Anda di halaman 1dari 6

Pertimbangan Hukum Dalam Pelayanan Kegawatdaruratan

MAHESA PARANADIPA

Departemen Keorganisasian dan Sistem Informasi Kelembagaan PB IDI

Pendahuluan

Gugatan hukum terhadap pelayanan kesehatan sekarang semakin sering terdengar. Kasus-
kasus malpraktik yang muncul di media selalu menjadi topik hangat yang menarik banyak
pihak untuk diperbincangkan. Di sisi lain, pemberitaan tentang malpraktik laksana sebuah
tamparan keras bagi komunitas kedokteran atau kesehatan. Hal ini dikarenakan
pemberitaan tersebut secara tidak langsung mencoreng secara umum wajah pelayanan
kedokteran serta memengaruhi kredibilitas banyak dokter.

Kondisi di atas diperparah dengan berjalannya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Sejak JKN berjalan di awal tahun 2014, makin banyak masyarakat yang menyampaikan kata-
kata malpraktik ke muka publik lain. Hal ini disebabkan banyaknya pelayanan yang
sebelumnya bisa diperoleh, namun dengan berjalannya JKN banyak pelayanan tersebut yang
sudah tidak dapat lagi diberikan atau dikurangi. Dalam situasi tertekan serta kondisi
emosional yang sulit dikendalikan, pasien atau keluarga pasien sangat mengharapkan
kesembuhan ketika mereka mendatangi fasilitas kesehatan. Tentu saja yang pertama
menjadi sasaran kekesalan serta kekecewaan adalah dokter yang memberikan pelayanan
kepada pasien.

Di antara semua kasus yang sering menimbulkan gugatan malpraktik, kasus-kasus darurat
lah yang paling banyak menimbulkan sengketa. Pasien yang datang dalam kondisi kritis atau
perlu penanganan cepat menimbulkan tekanan lebih besar dibandingkan kondisi yang lain.
Kemampuan dan komunikasi yang baik dari dokter atau petugas kesehatan lainnya sangat
diharapkan pada kondisi-kondisi seperti ini. Kondis yang tidak selalu ditemui di unit gawat
darurat saja, namun juga bisa ditemui di unit yang lain dan di fasilitas kesehatan selain
rumah sakit.

Definisi Darurat

Kementerian Tenaga Kerja RI pada tahun 2003 memberikan beberapa hal yang menjadi
penyebab keadaan darurat, antara lain (1) Bencana alam (disaster), (2) Kegagalan teknis
seperti kecelakaan lalu lintas, kebakaran, kebocoran nuklir, dan lain-lain; (3) Huru hara atau
perkelahian.
Sedangkan lebih spesifik definisi darurat medis disebutkan dalam Undang-Undang Nomor
36 tahun 2009 tentang Kesehatan, keadaan darurat medis adalah kondisi yang mengancam
keselamatan (nyawa) dan berisiko menimbulkan kecacatan.

Definisi yang hampir sama disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang
Rumah Sakit, yaitu keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna
penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut.

Prof. dr. Herkutanto, SH, Sp.F, menyebutkan masalah utama dalam gawat darurat medik,
antara lain: (a) periode waktu pengamatan/pelayanan relatif lebih singkat; (b) perubahan
klinis yang mendadak; (c) obilitas petugas yang tinggi.

Dalam kondisi seperti di atas, situasi emosional dari pihak pasien atau keluarganya karena
tertimpa risiko, serta pekerjaan tenaga kesehatan yang di bawah tekanan mudah menyulut
konflik. Meski demikian, dalam keadaan gawat darurat, hubungan dokter-pasien tidak
berlaku dua hal, yaitu:

1. Azas volunterisme (kesepakatan). Pelayanan kesehatan dalam kondisi


kegawatdaruratan berbeda dengan pelayanan di poliklinik pada kasus non-gawat darurat.
Pasien atau keluarganya tidak perlu dimintakan kesepakatan oleh dokter tentang apa yang
akan dilakukan. Prinsip utama yang akan dilakukan dokter hanya mengacu kepada
keselamatan hidup pasien (life saving).

2. Pre-exixting relationship. Sebelum datang atau diantar ke unit gawat darurat, pasien
tidak dalam perjanjian terlebih dahulu dengan dokter sehingga kedatangan pasien adalah
mendadak atau tiba-tiba. Dalam hal ini, tidak ada kewajiban dokter berdasarkan hubungan
yang terjadi sebelumnya.

Kewajiban Memberikan Pertolongan Gawat Darurat

Dalam Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 51 ayat (d)
yang membicarakan kewajiban dokter disebutkan bahwa dokter wajib melakukan
pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang
bertugas dan mampu melakukannya. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 17 di Kode Etik
Kedokteran Indonesia (KODEKI). Di dalam Sumpah Dokter butir 1 disebutkan “Saya akan
membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan”.

Selain kewajiban dokter, fasilitas kesehatan, khususnya rumah sakit, juga memiliki
kewajiban dalam memberikan pertolongan kegawatdaruratan. Hal ini disebutkan dalam
Pasal 32 Undang-Undang rumah sakit, yaitu:
1. Dalam keadaan darurat, fasilitas kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib
memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatanan nyawa pasien dan pencegahan
kecacatan terlebih dahulu.

2. Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun


swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.

Di dalam undang-undangan kesehatan, pemerintah juga memiliki kewajiban memberikan


pelayanan dalam situasi gawat darurat. Hal ini disebutkan dalam Pasal 82, yaitu :

1. Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas


ketersediaan sumber daya, fasilitas dan pelaksanaan pelayanan kesehatan secara
menyeluruh dan berkesinambungan pada bencana.

2. Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud meliputi pelayanan kesehatan pada


tanggap darurat dan pascabencana.

Dalam UU Rumah Sakit, pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk
menjamin pembiayaan pelayanan kegawatdaruratan di rumah sakit akibat bencana dan
kejadian luar biasa.

Selain dalam situasi bencana, pemerintah juga bertanggung jawab atas pemenuhan kecuk-
upan gizi pada keluarga miskin dan dalam situasi darurat (Pasal 142 UU Kesehatan).

Dalam memberikan pertolongan kegawatdaruratan, dokter harus tetap mengedepankan


profesionalisme pelayanan yang mengacu kepada standar profesi. Standar profesi
kedokteran terdiri dari empat komponen, yaitu standar etik, standar pendidikan, standar
kompetensi, dan standar pelayanan.

Di tingkat fasilitas pelayanan kesehatan, tindakan dokter selain harus sesuai dengan standar
kompetensinya, juga harus sesuai dengan standar prosedur operasional (SOP) yang berlaku
di fasilitas tersebut.

Untuk memenuhi standar pelayanan, pihak manajemen fasilitas kesehatan juga diwajibkan
untuk memenuhi standar sarana prasarana termasuk obat, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai yang dibutuhkan dalam setiap tindakan kegawatdaruratan. Standar tersebut
termuat dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 856 tahun 2009 tentang Standar IGD
Rumah Sakit. Sedangkan untuk klinik terdapat di Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9
tahun 2014 tentang Klinik.

Perbuatan/tindakan dokter yang tidak memenuhi standar profesi dan SOP dapat dikenakan
sanksi disiplin oleh Majelis Kehormatan dan DIsiplin Kedokteran (MKDKI) dengan sanksi
berupa:

1. Pemberian peringatan tertulis.


2. Rekomendasi pencabutan STR dan SIP.

3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran


(Pasal 69 UU Praktik Kedokteran).

Persetujuan Tindakan Medik Dalam Pelayanan Kegawatdaruratan

Di dalam UU Praktik Kedokteran disebutkan bahwa setiap tindakan kedokteran yang akan
dilakukan oleh dokter terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Persetujuan diberikan
setelah pasien atau keluarganya mendapat penjelasan secara lengkap. Persetujuan dapat
diberikan secara lisan maupun tertulis.

Selanjutnya disebutkan mengenai pembagian persetujuan sebagai berikut:

1. Persetujuan tertulis, untuk setiap tindakan yang mengandung risiko tinggi atau
dokter meragukan persetujuan lisan. Persetujuan ini tertuang dalam formulir khusus yang
dibuat untuk itu.

2. Persetujuan lisan, untuk tindakan yang tidak mengandung risiko tinggi, dapat
diberikan dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala (implied
consent).

3. Tanpa persetujuan, hanya dalam keadaan darurat di mana dibutuhkan tindakan


segera untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan.

Tindakan risiko tinggi adalah tindakan medis yang berdasarkan tingkat probabilitas tertentu,
dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan. Contoh tindakan risiko tinggi adalah
pembedahan dan tindakan invasif lainnya, seperti pemasangan infus, nasal tube, kateter,
dan lain-lain, bahkan suntikan intramuskular atau intrakutan dapat dikategorikan sebagai
tindakan invasif.

Pada keadaan darurat, keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran diputuskan oleh
dokter atau dokter gigi dan dicatat di dalam rekam medik. Selanjutnya, dokter atau dokter
gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar
atau kepada keluarga terdekat.

Aspek Hukum Dalam Pelayanan Kedaruratan Medik

Secara universal, aspek hukum dalam pelayanan kedaruratan dikenal apa yang disebut
dengan Good Samaritan Law yang berbunyi “A principle of Tort Law that provides that a
person who see another individual in imminent and serious danger or peril cannot be
charged with Negligence if that first person attempts to aid or rescue the injure d party,
provided the attempt is not made recklessly”.

Untuk Indonesia, hukum positif yang diakui di antaranya adalah hukum pidana yang tertera
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pada pasal 48 KUHP disebutkan:
“Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”. Keadaan
darurat (Noodtoestand) masuk dalam kategori daya paksa. Dalam UU Kesehatan Pasal 58
disebutkan tuntutan ganti rugi tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan
tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan
darurat.

Namun, KUHP memberikan sanksi tegas bagi pihak-pihak yang dengan sengaja tidak
memberikan pertolongan, sebagaimana bunyi Pasal 304, yaitu “Barang siapa dengan
sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidup-
an, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.”

Selanjutnya dalam Pasal 306 disebutkan:

(1) Jika salah satu perbuatan berdasarkan pasal 304 dan 305 mengakibatkan luka-luka berat,
yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun enam bulan.

(2) Jika mengakibatkan kematian pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 190 UU Kesehatan juga memberikan sanksi hukum yang berbunyi “Pimpinan fasilitas
pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan
pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan
pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”

Kesimpulan

1. Penanganan kegawatdaruratan medis yang sesuai standar profesi (pertimbangan


etik dan disiplin) tidak dapat dijatuhi sanksi hukum. Namun, sanksi disiplin masih dapat
dijatuhi kepada dokter jika terbutki terdapat pelanggaran standar (standar profesi dan atau
SOP).

2. Dokter atau tenaga kesehatan lain yang melakukan pembiaran (sengaja tidak
memberikan pertolongan dengan dalih apapun) dalam pelayanan kegawatdaruratan dapat
dikenakan sanksi hukum.
Daftar Pustaka

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2. Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

3. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

4. Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit

5. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 290 tahun 2008 tentang Persetujuan


Tindakan Kedokteran

6. Herkutanto. 2007. Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat. Jakarta: Majalah


Kedokteran Indonesia, Vol.57.

Anda mungkin juga menyukai