Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Proses perkawinan sapi dapat berlangsung secara alami dengan cara pejantan sapi
mengawini seekor sapi betina yang dalam kondisi estrus atau melalui teknik inseminasi
buatan.Proses perkawinan ternak sapi menggunakan teknik inseminasi buatan juga
mempersyaratkan kondisi ternak sapi betina yang estrus. Pada program inseminasi buatan
dibutuhkan ketersediaan ternak sapi betina estrus yang banyak agar efisiensi pelaksanaan
inseminasi buatan dapat tercapai.Namun pada sisi lain, secara alami sangat sulit mendapatkan
ternak sapi betina dalam jumlah banyak yang mempunyai siklus estrus sama pada suatu lokasi.
Oleh karena itu, dibutuhkan satu teknik untuk dapat menyerentakan munculnya estrus pada
sejumlah ternak sapi betina.

Teknik penyerentakan estrus pada ternak sapi dapat dilakukan dengan menggunakan
preparat hormon yang mengandung prostaglandin (PGF2α). Hormon ini akan bekerja dengan
cara melisis korpus luteum sebagai tempat produksi hormon progesterone yang menghalangi
munculnya estrus pada ternak sapi (Burhanuddin dkk., 1992).

2. RUMUSAN MASALAH

Dari uraian di atas, terdapat permasalahan pokok yang dapat diidentifikasi yaitu :
1) Bagaimana manfaat sinkronisasi estrus pada ternak?
2) Bagaimana mekanisme sinkronisasi estrus pada ternak?
3) Bagaimana teknik penggunaan berbagai hormon untuk sinkronisasi estrus?

3. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, terdapat tujuan yang akan dibahas yaitu :
1) Untuk mengetahui manfaat sinkronisasi estrus pada ternak.
2) Untuk mengetahui mekanisme sinkronisasi estrus pada ternak.
3) Untuk Mengetahui teknik penggunaan berbagai hormon untuk sinkronisasi estrus.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Sinkronisasi Estrus

Penyerentakan berahi atau sinkronisasi estrus adalah usaha yang bertujuan untuk
mensinkronkan kondisi reproduksi ternak sapi donor dan resipien. Sinkronisasi estrus
umumnya menggunakan hormon prostaglandin (PGF2α) atau kombinasi hormon progesterone
dengan PGF2α. Penggunaan teknik sinkronisasi berahi akan mampu meningkatkan efisiensi
produksi dan reproduksi kelompok ternak, serta mengoptimalisasi pelaksanaan inseminasi
buatan, mengurangi waktu dan memudahkan observasi deteksi berahi, dapat menentukan
jadwal kelahiran yang diharapkan, menurunkan usia pubertas pada sapi dara, penghematan dan
efisiensi tenaga kerja inseminator karena dapat mengawinkan ternak pada suatu daerah pada
saat yang bersamaan.

Sinkronisasi atau induksi estrus adalah tindakan menimbulkan birahi, diikuti ovulasi
fertil pada sekelompok atau individu ternak dengan tujuan utama untuk menghasilkan konsepsi
atau kebuntingan. Sinkronisasi estrus biasanya menjadi satu paket dengan pelaksanaan IB, baik
berdasarkan pengamatan birahi maupun IB Terjadwal. Angka konsepsi atau kebuntingan yang
optimum merupakan tujuan dari aplikasi sinkronisasi estrus ini.

Salah satu cara yang diterapkan untuk sinkronisasi estrus pada ternak sapi adalah
menggunakan hormon luteotropik sintetik, seperti prostaglandin-F2α (PGF2α). Efektivitas
preparat PGF2α terbukti dapat menimbulkan respon estrus sebesar 92.3% pada sapi (Toelihere
dkk., 1990). Fungsi PGF2α adalah meregresi korpus luteum sehingga pemberiannya hanya
efektif jika dilakukan pada fase luteal di saat korpus luteum telah berfungsi (Burhanuddin et
al., 1992). Pada ternak sapi yang mempunyai siklus estrus normal, hormon PGF2α akan
disekresikan oleh endometrium jika tidak terjadi fertilisasi setelah ovulasi untuk melisis sel-sel
luteal penghasil hormon progesteron. Penurunan kadar progesteron akan memicu proses
folikulogenesis atas peran hormon follicle stimulating hormone (FSH) yang diproduksi oleh
hipofisa anterior (Hafez, 2000). Lebih lanjut dikatakan bahwa folikulogenesis akan
menyebabkan pertumbuhan folikel dan oosit yang pada gilirannya akan dihasilkan hormon
estrogen yang memicu munculnya estrus pada ternak sapi betina.

Kesuksesan program sinkronisasi membutuhkan pengetahuan mengenai siklus berahi.


Hari ke-0 dari merupakan hari pertama estrus, pada saat ini biasanya perkawinan secara alami
terjadi. Hormon estrogen mencapai puncaknya pada hari ke-1 dan kemudian menurun, level
progesteron rendah karena corpus luteum (CL) belum terbentuk. Ovulasi terjadi 12-16 jam
setelah akhir standing estrus. CL yang menghasilkan hormon progesteron terbentuk pada
tempat ovulasi dan secara cepat mengalami pertumbuhan mulai dari hari ke-4 sampai ke-7,
pertumbuhan ini diikuti dengan peningkatan level progesteron. Mulai hari ke-7 sampai ke-16,
CL menghasilkan progesteron dalam level tinggi.

2
BAB III

PEMBAHASAN

A. Sinkronisasi Estrus

Sinkronisasi estrus adalah usaha yang bertujuan untuk mensinkronkan kondisi


reproduksi ternak sapi donor dan resipien. Sinkronisasi estrus umumnya menggunakan hormon
prostaglandin (PGF2α) atau kombinasi hormon progesterone dengan PGF2α. Sinkronisasi atau
induksi estrus adalah tindakan menimbulkan birahi, diikuti ovulasi fertil pada sekelompok atau
individu ternak dengan tujuan utama untuk menghasilkan konsepsi atau kebuntingan.

Salah satu cara yang diterapkan untuk sinkronisasi estrus pada ternak sapi adalah
menggunakan hormon luteotropik sintetik, seperti prostaglandin-F2α (PGF2α). Efektivitas
preparat PGF2α terbukti dapat menimbulkan respon estrus sebesar 92.3% pada sapi. Fungsi
PGF2α adalah meregresi korpus luteum sehingga pemberiannya hanya efektif jika dilakukan
pada fase luteal di saat korpus luteum telah berfungsi. Pada ternak sapi yang mempunyai siklus
estrus normal, hormon PGF2α akan disekresikan oleh endometrium jika tidak terjadi fertilisasi
setelah ovulasi untuk melisis sel-sel luteal penghasil hormon progesteron. Penurunan kadar
progesteron akan memicu proses folikulogenesis atas peran hormon follicle stimulating
hormone (FSH) yang diproduksi oleh hipofisa anterior.

Kesuksesan program sinkronisasi membutuhkan pengetahuan mengenai siklus berahi.


Hari ke-0 dari merupakan hari pertama estrus, pada saat ini biasanya perkawinan secara alami
terjadi. Hormon estrogen mencapai puncaknya pada hari ke-1 dan kemudian menurun, level
progesteron rendah karena corpus luteum (CL) belum terbentuk. Ovulasi terjadi 12-16 jam
setelah akhir standing estrus. CL yang menghasilkan hormon progesteron terbentuk pada
tempat ovulasi dan secara cepat mengalami pertumbuhan mulai dari hari ke-4 sampai ke-7,
pertumbuhan ini diikuti dengan peningkatan level progesteron. Mulai hari ke-7 sampai ke-16,
CL menghasilkan progesteron dalam level tinggi.

B. Manfaat Sinkronisasi Estrus

Manfaat dari tindakan sinkronisasi estrus pada sapi ada beberapa, antara lain:

1. Optimalisasi dan efisiensi pelaksanaan IB. Dengan teknik ini dimungkinkan


pelaksanaan IB secara massal pada suatu waktu tertentu.
2. Mengatasi masalah kesulitan pengenalan birahi. Subestrus atau birahi tenang yang
umum terjadi pada sapi perah dan potong di Indonesia dapat diatasi dengan teknik
sinkronisasi estrus.
3. Mengatasi masalah reproduksi tertentu, misalnya anestrus post partum (anestrus
pasca beranak).
4. Fasilitasi program perkawinan dini pasca beranak (early post partum breeding) pada
sapi potong dan perah. Teknik ini dapat digunakan untuk mempercepat birahi kembali

3
pasca beranak, pemendekkan days open (hari-hari kosong) dan pemendekkan jarak
beranak.
5. Manajemen reproduksi resipien pada pelaksanaan transfer embrio sapi. Dalam
program transfer embrio, embrio beku maupun segar (diambil dari sapi donor pada
hari ke 7 setelah estrus) ditransfer ke resipien pada fase siklus estrus yang sama.
Sinkronisasi estrus biasanya digunakan untuk maksud tersebut.

C. Mekanisme Sinkronisasi Estrus

Sikronisasi estrus pada sapi dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :

1. Menghilangkan corpus luteum atau enukleasi luteal

a) Perusakan fisik pada CL dngan menggunakan jari melalui rektum, pada saat CL dalam
keadaan berfungsi (masak).
b) Perlu tenaga yang profesional.
c) 50 – 60 % dari sekelompok sapi yang peka, empat hari kemudian akan birahi.
d) Resiko hemorhagia dan perlekatan fimbria (Ismaya, 1998).

2. Penyuntikan Progesteron

a) Penyuntikan selama 18 -20 hari (50 mg/hari).


b) Menghambat fase luteal melalui umpan balik negatif.
c) Kelemahannya yaitu injeksi memerlukan waktu dan tenaga, timbulnya birahi bervariasi
kurang lebih 5 hari, fertilisasi menurun/rendah (Ismaya, 1998).

3. Pemberian progestagen aktif per oral (mulut)

a) Mengatasi kesulitan kedua diatas dan lebih tepat untuk kelompok ternak yang besar
dikandang dan terprogram pemberian pakannya
b) Progestagen sintetik yaitu melengestrol Asetat (MGA) dan Medroxiprogesteron
(MPA), namun lebih bagus MGA daripada MPA.
c) Pemberian lewat pakan selama 15-18 hari dan birahi terjadi 3-5 hari kemudian setelah
penghentian perlakuan.
d) Fertilisasi rendah (42%) dan menjadi 82 % pada estrus berikutnya.
e) Pemberian esterogen dan gonadotropin menghambat MGA, fertilisasi tetap rendah
(Ismaya, 1998).

4. Implan silastik

a) Implan silastik yang mengandung MGA ditanam dibawah kulit leher atau dibawah kulit
luar telinga selama 22-64 hari
b) 36-72 jam setelah penghentian perlakuan terjadi birahi 64 % (Ismaya, 1998).

4
5. Spons intravagina

a) Progesteron juga dapat dimasukan ke vagina dengan memakai spons, diharapkan dapat
menghasilkan estrus yang baik.
b) Pemasangan spons selama 18-21 hari dan birahi akan tampak 24-72 jam setelah
pengambilan spons dari vagina.
c) Kelemahan: spons sering berubah tempat, kerusakan mukosa vagina dan serviks.
d) Progesteron releasing intra vagina device (PRID) adalah alat intravagina pelepas
progesteron dengan speculum pada bagian vagina anterior (Ismaya, 1998).
e) Dengan penyuntikan PMSG (750-2000 IU) sebelum dan sesudah pengeluaran spons
dapat meningkatkan birahi dan fertilisasi (Ismaya, 1998).

6. Progestagen dalam waktu singkat

a) Untuk meningkatkan fertilisasi prostagen diberikan 9-12 hari saja.


b) Sebelumnya disuntikan 5-7,5 mg EB dan 50-250 mg progesteron dan setelah
penghentian perlakuan, maka 56 jam kemudian birahi dan dapat di IB (Ismaya, 1998)

7. Injeksi prostaglandin PGF 2alfa

a) Publikasi pertama mengenai terapi prostalglandin baru muncul tahun 1970 dan terus
berkembang sejalan ditemukannya analog prostaglandin.
b) Lebih sederhana dan mencegah menurunya fertilisasi.
c) Penyuntikan intra muskular tunggal untuk fase luteal danganda (10-12 hari) untuk yang
heterogen fasenya, IB dilakukan 58-72 jam atau 72 dan 96 jam (IB Ganda)

D. Metode Sinkronisasi Estrus Sapi

Pada sapi sering digunakan PGF2 alpha yang berfungsi menghancurkan korpus leteum
yang sedang berfungsi dan tidak efektif pada korpus luteum yang sedang tumbuh. Pada
dasarnya korpus luteum tumbuh pada 0-5 hari setelah estrus dan pada hari 6-16 korpus luteum
berfungsi. Cara penyuntikan PGF2 alpha.

a) Penyuntikan satu kali

Pada cara ini sebua betina yang tidak bunting disuntik dengan PGF2 alpha,estrus akan
terjadi 1-3 hari kemudian. Secara teori kebrhasilan cara ini sekitar 75% kerena
diperkirakan 25% ny masih berada pada kondisi estrus sampai 5 hari setelah
estrus.untuk mendapatkan hasil 100% maka diperlukan penyuntikan kedua.

b) Penyuntikan dua kali

Semua betina yang tidak bunting disuntik dengan PGF 2 alpha, kemudian penyuntikan
diulangi lagi pada hari kesebelas (11).Berahi terjadi secara serentak 1-3 hari kemudian
dan 100% berahi. Dosis PGF 2 alpha adalah 5 – 35 mg/ekor.
5
BAB IV

PENUTUP

1. Kesimpulan

Sinkronisasi atau induksi estrus adalah tindakan menimbulkan birahi, diikuti ovulasi
fertil pada sekelompok atau individu ternak dengan tujuan utama untuk menghasilkan konsepsi
atau kebuntingan.

Manfaat dari tindakan sinkronisasi estrus pada sapi ada beberapa, antara lain
optimalisasi dan efisiensi pelaksanaan IB, mengatasi masalah kesulitan pengenalan birahi,
mengatasi masalah reproduksi tertentu dll.

Pada sapi sering digunakan PGF2 alpha yang berfungsi menghancurkan korpus
leteum yang sedang berfungsi dan tidak efektif pada korpus luteum yang sedang tumbuh.

2. Saran

Sebaiknya sinkronisasi estrus pada ternak lebih digalakkan lagi dan disosialisasikan
kepada peternak dan diaplikasikan secara terprogram karena memiliki tingkat keberhasilan
yang tinggi.

6
Daftar Pustaka

Burhanuddin, M.R. Toelihere, T.L. Yusuf, I.G.K.A.M.K. Dewi, I.G.Ng. Jelantik dan P. Kune.
1992. Efektivitas PGF dan hormon gonadotropin terhadap kegiatan reproduksi sapi
Bali di Besipae, Timor Tengah Selatan. Buletin Penelitian Undana. Edisi Khusus,
Ilmu Ternak.

Hafez, ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7th edition. Lea and Febiger, Philadelpia.

Ismaya. 1998. Inseminasi Buatan pada Ternak. Bagian Program Studi Produksi Ternak.
Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Toelihere, M.R., I.G.Ng. Jelantik dan P. Kune. 1990. Perbandingan performans produksi sapi
Bali dan hasil persilangannya dengan Frisian Holstein di Besipae, Timor Tengah
Selatan. Laporan Penelitian Fapet Undana, Kupang.

Anda mungkin juga menyukai