Anda di halaman 1dari 3

Sastra Idealis Versus Industri Kreatif: Studi Kasus Film Nay Sebagai Bentuk Filmisasi Novel

Nayla Karya Djenar Maesa Ayu (DMA)


Muhammad Hanif Fuadi Ahna
180110170021
FIB|Sastra Indonesia
Film Nay dapat dianggap sebagai sebuah karya ideal dari DMA, yang skenario
filmnya ditulis dan disutradarai langsung oleh DMA. Film tersebut diangkat pula dari
novel Nayla yang merupakan karya DMA. Film Nay dan novel Nayla merupakan ekspresi
DMA yang dapat dicermati melalui penggunaan/ekspresi bahasa, baik di dalam film
maupun di dalam novel.
Berawal dari munculnya premis bahwa ketaksadaran sesungguhnya terstruktur
seperti bahasa, psikoanalis Perancis, Jacques Lacan telah memberikan orientasi baru pada teori
dan praktik Freudian. Lacan merevisi lebih lanjut pendapat Freud dalam psikoanalisis
klasiknya bahwa teks sastra –seperti halnya mimpi– adalah suatu bentuk kompromi antara
intensi ketaksadaran dan kesadaran. Ketaksadaran tidak saja berada di dalam teks, tetapi
juga berada dalam pikiran penulis dan pembacanya, sebuah pandangan yang mengarah pada
psikobiografi dan teori respons-pembaca (Noland dalam Makaryk, 1993:321). Selanjutnya,
Lacan menjelaskan bahwa teks sastra hadir melalui bahasa dan mengenai konsep
ketaksadaran, tubuh, dan sejarah seksualitas subjek manusia berlawanan dengan seluruh
produksi kesadaran (Camden dalam Makaryk, 1993:163), sehingga bahasa mengungkapkan
hal lain dari apa yang dikatakannya, berlawanan dengan wacana kesadaran.
Dengan demikian, memahami bahasa dalam karya sastra dengan menggunakan
konsep Lacanian sesungguhnya menemukan kondisi bawah sadar subjek yang penuh
kekurangan dan kehilangan. Sebuah kondisi yang tidak mungkin bagi penelaah sastra
untuk mengakses kondisi bawah sadar penulis karya sastra, tetapi pemahaman yang
dilakukan dalam kerangka psikoanalisis Lacanian meliputi kondisi yang terjadi pada
bahasa karya sastra, bagaimana bahasa karya sastra itu bergerak, serta penggunaan
metafora dan metonimia dalam bahasa karya sastra. Melalui bahasa, sang penulis karya
sastra mewujudkan diri dan menyampaikan subjektivitas (identitas) serta
menyampaikan hasrat (keinginan) agar diakui keberadaannya sebagai subjek dalam
masyarakatnya. Hal ini penting karena bahasa akan menentukan subjektivitas yang
mengada dan hadir dalam masyarakat.
DMA sebagai sutradara dan penulis skenario film Nay serta penulis novel Nayla
memiliki idealisme dalam menyampaikan ide-ide pada penikmat karya-karyanya. Akan
tetapi, idealisme DMA mesti berhadapan dengan kepentingan industri kreatif melalui
sensor. Dalam film Nay, tokoh Nay (perempuan) ketika berdialog dengan pacarnya
melalui telepon mendapat sensor ketika memaki pacarnya. Selain itu, sensor juga
berasal dari tokoh ibu si pacar yang mengatakan bahwa kehamilan Nayla adalah bukan
tanggung jawab anak lelakinya, karena Nayla telah tidak perawan sejak kanak-kanak.
Ada stigma bahwa perempuan yang pernah menjadi korban perkosaan sejak kanak-
kanak tidak layak untuk mendapatkan kebahagiaan ketika ia dewasa. Stigma semacam
ini adalah sensor bagi ketubuhan perempuan. Sensor bagi perempuan untuk menuntut
keadilan atas seksualitas dan menyelesaikan masalah seksualitas.
Sementara itu, dalam novel Nayla melalui tokoh Nayla, sensor dilakukan melalui
penggunaan metafora-metafora dan metonimia dalam menggambarkan ibu sebagai
monster. Nayla tetap menunjukkan ketakutan dan kepatuhan sebagai anak pada ibunya.
Hal ini terjadi karena norma masyarakat telah menempatkan ibu sebagai orang yang
mesti dipatuhi. Peran ibu adalah peran paling mulia di dalam masyarakat, meski ibu telah
melakukan kekerasan pada anaknya. Sensor yang dilakukan DMA melalui bahasa yang
digunakan subjek dalam novel Nayla tunduk pada norma-norma yang hidup pada
masyarakat (sebagai liyan). Norma-norma yang hidup pada masyarakat (sebagai liyan)
mewujud melalui tokoh Ibu. Subjek patuh pada Ibu. Subjek patuh pada liyan, meski liyan
telah menempatkan subjek pada posisi yang tidak nyaman dan ketakutan sepanjang
kehidupannya. Subjek tidak punya pilihan selain tunduk pada liyan. Subjek masih tunduk
pada pencitraan dan stigma. Hal ini terjadi karena subjek masih membutuhkan
pengakuan liyan untuk mengakui eksistensinya sebagai subjek dalam masyarakat (Liyan).
Berdasarkan pemaparan tersebut, sastra idealis di Indonesia tidak dapat
ditemukan sepenuhnya, karena adanya sistem sensor melalui norma-norma masyarakat
yang berfungsi sebagai kontrol atas kebebasan subjek ideal. Keberadaan subjek ideal
pun tidak dapat ditemukan karena adanya liyan yang mewujud dalam norma
masyarakat, norma agama, dan norma-norma lain yang menjadi aturan dalam hidup
subjek. Oleh karena itu, sastra idealis yang sungguh- sungguh idealis di Indonesia tidak
pernah akan dapat ditemukan. Idealisme yang sungguh-sungguh ideal dalam dunia
sastra akan menjadikan karya-karya sastra tidak dapat dinikmati pembacanya secara
luas.
Selain sekian norma tersebut, ada pertimbangan lain mengenai idealisme yang
tidak mungkin diwujudkan sepenuhnya, yaitu mengenai modal/biaya yang dikeluarkan
untuk memproduksi karya pun patut dipertimbangkan. Hal ini terjadi karena kreativitas
perlu biaya yang tidak sedikit, sedangkan para pemilik modal pun perlu menghitung
laba atas modal yang telah dikeluarkan. Guna kepentingan tersebut, sensor diterapkan
tidak hanya dalam karya sastra, tetapi juga dalam film melalui ekspresi-ekspresi bahasa
yang metaforis dan metonimis.
Daftar Pustaka
Ayu, Djenar Maesa. 2012. Nayla. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Camden, Vera J. 1993. “Psychoanalytic Theory” dalam Irena R. Makaryk (ed.):
Encyclopedia of Contemporary Literary Theory, Approaches, Scholars, Terms.
Toronto: University of Toronto Press.
Noland, Richard W. 1993. “Sigmund Freud” dalam Irena R. Makaryk (ed.):
Encyclopedia of Contemporary Literary Theory, Approaches, Scholars, Terms.
Toronto: University of Toronto Press.

Anda mungkin juga menyukai