Anda di halaman 1dari 5

2.

1 Pola Kehidupan Sosial-Ekonomi Manusia Zaman Mesolitik

Ketersediaan makanan dari alam dan jumlah binatang yang digunakan sebagai makanan memiliki
pengaruh yang besar terhadap cara hidup manusia di zaman mesolitik. Poesponegoro dan
Notosusanto (2010:180) menyatakan “mereka hidup berburu fauna (binatang) di dalam hutan,
menangkap ikan, mencari kerang dan siput di laut atau di sungai, dan mengumpulkan makanan dari
lingkungan sekitar, misalnya umbi-umbian seperti keladi, buah-buahan, biji-bijian, dan daun-
daunan”.

Umbi yang dimakan manusia pada zaman ini misalnya keladi yang kita ketahui tidak semua keladi
dapat dimakan. Ada keladi yang ketika dimakan membuat rongga mulut menjadi terasa gatal.
Mungkin karena kebiasaan dan pengalaman yang telah dialami, mereka dapat membedakan
tumbuhan mana yang bisa dimakan dan yang tidak.

Pada masa mesolitik sudah terdapat manusia yang pola hidupnya tinggal dengan cara menetap walau
suatu saat akan pindah. Kelompok manusia yang tinggal di gua memilih tempat yang di dekatnya ada
sumber air yang terdapat binatang untuk dijadikan makanan yang suatu saat akan berpindah jika
tumbuhan dan hewan buruan sudah dirasa hampir habis atau tidak mencukupi kebutuhan makanan
kelompok manusia yang mendiami daerah tersebut. Berikut ini Poesponegoro dan Notosusanto
(2010:180,181) memberi pernyataan sebagai berikut.

Mereka memilih gua-gua yang tidak jauh dari sumber air, atau di dekat sungai yang
mengandung sumber-sumber makanan seperti ikan, kerang, dan siput. Di gua-gua ini mereka
melangsungkan hidupnya, selama lingkungan sekitarnya masih terdapat sumber-sumber hidup yang
mencukupi kebutuhannya. Situs ini akan ditinggalkannya dan mereka akan berpindah ke tempat yang
lain apabila di situs yang pertama tadi tidak mungkin lagi untuk melanjutkan kehidupannya akibat
bahan-bahan makanan sudah berkurang.

Gua-gua yang ditempati manusia untuk tinggal dinaman dengan “abris sous roche”, yang sebenarnya
perwujudannya seperti ceruk di dalam batu karang yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat
berlindung dari hujan dan panas matahari (Soekmono, 1981:41). Kalau tidak berteduh di suatu
tempat ketika hujan turun, maka manusia bisa sakit apalagi jika usianya masih kecil. Pasti terdapat
suatu keinginan untuk mencari suatu tempat yang akan digunakan sebagai tempat berteduh.

Selain tinggal di gua, juga terdapat manusia yang hidup di tepi pantai. Soekmono (1981:39)
menyatakan “bekas-bekas itu menunjukkan telah adanya penduduk pantai yang tinggal dalam rumah-
rumah bertonggak”. Terdapat bangunan di atas tiang yang kecil berbentuk kebulat-bulatan yang
atapnya dari daun-daunan pada zaman mesolitik (Brahmantyo, Hermanto, dan Waluyo, 1998:36).
Rumah di atas tiang ini kemungkinan berada di tepi pantai atau di hutan yang dekat dengan sumber
air dan banyak sumber makanan. Atapnya yang terbuat dari daun karena pada zaman dahulu cara
kehidupannya memang masih sederhana belum mengenal desain rumah yang kuat seperti pada
sekarang ini.
Bagi beberapa manusia yang tempat hidupnya di tepi pantai melakukan perburuan ikan dan kerang
yang digunakan sebagai makanan. Poesponegoro dan Notosusanto (2010:151) berpendapat “populasi
yang berdiam di tepi pantai mencari makan di laut dan muara sungai. Selain ikan, kerang merupakan
sumber makanan yang utama, meskipun tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan darat mereka makan
juga”. Berarti selain berburu di perairan, mereka juga melakukan perburuan terhadap hewan di darat
dalam hutan yang ukuran badannya lebih besar dari ikan di sungai.

Jika kerang dimanfaatkan sebagai makanan, maka bagian cangkangnya yang keras tidak dapat
dikonsumsi. Ada yang langsung di buang, tetapi ada juga cangkang kerang yang diubah menjadi alat-
alat untuk membantu mempermudah pekerjaan manusia pada zaman mesolitik. Kegiatan memakan
kerang terus-menerus dilakukan, maka sisa-sisa kulit atau cangkang kerang dan siput perlahan-lahan
akan tertumpuk menjadi sebuah gundukan.

Soekmono (1981:39) menyatakan “kulit-kulit siput dan kerang yang dibuang itu selama waktu yang
bertahun-tahun, mungkin ratusan atau ribuan tahun, akhirnya menjelmakan bukit kerang yang
beberapa meter tinggi (ada yang tujuh meter) dan lebar itu. Bukit-bukit inilah yang dinamakan
(kjokkenmoddinger)”. Karena terlalu lama tertumpuk gundukan-gundukan kulit kerang dan siput
tersebut akan bertambah tinggi dan jumlahnya perlahan-lahan akan bertambah sehingga akan
terbentuknya bukit kerang yang banyak.

“Kjokkenmoddinger” berasal dari bahasa Denmark (kjokken artinya dapur, sedangkan modding
artinya sampah) sehingga apabila kata tersebut dirangkai memiliki arti sampah-sampah dapur
(Soekmono, 1981:39). Kemungkinan disebutnya sebagai sampah-sampah dapur karena kulit-kulit
kerang dan siput tersebut dianggap sebagai sisa makanan (makanan sekarang umumnya dihasilkan
dari dapur).

Pada masa mesolitik sudah terdapat manusia yang melakukan usaha bertani yang dilakukan secara
sederhana. Mereka belum membajak tanah dan belum bisa sistem bertani dengan menanam biji.
Mereka menaman tumbuhan dengan cara mengambil bagian tumbuhan untuk ditanam kembali
(fegetatif). Poesponegoro dan Notosusanto (2010:183) menguraikain tentang cara bertani pada zaman
mesolitik sebagai berikut.

Bercocok tanam dikerjakannya dengan amat sederhana dan dilakukan secara berpindah-pindah
menurut keadaan kesuburan tanah. Hutan yang akan dijadikan tanah pertanian dirambah dahulu
dengan sistem tebas-bakar (slash and burn). Di sini mereka menanam umbi-umbian seperti keladi
sebab mereka belum mengenal cara menanam biji-bijian. Mereka sudah menanam satu jenis padi liar
yang didapatkan dari hutan, dan kemudian mengetam dengan mempergunakan pisau-pisau batu yang
tajam. Setelah musim panen selesai, lahan pertanian yang sederhana itu akan ditinggalkannya.

Usaha membuat binatang liar menjadi jinak oleh manusia sudah dilakukan pada zaman mesolitik.
Poesponegoro dan Notosusanto (2010:184) menyatakan “selama itu mereka juga sudah mulai
berusaha untuk menjinakkan binatang, tetapi belum terdapat bukti-bukti yang kuat tentang cara untuk
memelihara atau mengembangbiakkan binatang, meskipun penemuan gigi anjing di Gua Cakondo
merupakan bukti tentang upaya untuk menjinakkan binatang tersebut”.

Pada masa ini sudah ditemukannya api sangat berguna bagi kehidupan manusia terutama untuk
memasak makanan dan melindungi dari binatang buas.. “Api yang dikenal sejak kala Plestosen,
memegang peran penting dalam kehidupan gua. Api bermanfaat untuk pemanas tubuh dan
menghalau hewan buas di malam hari, di samping untuk memasak makanan” (Poesponegoro dan
Notosusanto (2010:142). Sudah ada usaha untuk memasak makanan terlebih dahulu sebelum
dimakan pada zaman mesolitik. Kemajuan penemuan api membuat pekerjaan manusia menjadi lebih
ringan. Misalnya karena bahan makanan yang telah dimasak dengan api akan menjadi lebih lunak,
sehingga usaha untuk mengunyah akan membutuh waktu yang lebih singkat.

Sudah dikenal pula usaha penguburan mayat dengan diseratai bekal kubur dan manusia juga sudah
mengenal seni pelukisan dengan menggunakan media dinding gua pada masa ini. Poesponegoro dan
Notosusanto (2010:141) menyatakan sebagai berikut.

Dalam kehidupan manusia mulai tampak kegiatan-kegiatan yang ternyata menghasilkan sesuatu yang
belum dicapai pada masa-masa sebelumnya, di antaranya adalah lukisan-lukisan di dinding gua atau
dinding karang. Di samping itu, telah dilakukan juga penguburan bagi seseorang yang meninggal
dunia, dan ikut dikuburkan pula perhiasan-perhiasan dari kulit kerang sebagai bekal kubur.

Walaupun kebudayaan pada zaman mesolitik atau masa berburu dan mengumpulkan makanan
tingkat lanjut masih terdapat kemiripan dengan zaman paleolitik tetapi budayanya sudah mengalami
kemajuan dan perkembangan. Terbukti dari sudah adanya pola hidup yang menetap, sudah mengenal
kegiatan penguburan manusia yang meninggal, ada usaha untuk menghaluskan alat tetapi belum
terlalu halus, dan sudah adanya usaha untuk mengolah tanah untuk lahan pertanian.

2.2 Kebudayaan Alat Tulang pada Zaman Mesolitik

Manusia memiliki perbedaan dengan hewan dan tumbuhan. Manusia tidak memiliki sayap dan cakar
tajam yang dapat digunakan untuk mempertahankan diri, tetapi bukan berarti mereka tidak dapat
menyesuaikan dirinya dengan kondisi lingkungan sekitar. Dengan akal pikiran manusia dapat belajar
untuk menyesuaikan dirinya dengan kondisi lingkungan alam sekitar mereka.

Manusia memiliki akal, sehingga dapat mempelajari suatu hal dengan berbagai macam cara. Mereka
dapat belajar dari pengalaman yang telah dialami, penemuan hal yang baru atau bahkan dapat
meniru. Soekmono (1981:8) menyatakan “dengan akalnya maka manusia mengadakan alat-alat yang
ia dapat pergunakan guna memperlengakapi dirinya dalam menghadapi sesuatu keadaan tertentu”.

Dengan alat-alat yang mereka hasilkan, manusia dapat mempermudah mereka untuk mencari
makanan dan mempertahankan kehidupan. Karena mereka dapat belajar terus menerus walau dengan
perlahan-lahan, mereka akan dapat mengembangkan dan juga dapat menciptakan peralatan lainnya.
Soekmono (1981:9) memberi pernyataan “nafsu dan hasrat manusia semakin dapat berkembang,
sebaliknya menimbulkan ciptaan-ciptaan baru lagi”. Dengan demikian kemampuan manusia untuk
membuat suatu ciptaaan akan terus mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik.

Hasil dari ciptaan manusia, kelakuan, dan ide-idenya adalah merupakan kebudayaan.
Koentjaraningrat (2009:144) berpendapat “kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan
dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar”. Selain benda-benda yang dapat disentuh dan dipegang, kebudayaan juga menyangkut
pemikiran manusia dan kegiatan-kegiatan sehari-hari yang mereka laksanakan.

Pada masa mesolitik manusia masih melakukan perburuan, baik berburu binatang-binatang di hutan-
hutan maupun menangkap ikan-ikan dan bangsa kerang-kerangan di lingkungan alam perairan.
Hasrat manusia untuk makan dan memenuhi gizi sangatlah tinggi (hingga zaman sekarang). Binatang
buruan selain memiliki daging juga pasti terdapat tulang. Ikan ketika dimakan pasti menyisakan
durinya yang sulit untuk dikonsumsi.

Poesponegoro dan Notosusanto (2010:171-172) berpendapat tentang permulaan gagasan


digunakannya alat tulang sebagi berikut.

Ada kalanya pekerjaan yang bersifat ringan seperti mengail, menjahit, dan sebagainya tidak dapat
dikerjakan dengan alat dari batu. Ada dugaan bahwa penggunaan tulang sebagai alat muncul
bersamaan waktunya dengan kegiatan perburuan hewan. Sumsum yang ada di tulang merupakan
makanan yang lezat, dan untuk memperolehnya perlu memecahkan tulangnya. Secara kebetulan
serpihan tulang akibat pemecahan digunakan sebagai alat pengorek sumsum. Berdasarkan
pengalaman tersebut muncul gagasan untuk memanfaatkan tulang sebagai alat dan selanjutnya
mulailah pengambilan dan penyeleksian setiap tulang yang di dapat dari hewan buruan untuk
dikerjakan sebagai alat.

Ketika tulang dihancurkan atau dipecah untuk diambil sumsumnya, maka bagian yang keras
kemungkinan ada yang tajam atau runcing yang dapat digunakan sebagai alat yang dapat membantu
manusia pada zaman mesolitik. Ketajaman tulang yang kerang dapat digunakan untuk alat-alat yang
berguna bagi manusia untuk membantu kegiatan mereka.

Alat-alat dari tulang banyak ditemukan dari dalam gua-gua yang dihuni oleh manusia. Mustopo
(2006:86) berpendapat “banyak alat-alat batu dan tulang dari zaman batu madya ditemukan di Abris
Sous Roche, yaitu gua-gua yang digunakan sebagai tempat tinggal”. Saraswati (2006:32) menyatakan
“dari Gua Lawa, dekat Sampung, Ponorogo, ditemukan mata panah, batu-batu penggiling, dan alat-
alat dari tulang ataupun tanduk. Di beberapa gua di Bojonegoro ditemukan pula alat-alat dari kerang
maupun dari tulang”.

Jenis alat tulang yang sudah ditemukan antara lain: belati dari tanduk, lancipan atau alat tusuk, mata
kail, dan sudip. Sudip yang terbuat dari tulang digunakan untuk membersihkan kulit umbi-umbian
(Poesponegoro dan Notosusanto, 2010:167-175). Tulang dari binatang buruan yang keras dapat
digunakan untuk alat-alat yang berguna bagi manusia untuk membantu kegiatan mereka.

Anda mungkin juga menyukai