Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bioavailabilitas adalah suatu pengukuran laju dan jumlah bahan aktif

yang diabsorpsi dari suatu produk obat dan tersedia pada site aksi. Studi ini

penting dilakukan untuk zat aktif yang telah disetujui oleh FDA. Hal ini

didasarkan bahwa FDA harus menyetujui keamanan dan efektivitas obat terlebih

dahulu sebelum dipasarkan yang selanjutnya harus memenuhi standar yang

digunakan dalam indentitas, kekuatan, kualitas, dan kemurnian. Dengan

demikian diperlukan studi bioavaibilitas/farmakokinetik yang dapat

mempertimbangkan aspek kualitas produk obat (Shargel, dkk 2012).

Absorbsi suatu obat merupakan suatu pengambilan obat dari permukaan

tubuh termasuk pada mukosa saluran cerna atau dari tempat-tempat tertentu

dalam organ ke aliran darah atau sistem pembuluh limfe. Obat dari aliran darah

atau pembuluh limfe kemudian akan didistribusikan ke seluruh tubuh

organisme. Obat dikatakan bermanfaat atau memberikan efek terapi apabila

telah mencapai konsentrasi yang sesuai pada tempat kerjanya. Oleh karena itu,

absorbsi merupakan syarat untuk mencapai efek terapeutik, sejauh tidak

digunakan secara intravasal atau tidak langsung digunakan pada tapak kerjanya

(Mutschler, 1991).

Asetaminofen (N-asetil-p.aminofenol) [C8H9NO2] merupakan obat

golongan analgetik non narkotik. Obat ini bekerja pada sistem saraf pusat

dengan menghambat sistesis dan pelepasan mediator sensasi nyeri yaitu

prostaglandin. Parasetamol telah digunakan secara luas oleh masyarakat dalam

benruk sediaan tunggal maupun kombinasi dengan obat lain salam sediaan obat

flu (Darsono, 2014).

1
1.2 Tujuan percobaan

- Untuk mengetahui pengaruh perbedaan pH terhadap absorpsi

Paracetamol pada duodenum terbalik kelinci.

- Untuk mengetahui konsenterasi paracetamol yang tidak diabsorpsi

(konsenterasi sisa) pada duodenum terbalik kelinci dengan medium

dapar fosfat pH 5,8.

- Untuk mengetahui konsenterasi paracetamol yang tidak diabsorpsi

(konsenterasi sisa) pada duodenum terbalik kelinci dengan medium

dapar fosfat pH 7,4.

1.3 Manfaat percobaan

- Agar praktikan mengetahui pengaruh perbedaan pH terhadap absorpsi

Paracetamol pada duodenum terbalik kelinci.

- Agar praktikan mengetahui konsenterasi paracetamol yang tidak

diabsorpsi (konsenterasi sisa) pada duodenum terbalik kelinci dengan

medium dapar fosfat pH 5,8.

- Agar praktikan mengetahui konsenterasi paracetamol yang tidak

diabsorpsi (konsenterasi sisa) pada duodenum terbalik kelinci dengan

medium dapar fosfat pH 7,4.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Bahan
2.1.1 Parasetamol

(Gambar 1: Struktur Bangun Parasetamol

Sinonim : Asetaminofen

BM : 151,16

Pemerian : Hablur atau serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa pahit

Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95%) P,

dalam 13 bagian aceton P, dalam 40 bagian gliserol P dan dalam

9 bagian propilenglikol p, larut dalam larutan alkali hidroksida

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik,terlindung dari cahaya

Khasiat : analgetikum, antipiretikum (Ditjem POM, 1979)

2.2 Uraian Umum

2.2.1 Absorbsi

Absorbsi suatu obat merupakan suatu pengambilan obat dari permukaan

tubuh termasuk pada mukosa saluran cerna atau dari tempat-tempat tertentu

dalam organ ke aliran darah atau sistem pembuluh limfe. Obat dari aliran darah

atau pembuluh limfe kemudian akan didistribusikan ke seluruh tubuh

organisme. Obat dikatakan bermanfaat atau memberikan efek terapi apabila

telah mencapai konsentrasi yang sesuai pada tempat kerjanya. Oleh karena itu,

absorbsi merupakan syarat untuk mencapai efek terapeutik, sejauh tidak

3
digunakan secara intravasal atau tidak langsung digunakan pada tapak kerjanya

(Mutschler, 1991).

Sawar absorbsi merupakan membran permukaan sel yang befungsi untuk

membatasi lingkungan dalam dan lingkungan luar. Proses farmakokinetika

seperti absorbsi, distribusi, dan ekskresi tidak mungkin dapat terjadi tanpa suatu

transpor melalui membran. Beberapa waktu yang lalu, terdapat penjelasan

bahwa semua membran sel tersusun dengan cara yang sama, yaitu satuan

membran. Namun, percobaan selanjutnya oleh Leonard dan Singer,

menunjukkan bahwa struktur membran pada berbagai jaringan itu berbeda satu

sama lain (Mutschler, 1991).

Menurut model Fluid – Mosaik yang dikemukakan oleh Leonard dan

Singer, membran terdiri dari pulau-pulau lipid dan protein yang saling terkait

atau melekat diatasnya dan membentuk mosaik. Protein yang terdapat pada

membran akan membentuk pori dalam lapisan rangkap lipid. Oleh karena itu

dapat disimpulkan bahwa suatu membran menunjukkan perubahan terus

menerus yang dinamik dan tidak statik. Dalam penetrasi, terdapat dua struktur

membran yang secara kualitatif berbeda mendasar: pertama lapisan lipid untuk

pengambilan bahan-bahan yang bersifat lipofil, kedua; pori yang berisi penetrasi

senyawa yang hidrofil (Mutschler, 1991).

Penetrasi senyawa melalui membran dapat terjadi sebagai, 1) Difusi.

Difusi pasif sesuai dengan hukum Fick bahwa transpor senyawa berbanding

langsung dengan konsentrasi, luas permukaan membran, koefisien distribusi,

dan koefisien difusi. Difusi pasif berbanding terbaling dengan tebal membran

dan tidak bisa dihambat oleh senyawa analog dan melalui blokade metabolisme.

Secara kuantitatif, kelarutan senyawa yang diabsorpsi dalam lemak memegang

4
peranan penting karena pengambilan bahan ke dalam organisme yang paling

utama terjadi pada matriks lipid. Senyawa-senyawa nonelektrolit yang sukar

larut dalam lemak dan senyawa yang terionisasi sempurna dengan bobot rendah

diabsorbsi melalui pori-pori. 2) Difusi terfasilitasi. Pembawa dan kompleks

pembawa – susbstrat bergerak bebas dalam membran sehingga dapat

mempermudah penetrasi zat yang ditranspor melalui membran sel lipofil ke

dalam bagian sel. Pada proses difusi ini, diperlukan suatu pembawa

(terfasilitasi), molekul hidrofil fruktosa berikatan dengan pembawa berupa

carrier. Pembawa merupakan protein membran khusus. Syarat transpor

terfasilitasi adalah afinitas dari zat yang ditranspor terhadap pembawa. Pada saat

setelah terjadi penetrasi, senyawa dilepaskan dari pembawanya. Pada sisi luar

membran terdapat keseimbangan dinamik antara pembawa bebas, zat yang

ditranspor, yang disebut jyga sebagai substrat dan kompleks substrat pembawa.

Menurut pembentukan kompleks, terdapat gaya dorong pada sisi luar dan sisi

dalam membran untuk transpor kompleks substrat – pembawa melaui membran.

Difusi terfasilitasi dan difusi sederhana tidak dapat dihambat oleh racun

metabolisme karena di sini tidak ada energi yang dibutuhkan. 3) Transpor aktif.

Suatu senyawa harus mendaki gunung melalui membran yaitu melawan landaian

konsentrasi dengan membutuhkan energi tertentu. Karena dibutuhkan energi,

proses ini dapat dihambat secara kompetitif dengan senyawa yang struktur kimia

miripdan secara non kompetitif oleh racun metabolisme. Beberapa obat yang

berdekatan secara kimia, asama amino, berbagai gula, dan asam nukleat

diabsorbsi dengan cara ini. 4) Pinositosis, fagositosis, persorpsi. Peristiwa yang

terjadi pada pinositosis yaitu tetesan-tetesan airan kecil diambil dari saluran

cerna dan pada fagositosis yaitu pengambilan partikel padat dari saluran cerna.

5
Pada persorpsi bagian-bagian padat, seluruh sel, antar sel, yakni antara sel-sel

berhasil mencapai bagian dalam organisme (Mutschler, 1991).

Hubungan antara dosis dan respon yang efektif tidak hanya dipengaruhi

oleh jumlah obat yang diberikan dan efek farmakologis obat, tetapi dipengaruhi

oleh faktor-faktor lain. Faktor-faktor ini didasarkan pada sifat fisik dan kimia

dari obat. Kurva level darah yang dicapai secara cepat maupun lambat

dipengaruhi oleh rute pemberian, bentuk sediaan, laju difusi, penetrasi dan

permeabilitas obat, distribusi pada cairan dan jaringan tubuh, laju

biotransformasi, proses daur ulang, dan eliminasi. Faktor-faktor lain seperti

disposisi dan penyakit individu juga sangat berpengaruh (Bahri, 1992).

Nasib obat-obat menurut literatur dipengaruhi oleh biofarmasetik dan

farmakokinetik melalui proses pembebasan, absorpsi, distribusi, metabolisme,

dan ekskresi. Pelepasan ditentukan dari karateristik produk obat merupakan

tahap awal untuk mencapai aksi onset, laju absorbsi, ketersediaan, dll yang

terjadi pada semua obat melalui berbagi rute pemberian kecuali pemberian

secara intra vena (i.v) (Bahri, 1992).

Obat yang diberikan secara oral harus diabsorbsi ke sirkulasi sistemik

agar dapat didiribusikan ke organ termasuk reseptor, selanjutnya dihasilkan efek

pengobatan. Keterlambatan atau kehilangan sebagian obat selama proses itu

mengakibatkan penurunan ketersediaan hayati obat (Nasution, 2015).

Pada pemberian obat-obat dalam bentuk suspensi, kapsul, tablet,

suposituria, implan dan suspensi intra muskular, akan ditemukan pada sistem

gastrointestinal. Beberapa obat akan menjadi tidak aktid walaupunsebelum

proses absorbsi terjadi padanya. Hanya obat-obat yang diberikan secara

intrabena yang dapat masuk ke dalam sirkulasi sistemik dengan cepat. Setelah

6
proses disolusi terjadi, obat-obat akan berdifusi ke tempat penyerapan seperti

bukal, sublingual, gastrointestinal, perkutan, subkutan, intramuskular,

intraperitoneal, intrakutan, okular, nasal, pulmonal, rektal, dan lain-lain. Pada

semua rute pemberian, obat harus melewati membran lipoid barier yang

dipengaruhi oleh mekanisme transport (Bahri, 1992).

2.2.2 Uji In Vitro

Tidak ada satupun uji in vitro yang sederhana yang mencerminkan

ketersediaanhayati suatu zat aktif atau obat. Teknik-teknik yang berbeda yang

telah dilakukan itu digunakan sebagai uji pendahuluan pada pengembangan

sediaan farmasi dan mengontrol reprodisibilitas pelepasan zat aktif. percobaan

ini juga untuk membuktikan cara pelepasan dan laju pelepasan obat

(Devissaguet, 1993).

Volume cairan yang digunakan harus dalam digunakan dengan cukup

agar larutan tidak segera menjadi jenuh. Kejenuhan dapat menghambat

pelarutan dan memberikan penilaian yang salah. Selain volume cairan, pH dan

kekuatan ion cairan juga dapat berpengaruh. Hal tersebut berpengaruh pada

pelepasan dan penemusan zat aktid ke dalam cairan sesudah meninggalkan

sediaan. Idealnya, laju pelarutan in vitro berkorelasi dengan bioavailabilitas in

vivo. FDAjuga menggunakan pendekatan in vitro untuk penetapan

bioekivalensi. Resin khlolestiramin diukur bioekivalensinya melalui studi

kesetimbangan terhadap garam empedu (Devissaguet, 1993; Shargel dkk, 2012).

2.2.3 Parasetamol

Asetaminofen (N-asetil-p.aminofenol) [C8H9NO2] merupakan obat

golongan analgetik non narkotik. Obat ini bekerja pada sistem saraf pusat

dengan menghambat sistesis dan pelepasan mediator sensasi nyeri yaitu

7
prostaglandin. Parasetamol telah digunakan secara luas oleh masyarakat dalam

benruk sediaan tunggal maupun kombinasi dengan obat lain salam sediaan obat

flu. Namun, efek toksik yang mungkin terjadi juga tinggi yaitu menimbulkan

nekrosis hati yang disebabkan oleh metabolitnya (Darsono, 2014).

Pengujian spektrofotometri dapat dilakukan pada parasetamol karena

menurut strukturnya, parasetamol mempunya gugus kromofor dan ausokrom.

Kendala yang sering dihadapi adalah terjadinya tumpang tindih spektra

(overlapping) karena keduanya memiliki serapan maksimum pada panjang

gelombang yang berdekatan sehingga perlu dilakukan proses pemisahan (Naid,

2011).

Farmakokinetika parasetamol dimulai dari proses absorbsi yang cepat

dalam pencernaan dimana kadar serum puncak diperoleh dalam 30-60 menit.

Waktu paruh kira-kira 2 jam. Pada dosis normal dapat bereaksi dengan gugus

sulfhidril dari glutation menjadi substansi nontoksik. Pada dosis yang besar akan

berikatan dengan sulfhidril dari protein hati (Darsono, 2014).

Dikarenakan masyarakat sudah mengenal dan menggunakan parasetamol

dengan luas, maka perlu dikaji toksisitasnya. Pada dosis terapi, salah satu

metabolit parasetamol bersifat hepatotoksik, didetoksifikasi oleh glutation

membentuk asam merkapturi yang bersifat non toksik dan diekskresikan melalui

urin (Darsono, 2014).

Namun yang perlu diperhatikan adalah ketika dosis parasetamol

meningkat, glutation tidak mampu lagi mengubahnya menjadi asam merkapturi,

dan menjadi toksik untuk hati. Oleh karena itu, terapi untuk menstimulasi

sintesa glutation sangat dibutuhkan pada penanggulangan keracunan

parasetamol yang bersifat nefrotoksik dan hepatotoksik (Darsono, 2014).

8
2.2.3 Spektrofotometri Ultraviolet dan Tampak (Visibel)

Salah satu radiasi elektromagnetik yaitu sinar ultraviolet dan sinar

tampak dianggap sebagai energi yang merambat dalam bentuk gelombang. Jarak

linear pada satu titik ke titik disebelahnya pada gelombang yang berdekatan

disebut sebagai panjang gelombang. Dimensi panjang gelombang adalah

panjang (L) yang dinyatakan dalam centimeter (cm). Frekuensi adalah jumlah

gelombang yang melewati suatu titik dalam saruan waktu. Dimensi frekuensi

adalah seper waktu dan satuan yang digunakan adalah perdetik (Gandjar, 2017).

Aspek kualitatif spektrofotometri UV-Vis meliputi data yang tidak dapat

digunakan untuk indentifikasi kualitatif obat atau metabolitnya. Tetapi, jika

digabung dengan spetroskopi infra merah, resonansi magnet inti, dan

spektroskopi massa, maka dapat digunakan untuk analisis kualitatif suatu

senyawa. Pada spektroskopi UV dan Vis, diperoleh data dengan bentuk panuang

gelombang maksimal, intensitas, efek pH, dan pelarut. Serapan (absorbansi)

dapat berubah dengan perubahan pH yang dilihat dari batokromik ke

hipsokromik dan sebaliknya. Aspek kuantitatif yaitu pengukuran intensitasi

radiasi yang seberkas dikenakan pada larutan sampel. Radiasi yang diserap

diperoleh dengan membandingkan intensitas sinar yang diteruskan dengan

intensitas sinar yang diserap dengan syarat tidak ada penyerap lainnya.

Intensitasi radiasi sebanding dengan jumlah foton yang melalui satu satuan luas

(Gandjar, 2017).

Analisis kimia bertujuan untuk mengetahui komposisi suatu zat karena

tidak adanya komponen dalam contoh, akan memberikan informasi kualitatif.

Sedangkan untuk mengukur jumlah atau banyak unsur yang diteliti untuk

menentukan struktur suatu zat disebut data kuantitatif (Triyati, 1985).

9
BAB III

METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat

Alat-alat yang digunakan adalah gelas beker 500 ml (pyrex), batang

pengaduk, bola karet, benang wol, erlemeyer 250 ml (pyrex), gelas ukur, kapas,

labu tentukur 25 ml (iwaki pyrex), maat pipet, neraca analitik, pipet volume 2

ml, pH meter, pipet volume, spektrofotometer UV-Visible (Shimadzu), satu set

alat bedah, sirkulator, serbet, spuit 3 mL, stopwatch, sumpit besi, tabung oksigen

dan regulator, tabung reaksi, termometer, vial,.

3.2 Bahan

Bahan yang digunakan adalah paracetamol, kloroform, natrium

hidroksida, kalium dihidrogen fosfat, natrium klorida fisiologis, usus halus

kelinci.

3.3 Hewan Percobaan

Kelinci jantan berat 1,5 kg

3.4 Prosedur

3.4.1 Pembuatan Pereaksi

- Pembuatan larutan NaCl 0,9% fisiologis

Dilarutkan 45 g natrium klorida dalam air suling hingga 5000 ml

- Pembuatan larutan NaOH 0,2 N

Natrium hidroksida sebanyak 44 g dilarutkan dalam air sulling bebas CO2

hingga 5000 ml

- Pembuatan larutan dapar fosfat pH 5,8

Campurkan 34,02 gr kalium dihidrogen fosfat 0,2 M dengan akuades 90 ml

natrium hidroksida 0,2 N dan cukupkan dengan aquadest bebas CO2 hingga 5L

10
- Pembuatan larutan dapar fosfat pH 7,4

Campurkan 34,02 gr kalium dihidrogen fosfat 0,2 M dengan akuades,

ditambahkan 977,5 ml natrium hidroksida 0,2 N dan cukupkan dengan

aquadest bebas CO2 hingga 5L

3.4.2 Pembuatan larutan paracetamol dalam dapar fosfat pH 5,8 dan 7,4

Dilarutkan 0,24 gr serbuk paracetamol dengan medium dapar fosfat.

Dicukupkan dengan mdedium dapar fosfat hingga 800ml.

3.4.3 Penentuan Kurva Kalibrasi Paracetamol

Ditimbang paracetamol 125 mg. Dilarutkan dalam medium dapar fosfat.

Diencerkan hngga 250 ml. Dipipet 20 ml dari LIB 1, diencerkan hingga 100 ml.

Dipipet masing-masing 1; 1,25; 1,5; 1,75; 2; 2,25; 2,5 ml dari LIB II, lalu

diencerkan hingga 25ml hingga didapatkan konsentrasi 0, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan 10

ppm, diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV Visible.

3.4.4 Penentuan Kurva Absorbsi Paracetamol pada Duodenum Terbalik

Kelici

Diikat usus terbalik kelinci degan panjang 7 cm pada kanula. Diisi

dengan larutan dapar fosfat. Dimasukkan ke dalam beaker glass yang berisi

larutan obat paracetamol. Dialiri oksigen. Dipipet larutan yang ada di dalam

usus terbalik pada menit ke 0, 5, 10, 20, 30, 40, 50, 60 sebanyak 1 ml. Setiap

pengambilan 1 ml, dimasukkan kembali medium ke dalam usus agar volumenya

tetap. Diukur panjang gelombang maksimum dengan spektrofotometer UV

visible.

11
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Data Hasil Pengukuran Kurva Kalibrasi Parasetamol pH 5,8
Konsentrasi (ppm) Absorbansi
0 0,895
4 1,301
5 1,397
6 1,309
7 1,493
8 1,552
9 1,602
10 1,720
4.1.2 Data Hasil Absorpsi Parasetamol pada Usus Terbalik Kelinci (Dapar
Fosfat pH 5,8)
Waktu (menit) Konsentrasi (ppm) Absorbansi
0 -0.1707 0.136
5 0,1775 0.167
10 0,1011 0.161
20 0,2007 0.170
30 0,4302 0.190
40 0,2130 0.171
50 0,4151 0.189
60 0,5135 0.198

4.1.3 Data Hasil Absorpsi Parasetamol pada Usus Terbalik Kelinci (Dapar
Fosfat pH 7,4)
Waktu (menit) Konsentrasi (ppm) Absorbansi
0 0,0164 0.153
5 1,2550 0.264
10 1,3369 0.271
20 2,0607 0.336
30 3,1818 0.436
40 3,1327 0.432
50 5,6330 0.655
60 3,4413 0.459

4.2 Perhitungan
4.2.1 Kurva Kalibrasi Paracetamol dapar fosfat

a
 XY  ( X . Y ) / n
 X 2  ( x ) 2 / n
21,42 − (49)(3,006/8)
=
371 − (49²/8)
3,0083
=
70,875
= 0,0424
12
Persamaan Regresi
y = ax + b
b = y-ax
b= 0,37575 - 0.0424 (6,125)
b= 0,11605
Jadi, persamaan regresi y = 0.0424 x + 0,11605

r 
 XY  ( X . Y ) / n
( X 2  ( X ) / n)( Y  ( Y )
2 2 2
/ n)
3,0083
=
3.4321
r = 0,8765

4.2.2 Konsentrasi
Absorpsi paracetamol pada usus terbalik kelinci (dapar fosfat pH 7,4)
Persamaan regresi; Y = 0.0424X + 0,11605
 Menit 0
0,153 = 0.0424X + 0,11605
X = 0,8714 ppm
= 0,8714 x 10-3mg/ 10-3L
0,8714 mg/L
= = 0,0057 mmol/L
151,16 gr/ mol
 Menit 5
0,264 = 0.0424X + 0,11605
X = 3.4893 ppm
= 3.4893 x 10-3mg/ 10-3L
3.4893 mg/L
= = 0,0230 mmol/L
151,16 gr/ mol
 Menit 10
0,271 = 0.0424X + 0,11605
X = 3.6544 ppm
= 3.6544 x 10-3mg/ 10-3L
3.6544 mg/L
= = 0,0241 mmol/L
151,16 gr/ mol
 Menit 20
0,366 = 0.0424X + 0,11605
X = 5.1875 ppm
= 5.1875 x 10-3mg/ 10-3L
5.1875 mg/L
= = 0.0343 mmol/L
151,16 gr/ mol
 Menit 30
0,436 = 0.0424X + 0,11605
X = 7.5459 ppm
13
= 7.5459 x 10-3mg/ 10-3L
7.5459 mg/L
= = 0,0499 mmol/L
151,16 gr/ mol
 Menit 40
0,432 = 0.0424X + 0,11605
X = 7.4516 ppm
= 7.4516 x 10-3mg/ 10-3L
7.4516 mg/L
= = 0,0492 mmol/L
151,16 gr/ mol
 Menit 50
0,655 = 0,089390X + 0,151611
X = 12.7110 ppm
= 12.7110 x 10-3mg/ 10-3L
12.7110 mg/L
= = 0,08401 mmol/L
151,16 gr/ mol
 Menit 60
0,459 = 0.0424X + 0,11605
X = 8.0884 ppm
=8.0884 x 10-3mg/ 10-3L
8.0884 mg/L
= = 0.0535 mmol/L
151,16 gr/ mol
Konsentrasi Sisa Paracetamol Obat = 2 mmol/g (Dapar Fosfat pH 7,4)
 Menit 5 = 2 – 0,0230 = 1,977 mmol/L
 Menit 10 = 1,977 – 0,0241 = 1,9529 mmol/L
 Menit 20 = 1,9529 - 0,0343 = 1.9186 mmol/L
 Menit 30 = 1,9186 - 0,0449 = 1,8687 mmol/L
 Menit 40 = 1.8687 - 0,0492= 1,8195 mmol/L
 Menit 50 = 1,8195 - 0,0840 = 1,7355 mmol/L
 Menit 60 = 1,7355 - 0,0535= 1,682 mmol/L
Absorpsi paracetamol pada usus terbalik kelinci (dapar fosfat pH 5,8)
Persamaan regresi; Y = 0,0057X – 0,13785
 Menit 0
0.136 = 0,0057X – 0,13785
X = -0.3245 ppm
= -0.3245 x 10-3mg/ 10-3L
−0.3245 mg/L
= = 0,0021467mmol/L
151,16 gr/ mol
 Menit 5
0.137 = 0,0057X – 0,13785
X = -0.1491 ppm

14
= -0.1491 x 10-3mg/ 10-3L
−0.1491 mg/L
= = 0,00098637mmol/L
151,16 gr/ mol
 Menit 10
0.161 = 0,0057X – 0,13785
X = 4.0614 ppm
= 4.0614x 10-3mg/ 10-3L
4.0614 mg/L
= = 0,02686 mmol/L
151,16 gr/ mol
 Menit 20
0.170 = 0,0057X – 0,13785
X = 5.6403 ppm
= 5.6403 x 10-3mg/ 10-3L
5.6403 mg/L
= = 0,0373 mmol/L
151,16 gr/ mol
 Menit 30
0.190 = 0,0057X – 0,13785
X = 9.1491 ppm
9.1491 x 10-3mg/ 10-3L
9.1491 mg/L
= = 0,0605 mmol/L
151,16 gr/ mol
 Menit 40
0.171 = 0,0057X – 0,13785
X = 5.8157 ppm
= 5.8157 x 10-3mg/ 10-3L
5.8157 mg/L
= = 0,0384 mmol/L
151,16 gr/ mol
 Menit 50
0.189 = 0,0057X – 0,13785
X = 8.9736 ppm
= 8.9736 x 10-3mg/ 10-3L
8.9736 mg/L
= = 0,0593 mmol/L
151,16 gr/ mol
 Menit 60
0.198 = 0,0057X – 0,13785
X = 10.5526 ppm
= 10.5526 x 10-3mg/ 10-3L
10.5526 mg/L
= = 0,0698 mmol/L
151,16 gr/ mol

Konsentrasi Sisa Paracetamol Obat = 2 mmol/g (Dapar Fosfat pH 5,8)


 Menit 5 = 2 – 0,0009 = 1,9991 mmol/g

15
 Menit 10 = 1,9991 – 0,0263 = 1,9723 mmol/L
 Menit 20 = 1,9723 – 0.0373 = 1,935 mmol/L
 Menit 30 = 1,935 - 0,0605 = 1,8745 mmol/L
 Menit 40 = 1,8745 - 0,0384 = 1,8361 mmol/L
 Menit 50 = 1,8361- 0,009566 = 1.7768 mmol/L
 Menit 60 = 1.7768 – 0.0698 = 1,707 mmol/L
4.3 Pembahasan
Absorbsi suatu obat merupakan suatu pengambilan obat dari permukaan

tubuh termasuk pada mukosa saluran cerna atau dari tempat-tempat tertentu

dalam organ ke aliran darah atau sistem pembuluh limfe. Obat dari aliran darah

atau pembuluh limfe kemudian akan didistribusikan ke seluruh tubuh

organisme. Obat dikatakan bermanfaat atau memberikan efek terapi apabila

telah mencapai konsentrasi yang sesuai pada tempat kerjanya. Oleh karena itu,

absorbsi merupakan syarat untuk mencapai efek terapeutik, sejauh tidak

digunakan secara intravasal atau tidak langsung digunakan pada tapak kerjanya

(Mutschler, 1991).

Dalam percobaan kali ini, dilakukan uji in vitro pada duodenum terbalik

kelinci dengan pengaruh lingkungan pH yang berbeda yaitu pH 7,4 dan 5,8

untuk menentukan aktivitas absorpsi paracetamol dalam duodenum. Hal ini

sangat berguna untuk mengestimasi first-pass metabolism dari obat dalam sel

epitel intestinal.

Pada percobaan ini, diperoleh persamaan regresi menggunakan medium

dapar fosfat pH 5,8 yaitu Y = 0,0057X – 0,13785dan persamaan regresi

menggunakan medium dapar fosfat pH 7,4 diperoleh persamaan regresi Y =

0,0424X + 0,11605.

Terdapat perbedaan konsenterasi paracetamol yang tersisa dalam usus

halus terbalik kelinci dalam medium dapar fosfat dengan pH 5,8 dan pH 7,4.

16
Pada medium dapar fosfat pH 5,8 diperoleh konsenterasi paracetamol sisa

adalah 1,707 mmol/L.. Sementara konsenterasi sisa paracetamol pada medium

dapar fosfat pH 7,4 diperoleh sebesar 1,682 mmol/L. Dari hasil tersebut dapat

dikatakan bahwa penyerapan paracetamol lebih baik pada pH 7,4 dibandingkan

pH 5,8.

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terhadap proses absorpsi,

antara lain kelarutan obat. Obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air,

laju pelarutan sering kali merupakan tahap yang paling lambat, oleh karena itu

mengakibatkan terjadinya efek penentu kecepatan terhadap bioavailabilitas obat.

Tahap yang paling lambat didalam suatu rangkaian proses kinetik disebut

tahappenentu kecepatan (rate-limiting step). Faktor-faktor yang mempengaruhi

laju degradasi antara lain pH, dapar, suhu, media reaksi dan adanya bahan

tambahan seperti surfaktan (Connors, 1986).

Terjadinya perubahan pH cairan gastrointestinal, misalnya peningkatan

pH karena adanya antasida, penghambat-H2, ataupun penghambat pompa-

proton akan menurunkan absorpsi basa-basa lemah (misal, paracetamol,

ketokonazol, itrakonazol) dan akan meningkatkan absorpsi obat-obat asam

lemah (misal, glibenklamid, glipizid, tolbutamid) (Gitawati, 2008).

17
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

 Berdasarkan hasil percobaan diperoleh hasil bahwa absorpsi paracetamol

lebih baik pada pH 7,4 dibandingkan pH 5,8. Dimana konsenterasi

paracetamol yang diabsorpsi lebih banyak terjadi pada pH 7,4

dibandingkan pH 5,8.

 Berdasarkan hasil percobaan diperoleh hasil dimana konsenterasi

paracetamol yang tidak diabsorpsi pada medium dapar fosfat pH 5,8

adalah sebesar 1,707 mmol/L.

 Berdasarkan hasil percobaan diperoleh hasil dimana konsenterasi

paracetamol yang tidak diabsorpsi pada medium dapar fosfat pH 7,4

adalah sebesar 1,682 mmol/L.

5.2 Saran

- Pada percobaan berikutnya, sebaiknya digunakan obat lain seperti

sulfadiazin dan asam salisilat

- Pada percobaan selanjutnya, sebaiknya menggunakan spektrofotometer

inframerah

18
DAFTAR PUSTAKA
Bahri, S. (1992). Kumpulan Bacaan Wajib Mahasiswa Biofarmasi. Medan: USU
Press. Halaman 5

Devissaguet, M. A. (1993). Farmasetika Biofarmasi. Surabaya: Airlangga


University Press. Halaman 364-365

Gandjar, I. G., Rohman, A. (2017). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar. Halaman 220-221, 240-241

Mutschler, E. (1991). Dinamika Obat. Bandung: Penerbit ITB. Halaman 9-11

Naid, T., Kasim, S., Pakaya, M. (2011). Penetapan Kadar Parasetamol dalam
Tablet Kombinasi Parasetamol dengan Kofein Secara Spektrofotometri
UV-Visibel. Majalah Farmasi dan Farmakologi. 15(2). Halaman 77

Shargel, L., Wu, S., Andrew. (2012). Biofarmasetika dan Farmakokinetika


Terapan. Surabaya: Airlangga University Press. Halaman 1-2

Triyati, E. (1985). Spektrofotometer UV dan Sinar Tampak Serta Aplikasinya


dalam Oseanologi. Oseana. 10(1). Halaman 39.

LAMPIRAN
Lampiran 1. Flowsheet
-Larutan NaCl 0,9% fisiologis
Natrium Klorida
19
← Ditimbang sebanyak 45 gram
← Dilarutkan dalam air suling hingga 5000 ml
Larutan NaCl 0,9% fisiologis

-Larutan NaOH 0,2 N


Natrium Hidroksida

← Ditimbang sebanyak 44gram


← Dilarutkan dalam air suling bebas CO2 hingga 5000 ml
Larutan NaOH 0,2 N

-Larutan dapar fosfat pH 5,8


Kalium dihidrogen fosfat 0,2 M

←Ditimbang sebanyak 34,02 gr


← Dicampurkan dengan 90 ml NaOH 0,2N
← Dicukupkan dengan dengan aquadest bebas CO2 hingga
5000ml

Larutan dapar fosfat pH 5,8

-Larutan dapar fosfat pH 7,4


Kalium dihidrogen fosfat 0,2 M

←Diukur sebanyak 34,02 ml


← Dicampurkan dengan 977,5 ml NaOH 0,2N
← Dicukupkan dengan dengan aquadest bebas CO2 hingga
5000 ml

Larutan dapar fosfat pH 7,4

2. Pembuatan Larutan ObatParacetamol Dalam dapar fosfat pH 5,8 dan


7,4

Serbuk Paracetamol

20
←Dilarutkan sebanyak 0,24 gr dalam medium dapar
fosfat
←Dicukupkan dengan dapar fosfat sampai 800ml.
Larutan Obat Paracetamol

3. Pembuatan kurva kalibrasi paracetamol


Paracetamol

←Dilarutkan sebanyak 125mg dalam medium dapar fosfat


← Diencerkan hingga 250 ml
LIB I

←Dipipet 20 ml, diencerkan hingga 100 ml
LIB II

← Dipipet 1; 1,25; 1,5; 1,75; 2; 2,25; 2,5 ml, diencerkan


hingga 25 ml hingga didapatkan konsentrasi 0, 4, 5, 6, 7,
8, 9, dan 10 ppm
← Diukur absorbansinya dengan spektrofotometer
Kurva Kalibrasi

4. Pembuatan kurva absorbsi paracetamol pada duodenum terbalik kelinci


Duodenum terbalik

←Diikat dengan panjang 7 cm pada kanula


←Diisi dengan larutan dapar fosfat
← Dimasukkan ke dalam beaker glass yang berisi larutan
obat paracetamol
← Dialiri oksigen
←Dipipetlarutan yang ada di dalam usus terbalik kelinci 1
ml pada menit ke 5, 10,15, 20, 30, 40, 50 dan 60
← Setiap pengambilan 1 ml, dimasukkan kembali medium
ke dalam usus agar volumenya tetap
←Diencerkan hingga 10 ml dengan mediumnya
←Diukur absorbansi dengan spektrofotometer
Absorbansi

Lampiran 2. Alat – Alat

1. Beaker Glass 2. Bola Hisap

21
3. Labu Ukur 4. Pipet Tetes

5. Spuit 6. Spektrofotometer

7. Tisu Lensa 8. Vial

22

Anda mungkin juga menyukai