] Pemakaian
Narkotika dapat dipakai dengan berbagai cara. Beberapa dapat dimasukkan lewat mulut dan
disuntik. Jenis lainnya dipakai dalam bentuk dihisap seperti rokok dan dihisap melalui hidung
secara langsung.
Intisari :
Tahun 1990-an, Indonesia diserbu obat-obatan berbahan dasar amphetamine seperti ekstasi dan
shabu. Dalam dunia kedokteran, amphetamine dipakai sebagai obat perangsang. Salah satunya ntuk
mengatasi depresi ringan. Oleh umum, ekstasi yang berbahan dasar MDMA
(Methylenedioxymethamphetamine) dan shabu dipakai untuk memperoleh rasa gembira dan tidak
mengenal lelah. Dan untuk mempertahankan kondisi ini, pemakai akan menambah dosis hingga
tanpa disadari sudah melampau batas. Bahayanya, nggak ada yang bisa memastikan apa sisa
kandungan obat-obatan tersebut selain amphetamine. Begitu pula risiko atau efek samping apa yang
STRATEGI PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN NARKOBA
bakal menghadang. Ekstasi dan shabu merangsang sistem saraf pusat (otak) hingga pemakainya
[02 MEI 2007, 10:57 WIB] OLEH : EVA&DITO
tampak tak kehabisan enerji. Jika sedang "on" memang akan terasa enak tapi sesudahnya badan
PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOBA SAAT INI MENJADI MASALAH YANG
akan terasa letih, depresi berat, lesu, dan yang paling parah ingin mencelakakan diri sendiri dan
SANGAT MEMPRIHATINKAN DAN CENDERUNG SEMAKIN MENINGKAT SERTA MERUPAKAN MASALAH
bunuh diri. Gejala fisik lainnya, pupil akan melebar, tekananan darah meninggi, berkeringat tapi
BERSAMA ANTARA YANG MELIBATKAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT SEHINGGA MEMERLUKAN
merasa kedinginan, mual atau muntah, dan kesadaran menurun. Sementara ada anggapan shabu bisa
SUATU STRATEGI YANG MELIBATKAN SELURUH KOMPONEN BANGSA YANG BERSATU PADU DALAM
mengehntikan kecanduan taerhadap putauw (heroin). Tapi sejauh ini kebenarannya sangat
SUATU GERAKAN BERSAMA UNTUK MELAKSANAKAN STRATEGI ”MENYEIMBANGKAN DAN
diragukan. Kandungan aktif: 100 persen.
MEMADUKAN PENGURANGAN PEMASUKAN DAN PENGURANGAN PERMINTAAN” SEHINGGA
PROGRAM P4GN DAPAT BERHASIL GUNA YANG MELIPUTI BIDANG-BIDANG SEBAGAI BERIKUT :
1) KELUARGA, DENGAN SASARAN ORANG TUA, ANAK, PEMUDA, REMAJA DAN ANGGOTA
KELUARGA LAINNYA.
2) PENDIDIKAN, SEKOLAH MAUPUN LUAR SEKOLAH/DENGAN KELOMPOK SASARAN GURU/TENAGA
PENDIDIKAN DAN PESERTA DIDIK/WARGA BELAJAR BAIK SECARA KURIKULER MAUPUN EKSTRA
KURIKULER.
3) LEMBAGA KEAGAMAAN, ENGAN SASARAN PEMUKA-PEMUKA AGAMA DAN UMATNYA.
4) ORGANISASI SOSIAL KEMASYARAKATAN, DENGAN SASARAN REMAJA/PEMUDA DAN
MASYARAKAT.
5) ORGANISASI WILAYAH PEMUKIMAN (LKMD, RT,RW), DENGAN SASARAN WARGA TERUTAMA
PEMUKA MASYARAKAT DAN REMAJA SETEMPAT.
6) UNIT- UNIT KERJA, DENGAN SASARAN PIMPINAN, KARYAWAN DAN KELUARGANNYA.
7) MASS MEDIA BAIK ELEKTRONIK, CETAK DAN MEDIA INTERPERSONAL (TALK SHOW DAN
DIALOG INTERAKTIF), DENGAN SASARAN LUAS MAUPUN INDIVIDU.
INDIKATOR KINERJA
BIDANG PENCEGAHAN
A.MENINGKATKAN KESADARAN MASYARAKAT UMUM TENTANG BAHAYA PENYALAHGUNAAN
NARKOBA
B.MENINGKATKATNYA PENGETAHUAN MASYARAKAT UMUM TENTANG BAHAYA PENYALAHGUNAAN
NARKOBA.
C.TERJADINYA PEUBAHAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP BAHAYA PENYALAHGUNAAN NARKOBA.
D.MENINGKATNYA KETRAPILAN MASYARAKAT TERHADAP PENYALAHGUNAAN NARKOBA
E.MENINGKATNYA PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENANGGULANGAN BAHAYA
PENYALAHGUNAAN NARKOBA.
STRATEGI PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN NARKOBA WRITTEN BY ADMINISTRATOR PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOBA SAAT INI MENJADI MASALAH YANG SANGAT MEMPRIHATINKAN DAN CENDERUNG SEMAKIN MENINGKAT SERTA MERUPAKAN MASALAH BERSAMA ANTARA YANG MELIBATKAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT SEHINGGA MEMERLUKAN SUATU STRATEGI YANG MELIBATKAN SELURUH KOMPONEN BANGSA YANG BERSATU PADU DALAM SUATU GERAKAN BERSAMA UNTUK MELAKSANAKAN STRATEGI ”MENYEIMBANGKAN DAN
MEMADUKAN PENGURANGAN PEMASUKAN DAN PENGURANGAN PERMINTAAN ” SEHINGGA PROGRAM P4GN DAPAT BERHASIL GUNA YANG MELIPUTI BIDANG -BIDANG SEBAGAI BERIKUT
ADAPTASI BIOLOGIS TUBUH KITA TERHADAP PENGGUNAAN NARKOBA UNTUK JANGKA WAKTU YANG LAMA BISA
DIBILANG CUKUP EKSTENSIF, TERUTAMA DENGAN OBAT-OBATAN YANG TERGOLONG DALAM KELOMPOK DOWNERS.
TUBUH KITA BAHKAN DAPAT BERUBAH BEGITU BANYAK HINGGA SEL-SEL DAN ORGAN-ORGAN TUBUH KITA MENJADI
TERGANTUNG PADA OBAT ITU HANYA UNTUK BISA BERFUNGSI NORMAL.
Salah satu contoh adaptasi biologis dapat dilihat dengan alkohol. Alkohol mengganggu pelepasan dari
beberapa transmisi syaraf di otak. Alkohol juga meningkatkan cytocell dan mitokondria yang ada di dalam
liver untuk menetralisir zat-zat yang masuk. Sel-sel tubuh ini menjadi tergantung pada alcohol untuk
menjaga keseimbangan baru ini.
Tetapi, bila penggunaan narkoba dihentikan, ini akan mengubah semua susunan dan keseimbangan kimia
tubuh. Mungkin akan ada kelebihan suatu jenis enzym dan kurangnya transmisi syaraf tertentu. Tiba-tiba
saja, tubuh mencoba untuk mengembalikan keseimbangan didalamnya. Biasanya, hal-hal yang
ditekan/tidak dapat dilakukan tubuh saat menggunakan narkoba, akan dilakukan secara berlebihan pada
masa Gejala Putus Obat (GPO) ini.
Misalnya, bayangkan efek-efek yang menyenangkan dari suatu narkoba dengan cepat berubah menjadi
GPO yang sangat tidak mengenakkan saat seorang pengguna berhenti menggunakan narkoba seperti
heroin/putaw. Contoh: Saat menggunakan seseorang akan mengalami konstipasi, tetapi GPO yang
dialaminya adalah diare, dll.
GPO ini juga merupakan ‘momok’ tersendiri bagi para pengguna narkoba. Bagi para pecandu, terutama,
ketakutan terhadap sakit yang akan dirasakan saat mengalami GPO merupakan salah satu alasan mengapa
mereka sulit untuk berhenti menggunakan narkoba, terutama jenis putaw/heroin. Mereka tidak mau
meraskan pegal, linu, sakit-sakit pada sekujur tubuh dan persendian, kram otot, insomnia, mual, muntah, dll
yang merupakan selalu muncul bila pasokan narkoba kedalam tubuh dihentikan.
Selain ketergantungan sel-sel tubuh, organ-organ vital dalam tubuh seperti liver, jantung, paru-paru,
ginjal,dan otak juga mengalami kerusakan akibat penggunaan jangka panjang narkoba. Banyak sekali
pecandu narkoba yang berakhiran dengan katup jantung yang bocor, paru-paru yang bolong, gagal ginjal,
serta liver yang rusak. Belum lagi kerusakan fisik yang muncul akibat infeksi virus {Hepatitis C dan
HIV/AIDS} yang sangat umum terjadi di kalangan pengguna jarum suntik.
DAMPAK MENTAL
Selain ketergantungan fisik, terjadi juga ketergantungan mental. Ketergantungan mental ini lebih susah
untuk dipulihkan daripada ketergantungan fisik. Ketergantungan yang dialami secara fisik akan lewat setelah
GPO diatasi, tetapi setelah itu akan muncul ketergantungan mental, dalam bentuk yang dikenal dengan
istilah ‘sugesti’. Orang seringkali menganggap bahwa sakaw dan sugesti adalah hal yang sama, ini adalah
anggapan yang salah. Sakaw bersifat fisik, dan merupakan istilah lain untuk Gejala Putus Obat, sedangkan
sugesti adalah ketergantungan mental, berupa munculnya keinginan untuk kembali menggunakan narkoba.
Sugesti ini tidak akan hilang saat tubuh sudah kembali berfungsi secara normal.
Sugesti ini bisa digambarkan sebagai suara-suara yang menggema di dalam kepala seorang pecandu yang
menyuruhnya untuk menggunakan narkoba. Sugesti seringkali menyebabkan terjadinya 'perang' dalam diri
seorang pecandu, karena di satu sisi ada bagian dirinya yang sangat ingin menggunakan narkoba,
sementara ada bagian lain dalam dirinya yang mencegahnya. Peperangan ini sangat melelahkan...
Bayangkan saja bila Anda harus berperang melawan diri Anda sendiri, dan Anda sama sekali tidak bisa
sembunyi dari suara-suara itu karena tidak ada tempat dimana Anda bisa sembunyi dari diri Anda sendiri...
dan tak jarang bagian dirinya yang ingin menggunakan narkoba-lah yang menang dalam peperangan ini.
Suara-suara ini seringkali begitu kencang sehingga ia tidak lagi menggunakan akal sehat karena pikirannya
sudah terobsesi dengan narkoba dan nikmatnya efek dari menggunakan narkoba. Sugesti inilah yang
seringkali menyebabkan pecandu relapse. Sugesti ini tidak bisa hilang dan tidak bisa disembuhkan, karena
inilah yang membedakan seorang pecandu dengan orang-orang yang bukan pecandu. Orang-orang yang
bukan pecandu dapat menghentikan penggunaannya kapan saja, tanpa ada sugesti, tetapi para pecandu
akan tetap memiliki sugesti bahkan saat hidupnya sudah bisa dibilang normal kembali. Sugesti memang
tidak bisa disembuhkan, tetapi kita dapat merubah cara kita bereaksi atau merespon terhadap sugesti itu.
Dampak mental yang lain adalah pikiran dan perilaku obsesif kompulsif, serta tindakan impulsive. Pikiran
seorang pecandu menjadi terobsesi pada narkoba dan penggunaan narkoba. Narkoba adalah satu-satunya
hal yang ada didalam pikirannya. Ia akan menggunakan semua daya pikirannya untuk memikirkan cara yang
tercepat untuk mendapatkan uang untuk membeli narkoba. Tetapi ia tidak pernah memikirkan dampak dari
tindakan yang dilakukannya, seperti mencuri, berbohong, atau sharing needle karena perilakunya selalu
impulsive, tanpa pernah dipikirkan terlebih dahulu.
IAJUGA SELALU BERPIKIR DAN BERPERILAKU KOMPULSIF, DALAM ARTIAN IA SELALU MENGULANGI KESALAHAN-
KESALAHAN YANG SAMA. MISALNYA, SEORANG PECANDU YANG SUDAH KELUAR DARI SEBUAH TEMPAT PEMULIHAN
SUDAH MENGETAHUI BAHWA IA TIDAK BISA MENGENDALIKAN PENGGUNAAN NARKOBANYA, TETAPI SAAT SUGESTINYA
MUNCUL, IA AKAN BERPIKIR BAHWA MUNGKIN SEKARANG IA SUDAH BISA MENGENDALIKAN PENGGUNAANNYA, DAN
AKHIRNYA KEMBALI MENGGUNAKAN NARKOBA HANYA UNTUK MENEMUKAN BAHWA IA MEMANG TIDAK BISA
MENGENDALIKAN PENGGUNAANNYA! BISA DIKATAKAN BAHWA DAMPAK MENTAL DARI NARKOBA ADALAH MEMATIKAN
AKAL SEHAT PARA PENGGUNANYA, TERUTAMA YANG SUDAH DALAM TAHAP KECANDUAN. INI SEMUA MEMBUKTIKAN
BAHWA PENYAKIT ADIKSI ADALAH PENYAKIT YANG LICIK, DAN SANGAT BERBAHAYA.
RETARDASI
RETARDASI SERING DIKAITKAN DENGAN KETERBELAKANGAN MENTAL. SEPERTI YANG TELAH KITA KETAHUI BERSAMA,
DALAM DUNIA ADIKSI, PENYAKIT MEMPENGARUHI FISIK, MENTAL, EMOSIONAL, DAN SPIRITUAL SESEORANG. MEMANG
SECARA FISIK MUNGKIN TIDAK TERLALU KELIHATAN, TETAPI KETIGA ASPEK LAINNYA SUDAH SANGAT TERPENGARUH.
BAHKAN SERINGKALI DIKATAKAN BAHWA SEORANG PECANDU USIA MENTALNYA AKAN BERHENTI PADA USIA SAAT DIA
MULAI MEMAKAI DRUGS.
Katakanlah seorang pecandu mulai memakai drugs saat ia berusia 16 tahun. Maka usia mentalnya adalah
16 tahun, meskipun saat ia masuk kedalam pemulihan ia telah berusia 26 tahun. Bisa dikatakan ia
mengalami retardasi mental, emosional, dan spiritual. Memang keadaannya ini tidak seperti keadaan para
pasien down syndrome, yang retardasi mentalnya lebih jelas terlihat, bahkan secara fisik, karena memiliki
karakteristik fisik yaitu Mongolian face. Tetapi tetap saja ini membuatnya tidak dapat berfungsi sebagai
manusia yang seutuhnya.
Retardasi yang dialami pecandu adalah ketidakmampuannya berpikir dan membuat keputusan seperti
layaknya orang-orang normal seusianya. Kedewasaan emosionalnya juga mengalami retardasi, ia tidak
sedewasa orang-orang sekitarnya (yang bukan pecandu) dalam mengendalikan emosinya. Keadaan
spiritualnya apalagi. Dan kita sama sekali tidak membicarakan soal agama. Spiritual disini lebih berarti
hubungannya dengan dirinya sendiri, dengan orang-orang disekitarnya, dan dengan apapun yang
diyakininya.
Retardasi mental. Pola pikir pecandu seringkali tidak mencerminkan usianya yang sebenarnya. Ini
dikarenakan pemikiran pecandu seringkali berpusat pada prinsip kesenangan. Ia luar biasa takut dengan
tanggung jawab. Ia juga tidak mampu untuk membuat suatu komitmen. Ia tidak dapat membuat suatu
komitmen yang bertanggung jawab.
RETARDASI EMOSIONAL. PECANDU TIDAK MAMPU MENGENDALIKAN EMOSINYA. IA AKAN CENDERUNG EKSTRIM DALAM
MERASA DAN MENGUNGKAPKAN PERASAAN DAN EMOSINYA, BELUM LAGI ADA MOOD SWING YANG BAGAIKAN ROLLER
COASTER YANG DIALAMI OLEH PECANDU. IA TIDAK MEMILIKI KESTABILAN EMOSI YANG DIMILIKI OLEH ORANG-ORANG
SEUSIANYA.
Retardasi spiritual. Hubungan antara pecandu dengan dirinya sendiri, atau dengan orang lain, apalagi
dengan Kekuatan Lebih Tinggi (apapun bentuknya) bisa dikatakan hampir tidak ada, atau kalaupun ada
sama sekali tidak sehat.
RETARDASI PADA BAYI-BAYI JUNKIE JUGA SERINGKALI DITEMUKAN. HAL INI DISEBABKAN IA JUGA TERKENA PENGARUH
DARI NARKOBA YANG DIKONSUMSI OLEH IBUNYA.
DAMPAK SPIRITUAL
ADIKSI TERHADAP NARKOBA MEMBUAT SEORANG PECANDU MENJADIKAN NARKOBA SEBAGAI PRIORITAS UTAMA
DIDALAM KEHIDUPANNYA. NARKOBA ADALAH PUSAT KEHIDUPANNYA, DAN SEMUA HAL/ASPEK LAIN DALAM HIDUPNYA
BERPUTAR DI SEKITARNYA. TIDAK ADA HAL LAIN YANG LEBIH PENTING DARIPADA NARKOBA, DAN IA MENARUH
KEPENTINGANNYA UNTUK MENGGUNAKAN NARKOBA DI ATAS SEGALA-GALANYA. NARKOBA MENJADI JAUH LEBIH
PENTING DARIPADA ISTRI, SUAMI, PACAR, ANAK, ORANGTUA, SEKOLAH, PEKERJAAN, DLL.
KETIKA PARA PENGGUNA NARKOBA BERHADAPAN DENGAN HUKUM, MAU TIDAK MAU, MEREKA
HARUS MENERIMA PERLAKUAN YANG SAMA DENGAN MEREKA YANG BERLAKU SEBAGAI PENGEDAR
DAN ATAU BANDAR NARKOBA. PARA PENEGAK HUKUM AKAN MEMANDANG BAHWASANYA PARA
PENGGUNA NARKOBA TIDAK LEBIH PELANGGAR HUKUM YANG HARUS DIJERAT OLEH KETENTUAN
HUKUM YANG BERLAKU. ADILKAH INI ?
PENINDAKAN BAGI PARA PELANGGAR HUKUM ADALAH SANGAT DIPERLUKAN MENGINGAT BAHWA
TUJUAN DARI HUKUM ITU SENDIRI ADALAH UNTUK MEWUJUDKAN TERCIPTANYA KESEIMBANGAN
DALAM KEHIDUPAN SOSIAL YANG DICEDERAI OLEH PELAKU TINDAK PIDANA NAMUN DEMIKIAN
HUKUM JUGA TIDAK BERTUJUAN SEBAGAI INSTRUMEN BALAS DENDAM TERHADAP AKIBAT YANG
TELAH DILANGGAR OLEH PELANGGAR TERSEBUT. DALAM KONTEKS DEMIKIAN MAKA DALAM
MASALAH PENINDAKAN BAGI PARA PECANDU NARKOBA SUDAH SEHARUSNYA PARA APARATUR
PENEGAK HUKUM DAPAT MEMILAH - MILAH APAKAH PECANDU NARKOBA TERSEBUT DAPAT
TERGOLONG SEBAGAI "KORBAN" ATAU MEMANG HARUS DIANGGAP SEBAGAI PELAKU TINDAK
PIDANA.
UU NO. 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DAN UU NO. 5 TAHUN 1997 TENTANG
PSIKOTROPIKA PADA DASARNYA TELAH MENETAPKAN BATAS-BATAS PENGERTIAN BAGI PECANDU
"KORBAN" ATAU PELAKU TINDAK KRIMINAL. HAL INI DAPAT DILIHAT BERDASARKAN "PERAN AKTIF"
SI PECANDU MAUPUN KELUARGANYA. SEORANG PENCANDU DAPAT DIKATAKAN SEBAGAI KORBAN
BILAMANA :
1. PECANDU TERSEBUT MASIH DI BAWAH UMUR DAN TELAH DILAPORKAN OLEH ORANG
TUA/WALI KEPADA PEJABAT YANG BERWENANG (PASAL 86 AYAT 2 UU NO. 22/1997 TENTANG
NARKOTIKA, BAHWA PECANDU NARKOTIKA YANG BELUM CUKUP UMUR DAN TELAH
DILAPORKAN ORANG TUA/WALI TIDAK DITUNTUT PIDANA).
2. BAGI PECANDU YANG CUKUP UMUR DAN TELAH MELAPORKAN DIRI KEPADA PEJABAT
YANG BERWENANG, DAPAT DISEBUT KORBAN SETELAH DIKETAHUI YANG BERSANGKUTAN
TIDAK TERLIBAT DALAM JARINGAN PEREDARAN NARKOBA DAN MEREKA BENAR-BENAR
DAPAT DINYATAKAN SEBAGAI PENGGUNA.
3. KRITERIA KORBAN DAPAT DIBERLAKUKAN TERHADAP PENDERITA SINDROMA
KETERGANTUNGAN PSIKOTROPIKA, WALAUPUN DALAM UU PSIKOTROPIKA TIDAK MENGATUR
KEWAJIBAN MELAPORKAN BAGI ORANG TUA/WALI PENDERITA SINDROMA KETERGANTUNGAN
YANG BELUM CUKUP UMUR MAUPUN YANG CUKUP UMUR. DENGAN ALASAN BAHWA
"KEWAJIBAN MELAPOR TERSEBUT MERUPAKAN TUJUAN DARIPADA UU NARKOTIKA MAUPUN
PSIKOTROPIKA AGAR KORBAN SEGERA DAPAT DILAKUKAN PENGOBATAN DAN REHABILITASI.
BAHWA PENGOBATAN DAN REHABILITASI TERSEBUT DIMAKSUDKAN UNTUK DAPAT MEMULIHKAN
DAN/ATAU MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN FISIK, MENTAL, DAN SOSIAL PECANDU/PENDERITA,
SEHINGGA DIHARAPKAN BAHWA KORBAN TERSEBUT TIDAK LAGI MENCARI BARANG ILLEGAL
ATAUPUN MEMPENGARUHI KORBAN BARU TERMASUK MENJADI PENGEDAR."
4. SEDANGKAN PEJABAT YANG BERWENANG UNTUK MENERIMA LAPORAN ORANG
TUA/WALI ATAU KORBAN TERSEBUT ADALAH PEJABAT YANG DITUNJUK DARI POLRI MAUPUN
DEPKES.
BAGI PECANDU YANG TERGOLONG SEBAGAI "KORBAN" HUKUM MENUNTUT MEREKA UNTUK
MEMBUKTIKAN KEDUDUKANNYA SEBAGAI "KORBAN". HAL INI MENGINGAT HUKUM TENTANG
PEMBERANTASAN DAN PEREDARAN NARKOBA DI INDONESIA TIDAK MENGANUT AZAS "SIAPAKAH
KORBAN {WHO IS THE VICTIM)".
PASAL 47 AYAT (1) UNDANG-UNDANG (UU) NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA PADA
POKOKNYA MENYATAKAN BAHWASANYA HAKIM YANG MEMERIKSA PECANDU NARKOTIKA DAPAT:
LABEL: NARKOBA
DIPOSTING OLEH NM. WAHYU KUNCORO, SH DI 1:24 AM
0 komentar:
Thursday, February 28, 2008
ANAK ANDA PEMAKAI NARKOBA, siapa peduli ? (Catatan Untuk Peringatan Hari Anti
Narkoba Internasional)
JIKA MEMBANDINGKAN HARI ANTI NARKOBA INTERNASIONAL YANG JATUH PADA TANGGAL 26 JUNI 2006 INI DENGAN HUT
REPUBLIK INDONESIA TENTUNYA SANGAT BERBEDA. NAMUN KEDUANYA MEMPUNYAI KESAMAAN, SALAH SATUNYA SAMA-SAMA
DIPERINGATI TIAP SATU TAHUN SEKALI. SIAPA YANG DAPAT MEMBANTAH BAHWA TIAP PERINGATAN HUT RI SELALU SEMARAK
DENGAN BERBAGAI KEGIATAN, BAHKAN SAMPAI ADA YANG MENYEBUTNYA SEBAGAI PESTA RAKYAT. NAMUN APAKAH
PERINGATAN HARI ANTI NARKOBA SESEMARAK ITU. JAWABLAH SENDIRI.
PADAHAL DALAM USIA KEMERDEKAAN YANG KE 60 TAHUN (BULAN AGUSTUS NANTI GENAP 61 TAHUN), KITA MASIH BELUM
MERDEKA SECARA PENUH, BAHKAN TERANCAM LOST GENERATION OLEH NARKOBA. MUSUH NYATA YANG SETIAP SAAT DAPAT
MENGHANCURKAN GENERASI DAN BANGSA INI. APAKAH KITA MENYADARINYA. KITA AKAN TERSENTAK KAGET JIKA NARKOBA
SUDAH MERASUK KE DALAM DIRI ANAK, ORANG TUA, KELUARGA, MAUPUN TEMAN. KITA SERING KAGET, LHO KOK BISA SI
PINTAR ITU MEMAKAI NARKOBA, PADAHAL IA ANAK BAIK, ORANG TUANYA PEJABAT, KELUARGANYA KAYA DAN BLA-BLA-BLA-BLA
DAN SETERUSNYA. PERTANYAAN YANG TERUS MENGALIR KARENA MEMANG KITA HANYA MELIHAT KULIT TIDAK ISINYA.
Keseriusan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam memberantas narkoba patut kita dukung bersama,
dengan tindakan dan bentuk yang riil. Salah satu bentuk yang sederhana adalah dengan menyalakan lampu
kendaraan roda dua dan empat mulai pukul 10.00 sampai 14.00. waktu setempat. Karena penulis berdomisili
di Banjarbaru, maka penulis cukup gembira ketika menapaki Jalan A. Yani mulai Bundaran Simpang Empat
Banjarbaru sampai markas Brimob di Guntung Payung terlihat banyak yang menyalakan lampu (walaupun
lebih banyak lagi tidak menyalakan lampu).
Kondisi lebih parah lagi ketika penulis mengitari sepanjang Jalan Cokrokusumo di kawasan Cempaka tidak
satupun mendapati lampu kendaraan yang menyala. Bahkan penulis ditegur beberapa orang agar
mematikan lampu, sedihnya mereka adalah beberapa pelajar, orang tua dan seorang anggota TNI. Mungkin
mereka tidak tahu hari ini ada peringatan anti narkoba. Ini contoh kecil bahwa hari anti narkoba
internasional tidak begitu mendapat perhatian.
Dalam Tajuk Koran ini dengan judul Pemberantasan Narkoba, ditulis menyalakan lampu dimaksudkan
sebagai tanda partisifasi dan dukungan masyarakat terhadap gerakan anti narkoba dan madat sedunia. Tapi
hanya sebagian kecil masyarakat di daerah ini khususnya Bnja rmasin dan Banjarbaru yang memenuhi
himbauan ini. Padahal BNN melalui Badan Narkotika Provinsi (BNP) mengajak masyarakat Kalsel untuk
memberantas narkoba sejak dini. Bahkan tema peringatan tahun ini adalah Chindren and Drugs (Anak-anak
dan Narkoba) dengan tema kecilnya Drugs Are Not Child’s Play (Narkoba Bukan Permainan Anak). Jika
sebelumnya kita tidak peduli, sekarang waktunya kita berpegangan tangan erat untuk menyatukan tekad
untuk memberantas narkoba sampai musnah. Lindungi dan jauhi anak-anak kita dari narkoba ini.
Caranya dengan pengawasan yang mendidik terhadap anak, menjadikan mereka tidak saja anak tetapi juga
menjadi sahabat tempat berbagi cerita dan pengalaman. Berusaha untuk memberikan perhatian secara
kontinyu, memberikan keluwesan kepada anak untuk berkreasi. Tidak memaksakan kehendak kepada anak
karena mereka juga ingin dimengerti.
Jangan lagi bersikap cuek is the best, karena sikap demikian memang sangat diharapkan para pengedar itu.
Mulailah sekarang kita untuk memperhatikan anak, orang tua, keluarga, sanak famili, dan teman apabila
mulai melakukan hal-hala diluar kebiasaan. Tidak harus curiga penuh, namun patut waspada. Yayasan Cinta
Anak Bangsa (YCAB) yang bekerja sama dengan Telkomsel dalam buku saku tentang narkoba menyebutkan
tentang tips menjaga anak kita dari bahaya narkoba, yaitu dengan meningkatkan komunikasi dengan anak
kita, memperhatikan aktivitas anak di dalam rumah, membuat peraturan yang jelas di dalam rumah dan
mendiskusikan konsekuensinya jika terjadi pelanggaran, dan mengenali gejala anak yang memakai narkoba.
Kemudian jika anak kita sudah memakai narkoba janganlah dimarahi atas kesalahannya itu, terlebih beban
kesalahan dilimpahkan kepada anak, hal ini bukan solusi yang tepat. YCAB menulis, jika anak kita didapati
memakai narkoba maka bicarakan dengan penuh kasih. Katakan bahwa apapun yang telah mereka lakukan
anda tetap menyayangi dia dan ingin membantunya keluar dari masalah. Minta anak bekerjasama untuk
menyelesaikan masalah, dan bawa anak ke dokter atau rumah sakit untuk pemeriksaan.
Orang tua atau keluarga yang kaya atau miskin sekalipun tidak menjadi jaminan bahwa anak dapat terbebas
dari pengaruh narkoba. Sekarang ini bentuk penyebaran virus narkoba sangat cepat dan mampu masuk
sampai ke pelosok-pelosok desa. Kemampuan manajerialnya mirip Multi Level Marketing (MLM). Sistem
gratis dan bayar kemudian dengan pola coba-coba menjadi tred mark para pengedar. Adanya jaringan
televisi, radio, dan media massa tidak saja berdampak pada positif tetapi juga membawa dampak negatif.
Terutama tayangan televisi yang memberikan pengaruh luas sekaligus media bagi penyebaran narkoba.
Karena itu tidak ada orang yang mampu menjamin keselamatan anak anda dari narkoba selain anda sendiri.
Mengutip data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam Dahtiar di Koran ini tanggal 26 Juni 2006, bahwa
survey BNN dan UI tahun 2003 sebanyak 3,9 % dari 13,710 siswa SD hingga mahasiswa di ibukota propinsi
seluruh Indonesia mengaku menggunakan narkoba dalam satu tahun terakhir. Tahun 2004, sedikitnya 800
orang dari sekitar 25 juta murid SD di Indonesia mengosumsi narkoba. Kemudian dalam Tajuk Koran ini
disebutkan data yang dihasilkan BNN dan UI bahwa sebanyak 1,5 % (3,2 juta) dari 200 juta penduduk
Indonesia menjadi pelaku penyalahgunaan narkoa. Sebanyak 63 % penyalahgunaan narkoba pertama kali
mencoba narkoba pada usia 15-24 tahun. Bahkan, satu dari 10 orang responden mengaku
menggunakan/mengonsumsi narkoba pertama kali pada usia kurang dari 15 tahun. BNN juga menemukan
bukti sedikitnya 1,7 ton narkoba jenis heroin masuk ke Indonesia setiap bulannya. Data tersebut
memperlihatkan Banjarmasin termasuk sebagai salah satu dari 10 daerah di Indonesia yang tingkat
pemakaian narkoba melebihi rata-rata nasional (3,9 %). Sangat memprihatinkan, masihkan kita berdiam
diri atau menunggu sampai orang tersayang atau terdekat menjadi korban narkoba berikutnya.
Generasi bangsa ini sudah terkena target operasi para pengedar narkoba. Mereka tidak pandang bulu, tidak
pandang usia. Sekolah menjadi salah satu sasaran empuk mereka. Sebuah SD di Jakarta, para guru dan
orang tua kaget karena anak mereka kecanduan narkoba dari permen yang diberikan seseorang. Arif
Rahman pernah berucap bahwa sekitar 90 % anak-anak usia sekolah di Jabotabek pernah memakai
narkoba.
Dalam beberapa kegiatan sosialisasi ke sekolah-sekolah yang pernah diikuti penulis tentang narkoba dan zat
adiktif lainnya terlihat bagaimana kurangnya antusiasme siswa terhadap kegiatan ini. Antusiasme ini kalah
dengan antusiasme mereka dengan kegiatan musik, olahraga, dan kesenian. Mengapa demikian, setidaknya
salah satu adalah penyampaian sosialisasi tau penyuluhan tidak dalam kemasan yang mampu merangsang
siswa tertarik. Monoton dengan ceramah dan dialog monolog tampa adanya improfisasi. Sisi emosional siswa
dengan masa remajanya tidak mendapat sentuhan penyaji. Kebanyakan hanya terpaku pada makalah
dibaca, selesai (mds). Jika demikian hasinya sudah pasti ada yang masuk kanan keluar kiri atau parah lagi
tidak masuk apapun. Kalaupun masuk persentasenya sangat kecil. Alhasil dianggap sebagian siswa sebagai
kegiatan yang sia-sia.
Bagaimanapun juga sosialisasi dan penyuluhan narkoba sangat diperlukan dan harus dilaksanakan. Survei
dari BNN dan UI diatas menunjukkan bahwa sekolah memang menjadi lahan empuk para pengedar.
Begitupun juga, dengan kenyataan yang ada, semoga masih ada sekolah yang benar-benar terbebas dari
narkoba. Slogan dan pamplet yang ada di sekolah-sekolah semoga bukan hanya pajangan dan harapan saja.
Adanya BNN dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli dengan masa depan bangsa ini
untuk terbebas dari narkoba sudah baik. Seperti yang dilakukan Yayasan Peduli Anak Bangsa (YPAB) dan
Gema Nafza UNLAM bekerjasama dengan Telkomsel membuat aksi kepedulian di Banjarbaru dengan
pembagian buku saku tentang narkoba, orasi anti narkoba, dan aksi pengumpulan tanda tangan menolak
narkoba. Kegiatan yang sangat bermanfaat dan benar-benar menjadi bukti kepedulian. Semoga kegiatan
mulia tersebut dapat terus dilakukan dengan skala yang lebih besar.
Impotennya Hukum
Sebenarnya republik ini telah mempunyai dasar hukum bagi para penegak untuk menjalankan tugasnya.
Namun yang masih jauh dari harapan, Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang narkoba, masih belum
maksimal dilaksanakan. Bahkan masih dianggap sepele bagi mereka. Dalam UU tersebut, yang dianggap
melanggar hukum adalah membawa, mengirim, mengangkut, mentransitokan narkoba. Dengan kata lain
untuk pengedar, namun bagaimana bagi para korban. Lebih parah lagi, ancaman hukuman yang digunakan
dalam UU itu masih ringan (maksimal denda Rp. 750.000.000. dan penjara maksimal 15 tahun). Padahal
efek dan hasil dari perbuatan mereka bisa lebih dari nilai denda itu dan bisa menghancurkan bangsa kurang
dari 15 tahun.
Dalam hal ini ketegasan memang sangat diperlukan, bahkan kalau perlu revisi UU tersebut dan gunakan
hukuman selama-lamanya (seumur hidup atau hukum mati). Untuk memberantas narkoba memang
dibutuhkan kerja keras dari pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Kita memang geram karena para
pengedar narkoba dihukum ringan dan banyak pula yang tidak ketahuan proses hukumnya. Alhasil mereka
bebas berkeliaran sepertinya mereka kebal hukum. Yang juga sering kita sesali adalah adanya oknum
aparat polisi yang memakai dan pengedar narkoba. Mereka yang harusnya menegakkan hukum malah
menjadi benalu dalam hukum itu sendiri. Ironis memang. Hal-hal seperti itulah yang kadang membuat
masyarakat pesimis dengan penegakan hukum bagi para pengedar narkoba.
Jika pencopet, maling ayam, maling sendal yang tertangkap masyarakat kadang dapat sigap dan bertindak
cepat dengan memukuli ataupun menghakimi secara masal. Polisi juga dapat dengan sigap memproses
mereka. Hal ini juga hendaknya berlaku bagi para pengedar. Masyarakat dan polisi bekerjasama
memberantas narkoba. Jika ada pesta sabu-sabu, isap cimeng bareng, sedot mariyuana bersama, ataupun
makan inex plasmanan yang diketahui masyarakat maka sesegeranya untuk melaporkan hal itu pada
kepolisian. Atau jika melihat kegiatan yang mencurigakan diluar kebiasaan seharusnya maka masyarakat
patut waspada dan melaporkan kepada polisi. Diharapkan polisi bertindak cepat dan merespos laporan
masyarakat. Bentuk-bentuk kerjasama seperti itu terbukti efektif selama ini untuk memberantas narkoba.
Hendaknya pula sosialisasi dan penyuluhan yang dilakukan menyentuh langsung ke masyarakat sampai
tingkat RW dan RT.
Menutup catatan ini, dengan kerjasama pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat itu
sendiri akan lebih kokoh sebagai formula memberantas narkoba dengan peran aktif orang tua sebagai
benteng utama untuk menghindari anaknya dari pengaruh narkoba. Janganlah mata kita mampu melihat
semut di seberang lautan namun tidak melihat gajah dipelupuk mata. Kita sibuk mengomentari anak orang
lain yang terkena narkoba namun lupa kita juga mempunyai anak yang seusianya. Sekali lagi, tidak ada
orang yang mampu menjamin anak anda bebas dari narkoba selain anda sendiri.
Say not to drugs,
Sejarah
Penggunaan obat-obatan jenis opioid sudah lama dikenal do Indonesia, jauh sebelum pecahnya
Perang Dunia II pada zaman penjajahan Belanda. Pada umumnya para pemakai candu (opium)
tersebut adalah orang-orang Cina. Pemerintah Belanda memberikan izin pada tempat-tempat
tertentu untuk menghisap candu dan pengadaan (supply) secara legal dibenarkan berdasarkan
undang-undang. Orang-orang Cina pada waktu itu menggunakan candu dengan cara tradisional,
yaitu dengan jalan menghisapnya dengan menghisapnya melalui pipa panjang. Hal ini berlaku
sampai tibanya Pemerintah Jepang di Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang menghapuskan
Undang-undang itu dan melarang pemakaian candu (Brisbane Ordinance).
Ganja (Cannabis Sativa) banyak tumbuh di Aceh dan daerah Sumatera lainnya, dan digunakan
oleh penduduk sebagai bahan ramuan makanan sehari-hari. Tanaman Erythroxylon Coca
(Cocaine) banyak tumbuh di Jawa Timur dan pada waktu itu hanya diperuntukkan bagi ekspor.
Untuk menghindari pemakaian dan akibat-akibat yang tidak diinginkan Pemerintah Belanda
membuat Undang-undang (Verdovende Middelen Ordonantie), yang mulai diberlakukan pada
tahun 1927 (State Gazette No.278 Juncto 536). Meskipun demikian obat-obatan sintetisnya dan
juga beberapa obat lain yang mempunyai efek serupa (menimbulkan kecanduan) tidak
dimasukkan dalam perundang-undangan tersebut.
SETELAH KEMERDEKAAN, PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA MEMBUAT PERUNDANG-UNDANGAN
YANG MENYANGKUT PRODUKSI, PENGGUNAAN DAN DISTRIBUSI DARI OBAT-OBAT BERBAHAYA
(DANGEROUS DRUGS ORDINANCE) DIMANA WEWENANG DIBERIKAN KEPADA MENTERI KESEHATAN
UNTUK PENGATURANNYA (STATE GAETTE NO.419, 1949).
BARU PADA WAKTU TAHUN 1970, MASALAH OBAT-OBAT BERBAHAYA JENIS NARKOTIKA MENJADI
MASALAH BESAR DAN NASIONAL SIFATNYA. PADA WAKTU PERANG VIETNAM SEDANG MENCAPAI
PUNCAKNYA PADA TAHUN 1970-AN, MAKA HAMPIR DISEMUA NEGERI, TERUTAMA DI AMERIKA
SERIKAT PENYALAHGUNAAN OBAT (NARKOTIKA) SANGAT MENINGKAT DAN SEBAGIAN BESAR
KORBANNYA ADALAH ANAK-ANAK MUDA. NAMPAKNYA GEJALA ITU BERPENGARUH PULA DI
INDONESIA DALAM WAKTU YANG BERSAMAAN.
Menyadari hal tersebut, maka Presiden mengeluarkan instruksi No.6 tahun 1971 dengan
membentuk Badan Koordinasi, yang terkenal dengan nama BAKOLAK INPRES 6/71.
bamgkolak Inpres 6/71 adalah sebuah badan yang mengkoordinasikan (antar departemen) semua
kegiatan penanggulangan terhadap berbagai bentuk yang dapat mengancam keamanan negara,
yaitu : pemalsuan uang, penyelundupan, bahaya narkotika, kenakalan remaja, kegiatan subversif
dan pengawasan terhadap orang-orang asing.
Kemajuan teknologi dan perubahan-perubahan sosial yang cepat, menyebabkan Undang-undang
Narkotika warisan Belanda (1927) sudah tidak memadai lagi. Maka Pemerintah telah
mengeluarkan Undang-undang R.I.No.9 tahun 1976, tentang Narkotika. UU Narkotika
No.9/1976 antara lain mengatur berbagai hal khusunya tentang peredaran gelap (illicit traffic).
Disamping itu juga diatur tentang terapi dan rehabilitasi korban narkotik (pasal 32) dengan
menyebutkan secara khusus peran dari dokter dan Rumah sakit terdekat sesuai petunjuk Menteri
Kesehatan.
Dengan adanya kasus Zarima, maka UU Anti Narkotika direvisi. Ada UU Anti Narkotika nomor
22/1997 dan UU Psikotropika nomor 5/1997. UU no. 22/1997 tentang narkotika mengatur
ketentuan pidana terhadap pelaku kejahatan narkotika dengan pemberian sanksi terberat berupa
hukuman mati.
Bahan-bahan narkotika (morphine, heroine) berasal dari selundupan luar negeri, sedangkan ganja
berasal dari dala negeri. Dewasa ini penyalahgunaan obat tidak terbatas pada jenis obat-obatan
narkotika dan ganja saja, melainkan juga terhadap obat-obat jenis psikotropika dan minuman keras.
Tidak jarang penyalahgunaan opbat tersebut memakai obat berganti-ganti dan kombinasi satu obat
dengan lainnya (polydrugs abuser). Pengamatan yang dilakukan sejak 1969, memberikan gambaran
penyalahgunaan obat di Indonesia sebagai berikut :
A. 1969-1973 : TERBANYAK/HAMPIR SELURUHNYA MENYALAHGUNAKAN MORPHINE
(GOLONGAN OPIAT) DAN GANJA (MARIHUANA).
B. 1973-1976 : MORPHINE, GANJA, BARBITURAT (SEJENIS OBAT TIDUR DAN OBAT ANTI-
EPILEPSI) DAN BEBERAPA JENIS OBAT TIDUR LAINNYA.
Penyalahgunaan obat
1. PENDEKATAN ORGANOBIOLOGIK.
Obat psikotropik adalah bahan atau zat (substansi) yang dapat mempengaruhi fungsi berfikir,
perasaan dan tingkah laku pada orang yang memakainya. WHO (1969) memberikan batasan
mengenai “Drug” (Obat), setiap zat (bahan) yang jika masuk dalam organisme hidup, akan
mengadakan perubahan pada satu atau lebih fungsi-fungsi organisme tersebut. Bahan-bahan yang
masuk narkotika, ganja, psikotropika dan alkohol adalah bahan-bahan yang mempunyai efek
tersebut. Bahan-bahan tersebut seringkali disalahgunakan (drug abuse), sehingga dapat
mengakibatkan ketergantungan (drug dependence).
Dengan penyalahgunaan obat (drug abuse) menurut WHO (1969) adalah pemakaian obat yang
berlebihan secara terus menerus atau berkala diluar maksud medik atau pengobatan. Sedangkan
yang dimaksud dengan ketergantungan obat (drug dependence) adalah suatu keadaan di mana
akibat pemakaiannya menimbulkan hal-hal berikut :
a. Keinginan yang luar biasa (an overpowering desire) terhadap obat yang dimaksud, dan
kalau perlu dengan jalan apapun untuk memperolehnya.
b. Kecenderungan untuk menambah takaran (dosis), hal ini sesuai dengan toleransi tubuh.
c. Ketergantungan psikis, apabila obat itu dihentikan akan menimbulkan kecemasan,
kegelisahan, depresi dan lain-lain gejala psikis.
d. Ketergantungan fisik, apabila obat dihentikan akan menimbulkan gejala fisik yang disebut
sindroma putus obat.
Orang dengan ketergantungan obat, apabila dihentikan pemakainannya akan menunjukan gejala-
gejala putus obat (withdrawal symptoms) secara fisik (misalnya pada gejala putus obat morphine)
: menguap, mata berair, hidung berair, bersin, pernafasan cepat, tidak nafsu makan, pupil
melebar, tubuh gemetar, gigi geligi bergeletukkan, kejang-kejang otot anggota gerak, perut dan
punggung, denyut nadi bertambah, tekanan darah naik, buang-buang air, muntah-muntah, tidak
dapat tidur dan gaduh gelisah.
Ditinjau dari organobiologik, maka penyalahgunaan obat dapat menimbulkan ketergantungan fisik
dan hal ini ditandai dengan timbulnya toleransi dan gejala putus obat. Disamping itu
penyalahgunaan obat dapat menimbulkan komplikasi medik. Pada umumnya komplikasi medik itu
tidak disebabkan oleh obatnya sendiri melainkan oleh keadaan-keadaan dimana pada saat obat itu
dipakai. Komplikasi-komplikasi infeksi misalnya disebabkan oleh suntikan-suntikan yang tidak
steril dan cara-cara hidup yang tidak higienis.
ANGKA-ANGKA YANG DAPAT DIKUMPULKAN MENGENAI KOMPLIKASI MEDIK PADA PASIEN-PASIEN
YANG DIRAWAT DI RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT (RSKO) DI JAKARTA, MENUNJUKKAN
BAHWA LEBIH DARI 20 % PASIEN DISERTAI OLEH KOMPLIKASI PENYAKIT FISIK SEBAGAI AKIBAT
LANGSUNG ATAU TIDAK LANGSUNG DARI PENYALAHGUNAAN OBAT (CHANDRA , 1978).
KOMPLIKASI MEDIK TERSEBUT MELIPUTI : HEPATITIS (2,4 %), PLEURITIS (0,7 %), PNEUMONIA
(0,7%), KOCH PULMONUM (1,4 %), GANGGUAN GASTROINTESTINAL (2 %), TYPHOID (1,4 %),
PHLEBITIS (1,4 %), PENYAKIT VENERIK (3,4 %) DAN CVA (0,3 %).
2. Pendekatan psiko-edukasional.
PENYALAHGUNAAN OBAT DAPAT MENIMBULKAN SUATU KONDISI YANG DAPAT
DIKONSEPTUALISASIKAN SEBAGAI GANGGUAN JIWA ; DIMANA PENYALAHGUNAAN OBAT (DRUG
ABUSER) TIDAK MAMPU LAGI BERFUNGSI SECARA WAJAR DALAM MASYARAKAT, MENUNJUKAN
PERILAKU MALADAPTIF. KONDISI DEMIKIAN DAPAT DILIHAT PADA HENDAKNYA DALAM FUNGSI
SOSIAL ATAU PEKERJAAN / SEKOLAH, KETIDAKMAMPUAN UNTUK MENGENDALIKAN ATAU
MENGHENTIKAN PENGGUNAAN OBAT TERSEBUT (COMPULSIVE DRUG TAKING), DAN TIMBULNYA
GEJALA PUTUS OBAT APABILA PENGGUNAAN OBAT TERSEBUT DIHENTIKAN ATAU DIKURANGI.
Lubis (1979) menggolongkan orang-orang dengan ketergantungan obat atau alcohol kedalam
neurosa impuls. Hal ini ditandai dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan seolah-olah didesak
oleh impuls yang sukar dikendalikan. Gejala ini sepintas lalu mirip dengan gejala kompulsi
(compulsive drug taking) disatu pihak, dan pada pihak lain gejala psikopatik. Penderita
ketergantungan obat merupakan representasi impulsivitas yang paling karekteristik dan murni ;
eksternalisasi yang menjelma dalam defensi berupa “tindakan“ (defence by acting). Sumber dan
sifat ketergantungan tidak ditentukan oleh khasiat kimiawi obat melainkan oleh struktur kepribadian
seseorang. Adapun sampai terjadi ketergantungan fisik, hal itu merupakan komplikasi sekunder.
Dan, orang itu akanmenjadi ketergantungan apabila obat atau sesuatu zat itu mempunyai
signifikansi spesifik baginya. Selanjutnya Lubis mengemukakan bahwa orang dengan
ketergantungan obat, adalah orang dengan disposisi untuk bereaksi secara khas terhadap obat itu.
Cara khas itu ialah bahwa mereka menggunakan efek tersebut untuk memenuhi kebutuhan oral,
kebutuhan perasaan aman dan terlindungi dan untuk mempertahankan kepercayaan diri.
Shields (1976) mengemukakan bahwa cirri kepribadian (personality traits) mempunyai
peranpenting disamping cirri biologik/genetik seseorang penyalahguna obat. Ciri kepribadian
tertentu menyebabkan kondisi baik psikologik maupun fisiologik seseorang rawan terhadap
penyalahgunaan obat (vulnerable).
Plaut (1967) menyatakan bahwa untuk dapat memahami mengapa seseorang sampai
menyalahgunakan obat/minuman keras, tidak ada faktor tunggal yang menentukan, melainkan
interaksi dari tiga faktor penentu, yaitu fisiologik tubuh, faktor kepribadian dan faktor social-
budaya. Faktor kepribadian tersebut ditandai dengan sifat seseorang yang tidak mampu mengatasi
berbagai kesulitan hidup, frustrasi, depresi dan kecemasan.
JESSOR DKK (1968) MENGUTARAKAN PENTINGNYA PROSES INTERAKSI TERSEBUT DIATAS
SEBAGAIMANA HALNYA PADA PERILAKU MENYIMPANG LAINNYA. PERILAKU MENYIMPANG (DEVIANT
BEHAVIOUR) MENUNJUKKAN TINGKATAN DARI KELAINAN KEPRIBADIAN, KETERASINGAN,
KEPERCAYAAN TERHADAP KEKUATAN LUAR, TOLERANSI MASYARAKAT TERHADAP PERILAKU
MENYIMPANG ITU SENDIRI DAN ADANYA KECENDERUNGAN UNTUK PEMUASAN SEGERA.
Evans (1970) membagi penyalahgunaan obat dalam tiga kelompok yang ditinjaunya dari segi
psikologik, yaitu :
a. Mereka yang menyalahgunakan obat karena mengalami konflik atau stress pribadi(depresi,
kecemasan dan lain-lain).
b. Sebagai penjelmaan dari kelainan kepribadian, yang ditandai dengan ketidakmampuan untuk
menyelesaikan berbagai masalh, tidak mampu belajar dari pengalaman dan lain sebagainya.
c. Mereka yang terlibat karena pengaruh lingkungan social (pengaruh kelompok/peer group)
Glatt (1966) menunjukan beberapa contoh kepribadian yang rawan (vulnerable personality),
misalnya kepribadian psikopatik, imatur dan inadekuat.
Winick (1965) menyebutkan bahwa remaja yang menyalahgunakan obat sebagai ungkapan
pemberontakan terhadap keluarga.
Sokol (1965) mengatakan bahwa remaja menyalahgunakan obat guna mengembalikan kepercayaan
diri, menghilangkan rasa rendah diri dan rasa tidak aman.
Navaratnam, Lhoo, Ward (1980) dalam penelitiannya terhadap penyalahgunaan di Malaysia
mengemukakan bahwa penyalahgunaan obat mempunyai struktur kepribadian yang ditandai dengan
kecemasan yang tinggi, neurotik dan miskinnya pemahaman diri.
Erwin Wijono, dkk (1982) dalam pengalamannya di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) di
Jakarta, mengatakan bahwa tidak ada kepribadian tertentu/khas untuk ketergantungan obat
(kepribadian ketergantungan obat). Ketergantungan obat biasanya mudah terjadi pada mereka yang
tergolong resiko tinggi dengan ciri-ciri : mudah kecewa, cepat emosionil, pembosan, lebih
mengutamakan kenikmatan sesaat tanpa memikirkan akibatnya dikemudian hari (pemuasan segera).
Berbagai alas an atau motivasi orang menyalahgunakan obat, antara lain :
a. Kepercayaan bahwa obat dapatmengatasi semua persoalan.
b. Harapan untuk memperoleh kenikmatan dari efek obat.
c. Untuk menghilangkan rasa sakit atau keadaan ketidaksenangan dan ketidak
nyamanan.
d. Untuk memperoleh ide atau pikiran baru dan ilham.
e. Sebagai pernyataan tidak puas terhadap system dan nilai social yang berlaku.
f. Sebagai pernyataan sudah dewasa atau ikut zaman (mode).
g. Tekanan kelompok sebaya, agar dapat diterima dalam kelompoknya.
h. Karena mudah diperoleh.
Saifun Mansjur (1977) dalam penelitiannya terhadap penderita pertama yang dirawat di Rumah
Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) di Jakarta, menyatakan bahwa frekuensi tertinggi
penyalahgunaan obat dan ketergantungan obat pada golongan remaja. Disamping faktor
kepribadian tertentu, kondisi masa remaja itu sendiri merupakan faktor pula. Remaja yang
“normal” hanpir selalu menunjukan adanya ketidakstabilan emosional dan perubahan
kepribadian.
Kusumanto Setyonegoro (1982) menyatakan bahwa di usia remaja (adolescent), usia sekitar 12-18
tahun, banyak masalah berada dalam kondisi transisi, masa peralihan dari masa kanak-kanak ke
alam dewasa. Terdapat tiga jalur perkembangan remaja tanpa secara menyimpang jauh dari norma
perkembangan yang lazim, yaitu :
a. Perkembangan kontinyu, di mana perkembangan remaja berjalan baik, dengan latar
belakang keluarga dan social yang menguntungkan ;
b. Perkembangan bergelombang, di mana perkembangan remaja ditandai dengan
berbagai konflik-konflik pribadi, ketidakstabilan mental-emosional yang disebabkan karena latar
belakang yang kurang menguntungkan. Namun pada akhirnya remaja dapat menyesuaikan diri,
meskipun dengan ketegangan yang berlebihan.
c. Perkembangan eksplosif, ditandai dengan latar belakang social dan keluarga yang
amat tidak menguntungkan, terjadi ledakan-ledakan emosional seolah-olah yang bersangkutan
sedang mengalami krisis besar. Remaja dalam konsisi demikian memerlukan pertolongan psikiatrik.
Bagaimana tepatnya hubungan antara faktor kepribadian dan penyalahgunaan/ketergantungan,
belum ditemukan jawaban yang pasti. Pendapat umum mengatakan bahwa
penyalahgunaan/ketergantungan obat itu berhubungan dengan adanya defek pada perkembangan
kepribadian, yang mengakibatkan terbentuknya jenis kepribadian tidak wajar (inadequate
personality) atau kepribadian anti-sosial (psychopathic personality).
Ausubel (1965) mengemukakan postulat yang membagi ketergantungan itu dalam 3 tipe, yaitu :
a. Ketergantungan primer, yang ditandai dengan adanya kecemasan dan depresi,
dimana pemakaian obat untuk mengatasi stress, umumnya terdapat pada orang dengan
kepribadian tidak wajar (inadequate personality).
b. Ketergantungan simtomatis, dimana penyalahgunaan obat sebagai salah satu gejala
dari kelainan kepribadian yang mendasarinya, umumnya pada orang-orang dengan kepribadian
psikopatik, kriminal dan pemakaian obat hanya untuk kesenangan semata.
C. KETERGANTUNGAN REAKTIF, TERUTAMA PADA REMAJA KARENA RASA INGIN TAHU,
PENGARUH
3. Pendekatan Psikososial-budaya
Penyalahgunaan obat mempunyai kaitan erat dengan faktor sosio-kultural dan sosio-ekonomik.
Persepsi masyarakat berubah-ubah sesuai dengan perubahan kedua faktor social diatas, yang
mempunyai dampak dalam penanggulangan penyalahgunaan obat.
Pattison, dkk (1968), telah mengadakan pengamatan dan penelitian terhadap perubahan-perubahan
persepsi social pada penyalahgunaan obat sejak tahun 1900 hingga 1965 menyimpulkan antara lain:
a. Telah terjadi perubahan anggapan bahwa penyalahgunaan obat tidak lagi dipandang
sebagai masalah moral, melainkan sebagai masalah penyakit.
b. Pengobatan penyalahgunaan obat sebagai penderita/pasien amat berguna dalam usaha
mengurangi permintaan (demand reduction), dengan demikian pengadaan obat dipasaran gelap akan
menurun dengan sendirinya (supply reduction). Hal ini dipakai dalam usaha pengawasan lalulintas
obat.
c. Dahulu dianggap bahwa faktor kondisi sosial yang buruk (pemukiman, penggangguran
dan sebagainya) sebagai penyebab penyalahgunaan obat. Namun, kini faktor social semacam itu
telah beralih kepada faktor keluarga. Pendekatan yang menitik beratkan peran faktor keluarga ini
telah dianut sejak tahun 1960-an.
d. Penyalahgunaan obat tidak lagi dianggap sebagai kriminal, melainkan sebagai korban
(victim), sebagai penderita yang memerlukan pertolongan serta pengobatan.
e. Perubahan persepsi sosial lainnya adalah perubahan sikap terhadap penyalahgunaan obat,
tidak lagi bersikap punutiv melainkan pada sikap terapeutik.
Pengaruh lingkungan sosial besar sekali bagi terjadinya penyalahgunaan/ketergantungan obat.
Kondisi sosial tertentu telah membuat keadaan sedemikian rupa sehingga kondusif bagi
seseorang untuk mencoba-coba dengan obat. Rasa ingin tahu, pemberontakan terhadap figure
orang tua atau otoritas, meniru-niru, tekanan dari teman sekelompok (peer group pressure), rasa
jenuh dan bosan, keinginan untuk melarikan diri dari kesulitan dan lain sebagainya, kesemuanya
itu membuat seseorang mencari keterangan tentang khasiat obat yang dapat memberikan
kepuasan dan kenikmatan.
Preble dan Casey (1969) mengemukakan bahwa ada semacam penghargaan sosial yang diberikan
kepada penyalahgunaan obat atas keberhasilannya dalam melakukan berbagai tindak kriminal.
Struktur masyarakat yang mengalami deprivasi demikian itu sangat kondusif bagi tumbuhnya
penyalahgunaan obat di kalangan anak dan remaja.
PENYALAHGUNAAN OBAT HAMPIR SELALU BERKAITAN DENGAN PERILAKU ANTI-SOSIAL DAN
KRIMINALITAS ; DEMIKIAN PULA HALNYA DENGAN KENAKALAN REMAJA (WINNICK, 1965). DAMPAK
TEHADAP MASYARAKAT, WILSON (1969) MENGEMUKAKAN BAHWA PENYALAHGUNAAN OBAT TIDAK
SAJA BERAKIBAT BURUK BAGI SI PEMAKAI, NAMUN JUGA BAGI KELUARGA DAN MASYRARAKAT.
CAMPS (1970) MENGEMUKAKAN BERBAGAI DAMPAK KARENA LEPASNYA KONTROL DIRI SEBAGAI
AKIBAT PEMAKAIAN OBAT/ALKOHOL YANG BERLEBIHAN, ANTARA LAIN:
Chandra (1980) dalam penelitiannya yang merupakan pelengkap dari Kusumanto dan Saifun,
mengemukakan pentingnya peranan keluarga dalam upaya terapi dan rehabilitasi penyalahgunaan
obat. Bebberapa hal yang dapat disimpulkan adalah antara lain bahwa terapai keluarga (family
therapy) dapat membantu, dengan mempertimbangkan secara khusus berbagai kebutuhan para
anggota keluarga tersebut di bidang sosial, pendidikan, filsafat dan keagamaan, serta ekonomi.
Angka-angka yang diperoleh mengenai hubungan antara keluarga dengan penyalahgunaan obat
(anaknya) memberi kesan bahwa keluarga perlu mendapat perhatian lebih mendalam dalam usaha
menolong anak tersebut kembali ke masyarakat. Potensi keluarga harus diperhitungkan, karena
pada hakekatnya keluargalah yang akan melanjutkan langkah-langkah rehabilitasi yang telah
digariskan selama anak masih dalam perawatan di rumah sakit.
Jadi :
Dari uraian yang telah diutarakan diatas, beberapa kesimpulan yang dapat diambil antara lain bahwa
:
1. Orang yang menyalahgunakan obat dan menjadi ketergantungan adalah sebagai suatu
kondisi yang patologik; dimana pemakaian obat itu menunjukan reaksi yang khusus yaitu reaksi
yang dapat menciptakan suatu keadaan yang menutupi defek kepribadiannya. Jadi :
Ciri/gangguan kepribadian merupakan dasar bagi terjadinya penyalahgunaan/ketergantungan
obat.
2. Dalam menghadapi berbagai permasalahan kehidupan tidak selamanya dapat dilalui
dengan baik. Seringkali timbul konflik (bentrokan mental yang tak kunjung selesai) dan frustrasi
(kekecewaan yang mendalam), yang dapat menimbulkan kekhawatiran atau ketakutan yang terus
menerus (kecemasan) dan rasa sedih yang mendalam (depresi). Karena ketidakmampuan
menyelesaikan kesulitan hidup, menghindari rasa cemas dan depresi, ingin mencapai kepuasan
segera, orang “melarikan diri” ke obat-obatan.
Jadi : Kecemasan dan depresi merupakan komponen yang prominen pada
penyalahgunaan/ketergantungan obat.
7. Berbagai macam obat tersedia di “pasaran” tergantung kepada permintaan. Kalau jenis
obat tertentu tidak ada tersedia jenis obat lain, dan pelangganpun akan mencari penggantinya
apabila obat yang diinginkan tidak ada (termasuk minuman keras). Seringkali penyalahgunaan obat
memakai obat berganti-ganti atau dengan kombinasi. Kecenderungan ini mungkin disebabkan
karena efek sinergistik, atau obat tertentu sudah dirasa tidak mempan lagi. Hal ini tergantung
kepada konstitusi biologik yang bersangkutan (deficiency theory).
Jadi : Penyalahgunaan obat adalah suatu fenomena penggunaan yang kombinasinya berubah-ubah,
tergantung kepada adanya jenis obat yang tersedia di”pasaran” (supply and demand mechanism).
8. Upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan obat yang hanya menitikberatkan
kepada upaya represi (law enforcement) dengan maksud mengurangi pengadaan obat di “pasaran”
(supply reduction), cenderung membuat harga obat naik dan penyalahgunaan obat bertambah nekad.
Upaya diatas harus diimbangi dengan upaya-upaya lain yang ditujukan kepada para
penyalahgunaan obat (terapi dan rehabilitasi) dengan maksud mengurangi permintaan (demand
reduction). Upaya lain adalah pendidikan pencegahan yang ditujukan kepada kelompok resiko
tinggi (high risk/potential users).
Jadi : Penaggulangan penyalahgunaan obat adalah penanggulangan yang dilakukan seimbang
(balance approach) : pendekatan hukum (security approach) disatu pihak dan pendekatan
kesejahteraan (welfare approach) dilain pihak.
SIKAP
Perilaku
Kepribadian dissosial
Penyalahgunaan obat
Ketergantungan obat
Kambuh / relaps
Kesimpulan
Menyadari betapa permasalahan tersebut diatas dapat mengganggu perkembangan dan masa
depan remaja/generasi muda, maka upaya-upaya pencegahan sedini mungkin adalah amat
penting. Secara garis besar tujuan utama dari upaya ini adalah agar anak/remaja memiliki
kepribadian yang kuat, matang, stabil, penuh kepercayaan diri dan berkemampuan mengatasi
persoalan hidup dengan baik. Salah satu cara yang dapat dipakai adalah pendekatan tidak
langsung (indirect approach). Misalnya pada jalur pendidikan formal (sekolah), maka mata
pelajaran “ pendidikan pencegahan penyalahgunaan obat/narkotika/minuman keras (narkoba) “
dapat dimasukkan dalam kurikulum pendidikan sekolah. Sedangkan pada jalur pedidikan non
formal dapat diberikan pada orang tua, keluarga, masyarakat dan organisasi remaja itu sendiri.
Disamping itu peranan mass media juga penting dalam menunjang program ini.
Sekedar contoh beberapa pesan yang dapat diberikan kepada orang tua dalam rangka pendidikan
pencegahan penyalahgunaan obat/narkotika ini adalah antara lain :
o akibat-akibat buruk penyalahgunaan obat/narkotika terhadap kesehatan
seseorang, fisik, mental dan sosial.
o Bahwa “ obat” adalah untuk pengobatan yang diberikan atas petunjuk dokter dan tidak
untuk disalahgunakan.
o Remaja dalam berkawan hendaknya memilih kelompok teman-temannya (peer group)
yang baik-baik dan tidak sembarangan.
o Orang tua hendaknya menyempatkan/menyediakan waktu untuk berkomunikasi dengan
anak-anaknya.
o Orang tua hendaknya tahu perkembangan kepribadian anaknya dan tahu siapa-siapa
kelompok teman-temanya.
o Orang tua hendaknya mampu menciptakan suasana rumah tangga yang harmonis, penuh
pengertian dan toleransi, sehingga hubungan suami-isteri, orang tua, anak dan hubungan sesama
anak erat dan hangat.
Pesan lain adalah manakala anak sedang mengalami stres (kecemasan, kegelisahan, depresidan lain-
lain gangguan mental emosional), maka tahap pertama yang dapat dilakukan orang tua, agar anak
tidak “lari” ke-obat-obatan/minuman keras/narkotika, adalah antara lain:
o “listening” (empathic listening), orang tua hendaknya dapat dan mau
mendengarkan keluhan-keluhan anaknya. Anak biasanya memerlukan “ventilasi”
kepada seseorang yang dapat dipercaya dan bisa mengerti tentang keadaan
dirinya, berbagai kesulitan disekolah atau stres yang sedang dihadapi sehubungan
dengan pelajaran dan pergaulan sosialnya. Sikap orang tua yang penuh
pengertian, mampu meraba rasakan apa yang sedang dirasakan oleh anaknya,
akan banyak menolong dalam mengatasi stres. Disamping itu tanggapan yang
positif dan dorongan moril akan memperkuat daya tahan sang anak terhadap stres.
o “helping”, tidak saja mendengarkan namun hendaknya orang tua dapat membantu
meringankan beban, atau membantu mengatasi persoalan dan kesulitan yang sedang dihadapi sang
anak.
o “caring”, orang tua hendaknya dapat memberikan asuhan, kasih sayang dan rasa aman
pada anaknya dikala sedang mengalami stres. Sikap acuh tak acuh, masa bodoh atau tidak mau tahu
hanya akan memperberat stres anak.
o “sharing”, orang tua hendaknya dapat membagi perasaan baik dalam kegembiraan dan
terutama dalam keadaan susah.
o Upaya penanggulangan penyalahgunaa obat/narkotika hendaknya dilakukan secara
terpadu dan komprehensif, dijalankan berkesinambungan antara upaya prevensi,terapi dan
rehabilitasi yang merupakan azas manunggal, artinya ketiga upaya tersebut hendaknya merupakan
kesatuan dan satu sistem dan bukannya berdiri sendiri terpisah satu dengan lainnya. Oleh karena itu
diperlukan kesatuan bahasa dan gerak yang konsisten dan kontinyu.
Kepustakaan
Dadang Hawari, “Social and Psychiatric Aspects of Alcoholism and Drug Dependence”, Jiwa,
majalah Psikiatri, Th.IV/3/1971.
Dadang Hawari, “The Role of Education and Mass Media in Dealing With Drug Abuse in
Indonesia”, Asean Travelling Seminar on Problems Associated with the use of Drugs, Manila,
Bangkok, Kuala Lumpur, Penang, Jakarta, 1983.
Dadang Hawari, “2nd Pan Pacific Conference on Drugs and Alcohol, Hongkong, 1983.
Erwin Widjono, “Drug Dependence in Indonesia”, Jiwa, majalah Psikiatri, Th.VIII/2/1975.
Erwin Widjono, “National Approach Toward the Prevention of the Non-Medical Use of Drugs”,
International Seminar on the Non-Medical Use of Drugs, Jakarta, 1977.
H. Hadiman, SH. “Menguak Misteri Maraknya Narkoba di Indonesia, Th. 1999.
Kolb, L.C., Brodie,H.K.H., “Personality Disorder/Drug Dependence “, Modern Clinical Psychiatry,
10th Ed.W.B.Saunders Co., 1982.
Kusumanto Setyonegoro, “Drug Abuse in Indonesia”, International Seminar on the Non-Medical
Use of Drugs, Jakarta, 1977.
Kusumanto Setyonegoro,“Penyalahgunaan Obat di Kalangan
"Di dunia peredaran gelap Napza, Indonesia dianggap sebagai `soft country` karena lemahnya penerapan peratur
perundang-undangan," katanya pada seminar "Peranserta masyarakat dan institusi pemerintah dalam
penanggulangan penyalahgunaan Napza", di Jakarta, Selasa.
Menurut Menkes, dari segi kepentingan mikro yaitu keluarga, penyalahgunaan Napza merupakan ancaman nasio
dan dari segi kepentingan makro, kebiasaan buruk ini merupakan ancaman bagi ketahanan nasional.
Bila ditinjau dari segi jenisnya, ketergantungan Napza narkoba merupakan penyakit mental dan perilaku yang da
mengganggu kondisi kejiwaan manusia serta akan mengganggu lingkungan sosial, katanya. Sementara itu Sekje
Depkes Sjafii Achmad mengatakan, penyalahgunaan Napza di Indonesia semakin merajalela dan memprihatinka
sehingga perlu dukungan berbagai pihak agar keadaan tersebut tidak semakin memburuk.
Untuk itu sejak tahun 2000, Depkes telah mengumpulkan data mengenai penyalahgunaan narkoba dari berbagai
institusi pelayanan kesehatan, melalui Komite Napza Depkes.
Dengan demikian data dan informasi yang dihasilkannya dapat berguna bagi berbagai pihak dalam melaksanaka
kegiatan penanggulangan penyalahgunaan Napza di Indonesia.
Menurut Sjafii, zat narkoba yang disalahgunakan dalam 3 tahun terakhir ini, ternyata persentase terbanyak adala
penggunaan golongan opiat.
Ditinjau dari cara penggunaan zat yang disalahgunakan, telah terjadi peningkatan persentase penggunaan jarum
suntik dalam waktu tiga tahun terakhir ini, dari 22,2 persen (tahun 2001) meningkat menjadi 46,9 persen (2002)
61,8 persen (2003).
Sedangkan bila dilihat menurut golongan umur pada kelompok usia 25 - 29 tahun telah terjadi peningkatan
persentase yaitu 23,9 persen pada 2001, meningkat jadi 26,2 persen (2002) dan 29,4 persen (2003). [Tma, Ant]
"KARENA ITULAH KAMI DARI GERAKAN PEMUDA (GARDA) BANGSA KALSEL, TERGUGAH UNTUK
MENGGELAR SEMINAR TENTANG BAHAYA NARKOBA, TERUTAMA BERKAITAN DENGAN RENTANNYA
PELAJAR SELAKU GENERASI PENERUS BANGSA," UNGKAP KETUA DKW GARDA BANGSA M
ROSEHAN NB KEPADA SEJUMLAH WARTAWAN RABU (15/11).
NAMUN, SEMINAR YANG DIGELAR ORGANISASI KEPEMUDAAN YANG BERNAUNG DI BAWAH BENDERA
PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB) INI, BUKAN HANYA MENAMPILKAN PEMBICARA ATAU AHLI
NARKOBA, NAMUN JUGA MENGHADIRKAN BEKAS PECANDU NARKOBA.
"KITA COBA TEROBOS DENGAN MENGHADIRKAN BANGUN SUGITO ATAU GITO ROLIES YANG DULU
SEBAGAI PECANDU BERAT NARKOBA, NAMUN SEKARANG SUDAH MENJADI MUBALLIGH," UJARNYA.
SEMINAR SEHARI YANG AKAN DIGELAR PADA RABU (22/11) MENDATANG, SELAIN MENGHADIRKAN
GITO ROLIES YANG MEMAPARKAN KISAH DIRNYA SAAT BERGELUT DENGAN NARKOBA, JUGA AKAN
MENGHADIRKAN SEORANG PAKAR KESEHATAN, PAKAR HUKUM SERTA AGAMA.
INI DIMAKSUDKAN, SELAIN MENGETAHUI DARI SEGI KESEHATAN, PARA SISWA JUGA AKAN
MENGETAHUI DARI SEGI HUKUM, SERTA DITINJAU DARI SEGI AGAMA. "TIDAK ADA SALAHNYA JIKA
KITA BERHARAP, TINGGINYA PENGGUNA NARKOBA DI KALSEL YANG MENDUDUKI RANGKING TIGA DI
INDONESIA, BISA DITEKAN," UJAR NORSEHAN.
MENURUTNYA, PARA PELAJAR CUKUP POTENSIAL DIJADIKAN PASAR NARKOBA, UNTUK ITU DENGAN
MEMBENTENGI PARA PELAJAR DENGAN PENGETAHUAN, KESEHATAN, HUKUM DAN AGAMA, DIA
BERHARAP PARA PENGEDAR AKAN MATI SENDIRI, SEBAB TIDAK ADA LAGI YANG MENGKONSUMSI.
"ANTUSIAS PARA PELAJAR DAN SEKOLAH UNTUK MENGIKUTI SEMINAR DI AULA DEPDIKNAS NANTI
CUKUP TINGGI, NAMUN KARENA KETERBATASAN TEMPAT, KITA HANYA BISA MENGUNDANG 40
SLTP/SLTA DI BANJARMASIN," UJAR KETUA PELAKSANA JUMANSYAH.GBX