Anda di halaman 1dari 12

REFERAT

OTITIS MEDIA

Oleh :

Helmy Uung Muharromi 201510330311042

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


FAKULTAS KEDOKTERAN
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tubaeustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. otitis media terbagi atas otitis
mediasupuratif dan non-supuratif, dimana masing-masing memiliki bentuk akut dan
kronis.Otitis media akut termasuk kedalam jenis otitis media supuratif. Selain itu,
terdapat juga jenis otitis media spesifik, yaitu otitis media tuberkulosa, otitis media
sifilitik, dan otitismedia adhesiva.
Tanda dan gejala dari Otitis Media Akut (OMA) muncul ketika cairan yang
terperangkap didalam telinga tengah terinfeksi oleh bakteri patogen. Bulging dari
membrana timpani mamiliki nilaiprediktif yang paling tinggi saat mengevaluasi ada
tidaknya otitis media serosa. Selain itu dapat pula ditemukan beberapa hal lain yang
dapat mengindikasi terjadinya otitis media serosa, misalnya terdapat gerakan
membrane timpani yang terbatas pada saat diperiksa dengan pneumatic otoscopy dan
terlihat cairan di belakang membrane timpani ketika cairan yang ada di dalam telinga
tengah telah terinfeksi.
Otitis media serosa, lebih dikenal sebagai cairan dalam telinga tengah ( Middie
Ear Effusion), adalah kondisi yang paling sering menyebabkan hilangnya pendengaran
pada anak. Normalnya, ruang di belakang gendang telinga yang terdiri dari tulang-
tulang pendengaran diisi oleh udara. Hal inilah yang memungkinkan terjadinya
transmisi suara normal. Ruangan ini dapat terisi oleh cairan selama periode flu atau
pada kondisi infeksi saluran nafas bagian atas. Ketika flu sembuh, cairan ini secara
keseluruhan akan di alirkan keluar dari telinga melalui sebuah saluran yang
menghubungkan telinga luar dengan hidung yaitu tuba eustachius. Tuba eustachius
tidak dapat kering dengan baik pada anak-anak. Cairan yang telah terakumulasi
didalam ruang di telinga tengah seringkali terblokir untuk keluar.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui lebih jauh tentang
otitis media mengenai definisi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, dan
penatalaksanaannya.

1.3 Manfaat
Penulisan referat ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan
pemahaman penulis maupun pembaca mengenai otitis media beserta patofisiologi dan
penangananannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Telinga
Telinga dibagi atas telinga luar, telinga tengah dan dalam. Telinga tengah
berbentuk kubus dengan perbatasan :
 Luar : membran timpani
 Depan : tuba eustachius
 Bawah : vena jugularis
 Belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis
 Atas : tegmen timpani (meningen/ otak)
 Dalam : (dari atas ke bawah) kanalis semisirkularis horizontal, kanalis fasialis,
tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window) dan
promontorium.
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang
telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars
flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membrane propia).
Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang
telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran
napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari
serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan
sirkuler di bagian dalam. Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di
tempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah
dengan antrum mastoid.
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut
sebagai umbo.Dari umbo bermula suatu refleks cahaya (cone of light) ke arah bawah
yaitu pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pukul 5 untuk membran timpani
kanan.Refleks cahaya ialah cahaya dari luar yang dipantulkan oleh membran
timpani.Di membran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkular dan radier.Serabut
inilah yang menyebabkan timbulnya refleks cahaya yang berupa kerucut itu.Secara
klinis refleks cahaya ini dinilai, misalnya bila letak refleks cahaya mendatar, berarti
terdapat gangguan pada tuba eustachius.
2.2 Definisi
Otitis media ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Secara mudah, otitis media
terbagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif (=otitis media serosa,
otitis media sekretoria, otitis media musinosa, otitis media efusi/OME, otitis media
mucoid).
Adanya cairan di telinga tengah tanpa dengan membran timpani utuh tanpa
tanda-tanda infeksi disebut juga sebagai otitis media dengan efusi. Apabila efusi
tersebut encer disebut otitis media serosa dan apabila efusi tersebut kental seperti lem
disebut otitis media mukoid (glue ear). Pada dasarnya otitis media serosa dapat dibagi
atas dua jenis yaitu otitis media serosa akut dan otitis media serosa kronis. Otitis media
serosa akut adalah keadaan terbentuknya sekret di telinga tengah secara tiba-tiba yang
disebabkan oleh gangguan fungsi tuba. Batasan antara otitis media serosa akut dan
kronis hanya pada cara terbentuknya sekret.
Pada otitis media serosa akut sekret terjadi secara tiba-tiba di telinga tengah
dengan disertai rasa nyeri pada telinga, sedangkan pada keadaan kronik sekret
terbentuknya secara bertahap tanpa rasa nyeri dengan gejala-gejala pada telinga yang
berlangsung lama.
2.3 Epidemiologi
Pada tahun 1990, 12,8 juta kejadian otitis media terjadi pada anak-anak usia di
bawah 5 tahun. Anak-anak dengan usia di bawah 2 tahun, 17% memiliki peluang untuk
kambuh kembali. 45% anak-anak dengan OMA dapat menjadi OME setelah 30 hari
dan 10% lainnya menjadi OME setelah 90 hari, sedikitnya 3,84 juta kasus OME terjadi
pada tahun tersebut; 1,28 juta kasus menetap setelah 3 bulan. Statistik menunjukkan
80-90% anak prasekolah pernah menderita OME. Kasus OME berulang (OME
rekuren) pun menunjukkan prevalensi yang cukup tinggi terutama pada anak usia
prasekolah, sekitar 28-38%.
Otitis media serosa kronis lebih sering terjadi pada anak-anak, sedangkan otitis
media serosa akut lebih sering terjadi pada orang dewasa. Otitis media serosa unilateral
pada orang dewasa tanpa penyebab yang jelas harus dipikirkan kemungkinan adanya
karsinoma nasofaring.
2.4 Etiologi
Otitis media serosa dapat terjadi akibat kondisi-kondisi yang berhubungan dengan
pembukaan dan penutupan tuba eustachius yang sifatnya periodik.
Penyebabnya dapat berupa kelainan kongenital, akibat infeksi atau alergi, atau dapat
dapat juga disebabkan akibat blokade tuba (misalnya pada adenoid dan barotrauma)
Tuba eustachia immature merupakan kelainan kongenital yang dapat menyebabkan
terjadinyatimbunan cairan di telinga tengah. Ukuran tuba eustachius pada anak dan
dewasa berlainan dalam hal ukuran. Beberapa anak mewarisi tuba eustachius yang
kecil dari kedua orang tuanya, hal inilah yang dapat meningkatkan kecenderungan
terjadinya tendensi atau kecenderungan infeksi telinga tengah dalam keluarga. Selain
itu, otitis media serosa juga lebih sering terjadi pada anak dengan cleft palatal‖
(terdapatnya celah pada daerah palatum). Hal ini desebabkan karena otot-otot ini
tumbuh tidak sempurna pada anak dengan cleft palate‖.
Membrana mukosa dari telinga tengah dan tuba eustachius berhubungan
dengan membrane mukosa pada hidung, sinus, dan tenggorokan. Infeksi pada area-area
ini menyebabkan pembengkakan membrana mukosa yang mana dapat mengakibatkan
blokade dari tuba eustachius. Sedangkan reaksi alergi pada hidung dan tenggorokan
juga menyebabkan pembengkakan membrana mukosa dan memblokir tuba eustachius.
Reaksi alergi ini sifatnya bisa akut, seperti pada hay fever tipe reaksi ataupun bersifat
kronis seperti pada berbagai jenis sinusitis kronis. Adenoid dapat menyebabkan otitis
media serosa apabila adenoid ini terletak di daerah nasofaring, yaitu area disekeliling
dan diantara pintu tuba eustachius. Ketika membesar, adenoid dapat memblokir
pembukaan tuba eustachius.
Kegagalan fungsi tuba eustachi dapat pula disebabkan oleh rinitis kronik,
sinusitis, tonsilitis kronik, dan tumor nasofaring. Selain itu, otitis media serosa kronis
dapat juga terjadi sebagai gejala sisa dari otitis media akut (OMA) yang tidak sembuh
sempurna. Terapi antibiotik yang tidak adekuat pada OMA dapat menonaktifkan
infeksi tetapi tidak dapat menyebuhkan secara sempurna sehingga akan menyisakan
infeksi dengan grade rendah. Proses ini dapat merangsang mukosa untuk menghasilkan
cairan dalam jumlah banyak. Jumlah sel goblet dan mukus juga bertambah.
2.5 Patofisiologi
Dalam kondisi normal, mukosa telinga bagian dalam secara konstan
mengeluarkan sekret, yang akan dipindahkan oleh sistem mukosilier ke nasofaring
melalui tuba eustachius. Sebagai konsekuensi, faktor yang mempengaruhi produksi
sekret yang berlebihan, klirens sekret yang optimal, atau kedua-duanya dapat
mengakibatkan pembentukan suatu cairan di telinga tengah. (6) Ada 2 mekanisme
utama yang menyebabkan OME :
a. Kegagalan fungsi tuba eustachi untuk pertukaran udara pada telinga tengah dan
juga tidak dapat mengalirkan cairan.
b. Peningkatan produksi sekret dalam telinga tengah dari hasil biopsi mukosa
telinga tengah pada kasus OME didapatkan peningkatan jumlah sel yang
menghasilkan mukus atau serosa.
Otitis media serosa terjadi terutama akibat adanya transudat atau plasma yang
mengalir dari pembuluh darah ke telinga tengah yang sebagian besar terjadi akibat
adanya perbadaan tekananhidrostatik, sedangkan pada otitis media mukoid, cairan
yang ada di telinga tengah timbul akibat sekresi aktif dari kelenjar dan kista yang
terdapat di dalam mukosa telinga tengah, tuba eustachius dan rongga mastoid. Faktor
utama yang berperan disini adalah terganggunya fungsi tuba eustachius.

2.6 Manifestasi klinis


Gejala yang menonjol pada otitis media serosa akut biasanya pendengaran
berkurang. Selain itu pasien juga dapat mengeluh rasa tersumbat pada telinga atau suara
sendiri terdengar lebih nyaring atau berbeda, pada telinga yang sakit (diplacusis
binauralis). Kadang-kadang terasa seperti ada cairan yang bergerak dalam telinga pada
saat posisi kepala berubah. Rasa sedikit nyeri di dalam telinga dapat terjadi pada saat
awal tuba terganggu, yang menyebabkan timbul tekanan negatif pada telinga tengah.
Tapi setelah sekret terbentuk, tekanan negatif ini perlahan-lahan menghilang.
Rasa nyeri dalam telinga tidak pernah ada bila penyebab timbulnya sekret ada virus
atau alergi. Tinitus, vertigo, atau pusing kadang-kadang ada dalam bentuk yang ringan.
Pada otoskopi tampak membrana timpani retraksi. Kadang-kadang tampak gelembung
udara atau permukaan cairan dalam cavum timpani. Tuli konduktif dapat dibuktikan
dengan garpu tala.
Pada pemeriksaan fisik memperlihatkan imobilitas gendang telinga`pada
penilaian dengan otoskop pneumatik. Setelah otoskop ditempelkan rapat-rapat di liang
telinga, diberikan tekanan positif dan negatif. Jika terdapat udara dalam timpanum,
maka udara itu akan tertekan sehingga membrane timpani akan terdorong kedalam
pada pemberian tekanan positif, dan keluar pada tekanan negatif.

2.7 Tatalaksana
Tatalaksana otitis media efusi secara medikamentosa dapat dikatakan
kontroversial, dan penerapannya tergantung dari setiap negara. Terapi medikamentosa
dapat berupa decongestan, anti histamin, antibiotik, perasat valsava (bila tidak ada
tanda-tanda infeksi jalan napas atas), dan hiposensitisasi alergi. Dekongestan dapat
diberikan melalui tetes hidung, atau kombinasi anti histamin dengan dekongestan oral.
Namun kepustakaan lain menuliskan bahwa antihistamin maupun dekongestan tidak
berguna bila tidak ada kongesti nasofaring.
Dasar dari pemberian antibiotik adalah berdasarkan penelitian dari hasil kultur
bakteri cairan otitis media efusi. Cairan serosa dan mukoid yang dikumpulkan pada
miringotomi untuk diteliti, hasilnya ditemukan biakan kultur positif pada 40%
spesimen. Hasil biakan kultur tersebut mengandung organisme yang identik dengan
organisme yang didapat dari timpanosentesis otitis media akut. Maka, pemilihan
antibiotik pada otitis media serosa dan mukoid serupa dengan otitis media akut. Hasil
penelitian terkini, membuktikan bahwa penggunaan antibiotik terbukti efektif hanya
pada sejumlah kecil pasien, dan efeknya cenderung bersifat jangka pendek. Oleh
karena itu, penggunaannya tidak selalu mutlak, mengingat efek sampingnya (seperti
gastroenteritis, reaksi atopik, risiko resistensi) tidak sebanding dengan keefektifannya.
Hiposensitisasi alergi hanya dilakukan pada kasus-kasus yang jelas memperlihatkan
alergi dengan tes kulit. Bila terbukti alergi makanan, maka diet perlu dibatasi.
Beberapa pilihan untuk tatalaksana bedah antara lain: miringitomi,
pemasangan tuba timpanostomi, adenoidektomi. Pemasangan tuba timpanostomi
untuk sebagai ventilasi, yang memungkinkan udara masuk ke dalam telinga tengah,
dengan demikian menghilangkan keadaan vakum. Tuba timpanostomi terdapat dua
macam: short term (contoh: grommets), long term (contoh: T tubes). Tuba jangka
pendek dapat bertahan hingga 12 bulan, sedangkan tuba jangka panjang dapat
digunakan hingga bertahun-tahun (3). Tuba ventilasi dibiarkan pada tempatnya
sampai terlepas sendiri dalam jangka waktu 6-12bulan. Sayangnya karena cairan
seringkali berulang, beberapa anak memerlukan tuba yang dirancang khusus sehingga
dapat bertahan lebih dari 12 bulan. Keburukan tuba yang tahan lama ini adalah
menetapnya perforasi setelah tuba terlepas. Namun, Pemasangan tuba ventilasi dapat
memulihkan pendengaran dan membenarkan membran timpani yang mengalami
retraksi berat terutama bila ada tekanan negatif yang menetap.
Tindakan miringitomi dan aspirasi efusi tanpa pemasangan tuba timpanostomi
dibuktikan hanya berguna untuk efek jangka pendek. Berdasarkan studi oleh Gates,
tindakan miringitomi diikuti pemasangan tuba timpanostomi, dapat mempercepat
perbaikan pendengaran, mempersingkat durasi penyakit, mengurangi angka rekurens.
Luka insisi setelah miringitomi biasanya sembuh dalam 1minggu, namun, biasanya
disfungsi tuba eustachius membutuhkan waktu lebih lama untuk sembuh (biasanya
6minggu). Oleh karena ini, tindakan miringitomi saja, akan meningkatkan angka
rekurens. Manfaat adenoidektomi pada otitis media serosa kronik masih
diperdebatkan. Tentunya tindakan ini cukup berarti pada individu dengan adenoid
yang besar, dimana tindakan adenoidektomi dapat menghilangkan obstruksi
hidung – nasofaring, memperbaiki fungsi tuba eustachius, dan mengeliminasi sumber
reservoir bakteri. Namun sebagian besar anak tidak memenuhi kategori tersebut.
Penelitian mutakhir (Gates) melaporkan bahwa adenoidektomi terbukti
menguntungkan sekalipun jaringan adenoid tersebut tidak menyebabkan obstruksi.
Namun, mengingat risiko post operasi (seperti perdarahan), adenoidektomi biasanya
baru dipertimbangkan ketika penggunaan tuba timpanostomi gagal untuk menangani
otitis media efusi.
BAB III
KESIMPULAN

Otitis media ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Secara mudah, otitis media
terbagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif (=otitis media serosa,
otitis media sekretoria, otitis media musinosa, otitis media efusi/OME, otitis media
mucoid).
Otitis media serosa, lebih dikenal sebagai cairan dalam telinga tengah
( Middie Ear Effusion), adalah kondisi yang paling sering menyebabkan hilangnya
pendengaran pada anak. Adanya cairan di telinga tengah tanpa dengan membran
timpani utuh tanpa tanda-tanda infeksi disebut juga sebagai otitis media dengan efusi.
Apabila efusi tersebut encer disebut otitis media serosa dan apabila efusi tersebut kental
seperti lem disebut otitis media mukoid (glue ear).
Pada dasarnya otitis media serosa dapat dibagi atas dua jenis yaitu otitis media
serosa akut dan otitis media serosa kronis. Otitis media serosa akut adalah keadaan
terbentuknya sekret di telinga tengah secara tiba-tiba yang disebabkan oleh gangguan
fungsi tuba. Batasan antara otitis media serosa akut dan kronis hanya pada cara
terbentuknya sekret.
Kebanyakan pasien dengan otitis media efusi, tidak membutuhkan terapi,
terutama jika gangguan pendengarannya ringan, oleh karena resolusi spontan sering
terjadi. Tatalaksana otitis media efusi secara medikamentosa dapat berupa
decongestan, anti histamin, antibiotik, perasat valsava (bila tidak ada tanda-tanda
infeksi jalan napas atas), dan hiposensitisasi alergi. Keputusan untuk melakukan
intervensi bedah tidak hanya berdasarkan lamanya penyakit, namun perlu turut
dipertimbangkan derajat gangguan dan frekuensi parahnya gangguan
pendahulu. Beberapa pilihan untuk tatalaksana bedah antara lain: miringitomi,
pemasangan tuba timpanostomi, adenoidektomi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Crish Tanto, F. L. (2014). Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV. Jakarta: Media
Aesculapius.

2. Diana, F. (2017). Hubungan Rinitis Alergi dengan Kejadian Otitis Media. Departemen
THT-KL FK Universitas Sumatera Utara, 79-85.

3. Effiaty, E. (2012). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher. jakarta: Badan Penerbit FK UI.

4. Munawaroh, S. (2008). Insidens dan Karakteristik Otitis Media Efusi pada Rhinitis
Alergi Anak. Sari Pediatri, 212-220.

5. Munilson, J. (2014). Penatalaksanaan Otitis Media Akut. Padang: Bagian THT-KL FK


UNAND.

6. Rennatha, A. (2017). Peran Sitokin Pada Otitis Media Efusi. Jurnal THT-KL No.1, 37-
44.

7. Umar, S. (2013). Prevalensi dan Faktor Resiko Otitis Media Akut pada Anak-anak di
Kota madya Jakarta Timur. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI bagian program
pendidikan dokter spesialis THT-KL.

Anda mungkin juga menyukai