Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN ELIMINASI URINE

1. Definisi

Definisi Eliminasi merupakan suatu proses pengeluaran zat-zat sisa yang tidak diperlukan
oleh tubuh. Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh. Pembuangan
dapat melalui urine dan bowel (tarwoto, wartonah, 2006). Eliminasi dalah produk sisa
pencernaan yang teratur merupakan aspek yang penting untuk fungsi normal tubuh.perubahan
eliminasi dapat menyebabkan masalah pada sistem gastrointestinal dan sistem tubuh lainya
(Potter dan Perry, 2006).
Eliminasi urin merupakan salah dari proses metabolik tubuh. Zat yang tidak dibutuhkan,
dikeluarkan melalui paru-paru, kulit, ginjal dan pencernaan. Paru-paru secara primer
mengeluarkan karbondioksida, sebuah bentuk gas yang dibentuk selama metabolisme pada
jaringan. Hampir semua karbondioksida dibawa keparu-paru oleh sistem vena dan diekskresikan
melalui pernapasan. Kulit mengeluarkan air dan natrium / keringat. Ginjal merupakan bagian
tubuh primer yang utama untuk mengekskresikan kelebihan cairan tubuh, elektrolit, ion-ion
hidrogen, dan asam. Proses ini terjadi dari dua langkah utama yaitu: kandung kemih secara
progresif terisi sampai tegangan di dindingnya meningkat diatas nilai ambang, yang kemudian
mencetuskan langkah kedua yaitu timbul refleks saraf yang disebut refleks miksi (refleks
berkemih) yang berusaha mengosongkan kandung kemih atau jika ini gagal, setidak-tidaknya
menimbulkan kesadaran akan keinginan untuk berkemih. Meskipun refleks miksi adalah refleks
autonomik medula spinalis, refleks ini bisa juga dihambat atau ditimbulkan oleh pusat korteks
serebri atau batang otak. Eliminasi urin secara normal bergantung pada satu pemasukan cairan
dan sirkulasi volume darah, jika salah satunya menurun, pengeluaran urin akan menurun.
Pengeluaran urin juga berubah pada seseorang dengan penyakit ginjal, yang mempengaruhi
kuantitas, urin dan kandungan produk sampah didalam urin (STIKKU, 2015)

2. Penyebab Gangguan Eliminasi Urine


2.1 Diet dan Asupan (intake)
Jumlah dan tipe makanan merupakan faktor utama yang memengaruhi output urine
(jumlah urine). Protein dapat menentukan jumlah urine yang dibentuk. Selain itu, juga
dapat meningkatkan pembentukan urine.
2.2 Respons Keinginan Awal untuk Berkemih
Kebiasaan mengabaikan keinginan awal untuk berkemih dapat menyebabkan urine
banyak tertahan di dalam urinaria sehingga memengaruhi ukuran vesika urinaria dan
jumlah urine.
2.3 Gaya Hidup
Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi dalam
kaitannya terhadap tersedianva fasilitas toilet.
2.4 Stres Psikologis
Meningkatnya stres dapat mengakibatkan meningkatnya frekuensi keinginan
berkemih. Hal ini karena meningkatnya sensitivitas untuk keinginan berkemih dan
jumlah urine yang diproduksi.
2.5 Tingkat Aktivitas
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot vesika urinaria yang baik untuk fungsi
sfingter. Hilangnya tonus otot vesika urinaria menyebabkan kemampuan pengontrolan
berkemih menurun dan kemampuan tonus otot didapatkan dengan beraktivitas.
2.6 Tingkat Perkembangan
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan juga dapat memengaruhi pola berkemih.
Hal tersebut dapat ditemukan pada anak, yang lebih memiliki mengalami kesulitan
untuk mengontrol buang air kecil. Namun dengan usia kemampuan dalam mengontrol
buang air kecil.
2.7 Kondisi Penyakit
Kondisi penyakit dapat mempengaruhi produksi urine, seperti diebetes melitus.
2.8 Sosiokultural
Budaya dapat memengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi urine, seperti adanya
kultur pada masyarakat tertentu yang melarang untuk buang air kecil di tempat tertentu.
2.9 Kebiasaan Seseorang
Seseorang yang memiliki kebiasaan berkemih di mengalami kesulitan untuk
berkemih dengan melalui urineal/ pot urine bila dalam keadaan sakit.
2.10 Tonus Otot
Tonus otot yang memiliki peran penting dalam membantu proses berkemih adalah
otot kandung kemih, otot abdomen dan pelvis. Ketiganya sangat berperan dalam
kontraksi pengontrolan pengeluaran urine.
2.11 Pengobatan
Pemberian tindakan pengobatan dapat berdampak pada terjadinya peningkatan atau
penurunan proses perkemihan. Misalnya pemberian diuretik dapat meningkatkan
jumlah urine, sedangkan pemberian obat antikolinergik dan antihipertensi dapat
menyebabkan retensi urine.
2.12 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik ini juga dapat memengaruhi kebutuhan eliminasi urine,
khususnya prosedur-prosedur yang berhubungan dengan tindakan pemeriksaan saluran
kemih seperti IVY (intra uenus pyelogram), yang dapat membatasi jumlah asupan
sehingga mengurangi produksi urine. Selain itu tindakan sistoskopi dapat
menimbulkan edema lokal pada uretra yang dapat mengganggu pengeluaran urine.

3. Tanda dan Gejala Gangguan Kebutuhan Eliminasi


3.1 Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah suatu
kondisi yang menyebabkan kelenjar prostat mengalami pembengkakan, namun tidak
bersifat kanker. Kelenjar prostat memiliki fungsi untuk memproduksi air mani dan
terletak pada rongga pinggul antara kandung kemih dan penis.
Karena kelenjar prostat hanya dimiliki oleh pria, maka tentu saja seluruh penderita
BPH adalah pria. Umumnya pria yang terkena kondisi ini berusia di atas 50 tahun.
Berikut ini gejala-gejala yang biasanya dirasakan oleh penderita pembesaran prostat
jinak (BPH):

 Selalu ingin berkemih, terutama pada malam hari.


 Inkontinensia urine atau beser.
 Sulit mengeluarkan urine.
 Mengejan pada waktu berkemih.
 Aliran urine tersendat-sendat.
 Mengeluarkan urine yang disertai darah.
 Merasa tidak tuntas setelah berkemih.

Munculnya gejala-gejala tersebut disebabkan oleh tekanan pada kandung kemih dan
uretra ketika kelenjar prostat mengalami pembesaran.
Disarankan untuk menemui dokter jika Anda merasakan gejala BPH, meski ringan.
Diagnosis sangat diperlukan karena ada beberapa kondisi lain yang gejalanya sama
dengan BPH, di antaranya:

 Prostatitis atau radang prostat.


 Infeksi saluran kemih.
 Penyempitan uretra.
 Penyakit batu ginjal dan batu kandung kemih.
 Bekas luka operasi pada leher kandung kemih.
 Kanker kandung kemih
 Kanker prostat.
 Gangguan pada saraf yang mengatur aktivitas kandung kemih.

Penyebab BPH
Sebenarnya penyebab persis pembesaran prostat jinak (BPH) masih belum
diketahui, namun diperkirakan kondisi ini terjadi karena adanya perubahan pada kadar
hormon seksual akibat proses penuaan.
Pada sistem kemih pria terdapat sebuah saluran yang berfungsi membuang urine
keluar dari tubuh melalui penis, atau lebih dikenal sebagai uretra. Dan jalur lintas uretra
ini secara kebetulan melewati kelenjar prostat. Jika terjadi pembesaran pada kelenjar
prostat, maka secara bertahap akan mempersempit uretra dan pada akhirnya aliran urine
mengalami penyumbatan. Penyumbatan ini akan membuat otot-otot pada kandung
kemih membesar dan lebih kuat untuk mendorong urine keluar.
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang terkena BPH adalah:

 Kurang berolahraga dan obesitas.


 Faktor penuaan.
 Menderita penyakit jantung atau diabetes.
 Efek samping obat-obatan penghambat beta.
 Keturunan

3.2 Sistitis
Sistitis dalah inflamasi kandung kemih. Inflamasi ini dapat disebabkan oleh infeksi
bakteri (biasanya Eacherichia Colf) yang menyebar dari uretra atau karena respon alergi
atau akibat iritasi mekanis pada kandung kemih. Gejalanya adalah sering berkemih dan
nyeri yang disertai darah dalam urine (hematuria).
3.3 Glomerulonefritis
Glomerulonefritis adalah inflamasi nefron, terutama pada glomerulus.
Glomerulonefritis terbagi menjadi dua yaitu: Glomerulonefritis akut seringkali terjadi
akibat respon imun terhadap toksin bakteri tertentu.
Glomerulonefritis kronik tidak hanya merusak glomerulus tetapi juga tubulus.
Infalamasi ini mungkin diakibatkan infeksi streptokokus, tetapi juga merupakan akibat
sekunder dari penyakit sistemik lain atau karena glomerulonefritis akut.
3.4 Pielonefritis
Pielonefritis adalah inflamasi ginjal dan pelvis ginjal akibat infeksi bakteri.
Infalamasi dapat berawal ditraktus urinaria bawah (kandung kemih) dan menyebar ke
ureter, atau karena infeksi yang dibawa darah dan limfe ke ginjal. Obstruksi traktus
urinari terjadi akibat pembesaran kelenjar prostat atau batu ginjal.
3.5 Batu Ginjal
Batu ginjal atau kalkuli urinari terbentuk dari pengendapan garam kalsium, magnesium,
asam urat, atau sistein. Batu-batu kecil dapat mengalir bersama dengan urine, batu yang
lebih besar akan tersangkut dalam ureter dan menyebabkan rasa nyeri yang tajam (kolik
ginjal) yang menyebar dari ginjal ke selangkangan.
3.6 Gagal Ginjal
Gagal ginjal adalah hilangnya fungsi ginjal. Hal ini mengakibatkan terjadinya
retensi garam, air, zat buangan nitrogen (urea dan kreatinin) dan penurunan drastis
volume urine (oliguria). Gagal ginjal terbagi menjadi dua macam yaitu:
- Gagal ginjal akut terjadi secara tiba-tiba dan biasanya berhasil diobati. Penyakit
ini ditandai dengan oliguria mendadak yang diikuti dengan penghentian produksi urine
(anuria) secara total. Hal ini disebabkan oleh penurunan aliran darah ke ginjal akibat
trauma atau cedera, glomerulonefritis akut, hemoragi, tranfusi darah yang tidak cocok,
atau dehidrasi berat.
- Gagal ginjal kronik adalah kondisi progresif parah karena penyakit yang
mengakibatkan kerusakan parenkim ginjal, seperti glomerulonefritis kronik atau
pielonefritis, trauma, atau diabetes nefropati( penyakit ginjal yang diakibatkan oleh
diabetes melitus).
3.7 Retensi
Retensi Urine ialah penumpukan urine acuan kandung kemih dan ketidaksanggupan
kandung kemih untuk mengosongkan sendiri.
Kemungkinan penyebabnya :
1. Operasi pada daerah abdomen bawah.
2. Kerusakan ateren.
3. Penyumbatan spinkter.
4. Tanda-tanda retensi urine :
 Ketidak nyamanan daerah pubis.
 Distensi dan ketidaksanggupan untuk berkemih.
 Urine yang keluar dengan intake tidak seimbang.
 Meningkatnya keinginan berkemih.
 Enuresis.
3.8 Eniorisis
Ialah keluarnya kencing yang sering terjadi pada anak-anak umumnya malam hari.
Kemungkinan peyebabnya :
1. Kapasitas kandung kemih lebih kecil dari normal.
2. Kandung kemih yang irritable.
3. Suasana emosiaonal yang tidak menyenangkan.
4. ISK atau perubahan fisik atau revolusi.
3.9 Inkontinensia
- Inkontinensia Fungsional/ urgensi
Inkotinensia Fungsional ialah keadaan dimana individu mengalami inkontine
karena kesulitan dalam mencapai atau ketidak mampuan untuk mencapai toilet sebelum
berkemih.
Faktor Penyebab:
1. Kerusakan untuk mengenali isyarat kandung kemih.
2. Penurunan tonur kandung kemih.
3. Kerusakan moviliasi, depresi, anietas.
4. Lingkungan.
5. Lanjut usia.
- Inkontinensia Stress
Inkotinensia stress ialah keadaan dimana individu mengalami pengeluaran urine
segera pada peningkatan dalam tekanan intra abdomen.
Faktor Penyebab:
1. Inkomplet outlet kandung kemih.
2. Tingginya tekanan infra abdomen.
3. Kelemahan atas peluis dan struktur pengangga.
4. Lanjut usia.
- Inkontinensia Total
Inkotinensia total ialah keadaan dimana individu mengalami kehilangan urine terus
menerus yang tidak dapat diperkirakan.
Faktor Penyebab:
1. Penurunan Kapasitas kandung kemih.
2. Penurunan isyarat kandung kemih.
3. Efek pembedahan spinkter kandung kemih.
4. Penurunan tonus kandung kemih.
5. Kelemahan otot dasar panggul.
6. Penurunan perhatian pada isyarat kandung kemih.
7. Perubahan pola.
8. Frekuensi.
9. Meningkatnya frekuensi berkemih karena meningkatnya cairan.
10. Urgency.
11. Perasaan seseorang harus berkemih.

4. Patofisiologi
4.1 Ginjal
1. Ginjal terbentang dari vertebra torakalis ke-12 sampai dengan vertebra lumbalis ke-3.
Dalam kondisi normal, ginjal kiri lebih tinggi 1,5 – 2 cm dari ginjal kanan karena
posisi anatomi hepar (hati). Setiap ginjal dilapisi oleh kapsul yang kokoh dan
dikelilingi oleh lapisan lemak. Produk pembuangan hasil metabolisme yang
terkumpul dalam darah di filtrasi di ginjal.
2. Darah sampai ke setiap ginjal melalui arteri renalis yang merupakan percabangan
dari aorta abdominalis. Arteri renalis memasuki ginjal melalui hilum. Setiap ginjal
berisi 1 jutanefron, yang merupakan unit fungsional ginjal kemudian membentuk
urine.
3. Darah masuk ke nefron melalui arteiola aferen. Sekelompok pembuluh darah ini
membentuk jaringan kapiler glomerulus, yang merupakan tempat pertama filtrasi
darah dan pembentukan urine. Apabila dalam urine terdapat protein yang berukuran
besar (proteinuria), maka hal ini merupakan tanda adanya cedera pada glomelorus.
Normalnya glomelorus memfiltrasi sekitar 125 ml filtrat/ menit.
4. Sekitar 99 % filtrat direabsorsi ke dalam plasma, dengan 1 % sisanya diekskresikan
sebagai urine. Dengan demikian ginjal memiliki peran dalam pengaturan cairan dan
eletrolit.
5. Ginjal juga sebagai penghasil hormon penting untuk memproduksi eritrisit, pengatur
tekanan darah dan mineralisasi mineral. Ginjal memproduksi eritropoietin, sebuah
hormon yang terutama dilepaskan dari sel glomerolus sebagai penanda adanya
hipoksia (penurunan oksigen) eritrosit. Setelah dilepaskan dari ginjal,
fungsi eritropoesis (produksi dan pematangan eritrosit) dengan merubah sel induk
tertentu menjadi eritoblast. Klien yang mengalami perubahan kronis tidak dapat
memproduksi hormon ini sehingga klien tersebut rentan terserang anemia.
6. Renin adalah hormon lain yang diproduksi oleh ginjal berfungsi untuk mengatur
aliran darah pada saat terjadi iskemik ginjal (penurunan suplai darah). Fungsi renin
adalah sebagai enzim untuk mengubah angiotensinogen (substansi yang disentesa
oleh hati) menjadi angiotensin I. Kemudian angiotensi I bersikulasi dalam pulmonal
(paru-paru), angiotensin I diubah menjadi angiotensin II dan angeotensin
III. Angeotensin II menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah dan menstimulasi
pelepasan aldosteron dari korteks adrenal.
7. Aldesteron menyebabkan retensi air sehingga meningkatkan volume
darah. Angiotensin III mengeluarkan efek yang sama namun dengan derajat yang
lebih ringan. Efek gabungan dari keduanya adalah terjadinya peningkatan tekanan
darah arteri dan aliran darah ginjal.
8. Ginjal juga berfungsi sebagai pengatur kalsium dan fosfat. Ginjal bertanggungjawab
untuk memproduksi substansi mengaktifkan vitamin D. Klien dengan gangguan
fungsi ginjal tidak membuat metabolik vitamin D menjadi aktif sehingga klien rentan
pada kondisi demineralisasi tulang karena adanya gangguan pada proses absorbsi
kalsium.
4.2 Ureter
1. Ureter membentang pada posisi retroperitonium untuk memasuki kandung kemih di
dalam rongga panggul (pelvis) pada sambungan uretrovesikalis. Dinding ureter
dibentuk dari tiga lapisan jaringan. Lapisan dalam, merupakan membran mukosa
yang berlanjut sampai lapisan pelvis renalis dan kandung kemih. Lapisan tengah
merupakan serabut polos yang mentranspor urine melalui ureter dengan gerakan
peristaltis yang distimulasi oleh distensi urine di kandung kemih. Lapisan luar adalah
jaringan penyambung fibrosa yang menyokong ureter.
2. Gerakan peristaltis menyebabkan urine masuk kedalam kandung kemih dalam bentuk
semburan. Ureter masuk dalam dinding posterior kandung kemih dengan posisi
miring. Pengaturan ini berfungsi mencegah refluks urine dari kandung kemih ke
dalam ureter selama proses berkemih (mikturisi) dengan menekan ureter pada
sambungan uretrovesikalis (sambungan ureter dengan kandung kemih).
4.3 Kandung Kemih
1. Merupakan suatu organ cekung yang dapat berdistensi dan tersusun atas jaringan otot
serta merupakan wadah tempat urine dan ekskresi. Vesica urinaria dapat
menampungan sekitar 600 ml walaupun pengeluaran urine normal 300 ml. Trigonum
(suatu daerah segitiga yang halus pada permukaan bagian dalam vesica urinaria)
merupakan dasar dari kandung kemih.
2. Sfingter uretra interna tersusun atas otot polos yang berbentuk seperti cincin
berfungsi sebagai pencegah urine keluar dari kandung kemih dan berada di bawah
kontrol volunter (parasimpatis : disadari).
4.4 Uretra
1. Urine keluar dari vesica urinaria melalui uretra dan keluar dari tubuh melalui meatus
uretra. Uretra pada wanita memiliki panjang 4 – 6,5 cm. Sfingter uretra eksterna yang
terletak sekitar setengah bagian bawah uretra memungkinkan aliran volunter urine.
2. Panjang uretra yang pendek pada wanita menjadi faktor predisposisi mengalami
infeksi. Bakteri dapat dengan mudah masuk ke uretra dari daerah perineum. Uretra
pada ria merupakan saluran perkemihan dan jalan keluar sel serta sekresi dari organ
reproduksi dengan panjang 20 cm (fundamental of nursing hal 1679 – 1681, 2001).

5. Pemeriksaan Penunjang
5.1 Pielogram Intravena
Memvisoalisasi duktus dan pelvis renalis serta memperlihatkan ureter, kandung
kemih dan uretra. Prosedur ini tidak bersifat invasif. Klien perlu menerima injeksi
pewarna radiopaq secara intra vena.
5.2 Computerized Axial Tomography
Merupakan prosedur sinar X terkomputerisasi yang digunakan untuk memperoleh
gambaran terperinci mengenai struktur bidang tertentu dalam tubuh. Scaner temografik
adalah sebuah mesin besar yang berisi komputer khusus serta sistem pendeteksi sinar X
yang berfungsi secara simultan untuk memfoto struktur internal berupa potongan lintang
transfersal yang tipis.
5.3 Ultra Sonografi
Merupakan alat diagnostik yang noninvasif yang berharga dalam mengkaji gangguan
perkemihan. Alat ini menggunakan gelombang suara yang tidak dapat didengar,
berfrekuensi tinggi, yang memantul dari struktur jaringan.
5.4 Prosedur Invasif
1. Sistoscopy
Sistocopy terlihat seperti kateter urine. Walaupun tidak fleksibel tapi ukurannya lebih
besar sistoscpy diinsersi melalui uretra klien. Instrumen ini memiliki selubung plastik
atau karet. Sebuah obturator yang membuat skop tetap kaku selama insersi. Sebuah
teleskop untuk melihat kantung kemih dan uretra, dan sebuah saluran untuk
menginsersi kateter atau isntrumen bedah khusus.
2. Biopsi Ginjal
Menentukan sifat, luas, dan progronosis ginjal. Prosedur ini dilakukan dengan
mengambil irisan jaringan korteks ginjal untuk diperiksa dengan tekhnik
mikroskopik yang canggih. Prosedur ini dapat dilakukan dengan metode perkutan
(tertutup) atau pembedahan (terbuka).
3. Angiography (arteriogram)
Merupakan prosedur radiografi invasif yang mengefaluasi sistem arteri ginjal.
Digunakan untuk memeriksa arteri ginjal utama atau cabangnya untuk mendeteksi
adanya penyempitan atau okulasi dan untuk mengefaluasi adanya massa (cnth:
neoplasma atau kista)
5.5 Sitoure Terogram Pengosongan (volding cystoureterogram)
Pengisian kandung kemih dengan zat kontras melalui kateter. Diambil foto saluran kemih
bagian bawah sebelum, selama dan sesudah mengosongkan kandung kemih.
Kegunaannya untuk mencari adanya kelainan uretra (misal, stenosis) dan untuk
menentukan apakah terdapat refleks fesikoreta.
5.6 Arteriogram Ginjal
Memasukan kateter melalui arteri femonilis dan aorta abdominis sampai melalui arteria
renalis. Zat kontras disuntikan pada tempat ini, dan akan mengalir dalam arteri renalis
dan kedalam cabang-cabangnya.
Indikasi :
a. Melihat stenosis renalis yang menyebabkan kasus hiperrtensi.
b. Mendapatkan gambaran pembuluh darah suatuneoplasma.
c. Mendapatkan gambaran dan suplai dan pengaliran darah ke daerah korteks, untuk
pengetahuan pielonefritis kronik.
d. Menetapkan struktur suplai darah ginjal dari donor sebelum melakukan
tranplantasi ginjal.
5.7 Pemeriksaan Urine
Hal yang dikaji adalah warna,kejernihan, dan bau urine. Untuk melihat kejanggalan
dilakukan pemeriksaan protein, glukosa, dll.
5.8 Tes Darah
Hal yang di kaji BUN,bersih kreatinin, nitrogen non protein, sistoskopi, intravenus,
pyelogram (fundamental of nursing hal 1700 - 1704,2001).

6. Penatalaksanaan
Pengumpulan Urine untuk bahan pemeriksaan
Mengingat tujuan pemeriksaan berbeda-beda, maka pengambilan sampel urine juga
dibeda-bedakan sesuai dengan tujuannya. Cara pengambilan urine tersebut atara lain :
pegambilan urine biasa, pegambilan urine steril dan pengumpulan selama 24 jam.
1. Pengambilan urine biasa merupaka pengambilan urine dengan cara mengeluarkan
urine seperti biasa, yaitu buang air kecil. Biasanya untuk memeriksa gula atau kehamilan.
2. Pengambilan urine steril merupakan pengambilan urine dengan cara dengan
menggunakan alat steril, dilakukan dengan menggunakan alat steril, dilakukan dengan
keteterisasi atau pungsi supra pubis. Pengambilan urine steril bertujuan mengetahui
adanya infeksi pada uretra, ginjal atau saluran kemih lainnya.
3. Pengambilan urine selama 24 jam merupakan pengambilan urine yang dikumpulkan
dalam 24 jam, bertujuan untuk mengeetahui jumlah urine selama 24 jam dan mengukur
berat jenis urine, asupan dan pengeluaran serta mengetahui fungsi ginjal.

7. Masalah Keperawatan
1. Urgensi adalah merasakan kebutuhan untuk segera berkemih.
2. Disuria adalah merasa nyeri atau sulit berkemih.
3. Frekuensi adalah berkemih dengan sering.
4. Keraguan poliuria adalah sulit memulai berkemih.
5. Oliguria adalah haluaran urine menurun dibandingkan cairan yang masuk.
6. Nokturia adalah berkemih berlebihan atau sering pada malam hari.
7. Dribling adalah kebocoran/rembesan urine walaupun ada kontrol terhadap
pengeluaran urine.
8. Hematuria adalah terdapat darah dalam urine.
9. Retensi adalah akumulasi urine di dalam kandung kemih disertai ketidakmampuan
kandung kemih untuk benar-benar mengosongkan urine.
10. Residu urine adalah volume urine yang tersisa setelah berkemih
( fundamental of nursing hal 1690, 2001).

8. Konsep Askep
No. Diagnose Tujuan Criteria Hasil Intervensi Rasional
Keperawatan
1. Retensi urine Pola berkemih Kandung kemih Minta klien Melatih
klien akan tidak akan untuk berusaha mengosongkan
kembali seperti distensi setelah berkemih pada kandung kemih
semula dalam 2 berkemih klien waktu yang secara teratur
hari setelah akan terjadwal yang dapat
kateter menyangkal teratur. mengurangi
diangkat. adanya rasa Instruksikan terjadinya
penuh pada klien untuk pengeluaran air
kandung melakukan kemih dalam
kemihnya latihan dasar bentuk tetesan.
setelah panggul (kegle Latihan dasar
berkemih. Klien exercise) diluar panggul ( kegel
akan mencapai waktu ) membantu
pengosongan berkemihnya. memeperkuat
urine total Minta klien otot-otot
dalam 24 jam melakukan panggul pada
setelah kateter latihan ini setiapsaat syaraf
diangkat. kali berkemih panggul utuh
Minta klien (AHACPR,
menggunakan 1992 ).
konpresi Metode crege
kandung kemih memebantu
( metode crede) menstimulasi
selama mikturisi dan
berkemih. mengosongkan
kandung kemih.
( fundamental of nursing hal 1705, 2001 )
DAFTAR PUSTAKA

 Bulechek, GM & MC. Closkey J.C (1992). Nursing intervention essential nursing
treatment 2 nd Edition. Philadelphia: W.B Sundeers. dalam
/http://book.google..com/perioperatif care diunduh 26 Januari 2011.
 Barbara, Gruendeman, Billie Fernsebner. (2005). Buku ajar keperawatan perioperatif.
Jakarta : EGC. dalam /http://book.google..com/perioperatif nursing diunduh 26 Januari
2011
 Chitty, K. K. 1997. Professional nursing, concepts and challenge. 2nd edition. Co.
Philadelphia :W.B Sundeer.
 http://masterucup.blogspot.com/2011/04/laporan-pendahuluan-gangguan-eliminasi.html
 Hidayat. A Aziz Alimul. (2003). Riset keperawatan dan teknik penulisan ilmiah. Jakarta:
Salemb Medika.
 Kozier, Barbara et. al. (2009). Fundamentals of nursing, concept, process, and practice.
New Jersey, U.S.A : Multi Media,.
 Lillis, C. Taylor, carol. (1997). Fundamental of nursing, The arts and science of nursing
care. Edisi 3, Philadelphia : ed. JB.Lippincott.
 Long, B.C. (1996)). Perawatan medikal bedah. Bandung :Yayasan Ikatan Alumni
Pendidikan Keperawatan. Lukman, Soerensens. (2003).

Anda mungkin juga menyukai