Anda di halaman 1dari 9

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hipertensi atau kenaikan tekanan darah merupakan masalah


kesehatan masyarakat global. Pada Tahun 2008 di seluruh dunia, diketahui
sekitar 40% orang dewasa yang berumur 25 tahun keatas terdiagnosis
hipertensi. Hipertensi berkontribusi pada terjadinya penyakit jantung,
stroke, gagal ginjal serta kejadian kematian dan kecacatan prematur. Secara
global, jumlah kematian karena penyakit kardiovaskuler berkisar 17 juta
jiwa pertahun atau hampir setara dengan sepertiga total kematian di dunia,
dan dari jumlah tersebut 9,4 juta kematiannya merupakan komplikasi dari
hipertensi (WHO, 2013).
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, diketahui prevalensi
hipertensi di Indonesia adalah 25,8%. Angka tersebut sangat tinggi jika
dibandingkan dengan prevalensi penyakit kronis tidak menular lainnya
seperti diabetes dengan prevalensi 2,1% dan hipertiroid dengan prevalensi
0,4% (Balitbang Kemenkes R.I., 2013). Penyakit jantung dan stroke sebagai
penyakit komplikasi dari hipertensi, dalam 10 tahun terakhir selalu masuk
dalam 10 penyakit penyebab kematian tertinggi di DIY. Data pada tahun
2009 menunjukkan bahwa dominasi kematian akibat penyakit tidak menular
sudah mencapai lebih dari 80% dari seluruh kematian akibat penyakit yang
ada di DIY (hospital based) (Dinkes DIY, 2013). Berdasarkan laporan
kunjungan pasien Puskesmas di Kab. Bantul, pada Tahun 2010-2015
diketahui bahwa hipertensi selalu menjadi 3 besar kunjungan terbanyak,
begitu juga kondisi yang sama terjadi di RSUD Bantul dimana pada tahun
2015 Hipertensi merupakan penyumbang kunjungan rawat jalan terbesar
(Dinkes Bantul, 2016).
2

3% 1%
4%
3%
4%
Essential (Primary) hypetension
5%
Low Back Pain
Dyspepsia
7% Stiffness Of Joint Not Elsewhere Classified
52% Necrosis Of Pulp
10%
Impacted Cerumen
Myopia
11% Presbyopia
Impacted Teeth
Conjuntivitis

Gambar 1. Distribusi 10 Besar Penyakit Rawat Jalan


Di RSUD Bantul Tahun 2015

Sumber: Dinkes Bantul, 2016

Hipertensi sebagai salah satu penyakit kronis Non Communicable


Disease (NCD) akan menetap dan membutuhkan monitoring dan
pengelolaan terus menerus, seringnya berlangsung seumur hidup (WHO &
Calouste Gulbenkian Foundation, 2014). Pengelolaan berkelanjutan
dibutuhkan untuk mencegah komplikasi hipertensi dimana justru
membutuhkan intervensi kesehatan dengan biaya yang sangat tinggi seperti
bedah bypass jantung, bedah arteri karotis dan dialisis, yang akan menguras
biaya dari individu maupun pemerintah (WHO, 2013).
Penelitian di Korea menyebutkan bahwa terdapat 85% pasien
penderita penyakit kronis (hipertensi dan DM tipe II) mendapatkan
pelayanan rawat jalan rumah sakit yang sebenarnya tidak diperlukan, dan
banyak uang yang terbuang untuk pelayanan kesehatan ini. Kondisi ini
merupakan beban bagi layanan asuransi kesehatan nasional di Korea dan
pasien. Diperkirakan apabila 100% pasien yang tidak memerlukan
perawatan rawat jalan di transfer ke layanan primer maka akan menghemat
104.226 ribu dolar (Lee, dkk., 2014). Masalah lainnya adalah panjangnya
3

antrian waktu tunggu untuk mengakses layanan spesialis, yang merupakan


hal yang umum terjadi di Inggris karena terbatasnya jumlah dokter spesialis
(Forrest, 2003), selain itu banyaknya pasien penyakit kronis yang berobat ke
RS membuat pasien dengan kondisi rentan ini meningkat faktor resikonya
untuk mendapat masalah iatrogenic seperti infeksi nosokomial (Saxena,
dkk., 2006)
Pengobatan yang terus menerus akan meningkatkan biaya pelayanan
kesehatan dan panjangnya antrian dan waktu tunggu di rumah sakit
sehingga dibutuhkan program untuk meningkatkan aksesibilitas, kualitas
pelayanan kesehatan, dan efisiensi biaya kesehatan yaitu Program
Pelayanan Penyakit Kronis (prolanis) dan Program Rujuk Balik (PRB).
Dasar hukum pelaksanaan PRB tertuang pada Permenkes No.71 Tahun
2013, Peraturan BPJS Kesehatan No.1 Tahun 2014, dan Surat Edaran
Menkes R.I. No.HK/Menkes/32/2014.
PRB diberikan kepada penderita penyakit kronis dengan kondisi
stabil dan masih memerlukan pengobatan atau asuhan keperawatan jangka
panjang yang dilaksanakan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP)
atas rekomendasi/rujukan balik dari dokter spesialis/sub spesialis yang
merawat dengan tujuan antara lain optimalisasi dokter layanan primer
sebagai gate keeper sekaligus manager kesehatan peserta, transfer of
knowledge dari dokter spesialis/sub spesialis ke dokter layanan primer, serta
meningkatkan efektifitas pelayanan kesehatan bagi peserta penderita
penyakit kronis (BPJS Kesehatan, 2015). Terdapat keuntungan yang sangat
bermakna pada aspek kesehatan dan ekonomi apabila hipertensi dapat
dideteksi secara dini, dilakukan perawatan yang memadai, dan dikontrol
dengan baik. Implementasi integrasi program penanggulangan Non
Communicable Disease (NCD) melalui pendekatan pelayanan kesehatan
primer adalah cara yang terjangkau dan menjamin keberlanjutan perawatan
hipertensi (WHO, 2013).
Berdasarkan WHO (2016) sistem rujukan yang baik berguna untuk
menjamin pasien menerima perawatan yang optimal pada level pelayanan
4

kesehatan yang sesuai dan tanpa ada biaya yang tidak perlu, fasilitas RS
digunakan secara optimal dan cost effectively, pasien yang memang benar-
benar membutuhkan layanan spesialis bisa mengakses layanan tersebut
sesuai waktunya, dan peningkatan utilasi serta reputasi dari fasilitias
pelayanan kesehatan primer.
Penelitian yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan & KPMAK UGM
(2016), diketahui bahwa jumlah peserta BPJS Kesehatan di DIY sampai
dengan bulan September 2015 mencapai 2.476.575 orang, dimana 37.147
orang menderita penyakit kronis dan dari jumlah tersebut hanya terdapat
14.893 orang (40 %) yang terdaftar sebagai peserta PRB. Hal tersebut
menunjukkan bahwa PRB belum berjalan optimal dikarenakan 60%
penderita penyakit kronis masih melakukan kunjungan pelayanan kesehatan
di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL). Berdasarkan studi
pendahuluan yang dilakukan di Kab.Bantul, diketahui bahwa pasien
hipertensi yang dirujuk balik untuk berobat ke tiga Puskesmas Kab.Bantul
selama tahun 2016 adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Data Pasien Hipertensi yang Dirujuk Balik ke


Puskesmas Kab.Bantul Tahun 2016

NO Nama Puskesmas Jumlah pasien PRB Hipertensi


1 Sedayu 1 11
3 Pandak 2 3
4 Bambanglipuro 13
Sumber: Buku catatan pelayanan PRB tiap Puskesmas Tahun 2016

Berdasarkan presentasi Direktur BPJS Kesehatan DIY di hadapan


Dinas Kesehatan Kab/Kota se DIY pada tahun 2015, disimpulkan
keberhasilan program rujuk balik membutuhkan kolaborasi berbagai pihak,
yaitu komitmen pemberi layanan kesehatan baik di tingkat lanjut maupun
primer, ketersediaan obat program rujuk balik, keberadaan regulasi yang
jelas (SOP, buku pedoman dan monitoring/evaluasi rutin oleh regulator),
serta dukungan organisasi profesi. Disamping itu rujuk balik juga
dipengaruhi oleh persepsi berupa pengalaman dan harapan pasien (Thomas,
dkk., 2006).
5

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, yang menjadi permasalahan


dalam penelitian ini adalah: Bagaimana pelaksanaan rujuk balik pasien
penderita hipertensi dari RS ke Puskesmas Bambanglipuro dan Puskesmas
Pandak II? Faktor-faktor apa yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan
PRB pasien penderita hipertensi ke Puskesmas Bambanglipuro dan
Puskesmas Pandak II?

C. Tujuan Penelitian

Umum
Mengeksplorasi pelaksanaan PRB pasien penderita hipertensi bagi peserta
Jaminan Kesehatan Nasional dari RS ke Puskesmas Bambanglipuro dan
Puskesmas Pandak II di Kab.Bantul

Khusus

1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pasien dalam


pelaksanaan PRB hipertensi dari RS ke Puskesmas Bambanglipuro dan
Puskesmas Pandak II
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi dokter spesialis
dalam pelaksanaan PRB hipertensi dari RS ke Puskesmas
Bambanglipuro dan Puskesmas Pandak II
3. Mengeksplorasi kendala yang dihadapi pasien dalam pelaksanaan PRB
hipertensi Bambanglipuro dan Puskesmas Pandak II
4. Mengeksplorasi kendala yang dihadapi dokter spesialis dalam
pelaksanaan PRB hipertensi Bambanglipuro dan Puskesmas Pandak II
6

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi BPJS Kesehatan


Sebagai bahan masukan dan sumber informasi dalam evaluasi PRB
pasien hipertensi

2. Bagi Puskesmas dan Dinas Kesehatan


Sebagai bahan masukan dan informasi mengenai kapasitas Puskesmas
untuk melaksanakan PRB dan evaluasi program rujukan.

3. Bagi pasien hipertensi


Memberikan layanan PRB yang lebih baik

E. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian tentang evaluasi program rujuk balik bagi


pasien penyakit kronis di layanan primer pernah dilakukan sebelumnya
(tampak pada tabel 2), namun terdapat perbedaan dengan penelitian yang
akan dilakukan yaitu penelitian ini menggunakan desain penelitian studi
kasus deskriptif dengan subyek penelitian adalah pasien PRB dan dokter
spesialis penyakit dalam dengan determinan penyakit hipertensi. Penelitian
dilakukan dengan menggunakan metode telaah dokumen dan wawancara
mendalam. Selain itu untuk mendapatkan trustworthiness maka penelitian
ini juga melakukan triangulasi sumber dengan melakukan wawancara
kepada dokter umum di Puskesmas, serta apoteker dan pemilik apotek PRB.
Selain itu dilakukan pula triangulasi data dengan data hasil evaluasi kinerja
rujukan FKTP dan FKRTL di Dinas Kesehatan Kab.Bantul
Tabel 2. Penelitian Terdahulu Mengenai Rujuk Balik

No Penulis Tahun Judul Tujuan Metode Hasil Utama


1 Huntley, 2014 Which features Melakukan systematik  Systematic review Peningkatan pemanfaatan layanan
mengikuti metodologi
dkk., of primary review untuk kesehatan sekunder yang tidak sesuai
cochrane
care affect mengidentifikasi  Setting penelitian dengan jadwal, berkaitan erat dengan faktor
unscheduled sejumlah penelitian adalah penelitian pasien yaitu peningkatan umur pasien,
observasional di
secondary care yang layanan primer status sosial ekonomi yang rendah, tingkat
use? A mendeskripsikan pendidikan yang rendah, adanya penyakit
systematic faktor-faktor dan kronis dengan multimorbiditas, dan
review intervensi di layanan kedekatan rumah pasien dengan RS.
primer yang
berdampak pada
tingkat utilisasi
layanan kesehatan
sekunder (RS) yang
tidak terjadwal
8

2 Asri 2012 Faktor-faktor Mengidentifikasi  Desain penelitian  Faktor yang menghambat dokter spesialis
deskriptif kualitatif melakukan rujukan adalah beban kerja
Wulandari yang faktor-faktor yang
 Teknik pengumpulan yang berlebih dan waktu yang tidak
mempengaruhi mempengaruhi PRB data wawancara mencukupi, anggapan dokter keluarga
mendalam, observasi kurang kompeten dalam penanganan DM
rujukan balik pasien penderita DM.
dan diskusi kelompok tipe II, Hubungan dan komunikasi antara
pasien terarah terhadap 8 dokter keluarga dan dokter spesialis
dokter spesialis kurang harmonis
penderita DM
penyakit dalam di 3  Pasien merasakan bahwa saat ini akses ke
tipe 2 peserta RS Kab.Kudus dokter spesialis menjadi lebih sulit
askes sosial  Diskusi kelompok karena dokter keluarga membatasi
terarah terhadap pemberian rujukan, serta pelayanan dan
dari rumah kelompok pasien DM pengelolaan penyakit di dokter keluarga
sakit ke dokter tipe II yang berobat ke Askes lebih baik dibandingkan di RS
dokter keluarga terutama di RS Pemerintah, sehingga
keluarga di apabila pasien membutuhkan konsultasi
Kab.Kudus. spesialistik maka mereka lebih memilih
untuk datang ke tempat praktek pribadi
dokter spesialis dengan konsekuensi
adanya biaya tambahan.

3 BPJS 2016 Kajian  Mengidentifikasi  Desain penelitian  Hasil kuantitatif: jumlah peserta BPJS
gambaran deskriptif metode Kesehatan di DIY sampai dengan bulan
Kesehatan Pelaksanaan
pelaksanaan PRB campuran. September 2015 mencapai 2.476.575
dan Program Rujuk  Menjelaskan  Data sekunder diambil orang, dimana 37.147 orang menderita
persepsi dokter dari data laporan PRB penyakit kronis dan dari jumlah tersebut
KPMAK Balik
spesialis di dari BPJS Kesehatan. hanya terdapat 14.893 orang (40 %) yang
fasilitas kesehatan terdaftar sebagai peserta PRB
9

UGM tingkat lanjut  Data primer  Hasil Kualitatif: pemahaman dokter


terhadap dikumpulkan dengan spesialis penyakit dalam tentang definisi,
pelaksanaan PRB cara focus group tujuan, prosedur pelayanan obat, dan
 Menjelaskan discussion (FGD). manfaat PRB masih kurang.
kendala yang FGD dilakukan kepada  Kendala pelaksanaan PRB antara lain
dihadapi dalam dokter spesialis faktor pertimbangan klinis pasien,
pelaksanaan PRB penyakit dalam di RS ketersediaan obat di FKTP, pemeriksaan
rujukan sekunder dan penunjang di FKTP, permintaan pasien,
dokter umum di dan akses yang sulit.
FKTP.

Anda mungkin juga menyukai