Anda di halaman 1dari 4

.

Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, atau disingkat GMNI, lahir sebagai hasil proses peleburan 3
(tiga) organisasi mahasiswa yang berazaskan Marhaenisme Ajaran Bung Karno. Ketiga organisasi itu ialah:

GERAKAN MAHASISWA MARHAENIS, berpusat di Jogjakarta

GERAKAN MAHASISWA MERDEKA, berpusat di Surabaya

GERAKAN MAHASISWA DEMOKRAT INDONESIA, berpusat di Jakarta.

GMNI lahir dengan identitasnya yang hakiki sebagai “ORGANISASI PERJUANGAN” yang berlandaskan
“Ajaran Sukarno”. Untuk itu ada beberapa prinsip perjuangan yang harus tetap melekat dalam diri GMNI
dan menjadi watak dasar perjuangan GMNI yakni:

GMNI berjuang untuk Rakyat.

GMNI berjuang bersama-sama Rakyat.

Makna “GERAKAN” dalam GMNI

GMNI adalah suatu organisasi Gerakan, atau dalam bahasa inggris disebut ‘Movement’. Karena Gerakan
GMNI dilakukan oleh sekelompok manusia yang berstatus ‘Mahasiswa’, maka GMNI disebut pula sebagai
“Student Movement”.

Adapun yang dimaksud dengan “Gerakan” adalah: Suatu usaha atau tindakan yang dilakukan dengan
sadar dan sengaja oleh sekelompok manusia, dengan menggunakan sumua potensi yang ia miliki (mis:
sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dll), atau yang ada di dalam masyarakat dengan tujuan untuk
melakukan pembaruan-pembaruan terhadap sistem masyarakat, agar terwujud suatu tatanan
masyarakat yang dicita-citakan bersama.

Sebagai Organisasi gerakan Perjuangan, yang menjadi Tujuan Perjuangan GMNI adalah: Mendidik kader
bangsa mewujudkan masyarakat Pancasila sesuai dengan amanat UUD 1945 yang sejati. Sebab dalam
keyakinan GMNI, hanya dalam masyarakat Pancasila yang sejati, Kaum Marhaen dapat diselamatkan dari
bencana kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan terhindar dari berbagai bentuk penindasan.

Di Indonesia masalah pemerataan pendidikan masih menjadi salah satu masalah yang serius yang ada di
Indonesia sekolah – sekolah yang ada masih sedikit dan juga jarak antara sebagian besar rumah siswa
dan sekolah memiliki jarak tempuh yang cukup jauh bukan hanya itu tenaga didik pun juga mengalami
masalah yaitu kekurangan tenaga guru. penyebab nya lagi karena banyak anak – anak yang harus
memebantu orang tua yang menjadi penyebab putus sekolah dan juga masalah materi fasilitas- fasilitas
yang tidak memadai juga mnjadi salah satu penyebab rendahnya pendidikan di pelosok- pelosok
Indonesia

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki kondisi geografis beragam dan terdiri atas ribuan pulau,
berbagai suku, etnis, budaya, serta karakter berbeda. Keberagaman ini mengharuskan pendidikan bangsa
Indonesia mampu menampung seluruh karakter keanekaragaman bangsa. Karena itulah pendidikan
merupakan hak setiap warga Negara Indonesia dan merupakan cita-cita bangsa Indonesia untuk
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang tercantum dalam UUD 1945.

Tetapi faktanya, bangsa Indonesia ternyata belum mampu memaksimalkan potensi yang ada, khususnya
pendidikan. Di daerah perkotaan cenderung lebih maju daripada di daerah pedesaan, terlebih lagi di
daerah perbatasan seperti kabupaten Mahulu. Pendidikan di wilayah perbatasan masih rendah karena
program pemerataan pendidikan belum membuat Kabupaten Mahulu mendapatkan pendidikan yang
layak.Hal tesebut membuktikan masih kurangnya kualitas pendidikan di pedesaan. Tingkat pelayanan
pendidikan ini perlu mendapat perhatian yang serius, terutama untuk daerah perbatasan, terpelosok,
dan terpencil.

Apa yang ingin Kamu baca? Gratis ongkir selalu...

HOME / KOLOM / MEMBACA ATAU MATI!

Membaca Atau Mati!

Oleh: Riduan S. Diposkan: 13 Jul 2019 Dibaca: 1182 kali

Dulu, pekik yang paling berjiwa dan membakar semangat adalah frasa ini: “merdeka atau mati”.
Pengertian dari frasa itu adalah lebih baik mati daripada terjajah. Lebih baik berjuang daripada
menikmati penjajahan, entah karena perjuangan itu kita harus mengakhiri hidup. Sebab, hidup adalah
perjuangan, bukan kepasrahan. Pengertian yang lebih filosofis adalah bahwa sebaik-baik hidup adalah
lepas dari penjajahan. Sebaliknya, seburuk-buruk hidup adalah mereka yang menikmati penjajahan.
Dengan pengertian itulah dapat disimpulkan bahwa hidup itu adalah kebebasan.
Kita tak pernah hidup tatkala kita tidak terbebas. Pengertian inilah yang kemudian kita dekatkan dengan
sabda pendidikan, yaitu sebuah proses berkesinambungan dengan penuh kesadaran, perencanaan, dan
bersistem untuk memanusiakan manusia. Dengan kata lain, pada hakikatnya, manusia itu belum
seutuhnya manusia kalau belum mengecap pendidikan. Manusia hanya akan seutuhnya menjadi
manusia setelah menikmati pembelajaran. Manusia harus aktif-produktif (hidup), bukan pasif-konsumtif
(mati).

Saat ini, kita sedang semangat-semangatnya menggelorakan gerakan “Ayo Membaca” setidak-tidaknya
selama 15 menit (di ruang kelas). Gerakan ini bertujuan untuk menumbuhkan budaya literasi kita yang
kian hari kian buram. Keburaman itu, misalnya, dapat kita toleh pada nukilan The World’s Most Literate
Nations (WMLN) 2016. Betapa tidak, angka melek literasi kita berada pada posisi ke-60 dari 61 negara
yang dikaji. Kita negara terburuk yang kedua. Miris!

baca juga: 1001 Malam Cerita Lisan dan Nama Baru tanpa Selamatan

Bermula dari Membaca

Itulah sebabnya teman-teman pernah mengadakan diskusi terbuka di Taman Edukasi Avros, Medan, dan
menginisiasi, salah satu di antaranya, Gerakan Sejuta Buku! Rencananya (semoga segera terkabul) akan
segera dikumpul buku-buku, baik itu bekas maupun baru, untuk disalurkan kepada seluruh pelajar miskin
di pelosok Sumut, ke komunitas-komunitas baca di pinggiran, dan juga ke sekolah-sekolah dan madrasah.
Mengapa harus buku dan mengapa pula harus membaca?

Joko Pinorbo pernah mengatakan begini: masa kecil kau rayakan dengan membaca; (maka) kepalamu
berambutkan kata-kata. Kalimat ini dengan lugas meneguhkan bahwa asal-muasal dari kata-kata yang
akan berteriak di pikiran kita adalah membaca. Membaca adalah bahan baku untuk menuangkan dan
memproduksi ide. Banyak membaca, maka banyak bahan baku. Setelah banyak bahan baku, tentu
terserah kita bagaimana mengolahnya ke mana kita berkehendak. Boleh diucap bahwa kalau tak pernah
membaca mustahil punya bahan baku, apalagi bisa menulis.

Maka itu, gerakan ayo membaca sesungguhnya juga mengandung pesan ayo menulis, ayo produktif, ayo
bekerja, bukan bermalas-malasan. Sebab, membaca adalah menanam ideologi. Membaca adalah
mempersiapkan diri. Membaca adalah melengkapi rongga-rongga bangunan. Membaca adalah
membenihkan. Membaca adalah mematangkan imajinasi. Membaca adalah meneropong dan menikmati
masa depan dengan cara dan pemahaman yang berbeda.

Maka itu, seperti kata Muhammadun, bila ingin maju dan bangkit seperti Eropa (renaissance), kita harus
mampu membangkitkan motivasi membaca para generasi Indonesia. Pekikan-pekikan lama, seperti
“merdeka atau mati” harus kembali hidup dan bergelora di dalam dada kita masing-masing. Memang,
kini, kita tak lagi hidup pada zaman penjajahan fisik. Kolonialisme dalam bentuknya yang purba sudah
usang.

Anda mungkin juga menyukai