Anda di halaman 1dari 23

Telaah Ilmiah

CHRONIC PROGRESSIVE EXTERNAL


OPHTHALMOPLEGIA (CPEO)

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSMH Palembang

Oleh
Asnhy Anggun Dien Putri, S.Ked
04054821618097

Pembimbing
dr. Riani Erna, SpM

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Telaah Ilmiah


Chronic Progressive External Ophthalmoplegia

Oleh:
Asnhy Anggun Dien Putri, S.Ked
04054821618097

Telaah ilmiah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
periode 11 Desember 2017 s.d 15 Januari 2018

Palembang, Desember 2017

dr. Riani Erna, Sp.M

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan
berkat-Nya, telaah ilmiah yang berjudul “Chronic Progressive External
Ophthalmoplegia” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Telaah Ilmiah ini dibuat
untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu
Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya.

Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Riani Erna, Sp.M
atas bimbingannya sehingga penulisan telaah ilmiah ini menjadi lebih baik.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan telaah


ilmiah ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis
harapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang. Semoga
telaah ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat digunakan sebaik
mungkin untuk kedepannya.

Palembang, Desember 2017

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................2
2.1 Anatomi dan Fisiologi ..................................................................................2
2.2 Chronic Progressive External Ophthalmoplegia .......................................10
2.2.1. Definisi ...........................................................................................10
2.2.2. Etiologi ...........................................................................................10
2.2.3. Patofisiologi ...................................................................................11
2.2.4. Gambaran Klinis ............................................................................12
2.2.5. Diagnosis Banding .........................................................................13
2.2.6. Penegakan Diagnosis......................................................................14
2.2.7. Penatalaksanaan .............................................................................15
2.2.8. Prognosis ........................................................................................16
BAB III KESIMPULAN .....................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................18

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Chronic Progressive External Ophthalmoplegia (CPEO) adalah suatu


kondisi yang ditandai terutama oleh hilangnya fungsi otot yang terlibat dalam
pergerakan mata dan kelopak mata. Tanda dan gejala cenderung dimulai pada
awal masa dewasa, umumnya meliputi kelemahan atau kelumpuhan otot yang
menggerakkan bola mata (ophthalmoplegia) dan jatuhnya kelopak mata (ptosis).
1,2

Beberapa individu yang terkena juga memiliki kelemahan umum otot


rangka (miopati). Kelemahan otot juga bisa menyebabkan kesulitan menelan
(disfagia). CPEO dapat disebabkan oleh mutasi pada gen, yang terletak pada DNA
mitokondria dan DNA nuklear. CPEO memiliki pola pewarisan yang berbeda
tergantung pada gen yang terlibat pada individu yang terkena.2
Prevalensi penyakit mitokondria di seluruh dunia yaitu 11,5 kasus per
100.000 penduduk. Di Amerika Serikat, CPEO jarang terjadi. Sekitar 1000-4000
anak terlahir dengan penyakit mitokondria setiap tahunnya di Amerika Serikat.
Menurut jenis kelamin, Kearns-Sayre syndrome (KSS), suatu sindroma yang
berhubungan dengan terjadinya CPEO, antara anak laki-laki dan perempuan
memiliki perbandingan yang sama. Adapun onset terjadinya CPEO yaitu sebelum
usia 20 tahun.3,4
CPEO dapat terjadi sebagai bagian dari kondisi yang mendasari lainnya,
seperti spektrum neuropati ataksia dan sindrom Kearns-Sayre. Kondisi ini tidak
hanya melibatkan CPEO, namun berbagai tanda dan gejala lain yang tidak
dimiliki oleh kebanyakan individu dengan CPEO.2
Dalam telaah ilmiah ini, penulis akan membahas lebih lanjut mengenai
etiologi, patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding, dan tatalaksana
CPEO. Meskipun kejadian CPEO jarang ditemui, diharapkan telaah ilmiah ini
dapat bermanfaat untuk memberikan informasi terkait CPEO dan menjadi salah
satu sumber bacaan tentang CPEO.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi


2.1.1 Anatomi Otot Ekstraokuler
Otot ekstraokuler terdiri atas empat otot rektus, dua otot oblikus, dan
otot levator palpebral superior (Gambar 2.1). Nervus kranialis VI (abdusen)
menginervasi otot rektus lateralis, nervus kranialis IV (trokhlearis)
menginervasi otot oblikus superior, sedangkan nervus kranialis III
(okulomotorius) memberikan persarafan pada otot levator palpebra superior,
rektus superior, rektus medialis, rektus inferior, dan otot oblikus inferior.5

Gambar 2.1 Otot Ekstraokuler6

Otot rektus horisontalis terdiri atas otot rektus medialis dan rektus
lateralis, yang keduanya berasal dari annulus Zinnii. Otot rektus medialis
diinervasi oleh nervus okulomotorius ramus inferior dan divaskularisasi oleh
arteri-arteri oftalmika cabang muskularis medialis. Aksi otot rektus medialis
pada posisi primer adalah adduksi, yaitu gerakan bola mata ke arah nasal atau
rotasi ke dalam. Sedangkan otot rektus lateralis diinervasi oleh nervus abdusen
serta divaskularisasi oleh arteri oftalmika cabang muskularis lateralis dan
arteri lakrimalis. Aksi otot rektus lateralis pada posisi primer adalah abduksi,
yaitu gerakan bola mata ke arah temporal atau rotasi ke luar.5

2
3

Otot rektus vertikalis terdiri dari otot rektus superior dan rektus
inferior. Otot rektus superior diinervasi oleh nervus okulomotorius ramus
superior dan divaskularisasi oleh arteri oftalmika cabang muskularis lateralis.
Pada posisi primer, otot rektus superior membentuk sudut 23⁰ ke arah lateral
sumbu penglihatan serta memiliki aksi primer elevasi, aksi sekunder intorsi
atau insikloduksi, dan aksi tersier adduksi. Otot rektus inferior diinervasi oleh
nervus okulomotorius ramus inferior dan di divaskularisasi oleh arteri
oftalmika cabang muskularis medialis dan arteri infraorbitalis. Pada posisi
primer, otot rektus inferior membentuk sudut 23⁰ ke arah lateral dari sumbu
penglihatan, serta memiliki aksi primer depresi, aksi sekunder ekstorsi atau
eksikloduksi dan aksi tersier adduksi.5
Otot oblikus superior diinervasi oleh nervus trochlearis dan
divaskularisasi oleh arteri oftalmika cabang muskularis lateralis. Pada posisi
primer, otot oblikus superior membentuk sudut 51-54⁰ dari sumbu
penglihatan, serta memiliki aksi primer intorsi atau insikloduksi, aksi sekunder
depresi, dan aksi tersier abduksi.5
Otot oblikus inferior diinervasi oleh nervus okulomotorius ramus
inferior serta divaskularisasi oleh arteri oftalmika cabang muskularis medialis
dan arteri infraorbitalis. Pada posisi primer, otot oblikus inferior membentuk
sudut 51⁰ dari sumbu penglihatan, serta memiliki aksi primer ekstorsi atau
eksikloduksi, aksi sekunder elevasi, dan aksi tersier abduksi.5

Gambar 2.2 Otot Ekstraokuler Dilihat dari Anterior dan Posterior6


4

2.1.1.1 Jaras Saraf Untuk Pengaturan Gerakan Mata


Seperti yang tampak dalam Gambar 2.3, nukleus saraf kranial III
(okulomotorius), IV (throklear), dan VI (abdusen) di batang otak dan
hubungan ketiga saraf dengan saraf perifer yang menuju ke otot-otot mata.
Dalam gambar tersebut juga tampak hubungan antara ketiga nukleus ini yang
melewati jaras persarafan disebut fasikulus longitudinalis medial. Masing-
masing dari ketiga susunan otot untuk tiap mata diinervasi secara timbal balik
sehingga otot agonis akan berkontraksi, sedangkan otot antagonis akan
bereleksasi.7

Gambar 2.3 Otot-Otot Ekstraokuler Mata dan Persarafannya7

Gambar 2.4 memperlihatkan pengaturan kortikal terhadap apparatus


okulomotorius, menunjukkan penyebaran sinyal yang berasal dari area
penglihatan di korteks oksipitalis melewati traktus oksipitotektal dan traktus
oksipitokolikular menuju area pretektal dan area kolikulus superior pada
batang otak. Dari area pretektal area kolikulus superior, sinyal pengaturan
okulomotor selanjutnya akan menuju ke nukleus nukleus saraf okulomotor di
batang otak. Juga ada sinyal kuat yang dijalarkan dari pusat pengatur
keseimbangan tubuh di batang otak ke sistem okulomor (yang asalnya dari
nukleus vestibularis melewati fasikulus longitudinal medial).7
5

Gambar 2.4 Jaras Saraf untuk Pengaturan Gerakan Konjugat Mata7

2.1.2 Fisiologi Pembentukan Pergerakan Bola Mata


2.1.2.1 Posisi Gaze
Terdapat berbagai terminologi yang berkaitan dengan posisi gaze.
Posisi primer adalah posisi bola mata saat terfiksasi lurus ke depan dengan
posisi kepala tegak. Posisi sekunder ialah posisi bola mata ketika melihat lurus
ke atas, bawah, kanan, ataupun kiri. Posisi tersier merupakan empat posisi
oblik bola mata ke arah kanan atas, kiri atas, kanan bawah, dan kiri bawah.
Posisi cardinal ada enam arah, yaitu kanan atas, kiri atas, kanan, kiri, kanan
bawah, dan kiri bawah. Posisi garis tengah adalah posisi bola mata ketika
lurus ke atas dan ke bawah. Posisi diagnostik adalah seluruh sembilan posisi
gaze, yaitu enam posisi cardinal, dua posisi tengah, dan posisi primer.5
Aksi otot ekstraokuler pada posisi primer dapat disimpulkan sebagai
berikut: semua otot rektus adalah abductor kecuali rektus lateralis, semua otot
oblikus adalah abductor, semua otot superior adalah intortor, dan semua otot
inferior adalah ekstortor.5
6

Tabel 2.1 Aksi Otot Ekstraokuler pada Posisi Primer5


Muscle Primary Secondary Tertiary
Medial rectus Adduction - -
Lateral rectus Abduction - -
Inferior rectus Depression Ektorsion Adduction
Superior rectus Elevation Intorsion Adduction
Inferior oblique Extorsion Elevation Abduction
Superior oblique Intortion Depression Abduction

Field of action sebuah otot adalah posisi gaze saat otot tersebut
menjadi penggerak utama bola mata. Seluruh pergerakan bola mata
merupakan hasil kombinasi kontraksi dan relaksasi beberapa otot, namun
terdapat delapan posisi gaze dengan sebuah otot memberikan kekuatan
dominan.5
Duksi adalah pergerakan monokuler bola mata mengitari axes of Fick,
terdiri atas adduksi, abduksi, elevasi, atau supraduksi, depresi atau infraduksi,
intorsi atau insikloduksi, dan ekstorsi atau eksikloduksi. Gerakan duksi dapat
dievaluasi klinis dengan menutup mata jiran, lalu penderita diperintahkan
mengikuti target pada setiap arah gaze.5
Pasangan agonis-antagonis adalah pasangan otot di satu mata yang
menggerakkan bola mata tersebut pada arah yang berlawanan. Pasangan
agonis-antagonis tersebut antara lain: otot rektus medialis dan rektus lateralis,
rektus superior dan rektus inferior, serta oblikus superior dan oblikus inferior.
Sinergis ialah otot di mata yang sama dengan agonis, dan menggerakkan bola
mata tersebut pada arah yang sama, misanya: otot oblikus inferior bertidak
sinergis bersama otot rektus superior pada gerakan elevasi bola mata.5
Pergerakan mata binokuler terdiri atas versi dan vergen. Versi adalah
pergerkan konjugasi kedua mata secara simultan pada arah yang sama, antara
lain: dekstroversi, levoversi, elevasi, depresi, dekstrosikloversi, dan
levosikloversi.5
7

Yoke muscles atau sinergis kontralateral digunakan untuk


menggambarkan dua otot pada dua mata berbeda yang berpasangan dan
menjadi penggerak utama setiap bola mata pada posisi cardinal. Setiap otot
ekstraokuler memiliki yoke muscle pada mata jirannya. Hukum hering
menyatakan bahwa inervasi sepadan dan simultan akan mengalir ke yoke
muscles pada arah gaze yang diinginkan.5
Vergen adalah gerakan kedua bola mata secara simultan pada arah
yang berlawanan. Konvergen ialah gerakan adduksi secara simultan, dapat
terjadi secara volunteer ataupun merupakan reflex. Divergen gerakan bola
mata ke arah luar dari posisi konvergen.5

2.1.2.2 Gerakan Fiksasi Mata


Gerakan mata yang paling penting adalah gerakan mata yang
menyebabkan mata itu terfiksasi pada bagian yang paling luas dari lapangan
pandang. Gerakan fiksasi ini diatur oleh dua mekanisme saraf. Yang pertama
adalah pengaturan yang menyebabkan orang dapat menggerakkan mata secara
volunter untuk menemukan objek dalam penglihatannya yang kemudian akan
difiksasinya, gerakan ini disebut sebagai mekanisme fiksasi volunter.7
Seperti yang terlihat dalam Gambar 2.4, gerakan fiksasi volunter diatur
oleh bagian kortikal yang terletak bilateral di regio premotor kortikal lobus
frontalis. Disfungsi bilateral atau kerusakan pada daerah ini orang tersebut
sukar atau tidak dapat memindahkan matanya dari titik fiksasi dan selanjutnya
menggerakkan mata ke sisi yang lain. Biasanya orang tersebut perlu
mengedipkan mata atau mentup mata dengan tangan dalam waktu yang
singkat, setelah itu baru dapat mengerakkan mata.7
Sebaliknya, mekanisme fiksasi yang menyebabkan mata dapat terpaku
pada suatu objek yang menjadi perhatiannya ketika objek itu ditemukan, diatur
oleh area penglihatan sekunder di korteks oksipitalis, yang terutama terletak di
sebelah anterior korteks penglihatan primer. Bila area fiksasi ini mengalami
kerusakan bilateral pada binatang coba, binatang tersebut akan mengalami
8

kesulitan untuk memfiksasi matanya ke titik fiksasi atau dapat menjadi benar-
benar tidak mampu melakukan gerakan tersebut.7
Ringkasnya, lapangan mata involuntar di korteks oksipitalis sebelah
posterior secara otomatis akan memaku mata pada suatu titik pada lapangan
pandang yang diinginkan sehingga dapat mencegah terjadinya gerakan
bayangan menyilang retina. Untuk melepaskan diri dari fiksasi penglihatan ini,
sinyal voluntar harus dijalarkan dari lapangan mata voluntar kortikal yang
terletak di korteks frontal.7
Jenis fiksasi involunter yang telah dibahas pada bagian sebelumnya
berasal dari mekanisme umpan balik negatif yang mencegah objek perhatian
agar tidak sampai meninggalkan fovea retina. Secara normal, mata memiliki
tiga macam gerakan yang berjalan secara kontinu namun tidak terasa yaitu
tremor yang terus menerus dengan kecepatan 30-80 siklus per detik yang
disebabkan oleh kontraksi yang beruntun dari unit motor pada otot-otot mata,
penyimpangan yang lambat dari bola mata ke satu jurusan atau ke jurusan
lainnya, dan gerakan ceklikan tiba-tiba yang diatur oleh mekanisme fiksasi
involuntar.7
Bila sebuah titik cahaya sudah difiksasi pada regio fovea retina, adanya
gerakan tremor akan menyebabkan titik cahaya itu bergerak maju-mundur
dengan cepat menyilang konus, dan gerakan penyimpangan akan
menyebabkan titik tersebut menyimpang konus secara perlahan. Setiap kali
titik cahaya menyimpang sampai pada tepi fovea, timbul suatu reaksi reflex
yang mendadak, sehinggan menyebabkan gerakan ceklikan yang nantinya
akan memindahkan titik itu menjauhi tepi dan kembali ke bagian tengah fovea
lagi. Jadi respon otomatis memindahkan bayangan kembali ke bagian tengah
fovea. Kemampuan fiksasi involuntar ini sebagian besar akan hilang ketika
kolikulus superior dirusak.7
Bila bayangan penglihatan bergerak secara terus-menerus di depan
mata, misalnya sewaktu seseorang sedang mengendarai mobil, mata akan
terfiksasi pada satu sorotan cahaya ke satu sorotan cahaya lain dalam lapang
pandang, melompat-lompat dari satu tempat ke tempat lain dengan kecepatan
9

dua sampai tiga lompatan per detik. Lompatan ini disebut sakade dan
gerakannya disebut optokinetik. Gerakan sakadik ini begitu cepatnya sehingga
waktu yang dibutuhkan untuk menggerakkan mata tersebut tidak lebih dari 10
persen waktu total, sedangkan 90 persennya dipakai untuk fiksasi. Juga,
selama timbul gerakan sakadik ini, otak akan menekan bayangan penglihatan
sehingga orang itu tidak merasakan adanya gerakan perpindahan dari satu titik
ke titik lain. Gerakan sakadik ini juga terjadi pada saat membaca atau
memperhatikan suatu lukisan.7
Mata juga dapat tetap difiksasi pada objek yang bergerak, yang disebut
dengan gerakan mengejar. Mekanisme kortikal yang sangat berkembang
secara otomatis dapat mendeteksi rangkaian gerakan suatu objek dan
selanjutnya secara cepat membuat serangkaian pergerakan yang sama pada
mata. Contohnya, bila ada objek yang bergerak ke atas dan ke bawah seperti
bentuk gelombang dengan kecepatan beberapa kali per detik, mula-mula mata
tidak mampu berfiksasi pada objek tersebut. Namun setelah satu detik atau
lebih, mata akan mulai melompat dengan memakai gerakan sakadik menurut
suatu pola yang mirip dengan pergerakn objek tersebut, lalu setelah beberapa
detik kemudian, secara progresif, mata akan mulai semakin lancar dan
semakin halus bergerak dan akhirnya mengikuti pergerakan gelombang
tersebut dengan kecepatan yang hampir sama. Keadaan ini menunjukkan
adanya kemampuan secara otomatis dan tidak disadari serta penuh
perhitungan yang dilakukan oleh sistem pengejaran untuk mengendalikan
pergerakan mata.7

2.1.2.3 Fusi Bayangan Penglihatan dari Kedua Mata


Untuk memberikan persepsi penglihatan yang lebih berarti, bayangan
penglihatan pada kedua mata normal berfusi satu sama lain pada titik
korespondensi di kedua retina. Korteks penglihatan berperan penting dalam
fusi. Titik korespondensi kedua retina menjalarkan sinyal penglihatan ke
berbagai lapisan sel saraf di korpus genikulatum lateralis, dan sinyal ini
kemudian dihantarkan ke sel saraf yang sejajar dalam korteks penglihatan.
10

Terjadi interaksi di antara sel-sel saraf korteks ini yang menyebabkan eksitasi
gangguan dalam sel saraf yang spesifik bila kedua gambaran penglihatan tidak
tercatat, yakni tidak terjadi fusi secara cepat. Rangsangan ini mungkin
memberikan sinyal yang dijalarkan ke apparatus okulomotor yang
menyebabkan gerakan mata konvergen, divergen, atau rotasi supaya fusi dapat
dibentuk kembali. Sekali titik korespondensi kedua retina dicatat, eksitasi
gangguan dalam sel spesifik di korteks penglihatan akan menghilang.7

2.2 Chronic Progressive External Ophtalmoplegia


2.2.1 Definisi
Chronic Progressive External Ophthalmoplegia (CPEO) adalah suatu
kondisi yang ditandai terutama oleh hilangnya fungsi otot yang terlibat dalam
pergerakan mata dan kelopak mata. CPEO merupakan salah satu miopati
mitokondrial yang diwariskan dengan karakteristik oftalmoplegia simetris
yang progresif secara perlahan dengan atau tanpa ptosis. Sebagian besar
pasien dengan CPEO memiliki delesi pada DNA mitokondria (mtDNA),
namun mutasi DNA nuklear yang mendorong mutasi mtDNA juga dapat
menyebabkan CPEO. Dengan demikian, cara pewarisan dapat berupa
mitokondrial (ibu), autosomal, atau sporadik, dan kelainan mungkin saja tidak
ditransmisikan ke generasi berikutnya.1,8

2.2.2 Etiologi
Sejumlah besar kelainan yang terkait dengan mata atau sistem visual
melibatkan delesi dan mutasi mitokondrial. Penyakit mitokondria harus
dipertimbangkan ketika pola pewarisan sifat menunjukkan transmisi maternal.
Meskipun pola pewarisan menyerupai sifat X-linked, pada transmisi maternal
baik anak perempuan maupun anak laki-laki dapat mewarisi sifat tersebut,
namun hanya anak perempuan yang dapat menurunkannya.9
Fenotipe dan keparahan penyakit mitokondria bergantung pada sifat
mutasi, derajat heteroplasmi, dan kebutuhan oksidatif jaringan yang terlibat.
11

Delesi dan mutasi spontan mtDNA terakumulasi seiring bertambahnya usia,


dan akibatnya menurunkan efisiensi dan fungsi sistem transpor elektron,
mengurangi ketersediaan adenosine triphosphate (ATP). Bila produksi energi
tidak mencukupi untuk menjaga fungsi sel atau jaringan, penyakit dapat
terjadi.9

2.2.3 Patofisiologi
DNA mitokondria mengkodekan komponen penting dalam rantai
pernafasan. Delesi dari berbagai bagian mtDNA mengakibatkan gangguan
fungsi mitokondria, terutama pada jaringan dengan oksidasi tinggi (otot, otak,
jantung). Otot ekstraokuler juga turut terpengaruh karena bagian volume
mitokondrianya beberapa kali lebih besar dibandingkan otot lurik lainnya.10,11
Proporsi variabel mtDNA yang terdelesi ditemukan pada jaringan yang
berbeda dari pasien yang sama. Keseimbangan kebutuhan oksidatif dari
jaringan tertentu dan proporsi mtDNA yang terdelesi pada akhirnya akan
menentukan apakah jaringan tersebut terkena dampak klinis.12
Pada setiap pembelahan sel, jumlah salinan mtDNA mutan yang
dipartisi ke sel anak tertentu bersifat acak, tidak seperti pada pewarisan
Mendel. Setelah sejumlah pembelahan sel, beberapa sel secara kebetulan
menerima mtDNA yang lebih normal atau lebih mutan menuju homoplasmi di
sel berikutnya. Proses ini disebut segregasi replikatif. Pada delesi mtDNA,
replikasi molekul lebih kecil yang terdelesi, menyebabkan peningkatan salinan
yang terdelesi dari waktu ke waktu. Kecenderungan terhadap homoplasmi
membantu menjelaskan mengapa penyakit memburuk seiring bertambahnya
usia dan mengapa sistem organ yang sebelumnya tidak terlibat dalam penyakit
mitokondria multisistem menjadi terlibat. Pada CPEO terjadi kelainan akibat
penyusunan ulang mtDNA (delesi dan insersi) yang besar.9
Gangguan sintesis protein dalam mitokondria mempengaruhi ciri
histologis miopati mitokondria. Ketika serat otot diwarnai dengan pewarnaan
trichrome Gomori, akumulasi mitokondria yang abnormal terlihat di bawah
12

sarkolema. Serat ini disebut “ragged red fibers” karena penampilannya yang
tidak biasa dan berwarna merah gelap.13

2.2.4 Gambaran Klinis


CPEO adalah bentuk yang jarang dari sitopati mitokondria yang dapat
mempengaruhi berbagai sistem tubuh. Biasanya dimulai pada masa kanak-
kanak dengan ptosis dan perlahan berkembang menjadi kelumpuhan total
kelopak mata dan otot-otot ekstraokular. CPEO dapat bersifat sporadis atau
familial. Meskipun distrofi pigmen retina murni biasanya tidak ada, lapangan
pandang yang terbatas dan kelainan elektrodiagnostik dapat terjadi.14
Pada tahap lanjut, ptosis lengkap membuat pasien terpaksa
mengangkat dagunya untuk dapat melihat. Tidak seperti pada penderita
miastenia gravis, pada pasien dengan miopati okular tidak terjadi remisi dan
agen antikolinesterase tidak berpengaruh pada fungsi otot. Keluhan diplopia,
anehnya jarang terjadi, meskipun ada gangguan pergerakan mata yang berat.
Bila strabismus terjadi, deviasi yang paling sering adalah eksotropia, dengan
atau tanpa deviasi vertikal.15

Gambar 2.5 Tahap lanjut CPEO pada wanita 44 tahun. Nampak ptosis bilateral
inkomplit dan tidak mampu menggerakkan bola mata ke arah manapun kecuali depresi.

Selain keterlibatan otot ekstraokular dan levator, otot orbicularis dan


otot wajah lainnya dapat terpengaruh, terutama yang digunakan untuk
mengunyah. Atrofi otot ekstraokuler, terutama penurunan ketebalan otot,
dapat ditunjukkan pada CT scan.15
13

Beberapa pasien asimtomatik dan tidak menyadari adanya


oftalmoplegia, penyakit mereka hanya ditemukan ketika pemeriksaan mata
rutin atau evaluasi untuk kondisi yang tidak terkait. Pada sindrom Kearns-
Sayre, CPEO dikaitkan dengan kardiomiopati (blok jantung) dan perubahan
pigmen retina dengan gangguan penglihatan yang nyata.13

Tabel 2.2 Manifestasi Sindrom Kearns-Sayre17

2.2.5 Diagnosis Banding


Tabel 2.3 menunjukkan diagnosis banding kelainan-kelainan yang
menyebabkan ptosis dan keterlibatan otot ekstraokular di antaranya thyroid
eye disease (TED), miastenia gravis, dan CPEO.14
14

Tabel 2.3 Diferensial Diagnosis Kelainan yang Menyebabkan Ptosis dan


Keterlibatan Otot Ekstraokular14

2.2.6 Penegakan Diagnosis


Temuan klinis berupa keterbatasan gerakan mata biasanya terlihat pada
dekade kedua kehidupan. Gejala sistemik termasuk kelemahan otot umum
dapat terjadi. Diagnosis CPEO dapat dikonfirmasi melalui uji genetik yang
mendeteksi kelainan pada mtDNA, biopsi otot yang menunjukkan
karakteristik “ragged red fibers” dan proliferasi mitokondria, maupun studi
mikroskop elektron yang menunjukkan kelainan badan inklusi dari
mitokondria yang terkena. Namun diagnosisnya umumnya dapat dilakukan
dengan alasan klinis.8,13
Bila terdapat kardiomiopati dan defek konduksi jantung (blok jantung),
harus dipikirkan sindrom Kearns-Sayre yang onsetnya biasanya sebelum usia
10 tahun. Temuan lain pada Sindrom Kearns-Sayre biasanya didapatkan
adanya ataksia serebelum, ketulian, dan peningkatan kadar protein CSF.
Evaluasi jantung sangat penting untuk menyingkirkan gangguan konduksi.8
15

Gambar 2.5 Pemeriksaan histologi biopsi spesimen otot dengan Kearn-Sayre


Syndrome menunjukkan ragged red fibers (panah). Spesimen diwarnai dengan
pewarnaan trichrome Gomori.

Tingkat keparahan pigmen retinopati sangat bervariasi. Penyakit ini


sering menunjukkan perubahan makula pigmen atau atrofi pada tingkat epitel
pigmen retina, dapat dilihat jelas dengan fundus autofluoresensi. Banyak
pasien dapat mempertahankan fungsi visual yang baik dan sinyal
elektroretinografi (ERG) yang normal.16

2.2.7 Penatalaksanaan
Pilihan pengobatan pada kelainan motilitas okular terbatas.
Pembedahan dengan menaikkan kelopak mata bagian atas dapat mengurangi
postur dagu yang berat. Namun, koreksi bedah ptosis memiliki risiko tinggi
mengalami keratopati, terutama karena mata akan kehilangan fenomena Bell
selama perjalanan penyakit dan pembasahan kornea tidak akan terjadi.14,17
Sebuah laporan penelitian menunjukkan bahwa pemberian koenzim
Q10, satu kuinon yang ditemukan dalam sistem oksidatif mitokondria (dengan
dosis yang dilaporkan 60-120 mg setiap hari selama 3 bulan pada satu pasien,
50 mg 3 kali sehari selama 3 bulan pada dua orang lainnya), dapat
memperbaiki blok AV serta menormalkan kadar piruvat dan laktat serum;
memperbaiki fungsi neurologis tanpa efek pada oftalmoplegia atau
16

elektrokardiogram; dan meningkatkan kapasitas vital pernafasan saat


digunakan dengan suksinat.17
Tatalaksana bersifat suportif, pertimbangkan operasi ptosis pada kasus
tertentu. Pada tahap lanjut, penyangga ptosis dapat membantu pasien.
Perhatian khusus harus diberikan untuk melindungi kornea saat tidur dengan
cara menutup kelopak mata dengan plester di malam hari. Prisma dapat
membantu menghilangkan diplopia pada beberapa pasien, dan pelurusan mata
dengan bedah dilaporkan memberikan hasil yang memuaskan.15
Evaluasi keadaan jantung harus dipastikan karena aritmia yang
mengancam dapat terjadi pada sindrom Kearns-Sayre. Elektrokardiogram
periodik harus diperoleh untuk deteksi dini blok konduksi jantung yang
mungkin terjadi pada KSS.13,14

2.2.8 Prognosis
Individu dengan CPEO terisolasi umumnya memiliki harapan hidup
normal. Sementara gejala cenderung memburuk dari waktu ke waktu, gejala
spesifik dan tingkat keparahannya bisa sangat bervariasi pada tiap orang.
Karena itu, saat gejala pertama kali muncul, perjalanan penyakit sangat sulit
diprediksi.
BAB III
KESIMPULAN

CPEO merupakan salah satu miopati mitokondrial yang diwariskan


dengan karakteristik oftalmoplegia simetris yang progresif secara perlahan yang
terjadi pada dekade kedua dan biasanya diawali ptosis. Sebagian besar pasien
dengan CPEO memiliki delesi pada DNA mitokondria (mtDNA), namun mutasi
DNA nuklear yang mendorong mutasi mtDNA juga dapat menyebabkan CPEO.
Pewarisannya dapat berupa mitokondrial (ibu), autosomal, atau sporadik. Keluhan
diplopia, jarang terjadi, meskipun ada gangguan pergerakan mata yang berat.
Keterlibatan otot orbicularis dan otot wajah lainnya dapat terpengaruh.
Diagnosis CPEO dapat dikonfirmasi melalui uji genetik yang mendeteksi
kelainan pada mtDNA, biopsi otot yang menunjukkan karakteristik “ragged red
fibers” dan proliferasi mitokondria, maupun studi mikroskop elektron yang
menunjukkan kelainan badan inklusi dari mitokondria yang terkena. Namun
diagnosisnya umumnya dapat dilakukan dengan alasan klinis.
Tatalaksana bersifat suportif, pertimbangkan operasi ptosis pada kasus
tertentu. Pembedahan dengan menaikkan kelopak mata bagian atas dapat
mengurangi postur dagu yang berat. Namun, koreksi bedah ptosis memiliki risiko
tinggi mengalami keratopati. Individu dengan CPEO terisolasi umumnya memiliki
harapan hidup normal, namun perjalanan penyakit sangat sulit diprediksi.

17
18

DAFTAR PUSTAKA

1. DiMauro S, Michio H. Mitochondrial DNA Deletion


Syndromes. GeneReviews. May 3,
2011; https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK1203/
2. Progressive External Ophthalmoplegia. Genetics Home Reference. May
2016; http://ghr.nlm.nih.gov/condition/progressive-external-
ophthalmoplegia.
3. Chinnery PF. Mitochondrial Disorders Overview. GeneReviews®.
Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK1224/. August 14,
2014.
4. UMDF. Understanding Mitochondrial Disease. United Mitochondrial
Disease Foundation. Available
at http://www.umdf.org/site/pp.aspx?c=8qKOJ0MvF7LUG&b=7934639.
5. Budiono S, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Mata. Surabaya: Airlangga
University Press. 2013.
6. Putz R, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 2, Edisi ke–22.
Jakarta: EGC. 2006.
7. Guyton C, Hall E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi Ke–11. Jakarta:
EGC. 2008.
8. American Academy of Opthalmology. Basic and Clinical Science Course
2014-2015, Section 5 Neuro-Ophthalmology, San Fransisco: American
Academy of Opthalmology. 2012.
9. American Academy of Opthalmology. Basic and Clinical Science Course
2014-2015, Section 2 Fundamentals and Priciples of Ophthalmology, San
Fransisco: American Academy of Opthalmology. 2012.
10. Carlow TJ, Depper MH, Orrison WW Jr. MR of Extraocular Muscles in
Chronic Progressive External Ophthalmoplegia. AJNR Am J Neuroradiol.
1998 Jan. 19(1):95-9.
11. Ohnuki Y, Takahashi K, Iijima E, Takahashi W, Suzuki S, Ozaki Y, et al.
Multiple Deletions in Mitochondrial DNA in A Patient With Progressive
19

External Ophthalmoplegia, Leukoencephalopathy and


Hypogonadism. Intern Med. 2014. 53 (12):1365-9.
12. Kiyomoto BH, Tengan CH, Moraes CT, et al. Mitochondrial DNA Defects
In Brazilian Patients With Chronic Progressive External
Ophthalmoplegia. J Neurol Sci. 1997 Nov 25. 152(2):160-5.
13. Purvin VA, Kawasaki A. Common Neuro-Ophthalmic Pitfalls: Case Based
Teaching. New York: Cambridge University Press. 2009.
14. American Academy of Opthalmology. Basic and Clinical Science Course
2014-2015, Section 6 Pediatric Ophthalmology and Strabismus, San
Fransisco: American Academy of Opthalmology. 2012.
15. Noorden GK, Campos EC. Binocular Vision and Ocular Motility: Theory
and Management of Strabismus. USA: Mosby Inc. 2002.
16. American Academy of Opthalmology. Basic and Clinical Science Course
2014-2015, Section 12 Retina and Vitreous, San Fransisco: American
Academy of Opthalmology. 2012.
17. Wright KW, et al. Handbook of Pediatric Neuro-Ophthalmology. USA:
Springer. 2006

Anda mungkin juga menyukai