Anda di halaman 1dari 14

1.

Teori Dasar Injeksi Air

Pada reservoar minyak, tekanan reservoar akan berkurang selama produksi


berlangsung. Penurunan tekanan reservoar di bawah tekanan jenuh (bubble point)
dari hidrokarbon mengakibatkan keluarnya gas (komponen hidrokarbon yang
ringan) dari minyak. Gelembung gas akan membentuk fasa yang
berkesinambungan dan mengalir ke arah sumur-sumur produksi, bila saturasinya
melampaui harga saturasi equilibrium. Terproduksinya gas ini akan mengurangi
energi yang tersedia secara alami untuk memproduksikan minyak, sehingga
jumlah minyak yang dapat diproduksikan (recovery) secara alami dapat berkurang
pula. Secara umum dapat dikatakan bahwa penurunan tekanan yang tidak
dikontrol memberi kontribusi terhadap pengurangan recovery.
Penurunan tekanan reservoar dapat diperlambat secara alami bila
penyerapan reservoar oleh sumur-sumur produksi diimbangi oleh perembesan air
kedalam reservoar dari aquifer. Air ini berperan sebagai pengisi atau pengganti
minyak yang terproduksi, selain itu dapat berperan sebagai media pendesak.
Produksi minyak yang mengandalkan tenaga pengembangan dari gas yang keluar
dari larutan (depletion drive). Hal inilah yang menyebabkan orang melakukan
proses penginjeksian air (waterflooding) dari permukaan bumi ke dalam reservoar
minyak.
Waterflooding merupakan metode tahap kedua, dimana air diinjeksikan ke
dalam reservoar untuk mendapatkan perolehan minyak agar dapat bergerak dari
reservoar menuju sumur produksi setelah reservoar tersebut mendekati batas
ekonomis produktif melalui perolehan tahap pertama. Penginjeksian air yang
dimaksud disini merupakan penambahan energi kedalam reservoar melalui sumur-
sumur injeksi. Air akan mendesak minyak mengikuti jalur-jalur arus (stream line)
yang dimulai sumur dari injeksi dan berakhir pada sumur produksi.
Gambar 1.1. menunjukkan kedudukan partikel air A, B, C, D dan E
yang bergerak pada waktu bersamaan di sekeliling lubang sumur, melalui jalur
arus 1, 2, 3, 4 dan 5. Jalur-jalur ini merupakan seperempat bagian dari pola
injeksi-produksi lima titik (five spot). Gambar ini memperlihatkan pula kedudukan
partikel air yang membentuk batas air-minyak sebelum (a) dan sesudah (b) tembus
air (water breakthrough) pada sumur produksi. Fraksi air yang turut terproduksi
ini semakin lama semakin besar, sehingga suatu saat produksi sumur tidak
ekonomis lagi. Untuk mengetahui berapa besar recovery yang dapat diproduksi,
dimana tahap secondary recovery ini merupakan kelanjutan dari tahap primer. Hal
ini perlu diperkirakan sebelum proses penginjeksian air dilakukan.

Gambar 1.1.
Kedudukan air sepanjang jalur arus sebelum dan sesudah
tembus air pada sumur produksi.
Sebelum dilakukan proses waterflooding maka diperlukan studi
pendahuluan yang meliputi:
1. Perolehan data-data
A. Sifat fisik batuan reservoar :
 Permeabilitas rata-rata dalam berbagai luasan reservoar.
 Data porositas dalam berbagai luasan reservoar.
 Heterogenitas reservoar mengenai perubahan permeabilitas dalam setiap
ketebalan.

B. Sifat fisik fluida :


Meliputi: gravitasi, faktor volume formasi dan viskositas sebagai fungsi
saturasi fluida.
C. Distribusi saturasi air.
Distribusi saturasi sesudah dan sebelum injeksi.
D. Model Geologi.
Diperlukan pengetahuan tentang model geologi yang dapat diterapkannya
waterflooding dengan tepat, pengetahuan meliputi stratigrafi dan struktur.
E. Sejarah produksi dan tekanan.
Identifikasi mengenai mekanisme pendorong selama produksi tahap awal
seperti: water drive, gas cap drive, solution gas drive, segregation drive
atau combination drive. Perkiraan minyak yang tersisa setelah produksi
awal serta distribusi tekanan dalam reservoar.
F. Air untuk injeksi.
Air untuk injeksi harus memenuhi syarat-syarat:
- Tersedia dalam jumlah yang cukup selama masa injeksi.
- Tidak mengandung padatan-padatan yang tidak dapat larut.
- Secara kimiawi stabil dan tidak mudah bereaksi dengan elemen-elemen
yang terdapat dalam sistem injeksi dan reservoar.
2. Simulasi reservoar.
Simulasi dibuat berdasarkan data-data diatas, simulasi dapat dibuat dalam
sistem 1 dimensi, 2 dimensi dan 2 dimensi dengan teknik numerik.
3. Laboratorium.
Diadakan penelitian laboratorium untuk mencari kecocokkan antara proses
waterflooding dengan sifat batuan dan fluidanya.
4. Pilot project.
Mencoba mengaplikasikan ke dalam permasalahan di lapangan. Ada dua jenis
pola injeksi yang umum digunakan, yaitu pola five-spot dan single injection.
Kedua pola ini dapat memaksimalkan jumlah migrasi minyak.
5. Monitoring.
Melihat dan mengevaluasi hasil yang diperoleh dari lapangan. Untuk
mengamati apakah tidak terjadi aliran minyak yang keluar dari pilot area.
6. Resimulasi.
Hasil yang diperoleh dari lapangan dibandingkan dengan simulasi reservoar
yang dibuat, kemudian mengadakan penyesuaian antara kondisi lapangan
dengan simulasi reservoar.
7. Evaluasi ekonomi.
Meliputi: Perkiraan biaya yang dibutuhkan, perhitungan-perhitungan dan
presentasi.
Sedangkan penilaian layak tidaknya suatu proyek waterflooding
memerlukan keterangan mengenai:
 Tahap Pendahuluan : perkiraan recovery menyeluruh.
 Tahap lanjut : perkiraan laju produksi terhadap waktu.
Perkiraan recovery ini diperlukan untuk memperoleh gambaran kasar
apakah proses injeksi air layak untuk dilaksanakan atau tidak. Persamaan empiris
yang dapat digunakan adalah :
 Guthrie-Grennberger
ER = 0,2719 log K + 0,25569 Sw + 0,1355 log μo - 1,538 ф - 0,0003488 h
+ 0,11403..........................................................................................(5-49)
 API

  1  S w  
0 , 0422 0 , 0770
 K    Wi 
E R  54,898     Sw
 0 ,1903
 Pi  Pa   0,2159
 Boi    oi 
.....(5-50)
dimana:
Sw = saturasi air, fraksi
K = permeabilitas, mD
 = porositas, fraksi
H = tebal formasi
μo = viskositas minyak,cp
μw = viskositas air, cp
Bo = faktor volume formasi minyak, STB/BBL
Pi = tekanan reservoar mula-mula, psia
Pa = tekanan reservoar saat ditinggalkan, psia
Secara volumetris dapat pula ditentukan jumlah minyak yang dapat
dihasilkan oleh penginjeksian air yaitu berdasarkan persamaan:

 S op S or 

N pf  7758 Vsw  Et    ..............................................................

 Bop Bor  
(5-51)
dimana:
Npf = kumulatif produksi minyak, STB
Vsw = gross swept volume, acre-ft
Sop = saturasi minyak pada saat dimulai injeksi, fraksi
Sor = saturasi minyak pada saat akhir injeksi, fraksi
Bop = faktor volume minyak pada awal injeksi, BBL/STB
Bor = faktor volume minyak pada akhir injeksi, BBL/STB
Et = effisiensi total penginjeksian, fraksi

Gross swept volume (Vsw) merupakan volume minyak yang dipengaruhi


oleh letak dari sumur injeksi-produksi yang harganya belum tentu sama dengan
volume reservoar keseluruhannya. Faktor efisiensi (E t) dipengaruhi sifat
homogenitas reservoar (variasi harga permeabilitas dalam arah vertikal) dan pola
susunan injeksi-produksi.
Studi kelayakan mengenai prospek penginjeksian air membutuhkan
perkiraan mengenai hubungan kumulatif produksi maupun laju produksi terhadap
waktu (ulah kerja atau performance). Pada dasarnya ulah kerja suatu operasi
injeksi air tergantung dari:
1. Konsep pendesakan fluida dalam Reservoar (displacement concept).
2. Keseragaman media berpori.
3. Geometri dari susunan sumur injeksi-produksi.
4. Laju Injeksi
5. Perbandingan Mobilitas
Pendekatan dari penyelesaian persoalan untuk menentukan performance
tergantung dari konsep pendesakan fluida yang digunakan, apakah konsep
pendesakan torak (piston like displacement) atau konsep desaturasi.
Perubahan kondisi pengendapan sedimen akan mempengaruhi derajat
keseragaman batuan berpori untuk meloloskan fluida (permeabilitas dari batuan),
terutama ke arah vertikal. Sifat keseragaman permeabilitas akan mempengaruhi
model reservoar yang dipelajari, apakah reservoar terdiri dari lapisan tunggal atau
berlapis-lapis.
Susunan atau pola sumur injeksi-produksi akan mempengaruhi geometri
model yang digunakan untuk merepresentasikan penginjeksian reservoar yang
akan dipelajari. Geometri model ini dapat berbentuk 1- dimensi (linear) atau
berpola sumur injeksi-produksi tertentu, seperti pola lima titik (five spot)

1.1. Konsep Pendesakan Fluida


Mekanisme pendesakan minyak oleh air pada prinsipnya adalah bahwa
air bergerak dari daerah saturasi air yang tinggi ke daerah saturasi air yang rendah.
Karena itu air akan mendesak minyak dengan mengubah daerah yang telah
didesaknya menjadi bersaturasi air lebih tinggi. Hal ini bertujuan agar pada titik
injeksi saturasi air didalam reservoar bernilai tinggi dimana dengan kata lain
apabila saturasi air tinggi berarti volume pori reservoar yang terisi oleh air juga
tinggi karena antara saturasi air dengan volume pori yang diisi oleh air memiliki
hubungan yang berbanding lurus. Sebaliknya pendesakan minyak oleh air dengan
penginjeksian yang sifatnya kontiniyu akan memperkecil saturasi minyak yang
ada di belakang bidang batas air-minyak atau front, tepatnya pada titik injeksinya.
Kondisi ini memang diharapkan karena mengupayakan agar minyak sisa yang
berada di titik injeksi terus berkurang dan mengalir menuju sumur produksi.
Air mendesak minyak di dalam media pori dalam proses penginjeksian
air. Di dalam segi pendesakan ini dikenal dua konsep, yaitu pendesakan torak dan
pendesakan desaturasi. Pendesakan desaturasi menganggap bahwa saturasi fluida
pendesak (dalam hal ini adalah air) di daerah zona minyak yang telah didesak
bervariasi mulai dari (1-Sor) hingga Swf. Harga saturasi sebesar (1-Sor) merupakan
saturasi air pada titik injeksi atau titik masuk, sedangkan harga saturasi sebesar
(Sw = Swf) merupakan saturasi air pada batas antara air dengan minyak. Gambar
1.2. memperlihatkan profil ideal dari saturasi air berdasarkan konsep desaturasi.
Dibelakang front saturasi minyak berkisar dari saturasi minyak residual
(Sor) pada titik injeksi (x = o) hingga (S o = 1 – Swf) pada front. Ini berarti masih
ada minyak yang mengalir bersama-sama dengan air di belakang front. Sebaliknya
hanya minyak yang mengalir di muka front apabila (Sw = Swc) yang tidak lain
adalah saturasi ekuilibrium dari air.

Gambar 1.2. Profil Saturasi Air Berdasarkan Konsep Desaturasi

Berbeda dengan konsep desaturasi, maka pendesakan torak menganggap


bahwa dibelakang front hanya fluida pendesak (air) yang mengalir, sedangkan
dimuka front hanya fluida yang didesak (minyak) yang mengalir. Gambar 1.3.
memperlihatkan profil saturasi yang ideal dari pendesakan torak.
Gambar 1.3. Profil Saturasi Air Berdasarkan Konsep Pendesakan Torak

Perbedaan anggapan akan aliran di belakang front dari kedua konsep


pendesakan itu membutuhkan kelengkapan data permeabilitas yang berbeda.
Penyelesaian persoalan menggunakan konsep desaturasi membutuhkan data
permeabilitas relatif disamping permeabilitas absolut. Sebaliknya konsep
pendesakan torak hanya membutuhkan harga permeabilitas air dan minyak
masing-masing pada harga Sor dan Swc

1.2. Keseragaman Media Pori

Salah satu faktor yang mempengaruhi proses pendesakan minyak oleh air
tergantung pada derajat keseragaman permeabilitas baik dalam arah horizontal
maupun arah vertikal. Ketidakseragaman ini menyebabkan daerah-daerah yang
memiliki permeabilitas rendah dilewati oleh air bahkan dapat menyebabkan
tembus air di sumur produksi yang lebih dini.
Idealisasi model prototipe dati reservoar pada umumnya dianggap
mempunyai ketidakseragaman dalam arah vertikal, sehingga reservoar terdiri dari
lapisan-lapisan yang mempunyai permeabilitas berbeda-beda.
Pendekatan dari penyelesaian persoalan performance dari reservoar yang
berlapis-lapis ini didasarkan pada penyusunan kembali lapisan yang mempunyai
harga permeabilitas berbeda-beda dengan bantuan metoda statistik. Ini berarti
bahwa kedudukan lapisa menurut model mungkin tidak sama dengan urut-urutan
lapisan menurut idealisasi reservoarnya, seperti diperlihatkan oleh gambar 1.4.
Gambar 1.4. Contoh Susunan Lapisa Berdasarkan Model (a) dan
Idealisasi Reservoar (b)
1.4. Pola Sumur Injeksi – Produksi
Pola sumur – sumur injeksi-produksi dikategorisasikan sesuai dengan
proyeksi di permukaan dari titk sumur menembus reservoar. Susunan sumur
injeksi-produksi dapat merupakan pola teratur dan titak teratur. Keteraturan pola
injeksi dan produksi dipengruhi oleh keteraturan dalam kedudukan sumur yang
dibor. Penempatan sumur injeksi relatif terhadap sumur produksi dipengaruhi oleh
arah permeabilitas utama.
Lingkungan terjadinya sedimentasi sifat isotropik dari batuan. Lingkungan
pengendapan channel menyebabkan penyusunan butiran endapan menghasilkan
permeabilitas yang dominan pada suatu arah tertentu (permeabilitas utama),
walaupun formasi itu dapat dianggap homogen. Mengingat hal itu, sebagai contoh
apabila formasi memiliki permeabilitas utama dalam arah utara-selatan, maka
penempatan sumur injeksi-produksi hendaknya tidak berarah utara-selatan. Hal ini
dimaksudkan agar tidak terjadi tembus air yang terlalu dini.
Selain itu, menurut M.Latil pemilihan pola sumur injeksi-produksi sangat
bergantung pada mekanisme pendorong reservoar serta volume hidrokarbon dan
kemiringan lapisan batuan yang akan didesak oleh air. Dari pertimbangan diatas
maka tata letak sumur injeksi-produksi dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:

A. Central Edge dan Peripheral Flooding (Pola tidak teratur)


Sumur-sumur injeksi diletakkan berkelompok pada suatu posisi dari
reservoar (pada bagian kaki atau puncak dari reservoar). Cara ini dapat diterapkan
pada reservoar dengan struktur antiklin yang berasosiasi dengan lapisan aquifer,
dimana sumur injeksi diletakkan berkelompok mengelilingi reservoar. Disamping
itu dapat pula diterapkan pada reservoar yang berbentuk monoklin (berasosiasi
dengan aquifer dan gas cap) dimana sumur injeksinya diletakkan berkelompok
dalam satu atau lebih garis lokasi tertentu yang mengarah pada dasar dari
reservoar tersebut. Lebih lanjut apabila dilihat dari tempat air dimana air
diinjeksikan, maka dapat diklasifikasikan menjadi tiga tempat injeksi, yaitu:
 Crestal Water Injection
Air yang diinjeksikan ke dalam reservoar melalui arah atas (puncak), pada
umumnya dilakukan pada batas gas-minyak.
 Edge Water Injection
Air diinjeksikan ke dalam reservoar melalui zona air yang terletak
disamping zona minyak.
 Peripheral atau Bottom Water Injection
Air diinjeksikan ke dalam aquifer yang terletak dibawah zona minyak,
kemudian mendesak minyak ke arah vertikal. Di sisni peranan gravitasi
dan perbedaan massa jenis antara minyak dengan air dapat membantu
proses pendesakan

Gambar 1.5. Pola Sumur Injeksi-Produksi tidak teratur


B. Pattern Flooding (Pola Teratur)

Injeksi dengan pola yang teratur dibedakan atas normal pattern flooding
dimana sumur-sumur produksi dan inverted pattern flooding yaitu sumur-sumur
injeksi dikelilingi oleh sumur-sumur produksi.
Pada umumnya injeksi berpola teratur diterapkan pada reservoar yang
mempunyai kemiringan (dip) kecil dengan daerah permukaan reservoar yang
cukup luas. Untuk mendapatkan effisiensi penyapuan yang merata, maka sumur-
sumur injeksi ditempatkan diantara sumur-sumur produksi. Jenis-jenis pola sumur
injeksi antara lain adalah: direct line drive, staggered line drive, five-spot, seven-
spot, nine spot dan lain-lain

Gambar 1.6. Pola Sumur Injeksi-Produksi Pola teratur.


Gambar 1.6. Pola Sumur Injeksi-Produksi Pola teratur (lanjutan).

Fluida diinjeksikan ke reservoar dari sumur-sumur injeksi kemudian


menyebar ke sumur-sumur produksi. Dalam pendesakannya ternyata tidak semua
bagian dari reservoar dapat dilalui oleh fluida injeksi. Bagian reservoar arah
lateral yang tersapu oleh air terletak dibelakang front pada suatu pola sumur
injeksi-produksi disebut swept area. Pola sumur ini akan berpengaruh terhadap
effisiensi penyapuan (swept efficiency) dari suatu area reservoar. Bentuk dan
besarnya swept area dipengaruhi oleh tingkat keseragaman batuan reservoar,
geometri reservoar (pola sumur injeksi-produksi), perbandingan mobilitas dan
jenis pendesakan yang dilakukan.
Berkenaan dengan swept area, efisiensi penyapuan pola adalah
perbandingan antara swept area dengan luas pola sumur injeksi-produksi yang
digunakan sampai dengan tembus air. Perubahan yang terdapat dalam reservoar
adalah perubahan besarnya swept area. Bila tembus air terjadi, selain dari
perubahan swept area yang mempengaruhi besarnya efisiensi penyapuan pola,
maka efisiensi pendesakannya akan semakin membesar sejalan dengan
berkurangnya saturasi minyak yang ada.
Efisiensi penyapuan pola dianggap bahwa yang sedang mengalami proses
pendesakan tersebut mempunyai sifat yang seragam ke arah vertikal.
Keseragaman invasi air ke arah vertikal tersebut diukur dengan efisiensi
penyapuan vertikal atau juga disebut efisiensi invasi. Efisiensi invasi (Ei)
didefinisikan sebagao besarnya perbandingan antara volume hidrokarbon dalam
pori-pori yang telah didesak fluida terhadap volume hidrokarbon yang masih
tertinggal dibelakang front.
Luas daerah yang terkena pengaruh pendesakan akan terus berkembang
setelah front mencapai sumur produksi. Untuk menyatakan fraksi daerah yang
telah tersapu oleh fluida pendesak pada suatu pola sumur injeksi-produksi
dinyatakan sebagai efisiensi penyapuan pola (EP) yang didefinisikan sebagai
besarnya perbandingan antara luas daerah hidrokarbon yang telah tersapu di
belakang front dengan luas daerah hidrokarbon seluruh reservoar atau dengan luas
daerah hidrokarbon yang terdapat pada suatu pola.
Ekuivalensi terhadap produk penyapuan pola dan invasi vertikal adalah
penyapuan volumetrik. Efisiensi penyapuan volumetrik ini dinyatakan sebagai:
EV  EP  Ei

Dimana:
Ev = Efisiensi penyapuan volumetrik
EP = Efisiensi penyapuan
Ei = Efisiensi invasi

Anda mungkin juga menyukai