Anda di halaman 1dari 2

Rakyat Dibela

HANDRAWAN NADESUL
Kompas, 13 November 2009

Rakyat kita ada dua. Pertama, yang bisa mengurus diri, termasuk kesehatannya. Kedua, rakyat yang
baru berobat kalau punya duit. Jumlah kelompok kedua lebih dari empat perlima penduduk, perlu
dibela karena rentan jatuh sakit.

Bukan obat, tetapi...

Konsep pembangunan kesehatan kita belum berubah. Paradigmanya preventif-promotif. Jika pasien
puskesmas terus bertambah, artinya preventif-promotif belum jitu. Hal itu karena kerja puskesmas
baru dinilai berhasil jika dokter berkunjung dari pintu ke pintu, rutin ikut rapat mingguan dengan
pamong, bekerja sama lintas sektoral, aktif menyuluh, dan cakupan imunisasi terus menjaring lebih
luas.

Puskesmas juga terbilang berhasil bila yang datang untuk menimbang bayi bertambah, kunjungan
poliklinik menurun, air bersih tersedia, selokan dan jamban keluarga dibudidayakan. Dari sinilah
sebaiknya niat revitalisasi puskesmas berawal.

Tercapainya target MDGs banyak bergantung sehatnya sikap puskesmas terhadap ibu dan anak. Target
MDGs bisa tercapai bila kematian bayi dan ibu hamil bisa ditekan. Untuk itu, rakyat perlu mendapat air
bersih, kebersihan perorangan dan sanitasi meningkat, selebihnya mendongkrak pendidikan ibu.

Tidak semua ibu siap menjadi ibu. Derajat kesehatan keluarga ditentukan pendidikan ibu. Pendidikan
ibu menentukan keberhasilan perbaikan angka kematian bayi, ibu hamil, dan melahirkan. Intervensi
pemberdayaan ibu sejatinya menjadi prioritas. Safe motherhood, salah satunya.

Bagi empat perlima rakyat, menyuluh kesehatan laik dijadikan bagian pelaksanaan konsep primary
health care (PHC). Apa pun bentuk layanan PHC, asasnya dari, oleh, dan untuk rakyat. Kita pernah
mengerjakannya dalam bentuk pembangunan kesehatan masyarakat desa, selain posyandu, dana sehat,
dan sejenisnya, yang kini terlupakan.

Orientasi kesehatan

Sektor kesehatan tidak mungkin melangkah sendiri. Dalam pelaksanaan PHC, perlu terjalin kerja sama
lintas sektoral yang dulu pernah dikerjakan. Selain itu, apa pun sektornya perlu sepakat, pembangunan
sektor apa pun wajib berorientasi kesehatan. Kesepakatan itu bisa meringankan sektor kesehatan.

Membangun jalan raya, jembatan, infrastruktur, pariwisata, transmigrasi, transportasi, dan lainnya
wajib memperhitungkan aspek kesehatan sejak perencanaan. Sektor kesehatan butuh bantuan sektor
pekerjaan umum untuk membangun penyediaan air bersih, butuh sektor pertanian dan kelautan guna
meningkatkan gizi keluarga, butuh sektor dalam negeri guna menggiatkan partisipasi masyarakat,
sektor komunikasi untuk menyuluh rakyat agar pintar sehat.

Di lapangan, sumber mata air kita berlimpah, tetapi masyarakat sekitar kekurangan air bersih. Hanya
bila puskesmas mau berpikir bagaimana membangun instalasi (teknologi tepat guna dengan pekerjaan
umum) sehingga sumber air bisa dimanfaatkan rakyat.

Hal lain, tak semua kasus kekurangan gizi karena kepapaan. Banyak pula karena ketidakberdayaan dan
ketidaktahuan. Maka perlu dijalin lintas sektoral dengan pertanian, mengajak rakyat bercocok tanam
hidroponik di pekarangan sempit, budidaya belut di gentong, meningkatkan gizi keluarga secara
sederhana.
Promotor kesehatan

Selain itu, sektor kelautan, mengolah ”bubuk ikan” bagi rakyat pegunungan yang kurang protein
hewani. Rakyat pesisir yang kecukupan ikan butuh bimbingan bercocok tanam hidroponik untuk
memenuhi kecukupan sayur dan bebuahan.

Agar bisa bergerak, rakyat perlu dibimbing. Maka diperlukan penggerak. Dulu dikenal ”promokesa” atau
promotor kesehatan desa. Kader kesehatan dari masyarakat ini menjadi penyambung tangan puskesmas
dengan rakyat. Promokesa lebih akrab dengan masyarakat sekaligus mudah memotivasi segala bentuk
kegiatan yang menyehatkan rakyat, termasuk agar rakyat mampu membatalkan jatuh sakitnya.

Karena itu, tak tepat jika pembangunan kesehatan lebih mengalokasikan belanja obat ketimbang
memberdayakan rakyat agar mampu membatalkan jatuh sakit. Saatnya fokus pembangunan kesehatan
tidak menunggu rakyat telanjur sakit, tetapi menjadikan mereka sehat sejak awal.

Sudah lama mayoritas rakyat kita terlunta karena sering sakit yang sebetulnya tidak perlu. Belum tentu
mereka mampu berobat saban kali sakit. Membantunya terus memberi obat murah dan rumah sakit
gratis yang memerlukan anggaran besar dan kita belum memungkinkan untuk memilih itu.

Kini harus dilakukan, membangun rakyat agar tidak sakit sejak hulu. Ongkos untuk itu lebih murah
karena kegiatan menyuluh, menjalin kerja sama lintas sektoral, membangun kader kesehatan, dan
kesepakatan semua sektor membangun berorientasi kesehatan tidak lebih boros dari belanja obat dan
rumah sakit gratis.

HANDRAWAN NADESUL, Dokter; Pengasuh Rubrik Kesehatan; Kolomnis; Penulis Buku

Anda mungkin juga menyukai