Anda di halaman 1dari 30

Fakultas Kedokteran

Universitas Muslim Indonesia Makassar, 17 Mei 2019

LAPORAN PBL
MODUL 4
“INKONTINENSI URIN”
BLOK TUMBUH KEMBANG DAN GERIATRI

KELOMPOK 1
Tutor : dr. Rezky Pratiwi L Basri
Disusun oleh :
11020150032 ROSMIATI
11020150103 TECSYA NENGVILDA
11020160008 YENNI MAULANI JUFRI
11020160023 ZAIDAN
11020160034 ZULFIKAR ANAND PRATAMA
11020160057 SYAFIRA ALIM
11020160088 SULFIANI
11020160137 UMMU MIR’ATUL QINAYAH
11020160151 ZULFI INDRIANI
11020160162 SYAPITRI SYAMSUL

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2019
A. SKENARIO
SKENARIO 1
Anamnesis : Perempuan 73 tahun dibawa ke Rumah Sakit oleh keluarganya
dengan keluhan selalu mengompol. Keadaan ini dialami sudah sejak 7 bulan
lalu dimana penderita sama sekali tidak dapat menahan bila ingin buang air
kecil, sehingga kadang air seninya berceceran di lantai. Tidak ada keluhan
sakit saat berkemih.
Menurut keluarganya sejak seminggu yang lalu penderita terdengar batuk-
batuk, banyak lendir kental dan agak sesak nafas, serta nafsu makannya
sangat berkurang, tetapi tidak demam. Penderita mempunyai 9 orang anak
yang terdiri dari 4 laki-laki dan 5 perempuan. Riwayat penyakit selama ini,
sejak 13 tahun penderita mengidap dan berobat teratur penyakit kencing
manis dengan obat Glibenklamide 5 mg, tekanan darah tinggi dengan obat
Captopril 25 mg dan kedua lutut sering bengkak dan sakit.
Pemeriksaan fisik : Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah baring
170/70 mmHg dan duduk 160/70 mmHg, nadi 89x/menit, suhu aksiler 37,1OC,
pernapasan 23x/menit. Pada auskultasi paru-paru ditemukan adanya ronkhi
basah kasar pada bagian medial paru kanan dan kiri. Jantung, hati dan limpa
kesan dalam batas normal. Berat badan 76 kg dan tinggi badan 154 cm.
Pemeriksaan Penunjang : Pem. laboratorium kadar Hb 12,3 gr%, Leukosit
13.400 /mm3, GDS 268 mg/dl, ureum 61 mg/dl, kreatinin 1,84 mg/dl, asam urat
9 mg/dl.
Analisa urin : Sedimen leukosit : 1-3/lpb, Pemeriksaan toraks foto ditemukan
adanya perselubungan homogen di daerah medial kedua paru.
USG Abdomen tidak ditemukan kelainan.

B. KALIMAT KUNCI
1. Perempuan 73 tahun
2. Selalu mengompol
3. Sejak 7 bulan lalu
4. Sama sekali tidak dapat menahan bila ingin buang air kecil
5. Sehingga kadang air seninya berceceran di lantai
6. Sejak 1 minggu batuk-batuk
7. Banyak lendir kental
8. Agak sesak nafas
9. Serta nafsu makannya sangat berkurang
10. Penderita mempunyai 9 orang anak
11. Sejak 13 tahun menderita kencing manis dengan obat Glibenklamide 5 mg
12. Tekanan darah tinggi dengan obat Captopril 25 mg
13. Kedua lutut sering bengkak dan sakit
14. Tekanan darah baring 170/70 mmhg dan duduk 150/70 mmhg
15. Nadi 89x/menit
16. Suhu aksiler 37,1OC
17. Pernapasan 23x/menit
18. Ronkhi basah kasar pada bagian medial paru kanan dan kiri
19. Jantung, hati dan limpa kesan dalam batas normal
20. Berat badan 76 kg
21. Tinggi badan 154 cm
22. Kadar Hb 12,3 gr%
23. Leukosit 13.400 /mm3
24. GDS 268 mg/dl
25. Ureum 61 mg/dl
26. Kreatinin 1,84 mg/dl
27. Asam urat 9 mg/dl
28. Analisa urin : Sedimen leukosit : 1-3/lpb
29. Homogen di daerah medial kedua paru.

C. DAFTAR MASALAH
1. Inkontinensia Urin
2. Pneumonia
3. Hipotensi ortostatik
4. CKD Grade 3
5. Malnutrisi
6. Osteoatritis
7. Diabetes Militus
D. SKALA PRIORITAS
1. Inkontinensia Urin
2. Pneumonia
3. CKD Grade 3
4. Hipotensi ortostatik
5. Diabetes Militus
6. Osteoatritis
7. Malnutrisi

E. PERTANYAAN
1. Jelaskan klasifikasi Inkontinensia
2. Jelaskan faktor resiko inkontinensi urin berdasarkan skenario
3. Bagaimana hubungan usia dengan inkontinensia berdasarkan skenario ?
4. Bagaimana hubungan riwayat penyakit dengan inkontinensia berdasarkan
skenario ?
5. Bagaimana hubungan riwayat persalinan dengan inkontinensia
berdasarkan skenario ?
6. Bagaimana langkah-langkah diagnosis sesuai skenario?
7. Bagaimana penatalaksanan yang sesuai dengan skenario ?
8. Bagaimana pencegahan yang sesuai dengan skenario ?
9. Bagaimana perspektif islam yang sesuai dengan skenario ?
PENDAHULUAN
A. Proses penuaan
Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita.
Secara umum terbagi atas 3 teori penuaan yaitu teori penuaan biologik, teori
penuaan psikologik, dan teori penuaan sosial.
1. Teori Penuaan Biologik
Teori biologik dipisahkan menjadi 2 golongan besar, yaitu teori
perkembangan genetik (penuaan primer) yang menunjukkan adanya
penurunan fungsi yang terkontrol secara genetic dan teori stokhastik
(penuaan sekunder) menunjukkan adanya perubahan acak sebagai akibat
penyakit yang didapat dan/atau trauma.
Macam-macam teori penuaan biologik yaitu :
a.) Teori “Genetic clock”
Menurut teori ini menua telah teprogram secara genetic untuk spesies-
spesies tertentu. Tiap spesies mempunyai didalam nuclei (inti sel)nya
suatu jam genetic yang telah diputar menurut suatu replikasi tertentu.
Jam ini akan menghitung mitosis dan menghentikan replikasi sel bila
tidak diputar. Jadi menurut teori ini bila jam kita itu berhenti akan
meninggal dunia, meskipun tanpa disertai kecelakaan lingkungan atau
adanya penyakit.
b.) Mutasi somatic (teori Error Catastrophe)
Menurut teori ini faktor lingkungan yang menyebabkan mutasi somatik.
Sebagai contoh diketahui bahwa radiasi dan zat kimia dapat
memperpendek umur sebaliknya menghindarinya dapat
memperpanjang umur. Menurut teori ini terjadinya mutasi yang
progresif pada DNA sel somatik, akan menyebabkan terjadinya
penurunan kemampuan fungsi sel tersebut. Sebagai salah satu
hipotesis yang berhubungan dengan mutasi sel somatic adalah
hipotesis error catastrophe.
c.) Rusaknya system imun tubuh
Mutasi yang berulang atau perubahan protein pascatranslasi dapat
menyebabkan berkurangnya kemampuan sistemimun tubuh mengenali
dirinya sendiri (Self recognition). Jika mutasi somatic menyebabkan
terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat
menyebabkan system imun tubuh menganggap sel yang mengalami
perubahan tersebut sebagai se lasing dan menghancurkannya.
Perubahan iniah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun.
d.) Teori Menua akibat metabolisme
Menurut teori ini pengurangan “intake” kalori akan menghambat
pertumbuhan dan memperpanjang umur. Lebih jauh ternyata bahwa
perpanjangan umur tersebut berasosiasi dengan tertundanya proses
degenerasi. Perpanjangan umur karena penurunan jumlah kalori
tersebut, antara lain disebabkan karena menurunnya salah satu atau
beberapa proses metabolisme. Terjadi penurunan pengeluaran
hormone yang merangsan proliferasi sel, misalnya insulin, dan
hormone pertumbuhan.
e.) Kerusakan akibat radikal bebas
Radikal bebas (RB) yang sering dianggap sebagai fragmen molekuler
yang mempunyai electron tidak berpasangan, dapat terbentuk didalam
tubuh akibat proses metabolik normal didalam mitokondria juga sebagai
produk sampingan didalam rantai pernapasan.
RB yang terbentuk tersebut adalah : superoksida (O2), radikal hidroksil
(OH), dan juga peroksida hidrogen (H2O2). RB bersifat merusak, karena
sangat reaktif, sehingga dapat bereaksi dengan DNA, protein, asam
lemak tak jenuh, seperti dalam membrane sel, dan dengan gugus SH.

2. Teori Penuaan Psikologik


Teori ini mencakup tentang kestabilan mental dan perubahan dalam akhir
kehidupan, yang seperti juga teori biologic, belum dapat diintegrasikan
menjadi suatu teori psikologik penuaan yang komprehensif. Tiga golongan
besar dalam teori ini adalah Teori koginitif, teori kepribadian (personalitas)
dan kemampuan mengatasi masalah.
a.) Teori psikologik kognitif
Beberapa ahli memaparkan tentang perkembangan kognitif dari muda
hingga usia tua. Secara umum dikatakan bahwa manusia dewasa
dengan pendidikan dan intelegensia tinggi akan menunjukkan
penurunan yang lebih sedikit dibanding mereka yang pendidikan dan
intelegensianya rendah.
b.) Teori kepribadian (personalitas)
Teori ini merupakan suatu teori penuaan anti-pentahapan (antistage),
dimana kepribadian perkembangan dan penyesuaian dipengaruhi oleh
kejadian historis semasa hidupnya.
c.) Kemampuan mengatasi masalah
Kemampuan dan kepandaian untuk mengatasi masalah secara erat
terjalin dengan terjadinya perubahan kepribadian.

3. Teori penuaan sosial


Secara umum teori sosiologis tentang penuaan dapat dibagi menjadi
teori yang mempelajari tentang hubungan antara para lanjut usia dengan
masyarakat dan teori yang mempelajari status dan peran para lanjut usia.1

B. ANATOMI

Vesica urianari terletak dibelakang simpisis pubis, berfungsi

menampung urin untuk sementara waktu. Terdapat segitiga bayangan

yang terdiri atas 3 lubang yaitu 2 lubang ureter dan satu lubang uretra pada

dasar kandunng kemih yang disebut dengan trigonum/trigon. Lapisan

dinding kandung kencing (dari dalam keluar): lapisan mukosa, submukosa,

otot polos dan lapisan fibrosa.Lapisan otot disebut dengan otot detrusor.

Otot longitudinal pada bagian dalam dan luar dan lapisan sirkular pada

bagian tengah. Ukuran kandung kencing berbeda-beda. Pda usia dewasa

kandung kencing mampu memnampung sekitar 300-500 ml urin. Pada


keadaan tertentu kandung kencing dapat menampung dua kali lipat lebih

jumlah keadaan normal.2

C. FISIOLOGI

Kandung kemih dapat menampung fluktuasi volume urine yang

besar. Dinding kandung kemih terdiri dari otot polos yang dilapisi oleh

suatu jenis epitel khusus. Epitel dan otot polos secara aktif ikut serta dalam

kemampuan kandung kemih mengakomodasi perubahan besar dalam

volume urine. Luas permukaan epitel dapat bertambah dan berkurang oleh

proses teratur daur ulang membrane sewaktu kandung kemih teisi daan

mengosongkan dirinya. Sewaktu pengisian kandung kemih, vesikel-vesikel

sitoplasma terbungkus membrane disisipkan melalui proses akomodasi

kepermukaan sel, kemudian fesikel fesikel ini ditarik kedalam oleh

endositosis untuk memperkecil permukaan ketika terjadi pengososngan

kandung kemih. Dinding kandung kemih berlipat-lipat menjadi rata sewaktu

mengisian kandung kemih untuk meningkatkan kapasitas penyimpanan.


Otot polos kandung kemih banyak mengandung serat parasimpatis,

yang menstimilasinya menyebabkan kontraksi kandung kemih. Jika saluran

melalui uretra keluar terbuka maka kontraksi kandung kemih akan

mengosongkan urin dari kandung kemih. Namun, pintu keluar dari kandung

kemih dijaga oleh dua sfingter, sfingter uretra internum dan sfingter uretra

eksternum.

Proses pengosongan kandung kemih diatur oleh dua mekanisme

yaitu refleks berkemih dan kontrol volunter. Refleks berkemih dimulai ketika

reseptor regang didalam dinding kandung kemih terangsang. Kandung

kemih pada orang dewasa dapat menampung 2500-400 ml urin sebelum

tegangan di dindingnya mulai cukup meningkat untuk mengaktifkan

reseptor regang. Semakin besar tegangan yang melebihi ukuran ini,

semakin besar tingkat aktivitasi reseptor. Serat-serat aferen dari rseptor

regang membawa impuls ke korda spinalis dan akhirnya melalui

antarneuron, merangsang saraf simpatis untuk kandung kemih dan

menghambat neuron motorik ke sfingtereksternum. Stimulasi saraf

parasimpatis kandung kemih menyebabkan organ ini berkontraksi.

Pada inkontinensia urin terjadi ketika jalur desenden dikorda spinalis

yang memerantarai kontrol volunteer sfingter eksternum dan diagfragma

pelvis terganggu misalnya pada cedera korda spinalis. Karena komponen

lengkung reflex berkemih masih utuh dikorda spinalis bawah, pengosongan

kandung kemih diaturr oleh reflex spinal yang tidak dapat dikendalikan

seperti pada bayi.2


PEMBAHASAN

1. Jelaskan klasifikasi Inkontinensia


Inkontinensia urin dapat di klasifikasikan menjadi 2 yaitu
a. Inkontinensia urine akut (Transient incontinence)
Inkontinensia urin ini merupakan terjadi secara mendadak, terjadi
kurang dari 6 bulan dan biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut
atau masalah iatrogenic menghilang jika kondisi akut teratasi.
Penyebab umum dari Inkontinensia Urin Transien ini sering disingkat
DIAPPERS, yaitu:
1. D Delirium atau kebingungan - pada kondisi berkurangnya
kesadaran baik karena pengaruh dari obat atau operasi, kejadian
inkontinensia dapat dihilangkan dengan mengidentifikasi dan
menterapi penyebab delirium.
2. I Infection – infeksi saluran kemih seperti urethritis dapat
menyebabkan iritasi kandung kemih dan timbul frekuensi, disuria
dan urgensi yang menyebabkan seseorang tidak mampu mencapai
toilet untuk berkemih.
3. A Atrophic Uretritis atau Vaginitis – jaringan teriritasi dapat
menyebabkan timbulnya urgensi yang sangat berespon terhadap
pemberian terapi estrogen.
4. P Pharmaceuticals –dapat karena obat-obatan, seperti terapi
diuretik yang meningkatkan pembebanan urin di kandung kemih.
5. P Psychological Disorder – seperti stres, depresi, dan anxietas.
6. E Excessive Urin Output– karena intake cairan, alkoholisme
diuretik, pengaruh kafein
7. R Restricted Mobility – dapat penurunan kondisi fisik lain yan
mengganggu mobilitas untuk mencapai toilet.
8. S Stool Impaction – dapat pengaruh tekanan feses pada kondisi
konstipasi akan mengubah posisi pada kandung kemih dan
menekan saraf.
b. Inkontinensia urin kronik (persisten):
Inkontinensia urin tidak berkaitan dengan kondisi akut dan
berlangsung dengan lama (lebih dari 6 bulan) ada 2 penyebab
Inkontinensia urin kronik (persisten) yaitu: menurunnya kapasitas
kandung kemih akibat hiperaktif dan karena kegagalan pengosongan
kandung kemih akibat lemahnya kontraksi otot detrusor. Inkontinensia
urin kronik ini dikelompokkan lagi menjadi 4 tipe (stress, urge, overflow ,
fungsional).
Berikut ini adalah penjelasan masing-masing tipe Inkontinensia urin
kronik atau persisten:
1) Inkontinensia urin tipe stress
Inkontinensia urin terjadi apabila urin dengan secara tidak terkontrol
keluar akibat peningkatan tekanan di dalam perut, melemahnya otot
dasar panggul, operasi dan penurunan estrogen. Pada gejalanya
antara lain kencing sewaktu batuk, mengedan, tertawa, bersin,
berlari, atau hal yang lain yang meningkatkan tekanan pada rongga
perut. Pengobatan dapat dilakukan dengan tanpa operasi (misalnya
dengan Kegel exercises, dan beberapa jenis obat-obatan), maupun
dengan operasi.
2) Inkontinensia urin tipe urge
Timbulnya pada keadaan otot detrusor kandung kemih yang tidak
stabil, di mana otot ini bereaksi secara berlebihan Inkontinensia urin
dapat ditandai dengan ketidakmampuan menunda berkemih
setelah sensasi berkemih muncul manifestasinya dapat merupa
perasaan ingin kencing yang mendadak (urge), kencing berulang
kali (frekuensi) dan kencing di malam hari (nokturia).
3) Inkontinensia urin tipe overflow
Pada keadaan ini urin mengalir keluar dengan akibat isinya yang
sudah terlalu banyak di dalam kandung kemih, pada umumnya
akibat otot detrusor kandung kemih yang lemah. Biasanya hal ini
bisa dijumpai pada gangguan saraf akibat dari penyakit diabetes,
cedera pada sumsum tulang belakang, dan saluran kencing yang
tersumbut. Gejalanya berupa rasanya tidak puas setelah kencing
(merasa urin masih tersisa di dalam kandung kemih), urin yang
keluar sedikit dan pancarannya lemah.
4) Inkontinensia urin tipe fungsional
Dapat terjadi akibat penurunan yang berat dari fungsi fisik dan
kognitif sehingga pasien tidak dapat mencapai ketoilet pada saat
yang tepat. Hal ini terjadi pada demensia berat, gangguan
neurologic, gangguan mobilitas dan psikologik.3

2. Jelaskan faktor resiko inkontinensi urin berdasarkan skenario


Faktor resiko inkontinensi urin sebagai berikut :

a. Jenis kelamin
Perempuan 10 – 40 %, pria 6.8 %. Perempuan lebih berisiko daripada
laki-laki

b. Lanjut Usia (68 tahun)


Menurun tahanan uretha dan muara kandung kemih dapat
menyebabkan Inkontinensia

c. Riwayat Multipara
Terjadi penurunan fungsi/ melemahnya otot-otot panggul oleh karena
proses melahirkan

d. Obesitas
Terjadi Peningkatan Tekanan Bledder akibat lemak yang menumpuk

e. Riwayat Pengobatan
1) Obat DM seperti Sulfonilurea
ESO dari obat ini dapat terjadi Hipoglikemi oleh karena
Peningkatan Sekresi Insulin oleh sel beta Pankreas. Pada usia
lanjut, Hipoglikemi ini dapat menyebabkan refleks simpatik
menurun dan cenderung menyebabkan relaksasi M. Detrusor yang
dapat menyebabkan Inkontinensia.
2) Obat Hipertensi
Captopril memilki efek samping batuk-batuk yang dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intraabdominal yang berisiko
terjadi inkontinensia stress.4,5
3. Bagaimana hubungan usia dengan inkontinensia berdasarkan
skenario ?
Dalam proses berkemih yang normal dikendalikan oleh mekanisme
volunter dan involunter. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul
yang berada dibawah kontrol mekanisme volunter. Sedangkan pada otot
detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada pada bawah
kontrol sistem saraf otonom. Ketika otot detrusor berelaksasi maka
terjadinya proses pengisian kandung kemih dan sebaliknya jika otot ini
berkontraksi maka proses berkemih (pengosongan kandung kemih) akan
berlangsung. Dengan kontraksi otot detrusor kandung kemih disebabkan
dengan aktivitas saraf parasimpatis, dimana aktivitas itu dapat terjadi
karena dipicu oleh asetilkoline. Ketika terjadi perubahan - perubahan pada
mekanisme normal ini maka dapat menyebabkan proses berkemih
terganggu. Pada usia lanjut baik wanita atau pria terjadinya perubahan
anatomis dan fisiologis dari sistem urogenital bagian bawah. Perubahan
tersebut akan berkaitan dengan menurunnya kadar hormone estrogen
pada wanita dan hormone androgen pada pria. Perubahan yang terjadi ini
berupa peningkatan fibrosis dan kandungan kolagen pada dinding
kandung kemih yang dapat mengakibatkan fungsi kontraktil dari kandung
kemih tidak efektif lagi. Pada otot uretra dapat terjadi perubahan
vaskularisasi pada lapisan submukosa, atrofi mukosa dan penipisan otot
uretra. Dengan keadaan ini menyebabkan tekanan penutupan uretra
berkurang. Otot dasar panggul juga dapat mengalami perubahan
merupakan melemahnya fungsi dan kekuatan otot. Secara keseluruhan
perubahan yang terjadi pada sistem urogenital bagian bawah akibat dari
proses menua sebagai faktor kontributor terjadinya Inkontinensia urin. 6

4. Bagaimana hubungan riwayat penyakit dengan inkontinensia


berdasarkan skenario ?
a. Riwayat penyakit

Saluran kemih bawah (kandung kemih dan uretra) memiliki dua


fungsi: menyimpan dan mengosongkan urin. Selama fase
penyimpanan, saraf simpatetik dan somatik bekerja bersama untuk
menjaga uretra terkontraksi dan otot detrusor rileks, memungkinkan
urin untuk mengisi kandung kemih pada tekanan kandung kemih
rendah (kandung kemih memiliki kepatuhan tinggi selama
penyimpanan). Setelah refleks berkemih diaktifkan, aktivitas saraf
simpatis dan somatik berkurang, sehingga terjadi relaksasi pada
sfingter uretra dan dasar panggul, dan aktivitas parasimpatik
meningkat melalui neurotransmisi kolinergik, yang mengakibatkan otot
detrusor berkontaksi dan terjadi pengosongan kandung kemih.

Kegagalan menyimpan urine biasanya dapat mengakibatkan


inkontinensia urin, frekuensi kencing, dan / atau nokturia sekunder
akibat kandung kemih dan / atau disfungsi uretra. Kebocoran urin
dapat terjadi akibat penyebab nonurologik (inkontinensia fungsional)
dan kadang-kadang dapat reversibel ketika penyebab yang mendasari
diidentifikasi dan diterapi.

Berdasarkan skenario, beberapa penyakit yang diderita pasien terdiri


dari diabetes mellitus, hipertensi, obese serta pneumonia.

a) Pneumonia
Mengakibatkan beberapa gejala seperti batuk-batuk,
banyak lendeir kental, agak sesak nafas, serta nafsu makan
menurun. Hal ini dapat megakibatkan peningkatan tekanan
intraabdominal sehingga mencegah penutupan sfingter uretra
seperti pada inkontinnensia stress.
b) Obesitas
Salah satu faktor risiko peningkatan inkontinensia urin
terutama pada perempuan. Tiga puluh tahun yang lalu BMI
ditemukan berhubungan positif dengan semua bentuk
inkontinensia: baik urge inkontinensia (UUI); kebocoran kemih
involunter disertai dengan atau segera didahului oleh urgensi
karena kontraksi detrusor involunter; atau stres inkontinensia
(SUI), inkontinensia tidak disengaja ketika bersin atau batuk,
karena peningkatan tekanan perut tanpa kontraksi detrusor; atau
inkontinensia campuran - tumpang tindih kedua bentuk.
Mekanisme di balik hubungan antara obesitas dan UI tidak
diketahui. Namun, terdapat teori bahwa obesitas meningkatkan
tekanan abdominal, yang meningkatkan tekanan kandung kemih
dan mobilitas uretra, yang mengarah ke SUI dan memperburuk
ketidakstabilan detrusor, yang merupakan penyebab utama UUI.
Peningkatan tekanan intravesika yang diciptakan oleh obesitas
dapat mengurangi gradien kontinens antara kandung kemih dan
uretra, yang menyebabkan tekanan statis lebih tinggi dalam
kandung kemih dan dengan demikian mengurangi besarnya
peningkatan tekanan intraabdomen yang diperlukan untuk
memaksa urin melalui uretra. Hal ini dikonfirmasi oleh fakta bahwa
penelitian urodinamik telah membuktikan bahwa tekanan titik
kebocoran Valsalva lebih tinggi pada obesitas dibandingkan pada
wanita dengan berat badan normal.
Penurunan berat badan telah terbukti menjadi terapi lini
pertama yang efektif untuk obesitas terkait UI. Dalam uji klinis,
pengobatan penurunan berat badan ditemukan terkait dengan
penurunan yang signifikan dalam frekuensi episode mingguan
inkontinensia. Penurunan berat badan minimal 5% ditemukan
cukup untuk mengurangi frekuensi inkontinensia (pengurangan
60% pada kelompok yang diobati vs 15% pada kelompok kontrol)
dan tingkat keparahan (perbedaan median dalam uji pad setelah
perawatan: 19 g ). Namun, ada bukti bahwa hasil perawatan
penurunan berat badan dapat menurun seiring waktu,
kemungkinan sejajar dengan penambahan berat badan.
Menariknya, penurunan berat badan 5–10% yang dicapai oleh
program penurunan berat badan juga terbukti mencegah UI pada
wanita gemuk yang terkena diabetes tipe 2, mengurangi sebesar
47% ODD untuk mengembangkan UI setelah satu tahun masa
tindak lanjut, dibandingkan dengan yang tidak diobati. pasien.
Pembedahan bariatric juga terbukti efektif dalam mengurangi
frekuensi dan keparahan episode UI pada wanita gemuk yang
mengalami obesitas dengan UI pre-operatif.
Faktor risiko yang diakui dan umum untuk inkontinensia
urin pada wanita termasuk peningkatan usia, paritas, histerektomi,
kelebihan berat badan dan estrogen oral.
c) Diabetes Militus
Namun, meskipun terdapat bukti adanya hubungan antara
diabetes dan inkontinensia, sedikit yang diketahui tentang
mekanisme di mana diabetes menyebabkan inkontinensia.
Beberapa petunjuk dari studi epidemiologi memberikan beberapa
kemungkinan. Sebagai contoh, penyelidikan pada wanita dengan
diabetes tipe 2 menunjukkan bahwa komplikasi mikrovaskular
lebih meningkatkan prevalensi dan insidensi inkontinensia urin.
Komplikasi fisiologis, mikrovaskular dan neurologis diabetes
mengakibatkan perubahan yang dapat mengganggu fungsi
mekanisme kontinensia, termasuk kerusakan pada persarafan
kandung kemih, perubahan fungsi otot detrusor atau disfungsi
urotelial. Namun, pada saat yang sama peningkatan inkontinensia
urin pada wanita dengan pradiabetes yang umumnya kekurangan
komplikasi diabetes berat ini menunjukkan bahwa proses yang
tidak diketahui lainnya juga dapat mendasari perkembangan
inkontinensia pada wanita dengan gangguan glukosa.7

b. Riwayat obat
1. Obat anti hipertensi

Salah satu efek samping dari pemakaian captopril adalah


batuk. Batuk dapat meningkatkan tekanan intraabdominal yang
dapat memperparah kejadianin kontinensia urin (tipe stress). Onset
batuk pada pasien yang mengonsumsi captopril paling cepat
adalah 3 hari dan paling lama adalah 12 bulan, dan jika berhenti
mengonsumsi captopril batuk akan menghilang besoknya dan
paling lama 4 minggu. Sebanyak 2-4% pasien yang mengonsumsi
captopril mengalami batuk. Zat yang menyebabkan terjadinya batuk
ini dicurigai bradikinin atau prostaglandin.
2. Obat diabetes mellitus

Salah satu obat yang sering diberikan pada penderita DM


yaitu golongan sulfonylurea, dimana efek samping golongan
tersebut adalah hipoglikemia akibat kerja yang meningkatkan
sekresi insulin oleh sel beta pancreas.Namun hipoglikemia pada
orang tua tidak mudah dikenali akibat tidakadanya reflex simpatis.
Namun pada umumnya, hipoglikemia cenderung menyebabkan
relaksasi otot-otot termasukotot detrusor. Dan hal ini dapat
menyebabkan inkontinensia urin.8

5. Bagaimana hubungan riwayat persalinan dengan inkontinensia


berdasarkan skenario ?
Salah satu faktor resiko terjadinya inkontinensia urin adalah riwayat
multipara. WHO menunjukkan bahwa risiko inkontinensia lebih tinggi pada
wanita multipara dibandingkan dengan wanita primipara. Hal ini
disebabkan oleh adanya kelemahan otot-otot dasar panggul akibat
kehamilan pertama, dan belum kembali ke kekuatan sebelumnya,
kemudian akan kembali mengalami tekanan pada kehamilan dan
persalinan berikutnya. Tekanan yang terjadi secara berulang akan
memperlemah otot-otot dasar panggul. Perubahan degenerative pada
sistem persarafan otonomik dari saluran kemih bagian bawah atau
tekanan mekanik yang ditimbulkan oleh kehamilan itu sendiri mungkin
merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya
inkontinensia urin.

Terjadi denervasi parsial dari otot-otot dasar panggul diperkirakan


adanya kerusakan pada nervus pudendus yang disebabkan baik oleh
karena persalinan atau peregangan pada abdomen yang terlalu lama.
Kerusakan pada jaringan ikat pada persalinan ini dapat mempengaruhi
daya penyangga pada bagian leher kandung kemih yang dapat
menyebabkan stress inkontinensia, sangat mungkin dikarenakan jaringan
ikat parauretral yang menjadi lebih kaku atau kelemahan dari fascia.
Dari skenario, didapatkan penderita memiliki 9 orang anak atau
multipara. Dan pasien tersebut berusia 73 tahun atau merupakan pasien
usia lanjut.

Semakin bertambah usia resiko terjadinya inkontinensia urin juga


semakin besar. Dengan bertambahnya usia, kekuatan dan keelastisan
dari otot-otot tubuh akan semakin menurun.9,10

6. Bagaimana langkah-langkah diagnosis sesuai skenario?


a. Anamnesis
1) Kapan terjadinya dan berapa sering?
2) Apakah Ibu pemah mengalami kesulitan untuk me- karena
penurunan tekanan mulai buang air kecil? Apakah Ibu harus berdiri
dekat sekali dengan toilet intrauretral ketika buang air kecil?
3) Apakah ada perubahan pada kekuatan pancaran urin
4) Berapa banyak air seni yang dikeluarkan pada setiap kali buang air
kecil?
5) Apakah ibu harus mengejan ketika buang air kecil?
6) Apakah buang air kecil itu terputus-putus ataukah berhenti di
tengah sebelum tuntas?
7) Apakah masih terjadi penetesan urin setelah buang air kecil
selesai?
8) Tanyakan tentang gejala demam atau menggigil yang menyertai,
adanya darah dalam uriq atau rasa nyeri pada abdomen, pinggang,
atau bagian punggung.
9) Apakah harus mengejan ketika buang air kecil, menunjukkan
berkurang ukuran (kaliber) pancaran urin dan kekuatannya, atau
urin yang masih menetes pada saat buang air kecil sudah selesai
dilakukan. Tetapi sulit mengosongkan kandung kemihnya?
10) Dapatkah pasien merasakan ketika kandung kemihnya terisi
penuh?
11) Apakah pasien dapat berjalan atau bergerak (memiliki mobilitas)?
12) Apakah dapat bereaksi terhadap tanda-tanda akan buang air kecil
dan mampu pergi ke kamar mandi?
13) Apakah riwayat penyakit sebelumnya
14) Adakah obat yang sedang dikonsumsi ?
15) Riwayat persalinan ?
16) Riwayat hubungan seksual ?

b. Pemeriksaan Fisik
1) Identifikasi kondisi medis yang relevan lainnya (mis., Gagal jantung
kongestif, edema perifer)
2) Jika stress incontinence dicurigai, tentukan apakah kebocoran
bertepatan dengan onset dan penghentian batuk
3) Palpasi untuk distensi kandung kemih yang berkemih
4) Pemeriksaan panggul untuk mendeteksi vaginitis atrofi, kelemahan
otot panggul, massa panggul
5) Pemeriksaan rektal (iritasi kulit, istirahat nada dan kontrol sukarela
sphincter anal, nodul prostat; impaksi fecal (catatan: ukuran prostat
berkorelasi buruk dengan kehadiran obstruksi uretra)
6) Pemeriksaan neurologis (status mental dan pemeriksaan unsur,
termasuk pemeriksaan ulang sakral dan sensasi perineum)
7) Menilai Kekuatan Otot-Otot Pelvis. Tarik sedikit kedua jari tangan
Anda Berkurangnya kekuatan otot- sampai sedikit terlepas dari
serviks dan kemudian regangkan keduanya untuk otot panggul
dapat disebabkan menyentuh kedua sisi dinding vagina.

c. Pemeriksaan Penunjang
1) Buku harian kandung kemih Metabolik survei (elektrolit, kalsium,
glukosa, dan nitrogen urea
2) Ukur volume residu urin
3) Urinalisis untuk mendeteksi hematuria steril atau infeksi
4) USG ginjal untuk mendeteksi hidronefrosis pada laki-laki yang
volume urin residu postvoid melebihi sekitar 200 mL
5) Sitologi urin untuk pasien dengan hematuria, nyeri, atau onset baru
yang tidak jelas atau memburuknya inkontinensia
6) Uroflowmetry untuk pria yang dicurigai adanya obstruksi uretra
7) Cystoscopy untuk pasien dengan hematuria, kecurigaan patologi
saluran kemih bawah (misalnya, statu kandung kemih, batu, atau
tumor; divertikulum uretra), atau kebutuhan untuk saluran kemih
bawah.11

7. Bagaimana penatalaksanan yang sesuai dengan skenario ?


1) Inkontinensia urin
a. Non farmakologis
Terapi non farmakologis meliputi terapi suportif non spesifik
(edukasi, manipulasi lingkungan, pakaian dan pads tertentu); intervensi
tingkah laku (latihan dasar otot panggul, latihan andung kemih,
penjadwalan berkemih, latihan kebiasaan); terapi medikamentosa;
operasi; dan pemakaian kateter.
Intervensi perilaku yang merupakan tatalaksana non
farmakologis memiliki risiko yang rendah dengan sedikit efek samping
namun memerlukan motivasi dan kerjasama yang baik dari pasien.
Secara umum strategi meliputi edukasi pada pasien atau pengasuh
pasien (caregiver). Intervensi perilaku meliputi bladder training, habit
training, prompted voiding, dan latihan dasar otot panggul.
Bladder training merupakan salah stau terapi yang efektif
diantara terapi non farmakologik lainnya. Terapi ini bertujuan
memperpanjang interval berkemih yang normal dengan teknik distraksi
atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih hanya 6-7 kali per
hari ata 3-4 jam sekali. Pasien diharapkan dapat menahan sensasi
untuk berkemih. Pasien diintruksikan untuk berkemih pada interval
waktu tertentu, mula-mula setip jam, selanjutnya interval berkemih
diperpanjang secara bertahap sampai setiap 2-3 jam.
Latihan otot dasar panggul merupakan tehnik yang efektif untuk
inkontinensia urin tipe stres atau campuran dan tipe urgensi. Latihan
dilakukan 3-5 kali sehari dengan 15 kontraksi dan menahan hingga 10
detik.
Habit training memerlukan penjadwalan waktu berkemih.
Diupayakan agar jadwal berkemih sesuai dengan pola berkemih
pasien sendiri. Teknik ini sebaiknya digunakan pada inkontinensia urin
tipe fungsional membutuhkan keterlibatan petugas kesehatan atau
pengasuh pasien.12

b. Farmakologis
Terapi farmakologis atau medikamentosa telah dibuktikan
mempunyai efek yang baik terhadap inkontinensia urin tipe urge dan
stres. Obat-obat yang dipergunakan daoat digolongkan menjadi
antikolinergik, antispasmodic, agonis adrenergik a, estrogen topikal,
dan antagonis adrenergik.13
1) Algoritma tatalaksana IU Lansia

2) jenis terapi yang digunakan pada Inkontinensia Urin


2) Pneumonia
Pneumonia akibat virus diberikan terapi suportif dengan
istirahat, pemberian cukup cairan dan nutrisi yang baik. Diamati
terhadap terjadinya komplikasi pneumonia bakteri sekunder. Pada
pneumonia lansia karena bakteri yang berat sering diperlukan
perawatan ICU dan ventilator. Karena itu perlu sebaiknya dilakukan
terapi yang lebih agresif.
Pada pneumonia bakteri dilakukan tatalaksana seperti
pneumonia bakteri lainnya dengan memberikan terapi antibiotik empirik
terhadap bakteri penyebab.14

3) Nutrisi
Tujuan program penurunan berat badan haruslah untuk
mencapai penurunan berat badan sedang yang menyebabkan
membaiknya status kesehatan. Upaya-upaya meningkatkan aktifitas
fisis dan mengurangi asupan kalori lebh diutamakan daripada
penggunaan obat.
Bila program penurunan berat badan diambil, perlu diingat
bahwa tulang dan otot akan turut berkurang selama periode penurunan
berat badan. Orang tua mengalami kehilangan berat badan dalam
proporsi sama dengan lemak dan otot seperti pada orang dewasa
muda namun demikian karena mereka mulai dengan massa tubuh
kering lebih sedikit, berlanjutnya penurunan berat badan akan
menyebabkan penurunan berat di bawah ambang risiko fraktur serta
hilangnya kejadian kekuatan otot. Perlu dilakukan upaya guna
mencegah kehilangan massa tulang dan otot seperti latihan aerobik
dan daya tahan atau terapi antiosteoporotik lainnya. Selain itu, restriksi
kalori perlu ditambahkan guna memastikan asupan adekuat zat gizi
dan vitamin selama periode diet.15

4) Osteoartrithis
a. Non Farmakologis
 Memberikan edukasi adalah agar pasien mengetahui sedikit
seluk-beluk tentang penyakitnya, bagaimana menjaganya agar
penyakitnya tidak bertambah parah serta persendiannya tetap
dapat dipakai.
 Terapi fisik dan rehabilitasi
Terapi ini untuk melatih pasien agar persendiannya tetap dapat
dipakai dan melatih pasien untuk melindungi sendi yang sakit.
 Penurunan berat badan
Berat badan yang berlebih ternyata merupakan faktor yang
akan memperberat penyakit OA. Oleh karenanya berat badan
harus selalu dijaga agar tidak berlebihan. Apabila berat badan
berlebihan, maka harus diusahan penurunan berat badan, bila
mungkin mendekati berat badan ideal.
b. Farmakologis
 Analgesik Oral Non Oplat
Pada umumnya pasien telah mencoba untuk mengobati sendiri
penyakitnya, terutama dalam hal mengurangi atau
menghilangkan rasa sakit. Banyak sekali obat-obatan yang
dijual bebas yang mampu mengurangi rasa sakit. Pada
umumnya pasien mengetahui hal ini pada iklan media masa,
baik cetak (koran), radio maupun televisi.
 Analgesik Topikal
Analgesik topikal dengan mudah dapat kita dapatkan dipasaran
dan banyak sekali yang dijual bebas. Pada umumnya pasien
telah mencoba terapi dengan cara ini sebelum memakai obat-
obatan peroral lainnya.
 Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)
Apabila dengan cara-cara tersebut diatas tidak berhasil, pada
umumnya pasien mulai datang ke dokter. Dalam hal ini
sepertiyang kita pikirkan untuk pemberian OAINS, oleh karena
obat golongan ini di samping mempunyai efek analgetik juga
mempunyai efek anti inflamasi. Oleh karena pasien OA
kebanyakan usia lanjut, maka pemberian obat-obatan jenis ini
harus sangat hati-hati.
 Chondroprotective Agent
Yang dimaksud disini adalah obat-obat yang dapat menjaga
atau merangsang perbaikan (repair) tulang rawan sendi pada
pasien OA.16

5) Penyakit Ginjal Kronik


a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid
condition)
c. Memperkuat pemburukan (progression) fungsi ginjal
d. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
e. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.17

Perencanaan tatatlaksana berdasarkan dengan derajatnya:

Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai derajatnya

derajat Rencana tatalaksana

1 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi


perburukan fungsi ginjal, memperkecil resiko
kardiovaskuler

2 Menghambat perburukan fungsi ginjal

3a & Evaluasi dan terapi komplikasi


3b
4 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal

5 Terapi pengganti ginjal

6) Hipertensi
a. Non Farmakologis
 Modifikasi gaya hidup
 Berhenti merokok,
 Pengendalian berat badan,
 Mengurangi stres mental,
 Pembatasan konsumsi garam & alkohol,
 Meningkatkan aktivitas fisik
 Asupan Na untuk usia < 50 tahun 1500 mg, usia 51-70 tahun
1300 mg & >70 tahun 1200 mg.
 JNC-7(2004 ) 2400mg Na atau 6 gr garam dapur
b. Farmakologis
Prinsip pengobatan yaitu start slow go slow. Dalam skenario
dijelaskan bahwa si pasien memiliki riwayat DM serta memiliki
kadar asam urat yang tinggi, maka pengobatan yang perlu
dilakukan yaitu :
Hipertensi yang disertai DM dapat diberikan ARB => menurunkan
resistensi insulin.
Thiazid dan loop diuretik tidak diberikan karena dapat
menyebabkan hiperurisemia.18,19

7) Diabetes Melitus
a. Lifestyle modification
b. Hyperglycemic lowering agents
c. Kontrol gula darah
d. Hindari pemakaian metformin dan obat – obat sulfonil urea
dengan masa kerja panjang. Eliminasi sulfonylurea dan
metabolitnya sangat dipengaruhi oleh fungsi ginjal, sehingga pada
pasien PGK stadium 3-5 generasi pertama sulfonylurea harus
dihindari, tetapi generasi kedua yaitu glipizide dapat direkomendasi-
kan oleh karena metabolitnya tidak aktif dan risiko hipoglikemia
jauh lebih rendah. Meskipun mekanisme belum cukup jelas, obat
diabetes alpha glukosidase inhibitor dan metabolitnya dapat
menyebabkan kerusakan akibat akumulasi dosis, sehingga tidak
diper- bolehkan pada pasien dengan serum kreatinine > 2 mg/dL.
Metformin, tidak memperlihatkan efek samping hipoglikemia tetapi
perhatian khusus harus dilakukan pada pasien diabetes PGK
karena risiko asidosis laktat, bahkan pada pasien gangguan.
Jadi dapat diganti dengan Thiazolidine, DPP 4 dan insulin
e. Thiazolidinediones (TZD) diduga memper- lihatkan efek proteksi
bahkan mencegah atau memperlambat progresivitas DKD yang di-
pengaruhi oleh kontrol gula darah, beberapa penelitian kecil
memperlihatkan penurunan albuminuria pada pasien yang
mendapatkan TZD, obat ini di metabolisme di hati sehingga dapat
diberikan bahkan pada pasien diabetes yang menjalani dialisis
tanpa perlu penyesuaian dosis.

Target HbAIC untuk DM tipe 1 0,2 diatas nilai normal


tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%.20,21

8) Hiperurisemia

Penatalaksanaan hiperurisemia dapat diberikan obat


urikosurik/anti hiperurisemia salah satu contohnya allopurinol.22

8. Bagaimana pencegahan yang sesuai dengan skenario ?


a. Dekatkan kamar mandi
b. Batasi asupan alcohol dan minuman berkafein
c. Sertakan cukup cairan dan serat dalam diet dan berolahraga secara
teratur untuk mencegah konstipasi yang dapat menyebabkan control
kandung kemih yang buruk
d. Penggunaan pempers
e. Latihan perilaku berkemih
f. Membuat catatan berkemih
g. Lakukan latihan dasar panggul secara teratur.23

9. Bagaimana perspektif islam sesuai skenario?


QS. Al-Isra : 23-24
ٰ َ َ‫َن ٰ ِعن َدكَٰ ٰ ۡٱل ِكبَ َٰر ٰأَ َح ُد ُه َمٰا ٰٓأَوٰۡ ٰ ِك ََل ُه َما ٰف‬
ٰٓ ‫َل ٰتَقُل ٰلَ ُه َمٰا‬ َٰ ‫سنًاٰ ٰ ِإ َما ٰيَ ۡبلُغ‬ ِٰ ‫ّل ٰ ِإيَاٰهُ ٰ َوبِ ۡٱل َو ِل َد ۡي‬
َ ‫ن ٰ ِإ ۡح‬ َٰ َ ‫ضىٰ ٰ َربُّكَٰ ٰأ‬
َٰٓ ‫ّل ٰت َعۡ بُد ُٓواٰ ٰ ِإ‬ َ َ‫۞وق‬ َ
ٰ‫ب ٰ ۡٱر َح ۡم ُه َما ٰ َك َما‬ ِٰ ‫ٱلر ۡح َم ِٰة ٰ َوقُل ٰ َر‬ َ ٰ َٰ‫ل ٰ ِمن‬ ِٰ ُّ‫ح ٰٱلذ‬
َٰ ‫ٱخ ِفضٰۡ ٰلَ ُه َما ٰ َجنَا‬ ۡ ‫ َو‬٢٣ٰ ٰ‫ّل ٰك َِر ٗيما‬ ٰ ٗ ‫ّل ٰت َۡن َه ۡر ُه َما ٰ َوقُل ٰلَ ُه َما ٰقَ ۡو‬ َٰ ‫أُفٰ ٰ َو‬
ٰ ٢٤ٰٰ‫ص ِغ ٗيرا‬
َ ٰ‫َربَ َيانِي‬
Artinya:Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya
atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah"
dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia.Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua
dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah
mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku
waktu kecil".
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Ajar Boedhi-Darmojo. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi 5. Hal
7-18. 2015. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Sherwood, Lauralee.2016. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi 8. EGC.
Hal 575-579
3. Setiati S, Pramantara IDP. Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih Hiperaktif.
In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2015
4. Rejeki andayani. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III. Edisi VI. Internal
Publishing.
5. Buku ajar Boedhi darmojo Geriatri (ilmu kesehatan Usia lanjut). Edisi ke 5.
Badan penerbit fakultas kedokteran universitas indonesia
6. Boedhi-Darmojo dan Hadi Martono. Inkontinensia urin. Dalam : Buku ajar
Geriatri kesehatan usia lanjut Ed. 5 Edit R. Balai Penerbit FKUI. Jakarta 2015.
Hal: 246-262
7. Chai,T, Rickey, L. Conn’s Current Therapy: Urinary Incontinence. Hal.1057-
1060. Elsevier, Inc. 2018.
8. Morandi, Anita, Maffeis, Claudio. Best Practice & Research: Clinical
Endocrinology & Metabolism: Urogenital complications of obesity. Vol.27.
Issue2. Elsevier. 2013
9. Herida, Lina. 2012. Pencegahan Inkontinensia Urin Pada Ibu Post Partum.
Fakultas Ilmu Keperawatan. Universitas Indonesia.
10. Hermie Tendean. Urinary Detection In Post-Monopause Age. Bagian Obstetri
dan Ginekologi. Fakultas Kedokteran Universitan Sam Ratulangi
11. Tallis RC.; Fillit HM. (eds): Brocklehurst’s textbook of geriatric medicine and
gerontology, ed 6, London, 2006, Churchill Livingstone.
12. Setiati S, Pramantara IDP. Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih Hiperaktif.
In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing;
2015:3774.
13. Azis A. Inkontinensia Urin. Makassar: Tumbuh Kembang dan Geriatri; 2018.
14. Dahlan Z. Pneumonia. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta:
Interna Publishing; 2015:1610.
15. Sari NK. Gaangguan nutrisi pada lanjut usia. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2015:441.
16. Soeroso J, Isbagio H, Kalim H, Broto R, Pramudiyo R. Osteoartritis. In: Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2015:3199.
17. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2015.
18. Lestari I. Chronic Kidney Disease. Uronefrologi; 2017.
19. Himawan Sanusi. Diabetes Melitus and Osteoarthritis. Tumbuh Kembang dan
Geriatri; 2018.
20. Hapsari P. Hipertensi in Geriatric. Tumbuh Kembang dan Geriatri; 2018.
21. Pilihan Obat Diabetes pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis. Kalbemed.
2011;25(3):2011.
22. Dianati NA. Gout and Hyperuricemia. 2015;4.
23. Darmojo B. 2009. Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Edisi Keempat.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Anda mungkin juga menyukai