Anda di halaman 1dari 22

PRESENTASI KASUS

HIPOGLIKEMIA

Pembimbing :
dr. Anita Setyanti
dr. Lusi Dwiyanti

Disusun Oleh :
dr. Windarto

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


RSUD DR SOESELO
KABUPATEN TEGAL
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
HIPOGLIKEMIA

Disusun oleh:
dr. Windarto

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Program Dokter Internship RSUD Dr


Soeselo – Puskesmas Adiwerna (November 2018-November 2019)

Telah disetujui
Pada tanggal Oktober 2019

Pembimbing Pembimbing

dr. Anita Setyanti dr Lusi Dwiyanti

2
BAB I

IDENTIFIKASI KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. H.A


Usia : 33 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku Bangsa : Indonesia
Status Perkawinan : Sudah Menikah
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Harjosari Lor
Tanggal Periksa : 2 September 2019

3
B. ANAMNESIS

Diambil dari : IGD RSUD Dr Soeselo

Tanggal anamnesis : 2 September 2019

1. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Dr Soeselo diantar oleh keluarganya pada
2 Juli 2019 pukul 12.00 WIB. Pasien mengalami penurunan kesadaran sejak
2 jam sebelum masuk RS, sebelumnya pasien mengeluhkan lemas dan
muncul keringat dingin. Muntah (-), mual (+), kelemahan anggota gerak (-
). Beberapa hari sebelumnya pasien tidak nafsu makan, makan hanya
sedikit.

2. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat keluhan serupa disangkal
b. Riwayat diabetes melitus diakui, pasien menggunakan obat insulin SC
sudah 4 bulan
c. Riwayat hipertensi disangkal
d. Riwayat asma disangkal
e. Riwayat alergi makanan atau obat-obat disangkal
f. Riwayat operasi disangkal

3. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat keluhan serupa disangkal
b. Riwayat diabetes melitus diakui, adik dari ibu pasien
c. Riwayat hipertensi disangkal
d. Riwayat asma disangkal
e. Riwayat alergi makanan atau obat-obat disangkal

4
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak Lemah

Kesadaran : GCS E2V4M4

Vital Sign

- Tekanan darah : 110/80 mmhg


- Nadi : 80 kali /menit
- Frekuensi nafas : 24 kali /menit
- Suhu badan : 37 ºC
Berat badan : 50 kg

Tinggi badan : 158 cm

Kepala : mesocephal, simetris, jejas (-)

Mata : reflek cahaya (+/+), conjungtiva anemis (-/-), sklera


ikterik (-/-), pupil bulat ishokor 2mm/2mm

Hidung : tidak ada discharge, septum deviasi (-), rinorea (-)

Mulut : sianosis (-), discharge (-), pelo (-), merot (-)

Telinga : serumen (-), tidak ada kelainan bentuk dan ukuran,


otorea (-/-)

Leher : tidak ada deviasi trakea

Cor

- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak


- Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V
LMCS
- Perkusi : Batas kiri atas SIC II Linea Parasternal Sinistra
Batas kiri bawah SIC V Linea Mid Clavicula
Sinistra Batas kanan atas SIC II Linea Parasternal
Dextra Batas kanan bawah SIC IV Linea Mid
Clavicula Sinistra

5
Pulmo

- Inspeksi : simetris kanan dan kiri


- Palpasi : vocal fremitus simetris kanan dan kiri
- Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
- Auskultasi : suara dasar vesikuler +/+, rbh -/- rbk -/-
wh -/-

Abdomen

- Inspeksi : datar
- Auskultasi : bising usus normal
- Perkusi : tympani
- Palpasi : nyeri tekan (-) tidak ada defens muscular, tidak
teraba massa, hepar dan lien tidak teraba.

Ekstremitas atas

Edema (-/-), akral hangat (+/+), kekuatan motorik (5/5), sensorik dbn

Ekstremitas bawah

Edema (-/-), akral hangat (+/+), kekuatan motorik (5/5), sensorik dbn

6
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
GDS stick 2 September 2019, pukul 11.40: 34 mg/dl

Lab Darah 2 September 2019

Gambar 1. Hasil Lab Pasien

7
EKG 2 September 2019

Gambar 2. EKG Pasien

E. DIAGNOSA

Obs penurunan kesadaran ec hipoglikemia

F. TATALAKSANA

a. Tatalksana awal IGD

1) O2 3 liter per menit nasal kanul

2) IVFD D5 12 tpm

3) Inj D40 2 fl

4) Inj omeprazol 1x40mg

5) Cek GDS tiap 1 jam

6) Obat rutin DM stop

8
G. FOLLOW UP

Tempat : IGD RSUD Dr Soeselo

Tabel 1. Follow Up 1

2 September 2019, pukul 13.20 WIB

Subjektif Pasien mengeluh lemas

Objektif Keadaan Umum/Kesadaran : Sedang/CM

TD : 110/80 mmHg, HR : 74x/menit, RR : 18x/menit, S : 36,6 C

Paru : SDves +/+, Rbh -/-, Rbk -/-, Wh -/-

Ekstremitas bawah : oedema -/-, akral hangat +/+, parese -/-, KM


5/5

Lain-lain dalam batas normal

Assasment Obs penurunan kesadaran ec hipoglikemia

Plan Rawat ruangan biasa

O2 3 LPM NK

IVFD D5% 12tpm

Cek GDS tiap 1 jam

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau keduanya (PERKENI, 2015). Hipoglikemia, juga disebut glukosa
darah rendah atau gula darah rendah, terjadi ketika kadar glukosa dalam darah turun
di bawah normal (≤ 70 mg/dL) (NIDDK, 2016). Hipoglikemia adalah penurunan
konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa adanya gejala-gejala sistem otonom,
seperti adanya whipple’s triad: Terdapat gejala hipoglikemia, kadar glukosa darah
yang rendah, gejala berkurang dengan pengobatan (PERKENI, 2015).

B. Klasifikasi
Berdasarkan usulan American Diabetes Association (ADA) 2015,
hipoglikemia terbagi menjadi 5 klasifikasi

Tabel 2.1

Hipoglikemia Berat Hipoglikemia Hipoglikemia Probable Pseudo


simtomatik asimtomatik hipoglikemia hipoglikemia

membutuhkan GDS < 70mg/dL GDS Gejala Gejala


bantuan orang lain disertai gejala <70mg/dL hipoglikemia hipoglikemia
untuk pemberian hipoglikemia tanpa gejala tanpa dengan
karbohidrat, hipoglikemia pemeriksaan GDS>70
glukagon, atau GDS mg/dL
resusitasi lainnya

Gejala dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar: autonomik (misalnya,


berkeringat, jantung berdebar, gemetar, pusing, lapar) dan neuroglikopenik
10
(misalnya, kebingungan, kantuk, kesulitan bicara, perilaku aneh, kejang, koma)
(Schneider dan Morales, 2014). Gejala hipoglikemia menurut National Institute of
Diabetes and Digestive and Kidney Disease (NIDDK) 2016 terbagi menjadi dua,
ringan-sedang: gelisah, berkeringat, lapar, sakit kepala, penglihatan kabur, lelah,
pusing, bingung, pucat, lekas marah, agresif, perilaku yang berubah, kesulitan
berkonsentrasi, dan detak jantung cepat atau tidak teratur; sedangkan gejala berat:
tidak dapat makan atau minum, kejang, dan tidak sadar.

C. Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edem paru,
misalnya adanya riwayat sakit jantung, riwayat gejala yang sesuai dengan
gagal jantung kronik. Edem paru akut kardiak, kejadiannya sangat cepat dan
terjadi hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan
pengalaman yang yang menakutkan bagi pasien karena mereka batuk-batuk
dan seperti seseorang yang akan tenggelam (Ware, et al, 2005; Huldani,
2014).
Khas pada edem paru non kardiogenik didapatkan bahwa awitan
penyakit ini berbeda-beda, tetapi umumnya akan terjadi secara cepat.
Penderita sering sekali mengeluh tentang kesulitan bernapas atau perasaan
tertekan atau perasaan nyeri pada dada. Biasanya terdapat batuk yang sering
menghasilkan riak berbusa dan berwarna merah muda. Terdapat takipnue
serta denyut nadi yang cepat dan lemah, biasanya penderita tampak sangat

11
pucat dan mungkin sianosis. (Mattu, et al, 2005; Ware, et al, 2005; Huldani,
2014).
2. Pemeriksaan fisik
Terdapat takipnea, ortopnea (menifestasi lanjutan). Takikardia,
hipotensi atau teknan darah bisa meningkat. Pasien biasanya dalam posisi
duduk agar dapat mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik
saat respirasi atau sedikit membungkuk ke depan, akan terlihat retraksi
inspirasi pada sela interkostal dan fossa supraklavikula yang menunjukan
tekanan negatif intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat inpsirasi, batuk
dengan sputuk yang berwarna kemerahan (pink frothy sputum) serta JVP
meningkat (Mattu, et al, 2005; Ware, et al, 2005).

Pada pemeriksaan paru akan terdengar ronki basah setengah


lapangan paru atau lebih dan terdapat wheezing. Pemeriksaan jantung dapat
ditemukan ditemukan gallop, bunyi jantung 3 dan 4. Terdapat juga edem
perifer, akral dingin dengan sianosis (sda). Dan pada edem paru non
kardiogenik didapatkan khas bahwa Pada pemeriksaan fisik, pada perkusi
terdengar keredupan dan pada pemeriksaan auskultasi di dapat ronki basah
dan bergelembung pada bagian bawah dada (Mattu, et al, 2005; Ware, et al,
2005).
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan
diagnosis, yaitu:
1. Pemeriksaan foto toraks
Pada pemeriksaan foto thorax menunjukkan kardiomegali (pada
pasien dengan CHF) dan adanya edema alveolar disertai efusi pleura dan
infiltrasi bilateral dengan pola butterfly, gambaran vaskular paru dan
hilus yang berkabut serta adanya garis-garis Kerley b di interlobularis.
12
Gambaran lain yang berhubungan dengan penyakit jantung berupa
pembesaran ventrikel kiri sering dijumpai. Efusi pleura unilateral juga
sering dijumpai dan berhubungan dengan gagal jantung kiri (Mattu, et al,
2005; Ware, et al, 2005).

Gambar 3. Foto Thorax Pasien Oedem Pulmo


2. Elektrokardiografi (EKG)
Pada pemeriksaan EKG menunjukan gangguan pada jantung seperti
pembesaran atrium kiri, pembesaran ventrikel kiri, aritmia, miokard
iskemik maupun infark (Ware, et al, 2005).
3. Ekokardiografi
Pemeriksaan Ekokardiografi dilakukan untuk mengetahui apakah
ada penurunan fungsi dari ventrikel kiri dan adanya kelainan katup-katup
jantung (Ware, et al, 2005; Niemien, et al, 2005).
4. Pemeriksaan laboratorium enzim jantung
Pemeriksaan laboratorium enzim jantung perlu dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosis infark miokard. Peningkatan kadar
brain natriuretic peptide (BNP) di dalam darah sebagai respon terhadap
peningkatan tekanan di ventikel; kadar BNP >500 pg/ml dapat membantu
menegakkan diagnosis edema paru kardiogenik (Niemien, et al, 2005;
Rana, et al, 2006; Rodeheffer, 2004).
5. Analisis gas darah (AGD)
13
Pemeriksaan AGD dapat memperlihatkan penurunan PO2 dan
PCO2 pada keadaan awal tetapi pada perkembangan penyakit
selanjutnya PO2 semakin menurun sedangkan PCO2 meningkat. Pada
kasus yang berat biasanya dijumpai hiperkapnia dan asidosis respiratorik
(Mattu, et al, 2005; Ware, et al, 2005; Niemien, et al, 2005).
6. Kateterisasi jantung kanan
Pengukuran P pw (pulmonary capillary wedge pressure) melalui
kateterisasi jantung kanan merupakan baku emas untuk pasien edema
paru kardiogenik yaitu berkisar 25-35 mmHg sedangkan pada pasien
ARDS P pw 0-18 mmHg (Ware, et al, 2005; Niemien, et al, 2005).

7. Kadar protein cairan edema


Pengukuran rasio konsentrasi protein cairan edema dibandingkan
protein plasma dapat digunakan untuk membedakan edema paru
kardiogenik dan non-kardiogenik. Bahan pemeriksaan diambil dengan
pengisapan cairan edema paru melalui pipa endotrakeal atau bronkoskop
dan pengambilan plasma. Pada edema paru kardiogenik, konsentrasi
protein cairan edema relatif rendah dibanding plasma (rasio <0,6). Pada
edema paru non-kardiogenik konsentrasi protein cairan edema relatif
lebih tinggi (rasio > 0,7) karena sawar mikrovaskular berkurang (Harun,
2009).

14
Gambar 3. Perbedaan edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik

15
Gambar 4. Algoritma langkah-langkah untuk membedakan antara edema paru
kardiogenik dan non-kardiogenik (Ware, et al, 2005; Mattu, et al, 2005)

16
D. Penatalaksanaan
Manajemen edema paru harus segera dimulai setelah diagnosis ditegakkan,
meskipun pemeriksaan untuk melengkapi anamnesis dan pemeriksaan fisik masih
berlangsung. Manajemen edem paru dilakukan dengan langkah-langkah terapi
berikut yang biasanya dapat dilakukan secara bersamaan :
1. Posisi dan Terapi Oksigen
Pasien diposisikan dalam keadaan duduk atau setengah duduk.
Oksigen (40-50%) segera diberikan sampai dengan 8 L/menit, untuk
mempertahankan PO2, kalau perlu dengan masker. Jika kondisi pasien
semakin memburuk, timbul sianosis, makin sesak, takipneu, ronki
bertambah, PO2 tidak bisa dipertahankan ≥60 mmHg, atau terjadi kegagalan
mengurangi cairan edema secara adekuat, maka perlu dilakukan intubasi
endotrakeal, dan penggunaan ventilator (Eugene, 2003).
Efek terapinya adalah oksigen konsentrasi tinggi akan
meningkatkan tekanan intraalveolar sehingga dapat menurunkan transudasi
cairan dari kapiler alveolar dan mengurangi aliran balik vena (venous
return) ke toraks , mengurangi tekanan kapiler paru (Eugene, 2003).
2. Morfin Sulfat
Morfin diberikan secara intravena dengan dosis 2-5 mg. Dapat
diulangi tiap 15 menit. Sampai total dosis 15 mg biasanya cukup efektif.
Efek terapi dari pemberian morfin adalah obat ini mengurangi kecemasan,
mengurangi rangsang vasokonstrikstor adrenergik terhadap pembuluh darah
arteriole dan vena. Obat ini dapat menyebabkan depresi pernapasan,
sehingga nalokson harus tersedia (Eugene, 2003).
3. Nitroglycerin dan Nitroprusside
Nitroglycerin sublingual 300 – 600 mcg (dapat diulangi setiap 5
menit). Jika pasien tidak respon atau EKG menunjukkan tanda-tanda
iskemik, nitroglycerin dapat diberikan melalui drip intravena 10-30
ug/menit dan dititrasi (Eugene, 2003).

Pada pasien dengan hipertensi resisten dan tidak berespon baik


17
dengan pemberian nitroglycerin, dapat diberikan nitroprusside dimulai
dengan dosis 2,5 ug/kgBB/menit dan dititrasi (Eugene, 2003).
4. Diuretik loop intravena
Diberikan furosemid 40-80 mg i.v. bolus atau bumetanide 0,5 – 1
mg iv, dapat diulangi atau dosis ditingkatkan setelah 4 jam atau dilanjutkan
dengan drip kontinu sampai dicapai produksi urin 1 ml/kgBB/jam. Selama
terapi ini elektrolit serum dimonitor terutama kalium (Eugene, 2003).
5. Inotropic
Pada pasien dengan hipotensi atau pasien yang membutuhkan
tambahan obat-obatan inotropic, dapat dimulai dengan Dopamin dosis 5-10
ug/kg/menit dan dititrasi sampai mencapai tekanan sistolik 90-100 mmHg.
Dopamin dapat diberikan sendiri atau dikombinasikan dengan dobutamin
yang dimulai dengan dosis 2,5 ug/kgBB/menit dan dititrasi sampai terjadi
respon klinis yang diinginkan(Eugene, 2003).
6. Aminofilin
Kadang-kadang aminofilin 240-480 mg intravena efektif
mengurangi bronkokonstriksi, meningkatkan aliran darah ginjal dan
pengeluaran natrium dan memperkuat konstraksi miokard (Eugene, 2003).
7. Obat trombolitik : atau revaskularisasi pada pasien dengan infark miokard
akut.

Setelah dilakukan tindakan terapetik darurat dan mengobati faktor pemicu,


diagnosis kelainan jantung yang mendasari yang menyebabkan edema paru harus
ditegakkan jika sebelumnya belum diketahui. Setelah stabilisasi keadaan pasien,
harus dibuat strategi jangka panjang untuk mencegah edema paru di masa
mendatang (Eugene, 2003).

E. Komplikasi
Kebanyakan komplikasi- komplikasi dari edem pulmo mungkin
18
timbul dari komplikasi – komplikasi yang berhubungan dengan penyebab
yang mendasarinya. Lebih spesifik, edem pulmo dapat menyebabkan
pengoksigenan darah yang dikompromikan secara parah oleh paru-paru.
pengoksigenan yang buruk ( hypoxia ) dapat secara potensial menjurus pada
pengantaran oksigen yang berkurang ke organ-organ tubuh yang berbeda,
seperti otak (Murray, 2011).

F. Prognosis
Prognosis tergantung pada penyakit dasar dan faktor
penyebab/pencetus yang dapat diobati. Walaupun banyak penelitian telah
dilakukan untuk mengetahui mekanisme terjadinya edema paru
nonkardiogenik akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru, perbaikan
pengobatan, dan teknik ventilator tetapi angka mortalitas pasien masih
cukup tinggi yaitu > 50%. Beberapa pasien yang bertahan hidup akan
didapatkan fibrosis pada parunya dan disfungsi pada proses difusi
gas/udara. Sebagian pasien dapat pulih kembali dengan cukup baik
walaupun setelah sakit berat dan perawatan ICU yang lama (Majoli et al,
2004)

BAB III
KESIMPULAN
19
1. Edem paru biasa dibagi menjadi kardiogenik dan non kardiogenik. Edema
paru non kardiogenik terjadi akibat dari transudasi cairan dari pembuluh-
pembuluh kapiler paru-paru ke dalam ruang interstisial dan alveolus paru-
paru yang diakibatkan selain kelainan pada jantung. Kelainan tersebut bisa
diakibatkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan tekanan
onkotik (osmotik) antara kapiler paru dan alveoli, dan terjadinya
peningkatan permeabilitas kapiler.
2. Gambaran klinis yang didapat dapat berupa kesulitan bernapas atau
perasaan tertekan atau perasaan nyeri pada dada. Biasanya terdapat batuk
yang sering menghasilkan riak berbusa dan berwarna merah muda. Terdapat
takipne serta denyut nadi yang cepat dan lemah, biasanya penderita tampak
sangat pucat dan mungkin sianosis. Pada pemeriksaan fisik, pada perkusi
terdengar keredupan dan pada pemeriksaan auskultasi di dapat ronki basah
dan bergelembung pada bagian bawah dada.
3. Pada pemeriksaan foto toraks memperlihatkan adanya infiltrat-infiltrat
bilateral yang difus, kadang-kadang satu paru-paru terserang lebih hebat
dari paru-paru lainnya. Pemeriksaan analisa gas darah dan CT Scan toraks
juga dapat membantu menegakkan diagnosis serta memberikan petunjuk
dalam pengobatan.Termasuk jika kardiogenik, perlu pemeriksaan EKG dan
Ekokardiografi.
4. Pengobatan edema paru ditujukan kepada penyakit primer yang
menyebabkan terjadinya edema paru tersebut disertai pengobatan suportif
terutama mempertahankan oksigenasi yang adekuat (dengan pemberian
oksigen dengan teknik-teknik ventilator) dan optimalisasi hemodinamik
(retriksi cairan, penggunaan diuretik dan obat vasodilator pulmonal).

DAFTAR PUSTAKA
20
Eugene, B. 2003. Heart Failure, Acute Pulmonary Edem In Harrison’s Principles
of Internal Medicine. Singapore : Mc-Graw-Hill Companies

Harun, S., Sally, N. 2009. Edema paru akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
(Edisi ke-5). Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Huldani, H. 2014. Referat : Edema paru akut. Banjarmasin : FK Universitas


Lambung Mangkurat. Available from: eprints.unlam.ac.id/207/

Majoli, F., Monti, L., Zanierato, M., Campana, C., Mediani, S., Tavazzi, L., et al.
2004. Respiratory fatigue in patients with acute cardiogenic pulmonary
edema. European Heart Journal, 6(1) : 74-80

Mattu, A., Martinez, J. P., Kelly, B. S. 2005. Modern management of cardiogenic


pulmonary edema. Emergency Medicine Clinical, 23(1) : 1105 - 1125

Murray, J. F. 2011. Pulmonary edema: pathophysiology and diagnosis.


International Journal Tuberculosis Lung Disease, 15(2) : 155-160

Nendrastuti, H., Mohamad, S. 2010. Edema paru akut, kardiogenik dan non
kardiogenik. Majalah Kedokteran Respirasi, 1(3) : 10

Nieminen, M. S., Bohm, M., Cowie, M. R., Drexler, H., Filippatos, G. S., Jondeau,
G., et al. 2005. Executive summary of the guidelines on the diagnosis
and treatment of acute heart failure. European Heart Journal, 26(3) :
384-416

Rana, R., Vlahakis, N. E., Daniels, C. E., Jaffe, A. S, Klee, G. G, Hubmayr, R. D,


et al. 2006. B-type natriuretic peptide in the assessment of acute lung
injury and cardiogenic pulmonary edema. Critical Care Medicine, 4(7)
: 1941 - 1946

21
Rodeheffer, R. J. 2004. Measuring plasma B-type natriuretic peptide in heart
failure. Journal American College Cardiology, 4(2) : 740 - 748

Ware, L. B., Matthay, M. A. 2005. Acute pulmonary edema. New England Journal
Medicine, 353(2) : 2788-2796

22

Anda mungkin juga menyukai