Anda di halaman 1dari 20

TUGAS MAKALAH

PENYAKIT TROPIS TB PARU (TUBERKULOSIS PARU)

DISUSUN OLEH:

1. Baiq Gandawari Ning K. 9. Muhammad Ikhwan


2. Baiq Mega Indah L. 10. Ni Kadek Rahayu Pujiastuti
3. Baiq Nida Soleha 11. Rani Junia Lestari
4. Endar Trisno Budi 12. Steffi Grafalah Primadonalda
5. Febby Dian Permatasari 13. Tri Teguh Santoso
6. Fredianti Ika Safitri 14. Wigawati Atmaningrum
7. Intan Ayu Lestari 15. Yuliana Wahyu Ningsih
8. Mardiana Susanti

POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM KEMENKES RI

JURUSAN ANALIS KESEHATAN MATARAM

PRODI D-IV ANALIS KESEHATAN MATARAM

2019
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas
MAKALAH TENTANG PENYAKIT TROPIS TB PARU (TUBERKULOSIS
PARU) yang selesai pada waktunya.
Selesainya makalah kami tidak terlepas dari bantuan teman sekelompok, dan
dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan kali ini, kami mengucapkan
rasa terima kasih atas perhatian dan bimbingannya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini.
Semoga segala amal kebaikan yang telah diberikan sehingga terselesainya
penyusun dalam membuat makalah ini dapat imbalan yang berlipat ganda dari Tuhan
Yang Maha Esa dan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat sebagai informasi
maupun sebagai ilmu pengetahuan di masa yang akan datang.

Mataram, 10 September 2019


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Tuberkulosis paru (TB Paru) telah dikenal hampir di seluruh dunia, sebagai
penyakit kronis yang dapat menurunkan daya tahan fisik penderitanya secara serius
dan merupakan pembunuh nomor satu di antara penyakit menular. Hal ini disebabkan
oleh terjadinya kerusakan jaringan paru yang bersifat permanen. Selain proses
destruksi terjadi pula secara simultan proses restorasi atau penyembuhan jaringan
paru sehingga terjadi perubahan struktural yang bersifat menetap secara bervariasi
yang menyebabkan berbagai macam kelainan faal paru. dan beberapa orang yang
berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling
ketergantungan (DEPKES RI, 1998), maka penyakit TB Paru ini akan mudah atau
rentan pada keluarga yang salah satu anggota keluarganya terkena TB Paru.
Tuberkulosis Paru menyerang tidak memandang usia produktif, kelompok
ekonomi rendah, dan berpendidikan rendah. Namun TB Paru lebih banyak ditemukan
di daerah miskin. Hal tersebut dikarenakan faktor lingkungan yang kurang
mendukung menjadi penyebab TB Paru. Beberapa faktor yang erat hubungannya
dengan terjadinya infeksi basil tuberkulosis yaitu antara lain jumlah basil yang cukup
banyak dan terus menerus (memapar) calon penderita, adanya sumber penularan,
mikrobakteri tuberculosis keganasan basil serta daya tahan tubuh dimana daya tahan
tubuh ini erat kaitannya dengan faktor lingkungan misalnya perumahan dan
pekerjaan, faktor imunologis, dan juga keadaan penyakit yang memudahkan infeksi
seperti campak dan diabetes melitus.
Penderita TB Paru yang tidak mendapatkan penanganan secara baik atau tidak
mengkonsumsi obat secara teratur maka akan mengalami komplikasi perdarahan dari
saluran pernapasan bagian bawah yang dapat mengakibatkan kematian karena syok
hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas, penyebaran infeksi, ke organ lain
misalnya otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya.
Untuk menanggulangi masalah peningkatan penderita tuberklosis paru ini telah
dilakukan berbagai macam usaha antara lain strategi DOTS dimulai pada tahun 2001
dengan melakukan pelatihan tenaga pelaksana secara bertahap dan pembentukan
forum kemitraan TBC nasional, adanya tim manajemen di tingkat provinsi, akurasi
penegakan diagnosa menjadi lebih baik dengan adanya pelatihan untuk petugas
laboraturium, pengadaan mikroskop dan reagen dengan kualitas yang lebih baik,
serta pengelolaan obat anti tuberculosis (fixed Dose Combination). Selain itu untuk
tim kesehatan seperti perawat juga harus lebih peka dan peduli dalam masalah
peningkatan penderita TB Paru dengan melaksanakan berbagai macam usaha seperti
pendidikan atau pemberian penyuluhan tentang TB Paru dan cara pencegahannya.
Serta pengetahuan pada keluarga yang anggota keluarganya menderita TB Paru agar
tidak sampai menularkan pada anggota keluarga yang lain.

1.2.Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah dan etiologi penyakit Tuberkulosis?
2. Bagaimana perkembangan penyakit Tuberkulosis di Dunia, Indonesia dan NTB?
3. Bagaimana mekanisme penularan penyakit Tuberkulosis?
4. Bagaimana morfologi dan cara mengidentifikasi penyakit Tuberkulosis?
5. Bagaimana upaya pengobatan dan pencegahan terhadap penyakit Tuberkulosis?
6. Bagaimana pemecahan masalah penyakit Tuberkulosis di NTB?

1.3.Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah dan etiologi penyakit Tuberkulosis?
2. Untuk mengetahui perkembangan penyakit Tuberkulosis di Dunia, Indonesia dan
NTB?
3. Untuk mengetahui mekanisme penularan penyakit Tuberkulosis?
4. Untuk mengetahui morfologi dan cara mengidentifikasi penyakit Tuberkulosis?
5. Untuk mengetahui upaya pengobatan dan pencegahan terhadap penyakit
Tuberkulosis?
6. Untuk mengetahui pemecahan masalah penyakit Tuberkulosis di NTB?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Etiologi Penyakit Tuberkulosis


1. Sejarah
Tuberkulosis adalah penyakit yang diderita manusia sama tuanya dengan
sejarah manusia. Penemuan lesi pada tulang-tulang belakang mummi yang
sesuai dengan TB ditemukan di Heidelberg, diduga berasal dari tahun 5000
SM. Demikian juga halnya di Italia diduga berasal dari tahun 4000 SM.
Keadaan ini juga dijumpai di Denmark dan lembah Jordan. Di Mesir juga
ditemukan lukisan-lukisan pada dinding berupa bentuk kelainan tulang
belakang yang sesuai dengan penemuan TB spinal pada mummi. Di Indonesia
catatan paling tua dari penyakit ini adalah seperti didapatkan pada salah satu
relief di candi Borobudur yang tampaknya menggambarkan kasus
tuberkulosis.(Ii & Pustaka, 1882)
Tuberculosis sudah ada dalam kehidupan manusia sejak zaman kuno.
Deteksi paling awal “M. tuberculosis” terdapat pada bukti adanya penyakit
tersebut di dalam bangkai bison yang berasal dari sekira 17.000 tahun lalu.
Namun, tidak ada kepastian apakah tuberkulosis berasal dari sapi (bovin),
yang kemudian ditularkan ke manusia, atau apakah tuberkulosis tersebut
bercabang dari nenek moyang yang sama. Para ilmuwan yakin bahwa
manusia terkena MTBC dari binatang selama proses penjinakan. Namun, gen
“Micobacterium tuberculosis” complex (MTbC) pada manusia telah
dibandingkan dengan MTbC pada binatang, dan teori tersebut telah terbukti
salah. Galur bakteri tuberkulosis memiliki nenek moyang yang sama, yang
sebenarnya bisa menginfeksi manusia sejak Revolusi Neolitik. Sisa kerangka
menunjukkan bahwa manusia prasejarah (4000 Sebelum Masehi) mengidap
TB. Para peneliti menemukan pembusukan tuberkulosis di dalam tulang spina
mumi-mumi Mesir dari tahun 3000–2400 SM.[94] "Phthisis" berasal dari
bahasa Yunani yang artinya “konsumsi,” yakni istilah kuno untuk
tuberkulosis paru. Sekira 460 SM, Hippocrates mengidentifikasi bahwa
phthisis adalah penyakit yang paling mudah menular pada saat itu. Orang
dengan phthisis mengalami demam dan batuk darah. Phthisis hampir selalu
berakibat fatal.[96] Penelitian gen menunjukkan bahwa TB telah ada di
Amerika dari sekira tahun 100 AD.
Sebelum Revolusi Industri, cerita rakyat seringkali menghubungkan
tuberkulosis dengan vampir. Jika seorang anggota keluarga meninggal karena
TB, kesehatan anggota keluarga lainnya dari orang yang terinfeksi tersebut
perlahan-lahan menurun. Masyarakat percaya bahwa orang pertama yang
terkena TB menguras jiwa anggota keluarga lainnya.
Jenis TB paru yang dikaitkan dengan tuberkel ditetapkan sebagai patologi
oleh Dr Richard Morton pada 1689. Namun, TB memiliki berbagai gejala,
sehingga TB tidak diidentifikasi sebagai satu jenis penyakit hingga akhir
1820-an. TB belum dinamakan tuberkulosis hingga 1839 oleh J. L. Schönlein.
Selama tahun 1838–1845, Dr. John Croghan, pemilik Gua Mammoth,
membawa mereka yang terkena TB ke dalam gua dengan harapan
menyembuhkan penyakit tersebut dengan suhu konstan dan kemurnian udara
di dalam gua: mereka meninggal setelah satu tahun di dalam gua.[102]
Hermann Brehmer membuka sanatorium pertama pada 1859 di Sokołowsko,
Polandia.
Dr. Robert Koch menemukan basil tuberkulosis. Basilus yang
menyebabkan tuberkulosis, “Mycobacterium tuberculosis,” diidentifikasi dan
dijelaskan pada 24 Maret 1882 oleh Robert Koch. Dia menerima Hadiah
Nobel bidang fisiologi atau kedokteran pada 1905 atas penemuan ini. Koch
tidak percaya bahwa penyakit tuberkulosis pada sapi (ternak) dan manusia
adalah penyakit yang serupa. Keyakinan ini menunda pengakuan bahwa susu
yang terinfeksi menjadi sumber infeksi. Kemudian, risiko penularan dari
sumber ini sangat jauh berkurang karena penemuan proses pasteurisasi. Koch
mengumumkan ekstrak gliserin dari basil tuberkulosis sebagai "obat" untuk
tuberkulosis pada 1890. Dia menamakannya “tuberkulin.” Meskipun
“tuberkulin” tidak efektif, tuberkulin diadaptasi sebagai tes penapisan untuk
mengetahui adanya tuberkulosis prasimtomatik.
Albert Calmette dan Camille Guérin menerima kesuksesan pertama dalam
imunisasi anti tuberkulosis pada 1906. Mereka menggunakan tuberkulosis
galur bovin di-atenuasi, dan vaksin tersebut dinamakan BCG (basil Calmette
dan Guérin). Vaksin BCG pertama kali digunakan pada manusia pada 1921 di
Prancis.[106] Namun, vaksin BCG baru diterima secara luas di AS, Inggris,
dan Jerman setelah Perang Dunia II.
Tuberkulosis menimbulkan kekhawatiran masyarakat pada abad ke-19
dan pada awal abad ke-20 sebagai penyakit endemik masyarakat miskin di
perkotaan. Pada 1815, satu di antara empat kematian di Inggris disebabkan
oleh "konsumsi." Pada 1918, satu di antara enam kematian di Prancis
disebabkan oleh TB. Setelah para ilmuwan menetapkan bahwa penyakit
tersebut menular pada 1880-an, TB dimasukkan ke penyakit wajib lapor di
Inggris. Kampanye dimulai agar orang-orang berhenti meludah di tempat
umum dan orang miskin yang terinfeksi penyakit tersebut ‘didorong’ untuk
masuk sanatorium yang menyerupai rumah tahanan. (Sanatorium untuk kelas
menengah ke atas menawarkan perawatan yang luar biasa dan pemeriksaan
medis terus-menerus.) Sanatorium tersebut seharusnya memberi manfaat
"udara bersih" dan pekerjaan. Namun bahkan dalam kondisi terbaik, 50%
pasien di dalamnya meninggal setelah lima tahun (“ca.” 1916).
Pada 1946, pengembangan antibiotik streptomisin mewujudkan
pengobatan dan penyembuhan efektif untuk TB. Sebelum obat ini
diperkenalkan, pengobatan satu-satunya (kecuali sanatorium) adalah
intervensi bedah. “Teknik pneumotoraks" membuat paru-paru yang terinfeksi
kolaps dan memberikan "jeda" sehingga lesi akibat tuberkulosis mulai
sembuh. Kemunculan MDR-TB kembali menjadikan pembedahan sebagai
opsi dalam standar tatalaksana untuk perawatan infeksi TB. Intervensi bedah
saat ini meliputi pengangkatan kavitas ("bula") patologis di dalam paru-paru
untuk mengurangi jumlah bakteri dan meningkatkan pajanan obat bagi bakteri
yang masih ada di dalam aliran darah. Intervensi ini secara bersamaan
mengurangi jumlah bakteri total dan meningkatkan efektivitas terapi
antibiotik sistemik. Meskipun para ahli mengharapkan agar TB dapat
diberantas sepenuhnya (bandingkan cacar), munculnya galur resistensi obat
pada 1980-an membuat pemberantasan TB menjadi sulit. Kemunculan
kembali tuberkulosis mendorong deklarasi emergensi kesehatan global yang
dibuat oleh WHO pada 1993.

2. Etiologi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
infeksi kuman (basil) Mikobakterium tuberkulosis. Sebagian besar basil
tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lain.
Organisme ini termasuk ordo Actinomycetalis, familia Mycobacteriaceae
dan genus Mycobacterium. Genus Mycobacterium memiliki beberapa spesies
diantaranya Mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan infeksi pada
manusia. Basil tuberkulosis berbentuk batang ramping lurus, tapi kadang-
kadang agak melengkung, dengan ukuran panjang 2μm-4μm dan lebar
0,2μm–0,5μm. Organisme ini tidak bergerak, tidak membentuk spora, dan
tidak berkapsul, bila diwarnai akan terlihat berbentuk manik-manik atau
granuler. Kuman ini bersifat obligat aerob dan pertumbuhannya lambat.
Dibutuhkan waktu 18 jam untuk mengganda dan pertumbuhan pada media
kultur biasa dapat dilihat dalam waktu 6-8 minggu.
Suhu optimal untuk untuk tumbuh pada 37oC dan pH 6,4 – 7,0. Jika
dipanaskan pada suhu 60oC akan mati dalam waktu 15-20 menit. Kuman ini
sangat rentan terhadap sinar matahari dan radiasi sinar ultraviolet. Disamping
itu organisme ini agak resisten terhadap bahan-bahan kimia dan tahan
terhadap pengeringan, sehingga memungkinkan untuk tetap hidup dalam
periode yang panjang didalam ruangan-ruangan, selimut dan kain yang ada di
kamar tidur, sputum. Dinding selnya 60% terdiri dari kompleks lemak seperti
mycolic acid yang menyebabkan kuman bersifat tahan asam, cord factor
merupakan mikosida yang berhubungan dengan virulansi. Kuman yang
virulen mempunyai bentuk khas yang disebut
serpentine cord, Wax D yang berperan dalam immunogenitas dan phospatides
yang berperan dalam proses nekrosis kaseosa. Basil tuberkulosis sulit untuk
diwarnai tapi sekali diwarnai ia akan mengikat zat warna dengan kuat yang
tidak dapat dilepaskan dengan larutan asam alkohol seperti perwarnaan Ziehl
Nielsen. Organisme seperti ini di sebut tahan asam. Basil tuberkulosis juga
dapat diwarnai dengan pewarnaan fluoresens seperti pewarnaan auramin
rhodamin.
B. Perkembangan Penyakit Tuberkulosis di Dunia, Indonesia dan NTB
Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular mematikan dan
sampai saat ini masih menjadi perhatian masyarakat dunia. Secara global pada
tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TBC (CI 8,8 juta – 12, juta) yang
setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Lima negara dengan insiden
kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan. Sebagian
besar estimasi insiden TBC pada tahun 2016 terjadi di Kawasan Asia Tenggara
(45%)dimana Indonesia merupakan salah satu di dalamnya—dan 25% nya terjadi
di kawasan Afrika.
Badan kesehatan dunia mendefinisikan negara dengan beban tinggi/high
burden countries (HBC) untuk TBC berdasarkan 3 indikator yaitu TBC,
TBC/HIV, dan MDR-TBC. Terdapat 48 negara yang masuk dalam daftar
tersebut. Satu negara dapat masuk dalam salah satu daftar tersebut, atau
keduanya, bahkan bisa masuk dalam ketiganya. Indonesia bersama 13 negara
lain, masuk dalam daftar HBC untuk ke 3 indikator tersebut. Artinya Indonesia
memiliki permasalahan besar dalam menghadapi penyakit TBC.
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis ditularkan melalui
percikan dahak (dorplet) dari penderita tuberkulosis kepada individu yang rentan.
Sebagian besar kuman Mycobacterium tuberculosis menyerang paru, namun
dapat juga menyerang organ lain seperti pleura, selaput otak, kulit, kelenjar limfe,
tulang, sendi, usus, sistem urogenital, dan lain-lain.
Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun
2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC
tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan.
Bahkan berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3
kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di
negara-negara lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar
pada faktor risiko TBC misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum
obat. Survei ini menemukan bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang
merokok sebanyak 68,5% dan hanya 3,7% partisipan perempuan yang merokok.
Berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013-2014, prevalensi TBC
dengan konfirmasi bakteriologis di Indonesia sebesar 759 per 100.000 penduduk
berumur 15 tahun ke atas dan prevalensi TBC BTA positif sebesar 257 per
100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas.
Di Provinsi NTB, pada tahun 2016 dilaporkan bahwa jumlah seluruh
pasien TB (semua tipe) mencapai 5.828 orang, dan sebanyak 3.860orang
diantaranya merupakan kasus baru BTA+. Sedangkan untuk tahun tahun 2017,
jumlah seluruh pasien TB adalah 6.644 orang, dengan 4.149orang merupakan
kasus TB baru BTA+. Apabila dibandingkan dengan tahun 2016, maka kasus TB
pada tahun 2017 mengalami peningkatan sebesar 14,04%.Data suspek TB tahun
2017 juga mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2016. Jika pada tahun
2016 suspek TB yang diperiksa sebanyak 33.628 orang, maka tahun 2017
sebanyak 4.2130 orang atau meningkat25,29%. Hal yang patut dicermati dari
peningkatan suspek TB yang diperiksa tahun 2017 adalah berimbas pada
terjadinya peningkatan pasien TB BTA positif dibandingkan tahun 2016, yakni
dari 3.860orang menjadi 4.149 orang. Namun jika di lihat dari proporsi penemuan
BTA+ terhadap suspek, pada tahun 2017 menurun menjadi 9,85% jika di
bandingkan dengan tahun 2016 sebesar 11,48%..
Oleh karena itu untuk program penanggulangan TB sangat perlu untuk
memperhatikan jumlah pasien dengan hasil pengobatan lengkap, meninggal,
gagal, default dan pindah, Angka keberhasilan pengobatan (Success Rate/SR)
menunjukkan bahwa pada tahun 2017 terjadi penurunan dibandingkan tahun
2016, yakni dari 91,18% tahun 2016 menjadi 87,75% tahun 2017.
Seorang penderita tuberkulosis dewasa dapat menularkan pada 10-15
orang. Sekali batuk penderita dapat meghasilkan sekitar 3000 percikan dahak
(droplet). Sumber penularan tuberkulosis pada anak rata-rata berasal dari batuk
orang dewasa dengan sputum BTA positif. Saat orang dewasa batuk maka droplet
yang dikeluarkan mengandung kuman yang bisa menginfeksi lingkungan sekitar.
Droplet dengan ukuran yang lebih besar akan jatuh ke tanah, namun yang
berukuran lebih kecil akan melayang-layang di udara. Risiko tertinggi untuk
terinfeksi kuman tuberkulosis adalah seseorang yang paling memiliki kedekatan
dengan penderita tuberkulosis. Risiko juga akan meningkat apabila orang yang
mengalami batuk tidak menutupi mulut menggunakan saputangan. Hampir semua
infeksi tuberkulosis lewat batuk, bersin, berbicara, atau menggunakan saputangan
yang mengandung kuman tuberkulosis. Seorang ibu yang infeksius juga
merupakan risiko bagi balita atau anak yang ada di sekitarnya khususnya yang
tinggal dan tidur bersama di ruangan yang sempit dan lembab. Kuman
tuberkulosis dapat bertahan melayang-layang di udara dalam waktu yang sangat
lama sampai terhirup melalui pernapasan manusia dan hanya bisa mati dengan
paparan sinar matahari langsung.
Pencegahan dan faktor resiko TBC dilakukan dengan cara :
 Membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat
 Membudayakan perilaku etika berbatuk
 Melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas perumahan dan
lingkungannya sesuai dengan standar rumah sehat
 Peningkatan daya tahan tubuh
 Penanganan penyakit penyerta TBC
 Penerapan, pencegahan dan pengendalian infeksi TBC di fasilitas pelayanan
kesehatan dan diluar fasilitas pelayanan kesehatan
C. Mekanisme

Penularan

Ketika seseorang yang mengidap TB paru aktif batuk, bersin, bicara, menyanyi, atau
meludah, mereka sedang menyemprotkan titis-titis aerosol infeksius dengan diameter 0.5
hingga 5 µm. Bersin dapat melepaskan partikel kecil-kecil hingga 40,000 titis. Tiap titis
bisa menularkan penyakit Tuberkulosis karena dosis infeksius penyakit ini sangat rendah.
(Seseorang yang menghirup kurang dari 10 bakteri saja bisa langsung terinfeksi).

Orang-orang yang melakukan kontak dalam waktu lama, dalam frekuensi sering, atau
selalu berdekatan dengan penderita TB, berisiko tinggi ikut terinfeksi, dengan perkiraan
angka infeksi sekitar 22%.] Seseorang dengan Tuberkulosis aktif dan tidak mendapatkan
perawatan dapat menginfeksi 10-15 (atau lebih) orang lain setiap tahun Biasanya, hanya
mereka yang menderita TB aktif yang dapat menularkan penyakit ini. Orang-orang
dengan infeksi laten diyakini tidak menularkan penyakitnya.]Kemungkinan penyakit ini
menular dari satu orang ke orang lain tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor
tersebut antara lain jumlah titis infeksius yang disemprotkan oleh pembawa, efektivitas
ventilasi lingkungan tempat tinggal, jangka waktu paparan, tingkat virulensistrain M.
tuberculosis, dan tingkat kekebalan tubuh orang yang tidak terinfeksi[] Untuk mencegah
penyebaran berlapis dari satu orang ke orang lainnya, pisahkan orang-orang dengan TB
aktif ("nyata") dan masukkan mereka dalam rejimen obat anti-TB. Setelah kira-kira dua
minggu perawatan efektif, orang-orang dengan infeksi aktif yang non-resisten biasanya
sudah tidak menularkan penyakitnya ke orang lain. Bila ternyata kemudian ada yang
terinfeksi, biasanya perlu waktu tiga sampai empat minggu hingga orang yang baru
terinfeksi itu menjadi cukup infeksius untuk menularkan penyakit tersebut ke orang lain.

D. Morfologi TB Paru (Tuberkulosis Paru)


Mycobacterium tuberculosis ini adalah basil tuberkel yang merupakan batang
ramping dan kurus, dapat berbentuk lurus ataupun bengkok yang panjangnya sekitar
2-4 µm dan lebar 0,2 - 0,5 µm yang bergabung membentuk rantai. Besar bakteri ini
tergantung pada kondisi lingkungan.
Mycobacterium tuberculosis tidak dapat diklasifikasikan sebagai bakteri gram
positif atau bakteri gram negatif, karena apabila diwarnai sekali dengan zat warna
basa, warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan alkohol, meskipun dibubuhi
iodium. Oleh sebab itu bakteri ini termasuk dalam bakteri tahan asam.
Mycobacterium tuberculosis cenderung lebih resisten terhadap faktor kimia
dari pada bakteri yang lain karena sifat hidrofobik permukaan selnya dan
pertumbuhan bergerombol.
Mycobacterium tuberculosis tidak menghasilkan kapsul atau spora serta
dinding selnya terdiri dari peptidoglikan dan DAP, dengan kandungan lipid kira-kira
setinggi 60%. Pada dinding sel mycobacteria, lemak berhubungan dengan
arabinogalaktan dan peptidoglikan di bawahnya. Struktur ini menurunkan
permeabilitas dinding sel, sehingga mengurangi efektivitas dari antibiotik.
Lipoarabinomannan, suatu molekul lain dalam dinding sel mycobacteria,
berperan dalam interaksi antara inang dan patogen, menjadikan Mycobacterium
tuberculosis dapat bertahan hidup di dalam makrofag.
Bakteri Mycobacterium memiliki sifat tidak tahan panas serta akan mati pada
6°C selama 15-20 menit. Biakan bakteri ini dapat mati jika terkena sinar matahari
langsung selama 2 jam.
Dalam dahak, bakteri mycobacterium dapat bertahan selama 20-30 jam. Basil
yang berada dalam percikan bahan dapat bertahan hidup 8-10 hari. Biakan basil ini
apabila berada dalam suhu kamar dapat hidup 6-8 bulan dan dapat disimpan dalam
lemari dengan suhu 20°C selama 2 tahun.
Mycobacterim tahan terhadap berbagai khemikalia dan disinfektan antara lain
phenol 5%, asam sulfat 15%, asam sitrat 3% dan NaOH 4%. Basil ini dihancurkan
oleh jodium tinctur dalam 5 menit, dengan alkohol 80 % akan hancur dalam 2-10
menit.
Mycobacterium tuberculosis dapat tahan hidup di udara kering maupun dalam
keadaan dingin atau dapat hidup bertahun-tahun dalam lemari es. Hal ini dapat terjadi
apabila kuman berada dalam sifat dormant (tidur). Pada sifat dormant ini apabila
suatu saat terdapat keadaan dimana memungkinkan untuk berkembang, kuman
tuberculosis ini dapat bangkit kembali.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri aerob, oleh karena itu pada
kasus TBC biasanya mereka ditemukan pada daerah yang banyak udaranya.
Bentuk saprofit cenderung tumbuh lebih cepat, berkembang biak dengan baik
pada suhu 22-23 derajat Celcius, menghasilkan lebih banyak pigmen, dan kurang
tahan asam dari pada bentuk yang pathogen. Mikobakteria cepat mati dengan sinar
matahari langsung, Tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap
dan lembab. Bakteri ini biasanya berpindah dari tubuh manusia ke manusia lainnya
melalui saluran pernafasan, keluar melalui udara yang dihembuskan pada proses
respirasi dan terhisap masuk saat seseorang menarik nafas. Habitat asli bakteri
Mycobacterium tuberculosis sendiri adalah paru-paru manusia.Infeksi dimulai saat
kuman tuberkulosis berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di dalam
paru – paru.
Bakteri Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri yang dapat menyebabkan
penyakit tuberkolosis atau disingkat TBC. Sumber penularan adalah penderita
Tuberculosis (TB) yang dahaknya mengandung kuman TB hidup (BTA (+)). Infeksi
kuman ini paling sering disebarkan melalui udara (air borne, droplets infection).
Penyebaran melalui udara berupa partikel-partikel percikan dahak yang mengandung
kuman berasal dari penderitasaat batuk, bersin, tertawa, bernyanyi atau bicara.
Partikel mengandung kuman ini akan terhisap oleh orang sehat dan menimbulkan
infeksi di saluran napas. Bakteri aktif mikobakteria mencemari udara yang ditinggali
atau ditempati banyak manusia, karena sumber dari bakteri ini adalah manusia.
Bakteri ini dapat hidup selama beberapa jam pada udara terbuka, dan selama itulah
dia akan berterbangan di udara hingga akhirnyamenemukan manusia sebagai tempat
hidup.
Biasanya pencemaran oleh bakteri ini terjadi pada rumah yang penuh dengan
orangnamun memiliki ventilasi yang buruk. Juga ditempat-tempat ramai yaitu sarana
perhubungan seperti bis sekolah, kapal laut, juga pada asrama, penjara, bahkan dari
dokter yang kurang memperhatikan sanitasi tubuhnya. Habitat asli dari bakteri ini
adalah manusia,dan hanya menjadikan lingkungan sebagai perantara.

E. Identifikasi TB Paru ( Tuberkulosis Paru)


Bakteri tahan asam dapat diamati dengan teknik pewarnaan Ziehl Neelson,
Kinyoun Gabber, dan Fluorochrom. Pengambilan sputum (sekret paru-paru atau
ludah) untuk analisis tuberculosis dapat dilakukan setiap saat dikenal ada 3 jenis
sputum:
 Sputum pagi : sputum yang dikeluarkan oleh penderita pada saat bangun pagi.
 Spot sputum : sputum yang dikeluarkan pada saat itu.
 Collection sputum: sputum yang keluar dan ditampung selama 24 jam

Sputum yang telah diperoleh dapat disimpan dalam lemari es selama satu
minggu.
Teknik pewarnaan Ziehl-Neelsen, yaitu dengan menggunakan zat
warna carbol fuchsin 0,3 %, asam alkohol 3 %, dan methylen blue 0,3%. Pada
pemberian warna pertama, yaitu carbol fuchsin, BTA bersifat
mempertahankannya. Carbol fuchsin merupakan fuksin basa yang dilarutkan
dalam larutan fenol 5 %. Larutan ini memberikan warna merah pada sediaan
dahak. Fenol digunakan sebagai pelarut untuk membantu pemasukan zat warna
ke dalam sel bakteri sewaktu proses pemanasan. Fungsi pemanasan untuk
melebarkan pori-pori lemak BTA sehingga carbol fuchsin dapat masuk sewaktu
BTA dicuci dengan larutan pemucat, yaitu asam alkohol, maka zat warna pertama
tidak mudah dilunturkan. Bakteri kemudian dicuci dengan air mengalir untuk
menutup pori-pori dan menghentikan pemucatan. BTA akan terlihat berwarna
merah, sedangkan bakteri yang tidak tahan asam akan melarutkan carbol
fuchsin dengan cepat sehingga sel bakteri tidak berwarna. Setelah penambahan
zat warna kedua yaitu methylen blue, bakteri tidak tahan asam akan berwarna
biru (Lay, 1994).
Menurut Entjang (2003), pada pewarnaan bakteri dengan metode Ziehl-
Neelsen dapat menggolongkan bakteri menjadi dua, yaitu :
1. Bakteri yang berwarna merah dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen disebut bakteri
tahan asam (acid fast).
2. Bakteri yang berwarna biru dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen disebut bakteri
tidak tahan asam (non acid fast).
Metode Ziehl-Neelsen digunakan karena cukup sederhana dan mempunyai
sensitivitas serta spesifitas yang cukup tinggi. Spesifitas dan sensitivitas yang
tinggi sebenarnya dimiliki oleh metode fluorokrom. Bakteri yang terwarnai
menunjukkan warna yang kontras dengan lingkungannya dan tidak membutuhkan
perbesaran sampai 1000x sehingga bisa mempercepat waktu. Akan tetapi, alat
yang digunakan tidak ada yaitu mikroskop fluorescens (Kurniawati et al., 2005).
Larutan kimia yang digunakan adalah alkohol asam 3% , carbol
fuchsin 0,3%, serta methylen blue 0,3% yang masing-masing mempunyai fungsi
antara lain asam alkohol digunakan sebagai peluntur, carbol fuchsin mempunyai
fungsi membuka lapisan lilin agar menjadi lunak sehingga cat dapat menembus
masuk ke dalam sel bakteri M. tuberculosis. Methylen blue berfungsi sebagai cat
lawan dan pada pemberian methylen blue pada bakteri akan tetap berwarna
merah dengan latar belakang biru atau hijau (Jutono dkk., 1980).
Standar yang terdapat dalam IUATLD (International Union Against
Tuberculosis Lung Disease) seperti berikut :
- Negatif : Tidak dijumpai adanya BTA
- Positif : Ditemukan 1-9 BTA/100 LP
- Positif 1 : Ditemukan 10-99 BTA/100 LP
- Positif 2 : Ditemukan 1-10 BTA/1 LP
- Positif 3 : Ditemukan lebih dari 10 BTA/1 LP

 ALAT DAN BAHAN


a. Alat
1. Lidi/ Ose
2. Api Spiritus
3. Object Glass
4. Mikroskop Binokuler
5. Rak Tabung
6. Label
b. Bahan
1. Sputum (sampel sputum Ayu Dian Puspita 1 dan 2)
2. Sampel BTA (1, 2 dan 3)
3. Oil Imersi
4. Lens Paper
5. Tissue
c. Reagensia / cat
1. Carbol Fuchsin 0,3%
2. Asam Alkohol 3%
3. Methylene Blue
4. Aquadest

 CARA KERJA
a. Pembuatan Apusan
1. Digunakan semua APD dengan baik, benar dan lengkap.
2. Disiapkan semua alat-alat dan bahan-bahan yang akan digunakan.
3. Dipastikan semua alat dan bahan siap untuk digunakan.
4. Diambil lidi/ose lalu dipanaskan dengan api Bunsen.
5. Dibuka tutup wadah sampel yang berisi sampel sputum.
6. Dimasukkan lidi/ose secara perlahan.
7. Dibakar lidi/ose, kemudian diletakkan dirak ose.
8. Dikeringkan apusan pada object glass dengan api Bunsen atau difiksasi.
9. Dilakukan fiksasi dengan cara mengelilingi kaca preparat pada api Bunsen
sebanyak tiga kali.
b. Pewarnaan
1. diteteskan Zat ZN A (Carbol Fuchsin) pada kaca preparat kemudian
dipanaskan sampai menguap (jangan sampai mendiih), ditunggu 5 menit lalu
dibilas dengan aquadest.
2. Diteteskan ZN B (Asam Alkohol) pada kaca preparat, ditunggu hingga ½
menit lalu dibilas dengan aquadest.
3. Diteteskan ZN C (Methylene Blue), ditunggu hingga 1 menit lalu dibilas
dengan aquadest.
4. Dikeringkan dengan kertas tissue.
c. Pembacaan Hasil Pengamatan
1. Preparat yang sudah jadi diamati dibawah mikroskop dengan setting
pembesaran objektif 10 kali untuk mencari lapang pandang, kemudian
dilanjutkan dengan perbesaran objektif 100 kali dengan penambahan oil imersi
untuk memperjelas objek yang diamati.
2. Diamati bentuk dan warna bakteri, bakteri tahan asam akan berwarna merah
dan bakteri tidak tahan asam akan berwarna biru.
F. Pengobatan Tuberkulosis
TBC dapat dideteksi melalui pemeriksaan dahak. Beberapa tes lain yang dapat
dilakukan untuk mendeteksi penyakit menular ini adalah foto Rontgen dada, tes
darah, atau tes kulit (Mantoux).
Pengobatan TB menggunakan antibiotik untuk membunuh bakterinya.
Pengobatan TB yang efektif ternyata sulit karena struktur dan komposisi kimia
dinding sel mikobakteri yang tidak biasa. Dinding sel menahan obat masuk
sehingga menyebabkan antibiotik tidak efektif. Dua jenis antibiotik yang umum
digunakan adalah isoniazid danrifampicin, dan pengbatan dapat berlangsung
berbulan-bulan.
Pengobatan TB laten biasanya menggunakan antibiotik tunggal. Penyakit TB
aktif sebaiknya diobati dengan kombinasi beberapa antibiotik untuk menurunkan
risiko berkembangnya bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Pasien dengan
infeksi laten juga diobati untuk mencegah munculnya TB aktif di kehidupan
selanjutnya.
kasus baru tuberkulosis paru adalah kombinasi antibiotik selama enam bulan.
Rifampicin, isoniazid, pyrazinamide, dan ethambutol untuk dua bulan pertama,
dan hanya rifampicin dan isoniazid untuk empat bulan selanjutnya. Apabila
resistensi terhadap isoniazid tinggi, ethambutol dapat ditambahkan untuk empat
bulan terakhir sebagai alternatif.

Penyakit kambuh
Bila tuberkulosis kambuh, lakukan tes untuk menentukan jenis antibiotik yang
sensitif sebelum menentukan pengobatan. Jika multiple drug-resistant TB (MDR-
TB) terdeteksi, direkomdendasikan pengobatan dengan paling tidak empat jenis
antibiotik efektif selama 8–24 bulan.

Resistensi obat
Resistensi primer muncul saat seseorang terinfeksi jenis TB resisten. Seorang
dengan TB yang rentan dapat mengalami resistensi sekunder (didapat) pada saat
terapi. Seseorang juga dapat mengalami perkembangan resistensi karena
pengobatan yang tidak adekuat, jika obat yang diresepkan tidak dipakai dengan
sesuai (karena tidak patuh), atau karena obat yang digunakan berkualitas rendah.
TB dengan resistensi obat merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius
di negara yang sedang berkembang. Pengobatan untuk TB yang resisten terhadap
obat akan berlangsung lebih lama dan memerlukan obat yang lebih mahal.
MDR-TB (Mulitple Drugs Resistance-TB) sering didefinisikan sebagai
resistensi terhadap dua obat yang paling efektif dalam lini pertama pengobatan
TB: rifampicin and isoniazid. Extensively drug-resistant TB juga resisten
terhadap tiga atau lebih dari enam kelas pengobatan lini kedua. TB resisten obat
total adalah resistensi terhadap semua jenis obat yang selama ini digunakan.
TB dengan resisten total terhadap obat pertama kali ditemukan pada tahun 2003
di Italia, tetapi hal ini tidak pernah dilaporkan hingga tahun 2012. Sekarang ini
ada kecenderungan untuk mengetahui terlebih dahulu apa betul yang menginfeksi
adalah bakteri TB atau bakteri lainnya dan obat apa saja yang masih mempan,
oleh karenanya perlu dilakukan kultur bakteri terlebih dulu sebelum dilakukan
pengobatan. Pada tahun 2007, WHO merekomendasikan penggunaan media cair
untuk kultur bakteri TB agar lebih akurat dan membutuhkan waktu hingga 40
hari.

G. Pencegahan Penyakit TBC


Pemerintah melalui Program Nasional Pengendalian TB telah melakukan
berbagai upaya untuk menanggulangi TB, yakni dengan strategi DOTS (Directly
Observed Treatment Shortcourse). World Health Organization (WHO)
merekomendasikan 5 komponen strategi DOTS yakni :
1. Tanggung jawab politis dari para pengambil keputusan (termasuk dukungan dana)
2. Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
3. Pengobatan dengan panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan
pengawasan langsung Pengawas Menelan Obat (PMO)
4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin
5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi
program penaggulangan TB

Pencegahan dan pengendalian faktor risiko TBC dilakukan dengan cara :


- Membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat
- Membudayakan perilaku etika berbatuk
- Melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas perumahan dan
lingkungannya sesuai dengan standar rumah sehat
- Peningkatan daya tahan tubuh
- Penanganan penyakit penyerta TBC
- Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TBC di fasilitas
pelayanan kesehatan dan diluar fasilitas pelayanan kesehatan

Pilar dan Komponen Pelayanan Penanggulangan TBC


1. Integrasi layanan TBC berpusat pada pasien dan upaya pencegahan TBC
a. Diagnosis TBC sedini mungkin, termasuk uji kepekaan OAT bagi
semua dan penapisan TBC secara sistematis bagi kontak dan kelompok
populasi beresiko tinggi
b. Pengobatan untuk semua pasien TBC, termasuk untuk penderita
resisten obat dengan disertai dukungan yang berpusat pada kebutuhan
pasien (potient-centred support)
c. Kegiatan kolaborasi TB/HIV dan tata laksana karmobid TBC yang lain
d. Upaya pemberian pengobatan pencegahan pada kelompok rentan dan
beresiko tinggi serta pemberian vaksinasi untuk mencegah TBC

2. Kebijakan dan sistem pendukung yang berani dan jelas


a. Komitmen politis yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan
layanan dan pencegahan TBC
b. Ketertiban aktif masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan dan
pemberi layanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta
c. Penerapan layanan kesehatan semesta (universal health coverage) dan
kerangka kebijakan lain yang mendukung pengendalian TBC seperti
wajib lapor, registrasi vital, tata kelola dan penggunaan obat rasional
serta pengendalian infeksi
d. Jaminan sosial, pengentasan kemiskinan dan kegiatan lain untuk
mengurangi dampak determinan sosial terhadap TBC

3. Intesifikasi riset dan inovasi


a. Penemuan, pengembangan dan penerapan secara cepat alat, metode
intervensi dan strategi baru pengendalian TB
b. Pengembangan riset untuk optimalisasi pelaksanaan kegiatan dan
merangsang inovasi-inovasi baru untuk mempercepat pengembangan
program pengendalian TB

Perilaku Pencegahan Penyakit TBC Pada Anggota Keluarga meliputi :


- Pola hidup sehat dan menutup mulut pada waktu batuk dan bersin
dengan sapu tangan dan tisu
- Tidur tersipisah dari keluarga terutama pada 2 minggu pertama
pengobatan
- Tidak meludah di sembarangan tempat
- Menjemur alat tidur secara teratur dipagi hari
- Memperhatikan kondisi fisik rumah seperti kelembapan udara, keadaan
lantai rumah, ventilasi, jendela rumah, pencahayaan, dan kepadatan
hunian sehingga kuman tuberculosis yang tertinggal didalam rumah
dapat mati.

H. Pemecahan Masalah Penyakit TB di NTB


Salah satu indikator kinerja pengendalian penyakit TB adalah Angka
Notifikasi Kasus atau Case Notification Rate (CNR), yakni angka yang
menunjukan jumlah pasien baru yang ditemukan dan tercatat diantara 100.000
penduduk di suatu wilayah tertentu. Angka ini apabila dikumpulkan serial
akan menggambarkan kecenderungan (trend) penemuan kasus dari tahun ke
tahun di wilayah tersebut. Case Notification Rate (CNR) pada tahun 2016
adalah 118,95, mengalami peningkatan tahun 2017 menjadi 134,12. Pencapaian
ini menggambarkan hasil yang cukup baik dimana seharusnya capaian CNR
meningkat 5% tiap tahun. Hal ini disebabkan meningkatnya penemuan kasus
baru di layanan kesehatan terutama puskesmas sebagai layanan primer.
Kedepannya diharapkan tidak hanya puskesmas tetapi juga layanan primer lain
seperti klinik swasta, dokter praktek swasta dan Rumah Sakit dapat menjaring
kasus baru TB lebih banyak lagi.
Mengingat TB adalah kasus yang membutuhkan penanganan yang lama
dan bersifat menular, maka dibutuhkan komitmen yang kuat dari semua
pihak dalam penanggulangannya.Penjangkauan suspek yang lebih intens dan
luas, sosialisasi yang lebih gencar kepada masyarakat, pelatihan yang kontinyu
bagi petugas kesehatan serta dukungan dalam penganggaran adalah upaya yang
bisa dilakukan untuk menurunkan angka kejadian TB.
Promosi Kesehatan pada masyarakat juga sangat pentig dilakukan dalam
menekan angka kejadian TB.Penyuluhan kesehatan merupakan kegiatan
pendidikan yang dilakukan dengan cara menyebarkan pesan, menanamkan
keyakinan, sehingga masyarakat sadar, tahu dan mengerti, mau dan bisa
melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan kesehatan. Penyuluhan
kesehatan merupakan gabungan berbagai kegiatan termasuk di dalamnya
kunjungan rumah dan penyebaran informasi kesehatan. Promosi kesehatan ini
perlu dilakukan disemua wilayah NTB, dari kota hingga ke pelosok-pelosok
desa, agar pengetahuan yang didapat setiap lapisan masyarakat sama tanpa
terkecuali.
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah perilaku yang berkaitan
dengan upaya atau kegiatan seseorang yang mempertahankan dan
meningkatkan kesehatannya. Dengan demikian masyarakat dapat mengenali
dan mengatasi masalahnya sendiri terutama dalam tatanan masing-masing
dan masyarakat dapat menerapkan cara-cara hidup sehat dengan menjaga,
memelihara dan meningkatkan kesehatannya.(Nusa, Barat, & Pengantar, 2017)
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh infeksi
kuman (basil) Mikobakterium tuberkulosis. Sebagian besar basil tuberkulosis
menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lain.
Penularan penyakit TB ini sangat sensitive dan mudah, seperti melalui udara
saat sipenderita berbicara, batuk, bersin, bernyanyi dan lainnya, pada saat itu
juga kuman atau bakteri akan beterbangan dan bias jadi menginfeksi atau
menularkan ke orang lain.
TBC dapat dideteksi melalui pemeriksaan dahak. Beberapa tes lain yang dapat
dilakukan untuk mendeteksi penyakit menular ini adalah foto Rontgen dada, tes
darah, atau tes kulit (Mantoux).
Pengobatan TB menggunakan antibiotik untuk membunuh bakterinya.
Pengobatan TB yang efektif ternyata sulit karena struktur dan komposisi kimia
dinding sel mikobakteri yang tidak biasa. Dinding sel menahan obat masuk
sehingga menyebabkan antibiotik tidak efektif. Dua jenis antibiotik yang umum
digunakan adalah isoniazid danrifampicin, dan pengbatan dapat berlangsung
berbulan-bulan.
Jadi, untuk mencegah terinfeksinya penyakit TB ini hendaklah menerapkan
pola perilaku hidup bersih, etika dalam berbicara baik itu bersin ataupun batuk,
mengetahui proses penularannya seperti apa, sehingga bisa mencegah
terinfeksinya bakteri yang menyebabkan penyakit TB (Tuberkulosis).

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, kami selaku pembuat makalah menyarankan
untuk menghindari penyebab terjangkitnya TB dan penularannya, dengan cara
menerapkan perilaku hidup bersih serta etika dalam bersosial.
Kami selaku penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan dalam
pembuatan makalah ini dan jauh dari kata sempurna. Maka dari itu kami
mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah ataupun
kesimpulan diatas agar kami bisa memperbaiki lebih baik lagi untuk kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan RI, 2016. Peraturan Mentri Kesehatan Nomor 67 tahun 2016
tentang Penanggulangan Tuberculosis, Jakarta.
2. Widoyono. 2008. Penyakit tropis epidemiologi, penularan, pencegahan dan
pemberantasannya. Jakarta, Elangga.
3. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tuberkulosis
4. http://www.academi.edu.makalah.tuberculosis
5. http://www.academia.edu.pewarnaan.BTA
6. https://media.neliti.com
7. https://docplayer.info
8. Konstantinos A (2010). "Testing for tuberculosis". Australian Prescriber. 33 (1): 12–
18.
9. World Health Organization (2009). "Epidemiology" (PDF). Global tuberculosis
control: epidemiology, strategy, financing. hlm. 6–33. ISBN 978-92-4-156380-2.
Diakses tanggal 12 November 2009
10. file:///C:/Users/MATRIX%20COMPUTER/Downloads/75823-ID-none.pdf
11. file:///C:/Users/MATRIX%20COMPUTER/Downloads/infodatin%20tuberkulosis%2
02018.pdf
12. Indah,M .2018. InfoDATIN Pusat Data dan Informasi Kesehatan RI. Jaksel

Anda mungkin juga menyukai