 Pengaruh WHSV terhadap ΔT fasa cair dan fasa gas ................. 79
Gambar IV.29 Pengaruh WHSV terhadap laju reaksi......................................... 80
Gambar IV.30 Pengaruh rasio HC/TG terhadap tekanan parsial hidrogen ......... 81
Gambar IV.31 Pengaruh rasio HC/TG terhadap konsentrasi hidrogen di fasa cair
..................................................................................................... 82
Gambar IV.32 Pengaruh rasio HC/TG terhadap konsentrasi propana di fasa gas ..
..................................................................................................... 83
Gambar IV.33 Pengaruh rasio HC/TG terhadap konsentrasi air di fasa gas ....... 83
Gambar IV.34 Pengaruh rasio HC/TG terhadap konsentrasi propana di fasa cair .
..................................................................................................... 84
Gambar IV.35 Pengaruh rasio HC/TG terhadap konsentrasi air di fasa cair ...... 85
Gambar IV.36 Pengaruh rasio HC/TG terhadap konsentrasi TG dan konversi .. 86
Gambar IV.37 Pengaruh rasio HC/TG terhadap konsentrasi HC di fasa cair ..... 86
Gambar IV.38 Pengaruh rasio HC/TG terhadap temperatur fasa gas dan fasa cair
..................................................................................................... 87
Gambar IV.39 Pengaruh rasio HC/TG terhadap ΔT fasa cair dan fasa gas ........ 88
Gambar IV.40 Pengaruh rasio HC/TG terhadap laju reaksi kimia ..................... 89
Gambar IV.41 Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap tekanan parasial hidrogen .
..................................................................................................... 90
Gambar IV.42 Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap konsentrasi hidrogen di
fasa cair ....................................................................................... 90
Gambar IV.43 Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap konsentrasi propana di fasa
gas ............................................................................................... 92
Gambar IV.44 Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap konsentrasi air di fasa gas .
..................................................................................................... 92
Gambar IV.45 Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap konsentrasi propana di fasa
cair ............................................................................................... 93
Gambar IV.46 Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap konsentrasi air di fasa cair.
..................................................................................................... 93
Gambar IV.47 Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap konsentrasi TG dan
konversi ....................................................................................... 94
Gambar IV.48 Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap konsentrasi HC di fasa cair
..................................................................................................... 94
Gambar IV.49 Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap temperatur fasa gas dan
fasa cair ....................................................................................... 95
Gambar IV.50 Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap ΔT fasa cair dan fasa gas95

xiv
Gambar IV.51 Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap laju reaksi ...................... 96
Gambar IV.52 Pengaruh tekanan operasi terhadap tekanan parsial hidrogen..... 97
Gambar IV.53 Pengaruh tekanan operasi terhadap konsentrasi hidrogen di fasa
cair ............................................................................................... 98
Gambar IV.54 Pengaruh tekanan operasi terhadap konsentrasi propana di fasa
gas ............................................................................................... 99
Gambar IV.55 Pengaruh tekanan operasi terhadap konsentrasi air di fasa gas... 99
Gambar IV.56 Pengaruh tekanan operasi terhadap konsentrasi propana di fasa
cair ............................................................................................. 100
Gambar IV.57 Pengaruh tekanan operasi terhadap konsentrasi air di fasa cair 100
Gambar IV.58 Pengaruh tekanan operasi terhadap konsentrasi TG dan konversi ..
................................................................................................... 101
Gambar IV.59 Pengaruh tekanan operasi terhadap konsentrasi HC di fasa cair102
Gambar IV.60 Pengaruh tekanan operasi terhadap temperatur fasa gas dan fasa
cair ............................................................................................. 102
Gambar IV.61 Pengaruh tekanan operasi terhadap ΔT total fasa cair dan fasa gas
................................................................................................... 103
Gambar IV.62 Pengaruh tekanan operasi terhadap laju reaksi ......................... 104
Gambar IV.63 Profil dua dimensi konsentrasi tekanan parsial hidrogen .......... 105
Gambar IV.64 Profil dua dimensi konsentrasi hidrogen di fasa cair ................ 106
Gambar IV.65 Profil dua dimensi konsentrasi propana di fasa gas .................. 108
Gambar IV.66 Profil dua dimensi konsentrasi air di fasa gas ........................... 108
Gambar IV.67 Profil dua dimensi konsentrasi propana di fasa cair.................. 110
Gambar IV.68 Profil dua dimensi konsentrasi air di fasa cair .......................... 110
Gambar IV.69 Profil dua dimensi konsentrasi TG ............................................ 112
Gambar IV.70 Profil dua dimensi konsentrasi HC ........................................... 113
Gambar IV.71 Profil dua dimensi temperatur fasa gas ..................................... 114
Gambar IV.72 Profil dua dimensi temperatur fasa cair .................................... 114

xv
DAFTAR TABEL

Tabel II.1 Komposisi asam lemak penyusun RPKO ....................................... 7


Tabel II.2 Perbedaan karakteristik reaksi HDO dan HDC ............................... 8
Tabel II.3 Model-Model Persamaan Kinetika Reaksi HDO .......................... 16
Tabel II.4 Kondisi operasi dari beberapa pemegang lisensi proses HDO ...... 23
Tabel II.5 Klasifikasi Model Reaktor Unggun Tetap .................................... 27
Tabel II.6 Tabel kondisi awal dan kondisi batas persamaan model heterogen
tiga fasa .......................................................................................... 37

Tabel III.1 Komposisi hidrokarbon penyusun HC .......................................... 43


Tabel III.2 Spesifikasi design reaktor dan proses ............................................ 44
Tabel III.3 Neraca massa komponen gas di fasa gas ....................................... 46
Tabel III.4 Neraca massa komponen gas di fasa cair ...................................... 46
Tabel III.5 Neraca massa komponen cair di fasa cair...................................... 46
Tabel III.6 Neraca massa komponen di fasa padat .......................................... 46
Tabel III.7 Neraca energi fasa gas, cair dan permukaan katalis ...................... 47
Tabel III.8 Kondisi Batas Unggun Ke-1 .......................................................... 47
Tabel III.9 Neraca massa komponen gas di fasa gas ....................................... 48
Tabel III.10 Neraca massa komponen gas di fasa cair ...................................... 48
Tabel III.11 Neraca massa komponen cair di fasa cair...................................... 49
Tabel III.12 Neraca massa komponen di fasa padat .......................................... 49
Tabel III.13 Neraca energi fasa gas, cair dan permukaan katalis ...................... 49
Tabel III.14 Kondisi Batas Unggun Ke-2 .......................................................... 50
Tabel III.15 Estimasi Parameter Fisika-Kimia dan Perpindahan ...................... 51

xvi
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

Hal.
Singkatan Nama / Kepanjangan pemakaian
pertama
HDO Hidrodeoksigenasi ii
Lab. TRKK Laboratorium Teknik Reaksi Kimia dan ii
Katalisis
LCO Light Cycle Oil ii
UP Unit Pengolahan ii
RPKO Refined Palm Kernel Oil ii
WHSV Weight Hourly Space Velocity ii
HC Hidrokarbon ii
TG Trigliserida ii
ESDM Energi Dan Sumber Daya Mineral 1
BBM Bahan Bakar Minyak 1
UOP Universal Oil Products 2
IFP French Institute of Petroleum 2
RPO Refined Palm Oil 4
CPO Crude Palm Oil 4
PKO Palm Kernel Oil 5
HDC Hidrodekarboksilasi 7
OA Asam Oleat 11
SA Asam Stearat 11
DMDBT 4,6-Dimethyldibenzothiophene 18
CA Caprilic Acid 19
SPK Synthetic Paraffinic Kerosene 21
LHSV Liquid Hourly Space Velocity 22
HNV High Non-Volatile 24
LNV Low Non-Volatile 24
RTD Residence Time Distribution 26
PDB Persamaan Diferensial Biasa 51
PDP Persamaan Diferensial Parsial 52

xvii
Hal.
Lambang Nama / Kepanjangan pemakaian
pertama
Luas permukaan luar katalis persatuan
𝑎𝑣 31
volume
Luas permukaan perpindahan massa pada
𝑎𝐿 35
antarmuka cairan
Luas permukaan perpindahan massa pada
𝑎𝑆 36
antarmuka katalis
𝑐 konstanta integrasi PDEPE 52
𝐶𝑖 Konsentrasi komponen i 28
𝐶𝑖𝐿 Konsentrasi komponen i di fasa cair 35
𝐶𝑖𝑆 Konsentrasi komponen i di permukaan katalis 32
𝐶𝑇𝐺 Konsentrasi TG 45
𝐶𝑃 Kapasitas panas 28
𝐶𝑝𝐺 Kapasitas panas fasa gas 36
𝐶𝑝𝐿 Kapasitas panas fasa cair 36
𝐶𝑛 Rantai hidrokarbon dengan jumlah atom n 4
𝐷𝑎 Dispersi fluida kearah aksial 28
𝐷𝑟 Dispersi fluida kearah radial 29
Ea Energy aktivasi 15
ℎ𝑓 Koefisien perpindahan panas fluida homogen 31
Koefisien perpindahan panas antarmuka gas
ℎ𝐺𝐿 36
dengan cairan
Koefisien perpindahan panas antarmuka
ℎ𝐿𝑆 36
cairan dengan katalis
∆𝐻 Entalpi reaksi 28
𝐻298 Entalpi standar 43
𝐻𝑖 Konstanta Henry 35
𝑘𝑓 Koefisien perpindahan massa fluida 31
Koefisien perpindahan massa pada antarmuka
𝑘𝑖𝐿 35
gas denga cairan

xviii
Koefisien perpindahan massa pada antarmuka
𝑘𝑖𝑆 36
cairan dengan katalis
𝑚 Paramater geometri 52
𝜂 Faktor keefektifan 33
NiMo/ɣ- Katalis nikel-molibdenum tersulfidasi dengan
9
Al2O3 penyangga gamma alumina
𝑝 Nilai batas integrasi PDEPE 52
𝑃𝑖𝐺 Tekanan parsial hydrogen 35
𝑞 Nilai batas integrasi PDEPE 52
Qin Debit hidrogen masuk unggun pertama ii
Qquench Debit hidrogen masuk kolom quenching ii
𝑟 Jejari unggun 29
𝑟𝑖 Laju reaksi kimia 28
𝑟𝐻𝐷𝑂 Laju rekasi HDO 45
𝑅 Konstanta gas 35
s konstanta integrasi PDEPE 52
𝑡 Panjang unggun 52
𝑇 Temperatur fluida 28
𝑇𝑖𝑛 Temperatur masuk unggun pertama ii
𝑇𝐺 Temperatur fasa gas 35
𝑇𝐿 Temperatur fasa cair 36
𝑇𝑆 Temperatur di permukaan katalis 32
𝑢 Konstanta integrasi PDEPE 52
𝑢𝑠 Laju alir superfisial 28
𝑢𝑧 Laju alir kearah aksial 29
𝑢𝑟 Laju alir kearah radial 29
𝑢𝐺 Laju alir fasa gas 35
𝑢𝐿 Laju alir fasa cair 36
𝑥 Jejari 52
𝑧 Panjang unggun 28

xix
Hal.
Lambang
Nama / Kepanjangan pemakaian
Yunani
pertama
Konduktivitas termal efektif kearah aksial,
𝜆𝑎 29
radial
𝜆𝑟 Konduktivitas termal efektif kearah radial 30
𝑓
𝜆𝑟 Konduktivitas termal fluida kearah radial 34
𝜆𝑟𝑠 Konduktivitas termal katalis kearah radial 34
𝜌𝑓 Densitas fluida 28
𝜌𝑔 , 𝜌𝐺 Densitas gas 29
𝜀 Fraksi kosong unggun 29

𝜉 Koordinat radial dalam partikel katalis 33

xx
Bab I Pendahuluan
I.1 Latar Belakang

Berdasarkan data impor Kementrian Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
tahun 2016, indonesia mengimpor 20,7 juta ton minyak mentah (Direktorat Jenderal
Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2017).
Berkurangnya cadangan minyak bumi dalam negeri dan harganya yang semakin
tinggi menjadi ancaman program ketahanan energi Indonesia. Di lain pihak,
Indonesia memiliki bahan baku yang berpotensi untuk dijadikan bahan bakar yaitu
minyak sawit dan minyak inti sawit disamping minyak nabati lainnya. Minyak
sawit dan minyak inti sawit saat ini adalah komoditas ekspor utama Indonesia.
Tahun 2016, Indonesia menghasilkan 34,5 juta ton dalam bentuk minyak sawit dan
minyak inti sawit (GAPKI, 2017). Jumlah tersebut berpotensi menghasilkan bahan
bakar sejumlah 29,5 juta ton yang dapat menutupi impor minyak mentah.

Minyak sawit mengandung trigliserida yang dapat dikonversi menjadi


biohidrokarbon pada rentang diesel yang sering disebut diesel hijau (green diesel).
Minyak inti sawit mengandung trigliserida yang dapat dikonversi menjadi
biohidrokarbon pada rentang bahan bakar jet yang sering disebut Bioavtur
(Soerawidjaja, 2013). Peluang di atas banyak dimanfaatkan para peneliti untuk
menghasilkan teknologi proses untuk mengkonversi minyak nabati menjadi bahan
bakar pengganti BBM. Teknologi yang paling baik saat ini untuk mengkonversi
minyak lemak dan asam lemak menjadi bahan bakar adalah hidrodeoksigenasi
(HDO) (Santikunaporn dan Danphitak, 2010). HDO adalah proses penyingkiran
atom oksigen dari rantai karbon menggunakan hidrogen dengan bantuan katalis
(Dickerson dan Soria, 2013). Produk hasil proses HDO adalah hidrokarbon yang
dapat dicampurkan dengan BBM konvensional tanpa batas.

Penelitian mengenai HDO minyak inti sawit telah dilakukan di Laboratorium


Teknik Reaksi Kimia dan Katalisis (TRKK) ITB. Penelitian tersebut menghasilkan
katalis HDO diberi nama PDO 130-1,2T yang memiliki aktivitas dan selektivitas
yang unggul pada kondisi operasi tertentu (Dharmawijaya dan Amira, 2015; Saeri,

1
2016). Penelitian dilanjutkan oleh Yuwan (2016) untuk mendapatkan persamaan
laju metil miristat sebagai senyawa model minyak inti sawit. Sebelum masuk ke
tahapan komersialisasi teknologi, perlu dilakukan penelitian simulasi reaktor serta
percobaan pada pilot plant agar didapatkan data unjuk kinerja reaktor pada skala
industri.

I.2 Rumusan Masalah

Tipikal reaktor HDO sama dengan reaktor hydrotreating pada umumnya berupa
reaktor unggun tetap (Mederos dan Ancheyta, 2007). Gambar sederhana reaktor
HDO dari beberapa lisensor paten proses HDO seperti UOP/Eni, IFP, Neste Oil,
Syntroleum, dan Petrobras dapat dilihat pada Gambar II.1. Proses hidrotreating
minyak LCO pada reaktor LCO Treater UP VI Balongan akan diubah menjadi
proses HDO minyak inti sawit. Tantangan perancangan reaktor yang memiliki
konfigurasi tetap adalah pengaturan kondisi operasi agar didapat reaktor dengan
unjuk kerja unggul.

Kondisi operasi menjadi kunci keberhasilan penyelenggaraan reaksi HDO.


Beberapa kondisi operasi yang penting adalah rasio umpan daur ulang terhadap
trigliserida (HC/TG), Weight Hourly Space Velocity (WHSV), temperatur fasa cair
masuk reaktor (𝑇𝑖𝑛 ) dan Tekanan operasi. Rasio HC/TG yang terlalu besar akan
meningkatkan kebutuhan volume reaktor sehingga rasio HC/TG sebaiknya sekecil
mungkin untuk menghindari revamping pada reaktor yang telah dibangun.
Sebaliknya, rasio HC/TG yang terlalu kecil akan menimbulkan lonjakan temperatur
(Marker dkk., 2011). WHSV sangat mempengaruhi konversi umpan dalam reaktor.
Semakin besar WHSV maka semakin kecil konversi umpan dalam reaktor.
Sebaliknya, semakin kecil WHSV maka semakin besar konversi umpan dalam
reaktor (Korsten dan Hoffmann, 1996).

Nilai 𝑇𝑖𝑛 sangat menentukan kelarutan hidrogen dalam fasa cair dan kenaikkan
temperatur dalam unggun (Myllyoja dan Jakkula, 2011; Abe dkk., 2008).
Kenaikkan temperatur tiap unggun dijaga pada rentang tertentu untuk menghindari

2
deaktivasi. Reaksi HDO harus diselenggarakan dalam kondisi hidrogen yang
berlebih dari kebutuhan teoritis agar tidak berpotensi membentuk kokas ketika
reaksi berlangsung (Detlef, 2012; Abe dkk., 2008). Penelitian simulasi reaktor
HDO diharapkan dapat memberikan informasi unjuk kerja reaktor HDO pada
berbagai variasi kondisi operasi. Kinerja reaktor HDO dari beberapa kondisi operasi
dievaluasi berdasarkan pada konversi dan kenaikkan temperatur disepanjang
unggun. Kondisi reaktor yang unggul memberikan konversi paling maksimum
dengan kondisi operasi yang lebih lunak.

I.3 Tujuan Penelitian

1. Membangun dan mensimulasikan model matematika dari reaktor unggun tetap


sistem tiga fasa dengan reaksi HDO minyak inti sawit.
2. Mendapatkan profil ujuk kinerja reaktor HDO minyak inti sawit untuk
beberapa variasi kondisi operasi dengan menggunakan katalis PDO 130-1,2T
pada reaktor LCO Treater UP VI Balongan melalui simulasi menggunakan
program Matlab 2015b.

I.4 Ruang Lingkup

1. Persamaan kinetika HDO minyak inti sawit menggunakan persamaan pangkat


yang telah didapatkan oleh Yuwan (2016) .
2. Trigliserida adalah minyak inti sawit yang telah dirafinasi (RPKO).
3. Kinerja reaktor HDO dari beberapa konfigurasi reaktor dievaluasi berdasarkan
pada konversi. Kondisi operasi reaktor yang unggul memberikan konversi
paling maksimum.

3
Bab II Tinjauan Pustaka
II.1 Minyak Sawit

Minyak sawit dan minyak inti sawit terdiri dari monogliserida, digliserida, dan
trigliserida dengan molekul asam lemak yang berantai jenuh maupun tak jenuh.
Komponen utama dari minyak sawit dan minyak inti sawit adalah trigliserida.
Minyak sawit dan minyak inti sawit memiliki jumlah atom karbon pada rentang
C12-C20. Komponen yang memiliki jumlah paling banyak dalam minyak sawit
adalah asam palmitat (44%), diikuti asam oleat monosaturated (40%) kemudian
asam lemak polyunsaturated (10%). Komponen yang memiliki jumlah paling
banyak dalam minyak inti sawit adalah asam laurat (50%) (Kasim, 2009; van
Gelder, 2004). Struktur umum trigliresida dapat dilihat pada Gambar II.1.

II.1.1 RPO

Komposisi asam lemak dalam minyak sawit disajikan pada Gambar II.2. Minyak
sawit yang diolah pada pabrik minyak sawit (Palm Mill) menghasilkan minyak
sawit mentah yang sering disebut Crude Palm Oil (CPO). CPO kemudian diolah
pada kilang minyak nabati menjadi RPO atau yang sering disebut minyak goreng.
RPO adalah minyak yang telah mengalami proses penghilangan gum
(Degumming), penghilangan warna (Bleached) dan penghilangan bau (Deodorized)
(Nurjannah, 2011). Komponen terbanyak RPO adalah trigliserida dari asam
palmitat yang memiliki rantai karbon asam lemak C16 diikuti asam oleat yang
memiliki rantai karbon asam lemak C18 yang memiliki satu ikatan rangkap, asam
linoleat yang juga memiliki rantai karbon asam lemak C18 namun memiliki dua
ikatan rangkap dan komponen kecil lainnya (van Gelder, 2004).

4
Gambar II.1 Struktur molekul trigliserida dalam minyak sawit (Donnis dkk.,
2009)

Asam Miristat Asam Stearat


0% (C14H28O2) 0% 0% (C18H36O2)
1% 0%
5%
Asam Linoleat
(C18H32O2)
11%
Asam Palmitat
(C16H32O2)
44%

Asam Oleat
(C18H34O2)
39%

Gambar II.2 Komposisi asam lemak RPO (van Gelder, 2004)

II.1.2 RPKO

Selain menghasilkan CPO, kilang minyak sawit juga menghasilkan minyak inti
sawit atau lebih sering disebut Palm Kernel Oil (PKO). PKO juga melewati tahapan
proses penghilangan gum, penghilangan warna dan penghilangan bau
menghasilkan produk yang disebut RPKO (Nurjannah, 2011). Komponen
terbanyak RPKO adalah trigliserida dari asam laurat yang memiliki rantai karbon
asam lemak C12, diikuti asam miristat yang memiliki rantai karbon asam lemak C14,
kemudian oleat yang memiliki rantai karbon asam lemak C18, serta komponen

5
lainnya dalam jumlah kecil (van Gelder, 2004). Komposisi asam lemak dalam
minyak inti sawit disajikan pada Gambar II.3.

Asam Kaprilat Asam Linolenat Asam Asam Kaprit


(C8H16O2) (C18H30O2) Stearat (C10H20O2)
1% 1% (C18H36O2) 3%
2%
0%
Asam Palmitat
(C16H32O2)
9%

Asam Oleat
Asam Laurat (C18H34O2)
(C12H24O2) 15%
51%

Asam Miristat
(C14H28O2)
18%

Gambar II.3 Komposisi asam lemak RPKO (van Gelder, 2004)

Variasi RPKO dalam bentuk trigliserida dijabarkan oleh Bezard (1971) disajikan
pada Tabel IV.1. Bezard tidak memperhitungkan komposisi digliserida dan
monogliserida dan hanya memperhitungkan komposisi berbagai jenis trigliserida
dalam campuran RPKO dan menganggap semua asam lemak sebagai asam lemak
jenuh. Sebagian besar trigliserida dalam RPKO adalah asam lemak jenuh yang
memiliki berat molekul ringan. Lebih lanjut, Bezard memaparkan bahwa terdapat
24 jenis trigliserida dalam RPKO yang terdiri dari 7 jenis asam lemak. Rantai
terpendek asam lemak dari trigliserida penyusun RPKO adalah asam kaproat yang
memiliki rantai karbon 6 buah. Rantai terpanjang adalah asam stearat yang
memiliki rantai karbon 18. Jika diurut berdasarkan asam lemak penyusun RPKO,
maka komponen asam lemak terbesar adalah asam laurat 58,8 %mol , diikuti oleh
asam miristat 14,4 %mol dan kemudian asam stearat 12,54 %mol. Komponen
dalam jumlah kecil adalah asam palmitat 16,59 %mol, asam kaprilat 4,93 %mol,
asam kaprat 2,02 %mol, dan asam kaproat 0,60 %mol. Komposisi TG yang telah di
normalisasi dapat dilihat pada Tabel IV.1.

6
Tabel II.1 Komposisi asam lemak penyusun RPKO (Bezard, 1971)
Jenis Asam lemak penyusun % Mol dalam % Mol setelah di
TG RPKO campuran normalisasi
1 Kaproat Laurat Laurat 0,60 0,73
2 Kaprilat Kaprat Laurat 0,30 0,36
3 Kaproat Laurat Miristat 0,90 1,09
4 Kaprilat Laurat Laurat 6,40 7,77
5 Kaprilat Laurat Miristat 3,60 4,37
6 Kaprat Laurat Laurat 4,70 5,70
7 Laurat Laurat Laurat 19,80 24,03
8 Laurat Laurat Miristat 14,10 17,11
9 Laurat Laurat Palmitat 3,50 4,25
10 Laurat Miristat Miristat 3,60 4,37
11 Kaprilat Palmitat Stearat 0,90 1,09
12 Laurat Laurat Stearat 3,30 4,00
13 Laurat Miristat Palmitat 2,70 3,28
14 Kaprilat Stearat Stearat 1,00 1,21
15 Laurat Miristat Stearat 3,50 4,25
16 Laurat Palmitat Palmitat 0,80 0,97
17 Laurat Palmitat Stearat 2,70 3,28
18 Miristat Miristat Stearat 0,60 0,73
19 Laurat Stearat Stearat 2,90 3,52
20 Miristat Palmitat Stearat 1,20 1,46
21 Miristat Stearat Stearat 1,20 1,46
22 Palmitat Palmitat Stearat 0,90 1,09
23 Palmitat Stearat Stearat 1,90 2,31
24 Stearat Stearat Stearat 1,30 1,58

II.2 Reaksi HDO

Reaksi HDO umumnya adalah reaksi dua tahap yaitu tahap hidrogenasi diikuti oleh
tahap HDO dan tahap hidrodekarboksilasi (HDC) yang terjadi secara paralel. Untuk
umpan yang memiliki rantai tak jenuh dan aromatik, pada tahap pertama akan
diubah menjadi rantai jenuh dan siklik. Setelah itu, tahap HDO dan HDC yang
terjadi secara paralel menghasilkan produk yang berbeda. Perbedaan tahap HDO
dan HDC dari asam lemak yang diusulkan Besse dkk., (2016) digambarkan melalui
reaksi (II.1-4). Tahapan HDO adalah tahapan penghilangan atom oksigen
menghasilkan produk berupa air dan hidrokarbon dengan jumlah atom karbon yang
sama dengan umpan. Tahapan HDC adalah tahapan penghilangan gugus karboksil
menghasilkan produk berupa karbon monoksida atau karbon dioksida dan

7
hidrokarbon yang memiliki jumlah atom karbon kurang satu dari jumlah atom
karbon umpan. Tahap yang diinginkan dari beberapa reaksi HDO adalah tahap
deoksigenasi yang menghasilkan produk hidrokarbon dan air saja. Reaksi HDO
diinginkan karena keunggulannya dibandingkan HDC. Kelebihan dan kekurangan
tahap HDO dan HDC disajikan pada Tabel II.1.

Alur reaksi HDO


𝐶𝑛 𝐻2𝑛+1 𝐶𝑂𝑂𝐻 + 3𝐻2 → 𝐶𝑛 𝐻2𝑛+1 𝐶𝐻3 + 2𝐻2 𝑂 (II.1)
Alur reaksi HDC
𝐶𝑛 𝐻2𝑛+1 𝐶𝑂𝑂𝐻 + 𝐻2 → 𝐶𝑛 𝐻2𝑛+1 𝐻 + 𝐶𝑂 + 𝐻2 𝑂 (II.2)

Selain itu kedua reaksi di atas juga terdapat alur reaksi alternatif yaitu reaksi
dekarboksilasi langsung
𝐶𝑛 𝐻2𝑛+1 𝐶𝑂𝑂𝐻 → 𝐶𝑛 𝐻2𝑛+1 𝐻 + 𝐶𝑂2 (II.3)
atau dekarboniliasi
𝐶𝑛 𝐻2𝑛+1 𝐶𝑂𝑂𝐻 → 𝐶𝑛 𝐻2𝑛−1 𝐻 + 𝐶𝑂 + 𝐻2 𝑂 (II.4)

Tabel II.2 Perbedaan karakteristik reaksi HDO dan HDC (Kubička dan
Tukač, 2013; Laurent dan Delmon, 1994)

Parameter HDO HDC

Konsumsi 12 mol hidrogen untuk satu mol 3 mol hidrogen untuk satu mol
Hidrogen trigliserida trigliserida

Produk Samping H2O, Propana CO2, Propana, Metana

Deaktivasi
Sementara hingga permanen Permanen
Katalis

Hidrokarbon dengan jumlah Hidrokarbon dengan jumlah


Produk yang
karbon sama dengan asam lemak karbon kurang satu dari asam
Dihasilkan
penyusunnya lemak penyusunnya

Kubička dan Tukač (2013) menjelaskan bahwa HDO dapat dideskripsikan sebagai
hidrogenasi yang hanya menghasilkan air dan produk hidrokarbon, di mana semua
atom oksigen yang disingkirkan dari reaksi HDO berubah menjadi air. Jumlah
hidrogen yang diperlukan pada tahap HDO lebih banyak dibandingkan tahap HDC.
Hidrogen yang diperlukan untuk melaksanakan tahap HDO adalah 12 mol untuk
tiap mol trigliserida sedangkan untuk melaksanakan tahap HDC diperlukan 3 mol

8
hidrogen. Kubička lebih lanjut menjelaskan bahwa terjadi reaksi samping akibat
terbentuknya karbon monoksida yaitu reaksi metanasi yang meningkatkan
kebutuhan hidrogen lebih besar dari tahap HDO. Deaktivasi akibat terbentuknya air
dapat menyebabkan berkurangnya sedikit luas permukaan katalis NiMo/ɣ-Al2O3
akibat rekristalisasi dari ɣ-Al2O3 menjadi fasa boehmite terhidrasi tanpa terjadi
perubahan selektivitas. Selain itu, air dapat menyebabkan oksidasi parsial nikel
sulfida menjadi menjadi nikel sulfat yang membentuk lapisan tidak aktif di atas
lapisan nikel sulfida. Air juga mendorong migrasi nikel dalam lapisan alumina
membentuk nikel alumina yang tidak aktif (Laurent dan Delmon, 1994). Karbon
monoksida mendeaktivasi katalis akibat teradsorbsi sangat kuat pada situs aktif
katalis (Bartholomew, 2001).

II.3 Mekanisme Reaksi HDO Trigliserida

Mekanisme reaksi HDO trigliserida yang diusulkan oleh Kubička dan Tukač (2013)
tersaji pada Gambar II.4. Tahap pertama reaksi HDO trigliserida menurut Kubica
adalah penjenuhan rantai asam lemak penyusun trigliserida tersebut. Jumlah
hidrogen yang diperlukan sebanding dengan jumlah ikatan rangkap asam lemak.
Trigliserida jenuh kemudian mengalami reaksi HDO dan HDC secara paralel.
Hidrodeoksigenasi

Hidrogenasi

Hidrodekarboksilasi
Gambar II.4 Mekanisme reaksi HDO trigliserida (Kubička dan Tukač, 2013)

9
Tahapan HDO trigliserida menghasilkan produk hidrokarbon dengan jumlah atom
karbon yang sama dengan jumlah atom karbon umpan dan air. Di sisi lain, atom
oksigen yang disingkirkan dari tahap HDC trigliserida menghasilkan karbon
dioksida dan hidrokarbon dengan jumlah atom karbon ganjil.

II.4 HDO Senyawa Model

Untuk menggambarkan mekanisme reaksi HDO dari trigliserida beberapa peneliti


menggunakan senyawa model misalnya metil palmitat, asam oleat, metil laurat,
metil miristat yang masing-masing merupakan komponen terbanyak pada minyak
sawit dan minyak inti sawit. Beberapa peneliti menggunakan metil palmitat atau
asam oleat untuk mempelajari mekanisme reaksi HDO pada RPO disebabkan
keduanya merupakan komponen penyusun terbanyak dari RPO. Metil laurat atau
metil miristat digunakan untuk mempelajari mekanisme reaksi HDO dari RPKO
disebabkan keduanya merupakan komponen penyusun terbanyak dari RPKO.
Keempat senyawa model tersebut sering dipilih karena dianggap dapat mewaliki
minyak nabati yang terdiri dari gugus ester dan gugus karboksilat (Deliy dkk., 2014;
Donnis dkk., 2009; Egeberg dkk., 2010).

II.4.1 HDO Metil Palmitat dan Asam Oleat Sebagai Senyawa Model RPO

II.4.1.1 HDO Metil Palmitat

Mekanisme HDO metil palmitat yang dikemukakan oleh Guan dkk., (2016) adalah
mekanisme yang terdiri dari sembilan tahap dan menghasilkan mekanisme seperti
pada Gambar II.5. Tahap pertama adalah metil palmitat melepas metanol
menghasilkan heksadekanal. Tahap dua adalah metil palmitat secara simultan
dihidrogenasi menghasilkan asam asetat diikuti oleh penghilangan metan. Pada
tahap tiga, hidrogenasi. Tahap empat adalah dehidrasi heksadekanol membentuk
heksadekana. Tahap lima adalah hidrogenasi heksadekena menghasilkan
heksadekana. Tahap enam adalah dehididrasi asam palmitat menjadi heksadekanal.
Tahap tujuh adalah pembentukan heksadekena dengan menyingkirkan karbon
monoksida dari heksadekanal. Tahap delapan adalah hidrogenasi pentadekena

10
menjadi pentadekana. Tahap sembilan adalah pembentukan pentadekana langsung
dari dekarbonasi asam palmitat.

Gambar II.5 Mekanisme Reaksi HDO metil palmitat (Guan dkk., 2016)

II.4.1.2 HDO Asam Oleat

Mekanisme HDO asam oleat menjadi hidrokarbon digambarkan oleh Ayodele dkk.,
(2014) menjadi tiga tahapan reaksi sederhana seperti ditunjukkan pada Gambar II.6.
Asam oleat (OA) tidak dapat terhidrogenasi langsung menjadi hidrokarbon C18,
tetapi harus mengalami penjenuhan dari asam oleat menjadi asam stearat (SA)
akibat adanya ikatan rangkap pada asam oleat. Kemudian mengalami reaksi
deoksigenasi menjadi hidrokarbon dan produk samping.

Gambar II.6 Mekanisme reaksi HDO asam oleat (Ayodele dkk., 2014)

II.4.2 HDO Metil Laurat dan Metil Miristat Sebagai Senyawa Model RPKO

II.4.2.1 HDO Metil Laurat

HDO metil laurat menghasilkan hidrokarbon berupa n-undekan (n-C11) dan n-


dodekan (n-C12) pada produk cair. Dodekena, undekena, isododekana, isoundekana,
dan hidrokarbon terengkah (C6-C10) merupakan komponen paling sedikit di produk

11
cair. Mekanisme HDO metil laurat diusulkan oleh Shi dkk., (2014) dan tersaji pada
Gambar II.7. Senyawa antara yang dihasilkan adalah (lauril alkohol, lauraldehid,
asam laurat, dan lauril laurat) dan metanol. Produk hidrokarbon C2-C4 jumlahnya
sedikit sedangkan karbon monoksida dan metana berada dalam jumlah yang banyak
dalam produk gas. Produk hidrokarbon seperti n-C12 (dodekena dan isododekana)
dihasilkan melalui tahap HDO. Tahapan HDO metil laurat terdiri dari beberapa
reaksi seri yaitu hidrogenolisis, hidrolisis, dehidrasi dan hidrogenasi dengan
mengubah metil laurat ke asam laurat ke lauraldehid ke lauril alkohol ke
hidrokarbon dengan jumlah atom 12. Produk hidrokarbon seperti n-C11, undekena
dan isoundekana dihasilkan dari tahap HDC. Tahapan HDC metil laurat dengan
senyawa antara seperti asam laurat dan lauraldehid. Oksigen yang disingkirkan
terdeteksi dalam bentuk karbon monoksida. Eserifikasi dari asam laurat dan lauril
alkohol pada permukaan asam katalis menghasilkan lauril laurat.

Donnis dkk., (2009) juga mengusulkan mekanisme HDO metil laurat tetapi
menghasilkan mekanisme reaksi yang berbeda Shi dkk., Donnis dkk., menyebutkan
HDO metil laurat menghasilkan n-dodekana, di mana tahap pertama adalah
hidrogenasi ikatan C-O senyawa ester, lalu diikuti hidrogenasi secara bertahap
aldehid ke alkohol ke alkana. Alur lain adalah penyingkiran air dari alkohol
membentuk alkena kemudian alkana. Mekanisme HDO metil laurat yang diusulkan
Donnis dkk., dapat dilihat pada Gambar II.8.

Gambar II.7 Mekanisme HDO metil laurat (Shi dkk., 2014)

12
Gambar II.8 Mekanisme HDO metil laurat (Donnis dkk., 2009)

II.4.2.2. HDO Metil Miristat

Yuwan (2016) mengusulkan mekanisme HDO metil miristat pada katalis NiMoS/γ-
Al2O3 menjadi hidrokarbon dapat melalui dua tahap reaksi yaitu HDC dan HDO.
Mula-mula metil miristat terhidrogenasi menjadi asam miristat. Asam miristat yang
melewati tahap HDC menghasilkan n-tridekana. Asam miristat yang melewati
tahap HDO membentuk tetradekanal kemudian dihidrogenasi menjadi tetradekanol
kemudian mengalami hidrogenasi lebih lanjut menghasilkan n-tetradekana. Pada
penelitiannya, Yuwan menyimpulkan bahwa tahapan reaksi menyeluruh hanya
terdiri dari dua tahap saja karena selektivitas kearah HDC sangat kecil
dibandingkan tahap HDO. Kedua tahap tersebut adalah metil miristat yang
mengalami tahap HDO menjadi tetradekanol kemudian terhidrogenasi menjadi n-
tetradekana. Persamaan laju reaksi HDO dan hidrogenasi ditunjukkan pada Gambar
II.9.

Dari berbagai mekanisme reaksi HDO senyawa model di atas, dapat disimpulkan
bahwa reaksi HDO selalu mengalami tahap penjenuhan, kemudian diikuti tahap
hidrogenasi asam karboksilat menjadi aldehid, kemudian dihidrogenasi menjadi
alkohol. Tahap terakhir adalah tahap deoksigenasi alkohol menjadi hidrokarbon.
Tahap dekarboksilasi adalah penghilangan gugus karboksil menjadi karbon
dioksida.

13
Gambar II.9 Mekanisme HDO metil miristat (Yuwan, 2016)

II.5 Kinetika Reaksi HDO

Kinetika reaksi diperlukan untuk perancangan reaktor, pengembangan reaktor dan


optimasi proses (Subagjo dan Ulfah, 2013). Kinetika reaksi merupakan penjelasan
tentang proses kimia yang dieksperesikan dalam bentuk persamaaan matematika
dan digunakan untuk memperkirakan reaksi yang terjadi pada suatu kondisi
(Attanatho, 2012). Banyak peneliti merumuskan persamaan kinetik dengan
menggunakan senyawa model. Senyawa model tidak hanya digunakan untuk
mengungkapkan mekanisme reaksi, tetapi juga digunakan untuk menghasilkan
persamaan reaksi yang dapat mewakili senyawa umpan yang sesungguhnya.
Persamaan reaksi diharapkan dapat mewakili fenomena reaksi yang terjadi pada
rentang kondisi operasi yang lebar. Persamaan kinetika yang dipaparkan peneliti
terbagi menjadi dua jenis persamaan kinetik. Pertama, persamaan mekanistik yang
diturunkan berdasarkan mekanisme yang ditawarkan peneliti tersebut. Jenis
persamaan kedua adalah persamaan hukum pangkat. Persamaan reaksi mekanistik
didasarkan pada hipotesa mekanisme reaksi yang terjadi oleh reaktan sebelum
menjadi produk. Pada alur reaksi mekanistik umumnya terdapat zat antara aktif
yang terbentuk maupun terkonsumsi secara cepat. Metoda penurunan persamaan
mekanistik yang umum digunakan adalah metoda Langmuir-Hinsshelwood dan
metoda Eley-Rideal. Penyederhanaan persamaan reaksi mekanistik menghasilkan
persamaan yang mirip dengan persamaan hukum pangkat.

14
Persamaan hukum pangkat menghasilkan persamaan yang lebih sederhana dari
persamaan mekanistik. Jumlah pangkat pada persamaan laju reaksi sama dengan
orde reaksi. Pangkat-pangkat yang ada pada persamaan pangkat dapat berupa
bilangan bulat maupun pecahan. Berbagai persamaan kinetika HDO untuk minyak
nabati dari berbagai sumber biomassa dan katalis dirangkum pada Tabel II.2. Energi
aktivasi dari beberapa persamaan reaksi pada Tabel II.2 terbagi menjadi dua
berdasarkan besar energi aktivasinya. Energi aktivasi dari reaksi HDO yang
selektivitasnya tinggi kearah tahap deoksigenasi memiliki energi aktivasi tinggi
(Ea>100 kJ/mol). Reaksi HDO yang selektivitasnya tinggi ke arah tahap
dekarboksilasi memiliki energi aktivasi rendah (Ea<100 kJ/mol). Sejalan dengan
dengan penelitian HDO minyak rapa yang dilakukan oleh Kubička dan Tukač
(2013) dan memaparkan energi aktivasi dari asam lemak minyak rapa menjadi
hidrokarbon melalui tahap HDC adalah 47,4 kJ/mol. Energi aktivasi dari asam
lemak minyak rapa menjadi hidrokarbon melalui tahap HDO adalah 219,2 kJ/mol.

15
Tabel II.3 Model-Model Persamaan Kinetika Reaksi HDO
Umpan Atau
Senyawa Reaktor Kondisi Operasi Katalis Persamaan Laju Reaksi Referensi
Model
𝑑𝐹
= 𝑘𝐶𝐴
𝑑𝑊
Fixed-Bed Pt/Z-120 ; Pt/Z-120@10Si; Chen dkk.,
Temperatur = 300-360 𝐸𝐴 minimum 71 kJ/mol untuk Pt/Z-120,
Metil palmitat Continuous-Flow Pt/Z-120@20Si ; Pt/Z-
°C ; Tekanan = 20 bar (2017)
Reactor 120@50Si ; Pt/Z-120@100Si 𝐸𝐴 maksimum 94 kJ/mol untuk Pt/Z-120@100Si
HDC/HDO = 0,7

𝑑𝐶𝐴 𝑘4 𝐾3 𝐶𝐴 0 𝑘 𝐾 𝑃
− 2 1 𝐻2 𝑡
Autoclave Reactor Temperatur = 230-260 Pd nanoparticles embedded in − = 𝐶∗ (1 − 𝑒 1+𝐾1𝑃𝐻2 )
𝑑𝑡 1 + 𝐾3 𝐶𝐴 Sapunov dkk.,
Asam stearat In Semi-Batch °C ; Tekanan = 0,3-1,8 the hypercrosslinked
(2017)
Mode. bar polystyrene matrix
𝐸𝐴 = 62,8 kJ/mol

 Model hukum pangkat


𝛼 𝛽
𝑟𝑃.𝐴 = −𝑘𝑟𝑥𝑛 𝐶𝑃.𝐴 𝑃𝐻2

𝐸𝐴 = 60,3 kJ/mol

 Eley-Rideal
Temperatur = 340-360
°C 𝑘𝑟𝑥𝑛 𝐶𝑃.𝐴 𝑃𝐻2
𝑟𝑃.𝐴 = − Zhou dan
Asam palmitat Microreactor Pt/ 𝛾- Al2O3 1 + 𝐾𝐻2 𝑃𝐻2
Tekanan = 300-500 Lawal (2017)
psig 𝐸𝐴 = 60,3 kJ/mol

 Langmuir-Hinshelwood
𝑘𝑟𝑥𝑛 𝐾𝑃.𝐴 𝐶𝑃.𝐴 𝐾𝐻2 𝑃𝐻2
𝑟=
(1 + 𝐾𝑃.𝐴 𝐶𝑃.𝐴 )(1 + 𝐾𝐻2 𝐶𝐻2 )

𝐸𝐴 = 60,3 kJ/mol

16
Tabel II.3 Model-Model Persamaan Kinetika Reaksi HDO (Lanjutan)
Umpan Atau Senyawa
Reaktor Kondisi Operasi Katalis Persamaan Laju Reaksi Referensi
Model

𝑑𝐶𝑂𝐴
Temperatur = 320-360 °C Ni/Al2O3, − = −(𝑘1 + 𝑘2 )𝐶𝑂𝐴
𝑑𝑡 Ayodele dkk.,
Asam oleat Semi Batch Reactor
Tekanan = 20 bar NiOx/ Al2O3 Dengan Ni/Al2O3, 𝐸𝐴 = 176 kJ/mol ; Dengan NiOx/Al2O3, (2016)
𝐸𝐴 = 244 kJ/mol ; HDC/HDO = 0,06

𝑅𝑛 = 𝑘𝑛 𝐶𝐿𝐴 𝐶𝐸𝑡
Temperatur = 250-623 K
Asam linoleat dalam Homogeneous Batch 𝑛 = 𝑡𝑎ℎ𝑎𝑝 𝑘𝑒 − 𝑛 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑟𝑒𝑎𝑘𝑠𝑖 Besse dkk.,
Rasio katalis:minyak = Pt/C
campuran etanol-air Reactor 𝑅𝑒𝑎𝑘𝑠𝑖 𝐻𝐷𝑂 𝑒𝑡𝑖𝑙 𝑠𝑡𝑒𝑎𝑟𝑎𝑡 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 ℎ𝑖𝑑𝑟𝑜𝑘𝑎𝑟𝑏𝑜𝑛 (2016)
0,0625-0,125
𝐸𝐴 = 200 𝑘𝐽/𝑚𝑜𝑙

𝑘3 𝐾𝐵 𝐾𝐻2 𝑐𝐵 𝑐𝐻2
𝑅3 =
Temperatur = 240-573 K 𝐾𝐵 𝑐𝐵 𝐾𝐶 𝑐𝐶 Bie dkk.,
Metil palmitat Batch Reactor Rh/ZrO2 (1 + + ) 𝐾𝐻2 𝑐𝐻2
√ 𝐻2 𝐻2 √ 𝐻2 𝑐𝐻2
𝐾 𝑐 𝐾 (2016)
Tekanan = 80 bar
𝐸𝐴 = 92 kJ/mol ; HDC/HDO =0,87

Rasio Tripalmitin : 𝑑𝐶𝐵


Tripalmitin dan 15NiAl/ = 𝑘1 𝐶𝐴 𝑝𝐻2 − 𝑘2 𝐶𝐵 − 𝑘3 𝐶𝐵 𝑝𝐻2 + 𝑘1 𝐶𝐴 𝑝𝐻2
High Pressure Batch tristearin 1:2 ; Temperatur 𝑑𝑡 Yenumala
tristearin (senyawa
Reactor 553-633 K ; Tekanan 30 𝛾- Al2O3 dkk., (2016)
model trigliserida) 𝐸𝐴 = 84,8 kJ/mol ;HDC/HDO = 0,5-0,73
bar

Temperatur = 280-300 °C −134000


Metil Miristat Fixed Bed Reactor NiMo tersulfidasi 𝑟𝐴 = 8,6𝑥1012 exp ( ) 𝐶𝑚𝑚 Yuwan (2016)
Tekanan = 60 bar 𝑇

17
Tabel II.3 Model-Model Persamaan Kinetika Reaksi HDO (Lanjutan)
Referensi Referensi Referensi Referensi Referensi Referensi

𝑑𝐶𝑂𝐴
− = −𝑘2 𝐶𝑂𝐴
Temperatur = 320-380 °C 𝑑𝑡
Semi Batch/Semi Ayodele
Asam oleat FMoOX/Zeolite
Continuous Reactor Tekanan = 20 bar 𝐸𝐴 = 130,3 𝑘𝐽/𝑚𝑜𝑙 dkk., (2015)

𝐻𝐷𝐶/𝐻𝐷𝑂 = 0,3 − 0,94

𝑑𝐶𝑖
Temperatur = 533-563 K Ni/ 𝛾- Al2O3, = −𝑘𝑛 𝐶𝑖
𝑑𝑡
Kumar dkk.,
Asam stearat Batch Reactor Tekanan = 8 bar Ni/SiO2,
𝐸𝐴 = 205.2 kJ/mol, n = tahap ke-n dari reaksi (2014)
Ni/HZSM-5
HDC/HDO = 0,89

𝑘𝐾1 𝐶𝐴𝑐 𝐾2 𝐶𝐻2


Temperatur = 613-633 K 𝑟= 2
Continuous Mixed (1 + 𝐾3 𝐶𝐶𝑂 + 𝐾4 𝐶𝑃𝑓 + 𝐾5 𝐶𝐻2𝑂 + 𝐾1 𝐶𝐴𝑐 + 𝐾2 𝐶𝐻2 )
Minyak Jarak/n- Rizo-Acosta
Flow Robinson– Tekanan = 8 MPa NiMo/ Al2O3
heksadekan/4,6DMDBT 𝐸𝐴 = 35505,7 cal/mol dkk., (2014)
Mahoney Reactor.
HDC/HDO = 0,31

𝑑𝐶𝐶𝑛,𝑡
Temperatur = 300-375 °C = 𝑘𝑡 𝐶𝑎,𝑡
𝑑𝑡
Minyak Goreng habis CoMoS tak Zhang dkk.,
Batch Reactor Rasio katalis:minyak =
pakai berpenyangga 𝑘𝑡 =0,5 pada 375 °C (2014)
1:200
HDC/HDO = 0,7

18
Tabel II.3 Model-Model Persamaan Kinetika Reaksi HDO (Lanjutan)
Referensi Referensi Referensi Referensi Referensi Referensi

Rasio hidrogen : rapeseed 𝑑𝐶𝑖


Trigliserida dari = −𝑘𝑖 𝐶𝑖 𝑃
Bench Scale Trickle oil = 50 : 1 ; Temperatur = 𝑑(𝑊/𝑄𝑀 ) Kubička dan
Rapeseed Oil (minyak CoMo on Alumina
Bed Reactor 260-280 °C ; Tekanan = 3.5 Tukač (2013)
Kanola)
MPa 𝐸𝐴 = 72.7 𝑘𝐽/𝑚𝑜𝑙 ; 𝐻𝐷𝐶/𝐻𝐷𝑂 = 0,95

𝐶𝑡𝑔
CoMo dan NiMo = 𝑒 −𝑘′𝑡
Trigliserida dari Temperatur = 300-425 °C 𝐶𝑡𝑔0
tersulfidasi dengan Sharma dkk.,
Jatropha Oil (minyak Turbular Reactor
Tekanan = 80 bar penyangga 𝐸𝐴 = 25,8 𝑘𝐽/𝑚𝑜𝑙 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝐶𝑜𝑀𝑜, 𝐻𝐷𝐶/𝐻𝐷𝑂 = 0,65 (2012)
Jarak)
titanosilikat
𝐸𝐴 = 40,8 𝑘𝐽/𝑚𝑜𝑙 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑁𝑖𝑀𝑜, 𝐻𝐷𝐶/𝐻𝐷𝑂 = 0,25

𝑑𝐶𝑇𝐺𝑠
Temperatur = 593-623 K Pt/SiO2, Sn/SiO2, − = 𝑘𝐶𝑇𝐺𝑠
Trilaurin dan 𝑑𝑡 Chiappero dkk.,
CSTR PtSn/SiO2 dan
Trimiristin Tekanan = 0,2-2,41 MPa 𝐸𝐴 =25,8 kJ/mol ; Trilaurin 𝑘 = 1,2e-2 min-1 pada 598 K ; (2011)
PtSnK/SiO2
Trimiristin 𝑘 = 1,16e-2 min-1 pada 598 K

𝑘𝐾𝐻2 𝑝𝐻2 𝐾𝐶𝐴 𝑝𝐶𝐴


Rasio molar H2/CA =1-20 𝑟= 2
Pd/Activated (1 + 𝐾𝐻2 𝑝𝐻2 + 𝐾𝐶𝐴 𝑝𝐶𝐴 )
Trikaprilin dan asam High Pressure Flow carbon, NiMo/ Boda dkk.,
Temperatur = 300-400 °C
kaprilat Through Reactor Pd/Activated carbon, C7 / (C7+C8) = 0,93-0,96 (2010)
Tekanan = 21 bar 𝛾-Al2O3
NiMo/𝛾-Al2O3 , C7 / (C7+C8) = 0,09-0,23

Bench Scale Trickle Temperatur = 305-345 °C (−𝑟𝐻𝐷𝑂 ) = 𝑘𝐻𝐷𝑂 𝐶𝑒𝑠𝑡0 (1 − 𝑥) Sebos dkk.,
Minyak biji kapas CoMo/ Al2O3
Bed Reactor Tekanan = 30 bar 𝐸𝐴 =111 kJ/mol (2009)

𝑘3′ 𝑐𝐴
Temperatur = 270-360 K 𝑟3 = Snåre dkk.,
Etil Stearat Semi-Batch Reactor Pd/C 1 + 𝐾𝐴 𝑐𝐴 + 𝐾𝐵 𝑐𝐵 + 𝐾𝐶 𝑐𝐷 + 𝐾𝐸 𝑐𝐸 +𝐾𝐹 𝑐𝐹
Tekanan = 17-40 bar (2007)
𝐸𝐴 = 57,3 kJ/mol ; HDC/HDO = 1

19
II.6 Aplikasi HDO di Industri

Saat ini terdapat dua perusahaan terkemuka yang telah membangun pabrik
pengolahan minyak nabati menjadi bahan bakar melalui proses HDO serta
melakukan komersialisasi produknya. Kedua perusahaan tersebut adalah Neste Oil
dengan proses NexBTL® dan UOP/Eni dengan proses Ecofining™.
Penyederhanaan kedua proses tersebut tersaji pada Gambar II.10.

Gambar II.10 Proses NexBTL® dari Nestle Oil (atas) (Lehmus, 2014) dan
Ecofining™ dari UOP/Eni (bawah) (UOP, 2017) yang telah
disederhanakan

20
Kedua proses ini menyelenggarakan reaksi HDO dengan umpan minyak nabati
berupa trigliserida dan atau asam lemak, produk reaktor hidrotreating adalah
hidrokarbon pada rentang diesel atau diesl hijau dengan produk samping H2O, CO,
dan CO2 (Albrecht dan Hallen, 2011). Setelah itu dilakukan proses stabilisasi dan
isomerisasi untuk meningkatkan kualitas dari diesel hijau. Produk hidrokarbon
dengan rantai lebih pendek di dapat dengan menambahkan proses perengkahan
sehingga dapat dihasilkan bahan bakar jet (Liu dkk., 2010) yang dapat dilihat pada
Gambar II.11.

Gambar II.11 Proses Bio-SPK UOP (Liu dkk., 2010)

II.7 Reaktor HDO Industri

Beberapa paten reaktor HDO minyak nabati pada paten yang dikembangkan Abe
dkk., (2008) dari IFP, Marker dkk., (2011) dari UOP, dan Solantie dan Koivisto
(2011) dari Neste Oil menggunakan reaktor unggun tetap dengan beberapa unggun
yang disusun secara seri dalam satu reaktor. Hidrogen segar diumpankan pada tiap
unggun. Hidrogen yang digunakan umumnya berlebih. Tekanan hidrogen yang
digunakan antara 10-80 bar. Reaksi HDO trigliserida sangat eksotermis, sehingga
kontrol terhadap suhu menjadi penting. Minyak nabati yang diumpankan ke dalam
reaktor tidak hanya umpan trigliserida saja tetapi juga hidrokarbon hasil produk
HDO keluaran reaktor yang di daur ulang. Penyelenggaraan reaksi HDO

21
direkomendasikan berada pada rentang 300-375°C, tekanan berada pada rentang
20-120 bar, rasio trigliserida terhadap umpan daur ulang masuk reaktor berkisar 3-
26 dan LHSV pada rentang 1-5 jam-1. Penyederhanaan reaktor unggun tetap HDO
minyak nabati yang dikembangkan IFP dapat dilihat pada Gambar II.12.

Gambar II.12 Reaktor HDO dengan sistem proses berdaur ulang dari IFP yang
telah disederhanakan (Abe dkk., 2008)

22
Tabel II.4 Kondisi operasi dari beberapa pemegang lisensi proses HDO
Pemegang
Umpan Temperatur Tekanan LHSV Rasio H2/TG HC/TG Inventor
Lisensi
Brown Grease, Yellow Grease,
Poultry Oil, Floatation Grease, 1200-1800 psig 7000-8000 Scf/bbl (Abhari dan Havlik
Syntroleum 550-700°F
And Lord H2 2011)
Vegetable Oil And Animal Feeds 10000 Scf/bbl
Energy dan Coconut Oil 20-50 Scf/pound
Environmental
305-360°C 580-725 psi (Strege dkk., 2011)
Research Center Yellow Grease 1050 sccm
Foundation,
1379-13790
Uop Llc Plant And Animal Oils 150-454°C 1000-10000 Scf/bbl 0,1-8:1 (Mccall dkk., 2007)
kPa
UOP LLC dan
Plant And Animal Fats And Oils. 200-400°C 3447-6895 kPa 0,5-10 jam-1 4000-5000 Scf/bbl 2-8:1 (Marker dkk., 2011)
Eni S.P.A
Merck Patent Feeds Derived From Renewable
120-450°C 1-10 Mpa 0,1-10 jam-1 50-3000 Nm3/m3 TG (Daudin dkk., 2013)
Gmbh Sources
Bio Oils And Fats 200-400°C 20-150 bar 1.5 jam-1 (Myllyoja dkk., 2006)
Neste Oil Oyj 5-30:1 (Craig dan Soveran
Vegetable Oils 350-450°C 4.8-15.2 mPA 0,5-5 jam-1 0,011-900 cm3/cm3
1991)
Du Pont De
3450-17250
Nemours And Fatty Acids 250-425°C 1-10 jam-1 2-10:1 (Dindi dkk., 2011)
kPa
Company
IFP Energies Tak lebih
Triglycerides 200-400 °C 20-150 bar 1-6 mm/s 100-1000 Nm3/m3 (Daudin dkk., 2013)
Nouvelles dari 4:1
IFP Triglycerides dan Fatty Acids 120-450 °C 1-10 Mpa 0,1-10 jam-1 50-3000 Nm3/m3 (Daudin dkk., 2009)
Fatty Acids, Triglycerides And -1
Neste Oil Oyj 280-340 °C 30-70 bar 0,1-10 jam 1000 NL/L TG (Markkanen dkk., 2008)
Other Fatty Acid Derivatives
Syntroleum 7500-16000 Scf/bbl
Fatty Acids Or Fatty Esters 600-650 °F 1200-1800 psig 1-3 jam-1 (Dindi dkk., 2011)
Corporation

23
II.8 Simulasi HDO Bio-oil dan Asam Stearat

II.8.1 Simulasi HDO Bio-Oil

Penelitian simulasi HDO telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya


Subramanyam dkk., (2015) yang melakukan simulasi HDO Bio-oil hasil pirolisis
pinus menggunakan katalis Pt/Al2O3 dengan aliran cocurrent up flow. Simulasi
dinamika fluida dilakukan menggunakan ANSYS Fluent 14.5. Variabel yang
diamati adalah WHSV, temperatur dan tekanan pada reaktor unggun tetap.
Penyelenggaraan reaksi HDO pada Bio-oil bertujuan mengkonversi senyawa
komponen tidak mudah menguap (High Non-Volatile/HNV), komponen mudah
menguap (Low Non-Volatile/LNV) dan fenol menjadi senyawa aromatik dan
alkana. Mekanisme HDO bio-oil diawali oleh hidrogenasi HNV menjadi senyawa
komponen yang mudah menguap, kemudian dihidrogenasi menjadi senyawa
komponen fenolik, setelah itu mengalami tahap deoksigenasi menjadi hidrokarbon
berupa alkana dan aromatik. Selain itu terdapat pula senyawa gas ringan yang
disebabkan hidrogenasi lanjut yang menghasilkan kokas dan gas-gas hidrokarbon.
Reaktor Simulasi HDO minyak hasil pirolisis Subramanyam dapat dilihat pada
Gambar II.13.

Gambar II.13 Reaktor simulasi HDO minyak hasil pirolisis (Subramanyam dkk.,
2015)

24
Subramanyam melakukan simulasi reaksi HDO pada variasi temperatur 623-673 K,
variasi tekanan 6996-10443 kPa, dan variasi WHSV 2-4 jam-1. Pada semua variasi
WHSV dan temperatur, kenaikkan tekanan meningkatkan konversi HNV. Pada
tekanan dan temperatur tetap, kenaikkan WHSV menurunkan konversi HNV.
Fraksi massa LNV berkurang ketika tekanan dinaikkan dan WHSV dikurangi. Oleh
karena HNV dan LNV sangat tidak diinginkan dalam produk akhir berupa
hidrokarbon, maka kondisi operasi sebaiknya dieselenggarakan pada tekanan tinggi
dan WHSV yang rendah.

Berbeda dengan HNV dan LNV, fraksi massa fenol cenderung naik dengan naiknya
tekanan. Kenaikkan WHSV mengurangi konversi fenol menjadi hidrokarbon. Hal
ini disebabkan oleh fenol yang lebih resisten terhadap reaksi HDO akibat kuatnya
ikatan atom oksigen pada fenol. Fraksi massa hidrokarbon naik dengan naiknya
tekanan dan hanya sedikit naik dengan kenaikkan WHSV. Pengaruh temperatur
tidak begitu besar pada semua tekanan dan WHSV. Fraksi hidrokarbon tertinggi
diperoleh pada temperatur 623 K, tekanan 10443 kPa, dan WHSV 2 jam-1.

II.8.2 Simulasi HDO Asam Stearat

Selain itu terdapat pula simulasi HDO asam stearat menjadi n-heptadekan yang
dilakukan oleh Kilpiö dkk., (2016). Reaksi dieselenggarakan menggunakan reaktor
unggun tetap berisi katalis Pd/C. Tekanan operasi 20 bar dan temperatur 633 K.
Hasil simulasi menunjukkan pengaruh difusi sangat kecil ketika reaksi
dilaksanakan menggunakan dua katalis yang berbeda yaitu katalis Pd/C yang di
distribusikan seragam dan katalis Pd/C yang didistrubusikan hanya pada permukaan
luar katalis menyerupai kulit telur. Laju reaksi dan laju deaktivasi terjadi bersamaan
dan saling berkompetisi. Lama tidaknya reaksi mencapai keadaan tunak sangat
ditentukan oleh konsentrasi asam stearat yang diumpankan, semakin besar nilai
konsanta laju reaksi semakin lama keadaan tunak tercapai, semakin rendah nilai
konstanta laju reaksi maka semakin cepat kondisi tunak tercapai. Laju reaksi
meningkat dengan bertambahnya konsentrasi asam stearat. Laju reaksi lebih tinggi
pada bagian awal reaktor atau bagian yang pertama terpapar unggun daripada ujung

25
unggun. Model reaktor aliran sumbat meningkatkan bilangan Perclet (Pe) sehingga
meningkatkan dispersi kearah aksial, selain itu tercipta aliran yang menyebar dan
menciptakan karakteristik distribusi aliran (RTD) akibat pencampuran balik
(Backmixing). Semakin besar nilai Pe semakin besar pula konsumsi asam stearat.

II.9 Pemodelan Reaktor Unggun Tetap

Froment dkk., (2011) menjelaskan tentang cakupan pemodelan reaktor unggun


tetap seperti pada Gambar II.14. Pemodelan reaktor unggun tetap dibagi menjadi
tiga bagian menurut skala pemodelannnya. Skala pemodelan terkecil adalah
microscale yang hanya mencakup persamaan hukum kekekalan pada situs aktif
katalis. Skala yang lebih luas dari microscale adalah mesoscale. Skala mesoscale
adalah skala yang mempertimbangkan adanya pengaruh fenomena pada katalis
seperti difusi dan lain-lain. Skala yang paling besar adalah macroscale yaitu
pemodelan dalam wujud reaktor beserta hidrodinamika yang ada didalamnya.

Lebih lanjut Froment menjelaskan, untuk mendapatkan pengertian yang baik dalam
memodelkan reaktor unggun tetap diperlukan klasifikasi model-model reaktor
unggun tetap seperti pada Table II.3. Pemodelan reaktor diklasifikasi menjadi dua
grup. Grup pertama disebut Pseudohomogen adalah model yang tidak
memperhitungkan keberadaan katalis. Grup kedua adalah model heterogen, yaitu
model yang memisahkan antara fasa fluida dan katalis. Model Pseudohomogen
dikembangkan dengan menganggap temperatur fasa curah sama dengan temperatur
di permukaan katalis dan konsentrasi di fasa curah sama dengan konsentrasi di
permukaan katalis. Sedangakan pertimbangan model heterogen menganggap
temperatur di permukaan katalis tidak sama dengan temperatur di fasa curah dan
konsentrasi di permukaan katalis tidak sama dengan konsentrasi di fasa curah.

Model paling sederhana adalah Pseudohomogen satu dimensi, model ini hanya
menggunakan persamaan neraca massa reaktor ideal tanpa adanya dispersi baik ke
arah aksial maupun radial, karena kemudahannya model ini paling banyak dikaji
sampai hari ini. Tahap selanjutnya adalah penambahan persamaan dispersi aksial

26
dan kemudian penambahan persamaan dispersi radial dalam bentuk dua dimensi.
Bentuk sederhana model heterogen hanya mempertimbangkan neraca massa aliran
sumbat disertai persamaan gradian antarmuka dari fasa fluida dan fasa padat . Tahap
selanjutnya adalah penambahan persamaan gradien antar partikel setelah itu
penambahan persamaan dispersi radial dalam bentuk dua dimensi.

II.9.1 Model Pseudohomogen Ideal Satu Dimensi

Model pseudohomogen ideal satu dimensi tidak memperhitungkan adanya dispersi


baik ke arah aksial maupun radial dan hanya menganggap neraca massa reaktor
mengikuti neraca massa reaktor aliran sumbat ideal. Tidak ada Pengaruh difusi pada
katalis dan reaksi berada pada rejim kinetik. Reaktor Pseudohomogen ideal dapat
dilihat pada Gambar II.14.

Tabel II.5 Klasifikasi Model Reaktor Unggun Tetap (Froment dkk., 2011)
Model Pseudohomogen Model Heterogen
Dimensi
T = 𝑇𝑆 ; C = 𝐶𝑆 T ≠ 𝑇𝑆 ; C ≠ 𝐶𝑆
II.9.1 Ideal II.9.4 Dengan Gradien Antarmuka
Satu Dimensi II.9.5 Dengan Gradien Antarmuka
II.9.2 Dengan Dispersi Aksial
dengan Gradien Antarpartikel
II.9.3 Dengan Dispersi Aksial II.9.6 Dengan Gradien Antarmuka
Dua Dimensi
dengan Dispersi Radial dan Dispersi Radial

Asumsi yang digunakan dalam model pseudohomogen ideal satu dimensi adalah :

a. Katalis sepenuhya terbasahi


b. Penguapan dari komponen di fasa cair diabaikan
c. Reaktan pembatas ada di dalam fasa cair dan fasa gas seragam melewati
reaktor
d. Variasi atau gradien temperatur dan konsentrasi diabaikan
e. Perpindahan massa eksternal dan tahanan perpindahan panas diabaikan

27
Persamaan neraca massa:

𝑑(𝑢𝑠 𝐶𝑖 )
= 𝑟𝑖 (II.5)
𝑑𝑧

Persamaan neraca energi:

𝑑𝑇
𝑢𝑠 𝜌𝑓 𝐶𝑃 = (−∆𝐻)𝑟𝑖 (II.6)
𝑑𝑧

Dengan kondisi awal adalah,

𝐶𝑖 = 𝐶𝑖0 ; 𝑇 = 𝑇0 pada 𝑧=0

Gambar II.14 Model reaktor ideal

II.9.2 Model pseudohomogen dengan dispersi aksial

Model ini menganggap reaktor masih merupakan reaktor aliran sumbat namun
aliran dalam reaktor berada dalam rejim turbulen. Pada rejim aliran turbulen,
bilangan Reynolds yang tinggi menciptakan profil kecepatan fluida yang berbeda
antara dinding unggun ke pusat reaktor. Pada pusat reaktor kecepatan fluida lebih
tinggi daripada kecepatan pada dinding unggun, sehingga menciptakan kurva
kecepatan fluida yang landai dari titik pusat reaktor ke dinding unggun. Rejim aliran
turbulen menyebabkan adanya gradien konsentrasi baik ke arah aksial maupun ke
arah radial, namun gradien konsentrasi ke arah radial yang sangat kecil dan dapat
diabaikan. Persamaan neraca massa dispersi ke arah aksial menjadi sangat penting
dan perlu diperhitungakan. Persamaan neraca massa dengan dispersi aksial
diungkapkan dengan persamaan di bawah ini.

Persamaan neraca massa:

𝑑𝐶𝑖 𝑑 2 𝐶𝑖
𝑢𝑠 = 𝐷𝑎 + 𝑟𝑖 (II.7)
𝑑𝑧 𝑑𝑧 2

28
Persamaan neraca energi:

𝑑𝑇 𝑑2𝑇
𝑢𝑠 𝜌𝑔 𝐶𝑃 = 𝜆𝑎 2 + (−∆𝐻)𝑟𝑖 (II.8)
𝑑𝑧 𝑑𝑧

Dengan kondisi batas,

Pada z = 0
𝑑𝐶𝑖
−𝐷𝑎 = 𝑢𝑠 (𝐶𝑖0 − 𝐶𝑖 ) (II.9)
𝑑𝑧

𝑑𝑇
−𝜆𝑎 = 𝑢𝑠 𝜌𝑔 𝐶𝑃 (𝑇0 − 𝑇) (II.10)
𝑑𝑧

Pada z = L

𝑑𝐶𝑖 𝑑𝑇
= = 0
𝑑𝑧 𝑑𝑧

Besarnya perpindahan massa ke arah aksial akibat dispersi bergantung pada nilai
koefisen dispersi (𝐷𝑎 ) dan besarnya nilai perpindahan panas kearah aksial akibat
dispersi bergantung pada nilai koefisien konduktifitas panas ( 𝜆𝑎 ). Selain itu
Froment dik., (2011) juga menambahkan bahwa kajian mengenai runaway
temperatur, optimasi dan deaktivasi memadai menggunakan neraca massa yang
mempertimbangkan dispersi kearah aksial cukup memadai karena reaktor industri
umumnya beroperasi pada rejim aliran turbulen dan tidak terlalu
mempertimbangkan perpindahan massa dan panas kearah radial.

II.9.3 Model Pseudohomogen Dua Dimensi

Pada model dua dimensi ini, Pengaruh dispersi kearah radial diperhitungkan. Selain
berutujan untuk melihat gambaran yang jelas tentang distribusi konversi dan
temperatur baik kearah radial dan akisal tetapi menurut dapat juga digunakan untuk
menjaga kelebihan temperatur yang merusak Froment dik., (2011).

Persamaan neraca massa :

𝜕𝐶𝑖 𝜕𝐶𝑖 1 𝜕 𝜕𝐶𝑖


𝑢𝑧 + 𝑢𝑟 = (𝑟𝐷𝑟 ) + (1 − 𝜀)𝑟𝑖 (II.11)
𝜕𝑧 𝜕𝑟 𝑟 𝜕𝑟 𝜕𝑟

29
Persamaan neraca energi :

𝜕𝑇𝑖 𝜕𝑇𝑖 1𝜕 𝜕𝑇
𝜌𝑓 𝐶𝑃 [𝑢𝑧 + 𝑢𝑟 ]= (𝑟𝜆𝑟 ) + (1 − 𝜀) ∑(−∆𝐻)𝑟𝑖 (II.12)
𝜕𝑧 𝜕𝑟 𝑟 𝜕𝑟 𝜕𝑟

Dengan kondisi batas,

Pada z = 0

𝐶𝑖 = 𝐶𝑖0 ; 𝑇 = 𝑇0

Pada r = 0

𝜕𝐶𝑖 𝜕𝑇𝑖
=0 ; =0
𝜕𝑟 𝜕𝑟

Pada r=R

𝜕𝐶𝑖
=0
𝜕𝑟

II.9.4 Model Heterogen Satu Dimensi Dengan Gradien Antarmuka

Model heterogen memisahkan antara fasa yang terlibat dalam reaktor. Fasa
minimum yang terjadi dalam reaktor adalah dua fasa. Kedua fasa yang mungkin
terjadi adalah fasa gas-padat atau cair-padat. Fasa gas-padat adalah dua fasa yang
terdiri fasa reaktan dan produk yang berupa gas dan fasa padat yaitu katalis. Fasa
cair-padat padat adalah dua fasa yang terdiri fasa reaktan dan produk yang berupa
cair dan fasa padat yaitu katalis. Selain itu, dapat pula tiga fasa dalam reaktor. Fasa
gas adalah fasa reaktan dan fasa cair adalah fasa produk, atau fasa gas adalah fasa
produk dan fasa cair adah fasa reaktan atau fasa reaktan dapat berada dalam dua
fasa dan atau produk berada dalam dua fasa dan fasa padat adalah katalis. Selain itu
memungkinkan juga reaktan berada dalam fasa padat dan reaktan lainnya berada
dalam fasa gas dan atau cair. Pemodelan model heterogen dua fasa adalah
pemodelan penyederhanaan dari kondisi tiga fasa yang ada dalam reaktor
hidrotreating industri. Pada model heterogen dua fasa ini dianggap fasa gas dan fasa
cair yang sejatinya adalah produk dan reaktan menjadi satu fasa saja dan disebut

30
fasa fluida, gas dianggap seluruhnya terdispersi dengan baik dalam fasa cair. Pada
pemodelan fasa fluida, tidak ada tahanan perpindahan massa dari fasa gas ke fasa
cair sehingga konsentrasi gas terdispersi dalam fasa fluida sama dengan
konsentrasinya pada fasa gas yang sesungguhnya. Model reaktor heterogen dengan
gradien antarmuka dapat dilihat pada Gambar II.15.

Persamaan neraca massa dan energi fluida:

𝑑𝐶𝑖
−𝑢𝑠 = 𝑘𝑓 𝑎𝑣 (𝐶𝑖 − 𝐶𝑖𝑆 ) (II.13)
𝑑𝑧

𝑑𝑇
𝑢𝑠 𝜌𝑓 𝐶𝑃 = ℎ𝑓 𝑎𝑣 (𝑇 𝑆 − 𝑇) (II.14)
𝑑𝑧

Persamaan neraca massa dan energi perpindahan antara katalis dan fluida:

𝑟𝑖 = 𝑘𝑓 𝑎𝑣 (𝐶𝑖 − 𝐶𝑖𝑆 ) (II.15)

(−∆𝐻)𝑟𝑖 = ℎ𝑓 𝑎𝑣 (𝑇 𝑆 − 𝑇) (II.16)

Dengan kondisi awal,

𝐶𝑖 = 𝐶𝑖0 ; 𝑇 = 𝑇0 pada 𝑧=0

Model heterogen memperhitungkan konsentrasi pada permukaan katalis.


Perpindahan massa tidak bergantung pada nilai koefisien difusi seperti pada model
homogen tetapi bergantung pada nilai koefisen perpindahan massa dari fluida ke
permukaan katalis ( 𝑘𝑓 ) dan perpindahan panas pada model heterogen dipengaruhi
oleh nilai koefisien perpindahan panas pada lapisan film dipermukaan partikel ( ℎ𝑓 )
tidak lagi oleh nilai konduktifitas panas seperti model homogen. Baik perpindahan
massa maupun perpindahan panas hanya terjadi di permukaan katalis, oleh karana
itu koefisien perpindahan baik perindahan massa dan perpindahan massa harus
diasosiasikan dengan luas permukaan luar katalis per volum partikel katalis (𝑎𝑣 ).

31
Gambar II.15 Model reaktor heterogen dengan gradien antarmuka

II.9.5 Model Heterogen Dengan Gradien Antarmuka Dan Gradien


Antarpartikel

Laju reaksi tidak seragam diseluruh permukaan partikel katalis dalam reaktor. Pada
kenyataannya, di dalam permukaan katalis terjadi difusi dan perpindahan panas.
Oleh karena itu, model heterogen di atas tidak memungukinkan untuk menjelaskan
fenomena tersebut. Pengaruh difusi dan perpindahan panas antar partikel
ditunjukkan dengan penambahan suku perpindahan massa dengan fungsi nilai
koefisen dispersi Efektif ( 𝐷𝑎 ) dan penambahan suku perpindahan panas dengan
fungsi nilai koefisien konduktifitas panas ( 𝜆𝑎 ).

Persamaan neraca massa dan panas fluida:

𝑑𝐶𝑖
−𝑢𝑠 = 𝑘𝑓 𝑎𝑣 (𝐶𝑖 − 𝐶𝑖𝑆 ) (II.17)
𝑑𝑧

𝑑𝑇
𝑢𝑠 𝜌𝑓 𝐶𝑃 = ℎ𝑓 𝑎𝑣 (𝑇 𝑆 − 𝑇) (II.18)
𝑑𝑧

32
Persamaan neraca massa dan energi perpindahan antara katalis dan fluida:

𝐷𝑎 𝑑 2
𝑑𝐶 𝑆
(𝜉 ) = 𝑟𝑖 (𝐶 𝑆 , 𝑇 𝑆 ) (II.19)
𝜉 2 𝑑𝜉 𝑑𝜉

𝜆𝑎 𝑑 2
𝑑𝑇 𝑆
(𝜉 ) = (−∆𝐻)𝑟𝑖 (𝐶 𝑆 , 𝑇 𝑆 ) (II.20)
𝜉 2 𝑑𝜉 𝑑𝜉

Dengan kondisi batas,

Pada z = 0 𝐶𝑖 = 𝐶𝑖0 ; 𝑇 = 𝑇0

𝑑𝐶 𝑆 𝑑𝑇 𝑆
Pada 𝜉 = 0 = =0
𝑑𝜉 𝑑𝜉

𝑑𝑝
Pada 𝜉 = 2

𝑑𝐶 𝑆
−𝐷𝑎 = 𝑘𝑓 (𝐶𝑖𝑆 − 𝐶𝑖 )
𝑑𝜉

𝑑𝑇 𝑆
−𝜆𝑎 = ℎ𝑓 (𝑇𝑖𝑆 − 𝑇𝑖 )
𝑑𝜉

Persamaan di atas merupakan model gradien antarpartikel jika ditinjau dari partikel
katalis. Jika kita meninjau unggun katalis secara keseluruhan, maka persamaan
dengan tinjauan katalis menjadi tidak tepat dan untuk menggambarkan pengaruh
perpindahan massa seperti difusi. Untuk menggambarkan fenomena difusi dalam
unggun adalah penggunaan faktor Keefektifan (η) untuk menggantikan nilai
kefisien perpindahan massa (𝐷) dan koefisien perpindahan panas (𝜆). Keefektifan
suku perpindahan massa sebagai fungsi nilai koefisen dispersi efektif (𝐷𝑎 ) dan suku
perpindahan panas sebagai fungsi nilai koefisien konduktifitas panas (𝜆𝑎 ) pada
persamaan neraca massa dan neraca massa dalam unggun katalis dapat
disederhanakan seperti Persamaan (II.20) dan (II.21) namun dengan penambahan
faktor keefektifan menjadi :

𝑘𝑓 𝑎𝑣 (𝐶𝑖 − 𝐶𝑖𝑆 ) = 𝜂𝑟𝑖 (𝐶 𝑆 , 𝑇 𝑆 ) (II.21)

ℎ𝑓 𝑎𝑣 (𝑇 𝑆 − 𝑇) = (−∆𝐻)𝜂𝑟𝑖 (II.22)

33
II.9.6 Model Heterogen Dua Dimensi

Model heterogen dua dimensi memperhitungkan aspek perpindahan kearah radial.


Aliran radial dan aksial mempengaruhi konversi dan distribusi temperatur di
sepanjang reaktor. Penggunaan koefisien dispersi Efektif dan kefisien konduktifitas
panas lebih tepat untuk neraca massa di fluida dan penggunaan faktor keefektifan
lebih tepat digunakan menggantikan pengaruh difusi pada unggun reaktor.

𝜕𝐶𝑖 𝜕𝐶𝑖 1 𝜕 𝜕𝐶𝑖


𝑢𝑧 + 𝑢𝑟 = (𝑟𝐷𝑎 ) + 𝑘𝑓 𝑎𝑣 (𝐶𝑖𝑆 − 𝐶𝑖 ) (II.23)
𝜕𝑧 𝜕𝑟 𝑟 𝜕𝑟 𝜕𝑟

𝜕𝑇𝑖 𝜕𝑇𝑖 1𝜕 𝑓 𝜕𝑇𝑖


𝜌𝑓 𝐶𝑃 [𝑢𝑧 + 𝑢𝑟 ]= (𝑟𝜆𝑟 ) + ℎ𝑓 𝑎𝑣 (𝑇 𝑆 − 𝑇) (II.24)
𝜕𝑧 𝜕𝑟 𝑟 𝜕𝑟 𝜕𝑟

Persamaan neraca massa dan energi perpindahan antara katalis dan fluida:

𝑘𝑓 𝑎𝑣 (𝐶𝑖𝑆 − 𝐶𝑖 ) = (1 − 𝜀)𝜂𝑟𝑖 (II.25)

1𝜕 𝜕𝑇𝑠
ℎ𝑓 𝑎𝑣 (𝑇 𝑆 − 𝑇) = (𝑟𝜆𝑟𝑠 ) + (1 − 𝜀) ∑(−∆𝐻)𝜂𝑟𝑖 (II.26)
𝑟 𝜕𝑟 𝜕𝑟

Dengan kondisi batas

Pada z = 0

𝐶𝑖 = 𝐶𝑖0 ; 𝑇 = 𝑇0

Pada r = 0

𝜕𝐶𝑖 𝜕𝐶𝑠 𝜕𝑇𝑖 𝜕𝑇𝑠


= =0 ; = =0
𝜕𝑧 𝜕𝑧 𝜕𝑧 𝜕𝑧

Pada r = R

𝜕𝐶𝑖 𝜕𝐶𝑠
= =0 ; 𝑇𝑖 = 𝑇𝑠 = 𝑇𝑤
𝜕𝑧 𝜕𝑧

34
II.9.7 Model Heterogen Tiga Fasa

Jika pada model heterogen pembahasan sebelumnya pembahasan terbatas hanya


dua fasa saja. Pada pemodelan dua fasa, hanya dari dua fasa yang terlibat dalam
reaktor yaitu fasa fluida homogen dianggap sebagai fasa gas yang terdispersi
seluruhnya dalam fasa cair disebut fasa fluida dan fasa katalis yang merupakan fasa
padat. Model heterogen tiga fasa lebih baik dalam menggambarkan keadaaan riil
yang terjadi dalam reaktor hidrotreating industri. Terdapat tiga fasa dalam reaktor
hidrotreating industri. Fasa gas adalah hidrogen dan gas-gas hasil reaksi sedangkan
fasa cair adalah hidrokarbon, reaktan umumnya hidrokarbon yang beratom
heterogen dan produk adalah hidrokarbon yang bebas atom heterogen.

Fenomena perpindahan massa yang terjasi antara ketiga fasa tersebut dapat
diilustrasikan pada Gambar II.16. Dari gambar tersebut terdapat tiga fasa, yaitu fasa
gas yang berada pada bagian terluar kemudian fasa cair dan fasa padat. Perpindahan
massa dari fasa gas menuju permukaan katalis dihambat oleh kelarutan gas dalam
fasa cair, perpindahan komponen gas terlarut dan fasa cair ke dalam permukaan
katalis dihambat oleh tahanan perpindahan massa cairan ke katalis.

Neraca massa dan energi dibagi menjadi tiga berdasarkan fasanya. Perpindahan
komponen gas ke fasa cair hanya dipengaruhi oleh kelarutannya dalam cairan yang
merupakan fungsi konstanta Henry. Di fasa cair, perpindahan komponen gas ke
permukaan katalis dipengaruhi oleh koefisien perpindahan massanya ke katalis.
Perpindahan komponen fasa cair ke permukaan katalis hanya dipengaruhi oleh
koefisien perpindahan massanya ke katalis. Persamaan neraca massa dan energi
mengikuti persamaan yang dipaparkan oleh Mederos dan Ancheyta (2007), Korsten
dan Hoffmann (1996), Rodríguez dan Ancheyta (2004), Jarullah dkk., (2011).

Neraca massa komponen gas di fasa gas :

𝑢𝐺 𝑑𝑃𝑖𝐺 𝑃𝑖𝐺
= 𝑘𝑖 𝑎𝐿 ( − 𝐶𝑖𝐿 )
𝐿
(II.27)
𝑅𝑇 𝐺 𝑑𝑧 𝐻𝑖

35
Neraca massa komponen gas di fasa cair :

𝑑𝐶𝑖𝐿 𝑃𝑖𝐺
𝑢𝐿 = 𝑘𝑖𝐿 𝑎𝐿 ( − 𝐶𝑖𝐿 ) − 𝑘𝑖𝑆 𝑎𝑆 (𝐶𝑖𝐿 − 𝐶𝑖𝑆 ) (II.28)
𝑑𝑧 𝐻𝑖

Neraca massa komponen cair di fasa cair :

𝑑𝐶𝑖𝐿
𝑢𝐿 = −𝑘𝑖𝑆 𝑎𝑆 (𝐶𝑖𝐿 − 𝐶𝑖𝑆 ) (II.29)
𝑑𝑧

Neraca massa komponen di fasa padat :

−𝑘𝑖𝑆 𝑎𝑆 (𝐶𝑖𝐿 − 𝐶𝑖𝑆 ) = ±𝜂𝑟𝑖 (𝐶 𝑆 , 𝑇 𝑆 ) (II.30)

Neraca energi fasa gas :

𝑑𝑇 𝐺
𝑢𝐺 𝜌𝐺 𝐶𝑝𝐺 = −ℎ𝐺𝐿 𝑎𝐿 (𝑇 𝐺 − 𝑇 𝐿 ) (II.31)
𝑑𝑧

Neraca energi fasa cair :

𝑑𝑇 𝐿
𝑢𝐿 𝜌𝐿 𝐶𝑝𝐿 = ℎ𝐺𝐿 𝑎𝐿 (𝑇 𝐺 − 𝑇 𝐿 ) − ℎ𝐿𝑆 𝑎𝑆 (𝑇 𝐿 − 𝑇 𝑆 ) (II.32)
𝑑𝑧

Neraca energi fasa padat :

−ℎ𝐿𝑆 𝑎𝑆 (𝑇 𝐿 − 𝑇 𝑆 ) = −𝜂𝑟𝑖 (𝐶 𝑆 , 𝑇 𝑆 )(−∆𝐻) (II.33)

Kelarutan gas dalam cairan pada persamaan umumnya ditulis sebagai fungsi
konstanta Henry. Konsentrasi gas dalam fasa cair sebagai fungsi tekanan parsial
dapat ditulis sebagai berikut :

𝑃𝑖𝐺
= 𝐶𝑖𝐺 (II.34)
𝐻𝑖

Persamaan neraca massa dapat disederhanakan menjadi,

Neraca massa komponen gas di fasa gas :

𝑢𝐺 𝑑𝑃𝑖𝐺
= 𝑘𝑖𝐿 𝑎𝐿 (𝐶𝑖𝐺 − 𝐶𝑖𝐿 ) (II.35)
𝑅𝑇𝐺 𝑑𝑧

36
Neraca massa komponen gas di fasa cair :

𝑑𝐶𝑖𝐿
𝑢𝐿 = 𝑘𝑖𝐿 𝑎𝐿 (𝐶𝑖𝐺 − 𝐶𝑖𝐿 ) − 𝑘𝑖𝑆 𝑎𝑆 (𝐶𝑖𝐿 − 𝐶𝑖𝑆 ) (II.36)
𝑑𝑧

Tabel II.6 Tabel kondisi awal dan kondisi batas persamaan model heterogen tiga
fasa

Kondisi awal
𝑃𝑖𝐺 = (𝑃𝑖𝐺 )0 Semua komponen gas

𝐶𝑖𝐿 = (𝐶𝑖𝐿 )0 Semua komponen gas dan cair


Pada z = 0
𝐶𝑖𝑆 = 0 Semua komponen gas dan cair
𝑇 𝐺 = 𝑇 𝐿 = 𝑇 𝑆 = 𝑇0
𝑃𝑖𝐺 = (𝑃𝑖𝐺 )0 Semua komponen gas

𝐶𝑖𝐿 = (𝐶𝑖𝐿 )0 Semua komponen gas dan cair


Pada z = L
𝐶𝑖𝑆 = 0 Semua komponen gas dan cair
𝑇 𝐺 = 𝑇 𝐿 = 𝑇 𝑆 = 𝑇0
Kondisi batas
𝑃𝑖𝐺 = (𝑃𝑖𝐺 )0 Semua komponen gas

𝐶𝑖𝐿 = (𝐶𝑖𝐿 )0 Semua komponen gas dan cair


Pada z = 0
𝐶𝑖𝑆 = 0 Semua komponen gas dan cair
𝑇 𝐺 = (𝑇 𝐺 )0 ; 𝑇 𝐿 = (𝑇 𝐿 )0 ; 𝑇 𝑆 = (𝑇 𝑆 )0
𝑃𝑖𝐺 = (𝑃𝑖𝐺 )L Semua komponen gas

Pada z = L 𝑇 𝐺 = (𝑇 𝐺 )𝐿
𝑑𝐶𝑖𝐿
=0
𝑑𝑧

37
Gambar II.16 Model reaktor heterogen tiga fasa

38
BAB III Metodologi Penelitian

Persamaan model reaktor adalah persamaan matematika yang terdiri dari


persamaan neraca massa dan energi, persamaan laju reaksi kimia, persamaan fisika-
kimia dan perpindahan. Persamaan model reaktor untuk jenis reaktor unggun tetap
adalah persamaan diferensial biasa dan persamaan diferensial parsial. Persamaan
model reaktor dapat diselesaikan dengan cara integrasi baik secara analitik maupun
numerik. Persamaan model reaktor diintegrasikan dalam batas-batas tertentu yang
umum disebut sistem reaksi kimia. Sistem reaksi kimia meliputi reaksi kimia,
pendefinisian reaktan dan produk, pendefinisian dimensi, tipe reaktor dan kondisi
operasi reaktor. Integrasi secara numerik sangat lazim digunakan saat ini
dikarenakan kehandalannya menyelesaikan persamaan matematika yang rumit dan
kompleks. Integrasi secara numerik terbagi atas dua berdasarkan metode
penyelesaianya yaitu Finite Elemen dan Finite Difference. Finite Difference tidak
handal dibandingkan Finite Elemen terutama dalam meyelesaikan masalah dua
dimensi (Wouwer dkk., 2014). Model reaktor dan sistem reaksi kimia yang tepat
akan menghasilkan persamaan model reaktor yang dapat menggambarkan
fenomena yang terjadi dalam reaktor secara akurat.

III.1 Langkah Penyelesaian Simulasi Model Reaktor


Langkah penyelesian simulasi model reaktor adalah :

1. Sistem reaksi kimia

Reaksi HDO RPKO menjadi hidrokarbon dapat dilihat pada persamaan


(III.1). Tipikal reaksi HDO adalah reaksi yang sangat eksotermis.
Pencampuran hidrokarbon hasil reaksi dengan trigliserida sebelum masuk
reaktor bertujuan untuk meningkatkan kelarutan hidrogen dan menangkap
panas reaksi. Reaktor dioperasikan secara adiabatik. Unggun reaktor terdiri
dari dua unggun. Produk di antara unggun di dinginkan melalui proses
queenching menggunakan hidrogen yang bertujuan mendinginkan produk
hasil reaksi agar tidak terjadi run-away temperatur.

39
2. Pemilihan model kinetika
Model kinetika yang digunakan untuk menyelesaikan persamaan model
reaktor adalah persamaan kinetika diusulkan oleh Yuwan (2016) yang
melakukan studi kinetika katalis 130-1,2T dan dapat dilihat pada Persamaan
III.2.

3. Pemilihan model reaktor


Model reaktor yang dipilih adalah model reaktor tiga fasa yang sebelumya
telah dibahas pada Subbab II.9.7. Model reaktor tiga fasa dipilih karena
menyerupai kondisi yang sebenarnya terjadi dalam reaktor. Selain itu,
bertujuan untuk melihat profil konsentrasi dan temperatur pada tiga fasa
yang terlibat. Luaran simulasi adalah profil distribusi komponen dan
temperatur pada fasa gas, cair dan padat atau permukaan katalis.

4. Estimasi parameter Fisika-kimia dan perpindahan


Estimasi parameter kimia, fisika, perpindahan, dan termodinamika untuk
menyelesaian persamaan model reaktor. Parameter-parameter tersebut
diantaranya koefisien perpindahan antarfasa, viskositas, densitas, kapasitas
panas, entalpi reaksi seperti tampilkan pada Tabel III.15 dan lebih detil
tersaji pada Lampiran A.

5. Formulasi persamaan model reaktor


Persamaan neraca massa, energi digabungkan menjadi persamaan
diferensial parsial dalam bentuk program agar dapat diselesaikan secara
simultan.

6. Simulasi persamaan model reaktor


Penulisan program simulasi dari persamaan model reaktor dilakukan
menggunakan Matlab 2015b menggunakan perangkat ODE untuk simulasi
satu dimensi dan PDPE untuk simulasi dua dimensi.

40
Alur simulasi satu dimensi dan dua dimensi dijabarkan pada Gambar III.1 dan
Gambar III.2

Gambar III.1 Langkah-langkah simulasi persamaan reaktor satu dimensi

41
Gambar III.2 Langkah-langkah persamaan reaktor dua dimensi

III.2 Sistem Reaksi Kimia

Berbagai trigliserida RPKO pada Tabel II.1 dianggap sebagai satu jenis fluida yang
disingkat sebagai TG. Hidrokarbon yang digunakan pada simulasi ini adalah
hidrokarbon yang berasal dari keluaran reaktor yang telah dipisahkan oleh gas hasil
reaksi dan kemudian didaur ulang ke dalam reaktor. Hidrokarbon dianggap sebagai
satu jenis fluida yang dapat disingkat menjadi HC. Komposisi HC dapat dilihat pada
Tabel III.1 Reaksi HDO satu molekul trigliserida menghasilkan tiga molekul
hidrokarbon seperti ditampilkan pada skema Gambar III.3. Hidrogen masuk reaktor
adalah campuran hidrogen sisa yang tidak di konsumsi oleh reaksi dan hidrogen
segar (make-up). Hidrogen sisa reaksi dianggap telah dipisahkan secara sempurna
dari propana dan air, sehingga fraksi propana dan air dalam aliran fasa gas masuk
reaktor sangat sedikit dan dapat diabaikan. Oleh karena itu, komponen fasa gas
masuk reaktor hanya hidrogen saja.

42
Gambar III.3 Satu mol TG menghasilkan 3 mol HC

Tabel III.1 Komposisi hidrokarbon penyusun HC

Jenis hidrokarbon % Mol


Heksana 0,60
Oktana 4,93
Dekana 2,02
Dodekana 58,89
Tetradekana 14,40
Heksadekana 6,59
Oktadekana 12,54

Reaksi HDO dari RPKO adalah sebagai berikut :

kJ
1 𝑇𝐺 + 12 𝐻2 → 3 𝐻𝐶 + 1 𝐶3 𝐻8 + 6 𝐻2 𝑂 ; 𝐻298 = −356,8 (III.1)
mol
Variasi kondisi operasi yang ingin diteliti pada simulasi ini adalah :

1. 𝑇𝑖𝑛 adalah 573-623 K dengan selisih 10 K.


2. WHSV 0,3-0,6 jam-1 dengan selisih 0,06 jam-1.
3. Rasio HC/TG 3-5,5:1 dengan selisih 0,5 massa/massa.
4. Rasio 𝑄𝑖𝑛 /𝑄𝑞𝑢𝑒𝑛𝑐ℎ 1,5-2,75 dengan selisih 0,05.
5. Tekanan operasi 45-70 bar dengan selisih 5 bar.

Konfigurasi reaktor yang akan disimulasikan dapat dijabarkan pada Gambar III.4.

43
Gambar III.4 Konfigurasi reaktor LCO treater UP VI Balongan dan (---) adalah
ruang lingkup simulasi

Tabel III.2 Spesifikasi design reaktor dan proses


Spesifkasi Reaktor
Panjang unggun ke-1 4650 mm
Panjang unggun ke-2 4650 mm
Jejari 2630 mm
Maksimum temperatur yang di
455 °C
perbolehkan
Maksimum tekanan yang diperbolehkan 84,5 kg/cm2
Spesifikasi Proses
Kapasitas olah 59,9 Ton/jam
Hidrogen tersedia 2,093 x 106 Scf/jam

III.3 Model Kinetika

Laju reaksi yang dipilih untuk mewakili HDO RPKO adalah laju reaksi intrinsik
yang diusulkan oleh Yuwan (2016). Mekanisme HDO metil miristat dianggap sama
dengan mekanisme HDO metil miristat, sehingga persamaan kinetika reaksi Yuwan
dapat digunakan untuk perancangan reaktor. Meskipun reaksi HDO terjadi dalam
beberapa tahapan reaksi, secara keseluruhan reaksi HDO dapat diwakili oleh

44
Persamaan (III.2). Penyelengarran studi kinetika dilakukan pada kondisi hidrogen
yang berlebih terhadap trigliserida, sehingga laju reaksi hanya merupakan fungsi
trigliserida saja.

−134000
𝑟𝐻𝐷𝑂 = 8,6 × 1012 𝑒𝑥𝑝 ( ) × 𝐶𝑇𝐺 (III.2)
𝑅𝑇

III.4 Model Reaktor

Model reaktor tiga fasa dapat dijabarkan menjadi persamaan neraca massa untuk
tiap fasa. Ketiga fasa yang terlibat adalah fasa gas, fasa cair dan fasa padat atau
katalis. Di fasa gas, komponen yang terlibat hanya komponen berfasa gas pada
kondisi reaksi yaitu hidrogen, propana dan air. Komponen fasa cair dianggap tidak
menguap hingga temperatur 658 K. Temperatur 658 K adalah temperatur kritik
dodekana yang merupakan komponen terbesar hidrokarbon di fasa cair.
Perpindahan massa hidrogen dari fasa gas ke fasa cair dianggap sangat cepat
disebabakan besarnya konsentrasi hidrogen di fasa gas, sehingga hidrogen di fasa
gas selalu berkesetimbangan dengan hidrogen dalam fasa cair. Akibat cepatnya
perpindahan massa hidrogen dari fasa gas ke fasa cair laju konsumsi hidrogen di
permukaan katalis sama dengan laju konsumsi hidrogen di fasa gas. Neraca massa
komponen unggun pertama dan kedua dapat dilihat pada Tabel III.3-6 dan Tabel
III.9-12. Sedangkan neraca energi pertama dan kedua dapat dilihat pada Tabel III.7
dan Tabel III.13. Asumsi membangun model reaktor tiga fasa :

1. Hidrogen di fasa gas selalu berkesetimbangan dengan hidrogen di fasa cair.


2. Konstanta Henry hidrogen dalam dodekana dapat mewakili konstanta Henry
hidrogen untuk semua jenis komponen HC.
3. Reaktor disimulasikan dalam keadaan tunak.
4. TG dan HC dianggap non-volatile dan tidak terjadi penguapan di sepanjang
reaktor.
5. Reaksi hanya terjadi di permukaan katalis.

45
III.4.1 Neraca Massa Unggun Ke-1

Tabel III.3 Neraca massa komponen gas di fasa gas


Komponen Neraca Massa Komponen
𝑢𝐺 𝑑𝑃𝐻𝐺2
Hidrogen = −12𝜂𝑟𝐻𝐷𝑂 (𝐶 𝑆 , 𝑇 𝑆 )
𝑅𝑇 𝐺 𝑑𝑧
𝐺
𝑢𝐺 𝑑𝑃𝐶𝐻3 𝐿 𝐺 𝐿
Propana = 𝑘𝐶𝐻 𝑎 (𝐶𝐶𝐻
3 𝐿
− 𝐶𝐶𝐻 )
𝑅𝑇𝐺 𝑑𝑧 3 3

𝐺
𝑢𝐺 𝑑𝑃𝐻2𝑂 𝐿 𝐺 𝐿 )
Air = 𝑘𝐻2𝑂 𝑎𝐿 (𝐶𝐻2𝑂 − 𝐶𝐻2𝑂
𝑅𝑇𝐺 𝑑𝑧

Tabel III.4 Neraca massa komponen gas di fasa cair


Komponen Neraca Massa Komponen
𝐿
𝑑𝐶𝐶𝐻3 𝐿 𝐿 𝐿 𝑆 𝐿 𝑆
Propana 𝑢𝐿 = 𝑘𝐶𝐻 𝑎 (𝐶𝐶𝐻 − 𝐶𝐶𝐻 ) − 𝑘𝐶𝐻 𝑎 (𝐶𝐶𝐻 − 𝐶𝐶𝐻 )
3 𝐿 3 𝑆
𝑑𝑧 3 3 3 3

𝐺
𝑑𝐶𝐻2𝑂 𝐿 𝐺 𝐿 ) 𝑆 𝐿 𝑆 )
Air 𝑢𝐿 = 𝑘𝐻2𝑂 𝑎𝐿 (𝐶𝐻2𝑂 − 𝐶𝐻2𝑂 − 𝑘𝐻2𝑂 𝑎𝑆 (𝐶𝐻2𝑂 − 𝐶𝐻2𝑂
𝑑𝑧

Tabel III.5 Neraca massa komponen cair di fasa cair


Komponen Neraca Massa Komponen
𝐿
𝑑𝐶TG 𝑆 𝐿 𝑆
TG 𝑢𝐿 = −𝑘TG 𝑎𝑆 (𝐶TG − 𝐶TG )
𝑑𝑧
𝐿
𝑑𝐶HC 𝑆 𝐿 𝑆
HC 𝑢𝐿 = −𝑘HC 𝑎𝑆 (𝐶HC − 𝐶HC )
𝑑𝑧

Tabel III.6 Neraca massa komponen di fasa padat


Komponen Neraca Massa Komponen
𝑆 𝐿 𝑆
Propana 𝑘𝐶𝐻 𝑎 (𝐶𝐶𝐻
3 𝑆 3
− 𝐶𝐶𝐻3
) = 1𝑟𝐻𝐷𝑂 (𝐶 𝑆 , 𝑇 𝑆 )

Air 𝑘𝐻𝑆2 𝑂 𝑎𝑆 (𝐶𝐻𝐿2 𝑂 − 𝐶𝐻𝑆2 𝑂 ) = 6𝑟𝐻𝐷𝑂 (𝐶 𝑆 , 𝑇 𝑆 )


𝑆 𝐿 𝑆
TG 𝑘TG 𝑎𝑆 (𝐶TG − 𝐶TG ) = −𝑟𝐻𝐷𝑂 (𝐶 𝑆 , 𝑇 𝑆 )
𝑆 𝐿 𝑆
HC 𝑘HC 𝑎𝑆 (𝐶HC − 𝐶HC ) = 3𝑟𝐻𝐷𝑂 (𝐶 𝑆 , 𝑇 𝑆 )

46
III.4.2 Neraca Energi Unggun Ke-1

Tabel III.7 Neraca energi fasa gas, cair dan permukaan katalis

Fasa Neraca Energi

𝑑𝑇 𝐺
Gas 𝑢𝐺 𝜌𝐺 𝐶𝑝𝐺 = −ℎ𝐺𝐿 𝑎𝐿 (𝑇 𝐺 − 𝑇 𝐿 )
𝑑𝑧
𝑑𝑇 𝐿
Cair 𝑢𝐿 𝜌𝐿 𝐶𝑝𝐿 = ℎ𝐺𝐿 𝑎𝐿 (𝑇 𝐺 − 𝑇 𝐿 ) − ℎ𝐿𝑆 𝑎𝑆 (𝑇 𝐿 − 𝑇 𝑆 )
𝑑𝑧
Permukaan katalis −ℎ𝐿𝑆 𝑎𝑆 (𝑇 𝐿 − 𝑇 𝑆 ) = −𝜂𝑟𝐻𝐷𝑂 (𝐶 𝑆 , 𝑇 𝑆 )(−∆𝐻)

III.4.3 Kondisi Batas Unggun Ke-1

Tabel III.8 Kondisi Batas Unggun Ke-1


Kondisi awal
𝑃𝑖𝐺 = (𝑃𝑖𝐺 )0 Semua komponen gas
Untuk t = 0 , pada z = 0
Semua komponen gas
𝐶𝑖𝐿 = (𝐶𝑖𝐿 )0
dan cair
Semua komponen gas
𝐶𝑖𝑆 = 0
dan cair
𝑇 𝐺 = 𝑇 𝐿 = 𝑇 𝑆 = 𝑇0
𝑃𝑖𝐺 = (𝑃𝑖𝐺 )0 Semua komponen gas

Semua komponen gas


𝐶𝑖𝐿 = (𝐶𝑖𝐿 )0
Pada z = awal unggun ke- dan cair
1
Semua komponen gas
𝐶𝑖𝑆 = 0
dan cair
𝑇 𝐺 = 𝑇 𝐿 = 𝑇 𝑆 = 𝑇0

47
Tabel 8. Kondisi Batas Unggun Ke-1 (Lanjutan)
Kondisi batas
𝑃𝑖𝐺 = (𝑃𝑖𝐺 )0 Semua komponen gas

Semua komponen gas


𝐶𝑖𝐿 = (𝐶𝑖𝐿 )0
dan cair
Untuk t > 0 , pada z = 0
Semua komponen gas
𝐶𝑖𝑆 = 0
dan cair
𝑇 𝐺 = 𝑇 𝐺 0 ; 𝑇 𝐿 = (𝑇 𝐿 )0 ; 𝑇 𝑆 = (𝑇 𝑆 )0
𝑃𝑖𝐺 = (𝑃𝑖𝐺 )L Semua komponen gas

Pada z = akhir unggun 𝑑𝐶𝑖𝐿


=0
ke-1 𝑑𝑧
𝑑𝑇 𝐺 𝑑𝑇 𝐿
= =0
𝑑𝑧 𝑑𝑧
Di mana G = 𝐻2 , 𝐶𝐻3 , 𝐻2 𝑂 ; L = 𝑇𝐺, 𝐻𝐶 ; S = 𝐻2 , 𝐶𝐻3 , 𝐻2 𝑂, 𝑇𝐺, 𝐻𝐶

III.4.4 Neraca Massa Unggun Ke-2

Tabel III.9 Neraca massa komponen gas di fasa gas


Komponen Neraca Massa Komponen
𝑢𝐺 𝑑𝑃𝐻𝐺2
Hidrogen = 𝑘𝐻𝐿 2 𝑎𝐿 (𝐶𝐻𝐺2 − 𝐶𝐻𝐿2 )
𝑅𝑇 𝐺 𝑑𝑧
𝐺
𝑢𝐺 𝑑𝑃𝐶𝐻3 𝐿 𝐺 𝐿
Propana = 𝑘𝐶𝐻 𝑎 (𝐶𝐶𝐻
3 𝐿
− 𝐶𝐶𝐻 )
𝑅𝑇𝐺 𝑑𝑧 3 3

𝐺
𝑢𝐺 𝑑𝑃𝐻2𝑂 𝐿 𝐺 𝐿 )
Air = 𝑘𝐻2𝑂 𝑎𝐿 (𝐶𝐻2𝑂 − 𝐶𝐻2𝑂
𝑅𝑇𝐺 𝑑𝑧

Tabel III.10 Neraca massa komponen gas di fasa cair


Komponen Neraca Massa Komponen
𝐿
𝑑𝐶𝐶𝐻3 𝐿 𝐿 𝐿 𝑆 𝐿 𝑆
Propana 𝑢𝐿 = 𝑘𝐶𝐻 𝑎 (𝐶𝐶𝐻 − 𝐶𝐶𝐻 ) − 𝑘𝐶𝐻 𝑎 (𝐶𝐶𝐻 − 𝐶𝐶𝐻 )
3 𝐿 3 𝑆
𝑑𝑧 3 3 3 3

𝐺
𝑑𝐶𝐻2𝑂 𝐿 𝐺 𝐿 ) 𝑆 𝐿 𝑆 )
Air 𝑢𝐿 = 𝑘𝐻2𝑂 𝑎𝐿 (𝐶𝐻2𝑂 − 𝐶𝐻2𝑂 − 𝑘𝐻2𝑂 𝑎𝑆 (𝐶𝐻2𝑂 − 𝐶𝐻2𝑂
𝑑𝑧

48
Tabel III.11 Neraca massa komponen cair di fasa cair
Komponen Neraca Massa Komponen
𝐿
𝑑𝐶TG 𝑆 𝐿 𝑆
TG 𝑢𝐿 = −𝑘TG 𝑎𝑆 (𝐶TG − 𝐶TG )
𝑑𝑧
𝐿
𝑑𝐶HC 𝑆 𝐿 𝑆
HC 𝑢𝐿 = −𝑘HC 𝑎𝑆 (𝐶HC − 𝐶HC )
𝑑𝑧

Tabel III.12 Neraca massa komponen di fasa padat


Komponen Neraca Massa Komponen
𝑆 𝐿 𝑆
Propana 𝑘𝐶𝐻 𝑎 (𝐶𝐶𝐻
3 𝑆 3
− 𝐶𝐶𝐻3
) = 1𝑟𝐻𝐷𝑂 (𝐶 𝑆 , 𝑇 𝑆 )

Air 𝑘𝐻𝑆2 𝑂 𝑎𝑆 (𝐶𝐻𝐿2 𝑂 − 𝐶𝐻𝑆2 𝑂 ) = 6𝑟𝐻𝐷𝑂 (𝐶 𝑆 , 𝑇 𝑆 )


𝑆 𝐿 𝑆
TG 𝑘TG 𝑎𝑆 (𝐶TG − 𝐶TG ) = −𝑟𝐻𝐷𝑂 (𝐶 𝑆 , 𝑇 𝑆 )
𝑆 𝐿 𝑆
HC 𝑘HC 𝑎𝑆 (𝐶HC − 𝐶HC ) = 3𝑟𝐻𝐷𝑂 (𝐶 𝑆 , 𝑇 𝑆 )

III.4.2 Neraca Energi Unggun Ke-2

Tabel III.13 Neraca energi fasa gas, cair dan permukaan katalis

Fasa Neraca Energi

𝑑𝑇 𝐺
Gas 𝑢𝐺 𝜌𝐺 𝐶𝑝𝐺 = −ℎ𝐺𝐿 𝑎𝐿 (𝑇 𝐺 − 𝑇 𝐿 )
𝑑𝑧
𝑑𝑇 𝐿
Cair 𝑢𝐿 𝜌𝐿 𝐶𝑝𝐿 = ℎ𝐺𝐿 𝑎𝐿 (𝑇 𝐺 − 𝑇 𝐿 ) − ℎ𝐿𝑆 𝑎𝑆 (𝑇 𝐿 − 𝑇 𝑆 )
𝑑𝑧
Permukaan katalis −ℎ𝐿𝑆 𝑎𝑆 (𝑇 𝐿 − 𝑇 𝑆 ) = −𝜂𝑟𝐻𝐷𝑂 (𝐶 𝑆 , 𝑇 𝑆 )(−∆𝐻)

49
III.4.5 Kondisi Batas Unggun Ke-2

Tabel III.14 Kondisi Batas Unggun Ke-2


Kondisi awal

𝑃𝑖𝐺 = (𝑃𝑖𝐺 )0 Semua komponen gas


Untuk t = 0 , pada z = 0
Semua komponen gas
𝐶𝑖𝐿 = (𝐶𝑖𝐿 )0
dan cair
Semua komponen gas
𝐶𝑖𝑆 = 0
dan cair

𝑇 𝐺 = 𝑇 𝐿 = 𝑇 𝑆 = 𝑇0

𝑃𝑖𝐺 = (𝑃𝑖𝐺 )0 Semua komponen gas

Semua komponen gas


𝐶𝑖𝐿 = (𝐶𝑖𝐿 )0
Pada z = awal unggun ke- dan cair
1
Semua komponen gas
𝐶𝑖𝑆 = 0
dan cair

𝑇 𝐺 = 𝑇 𝐿 = 𝑇 𝑆 = 𝑇0
Kondisi batas

𝑃𝑖𝐺 = (𝑃𝑖𝐺 )0 Semua komponen gas

Semua komponen gas


𝐶𝑖𝐿 = (𝐶𝑖𝐿 )0
dan cair
Untuk t > 0 , pada z = 0
Semua komponen gas
𝐶𝑖𝑆 = 0
dan cair

𝑇 𝐺 = 𝑇 𝐺 0 ; 𝑇 𝐿 = (𝑇 𝐿 )0 ; 𝑇 𝑆 = (𝑇 𝑆 )0

𝑃𝑖𝐺 = (𝑃𝑖𝐺 )L Semua komponen gas

Pada z = akhir unggun 𝑑𝐶𝑖𝐿


=0
ke-1 𝑑𝑧
𝑑𝑇 𝐺 𝑑𝑇 𝐿
= =0
𝑑𝑧 𝑑𝑧
Di mana G = 𝐻2 , 𝐶𝐻3 , 𝐻2 𝑂 ; L = 𝑇𝐺, 𝐻𝐶 ; S = 𝐻2 , 𝐶𝐻3 , 𝐻2 𝑂, 𝑇𝐺, 𝐻𝐶

50
III.5 Parameter Fisika-Kimia dan Perpindahan

Tabel III.15 Estimasi Parameter Fisika-Kimia dan Perpindahan


Parameter Sumber Parameter Sumber
Viskositas Panas Pembentukan
Hidrogen NIST Hidrogen Smith dkk. (2005)
Propana Carmichael (1964) Propana Smith dkk. (2005)
Air Pigott (2011) Air Smith dkk. (2005)
Trigliserida Zong dkk., 2010a; Zong dkk., 2010b Trigliserida Zong dkk. (2010)
Hidrokarbon Mehrotra (1991) Hidrokarbon Prosen dan Rossini (1945)
Densitas Gas Konduktivitas Thermal
Hidrogen NIST Hidrogen Poling dkk. (2001)
Propana NIST Propana Poling dkk. (2001)
Air McCutcheon dkk. (1993) Air Poling dkk. (2001)
Kapasitas Panas Campuran gas Lindsay dan Bromley (1950)
Hidrogen Smith dkk. (2005) Trigliserida Poling dkk. (2001)
Propana Smith dkk. (2005) Hidrokarbon Poling dkk. (2001)
Air Smith dkk. (2005) Tekanan Uap
Trigliserida Zong dkk. (2010) Trigliserida Zong dkk. (2010)
Hidrokarbon Ruzicka dan Domalski (1993) Hidrokarbon Růžička dkk. (2007)
Volume Molar Cairan Difusi
Trigliserida Zong dkk. (2010) Gas Poling dkk. (2001)
Hidrokarbon Růžička dkk. (2007) Cair Poling dkk. (2001)
Konstanta Perpindahan Massa Konstanta Perpindahan Energi
Gas ke Cair Goto dan Smith (1975) Gas ke Cair Davis dan David (1964)
Cair ke Padat Korsten dan Hoffmann (1996) Cair ke Padat Carberry (1988)
Konstanta Henry hidrogen dalam Difusi Efektif
Trigliserida Kubička & Tukač (2013) Difusi Efektif Ternan (1987)
Hidrokarbon Trinh dkk. (2016) Dispersi
Massa Gunn (1987)
Panas Froment dkk. (2011)

III.6 Program Simulasi

Program simulasi yang digunakan untuk menyelesaikan persamaan neraca massa


dan energi reaktor unggun tetap adalah Matlab 2015b. Perangkat pada Matlab
2015b yang digunakan untuk mengintegrasikan persamaan diferensial biasa (PDB)

51
pada simulasi satu dimensi adalah ODE. Perangkat yang digunakan untuk
mengintegrasikan persamaan diferensial parsial (PDP) pada simulasi dua dimensi
adalah PDPE. Berbeda dengan simulasi satu dimensi, simulasi dua dimensi
mengharuskan neraca massa dan energi yang sebelumnya merupakan Persamaan
Diferensial Biasa (PDB) diubah menjadi Persamaan Diferensial Parsial (PDP).
Persamaan umum PDPE adalah :

𝜕𝑢 𝜕𝑢 𝜕 𝜕𝑢 𝜕𝑢
𝑐 (𝑥, 𝑡, 𝑢 ) = 𝑥 −𝑚 (𝑥 𝑚 𝑓 (𝑥, 𝑡, 𝑢 )) +s (𝑥, 𝑡, 𝑢 ) (III.3)
𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜕𝑥

𝑃𝑎𝑑𝑎 𝑡 = 𝑡0 𝑢(𝑥, 𝑡0 ) = 𝑢0 (𝑥)

𝜕𝑢
𝑃𝑎𝑑𝑎 𝑡 > 𝑡0 𝑝(𝑥, 𝑡, 𝑢) + 𝑞(𝑥, 𝑡)𝑓 (𝑥, 𝑡, 𝑢 )=0
𝜕𝑥

Di mana 𝑚 adalah parameter yang berkesesuaian dengan geometri masalah. Jika


𝑚 = 0, maka geometri yang berkesesuaian adalah lempeng. Jika 𝑚 = 1, maka
geometri yang berkesesuaian adalah silinder. Jika 𝑚 = 2, maka geometri yang
berkesesuaian adalah bola. 𝑥 adalah jejari unggun, 𝑡 adalah panjang reaktor dan 𝑢
𝜕𝑢
adalah konsentrasi komponen atau temperatur. Suku 𝑓 (𝑥, 𝑡, 𝑢 𝜕𝑥 ) adalah suku yang

mengandung flux massa dan flux panas yang berisi konstanta dispersi radial massa
𝜕𝑢
dan energi. Suku s (𝑥, 𝑡, 𝑢 𝜕𝑥 ) adalah suku sumber yang berisi laju reaksi kimia dan
𝜕𝑢
panas reaksi. Suku 𝑐 (𝑥, 𝑡, 𝑢 𝜕𝑥 ) adalah matrik diagonal yang berisi laju alir linier

dan kapasitas panas, densitas, dispersi radial massa dan energi. Integrasi ODE
membutuhkan nilai awal yaitu konsentrasi dan temperatur mula-mula masuk
reaktor. Integrasi PDPE membutuhkan nilai awal dan nilai batas. Nilai awal di dapat
dari kondisi operasi masuk reaktor. 𝑝 dan 𝑞 adalah suku nilai batas yang merupakan
fungsi konsentrasi dan temperatur. Batasan dalam simulasi PDPE adalah perubahan
konsentrasi dan temperatur di ujung unggun yang dianggap tetap. Nilai batas pada
unggun pertama dan kedua dapat dilihat pada Tabel III.8 dan Tabel III.14.

52
BAB IV Hasil Simulasi dan Pembahasan

IV.7 Unjuk kerja reaktor model satu dimensi

Bagian pertama akan disajikan unjuk kerja reaktor yang diselenggarakan pada satu
kondisi operasi. Bagian kedua dilakukan variasi salah satu parameter kondisi
operasi agar dihasilkan profil pengaruh perubahan parameter kondisi operasi
terhadap unjuk kerja reaktor. Simulasi unjuk kerja reaktor model satu dimensi
menghasilkan profil distribusi massa dan energi di fasa gas, fasa cair dan fasa padat
atau permukaan katalis terhadap panjang reaktor.

IV.7.1 Unjuk kerja reaktor pada satu kondisi operasi

Pengamatan unjuk kerja pada satu kondisi operasi bertujuan untuk mendapatkan
pemahaman mengenai fenomena distribusi massa dan energi yang terjadi pada
𝑆𝑐𝑓 𝐻
reaktor. Kondisi operasi yaitu WHSV 0,3 jam-1, rasio 𝐻2 /TG 5,5x104 𝑏𝑏𝑙 𝑇𝐺2 , 𝑇𝑖𝑛 598

K, rasio HC/TG adalah 4, Tekanan operasi 60 bar, dan rasio 𝑄𝑖𝑛 /𝑄𝑞𝑢𝑒𝑛𝑐ℎ adalah 2.

IV.7.1.1 Profil tekanan parsial hidrogen di fasa gas

Profil tekanan parsial hidrogen di fasa gas ditunjukkan pada Gambar IV.1. Tekanan
parsial hidrogen pada unggun pertama berkurang sebesar 5,12 bar. Tekanan parsial
hidrogen berkurang di sepanjang reaktor akibat konsumsi hidrogen oleh reaksi
kimia. Tekanan parsial hidrogen sebelum masuk unggun kedua meningkat akibat
proses quenching hidrogen (Alvarez dan Ancheyta, 2008). Tekanan parsial
hidrogen pada unggun kedua berkurang sebesar 1,16 bar. Besarnya tekanan parsial
yang berkurang pada unggun pertama dibandingkan unggun kedua disebabkan laju
reaksi yang cepat dan konversi TG yang lebih besar dibandingkan unggun kedua.

53
Gambar IV.1 Profil tekanan parsial hidrogen

IV.7.1.2 Profil hidrogen di fasa cair dan permukaan katalis

Profil konsentrasi hidrogen di fasa cair dan permukaan katalis disajikan pada
Gambar IV.2. Hidrogen sangat melimpah dan laju perpindahan massa hidrogen dari
fasa gas ke fasa cair sangat cepat dibandingkan laju reaksi kimia sehingga
konsentrasi hidrogen di fasa cair selalu berkesetimbangan dengan tekanan parsial
hidrogen. Konsentrasi hidrogen di fasa cair pada awal unggun pertama naik sangat
signifikan. Kenaikkan konsentrasi hidrogen yang signifikan disebabkan kenaikkan
konsentrasi HC dan laju berkurangnya konstanta Henry yang sangat besar
dibandingkan berkurangnya tekanan parsial hidrogen di fasa gas. Berkurangnya
konstanta Henry yang sangat besar disebabkan besarnya kenaikkan temperatur fasa
cair di awal unggun pertama. Konsentrasi hidrogen kemudian mencapai nilai
maksimum ketika laju berkurangnya kelarutan hidrogen di fasa cair sama dengan
kenaikkan konsentrasi HC. Setelah mencapai konsentrasi maksimum, konsentrasi
hidrogen turun akibat kelarutan yang berkurang lebih besar dibandingkan
kenaikkan konsentrasi HC. Pada kolom quenching, temperatur fasa cair turun dan
menyebabkan konstanta Henry naik lebih besar dibandingkan bertambahnya
tekanan parsial hidrogen (Alvarez dan Ancheyta, 2008a). Akibatnya kelarutan
hidrogen di fasa cair turun signifikan. Profil konsentrasi hidrogen di fasa cair

54
menyerupai unggun pertama namun kenaikkan konsentrasi hidrogen pada unggun
kedua tidak sebesar unggun pertama disebabkan kenaikkan konsentrasi HC dan
kenaikkan temperatur fasa cair yang rendah. Konsentrasi hidrogen di permukaan
katalis di sepanjang reaktor lebih rendah dibandingkan konsentrasi hidrogen di fasa
cair. Perbedaan konsentrasi disebabkan adanya tahanan perpindahan massa dari
fasa gas ke permukaan katalis (Satterfield, 1975). Laju reaksi yang besar pada awal
unggun pertama dibandingkan konstanta perpindahan massa hidrogen dari fasa cair
ke permukaan katalis memperbesar selisih konsentrasi hidrogen antara permukaan
katalis dengan fasa cair. Laju perpindahan massa hidrogen yang berkurang di
sepanjang reaktor dan menyebabkan selisih konsentrasi hidrogen antara fasa cair
dan permukaan katalis berkurang di sepanjang reaktor.

Gambar IV.2 Profil konsentrasi hidrogen yang berkesetimbangan dengan fasa cair

IV.7.1.3 Profil propana dan air di fasa gas

Profil konsentrasi propana dan air di fasa gas disajikan pada Gambar IV.3.
Konsentrasi propana dan air dianggap sangat kecil sehingga diabaikan dalam aliran
fasa gas masuk reaktor. Propana dan air adalah produk reaksi. Oleh karena itu,
konsentrasi propana dan air bertambah di sepanjang reaktor. Propana dan air di
terbentuk di permukaan katalis, kemudian berpindah ke fasa cair dan fasa gas.
Propana dan air terakumulasi di fasa gas sehingga konsentrasi propana dan air

55
bertambah pada fasa gas di sepanjang reaktor. Jumlah propana disebabkan jumlah
air yang terproduksi oleh reaksi secara stoikiometri lebih banyak dihasilkan
dibandingkan konstanta perpindahan massa propana. Konstanta perpindahan massa
air dari fasa cair ke fasa gas lebih besar dibandingkan propana. Oleh karena itu,
konsentrasi air di fasa gas selalu lebih tinggi dibandingkan propana. Kenaikkan
tekanan parsial hidrogen akibat quenching mengurangi tekanan parsial propana dan
air di fasa gas dan menambah debit fasa gas. Akibatnya, konsentrasi propana dan
air di kolom quenching turun sebelum masuk unggun kedua. Konsentrasi propana
dan air mengalami kenaikkan di sepanjang unggun kedua. Kenaikkan konsentrasi
propana dan air di fasa gas pada unggun kedua lebih kecil dibandingkan unggun
pertama. Hal ini disebabkan konversi TG yang kecil dan laju reaksi kimia yang
lambat.

Gambar IV.3 Profil konsentrasi propana dan air di fasa gas

IV.7.1.4 Profil propana dan air di fasa cair dan permukaan katalis

Profil konsentrasi propana dan air di fasa cair tersaji pada Gambar IV.5. Besarnya
kenaikkan konsentrasi propana dan air di fasa cair bergantung pada rasio laju
perpindahan massa propana dan air dari fasa cair ke fasa gas terhadap laju reaksi
kimia. Konsentrasi propana dan air mula-mula naik di awal unggun pertama karena
laju reaksi lebih besar dibandingkan konstanta perpindahan massa propana dan air

56
dari fasa cair ke fasa gas. Konsentrasi propana dan air kemudian mencapai nilai
maksimum ketika laju reaksi sama dengan konstanta perpindahan massa dari fasa
cair ke fasa gas. Setelah itu, konsentrasi propana dan air berkurang akibat laju reaksi
kimia melambat lebih cepat dibandingkan laju perpindahan massa dari fasa cair ke
fasa gas (Novaes dkk., 2017).

Pada kolom quenching, konsentrasi propana dan air di fasa cair dan fasa gas
mencapai kesetimbangan uap cair dengan hidrogen quenching. Besarnya
konsentrasi propana dan air di fasa cair dan fasa gas bergantung pada konstanta
kesetimbangan uap cair. Temperatur fasa cair yang turun akibat quenching
memperbesar konstanta kesetimbangan uap cair dan memperlambat laju
perpindahan massa dan air dari fasa cair dan fasa gas. Konstanta kesetimbangan
uap cair propana dan air pada kolom quenching lebih besar dibandingkan unggun
pertama sehingga sebagian besar propana dan air pindah dari fasa cair ke fasa gas.
Konstanta perpindahan massa yang turun akibat quenching lebih rendah dibanding
laju reaksi kimia masuk unggun kedua sehingga menyebabkan kenaikkan
konsentrasi air dan propana pada unggun kedua (Alvarez dan Ancheyta, 2008b).
Konsentrasi propana dan air kemudian turun perlahan hingga ujung unggun kedua
disebabkan laju reaksi yang melambat perlahan dalam jumlah yang kecil
dibandingkan konstanta perpindahan massa dari fasa cair ke fasa gas. Besarnya
konstanta perpindahan massa air dibandingkan propana menyebabkan konsentrasi
air turun lebih besar hingga lebih rendah dibandingkan konsentrasi air masuk
unggun kedua. Konstanta perpindahan massa propana yang kecil menyebabkan
konsentrasi propana turun perlahan namun lebih tinggi dibanding konsentrasi
propana masuk unggun kedua.

57
Gambar IV.4 Profil konsentrasi propana dan air pada fasa cair dan permukaan
katalis

Propana dan air terbentuk pada permukaan katalis kemudian berpindah ke fasa cair
dan fasa gas, sehingga konsentrasi propana dan air di permukaan katalis lebih tinggi
daripada fasa cair dan fasa gas. Perbedaan konsentrasi antara permukaan katalis
dengan fasa cair bergantung pada laju reaksi kimia dan laju perpindahan massa dari
permukaan katalis ke fasa cair (Korsten dan Hoffmann, 1996; Jarullah dkk., 2011).
Pada awal unggun pertama, laju reaksi yang sangat besar dibandingkan konstanta
perpindahan massa dari permukaan katalis ke fasa cair menyebabkan selisih
konsentrasi propana dan air antara fasa cair dan permukaan katalis sangat besar.
Laju difusi air yang lebih besar dibandingkan propana dari permukaan katalis ke
fasa cair menyebabkan laju perpindahan massa air lebih besar dibandingkan
propana. Laju perpindahan massa air yang lebih besar dibandingkan propana
menyebabkan selisih konsentrasi air antara fasa cair dan permukaan katalis lebih
kecil dibandingkan propana. Di sepanjang reaktor, selisih konsentrasi antara
permukaan katalis dan fasa cair berkurang akibat laju reaksi yang semakin
melambat.

58
IV.7.1.5 Profil TG dan HC di fasa cair dan permukaan katalis

Profil TG dan HC di fasa cair disajikan pada Gambar IV.5. Konsentrasi TG


berkurang di sepanjang reaktor akibat terkonsumsi oleh reaksi kimia. Konsentrasi
TG yang besar di unggun pertama dibandingkan unggun kedua menyebabkan laju
reaksi kimia yang cepat dan konversi TG yang besar di unggun pertama dibanding
unggun kedua. HC adalah produk hasil reaksi dan konsentrasinya naik di sepanjang
reaktor. Laju reaksi yang cepat di unggun pertama dibanding unggun kedua
menghasilkan kenaikkan konsentrasi HC yang besar di unggun pertama dibanding
unggun kedua. Penambahan hidrogen melalui proses quenching tidak memberikan
perubahan yang signifikan terhadap konsentrasi TG dan HC di sepanjang reaktor.
Temperatur fasa cair yang berkurang sangat kecil akibat proses quenching
mengurangi densitas fasa cair, memperlambat laju alir linier fasa cair sehingga
meningkatkan konversi TG pada unggun kedua dalam jumlah yang sangat kecil.

Ukuran molekul TG lebih besar dibandingkan molekul HC. Ukuran molekul TG


yang besar menyebabkan TG berdifusi lebih lambat dibandingkan HC. Laju difusi
TG yang lambat menyebabkan laju perpindahan massa TG dari fasa cair ke
permukaan katalis menjadi lambat. Akibatnya, selisih konsentrasi TG antara fasa
cair dengan permukaan katalis menjadi besar (Korsten dan Hoffmann, 1996). HC
yang memiliki molekul lebih kecil dibandingkan TG dan berdifusi lebih cepat
dibandingkan TG. Oleh karena itu, selisih konsentrasi HC antara fasa cair dengan
konsentrasi HC di permukaan katalis tidak signifikan.

59
Gambar IV.5 Profil konsentrasi TG, HC dan konversi

IV.7.1.6 Profil temperatur fasa gas dan fasa cair

Profil temperatur fasa gas dan fasa cair tersaji pada Gambar IV.6. Panas yang
dihasilkan oleh reaksi di permukaan katalis dipindahkan ke fasa cair dan fasa gas.
Panas reaksi yang dipindahkan dari permukaan katalis ke fasa cair bergantung
koefisien perpindahan panas dari fasa padat ke fasa cair. Panas reaksi yang
dipindahkan dari fasa cair ke fasa gas bergantung koefisien perpindahan panas dari
fasa cair ke fasa gas. Oleh karena itu, temperatur di permukaan katalis selalu lebih
besar dibandingkan temperatur fasa cair dan fasa gas. Temperatur fasa cair dan fasa
gas mencapai temperatur yang sama sebelum masuk reaktor yaitu 598 K. Tipikal
reaksi HDO adalah reaksi yang eksoterimis sehingga temperatur pada fasa gas, fasa
cair dan permukaan katalis naik di sepanjang reaktor. Besarnya laju reaksi yang
besar pada unggun pertama menyebabkan panas reaksi yang dilepas pada unggun
pertama sangat besar. Akibatnya, temperatur di permukaan katalis, fasa cair dan
fasa gas naik signifikan pada unggun pertama. Temperatur pada permukaan katalis
mencapai nilai maksimum kemudian turun akibat laju perpindahan panas dari
permukaan katalis ke fasa cair lebih besar dibandingkan panas yang dilepas oleh
reaksi. Sebelum masuk unggun kedua, temperatur fasa cair dan fasa gas berkurang
akibat quenching hidrogen. Hidrogen yang berasal dari aliran quenching masuk
pada temperatur 401 K dan mencapai kesetimbangan pada temperatur yang lebih

60
rendah yaitu 876,5 K. Pada unggun kedua, kenaikkan temperatur fasa cair dan fasa
gas tidak sebesar kenaikkan pada unggun pertama akibat laju reaksi yang lambat.

Gambar IV.6 Profil temperatur fasa gas, fasa cair dan permukaan katalis

IV.7.1.7 Profil laju reaksi

Laju reaksi di sepanjang unggun tersaji pada Gambar IV.7. Laju reaksi pada awal
unggun pertama naik dalam jumlah yang kecil kemudian berkurang secara
signifikan. Kenaikkan laju reaksi di awal unggun disebabkan kenaikkan konstanta
laju reaksi yang lebih besar dibandingkan laju berkurangnya TG di fasa. Kemudian
mencapai titik maksimum saat rasio kenaikkan konstanta laju reaksi sama dengan
pengurangan konsentrasi TG. Setelah itu, laju reaksi melambat akibat pengurangan
konsentrasi TG menjadi lebih dominan cair (Fogler, 2011). Quenching
menyebabkan temperatur fasa cair turun dan laju reaksi melambat. Laju reaksi lebih
lambat di unggun kedua akibat kecilnya konsentrasi TG.

61
Gambar IV.7 Profil laju reaksi

IV.8 Unjuk kerja reaktor pada beberapa variasi kondisi operasi

IV.8.1 Pengaruh 𝑻𝒊𝒏

Konsentrasi hidrogen di fasa cair yang berkesetimbangan dengan hidrogen di fasa


gas bergantung pada konstanta Henry hidrogen dalam dodekana dan tekanan parsial
hidrogen. Kelarutan hidrogen dalam fasa cair sebanding dengan besarnya tekanan
parsial hidrogen. Semakin besar tekanan parsial hidrogen di fasa gas maka semakin
besar pula kelarutan hidrogen dalam fasa cair. Konstanta Henry berbanding terbalik
dengan kelarutan hidrogen dalam fasa cair. Konstanta Henry merupakan fungsi
temperatur dan tekanan uap jenuh. Perubahan konstanta Henry eksponensial
terhadap perubahan temperatur (Trinh dkk., 2016). Semakin tinggi temperatur fasa
cair maka semakin kecil nilai konstanta Henry hidrogen dalam dodekana dalam fasa
cair. Oleh karena itu, meningkatkan kelarutan hidrogen dalam fasa cair dapat
dilakukan dengan cara meningkatkan temperatur fasa cair dan meningkatkan
tekanan parsial hidrogen di fasa gas.

62
IV.8.1.1 Pengaruh 𝑻𝒊𝒏 terhadap tekanan parsial hidrogen

Perubahan tekanan parsial hidrogen di sepanjang reaktor pada tiap variasi 𝑇𝑖𝑛
ditunjukkan oleh Gambar IV.8. Tekanan parsial hidrogen turun semakin besar pada
unggun pertama tetapi semakin kecil pada unggun kedua ketika diselenggarakan
pada 𝑇𝑖𝑛 yang lebih tinggi. 𝑇𝑖𝑛 yang semakin tinggi akan mempercepat laju reaksi
dan memperbesar konversi TG serta konsumsi hidrogen di unggun pertama.
Akibatnya, Tekanan parsial hidrogen keluar unggun pertama semakin rendah jika
𝑇𝑖𝑛 semakin tinggi. Quenching hidrogen menambah tekanan parsial hidrogen
sebelum masuk unggun kedua. Konversi TG yang besar pada unggun pertama
ketika diselenggarakan pada 𝑇𝑖𝑛 yang tinggi menyebabkan konsentrasi TG masuk
dalam jumlah yang kecil pada unggun kedua. Konsentrasi TG kecil masuk unggun
kedua menyebabkan tekanan parsial hidrogen yang berkurang pada unggun kedua
semakin kecil.

Gambar IV.8 Pengaruh 𝑇𝑖𝑛 terhadap tekanan parsial hidrogen

IV.8.1.2 Pengaruh 𝑻𝒊𝒏 terhadap konsentrasi hidrogen di fasa cair

Pengaruh 𝑇𝑖𝑛 terhadap konsentrasi hidrogen di fasa cair ditunjukkan oleh Gambar
IV.9. Konsentrasi hidrogen yang berkesetimbangan dengan fasa cair naik signifikan
di sepanjang unggun pertama untuk semua variasi 𝑇𝑖𝑛 . Kenaikkan konsentrasi
hidrogen dalam fasa cair masuk reaktor paling besar terdapat pada 𝑇𝑖𝑛 623 K

63
disebabkan besarnya konstanta Henry yang berkurang di sepanjang unggun. Pada
𝑇𝑖𝑛 di atas 573 K, profil konsentrasi hidrogen mencapai nilai maksimum kemudian
turun perlahan akibat tekanan parsial hidrogen berkurang lebih besar dibandingkan
bertambahnya konsentrasi HC.

Gambar IV.9 Pengaruh 𝑇𝑖𝑛 terhadap konsentrasi hidrogen di fasa cair

Turunnya temperatur di fasa cair akibat proses quenching meningkatkan nilai


konstanta Henry sehingga mengurangi kelarutan hidrogen di fasa cair sebelum
masuk unggun kedua. Kenaikkan konsentrasi hidrogen pada unggun kedua untuk
semua variasi 𝑇𝑖𝑛 lebih rendah dibandingkan unggun pertama. Kenaikkan
konsentrasi hidrogen pada unggun kedua paling kecil pada 𝑇𝑖𝑛 623 K. Reaksi yang
hampir selesai pada 𝑇𝑖𝑛 623 K menyebabkan kenaikkan konsentrasi semakin kecil.

IV.8.1.3 Pengaruh 𝑻𝒊𝒏 terhadap konsentrasi propana dan air di fasa gas

Pengaruh 𝑇𝑖𝑛 terhadap konsentrasi propana dan air di fasa gas ditunjukkan pada
Gambar IV.10 dan Gambar IV.11. Semakin besar 𝑇𝑖𝑛 maka laju reaksi semakin
cepat dan pembentukan propana serta air semakin besar. Kenaikkan 𝑇𝑖𝑛 juga
mempercepat konstanta laju perpindahan propana dan air dari fasa cair ke fasa gas.
Akibatnya kenaikkan konsentrasi propana dan air naik paling besar pada 𝑇𝑖𝑛 paling

64
tinggi. Konsentrasi propana dan air fasa gas turun akibat bertambahnya tekanan
parsial hidrogen di kolom quenching. Kenaikkan konsentrasi propana dan air di fasa
gas pada unggun kedua semakin kecil ketika 𝑇𝑖𝑛 semakin besar disebabkan konversi
TG yang semakin kecil ketika 𝑇𝑖𝑛 semakin besar, sehingga kenaikkan konsentrasi
propana dan air di sepanjang unggun kedua.

Gambar IV.10 Pengaruh 𝑇𝑖𝑛 terhadap konsentrasi propana di fasa gas

Gambar IV.11 Pengaruh 𝑇𝑖𝑛 terhadap konsentrasi air di fasa gas

65
IV.8.1.4 Pengaruh 𝑻𝒊𝒏 terhadap konsentrasi propana dan air di fasa cair

Pengaruh 𝑇𝑖𝑛 terhadap konsentrasi propana dan air di fasa cair ditunjukkan oleh
Gambar IV.12 dan Gambar IV.13. Konsentrasi propana dan air pada awal unggun
pertama naik hingga mencapai suatu nilai maksimum. Konsentrasi propana dan air
naik lebih cepat pada 𝑇𝑖𝑛 yang lebih tinggi. Semakin tinggi 𝑇𝑖𝑛 maka rasio laju
reaksi kimia tehadap laju perpindahan massa propana dan air dari fasa cair ke fasa
gas semakin besar. Oleh karena itu, konsentrasi maksimum propana dan air di
unggun pertama paling tinggi terjadi pada 𝑇𝑖𝑛 623 K dan terendah 573 K. Kecepatan
propana dan air mencapai nilai maksimum berbeda-beda pada tiap variasi 𝑇𝑖𝑛 .
Semakin tinggi temperatur maka laju reaksi semakin cepat secara eksponensial
sedangkan laju perpindahan massa mengalami kenaikkan yang mendekati pola
linier. Akibatnya, perpotongan antara laju perpindahan massa dan laju reaksi kimia
lebih cepat tercapai.

Gambar IV.12 Pengaruh 𝑇𝑖𝑛 terhadap konsentrasi propana di fasa cair

66
Gambar IV.13 Pengaruh 𝑇𝑖𝑛 terhadap konsentrasi air di fasa cair

Setelah mencapai suatu nilai konsentrasi maksimum, konsentrasi propana dan air
turun hingga akhir unggun pertama. Turunnya konsentrasi terjadi ketika laju reaksi
kimia semakin lambat dibandingkan laju perpindahan massa dari fasa cair ke fasa
gas. Pada 𝑇𝑖𝑛 623 K, laju reaksi mula-mula sangat besar namun melambat lebih
cepat akibat TG yang terkonversi lebih cepat. Di lain pihak, laju perpindahan massa
semakin besar akibat kenaikkan temperatur yang semakin besar di sepanjang
unggun sehingga laju perpindahan massa menjadi lebih dominan dibandingkan laju
reaksi kimia. Laju perpindahan massa yang dominan mempercepat perpindahan
propana dan air dari fasa cair ke fasa gas. Propana dan air di fasa cair mengalami
kesetimbangan pada kolom quenching. Ketika berada dalam keadaan
kesetimbangan, propana dan air cenderung lepas dari fasa cair ke fasa gas pada
semua variasi 𝑇𝑖𝑛 . Semakin tinggi 𝑇𝑖𝑛 konstanta kesetimbangan uap cair propana
dan air semakin besar. Konstanta kesetimbangan uap cair yang semakin besar
menyebabkan semakin banyak propana dan air yang berpindah dari fasa cair ke fasa
gas.

Pada unggun kedua, profil konsentrasi propana dan air menyerupai profil
konsentrasi pada unggun pertama. Pada awal unggun kedua, konsentrasi propana
dan air naik hingga mencapai konsentrasi maksimum kemudian turun secara
perlahan. Laju perpindahan massa dari fasa cair ke fasa gas turun lebih besar akibat

67
quenching. Kenaikkan konsentrasi paling besar terjadi pada 𝑇𝑖𝑛 yang rendah.
Konsentrasi TG yang tinggi masuk unggun kedua terjadi pada 𝑇𝑖𝑛 rendah
mempercepat laju reaksi kimia dan meningkatkan kenaikkan konsentrasi propana
dan air di awal unggun kedua. Pada 𝑇𝑖𝑛 tinggi, laju reaksi sangat lambat akibat
sedikitnya TG masuk unggun kedua sehingga kenaikkan konsentrasi propana dan
air yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan variasi 𝑇𝑖𝑛 lainnya. Semakin tinggi
𝑇𝑖𝑛 , konsentrasi air di ujung unggun kedua cenderung berkurang lebih rendah
dibandingkan konsentrasi air di awal unggun kedua. Sebaliknya, konsentrasi
propana di akhir unggun kedua lebih besar dibanding konsentrasi propana masuk
unggun kedua pada semua variasi 𝑇𝑖𝑛 . Hal ini disebabkan laju perpindahan air yang
lebih besar dari laju perpindahan propana dari fasa cair ke fasa gas.

IV.8.1.5 Pengaruh 𝑻𝒊𝒏 terhadap konsentrasi TG dan HC

Pengaruh 𝑇𝑖𝑛 terhadap konsentrasi TG dan HC di fasa cair disajikan pada Gambar
IV.14 dan Gambar IV.15. Konsentrasi TG masuk reaktor berbeda untuk tiap 𝑇𝑖𝑛 .
Semakin besar 𝑇𝑖𝑛 maka ekspansi volume fasa cair semakin besar. Akibatnya
konsentrasi TG masuk reaktor semakin berkurang. Laju reaksi merupakan fungsi
temperatur dan konsentrasi TG. Semakin tinggi temperatur maka laju reaksi kimia
semakin cepat dan konversi TG semakin besar. Konversi TG maksimum dicapai
pada 𝑇𝑖𝑛 623 K yaitu 99,48% dan konversi terendah pada 573 K yaitu 75,43%.

68
Gambar IV.14 Pengaruh 𝑇𝑖𝑛 terhadap konsentrasi TG dan konversi

Gambar IV.15 Pengaruh 𝑇𝑖𝑛 terhadap konsentrasi HC

Sama halnya dengan konsentrasi TG masuk reaktor, konsentrasi HC masuk reaktor


juga bergantung pada besarnya 𝑇𝑖𝑛 . Semakin besar 𝑇𝑖𝑛 maka ekspansi volume fasa
cair semakin besar dan konsentrasi HC masuk reaktor semakin kecil. Semakin
tinggi 𝑇𝑖𝑛 , laju reaksi semakin cepat sehingga kenaikkan konsentrasi HC di
sepanjang reaktor meningkat tajam. Setelah itu kenaikkan konsentrasi HC menjadi
semakin kecil akibat konsentrasi TG yang semakin kecil di fasa cair.

69
IV.8.1.6 Pengaruh 𝑻𝒊𝒏 terhadap temperatur fasa gas dan fasa cair

Pengaruh 𝑇𝑖𝑛 terhadap konsentrasi temperatur fasa gas dan fasa cair tersaji pada
gambar Gambar IV.16. Pada unggun pertama, semakin tinggi 𝑇𝑖𝑛 maka laju reaksi
kimia semakin cepat dan panas reaksi yang dilepas dari permukaan katalis ke fasa
cair semakin besar. Semakin besar panas reaksi yang dilepas oleh reaksi maka
semakin besar kenaikkan temperatur fasa cair. Kenaikkan laju reaksi eksponensial
terhadap kenaikkan temperatur dan hampir linier terhadap laju perpindahan panas
dari fasa cair ke fasa gas. Akibatnya kenaikkan temperatur fasa cair dan fasa gas
paling besar terjadi pada 𝑇𝑖𝑛 paling tinggi.

Gambar IV.16 Pengaruh 𝑇𝑖𝑛 terhadap temperatur fasa gas dan fasa cair

Pada kolom quenching, temperatur fasa cair dan fasa gas mencapai kesetimbangan
dengan hidrogen yang berasal dari aliran quenching. Selisih temperatur fasa cair
keluaran unggun pertama dengan temperatur kesetimbangan semakin besar jika 𝑇𝑖𝑛
semakin tinggi. Hal ini disebabkan laju alir massa dan kapasitas panas spesifik fasa
cair yang berkurang semakin besar. Profil temperatur pada unggun kedua
bergantung pada konsentrasi TG yang masuk unggun kedua. Temperatur fasa cair
dan fasa gas naik lebih besar pada 𝑇𝑖𝑛 yang rendah. Pada 𝑇𝑖𝑛 rendah, konsentrasi
TG yang besar masuk unggun kedua lebih besar dibandingkan 𝑇𝑖𝑛 yang lebih tinggi.
Konsentrasi TG yang besar mempercepat laju reaksi kimia dan memperbesar

70
jumlah panas yang dilepas oleh reaksi kimia. Sebaliknya pada 𝑇𝑖𝑛 tinggi,
konsentrasi TG masuk unggun kedua sangat kecil akibat telah banyak terkonversi
pada unggun pertama. Konsentrasi TG yang kecil menyebabkan laju reaksi kimia
melambat dan melepas panas reaksi yang kecil di unggun kedua.

Gambar IV.17 Pengaruh 𝑇𝑖𝑛 terhadap kenaikkan temperatur total (ΔT) fasa cair
dan fasa gas

Kenaikkan temperatur total (ΔT) fasa cair dan fasa gas pada berbagai 𝑇𝑖𝑛 tersaji
pada Gambar IV.17. Harga ΔT fasa cair dan fasa gas di unggun pertama naik ketika
𝑇𝑖𝑛 semakin tinggi. Semakin tinggi 𝑇𝑖𝑛 , laju reaksi semakin cepat dan panas yang
dilepas oleh reaksi semakin besar. Sebaliknya, ΔT fasa cair dan fasa gas di unggun
kedua turun ketika 𝑇𝑖𝑛 semakin tinggi akibat laju reaksi yang melambat dan panas
yang dilepas oleh reaksi semakin kecil. ΔT total fasa cair naik dari 𝑇𝑖𝑛 573 K hingga
𝑇𝑖𝑛 603 K, namun turun pada 𝑇𝑖𝑛 613 K hingga 623 K. Pada 𝑇𝑖𝑛 573 K hingga 𝑇𝑖𝑛
603 K, panas reaksi yang dilepas oleh reaksi lebih besar dibandingkan kapasitas
panas fasa cair. Pada 𝑇𝑖𝑛 603 K hingga 623 K, kenaikkan konsentrasi yang HC besar
meningkatkan kapasitas panas fasa cair sehingga mengurangi ΔT total fasa cair. ΔT
total fasa gas semakin besar ketika 𝑇𝑖𝑛 naik. Semakin besar 𝑇𝑖𝑛 maka kapasitas
panas total fasa gas semakin kecil akibat semakin besarnya pengurangan hidrogen
yang merupakan komponen dominan fasa gas. Selain itu, laju perpindahan panas

71
dari fasa cair ke fasa gas semakin besar ketika 𝑇𝑖𝑛 diperbesar. Akibatnya, panas
reaksi semakin banyak dipindahkan dari fasa cair ke fasa gas ketika 𝑇𝑖𝑛 diperbesar.

IV.8.1.7 Pengaruh 𝑻𝒊𝒏 terhadap laju reaksi kimia

Pengaruh 𝑇𝑖𝑛 terhadap laju reaksi kimia tersaji pada Gambar IV.18. Laju reaksi
kimia mula-mula semakin besar ketika 𝑇𝑖𝑛 semakin tinggi. Pada awal unggun
pertama, nilai maksimum laju reaksi semakin tinggi ketika 𝑇𝑖𝑛 semakin tinggi.
Setelah mencapai laju reaksi maksimum, laju reaksi melambat lebih cepat ketika
𝑇𝑖𝑛 semakin tinggi. Ketika 𝑇𝑖𝑛 semakin tinggi, laju pengurangan TG semakin cepat
dibandingkan kenaikkan konstanta laju reaksi. Sebelum masuk unggun kedua, laju
reaksi melambat akibat turunnya temperatur pada proses quenching. Laju reaksi
pada 𝑇𝑖𝑛 yang lebih tinggi melambat lebih cepat dibandingkan 𝑇𝑖𝑛 yang lebih
rendah. Laju reaksi yang berkurang di unggun kedua sangat dipengaruhi oleh
besarnya konsentrasi TG. Konsentrasi TG yang besar pada 𝑇𝑖𝑛 yang lebih rendah
menyebabkan laju reaksi lebih cepat dibandingkan 𝑇𝑖𝑛 yang lebih tinggi.

Gambar IV.18 Pengaruh 𝑇𝑖𝑛 terhadap laju reaksi kimia

72
IV.8.2 Pengaruh WHSV

IV.8.2.1 Pengaruh WHSV terhadap tekanan parsial hidrogen

Pengaruh WHSV terhadap parsial hidrogen ditunjukkan oleh Gambar IV.19.


Tekanan parsial hidrogen berkurang semakin besar ketika WHSV semakin kecil.
Semakin kecil WHSV menyebabkan waktu tinggal fasa cair dalam reaktor dan
konversi TG semakin besar. Besarnya konversi TG diikuti oleh besarnya konversi
hidrogen. Besarnya konversi hidrogen ditandai oleh besarnya tekanan parsial
hidrogen. Konsentrasi hidrogen naik sebelum masuk unggun kedua akibat
quenching hidrogen. Tekanan parsial hidrogen pada unggun kedua berkurang
paling sedikit pada WHSV paling tinggi. Cepatnya laju alir linier pada WHSV yang
tinggi menyebabkan konversi TG dan konversi hidrogen semakin kecil.

Gambar IV.19 Pengaruh WHSV terhadap parsial hidrogen

IV.8.2.2 Pengaruh WHSV terhadap konsentrasi hidrogen di fasa cair

Pengaruh WHSV terhadap konsentrasi hidrogen di fasa cair dapat dilihat pada
Gambar IV.21. 𝑇𝑖𝑛 , konsentrasi HC dan TG mula-mula masuk reaktor dalam jumlah
yang sama untuk tiap variasi WHSV sehingga kelarutan hidrogen masuk reaktor
yang sama pada tiap variasi WHSV. Konsentrasi hidrogen di fasa cair sangat
sensitif terhadap perubahan konsentrasi HC di fasa cair. Pada WHSV yang semakin

73
rendah, konversi TG dan kenaikkan konsentrasi HC semakin besar. Selain itu,
temperatur fasa cair yang naik lebih besar pada WHSV rendah akan mengurangi
konstanta Henry hidrogen dalam HC. Akibatnya konsentrasi hidrogen dalam fasa
cair semakin besar.

Gambar IV.20 Pengaruh WHSV terhadap konsentrasi hidrogen di fasa cair

Berkurangnya temperatur fasa cair akibat quenching hidrogen meningkatkan


konstanta Henry secara eksponensial dibandingkan bertambahnya tekanan parsial
hidrogen di fasa gas. Akibatnya, kelarutan hidrogen di fasa cair berkurang. Pada
WHSV yang tinggi, konversi TG dan kenaikkan konsentrasi HC sangat kecil.
Kenaikkan konsentrasi HC yang lebih rendah dibandingkan berkurangnya tekanan
parsial hidrogen menyebabkan kelarutan hidrogen turun disepanjang unggun kedua.

IV.8.2.3 Pengaruh WHSV terhadap konsentrasi propana dan air di fasa gas

Pengaruh WHSV terhadap konsentrasi propana dan air di fasa gas tersaji pada
Gambar IV.22 dan Gambar IV.23. Konsentrasi propana dan air di fasa gas naik
dalam kurva yang berhimpit untuk tiap variasi WHSV. Kurva yang berhimpit
disebabkan cepatnya laju alir fasa cair. Laju alir fasa cair yang cepat menyebabkan
laju perpindahan massa dari fasa cair ke fasa gas menjadi sangat kecil. Pada awal
unggun pertama, kurva konsentrasi propana dan air pada WHSV rendah naik lebih

74
tinggi kemudian turun sehingga konsentrasi propana dan air pada ujung unggun
lebih rendah dibanding WHSV yang tinggi. Sebaliknya pada WHSV tinggi,
konsentrasi propana dan air naik lebih lambat akibat cepatnya laju alir fasa cair,
kemudian naik sehingga di ujung unggun konsentrasinya lebih tinggi dibandingkan
WHSV rendah. Konsentrasi propana dan air pada kolom quenching turun lebih
besar pada WHSV yang tinggi. Pada WHSV yang tinggi, tekanan fasa gas
berkurang sangat kecil. Pertambahan tekanan parsial hidrogen pada kolom
quenching menyebabkan konsentrasi propana dan air turun sangat signifikan.
Kenaikkan konsentrasi propana dan air di unggun kedua paling besar terjadi pada
WHSV yang tinggi akibat besarnya konversi TG.

Gambar IV.21 Pengaruh WHSV terhadap konsentrasi propana di fasa gas

75
Gambar IV.22 Pengaruh WHSV terhadap konsentrasi air di fasa gas

IV.8.2.4 Pengaruh WHSV terhadap konsentrasi propana dan air di fasa cair

Pengaruh WHSV terhadap konsentrasi propana dan air di fasa cair ditunjukkan pada
Gambar 23 dan Gambar IV.24. Konsentrasi propana dan air di awal unggun naik
signifikan pada WHSV paling rendah. Ketika WHSV semakin rendah, konversi TG
dan produksi propana dan air semakin besar. Konversi TG yang besar juga
menyebabkan panas yang dilepas oleh reaksi semakin besar. Besarnya panas yang
dilepas reaksi menyebabkan besarnya kenaikkan rasio antara perpindahan fasa cair
ke fasa gas terhadap laju reaksi kimia lebih besar, sehingga konsentrasi maksimum
yang dapat dicapai propana dan air lebih tinggi dan lebih cepat tercapai.

Setelah mencapai konsentrasi maksimum, konsentrasi propana dan air turun hingga
akhir unggun pertama. Konsentrasi propana dan air berkurang lebih cepat pada
WHSV rendah akibat laju reaksi yang melambat lebih cepat dibandingkan laju
perpindahan massa dari fasa cair ke fasa gas. Temperatur kesetimbangan yang
rendah di kolom quenching pada WHSV yang tinggi menghasilkan konstanta
kesetimbangan uap cair yang besar. Konstanta uap cair yang besar meningkatkan
perpindahan propana dan air dari fasa cair ke fasa gas. Akibatnya konsentrasi
propana dan air turun lebih besar. Pada unggun kedua, profil kenaikkan konsentrasi
propana dan air menyerupai unggun pertama namun lebih rendah pada WHSV yang

76
rendah. Kenaikkan konsentrasi propana dan air paling besar pada WHSV 0,3 jam-1
akibat cepatnya kau reaksi dan besarnya konversi TG.

Gambar IV.23 Pengaruh WHSV terhadap konsentrasi propana di fasa cair

Gambar IV.24 Pengaruh WHSV terhadap konsentrasi air di fasa cair

IV.8.2.5 Pengaruh WHSV terhadap konsentrasi TG dan HC

Pengaruh WHSV terhadap konsentrasi TG dan HC dapat dilihat pada Gambar


IV.25 dan Gambar IV.26. Konsentrasi TG masuk unggun dalam konsentrasi yang
sama. Konsentrasi TG yang terkonversi di sepanjang reaktor berbeda-beda untuk
tiap variasi WHSV. Pada WHSV yang rendah, waktu tinggal fasa cair dalam
unggun menjadi lebih lama. Waktu tinggal fasa cair yang lebih lama akan

77
meningkatkan waktu kontak TG dengan permukaan katalis. Semakin lama waktu
kontak TG dengan permukaan katalis akan meningkatkan konversi TG dan
produksi HC.

Gambar IV.25 Pengaruh WHSV terhadap konsentrasi dan konversi TG

Gambar IV.26 Pengaruh WHSV terhadap konsentrasi HC

IV.8.2.6 Pengaruh WHSV terhadap temperatur fasa gas dan fasa cair

Pengaruh WHSV terhadap temperatur fasa gas dan fasa cair disajikan pada Gambar
IV.27 dan Gambar IV.28. Pada WHSV rendah, laju alir molar masuk reaktor dalam
jumlah yang kecil. Waktu tinggal fasa cair yang lama dalam unggun meningkatkan

78
konversi TG dan panas yang dilepas oleh reaksi. Besarnya panas yang dilepas oleh
reaksi meningkatkan kenaikkan temperatur di sepanjang reaktor. WHSV yang
rendah menyebabkan perpindahan panas dari fasa cair ke fasa gas semakin besar,
sehingga kenaikkan temperatur fasa cair naik lebih cepat. Pada WHSV yang rendah,
temperatur fasa cair dan fasa gas yang rendah diakhir unggun pertama
menghasilkan temperatur kesetimbangan yang lebih rendah. Kenaikkan temperatur
pada unggun kedua lebih rendah pada WHSV yang rendah akibat kecilnya konversi
TG dan panas yang dilepas oleh reaksi.

Gambar IV.27 Pengaruh WHSV terhadap temperatur fasa gas dan fasa cair

Gambar IV.28 Pengaruh WHSV terhadap ΔT fasa cair dan fasa gas

79
IV.8.2.7 Pengaruh WHSV terhadap laju reaksi kimia

Pengaruh WHSV terhadap laju reaksi kimia dapat dilihat pada Gambar IV.29.
Semakin tinggi WHSV maka laju reaksi turun perlahan di sepanjang reaktor. Pada
awal unggun pertama kenaikkan konstanta laju reaksi lebih besar dibandingkan
pengurangan konsentrasi TG pada semua variasi WHSV sehingga laju reaksi
mengalami kenaikkan di awal unggun pertama. Kecepatan untuk mencapai laju
reaksi maksimum berbeda-beda pada tiap variasi WHSV. Semakin besar WHSV,
kenaikkan temperatur fasa cair semakin kecil dan penurunan konsentrasi TG
semakin lambat sehingga kenaikkan laju reaksi semakin besar. Semakin tinggi
WHSV, maka laju reaksi maksimum semakin meningkat namun dalam jumlah yang
sangat kecil. Di sepanjang reaktor, laju reaksi berkurang akibat berkurangnya
konsentrasi TG. Laju reaksi berkurang semakin besar pada WHSV yang kecil
akibat akibat besarnya konversi TG. Sedangkan pada WHSV yang tinggi, laju
reaksi berkurang secara perlahan akibat konversi TG yang berkurang sangat kecil
di sepanjang reaktor.

Gambar IV.29 Pengaruh WHSV terhadap laju reaksi

80
IV.8.3 Pengaruh rasio HC/TG

IV.8.3.1 Pengaruh rasio HC/TG terhadap tekanan parsial hidrogen

Pengaruh rasio HC/TG terhadap tekanan parsial hidrogen dapat dilihat pada
Gambar IV.30. Penurunan tekanan parsial hidrogen di fasa gas semakin besar ketika
rasio HC/TG semakin rendah. Semakin rendah rasio HC/TG maka konsentrasi TG
dalam fasa cair semakin besar dan laju reaksi kimia semakin cepat. Laju reaksi
kimia yang cepat memperbesar konsumsi tekanan parsial hidrogen di fasa gas.
Tekanan parsial hidrogen yang berkurang pada unggun unggun kedua menyerupai
tekanan parsial hidrogen di unggun pertama. Tekanan parsial hidrogen berkurang
paling kecil pada rasio HC/TG yang tinggi akibat kecilnya konsentrasi TG di fasa
cair dan lambatnya laju reaksi kimia.

Gambar IV.30 Pengaruh rasio HC/TG terhadap tekanan parsial hidrogen

IV.8.3.2 Pengaruh rasio HC/TG terhadap konsentrasi hidrogen di fasa cair

Pengaruh rasio HC/TG terhadap konsentrasi hidrogen di fasa cair tersaji pada
Gambar IV.31. Semakin kecil rasio HC/TG, kenaikkan hidrogen di fasa cair
semakin besar. Kenaikkan konsentrasi hidrogen di awal unggun pertama sangat
dipengaruhi oleh bertambahnya konsentrasi HC di fasa cair. Pada rasio HC/TG
yang rendah, kenaikkan konsentrasi HC semakin besar. Konsentrasi hidrogen di

81
fasa cair kemudian mencapai puncak ketika laju berkurangnya tekanan parsial
hidrogen di fasa gas sama dengan laju bertambahnya HC di fasa cair. Konsentrasi
hidrogen kemudian turun hingga ujung unggun pertama akibat tekanan parsial
hidrogen yang turun lebih besar dibandingkan kenaikkan konsentrasi HC. Pada
unggun kedua, kenaikkan konsentrasi hidrogen di fasa cair naik dalam jumlah yang
kecil. Kenaikkan konsentrasi hidrogen di unggun kedua semakin kecil ketika rasio
HC/TG semakin kecil akibat tekanan parsial hidrogen yang berkurang lebih besar
dibandingkan kenaikkan konsentrasi HC.

Gambar IV.31 Pengaruh rasio HC/TG terhadap konsentrasi hidrogen di fasa cair

IV.8.3.3 Pengaruh rasio HC/TG terhadap konsentrasi propana dan air di


fasa gas

Pengaruh rasio HC/TG terhadap konsentrasi propana dan air di fasa gas dapat
dilihat pada Gambar IV.32 dan Gambar IV.33. Konsentrasi propana dan air di fasa
gas naik lebih besar pada rasio HC/TG yang rendah. Semakin rendah rasio HC/TG
masuk reaktor maka konsentrasi TG semakin besar dan laju reaksi kimia semakin
cepat sehingga produksi propana dan air semakin besar. Konsentrasi propana dan
air di fasa gas turun lebih besar pada rasio HC/TG yang rendah di kolom quenching.
Konsentrasi propana dan air yang besar di fasa gas pada rasio HC/TG yang rendah
meningkatkan total volume gas di kolom quenching sehingga mengurangi
konsentrasi propana dan air di fasa gas dalam jumlah yang lebih besar. Pada unggun

82
kedua konsentrasi TG lebih kecil dan laju reaksi kimia lebih lambat pada rasio
HC/TG yang tinggi sehinga kenaikkan konsentrasi propana dan air menjadi rendah.

Gambar IV.32 Pengaruh rasio HC/TG terhadap konsentrasi propana di fasa gas

Gambar IV.33 Pengaruh rasio HC/TG terhadap konsentrasi air di fasa gas

IV.8.3.4 Pengaruh rasio HC/TG terhadap konsentrasi propana dan air di


fasa cair

Pengaruh rasio HC/TG terhadap konsentrasi propana dan air di fasa cair dapat
dilihat pada Gambar IV.34 dan Gambar IV.35. Konsentrasi propana dan air naik

83
lebih besar ketika rasio HC/TG semakin rendah. Konsentrasi TG yang besar dan
laju reaksi kimia yang cepat pada rasio HC/TG yang rendah menghasilkan
kenaikkan konsentrasi propana dan air yang besar di sepanjang reaktor. Propana
dan air di fasa cair mencapai konsentrasi maksimum pada panjang unggun yang
sama. Laju perpindahan propana dan air serta laju reaksi kimia sangat dipengaruhi
oleh kenaikkan konsentrasi TG dibandingkan kenaikkan temperatur. Semakin besar
konsentrasi TG maka laju reaksi kimia dan panas yang dilepas oleh reaksi kimia
semakin besar. Semakin besar panas yang dilepas oleh reaksi akan meningkatkan
kenaikkan temperatur fasa cair sehingga laju perpindahan massa dari fasa cair ke
fasa gas semakin besar. Oleh karena itu, konsentrasi propana dan air mencapai nilai
maksimum yang berbeda-beda namun mencapai nilai maksimum dengan kecepatan
yang hampir sama.

Gambar IV.34 Pengaruh rasio HC/TG terhadap konsentrasi propana di fasa cair

Sebelum masuk unggun kedua, konsentrasi propana dan air di fasa cair berkurang
akibat sejumlah propana dan air berpindah ke fasa gas akibat proses quenching.
Profil kenaikkan konsentrasi propana dan air di unggun kedua menyerupai unggun
pertama. kenaikkan konsentrasi propana dan air di unggun kedua tidak sebesar
unggun pertama akibat laju reaksi yang kecil. Konsentrasi propana dan air pada
unggun kedua mula-mula naik di awal unggun akibat rasio laju reaksi kimia yang
lebih dominan dibandingkan laju perpindahan massa dari fasa cair ke fasa gas. Laju

84
perpindahan massa dari fasa cair ke fasa gas semakin besar diikuti cepatnya laju
reaksi kimia ketika rasio HC/TG semakin kecil sehingga kecepatan propana dan air
untuk mencapai konsentrasi maksimum sama untuk tiap variasi rasio HC/TG.

Gambar IV.35 Pengaruh rasio HC/TG terhadap konsentrasi air di fasa cair

IV.8.3.5 Pengaruh rasio HC/TG terhadap konsentrasi TG dan HC

Pengaruh rasio HC/TG terhadap konsentrasi TG dan HC tersaji pada Gambar IV.36
dan Gambar IV.37. Pada rasio HC/TG yang rendah, konsentrasi TG mula-mula
dalam fasa cair semakin besar dan konsentrasi HC mula-mula semakin berkurang.
Semakin besar konsentrasi TG maka laju reaksi kimia semakin besar dan melambat
ketika konsentrasi TG semakin berkurang. Oleh karena itu, konversi TG untuk tiap
rasio HC/TG tidak jauh berbeda. Konversi TG paling besar terjadi pada rasio
HC/TG yang rendah. Perbedaan terjadi akibat perbedaan panas reaksi yang dilepas
oleh reaksi. Rasio HC/TG yang rendah menyebabkan panas yang dilepas oleh
reaksi semakin besar. Semakin besar panas yang dilepas oleh reaksi akan semakin
meningkatkan temperatur, mempercepat laju reaksi dan meningkatkan konversi
TG.

85
Gambar IV.36 Pengaruh rasio HC/TG terhadap konsentrasi TG dan konversi

Sama seperti profil konsentrasi TG, konsentrasi HC masuk reaktor berbeda-beda


pada tiap variasi HC/TG. Semakin besar rasio HC/TG maka semakin besar
konsentrasi HC mula-mula masuk reaktor. Kenaikkan konsentrasi HC di fasa cair
bergantung pada konsentrasi TG masuk reaktor dan konversi TG. Besarnya
konversi TG di fasa cair pada rasio HC/TG yang rendah menghasilkan kenaikkan
konsentrasi HC yang besar dibandingkan rasio HC/TG yang tinggi.

Gambar IV.37 Pengaruh rasio HC/TG terhadap konsentrasi HC di fasa cair

86
IV.8.3.6 Pengaruh rasio HC/TG terhadap temperatur fasa gas dan fasa cair

Pengaruh rasio HC/TG terhadap temperatur fasa gas dan fasa cair serta ΔT total
tersaji pada Gambar IV.38 dan Gambar IV.39. Temperatur fasa cair masuk reaktor
pada temperatur yang sama. Semakin rendah rasio HC/TG maka semakin besar
konsentrasi TG dalam fasa cair dan semakin besar pula laju reaksi kimia. Laju
reaksi kimia yang besar akan melepaskan panas reaksi yang besar dan
meningkatkan kenaikkan temperatur fasa cair dan fasa gas di sepanjang reaktor.
Pada rasio HC/TG yang besar, konduktivitas termal fasa cair dan konstanta
perpindahan panas dari fasa cair ke fasa gas semakin besar. Akibatnya, pada rasio
HC/TG yang tinggi selisih temperatur fasa cair dengan fasa gas di sepanjang
unggun lebih kecil dibandingkan rasio HC/TG yang rendah. Profil temperatur fasa
gas dan fasa cair pada unggun kedua tidak sebesar unggun pertama. Pada unggun
kedua, konsentrasi TG masuk reaktor semakin besar pada rasio HC/TG yang rendah
sehingga panas yang dilepas oleh reaksi pada unggun kedua semakin besar. Panas
reaksi yang besar menghasilkan kenaikkan temperatur yang tinggi.

Gambar IV.38 Pengaruh rasio HC/TG terhadap temperatur fasa gas dan fasa cair

87
Gambar IV.39 Pengaruh rasio HC/TG terhadap ΔT fasa cair dan fasa gas

IV.8.3.7 Pengaruh rasio HC/TG terhadap laju reaksi kimia

Pengaruh rasio HC/TG terhadap laju reaksi kimia tersaji pada Gambar IV.40.
Semakin besar rasio HC/TG maka konsentrasi TG masuk reaktor semakin kecil dan
laju reaksi mula-mula semakin lambat. Di awal unggun pertama, laju reaksi naik
semakin besar ketika rasio HC/TG semakin kecil. Kenaikkan laju reaksi semakin
besar akibat kenaikkan konstanta laju reaksi yang semakin besar dibandingkan laju
pengurangan konsentrasi TG. Kemudian, laju reaksi melambat lebih cepat pada
rasio HC/TG yang rendah akibat cepatnya konsentrasi TG yang berkurang di fasa
cair. Oleh karena itu, pada ujung reaktor konversi yang dapat dicapai pada tiap rasio
HC/TG tidak jauh berbeda.

88
Gambar IV.40 Pengaruh rasio HC/TG terhadap laju reaksi kimia

IV.8.4 Pengaruh rasio rasio Qin/Qquench

IV.8.4.1 Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap tekanan parasial hidrogen

Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap tekanan parasial hidrogen tersaji pada


Gambar IV.42. Semakin tinggi rasio Qin/Qquench maka laju alir linier dan laju alir
molar hidrogen di fasa gas semakin besar di unggun pertama. Konsumsi hidrogen
dalam jumlah yang hampir sama untuk tiap variasi rasio Qin/Qquench. Akibatnya,
tekanan parsial hidrogen di unggun pertama berkurang semakin rendah ketika
variasi rasio Qin/Qquench semakin besar. Pada unggun kedua, kecilnya tekanan
parsial hidrogen yang berkurang untuk rasio Qin/Qquench tinggi disebabkan oleh
laju alir fasa gas dan laju alir molar hidrogen yang cepat masuk unggun kedua. Oleh
karena itu, pengurangan tekanan parsial akibat terkonsumsi oleh reaksi makin kecil.

89
Gambar IV.41 Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap tekanan parasial hidrogen

IV.8.4.2 Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap konsentrasi hidrogen di fasa


cair

Gambar IV.42 Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap konsentrasi hidrogen di fasa


cair

Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap konsentrasi hidrogen di fasa cair dapat


dilihat pada Gambar IV.42. Tekanan parsial hidrogen yang berkurang sangat besar
pada rasio Qin/Qquench yang rendah menyababkan konsentrasi hidrogen yang

90
berkesetimbangan dengan fasa cair lebih rendah dibanding rasio Qin/Qquench yang
tinggi. Konsentrasi hidrogen mula-mula naik kemudian turun akibat kelarutan
hidrogen yang turun lebih besar dibandingkan kenaikkan konsentrasi HC. Turunnya
temperatur fasa cair pada kolom quenching memperbesar nilai konstanta Henry dan
menurunkan kelarutan hidrogen di fasa cair. Kenaikkan konsentrasi hidrogen paling
besar di unggun kedua terjadi pada rasio Qin/Qquench yang rendah. Temperatur
fasa cair yang lebih tinggi pada rasio Qin/Qquench yang rendah menghasilkan
konstanta Henry yang rendah dan meningkatkan kenaikkan konsentrasi hidrogen di
fasa cair.

IV.8.4.3 Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap konsentrasi propana dan air


di fasa gas

Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap konsentrasi propana dan air di fasa gas dapat
dilihat pada Gambar IV.43 dan Gambar IV.44. Jika rasio Qin/Qquench semakin
rendah, laju alir linier fasa gas pada unggun pertama semakin lambat. Lambatnya
laju alir fasa gas mempercepat laju perpindahan massa dari fasa cair ke fasa gas
sehingga memperbesar kenaikkan konsentrasi propana dan air di fasa gas. Pada
rasio Qin/Qquench rendah, debit hidrogen quenching masuk kolom quenching
semakin besar. Debit hidrogen quenching yang semakin besar akan mengurangi
konsentrasi propana dan air di fasa gas semakin besar di kolom quenching.
Besarnya debit fasa gas pada unggun kedua menyebabkan kenaikkan konsentrasi
propana dan air yang sama pada tiap rasio Qin/Qquench.

91
Gambar IV.43 Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap konsentrasi propana di fasa
gas

Gambar IV.44 Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap konsentrasi air di fasa gas

IV.8.4.4 Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap konsentrasi propana dan air


di fasa cair

Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap konsentrasi propana dan air tersaji pada
Gambar IV.45 dan Gambar IV.46. Perbedaan konsentrasi propana dan air di fasa
cair akibat variasi rasio Qin/Qquench tidak signifikan. Perbedaan sangat kecil
terjadi pada penurunan konsentrasi propana dan air setelah mencapai konsentrasi

92
maksimum akibat laju reaksi yang melambat lebih cepat dibandingkan laju
perpindahan massa dari fasa cair ke fasa gas. Pada unggun kedua, konsentrasi
propana dan air hampir sama untuk semua variasi rasio Qin/Qquench disebabkan
selisih kenaikkan temperatur dan laju reaksi yang sangat kecil.

Gambar IV.45 Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap konsentrasi propana di fasa


cair

Gambar IV.46 Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap konsentrasi air di fasa cair

93
IV.8.4.5 Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap kosentrasi TG dan HC

Gambar IV.47 Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap konsentrasi TG dan


konversi

Gambar IV.48 Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap konsentrasi HC di fasa cair

Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap konsentrasi TG dan HC terlihat pada


Gambar IV.47 dan Gambar IV.48. Pengaruh rasio Qin/Qquench tidak signifikan
terhadap konversi TG dan kenaikkan konsentrasi HC. Kecepatan laju reaksi yang
hampir sama untuk tiap variasi rasio Qin/Qquench menyebabkan konversi TG dan
kenaikkan konsentrasi HC tidak jauh berbeda untuk tiap variasi rasio Qin/Qquench.

94
IV.8.4.6 Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap temperatur fasa gas dan fasa
cair

Gambar IV.49 Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap temperatur fasa gas dan fasa
cair

Gambar IV.50 Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap ΔT fasa cair dan fasa gas

Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap kenaikkan temperatur fasa cair dan fasa gas
dan ΔT total pada berbagai variasi rasio Qin/Qquench tersaji pada Gambar IV.49
dan Gambar IV.50. Temperatur fasa cair dan fasa gas mengalami kenaikkan lebih
besar pada rasio Qin/Qquench rendah. Ketika rasio Qin/Qquench berkurang maka
konstanta perpindahan panas dari fasa cair ke fasa gas semakin berkurang.

95
Akibatnya, kenaikkan temperatur fasa cair dan fasa gas semakin besar. Besarnya
debit hidrogen quenching masuk kolom quench pada rasio Qin/Qquench yang
rendah menyebabkan temperatur fasa cair turun semakin besar untuk mencapai
temperatur kesetimbangan. Pada unggun kedua, kenaikkan temperatur fasa cair dan
fasa gas tidak signifikan untuk semua variasi rasio Qin/Qquench. Pada unggun
kedua, laju alir fasa gas semakin besar sedangkan jumlah panas yang dihasilkan
oleh reaksi tetap. Oleh karena itu, kenaikkan temperatur fasa gas dan fasa cair
hampir sama untuk semua variasi rasio Qin/Qquench.

IV.8.4.7 Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap laju reaksi kimia

Gambar IV.51 Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap laju reaksi

Pengaruh rasio Qin/Qquench terhadap laju reaksi tersaji pada Gambar IV.51.
Perbedaan laju reaksi pada berbagai variasi rasio Qin/Qquench tidak signifikan.
Perbedaan laju reaksi disebabkan kenaikkan temperatur fasa cair yang berbeda-
beda. Pada rasio Qin/Qquench yang rendah temperatur fasa cair naik lebih tinggi
dan mempercepat kenaikkan laju reaksi. Besarnya Qquenching masuk kolom
quenching pada rasio Qin/Qquench yang rendah menyebabkan temperatur fasa cair
turun lebih besar dan laju reaksi melambat lebih cepat. Perbedaan laju reaksi pada
unggun kedua tidak signifikan akibat konsentrasi TG yang sama masuk reaktor
pada tiap rasio Qin/Qquench.

96
IV.8.5 Pengaruh tekanan operasi

IV.8.5.1 Pengaruh tekanan operasi terhadap tekanan parsial hidrogen

Pengaruh tekanan operasi terhadap tekanan parsial hidrogen tersaji pada Gambar
IV.52. Komponen fasa gas masuk reaktor hanya hidrogen dan tekanan parsial
hidrogen mula-mula sama dengan tekanan operasi reaktor. Tekanan parsial
hidrogen berkurang lebih besar pada tekanan operasi yang tinggi. Semakin besar
tekanan operasi reaktor maka debit aktual fasa gas semakin lambat. Debit fasa gas
yang lambat menyababkan konversi hidrogen dan penurunan tekanan parsial
hidrogen semakin besar.

Gambar IV.52 Pengaruh tekanan operasi terhadap tekanan parsial hidrogen

IV.8.5.2 Pengaruh tekanan operasi terhadap konsentrasi hidrogen di fasa


cair

Pengaruh tekanan operasi terhadap konsentrasi hidrogen di fasa cair tersaji pada
Gambar IV.53. Semakin besar tekanan operasi reaktor maka semakin besar tekanan
parsial dan konsentrasi hidrogen mula-mula di fasa cair. Pada tekanan operasi yang
tinggi temperatur fasa cair naik lebih tinggi sehingga menyebabkan konstanta
Henry turun lebih besar. Akibatnya, kenaikkan konsentrasi hidrogen di fasa cair

97
naik lebih besar. Konsentrasi hidrogen turun paling besar di kolom quenching pada
tekanan operasi yang tinggi akibat besarnya temperatur fasa cair yang turun di
kolom quenching. Pada unggun kedua, konsentrasi hidrogen di fasa cair naik dalam
jumlah yang sedikit. Pada tekanan operasi yang tinggi, kenaikkan temperatur fasa
cair sangat kecil dan kenaikkan konsentrasi HC sangat kecil akibat laju reaksi yang
melambat. Oleh karena itu, penurunan konstanta Henry dan kenaikkan konsentrasi
hidrogen menjadi sangat kecil.

Gambar IV.53 Pengaruh tekanan operasi terhadap konsentrasi hidrogen di fasa


cair

IV.8.5.3 Pengaruh tekanan operasi terhadap konsentrasi propana dan air di


fasa gas

Pengaruh tekanan operasi terhadap konsentrasi propana dan air di fasa gas tersaji
pada Gambar IV.54 dan Gambar IV.55. Tekanan operasi yang tinggi menyebabkan
debit fasa gas aktual menjadi lambat. Debit fasa gas yang lambat meningkatkan laju
perpindahan propana dan air dari fasa cair ke fasa gas dan menyebabkan kenaikkan
konsentrasi propana dan air di fasa gas menjadi lebih besar. Konsentrasi propana
dan air berkurang sebelum masuk unggun kedua akibat quenching hidrogen.
Kenaikkan konsentrasi propana dan air di unggun kedua paling kecil terjadi pada
tekanan operasi yang tinggi akibat besarnya debit aktual fasa gas.

98
Gambar IV.54 Pengaruh tekanan operasi terhadap konsentrasi propana di fasa gas

Gambar IV.55 Pengaruh tekanan operasi terhadap konsentrasi air di fasa gas

IV.8.5.4 Pengaruh tekanan operasi terhadap konsentrasi propana dan air di


fasa cair

Pengaruh tekanan operasi terhadap konsentrasi propana dan air di fasa cair dapat
dilihat pada Gambar IV.56 dan Gambar IV.57. Selisih profil propana dan air di fasa
cair untuk tiap variasi tekanan operasi sangat kecil pada unggun pertama.
Kenaikkan temperatur fasa cair yang tinggi pada tekanan operasi yang tinggi

99
meningkatkan rasio perpindahan massa terhadap laju reaksi kimia semakin besar
sehingga konsentrasi maksimum yang dapat dicapai propana dan air di fasa cair
semakin besar.

Gambar IV.56 Pengaruh tekanan operasi terhadap konsentrasi propana di fasa cair

Gambar IV.57 Pengaruh tekanan operasi terhadap konsentrasi air di fasa cair

Tekanan operasi yang rendah menghasilkan konstanta kesetimbangan uap cair yang
besar. Konstanta kesetimbangan uap cair yang besar akan meningkatkan jumlah
propana dan air yang berpindah dari fasa cair ke fasa gas. Oleh karena itu, pada
tekanan operasi yang rendah, konsentrasi propana dan air turun lebih besar pada

100
kolom quenching. Pada unggun kedua, temperatur fasa cair turun lebih besar pada
tekanan operasi yang lebih tinggi sehingga memperbesar rasio laju reaksi kimia
terhadap laju perpindahan massa dari fasa cair ke fasa gas. Oleh karena itu,
konsentrasi propana dan air yang dihasilkan pada awal unggun kedua meningkat
lebih tinggi.

IV.8.5.5 Pengaruh tekanan operasi terhadap konsentrasi TG dan HC

Pengaruh tekanan operasi terhadap konsentrasi TG dan HC tersaji pada Gambar


IV.58 dan Gambar IV.59. Semakin besar tekanan operasi menyebabkan kenaikkan
temperatur fasa cair semakin besar. Temperatur fasa cair yang meningkat
mempercepat laju reaksi kimia dan meningkatkan konversi TG serta kenaikkan
konsentrasi HC. Di sepanjang reaktor, kenaikkan temperatur yang kecil pada semua
variasi tekanan operasi menyebabkan profil konversi TG serta kenaikkan
konsentrasi HC yang tidak signifikan untuk semua variasi tekanan operasi.

Gambar IV.58 Pengaruh tekanan operasi terhadap konsentrasi TG dan konversi

101
Gambar IV.59 Pengaruh tekanan operasi terhadap konsentrasi HC di fasa cair

IV.8.5.6 Profil temperatur fasa gas dan fasa cair

Gambar IV.60 Pengaruh tekanan operasi terhadap temperatur fasa gas dan fasa
cair

Pengaruh tekanan operasi terhadap temperatur fasa gas dan fasa cair serta ΔT total
tersaji pada Gambar IV.61 dan Gambar IV.62. Kenaikkan temperatur fasa cair dan
fasa gas sangat sensitif terhadap perubahan konstanta perpindahan panas dari fasa
cair ke fasa gas. Semakin tinggi tekanan operasi maka koefisien perpindahan panas
dari fasa cair ke fasa gas semakin kecil. Oleh karena itu, pada tekanan operasi yang
tinggi kenaikkan temperatur fasa cair lebih besar dan kenaikkan temperatur fasa gas

102
turun lebih kecil. Profil temperatur fasa cair dan fasa gas pada unggun kedua
menyerupai unggun pertama. Semakin tinggi tekanan fasa gas masuk unggun
kedua, konstanta perpindahan panas dari fasa cair ke fasa gas semakin kecil
sehingga kenaikkan temperatur fasa cair lebih besar dan kenaikkan temperatur fasa
gas lebih kecil.

Gambar IV.61 Pengaruh tekanan operasi terhadap ΔT total fasa cair dan fasa gas

IV.8.5.7 Pengaruh tekanan operasi terhadap laju reaksi kimia

Pengaruh tekanan operasi terhadap laju reaksi kimia tersaji pada Gambar IV.63.
Perbedaan kecepatan laju reaksi tidak signifikan pada berbagai tekanan operasi.
Kenaikkan temperatur fasa cair yang lebih besar pada tekanan operasi yang tinggi
menyebabkan laju reaksi semakin cepat. Temperatur fasa cair turun lebih besar
pada tekanan operasi yang lebih tinggi di kolom quenching. Akibatnya, laju reaksi
masuk unggun kedua lebih rendah dari tekanan operasi yang rendah. Di sepanjang
tunggu kedua, perbedaan laju reaksi tidak signifikan akibat konversi yang sama
pada tiap variasi tekanan operasi.

103
Gambar IV.62 Pengaruh tekanan operasi terhadap laju reaksi

IV.9 Unjuk kerja reaktor model dua dimensi

Model dua dimensi diselenggarakan pada kondisi operasi yaitu WHSV 0,3 jam-1,
𝑆𝑐𝑓 𝐻
rasio 𝐻2 /TG 5.5x104 𝑏𝑏𝑙 𝑇𝐺2, 𝑇𝑖𝑛 325°C, rasio HC/TG adalah 4, Tekanan operasi 60

bar, dan rasio 𝑄𝑖𝑛 /𝑄𝑞𝑢𝑒𝑛𝑐ℎ adalah 2. Simulasi model dua dimensi bertujuan untuk
mempelajari fenomena distribusi massa dan energi pada arah radial unggun.

IV.9.1 Profil hidrogen di fasa gas

Tekanan parsial hidrogen masuk unggun pertama sama pada setiap arah radial yaitu
60 bar. Di sepanjang reaktor tekanan parsial hidrogen berkurang akibat konsumsi
hidrogen di sepanjang reaktor. Konversi TG yang besar pada unggun pertama
dibandingkan unggun kedua meningkatkan konsumsi hidrogen di unggun pertama.
Tekanan parsial hidrogen turun lebih besar pada dinding unggun dibandingkan
bagian tengah unggun disebabkan laju alir fasa cair yang lambat pada bagian
dinding unggun sehingga memperlama waktu tinggal dan meningkatkan konversi
TG. Profil tekanan parsial hidrogen di fasa cair tersaji pada Gambar IV.63.

104
Gambar IV.63 Profil dua dimensi konsentrasi tekanan parsial hidrogen

Akibatnya konsumsi hidrogen pada dinding unggun lebih besar pada dinding
unggun. Tekanan parsial hidrogen di fasa gas naik akibat adanya penambahan
hidrogen melalui proses quenching. Tekanan parsial hidrogen yang berkurang pada
unggun kedua lebih kecil dibandingkan unggun pertama. Tekanan parsial hidrogen
pada unggun kedua berkurang lebih besar pada dinding unggun akibat lambatnya
laju alir fasa cair pada dinding unggun.

105
IV.9.2 Profil hidrogen di fasa cair

Gambar IV.64 Profil dua dimensi konsentrasi hidrogen di fasa cair

Profil konsentrasi hidrogen di fasa cair dapat dilihat pada Gambar IV.64.
Konsentrasi hidrogen dan selalu berada dalam keadaan kesetimbangan dengan
hidrogen di fasa gas. Di sepanjang unggun pertama, temperatur fasa cair naik dan
mengurangi nilai konstanta Henry hidrogen dalam dodekana. Berkurangnya
konstanta Henry lebih besar dibandingkan berkurangnya tekanan parsial hidrogen
di fasa gas, sehingga menghasilkan profil konsentrasi hidrogen yang naik di
sepanjang unggun. Konsentrasi hidrogen naik signifikan hingga mencapai
konsentrasi maksimum kemudian turun secara perlahan. Konsentrasi hidrogen
mencapai maksimum ketika hidrogen yang berkurang di fasa gas sama dengan
konstanta Henry yang berkurang di fasa cair. Ketika hidrogen yang berkurang di
fasa gas lebih besar dibandingkan berkurangnya konstanta Henry.

106
Kecepatan konsentrasi hidrogen mencapai nilai maksimum semakin cepat ke arah
radial. Laju reaksi semakin cepat dan panas yang dilepas oleh reaksi semakin besar
ke arah radial. Semakin besar panas yang dilepas oleh reaksi maka semakin tinggi
kenaikkan temperatur fasa cair. Kenaikkan temperatur fasa cair yang semakin besar
ke arah radial menyebabkan konstanta Henry berkurang dan HC terproduksi lebih
besar ke arah radial. Pada dinding unggun, konstanta Henry berkurang dan HC
terproduksi sangat besar sehingga kelarutan hidrogen naik signifikan dan mencapai
maksimum di awal unggun pertama. Setelah mencapai konsentrasi maksimum,
konsentrasi hidrogen kemudian berkurang sangat cepat akibat tekanan parsial
hidrogen berkurang lebih besar dibandingkan berkurangnya konstanta Henry.
Temperatur fasa cair yang turun di kolom quenching menyebabkan konstanta
Henry semakin besar. Bertambahnya tekanan parsial hidrogen di kolom quenching
lebih kecil dibandingkan besarnya konstanta Henry. Akibatnya kelarutan hidrogen
di fasa cair berkurang. Kenaikkan konsentrasi pada unggun kedua tak sebesar
unggun pertama. Kenaikkan temperatur yang rendah dan tekanan parsial hidrogen
yang berkurang sangat sedikit menyebabkan kenaikkan konsentrasi hidrogen di fasa
cair sangat kecil.

IV.9.3 Profil propana dan air di fasa gas

Propana dan air yang berpindah dari fasa cair terakumulasi pada fasa gas sehingga
profil konsentrasi propana dan air meningkat di sepanjang unggun. Kenaikkan
konsentrasi propana dan air paling besar terjadi pada dinding unggun dibandingkan
bagian tengah unggun. Laju reaksi yang cepat dan konversi TG yang besar pada
dinding unggun menyebabkan konsentrasi propana dan air naik signifikan pada
dinding unggun. Pada bagian tengah unggun, konversi TG kecil dan laju alir fasa
cair cepat sehingga kenaikkan konsentrasi propana dan air naik lebih rendah pada
bagian tengah unggun. TG lebih cepat mencapai konversi sempurna di dinding
unggun pertama. Oleh karena itu, konsentrasi propana dan air lebih cepat mencapai
maksimum dan tetap maksimum hingga akhir unggun. Profil konsentrasi propana
dan air di fasa gas tersaji pada Gambar IV.65 dan Gambar IV.66.

107
Gambar IV.65 Profil dua dimensi konsentrasi propana di fasa gas

Gambar IV.66 Profil dua dimensi konsentrasi air di fasa gas

108
Hidrogen yang ditambahkan pada kolom quenching mengakibatkan tekanan parsial
hidrogen meningkat sedangkan tekanan parsial propana dan air turun. Konsentrasi
propana dan air turun sebelum masuk unggun kedua akibat quenching hidrogen.
Konsentrasi propana dan air pada unggun kedua mirip dengan unggun pertama.
Konsentrasi propana dan air naik paling besar pada dinding unggun akibat konversi
TG yang besar pada dinding unggun. Secara umum, kenaikkan konsentrasi propana
dan air naik dalam jumlah yang kecil di unggun kedua disebabkan laju reaksi sangat
lambat dan konsentrasi TG yang kecil.

IV.9.4 Profil propana dan air di fasa cair

Konsentrasi propana dan air di fasa cair mula-mula naik di unggun pertama.
Konsentrasi propana dan air naik disebabkan laju reaksi kimia yang lebih besar
dibanding laju perpindahan massa dari fasa cair ke fasa gas. Propana dan air yang
dipindahkan dari permukaan katalis ke fasa cair lebih besar dibandingkan propana
dan air yang dipindahkan dari fasa cair ke fasa gas. Konsentrasi propana dan air
mencapai maksimum saat laju reaksi sama dengan laju perpindahan massa dari fasa
cair ke fasa gas. Kenaikkan konsentrasi propana dan air paling besar terjadi pada
dinding unggun. Pada dinding unggun, laju alir fasa cair yang lambat meningkatkan
konversi dan panas reaksi yang besar. Akibatnya, temperatur fasa cair naik sangat
besar. Temperatur fasa cair yang tinggi mempercepat laju reaksi kimia dan
meningkatkan laju perpindahan massa dari fasa cair ke fasa gas. Laju reaksi kimia
yang cepat dan laju perpindahan massa dari fasa cair ke fasa gas yang besar akan
meningkatkan konsentrasi maksimum yang dapat dicapai propana dan air di fasa
cair. Kecepatan konsentrasi propana dan air untuk mencapai konsentrasi maksimum
di fasa cair berbeda-beda karah radial. Semakin ke arah radial, kecepatan propana
dan air untuk mencapai konsentrasi maksimum semakin cepat. Hal ini karena
temperatur fasa cair ke arah radial semakin besar. Semakin tinggi temperatur, maka
rasio laju perpindahan massa terhadap laju reaksi kimia semakin besar. Akibatnya
konsentrasi maksimum yang dapat dicapai semakin tinggi. Profil konsentrasi
propana dan air di fasa cair tersaji pada Gambar IV.67 dan Gambar IV.68.

109
Gambar IV.67 Profil dua dimensi konsentrasi propana di fasa cair

Gambar IV.68 Profil dua dimensi konsentrasi air di fasa cair

110
Konsentrasi propana dan air turun setelah mencapai maksimum akibat laju reaksi
kimia lebih lambat dibandingkan laju perpindahan massa dari fasa cair ke fasa cair.
Akibatnya, konsentrasi propana dan air yang berpindah dari fasa cair ke fasa gas
lebih besar dibanding propana dan air yang dihasilkan oleh reaksi kimia. Pada
dinding unggun, konsentrasi propana dan air turun kemudian stagnan hingga ujung
unggun pertama. Konsentrasi yang stagnan di fasa cair akibat banyaknya propana
dan air di fasa cair berpindah ke fasa gas, sehingga hampir tidak ada perbedaan
konsentrasi fasa gas dan fasa cair. Ketika perbedaan konsentrasi propana dan air di
fasa cair dan fasa gas semakin kecil, laju perpindahan massa semakin melambat.
Konsentrasi propana dan air di fasa cair berkurang pada kolom quenching. Pada
kolom quenching, propana dan air berpindah dari fasa cair ke fasa gas hingga
mencapai konsentrasi kesetimbangan. Profil konsentrasi propana dan air di unggun
kedua menyerupai unggun pertama. Konsentrasi propana dan air mula-mula di
unggun pertama naik akibat laju reaksi lebih besar dibandingkan laju perpindahan
massa dari fasa cair ke fasa gas. Kemudian mencapai konsentrasi maksimum dan
berkurang akibat laju perpindahan massa yang besar dari fasa cair ke fasa gas.
Konsentrasi air di ujung unggun pertama lebih rendah dibandingkan konsentrasi air
masuk unggun kedua. Konsentrasi propana di ujung unggun kedua lebih besar
dibandingkan konsentrasi propana masuk unggun kedua. Hal ini disebabkan oleh
konstanta perpindahan massa air dari fasa cair ke fasa gas lebih besar dibandingkan
propana.

IV.9.5 Profil konsentrasi TG dan HC di fasa cair

Profil konsentrasi TG dan HC tersaji pada Gambar IV.69 dan Gambar IV.70.
Konsentrasi TG berkurang di sepanjang reaktor akibat terkonsumsi oleh reaksi
kimia. TG terkonversi lebih besar pada bagian dinding unggun dibandingkan pada
tengah unggun.

111
Gambar IV.69 Profil dua dimensi konsentrasi TG

Pada bagian tengah unggun, laju alir fasa cair lebih besar sehingga waktu tinggal
fasa cair lebih cepat dan meyebabkan konversi TG pada tengah unggun lebih
rendah. Pada dinding unggun, waktu tinggal fasa cair lebih lama dan menyebabkan
konversi TG pada dinding unggun lebih besar dari pada tengah unggun. Pada tengah
unggun, Pada dinding unggun TG terkonversi sempurna. TG terkonversi lebih besar
pada unggun pertama. Akibatnya, TG masuk unggun kedua dalam jumlah yang
kecil. TG terkonversi hampir sempurna pada ujung unggun kedua. Pada unggun
kedua TG lebih cepat terkonversi pada dinding unggun akibat laju alir yang lambat.
HC terproduksi di sepanjang reaktor akibat reaksi kimia. Jumlah rata-rata
konsentrasi HC yang dihasilkan pada di sepanjang reaktor sama dengan tiga kali
konversi TG. Pada unggun pertama, konsentrasi HC naik secara gradual pada
bagian tengah reaktor. Pada dinding unggun konsentrasi HC naik signifikan hingga
mencapai konsentrasi maksimum kemudian statis pada konsentrasi maksimum.
Pada unggun kedua HC naik dalam jumlah yang kecil disebabkan jumlah TG yang
masuk pada unggun kedua dalam jumlah sedikit. Pada ujung unggun kedua HC

112
mencapai konsentrasi maksimum hampir di setiap arah radial akibat TG yang telah
terkonversi sempurna.

Gambar IV.70 Profil dua dimensi konsentrasi HC

IV.9.6 Profil temperatur fasa gas dan fasa cair

Temperatur fasa cair pada tengah unggun naik di sepanjang reaktor akibat panas
reaksi yang dilepas oleh reaksi. Terhadap arah radial temperatur fasa cair naik
akibat konversi TG yang semakin besar dan kenaikkan konstanta perpindahan
panas dari fasa cair ke fasa gas. Temperatur fasa gas dan fasa cair masuk unggun
kedua lebih rendah pada unggun pertama akibat terjadi kesetimbangan dengan
hidrogen quenching. Profil pada temperatur fasa cair pada unggun pertama mirip
dengan unggun kedua. Temperatur pada dinding unggun naik lebih besar pada
dinding unggun. Pada unggun kedua kenaikkan temperatur tidak signifikan akibat
laju reaksi yang sangat lambat dan TG telah terkonversi sempurna. Temperatur fasa
cair dapat diamati pada Gambar IV.71 dan Gambar IV.72.

113
Gambar IV.71 Profil dua dimensi temperatur fasa gas

Gambar IV.72 Profil dua dimensi temperatur fasa cair

114
BAB V Kesimpulan dan Saran

V.1 Kesimpulan

Persamaan model reaktor yang dapat digunakan untuk membeikan pemahaman


mengenai perpindahan massa dan energi pada fasa gas, fasa cair dan permukaan
katalis pada reaksi HDO RPKO. Profil-profil yang dihasilkan sesuai dengan kaidah
teknik reaksi kimia, termodinamika dan perpindahan. Selain itu, juga berkessuaian
dengan hasil simulasi hidrotreating yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti
pendahulu. Beberapa poin yang dapat disimpulkan pada simulasi ini adalah :

1. Kelarutan hidrogen dalam fasa cair semakin besar ketika 𝑇𝑖𝑛 , rasio HC/TG
dan Tekanan operasi reaktor hidrogen semakin tinggi.
2. Meningkatkan 𝑇𝑖𝑛 dan Tekanan operasi atau menurunkan WHSV, rasio
Qin/Qquench dan rasio HC/TG memperbesar konversi TG dan ΔT total fasa
cair.
3. Meningkatkan Tekanan operasi reaktor dan memperkecil rasio
Qin/Qquench menghambat perpindahan panas dari fasa cair ke fasa gas.
4. Meningkatkan rasio HC/TG memperkecil kenaikkan temperatur namun
menurunkan konversi dan kapasitas olah.

V.2 Saran

Pada penelitian selanjutnya diharapkan :

1. Simulasi menggunakan laju reaksi kimia sebagai fungsi konsentrasi atau


tekanan parsial hidrogen agar di dapat profil dinamika konsentrasi hidrogen
dan distribusi komponen yang lebih baik di fasa cair dan fasa gas.
2. Umpan TG dapat diganti berupa RPO atau jenis minyak nabati lainnya dan
Mode Operasi dapat divariasikan menjadi mode Co-processing dengan
minyak bumi untuk memberikan pengertian yang lebih baik mengenai
simulasi HDO minyak nabati.

115
DAFTAR PUSTAKA
Abe, D., Eschenröder, F. ., Laban, D. and Schütter, H. . (2008) ‘Process for the
continuous hydrogenation of triglyceride containing raw materials’. France.
Abhari, R. and Havlik, P. (2011) ‘Hydrodeoxygenation process’, 2(12). Available
at: http://www.freepatentsonline.com/8026401.html%5Cn.
Al-Shemmeri, T. (2012) Engineering Fluid Mechanics. Al-Shemmeri & Ventus
Publishing ApS.
Albrecht, K. and Hallen, R. (2011) ‘A Brief Literature Overview of Various Routes
to Biorenewable Fuels from Lipids for the National Alliance for Advanced
Biofuels and Bio-products ( NAABB ) Consortium’, U.S. Department of
Energy, (March), p. 16.
Alvarez, A. and Ancheyta, J. (2008a) ‘Applied Catalysis A : General Modeling
residue hydroprocessing in a multi-fixed-bed reactor system’, 351, pp. 148–
158.
Alvarez, A. and Ancheyta, J. (2008b) ‘Simulation and analysis of different
quenching alternatives for an industrial vacuum gasoil hydrotreater’, 63, pp.
662–673.
Attanatho, L. (2012) Performances and Kinetic Studies of Hydrotreating of Bio-
Oils in Microreactor. Oregon State University.
Ayodele, O. B., Abbas, H. F. and Daud, W. M. A. W. (2014) ‘Catalytic upgrading
of oleic acid into biofuel using Mo modified zeolite supported Ni oxalate
catalyst functionalized with fluoride ion’, Energy Conversion and
Management. Elsevier Ltd, 88, pp. 1111–1119.
Ayodele, O. B., Farouk, H. U., Mohammed, J., Uemura, Y. and Daud, W. M. A. W.
(2015) ‘Hydrodeoxygenation of oleic acid into n- and iso-paraffin biofuel
using zeolite supported fluoro-oxalate modified molybdenum catalyst:
Kinetics study’, Journal of the Taiwan Institute of Chemical Engineers.
Elsevier Ltd., 50(2014), pp. 142–152.
Ayodele, O. B., Lethesh, K. C., Gholami, Z. and Uemura, Y. (2016) ‘Effect of
ethanedioic acid functionalization on Ni/Al2O3 catalytic
hydrodeoxygenation and isomerization of octadec-9-enoic acid into biofuel:
Kinetics and Arrhenius parameters’, Journal of Energy Chemistry. Elsevier
B.V., 25(1), pp. 158–168.
Bartholomew, C. H. (2001) ‘Mechanisms of catalyst deactivation’, 212, pp. 17–60.
Besse, X., Schuurman, Y. and Guilhaume, N. (2016) ‘Hydrothermal conversion of
linoleic acid and ethanol for biofuel production’, Applied Catalysis A:
General. Elsevier B.V., 524, pp. 139–148.
Bezard, J. A. (1971) ‘The Component Triglycerides of Palm-Kernel Oil’, Lipids, 6,
pp. 630–634.
Bie, Y., Lehtonen, J. and Kanervo, J. (2016) ‘Hydrodeoxygenation (HDO) of

116
methyl palmitate over bifunctional Rh/ZrO2 catalyst: Insights into reaction
mechanism via kinetic modeling’, Applied Catalysis A: General. Elsevier
B.V., 526, pp. 183–190.
Boda, L. et al. (2010) ‘Catalytic hydroconversion of tricaprylin and caprylic acid
as model reaction for biofuel production from triglycerides’, Applied
Catalysis A: General, 374(1–2), pp. 158–169.
Bumi, D. J. M. dan G. and Mineral, K. E. dan S. D. (2017) Data Grafis Impor
Minyak Mentah & Kondensat. Available at: http://statistik.migas.esdm.go.id/
index.php?r=rekapImporMinyakMentah/index (Accessed: 7 March 2017).
Carberry, J. J. (1988) ‘Remarks Upon the Modelling of Heterogeneous Catalytic
Reactors - the Single Fluid-solid Cases’, Chemical Engineering &
Technology, 11(1), pp. 425–431.
Chen, N., Wang, N., Ren, Y., Tominaga, H. and Qian, E. W. (2017) ‘Effect of
surface modification with silica on the structure and activity of Pt/ZSM-
22@SiO2 catalysts in hydrodeoxygenation of methyl palmitate’, Journal of
Catalysis. Elsevier Inc., 345(2017), pp. 124–134.
Chiappero, M., Do, P. T. M., Crossley, S., Lobban, L. L. and Resasco, D. E. (2011)
‘Direct conversion of triglycerides to olefins and paraffins over noble metal
supported catalysts’, Fuel. Elsevier Ltd, 90(3), pp. 1155–1165.
Craig, W. and Soveran, D. (1991) ‘Production of hydrocarbons with a relatively
high cetane rating’, US Patent 4,992,605, pp. 1–7. Available at:
http://www.google.com/patents/US4992605.
Daudin, A., Bournay, L. and Chapus, T. (2009) ‘Process For Hydrodeoxygenation
Of Feeds Derived From Renewable Sources With Limited Decarboxylation
Conversion Using A Catalyst Based On Nickel And Molybdenum’, 1(60), p.
11.
Daudin, B., Application, F. and Data, P. (2013) ‘process for hydrodeoxygenation
0f feeds derived from renewable sources with limited decarboxylation
conversion using a catalyst based on nickel and m olybdenum’, 2(12).
Davis, E. J. and David, M. M. (1964) ‘two-phase gas-liquid convection heat
transfer’, 3(2), pp. 111–118.
Deliy, I. V., Vlasova, E. N., Nuzhdin, A. L., Gerasimov, E. Y. and Bukhtiyarova,
G. A. (2014) ‘Hydrodeoxygenation of methyl palmitate over sulfided Mo/Al
2 O 3 , CoMo/Al 2 O 3 and NiMo/Al 2 O 3 catalysts’, RSC Adv., 4(5), pp. 2242–
2250.
Dickerson, T. and Soria, J. (2013) ‘Catalytic fast pyrolysis: A review’, Energies,
6(1), pp. 514–538.
Dindi, H., Segupta, S. K., Gonzon, A. F. and Corbin, D. R. (2011) ‘Catalytic
Process for Converting Renewable Resources into Paraffins for Use as Diesel
Blending Stocks’, 2(12). Available at:
http://www.google.com/patents/US8084655.

117
Donnis, B., Egeberg, R. G., Blom, P. and Knudsen, K. G. (2009) ‘Hydroprocessing
of bio-oils and oxygenates to hydrocarbons. Understanding the reaction
routes’, Topics in Catalysis, 52(3), pp. 229–240.

Egeberg, R. G., Michaelsen, N. H. and Skyum, L. (2010) ‘Novel hydrotreating


technology for production of green diesel’, Haldor Topsøe A/S.
Fillion, B. and Morsi, B. I. (2000) ‘Gas - Liquid Mass-Transfer and Hydrodynamic
Parameters in a Soybean Oil Hydrogenation Process under Industrial
Conditions’, pp. 2157–2168.
Fogler, H. S. (2011) Essentials of Chemical Reaction Engineering. Boston: Pearson
Education, Inc. Available at: http://www.legalweek.com/legal-week/news/
1180713/chemical-reaction.
Froment, G. F., Bischoff, K. B. and Wilde, J. De (2011) Chemical Reactor Analysis
and Design. 3rd Editio. John Wiley & Sons, Inc. Available at:
http://www.math.colostate.edu/~yzhou/course/math451_spring2011/ChemK
inetics.pdf.
GAPKI, G. P. K. S. I. (2017) Refleksi Industri Kelapa Sawit 2016 & Prospek 2017.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Available at:
https://gapki.id/refleksi-industri-kelapa-sawit-2016-prospek-2017/
(Accessed: 3 March 2017).
van Gelder, J. W. (2004) ‘Greasy Palms : European buyers of Indonesian palm oil’,
Friends of The Earth, p. 70. Available at: http://www.foe.co.uk/resource
/reports/greasy_palms_buyers.pdf.
Goto, S. and Smith, J. M. (1975) ‘Trickle-bed reactor performance Part 1. Holdup
and Mass Transfer Effects Liquid’, AIChE Journal, 21(4), pp. 706–713.
Guan, Q., Wan, F., Han, F., Liu, Z. and Li, W. (2016) ‘Hydrodeoxygenation of
methyl palmitate over MCM-41 supported nickel phosphide catalysts’,
Catalysis Today. Elsevier B.V., 259, pp. 467–473.
Gunn, D. J. (1987) ‘Axial and Radial Dispersion in Fixed Beds’, Chemical
Engineering and Processing, 32(6), pp. 333–338.
Jarullah, A. T., Mujtaba, I. M. and Wood, A. S. (2011) ‘Kinetic parameter
estimation and simulation of trickle-bed reactor for hydrodesulfurization of
crude oil’, Chemical Engineering Science. Elsevier, 66(5), pp. 859–871.
Kasim, N. B. (2009) SEPARATION TEHCNIQUE OF CRUDE PALM OIL AT
CLARIFICATION AREA VIA OPTIMUM PARAMETERS. Universiti
Malaysia Pahang.
Kilpiö, T., Mäki-Arvela, P., Salmi, T. and Murzin, D. Y. (2016) ‘Modeling of the
catalytic deoxygenation of fatty acids in a packed bed reactor’, in Önsan, Z.
and Avci, A. K. (eds) Multiphase Catalytic Reactors. John Wiley and Sons,
pp. 365–376.

118
Korsten, H. and Hoffmann, U. (1996) ‘Three‐phase reactor model for hydrotreating
in pilot trickle‐bed reactors’, AIChE Journal, 42(5), pp. 1350–1360.
Kubička, D. and Tukač, V. (2013) ‘Hydrotreating of Triglyceride-Based Feedstocks
in Refineries’, in Advances in Chemical Engineering, pp. 141–194.
Kumar, P., Yenumala, S. R., Maity, S. K. and Shee, D. (2014) ‘Kinetics of
hydrodeoxygenation of stearic acid using supported nickel catalysts: Effects
of supports’, Applied Catalysis A: General. Elsevier B.V., 471(2014), pp. 28–
38.
Laurent, E. and Delmon, B. (1994) ‘Deactivation of a Sulfided NiMo/y-Al2O3
during the Hydrodeoxygenation of Bio-Oils: Influence of a High Water
Pressure’, Studies in Surface Science and Catalysis, 88(C), pp. 459–466.
Lehmus, P. (2014) ‘Large scale chemical conversion of oils and residues in
Rotterdam’, in European Biofuels Technology Platform - 6th Stakeholder
Plenary meeting, p. 26. Available at:
http://www.biofuelstp.eu/spm6/docs/petri-lehmus.pdf.
Lindsay, A. L. and Bromley, L. A. (1950) ‘Thermal Conductivity of Gas d
Mixtures’, Industrial & Engineering Chemistry, 8(8), pp. 1508–1511.
Liu, G. et al. (2010) ‘Evaluation of Bio-Derived Synthetic Paraffinic Kerosenes
(Bio-SKPs)’, Energy and Fuels, 25(210), pp. 1–137.
Marker, T. L., Kokayeff, P., Abdo, S. F., Baldiraghi, F. and Sabantino, L. M. F.
(2011) ‘Production of Diesel Fuel From Biorenewable Feedstocks with
Lower Hydrogen Consumption’, 2(12).
Markkanen, V. et al. (2008) ‘Process for the manufacture of hydrocarbons of
biological origin’, 1(19), pp. 1–17.
Mccall, M. J., Kocal, J. A., Bhattacharyya, A., Kalnes, T. N. and Timothy, A. B.
(2007) ‘( 12 ) United States Patent’, 2(12).
McCutcheon, S. C., Martin, J. . and Barnwell, T. O. J. (1993) Handbook of
Hydrology. New York: McGraw-Hill.
Mederos, F. S. and Ancheyta, J. (2007) ‘Mathematical modeling and simulation of
hydrotreating reactors: Cocurrent versus countercurrent operations’, Applied
Catalysis A: General, 332(1), pp. 8–21.
Mehrotra, A. K. (1991) ‘Generalized One-Parameter Viscosity Equation for Light
and Medium Liquid Hydrocarbons’, Ind. Eng. Chem. Res., 30, pp. 1367–
1372.
Myllyoja, J. et al. (2006) ‘process for the manufacture of diesel range
hydrocarbons’, 1(19).
Myllyoja, J. and Jakkula, J. (2011) ‘Process for producing a hydrocarbon
component (57)’.
NIST (no date) NIST. Available at: https://www.nist.gov.

119
Novaes, R., Resende, N. S. De, Maria, V. and Salim, M. (2017) ‘Modeling ,
simulation and kinetic parameter estimation for diesel hydrotreating’, Fuel.
Elsevier, 209(April), pp. 184–193.
Nurjannah (2011) ‘Pembuatan Sabun Transparan dari Minyak Kelapa Sawit
(RBDPO) dan VCO Dengan Kapasitas 150.000 Ton/Tahun’, in Pra
Rancangan Pabrik. Universitas Sumatera Utara.

Pigott, J. S. (2011) The Viscosity of Water at High Pressures and High


Temperatures: A Random Walk through a Subduction Zone. The Ohio State
University.
Poling, B. E., Prausnitz, J. M. and O’Connell, J. P. (2001) the properties of gases
and liquids. Fifth Edit. McGRAW-HILL.
Prosen, E. J. and Rossini, F. D. (1945) ‘heats of combustion and formation of the
paraffin hydrocarbons at 25 °C ’, 34, pp. 263–269.
Rizo-Acosta, P., Linares-Vallejo, M. T. and Muñoz-Arroyo, J. A. (2014) ‘Co-
hydroprocessing of a mixture: Vegetable oil/n-hexadecane/4,6-
dimethyldibenzothiophene for the production of sustainable hydrocarbons. A
kinetic modeling’, Catalysis Today, 234, pp. 192–199.
Rodríguez, M. A. and Ancheyta, J. (2004) ‘Modeling of hydrodesulfurization
(HDS), hydrodenitrogenation (HDN), and the hydrogenation of aromatics
(HDA) in a vacuum gas oil hydrotreater’, Energy and Fuels, 18(3), pp. 789–
794.
Růžička, K., Majer, V., Ruzicka, K. and Maje, V. (2007) ‘Simultaneous Treatment
of Vapor Pressures and Related Thermal Data Between the Triple and Normal
Boiling Temperatures for nAlkanes C5 – C20 Simultaneous Treatment of
Vapor Pressures and Related Thermal Data Between the Triple and Normal
Boiling Temperatures for n -Alkanes C s - C 20’, 1(1994).
Ruzicka, V. and Domalski, E. S. (1993) ‘Estimation of the Heat Capacities of
Organic Liquids as a Function of Temperature Using Group Additivity’, J.
Phys. Chem. Ref. Data, Vol. 22, No. 3, 22, pp. 597–618.
Saeri, A. R. (2016) Sintesis dan Uji Aktivitas Katalis NiMo/ɣ-Al2O3 untuk Reaksi
Hidrodeoksigenasi Refined Bleached Deodorized Palm Kernel Oil
(RBDPKO).pdf. Institut Teknologi Bandung.
Santikunaporn, M. and Danphitak, S. (2010) ‘Hydrodeoxygenation of Linoleic
Acid on Ni-Mo Catalyst’, Thammasat International Journal of Science
Technology, 15(September 2010), pp. 1–6.
Sapunov, V. N. et al. (2017) ‘Stearic acid hydrodeoxygenation over Pd
nanoparticles embedded in mesoporous hypercrosslinked polystyrene’,
Journal of Industrial and Engineering Chemistry, 46, pp. 426–435.
Satterfield, C. N. (1975) ‘Trickle-Bed Reactors’, AlChE Journal, 21, pp. 209–228.

120
Sebos, I., Matsoukas, A., Apostolopoulos, V. and Papayannakos, N. (2009)
‘Catalytic hydroprocessing of cottonseed oil in petroleum diesel mixtures for
production of renewable diesel’, Fuel. Elsevier Ltd, 88(1), pp. 145–149.
Sharma, R. K. et al. (2012) ‘Jatropha-oil conversion to liquid hydrocarbon fuels
using mesoporous titanosilicate supported sulfide catalysts’, Catalysis Today.
Elsevier B.V., 198(1), pp. 314–320.
Shi, H., Chen, J., Yang, Y. and Tian, S. (2014) ‘Catalytic deoxygenation of methyl
laurate as a model compound to hydrocarbons on nickel phosphide catalysts:
Remarkable support effect’, Fuel Processing Technology. Elsevier B.V.,
118(2013), pp. 161–170.
Smith, J. ., Van Ness, H. C. and Abbott, M. M. (2005) Introduction to Chemical
Engineering Thermodynamics. Boston: McGraw-Hill. doi:
10.1021/ed027p584.3.
Snåre, M. et al. (2007) ‘Production of diesel fuel from renewable feeds: Kinetics of
ethyl stearate decarboxylation’, Chemical Engineering Journal, 134(1–3), pp.
29–34.
Soerawidjaja, T. H. (2013) ‘Kuliah Inaugurasi Judul : Energi : Sang Sumber Daya
Induk Energi : Sang Sumber Daya Induk’, Kuliah Ina(28 April).
Solantie, J. and Koivisto, K. J. (2011) ‘Method and arrangement for feeding heat-
sensitive materials to fixed-bed reactors’. Finland.
Strege, J. R., Benjamin G. Oster, T., Pansegrau, P. D., Wocken, C. A. and Aulich,
T. R. (2011) ‘process for the conversion of renewable oils t0 liquid
transportation fuels’, 2(12).
Subagjo and Ulfah, M. (2013) ‘Kinetika Hidrodesilfurisasi Dibenzothipen (HDS
DBT) menggunakan Katalis NiMo/γ-Al2O3’, Reaktor, 14(4), pp. 314–323.
Subramanyam, M. D., Gollakota, A. R. K. and Kishore, N. (2015) ‘CFD
Simulations of Catalytic Hydrodeoxygenation of Bio-oil using Pt/Al2O3 in a
Fixed Bed Reactor’, RSC Adv.
Ternan, M. (1987) ‘The Diffusion of Liquids in Pores’, The Canadian Journal Of
Chemical Engineering, 65(April).
Trinh, T. K. H., De Hemptinne, J. C., Lugo, R., Ferrando, N. and Passarello, J. P.
(2016) ‘Hydrogen Solubility in Hydrocarbon and Oxygenated Organic
Compounds’, Journal of Chemical and Engineering Data, 61(1), pp. 19–34.
UOP, H. (no date) Honeywell Green DieselTM. Available at:
https://www.uop.com/processing-solutions/renewables/green-diesel/
(Accessed: 24 March 2017).
Wilson, G. (1968) ‘A modified Redlich-Kwong equation of state applicable to
general physical data calculations’, Paper No15C, 65th AIChE National
meeting.
Wouwer, A. Vande, Saucez, P. and Vilas, C. (2014) Simulation of ODE/PDE

121
Models with MATLAB®, OCTAVE and SCILAB. Springer.
Yenumala, S. R., Maity, S. K. and Shee, D. (2016) ‘Reaction mechanism and kinetic
modeling for the hydrodeoxygenation of triglycerides over alumina supported
nickel catalyst’, Reaction Kinetics, Mechanisms and Catalysis. Springer
Netherlands, pp. 1–20.
Yuwan, S. (2016) ‘Studi kinetika reaksi katalitik hidrodeoksigenasi (HDO) metil
laurat dan metil palmitat dengan katalis NiMo/γ-Al2O3 tersulfidasi’, Tesis.
Zhang, H., Lin, H., Wang, W., Zheng, Y. and Hu, P. (2014) ‘Hydroprocessing of
waste cooking oil over a dispersed nano catalyst: Kinetics study and
temperature effect’, Applied Catalysis B: Environmental. Elsevier B.V., 150–
151(2014), pp. 238–348.
Zhou, L. and Lawal, A. (2017) ‘Kinetic study of hydrodeoxygenation of palmitic
acid as a model compound for microalgae oil over Pt/γ-Al2O3’, Applied
Catalysis A: General. Elsevier B.V., 532, pp. 40–49.
Zong, L., Ramanathan, S. and Chen, C. (2010a) ‘Fragment-Based Approach for
Estimating Thermophysical Properties of Fats and Vegetable Oils for
Modeling Biodiesel Production Processes’, pp. 876–886.
Zong, L., Ramanathan, S. and Chen, C. (2010b) ‘Predicting Thermophysical
Properties of Mono- and Diglycerides with the Chemical Constituent
Fragment Approach’, pp. 5479–5484.

122
LAMPIRAN

123
Lampiran A
Estimasi Parameter Fisika-kimia dan Perpindahan

Trigliserida merupakan spesies yang terdiri dari beberapa trigliserida dengan fraksi
tertentu. Hidrokarbon juga merupakan spesies yang terdiri dari beberapa
hidrokarbon dengan rentang C14-C18 dengan fraksi tertentu. Penyederhanaan
dilakukan dengan menganggap trigliserida dan hidrokarbon sebagai satu fluida.

A.1 Estimasi Viskositas Komponen

A.1.1 Estimasi viskositas Trigliserida

Trigliserida (TG) dianggap satu fluida homogen yang terdiri dari trigliserida-
trigliserida penyusun RPKO. Viskositas TG diestimasi berdasarkan jenis asam
lemak pada Tabel II.1 menggunaan persamaan yang diusulkan oleh (Zong dkk.,
2010a; Zong dkk., 2010b).

𝜇 𝑇𝐺 = 0,2129 + 0.00025 𝑇 (𝐴 − 1)

124
A.1.2 Estimasi viskositas Hidrokarbon

Trigliserida (HC) dianggap satu fluida homogen yang terdiri dari hidrokarbon hasil
reaksi yang tersaji pada Tabel III.1. Viskositas hidrokarbon diestimasi
menggunakan persamaan yang diusulkan oleh Mehrotra (1991).

𝜇𝐻𝐶 = 25,571−0.733 (𝐴 − 2)

A.1.3 Estimasi viskositas Gas

Estimasi viskositas gas-gas hasil reaksi HDO seperi hidrogen, propana dan air
menggunakan persamaan yang dikusulkan oleh NIST, Carmichael (1964), Pigott
(2011). Persamaan estimasi viskositas hidrogen diekstrapolasi dari data NIST pada
tekanan 20 bar.

𝜇 = (0.0205𝑇 + 2.8399)𝑥0.001 (𝐴 − 3)

Persamaan estimasi viskositas propana menggunakan persamaan yang


dikembangkan oleh Carmichael (1964).

(𝜂 − 𝜂0 ) = 𝐴𝜎 + 𝐵𝜎 2 + 𝐶𝜎 3 + 𝐷𝜎 4 (𝐴 − 4)

Tabel A.1 Konstanta estimasi viskositas propana


A B C D
26.14 0.355 0.179 x 10-3 0.0817 x 10-6

Persamaan estimasi viskositas air destinasi menggunakan persamaan yang


diusulkan oleh Al-Shemmeri (2012).

𝜇 = 42.872𝑇 −1.091 (𝐴 − 5)

125
A.2 Estimasi Densitas Komponen

A.2.1 Estimasi densitas Gas

Estimasi densitas hidrogen dan propana menggunakan persamaan hasil ekstrapolasi


data yang didapat NIST, sedangkan air menggunakan persamaan dari eksrapolasi
data McCutcheon dkk. (1993).

Persamaan estimasi densitas hidrogen,

𝜌 = 0.001(220.48𝑇 −1.003 ) (𝐴 − 6)

Persamaan estimasi densitas propana,

6
𝜌 = 0.575 − 0.00097 − ( ) (𝐴 − 7)
129 − 𝑡(℃)

Persamaan estimasi densitas air adalah

(𝑇 + 288.9414)
𝜌 = (1 − ) (𝑇 − 3.9863)2 (𝐴 − 8)
508929.2(𝑇 + 68.12963)

A.3. Estimasi Kapasitas panas Komponen

A.3.1. Estimasi kapasitas panas Trigliserida

Kapasitas panas trigliserida diestimasi menggunakan persamaan yang diusulkan


oleh Zong dkk. (2010b). Kapasitas panas dari trigliserida merupakan gabungan dari
asam lemak penyusun trigliserida tersebut.

𝐶𝑃 = ∑ 𝑁𝑓𝑟𝑎𝑔 𝐶𝑝,𝑖 (𝑇) ; 𝐶𝑝,𝑖 (𝑇) = 𝐴1,𝑖 + 𝐴2,𝑖 𝑇 (𝐴 − 9)

Tabel A.2 Konstanta estimasi kapasitas panas Triglierida


Fragmen 𝐴1,𝑖 𝐴2,𝑖
Trigliserol 6.1355 x 105 148.23
C14:0 3.0377 x 105 490.30
C16:0 3.3036 x 105 616.35
C18:0 3.6693 x 105 685.76
C18:1 3.9760 x 105 540.89

126
C18:2 3.9760 x 105 540.89

A.3.2. Estimasi kapasitas panas Hidrokarbon

Kapasitas panas diestimasi berdasarkan kontribusi grup penyusun rantai


hidrokarbon. Estimasi kapasitas panas hidrokarbon dihitung menggunakan
persamaan yang diusulkan oleh Ruzicka dan Domalski (1993).

𝑇 𝑇 2
𝐶𝑃 = 𝑅 ∑ 𝑛𝑖 ∆𝑐𝑖 ; ∆𝑐𝑖 = 𝑎𝑖 + 𝑏𝑖 + 𝑑𝑖 ( ) (𝐴 − 10)
100 100

Tabel A.3 Konstanta estimasi kapasitas pansa hidrokarbon


Grup 𝑎𝑖 𝑏𝑖 𝑑𝑖
𝐶𝐻3 3.8452 -3.399e-1 0.19489
𝐶𝐻2 2.7972 -5.4967e-2 0.10679

A.3.3. Estimasi kapasitas panas Gas

Kapasitas panas diestimasi menggunakan persamaan yang disajikan oleh Smith


dkk. (2005).

𝐶𝑃 = 𝑅(𝐴 + 𝐵𝑇 + 𝐶𝑇 2 + 𝐷/𝑇 2 ) (𝐴 − 11)

Tabel A.4 Konstanta estimasi kapasitas panas gas


Komponen 𝐴 𝐵 𝐶 𝐷
Hidrogen 3.249 0.422 - 0.083
Propana 1.213 28.785 -8.824 -
Air 3.470 1.450 - 0.121

A.4. Estimasi Panas Pembentukan Komponen

A.4.1 Estimasi panas pembentukan Trigliserida

Kapasitas panas trigliserida diestimasi menggunakan persamaan yang diusulkan


oleh Zong dkk. (2010b). Kapasitas panas dari trigliserida merupakan gabungan dari
asam lemak penyusun trigliserida tersebut.

127
1
∆𝐻°𝑓,𝑚𝑖𝑥 = ∑ ∆𝐻°𝑓,𝑖 (𝐴 − 12)
3

A.4.2 Panas pembentukan Hidrokarbon

Tabel A.5 Panas pembentukan beberapa hidrokarbon


Komponen ∆𝐻°𝑓,𝑖 (𝑘𝑐𝑎𝑙/𝑚𝑜𝑙)
C14, -79.38
C16 -89.23
C18 -99.08

A.4.3 Panas pembentukan Gas

Panas pembentukan hidrogen, propana dan air diambil dari Smith dkk. (2005).

Tabel A.6 Panas pembentukan beberapa gas


Komponen ∆𝐻°𝑓,𝑖 (𝑘𝐽/𝑚𝑜𝑙)
Hidrogen 0
Propana -104.68
Air -241.818

A.5 Konduktivitas Thermal Komponen

A.5.1 Konduktivitas Thermal Gas dan Cairan

Konduktivitas termal gas diestimasi menggunakan metoda Chung (1988) dalam


Poling dkk. (2001).

𝜆𝑔 𝑀𝑊 3.75 𝜓
= (𝐴 − 13)
𝜂 𝐶𝑉 𝐶𝑉 ⁄𝑅

128
A.5.2 Konduktivitas Thermal Trigliserida dan Hidrokarbon

Konduktivitas Thermal Trigliserida dan Hidrokarbon disajikan dalam Poling dkk.


(2001).

𝐴 (1 − 𝑇𝑟 )0.38
𝜆𝐿 = (𝐴 − 14)
𝑇𝑟 1/6

A.6 Estimasi Tekanan Uap Komponen

A.6.1 Estimasi tekanan uap Trigliserida

Tekanan uap trigliserida diestimasi menggunakan persamaan yang diusulkan Zong


dkk. (2010). Persamaan tersebut merupakan fungsi entalpi spesifik dan energi bebas
gibbs dari asam lemak penyusun trigliserida.

−∆𝐺𝜃𝑉𝐴𝑃 −∆𝐻𝜃𝑉𝐴𝑃 𝑉 1 1
log 𝑃(𝑇) = + ( − ) (𝐴 − 15)
𝑅𝜃 𝑙𝑛10 𝑅𝜃 𝑙𝑛10 𝜃 𝑇

A.6.2 Estimasi tekanan uap Hidrokarbon

Tekanan uap hidrokarbon dihitung menggunakan metoda yang diusulkan oleh


Růžička dkk. (2007).

𝑝𝑠𝑎𝑡 𝑇0
𝑙𝑛 ( ) = (1 − ) 𝑒𝑥𝑝(𝐴0 + 𝐴1 𝑇 + 𝐴2 𝑇 2 ) (𝐴 − 16)
𝑝0 𝑇

A.7 Estimasi Konstanta Henry

A.7.1 Estimasi Konstanta Henry Hidrogen dalam Trigliserida

Konstanta Henry kelarutan hidrogen dalam RPKO diestimasi menggunakan


konstanta Henry kelarutan hidrogen dalam minyak kedelai. Minyak kedelai
dianggap memiliki komposisi trigliserida yang tidak jauh berbeda dengan RPKO.

129
Konstanta Henry hidrogen dalam minyak kedelai diestimasi menggunakan
persamaan yang diusulkan oleh Fillion dan Morsi (2000).

−∆𝐸
𝐻 = 𝐻0 exp ( ) (𝐴 − 17)
𝑅𝑇

A.7.2 Estimasi Konstanta Henry Hidrogen dalam Hidrokarbon

Konstanta Henry kelarutan hidrogen dalam n-heksadekana diestimasi


menggunakan persamaan yang diusulkan oleh Trinh dkk. (2016).

1.5
𝐻 0.355
1
𝑇𝑟 ln 𝑠 = 𝑎′ + 𝑏′(1 − 𝑇𝑟 ) + 𝑐 𝑇𝑟 ( − 1) (𝐴 − 18)
𝑃1 𝑇𝑐

A.8 Estimasi Volume Molar Komponen

A.8.1 Estimasi Volume Molar Trigliserida

Volume molar trigliserida merupakan fungsi dari volume molar asam lemak
penyusun trigliserida. Volume molar trigliserida dihitung menggunakan persamaan
yang diusulkan oleh Zong dkk. (2010b).

𝑉 𝑙 = (0.21 + 0.00025𝑇) /1000 (𝐴 − 19)

A.8.2 Estimasi Volume Molar Hidrokarbon

Volume molar hidrokarbon diestimasi menggunakan persamaan yang diusulkan


oleh Růžička dkk. (2007).

𝑉𝑐
𝑉𝑙 = (𝐴 − 20)
𝑇 𝑖/3
∑ 𝐴𝑖 (1 − )
𝑇𝑐

130
A.9 Estimasi Diffusi Komponen

A.9.1 Estimasi Diffusi semua komponen

Diffusi gas ke cairan dan cairan ke padatan diestimasi menggunakan metoda Tyn
dan Calus (1975) dalam Poling dkk. (2001).

−3
𝑉𝐵0.267 𝑇
𝐷𝐴𝐵 = 8.93 𝑥 10 (𝐴 − 21)
𝑉𝐴0.433 𝜂𝐵

A.10 Estimasi Konstanta Perpindahan Massa Komponen

A.10.1 Koefisien Perpindahan Massa Fasa Gas ke Fasa Cair

Laju perpindahan komponen fasa gas kedalam fasa cair bergantung dari seberapa
besar koefisien perpindahan massa fasa gas ke fasa cair. Penentuan koefisen
transfer massa fasa gas ke fasa cair menggunakan persamaan Goto dan Smith
(1975) sebagai fungsi laju alir superfisial massa.

1
𝑘𝑖𝐿 𝑎𝐿 𝐺𝐿 0.4 𝜇𝐿 2
= 7( ) ( ) (𝐴 − 21)
𝐷𝑖𝐿 𝜇𝐿 𝜌𝐿 𝐷𝑖𝐿

A.10.2 Koefisien Perpindahan Massa Fasa Cair ke Fasa Padat

Laju perpindahan dari cairan ke katalis bergantung pada seberapa besar koefisien
perpindahan massa cairan ke katalis. Persamaan yang digunakan untuk penentuan
koefisen transfer massa fasa cair ke fasa padat adalah persamaan Krevelen-Krekels
dalam Korsten dan Hoffmann (1996).

1/3
𝑘𝑖𝑆 𝐺𝐿 1/2 𝜇𝐿
= 1.8 ( ) ( ) (𝐴 − 22)
𝐷𝑖𝐿 𝑎𝑆 𝑎𝑆 𝜇𝐿 𝜌𝐿 𝐷𝑖𝐿

131
A.11 Estimasi Konstanta Perpindahan Panas Komponen

A.11.1 Estimasi Konstanta Perpindahan Panas Fasa Gas ke Fasa Cair

persaamaan Konstanta Perpindahan Panas Fasa Gas ke Fasa Cair diestimasi


me3nggunakan persamaan yang diusulkan oleh Davis dan David (1964).

ℎ𝐺𝐿 𝐷 𝜌𝐿 0.28 𝐷𝐺𝑡 𝑥 0.87 𝐶𝑝 𝜇 0.4


= 0.060 ( ) ( ) ( ) (𝐴 − 23)
𝑘𝐿 𝜌𝐺 𝜇𝐿 𝑘 𝐿

A.11.2 Estimasi Konstanta Perpindahan Panas Fasa Cair ke Fasa Padat

Koefisen perpindahan energi menurut Carberry (1988) merupakan fungsi Prandtl


pangkat dua pertiga.

2
1.15 ℎ𝐿𝑆 𝐶𝑝𝐿 𝜇𝐿 3
= ( ) (𝐴 − 24)
√𝑅𝑒 𝐶𝑝𝐿 𝜇𝐿 𝜌𝐿 𝑘𝐿

Persamaan kesetimbagan hidrogen fasa gas dengan fasa cair dapat dilihat pada
persamaan III.3. Sedangkan persamaan keseimbangan uap cair dapat dilihat pada
persamaan III.4.

A.12 Diffusi Efektif

−10
𝑇 1.7 𝑅𝐵0.2 𝐴
𝐷𝑒 = 6.916𝑥10 (𝐴 − 25)
𝜇 0.8 𝑅𝐴0.4 𝐴0

𝐴 (1 − 𝜆)2 (1 − 2.0105𝜆 + 2.087𝜆3 − 1.707𝜆5 + 0.726𝜆6 )


=( ) (𝐴 − 26)
𝐴0 (1 − 0.7586𝜆5 )

A.13 Dispersi Massa dan Panas

A.13.1 Dispersi massa

Dispersi massa destinasi menggunkan persamaan yang diusulkan oleh Gunn (1987).

132
(𝜏𝑅𝑒 𝑆𝑐 + 𝑃𝑒𝑓 𝜀)
𝐷𝑒𝑟 = 𝑢𝑠 𝑑𝑃 (𝐴 − 27)
𝑃𝑒𝑓 𝜏𝑅𝑒 𝑆𝑐

A.13.2 Dispersi panas

Dispersi massa destinasi menggunkan persamaan yang diusulkan oleh Froment


dkk. (2011).

𝜆𝑒𝑟 = 𝜆0𝑒𝑟 + 𝛽𝑑𝑃 𝛼𝑟𝑣 + 𝜌𝐶𝑝𝐷𝑒𝑟 (𝐴 − 28)

A.14 Konsentrasi hidrogen di fasa cair

Fraksi mol hidrogen dalam fasa cair merupakan tekanan parsial hidrogen dibagi
konstanta Henry dalam komopen fasa cair Smith dkk. (2005).

𝑃𝐻𝐺2
𝐻𝐻2 −𝐶12
𝐹𝐻𝐶 𝑥
𝑃𝐻𝐺2
1−
𝐻𝐻2 −𝐶12
𝐶𝐻𝐿2 = ( ) (𝐴 − 29)
𝑉𝐻𝐶

A.15 Konstanta kesetimbangan uap cair

Konstanta kesetimbangan uap cair propana dan air destinasi menggunkan


persamaan yang diusulkan oleh Wilson (1968).

𝑃𝑐𝑖 𝑇𝑐𝑖
𝐾𝑖 = ( ) 𝑒𝑥𝑝 [5.37(1 + 𝜔) (1 − )] (𝐴 − 30)
𝑃 𝑇

133
134

Anda mungkin juga menyukai