Anda di halaman 1dari 16

Volume 6, Nomor 1, April 2017

PERANAN HUKUM ADAT MASYARAKAT DAYAK DALAM MENYELESAIKAN


KONFLIK UNTUK MEWUJUDKAN KEADILAN DAN KEDAMAIAN
(The Role of the Dayak Customary Law in Resolving Conflict to Realize Justice and Peace)

Yuliyanto
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum
Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM
Jalan H.R. Rasuna Said Kavling 4-5 Kuningan, Jakarta Selatan
Email: yuliyanto_oke@yahoo.com

Naskah diterima: 20 Maret 2017; revisi: 13 April 2017; disetujui: 17 April 2017

Abstrak
Dua fenomena politik dan sosial utama yang muncul pada masa setelah Orde Baru adalah konflik, dan kembalinya identitas
adat (revitalisasi adat) di daerah-daerah. Tidak hanya sekedar menjadi jargon belaka, namun di beberapa tempat, upaya
revitalisasi kelembagaan adat termasuk peran sosialnya didukung oleh berbagai pihak. Dalam konteks setelah Orde Baru,
dengan fasilitasi otonomi daerah dan berlakunya desentralisasi, maka keinginan untuk memberlakukan kembali kearifan
tradisional atau kerap disebut dengan ‘’mekanisme adat’’ untuk mewujudkan keadilan dan kedamaian mulai berkembang.
Berawal dari pemahaman tersebut maka diperlukan sebuah penelitian yang mampu membahas suatu permasalahan:
makna dan cakupan pranata adat di Kalimantan Tengah; bagaimana posisi, peran dan pengaruh pranata adat terutama
dalam pencegahan dan penghentian konflik di masyarakat; bagaimana relevansi pranata adat dikaitkan dengan Undang-
Undang Nomor 7 tahun 2012. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis sosiologis, artinya suatu
penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata masyarakat atau lingkungan masyarakat dengan maksud dan tujuan
untuk menemukan fakta yang kemudian menuju pada identifikasi dan pada akhirnya menuju kepada penyelesaian masalah.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dan penelitian lapangan dengan melakukan wawancara.
Hasil dari penelitian ini memberikan rekomendasi kepada Pemerintah daerah harus melibatkan pranata adat dan tokoh
adat setempat dalam penanganan konflik sosial yang terjadi di daerahnya; untuk Pemerintah Pusat dalam hal ini Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-Undangan perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial yang di dalamnya memuat secara komprehensif pelibatan pranata adat
dan tokoh adat dalam penanganan konflik sosial.
Kata Kunci: hukum adat, masyarakat Dayak, konflik sosial

Abstract
Two major political and social phenomena that emerged in the aftermath of the New Order is conflict, and the return of
indigenous identity (cultural revitalization) in the regions. Not just be a mere jargon, in some places, efforts to revitalize
traditional institutions including social roles supported by various parties. In the context after the New Order, by the
facilitation of regional autonomy and decentralization, the desire to reinstate the traditional wisdom often called the ‘’
traditional mechanism ‘’ to bring about justice and peace began to flourish.From that understanding, there is need to
discuss and research on the meaning and scope of traditions in Central Kalimantan; how the position, role and influence
of traditions, especially in the prevention and cessation of conflict in society; how the relevance of traditions associated
with Law Nomor 7 of 2012. The method used is the juridical sociological research, meaning a study of the real state of
society or community environment with the intent and purpose of finding facts which then leads to the identification and
ultimately lead to the settlement of the problem. The data collection technique used is the study of documents and field
research by conducting interviews. The results of this study provide recommendations to the local government institutions
to involve indigenous and local traditional leaders in conflict resolution happens in their areas; The Central Government, in
this context, the Directorate-General of Regulation needs to issue Government Regulation Act Nomor 7 of 2012 on Social
Conflict Management in which includes a comprehensive engagement of traditions and traditional leaders in handling
social conflicts.
Keywords: customary law, the Dayak community, social conflict

Peranan Hukum Adat Masyarakat Dayak dalam Menyelesaikan Konflik ... (Yuliyanto) 37
Volume 6, Nomor 1, April 2017

A. Pendahuluan Soeharto atau setelah Orde Baru ini dikenal


dengan sebutan masa reformasi.3 Di masa
Indonesia merupakan negara dengan
Orde Baru, dengan dukungan mutlak aparatur
karakter sosial dan ekonomi yang heterogen.
ideologis kekuatan penataran Pembinaan
Kehadiran Indonesia sebagai sebuah negara-
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dan
bangsa merupakan sebuah fenomena unik,
operasi teritorial, pemerintah relatif mampu
terutama jika dilihat dari sisi kemajemukan yang
meredam upaya disintegrasi sosial atau konflik
dimilikinya. Tidak saja karena demikian beragam
komunal atas dasar keetnisan. Seiring dengan
etnis, bahasa dan keyakinan, namun pula
upaya pembangunan ekonomi dan modernisasi
dalam hal adaptasi ekonomi, bentuk-bentuk
politik yang kemudian ditafsirkan menjadi
komunitas, sistem politik tradisional, maupun
deideologisasi dan penyeragaman segenap
sistem kekerabatan menjadikan keindonesiaan
aspek kehidupan, persoalan yang bersifat
sebagai gejala politik identitas yang menarik.1
partikular termasuk kekhasan etnis dan pranata
Dalam situasi tersebut dua tantangan segera
adat seolah mengalami sebuah era kegelapan.
hadir manakala bangsa Indonesia itu berdiri,
Pemerintah cenderung dengan tegas
yakni bagaimana menciptakan negara yang
menanggapi segenap pandangan dan
mampu merekat kemajemukan di satu sisi dan
kegiatan yang dianggap berpotensi melawan
di sisi lain, mampu mengakomodir kemajukan
penyeragaman ‘’makna kebangsaan’’ versi
tersebut hingga tahap yang harmonis namun
pemerintah. Dalam situasi sedemikian, upaya
dinamis. Nasionalisme keindonesiaan yang
pengedepanan sentimen etnisitas pun relatif
tegak dan berkiprah di atas prinsip-prinsip
meredup. Apalagi jika dilihat secara umum, Orde
solidaritas, inklusivisme, keadaban, kesaling-
Baru mampu melakukan sebuah rekonstruksi
percayaan dan keberagaman.2
sosial dan politik serta perbaikan kehidupan
Seiring dengan pengunduran diri Presiden
yang dalam batas-batas tertentu mampu
Soeharto pada bulan Mei 1998, situasi politik,
meredam kekecewaan dan potensi ledakan
ekonomi, sosial dan budaya di Indonesia
kekuatan etnis.
menjadi lebih terbuka dan dinamis. Perubahan
Namun, hal itu tidak menyebabkan
cepat terjadi dalam banyak hal terutama
persoalan etnisitas ini hilang. Pada masa
perubahan sistem nilai, partisipasi warga
Orde Baru pemicu utama etnisitas bukan lagi
dan keterbukaan informasi. Zaman sesudah
sentimen ideologis atau persoalan politik,

1
Lihat lebih jauh karya-karya Clifford Geertz. Available Light: Anthropological Reflections on Philosophical Topics
(New Jersey: Princeton University Press, 2000); Anderson, Benedict. Imagined Communites: Reflecitions on the
Origin and Spread of nationalism (London: Verso, 1983), Hildreed Geertz, ”Indonesian Cultures and Communities”
dalam Ruth McVey (ed), ”Indonesia”, Cornell, 1967, hlm.24, dalam Max Lane, Bangsa Yang belum Selesai: Indonesia
Sebelum dan Sesudah Soeharto, (Jakarta: Reform Institute, 2007), hlm.1.
2
Lihat Mochtar Pabottinggi, Lima Palang Demokrasi, satu Solusi. Orasi Ilmiah Pengukuhan sebagai Ahli Peneliti
Utama, Jakarta: PPW-LIPI, Jakarta 22 Juni 2000.
3
Produk politik di masa ini ditandai dengan berlangsungnya desentralisasi setelah terbitnya UU Otonomi Daerah
nomor 22 Tahun 1999 di masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, yang diperbarui dengan UU No. 32 Tahun
2004. Desentralisasi ini, yang menekankan pada devolusi wewenang administrasi dan finansial di satu sisi
membawa perubahan praktik politik dan khususnya harapan agar kesejahteraan semakin ”mendekat” kepada
rakyat.

38 Jurnal RechtsVinding, Vol. 6 No. 1, April 2017, hlm. 55–70


Volume 6, Nomor 1, April 2017

seperti pengisian jabatan publik yang tidak Dalam konteks setelah Orde Baru, dengan
proporsional,4 melainkan masalah ketimpangan fasilitasi otonomi daerah dan berlakunya
ekonomi dan eksploitasi Sumber Daya Alam desentralisasi, maka keinginan untuk
(SDA). Kedua hal tersebut kerap menjadi memberlakukan kembali kearifan tradisional
pemicu bagi munculnya kesadaran suatu atau kerap disebut dengan ‘’mekanisme adat’’
kelompok etnis sebagai korban (victims) dari mulai berkembang. Selain melatarbelakangi
pihak mayoritas atau ‘’pusat’’. Hal ini sayangnya munculnya gelombang tuntutan revitalisasi
kemudian diikuti oleh upaya penyeragamaan identitas lokal termasuk aspek adat, situasi
dan hegemonisasi budaya semua suku bangsa politik pasca Orde Baru yang transisional itu
yang menyebabkan kemudian tersingkirnya jati hingga tinggi di beberapa wilayah. Konflik-
diri etnis yang khas. Situasi ini juga diperumit konflik dengan berbagai dimensi muncul dalam
dengan dikembangkannya cara-cara otoriter kondisi lingkungan kelembagaan politik pusat
dan represif serta pola pemerintahan terpusat, maupun daerah yang lemah, di mana-mana
sehingga tidak saja secara khusus menimbulkan terjadi peralihan kepemilikan kekuasaan dan
pengkristalan rasa keetnisan – bahkan sumber daya, serta di saat yang sama muncul
dalam batas-batas tertentu memunculkan tantangan terhadap kepentingan-kepentingan
‘’dendam kolektif’’ – namun pula secara umum strategis yang awalnya eksklusif, baik di ranah
menyebabkan proses pembangunan sebuah kekuasaan pusat maupun di daerah.
kesatuan bangsa dalam lingkup nasional Kita telusuri sejenak peristiwa kerusuhan
mengalami situasi distorsi berkepanjangan. dan konflik-konflik komunal pasca Orde Baru.
Dua fenomena politik dan sosial utama Diawali oleh konflik bernuansa agama di Poso,
yang muncul pada masa setelah Orde Baru Sulawesi Tengah (meletus dua kali tahun 1998-
adalah konflik, dan kembalinya identitas adat 2001), kerusuhan di Solo dan Jakarta bulan Mei
(revitalisasi adat) di daerah-daerah, keduanya 1999, konflik berdarah berbasiskan isu religius
terletak dalam konteks desentralisasi atau kemudian muncul di Maluku dan Maluku Utara
otonomi daerah. Tidak hanya sekedar menjadi yang berlangsung tiga tahun (1999-2002), lalu
jargon belaka, namun di beberapa tempat, konflik komunal berwarna identitas etnis di
upaya revitalisasi kelembagaan adat termasuk Sambas, Kalimantan Barat (1997, 1999-2001)
peran sosialnya didukung oleh berbagai pihak, dan di Sampit, Kalimantan Tengah (2001). Selain
antara lain organisasi Aliansi Masyarakat konflik-konflik komunal tersebut, Indonesia
Adat Nusantara (AMAN). Di sisi lain ada pula pasca Orde Baru juga dihadapkan pada potensi
kelompok-kelompok adat yang tidak tergabung konflik yang besar dari politik represif masa lalu;
dalam AMAN namun mengatasnamakan adat keinginan merdeka dari Aceh yang diselesaikan
bertindak atas nama kelompok masyarakat, melalui perundingan damai Helsinki Tahun
mengklaim kejayaan masa lalu melalui warisan 2005; konflik di Timor-Timur-yang kemudian
atau praktik kultural mereka. diikuti oleh referendum pada tahun 1999; dan
yang masih berlangsung konflik di Papua.

4
Menurut Burhan D. Magenda hal-hal itu sejatinya relatif telah tertutupi oleh Orde Baru, lihat Burhan D. Magenda,
”Perubahan dan Kesinambungan dalam Pembelahan Masyarakat Indonesia”, dalam Prisma, 4, (1990).

Peranan Hukum Adat Masyarakat Dayak dalam Menyelesaikan Konflik ... (Yuliyanto) 39
Volume 6, Nomor 1, April 2017

Dampak dari konflik-konflik komunal yang konflik yang berkembang di antara anggota
berlangsung dalam waktu beberapa tahun itu kelompok, sepertinya konflik yang berhubungan
sangat merugikan masyarakat. Korban jiwa, antara suku, agama, ras, dan antar golongan.
harta benda, kemiskinan di daerah pengungsian, Sedangkan konflik vertikal adalah konflik yang
kesehatan, bersatu-padu. Konflik-konflik terjadi antara masyarakat dan juga negara
komunal itu telah mengambil korban jiwa atau pemerintahan. Umumnya konflik tersebut
sebesar 1,3 juta orang termasuk perempuan muncul karena masyarakat tidak puas dengan
dan anak-anak. 6 Riset yang dilakukan oleh kinerja pemerintahan.
Bank Dunia (2009) memperlihatkan, dalam Di sisi lain, masyarakat Indonesia yang
konteks Indonesia pasca Soeharto, di satu heterogen sebagian masih mengakui eksistensi
sisi, ada keterkaitan antara fenomena di tradisi atau adat yang bersumber dari nilai-nilai
permukaan yaitu konflik yang muncul, dengan budaya mereka. Pranata adat ini dapat ditelusuri
peristiwa-peristiwa yang mendahului atau sebagian dari artefak kultural, ada yang pernah
melatarbelakangi, sebagai konteks konflik. difungsikan dalam mekanisme penyelesaian
Sebagian konflik yang terjadi tidak meluas konflik, baik yang berada pada tataran antar
atau berskala besar, namun sebagian konflik- individu maupun antar kelompok. Diletakkan
konflik meluas daerah cakupannya sehingga dalam konteks Indonesia pasca Soeharto di
menimbulkan korban jiwa. mana ketidakpercayaan atau ketidakpuasan
Lalu, bagaimana dengan mekanisme masyarakat pada mekanisme penyelesaian
penyelesaian konflik yang ada sejauh ini? konflik secara formal, kerap muncul di satu
Melihat pengalaman konflik-konflik komunal sisi, dan adanya upaya untuk merevitalisasi
dan pola penyelesaiannya, institusi pemerintah tradisionalitas termasuk mencakup aspek fungsi
dapat dikatakan telah mempunyai pola lembaga adat (sebagaimana dalam kasus-
untuk menangani konflik melalui pendekatan kasus di Kalimantan Tengah. Dengan begitu,
keamanan dan/atau dialog. Meskipun tampaklah urgensi pelibatan pranata adat
demikian, jika berpijak dari potensi konflik dalam penghentian dan pencegahan konflik
yang masih muncul pasca konflik, di kalangan Indonesia khususnya di Kalimantan Tengah,
masyarakat dapat saja masih ada ketidakpuasan kian relevan. Di titik ini, ia merupakan upaya
pada mekanisme penanganan konflik oleh kreatif untuk menghindari atau mencegah
pemerintah. Negara, melalui pemerintah, terjadinya tumpang tindih penyelesaian konflik
terkadang menjadi aktor dalam konflik. Oleh melalui mekanisme adat yang tergolong sebagai
sebab itu, dapat dikatakan wajar jika sebagian ADR (Alternative Dispute Resolution) dengan
masyarakat menganggap keadilan masih jauh mekanisme formal (misalnya pengadilan) harus
dari genggaman mereka. dipetakan secara jelas tipologi konflik dan aktor-
Munculnya sebuah konflik dikarenakan aktor konfliknya.
adanya perbedaan dan keberagaman di Menilik pranata adat di Kalimantan Tengah,
Indonesia yang semakin lama menunjukkan keberadaan Lembaga Adat Dayak telah diakui
adanya konflik dari setiap tindakan-tindakan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah
yang terjadi dan konflik tersebut terbagi secara Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan
horizontal dan vertikal. Konflik horizontal adalah Adat Dayak di Kalimantan Tengah. Pasal 1

40 Jurnal RechtsVinding, Vol. 6 No. 1, April 2017, hlm. 55–70


Volume 6, Nomor 1, April 2017

angka 15 menyebutkan bahwa Adat Istiadat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan
Dayak adalah seperangkat nilai dan norma, fakta (fact-finding), yang kemudian menuju
kaidah dan keyakinan sosial yang tumbuh dan pada identifikasi (problem-identification) dan
berkembang bersamaan dengan pertumbuhan pada akhirnya menuju kepada penyelesaian
dan perkembangan masyarakat adat Dayak serta masalah (problem-solution).5
nilai atau norma lain yang masih dihayati dan Metode yang digunakan adalah etnografi,
dipelihara masyarakat terwujud dalam berbagai yang menekankan pada studi aspek budaya.
pola nilai perilaku kehidupan sosial masyarakat Semula, gagasan budaya terikat dengan
setempat. Selanjutnya pada Pasal 1 angka 18 persoalan teknis dan lokasi geografis, tetapi
menyebutkan Kelembagaan Adat Dayak adalah sekarang hal itu telah diperluas dengan
organisasi kemasyarakatan, baik yang sengaja memasukkan setiap kelompok dalam suatu
dibentuk maupun yang secara wajar telah organisasi, seperti budaya kelompok tertentu.
tumbuh dan berkembang bersamaan dengan Teknik pengumpulan data yang digunakan
sejarah Masyarakat Adat Dayak dengan wilayah adalah studi dokumen dan field research, yaitu
hukum adatnya, serta berhak dan berwenang dengan melakukan wawancara pada informan
untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan dari institusi pemerintah, termasuk aparatur
berbagai permasalahan kehidupan dengan penegak hukum dan tokoh-tokoh pranata adat
mengacu kepada adat-istiadat, kebiasaan- dayak. Analisis dilakukan secara kualitatif dan
kebiasaan dan hukum adat Dayak. kesimpulan ditarik dengan merujuk pada tujuan
Dari uraian latar belakang di atas, diperoleh penelitian.
suatu permasalahan: pertama, makna dan
cakupan pranata adat di Kalimantan Tengah C. Pembahasan
yang juga mencakup aspek sejarah, posisi, Berdasarkan data-data yang digali dari
peran, fungsi; kedua, bagaimana posisi, informan, maka temuan lapangan yang dapat
peran dan pengaruh pranata adat terutama disimpulkan, yaitu pertama adanya potensi
dalam pencegahan dan penghentian konflik konflik yang ditimbulkan dari kepemilikan
di masyarakat pasca Orde Baru?; ketiga, tanah, dahulu masyarakat bercocok-tanam
bagaimana relevansi pranata adat dikaitkan dengan berpindah, yaitu setelah penanaman
dengan UU Nomor 7 tahun 2012 tentang selesai, lalu pindah ke lokasi hutan yang lain
Penanganan Konflik Sosial dalam kasus konflik untuk penanaman yang baru. Namun pada
antar kelompok masyarakat? masa sekarang tidak bisa dilakukan, karena
masyarakat yang melakukan tanam berpindah,
. Metode Peneli an kemudian kembali ke lahan awal untuk memetik
Pendekatan penelitian yang digunakan hasilnya tetapi tidak bisa, karena lahan tersebut
adalah yuridis sosiologis, artinya suatu sudah dipunyai oleh orang lain. Kedua, belum
penelitian yang dilakukan terhadap keadaan ada mekanisme tanah/lahan yang diambil
nyata masyarakat atau lingkungan masyarakat alih oleh pemerintah. Hal ini tindak lanjut

5
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1982), hlm. 10.

Peranan Hukum Adat Masyarakat Dayak dalam Menyelesaikan Konflik ... (Yuliyanto) 41
Volume 6, Nomor 1, April 2017

dari peraturan Pemkot yang menyatakan yang dilatari identitas budaya/turun-temurun


pada pokoknya, bahwa bila tanah/lahan tidak karena mempunyai pikir ”permanen” tersebut.
dikelola selama dua tahun maka menjadi milik Ketujuh, adanya Peraturan Daerah Kalimantan
pemerintah, tetapi mekanismenya belum diatur. Tengah Nomor 16 Tahun 2008 dan Peraturan
Di samping itu juga, bagaimana pemetaan dan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 13 Tahun
mekanisme yang tepat penyelesaian mengenai 2009 yang dinilai masih kurang tepat dalam
tanah adat, hak adat di atas tanah, dan hal kepemilikan tanah, yaitu Surat Kepemilikan
bagaimana dengan tanah ulayat. Ketiga, adanya Tanah Adat (SKTA) yang disahkan oleh Damang,
kekuatan investasi untuk menguasai tanah, hal sedangkan Surat Kepemilikan Tanah (SKT)
ini terjadi karena dukungan kuat dari pemilik yang disahkan oleh Lurah/Kepala, hal ini bisa
modal, sehingga berujung pada pihak investor menyebabkan tumpang tindih dan bagaimana
yang dimenangkan, sedangkan masyarakat keabsahan surat tersebut; di samping itu, SKTA
sebagai pihak yang lemah hanya menerima bisa dimiliki perorangan atau kelompok.
ganti rugi. Keempat, adanya organisasi/ Mengenai pelibatan peran pranata adat
kelembagaan adat/kemasyarakatan baik yang yang memakai hukum adat dalam penghentian
dibentuk oleh pemerintah, maupun swadaya dan pencegahan konflik masih menjadi solusi
dinilai kurang memperjuangkan aspirasi yang tepat, seperti konflik antar suku pada
masyarakat secara keseluruhan/komprehensif tahun 2001 yang mengakibatkan empat orang
yang bertempat tinggal di Kalimantan Tengah; dayak meninggal, fasilitas umum dan kantor
Kelima, kelembagaan masyarakat adat yang Kepolisian banyak yang dihancurkan, tetapi
dibentuk oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan dengan mengedepankan hukum adat dari pada
Tengah, yaitu Dewan Adat Dayak (DAD) Provinsi, hukum positif, maka berakhir dengan damai.
di bawahnya DAD Kota, DAD Kabupaten, dan Kasus lain seperti kasus Ariel – Pieterpan, salah
DAD Desa, Mantir di level dusun/kelurahan satu Dosen di Universitas Indonesia (UI), yang
dan Damang di tingkat desa/kecamatan yang menyatakan pada esensinya, bahwa ”Ariel tidak
bertugas menangani permasalahan yang sepenuhnya salah karena banyak dilakukan
berhubungan dengan adat termasuk dalam oleh orang-orang Dayak di Kalimantan”,
sengketa tanah adat, anggota dalam struktur maka pernyataan tersebut menimbulkan luka
organisasinya dari identitas masyarakat budaya bagi masyarakat Kalimantan, akhirnya untuk
Dayak saja. Keenam, masyarakat Dayak sebagai menebus kesalahan, diselesaikan hukum adat
subyek yang mempunyai pola pikir sosial, dengan cara membayar denda untuk acara
yaitu bahwa masyarakat yang terampas hak- makan bersama dengan orang Dayak Kalimantan
haknya terutama hak penguasaan tanah yang Tengah, dan terbukti cara ini manjur untuk
mengandung nilai ekonomis adalah masyarakat mengobati luka masyarakat Dayak Kalimantan
Dayak. Namun, hakekatnya tidak masyarakat Tengah dan tanpa ada dendam.
Dayak saja, tetapi masyarakat yang terampas Paparan di bawah ini akan berupaya
haknya juga bisa disebut sebagai masyarakat menjawab tiga pertanyaan penelitian di atas
Dayak, dalam arti yang lain nasibnya sama dengan diawali oleh sekilas konteks sejarah
dengan masyarakat Dayak yang terampas mengenai Kalimantan Tengah dan manusia
haknya. Hal ini bisa menjadi pemicu konflik Dayak Kalimantan Tengah.

42 Jurnal RechtsVinding, Vol. 6 No. 1, April 2017, hlm. 55–70


Volume 6, Nomor 1, April 2017

1. Makna dan Cakupan Pranata Adat di Belanda. Kedatangan VOC diawali dengan
Kalimantan Tengah sebuah ekspedisi di pedalaman (sekarang)
Saat ini yang dimaksudkan dengan adat Kabupaten Barito dan Kabupaten Kuala Kapuas,
(kebiasaan setempat atau lokal) dan pranata sekaligus memperkenalkan mereka dengan
adat (sistem kebiasaan lokal) di Kalimantan ajaran agama Kristen, melalui misi Bassler
Tengah masih dilihat erat kaitannya dengan (Rheiniscische Mission dan Bassler pada 1830s).
pola hidup masyarakat asli atau indigenous Hal ini digambarkan oleh sejarahwan Douglas
people, orang Dayak. Namun demikian perlu Miles (1976) yang menjelaskan bagaimana
juga diingat bahwa konteks masyarakat di orang Dayak berkenalan dengan dunia di luar
Kalimantan Tengah tidaklah hanya didiami oleh kosmologi hutan dan sungai-sungai di mana
orang Dayak saja melainkan telah didiami oleh mereka berdiam, dan bagaimaan pengaruh
bergaia migran dari kota-kota lain di Indonesia. dari luar kemudian perlahan-lahan membentuk
Dengan demikian, adat dan pranata adat sudah pemahaman mengenai identitas Dayak itu
pasti mengalami perubahan dalam proses sendiri.
yang cukup lama, apalagi yang berkait dengan Orang Dayak, dengan mendiami wilayah
masalah hukum positif. di sekitar hulu sungai dan mempunyai pola
Sebelum kita membicarakan masalah adat, bertahan hidup dengan cara ladang berpindah
pranata adat ada baiknya kita mengetahui melakukan moda ekonomi tradisional dari
dahulu lebih banyak mengenai siapakah masa ke masa. Mereka berdiam di satu tempat
orang dayak Kalimantan Tengah itu. Sebelum dalam membentuk suatu komunitas, kemudian
pulau Kalimantan atau Borneo ini dikenal mereka berpindah lagi ke tempat atau hutan
sebagaimana bentuknya yang sekarang. Pulau yang dianggap masih asri sehingga mampu
Kalimantan terbagi dua untuk wilayah Indonesia menopang kebutuhan hidup masyarakat dayak
dan teritori Malaysia. Wilayah Pulau Kalimantan tersebut. Dari sini mulai berkembang atau
yang termasuk dalam teritori Indonesia dibagi bertambah banyak komunitas masyarakat dayak
ke dalam lima provinsi: Kalimantan Barat, yang terbentuk.
Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Menurut Prof. KMA Usop, seorang antropolog
Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Provinsi alumni Jawaharhal Nehru University/ JNU
Kalimantan Tengah didirikan pada tahun 1957 India yang pernah menjadi Rektor Universitas
berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun Palangka Raya, perjumpaan identitas Dayak
1957 dengan Ibukota Palangka Raya. Wilayah ini dengan dentitas di luar dirinya berlangsung
berlokasi secara strategis di antara dua provinsi sejak masa lampau. Prof. Usop membagi
lainnya yaitu Kalimantan Barat dan Kalimantan beberapa kategori ”integrasi” orang Dayak:
Selatan. Secara topografis, Kalimantan Tengah integrasi penduduk atau pola pemukiman,
dikenal sebagai daerah yang kaya akan sumber integrasi politik, integrasi bahasa, integrasi seni
daya alam berupa hutan tropis, tambang, dan budaya dan integrasi oleh agama-agama.
juga lahan gambut. Selama kurun waktu 1800- Dalam konteks integrasi penduduk
an hingga 1940-an, sebelum Indonesia merdeka disebutkan oleh Prof. Usop bahwa faktor migrasi
Kalimantan Tengah ini merupakan bagian di masa lalu terkait dengan masih menyatunya
dari teritori kekuasaan administrasi kolonial wilayah Kalimantan-Indonesia dan Kalimantan

Peranan Hukum Adat Masyarakat Dayak dalam Menyelesaikan Konflik ... (Yuliyanto) 43
Volume 6, Nomor 1, April 2017

yang menjadi bagian teritori Malaysia. Secara bahasa dalam rumpun Austronesia. Di wilayah
kultural, mereka adalah satu. Penduduk Kalimantan Tengah khususnya, termasuk
Melayu Tua yang dikenal dengan sebutan Proto daerah Selatan Kabupaten Kotawaringin Barat
Malay/Melayu mendiami wilayah pedalaman, adalah masuk ke rumpun bahasa Barito atau Ot
sedangkan Melayu Muda atau Deutero Malay Danum yang mencakup bahasa Ngaju (di bagian
mendiami darerah pesisir atau hilir, sekitar hilir Sungai Barito, Bakumpai, Kahayan, katigan,
koloni-koloni orang Cina semisal di daerah Sebangau, Mentaya, Pembuang dan Mendawai);
Banjarmasin sekarang, Pontianak, Kuching dan daerah orang Dayak Siang dan Murung di hulu
Kinabalu (Kalimantan bagian Malaysia). Migrasi Sungai Barito; Lawangan dan Ma’anyan di Barito
menyebabkan pembauran di antara Melayu Tengah. Dalam literatur lainnya mengenai adat
Mdua dan Tua. Orang Dayak adalah bagian dari Dayak, salah satu referensi mengenai adat
apa yang disebut sebagai ras Melayu Tua atau adalah yang merujuk pada adat Dayak Ngaju.
Austronesia, dan dengan perkembangannya Dalam perspektif kontemporer tampaknya pola
kemudian, istilah ”Dayak” dimaknai sebagai mobilitas orang Dayak Ngaju menjadi faktor di
”penduduk pribumi (Kalimantan) yang non balik penggunaan bahasa Dayak Ngaju sebagai
muslim. Bernard Sellato antropolog yang ‘lingua franca’ di antara suku-suku Dayak di
meneliti mengenai migrasi orang-orang Kalimantan Tengah. Hal ini juga ditegaskan oleh
Dayak dan juga sistem kehidupan mereka narasumber dalam riset lapangan antara lain
menyebutkan juga bahwa faktor perkenalan Agus Santoso Ketua AMAN Kota Palangkaraya
dengan agama Islam menyebabkan orang dan Damang di Kahayan Tengah selain Prof.
dayak keturunan Melayu yang menganut Islam Usop.
lalu menolak jika dirinya diidentifikasi sebagai Dalam konteks kekinian identitas Dayak
Orang Dayak. Dalam perspektif Sellato, migrasi masih selalu berkembang dan tidak berhenti
telah sangat mempengaruhi bagaimana orang atau terisolir dalam ruang dan waktu. Salah
Dayak mempersepsikan dirinya sendiri di depan satu aspek yang mengalami perbicnangan
perubahan yang terus menerus. terus menerus dalam diskursus mengenai
Sementara itu, yang dimaksudkan dengan orang Dayak adalah kaitan lebensraum mereka
integrasi politik dalam perspektif Prof. Usop di ruang kepercayaan Kaharingan. Dalam
adalah momen di mana orang Dayak menjadi penelusuran literatur mengenai identitas
bagian dari pembentukan teritori politik baru Dayak, teramsuk kebudayaan mereka, aspek
pasca kolonia, yaitu di bawah federasi Malaysia, reliji memang senantiasa menarik. Beberapa
dan empat provinsi di bawah Indonesia. referensi penting antara lain Dr. Martin Beier,
Adapun integrasi bahasa di Kalimantan, yang yang menulis mengenai ”Dari Agama Politeis
terbagi menjadi suku-suku berbasiskan aliran ke Agama Ketuhanan Yang Maha Esa” yang
sungai telah berkembang sedemikian rupa mengulas mengenai teologi sistematika Agama
dan didokumentasikan oleh para ahli bahasa Hindu Kaharingan. Pada tahun 2007 Beier juga
yang melakukan konferensi internasional pernah mengulas mengenai perkembangan
mengenai bahasa-bahasa. Dengan mengetahui agama baru di Kalimantan Tengah selain aktif
pola pemukiman suku-suku di Kalimantan, pula dalam menulis buku pelajaran Agama Hindu
terdapat beberapa kelompok dalam penutur Kaharingan untuk murid SMP kelas III. Dalam

44 Jurnal RechtsVinding, Vol. 6 No. 1, April 2017, hlm. 55–70


Volume 6, Nomor 1, April 2017

sudut pandang budayawan JJ Kusni Sulang, kerapnya muncul idiom-idiom ”melestarikan


”agar bisa meneguhkan eksistensinya sebagai budaya lokal”, bahkan ”pemurnian” dan
pemeran aktif dalam konstelasi perpolitikan ”mempertahankan” kebudayaan daerah. Secara
nasional dan daerah maka orang Dayak haruslah konseptual, kritik terhadap sudut pandang yang
mempersiapkan berbagai tawaran. Orang bisa cenderung eksistensialis dalam memandang
berperan jika ada sesuatu yang ”ditawarkan”. identitas ke-Dayak-an ini berasal dari argument
Salah satu contoh mengenai bagaimana orang untuk tidak terjebak dalam kotak-kotak
Dayak kreatif memperkenalkan diri pada dunia fanatisme kesukuan, namun, hal inilah yang
luar dapat dilihat dari tulisan Gubernur Pertama, justru tampak ketika pecah konflik Dayak dan
Tjilik Riwut mengenai ”Membangun Alam dan Madura di tahun 2001.
Kebudayaan”. Apakah eksistensialisme identitas Dayak ini
Apa yang ditawarkan oleh Kalimantan mencerminkan perjalanan sejarah orang Dayak?
Tengah? Selain tentunya, kekayaan alam yaitu Jika kita mencermati penjelasan di bagian awal
kayu dan sumber daya hutan serta tambang tulisan ini, jelaslah bahwa orang Dayak telah
yang telah sedemikian banyak dieksploitasi mengalami periode panjang dari pergumulan
semenjak peraturan mengenai investasi identitas dengan budaya-budaya lain. Sebagai
dikeluarkan oleh pemerintah pusat pada misal, kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten
tahun 1968. Filosofi adat ”rumah betang” Katingan saja telah berlangsung pergeseran
yang awalnya mencerminkan aspek komunal komposisi penduduk secara massif. Di Kabupaten
hidup bersama orang Dayak di rumah panjang, Pulang Pisau data WWF menyebutkan dari sisi
meskipun tradisi ini telah punah disebabkan etnis, 95% penduduk beretnis Jawa, dan hanya
oleh masuknya pengaruh modernitas di mana 5% beretnis Dayak. Sementara itu di Kabupaten
rumah-rumah pribadi dan aspek kekerabatan Katingan, etnis Dayak sejumlah 45%, etnis Jawa
di antara orang Dayak sendiri telah mengalami 30% dan etnis Banjar 10%.
pergeseran, masih diasumsikan dapat memberi Sementara itu, di konteks pasca Orde
inspirasi pada hidup berbangsa dan benegara Baru, di atas telah disinggung bahwa terjadi
yang intinya harus menjaga suasana damai, instrumentasi terhadap penguatan budaya
tenteram dan sejahtera. Dayak melalui formalisasi adat Dayak ke dalam
Keinginan untuk mempertahankan adat Majelis Adat Dayak Nasional (MADN)-Dewan
istiadat Dayak sebagai basis dari budaya lokal Adat Dayak (DAD). Upaya ini lalu diformalkan
mendapatkan respons dari kalangan pemda. melalui Perda Nomor 16 Tahun 2008. Pada
Dalam konteks Indonesia pasca Orde Baru, di awalnya, inisiatif ini menjadi rekognisi aspek
mana ruang untuk mengekspersikan identitas adat untuk mendorong pembangunan manusia,
kultural semakin mendapat tempat, penguatan sebab berlangsung dalam ruang di mana orang
ekspresi kultural Dayak di Kalimantan Tengah Dayak tidak melihat dirinya sebagai korban
salah satunya diwujudkan dengan terbentuknya melainkan ”survivor”. MADN-DAD inilah
lembaga adat Dayak Kalimantan Tengah. yang mempunyai otoritas untuk melalukan
Namun ada perbedaan dalam memandang pelembagaan mulai di tingkat Provinsi hingga
penguatan identitas Dayak ini. Perspektif yang Kecamatan, di mana terdapat Damang Adat
berbeda itu tidak lain adalah bersumber dari yang kabtornya terletak di Kecamatan. Damang-

Peranan Hukum Adat Masyarakat Dayak dalam Menyelesaikan Konflik ... (Yuliyanto) 45
Volume 6, Nomor 1, April 2017

damang adat ini disandarkan pada Peraturan Dayak Nasional di Kalimantan Tengah dan Dewa
Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Adat Dayak di Kabupaten/Kota hingga DAD di
Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak Desa/Kelurahan. Tampaknya mengintegrasikan
di Kalimantan Tengah yang diperbarui oleh instrument adat dalam pemerintahan daerah
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah memang telah menjadi bagian dari komitmen
Nomor 1 Tahun 2010 tentang Perubahan Pemda Provinsi Kalimantan Tengah, terutama
atas Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan jika kita memahami konteks pasca konflik di
Tengah Nomor 16/ 2008 tentang Kelembagaan Kalimantan Tengah.
Adat Dayak di Kalimantan Tengah. Peraturan
Daerah tersebut juga dikuatkan oleh Peraturan 2. Posisi, peran dan pengaruh pranata
Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 13 Tahun adat terutama dalam pencegahan dan
2009 mengenai Tanah adat dan Hak-hak Adat di
penghentian konflik di masyarakat
Kalimantan Tengah pasca Orde Baru.
atas tanah di Provinsi Kalimantan Tengah.
Dari aspek kelengkapan peraturan untuk Jika kita mendengar mengenai konflik di
instrumentasi kelembagaan adat, Peraturan Kalimantan Tengah asumsi yang umumnya
Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 muncul akan merujuk pada periode awal dari
Tahun 2008 yang dilengkapi dengan Peraturan proses transisi demokrasi di Indonesia pasca
Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 4 Tahun Soeharto di mana terjadi konflik antara Dayak
2012 tentang Surat Keterangan Tanah Adat (SKT dan Madura di Sampir yang meluas ke beberapa
Adat) yang kuasanya berada di tangan Damang wilayah lain termasuk ibukota Palangkaraya.
adat ini telah cukup lengkap. Peraturan Daerah Dalam wawancara dengan para narasumber
Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun di Palangkaraya, disebutkan bahwa di luar
2008 ini mengatur mulai dari persoalan konflik etnis yang sifatnya cepat dan menelan
kelembagaan adat (pembentukan lembaga banyak korban jiwa itu, Kalimantan Tengah
kedemangan, fungsi, kedudukan tugas menyimpan bara api yang besar sehubungan
damang kepala adat); persoalan mekanisme dengan over kapitalisasi sumber daya alam oleh
pembentukan struktur organisasi (pemililihan perusahaan HPH dan kelapa sawit termasuk
dan pengangkatan Damang kepala adat, hak juga perusahaan tambang. Provinsi yang
memilih dan dipilih); mengenai penyelesaian didominasi oleh sebelas DAS ini mengandalkan
sengketa adat, dan jenis-jenis sanksi yang jalur transportasi sungai untuk mengangkut
dikenakan. Pergub ini juga mengatur mengenai hasil pertanian mereka dengan menggunakan
Barisan Pertahanan Masyarakat Adat Dayak, perahu klotok. Di masa lalu ketika belum jaya
Mantir adat, hak-hak adat dan mengenai industri kehutanan, masyakat Dayak sudah
pembiayaan. Khususnya dalam hal pembiayaan terlebih dahulu memanfaatkan hasi-hasil hutan
ini, Bab XXVI Peraturan Daerah Provinsi nonkayu dengan cara ladang berpindah dan
Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 mencari ikan.
menyebutkan bahwa pemda provinsi wajib untuk Setelah masuknya industrialisasi sektor
memberikan bantuan melalui APBD terhada kehutanan terutama dengan berlakunya UU
pelaksaaan program kerja Majelis Adat Dayak PMA dan PMDN tahun 1968, pola ekonomi
Provinsi, lembaga Kadamangan, Dewan Adat masyarakat Dayak di pedalaman mengalami

46 Jurnal RechtsVinding, Vol. 6 No. 1, April 2017, hlm. 55–70


Volume 6, Nomor 1, April 2017

perubahan. Di satu sisi, UU PMA dan PMDN PDIP. Menariknya, Prof. Usop kerap kali dituding,
tersebut mendorong masuknya investor besar- bersama lembaganya, LMMDDKT sebagai
besaran termasuk di pengusahaan hasil hutan pihak yang berada di belakang konflik Dayak-
kayu dan perkebunan sawit di awal tahun Madura dengan memobilisasi kelompok militan
1970. Faktor lain yang juga turut mendorong dayak dari pedalaman. Mobilisasi ini ditunjang
terdesaknya orang dayak adalah transmigrasi oleh beredarnya pamflet, seruan-seruan dan
ke Kalimantan Tengah. Kedua faktor itu, berita media massa. Namun demikian, pola
keterdesakan orang Dayak karena industri kayu penyelesaian konflik di masa konfik etnis itu
dan hasil hutan lainnya dikuasai oleh pendatang masih terbatas pada penghentian kekerasan
dan transmigrasi, dianggap sebagai salah satu oleh aparat secara langsung (dari beberapa kasus
pemicu kenapa konflik etnis Dayak dan Madura justru menajdi persoalan karena pemihakan
membesar. Ketika konflik etnis itu meledak, aparat pada kelompok yang bertikai). Namun
Kabupaten Kotawaringin timur (Kotim) telah dalam suatu wawancara dengan Prof. Usop di
lama dikenal sebagai daerah penghasil kayu dan tahun 2004, beliau menyebutkan bahwa dia
karet yang utama. Kabupaten Kotim merupakan tidak mempunyai kapasitas untuk memobilisasi
daerah penyumbang pembangunan provinsi massa. Orang-orang Dayak yang datang dari
dari sector hasil hutan berupa kayu, dan pedalaman semata-mata menuntut ”bela”
selama krisis ekonomi menjelang berakhirnya saudara mereka. Apa yang dibenci dari orang
kekuasaan Presiden Soeharto, menyumbang Madura adalah kecenderungan mereka
secara signifikan pada semakin maraknya untuk mengambil semena-mena apa yang
aktor-aktor lokal di luar perusahaan yang ikut sebenanrnya menjadi ‘hak kultural” orang
bekerja di sektor pengusahaan hasil hutan ini. Dayak. Salah satu manifestasi kontemporer
Tak pelak,pada konteks ini lalu muncullah istilah dari perlindungan terhadap hak orang Dayak ini
”illegal logging” yang dialamatkan pada upaya adalah diterbitkannya SKT Adat yang mengatur
penebangan kayu di ”luar” wilayah yang sidah kepemilikan hak atas tanah adat Dayak ini. Jadi,
diberikan konsesi oleh pemerintah. Hal ini memahami kompleksitas permasalahan yang
dianggap merupakan penyebab marjinalisasi melatarbelakangi konflik dan merefleksikannya
orang Dayak di pedalaman, sebab mereka tidak dengan apa yang berlangsung dengan penguatan
terbiasa dengan pola pekerjaan di industry identitas dan pembentukan kelembagaan adat
perkayuan, terkecuali para migran termasuk Dayak dengan tujuan utama untuk menjamin
dari Madura. Dalam rantai upaya logging perlindungan terhadap identitas dan hak-hak
atau aktivitas mulai menebang kayu di hutan, kultural mereka melalui Peraturan Daerah
mengalirkan balok-balok kayu ke sawmills atau Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun
untuk kemudian dipotong dan dijual, orang 2008 serta Peraturan Gubernur Kalimantan
Dayak cenderung hanya berada pada bagian Tengah Nomor 4 Tahun 2012 tentang SKT Adat,
‘pinggiran”. menjadi masuk akal. Di masa pasca konflik
Pada tahun 2000 setelah reformasi untuk etnis, aspek ketimpangan ekonomi karena
pertama kalinya di Kalimantan Tengah diadakan investasi di sektor sumberdaya alam, migrasi,
PemilukadaSung untuk memilih gubernur. Salah penyeragaman struktur pemerintahan daerah
satu kandidatnya adalah Prof. KMA usop melalui yang menyingkirkan aspek lembaga tradisional

Peranan Hukum Adat Masyarakat Dayak dalam Menyelesaikan Konflik ... (Yuliyanto) 47
Volume 6, Nomor 1, April 2017

melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun metode musyawarah adat. Dengan model


1974 disebut sebagai faktor-faktor yang turut penyelesaian konflik yang berjenjang, suatu
mendukung berkembangnya kegetiran orang masalah yang tidak dapat diselesaikan di tingkat
Dayak yang dituangkan dalam bentuk kekerasan Kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat di Desa
antar etnis; di samping penjelasan mengenai atau Kelurahan makan akan dibawa untuk
prasangka kultural. diselesaikan di tingkat Kerapatan mantir/ Let
Pasca konflik etnis tersebut, pemda Perdamaian Adat tingkat Kecamatan.
Kabupaten Kotawaringin Timur mengeluarkan Sanksi yang diberikan pun dijatuhkan setelah
peraturan mengenai kependudukan yang melalui pengambilan keputusan Kerapatan
ditujukan untuk mengatur penduduk non Mantir/Let Perdamaian Adat di tingkat
permanen. Lalu diatur dalam Peraturan Daerah kecamatand an sifatnya mengikat. Ada pula
Provinsi tahun 2003. Persoalan rekonsiliasi di mekanisme Sumpah Adat yang diberlakukan
akar rumput pasca konflik, dengan mengutip jika ada suatu kasus yang sulit untuk dibuktikan.
keterangan professor KMA Usop dan Sekjen Dalam suatu kasus, maka pemberian keputusan
DAD, Siun Jarias, diselesaikan dengan cara adat pada pihak yang bersengketa akan
natural atau alamiah. Beberapa upaya untuk menjadi pertimbangan bagi aparat hukum yang
mencapai perdamaian pasca konflik juga memang terlibat dalam penyelesaian perkara.
tercatat berlangsng di antara tahun 2002- Barangkali perlu ditelusuri sejauh mana aspek
2003. Pada tahun 2002, pemda Provinsi melalui pemberian sanksi adat atau keputusan untuk
Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor menyelesaikan perkara secara adat ini akan
343 Tahun 2002 mengeluarkan ”komite kerja overlap dengan mekanisme pemberian hukum
untuk menangani konflik etnis” yang strukturnya dari ranah hukum positif. Tampaknya ke
tersebar mulai provinsi hingga kecamatan. depan, perlu diikuti bagaimana pelaksanaan
Aktivasi pranata adat di Kalimantan Tengah Pergub Kalimantan Tengah mengenai SKT yang
saat ini dicakup dalam Peraturan Daerah tidak berpotensi konflik dengan aspek legal
Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun kepemilikan tanah lainnya. Hal ini disebabkan
2008 khususnya Bab X (pasal 27-32) tentang bahwa klaim terhadap SKT Adat telah
penyelesaian Sengketa; dan Bab XI tentang Jenis cenderung berpotensi konflik karena suatu
Sanksi. Sengketa yang dimaksudkan dalam hal ini individu atau kelompok atas nama adat Dayak
berkaitan dengan sengketa adat, di mana dapat dapat mengklaim kepemilikan tanah tertentu
diajukan pada Kerapatan Mantir (pembantu Sementara ini, konteks pembangunan daerah
Damang adat) yang terletak di wilayah Desa/ yang sarat dengan investasi untuk perkebunan
Kelurahan maupun Kecamatan. Pengaduan sawit juga telah menuai pertikaian antara orang
terhadap kasus adat ini juga mencakup aspek Dayak versus perusahaan sawit. Di sisi lain, ada
yang terkait dengan perselisihan di wilayah kecenderungan bahwa meningkatnya klaim
rumah tangga (misalnya perselingkuhan) akan tanah adat juga mendesak kepemilikan
yang harus diselesaikan dengan membayar tanah dari migran atau orang non Dayak di
denda adat (”singer”) atau bentul-bentuk perkotaan (Palangkaraya).
sanksi adat lainnya. Selain itu, mekanisme
penyelesaian sengketa ini juga berpijak pada

48 Jurnal RechtsVinding, Vol. 6 No. 1, April 2017, hlm. 55–70


Volume 6, Nomor 1, April 2017

3. Relevansi pranata adat dikaitkan kelompok aktor yang ada di dalam diagram di atas
dengan Undang-Undang Nomor 7 telah terlibat pada aspek konseptual maupun
Tahun 2012 tentang Penanganan praktik penyelesaian konflik di Kalimantan
Konflik osial dalam Kasus Konflik Tengah. Khususnya pada konteks reformasi
Sosial
pasca Order baru, Masyarakat Sipil (termasuk
Secara ideal, dengan adanya Peraturan kelompok adat) telah banyak mengambil peran
Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor melalui agenda workshop, fasilitasi dialog, dan
16 Tahun 2008 dan Peraturan Daerah Provinsi dalam konteks Kalimantan Tengah.
Kalimantan Tengah Nomor 7 Tahun 2012 maka Aktor Pemerintah diantaranya: KPP PA,
ke depan dapat diarahkan suatu kebijakan Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian
yang tidak tumpang tindih bahkan dapat Dalam Negeri, Kementerian Kehutanan dan
terintegrasi. Setidaknya jika kita menggunakan Lingkungan Hidup, Kementerian Pendidikan dan
perspektif ”pencegahan konflik” maka substansi Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian
penyelesaian sengketa adat yang dimaksudkan Kesehatan, Kementerian Keuangan, BAPPENAS,
tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi BNPB, Kemenkopolhukam, Kementerian
Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 dapat Pertahanan, POLRI Kejaksaan, BPS, Kementerian
menjadi instrumen untuk itu. Selain itu, ketika Pertanian, Kementerian Agraria dan Tata
mensinkronkan antara relevansi pranata adat Ruang/BPN, Kementerian Ketenagakerjaan,
yang tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Kementerian Transmigrasi dan Desa Tertinggal,
Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 Kementerian ESDM, Mahkamah Agung, BIN.
dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012, Aktor Pemerintah Provinsi (pada umumnya,
dapat dipetakan bahwa dalam suatu konteks bisa juga diaplikasikan di Kalimantan
masyarakat yang heterogen terdapat triangulasi Tengah), diantaranya: Biro/Badan/Kantor
untuk aktor-aktor yang terlibat dalam resolusi Pemberdayaan Perempuan, Bappeda Provinsi,
konflik sebagai berikut: Kanwil Kementerian Hukum dan HAM,
Bakesbangpolinmas, Dinas Pendidikan dan
Diagram 1. Aktor-aktor Resolusi Konflik (secara Kebudayaan, Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian,
umum maupun di Kalimantan Tengah) Dinas Kehutanan, Dinas Transmigrasi dan
Pertambangan, BPBD, Kanwil Agraria/BPN,
Kanwil Agama, Kanwil Keuangan, Pengadilan
Tinggi, Kepolisian Daerah, Kejaksaan Tinggi.
Sedangkan aktor di Pemerintah Kabupaten/Kota
diantaranya: Biro/Kantor/Badan Pemberdayaan
Perempuan, Bappeda, BPBD, Polres, Kejaksaan
Negeri, Pengadilan Negeri, Unit Pelaksanan
Teknis, Dinas-Dinas yang ada di Kabupaten/
Kota.
Peran pemerintah dalam Pencegahan Konflik
Pada dasarnya, dalam Peraturan Gubernur adalah harmonisasi produk hukum di daerah
Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 ketiga dengan peraturan lebih tinggi yang rights-based

Peranan Hukum Adat Masyarakat Dayak dalam Menyelesaikan Konflik ... (Yuliyanto) 49
Volume 6, Nomor 1, April 2017

approached; melakukan peningkatan kapasitas d) Peningkatan pelayanan kesehatan


aparat pemerintah, aparat keamanan, aparat anak-anak ( Pasal 38 ayat (2) huruf
penegak hukum; memanfaatkan institusi yang 1).
sudah eksis sebelumnya seperti religious-based 3) Melakukan rekonstruksi, diantaranya
organizations atau organisasi etnik, profesi, dan melakukan perbaikan dan penyediaan
sebagainya. fasilitasi pelayanan pemenuhan
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 kebutuhan dasar spesifik perempuan
tentang Penanganan Konflik Sosial tersebut, dan anak anak (Pasal 39 ayat (2) huruf
ada beberapa pokok persoalan yang dapat e).
dijabarkan sebagai berikut: 2. Sensitif gender.
1. Tujuan Undang-Undang: 3. Multi stakeholder dalam pelaksanaannya
a. memberikan perlindungan dan sampai dengan pemerintah daerah.
pemenuhan hak korban, memulihkan 4. Costly - masalah Kelembagaan: Pembentukan
kondisi fisik dan mental masyarakat Satgas Konflik Sosial – politik.
termasuk perempuan dan anak. 5. Definisi yang problematik: konflik sosial,
b. UU tersebut mempertegas tanggung yang selanjutnya disebut konflik, adalah
jawab pemerintah dan pemerintah perseteruan dan/atau benturan fisik
daerah untuk: dengan kekerasan antara dua kelompok
1) Melakukan tindakan darurat masyarakat atau lebih yang berlangsung
penyelamatan dan perlindungan dalam waktu tertentu dan berdampak luas
korban yang meliputi diantaranya: yang mengakibatkan ketidakamanan dan
a) pemenuhan kebutuhan dasar disintegrasi sosial sehingga mengganggu
pengungsi, termasuk kebutuhan stabilitas nasional dan menghambat
spesifik perempuan dan anak- pembangunan nasional.
anak ( Pasal 32 ayat (2) huruf c).
b) memberikan pelindungan Berbagai upaya untuk menjaga stabilitas
terhadap kelompok rentan (Pasal keamanan yang telah dilakukan oleh pranata
32 ayat (2) huruf d). adat di Kalimantan Tengah, adalah untuk
2) Melakukan rehabilitasi diantaranya mewujudkan keadilan dan kedamaian.
dengan: Karena dengan kedamaian bangsa kita dapat
a) Pemulihan psikologis korban melanjutkan pembangunan yang dapat
konflik dan pelindungan kelompok dirasakan oleh masyarakat secara adil, selain
rentan (Pasal 38 ayat (2) huruf a). itu dengan kedamaian bangsa Indonesia dapat
b) Pemenuhan kebutuhan dasar mengisi kemerdekaan sebagaimana yang telah
spesifik perempuan dan anak dicita-citakan oleh para pahlawan. Eksistensi
(Pasal 38 ayat (2) huruf g). Pranata Adat Dayak merupakan pencerminan
c) Pemenuhan kebutuhan dan upaya masyarakat dayak dalam menggali,
pelayanan kesehatan reproduksi melestarikan dan mengembangkan budaya adat
bagi kelompok perempuan (Pasal melalui penerapan adat istiadat dan hukum
38 ayat (2) huruf h). adat pada kehidupan masyarakat. Pemerintah

50 Jurnal RechtsVinding, Vol. 6 No. 1, April 2017, hlm. 55–70


Volume 6, Nomor 1, April 2017

juga memandang penting pengembangan adat bahkan dapat terintegrasi. Setidaknya jika kita
istiadat ini, karena dengan masih terpeliharanya menggunakan perspektif ”pencegahan konflik”
adat istiadat, berarti masyarakat masih maka substansi penyelesaian sengketa adat
menjunjung tinggi hukum adat yang ada di yang dimaksudkan tertuang dalam Peraturan
Indonesia. Karena hukum adat inilah satu- Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16
satunya hukum atau norma yang dimiliki oleh Tahun 2008 dapat menjadi instrumen untuk
masyarakat Indonesia sejak dari dahulu kala. pencegahan dan penghentian konflik antar
Presiden Soeharto pernah mengemukanan kelompok masyarakat.
bahwa ”Bangsa yang lupa budayanya akan Atas dasar hal tersebut disarankan
kehilangan kepribadiannya, bangsa yang kepada Pemerintah daerah harus melibatkan
kehilangan kepribadiannya menjadi bangsa pranata adat dan tokoh adat setempat dalam
yang lemah, bangsa yang lemah akan runtuh penanganan konflik soaial yang terjadi di
dari luar dan hancur dari dalam.” daerahnya. Dan bagi Pemerintah Pusat dalam
Atas dasar itu bangsa Indonesia harus hal ini Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-
berusaha terus menerus memelihara semua Undangan perlu menerbitkan Peraturan
warisan budaya dan adat istiadat. Sekali saja Pemerintah Pelaksanaan Undang-Undang
suatu generasi melupakan budayanya sendiri, Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan
maka warisan budaya itu akan lenyap. Adat Konflik Sosial yang di dalamnya memuat secara
istiadat dan Hukum Adat Dayak di Kalimantan komprehensif pelibatan pranata adat dan tokoh
Tengah sejak dahulu telah tumbuh dan adat dalam penanganan konflik sosial.
berkembang serta dipatuhi oleh masyarakat
adat. Meskipun demikian, pemberlakuan Da ar Pustaka
Hukum Adat di Kalimantan Tengah tetap dengan Buku
tidak mengesampingkan Hukum Nasional. Anderson, Benedict, Imagined Communites:
Reflecitions on the Origin and Spread of
D. Penutup nationalism, (London: Verso, 1983)
Cahyono, Heru ed., Konflik Elite Politik di Pedesaan:
Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan Relasi Antara BPD dengan Pemerintah Desa,
beberapa hal sebagai berikut: pranata adat (Jakarta: P2P LIPI, 2004)
sangat berpengaruh dan pengaruhnya tidak Geertz, Clifford, Available Light: Anthropological
Reflections on Philosophical Topics (New Jersey:
hanya pada peran saja tetapi juga ada legalitas Princeton University Press, 2000)
mengenai kewenangan kelembagaan adat McVey, Ruth, (ed), ”Indonesia”, (Cornell, 1967)
yang dibentuk oleh pemerintah daerah dalam Lane, Max, Bangsa Yang belum Selesai: Indonesia
Sebelum dan Sesudah Soeharto, (Jakarta: Reform
penyelesaian konflik terutama pada level yang Institute, 2007)
menyangkut masyarakat. Sulang, JJ kusni, Negara Etnik, Beberapa gagasan
Adanya Peraturan Daerah Provinsi Pemberdayaan Suku Dayak, (Yogyakarta:
Fuspad, 2001)
Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008
Fisher, Simon, dkk., Mengelola Konflik Keterampilan
dan Undang-Undang Penaganan Konflik Sosial dan Strategi Untuk Bertindak, (Jakarta: British
Nomor 7 Tahun 2012 yang dipandang masih Counsil, Indonesia, 2001)
tumpang tindih, maka ke depan dapat diarahkan Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum,
(Jakarta: UI Press, 1982)
suatu kebijakan yang tidak tumpang tindih

Peranan Hukum Adat Masyarakat Dayak dalam Menyelesaikan Konflik ... (Yuliyanto) 51
Volume 6, Nomor 1, April 2017

Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik, Teori, Peraturan


Aplikasi dan Penelitian, (Jakarta: Humanika,
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
2010)
Pemerintahan Daerah;
Makalah/Artikel/Laporan/Hasil Penelitian
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang
Magenda, Burhan D., ”Perubahan dan
Penanganan Konflik Sosial;
Kesinambungan dalam Pembelahan Masyarakat
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah
Indonesia”, Prisma, 4, (1990)
Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan
Pabottinggi, Mochtar, ”Lima Palang Demokrasi, Satu
Adat Dayak di Kalimantan Tengah
Solusi” (Orasi Ilmiah Pengukuhan sebagai Ahli
Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 4
Peneliti Utama, Jakarta, PPW-LIPI, 22 Juni 2000)
Tahun 2012 tentang Surat Keterangan Tanah
Adat

52 Jurnal RechtsVinding, Vol. 6 No. 1, April 2017, hlm. 55–70

Anda mungkin juga menyukai