Anda di halaman 1dari 41

LONGCASE ILMU PENYAKIT SARAF

POST HERPETIC NEURALGIA

Pembimbing:

dr. Rita Fitriani Sp.S.

Disusun oleh:

Alphi Pujiana

20184010104

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PANEMBAHAN SENOPATI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus ujian dengan judul:

Post Herpetic Neuralgia

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf RSUD Panembahan Senopati

2019

Disusun oleh:

Alphi Pujiana

20184010104

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Rita Fitriani, Sp.S. selaku dokter penguji dan

pembimbing departemen neurologi RSUD Panembahan Senopati

Yogyakarta, 04 Juli 2019

Mengetahui,

dr. Rita Fitriani, Sp.S.

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan Inayah-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan pembuatan makalah presentasi kasus yang berjudul “Post Herpetic
Neuralgia” ini.

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagian
Neurologi Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Muhammadiyah Yogyakarta di
RSUD Panembahan Senopati.

Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pengajar di SMF
Neurologi, khususnya dr.Rita Fitriani, Sp.S, atas bimbingannya selama berlangsungnya
pendidikan di bagian Neurologi ini sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini dengan
maksimal kemampuan saya.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, maka saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki makalah ini dan untuk
melatih kemampuan menulis makalahuntuk berikutnya.

Demikian yang dapat saya sampaikan, mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca, khususnya bagi kami yang sedang menempuh pendidikan.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ 2


DAFTAR ISI........................................................................................................................................... 3
BAB I ...................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 4
LAPORAN KASUS................................................................................................................................ 5
A. IDENTITAS PASIEN .................................................................................................................... 5
B. ANAMNESIS................................................................................................................................. 5
C. PEMERIKSAAN FISIK ................................................................................................................ 6
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG ................................................................................................. 11
E. RESUME ...................................................................................................................................... 13
F. DIAGNOSIS & DIAGNOSIS BANDING ................................................................................... 14
G. TERAPI........................................................................................................................................ 14
H. PROGNOSIS ............................................................................................................................... 15
BAB III ................................................................................................................................................. 21
PEMBAHASAN ................................................................................................................................... 21
BAB IV ................................................................................................................................................. 27
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................................................... 27
I. Neuralgia Pasca Herpes ................................................................................................................. 27
I.1. Definisi dan Epidemiologi ...................................................................................................... 27
I.4. Manifestasi Klinis dan Diagnosis ........................................................................................... 29
I.5. Penatalaksanaan ...................................................................................................................... 31
I.6. Pencegahan ............................................................................................................................. 34
I.7. Pemberian Antivirus ............................................................................................................... 35
I.8. Prognosis ............................................................................................................................... 36
BAB V. KESIMPULAN ................................................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 38

3
BAB I
PENDAHULUAN

The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri
sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan,yang
berhubungan dengan kerusakan jaringan yang nyata atau berpotensi rusak. Nyeri dapat
disebabkan oleh trauma, neoplasma, inflamasi, gangguan sirkulasi darah dan kelainan
pembuluh darah (Kumar, 2016).

Menurut World Health Organization (WHO) nyeri kepala biasanya dirasakan


berulang kali oleh penderita sepanjang hidupnya. Kurang lebih dalam satu tahun 90% dari
populasi dunia mengalami paling sedikit satu kali nyeri kepala (Sjahrir, 2008).

Secara umum, presentase nyeri kepala pada populasi orang dewasa adalah 47%, yaitu
10% migraine, 38% tension-type headache (TTH), 3% chronic headache (Jensen & Stovner,
2008). Dari penelitian yang dilaporkan Diamond di Amerika, prevalensi migraine pada laki-
laki didapatkan 6% sedangkan pada perempuan 15-18%, sedangkan untuk jenis TTH 59%
dari populasi pernah mengalami TTH satu hari per bulannya, dimana perempuan lebih
banyak dari pada laki-laki (1,5:1) (Diamond, 2007).

Nyeri kepala merupakan keluhan yang paling sering timbul dalam bidang neurologi.
Prevalensinnya mencapai hampir 90% dari penyebab utama pasien datang ke dokter umum
maupun neurologis. Sebagian besar nyeri kepala merupakan nyeri kepala primer. Namun
nyeri kepala juga dapat terjadi akibat suatu proses yang mendasari suatu penyakit atau
kondisi tertentu yang disebut nyeri kepala sekunder (Gladstone, 2010).

Herpes Zoster (HZ) merupakan salah satu penyakit kulit akibat infeksi virus, yaitu
akibat reaktivasi virus Varicella-zoster (VZV). Sebagian besar infeksi virus bersifat ringan
dan dapat sembuh sendiri, tetapi Herpes Zooster dapat menimbulkan keluhan nyeri yang
menetap atau neuralgia paska herpetik (NPH) yang dapat menyebabkan menurunnnya
kualitas hidup. Faktor risiko utama Neuralgia Paska herpetik yaitu peningkatan usia>50 tahun
dan kondisi immunocompromised.

4
BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. W
No. RM : 648578
Jenis kelamin : Laki laki
Umur : 68 tahun
Agama : Islam
Status : Menikah
Alamat : pedak,RT 04, Bantul.
Tanggal masuk : 13 Juni 2019 - 18 Juni 2019
Ruang : Bakung

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara Autoanamnesis pada tanggal 14 juni 2019 di ruang
rawat inap Bakung RSUD Panembahan Senopati.

Keluhan Utama : nyeri hebat di kepala dan sekitar mata kanan, terasa tajam, seperti
tersengat dan nyeri menjalar pada wajah bagian kanan.
Keluhan Tambahan: mata berair, nyeri dan pandangan kabur.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUD Panembahan Senopati pada tanggal
13 juni 2019 dengan mengeluh nyeri hebat di kepala dan sekitar mata kanan, terasa
tajam, seperti tersengat dan nyeri menjalar pada wajah bagian kanan sejak 3 hari yang
lalu, dengan intensitas semakin memberat, tidak membaik dengan istirahat maupun terapi
oral sebelumnya. Nyeri tersebut membuat aktivitas pasien sangat terganggu. Keluahn
tersebut disertai dengan pandangan mata kabur, berarir dan nyeri pada mata sebelah
kanan. Penurunan kesadaran (-), kejang (-), demam (-), telinga berdenging (-/-), sulit
tidur (+), mual (-), muntah (-), kelemahan anggota gerak disangakal.

5
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat demam (+) sumer-sumer,2 minggu yang lalu, sebelum timbul lesi di wajah.
Pasien memiliki riwayat herpes di wajah sebeah kanan 2 minggu yang lalu, sudah
pengobatan ke Sp.KK.
Riwayat DM (+) rutin obat minum, HT (-), stroke (-), Epilepsi (-), alergi (-), Gastritis
(-).

Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien mengaku tidak ada keluarga yang mengalami hal yang serupa dengan
pasien. Riwayat diabetes, hipertensi, dan sakit jantung pada keluarga disangkal oleh
pasien.

Riwayat Pengobatan
Pengobatan herpes ke Sp. KK sudah 10 hari mendapat asyclovir, tapi tidak kontrol di
Sp.KK.
Acyclovir 5x800mg
Gabapentin 2x300mg
Mecobaamin 3x1
Patral 2x1
Inj Ketorolac 1A

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Kesadaran : compos mentis, GCS: E4V5M6, tampak kesakitan.
Tanda vital : Tekanan darah : 130/90 mmHg
Nadi : 90 x/menit
Pernapasan : 19 x/menit
Suhu : 36,5oC
VAS : 8-9
Status Generalis

a. Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit
cukup, capilary refill kurang dari 2 detik dan teraba hangat.
b. Kepala :Normosefali, rambut berwarna hitam disertai putih distribusi merata

6
 Mata : Sekret (+/-), Konjungtiva anemis (-/-), hiperemis (+/-), sklera
ikterik (-/-), RCL +/+, RCTL +/+, pupil isokor 3mm/3mm
 Wajah : Terdapat krusta dan beberapa vesikel yang mulai mengering
pada sisi kanan wajah disekitar hidung, pipi dan bawah mata.
Terasa panas dan nyeri. Nyeri saat diraba.
 Hidung : Deformitas (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-), deviasi septum (-),
sekret (-/-)
 Telinga : Normotia (+/+), nyeri tekan (-/-), nyeri tarik (-/-), sekret (-/-)
 Mulut : Sudur bibir simetris, kering (-), sianosis (-), menjulurkan lidah
simetris (+).
 Tenggorokan : Trismus (-); arkus faring simetris, hiperemis (-); uvula di tengah,
c. Pemeriksaan Leher
a) Inspeksi : Tidak terdapat tanda trauma maupun massa
b) Palpasi : Tidak terdapat pembesaran KGB maupun kelenjar tiroid, tidak
terdapat deviasi trakea
d. Pemeriksaan Toraks
Jantung
a) Inspeksi :Tampak iktus kordis ± 2cm di bawah papilla mamae sinistra
b) Palpasi :Iktus kordis teraba kuat ± 2cm di bawah papilla mamae sinistra
c) Perkusi :
Batas atas kiri : ICS II garis parasternal sinsitra dengan bunyi redup
Batas atas kanan : ICS II garis parasternal dekstra dengan bunyi redup
Batas bawah kiri : ICS V ± 1cm medial garis midklavikula sinistra dengan bunyi
redup
Batas bawah kanan : ICS IV garis parasternal dekstra dengan bunyi redup
d) Auskultasi:Bunyi jantung I dan II iregular, murmur (-), gallop (-)

Paru
a) Inspeksi : Dinding toraks simetris pada saat statis maupun dinamis, retraksi
otot-otot pernapasan (-)
b) Palpasi : Simetris, vocal fremitus sama kuat kanan dan kiri
c) Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
d) Auskultasi: Suara napas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

7
e. Pemeriksaan Abdomen
a) Inspeksi : Perut datar, massa (-), pulsasi abnormal (-)
b) Auskultasi : Bising usus (+) normal
c) Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
d) Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)

k. Pemeriksaan Ekstremitas
 Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis (-/-)
 Akral hangat (+/+), oedem (-/-) ekstremitas atas dan ekstremitas bawah dextra

Status Neurologis

Kesadaran : Compos mentis


GCS : E4V5M6
Gerakan abnormal : Tidak ada

a. Rangsangan Meningeal
1. Kaku kuduk : - (tidak ditemukan tahanan pada tengkuk)
2. Brudzinski I : -/- (tidak ditemukan fleksi pada tungkai)
3. Brudzinski II : -/- (tidak ditemukan fleksi pada tungkai)
4. Kernig : -/- (tidak terdapat tahanan sebelum mencapai 135º/tidak
terdapat rasa nyeri sebelum mencapai 135º)
5. Laseque : -/- (tidak timbul tahanan sebelum mencapai 70o/tidak timbul
rasa nyeri sebelum mencapai 70o)

b. Nervus Kranialis
1. N-I (Olfaktorius) : Tidak ada gangguan penciuman
2. N-II (Optikus)
a. Visus : Tidak dilakukan pemeriksaan
b. Warna : Normal
c. Funduskopi : Tidak dilakukan pemeriksaan
d. Lapang pandang : Normal
3. N-III, IV, VI (Okulomotorius, Trochlearis, Abducens)

8
a. Gerakan bola mata : atas (+/+), bawah (+/+), lateral (+/+), medial (+/+),
atas lateral (+/+), atas medial (+/+), bawah lateral (+/+), bawah medial (+/+)
b. Ptosis :- /-
c. Pupil : Isokor, bulat, 3mm / 3mm
e. Refleks Pupil
 langsung :+/+
 tidak langsung :+/+
4. N-V (Trigeminus)
a. Sensorik
 N-V1 (ophtalmicus) : +
 N-V2 (maksilaris) : +
 N-V3 (mandibularis) : +
(pasien dapat menunjukkan tempat rangsang raba)
b. Motorik : +
Pasien dapat merapatkan gigi dan membuka mulut
5. N-VII (Fasialis)
a. Sensorik (indra pengecap) : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
b. Motorik
 Angkat alis : + / +, terlihat simetris kanan dan kiri
 Menutup mata : +/+
 Menggembungkan pipi : kanan (baik), kiri (baik)
 Menyeringai : kanan (baik), kiri (baik)
 Gerakan involunter : -/-
6. N. VIII (Vestibulocochlearis)
a. Keseimbangan
 Nistagmus : Tidak ditemukan
 Tes Romberg : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
b.Pendengaran
 Tes Rinne : Tidak Dilakukan Pemeriksaan.
 Tes Schwabach : Tidak Dilakukan Pemeriksaan.
 Tes Weber : Tidak Dilakukan Pemeriksaan.
 Suara bisikan : +/+
7. N-IX, X (Glosofaringeus, Vagus)

9
a. Refleks menelan : +
b. Refleks batuk : +
c. Perasat lidah (1/3 anterior) : Tidak Dilakukan Pemeriksaan.
d. Refleks muntah : Tidak Dilakukan Pemeriksaan.
e. Posisi uvula : Normal; Deviasi ( - )
f. Posisi arkus faring : Simetris
8. N-XI (Akesorius)
a. Kekuatan M. Sternokleidomastoideus : + /+
b. Kekuatan M. Trapezius : + /+

9. N-XII (Hipoglosus)
a. Tremor lidah :-
b. Atrofi lidah :-
c. Menjulurkan lidah simetris (+)

c. Pemeriksaan Motorik
1. Refleks
a. Refleks Fisiologis
 Biceps : N/N
 Triceps : N/N
 Achiles : N/N
 Patella : N/ N
b. Refleks Patologis
 Babinski : -/-
 Oppenheim : -/-
 Chaddock : -/-
 Gordon : -/-
 Scaeffer : -/-
 Hoffman-Trommer : -/-
2. Kekuatan Otot
5555 5555
Ekstremitas Superior Dextra Ekstremitas Superior Sinistra
5555 5555

10
Ekstremitas Inferior Dextra Ekstremitas Inferior Sinistra

Ket: 5 Dapat melawan tahanan, normal

3. Tonus Otot
a. Hipotoni : - /-
b. Hipertoni : -/-

d. Sistem Koordinasi
1. Romberg Test : Tidak Dilakukan Pemeriksaan.
2. Tandem Walking : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
3. Finger to Finger Test : Normal
4. Finger to Nose Test : Normal

e. Fungsi Kortikal
1. Atensi : Normal
2. Konsentrasi : Normal
3. Disorientasi : -
4. Kecerdasan : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
5. Bahasa : Normal
6. Memori : Tidak ditemukan gangguan memori
7. Agnosia : Pasien dapat mengenal objek dengan baik

f. Susunan Saraf Otonom


Inkontinensia :-
Hipersekresi keringat :-

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah lengkaptanggal 13 Juni 2019
HEMATOLOGI HASIL
Hemoglobin 11.8 g/dL
Lekosit 5.11 103/uL
Eritrosit 3.80 106/uL

11
Trombosit 222 103/uL
Hematokrit 33.2 vol%
HITUNG JENIS
Eosinofil 3%
Basofil 1%
Batang 0%
Segmen 53 %
Limfosit 34 %
Monosit 9%
FUNGSI HATI
SGOT 11 U/L
SGPT 16 U/L
FUNGSI GINJAL
Ureum 23 mg/dL
Kreatinin 1,18 mg/dL
GDS 304 mg/dL
ELEKTROLIT
Natrium 140 mmol/L
Kalium 3.93 mmol/L
Klorida 105.0 mmol/L

EKG tanggal 13 juni 2019

12
Rontgen thorax PA dewasa tanggal 13 juni 2019

Kesan: pulmo dan besar Cor normal.

E. RESUME
Seorang laki-laki Tn. W, usia 68 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUD
Panembahan Senopati dengan keluhan nyeri hebat di kepala dan sekitar mata kanan,
terasa tajam, seperti tersengat dan nyeri menjalar pada wajah bagian kanan sejak 3 hari
yang lalu, dengan intensitas semakin memberat, tidak membaik dengan istirahat maupun
terapi oral sebelumnya. Nyeri tersebut membuat aktivitas sehari-hari pasien sangat
terganggu. Keluhan tersebut disertai dengan pandangan mata kabur, berarir dan nyeri
pada mata sebelah kanan. Penurunan kesadaran (-), kejang (-), demam (-), telinga
berdenging (-/-), sulit tidur (+), mual (-), muntah (-), kelemahan anggota gerak
disangakal.
Dari pemeriksaan fisik status tanda vital didapatkan hasil dalam batas normal. Pada
pemeriksaan status generalis ditemukan kelainan pada pemeriksaan mata didapatkan
sekret bening dan hiperemis pada mata kanan. Dibawah mata dan sekitar wajah sebelah
kanan terdapat krusta dan bercak kecoklatan. Serta beberapa vesikel yang mulai

13
mengering pada sisi kanan wajah disekitar hidung, pipi dan bawah mata. Terasa panas
dan nyeri. Nyeri saat diraba.
Pada pemeriksaan status neurologis tidak ditemukan adanya gangguan, hanya saja
agak terbatas dikarenakan nyeri, yaitu saat membuka mulut dan tersenyum. Tidak
ditemukan kelemahan pada ektremitas atas dan bawah.
Dari pemeriksaan laboratorium darah didapatkan peningkatan gula darah sewaktu
pasien. Hasil pemeriksaan EKG pasien normal sinus. Pemeriksaan Rontgen thorax PA
dewasa menunjukkan hasil dalambatas normal.

F. DIAGNOSIS & DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis klinis : Cephalgia berat
Diagnosis topik : Cabang N V Trigeminal.
Diagnosis etiologi : Herpes zooster
Diagnosis tambahan : Diabetes melitus

Diagnosis banding Neuralgia Trigeminal

G. TERAPI
Saraf
 Oksigen kanul 3lpm
 Inf. NaCl 0.9% 15 tpm
 inj Mecobalamin 1A/8 jam
 Valasiklovir 2x 500mg
 Patral 3x1
 PO Alpentin 2x100mg
 PO Amitriptilin 2x12,5 mg
 Inj Metil Prednisolon 2x 31,25mg (1/4 A)
 PO Lansoprazole1x1
 CT scan kepala belum perlu.

UPD
 Novorapid 3x6 iu

14
 Cek GDS meal
 GDS <100 --> insulin tunda

Kulit
 MP 2x8 mg
 Pregabalin 1x75mg
 Tramadol 2x50mg

H. PROGNOSIS
Ad vitam : Ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

CATATAN PERKEMBANGAN TERINTEGRASI (SOAP)

Tanggal Follow up Terapi


13/06/2019 Pasien datang dari kiriman dr Rita Sp.S Inj Mecobalamin 3x1A

15
(Bangsal dengan Cephalgia Berat susp encephalitis DD Acyclovir 5x800mg
Bakung) Herpetic Cephalgia. Inj ketorolac 3x1A
Pasien masuk bangsal. Patral 3x1
PO Alpentin 2x100mg
PO Amitriptilin 2x12,5mg
Inj Metilprednisolon
2x31,25mg
Lansoprazole oral 1x1 cap
Lab lengkapDL, Ur, Cr
EKG, Ro Thorax
CT scan kepala belum perlu
14/06/2019 S: Pasien mengeluh nyeri hebat di kepala dan
07.00 sekitar mata kanan, terasa tajam, seperti Inf Nacl 0,9% 20tpm
tersengat dan nyeri menjalar pada wajah Inj Mecobalamin 3x1A
GDS: 337 bagian kanan sejak 3 hari yang lalu, dengan Acyclovir 5x800mg
intensitas semakin memberat, tidak membaik Inj ketorolac 3x1A
denagn istirahat maupun terapi sebelumnya. Patral 3x1 -- stop
Nyeri tersebut membuat aktivitas pasien PO Alpentin 2x100mg --stop
sangat terganggu. Keluahn tersebut disertai PO Amitriptilin 2x12,5mg
dengan pandangan mata kabur, berarir dan Inj Metilprednisolon
nyeri pada mata sebelah kanan. Telinga 2x31,25mg
berdenging (-/-), sulit tidur (+), mual (-), Lansoprazole oral 1x1 cap
muntah (-), demam (-), kelemahan anggota
gerak disangakal.
+ Tramadol 2x50mg
O: KU:Komposmentis. GCS E4V5M6, + Pregabalin 1x75mg
tampak kesakitan.
TD: 130/90 mmHg Co UPD:
N: 90 x/menit -Novorapid 3x6iu
RR: 19x/menit -GDS premeal
S: 36,5 c
VAS : 8-9 Co Kulit:
-Terapi Sp.S sudah adekuat
Kepala : CA (+/-), SI (-/-) - MP 2x8mg
Leher : kaku kuduk (-), neck stiffness (-) - Pregabalin 1x75mg
Thorax : Polmo SDV (+/+), Rhonki (-/-), - Tramadol 2x50mg
Wheezing (-/-)
Cor S1S2 Reguler, BJ (-)
Abdomen: Supel, peristaltik (+), NT (-)
Ekstremitas: Akral hangat (+/+/+/+), oedem (-
/-/-/-)
Status neurologis:
Kekuatan otot
5/5/5 5/5/5
16
5/5/5 5/5/5

RF (+/+/+/+), RP (-/-/-/-)

A: Cephalgia berat
Neuralgia trigeminal
Diabetes melitus

15/06/2019 S: pasien masih kesakitan pada mata dan Inf Nacl 0,9% 20 tpm
07.00 wajah sebelah kanan menjalar ke leher. Mata Inj Mecobalamin 3x1A
kanan masih berarir. Sulit tidur (+). Acyclovir 5x800mg
Inj ketorolac 3x1A
GDS: 295 O: KU:Komposmentis. GCS E4V5M6, Inj MP --stop
tampak kesakitan. PO Amitriptilin 2x12,5mg
TD: 160/90 mmHg Lansoprazole oral 1x1 cap
N: 95 x/menit Tramadol 2x50mg Pregabalin
RR: 22x/menit 2x75mg
S: 36, c Novorapid 3x6 iu
VAS : 8
+PO MP 2x8mg
Kepala : CA (+/-), SI (-/-)
Leher : kaku kuduk (-), neck stiffness (-) Raber UPD
Thorax : Polmo SDV (+/+), Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
Cor S1S2 Reguler, BJ (-)
Abdomen: Supel, peristaltik (+), NT (-)
Ekstremitas: Akral hangat (+/+/+/+), oedem (-
/-/-/-)
Status neurologis:
Kekuatan otot
5/5/5 5/5/5
5/5/5 5/5/5

RF (+/+/+/+), RP (-/-/-/-)

A: Cephalgia berat
Neuralgia trigeminal
Diabetes melitus

16/06/2019 S: masih nyeri di kepala menjalar ke leher Inf Nacl 0,9% 20 tpm
07.00 kanan tapi lebih berkurang dari pertama kali Inj Mecobalamin 3x1A
masuk RS, mata sudah tidak berair lagi, tapi Acyclovir 5x800mg
pandangan masih sedikit kabur. Tidur sudah PO Amitriptilin 2x12,5mg

17
GDS:171 bisa. Mual (-), muntah (-). PO Metilprednisolon 2x8mg
Inj ketorolac 3x1A
O: KU:Komposmentis. GCS E4V5M6, Lansoprazole oral 1x1 cap
tampak kesakitan. Tramadol 2x50mg Pregabalin
TD: 160/90 mmHg 1x75mg
N: 95 x/menit Novorapid 3x6 iu
RR: 22x/menit
S: 36, c
VAS : 6-7

Kepala : CA (+/-), SI (-/-)


Leher : kaku kuduk (-), neck stiffness (-)
Thorax : Polmo SDV (+/+), Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
Cor S1S2 Reguler, BJ (-)
Abdomen: Supel, peristaltik (+), NT (-)
Ekstremitas: Akral hangat (+/+/+/+), oedem (-
/-/-/-)
Status neurologis:
Kekuatan otot
5/5/5 5/5/5
5/5/5 5/5/5

RF (+/+/+/+), RP (-/-/-/-)

A: Cephalgia berat
Neuralgia trigeminal
Diabetes melitus

17/06/2019 S: nyeri kepala menjalar ke leher sebelah Inf Nacl 0,9% 20 tpm
07.00 kanan masih ada, tapi sudah mendingan. Inj Mecobalamin 3x1A
Tidur (+). Acyclovir 5x800mg
Inj ketorolac 3x1A
O: KU:Komposmentis. GCS E4V5M6, PO Amitriptilin 2x12,5mg
GDS: 217 tampak kesakitan. PO Metilprednisolon 2x8mg
TD: 140/90 mmHg Lansoprazole oral 1x1 cap
N:84 x/menit Tramadol 2x50mg Pregabalin
RR: 21x/menit 2x75mg
S: 36,7 c Novorapid 3x6 iu
VAS : 5

Kepala : CA (-/-), SI (-/-)


Leher : kaku kuduk (-), neck stiffness (-)
Thorax : Polmo SDV (+/+), Rhonki (-/-),
18
Wheezing (-/-)
Cor S1S2 Reguler, BJ (-)
Abdomen: Supel, peristaltik (+), NT (-)
Ekstremitas: Akral hangat (+/+/+/+), oedem (-
/-/-/-)
Status neurologis:
Kekuatan otot
5/5/5 5/5/5
5/5/5 5/5/5

RF (+/+/+/+), RP (-/-/-/-)

A: Cephalgia berat
Neuralgia trigeminal
Diabetes melitus

18/06/2019 S: nyeri kepala menjalar sebelah kanan masih BLPL


07.00 ada, tapi intensitas ringan. Pandangan sebelah
kanan masih agak sedikit kabur. Obat Pulang:
GDS: 125 Pregabalin 2x75mg
Tramadol 2x50mg
O: KU:Komposmentis. GCS E4V5M6, Mecobalamin 3x1 tab
tampak kesakitan.
TD: 140/80 mmHg
N:87 x/menit
RR: 22x/menit
S: 36,6 c
VAS : 3

Kepala : CA (-/-), SI (-/-)


Leher : kaku kuduk (-), neck stiffness (-)
Thorax : Polmo SDV (+/+), Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
Cor S1S2 Reguler, BJ (-)
Abdomen: Supel, peristaltik (+), NT (-)
Ekstremitas: Akral hangat (+/+/+/+), oedem (-
/-/-/-)
Status neurologis:
Kekuatan otot
5/5/5 5/5/5
5/5/5 5/5/5

RF (+/+/+/+), RP (-/-/-/-)

19
A: Cephalgia berat
Neuralgia trigeminal
Diabetes melitus

20
BAB III
PEMBAHASAN

Pada kasus diatas, pasien laki-laki 68 tahun mengeluhkan nyeri hebat di kepala dan
sekitar mata kanan, terasa tajam, seperti tersengat dan nyeri menjalar pada wajah bagian
kanan sejak 3 hari yang lalu, dengan intensitas semakin memberat, tidak membaik
dengan istirahat maupun terapi oral sebelumnya. Nyeri tersebut membuat aktivitas
sehari-hari pasien sangat terganggu. Keluhan tersebut disertai dengan pandangan mata
kabur, berarir dan nyeri pada mata sebelah kanan. Penurunan kesadaran (-), kejang (-),
demam (-), telinga berdenging (-/-), sulit tidur (+), mual (-), muntah (-), kelemahan
anggota gerak disangakal.
Dari pemeriksaan fisik status tanda vital didapatkan hasil dalam batas normal. Pada
pemeriksaan status generalis ditemukan kelainan pada pemeriksaan mata didapatkan
sekret bening dan hiperemis pada mata kanan. Dibawah mata dan sekitar wajah sebeah
kanan terdapat krusta dan bercak kecoklatan. Serta beberapa vesikel yang mulai
mengering pada sisi kanan wajah disekitar hidung, pipi dan bawah mata. Terasa panas
dan nyeri. Nyeri saat diraba.
Pada pemeriksaan status neurologis tidak ditemukan adanya gangguan, hanya saja
agak terbatas dikarenakan nyeri, yaitu saat membuka mata, mulut dan tersenyum. Tidak
ditemukan kelemahan pada ektremitas atas dan bawah. Gambaran lesi pada pasien
tersebut mengarah pada gambaran klinis infeksi herpes zoster sehingga berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik pada kasus diagnosisnya adalah infeksi herpes zoster.
Herpes Zoster adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi Varicella Zoster
Virus yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang
terjadi setelah infeksi primer. Karakteristik dari penyakit ini adalah adanya ruam yang
disertai nyeri, bersifat unilateral dan dermatomal. Gejala Herpes Zoster yaitu nyeri dan
parastesia pada dermatom yang terlibat dan sering disertai sensasi yang bervariasi mulai
dari rasa gatal seperti ditusuk-tusuk hingga terbakar. Kelainan kulit pada Herpes Zoster
mula-mula berupa eritema kemudian berkembang menjadi papula dan vesikula yang
dengan cepat membesar dan menyatu sehingga terbentuk bula. Isi vesikel mula-mula
jernih, setelah beberapa hari menjadi keruh dan dapat pula bercampur darah. Jika
absorpsi terjadi, vesikula dan bula akan menjadi krusta.1-4,6

21
Pada Herpes Zoster, sebelum timbul gejala kulit, terdapat gejala prodormal, baik
sistemik (demam, malaise, pusing), maupun gejala prodormal lokal (nyeri otot/tulang,
gatal, pegal). Biasanya ada neuralgia beberapa hari sebelum atau bersama-sama dengan
kelainan kulit. Gejala prodormal tersebut jarang ditemukan pada pasien imunokompeten
dibawah usia 30 tahun, namun banyak ditemukan pada pasien dengan Herpes Zoster
diatas usia 60 tahun. Pada kasus ini, pasien berusia 68 tahun dan mengalami gejala
prodormal 2 hari sebelum munculnya gejala kulit yaitu demam, malaise, dan nyeri otot.
Hal tersebut sesuai dengan kepustakaan.1-2,6
Infeksi Herpes Zoster merupakan infeksi virus yang bersifat self limiting disease,
namun dapat menimbulkan komplikasi terutama pada pasien lanjut usia dan pasien
dengan keadaan immunocompromised. Komplikasi Herpes Zoster diantaranya adalah
neuralgia paska herpetik, komplikasi mata berupa keratitis, komplikasi telinga-hidung-
tenggorokan (THT) berupa sindroma Ramsay Hunt, komplikasi organ viseral berupa
miokarditis, arthritis dan infeksi sekunder oleh bakteri. Neuralgia paska herpetic
merupakan komplikasi yang paling sering muncul pada pasien Herpes Zoster sebesar 10-
40% kasus, dan risiko meningkat seiring dengan pertambahan usia. Neuralgia Pasca
Herpetik didefinisikan sebagai nyeri neuropati yang menetap di dermatom yang terkena
3 bulan setelah erupsi Herpes Zoster menghilang. NPH memiliki karakteristik nyeri
seperti ditusuk, terbakar, atau panas yang bersifat intermiten hingga menetap sepanjang
hari yang dapat disertai dengan alodinia (nyeri yang dipicu oleh stimulus normal seperti
sentuhan).1-6,11 Pasien dengan alodinia akan mengalami kesulitan dalam beraktivitas
seperti memakai baju, yang dapat menyebabkan kelelahan kronis, anorexia, penurunan
berat badan, dan keadaan depresi yang dapat menurunkan kualitas hidup pasien.4,9,11
Berdasarkan onset munculnya nyeri, NPH digolongkan menjadi 3, yaitu acute
herpetic neuralgia (muncul dalam 30 hari setelah timbulnya ruam pada kulit), subacute
herpetic neuralgia (30-120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit), and postherpetic
neuralgia (nyeri yang menetap minimal 120 hari / 3 bulan timbulnya ruam pada kulit)5.
Faktor risiko utama terjadinya NPH yaitu peningkatan usia >50 tahun. Faktor
risiko lainnya yaitu keadaan immunosupresif, nyeri berat pada lesi akut HZ, lesi HZ yang
berat dan luas, keterlibatan neurologis pada dermatom lesi, munculnya gejala prodormal
nyeri sebelum muncul lesi akut, dan faktor psikososial. Pasien dengan risiko tersebut
berisiko mengalami nyeri persisten 6 bulan setelah onset lesi sebesar 50-75%. Insidensi
NPH rendah pada usia <50 tahun, dan meningkat pada usia >50 tahun, 20% diantaranya

22
muncul pada usia 60-65 tahun yang mengalami infeksi akut HZ, dan >30% diantaranya
muncul pada usia >80 tahun.5,11-12
Kasus diatas dapat merupakan kasus HZ yang berisiko tinggi akan komplikasi
NPH karena pasien berusia 68 tahun dimana insidensi NPH meningkat pada usia
tersebut, dan pasien merupakan penderita diabetes melitus, dimana diabetes melitus
merupakan salah satu dari immunosuppresif. Hal ini mungkin disebabkan karena
penurunan fungsi sistem imun seiring dengan bertambahnya usia. Menurunnya imunitas
seluler spesifik menyebabkan VZV yang dorman mengalami reaktivasi sehingga
menimbulkan infeksi HZ dan menyebabkan peradangan kronis pada saraf. Namun
mekanisme sebenarnya belum diketahui dengan jelas. Faktor risiko lain yang terdapat
pada pasien yaitu adanya rasa panas terbakar pada area mata dam wajah yang cukup luas
yaitu pada wajah kanan. . 3,11-12
NPH memiliki patofisiologi yang berbeda dengan nyeri herpes zoster akut. NPH,
komplikasi dari HZ, adalah sindrom nyeri neuropatik yang dihasilkan dari kombinasi
inflamasi dan kerusakan akibat virus pada serat aferen primer saraf sensorik. Setelah
resolusi infeksi primer varisela, virus tetap aktif di ganglia sensorik.Virus ini diaktifkan
kembali atau mengalami reaktivasi, bermanifestasi sebagai HZ akut, dan berhubungan
dengan kerusakan pada ganglion, saraf aferen primer, dan kulit. Studi histopatologi telah
menunjukkan fibrosis dan hilangnya neuron (dalam ganglion dorsal), jaringan parut,
serta kehilangan akson dan mielin (pada saraf perifer yang terlibat), atrofi (dari tanduk
dorsal sumsum tulang belakang), dan peradangan (sekitar saraf tulang belakang) dengan
infiltrasi dan akumulasi limfosit. Selain itu, ada pengurangan saraf inhibitor berdiameter
besar dan peningkatan neuron eksitasi kecil pada saraf perifer.12
Reaktivasi virus ini mengakibatkan inflamasi atau kerusakan pada serabut saraf
sensoris yang berkelanjutan, hilang dan rusaknya serabut-serabut saraf atau impuls
abnormal, dimana serabut saraf berdiameter besar yang berfungsi sebagai inhibitor
hilang atau rusak dan mengalami kerusakan terparah. Regenerasi akson setelah inflamasi
menimbulkan percabangan saraf yang juga mengalami perubahan kepekaan. Aktivitas
saraf perifer yang berlebihan tersebut menimbulkan perubahan berupa hipereksitabilitas
kornu dorsalis sehingga pada akhirnya menimbulkan respon sistem saraf pusat yang
berlebihan terhadap semua rangsang masukan/sensorik. Akibatnya, impuls nyeri ke
medulla spinalis meningkat sehingga pasien merasa nyeri yang hebat.13
Terapi pada kasus HZ bertujuan untuk mempercepat proses penyembuhan lesi,
mengurangi keluhan nyeri akut, mengurangi risiko komplikasi NPH. Belum ada terapi
23
yang menunjukkan pencegahan NPH secara total, melainkan hanya mengurangi derajat
keparahan dan memperpendek durasi NPH.5,7,11-12
Penatalaksanaan HZ didasarkan pada strategi 6A, yaitu attract patient early, asses
patient fully, antiviral therapy, analgetic, antidepressant/anticonvulsant, dan allay
anxiety-counseling.3 Attract patient early berarti mendiagnosis secara dini berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mendapatkan hasil pengobatan yang
optimal.Asses patient fully berarti memperhatikan kondisi pasien secara keseluruhan
terutama kondisi khusus seperti pada usia lanjut, risiko NPH, komplikasi mata, sindrom
ramsay hunt, kondisi immunocompromised, dan kemungkinan keterlibatan organ viseral.
Antiviral therapy berarti memberikan terapi agen antiviral yang direkomendasikan
(acyclovir 5x800 mg/hari selama 7-10 hari, valacyclovir3x1 gr/hari selama 7 hari,
famcyclovir 3x500mg/hari selama 7 hari)untuk menghambat replikasi VZV.Analgetic
berarti mengatasi nyeri dengan pemberian analgetika seperti parasetamol, NSAIDs, atau
opioid ringan.Antidepressant/anticonvulsant berarti memberikan amitriptilin 10mg/hari
selama 3 bulan atau gabapentin 300mg/hari selama 4-6 minggu atau pregabalin 50-
75mg/hari selama 2-4 minggu pada kasus HZ yang berisiko tinggi NPH. Allay anxiety-
counseling berarti memberikan edukasi mengenai penyakit HZ untuk mengurangi
kecemasan serta ketidak-pahaman pasien tentang penyakit dan komplikasinya,
mempertahankan kondisi mental pasien dan aktivitas fisik agar tetap optimal, dan
memberikan terapi suportif.1-3,6-7
Pemberian agen antiviral pada pasien HZ dalam 72 jam setelah lesi muncul dapat
mempercepat penyembuhan lesi dan menurunkan risiko NPH. Pemberian agen antiviral
diatas 72 jam tidak efektif lagi.Namun agen antiviral dapat diberikan tanpa melihat
waktu timbulnya lesi pada beberapa keadaan seperti: usia >50 tahun, risiko tinggi NPH,
HZ oftalmikus/sindrom ramsay hunt/HZ servikal atau sakral, dan anak-anak, wanita
hamil, atau usia <50 tahun dengan komplikasi atau keadaan imunosupresif.Pada kasus
ini, diketahui lesi HZ muncul 14 hari SMRS yang berarti pemberian agen antiviral sudah
tidak efektif lagi bila lebih dari 72 jam setelah lesi muncul. Namun, pasien tetap
diberikan agen antiviral karena telah lanjut usia dan berisiko tinggi NPH.1-3,7,11-12
Agen antiviral acyclovir, valacyclovir, dan famcyclovir dapat menghambat
replikasi VZV dengan menginhibisi enzim thymidine kinasesehingga durasi replikasi
virus, pembentukan lesi HZ, durasi nyeri akut, dan progresi kerusakan saraf yang
memicu terjadinya NPH dapat dihambat. Ketiga agen antiviral tersebut memiliki efek
samping seperti nausea,vomitus, diare, nyeri abdomen, dan nyeri kepala. Sebuah studi
24
metaanalisis yang membandingkan pemberian acyclovir, valacyclovir, dan famcyclovir
pada kasus HZ akut memberikan hasil bahwa acyclovir efektif mempercepat
penyembuhan HZ, mengurangi nyeri terkait HZ, dan menurunkan prevalensi NPH
sebesar 50% pada 1-3 bulan setelah lesi muncul. Sedangkan valacyclovir dan
famcyclovir lebih efektif mempercepat penyembuhan HZ, mengurangi nyeri terkait HZ
pada setidaknya 6 bulan setelah lesi muncul meskipun tidak terbukti menurunkan
prevalensi NPH secara signifikan.Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa
valacyclovir dan famcyclovir menjadi pilihan utama dibandingkan acyclovir pada HZ
selain karena lebih efektif dalam menurunkan keluhan nyeri terkait HZ juga karena
frekuensi pemberian yang lebih sedikit, meskipun begitu keduanya jauh lebih mahal
dibandingkan acyclovir11.
Pemberian agen antiviral pada pasien dengan risiko tinggi NPH seperti pada kasus
diatas, agen antiviral yang menjadi pilihan adalah valacyclovir sebanyak 3x1g/hari
selama 7 hari. Selain lebih efektif menurunkan kejadian NPH, pemberian obat
valacyclovir juga memudahkan pasien lanjut usia dalam mengkonsumsinya dimana
hanya diberikan 3 kali dalam sehari dibandingkan 5 kali dalam sehari.4-5,11-12
Pemberian antidepresan atau antikonvulsan pada pasien HZ bertujuan untuk
mengatasi nyeri neuropati. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penggunaan
gabapentin, agen antikonvulsan, dapat menurunkan kejadian NPH dengan efek samping
yang banyak terjadi yaitu pusing dan somnolen. Gabapentin sebagai analgetik berperan
menghambat pengeluaran neurotransmiter eksitatori, dan menstimulasi pengeluaran anti
hipersensitivitas setelah kerusakan saraf perifer. Penggunaan pregabalin juga bermanfaat
untuk menurunkan kejadian NPH dimana pregabalin juga berperan menghambat
neurotransmiter eksitatori seperti gabapentin. Sebuah studi menunjukkan bahwa
pregabalin lebih efektif dibandingkan gabapentin dimana pasien yang mendapat terapi
pregabalin lebih sedikit membutuhkan opioid dari pada pasien yang mendapat terapi
gabapentin. Pemberian antidepresan juga berperan dalam menurunkan nyeri pada NPH
setelah 3-6 minggu dibandingkan dengan tanpa pemberian antidepresan.Pada kasus,
pasien diberikan pregabalin 75 mg/hari selama 2 minggu untuk mengatasi nyeri akut dan
menurunkan kejadian NPH.5,11-12
Selain penatalaksanaan secara farmakologis, terapi suportif juga perlu diberikan
pada pasien HZ, seperti memberikan kompres basah dingin steril atau losion calamine
untuk mengurangi rasa gatal dan tidak nyaman pada lesi, mengedukasi untuk
mempertahankan lesi kulit bersih dan kering agar tidak terjadi infeksi sekunder,
25
menyarankan memakai pakaian longgar, istirahat, makan dan minum yang cukup, dan
menghindari memanipulasi lesi seperti menggaruk dan mengoleskan sesuatu pada lesi
karena akan menyebabkan lesi sulit sembuh atau terbentuknya jaringan parut, serta
berisiko terjadinya infeksi sekunder.1,3,7

Banguanan peka nyeri menurut Sidharta (2012):

A. Struktur intrakranial
1. Sinus kranialis dan vena aferen (sinus venosus, dan vena-vena yang mensuplai
sinus-sinus tersebut)
2. Arteri dari duramater ( arteri meningea media)
3. Arteri di basis kranii yang membentuk sirkulus Willisi dan cabang-cabang besarnya
4. Sebagian dari duramater yang berdekatan dengan pembuluh darah besar
5. Terutama yang terletak di basis fossa kranii anterior dan posterior dan meningen

B. Struktur ektrakranial
1. Kulit, scalp,otot, tendon, dan fascia daerah kepala dan leher
2. Mukosa sinus paranasalis dan cavum nasi
3. Gigi geligi
4. Telinga luar dan telinga tengah
5. Tulang tengkorak terutama daerah supraorbita, temporal dan oksipital bawah,
rongga orbita beserta isinya
6. Arteri ekstrakranial

C. Saraf
1. N. trigeminus, n. fasialis, n.glossofaringeus, dan n. vagus
2. Saraf spinal servikalis

26
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

I. Neuralgia Pasca Herpes

I.1. Definisi dan Epidemiologi

Nyeri pada HZ dapat mendahului atau bersamaan dengan timbulnya ruam


kulit. Neuralgia herpetika akut didefinisikan sebagai nyeri yang timbul dalam 30 hari
setelah timbulnya ruam kulit.4 Neuralgia paska herpetika didefinisikan secara
bervariasi sebagai setiap nyeri yang timbul setelah penyembuhan ruam kulit atau
setiap nyeri yang timbul setelah 1, 3, 4 atau 6 bulan setelah timbulnya ruam, namun
sebagian besar definisi yang ada saat ini berfokus pada nyeri yang timbul dalam
jangka waktu 90-120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit.2 Dalam buku
Penatalaksanaan infeksi herpes virus humanus di Indonesia (2011), definisi NPH
adalah nyeri yang menetap di dermatom yang terkena 3 bulan setelah erupsi HZ
menghilang.7 Pada penelitian klinis dan komunitas, insidensi NPH secara keseluruhan
yaitu 8-15% tergantung dari definisi operasionalnya.2 Di Amerika Serikat, NPH
merupakan penyebab nyeri neuropatik tersering ketiga setelah low back pain dan
neuropati diabetik. Baik frekuensi dan durasi NPH keduanya meningkat seiring
dengan bertambahnya usia. Diantara pasien dengan HZ akut, NPH berkembang pada
73% pasien diatas 70 tahun, 47% pasien diatas 60 tahun sedangkan untuk usia diatas
55 tahun hanya 27%. Hampir setengah dari pasien diatas 70 tahun tersebut (48%)
menderita NPH dengan durasi lebih dari 1 tahun.8 Wiryadi dkk melaporkan angka
kejadian NPH pada pasien HZ yang berobat antara tahun 1995-1996 sebesar 11% dari
738 pasien HZ di 6 rumah sakit pendidikan di Indonesia.5 Selama periode tahun 2006-
2010, terdapat 82 pasien didiagnosis NPH dari seluruh pasien yang berobat ke
poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. Kariadi Semarang.9

I.2. Patofisiologi

Faktor risiko utama terjadinya NPH selain bertambahnya usia yaitu adanya
nyeri prodromal, nyeri berat selama fase akut HZ, ruam kulit yang lebih parah,
gangguan sensorik yang meluas pada dermatom yang terkena HZ, keadaan
imunosupresi, keterlibatan mata, dan jenis kelamin perempuan.

27
Patogenesis NPH yaitu adanya perlukaan neuronal yang berefek baik pada
komponen sentral maupun perifer dari sistim saraf (lihat gambar 1).10 Setelah
perbaikan infeksi primer VZV, virus menetap secara laten di dalam ganglion radiks
dorsalis saraf kranial atau saraf spinal. Reaktivasi virus VZ yang diikuti replikasi
menginduksi terjadinya perubahan inflamasi pada neuron perifer dan ganglion
sensoris. Hal ini dapat menginduksi siklus sensitisasi yang mengakibatkan nyeri yang
menetap. Beberapa penelitian yang menggunakan uji saraf sensorik secara kuantitatif
menunjukkan bahwa terdapat variabilitas hilangnya sensoris yang lebih luas pada
pasien NPH. Penelitian ini mengkonfirmasi bahwa nyeri dan abnormalitas sensorik
pada NPH seringkali meluas dari dermatom yang terkena erupsi HZ. Rowbotham dkk
dan Field dkk menyebutkan bahwa terdapat dua mekanisme patofisiologik yang
berbeda pada berkembangnya NPH: sensitisasi dan deaferensiasi. Baik sensitisasi
perifer dan sentral terlibat dalam patofisiologi NPH. Sensitisasi perifer terjadi
terutama pada serabut nosiseptor C tidak bermielin yang kecil. Sensitisasi ini
bertanggung jawab terhadap terjadinya nyeri seperti terbakar spontan dan hiperalgesia
namun dengan hilangnya sensibilitas yang minimal. Alodinia pada sebagian pasien
NPH diduga disebabkan karena penjalaran ektopik dari serabut nosiseptor C yang
rusak dalam mempertahankan keadaan sensitisasi sentral. Deaferensiasi berkaitan
dengan hilangnya sensoris dan alodinia pada daerah yang mengalami parut.

28
Deaferensiasi ini menyebabkan alodinia yang diperantarai sistim saraf pusat. Dugaan
bahwa hilangnya hubungan sistim saraf pusat dengan ganglion radiks dorsalis pada
beberapa pasien, nyeri mungkin disebabkan adanya perubahan sistim saraf pusat. 4,10

I.4. Manifestasi Klinis dan Diagnosis

Neuralgia paska herpetika sering mengenai dermatom regio torakal diikuti


divisi oftalmik pada regio trigeminal, regio saraf kranial lainnya dan regio servikal
kemudian dermatom lumbar dan sakral (lihat tabel 1).

Pasien NPH biasanya mengeluh nyeri yang bersifat spontan (dideskripsikan


sebagai rasa terbakar, aching, throbbing), nyeri yang intermiten (nyeri seperti ditusuk,
ditembak) dan/atau nyeri yang dibangkitkan oleh stimulus seperti alodinia. Alodinia
(nyeri yang dibangkitkan oleh stimulus yang secara normal tidak menimbulkan nyeri)
merupakan nyeri yang terdapat pada hampir 90% pasien NPH. Pasien dengan alodinia
dapat menderita nyeri yang hebat setelah tersentuh baik dengan sentuhan yang paling
ringan sekalipun seperti angin sepoi-sepoi ataupun selembar pakaian. Biasanya
alodinia terjadi jelas di daerah yang masih mempunyai sensasi, sedangkan nyeri
spontan terjadi terutama di daerah yang sensasinya terganggu atau hilang. Hampir
seluruh pasien memiliki sensasi abnormal pada raba halus, suhu, dan getar pada
dermatom yang terkena. Pasien juga sering mengalami disestesia, hiperalgesia,
anestesia dan parestesia yang kontinyu.2,4,5 Beberapa pasien dapat mengeluh gatal
yang intens (lihat tabel 2).11

29
Nyeri seperti ini dapat menimbulkan gangguan tidur, depresi, anoreksia,
penurunan berat badan, kelelahan kronis dan mengganggu aktivitas sehari-hari seperti
berpakaian, mandi, belanja, memasak, pekerjaan rumah dan dalam melakukan
perjalanan (lihat gambar 2).2

Diagnosis NPH merupakan diagnosis klinis. Adanya riwayat HZ diikuti nyeri


yang menetap dikaitkan dengan dermatom yang terkena atau daerah yang berdekatan
merupakan ciri khas NPH (lihat gambar 3). Namun pada beberapa kasus tidak
terdapat riwayat erupsi HZ. Pada kasus seperti ini diagnosis definitif berdasarkan
pemeriksaan serologik serial yang kadang-kadang dapat dimungkinkan praktik klinis.
Uji diagnostik ini berguna dalam penelitian yang dapat membantu dalam penetapan
protokol terapi. Uji diagnostik ini meliputi uji sensoris kuantitatif, biopsi kulit dan uji
konduksi saraf.4

30
I.5. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan NPH meliputi pencegahan dan pengobatan walaupun masih


terdapat perdebatan dalam kedua hal ini.10 Saat ini belum ada profilaksis yang pasti
untuk mencegah NPH, namun karena NPH merupakan sekuele dari HZ maka
pencegahan pada HZ merupakan hal yang penting. Dasar terapi NPH terdiri dari
pendekatan medis dan yang tidak kalah pentingnya adalah keterlibatan pasien dan
keluarganya. Terapi secara medis saja tidak cukup karena tujuan utama terapi adalah
mengembalikan kemampuan pasien dalam beraktivitas sehari-hari seperti makan,
tidur, melakukan perjalanan dan sebagainya.12 Dalam menjalani kesehariannya,
petunjuk yang perlu diperhatikan oleh pasien antara lain:

(i) pasien sebaiknya tidak cemas;

(ii) disarankan untuk kembali beraktivitas, pada prinsipnya tidak ada pembatasan pada
aktivitas sehari-hari serta berinteraksi dengan anggota keluarga seperti biasa;

(iii) pemberian arahan bagi pasien dan keluarganya tentang bagaimana


menghilangkan nyeri dimana arahan harus berdasarkan gaya hidup pasien, keadaan,
kepribadian dan hubungan pasien dengan anggota keluarganya dan lingkungan
sekitarnya.12

31
Pada dasarnya, penatalaksanaan yang dapat diberikan kepada penderita
neuralgia pasca herpetika terdiri dari terapi farmakologik dan non farmakologik. Dan
penatalaksaan untuk nyeri zoster (nyeri fase akut) dapat diberikan analgetik non-
opioid, antidepresan dan tranquilizer (yang banyak digunakan adalah kombinasi
amitriptilin dan flufenasin), dapat pula diberikan larutan triamsinolon 0,2% dalam
NaCl 0.9% untuk infiltrasi sekitar ruam. Saat ini terapi NPH difokuskan ada
penggunaan psikotropik dan antikonvulsan. Terapi farmakologis efektif untuk
menurunkan kualitas nyeri dan memperbaiki kualitas hidup pasien, termasuk
pemakaian antidepresan trisiklik, antikonvulsan, agen topical, analgesic opioid dan
tramadol.1
Anti konvulsan, terutama non-sodium channel blocking agent seperti
gabapentin dan pregabalin tampak cukup efektif. Mekanisme kerja obat golongan ini
diperkirakan melalui penurunan sensitisasi sentral. Misalnya inhibisi pelepasan asam
amino eksitatorik (glutamate) dan mungkin juga meningkatkan reaksi inhibisi susunan
saraf sentral melalui transmisi GABA-ergik. Pregabalin bekerja menyerupai
gabapentin. Onset kerjanya lebih cepat. Seperti halnya gabapentin, pregabalin bukan
merupakan agonis GABA namun berikatan dengan subunit dari voltage-gated
calcium channel, sehingga mengurangi influks kalsium dan pelepasan neurotransmiter
(glutamat, substance P, dan calcitonin gene-related peptide) pada primary afferent
nerve terminals24.
Anti depressan trisiklik menunjukkan peran penting pada kasus neuralgia
pasca herpetika. Obat golongan ini mempunyai mekanisme memblok reuptake
(pengambilan kembali) norepinefrin dan serotonin. Obat ini dapat mengurangi nyeri
melalui jalur inhibisi saraf spinal yang terlibat dalam persepsi nyeri. Pada beberapa uji
klinik obat antidepressan trisiklik amitriptilin, dilaporkan 47-67% oasien mengalami
pengurangan nyeri tingkat sedang hingga sangat baik. Amitriptilin menurunkan
reuptake saraf baik norepinefrin maupun serotonin. TCA telah terbukti efektif dalam
pengobatan nyeri neuropatik dibanding SSRI (selective serotonine reuptake inhibitor)
seperti fluoxetine, paroxetine, sertraline, dan citalopram. Alasannya mungkin
dikarenakan TCA menghambat reuptake baik serotonin maupun norepinefrin,
sedangkan SSRI hanya menghambat reuptake serotonin. Efek samping TCA berupa
sedasi, konfusi, konstipasi, dan efek kardiovaskular seperti blok konduksi, takikardi,
dan aritmia ventrikel. Obat ini juga dapat meningkatkan berat badan, menurunkan
ambang rangsang kejang, dan hipotensi ortostatik. Anti depressan yang biasa
32
digunakan untuk kasus neuralgia pasca herpetika adalah amitriptilin, nortriptiline,
imipramine, desipramine dan lainnya24.
Anestesi lokal memodifikasi konduksi aksonal dengan menghambat voltage-
gated sodium channels . Inaktivasi menyebabkan hambatan terhadap terjadinya
impuls ektopik spontan. Obat ini bekerja lebih baik jika kerusakan pada neuron hanya
terjadi sebagian, fungsi nosiseptor tetap ada, dan adanya jumlah kanal sodium yang
berlebih.
Pilihan terapi beberapa obat untuk Neuralgia Pasca Herpetika (American
Academy of Family Physician, 2004)
Obat Dosis
Agen topical
Kapsaisin krim (Zostrik) Oleskan pada lokasi yang terkena 2-5x/hari
Lidokain (Xylocaine) patch Tempelkan pada lokasi yang terkena setiap 4-12 jam
bila dibutuhkan
Antidepresan trisiklik
Amitriptilin (Elavil) 0-25 mg oral sebelum tidur naikkan dosis 25 mg
Desipramin (Norpramin) setiap 2 sampai 4 minggu sampai respon adekuat,
atau dosis maksimum 150 mg/hari.
Imipramine (Tofranil) 25 mg oral sebelum tidur naikkan dosis 25 mg setiap
2 sampai 4 minggu sampai respon adekuat, atau dosis
maksimum 150 mg/hari
Nortriptilin (Pamelor) 0-25 mg oral sebelum tidur naikkan dosis 25 mg
setiap 2-4 minggu sampai respon adekuat, atau dosis
maksimum 125 mg/hari
Antikonvulsan
Fenitoin (Dilantin) 100-300 mg oral sebelum tidur; naikkan dosis sampai
respon adekuat atau kadar dalam darah 10 -20 µg rel
mL ( 40 to 80 µmol per L)
Karbamazepin (Tegretol) 100 mg oral sebelum tidur; naikkan dosis 100 mg
setiap 3 hari sampai 200 mg tiga kali sehari, respon
adekuat atau kadar dalam darah 6-12 µg rel mL (
25,4 to 50,8 µmol per L)
Gabapentin (Neurontin) 100-300 mg oral sebelum tidur; naikkan dosis 100 -

33
300 mg setiap 3 hari sampai dosis 300 – 900 mg tiga
kali sehari atau respon adekuat (kadar dalam darah
belum ditentukan)
Pregabalin (Lyrica) 75 mg oral sebelum tidur, dapat dinaikkan menjadi
150 – 300 mg dua kali sehari jika diperlukan atau
dapat ditoleransi.

Terapi non farmakologis25:


1. Akupunktur
Akupunktur banyak digunakan sebagai terapi untuk menghilangkan nyeri.
Terdapat beberapa penelitian mengenai terapi akupunktur untuk kasus
neuralgia paska herpetika. Namun penelitian-penelitian tersebut masih
menggunakan jumlah kasus tidak terlalu banyak dan terapi tersebut
dikombinasi pula dengan terapi farmakologis.
2. TENS (stimulasi saraf elektris transkutan)
Penggunaan TENS dilaporkan dapat mengurangi nyeri secara parsial hingga
komplit pada beberapa pasien neuralgia paska herpetik. Tetapi penggunaan
TENS-pun dianjurkan hanya sebagai terapi adjuvan/ tambahan disamping
terapi farmakologis.
3. Vaksin
Penggunaan vaksin untuk mencegah timbulnya Neuralgia Postherpertika pada
orang lanjut usia yaitu umur 60 tahun keatas dengan dosis 1 ml diberikan
secara sub kutan ternyata efektif. Dari 107 orang yang menderita neuralgia
post herpetika kemudian diberikan vaksin ternyata dapat mereduksi nyeri yang
ditimbulkan hingga 66,5%.

I.6. Pencegahan

Pencegahan terjadinya NPH merupakan masalah penting yang perlu


diperhatikan saat pasien tengah menderita HZ.12 Penanganan HZ yang adekuat
dengan terapi antivirus maupun analgesik dapat memberikan keuntungan dalam
mencegah NPH sehingga pengenalan gejala HZ secara dini merupakan hal yang
sangat penting.6 Strategi dalam pengelolaan pencegahan terhadap NPH meliputi

34
pemberian obat antivirus, pengendalian nyeri secara adekuat terhadap neuralgia
herpetika akut dan vaksinasi.4

I.7. Pemberian Antivirus

Pemberian obat antivirus dalam 72 jam setelah awitan HZ akut dapat


menurunkan intensitas dan durasi NPH. Hal ini disebabkan karena pemberian
antivirus pada awal terapi dapat menurunkan kerusakan saraf akibat infeksi HZ.
Namun bukti terkini menunjukkan pasien akan tetap mendapatkan keuntungan dari
obat antivirus walaupun terapi diberikan terlambat lebih dari 3 hari.1,10 Preparat
asiklovir, famsiklovir dan valasiklovir telah terbukti mempercepat penyembuhan
NPH. Asiklovir oral terbukti meningkatkan laju perbaikan nyeri NPH sebesar 81%
pada pasien dibandingkan dengan plasebo.10 Dosis asiklovir yang direkomendasikan
untuk HZ pada pasien imunokompeten dengan fungsi ginjal yang normal adalah
800mg setiap 4 jam per hari selama 7-10 hari.13 Famsiklovir 3x 500mg per hari
selama 7 hari efektif dan dapat ditoleransi dengan baik pada HZ akut. Sebuah
penelitian randomized, double-blind, placebo controlled pada dua dosis famsiklovir
(500mg atau 750mg tiga kali sehari) menunjukkan nyeri berkurang secara bermakna
pada bulan ke 5 dan resolusi NPH yang lebih cepat dengan reduksi median 2 bulan.1
Pada sebuah penelitian multisentra, valasiklovir dengan dosis 1000mg setiap 8 jam
selama 7 sampai 14 hari dibandingkan dengan asiklovir dengan dosis 5x800mg per
hari selama 7 hari menunjukkan valasiklovir mengurangi nyeri yang berkaitan dengan
HZ secara bermakna, memperpendek durasi NPH dan menurunkan proporsi pasien
yang mengalami nyeri pada bulan ke 6. Tidak ada perbedaan bila pasien melanjutkan
terapinya sampai 14 hari. Pada penelitian randomized-controlled trial yang
membandingkan pemberian valasiklovir (1000mg tiga kali sehari) dan famsiklovir
(500mg tiga kali sehari) selama 7 hari untuk terapi HZ pada pasien berusia ≥ 50 tahun
menunjukkan efikasi yang sama antara valasiklovir dan famsiklovir dalam
meningkatkan resolusi nyeri yang berkaitan dengan zoster dan NPH.1 Dalam
pemberian obat antivirus ini, hal yang perlu diperhatikan adalah fungsi ginjal.
Penyesuaian dosis diperlukan untuk pasien geriatrik atau bagi yang mempunyai
gangguan ginjal.12 Valasiklovir dan famsiklovir memiliki kelebihan dibandingkan
asiklovir karena jadwal pemberian yang lebih singkat, walaupun ketiganya sama

35
efektifnya dalam mengobati nyeri yang berkaitan dengan HZ dan dapat mengurangi
beban penyakit akibat NPH.1 Penelitian menunjukkan pemberian asiklovir intravena
pada pasien imunokompromais yang menderita HZ dapat menghambat progresifitas
penyakit, baik pada pasien dengan lesi yang terlokalisir maupun yang diseminata.
Nyeri yang berkurang dengan cepat dan lebih sedikit laporan kejadian NPH setelah
pemberian asiklovir pada pasien imunokompromais. Dosis asiklovir pada pasien
dengan imunokompromais berat adalah 10mg/kgBB IV setiap 8 jam selama 7-10 hari
sedangkan pada pasien HZ dengan imunokompromais yang ringan dan lesi terlokalisir
cukup dengan pemberian asiklovir, famsiklovir dan valasiklovir per oral dengan dosis
yang sama dengan pada pasien imunokompeten.2

I.8. Prognosis

Sindrom nyeri yang timbul pada PNH ini cenderung beresolusi dengan lambat.
Pada pasien-pasien dengan PNH, kebanyakan berespon dengan baik terhadap obat-
obatan analgesik, seperti pada antidepressan trisiklik, namun pada sebagian kasus,
nyeri yang dirasakan semakin memburuk dan tidak berespon terhadap terapi yang
diberikan.
Umumnya prognosisnya baik, di mana ini bergantung pada tindakan
perawatan sejak dini. pada umumnya pasien dengan neuralgia post herpetika respon
terhadap analgesik seperti antidepressan trisiklik. Jika terdapat pasien dengan nyeri
yang menetap dan lama dan tidak respon terhadap terapi medikasi maka diperlukan
pencarian lanjutan untuk mencari terapi yang sesuai.
Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak
menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya mengganggu
fungsi sensorik. Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena setelah terapi
didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik seperti biasa.
Prognosis ad sanactionam bonam karena walaupun risiko berulangnya HZ
masih mungkin terjadi sebagaimana disebutkan dari literatur, selama pasien
mempunyai daya tahan tubuh baik kemungkinan timbul kembali kecil.5

36
BAB V. KESIMPULAN

Neuralgia pasca herpetika adalah suatu komplikasi dari infeksi Herpes Zoster,
bukan merupakan kelanjutan dari Herpes Zoster akut. Neuralgia pasca herpetika dapat
didefinisikan sebagai nyeri neuropatik yang menetap setelah inset ruam setelah fase
penyembuhan Herpes Zoster. Nyeri yang timbul seperti rasa terbakar, parastesi yang
dapat disertai rasa sakit (disestesi), hipertesia, atau sperti tersetrum listrik. Keluhan
tersebut dapat bertahan selama berbulan-bulan hingga tahunan.Nyeri sendiri dapat
diprovokasi dengan stimulus ringan/normal, rasa gatal yang tak tertahankan dan nyeri
terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang. Factor resiko dari NPH
ini selain meningkatnya usia, adalah nyeri hebat pada fase akut, beratnya ruam herpes
zoster, dan imunosupresif. Penatalaksanaan untuk NPH difokuskan pada penggunaan
psikotropik dan antikonvulsan yang efektif untuk menurunkan kualitas nyeri.
Anestetik lokal dapat pula digunakan.
Neuralgia pasca herpetika dapat dicegah dengan penggunaan kortikosteroid
dan antiviral seperti asiklovir yang dimulai selambat-lambatnya 72 jam setelah inset
ruam zoster dengan dosis 5x800mg perhari selama 7 hari

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Christo PJ, Hobelmann G, Maine DN. Post-herpetic neuralgia in older adults. Drugs Aging
2007;24(1):1-19

2. Straus SE, Oxman MN, Schmader KE. Varicella and herpes zoster Dalam: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ penyunting. Fitzpatrick’s
Dermatology in general medicine. 7nded. New York: Mc Graw-Hill;2008. hlm.1885-98

3. Johnson RW, Bouhassira D, Kassianos G, Leplege A, Schamder KE, Weinke T. The


impact of herpes zoster and post-herpetic neuralgia on quality of life. BMC Medicine
2010;8:37

4. Philip A, Thakur R. Post herpetic neuralgia. J Pall Med 2011;14(6):765-73.

5. Pusponegoro EHD. Neuralgia paska herpes. Dalam: Daili SF, Makes WIB, penyunting.
Infeksi virus herpes. Jakarta : Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2002.hlm 208-21

6. Young L. Post-herpetic neuralgia: a review of advances in treatment and prevention. J


Drugs Dermatol 2006 Nov-Dec;5(10):938-41.

7. Penatalaksanaan Herpes Zoster di Indonesia. Dalam: Lumintang H, Nilasari H, Indriatmi


W, Zubier F, Daili SF penyunting. Penatalaksanaan infeksi herpes virus humanus di
Indonesia 2011. Surabaya: Airlangga University Press;2011.hlm.1-13

8. Weaver DA. The burden of herpes zoster and postherpetic neuralgia in the United States. J
Am Osteopath Assoc 2007;107(supll 1):S2-S7

9. Catatan Rekam Medik Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. Kariadi Semarang. Tahun
2006-2010. [belum dipublikasikan]

10. Gharibo C, Kim C. Postherpetic neuralgia: an overview of the patophysiology,


presentation and management. Pain Medicine News 2011:1- 7

11. Weinberg JM. Herpes zoster: epidemiology, natural history and common complications. J
Am Acad Dermatol 2007;57:S130-5.

12. Ozawa A. treatment of postherpetic neuralgia. JMAJ 2004;47(11):529-36

38
13. Tyring S. Management of herpes zoster and postherpetic neuralgia. J Am Acad Dermatol
2007;57:S136-42

14. Zin CS, Nissen LM, Smith MT, O’Callaghan JP, Moore BJ. An update on the
pharmacological management of postherpetic neuralgia and painful diabetic neuropathy. CNS
Drugs 2008;22(5):417-42

15. Gilron I, Bailey JM, Tu D, Holden RR, Weaver DF, Houlden RL. Morphine, gabapentin,
or their combination for neuropathic pain. N Eng J Med 2005;352:1324-4

16. Kanai A, Kumaki C, Niki Y, Suzuki A, Tazawa T, Okamoto H. Efficacy of a metered-


dose 8% lidocaine pump spray for patient with post-herpetic neuralgia. Pain Medicine
2009;10(5):902-9

17. McCleane G. Topical application of doxepin hydrochloride, capcaisin and a combination


of both produces analgesia in chronic human neuropathic pain: a randomized, double-blind,
placebo-controlled study. Br J Clin Pharmacol 2000;49:574-9

18. Hempenstall K, Nurmikko TJ, Johnson RW, A’Hern RP, Rice ASC. Analgesic therapy in
postherpetic neuralgia: a quantitative systematic review. PLoS Medicine 2005;2(7):628-44

19. Prentice WE. Managing pain with therapeutic modalities. Dalam: Therapeutic modalities
in rehabilitation. New York: McGraw Hill company. 3rd ed. 2005: 71, 554-555.

20. Kaye V, Lorenzo CT. Transcutaneous electrical nerve stimulation. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/325107 . Updated 9 Mei 2011.

21. Mowafy Z. Brief intense TENS efficacy in post-herpetic neuralgia of the sciatic nerve.
The Egyptian Journal of Hospital Medicine 2001;5: 78-83.

22. Empi TENS meets the challenge: acute herpes zoster/ postherpetic neuralgia. Diunduh
dari: http://www.empi.com/uploadedfiles/empi_products/pain_management_tens/a
cute_herpes.pdf

23. Barbarisi M, Pace MC, Passavanti MB, Maisto M, Mazzariello L, Pota V, Aurilio C.
Pregabalin and transcutaneous electrical nerve stimulation for postherpetic neuralgia
treatment. Clin J Pain 2010;26(7):567-72

39
24. PERDOSKI. Buku panduan herpes zoster di Indonesia 2014. Jakarta: Badan Penerbit FK
UI; 2014.

25. Meliala L. Neuralgia pasca herpes. Dalam: Meliala L, Suryamiharja A, Purba JS, editors.
Nyeri neuropatik. Jakarta: Kelompok StudiNyeri PERDOSSI; 2008.hlm. 63-76.

40

Anda mungkin juga menyukai