Anda di halaman 1dari 3

Pola Pendidikan Bisa Membunuhmu!

Baru-baru ini saya melontarkan sebuah pertanyaan dalam sebuah diskusi di kelas: “Mana yang
paling mudah Anda ingat, apakah teman terbaikmu atau teman yang paling Anda benci?” Bagi
kebanyakan orang, pertanyaan ini tidak penting. Namun, di luar dugaan saya, ternyata
sebanyak 15 orang (75%) dari 20 anak di ruang belajar itu menjawab dengan jujur, bahwa
mereka lebih mudah mengingat teman yang mereka benci.
Setelah mendapatkan kenyataan itu saya berpikir keras. Apakah saya bisa menyimpulkan,
bahwa dalam hidup ini hal buruk lebih mudah kita ingat daripada hal yang baik?
Ya, that’s reality! Bahkan saya juga mungkin demikian. Keburukan orang begitu saya simpan
rapi di hati. Sedangkan kebaikan orang banyak yang terlupakan.
Saya mencoba mengaitkan realita ini dengan pola pendidikan yang kita terima pada masa lalu.
Ketika saya masih di bangku sekolah, hanya ada dua pilihan untuk dapat dikenal dan diingat
oleh banyak orang, khususnya oleh para guru dan teman-teman sekolah. Yaitu, menjadi juara
umum atau menjadi yang paling bandel. Sayangnya untuk menjadi juara porsinya sangat
sedikit, maksimal 3 orang saja. Sedangkan untuk menjadi orang bandel porsinya tak terbatas,
bahkan jenisnya juga banyak.
Lagi-lagi ini benar adanya. Coba Anda ingat momen reuni dengan teman-teman sekolah. Hal
yang paling dinantikan biasanya adalah kehadiran teman-teman yang dianggap bandel dan
biang kerok pada zamannya. Yang paling banyak diingat adalah momen negatif tentang
kebandelan di sekolah. Sebaliknya, hanyalah segelintir yang bisa mengingat teman yang baik,
suka membantu, dan pintar. Bahkan, jika Anda biasa-biasa saja waktu sekolah mungkin tidak
ada yang mengingat. Atau bisa jadi, Anda dikira senior atau adik angkatan.
Jadi, adakah yang salah dengan pola pendidikan kita?
Ya, bisa jadi begitu. Dimulai dari keluarga, ketika sebagai anak kita berlaku biasa-biasa saja
maka hal-hal baik yang kita lakukan dianggap sebagai hal biasa dan wajar. Namun, jika pada
suatu waktu kita membuat kesalahan, misalnya, menyebabkan piring pecah atau jendela kaca
pecah saat main bola, maka seperti pada masa kecil saya, anak-anak akan dihajar
menggunakan rotan atau gesper (ikat pinggang). Keadaannya jauh lebih buruk bila Anda
dianggap menyebabkan atau membawa aib bagi keluarga, membuat malu keluarga, atau hal
buruk lainnya, maka pasti hampir semua orang menghakimi Anda. Semua sifat baik Anda tidak
ada yang mengingatnya.
Lalu, bagaimana dengan dunia pendidikan formal? Ada kemiripannya. Tidak ada satupun
orang tua yang menginginkan anaknya diingat sebagai yang paling bandel atau trouble maker.
Makanya, jangan heran jika banyak orang tua menginginkan anaknya menjadi yang terbaik
dengan berbagai cara. Hal itu sah-sah saja. Itu wajar. Namun, ceritanya akan berbeda bila
tuntutan yang diberikan kepada si anak itu ternyata ‘salah alamat’ dan sebenarnya dapat
membunuh sisi lain dari kehidupan anak-anak.
Pada saat ini, ada banyak anak-anak yang terus berpikir bagaimana bisa eksis diantara teman-
temannya. Hal itu terutama mulai dirasakan pada level sekolah menengah hingga perguruan
tinggi. Menjadi eksis tentu bukanlah hal sulit bagi mereka yang bersekolah di sekolah elit, yang
memiliki fasilitas dan tenaga pendidik professional. Sebab, mereka bisa menciptakan suasana
dimana para siswa bebas menyalurkan keinginannya. Yang pandai akan diarahkan ke
kompetisi mata pelajaran, yang suka musik diarahkan belajar musik, olahraga dan lain
sebagainya.
Hanya saja yang menjadi pertanyaan adalah berapa banyak sekolah yang mampu dan memiliki
fasilitas untuk mendorong perkembangan sisi positif anak-anak? Bagaimana dengan sekolah
di pedalaman sana?
Kenyataannya, saat ini 80% lembaga pendidikan formal belum mampu memenuhi tuntutan
kebutuhan peserta didik. Hal ini bisa kita lihat dari betapa membosankannya kegiatan sekolah
bagi anak-anak yang hanya fokus belajar sebanyak 11-13 mata pelajaran. Betapa menderitanya
peserta didik yang kesulitan matematika tetapi memiliki bakat sepakbola. Dan, betapa
stresnya peserta didik yang kesulitan menghafal Pancasila tetapi punya bakat bermain musik
yang sangat baik.
Jadi apakah pola pendidikan itu bisa membunuhmu pelan-pelan? Membunuh bakat, bahkan
bisa jadi menyakiti dan membunuh fisikmu? Apakah pendidikan membuatmu menjadi pribadi
yang terabaikan dan dilupakan? Atau bangku sekolah hanya lembaga untuk mengenal dan
mengingat para pembuat masalah? Harapannya, TIDAK!
Saatnya setiap kita mulai memikirkan pendidikan yang benar dan tepat. Orang tua harus bijak
menghargai setiap hal positif dari diri setiap anak, bahkan jika pun itu dianggap hal yang biasa-
biasa saja. Berilah mereka tepukan dan pujian tetapi di sisi yang lain juga mengajarkan mereka
untuk belajar dari setiap kesalahan dan kegagalan, mendorong mereka mengenal bakat
mereka dan menumbuhkannya menjadi sebuah cita-cita untuk diraih.
Di sisi lain, pendidikan formal juga dituntut untuk berbenah dan harus mampu mengeluarkan
setiap potensi terbaik peserta didik. Untuk daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar)
seperti kampung saya di Kepulauan Nias perlu langkah besar untuk mewujudkan hal itu.
Semua pihak harus bergandeng tangan untuk mendorong perubahan pendidikan yang selama
ini stagnan. Profesionalisme pendidik dituntut harus mampu mengiringi perkembangan
informasi dan teknologi yang terus berkembang pesat. Karena akan sia-sia saja upaya
pemerintah mengadakan berbagai fasilitas jika tenaga pendidik tidak mampu memaksimalkan
penggunaannya bagi perkembangan anak-anak peserta didik.
Masa depan dapat tercermin dari pola pendidikan generasi saat ini. Jika mereka masih
terbelenggu dengan sistem yang justru menghambat bakat mereka, maka generasi Nias di
masa depan tidak akan jauh berbeda seperti saat ini, yaitu mayoritas berharap jadi PNS. Tidak
salah menjadi ASN. Tetapi, pertanyaannya seberapa banyak yang bisa masuk menjadi ASN?
Atau hanya akan menjadi pembuat masalah dan beban bagi yang lain?
Lingkungan masyarakat juga harus mengambil andil untuk membantu generasi muda
berkembang. Hal itu bisa diwujudkan melalui kehadiran kegiatan positif melalui berbagai
komunitas dan kegiatan Karang Taruna.
Anak-anak juga sangat membutuhkan sumber literasi yang memadai dan mudah dijangkau
untuk membantu mereka berkembang dan mengakses berbagai informasi. Taman Bacaan
Masyarakat (TBM) sangat strategis untuk mengambil peran ini. TBM dapat didesain sebaik
mungkin untuk menarik minat anak-anak, misalnya dengan berbagai kegiatan kreatif dan
kegiatan belajar. Hal itu tidaklah mudah untuk diwujudkan, tetapi juga bukan tidak mungkin
untuk direalisasikan. Salah satu TBM yang sudah mengambil peran sentral di lingkungan
masyarakat adalah TBM IPNI Sondrege’asi di Kabupaten Nias Selatan.
Lembaga keagamaan juga harus mampu bertransformasi mengikuti perkembangan zaman.
Keterlibatan gereja dalam bentuk kegiatan Sekolah Minggu dan ibadah remaja/pemuda
sangatlah penting. Karena sikap relijius juga berpengaruh pada pola pikir, tindakan, dan
perkembangan individu.
Jadi, untuk membentuk karakter generasi yang positif dan berkarakter dibutuhkan kerjasama
semua pihak melalui pendidikan formal dan nonformal. Sehingga setiap anak tidak lagi hanya
diingat karena ranking dan tingkat kebandelannya. Tetapi, setiap anak mampu diingat dengan
potensi dan bakat yang mereka miliki. Bila tidak demikian, maka pendidikan yang sedang
dikerjakan pada dasarnya hanya akan menjadi sarana pembunuh masa depan anak-anak.
Selamat menyongsong generasi emas 2045.
Salam hangat.
By Saro telaumbanua

Anda mungkin juga menyukai