CPEO Telaah Ilmiah
CPEO Telaah Ilmiah
Oleh
Asnhy Anggun Dien Putri, S.Ked
04054821618097
Pembimbing
dr. Riani Erna, SpM
Oleh:
Asnhy Anggun Dien Putri, S.Ked
04054821618097
Telaah ilmiah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
periode 11 Desember 2017 s.d 15 Januari 2018
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan
berkat-Nya, telaah ilmiah yang berjudul “Chronic Progressive External
Ophthalmoplegia” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Telaah Ilmiah ini dibuat
untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu
Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Riani Erna, Sp.M
atas bimbingannya sehingga penulisan telaah ilmiah ini menjadi lebih baik.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Otot rektus horisontalis terdiri atas otot rektus medialis dan rektus
lateralis, yang keduanya berasal dari annulus Zinnii. Otot rektus medialis
diinervasi oleh nervus okulomotorius ramus inferior dan divaskularisasi oleh
arteri-arteri oftalmika cabang muskularis medialis. Aksi otot rektus medialis
pada posisi primer adalah adduksi, yaitu gerakan bola mata ke arah nasal atau
rotasi ke dalam. Sedangkan otot rektus lateralis diinervasi oleh nervus abdusen
serta divaskularisasi oleh arteri oftalmika cabang muskularis lateralis dan
arteri lakrimalis. Aksi otot rektus lateralis pada posisi primer adalah abduksi,
yaitu gerakan bola mata ke arah temporal atau rotasi ke luar.5
2
3
Otot rektus vertikalis terdiri dari otot rektus superior dan rektus
inferior. Otot rektus superior diinervasi oleh nervus okulomotorius ramus
superior dan divaskularisasi oleh arteri oftalmika cabang muskularis lateralis.
Pada posisi primer, otot rektus superior membentuk sudut 23⁰ ke arah lateral
sumbu penglihatan serta memiliki aksi primer elevasi, aksi sekunder intorsi
atau insikloduksi, dan aksi tersier adduksi. Otot rektus inferior diinervasi oleh
nervus okulomotorius ramus inferior dan di divaskularisasi oleh arteri
oftalmika cabang muskularis medialis dan arteri infraorbitalis. Pada posisi
primer, otot rektus inferior membentuk sudut 23⁰ ke arah lateral dari sumbu
penglihatan, serta memiliki aksi primer depresi, aksi sekunder ekstorsi atau
eksikloduksi dan aksi tersier adduksi.5
Otot oblikus superior diinervasi oleh nervus trochlearis dan
divaskularisasi oleh arteri oftalmika cabang muskularis lateralis. Pada posisi
primer, otot oblikus superior membentuk sudut 51-54⁰ dari sumbu
penglihatan, serta memiliki aksi primer intorsi atau insikloduksi, aksi sekunder
depresi, dan aksi tersier abduksi.5
Otot oblikus inferior diinervasi oleh nervus okulomotorius ramus
inferior serta divaskularisasi oleh arteri oftalmika cabang muskularis medialis
dan arteri infraorbitalis. Pada posisi primer, otot oblikus inferior membentuk
sudut 51⁰ dari sumbu penglihatan, serta memiliki aksi primer ekstorsi atau
eksikloduksi, aksi sekunder elevasi, dan aksi tersier abduksi.5
Field of action sebuah otot adalah posisi gaze saat otot tersebut
menjadi penggerak utama bola mata. Seluruh pergerakan bola mata
merupakan hasil kombinasi kontraksi dan relaksasi beberapa otot, namun
terdapat delapan posisi gaze dengan sebuah otot memberikan kekuatan
dominan.5
Duksi adalah pergerakan monokuler bola mata mengitari axes of Fick,
terdiri atas adduksi, abduksi, elevasi, atau supraduksi, depresi atau infraduksi,
intorsi atau insikloduksi, dan ekstorsi atau eksikloduksi. Gerakan duksi dapat
dievaluasi klinis dengan menutup mata jiran, lalu penderita diperintahkan
mengikuti target pada setiap arah gaze.5
Pasangan agonis-antagonis adalah pasangan otot di satu mata yang
menggerakkan bola mata tersebut pada arah yang berlawanan. Pasangan
agonis-antagonis tersebut antara lain: otot rektus medialis dan rektus lateralis,
rektus superior dan rektus inferior, serta oblikus superior dan oblikus inferior.
Sinergis ialah otot di mata yang sama dengan agonis, dan menggerakkan bola
mata tersebut pada arah yang sama, misanya: otot oblikus inferior bertidak
sinergis bersama otot rektus superior pada gerakan elevasi bola mata.5
Pergerakan mata binokuler terdiri atas versi dan vergen. Versi adalah
pergerkan konjugasi kedua mata secara simultan pada arah yang sama, antara
lain: dekstroversi, levoversi, elevasi, depresi, dekstrosikloversi, dan
levosikloversi.5
7
kesulitan untuk memfiksasi matanya ke titik fiksasi atau dapat menjadi benar-
benar tidak mampu melakukan gerakan tersebut.7
Ringkasnya, lapangan mata involuntar di korteks oksipitalis sebelah
posterior secara otomatis akan memaku mata pada suatu titik pada lapangan
pandang yang diinginkan sehingga dapat mencegah terjadinya gerakan
bayangan menyilang retina. Untuk melepaskan diri dari fiksasi penglihatan ini,
sinyal voluntar harus dijalarkan dari lapangan mata voluntar kortikal yang
terletak di korteks frontal.7
Jenis fiksasi involunter yang telah dibahas pada bagian sebelumnya
berasal dari mekanisme umpan balik negatif yang mencegah objek perhatian
agar tidak sampai meninggalkan fovea retina. Secara normal, mata memiliki
tiga macam gerakan yang berjalan secara kontinu namun tidak terasa yaitu
tremor yang terus menerus dengan kecepatan 30-80 siklus per detik yang
disebabkan oleh kontraksi yang beruntun dari unit motor pada otot-otot mata,
penyimpangan yang lambat dari bola mata ke satu jurusan atau ke jurusan
lainnya, dan gerakan ceklikan tiba-tiba yang diatur oleh mekanisme fiksasi
involuntar.7
Bila sebuah titik cahaya sudah difiksasi pada regio fovea retina, adanya
gerakan tremor akan menyebabkan titik cahaya itu bergerak maju-mundur
dengan cepat menyilang konus, dan gerakan penyimpangan akan
menyebabkan titik tersebut menyimpang konus secara perlahan. Setiap kali
titik cahaya menyimpang sampai pada tepi fovea, timbul suatu reaksi reflex
yang mendadak, sehinggan menyebabkan gerakan ceklikan yang nantinya
akan memindahkan titik itu menjauhi tepi dan kembali ke bagian tengah fovea
lagi. Jadi respon otomatis memindahkan bayangan kembali ke bagian tengah
fovea. Kemampuan fiksasi involuntar ini sebagian besar akan hilang ketika
kolikulus superior dirusak.7
Bila bayangan penglihatan bergerak secara terus-menerus di depan
mata, misalnya sewaktu seseorang sedang mengendarai mobil, mata akan
terfiksasi pada satu sorotan cahaya ke satu sorotan cahaya lain dalam lapang
pandang, melompat-lompat dari satu tempat ke tempat lain dengan kecepatan
9
dua sampai tiga lompatan per detik. Lompatan ini disebut sakade dan
gerakannya disebut optokinetik. Gerakan sakadik ini begitu cepatnya sehingga
waktu yang dibutuhkan untuk menggerakkan mata tersebut tidak lebih dari 10
persen waktu total, sedangkan 90 persennya dipakai untuk fiksasi. Juga,
selama timbul gerakan sakadik ini, otak akan menekan bayangan penglihatan
sehingga orang itu tidak merasakan adanya gerakan perpindahan dari satu titik
ke titik lain. Gerakan sakadik ini juga terjadi pada saat membaca atau
memperhatikan suatu lukisan.7
Mata juga dapat tetap difiksasi pada objek yang bergerak, yang disebut
dengan gerakan mengejar. Mekanisme kortikal yang sangat berkembang
secara otomatis dapat mendeteksi rangkaian gerakan suatu objek dan
selanjutnya secara cepat membuat serangkaian pergerakan yang sama pada
mata. Contohnya, bila ada objek yang bergerak ke atas dan ke bawah seperti
bentuk gelombang dengan kecepatan beberapa kali per detik, mula-mula mata
tidak mampu berfiksasi pada objek tersebut. Namun setelah satu detik atau
lebih, mata akan mulai melompat dengan memakai gerakan sakadik menurut
suatu pola yang mirip dengan pergerakn objek tersebut, lalu setelah beberapa
detik kemudian, secara progresif, mata akan mulai semakin lancar dan
semakin halus bergerak dan akhirnya mengikuti pergerakan gelombang
tersebut dengan kecepatan yang hampir sama. Keadaan ini menunjukkan
adanya kemampuan secara otomatis dan tidak disadari serta penuh
perhitungan yang dilakukan oleh sistem pengejaran untuk mengendalikan
pergerakan mata.7
Terjadi interaksi di antara sel-sel saraf korteks ini yang menyebabkan eksitasi
gangguan dalam sel saraf yang spesifik bila kedua gambaran penglihatan tidak
tercatat, yakni tidak terjadi fusi secara cepat. Rangsangan ini mungkin
memberikan sinyal yang dijalarkan ke apparatus okulomotor yang
menyebabkan gerakan mata konvergen, divergen, atau rotasi supaya fusi dapat
dibentuk kembali. Sekali titik korespondensi kedua retina dicatat, eksitasi
gangguan dalam sel spesifik di korteks penglihatan akan menghilang.7
2.2.2 Etiologi
Sejumlah besar kelainan yang terkait dengan mata atau sistem visual
melibatkan delesi dan mutasi mitokondrial. Penyakit mitokondria harus
dipertimbangkan ketika pola pewarisan sifat menunjukkan transmisi maternal.
Meskipun pola pewarisan menyerupai sifat X-linked, pada transmisi maternal
baik anak perempuan maupun anak laki-laki dapat mewarisi sifat tersebut,
namun hanya anak perempuan yang dapat menurunkannya.9
Fenotipe dan keparahan penyakit mitokondria bergantung pada sifat
mutasi, derajat heteroplasmi, dan kebutuhan oksidatif jaringan yang terlibat.
11
2.2.3 Patofisiologi
DNA mitokondria mengkodekan komponen penting dalam rantai
pernafasan. Delesi dari berbagai bagian mtDNA mengakibatkan gangguan
fungsi mitokondria, terutama pada jaringan dengan oksidasi tinggi (otot, otak,
jantung). Otot ekstraokuler juga turut terpengaruh karena bagian volume
mitokondrianya beberapa kali lebih besar dibandingkan otot lurik lainnya.10,11
Proporsi variabel mtDNA yang terdelesi ditemukan pada jaringan yang
berbeda dari pasien yang sama. Keseimbangan kebutuhan oksidatif dari
jaringan tertentu dan proporsi mtDNA yang terdelesi pada akhirnya akan
menentukan apakah jaringan tersebut terkena dampak klinis.12
Pada setiap pembelahan sel, jumlah salinan mtDNA mutan yang
dipartisi ke sel anak tertentu bersifat acak, tidak seperti pada pewarisan
Mendel. Setelah sejumlah pembelahan sel, beberapa sel secara kebetulan
menerima mtDNA yang lebih normal atau lebih mutan menuju homoplasmi di
sel berikutnya. Proses ini disebut segregasi replikatif. Pada delesi mtDNA,
replikasi molekul lebih kecil yang terdelesi, menyebabkan peningkatan salinan
yang terdelesi dari waktu ke waktu. Kecenderungan terhadap homoplasmi
membantu menjelaskan mengapa penyakit memburuk seiring bertambahnya
usia dan mengapa sistem organ yang sebelumnya tidak terlibat dalam penyakit
mitokondria multisistem menjadi terlibat. Pada CPEO terjadi kelainan akibat
penyusunan ulang mtDNA (delesi dan insersi) yang besar.9
Gangguan sintesis protein dalam mitokondria mempengaruhi ciri
histologis miopati mitokondria. Ketika serat otot diwarnai dengan pewarnaan
trichrome Gomori, akumulasi mitokondria yang abnormal terlihat di bawah
12
sarkolema. Serat ini disebut “ragged red fibers” karena penampilannya yang
tidak biasa dan berwarna merah gelap.13
Gambar 2.5 Tahap lanjut CPEO pada wanita 44 tahun. Nampak ptosis bilateral
inkomplit dan tidak mampu menggerakkan bola mata ke arah manapun kecuali depresi.
2.2.7 Penatalaksanaan
Pilihan pengobatan pada kelainan motilitas okular terbatas.
Pembedahan dengan menaikkan kelopak mata bagian atas dapat mengurangi
postur dagu yang berat. Namun, koreksi bedah ptosis memiliki risiko tinggi
mengalami keratopati, terutama karena mata akan kehilangan fenomena Bell
selama perjalanan penyakit dan pembasahan kornea tidak akan terjadi.14,17
Sebuah laporan penelitian menunjukkan bahwa pemberian koenzim
Q10, satu kuinon yang ditemukan dalam sistem oksidatif mitokondria (dengan
dosis yang dilaporkan 60-120 mg setiap hari selama 3 bulan pada satu pasien,
50 mg 3 kali sehari selama 3 bulan pada dua orang lainnya), dapat
memperbaiki blok AV serta menormalkan kadar piruvat dan laktat serum;
memperbaiki fungsi neurologis tanpa efek pada oftalmoplegia atau
16
2.2.8 Prognosis
Individu dengan CPEO terisolasi umumnya memiliki harapan hidup
normal. Sementara gejala cenderung memburuk dari waktu ke waktu, gejala
spesifik dan tingkat keparahannya bisa sangat bervariasi pada tiap orang.
Karena itu, saat gejala pertama kali muncul, perjalanan penyakit sangat sulit
diprediksi.
BAB III
KESIMPULAN
17
18
DAFTAR PUSTAKA