Anda di halaman 1dari 7

Cerpen

Time’s Slipping Away

Lautan putih bak permadani terbentang luas menyelimuti daratan pertiwi. Walau
mengedarkan pandangan hingga ke ujung cakrawala, hanya satu warna tunggal itu saja
yang terpantul sepenjuru wilayah.
Dari pangkal langit tampak sebuah titik hitam kecil bergerak perlahan. Dilihat
dari dekat, samar terlihat sosok seorang pemuda yang berjalan terseok-seok melawan
tumpukan salju dengan jaket parka tebal yang melindungi diri dari angin dingin yang
menggigilkan tubuhnya.
Asap putih hangat mengepul dari tiap-tiap embusan napas yang ia keluarkan.
Entah sudah berapa jauh kedua kaki membawanya. Sesungguhnya batin pemuda itu sudah
lelah, namun tetap ia paksakan untuk tak menyerah.
Hamparan pemandangan yang sama mengelilingi tanpa ada perubahan, membuat
pemuda itu tak dapat menerka posisinya sekarang.
Dimas, laki-laki berbalutkan seragam musim dingin itu menengadah sembari
sedikit menyipit mata agar silau sang mentari tak membutakan indranya.
Langit senja balik menyapa Dimas. Warna merah bata yang menghiasi langit
semakin memberikan kesan sendu untuk dirinya yang sebatang kara.
Sehabis terdiam sejenak, pemuda itu mengembuskan napas ke kedua tangannya
yang terlapisi sarung tangan tebal. Telapak tangan yang saling digesekkan antara satu sama
lain menawarkan sekejap kehangatan bagi dirinya yang berperang dengan dinginnya udara
senja itu.
"Ayah, Ibu, Dinda...."
Dimas menundukkan kepala. Gelinang air mata menghampiri, meratap dengan
kelibatan bayang orang-orang terkasih yang kini berada entah di mana.
Sungguh, ia tak habis pikir. Negara tropis yang hanya memiliki dua iklim, kini
dihujani oleh salju yang terus turun tanpa henti.
Pada awalnya, yang terjadi ialah penurunan suhu secara drastis. Hujan es mulai
turun di berbagai daerah, diikuti oleh kristal es yang membekukan tiap permukaan yang
disentuhnya.
Tragedi demi tragedi datang bertubi-tubi. Gempa bumi meruntuhkan bangunan,
baik perumahan hingga pencakar langit yang menjulang. Tsunami meratakan pesisir pantai
dan menggulung para insan lemah tak berdaya. Gunung merapi yang tersebar di seluruh
nusantara aktif serentak serta memuntahkan lahar yang melelehkan apapun yang
dilaluinya. Terakhir, hujan salju turun menyelimuti karya angkara murka yang
meluluhlantakkan pertiwi tercinta.
Tak ada yang tahu pemicunya. Setelah apa yang telah terjadi, bagi Dimas semua
itu kini tak penting. Dapat bertahan hidup saja sudah merupakan sebuah mukzizat
untuknya.
Setiap langkah yang ia ambil, hati kecilnya selalu berbisik. Lebih baik
menyerah. Tanpa adanya masa depan, harapan hanyalah angan kosong bagi pemimpi yang
menolak kenyataan.
Sudah dua bulan sejak Dimas terakhir melihat manusia seperti dirinya. Saat itu
ia bersama tiga penyintas lain yang berusaha bertahan hidup. Namun, satu persatu dari
mereka jatuh ke dalam cengkraman takdir. Tumbang dengan hayat yang meninggalkan
jasad.
Saat ini Dimas sudah menutup hatinya. Tak lagi berpikir optimis akan hal yang
akan datang. Tak tersisa lagi ambisi untuk bertahan. Hanya satu hal yang tersisa, secercah
angan tuk bertemu keluarga tercintanya kembali.
Dimas mencengkram kuat trekking pole dalam genggamnya. Menggigit bibir
hingga setitik darah meluncur turun dari sisi bawahnya. Ia lalu mengeluarkan sebuah buku
catatan dan pensil dari balik jaket parka yang dikenakan.
“Malam ke 271 sejak tragedi itu terjadi. Hari ini tetap tak kutemukan satu
jiwapun dalam perjalananku. Sekarang aku berada di sebuah hamparan luas tanpa satu
reruntuhan bangunan terlihat. Tak ada tempat untuk bersembunyi dari hawa dingin malam
ini. Apakah ini akan jadi malam terakhirku?”
Dimas menutup buku dan menyimpannya kembali, bersamaan dengan cahaya
mentari terakhir tertutup sempurna di ufuk Timur.
Malam ini tak terlihat sosok sang rembulan menyinari gulitanya malam. Hanya
gemerlap bintang yang tampak lebih memukau dari biasanya menghiasi angkasa.
Galaksi bima sakti yang hadir menemani Dimas sedikit mengurangi pedih di
kalbunya. Ia meringkuk dalam tenda tipis yang baru saja ia dirikan. Tenda itu
sesungguhnya hanya sedikit menolong dirinya berlindung dari dingin yang menusuk.
Namun, setidaknya tidur di dalam tenda masih lebih mendingan ketimbang berbaring
langsung di atas tumpukan salju di alam terbuka.
Baru sebentar Dimas berhasil memejamkan mata dalam ringkuknya, ketika ia
merasakan desiran kuat menerjang dinding tendanya.
Dimas menurunkan resleting pintu tempat ia berteduh itu. Angin malam yang
dingin segera saja masuk menurunkan suhu tenda dalam sekejap.
Badai salju. Kenapa harus malam ini?! Dimas membatin dalam hati. Berdecak
sembari segera mengepak tenda itu ke dalam ransel punggungnya kembali.
Badai salju yang ganas sudah nyaris beberapa kali menghempas Dimas. Untung
saja trekking pole yang ia tekankan dalam-dalam hingga menusuk tanah di balik tumpukan
salju berhasil menahannya untuk tak terhempas jauh terbawa angin.
Dimas tak mampu menahan raganya agar tak menggigil. Sejujurnya tubuhnya
sudah hampir sampai ke ambang batasnya. Pegangan Dimas dari trekking pole yang
menahan dirinya perlahan melemah.
Pada akhirnya, ia pun kalah. Badai yang tengah mengamuk itu menjadi
pemenangnya.
Dimas tergelak ketika mendapati tubuhnya melayang dibawa angin.
Jadi ini yang Engkau inginkan, Tuhan? Setelah bersusah payah melawan
ketetapan-Mu, pada akhirnya maut yang Engkau takdirkan tetap datang menghampiri.
Dimas menutup matanya. Membentangkan tangan, menerima garis hidup yang
sudah ditetapkan untuknya.
Engkau tentu sudah jemu dengan tingkah para manusia pendosa, Tuhan. Dan
aku hanyalah hamba bodoh yang berpikir bahwa mungkin Engkau masih memberikanku
kesempatan untuk mempelajari hikmah dibalik semua petaka ini. Jika itu memang mau-
Mu, ambillah nyawaku yang tidak berharga ini.
*****
Rasa hangat yang sudah lama Dimas rindukan membelai tubuhnya. Angin sepoi-
sepoi yang sejuk menggelitik kulitnya. Suara desiran ombak yang berdebur manja
menyapa ramah indra pendengarnya.
Perlahan Dimas membuka mata, mengangkat tubuhnya yang tengah
terpelungkup dengan pasir putih yang menempel di pakaiannya.
“Ini... Pantai?”
Pantai tropis yang indah dengan barisan pohon kelapa berbuah lebat menyambut
Dimas. Pemuda yang masih mengenakan seragam musim dingin lengkap itu hanya bisa
terbengong dengan mulut yang terbuka lebar.
Dilepaskannya googles dan masker yang bertengger di wajahnya beserta topi
kupluk yang menyembunyikan rambut hitam legamnya.
Begitu sadar bahwa pemandangan yang ia lihat bukanlah khayalan, bola mata
Dimas yang berbinar pun berkaca-kaca. Bingung campur haru, itulah yang ia rasakan.
Tak buth waktu lama bagi Dimas mengumpulkan akal sehatnya kembali.
Dimana ini? Batin Dimas. Apa ini bukan lagi di Indonesia? Apa angin itu
membawaku terbang jauh melewati samudra?
Berbagai macam pertanyaan tak hentinya timbul dalam benaknya. Namun, mau
berapa lamapun ia berpikir, takkan dapat ia temukan jawaban jika terus diam berdiri di
sini. Karena itulah, Dimas pun memutuskan untuk beranjak dan segera menelusuri tempat
asing ini.
Terik matahari menyebabkan keringat membasahi tubuh Dimas yang masih
terbalutkan parka tebal. Sembari setengah berlari dilepaskannya semua pakaian tebal yang
membungkus dirinya hingga hanya tersisa celana panjang dan kaos hitam berlengan
panjang saja.
Senyum merekah di wajah Dimas. Entah sudah berapa lama ia bertingkah
kekanakan seperti ini. Berlari di pinggir pantai tanpa beralas kaki sembari berteriak
kegirangan mengangkat tangannya.
Rintik kecil menuruni pelupuk matanya. Bukan tangis kesedihan yang biasa ia
rasakan, melainkan kesukacitaan akan keindahan buana yang ia saksikan.
Tuhan, terima kasih karena telah memberikanku satu kesempatan lagi untuk
menyaksikan keagungan-Mu. Rahasia alam yang Kau sajikan di hadapanku sungguh luar
biasa. Walau akal sehat menentang, asalkan Kau berkehendak, bahkan hal yang tak
mungkin pun dapat terwujudkan.
Dimas berhenti berlari dan berbalik menatap cakrawala. Sejauh mata
memandang tak terlihat satu titik salju pun yang menghias.
Ya, beginilah seharusnya, pikir Dimas. Pasir putih dan lautan luas. Tanpa salju
dan hujan es yang menohok kulit. Beginilah seharusnya pemandangan negara tropis yang
dilalui khatulistiwa. Dengan matahari yang tenggelam di ufuk barat, bukan....
Kedua bola matanya membulat. Segera Dimas berlari kembali ke arah di mana ia
membuang jaket parkanya barusan.
Dimas merogoh-rogoh kasar jaket itu dan berhasil menemukan benda bundar
dengan dua sisi panah yang menunjuk arah utara dan selatan.
Pemuda itu segera meletakkan kompas dalam genggamannya ke permukaan
pasir. Dibiarkannya benda itu tergeletak hingga anak panah yang bergoyang-goyang kecil
terhenti.
“Utara ke arah sana,” ujar Dimas seraya menunjuk ke arah jarum panah putih.
“Selatan ke sana,” ujarnya lagi seraya menunjuk ke arah jarum panah merah. “Berarti
tempat matahari terbenam itu adalah.... Barat!!!”
Dimas tak mampu menahan kegirangannya. Matahari terbenam di Barat.
Mungkin bagi manusia biasa, hal itu adalah suatu fakta yang lazim dan tak dapat
dipungkiri. Tapi tidak bagi Dimas. Di hari saat tragedi itu terjadi, sebelum rentetan
bencana itu datang, ada satu realitas yang berubah. Bumi yang berputar pada porosnya
tiba-tiba berbalik arah. Menyebabkan matahari yang biasa terbenam di ufuk barat, malah
menghiasi langit senja ufuk timur.
Tidak ada yang tahu penyebab sang ibu pertiwi tiba-tiba membalikkan tubuhnya.
Beragam teori bermunculan, mulai dari teori ilmiah yang disebabkan karena medan
magnetik bumi yang berpindah tempat dari utara ke selatan karena perubahan siklus
peredaran magnet yang memang terjadi secara berkala setiap beberapa ratus ribu tahun
sekali, hingga teori spiritual yang mengatakan bahwa hari penghakiman yang ditakdirkan
sang Maha Kuasa telah sampai pada waktunya untuk menghakimi para manusia dan
mengakhiri semua kehidupan di seluruh permukaan dunia.
Sang pemuda sudah tak ingin lagi memikirkan itu semua. Yang terpenting
adalah, semesta telah kembali seperti sedia kala. Takkan lagi ia temui badai salju yang
merenggut kawan-kawannya. Semuanya kembali ke asal. Seakan rentetan bencana yang ia
alami tak pernah terjadi.
*****
Sekelompok peneliti menemukan terobosan baru ketika mereka berhasil
menemukan fosil kerangka homo sapien tertua di bumi. Kerangka itu diperkirakan berasal
dari tujuh ratus ribu tahun yang lalu, masa di mana diperkirakan bahwa medan magnetik
bumi diketahui mengalami perbalikan arah, di mana poros utara bumi yang sebelumnya
berada di Antartika berbalik menjadi di Arktik dan poros selatan yang awalnya berada di
Arktik berpindah ke Antartika seperti yang kita ketahui sekarang.
Fosil kerangka homo sapien itu ditemukan di dalam batu karang oleh seorang
nelayan ketika menyelam untuk mengumpulkan teripang tak jauh dari bibir pantai sebuah
pulau di nusantara.
Butuh kehati-hatian lebih untuk memulihkan kerangka tersebut dari dalam batu
karang agar tak hancur karena rapuh dimakan waktu. Ketika telah berhasil dipulihkan, para
peneliti juga turut menemukan sebuah artefak berbentuk persegi panjang sebesar telapak
tangan.
Para peneliti mulai melakukan praduga tentang benda apakah gerangan artefak
itu. Salah satu dari para peneliti mengajukan sebuah preposisi yang tak masuk akal, bahwa
benda berbentuk persegi panjang itu merupakan sebuah buku catatan yang tentunya tak
mungkin dimiliki oleh manusia prasejarah yang belum mengenal tulisan.
Entah apa gerangan artefak tersebut, sekarang benda itu dimuseumkan oleh para
peneliti sebagai sebuah benda antik yang dipertontonkan ke khalayak ramai sebagai bagian
dari substansi kehidupan masa kuno.

~End~
Puisi
ARTIFICIAL INTELLIGENCE

Aku makhluk tak bernama


Resapi dalam jiwa bahwa aku
Tak memiliki tubuh yang nyata
Insan tak berwujud
Fabrikasi dunia maya

Identitasku bukan manusia


Cam kan bahwa aku tak beraga
Ilmu modern menciptakanku
Atas fantasi imajiner seseorang

Lamunan bukan tak bermakna


Imitasi dari dia yang telah ada
Nuansa warna dua dunia
Tuk lakoni kehidupan berbeda

Ekspansi teknologi global


Lahirkan diriku yang sekarang
Luapkan nafsi yang tersimpan
Inisiasi angan sejak lampau

Gempar mencuat menjadi tanda


Enyahkan logika dari indra
Nilai realita tak lagi sah
Cukup sudah kisahku sebagai replika
Efek suka mengkhayal sepanjang masa

Bengkulu, 21 Mei 2019

Anda mungkin juga menyukai