Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik adalah suatu keadaan klinik yang ditandai dengan


proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema, dan hiperlipidemia. Umumnya, sindrom
nefrotik disebabkan oleh adanya kelainan glomerulus yang dapat dikategorikan dalam
bentuk primer dan sekunder. Istilah sindroma nefrotik primer dapat disamakan
dengan sindrom nefrotik idiopatik, karena penyebab terjadinya gejala yang tidak
diketahui secara pasti. Selain idiopatik, sindrom nefrotik dapat juga disebabkan oleh
gangguan sistemik lain yang menyebabkan kerusakan ginjal atau yang disebut juga
dengan sindrom nefrotik sekunder.1
Prevalensi sindrom nefrotik pada anak berkisar antara 2-5 kasus per 100.000
anak dan paling sering terjadi pada anak-anak dengan usia 3 hingga 5 tahun. Pada
anak, 90% kasus sindrom nefrotik adalah sindrom nefrotik primer dan sisanya
merupakan sindrom nefrotik sekunder. Kebanyakan sindrom nefrotik terjadi pada
anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan dengan perbandingan 2:1.1,2
Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak lebih sering jika dibanding
dengan angka kejadian sindrom nefrotik pada dewasa, dan kebanyakan sindrom
nefrotik pada anak adalah sindrom nefrotik primer. Sindrom nefrotik primer dapat
dibagi menjadi beberapa jenis sesuai dengan histopatologinya.3
Pada referat ini, akan dibahas mengenai sindrom nefrotik pada anak dan
tatalakasananya. Sehinggi diharapkan dapat membantu pembaca untuk mengerti dan
mengetahui manifestasi serta tatalaksana dari sindrom nefrotik.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI4
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala:
1. Proteinuria masif (>40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin
sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3. Edema
4. Hiperkolesterolemia > 200 mg/dL.

2.2 KLASIFIKASI4
Berdasarkan gambaran patologi anatomi, sindrom nefrotik primer atau idiopatik
terdiri dari:
 Minimal Changes Nephrotic Syndrome (MCNS)
 Focal Segmental Glomerulosclerosis (FSGS)
 Mesangial Proliferative Diffuse (MPD)
 Membranoploriferative Glomerulonephritis (MPGN)
 Membranous Nephropathy (MN)

2.3 ETIOLOGI1,2
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1. Sindrom nefrotik primer1
Faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh
karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus
itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada
anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik

2
kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu
lahir atau usia di bawah 1 tahun.
Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer
dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney
Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui
pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan
pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Tabel di bawah ini
menggambarkan klasifikasi histopatologik sindrom nefrotik pada anak
berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi ISKDC (International
Study of Kidney Diseases in Children, 1970) serta Habib dan Kleinknecht (1971).
Tabel 1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer3
Kelainan minimal (KM)
Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
Glomerulopati membranosa (GM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
Sumber : Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T,
Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.

Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa


sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik
tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak.1,2
Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak berbeda
dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya menemukan hanya 44.2% tipe
kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi,

3
sedangkan Noer di Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal dari 401
anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi.1
2. Sindrom nefrotik sekunder 1,2
Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari
berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang
sering dijumpai adalah :
a. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom
Alport, miksedema.
b. Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus,
AIDS.
c. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun
serangga, bisa ular.
d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik,
purpura Henoch-Schönlein, sarkoidosis.
e. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.

2.4 BATASAN4
Batasan yang digunakan pada sindrom nefrotik :
Tabel 2. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindroma nefrotik
1 Remisi Proteinuria negatif atau trace (proteinuria <4mg/m2 LPB/jam)
3 hari berturut-turut dalam satu minggu
2 Relaps Proteinuria ≥2+ (>40mg/m2LPB/jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu >2mg) 3 hari berturut
dalam satu minggu
3 Sensitif steroid Sindrom nefrotik yang remisi setelah pemberian prednison
(SNSS) dosis penuh (2mg/kg/hari) selama 4 minggu
4 Resisten Tidak mengalami remisi setelah pemberian prednison dosis
steroid (SNRS) penuh (2mg/kg/hari) selama 4 minggu
5 Relaps jarang Relaps kurang dari 2x dalam 6 bulan pertama setelah respons
awal atau kurang dari 4x per tahun
6 Relaps sering Relaps ≥ 2x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal ≥ 4x
dalam periode satu tahun

4
7 Dependen Relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan
steroid (alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan

2.5 PATOFISIOLOGI
Kelainan pokok pada sindrom nefrotik adalah peningkatan permeabilitas
dinding kapiler glomerulus yang menyebabkan proteinuria masif dan
hipoalbuminemia. Sindrom nefrotik idiopatik berkaitan pula dengan gangguan
kompleks pada sistem imun, terutama imun yang dimediasi oleh sel T. Pada focal
segmental glomerulosclerosis (FSGS), faktor plasma, diproduksi oleh bagian dari
limfosit yang teraktivasi, bertanggung jawab terhadap kenaikan permeabilitas dinding
kapiler. Selain itu, mutasi pada protein podosit (podocin, α-actinin 4) dan MYH9 (gen
podosit) dikaitkan dengan focal segmental glomerulosclerosis (FSGS). Sindrom
nefrotik resisten steroid dapat dikaitkan dengan mutasi kunci gen koding protein
podosit antara lain inter alia NPHS1, NPHS2, CD2AP, TRCP6 dan ACTN4.2

1) Edema
Edema merupakan manifestasi klinik yang pertama kali muncul pada pasien-
pasien dengan sindrom nefrotik. Biasanya, muncul edema ringan dan muncul di
tempat-tempat tertentu seperti di daerah periorbital pada pagi hari yang menjadi lebih
luas jika pasien beraktivitas. Edema disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik
intravaskuler dan menyebabkan cairan intravaskular berpindah ke ruang interstisial.
Adanya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus menyebabkan albumin keluar
sehingga terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia. Sebagai akibatnya, volume cairan
intravaskular berkurang sehingga menurunkan jumlah aliran darah ke renal. Ginjal
akan melakukan kompensasi dengan merangsang produksi renin-angiotensin dan
peningkatan sekresi anti diuretik hormon (ADH) dan sekresi aldosteron yang
menyebabkan retensi natrium dan air dan terjadinya edema. Pada tingkat yang lebih
parah, edema dapat menyebabkan berbagai gejala yang berhubungan dengan asites,
efusi pleura, dan edema scrotal atau vulva. 2

5
2) Hipoalbuminemia
Abnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung dengan proteinuria
adalah hipoalbuminemia. Salah satu manifestasi pada pasien sindrom nefrotik pada
anak terjadi hipoalbuminemia apabila kadar albumin kurang dari 2,5 g/dL. Pada
keadaan normal, produksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari (130-200 mg/kg) dan
jumlah yang diproduksi sama dengan jumlah yang dikatabolisme. Katabolisme secara
dominan terjadi pada ekstrarenal, sedangkan 10% di katabolisme pada tubulus
proksimal ginjal setelah resorpsi albumin yang telah difiltrasi. Pada pasien sindrom
nefrotik, hipoalbuminemia merupakan manifestasi dari hilangnya protein dalam urin
yang berlebihan dan peningkatan katabolisme albumin. Pada keadaan normal, laju
sintesis albumin di hepar dapat meningkat hingga 300%, sedangkan penelitian pada
penderita sindrom nefrotik dengan hipoalbuminemia menunjukan bahwa laju sintesis
albumin di hepar hanya sedikit di atas keadaan normal meskipun diberikan diet
protein yang adekuat. Hal ini mengindikasikan respon sintesis terhadap albumin oleh
hepar tidak adekuat. 2
3) Proteinuria
Protenuria sebagian besar berasal dari kebocoran glomerulus dan hanya
sebagian kecil dari sekresi tubulus. Perubahan integritas membrana basalis
glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein
plasma dan albumin. Derajat proteinuria tidak berhubungan langsung dengan
keparahan kerusakan glomerulus. Pasase protein plasma yang lebih besar dari 70kD
melalui membrana basalis glomerulus normalnya dibatasi oleh charge selective
barrier ( suatu polyanionic glycosaminoglycan) dan size selective barrier.2
4) Hiperkolesterolemia
Tingkat kolesterol dalam darah pada pasien steroid-responsive NS dapat
ditemukan dalam kadar yang tinggi (kolesterol level serum ≥300-500 mg/dL).
Peningkatan kolestrol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL)
dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid

6
di hepar dan penurunan katabolisme di perifer. Peningkatan sintesis lipoprotein lipid
distimulasi oleh penurunan albumin serum dan perubahan tekanan onkotik. 2

Teori Underfill dan Overfill


Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu
rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium
dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah.
Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill.3 Dalam teori ini dijelaskan bahwa
peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia.
Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena
tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan
volume plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga
timbullah konsep baru yang disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal
natrium dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada
stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi
volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat
overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat
menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan
aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia.
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang
dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung
bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis
penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih
dari satu.3

7
Teori Underfilled Teori Overfilled

Kelainan Glomerolus Kelainan Glomerolus

albuminuria Retensi Na renal


primer
Hipoalbuminemia
Volume Plasma >>>

Tek.Onkotik koloid
plasma <<<

Volume Plasma >>> Edema

Retensi Na renal
sekunder >>>

Edema

Gambar 1. Teori Underfilled dan overfilled3

2.6 MANIFESTASI KLINIK5


Manifestasi klinis yang menyertai sindroma nefrotik antara lain:
1. Proteinuria
2. Edema
3. Edema dapat bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edema biasanya
lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan disekitar mata
(periorbital) dan berlanjut ke abdomen daerah genitalia dan ekstremitas bawah
4. Asites atau efusi pleura
5. Anoreksia
6. Iritabel
7. Nyeri perut, diare

8
2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang untuk mendukung diagnosis sindrom nefrotik, antara lain:
1. Urinalisis5
Proteinuria dapat dideteksi menggunakan uji dipstick dengan hasil +3 atau +4.
Pemeriksaan kuantitatif menunjukan hasil dengan batasan 1-10g/hari. Proteinuria
pada SN didefinisikan >50mg/kg/hari atau >40mg/m2 LPB/jam. Jumlah protein yang
diekskresikan dalam urin tidak mencerminkan kuantitas protein yang melewati
glomerular basement membrane (GBM) karena sejumlah tertentu telah direabsorbsi
di tubulus proksimal. Biasanya pada SN resisten terhadap steroid (SNRS), urin tidak
hanya mengandung albumin tapi juga protein lain dengan berat molekul yang lebih
tinggi. Hal ini dilihat pada polyacrylamide gel electrophoresis dan dihitung dengan
alat indeks selektivitas.
2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari.5
3. Pemeriksaan darah5
 Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,
hematokrit, LED)
 Albumin
Protein serum biasanya menurun dan lipid serum dapat meningkat.
Proteinemia <50g/L terjadi pada 80% pasien dan <40g/L pada 40% pasien.
Konsentrasi albumin menurun <20g/L hingga 10g/L.
 Kolestrol serum
Hiperlipidemia akibat dari peningkatan sintesis kolestrol, trigliserida dan
lipoprotein, menurunnya katabolisme lipoprotein karena menurunnya
akitivitas lipase lipoprotein.
 Elektrolit serum

9
Kadar natrium yang rendah berkaitan dengan dilusi yang disebabkan
hipovolemia dan sekresi hormon antidiuretik yang terganggu. Kalium dapat
meningkat pada pasien oliguria.
 Ureum, kreatinin, dan klirens kreatinin
Kadar blood urea nitrogen dapat normal atau sedikit meningkat, anemia
dengan mikrositosis bias terjadi dan berhubungan dengan kehilangan
siderophilin melalui urin.
Pengukuran dapat dilakukan dengan cara klasik ataupun dengan rumus Schwartz.
Rumus Schwartz digunakan untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus (LFG).

eLFG = k x L/Scr

eLFG : estimated LFG (ml/menit/1,73 m2)


L : tinggi badan (cm)
Scr : serum kreatinin (mg/dL)
k : konstanta (bayi aterm:0,45; anak dan remaja putri:0,55; remaja putra:0,7)

2.8 PENATALAKSANAAN
A. TATALAKSANA UMUM4
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah
sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit,
penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.
Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan berikut:
1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
2. Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus
eritematosus sistemik, purpura Henoch Schonlein.
4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi
perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.

10
5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6
bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat
antituberkulosis (OAT).
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema
anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau
syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan
kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh sekolah.

Diitetik4
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan
menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein
akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan
pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2
g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.

Diuretik 4
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop
diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan
spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari.
Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada
pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit
kalium dan natrium darah.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi
karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/ dL), dapat diberikan infus
albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari
jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb.
Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari

11
secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi
dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-
sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan.
Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan
pungsi asites berulang.
Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.

Gambar 2. Algoritme pemberian diuretic4

Imunisasi
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/ kgbb/
hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien
imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat
dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated polio
vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin
virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN

12
sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan
varisela. 4
B. PENGOBATAN DENGAN STEROID
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila
ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon.

a) TERAPI INSIAL
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison 60
mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/ hari) dalam dosis terbagi,
untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal
(berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial
diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan
dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5
mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila
setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien
dinyatakan sebagai resisten steroid (Gambar 3). 2,4,5

Gambar.3. Terapi Inisial

1. PENGOBATAN SN RELAPS
Diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu)
dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang

13
mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum pemberian
prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila
terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria
menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan
proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan
prednison mulai diberikan. 2,4

Gambar. 4. Pengobatan SN Relaps

2. PENGOBATAN SN RELAPS SERING ATAU DEPENDEN STEROID


Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid: 2,4
1) Pemberian steroid jangka panjang
2) Pemberian levamisol
3) Pengobatan dengan sitostatik
4) Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil (opsi terakhir)
Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, radang
telinga tengah, atau kecacingan.

1) Steroid jangka panjang


Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah
remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb
secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb

14
setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak
menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut
dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba
dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan prednison 0,5
mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb secara alternating. 2,4
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/ kgbb alternating,
maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/ kgbb dalam dosis terbagi,
diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka prednison diturunkan
menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb
setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat
terjadi relaps yang sebelumnya atau relaps yang terakhir. 2,4
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating,
tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba
dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau
langsung diberikan siklofosfamid (CPA). 2,4

2) Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisol diberikan
dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek
samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan
neutropenia yang reversibel. 2,4

3) Sitostatika 2,4
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak
adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil.
Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/ hari dalam
dosis tunggal (Gambar 4), maupun secara intravena atau puls (Gambar 5). CPA puls
diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/ m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan
NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan

15
interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping
CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik,
azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena
itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit,
trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit 5.000/uL, hemoglobin >8
g/dL, trombosit >100.000/uL.
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total
kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan
mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak.
Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu.
Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang
dan infeksi.

Gambar.5. Pengobatan SN Relaps Sering4

16
Gambar 6. Pengobatan SN Dependen Steroid4

4) Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau
sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari
(100-150 mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin
darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid,
CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid
dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps

17
kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan pemantauan pemberian CyA
dapat dilihat pada bagian penjelasan SN resisten steroid. 2,4

5) Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)


Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik
dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200 mg/m2 LPB atau
25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan.
Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia. 2,4

Gambar 7. Ringkasan Pengobatan SN relaps sering / dependen steroid4

18
3. PENGOBATAN SN DENGAN KONTRAINDIKASI STEROID
Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid,
seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat,
maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat
diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara
intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan
dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL
0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval
1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). 2,4

4. PENGOBATAN SN RESISTEN STEROID


Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan.
Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal
untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi anatomi
mempengaruhi prognosis. 2,4
1. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan
remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan pemberian CPA, bila
terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena SN yang resisten steroid
dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh tidak
terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen steroid kembali, dapat
diberikan siklosporin. 2,4
2. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total
sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.18 Efek samping CyA
adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan juga bersifat
nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada
pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap: (1). Kadar CyA dalam darah:

19
dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL. (2). Kadar kreatinin darah berkala. (3).
Biopsi ginjal setiap 2 tahun 2,4
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam
literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau
sangat selektif.
3. Metilprednisolon Puls
Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil
prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau
klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000 mg)
dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam. 2,4
4. Obat imunosupresif lain
Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS adalah
vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam literatur yang
masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belum
direkomendasi di Indonesia. 2,4

20
Gambar 8. Pengobatan SN Resisten Steroid4

2.9 KOMPLIKASI
Komplikasi pada sindrom nefrotik dapat berasal dari penyakitnya sendiri
ataupun sekunder dari pengobatannya. Lima komplikasi utama yang berhubungan
dengan sindrom nefrotik idiopatik pada anak adalah infeksi, tromboembolisme,
gangguan ginjal, anasarka, hipovolemia dan retardasi pertumbuhan. Anak dengan

21
sindrom nefrotik yang relaps mempunyai kerentanan lebih tinggi untuk menderita
infeksi bakteri karena hilangnya imunoglobulin dan faktor B properdin melalui urin,
kecacatan sel yang dimediasi imunitas, terapi imuosupresif, malnutrisi, dan edema
atau asites. Spontaneus bacterial peritonitis adalah infeksi yang biasa terjadi,
walaupun sepsis, pneumonia, selulitis, dan infeksi traktus urinarius mungkin terjadi.
Meskipun Streptococcus pneumonia merupakan organisme tersering penyebab
peritonitis, bakteri gram negatif seperti Escherichia coli, mungkin juga ditemukan
sebagai penyebab.5

22
BAB III
KESIMPULAN

Sindrom nefrotik adalah kumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh


proteinuria masif >3,5 gram/hari, hipoalbuminemia <3,5gram/dl, edema,
hiperkolesterolemia, lipiduria dan hiperkoagubilitas. Angka kejadian SN berkisar 3
hingga 5 tahun. Berdasarkan kelainan histopatologis, sindrom nefrotik yang paling
sering ditemukan adalah perubahan minimal changes nephrotic syndrome dan focal
segmental glomerulosclerosing. Gejala dan tanda klinis yang sering ditemukan yaitu
pitting edema, proteinuria masif, hiperkolesterolemia dan hipoalbuminemia.
Pendekatan diagnosis sindrom nefrotik berdasarkan amnesa, pemeriksaan fisik yang
didapat, pemeriksaan laboratorium dan dikonfrimasi dengan biopsi renal untuk
pemeriksaan histopatologis. Pengobatan pada sindroma nefrotik dapat berupa
pengobatan medikamentosa dan pengobatan suportif. Pengobatan medikamentosa
dapat berupa pemberian kortikosteroid dalam terapi inisial, pemberian levamisol,
pengobatan dengan sitostatik dan siklosporin pada sindroma nefrotik yang relaps atau
resisten steroid. Sedangkan terapi suportif dapat berupa pembatasan diet (sesuai
dengan recommended daily allowances yaitu 1,5-2g/KgBB/hari), pemberian diuretik
dan pembatasan intake cairan oral. Terapi medikamentosa dan suportif harus
diberikan secara kombinasi. Komplikasi dari sindrom nefrotik berupa infeksi,
tromboemboli, gagal ginjal akut, anasarka, hipovolemia dan gangguan pertumbuhan.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. International Study of Kidney Disease in Children, 1978. Nephrotic syndrome in


children. Prediction of histopathology from clinical and laboratory chracteristics
at time of diagnosis. Kidney Int 13 : 159.
2. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI p. 381-426.
3. Feehally J, Johnson RJ, 2000. Introduction to Glomerular Disease : Clinical
Presentations. In : Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive Clinical
Nephrology. London : Mosby; p. 5 : 21.1-4.
4. Trihono PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede S. Konsensus Tatalaksana sindrom
nefrotik idiopatik pada anak. Edisi 2. Jakarta. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi
IDAI.; 2008. P. 1-20
5. Pudijaji A, Hegar B, Hendrayastuti S, Idris NS, Gandaputra EP. Harmoniati ED.
SIndrom Nefrotik. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: Bdan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2009 p. 274-276.

24

Anda mungkin juga menyukai