Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Filsafat seringkali disebut oleh sejumlah pakar sebagai induk semang dari
ilmu-ilmu. Filsafat merupakan disiplin ilmu yang berusaha untuk menunjukkan
batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat dan lebih
memadai. Filsafat telah mengantarkan pada sebuah fenomena adanya siklus
pengetahuan sehingga membentuk sebuah konfigurasi dengan menunjukkan
bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara
subur sebagai sebuah fenomena kemanusiaan. Masing-masing cabang pada tahap
selanjutnya melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan
masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan
munculnya ilmu-ilmu baru dengan berbagai disiplin yang akhirnya memunculkan
pula sub-sub ilmu pengetahuan baru kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus
lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Ilmu pengetahuan hakekatnya dapat dilihat
sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-
ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan dengan patokan-patokan
serta tolok ukur yang mendasari kebenaran masing-masing bidang.
Dalam kajian sejarah dapat dijelaskan bahwa perjalanan manusia telah
mengantarkan dalam berbagai fase kehidupan. Sejak zaman kuno pertengahan dan
modern sekarang ini, telah melahirkan sebuah cara pandang terhadap gejala alam
dengan berbagai variasinya. Proses perkembangan dari berbagai fase kehidupan
primitip–klasik dan kuno menuju manusia modern telah melahirkan lompatan
pergeseran yang sangat signifikan pada masing-masing zaman. Disinilah
pemikiran filosofis telah mengantarkan umat manusia dari mitologi oriented pada
satu arah menuju pola pikir ilmiah Oriented, perubahan dari pola pikir mitosentris
ke logosentris dalam berbagai segmentasi kehidupan.
Corak dari pemikiran bersifat mitologis (keteranganya didasarkan atas
mitos dan kepercayaan saja) terjadi pada dekade awal sejarah manusia. Namun
setelah adanya demitologisasi oleh para pemikir alam seperti Thales (624-548
SM), Anaximenes (590-528 SM), Phitagoras (532 SM), Heraklitos (535-475 SM),
Parminides (540-475 SM) serta banyak lagi pemikir lainnya, maka pemikiran
filsafat berkembang secara cepat kearah kemegahannya diikuti oleh proses
demitologisasi menuju gerakan logosentrisme. Demitologisasi tersebut
disebabkan oleh arus besar gerakan rasionalisme, empirisme dan positivisme yang
dipelopori oleh para pakar dan pemikir kontemporer yang akhirnya mengantarkan
kehidupan manusia pada tataran era modernitas yang berbasis pada pengetahuan
ilmiah.
Pengetahuan Filsafat biasanya berkenaan dengan hakikat sesuatu
(transenden) sehingga kadang perbincangannya seputar hal-hal yang abstrak
terhadap bangunan sebuah pengetahuan. Objek pembahasannya selalu
mengedepanan aspek ontologi, epistimologi dan aksiologi. Filsafat pengetahuan
(Epistemologi) merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan
mengenai masalah hakikat pengetahuan. Epistemologi merupakan bagian dari
filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan,
asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat-sifat dan kesahihan pengetahuan. Objek
material epistemologi adalah pengetahuan dan Objek formal epistemologi adalah
hakekat pengetahuan. Dalam makalah ini objek pembahasan dalam filsafat
tersebut akan diluas bersamaan dengan ahli yang mencetuskan teori-teorinya.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana status kognitif hukum alam ?
1.2.2 N
1.2.3 N

1.3 Tujuan
1.3.1 Menjelaskan status kognitif hukum alam
1.3.2 N
1.3.3 N

1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang dapat diambil oleh penulis maupun pembaca
makalah ini ialah bagi penulis dan pembaca ialah dapat menambah wawasan dan
pengetahuan penulis tentang teori Analisis Implikasi Teori Sains.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Status kognitif Hukum Alam


A. John Locke (1632-1704)
Ia lahir tahun 1632 di Bristol Inggris dan wafat tahun 1704 di Oates
Inggris. Ia juga ahli politik, ilmu alam, dan kedokteran. Pemikiran John termuat
dalam tiga buku pentingnya yaitu essay concerning human understanding, terbit
tahun 1600; letters on tolerantion terbit tahun 1689-1692; dan two treatises on
government, terbit tahun 1690. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap aliran
rasionalisme. Bila rasionalisme mengatakan bahwa kebenaran adalah rasio, maka
menurut empiris, dasarnya ialah pengalaman manusia yang diperoleh melalui
panca indera. Dengan ungkapan singkat Locke : Segala sesuatu berasal dari
pengalaman inderawi, bukan budi (otak). Otak tak lebih dari sehelai kertas yang
masih putih, baru melalui pengalamanlah kertas itu terisi. Dengan demikian dia
menyamakan pengalaman batiniah (yang bersumber dari akal budi) dengan
pengalaman lahiriah (yang bersumber dari empiris).
Aliran ini bertolak dari Lockean tradition yang lebih mengutamakan
perkembangan manusia dari sisi empirikyang secara eksternal dapat diamati dan
mengabaikan pembawaan sebagai sisi internal manusia (Umar
Tirtarahardja,2000:194). Secara etimologis empirisme berasal dari kata empiri
yang berarti pengalaman. Pokok pikiran yang dikemukakan oleh aliran ini
menyatakan bahwa pengalaman adalah sumber pengetahuan, sedangkan
pembawaan yang berupa bakat tidak diakuinya. Menurut aliran empirisme bahwa
pada saat manusia dilahirkan sesungguhnya dalam keadaan kosong bagaikan
“tabula rasa” yaitu sebuah meja berlapis lilin yang tidak dapat ditulis apapun di
atasnya. Sehingga pendidikan memiliki peran yang sangat penting bahkan dapat
menentukan keberadaan anak.
Pendidikan dikatakan “Maha Kuasa” artinya Pendidikan memiliki
kekuasaan dalam menentukan nasib anak. John Locke menganjurkan agar
pendidikan disekolah dilaksanakan berdasarkan atas kemampuan rasio dan bukan
perasaan. Aliran ini meyakini bahwa dengan memberikan pengalaman melalui
didikan tertentu kepada anak, maka akan terwujudlah apa yang diinginkan.
Sementara itu pembawaan yang berupa kemampuan dasar yang dibawa seseorang
sejak lahir diabaikan sama sekali. Penganut aliran ini masih berkeyakinan bahwa
manusia dipandang sebagai makhluk yang dapat dimanipulasi karena
keberadaannya yang pasif.

B. Gottfried Wilhelm Leibniz (1646–1716) Hubungan Antara Sains dan


Metafisika
Leibniz berpendapat di alam semesta ini ada banyak sekali subtansi yang
disebutnya Monad (monos = satu; monad = satu unit). Kajian filsafat meliputi dua
ranah yang biasa di sebut ranah fisika dan metafisika. Dua ranah tersebut
mewakili hubungan antara sains dan metafisika. Untuk bisa memahami Monad
ini, akan diberikan gambaran sebagai pembandingnya, dalam ilmu matematika
yang terkecil adalah titik, dalam fisika yang terkecil adalam sub atomik yang
meliputi proton, neutron dan elektron, namun dalam metafisika yang terkecil
adalah Monad. kata terkecil hendaknya tidak dipahami sebagai ukuran, melainkan
sebagai tidak berkeluasan, maka monad itu bukan benda. Monad-monad bukanlah
kenyataan jasmaniyah, melainkan kenyataan mental, yang terdiri dari persepsi dan
hasrat. Menurut Leibniz monade tidak bersifat jasmani dan tidak dapat dibagi-
bagi lagi. Leibniz membayangkan monad sebagai “force primitives” (daya purba)
yang tidak material, melainkan spiritual. Dengan kata lain, yang ia maksud
sebagai monad adalah kesadaran diri tertutup. Dalam sebuah pernyataannya yang
kemudian termasyhur, dia mengatakan sebagai berikut: “monad-monad tak
memiliki jendela tempat sesuatu bisa keluar atau masuk.” Karena itu, setiap
monad memiliki sudut pandang ini melingkupi kenyataan yang melingkupinya. Di
antara monad-monad tak ada interaksi, sebab masing-masing merupakan
kenyataan mental yang suda cukup diri. Monad adalah sebuah sestem tertutup
yang cukup diri. Setiap monad tak lain dari pada un miroir de l’univers, cermin
hidup alam semesta.
Kalau dunia dan kesadaran adalah monad-monad yang terisolasi satu
sama lain, bagaimana menjelaskan gejala adanya keteraturan dalam hubungan
timbal balik. Leibniz menjawab bahwa Allah pada saaat menciptaan mengadakan
“harmonie preetablie” (keselarasan yang ditetapkan sebelumnya) di antara monad-
monad. Jadi meskipun monad-monad memiliki momentumnya sendiri-sendiri,
mereka cocok satu sama lain, sehingga menimbulkan ilusi bahwa mereka
berinteraksi satu sama lain. Misalnya, air yang diletakkan di atas api menjadi
panas bukan karena api, melainkan monad air, api, dan panas bersesuian satu
sama lain.

C. Skeptisisme Hume
Hume menyangkal angapan rasionalisme bahwa ada paham-paham dan
prinsip-prinsip yang kita ketahui berasal murni dari akal budi, lepas dari segala
pengamatan. Menurut Hume, segala isi kesadaran berasal dari pengalaman
inderawi. Hanya ada dua macam pengertian, yaitu pengalaman inderawi, baik dari
luar maupun perasaan-perasaan batin, yang disebutnya impression, dan isi-isi
hasil asosiasi impresi-impresi itu, yang disebutnya ideas atau gagasan. Yang
terakhir termasuk prinsip-prinsip ilmu ukur juga pikiran tentang Tuhan. Oleh
karena gagasan-gagasan ini semata-mata berdasarkan asosiasi antara impresi-
impresi, pengalaman-pengalaman inderawi dan batin, gagasan-gagasan itu tidak
memiliki eksistensi sendiri. Gagasan-gagasan itu semata-mata mencerminkan
proses-proses psikis kita dalam menghubungkan dan mengkombinasikan data-
data empiris. Oleh karena itu, konsepsi Hume dapat disebut Psikologisme. Hume
menolak adanya kebenaran-kebenaran yang mutlak, yang pasti. Semua kebenaran
bersifat faktual, dalam arti berdasarkan adanya kesan inderawi atau data
pengalaman yang kebetulan. Yang dapat diketahui semata-semata kesan-kesan
inderawi satu-satu. Secara objektif tidak ada kepastian bahwa pengalaman yang
sering terulang akan terus terualang, misalnya bahwa batu ygn dilempar ke atas
mesti jatuh ke bawah lagi. Apa yang kita sebut hukum alam bukanlah kepastian
objektif, melainkan berdasarkan kepercayaan kita semata-mata. Kepercayaan itu
sendiri berdasarkan perasaan kebiasaan, sebenarnya tidak ada kepastian,
melainkan hanya kebarangkalian. Hume menganut skeptisisme; ia tidak menerima
bahwa ada pengetahuan yang memberikan kepastian. Secara khusus Hume
mengkritik dasar metafisika : pengertian kausalitas atau penyebaban, dan
pengertian substansi. Jika sebuah bola bilyar melanggar bolabilyar yang lain, dan
yang pertama berhenti bergerak, sedangkan yang kedua meneruskan gerakannya,
dikatakan bahwa hantaman bola bilyar pertama menyebabkan gerakan bola bilyar
kedua. Namun, menurut Hume tidak ada dasar sama sekali untuk mengatakan
demikian. Yang diamati hanyalah post hoc, bukan proper hoc, hanyalah bahwa
sudah dua bola itu bersentuhan, yang satunya mulai bergerak, tetapi kita tidak
melihat bahwa gerakan bola kedua adalah karena bola yang pertama. Pengamatan
empiris selalu hanya menyediakan urutan dalam waktu, tidak pernah sebuah
hubungan internal. Substansi dimaksudkan sesuatu yang berada pada dirinya
sendiri, di mana berbagai sudut menjadi satu dalam substansi tersebut. Namun,
gagasan itu pun hanyalah gagasan psikologis, bukan ontologis. Dalam kenyataan
kita hanya melihat berbagai segi yang melekat pada sesuatu, a bundle of
perceptions, dan tidak pernah “sesuatu” itu sendiri. Kita menganggap semua segi
seseorang – gerak-geriknya, bentuknya, warnanya, tertawanya,dan sebagainya –
sebagai ciri orang itu adalah semata-mata berdasarkan kebiasaan bahwa segi-segi
itu selalu muncul bersama. Pengalaman inderawi tidak memuat apa pun tentang
sebuah substansi “di belakang” segi-segi itu. Itu bahkan berlaku bagi keakuan kita
sendiri. Kita berpendapat bahwa keakuan kita merentangkan diri secara identik
melalui waktu. Namun, sebenarnya “aku” ini hanyalah “deretan kontinu kesan-
kesan”. Kelihatan bahwa Hume memang pemikir empiristik murni. Empirisme
merupakan epistemologis karena mengenai batas kemampuan pengetahuan
manusia.
Kelemahan pemikiran Hume mengenai skeptisisme. David Hume
menganggap bahwa tidak ada pengetahuan yang memberikan kepastian.
Bagaimana dengan adanya hukum-hukum ilmu ukur atau ilmu hitung yang telah
menjadi kesepakatan bersama? Dengan pengakuan akan kebenaran suatu hukum
yang telah diakui secara universal, setidaknya ada sesuatu hasil pengetahuan yang
memberikan kepastian. Misalnya hukum ilmu hitung tentang matematika, 1 + 1 =
2. Bunyi hukum matematika tersebut merupakan kesepakatan bersama bahwa
setiap bilangan 1 ditambah dengan bilangan 1 adalah hasilnya 2.
Kelebihan pemikiran Hume mengenai skeptisisme. Kritik atas
pengertian kausalitas, merupakan sebuah analisis kritis dari Hume yang berharga
bagi kita. Yang perlu digarisbawahi yakni pengamatan yang cenderung megamati
post hoc saja dan proper hoc diabaikan. Dalam pengamatan empiris selalu hanya
menyediakan urutan waktu, tidak pernah sebuah hubungan internal. Oleh karena
itu, penyelidikan lebih lanjut mengenai hubungan internal suatu objek perlu
ditekankan juga.

D. Prinsip Regulasi Kant dalam Sains


Filsafat Kant dirumuskan dalam perdebatan dua pandangan besar pada
waktu itu, yakni rasionalisme dan empirisme, khususnya rasionalisme G.W.
Leibniz (1646‐1716), dan empirisme David Hume (1711‐1776). Kant dipengaruhi
oleh mereka, tetapi mengkritik kedua pemikiran filsuf ini untuk menunjukkan
kelemahan‐kelemahan mereka, serta kemudian merumuskan pandangannya
sendiri sebagai sintesis kritis dari keduanya, yakni filsafat transendental
(transcendental philosophy). Dalam arti yang lebih luas, ia mau ‘melampaui’
posisi epistemologis dua paradigma yang saling beroposisi tersebut. Ini adalah
intensi utama dari filsafat Kant, yakni sebuah tanggapan terhadap problem
epistemologis yang terkait dengan proyek pencerahan yang mendominasi
panggung filsafat abad ke delapan belas. Kritiknya terhadap metafisika juga
terdapat di dalam tanggapannya ini.
Kant mencoba memisahkan antara rasionalisme dan empirisme. Di
dalamnya, terdapat kritisisme dan sintesisme. Pada dasarnya, Kant ingin
mengubah permukaan filsafat secara radikal dengan melakukan sentralisasi pada
diri manusia sebagai subjek berpikir. Implikasinya, Kant tidak mengawali dengan
investigasi atas benda-benda sebagai objek, melainkan investigasi terhadap
struktur-struktur subjek yang memungkinkan mengetahui benda-benda sebagai
objek. Dalam hal ini, tanpa kita sadari, sebenarnya, pengetahuan lahir karena
manusia dengan akalnya secara aktif dan mengonstruksi gejala-gejala yang dapat
ditangkap. Upaya-upaya filosofis Kant ini dikenal dengan kritisisme atau filsafat
kritis. Filsafat Kant bermaksud membeda-bedakan antara pengenalan yang murni
dan yang tidak murni, yang tiada kepastiannya. Filsafatnya dimaksud sebagai
penyadaran atas kemampuan-kemampuan rasio secara obyektif dan menentukan
batas-batas kemampuannya, untuk memberi tempat kepada iman kepercayaan.
Karya Kant yang terpenting adalah Kritik der Reinen Vernunft, 1781.
Dalam bukunya ini ia “membatasi pengetahuan manusia”. Atau dengan kata lain
“apa yang bisa diketahui manusia.” Ia menyatakan ini dengan memberikan tiga
pertanyaan, di antaranya:
1. Apakah yang bisa diketahui manusia untuk dapat dikerjakan?
Setelah melalui pemikiran alot dan studi komparatif, Kant menjawab
dengan metafisikanya, yakni apa-apa yang bisa diketahui manusia adalah
apa yang dipersepsikan dengan panca indra. Selain daripada itu, Kant
menganggapnya hanyalah ilusi. Karena pengetahuan yang dihasilkan dari
pikiran tanpa adanya bukti lewat penjelmaan indrawi hanyalah ide belaka..
1. Apakah yang harus dilakukan manusia untuk dapat dikerjakan?
Jawaban ini menghasilkan filsafat etika Kant, Kant sendiri menjawab,
yang harus dilakukan manusia adalah apa-apa yang harus bisa diangkat
menjadi peraturan yang universal. Kant kemudian menyebutnya hukum
moral. Hal ini disebut dengan istilah “imperatif kategoris”. Contoh: orang
sebaiknya jangan mencuri, sebab apabila hal ini diangkat menjadi
peraturan umum, maka apabila semua orang mencuri, masyarakat tidak
akan jalan. Dalam etika berbisnis ekonomi, orang tidak boleh menipu.
Begitu juga dengan kisah Nabi Khaidir tidak seharusnya membunuh anak
kecil, meskipun sudah dicegah oleh Nabi Musa As.
1. Apakah yang bisa diharapkan manusia?
Bagi Kant, yang bisa diharapkan manusia ditentukan oleh akal budinya.
Akal budi membentuk suatu konsepsi yang kemudian dibuktikan oleh
indra. Dari akal budi inilah yang memutuskan pengharapan manusia.
Rupanya kedua pemikiran mendasar ini yang menghantarkannya kepada
dua perkawinan mazhab besar rasionalisme dan empirisme. Inilah yang
memutuskan pengharapan manusia. Menurut Kant, melalui bimbingan
agama, pengharapan ini dapat diperoleh manusia.
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Muhammad. Rasionalisme Leibniz. Diakses pada:


http://abywatilove.blogspot.com/2013/02/rasionalisme-leibniz.html. Pada
tanggal 25 Desember 2014
Anonim. 2014. Aliran Pendidikan. Diakses pada
http://umbusipri.blogspot.com/2014/06/aliran-pendidikan_17.html. Pada
tanggal 25 Desember 2014
Karyadi, Hidayat. 2013. Epistomologi Pengetahuan Metode Imiah. Diakses pada:
http://hidayatkaryadi.blogspot.com/2013/10/epistemologi-pengetahuan-
metode-ilmiah.html. Pada tanggal 26 Desember 2014
Susesno, Franz Magnis. 1997. 13 Tokoh Etika. Yogyakarta : Kanisius Sember
Wattimena, Reza A.A. 2009. Metode Skeptisisme di Dalam Filsafat Modern.
Diakses pada: http://rumahfilsafat.com/2009/07/23/metode-skeptisisme-
di-dalam-filsafat-modern/ Juli 23, 2009 . Pada tanggal 26 Desember 2014

Anda mungkin juga menyukai