Bila wajah dan tangan Mama tiba-tiba sangat membengkak, bisa jadi hal tersebut
merupakan gejala preeklamsia. Meski demikian, preeklamsia khususnya preeklamsia
ringan tidak selalu menunjukkan gejala.
“Kita baru akan tahu setelah dilakukan pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan
urine. Jika tekanan darah menjadi 140/90 mmHg namun tidak melebihi 160/100 mmHg,
itu pertanda gejala preeklamsia ringan. Selain itu akan dipastikan lagi melalui
pemeriksaan urine. Bila hasil tes menunjukkan jumlah protein dalam urine antara 300
mg hingga 4 g dalam 24 jam, berarti Mama positif mengalami preeklamsia ringan,” kata
dr. Jimmy Panji, SpOG, dari TanyaDok.com.
Pada preeklamsia berat, gejalanya dapat meliputi nyeri kepala hebat, gangguan
penglihatan, sesak napas berat atau nyeri ulu hati atau nyeri pada daerah kanan atas
perut. Hal ini disebabkan penyempitan pembuluh darah pada otak, liver, ginjal atau
organ lainnya.
“Ada peningkatan tekanan darah di atas 160/100 mmHg, dan jumlah protein di urine
lebih dari 4 g dalam waktu 24 jam,” tambah Jimmy.
Karena itu bila Mama merasakan salah satu gejala di atas, segeralah memeriksakan
diri ke dokter obstetriginekologi atau kebidanan
dan kandungan. Bila tak lekas ditangani, preeklamsia berat bisa mengganggu fungsi
organ-organ tubuh. Apa saja bahaya preeklamsia berat bagi ibu hamil?
“Dimulai dari otak, misalnya risiko kejang dan perdarahan di dalam otak. Juga bisa
menyebabkan paru terendam cairan, gangguan pompa jantung, gangguan pembekuan
darah dan kegagalan ginjal,” tandas Jimmy.
Dengan berbagai risiko yang dapat ditimbulkan preeklamsia berat, Mama akan dirujuk
untuk menjalani rawat inap di rumah sakit di bawah pengawasan ketat dari dokter.
“Dokter kebidanan dan kandungan akan memberikan obat penurun tekanan darah dan
obat pencegah kejang pada Mama. Namun jika bayi sudah bisa dilahirkan atau kondisi
Mama memburuk, biasanya dokter akan segera melahirkan bayi,” tambah Jimmy.
Bahaya preeklamsia berat pada ibu hamil memang tidak main-main. Kenal gejalanya
sejak dini, dan segera konsultasikan pada dokter untuk mengurangi risikonya.
(Theresia Widiningtyas)