Anda di halaman 1dari 40

BAB IV

Budaya Nasional

129
B
udaya dan masyarakat, seperti telah diuraikan pada bab sebelumnya,
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, bak dua sisi dari satu mata
uang. Selama disitu ada masyarakat pasti disitu ada budaya, demikian
sebaliknya selama disitu ada budaya disitu pula ada masyarakat. F. Landa Jocano,
seorang anthropolog dari Filipina, mengungkapkannya dengan bahasa sedikit berbeda,
“sekumpulan orang tidak bisa disebut sebagai masyarakat jika tidak memiliki budaya.
Sebaliknya, budaya tidak akan pernah ada jika tidak ada masyarakat”.
Karena budaya dan masyarakat merupakan dua buah sisi yang tidak terpisahkan
maka pemahaman yang benar terhadap salah satu sisi juga akan membantu
pemahaman sisi yang lain dengan benar. Dalam hal ini pemahaman yang benar
terhadap masyarakat akan membantu memahami budaya secara benar pula.
Sebaliknya salah dalam memahami masyarakat dikhawatirkan akan salah pula dalam
memahami budayanya. Atau dengan kata lain masyarakat merupakan kata kunci untuk
memahami budaya.
Yang barangkali perlu ekstra hati-hati dalam memahami masyarakat adalah
masalah kompleksitas masyarakat itu sendiri mengingat terbentuknya sebuah
masyarakat karena situasi atau alasan-alasan yang berbeda. Sebagai contoh,
sekelomppok orang bisa disebut sebagai masyarakat karena mereka tinggal dalam satu
wilayah geografis tertentu. Demikian juga sekelompok orang bisa disebut sebagai
masyarakat karena mereka memiliki kesamaan agama, etnis, pekerjaan, status sosial
atau alasan-alasan lain yang relevan. Oleh karenanya mengidentifikasikan masyarakat
dengan jelas merupakan suatu keharusan jika hendak memahami budaya dengan
benar. Selanjutnya, jika kelompok-kelompok masyarakat telah teridentifikasi,
pertanyaannya kemudian adalah masyarakat yang mana yang hendak dijadikan
landasan (locus of culture) untuk memahami budaya, apakah masyarakat yang
terbentuk karena alasan geografis, kesamaan etnis atau dasar-dasar yang lain.
Bab ini tidak bermaksud mendiskusikan kompleksitas sebuah masyarakat tetapi
akan menjadikan masyarakat sebagai landasan untuk mendiskusikan budaya. Lebih
spesifik lagi, budaya yang akan didiskusikan pada bab ini adalah budaya yang terbentuk
dalam sebuah masyarakat yang dibatasi oleh wilayah geografis (khususnya wilayah

129
negara) yang biasa disebut sebagai budaya nasional. Meski bahasan difokuskan pada
budaya nasional, sesungguhnya tidak bisa dihindari untuk tidak mendiskusikan budaya-
budaya yang lain karena seperti dijelaskan pada bab III, didalam budaya nasional
berkembang pula sub-sub budaya seperti budaya etnik, budaya gender, dan budaya
kerja. Oleh karenanya bahasan tentang budaya nasional sesungguhnya merupakan
pijakan untuk memahami aspek-aspek kemasyarakatan dan sekaligus aspek cultural
yang terjadi didalam wilayah negara termasuk didalamnya aspek organisasi.
Topik bahasan pada bab ini, dengan demikian adalah sebagai berikut. Pertama,
uraian tentang konsep budaya nasional. Pokok bahasan ini diharapkan dapat membantu
para pembaca memahami karakteristik budaya dalam sebuah wilayah negara (budaya
nasional). Kedua, membahas dimensi-dimensi budaya nasional. Topik ini bertujuan
untuk memahami unsur-unsur pembentuk budaya nasional agar selanjutnya bisa
membedakan budaya di suatu wilayah negara dengan budaya di negara lain dan ketiga,
membahas keterkaitan antara budaya nasional dengan sub-sub budaya yang lebih
mikro khususnya budaya organisasi. Selain itu bab ini juga akan mendiskusikan kritik
terhadap konsep budaya nasional.

APA ITU BUDAYA NASIONAL?

Dalam lingkup kajian budaya, istilah budaya nasional bisa dikatakan sebagai istilah yang
relatif baru, yakni baru muncul sekitar tahun 1970an. Sebelumnya kajian budaya yang
dilakukan para anthropolog secara tradisional lebih terfokus pada masyarakat bukan
dalam pengertian negara, tetapi dalam pengertian bangsa (nation) dan atau etnik 1.
Konsep budaya nasional mulai menjadi perhatian serius para anthropolog, teoritisi
organisasi dan para ahli manajemen semenjak bisnis lintas negara berkembang begitu
pesat. Sebagaimana telah kita ketahui bersama, sejak awal tahun 1970an pelaku bisnis
lintas negara atau yang biasa dikenal sebagai perusahaan multinasional (MNC) tidak
lagi sekedar mengeksport produknya, tidak pula sekedar memiliki saham perusahaan di
luar negeri melalui Joint Venture atau aliansi strategis tetapi juga melakukan investasi
langsung (direct foreign invetment) ke negara lain. Dalam bahasa bisnis, yang dimaksud
dengan investasi langsung adalah pendirian perusahaan di negara lain (biasa disebut
anak perusahaan) oleh sebuah perusahaan yang berlokasi di negara berbeda (biasa

130
disebut sebagai perusahaan induk). Secara manajerial, salah satu konsekuensi
dilakukannya investasi langsung adalah perusahaan induk (parent company) memiliki
otoritas untuk mengelola seluruh sumberdaya yang ditanamkannya (istilah umumnya
adalah perusahaan induk melakukan active management), termasuk didalamnya
menetapkan strategi bisnis, menyusun perencanaan, pengendalian, pengambilan
keputusan manajerial dan semua pengelolaan sehari-hari kegiatan perusahaan2.
Meski investasi langsung bertujuan agar pengelolaan sumber daya lebih efisien
dan dengan demikian memperoleh laba lebih baik, sayangnya tidak semua perusahaan
multinasional berhasil seperti harapan semula karena dalam praktik ternyata banyak
perusahaan multinasional yang gagal. Penyebab kegagalan perusahaan multinasional
mengoperasikan anak perusahaannya di luar negeri salah satunya berkaitan dengan
persoalan manajemen. Pada umumnya perusahaan induk, karena otoritasnya,
disamping menempatkan orang-orangnya di perusahaan anak juga membawa serta
pola manajemen perusahaan induk. Asumsi yang biasa digunakan untuk membenarkan
praktik ini adalah orang-orang tersebut telah berpengalaman dan pola manajemennya
telah berhasil diterapkan dengan baik di perusahaan induk. Namun yang sering terjadi
praktik seperti ini justru menyebabkan perusahaan anak tidak bisa memenuhi tujuan-
tujuannya. Penelusuran lebih jauh menunjukkan bahwa kegagalan ini bukan karena
konsep manajemennya keliru tetapi lebih disebabkan karena pola manajemen yang
telah diterapkan di perusahaan induk tidak bisa sepenuhnya diterapkan di negara lain
(perusahaan anak). Atau dengan kata lain, praktik manajemen di satu negara
sesungguhnya tidak selalu kompatibel dengan praktik manajemen di negara lain meski
kegiatan bisnis dan pengelolanya sama. Inkompatibilitas ini terjadi utamanya karena
adanya perbedaan cara pandang, pola pikir dan budaya masyarakat pada masing-
masing negara yang ujung-ujungnya mempengaruhi pola atau gaya manajemen.
Menyadari akan banyaknya perusahaan multi nasional yang gagal menjalankan
bisnisnya di negara lain dan kegagalan tersebut karena persoalan manajemen, para
teoritisi organisasi dan manajemen lantas melakukan kajian lebih lanjut. Dari kajian-
kajian itulah kemudian disimpulkan bahwa teori organisasi dan atau manajemen yang
dikembangkan di satu negara belum tentu bisa diaplikasikan di negara lain utamanya
karena pengembangan teori tersebut lebih banyak didasarkan pada pengalaman empirik
di negara-negara tertentu. Oleh karenanya teori tersebut sesungguhnya lebih tepat

131
diterapkan di negara-negara dimana teori tersebut dikembangkan. Kesimpulan ini
misalnya didukung oleh Erez and Early 3 yang mengatakan bahwa 1255 dari 1699 artikel
yang dimuat 13 jurnal ilmiah berbahasa Inggris yang terbit antara tahun 1982 – 1989
ditulis oleh orang Amerika. Sementara itu Hofstede mengatakan bahwa hampir 75%
studi prilaku organisasi dilakukan di Amerika, oleh orang Amerika dengan sample juga
orang Amerika.4 Oleh karena itu Hosftede mengajukan pertanyaan “Do American theory
apply abroad?” Pertanyaan ini muncul karena dalam pandangan Hofstede teori-teori
tersebut sesungguhnya lebih cocok diterapkan di Amerika dan atau negara-negara lain
yang memiliki karakteristik (latar belakang budaya) yang sama dengan Amerika dan
boleh jadi tidak cocok untuk diterapkan di negara-negara lain yang mempunyai
karakteristik berbeda. Dengan demikian budaya (nasional) merupakan variabel kunci
yang menjadikan praktik manajemen di masing-masing negara berbeda.
Sekedar untuk memberikan ilustrasi yang menggambarkan adanya perbedaan
budaya lintas negara misalnya dalam hal penulisan buku. Buku-buku teks yang ditulis
orang-orang Amerika (misalnya buku prilaku organisasi) cenderung dimulai dengan
membahas prilaku individual dan diikuti bahasan tentang prilaku kelompok, sementara
buku yang sama yang ditulis orang-orang Asia cenderung dimulai dengan prilaku
kelompok dan diikuti bahasan prilaku individual. Contoh ini menegaskan adanya
perbedaan kultural antara orang Amerika yang cenderung berprilaku individual dengan
orang-orang Asia yang cenderung berprilaku kelompok. Contoh lain misalnya dalam hal
penggunaan nama keluarga. Bagi masyarakat Barat nama keluarga selalu diletakkan di
belakang setelah namanya sendiri tetapi bagi masyarakat Jepang mungkin karena
keluarga dianggap datang lebih dahulu sebelum dirinya maka nama keluarga diletakkan
didepan sebelum namanya dicantumkan. Demikian juga ketika kita memberi alamat
misalnya kepada sopir taksi di Tokyo atau Beijing, pertama yang disebut adalah nama
kota atau distriknya, diikuti oleh nama jalan, nama gedung yang dituju dan terakhir
nomer apartemen atau alamat yang dikehendaki. 5 Contoh-contoh ini sekali lagi memberi
gambaran tentang perbedaan cara pandang dan pola pikir sekelompok masyarakat
yang tinggal di satu negara dengan negara lain. Pada gilirannya perbedaan tersebut
akan mempengaruhi perbedaan prilaku dalam melakukan aktifitas sehari-hari termasuk
misalnya dalam mengelola organisasi6.

132
Dari kenyataan itulah para teoritisi organisasi dan manajemen mengembangkan
teori-teori baru yang diharapkan bisa menutup kelemahan-kelemahan teori yang
berkembang pada periode sebelumnya dengan memasukkan konsep budaya (nasional)
sebagai variabel moderasi maupun sebagai variabel intervensi yang memungkinkan
teori-teori organisasi dan manajemen bisa diaplikasikan pada masyarakat yang memiliki
latar belakang kultural berbeda. Dari situ pula konsep budaya nasional mulai mendapat
perhatian serius.
Untuk bisa memahami konsep budaya nasional lebih mendalam, tampaknya kita
tidak bisa lepas dari hasil karya Geertz Hofstede yang dituangkan dalam sebuah buku
berjudul “culture consequences: International differences in work related values” yang
diterbitkan pada tahun 1980 dan buku dan atau artikel lain sesudahnya. Hofstede boleh
jadi bukan orang pertama yang menggunakan istilah budaya nasional karena embrio
konsep tersebut sudah diperkenalkan oleh penulis sebelumnya seperti Haire, Ghiselli
and Porter7. Namun dalam berbagai literatur, khususnya yang mengkaji aspek
kehidupan dan kegiatan manusia lintas budaya (nasional), tulisan-tulisan Hofstede
hampir selalu menjadi rujukan utama dibandingkan misalnya dengan karya-karya
Trompenaars8 meski keduanya, baik Hofstede maupun Trompenaars sesungguhnya
melakukan kajian yang sama yakni budaya nasional. Dalam melakukan kajian tersebut,
keduanya juga menggunakan basis atau konsep dasar yang sama yakni konsep nilai
yang dikemukakan Kluckhohn and Strodtbeck yang tertuang dalam buku “Variation in
value orientation”. Namun sekali lagi konsep yang dikembangkan oleh Hofstede lebih
banyak digunakan termasuk uraian pada bab ini juga lebih banyak menggunakan
konsepnya Hofstede.
Hofstede memberikan pengertian budaya nasional sebagai budaya yang tumbuh
dan berkembang didalam masyarakat yang tinggal di sebuah wilayah (negara).
Pengertian ini menunjukkan bahwa sekelompok orang (masyarakat) yang tinggal di
sebuah negara dianggap memiliki kesamaan-kesamaan dan tujuan publik yang sama.
Oleh karenanya didalam masyarakat tersebut tumbuh dan berkembang sebuah budaya
yang disebut budaya nasional. Pertanyaannya adalah bagaimana budaya nasional
tersebut terbentuk? Atau apa komponennya? Untuk menjawab pertanyaan ini bisa
disimak misalnya pernyataan Schneider and Louis Barsoux yang mengatakan bahwa
terbentuknya sebuah negara memiliki latar belakang yang berbeda. Selain karena

133
alasan geografis, terbentuknya sebuah negara karena sejarah bangsa, faktor ekonomi,
kehidupan politik, iklim, bahasa, dan agama9. Oleh karenanya terbentuknya budaya
nasional bisa jadi karena alasan berbeda-beda pula. Hal ini bisa diartikan pula bahwa
berbagai faktor seperti etnis, ekonomi, politik, agama, iklim ataupun bahasa
sesungguhnya ikut memberi kontribusi dalam pembentukan budaya nasional. Akibatnya
tidak jarang komponen dari budaya nasional merupakan gabungan atau saling interaksi
antara faktor-faktor diatas.
Karena komponen budaya nasional sangat bervariasi, maka agar konsep budaya
nasional bisa dipahami dengan lebih baik, paling tidak ada dua asumsi yang patut
mendapat perhatian10. Pertama, ketika membandingkan budaya nasional yakni
membedakan budaya sebuah negara dengan budaya negara lain kita akan
mengabaikan keragaman budaya yang terjadi didalam sebuah negara, seolah-olah
hanya satu budaya yang berkembang di negara tersebut (mono-culture) meski
sesungguhnya didalam sebuah negara terdapat sub-sub budaya. Artinya, keberadaan
dan keaneka-ragaman sub budaya didalam sebuah wilayah negara untuk sementara
diabaikan. Atau dengan kata lain, jika didalam sebuah wilayah negara terdapat budaya
etnis yang bermacam-macam, budaya agama, budaya kerja, dan budaya-budaya yang
lain, maka dalam konteks pemahaman budaya nasional, budaya-budaya tersebut hanya
dianggap sebagai sub budaya. Kedua, ketika menggunakan negara sebagai sebuah
wilayah budaya tersendiri kita beranggapan seolah-olah negara tersebut merupakan
unitary system yang terbebas dari konflik dan perbedaan-perbedaan walaupun orang-
orang yang tinggal di negara tersebut karena pengalaman hidup dan gaya hidup yang
berbeda sesungguhnya memiliki keragaman-keragaman tersendiri.
Dalam memahami konsep budaya nasional, pentingnya kedua asumsi diatas
harus disadari betul agar kita tidak terjebak dengan konsep budaya yang dalam
pemahaman budaya nasional sesungguhnya hanyalah sub-budaya. Persoalan
semacam ini biasanya muncul terutama pada negara yang memiliki berbagai macam
budaya lokal (sub-budaya) namun hanya beberapa sub-budaya yang dianggap
dominan. Akibatnya sub-sub budaya yang dominan tersebut seolah-olah identik dengan
budaya nasional atau paling tidak menjadi representasi budaya nasional. Hal ini terjadi
misalnya di Indonesia, Filipina dan kebanyakan negara Afrika. Indonesia bisa dikatakan
sebagai negara multikultur yang terdiri dari rartusan etnik sehingga tidak mengherankan

134
jika di Indonesia bisa dijumpai pula ratusan budaya lokal. Meski demikian harus diakui
pula bahwa dari sekian ratus budaya lokal hanya ada beberapa budaya yang relatif
dominan yang bisa mempengaruhi kehidupan masyarakat dibandingkan sub-sub
budaya yang lain. Budaya Jawa misalnya relatif dominan, disamping karena masyarakat
Jawa tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, secara politik etnik Jawa juga cukup
dominan dalam mempengaruhi kahidupan bernegara. Oleh karenanya sering terjadi
salah anggapan seolah-olah budaya jawa menjadi representasi budaya nasional
Indonesia. Hal yang sama juga terjadi di negara tetangga Filipina dimana bahasa
nasional negara tersebut – Filipino didominasi oleh bahasa lokal Tagalog sehingga
seolah-olah bahasa Tagalog menjadi bahasa nasional Filipina meski pengguna bahasa
Tagalog sesungguhnya hanya seputar wilayah Luzon.

DIMENSI-DIMENSI BUDAYA NASIONAL


Untuk sampai pada kesimpulan bahwa budaya nasional adalah budaya yang tumbuh
dan berkembang dalam sebuah negara, Hofstede terlebih dahulu melakukan penelitian
yang melibatkan tidak kurang dari 117.000 responden yang tersebar pada 40 negara.
Hofstede sendiri pada mulanya tidak bermaksud meneliti budaya nasional tetapi lebih
kepada nilai-nilai yang berkaitan dengan pekerjaan (work related values) dengan objek
penelitian perusahaan multi nasional IBM dan anak-anak perusahaannya yang tersebar
di seluruh dunia (pada awalnya hanya melibatkan perusahaan IBM di 40 negara tetapi
kemudian diperluas menjadi 50 negara dan 3 region) dan respondennya karyawan
perusahaan tersebut. Namun dari hasil penelitian ini kemudian muncul istilah budaya
nasional. Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah metode survey
dimana para responden diminta mengisi kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Karena respondennya tersebar di berbagai negara yang menggunakan bahasa berbeda
maka kuesioner tersebut kemudian diterjemahkan kedalam berbagai macam bahasa
sesuai dengan bahasa nasional masing-masing negara11. Isi dari kuesioner antara lain
berbagai aspek tentang pengalaman ker1a dan nilai-nilai kerja.
Karena tujuan Hofstede dalam penelitian ini adalah untuk membandingkan
perbedaan tata nilai para pekerja di suatu negara dengan tata nilai para pekerja di
negara lain maka besaran sampel penelitian bukannya 117.000 ribu melainkan 40
negara. Atau dengan kata lain, level of analysis yang digunakan dalam penelitian ini

135
adalah negara. Meski demikian skor rata-rata yang digunakan untuk membedakan tata
nilai tersebut didasarkan pada rata-rata nilai yang diperoleh pada masing-masing
negara. Dari hasil olah data yang dilakukan dua kali yakni tahun 1967 dan tahun 1973,
didukung analisis statistik yang begitu kompleks dan dibarengi penggunaan analisis
faktor seperti umur, jenis kelamin dan jenis-jenis pekerjaan, hasil penelitian
menunjukkan bahwa perbedaan nilai-nilai kerja salah satunya disebabkan karena
perbedaan budaya pada masing-masing negara (budaya nasional).
Secara umum perbedaan nilai-nilai kerja tersebut dibedakan menjadi 4 dimensi
yakni “power distance – jarak kekuasaan”, “individualism – collectivism”, “masculinity –
femininity” dan “uncertainty avoidance – mengindari ketidak-menentuan.” Belakangan,
berdasarkan penelitian lanjutan tentang sistem nilai masyarakat keturunan Cina
(Chinese Value Survey) yang dilakukan oleh Hofstede and Bond 12, ditemukan satu
dimensi baru yaitu “short-term – long term orientation.”
Tabel 4.1 memberikan gambaran tentang kuesioner dan respon yang diberikan
oleh para responden. Sementara itu hasil skor dan ranking untuk masing-masing
negara/region dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.1
Cuplikan Kuesioner dan Jawabannya

Value Item pertanyaan Respon

Power distance Seberapa sering, dalam pengalaman saudara, (sangat


persoalan-persoalan berikut ini muncul: takut untuk sering)
menyampaikan ketidaksetujuannya kepada para
manajer?

Uncertainty Aturan-aturan perusahaan tidak boleh dilanggar (sangat


avoidance walaupun karyawan yakin bahwa pelanggaran setuju)
tersebut sesungguhnya demi kepentingan perusahaan

Sampai kapan saudara akan bekerja pada perusahaan (sampai


ini? pensiun)

Individualism Bagi saudara, seberapa penting memiliki pekerjaan (sangat


yang memberi waktu yang cukup untuk kehidupan penting)

136
personal dan keluarga saudara?

Bagi saudara, seberapa penting memliki keleluasaan (sangat


untuk menyelesaikan pekerjaan? penting)

Femininity Bagi saudara, seberapa penting memiliki hubungan (sangat


kerja yang baik dengan manajer atasan? penting)

Bagi saudara, seberapa penting bekerja dengan (sangat


orang-orang yang bisa bekerja sama satu sama lain? penting)

Masculinity Bagi saudara, seberapa penting memperoleh (sangat


kesempatan mendapatkan pendapatan yang lebih penting)
tinggi?

Bagi saudara, seberapa penting memperoleh (sangat


pengakuan orang lain ketika bekerja dengan baik? penting)

Tabel 4.2
Skor untuk Masing-masing Dimensi
Power distance Uncertainty
Individualism Masculinity
Negara/region avoidance
Ranking Index Ranking Index Ranking Index Ranking Index

Afrika Selatan 36-37 49 39-40 49 16 65 13-14 63


Argentina 35-36 49 10-15 86 22-23 46 20-21 56
Australia 41 36 37 51 2 90 16 61
Austria 53 11 24-25 70 18 55 2 79
Belgia 20 65 5-6 94 8 75 22 54
Brasil 14 69 21-22 76 26-27 38 27 49
Canada 39 39 41-42 48 4-5 80 24 52
Chile 24-25 63 10-15 86 38 23 46 28
Colombia 17 67 20 80 49 13 11-12 64
Costa Rica 42-44 35 10-15 86 46 15 48-49 21
Denmark 51 18 51 23 9 74 50 16
El Salvador 18-19 66 5-6 94 42 19 40 40
Ecuador 8-9 78 28 67 52 8 13-14 63
Finlandia 46 33 31-32 59 17 63 47 26
Guatemala 2-3 95 3 101 53 6 43 37
Hong Kong 15-16 68 49-50 29 37 25 18-19 57
Indonesia 8-9 78 41-42 48 47-48 14 30-31 46
Inggris 42-44 35 47-48 35 3 89 9-10 66
India 10-11 77 45 40 21 48 20-21 56
Iran 19-20 58 31-32 59 24 41 35-36 43
Irlandia 49 28 47-48 35 12 70 7-8 68
Israel 52 13 19 81 19 54 29 47
Italia 34 50 23 75 7 76 4-5 70
Jamaica 37 45 52 13 25 39 7-8 68
Jepang 33 54 7 93 22-23 46 1 95

137
Jerman (Barat) 42-44 35 29 65 15 67 9-10 66
Korea (Selatan) 27-28 60 16-17 85 43 18 41 39
Malaysia 1 104 46 36 36 26 25-26 50
Mexico 5-6 81 18 82 32 30 6 69
Netherlands 40 38 35 53 4-5 80 51 14
Norwegia 47-48 31 38 50 13 69 52 8
New Zealand 50 22 39-40 49 6 79 17 58
Pakistan 32 55 24-25 70 47-48 14 25-26 50
Panama 2-3 95 10-15 86 51 11 34 44
Perancis 15-16 68 10-15 86 10-11 71 35-36 43
Peru 21-23 64 9 87 45 16 37-38 42
Philippines 4 94 44 44 31 32 11-12 64
Portugal 24-25 63 2 104 33-35 27 45 31
Singapore 13 74 53 8 39-41 20 28 48
Spanyol 31 57 10-15 86 20 51 37-38 42
Swedia 47-48 31 49-50 29 10-11 71 52 5
Swiss 45 34 33 58 14 68 4-5 70
Taiwan 29-30 58 26 69 44 17 32-33 45
Thailand 21-23 64 30 64 39-41 20 44 34
Turki 18-19 66 16-17 85 28 37 31-33 45
USA 38 40 43 46 1 91 15 62
Uruguay 26 61 4 100 29 36 42 38
Venezuela 5-6 81 21-22 76 50 12 3 73
Yugoslavia 12 76 8 88 33-35 27 48-49 21
Yunani 27-28 60 1 112 30 35 18-19 57
Wilayah Afrika Timur 21-23 64 36 52 33-35 27 39 41
Wilayah Afrika Barat 10-11 77 34 54 39-41 20 30-31 46
Wilayah Jazirah Arab 7 80 27 27 26-27 38 23 53

Power Distance
Power distance didefinisikan sebagai “the extent to which the less powerful members of
institutions and organization within a country expect and accept that power is distributed
unequally – sejauhmana anggota-anggota biasa (yang tidak memiliki kekuasaan)
sebuah institusi dan atau organisasi berharap dan mau menerima kenyataan bahwa
kekuasaan tidak didistribusikan secara merata”. Yang dimaksud dengan institusi disini
adalah elemen-elemen utama sebuah masyarakat seperti keluarga, sekolah dan
komunitas. Sedangkan organisasi adalah tempat seseorang melakukan pekerjaan.
Berdasarkan definisi ini, dengan demikian power distance merupakan dimensi
budaya nasional yang mengungkap jarak hubungan (tingkat ketidak-setaraan) antara

138
bawahan dengan atasan, antara seseorang dengan status sosial lebih rendah dengan
seseorang yang memiliki status sosial lebih tinggi, dan atau antara orang yang tidak
memiliki kekuasaan dengan orang yang berkuasa. Oleh Hofstede, ketidak-setaraan
hubungan tersebut dibedakan menjadi dua yaitu large power distance dan small power
distance.

Large power distance. Dalam batas-batas tertentu ada sekelompok masyarakat yang
menyadari bahwa dirinya adalah orang kecil, tidak memiliki wewenang, tidak memiliki
kekuasaan, dan tidak memiliki pengaruh sehingga menyerahkan segala urusan yang
menyangkut nasib dirinya dan kelompoknya kepada orang lain yang dianggap memiliki
apa yang mereka tidak miliki yakni menyerahkannya kepada orang yang memiliki
kedudukan dan berkuasa. Oleh karenanya mereka rela diberi petunjuk, diarahkan
diperintah dan bahkan dimarahi sekalipun. Arahan, petunjuk dan perintah dari para
penguasa kepada orang yang tidak memiliki kekuasaan merupakan sesuatu yang
sangat dinanti dan diharapkan. Kelompok masyarakat ini hampir tidak pernah mengeluh
kepada atasan karena dianggap tidak patut. Keluhan, kalau itu terjadi hanya terbatas
pada kalangan mereka sendiri. Demikian juga, kalaulah mereka terpaksa – atas
keinginan orang yang berkuasa, harus menyampaikan pendapat, kegundahan atau
unek-uneknya, biasanya diiringi dengan sebuah perkataan “yah……inilah unek-unek
orang kecil yang tidak bisa berbuat apa-apa”. Kecendurangan lain dari kelompok
masyarakat ini adalah suka memberi hormat yang berlebihan kepada orang-orang yang
memiliki kedudukan sehingga orang yang memiliki kedudukan tersebut seolah-olah
seperti raja yang tidak pernah berbuat salah. Jika mereka (orang yang dihormati)
melakukan kesalahan, dianggap hal yang lumrah. Sebaliknya jika orang kecil (yang tidak
memiliki kekuasaan) berbuat salah lebih disebabkan karenanya kebodohannya.
Demikian juga ketika orang yang tidak berkuasa terkena amarah dari yang berkuasa,
dianggap karena nasib sedang jelek.
Gambaran diatas menunjukkan bahwa orang yang tidak memiliki kekuasaan
cenderung bergantung kepada orang yang memiliki kekuasaan. Hubungan mereka
memiliki jarak yang cukup lebar dan hirarkhis namun dianggap sesuatu yang normal.
Setiap kelompok, baik yang tidak memiliki kekuasaan maupun yang berkuasa,
menyadari bahwa kedudukan masing-masing berbeda sehingga seolah-olah peran

139
mereka juga berbeda. Kekuasaan hanya milik orang tertentu yang memiliki kedudukan
sehingga distribusinya kepada orang yang tidak berkuasa sangat bergantung kepada
kemurahan hati para penguasa.

Small power distance. Sementara itu kelompok masyarakat yang memiliki


kecenderungan sebaliknya disebut masyarakat yang memiliki jarak kekuasaan yang
sempit (small power distance). Karena jarak hubungan yang relatif sempit maka
kedudukan antara orang yang tidak memiliki kekuasaan dengan orang yang berkuasa
relatif setara. Tidak seperti large power distance dimana tingkat ketergantungan orang
yang tidak memiliki kekuasaan kepada yang memiliki kekuasaan begitu tinggi, pada
small power distance tingkat ketergantungan mereka cenderung rendah, sekali lagi
karena mereka merasa hubungan antar keduanya adalah setara. Atau dengan kata lain,
pada masyarakat small power distance baik kelompok yang berkuasa maupun tidak
berkuasa sesungguhnya saling tergantung. Oleh karenanya bagi orang berkuasa tidak
bisa sesuka hati memonopoli kekuasaan dan mendistribusikan kekuasaannya hanya
kepada orang-orang yang disukainya, sebaliknya kekuasaan cenderung didistribusikan
secara lebih merata.
Diantara negara-negara yang masuk dalam kelompok large power distance dan
small power distance dapat dilhat pada tabel 4.3. Sementara itu manifestasi dari
masyarakat large dan small power distance baik yang terjadi didalam keluarga, lembaga
pendidikan, di tempat kerja maupun di pemerintahan, dapat dilihat pada tabel 4.4.

Tabel 4.3
Negara-negara yang masuk dalam large dan small power distance

Large power distance Small power distance

1. Austria
1. Malaysia 2. Israel
2. Guatemala 3. Denmark
3. Philippines 4. New Zealand
4. Mexico 5. Rep. Irlandia
5. Venezuela 6. Swedia
6. Negara-negara Arab 7. Norwegia
7. Equador 8. Jerman
8. Indonesia 9. Swiss

140
9. India
10. Amerika Serikat
10. Afrika Barat

Tabel 4.4
Perbedaan antara masyarakat dengan large dan small power distance

Small power distance Large power distance

KARAKTERISTIK UMUM KARAKTERISTIK UMUM

1. Ketidaksetaraan diantara anggota 1. Ketidaksetaraan diantara anggota


masyarakat harus terjadi pada skala masyarakat merupakan hal yang wajar
yang kecil (sangat minimal) bahkan sangat diharapkan,
2. Terjadi saling kebergantungan antara 2. Orang-orang yang tidak memiliki
orang yang tidak memiliki kekuasaan kekuasaan sangat bergantung pada
dengan orang yang memiliki orang-orang yang memiliki kekuasaan
kekuasaan

DALAM KELUARGA DALAM KELUARGA

1. Orang tua memperlakukan anak- 1. Orang tua mengajari anak-anaknya


anaknya dengan kedudukan setara untuk patuh
2. Anak-anak memperlakukan orang 2. Anak-anak memperlakukan orang
tuanya dengan kedudukan setara tuanya dengan hormat

DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH

1. Guru adalah seorang expert yang 1. Di kelas seorang guru diharapkan


mentransfer kebenaran mengambil inisiatif untuk seluruh
2. Murid-murid memperlakukan guru kegiatan
dengan kedudukan setara 2. Guru tidak mentransfer kebenaran
3. Orang-orang yang berpendidikan tetapi kearifan pribadi
cenderung tidak otoriter ketimbang 3. Murid-murid memperlakukan guru
yang kurang berpendidikan dengan hormat
4. Baik orang-orang yang berpendidikan
maupun yang kurang pendidikannya
cenderung otoriter.

DALAM LINGKUNGAN ORGANISASI DALAM LINGKUNGAN ORGANISASI

1. Hirarkhi organisasi sekedar untuk 1. Hirarkhi organisasi menunjukkan


membedakan peran masing-masing secara riil perbedaan kedudukan
dan untuk kemudahan semata antara level atas dengan level bawah
2. Desentralisasi sangat disukai 2. Organisasi cenderung sentralistik
3. Perbedaan gaji antara top level dengan 3. Perbedaan gaji antara pimpinan

141
low level manajemen sangat kecil puncak dengan bawahan cukup tinggi
4. Anak buah biasa berharap untuk diajak 4. Bawahan berharap untuk diberi tahu
konsultasi dalam pengambilan apa yang seharusnya dikerjakan.
keputusan

Individualism vs. Collectivism


Jika pada dimensi pertama, perbedaan antara satu negara dengan negara lain, secara
kultural, disebabkan karena perbedaan tingkat kesetaraan masyarakat yakni apakah
masyarakat di negara tersebut cenderung tidak setara (memiliki jarak kekuasaan yang
tinggi) atau sebaliknya, pada dimensi kedua, negara akan diidentifikasi melalui struktur
sosialnya yakni apakah masyarakat yang tinggal di negara tersebut cenderung lebih
individual atau kolektif.
Hofstede memberikan pengertian masyarakat yang individual dan kolektif
sebagai berikut:

“Individualism pertains to societies in which the ties between individuals


are loose; every is expected to look after himself or herself and his or her
immidiate family. Collectivism as its opposite pertains to societies in
which people from birth onwards are integrated into strong, cohesive
ingroups, which throughout people’s lifetime continue to protect them in
exchange for unquestioning loyalty”

“istilah individualism berkaitan dengan masyarakat dimana hubungan


antar individual begitu renggang; setiap orang lebih peduli pada dirinya
dan keluarga dekatnya. Sementara itu istilah collectivism, kebalikan dari
individualism, berkaitan dengan masyarakat dimana seseorang sejak
didilahirkan merupakan bagian integral dari kelompok masyarakat

Definisi diatas menunjukkan bahwa masyarakat sesungguhnya memiliki struktur


sosial yang berbeda. Ada sekelompok masyarakat yang cenderung lebih individual,
sementara kelompok masyarakat yang lain lebih kolektif. Perbedaan antara masyarakat
individualism dan collectivism ini tidak saja terjadi pada masyarakat tradisional tetapi
juga pada masyarakat modern, bahkan berbeda antara masyarakat yang tinggal di satu
negara dengan negara lain. Gambaran perbedaan struktur sosial yang secara
tradisional terjadi antara masyarakat kota dan masyarakat desa yang merefleksikan
perbedaan antara masyarakat individualism dan collectivism dapat dilihat pada uraian
berikut ini.

142
Di kalangan masyarakat desa (biasanya cenderung lebih kolektif) misalnya ada
sebuah pepatah yang sangat populer yakni “sedekat-dekat saudara kandung namun
tinggal di tempat jauh tetap masih lebih dekat tetangga”. Pepatah ini menggambarkan
kedekatan hubungan sosial antar warga masyarakat dan sekaligus menunjukkan pula
betapa pentingnya peran seorang tetangga dalam kehidupan masyarakat desa. Di desa,
hampir tidak mungkin seorang warga tidak membutuhkan dan tidak bergantung kepada
tetangga (warga lain) karena hampir setiap urusan yang melibatkan banyak orang, mulai
dari hajatan pernikahan, kenduri sampai pada upacara kematian pasti melibatkan
tetangga. Dalam hal bantu membantu, para tetangga biasanya melakukannya dengan
suka rela dengan satu pertimbangan mereka suatu ketika juga membutuhkan bantuan
tetangga yang lain. Itulah sebabnya mereka berupaya menjaga hubungan baik
(harmoni) diantara sesama warga. Bahkan hubungan baik antar warga bisa
membuahkan sentimen seolah-olah mereka merupakan sebuah keluarga besar yang
memiliki tali persaudaraan.
Sebagai sebuah keluarga besar yang saling bergantung, dengan demikian
seorang warga atau anggota masyarakat tidak bisa mengutamakan kepentingan dirinya
atau keluarganya diatas kepentingan masyarakat. Bahkan dalam batas-batas tertentu
hak-hak individu terkadang harus dikorbankan demi kepentingan masyarakat banyak.
Hal ini misalnya sangat dirasakan betul ketika ada persoalan yang melibatkan antar
warga. Hampir semua persoalan tersebut diselesaikan bersama secara kekeluargaan
misalnya melalui musyawarah, rembug desa, atau melalui acara-acara informal seperti
kenduri dan upacara-upacara lain. Yang lebih penting lagi adalah semua persoalan
tersebut diputuskan dengan mengacu pada norma prilaku masyarakat yang secara
konvensional mereka bangun bersama. Dengan demikian norma prilaku masyarakat
menjadi elemen penting dalam bermasyarakat yang harus dipatuhi semua warga dan
diharapkan bisa melindungi semua warga sebagai imbalan atas loyalitas warga kepada
masyarakat.
Berbeda dengan kehidupan pedesaan yang begitu akrab, komunal dan kolektif
dimana struktur sosial berpusat pada masyarakat banyak (extended family), masyarakat
perkotaan biasanya memiliki tata nilai yang sangat kontras. Antar sesama warga meski
tempat tinggal mereka berdampingan, terkadang tidak saling mengenal. Apalagi silsilah
keluarga dan pekerjaan bahkan nama tetangga sekalipun terkadang mereka tidak tahu.

143
Jika di pedesaan saling memberi nasehat merupakan hal yang lumrah bahkan sangat
dibutuhkan, di perkotaan memberi nasehat kepada warga lain yang bukan kerabat
dekatnya atau orang tersebut tidak memintanya bisa berakibat fatal karena dianggap
ikut campur dalam urusan keluarga lain. Oleh karenanya seorang warga biasanya tidak
perduli dengan persoalan-persoalan yang terjadi di tetangga sebelah. Ketidak-pedualian
mereka terhadap tetangga tersebut bukan berarti mereka tidak acuh tetapi lebih
bertujuan agar ia tidak dianggap menganggu privacy kehidupan mereka.
Dari gambaran kehidupan sosial masyarakat perkotaan bisa dikatakan bahwa
struktur sosial kehidupan masyarakat kota tidak berpusat pada masyarakat banyak
seperti pada kehidupan desa, melainkan pada masing-masing individu dan keluarga
dekatnya. Kalaulah di masyarakat tersebut ada aturan yang mengatur kehidupan
mereka, peraturan itu sebatas aturan formal untuk menjaga agar tidak terjadi hal-hal
yang tidak tidak diinginkan. Walhasil masyarakat perkotaan cenderung lebih indiviual
dibanding masyarkat desa.
Karena masyarakat yang lebih individual biasanya menempatkan dirinya dan
keluarga dekatnya sebagai pusat kehidupan dalam bermasyarkat maka interaksi antar
individu dalam masyarakat biasanya sangat renggang kecuali dengan orang-orang yang
sudah dikenalnya. Meski masyarakat yang demikian lebih perduli terhadap dirinya, pada
saat yang sama mereka juga sangat menghormati hak-hak individual orang lain dengan
satu harapan orang lain juga menghormati hak-hak individualnya.
Kehidupan yang kontras antara masyarakat yang begitu komunal/kolektif dengan
masyarakat yang sangat individual sesungguhnya tidak hanya terjadi antara masyarakat
desa dengan masyarakat kota saja tetapi secara umum juga bisa terjadi antara
masyarakat yang tinggal di satu negara dengan negara lain. Meski satu wilayah negara
kehidupan masyarakatnya begitu dinamika dimana setiap orang atau setiap kelompok
memiliki pengalaman hidup dan gaya hidup yang beragam, bahkan seperti digambarkan
diatas ada perbedaan kecenderungan antara masyarakat desa dengan masyarakat
kota, namun secara umum ada negara yang masyarakatnya cenderung lebih individual
dan sebaliknya ada negara lain yang masyarkatnya cenderung lebih kolektif. Perbedaan
kecenderungan ini tidak lain merupakan cerminan perbedaan budaya dan tata nilai
masing-masing negara.

144
Negara-negara yang masyarakatnya cenderung lebih individual dan lebih kolektif
dapat dilihat pada tabel 4.5. Sementara itu tabel 4.6 menggambarkan bentuk
manifestasi dari masyarakat yang cenderung lebih individual dan kolektif baik pada
kehidupan rumah tangga, tempat pendidikan, tempat kerja maupun di pemerintahan.

Tabel 4.5
Negara-negara yang masuk dalam individualism dan collectivism

Invidualism Collectivism

1. Guatemala
1. USA
2. Ekuador
2. Australia
3. Panama
3. Inggris Raya
4. Venezuela
4. Canada
5. Colombia
5. Netherlands
6. Indonesia
6. New Zealand
7. Pakistan
7. Italia
8. Costa Rica
8. Belgia
9. Peru
9. Denmark
10. Taiwan
10. Swedia

145
Tabel 4.6
Perbedaan antara masyarakat yang cenderung lebih individual dan lebih kolektif

Individualism Collectivism

SECARA UMUM SECARA UMUM

1. Identitas diri seseorang melekat pada 1. Identitas diri seseorang melekat pada
diri orang tersebut. kelompok/masyarakat dimana orang
tersebut menjadi bagiannya.
2. Setiap orang tumbuh dan berkembang 2. Setiap orang dilahirkan sebagai
untuk bisa menjadi diri sendiri dan penerus keluarga dan kelompoknya.
melindungi dirinya dan keluarga Sebagai konsekuensi, keluarga dan
dekatnya. kelompok tersebut berusaha
melindunginya sebagai imbalan atas
loyalitas orang tersebut.

DALAM KELUARGA DALAM KELUARGA

1. Anak-anak diajari untuk berpikir “siapa 1. Anak-anak diajari untuk berpikir “siapa
saya”. kita”
2. Mengemukakan pendapatnya 2. Harmoni harus selalu dijaga dan
merupakan karakteristik orang bijak. konfrontasi langsung harus dihindarkan
3. Berbuat kesalahan merugikan diri 3. Berbuat kesalahan merupakan
sendiri dan harga dirinya. perbuatan yang memalukan dan
menjadikan diri sendiri dan
kelompoknya kehilangan muka.

DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH

1. Pendidikan ditujukan agar seseorang 1. Pendidikan ditujukan agar seseorang


bisa memilki kapasitas untuk belajar bisa belajar mengerjakan sesuatu
(learning to learn) (learning to do)
2. Memiliki ijazah/diploma berarti 2. Memiliki ijazah/diploma merupakan
meningkatkan kesejahteraan ekonomik entry point untuk menigkatkan status
dan atau harga diri seseorang didalam kelompoknya.

DALAM LINGKUNGAN ORGANISASI DALAM LINGKUNGAN ORGANISASI

1. Hubungan kerja antara majikan dan 1. Hubungan kerja antara majikan dan
karyawan merupakan hubungan yang karyawan memiliki ikatan moral
didasarkan pada kontrak dan saling layaknya dalam sebuah keluarga
menguntungkan kedua belah pihak.
2. Keputusan untuk merekrut dan 2. Keputusan untuk merekrut dan

146
mempromosikan seseorang semata- mempromosikan seseorang melibatkan
mata didasarkan pada kemapuan dan anggota kelompoknya.
aturan yang berlaku.
3. Manajemen lebih ditekankan pada 3. Manajemen lebih ditekankan pada
manajemen individual manajemen kelompok
4. Tugas yang harus dikerjakan lebih 4. Hubungan antar manausia lebih
penting ketimbang memperhatikan penting ketimbang tugas pekerjaan.
hubungan antar manusia

Uncertainty avoidance
Setiap orang hampir pasti menyadari bahwa masa datang merupakan sesuatu yang
tidak diketahui (unkown), tidak bisa diprediksi (unpredictable) dan tidak menentu/tidak
pasti (uncertain). Meski kesadaran mereka sama, reaksi masing-masing individu
terhadap ketidak-tahuan dan ketidak-pastian tersebut ternyata bermacam-macam. Ada
yang beranggapan bahwa ketidak-pastian itu bagian dari hidup yang tidak perlu
dicemaskan. Toleransi mereka terhadap ketidak-pastian dengan demikian sangat tinggi.
Akibatnya kelompok orang ini tidak menganggap perlu untuk melakukan tindakan-
tindakan tertentu yang bertujuan hanya sekedar untuk menghindari ketidak-pastian.
Sebaliknya, ada juga sekelompok orang yang sama sekali tidak toleran dan merasa
sangat takut terhadap ketidak-pastian. Mereka menganggap ketidak-pastian merupakan
sebuah ancaman dan oleh karenanya perlu diupayakan dan diantisipasi sedini mungkin
tindakan pencegahannya agar kelak tidak terjadi hal-hal buruk. Bagi mereka serba pasti
merupakan kenyamanan hidup.
Toleransi yang berbeda terhadap ketidak-pastian menunjukkan bahwa rekasi
terhadap ketidak-pastian (uncertainty) sesungguhnya sangat subyektif dan tidak sama
antara satu orang dengan orang lain. Karena bersifat subyektif, reaksi tersebut sangat
bergantung pada pengalaman, tata nilai dan kepribadian masing-masing orang. Namun
jika subyektifitas ini juga dituturkan dan diajarkan kepada banyak orang melalui institusi
formal maupun informal boleh jadi reaksi yang pada awalnya subyektif lama kelamaan
bisa menjadi reaksi bersama. Artinya rekasi terhadap ketidak-pastian juga bersifat
kultural. Berdasarkan alasan ini temuan Hofstede menunjukkan bahwa upaya
menghindari ketidak-pastian / ketidak-menentuan (uncertainty avoidance) merupakan
salah satu dimensi budaya nasional. Hofstede13 selanjutnya mendefinisikan upaya
menghindari ketidak-pastian / ketidak-menentuan (uncertainty avoidance) sebagai “the

147
extent to which the members of a culture feel threatened by uncertain or unknown
situation” – sejauh mana anggota masyarakat merasa terancam oleh situasi yang tidak
menentu atau tidak diketahui sebelumnya.
Definisi diatas menunjukkan bahwa reaksi yang timbul akibat situasi yang tidak
menentu bergantung pada sejauh mana seseorang / sekelompok orang merasa
terancam. Semakin seseorang / sekelompok orang merasa terancam oleh situasi yang
tidak menentu semakin ia bereaksi untuk mengindarinya. Sebaliknya, reaksi untuk
menghindari ketidak-pastian relatif rendah jika mereka tidak memiliki perasaan
terancam. Dengan demikian uncertainty avoidance merupakan dimensi budaya nasional
yang menjelaskan toleransi atau tingkat keterancaman seseorang atau masyarakat
terhadap situasi yang tidak menentu dan reaksinya terhadap situasi tersebut. Secara
umum uncertainty avoidance dibedakan menjadi dua yakni strong uncertainty avoidance
dan weak uncertainty avoidance.

Strong uncertainty avoidance. Yang dimaksud dengan strong uncertainty avoidance


adalah toleransi yang relatif rendah terhadap situasi ketidak-pastian. Rendahnya
toleransi ini mendorong munculnya upaya-upaya yang sangat kuat untuk
mengindarinya. Sebagai contoh, bagi beberapa orang atau beberapa kelompok orang
pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan sebuah ancaman. Bagi mereka PHK
adalah pertanda tidak adanya kepastian masa depan. Oleh karenanya PHK seringkali
disikapi dengan sebuah tindakan (bahkan tindakan bersama) misalnya dalam bentuk
rame-rame melakukan unjuk rasa dengan satu tujuan memperjuangkan agar para
karyawan tidak diPHK. Dimata mereka PHK adalah salah satu bentuk ancaman yang
harus dihindari sehingga apapun caranya mereka tempuh. Selain tindakan bersama
seperti contoh diatas, pada umumnya upaya menghindari dan mengendalikan ketidak-
pastian bisa dilakukan melalui tiga cara yaitu menciptakan teknologi, membuat
peraturan hukum dan kembali ke agama. Teknologi biasanya digunakan untuk
mengindari ketidak pastian yang berhubungan dengan alam. Peraturan hukum
digunakan untuk mengendalikan prilaku manusia sedangkan agama merupakan alat
transendental untuk kemanan masa datang.

148
Weak uncertainty avoidance. Jika masyarakat dengan strong uncertainty avoidance
cenderung berupaya untuk menghindari ketidak pastian, sebaliknya masyarakat dengan
weak uncertainty avoidance cenderung toleran terhadap ketidak-pastian. Tingginya
toleransi masyarakat weak uncertainty avoidance menunjukkan bahwa ketidak-pastian
bukan sebuah ancaman. Dalam kasus PHK seperti disebutkan diatas, kelompok orang
ini beranggapan bahwa PHK meski menimbulkan ketidak-pastian merupakan kejadian
yang wajar sehingga tidak perlu diributkan. Mereka barangkali beranggapan bahwa
bangrutnya sebuah perusahaan yang mengakibatkan PHK bisa terjadi dimana-mana
dan kali ini kebetulan menimpa mereka.
Tabel 4.7 memberi gambaran tentang beberapa contoh negara yang tergolong
kedalam kelompok strong dan weak uncertainty avoidance. Sementara itu manifestasi
dari strong dan weak uncertainty avoidance baik yang terjadi didalam keluarga, lembaga
pendidikan, tempat kerja maupun di pemerintahan, dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut
ini

Tabel 4.7
Negara-negara yang masuk dalam Strong dan Weak Uncertainty Avodance

Strong Uncertainty Avoidance Weak Uncertainty Avoidance

1. Singapura 1. Yunani
2. Jamaika 2. Portugal
3. Denmark 3. Guatemala
4. Swedia 4. Uruguay
5. Hong Kong 5.Belgia
6. Rep. Irlandia 6. Salvador
7. Inggris Raya 7. Jepang
8. Malaysia 8. Yugoslavia
9. India 9. Peru
10. Philippines 10. Perancis

149
Tabel 4.8
Perbedaan antara masyarakat dengan strong dan weak uncertainty avoidance

Strong uncertainty avoidance Weak uncertainty avoidance

SECARA UMUM SECARA UMUM

1. Ketidakpastian dianggap sebagai 1. Ketidakpastian merupakan hal yang


ancaman sehingga harus diperangi normal dalam hidup yang harus
2. Prilaku agresif dan emosional pada diterima apa adanya
waktu-waktu tertentu dianggap lumrah 2. Seseorang tidak perlu menunjukkan
3. Hanya resiko yang moderat yang bisa prilaku agresif dan emosional
diterima sedangkan resiko besar 3. Terbiasa berhadapan dengan resiko
sangat dihindari demikian juga situasi dan situasi yang ambigu
yang ambigu

DALAM KELUARGA DALAM KELUARGA

1. Orang tua menerapkan peraturan yang 1. Orang tua tidak begitu menerapkan
ketat kepada anak-anaknya terhadap peraturan yang ketat terhadap apa
apa yang dianggap kotor dan tabu yang dianggap kotor dan tabu
2. Perbedaan merupakan hal yang 2. Perbedaan justru bisa menarik
membahayakan perhatian

DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH

1. Seorang guru harus bisa menjawab 1. Kepada murid-muridnya, seorang guru


semua pertanyaan murid-muridnya boleh mengatakan “saya tidak tahu”
2. Murid-murid lebih menyukai situasi 2. Murid-murid lebih menyukai situasi
belajar yang terstruktur dan berupaya belajar terbuka dan diskusi untuk
menjawab pertanyaan secara benar memecahkan persoalan

DALAM LINGKUNGAN ORGANISASI DALAM LINGKUNGAN ORGANISASI

1. Secara emosional, ada kebutuhan 1. Jika tidak perlu, peraturan sebaiknya


akan peraturan meski peraturan dihindarkan.
tersebut kadang tidak bisa jalan. 2. Waktu adalah rerangka agar seseorang
2. Waktu adalah uang bisa melakukan orientasi.
3. Ada kebutuhan secara emosional 3. Pada saat sedang malas, ada
untuk tampak sibuk dan ada dorongan kebutuhan akan perasaan nyaman dan
dari dalam untuk kerja keras kerja keras hanya perlu saat
4. Presisi dan tepat waktu dianggap dibutuhkan.
sebagai sesuatu yang bersifat alami 4. Presisi dan tepat waktu adalah sesuatu
5. Ada tekanan untuk tidak menyimpang yang harus dibiasakan.
baik dalam ide-ide maupun prilaku. 5. Toleransi terhadap penyimpangan

150
Akibatnya tingkat resistensi dalam cukup tinggi baik dalam ide-ide
inovasi relatif tinggi. maupun prilaku.
6. Motivasi akan tercipta jika seseorang 6. Motivasi akan tercipta jika seseorang
merasa aman dan memliki self esteem ingin mencapai sesuatu atau memiliki
atau rasa memiliki self esteem dan rasa memiliki.

Masculinity dan Femininity


Meski dewasa ini banyak bermunculan organisasi-organisasi nir-laba (LSM) yang
menyuarakan persamaan hak kaum wanita namun harus diakui bahwa kaum wanita
dalam batas-batas tertentu berbeda dengan kaum pria. Secara biologis pria biasanya
lebih kekar dibandingkan seorang wanita atau sebaliknya, seorang wanita biasanya
lebih lemah gemulai. Postur tubuh kaum pria biasanya juga lebih tinggi. Di sisi lain
wanita biasanya lebih cepat pulih dari kelelahan karena metabolisme wanita lebih cepat
ketimbang pria. Disamping perbedaan secara biologis, pria dan wanita juga berbeda
secara behavioral. Wanita biasanya lebih feminin – lebih peduli, sensitif, statis, dan lebih
perhatian serta lebih ngemong. Sedangkan pria lebih maskulin – lebih kompetitif,
macho, dinamik dan lebih asertif. Meski kecenderungan ini berlaku umum, bukan berarti
tidak ada wanita yang lebih kekar atau lebih tinggi dari pria, atau tidak ada pria yang
lebih lemah gemulai. Demikian juga bukan berarti tidak ada pria yang lebih feminin atau
sebaliknya wanita lebih maskulin. Pengecualian pasti terjadi namun kecenderung umum
seperti tersebut diatas tampaknya tidak bisa dielakkan.
Perbedaan antara pria dan wanita bahkan bisa dikatakan bersifat kodrati atau
alami utamanya jika ditilik dari kedudukan masing-masing dalam hal regenerasi. Secara
kodrati yang memiliki fungsi regenerasi adalah wanita karena hanya kaum wanita yang
bisa hamil dan melahirkan anak, demikian juga hanya kaum wanita yang menyusui
anak-anaknya. Semuanya itu tidak bisa dilakukan oleh kaum pria. Dengan kata lain, pria
dan wanita sesungguhnya memiliki perbedaan peran jender.
Akibat dari perbedaan peran jender seperti digambarkan diatas, peran masing-
masing dalam kehidupan sosial kemasyarakatan juga berbeda. Namun harus diakui
pula bahwa peran tersebut tidak semata-mata ditentukan oleh perbedaan biologis atau
keprilakuan saja tetapi juga ditentukan oleh tata nilai masyarakat yang berangkutan.
Sebagai gambaran, setiap masyarakat pasti mengakui bahwa beberapa prilaku tertentu
lebih cocok untuk kaum wanita dan prilaku lainnya lebih cocok kaum pria. Akibatnya

151
pekerjaan atau profesi tertentu dianggap lebih cocok untuk dikerjakan kaum pria,
sementara pekerjaan/profesi lainnya dianggap lebih cocok untuk dikerjakan kaum
wanita. Persoalannya sekarang adalah prilaku mana yang cocok untuk pekerjaan apa
sangat bergantung pada preferensi masyarakat yang bersumber pada tata nilai mereka.
Atau dengan kata lain, perbedaan tata nilai masyarakat pada akhirnya berakibat pada
perbedaan preferensi mereka terhadap prilaku anggota masyarakatnya. Sebagai
contoh, di Indonesia guru Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) cenderung
didominasi oleh guru wanita karena wanita dianggap lebih mempunyai kemampuan
untuk ngemong anak-anak ketimbang guru pria. Sebaliknya pada level pendidikan
tinggi, staff dosen lebih didominasi kaum pria karena pekerjaan pada level ini dianggap
lebih kompetitif dan menantang. Selain itu, di Indonesia jumlah dokter gigi lebih banyak
wanita dibanding pria. Demikian juga meski di Indonesia jumlah kaum wanita sedikit
lebih banyak dibanding pria, jumlah anggota dewan legislatif masih didominasi pria.
Karena preferensi dan tata nilai masyarakat berbeda maka pekerjaan-pekerjaan
yang di Indonesia didominasi oleh kaum pria belum tentu di negara lain juga didominasi
kaum pria, demikian sebaliknya. Di Pakistan misalnya, juru ketik lebih didominasi kaum
pria, demikian juga kaum pria mendomiasi pekerjaan perawat di Belanda. Seperti halnya
di Indonesia, di Belgia dokter gigi di dominasi kaum wanita. Sementara itu manajer
berjenis kelamin wanita sangat banyak ditemui di Filipina dan Thailand tetapi sangat
jarang atau hampir tidak ada di Jepang.
Semua contoh diatas menunjukkan perbedaan preferensi masyarakat terhadap
peran jender. Namun terlepas dari semua perbedaan tersebut distribusi peran jender
memiliki kecenderungan yang sama yakni kaum pria cenderung dituntut untuk
menunjukkan prestasinya melalui aktivitas diluar rumah sedangkan kaum wanita dituntut
untuk melakukan aktivitasnya di seputar rumah. Tuntutan tersebut berakibat pada
prilaku kaum pria yang cenderung asertif, kompetitif, tegas dan macho. Sementara
kaum wanita lebih dituntut untuk berprilaku sebaliknya yakni memberi perhatian dan
memelihara anak-anak serta menjalin hubungan antar manusia lebih baik. Bagi kaum
wanita tuntutan seperti ini sangat wajar karena kaum wanita, sebagai orang yang
memiliki kemampuan untuk memberi keturunan, cenderung tinggal di rumah lebih lama
paling tidak selama hamil, melahirkan dan menyusui. Perbedaan pola prilaku ini
digambarkan dalam sebuah falsafah Cina yang sangat populer yakni “Yin dan Yang.” Yin

152
merepresentasikan kaum wanita yang berorientasi kedalam dan lebih statis sedangkan
Yang merepresentasikan kaum pria yang berorientasi keluar dan lebih dinamis. Meski
keduanya berbeda tetapi saling membutuhkan.
Jika dalam sebuah keluarga – katakan seorang Bapak dan Ibu secara konsisten
membagi peran masing-masing seperti digambarkan diatas yakni Bapak lebih
berorientasi keluar dan Ibu lebih berorientasi kedalam maka sangat tidak mengherankan
jika pola pikir ini akan merembes dan tertularkan kepada pola pikir anak-anak mereka
sehingga secara berturut-turut pola pikir tersebut boleh jadi menjadi pola pikir
masyarakat umum.
Berdasarkan uraian diatas, bisa dikatakan bahwa budaya yang berkembang
pada masyarakat pada umumnya dan masyarakat yang tinggal di satu wilayah negara
bisa dilihat dari perbedaan peran jender yang direpresentasikan oleh tingkat masculinity
dan femininity masyarakat tersebut. Dalam hal ini istilah masculinity seperti dikatakan
oleh Hofstede berkaitan dengan pola pikir masyarakat yang membedakan secara tegas
peran jender dimana kaum pria diharapkan lebih asertif, kompetitif, tegas dan macho,
sementara kaum wanita diharapkan lebih lunak, memperhatikan kualitas hidup, memberi
perhatian pada anak-anak dan keluarga serta lebih peduli. Sementara itu yang
dimaksud dengan femininity adalah pola pikir masyarakat yang tidak secara tegas
membedakan peran masing-masing jender dimana baik pria maupun wanita dituntut
kompetitif namun di saat yang sama juga diharapkan kooperatif; keduanya dituntut lebih
tegas namun juga harus bisa negemong. Demikian seterusnya.
Negara-negara yang masyarakatnya masuk dalam kelompok masculinity dan
femininity dapat dilihat pada tabel 4.9. Sementara itu bentuk manifestasi dari masculinity
dan femininity dalam kehidupan keluarga, lembaga pendidikan, tempat kerja maupun di
pemerintahan, dapat dilihat pada tabel 4.10.

153
Tabel 4.9
Negara-negara yang masuk dalam lMasculinity dan Femininity

Masculine Feminine

1. Swedia
1. Jepang
2. Norwegia
2. Austria
3. Belanda
3. Venezuela
4. Denmark
4. Italia
5. Costa Rica
5. Swiss
6. Yugoslavia
6. Meksiko
7. Finlandia
7. Republik Irlandia
8. Cili
8. Jamaika
9. Thailand
9. Inggris Raya
10. Guatemala
10. Jerman

Tabel 4.10
Perbedaan antara masyarakat yang Masculine dan Feminine

Masculine Feminine

SECARA UMUM SECARA UMUM

1. Nilai-nilai masyarakat yang sangat 1. Nilai-nilai masyarakat yang sangat


dominan adalah keberhasilan dan dominan adalah peduli dan menjaga
kemajuan ekonomik hubungan dengan orang lain
2. Uang dan harta benda lainnya 2. Manusia jauh lebih penting ketimbang
dianggap sangat penting harta benda, demikian juga hubungan
3. Seorang pria diharapkan sebagai baik antar manusia
orang yang asertif, ambisius dan tegas 3. Setiap orang diharapkan berprilaku
4. Seorang wanita diharapkan sebagai wajar
orang yang sensitif, mencintai dan 4. Baik laki-laki maupun perempuan
ngemong diharapkan memiliki peran yang sama

DALAM KELUARGA DALAM KELUARGA

1. Dalam kehidupan keluarga, seorang 1. Dalam keluarga, baik bapak maupun


Bapak yang banyak berhubungan ibu diharapkan lebih memperhatikan
dengan fakta dan realita, sedang Ibu fakta sekaligus perasaan.
dengan perasaan. 2. Baik anak laki-laki maupun perumpuan
2. Anak laki-laki tidak boleh mengangis, boleh menangis tetapi tidak boleh
hanya anak perempuan yang boleh. bertengkar.
Jika anak laki-laki diserang hanya 3. Lebih bersimpati kepada orang yang

154
mempertahankan diri dan menyerang lemah
balik, sedang anak perempuan tidak
boleh.
3. Lebih bersimpati kepada orang yang
kuat

DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH

1. Seorang murid harus menjadi yang 1. Di kelas, norma yang berlaku adalah
paling pandai di sekolah seorang siswa harus setara dengan
2. Gagal dalam sekolah berarti bencana. yang lain
3. Guru akan memberi apresiasi kepada 2. Gagal dalam sekolah hanyalah
anak yang paling brilian kecelakaan kecil
4. Anak laki-laki dan anak perempuan 3. Persahabatan sejati akan memperoleh
harus memilih bidang keahlian yang apresiasi
berbeda. 4. Baik siswa laki-laki dan perempuan
mengambil bidang studi yang sama

DALAM LINGKUNGAN ORGANISASI DALAM LINGKUNGAN ORGANISASI

1. Orang hidup untuk kerja 1. Orang bekerja agar bisa hidup


2. Manajer diharapkan seorang yang 2. Manajer adalah orang yang intiuitif dan
tegas dalam pengambilan keputusan mengambil keputusan berdasarkan
dan asertif. konsensus
3. Menekankan pentingnya harta milik, 3. Menekankan pentingnya kesetaraan,
kompetisi dan kinerja solidaritas, kualitas kehidupan kerja
4. Cara menyelesaikan konflik dengan 4. Cara menyelesaikan konflik dengan
adu argumentasi kompromi dan negosiasi

Short-term vs Long-term Orientation


Dimensi terakhir atau dimensi kelima adalah short-term vs long-term orientation. Sesuai
dengan namanya, pada dimensi ini masyarakat dibedakan berdasarkan orientasi
mereka terhadap waktu yakni masyarakat yang berorientasi jangka pendek dan
masyarakat yang berorientasi jangka panjang. Pada mulanya Hofstede tidak
memasukkan short-term vs long-term orientation sebagai dimensi budaya nasional.
Short-term vs long-term orientation baru diakui sebagai dimensi budaya nasional setelah
Michael Bond, seorang warga negara Canada yang sejak tahun 1971 tinggal dan
bekerja di Timur Jauh serta banyak berinteraksi dengan masyarakat Cina, melakukan
penelitian dengan menggunakan model penelitian seperti yang telah dilakukan oleh
Milton Rockeah yang dikenal sebagai Rockeah Value Survey (RVS). Jika Rockeah

155
mengidentifikasi nilai-nilai manusia berdasarkan dua kriteria umum yaitu nilai tujuan dan
nilai alat, Michael Bond mengidentifikasi nilai-nilai manusia berdasarkan hasil derivasi
ajaran Confucius. Nilai-nilai ini didapat setelah Michael Bond berdialog dengan
beberapa ilmuan sosial Hong Kong dan Taiwan. Dari hasil dialog tersebut ditemukan 40
tata nilai yang berasal ajaran Confucius seperti tampak pada tabel 4.11 berikut ini.

Tabel 4.11
Tata Nilai yang Berasal dari Ajaran Confucius

Nilai-nilai confucius Deskripsi

156
1. Xiao Patuh, menghormati pada orang tua, menghormati leluhur
2. Qinlao Kerja keras
3. Rongren Toleransi kepada orang lain
4. Suihe Rukun/harmoni dengan orang lain
5. Qianxu Bersahaja
6. Zhongyu shangci Loyal kepada atasan
7. Liyi Menjaga tatacara adat
8. Li shang wang lai Saling memberi salam dan hadiah
9. Renai (Xu, renqing) Baik hati dan pemaaf
10. Xueshi Berpengetahuan
11. Tuanjie Solidaritas terhadap orang lain
12. Zhongyong zhidao Tidak menonjolkan diri
13. Xiuyang Kemampuan diri untuk memanen hasil
14. Zun bei you xu Menata dan menjaga hubungan berdasarkan status seseorang
15. Zhenyigan Bermoral
16. Ein wei bing shi Otoritas yang berpihak pada orang lain
17. Bu zhong jing zheng Non-kompetitif
18. Wenzhing Keseriusan dan stabilitas personal
19. Lianjie Tidak korup
20. Ai guo Patriotisme
21. Chengken Tulus
22. Qinggao Tidak pamrih
23. Jian Hemat
24. Naili Teguh
25. Naixin Sabar
26. Baoen yu baochue Membayar kembali kepada orang lain terlepas yang dilakukan
orang lain tersebut baik atau jahat
27. Wenchua youyuegan Memiliki superioritas budaya
28. Shiying huanjing Memilki daya adaptasi
29. Xiaoxin Berhati-hati
30. Xinyong Dapat dipercaya
31. Zhi chi Memiliki rasa malu
32. You limao Rasa hormat
33. An fen shou ji Tantangan hidup
34. Baoshou Konservatif
35. Yao mianzi Melindungi harga diri
36. Zhiji zhijiao Kedekatan dalam pertemanan
37. Zhenjie Kesucian bagi seorang wanita
38. Guayu Memilki banyak tujuan
39. Zunjing chuantong Menghormati tradisi
40. Caifu Kesejahteraan

Keempatpuluh tata nilai diatas dijadikan instrumen penelitian yang belakangan dikenal
sebagai Chinese Value Survey (CVS). Dengan menggunakan skala Likert 1 – 9, Bond
menyebar kuisioner kepada responden terpilih yakni 100 orang mahasiswa S1 (50 pria
dan 50 wanita). Karena keseratus responden tersebut tersebar di 22 negara maka CVS
harus diterjemahkan dari bahasa Cina ke bahasa Inggris dan 8 bahasa lain yang sesuai.

157
Setelah melalui berbagai uji statistik dan analisis faktor, disimpulkan bahwa masyarakat
yang berorientasi jangka pendek memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan masyarakat
yang berorientasi jangka panjang seperti tampak pada tabel 4.12 berikut ini.

Table 4.12
Short-term vs. Long-term orientation

Short-term orientation Long-term orientation


1. Menghormati tradisi 1. Mengadaptasikan tradisi ke dalam
konteks modernisme
2. Menghormati tanggungjawab dan 2. Menghormati status sosial dalam batas-
status sosial tanpa memperhatikan batas yang wajar
biaya yang harus dikeluarkannya
3. Tekanan untuk menjaga hubungan baik 3. Hemat
dengan teman walaupun harus
menambah biaya
4. Hanya sedikit uang untuk investasi 4. Menyediakan cukup dana untuk
investasi
5. Mengharapkan hasil yang cepat 5. Tidak buru-buru untuk segera
memperoleh hasil
6. Memerhatikan harga diri 6. Memiliki kemauan untuk menjadi
tampak kecil dalam rangka memperoleh
hasil yang besar
7. Memperhatikan proses untuk mencari 7. Lebih menekankan dan menghormati
kebenaran syarat-syarat untuk memperoleh
kebajikan

KRITIK TERHADAP HOFSTEDE

Tidak bisa dipungkiri bahwa konsep budaya nasional seperti dikemukakan Hofstede
begitu populer, banyak dirujuk serta menjadi inspirasi untuk penelitian-penelitian
berikutnya. Sondergaard14 misalnya menyatakan bahwa tidak kurang dari 1063 jurnal,
terhitung sejak tahun 1980 sampai dengan September 1993, merujuk secara langsung
tulisan Hofstede. Pada periode yang sama lebih dari 61 penelitian mereplikasi tulisan
Hofstede. Meski demikian kritik terhadap konsep tersebut tampaknya tidak bisa
dihindarkan. Kritik paling tajam datang dari Brendan McSweeney dan Tony Fang.
Brendan McSweeney dari London School of Economics and Political Science 15
menyatakan bahwa penelitian Hofstede secara konseptual banyak mengandung

158
kelemahan. Kelemahan utama menurut McSweeney adalah dalam hal metodologi yang
digunakan Hofstede. Diantara kritik McSweeney terhadap konsepnya Hofstede adalah
sebagai berikut: Pertama, terlepas bahwa jumlah sample yang digunakan cukup besar,
yakni 116.000 responden, namun karena level of analysisnya adalah organisasi, dalam
hal ini negara, maka sample yang besar ini sesungguhnya bisa dikatakan kecil – 66
negara. Bahkan jumlah responden untuk masing-masing negara tidak sama, ada yang
1000 responden tetapi ada juga yang hanya 58 responden. Oleh karenanya,
McSweeney mempertanyakan masalah homoginitas sample.
Kedua, seperti telah disebutkan pada bagian sebelumnya, responden yang
menjadi sample penelitian adalah karyawan yang bekerja pada perusahaan
multinasional IBM yang tersebar di 66 negara. Oleh karenanya seperti diakui oleh
Hofstede, penelitian tersebut pada mulanya tidak dimaksudkan untuk meneliti budaya
nasional melainkan untuk meneliti perbedaan nilai-nilai kerja yang disebabkan, salah
satunya oleh perbedaan negara tempat tinggal responden. Menaggapi hal ini,
McSweeney kemudian mempersoalkan istilah budaya nasional dengan
membandingkannya dengan budaya organisasi dan budaya kerja melalui satu
persamaan sebagai berikut:

(NC1 + OrC + OcC) – (NC2 + OrC + OcC) = NC1 – NC2

dimana NC = Budaya Nasional,


OrC = Budaya organisasi dan
OcC = Budaya kerja

Persamaan diatas menunjukkan bahwa budaya organisasi dan budaya kerja


yang berkembang di IBM seolah-olah sama tanpa memperhatikan perbedaan lokasi
sample, sehingga yang tersisa hanya perbedaan antara budaya nasional pada satu
Negara dengan budaya nasional Negara lain, padahal Hofstede sendiri belakangan
mengakui bahwa budaya organisasi yang berkembang di sebuah perusahaan boleh jadi
berbeda jika perusahaan tersebut tersebar pada lokasi berbeda. Demikian juga dalam
kaitannya dengan budaya kerja.

159
Jauh sebelum McSweeney memberikan kritiknya, tulisan Hofstede juga
mendapat kritik yang kurang lebih sama dari peneliti lain. Robinson 16, Sorge17 dan
Korman18 misalnya sama seperti McSweeney mempersoalkan pengumpulan data yang
hanya berasal dari karyawan IBM sebagai satu-satunya sumber untuk menjelaskan
budaya nasional. Di sisi lain, Lowe19 dan Baumgartel and Hill20 menganggap bahwa
dimensi budaya nasional yang dikembangkan Hofstede hanyalah artifak yang boleh jadi
hanya cocok pada saat survey tersebut dilakukan. Sementara itu, Smucker21 dan
Scholer22 mempermasalahkan validitas penelitian nilai-nilai budaya nasional karena
instrument yang digunakan untuk penelitian tersebut merupakan instrument penelitian
sikap kerja.
Terlepas dari kritik diatas, bukan hanya Hofstede 23 sendiri yang menanggapinya
tetapi ada juga penulis lain yang membela model budaya nasionalnya Hofstede.
Dermont Williamson misalnya melalui tulisannya: Forward from a critique of Hofstede’s
model of national culture24 membela model budaya nasionalnya Hofstede dan sekaligus
mengkritik kritiknya McSweeney. Dalam pembelaannya Williamson mengatakan jika
kritiknya McSweeney yang keliru tidak ditanggapi ulang, boleh jadi peneliti-peneliti
berikutnya yang akan menggunakan konsepnya Hofstede tidak lagi mendapatkan
tempat. Sebaliknya kalau persoalan ini diluruskan maka diyakini mereka yang akan
menggunakan pendekatan fungsional dalam penelitian lintas budaya akan semakin
marak. Menurut Williamson kesalahan utama McSweeney adalah tidak membedakan
istilah metodologi dan metode penelitian. Dari kesalahan dasar ini tidak bisa dihindari
lagi jika kritik selanjutnya juga salah.
Selain McSweeney dan beberapa kritik yang lain seperti disebutkan diatas, kritik
terhadap konsepnya Hofstede juga datang dari Tony Fang 25 – seorang warga Negara
Kanada keturunan Cina. Jika McSweeney dan kritik-kritik lainnya lebih banyak
mempermasalahkan konsepnya Hopstede secara umum, Fang lebih menekankan
kritiknya pada dimensi kelima – long term-short term orientation. Dimensi kelima ini,
yang sesungguhnya diadopsi Hofstede dari hasil penelitian Michael H. Bond, tidak
begitu populer dibandingkan empat dimensi lainnya. Ketidakpopuleran dimensi kelima
ini ditandai dengan sangat sedikitnya peneliti-peneliti lain yang menggunakan
konsepnya Hofstede sebagai rujukannya yang memanfaatkan dimensi kelima tersebut
sebagai salah satu variabelnya. Tony Fang sendiri sebagai penganut ajaran Confucius

160
merasa terganggu dengan hasil temuan dimensi tersebut. Beberapa kritik yang
dilontarkan Tony Fang antara lain:
1. dimensi kelima ini dianggap membingungkan baik bagi bangsa barat maupun
bangsa Cina sendiri. Bagi bangsa Cina, long term dan short term orientation
bukan dua hal yang saling berlawanan tetapi merupakan dua hal yang saling
terkait. Bagi bangsa Cina orientasi jangka pendek dan jangka panjang bukan dua
hal yang saling beroposisi, namun sebaliknya keduanya saling mengisi. Hampir
tidak mungkin tujuan jangka panjang akan tercapai jika tidak memperhatikan hal-
hal yang bersifat jangka pendek
2. dari sudut pandang masyarakat Cina dan Timur jauh lainnya, membedakan nilai-
nilai Confucius ke dalam nilai-nilai positif dan nilai-nilai negatif dianggap memiliki
kelemahan filosofis yang mendasar. Hal ini misalnya ditunjukkan oleh filosofi Yin
Yang – dua karakter berbeda tetapi selalu terjadi bersama-sama. Yin dengan
karakter inward looking tidak dianggap sebagai karakter yang negatif karena
karakter ini menjadi landasan bagi Yang yang berorientasi eksternal – outward
looking.
3. dari sudut desain penelitian, dimensi kelima ini juga memiliki beberapa
kelemahan. Pertanyaannya adalah mengapa yang dijadikan dasar untuk
penelitian hanya 40 Chinese values, bukannya 30 atau 50 atau lebih? Bahkan
sesungguhnya masih ada Chinese values yang lebih mendasar yang tidak
diikutkan sebagai Chinese values. Dari 40 Chinese values itu sendiri, ada
beberapa nilai yang maknanya sesungguhnya tumpang tindih. Disamping itu
sample yang digunakan juga mendapat pertanyaan karena tidak sejalan dengan
penelitian awal Hofstede yang melibatkan karyawan IBM di 53 negara. Oleh
karenanya dimensi kelima ini secara metodologis dianggap cacat.

MANAJEMEN / ORGANISASI LINTAS BUDAYA


Seperti telah disebutkan diatas, konsep budaya nasional yang dikemukakan Hofstede
menuai banyak kritik namun bukan berarti hanya sedikit akademisi dan praktisi yang
mendukung konsep tersebut. Dukungan ini misalnya ditunjukkan dengan banyaknya
replikasi penelitian Hofstede dan banyaknya tulisan yang menggunakan tulisan Hofstede

161
sebagai rujukan. Hal lain yang patut mendapat perhatian adalah munculnya genre baru
dalam studi organisasi dan manajemen tidak lama setelah tulisan Hofstede muncul. Jika
selama ini ada anggapan bahwa sebuah teori bisa diaplikasikan dimana saja tanpa
memperhatikan latar belakang budaya sekelompok orang (masyarakat) yang akan
menerapkan teori tersebut, sekarang anggapannya tidak lagi demikian. Sekarang sudah
ada pengakuan bahwa studi organisasi dan manajemen tidak lagi value free karena
masing-masing negara dengan kultur berbeda boleh jadi memiliki pola menajemen yang
berbeda pula. Dari sinilah kemudian muncul istilah comparative management – studi
perbandingan manajemen.
Sesungguhnya kesadaran bahwa studi organisasi dan manajemen tidak value
free sudah lama muncul jauh sebelum Hofstede memunculkan konsep budaya nasional.
Kesadaran ini muncul pada awal tahun 1960an ketika para akademisi Amerika mulai
menyuarakan pentingnya mempertimbangkan perspektif budaya dalam teori dan praktik
manajemen. Sebagai contoh, Gonzales and McMillan26 mempertanyakan universalitas
filosofi manajemen Amerika. Sementara itu baik Oberg27 maupun McCann28 mengulas
prinsip-prinsip manajemen lintas budaya. Haire, Ghiselli and Porter yang tulisan awalnya
muncul pada awal tahun 1960an namun kemudian ditulis ulang pada buku Comparative
management yang diedit Malcom Warner (1997)29 kurang lebih juga membahas hal yang
sama. Semua tulisan awal diatas intinya sama yakni mempertanyakan apakah filosofi
dan praktik manajemen bersifat bebas nilai dan bisa diterapkan pada masyarakat yang
berbeda budaya atau sebaliknya bahwa praktik manajemen pada dasarnya culture
bound.
Meski kesadaran akan pentingnya memahami perspektif budaya dalam konteks
manajemen sudah muncul sejak awal tahun 1960an namun gaungnya belum meluas
sehingga paham tentang manajemen adalah value free sepertinya tidak bergeser
sampai hasil penelitian Hofstede dipublikasikan pada tahun 1980. Paska publikasi ini
bisa dikatakan bahwa artikel ilmial, buku ilmiah maupun buku-buku populer tentang
comparative management yang berbasis pada perbedaan budaya (nasional) mulai
bermunculan dan mendapat tempat di kalangan konsultan manajemen, paraktisi bisnis
dan para manajer. Para akademisi maupun pengguna manajemen mulai sadar bahwa
manajemen tidak value free. Eforia ini kemudian disikapi para akademisi misalnya
dengan mendaur ulang tulisan-tulisan lama tentang persepektif budaya dalam

162
manajemen dalam bentuk reading (kumpulan artikel dalam bentuk buku) seperti yang
dilakukan oleh Malcom Warner. Warner pada tahun 1997 menyusun kembali lebih dari
100 artikel manajemen yang bersinggungan dengan budaya dalam bentuk buku yang
diberi judul “comparative management” terbagi dalam empat volume. Selain daur ulang,
buku-buku ilmiah manajemen lintas budaya (cross cultural management) juga
bermunculan. Buku-buku bernada sama misalnya ditulis oleh Trompenaars, Taylor Cox,
Jr., dan Schneider and Louis Barsoux. Sementara itu untuk menyebut beberapa, artikel
ilmiah yang ditulis Maruyama30, Laurent31, dan Schneider32 meski sangat bervariasi
tetapi pijakannya sama yakni peran budaya nasional dalam konteks manajemen.
Walhasil, lepas dari kritik yang ditujukan ke Hofstede, era baru dalam bidang
studi organisasi dan manajemen, yakni comparative management, muncul tidak lama
setelah tulisan Hofstede muncul. Jika dikaitkan dengan uraian pada bab II, munculnya
era baru ini pada tahun 1980an bukan pada tahun 1960an boleh jadi karena dominasi
ekonomi Amerika yang sekaligus sebagai produsen utama teori organisasi dan
manajemen masih terlalu kuat sementara penurunan dominasi ekonomi Amerika pada
tahun 1980an menyebabkan banyak pihak yang mencoba mencari teori alternatif –
dalam hal ini merujuk ke pola pengelolaan organisasi ala Jepang terbukti bisa
mengangkat perkeonomian negara tersebut. Dari sinilah perbandingan manajemen
utamanya antara manajemen Amerika dan manajemen Jepang mulai bermunculan. Satu
diantaranya yang ditulis oleh William Ouchi – Theory Z.

RINGKASAN
Bersamaan dengan maraknya bisnis lintas negara yang dilakukan oleh perusahaan
multinasional (MNC), masalah budaya mulai mendapat perhatian serius para praktisi
bisnis, teoritisi organisasi dan manajemen. Tingginya perhatian ini bermulanya dari
banyaknya perusahaan multinasional (MNC) yang gagal menjalankan bisnisnya di
negara tujuan meski pola manajemen yang digunakan di perusahaan anak sama
dengan pola manajemen di perusahaan induk. Setelah melalui penelusuran lebih jauh
salah satu penyebab kegagalan tersebut ternyata karena adanya perbedaan budaya
antar masing-masing negara. Dari isinilah budaya dianggap menjadi salah satu variabel
penentu yang perlu mendapat perhatian serius.

163
Bab ini menguraikan konsep budaya nasional, utamanya konsep yang
dikemukakan oleh Hofstede. Menurut Hofstede budaya nasional adalah budaya yang
tumbuh dan berkembang didalam masyarakat yang tinggal di sebuah wilayah (negara).
Ada empat dimensi yang bisa digunakan untuk menjelaskan budaya nasional yaitu:
“power distance – jarak kekuasaan”, “individualism – collectivism”, “masculinity –
femininity” dan “uncertainty avoidance – mengindari ketidak-menentuan.” Belakangan,
Hofstede menambahkan satu dimensi baru yaitu “short-term – long term orientation.”
Terlepas bahwa konsep yang dikemukakan oleh Hofstede ini sangat popular,
namun kenyataannya konsep ini juga mendapat kritik yang tajam. Oleh karenanya jika
konsep ini hendak diterapkan, perlu diperhatikan asumsi dan kelemahannya. Hal positif
dari konsepnya Hofstede adalah semakin disadarinya bahwa manajemen tidak value
free dimana budaya nasional menjadi key factors dalam manajemen.

164
Catatan kaki

165
1
Untuk memperoleh gambaran tentang bidang kajian budaya lihat misalnya Edward Hall, 1966,
The hidden dimension, New York: Anchor books
2
Lihat pengertian MNC seperti dikemukakan oleh Christopher Barlett and Sumatra Ghoshal, 2000,
Transnational Management: Text, Cases, and Reading in Cross-Border Management, 3rd edition,
McGraw-Hill International Editions
3
Erez, M. and P.C. Early, 1993, Culture, Self Identity and Work, Oxford University Press, halaman
3.
4
Hofstede, G., 1992, Motivation, Leadership and Organization: Do American Theories Apply
Abroad?, halaman 99
5
Lihat misalnya Hampden-Turner and Tromprenaar, 2000, Building cross cultural competence,
halaman 2.
6
Dalam aplikasinya kedalam praktik-praktik manajemen, bisa dilihat pada Nancy Adler, 2000,
international dimension of organizational behavior atau Schneider and Louis Barsoux, 1997,
Managing cross cultures
7
Lihat misalnya M. Haire, E.E. Ghiselli and L.W. Porter, 1997, Cultural patterns in the role of the
manager, in Malcolm Warner (ed.) Compaative management: Critical perspective on business and
manaegement, vol. I., London: Routledge, halaman 154 – 175.
8
Trompenaars, F., 1993, Riding the waves of culture, London: Nicholas Brealey
9
Schneider and Louis Barsoux, 1997, Managing cross culture, halaman 47
10
Smith, Social Psychology across cultures, halaman 37
11
Paling tidak ada 10 bahasa yang digunakan untuk melakukan survey
12
Hofstede and Bond, 1988, The Confucius connection: from cultural roots to economic growth,
Organization Dynamics, 16, 4, halaman 4-12.
13
Hofstede, 1980, halaman 161
14
Sondeergaard, M., 1994, “Hofstede’s consequences – a study of reviews, citation, and
replications: special issue on cross national organizational culture”, European group for
organizational studies, halaman 447 – 456.
15
B. McSweeney, 2002, Hofstede’s model of national cultural differences and their consequences: A
triumph of faith – a failure of analysis, Human relations, halaman 89 – 117
16
Robinson, R.V., 1983, “Geert Hofstede: culture’s consequence”, Work and occupations, halaman
110 – 115.
17
Sorge, A., 1983, “Culture consequences”, Administrative science quarterly, halaman 625 – 629.
18
Korman, A.K., 1985, “Culture consequences: international differences in work related values”,
Journal of occupational behavior, Vol. 6, No 3. halaman 234 – 244.
19
Lowe, E.A., 1981, “Culture consequences: international differences in work related values”,
Journal of enterprise management, halaman 312
20
Baumgartel, H. and T. Hill, 1982, “Geert Hofstede: Culture consequences: international differences
in work related values, Personnel psychology, halaman 192 – 196.
21
Smucker, J., 1982, Geert Hofstede: Culture consequences, Sociology, halaman 55 – 56.
22
Scholer, C., 1983, “Culture consequences”, Contemporary sociology, halaman 617
23
Hofstede, G., 2002, Dimensions do not exist: A reply to Brendan McSewwney, Human relations,
halaman 1355 – 1361
24
D. Williamson, 2002, Forward from a critique of Hofstede’s model of national culture, Human
relations, halaman 1373 – 1395
25

Lihat Tony Fang, 2003, A critique of Hofstede’s fifth national culture dimension, Cross cultural
management, halaman 347 – 368.
26
Gonzales, R. F. and C. McMillan (1961), The universality of American management philosophy,
Academy of management journal, April, pp. 33 – 41
27
Oberg, W., (1963), Cross-cultural perspectives on management principles, Academy of
management journal, pp. 129 – 143
28
McCann, E. C., (1964), An aspect of management philosophy in United State and Latin America,
Academy of management journal, June, pp. 149 – 152
29
Haire, M., E.E. Ghiselli and L.W. Porter, 1997, Cultural patterns in the role of manager, in Malcolm
Warner (ed.) Comparative Management Vol. I, London: Routlrdge, pp. 154 – 175.
30
M. Maruyama, 1984, Alternative concepts of management: Insights from Asia and Africa, Asia
Facific journal of management (January), pp. 100 – 111
31
A. Laurent, 1983, The cultural diversity of western conceptions of management, International
studies of Management and Organization, 13/1-2, pp. 75 – 96
32
S. C. Schneider, 1989, Strategy formulation: The impact of national culture, Organization studies,
10/2, pp 149 – 168

Anda mungkin juga menyukai