http://facebook.com/indonesiapustaka
Pusat Data
Catatan & analisa
Pinggir 6 iii
TEMPO
9
Kumpulan tulisan
GOENAWAN MOHAMAD
di majalah Tempo, Juli 2007-Desember 2010
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 9 i
http://facebook.com/indonesiapustaka
ii
Catatan Pinggir 9
GOENAWAN MOHAMAD 9
http://facebook.com/indonesiapustaka
MOHAMAD, Goenawan
Catatan Pinggir 9
Pusat Data dan Analisa Tempo, 2011
xxii + 776 hlm.; 14.5 x 21 cm
ISBN 978-602-9065-38-4
http://facebook.com/indonesiapustaka
iv Catatan Pinggir 9
Daftar Isi
xi Pengantar
1 Gubernur
5 Mereka
9 Murtad
13 Atheis (1)
17 Bergman
21 Ada Revolusi di Bulan Agustus 1945
27 Formula
31 Turki
35 Ong
39 11/9
43 Puasa
47 Gestapu
51 Myanmar
55 Švejk
59 Po Kyin
63 Pulang
67 Sepatu Tua
71 Kresna
75 Macet
79 Bendera
83 Bolong
87 Hijau
91 Minoritas
http://facebook.com/indonesiapustaka
95 Rakus (1)
99 Langka
Catatan Pinggir 9 v
2008
105 Bhutto
109 Cermin
113 Bento
117 Slamet
121 Sensor
125 Kayon
129 Puing
133 Da Vinci
137 Obama
141 Fouda
145 Dering Itu
149 Melayu
153 Harmoko
157 Negeri Asal
161 Fitna
165 Kaligrafi
169 Hoppla!
173 Ini Pagi, Kata Kartini
177 Mak
181 Ta’ayush
185 B.O.
189 Aladin
193 Jalan
197 BBM
201 Indonesia (1)
205 Gua
209 DD
http://facebook.com/indonesiapustaka
213 Mikropolitik
217 La Police
221 Gerai
225 Api, Laut
vi Catatan Pinggir 9
229 El Cambio
233 Tan Malaka, Sejak Agustus Itu
239 Tahanan
243 Bintang
247 Perang
251 Mukjizat
255 Zilot
259 Rakus (2)
263 Ulysses
267 ”In the Wee Small Hours”
271 Pleonoxia
275 Tawa
279 Kaki Langit
281 Obama, 2008
287 Di Zaman yang Meleset
293 Mumbai
297 Fortinbras
301 Pelacur
305 Pizarro
2009
311 Transformasi
315 Diburu
319 Sisiphus
323 Pohon
327 Badri
331 Potret
335 Y.D. (1944-2009)
343 Darwin
http://facebook.com/indonesiapustaka
347 Cebolang
351 Mono
355 Sjahrir di Pantai
363 Bukan-Pasar
481 Perajam
485 KPK
489 Kastil
493 Des
605 Proletariat
609 Cul-de-Sac
613 Gelap
617 Tertib
Catatan Pinggir 9 ix
621 Waiçak
625 Untuk Rachel Corrie
631 Juni
635 Pemimpin
639 Rumah
643 Repetisi
647 Atheis (2)
651 14 Juli 1789
655 Anak
659 Ahmadiyah
663 Manifes
667 Daging
671 Majenun
675 Ampun
679 Nama, atau Mengapa Juliet Salah
685 ”Roh”, ”Api”, Kata Bung Karno
691 Si Ayam
695 Guna
699 Baik
703 Yang-Lain
707 Asterix
711 Teater
715 Kanvas
719 Maridjan
723 Des
727 Ibrahim
731 Orakel
735 Pencerahan
http://facebook.com/indonesiapustaka
739 Primordialisme
743 Dari Suatu Hari yang Pendek di Yogyakarta
751 Indeks
x Catatan Pinggir 9
Coretan Sang Pelintas Batas
F. Budi Hardiman
Catatan Pinggir 9 xi
CORETAN SANG PELINTAS BATAS
pai pikiran sang filsuf sendiri menjadi jelas. Suatu saat faktum
dibeberkan. Di saat lain film cerita, mitos, alegori, dan metafor
dikisahkan. Akan tetapi, setelah membaca bagian-bagian berita
dari majalah itu, pembaca akan segera mengerti bahwa penulis ti-
dak membiarkan jurang antara fiksi dan realitas tetap menganga.
Mitos yang dikisahkannya itu kadang terhubung dengan faktum
yang diberitakan di negeri ini. Mitos dan metafor seolah dibiar-
kan penulisnya untuk berbicara tentang fakta yang diberitakan,
agar pembaca dapat menemukan bagaimana kebijaksanaan yang
mengendap di dalam fiksi itu mencerahi realitas yang diberita-
kan.
Kita tahu, penulisnya, Goenawan Mohamad, adalah seorang
wartawan dan sekaligus penyair. Bahwa penyair menuturkan mi-
tos, narasi, alegori, atau metafor tidaklah mengherankan. Kita ju
ga tidak heran bahwa wartawan melaporkan faktum. Kedua pro-
fesi tersebut mengenali batas-batas kawasan mereka masing-ma-
sing. Lalu, apa yang dapat dikatakan mengenai seorang penulis
yang menuturkan mitos dengan maksud mengomentari faktum
atau melaporkan faktum dengan membangun jembatan rahasia
ke kawasan mitos? Penulis Catatan Pinggir adalah seorang pelin
tas batas atau seorang—seperti disebut orang Jerman—Grenz
gänger. Sebutan serupa pernah diberikan untuk filsuf Prancis,
Jacques Derrida, oleh Wolfgang Welsch, karena pemikiran Der-
rida bergerak di antara metafisika dan sesuatu di luarnya, yaitu
dalam tegangan di antara keduanya, persis di pinggiran.2 Kita
mempunyai Goenawan yang berpikir dalam tegangan antara ka-
wasan faktum dan kawasan fiksi, alegori, metafor, mitos, sastra.
Seorang pelintas batas bukanlah seseorang yang tidak tahu
http://facebook.com/indonesiapustaka
1
Arti pepatah Latin ini adalah ”orang dari satu buku”. Yang dimaksud adalah seseorang yang tidak me-
miliki pengetahuan selain dari satu buku yang ia miliki.
2
Lih. Welsch, Wolfgang, Vernunft. Die Zeitgenőssische Vernunftkritik und das Konzept der transversalen
Vernunft, Suhrkamp, Frankfurt a.M., hlm. 247.
batas. Dia tahu batas, maka dia dapat melintasinya. Batas tentu
dapat dilintasi tanpa pengetahuan, yaitu secara tidak sengaja, te
tapi dengan cara itu batas dilintasi hanya secara obyektif, semen-
tara secara subyektif tidak pernah terjadi pelintasan batas. Goena
wan tidak ingin melintasi batas hanya secara obyektif, tetapi juga
secara subyektif, yaitu dengan sengaja. Dia ”bermain di antara”
kedua kawasan yang selama ini dijaga ketat dalam pikiran orang
banyak. Dan hal ini sebuah kesengajaan. Dengan sengaja posisi
tidak ditegaskan sejak awal, karena ”bermain di antara” berarti
beralih-alih posisi. Dengan sengaja solusi juga tidak dijanjikan se-
jak awal, karena solusi adalah bagian keseriusan yang tentu asing
bagi permainan. Seperti Sokrates, penulis Catatan Pinggir kerap
mengakhiri tuturannya dengan pertanyaan atau kesangsian. Da
lam ”Perajam” (4 Oktober 2009), misalnya, tuturan tentang kisah
hukum rajam dalam Injil yang awalnya menggiring kita pada
pendirian bahwa person adalah sentral dalam agama diakhiri de-
ngan sebuah enigma: ”Tapi kepada siapakah sebenarnya agama
berbicara: kepada tiap person dalam kesunyian masing-masing?
Atau kepada ’gerombolan’? Saya tak tahu. Di pelataran itu Yesus
membungkuk, membisu, hanya mengguratkan jarinya. Ketika ia
berdiri, ia berkata ke arah orang banyak. Tapi sepotong kalimat
itu tak berteriak.” Goenawan tahu betul apa artinya aporia yang
menghadang di ujung lorong panjang dan berkelok dari pencari-
an suatu jawaban final. Dengan demikian, permainannya adalah
sebuah keseriusan yang patut mendapat perhatian kita.
Pertanyaan dan kesangsian yang diletakkan di akhir esainya
secara tersirat mengundang pembaca untuk terbuka terhadap pe
ristiwa. Teks-teks berita yang memenuhi halaman-halaman sebe
http://facebook.com/indonesiapustaka
lengkapinya.”3
Seandainya dipaksa untuk menjelaskan posisi, satu-satunya
deskripsi yang lumayan kena untuk posisi penulis Catatan Ping-
gir adalah bergerak di pinggiran, yaitu menunda penyelesaian.
Rezim-rezim politis silih berganti seperti gelombang-gelombang,
dan seperti perahu layar esai-esai Goenawan mengarungi zaman
lewat embusan roh zaman menyertai gelombang-gelombang itu.
Cara lihat ini juga bisa dicoba: jika politik adalah sebuah perja
lanan menembus berbagai medan menuju entah ke mana, esai-
esaiitu dapat dianggap sebagai coretan-coretan pada pepohonan,
tebing, dan semak yang telah dilalui. Pada coretan-coretan itu ki
ta mungkin dapat menemukan jalan untuk kembali. Dari yang
telah lewat mungkin juga petunjuk ke depan dapat diperoleh.
Namun jangan berharap untuk mengetahui tujuan entah itu
puncak atau lembah karena si pencoret tidak meninggalkan apa-
apa selain isyarat untuk terus pergi.
***
Apa saja yang dibahas di dalamnya? Catatan Pinggir berbi-
cara tentang hampir semua persoalan penting yang gaduh dibi-
carakan di dalam republik kita. Buku ini merupakan kumpulan
esai Goenawan dalam Tempo yang merentang selama lebih dari
tiga tahun, yaitu dari Juli 2007 sampai Desember 2010. Pembaca
kumpulan ini tidak hanya segera akan menangkap keluasan dan
kedalaman pengetahuan penulisnya, tetapi juga akan takjub de
ngan stamina intelektual yang dibuktikan Goenawan untuk me
lahirkan tulisan-tulisan yang penuh variasi dan tidak menjemu
kan ini. Bukan hanya itu, jika berasal dari mazhab akademis yang
ketat, pembaca tentu akan tertantang dengan metode yang ju
http://facebook.com/indonesiapustaka
3
Lih. Knischek, Stefan, Lebensweisheiten berűhmter Philosophen, Humbolt, Műnchen, 2000, hlm. 165.
Catatan Pinggir 9 xv
CORETAN SANG PELINTAS BATAS
zek, seperti dapat dicermati dalam ”Paskah” (11 April 2010). Bah-
kan Ideologiekritik yang dulu dibidikkan Horkheimer dan tim-
nya ke arah Aufklärung dalam ”Modernitas” (6 September 2009)
menemukan target lokalnya: ”Pramoedya dan Tan Malaka begi
4
Bdk. Steele, Janet, Wars Within. Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru, Dian
Rakyat, Jakarta, 2007, hlm. 145.
xx Catatan Pinggir 9
CORETAN SANG PELINTAS BATAS
orang banyak, politik yang berisik itu bisa jadi malah ”mengha
5
Bdk. Sloterdijk, Peter, Sphären III, Suhrkamp, Frankfurt a.M., 2004, hlm. 382-383.
6
Lih. Luhmann, Niklas, Social Systems, Stanford, Stanford University Press, 1995, hlm. 427.
7
Mohamad, Goenawan, ”Berbagi”, dalam: Tempo, 21 Juni 2009.
S
ANCHO Panza yang pendek, buncit, dan bodoh itu ber-
mula sebagai sasaran olok-olok, tapi saya tak tahu adakah
ia berakhir demikian.
Penggubahnya, Cervantes, memperkenalkan tokoh petani
buta huruf dari La Mancha itu dalam bagian awal Don Quixote
sebagai sosok yang lebih menggelikan sekaligus memelasketim
bang Don Quixote yang majenun itu sendiri. Sancho tahu, orang
yang dengan setia diikutinya itu seorang yang sinting dirundung
khayal—seorang yang berangkat meninggalkan dusunnya dan
membayangkan dirinya seorang kesatria pengembara, yang ga
gah dan mulia hati, seperti dibacanya dari cerita-cerita kuno. San-
cho tahu kesintingan ini, tapi ia mengikuti lelaki kerempeng yang
mengenakan baju zirah zaman pertengahan itu ke mana saja, naik
keledai, meskipun ia tak memahaminya. Ia percaya, janji orang
yang menyebut dirinya Don Quixote itu akan terpenuhi: kelak, ia
akan diangkat jadi gubernur di sebuah pulau, di sebuah ”insula”.
Di bagian kedua novel termasyhur ini, ternyata harapan itu
terpenuhi—tapi kita menemukan dalam diri tokoh konyol ini se
suatu yang lain.
Syahdan, dalam perjalanan pengembaraannya ke pelbagai pe-
losok Spanyol, Don Quixote dan Sancho Panza bertemu dengan
sepasang bangsawan. Suami-istri ini berniat menjadikan kedua
orang yang berubah akal itu obyek permainan. Cara mereka: me
reka layani fantasi Don Quixote dengan memperlakukannya se-
bagai kesatria pengembara betul-betul. Mereka kerahkan orang
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 9 1
GUBERNUR
2 Catatan Pinggir 9
GUBERNUR
nya dari hukuman. Ia ingat ada satu ajaran yang diberikan ke-
padanya oleh Don Quixote: ”bila hukum dalam keraguan, aku
harus mengutamakan dan merangkul rasa belas”.
Ternyata, pada titik yang paling puncak dalam hidupnya,
Sancho Panza tak bisa melepaskan pertautannya dengan mereka
yang terkekang dan lapar. Agak lucu keluhannya kepada perla
kuan Dokter Recio yang serba melarang pak gubernur yang bun-
cit itu makan hal-hal yang dianggap tak sehat. Juga suratnya ke-
pada istrinya, dan surat istrinya kepadanya—meskipun ditulis-
kan orang lain—menunjukkan kuatnya ikatan Sancho dengan
asal-usulnya. Suratnya kepada Don Quixote mengungkapkan si
sinya yang tak kalah penting: ”Sejauh ini, saya tak menyentuh ba
yaran atau menerima suap, dan saya tak tahu apa artinya ini, se-
bab mereka katakan di sini bahwa orang-orang memberi atau me-
minjamkan banyak kepada gubernur yang biasanya datang ke in-
sula ini, bahkan sebelum mereka datang, dan bahwa itulah prak-
tek umum siapa saja yang pegang jabatan gubernur, tak hanya di
sini....”
Pada suatu zaman yang korup macam itu, jabatan akhirnya
sebuah kesempatan untuk jadi manusia luar biasa justru dengan
jadi manusia biasa. Terutama dalam sikap terhadap kedudukan:
ketika jabatannya membuatnya terasing dari dirinya sendiri, San-
cho memilih untuk meninggalkan kursinya yang luhur.
Salah satu bagian yang mengharukan dalam Don Quixote ia
lah setelah Sancho dipermainkan habis-habisan. Pada suatu ma
lam, ”insula” itu seakan-akan diserang musuh. Pak Gubernur ha-
rus dilindungi dengan dijepit perisai seperti seekor penyu. Dalam
”pertempuran”, ia terjatuh tergolek secara menggelikan. Ia ping-
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 9 3
GUBERNUR
4 Catatan Pinggir 9
MEREKA
M
EREKA di luar dan terkutuk, kami tidak. Di sini,
kami adalah penyelamatan; di sana, mereka sesat....
Di abad ke-21, suara seperti itu akan terasa sebagai
gema dari sebuah zaman kusam berabad-abad yang lalu. Tapi
benarkah itu suara yang telah lapuk oleh panas, lekang oleh hu-
jan?
Tembok Vatikan berdiri tegak, tua, seakan tak terusik. Dalam
bulan Juli 2007 ini Paus Benediktus menegaskan kembali apa
yang dirumuskannya ketika ia masih Kardinal Joseph Ratzinger
tujuh tahun sebelumnya. Doktrin ini, Dominus Iesus, telah me-
nyebabkan para pemimpin Protestan menganggap Vatikan kini
sebuah pintu yang ditutup kembali. Pertalian ekumeni dan dia-
log sesama iman Kristiani mungkin tak dapat diharapkan lagi.
Seorang tokoh Protestan, Wolfgang Huber, ketua kelompok Ge-
reja Evangeli Jerman, mengeluh: ”Harapan ke arah sebuah per
ubahan dalam situasi hubungan ekumeni telah digusur lebih
menjauh....”
Paus yang sekarang, kata Huber, mengulangi ”statemen yang
melecehkan” yang termaktub dalam Dominus Iesus. Pernah ada
suatu masa harapan kerukunan akan tumbuh pesat, ketika Kon-
sili Vatikan II dijadikan pegangan bagi Gereja Katolik untuk me
nerima dengan lebih hormat agama-agama lain. Tapi Konsili Va
tikan itu kini berumur 40 tahun, dan di Takhta Suci duduk se
orang Paus yang memandang cemas dunia pascamodern.
Kecemasannya memang mencemaskan. Ketika Dominus Ie-
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 9 5
MEREKA
6 Catatan Pinggir 9
MEREKA
Catatan Pinggir 9 7
MEREKA
8 Catatan Pinggir 9
MURTAD
S
aya tak akan berpindah agama—dan dengan demikian
sebenarnya saya memilih agama saya sekarang. Tapi saya
sedih benar mendengar cerita orang yang dilarang memi
lihagama yang ingin dianutnya. Saya sedih mendengar kisah Re-
vathi Massosai.
Perempuan Malaysia ini, yang sudah menikah dan beranak
satu, lahir dari ayah ibu yang beragama Hindu tapi kemudian
berpindah jadi muslim. Dari pasangan ini ia mendapatkan nama
muslim. Tapi ia dibesarkan oleh neneknya, seorang Hindu, dan
Revathi memilih mengikuti agama sang nenek. Di Malaysia, ini
jadi masalah. Di negeri itu, orang yang berayah muslim harus ja
di seorang muslim. Dan sebagai muslimah, Revathi dilarang ber-
pindah agama atau menikah dengan seorang yang tak seiman. Ia
dilarang murtad.
Tapi di tahun 2004 Revathi kawin dengan seorang pria Hin-
du. Pasangan ini mendapatkan seorang anak perempuan.
Januari yang lalu ia datang ke mahkamah pengadilan agar se
cara resmi ia disebut sebagai seorang Hindu. Bukan saja usaha
nya gagal; ia malah ditahan para petugas. Ia dimasukkan ke ”pu-
sat pemulihan akidah”. Dia ditahan sampai enam bulan. Tuju
an para pejabat syariah Islam ialah untuk menjaganya agar ia te
tap berada ”di jalan yang benar”—tentu saja ”jalan yang benar”
menurut para pemegang otoritas iman di Malaysia.
Selama enam bulan dikungkung itu, ia harus mengenakan jil
bab, menegakkan salat, dan lain-lain. Yang kemudian dicerita-
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 9 9
MURTAD
10 Catatan Pinggir 9
MURTAD
gus. Saya tak berpindah ke agama lain karena saya tahu dalam
agama saya ada kebaikan seperti dalam agama lain, dan dalam
agama lain ada keburukan yang ada dalam agama saya. Sejarah
agama-agama senantiasa terdiri atas bab-bab yang paling represif
dan buas, tapi juga pasase yang paling mulia dan memberikan ha
rapan. Agama menyumbangkan kepada kehidupan manusiase-
cercah kesadaran, betapapun mustahilnya keadilan akan datang,
nilai itu—dan segala sifat Allah—tetap memberi inspirasi. Agak
nya itulah yang berada dalam inti iman.
Maka pada akhirnya yang penting bukanlah apa agama yang
saya pilih dan Revathi pilih, melainkan bagaimana seseorang te
tap berada dalam inti iman itu—bagaimana ia hidup dan bertin-
dak.
Dalam inti iman, Tuhan tak dipersoalkan lagi. Bahkan se
orang murtad tak bisa menggugat—sebagaimana tokoh Lazaro
yang murtad tak bisa untuk tak merasa dekat dengan Don Ma
nuel,pastor di kota kecil Spanyol dalam novel Migel de Unamu-
no, Saint Manuel Bueno, Sang Martir.
Saya teringat akan tokoh novel itu, sebab Don Manuel adalah
seorang penolong, penyabar dan—menurut sang pencerita—
suka mendahulukan ”mereka yang paling malang, dan terutama
mereka yang membangkang”. Tapi ia juga padri dengan mata
sedih. Pandangannya meredup ketika ia mengatakan kepada se
orang anak bahwa orang harus percaya kepada Neraka.
Bahkan Lazaro yang meninggalkan iman Kristennya meng-
hormatinya dan jadi pembantunya. Berdua mereka merawat yang
sakit, menemani yang kesepian, memberi makan yang lapar,
menghibur yang berduka.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 9 11
MURTAD
12 Catatan Pinggir 9
ATHEIS (1)
A
gama akan tetap bertahan dalam hidup manusia, tapi
layakkah ia dibela?
Christopher Hitchens baru-baru ini menarik perhati
anketika bukunya terbit dengan judul God Is Not Great: Religi
on Poisons Everything. Penulis Inggris ini—yang yakin bahwa Tu-
han tidak akbar dan bahwa agama adalah racun—tak bersuara
sendirian di awal abad ke-21 ini. Di tahun 2004 terbit The End of
Faith, oleh Sam Harris, yang tahun lalu mempertegas posisinya
dengan menyerang agama Kristen dalam Letter to a Christian Na
tion. Yang juga terkenal adalah karya Richard Dawkins, seorang
pakar biologi, The God Delusion, yang mengutip satu kalimat pe
ngarang lain: ”Bila seseorang menderita waham, gejala itu akan
disebut gila. Bila banyak orang menderita waham, gejala itu akan
disebut agama.”
Saya belum khatam membaca buku-buku itu, tapi saya telah
merasa setengah terusik, tersinggung, berdebar-debar, terangsang
berpikir, tapi juga gembira. Baiklah saya jelaskan kenapa saya
gembira: kini datang beberapa orang atheis yang sangat fasih de-
ngan argumen yang seperti pisau bedah. Dengan analisis yang
tajam mereka menyerang semua agama, tanpa kecuali, di zaman
ketika iman dikibarkan dengan rasa ketakutan, dan rasa ketakut
an dengan segera diubah jadi kebencian. Dunia tak bertambah
damai karenanya. Maka siapa tahu memang dunia menantikan
Hitchens, Harris, dan Dawkins. Siapa tahu para atheis inilah
yang akan membuat kalangan agama mengalihkan fokus mereka
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 9 13
ATHEIS (1)
11 September 2001. Harris tak akan melihat bahwa hari itu ”Is-
lam” identik dengan amarah karena ada kepahitan kolonialisme
di Timur Tengah, Afrika, dan Asia, dan kekalahan dunia Arab di
Palestina.
14 Catatan Pinggir 9
ATHEIS (1)
Dari sini, memang ada benarnya apologi yang terkenal itu: bu-
kan agamanya yang salah, melainkan manusianya.
Tapi persoalan tak selesai di situ. Orang-orang atheis semacam
Hitchens akan bertanya: Jika faktor manusia yang menyebabkan
keburukan tumbuh dalam suatu umat, berarti tak ada peran aga
ma dalam memperbaiki umat itu. Jika demikian, jika akidah di-
tentukan oleh sejarah, dan bukan sebaliknya, apa guna agama
bagi perbaikan dunia?
Mungkin sebuah nol. Bahkan melihat begitu banyak pembu
nuhan dilakukan atas nama agama hari-hari ini, orang memang
mudah sampai kepada atheisme Hitchens dan kesimpulannya:
agama meracuni segala hal.
Tapi kita dapat juga sampai pada kesimpulan yang lain: ja
ngan-jangan agama memang tak punya peran bagi perbaikan du-
nia. Perannya memang bisa lain sama sekali—terutama bila dili-
hat dari awal lahirnya agama-agama.
Dalam ceramahnya yang diselenggarakan oleh MUIS (Ma-
jlis Ugama Islam Singapura) bulan Juni yang lalu, Karen Arm-
strong mengatakan sesuatu yang tak lazim: agama lahir dari si-
kap jeri (recoil) atas kekerasan. Juga Islam, yang kini tak urung
dihubungkan dengan bom bunuh diri, konflik berdarah di Irak,
Afganistan, dan Pakistan. Agama ini hadir sebagai pembangun
perdamaian di sekitar Mekah, di tengah suku-suku Arab yang sa-
ling galak.
Tapi mungkin juga Karen Armstrong bisa menelusurinya lebih
jauh: jika agama memang lahir dari rasa jeri akan kekerasan, rasa
jeri itu bertaut dengan kesadaran akan ketakberdayaan. Agama
sebab itu tak merasa kuasa untuk memperbaiki dunia; ia justru
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 9 15
ATHEIS (1)
16 Catatan Pinggir 9
BERGMAN
T
uhan pernah jadi beban bagi Ingmar Bergman. Tapi
kemudian beban itu lepas, bahkan jauh sebelum sutrada-
ra film ini meninggal dalam usia 89—dengan nama ha
rumke seluruh dunia—di Pulau Farö di Laut Baltik, 30 Juli yang
lalu. ”Superstruktur keagamaan saya yang berat ke atas telah run-
tuh,” katanya pada suatu kali—dan ia merasa lega.
Tuhan pernah jadi beban bagi Bergman karena dalam hidup
nya, Yang Maha Kuasa diwakili sosok angker seorang ayah. Ayah
itu pendeta Lutheran Swedia yang keras, yang tak jarang me
ngurung Ingmar kecil di ruang gelap—seperti yang bertahun-
tahun kemudian digambarkannya dalam tokoh Pendeta Edvard
Vergerus, ayah tiri yang tanpa belas kasih itu, dalam film Fanny
och Alexander (1983).
Film ini adalah kisah Alexander, bocah berumur 10 tahun.
Ia anak yang peka rasa, agak pelamun, dan terbuka pada khayal
yang hidup. Dibesarkan dalam keluarga Ekhdal yang longgar,
sensual, gembira, dan artistik, ia kemudian masuk ke dunia Pen-
deta Vergerus, setelah rohaniwan Lutheran ini menikahi ibunya:
sebuah dunia dengan iman yang teguh, puritan, represif, dan be
ngis.
Di sela-sela itu, Alexander menemukan dunia yang magis dan
remang di antara boneka-boneka antik sebuah keluarga Yahudi.
Satu dimensi lain pun muncul: dalam hidup ada sesuatu yang
ajaibdan mempesona, sesuatu yang bukan duniawi, tapi jauh da
ri akidah agama.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 9 17
BERGMAN
18 Catatan Pinggir 9
BERGMAN
na.
Ia merasa lega. ”Ketika segi religius dari kehidupanku terha-
pus,” katanya, ”hidup terasa lebih mudah dijalani.”
Agaknya kesimpulan yang mirip bisa ditarik dari ”trilogi ke
Catatan Pinggir 9 19
BERGMAN
20 Catatan Pinggir 9
ADA REVOLUSI DI BULAN AGUSTUS 1945
A
DA sebuah revolusi di bulan Agustus 1945—meskipun
tak ada pemberontakan. Di Jakarta hari itu tak ada ge
lombang massa yang menghancurkan sebuah penjara,
tak ada tentara rakyat yang menjebol sebuah kekuasaan yang
mencoba terus tegak. Di seberang sana, tak ada barikade, juga tak
ada takhta yang bisa memberikan titah agar revolusi dipadam
kan.
Pada pagi hari 62 tahun yang lalu itu yang tampak hanya se-
jumlah orang yang mendengarkan Bung Karno membacakan se-
buah teks, yang kemudian disebut ”Naskah Proklamasi”. Pada
pagi hari itu juga bendera Merah Putih dikibarkan, tapi tak di
mana-mana, hanya di depan sebuah gedung tak begitu besar di
Jalan Pegangsaan, Jakarta, tempat para pelopor kemerdekaan itu
berkumpul.
Namun sesuatu berubah. Terutama dalam diri mereka yang
mengalaminya. Setelah bertahun-tahun tertekan dan tersisih da
lam proses menentukan sejarah tempat mereka hidup, hari itu
orang bisa menyebut diri ”Indonesia” dan jadi ”merdeka”.
Revolusi memang sebuah transformasi: sejak saat itu sesuatu
yang dialami segera jadi sesuatu yang dihayati—ketika orang
mengartikulasikan apa yang terjadi dengan kata, lambang, mitos.
Mereka memberi makna kepada semua itu, dan mendapatkan
makna dari sana. ”Indonesia” waktu itu wujud politik dan geo-
grafi yang sebenarnya belum ada; tapi ia telah begitu berarti hing-
ga kelak orang akan mempertaruhkan nyawa buat mempertahan
http://facebook.com/indonesiapustaka
kannya.
Tak berarti semua itu serta-merta muncul pada 17 Agustus
1945. ”Indonesia” sebagai sebuah komunitas telah dianggit, diar-
tikulasikan, dipaparkan, dan diberi makna sejak awal abad ke-20.
Catatan Pinggir 9 21
ADA REVOLUSI DI BULAN AGUSTUS 1945
Pada bulan Juni dan Juli 1945, di sebuah gedung lain di daerah
Menteng di Jakarta, sebuah panitia bahkan telah bekerja berda
sarkan anggitan itu. Tugasnya menyiapkan bentuk negara dan
konstitusi bagi sebuah ”Indonesia” yang akan lahir.
Meskipun demikian, tak semua bisa dipersiapkan. Ada yang
tak terduga-duga, ketika tiba-tiba sebuah kekosongan terjadi: di
wilayah yang semula dikuasai Jepang ini tak ada lagi kuasa apa
pun yang berdaulat.
Sejarah akhirnya memang bukan sebuah lorong lempang. Se-
lalu ada kelokan mendadak. Revolusi sering ditulis sebagai ujung
yang logis dari sebuah sebab sosial politik, tapi bahkan Revolusi
Rusia—yang mengartikulasikan diri sebagai revolusi Marxis, ba-
gian dari ramalan ”sosialisme ilmiah”—sebenarnya juga sebuah
kejutan: perubahan besar di bulan Oktober 1917 itu dilakukan
sejumput minoritas, sebuah partai atas nama kelas buruh di se-
buah negeri yang masih agraris, dipimpin Lenin yang baru saja
kembali dari hidup di pengasingan. Tapi sejak itu, Rusia tak per-
nah kembali seperti dulu, dan ”Revolusi Oktober” mengandung
getaran yang menggugah.
Juga di bulan Agustus 1945 itu. Di Indonesia, sesuatu yang
serba-mungkin telah berubah: revolusi itu jadi sebuah kata sakti
yang kemudian membayangi terus politik Indonesia.
***
Ketika Bung Karno membubarkan sistem demokrasi par-
lementer pada tahun 1958, ia membenarkan tindakannya sebagai
”penemuan kembali Revolusi kita”. Itulah judul pidato penting-
nya yang kemudian dikenal juga sebagai ”Manifesto Politik”.
Tampak bahwa ”Revolusi”—karena getarannya yang dah-
http://facebook.com/indonesiapustaka
22 Catatan Pinggir 9
ADA REVOLUSI DI BULAN AGUSTUS 1945
tah kolonial tak ada lagi, ”tempat yang kosong” yang ditinggal-
kan seakan-akan sudah dipesan selama-lamanya untuk sebuah
himpunan politik tanpa konflik, tanpa kongkurensi. Dan revolu-
si, sebagai sesuatu yang transformatif, dibayangkan akan sang-
Catatan Pinggir 9 23
ADA REVOLUSI DI BULAN AGUSTUS 1945
24 Catatan Pinggir 9
ADA REVOLUSI DI BULAN AGUSTUS 1945
Presiden Soeharto dengan lebih luas dan lebih lama. Sebuah mis-
en-scène disusun untuk memanggungkan Indonesia sebuah kesa
tuan yang stabil dan serba selaras.
Tapi tak ada sebuah bangsa yang serba selaras. Pemanggungan
itu pun gagal memberikan makna bagi para pelaku politik dan
orang ramai. Mis-en-scène itu akhirnya tak mampu lagi menam-
pakkan mis-en-sense.
***
Pemanggungan—itu juga yang bisa dikatakan tentang
demokrasi parlementer pada dasawarsa pertama setelah kemer
dekaan. Sebagian pemimpin Indonesia, terutama Sjahrir, konon
menyarankan sistem itu diterapkan agar Indonesia dilihat— ten-
tu saja oleh Eropa dan Amerika—sebagai sebuah negara demo
kratis, yang tak merupakan kelanjutan model fasisme Jepang.
Tapi sebenarnya masih jadi pertanyaan, adakah para pelaku
kegiatan politik dan orang banyak mendapatkan makna dalam
panggung itu. Di tengah kesulitan ekonomi dan keterbatasan
alokasi sumber kekayaan ke daerah, dibayang-bayangi Perang
Dingin yang merasuk ke dalam politik dalam negeri, diintai am-
bisi militer yang menampik kepemimpinan sipil, demokrasi par-
lementer dengan segera kehilangan kemampuannya untuk jadi
artikulasi rakyat.
Bung Karno—selamanya curiga kepada apa yang berbau
”Barat”—dengan segera menganggap sistem ini sebuah cangkok
an.
Saya kira di sini kita menyaksikan bagaimana para pendukung
demokrasi parlementer lebih memperhatikan adanya bentuk in
stitusional—parlemen, mahkamah yang mandiri, dan pers yang
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 9 25
ADA REVOLUSI DI BULAN AGUSTUS 1945
26 Catatan Pinggir 9
FORMULA
T
iap gagasan luhur butuh sebuah cemooh. Dalam rekam
an sejarah, manusia berkali-kali menggagas sebuah ma-
syarakat yang sempurna, tapi akhirnya ia perlu sepotong
khayal yang agak lucu. Ia perlu Raja Utopus.
Kini kita akan berpihak pada fantasi Thomas More itu. Uto-
pus berhasil membangun sebuah negeri yang tanpa sengketa, tan-
pa ketimpangan, dan tanpa keserakahan—tapi untuk itu ia harus
menggali sebuah kanal dan menegakkan tembok tinggi. Negeri
yang sehat walafiat itu mesti dipisahkan dari negeri lain agar tak
kena pengaruh buruk. Kesempurnaan hanya bisa terjadi dalam
isolasi, dan isolasi hanya bisa dengan paksa. Sebelum Kim Il-sung
dan anaknya di Korea Utara, Raja Utopus tahu akan hal itu.
Utopia, negeri itu, akhirnya bukan sesuatu yang layak diidam-
kan—atau sebuah kesempurnaan yang mustahil. Dalam kata
”Utopia” (yang bergerak antara uo-topos yang berarti ”tak bertem-
pat” dan eu-topos yang berarti ”tempat yang baik”) terkandung
ironi. Dalam hal ini, Utopia Thomas More, yang diterbitkan pada
awal abad ke-16, telah mendahului suara akhir abad ke-20.
Pada akhir abad yang lalu, terbukti pelbagai angan-angan lu
hurtelah gagal untuk membuat manusia bahagia. Terbitlah ke
perluan buat mengambil jarak dari cita-cita kita sendiri; kita ha-
rus meledeknya sedikit. Keraguan sebaiknya terbit sekali-sekali.
Ironi itu sehat.
Tapi ironi mudah mati. Sampai sekarang pun tiap hari ia dihu
kum gantung di lapangan umum. Derap langkah mereka yang
http://facebook.com/indonesiapustaka
marah, yang penuh keluh dan protes kepada keadaan, dengan ce
pat akan membabatnya. Di pihak lain, mereka yang meluap-luap
memimpikan dunia baru yang bagai surga juga akan memberan
tasnya. Benar, tiap gagasan luhur butuh tak hanya doa, tapi juga
Catatan Pinggir 9 27
FORMULA
28 Catatan Pinggir 9
FORMULA
Catatan Pinggir 9 29
FORMULA
30 Catatan Pinggir 9
TURKI
M
USTAFA lahir di tahun 1881 dari kandungan seorang
ibu yang saleh, Zubaidah namanya. Perempuan ini
kuat wataknya; ia tak mudah menyerah kepada kehen-
dak sang suami. Khususnya dalam hal pendidikan buat anak le-
laki mereka satu-satunya—seorang anak yang tak mereka sangka
kelak akan dikenang dengan kagum sebagai Atatürk, ”bapak
Turki [modern]”, tapi juga dikutuk keras sebagai penghancur
Khilafah Usmani, sebuah imperium yang dianggap sanggup me-
nyatukan bangsa-bangsa muslim selama beradab-abad.
Mustafa Kemal memang lahir di sebuah zaman ketika perten-
tangan tak terelakkan, bahkan sejak hari ia harus bersekolah.
Ali Riza, sang ayah, ingin agar Mustafa masuk sekolah umum.
Tapi Zubaidah tetap bersikeras. Si buyung harus hafal Quran; ia
harus jadi hoja, guru agama.
Mustafa pun dikirim masuk sekolah Fatimah Mullah Kadin,
pendidikan Islam yang terkemuka di Kota Salonika itu. Diterima
di sekolah itu agaknya sesuatu yang istimewa. Dalam buku Ata
türk: The Rebirth of a Nation, Patrick Kinross mengutip penuturan
Mustafa sendiri tentang upacara di hari pertama itu.
Di pagi hari, ibunya mendandaninya dengan pakaian putih
dan kalung leher bersulam emas; sorban melingkar di kepala. Ia
pun dijemput seorang hoja beserta ulama lain. Mereka melang-
kah ke jalan dalam semacam prosesi ke sekolah. Di sekolah yang
bertaut dengan sebuah masjid itu, doa bersama pun dibacakan.
Lalu sang guru membimbing Mustafa masuk ke sebuah ruang.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 9 31
TURKI
32 Catatan Pinggir 9
TURKI
Catatan Pinggir 9 33
TURKI
34 Catatan Pinggir 9
ONG
S
EJAK saya melihatnya pada tahun 1962 di sekitar Univer-
sitas Indonesia, Onghokham selalu tampak dengan baju
dan celana khaki yang kusut. Ia selalu membawa satu tas
kulit yang mencong; isinya—buku dan lain-lain—selalu berle
bihan. Ia terkadang naik sebuah bromfiets yang mencemaskan ka
rena bergoyang-goyang dengan bunyi sember yang seperti men-
derita.
Rambutnya sudah menipis, kacamatanya sudah sedikit mero
sot—satu hal yang mengesankan saya yang baru saja jadi maha-
siswa. Cara bicaranya tak berubah sampai dengan masa Reforma
si: tak koheren, dengan aksen Jawa Timur yang tak lekang, terka
dang agak menyembur, tapi umumnya tak agresif, dan selamanya
menunjukkan Ong yang perseptif dalam melihat dan memikir-
kan sekitar.
Kini, dalam obituari yang ditulis orang setelah ia meninggal
pekan lalu, ia disebut sebagai ”sejarawan”. Terutama sejak ia kem-
bali dengan gelar doktor dari Universitas Yale pada tahun 1975. Ia
sendiri punya versi lain tentang dirinya. Ada dua hal yang dia ba
wa pulang dari Yale, ujarnya. Satu, gelar doktor itu. Dua, kepan
daian memasak. Ia lebih bangga dengan yang nomor dua itu, ka-
tanya, tanpa senyum.
Tentu ada beda antara sejarawan dan juru masak, tapi jangan-
jangan perlu juga dilihat bahwa beda itu tak teramat besar. Ke
duanya mengolah bahan dari detail, dengan metode dan sistem
yang kurang-lebih ajek, dan menyajikan sebuah hasil dengan sen-
http://facebook.com/indonesiapustaka
tuhan personal.
Mereka yang menganggap sejarah sebagai ilmu yang terhor-
mat tentu akan berkeberatan dengan kesimpulan itu. Tapi bukan
hal yang baru untuk mengatakan bahwa karya sejarah tak pernah
Catatan Pinggir 9 35
ONG
ditulis dari pandangan yang kekal, yang tak bermula dari satu ti-
tik dalam waktu. Tiap karya seorang sejarawan bertolak dari ma-
sa-kininya sendiri.
Mungkin bahkan bukan hanya itu. Ketika Foucault bicara
tentang ”genealogi”, yang bisa dikatakan sebagai penulisan alter-
natif tentang masa lalu, yang tersirat di sana bukan saja pernyata-
an bahwa yang dituju bukanlah ”pengetahuan” dan ”kebenaran”
tentang masa lalu itu, tapi sebuah tindakan terhadap masa kini.
Saya baca kembali kumpulan tulisan Onghokham dalam
Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong. Hampir tiap bab tergerak
untuk melakukan sesuatu bagi keadaan saat itu. Itu mungkin se-
babnya Ong tak pernah lagi menulis sebuah buku utuh, kecuali
yang berdasarkan skripsinya di Fakultas Sastra UI dan tesisnya
di Universitas Yale. Ia menulis risalah pendek, hidangan sekali
santap, selalu sebagai respons terhadap keadaan yang dialaminya
waktu itu—dan hampir selamanya terasa tak selesai.
Sebagai editornya di saat-saat ia menyumbang tulisan ke ma-
jalah Tempo, saya punya problem dengan cara Ong menulis: saya
selalu ingin menemukan paragraf penutup yang baik. Tapi kemu-
dian saya pikir: jangan-jangan itu tak perlu bagi Ong. Makanan
yang lezat tak pernah punya akhir, juga dengan cuci mulut.
Tapi dengan itu pula Ong memang tak hendak mengemuka-
kan sebuah kesimpulan dan teori besar. Seperti Sartono Kartodir
djo, ia mengutamakan latar sosial-ekonomi sebuah peristiwa,
yang menyebabkan sejarah baginya bukan kisah orang ”atas”. Ia
suka menemukan dan mengemukakan hal ihwal kecil—misal-
nya ”perhitungan hari baik” dalam masyarakat Jawa, atau jumlah
gulden subsidi seorang bupati yang dibuang pemerintah kolonial.
http://facebook.com/indonesiapustaka
36 Catatan Pinggir 9
ONG
Catatan Pinggir 9 37
ONG
Ismid Hadad, Salim Said, dan lain-lain) yang sering minum kopi
di warung di Gang Ampiun, Cikini. Terkadang Ong muncul, de-
ngan pakaian khaki yang lusuh dan tas yang penuh. Ia gemar
mencemooh kami sebagai ”intelektual kota”. Mungkin ia hendak
mengingatkan, kami yang suka omong tentang ”Indonesia” acap
kali lupa ada yang tak dapat dirumuskan dari sudut kota Jakar-
ta itu. ”Indonesia” bukanlah hanya ide. ”Indonesia” adalah kehi
dupan. Dan Ong memang dekat ke dalamnya.
38 Catatan Pinggir 9
11/9
S
AYA melihat New York 11 September 2001. Sampai lewat
tengah malam, yang mengepung adalah suasana murung
dan cemas, berkabung dan waswas. Orang di pelbagai
penjuru terperanjat. Dunia tersentuh: mereka ingin menemani
kota itu, bersama ribuan kandil yang dinyalakan di sudut-sudut
jalan, seakan-akan mau ikut mencari mereka yang tak pulang
dari puing.
Asap kebakaran masih membubung hitam beberapa hari se
telah itu, membentuk sebuah sosok di langit New York sebelah se-
latan, seakan-akan mengisi rongga yang melompong di angkasa
setelah dua gedung jangkung The World Trade Center runtuh
dan 3.000 orang yang tak bersalah mati.
Tapi dengan cepat asap dan debu diubah sesuatu yang ber-
warna: bendera Amerika, bendera Amerika, bendera Amerika.
Di mana-mana. Tak putus-putusnya televisi menyiarkan orang
menyanyi God Bless America, bergetar, bergemuruh. Di seluruh
Amerika Serikat, pada jutaan layar, huruf yang muncul tak henti-
hentinya adalah AMERICA UNDER ATTACK.
Dan perkabungan pun jadi api.
Tema klasik nasionalisme pun berulang pada hari-hari itu:
”Kami dihina. Mereka jahat. Kami dizalimi. Mereka brutal. Me
reka harus dibalas. Kami bangkit. Kami kuat.”
Orang Amerika akan marah jika dikatakan bahwa tema nasi-
onalisme itu tak jauh berbeda dengan yang dulu terbit di Jerman,
kini di Arab dan Israel. Tapi itu justru indikasinya: orang Ameri-
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 9 39
11/9
”Rasa takut kita yang terdalam tak disebabkan oleh karena kita
tak memadai. Rasa takut kita yang terdalam disebabkan kekuatan
kita yang tak tepermanai. Cahaya terang kita, dan bukan kegelapan
kita, itulah yang paling mengerikan kita.”
40 Catatan Pinggir 9
11/9
Catatan Pinggir 9 41
11/9
42 Catatan Pinggir 9
PUASA
D
I hari-hari ini saya berpuasa dan merasakan sebuah pri-
vilese: saya dihormati. Dengan tekad saya sendiri saya
berniat tak makan dan tak minum sejak dini hari hing-
ga senja; selama itu saya sadar bahwa akan ada saat-saat saya bisa
tergoda—tetapi saya selamat. Saya siap untuk terganggu, tetapi
lihat: saya tak boleh diganggu.
Privilese itu kini sudah seperti sesuatu yang semestinya. Demi
ibadah saya, yang saya niatkan sendiri, orang-orang lain tak bisa
pergi pijat karena selama sebulan semua panti pijat harus ditu
tup—meskipun ini bukan tempat yang mesum sama sekali—
dansekian ratus pemijat tidak mendapatkan penghasilan. Demi
ibadah saya, orang-orang lain tidak dapat minum minumanber-
alkohol selama kurang-lebih 30 hari, siang dan malam—meski
punmereka lazim melakukannya sebagai bagian dari hidup me
reka—karena bar tak boleh buka dan kalaupun ada restoran bu
ka, bir, anggur, wiski, konyak, vodka, dan lain-lain harus masuk
kotak.
Terkadang saya tak tahu apakah saya merasa bangga, atau ber-
syukur, atau merasa bersalah, ketika di mana-mana dipasang an-
juran: ”Hormatilah Orang yang Berpuasa”.
Tentu saja sikap menghormati adalah sebuah sikap yang bisa
datang dari hati yang ikhlas dan sukarela. Tapi sikap itu juga bisa
diperlihatkan khalayak ramai karena aturan pemerintah, para
ulama, atau tekanan lain yang menakutkan. Kita sekarang tidak
tahu yang mana yang menentukan. Jika ada polisi atau petugas
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 9 43
PUASA
44 Catatan Pinggir 9
PUASA
Catatan Pinggir 9 45
http://facebook.com/indonesiapustaka
46
Catatan Pinggir 9
GESTAPU
T
iap 30 September dan 1 Oktober kita teringat pembu
nuhan. Di tahun 1965-1966 itu, mula-mula sejumlah
jenderal, kemudian berpuluh ribu orang Indonesia yang
bukan jenderal dan tak bersalah bergelimpangan dibantai. Atau
disiksa.
Sejak itu, di tanah tumpah darah ini, kita begitu takut, pedih,
dan malu mengaku bersalah oleh keganasan itu. Semuanya kita
masukkan ke dalam sebuah kata, ”Gestapu”, seperti kita me
nyembunyikan sesuatu di dalam kotak. Kita gagap bila kita harus
mengenangnya.
Maka tiap 30 September dan 1 Oktober ada keinginan yang
saya kira terpendam di hati orang banyak: keinginan untuk mam-
pu mengenang horor itu, tapi juga berharap ia tak akan berulang.
Indonesia tak boleh lagi mengelola konflik lewat darah dan besi.
Keinginan itu tampak mudah dipenuhi setelah ”Orde Baru”
runtuh, setelah sebuah pemerintahan yang stabil—tapi bersandar
pada kapasitasnya membangun rasa takut—ambruk. Tapi segera
terbukti kita gampang terbuai ilusi. Prasangka rasial, rasa curiga
antarkelompok, kebencian, paranoia, dan waswas yang diperkuat
oleh agama seakan-akan malah bergelombang datang. Indonesia
nyaris habis harapan. Semuanya seakan-akan mesti berakhir de-
ngan membunuh.
Tapi mungkinkah ada sebuah lingkungan hidup bersama—
bisa disebut ”masyarakat”, ”komunitas”, atau ”bangsa”—yang
akan memilih khaos dan kekerasan sebagai satu-satunya cara ber-
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 9 47
GESTAPU
48 Catatan Pinggir 9
GESTAPU
Catatan Pinggir 9 49
GESTAPU
50 Catatan Pinggir 9
MYANMAR
K
au benar, Suu Kyi: keberanian bisa menular. Ia juga bi
sa menyentuh. Dunia kini tengah menyaksikan dengan
kagum deretan 10 ribu biarawan dan biarawati berju
bah merah berbaris dari Pagoda Shwegadon, menapak jalan-ja-
lan kota Yangoon. Telah sepuluh hari lamanya mereka utarakan
apa yang selama ini telah kau utarakan, mereka ucapkan apa yang
selama ini dibisukan: pemerintahan militer tak bisa diterima!
Myanmar tak bisa ditindas!
Mereka juga datang memasuki Avenue Universitas, mendekat
ke rumah tempat kau ditahan selama sebelas tahun. Seratus orang
polisi mencegah. Para biarawan itu mundur. Tapi akhirnya ada
yang juga mendekat. Orang-orang melihat kau muncul di jen-
dela. Kau melambai, menyambut mereka—dengan mata basah.
Aku ingin sekali berada di jalan itu, Suu Kyi. Tiap keberanian
untuk keadilan adalah cercah harapan—benda langka di zaman
yang sinis. Seperti berkah yang hilang, seperti wahyu yang sela-
lu tertunda. Tapi keberanian, biarpun sejenak, bisa menular, kau
pernah bilang. Aku tak heran ketika Aung Way, sang penyair, ke-
marin berkata, ”Besok banyak lagi yang akan serta!”
Hari ini, ada yang dihalau dari Myanmar. Tak akan banyak
lagi yang akan bilang: ”Kita semua hanya memikirkan diri sendi
ri.” Kau pernah katakan, rasa takut itu mengkorup jiwa, tapi ada
yang lebih jahat ketimbang itu, Suu Kyi: ketakpercayaan kepada
yang baik dalam diri sesama. Sinisme itulah yang membinasakan
kita.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 9 51
MYANMAR
ang luka itulah keadilan disebut sebagai hasrat yang kuat dan ke-
bebasan jadi pekik yang keras. Tanpa seorang pintar pun yang
mendefinisikannya.
Kau pasti tahu, dari pengalamanmu, sebuah rezim tak dengan
sendirinya rubuh di depan pekik itu. Tapi para jenderal itu—de-
ngan seragam mereka yang wagu tapi yakin—kini tak bisa lagi
mengatakan, ”Hai, kalian tak mewakili bangsa ini! Kamilah
yang mewujudkannya!” Kini ribuan jubah merah yang bergerak
itu adalah tanda kesekian dari zaman yang bergerak, dengan su-
ara yang menggugat: ”Tuan-tuan tidak mewakili kami! Burma
telah jadi sebuah jurang!”
Tapi tentu saja Myanmar bukan sebuah jurang yang walau
dalam tak punya udara lepas. Sebab bukan hanya protes seperti
itu yang kini jadi berarti, Suu Kyi. Di bawah teror bahasa yang
selama 45 tahun dikuasai koran resmi yang buruk, ucapan kecil,
ungkapan lucu, saling tatap yang muram, bahkan senyum diku-
lum—semuanya jadi bagian dari penolakan. Karena tiap frase di
Myanmar kini adalah klise, karena tiap klise adalah represi, dan
tiap represi membuat gagu. Yang ajaib ialah bahwa gagu itu men-
jalar tak sepihak. Para jenderal di podium itu ikut terkena: bahasa
mereka tak berbunyi lagi.
Aku ingat Zagana, komedian kota Yangoon yang selama ini
dibiarkan oleh rezim karena cemoohnya dianggap tak berbahaya.
Ia sebenarnya sudah lama membangkang, dengan ucapan-ucap
an lucu, mengejek, yang pintar. Tapi kini ia lebih dari kocak. Aku
dengar ia bilang akan menyediakan makanan dan minuman bagi
para pemrotes. Itu bukan isyarat sepele—sebab tentara telah me
nembak sembilan orang mati, ratusan biarawan disekap, bebera-
http://facebook.com/indonesiapustaka
52 Catatan Pinggir 9
MYANMAR
Catatan Pinggir 9 53
http://facebook.com/indonesiapustaka
54
Catatan Pinggir 9
ŠVEJK
H
ari itu 5 Oktober 1945. Tak seorang pun agaknya
yang ingat Švejk. Atau tak seorang pun di antara para
pemuda yang bertekad mendirikan angkatan perang
untuk Republik Indonesia yang baru berumur dua bulan itu yang
pernah membaca Švejk, Prajurit Baek.
Kita tahu kenapa. Waktu itu Indonesia sedang bertolak de-
ngan keyakinan seorang pemuda tanggung; ia belum tahu bahwa
banyak hal sebenarnya perlu diolok-olok—juga perkara yang mu-
lia dan luhur: tanah air, tuhan resmi, tentara nasional. Seingat
saya, Švejk, sebuah prosa yang penuh cemooh, baru dikenal di In-
donesia pada 1950-an, ketika Republik sudah mulai senyum ke-
cut dan novel itu diterjemahkan.
Karya satire Jaroslav Hašek ini terbit dalam bahasa Cek pada
1923. Inilah kisah Josef Švejk, seorang prajurit yang ikut dalam
Perang Dunia I—sebuah perang yang bagi Hašek bukan cuma
brutal, tapi juga sia-sia dan tak beralasan.
Agar mudah membayangkan sosok Švejk, kita lihat ilustrasi
Josef Lada yang menyertai novel ini sejak awal: si prajurit berumur
sekitar 40, tambun dan sedikit buncit perutnya, dengan hidung
yang mencuat seperti sosis goreng. Seluruhnya kaku. Alkisah, de-
ngan antusias ia mendaftarkan diri di dinas militer. Tapi ia begi
tu dungu sehingga tak jelas benarkah ia mau berjuang atau justru
hendak mengacaukan tentara Kerajaan Austro-Hungaria dari
dalam, saking pandirnya.
Ada situasi absurd dalam tiap novel ”picaresque”, dalam tiap
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 9 55
ŠVEJK
56 Catatan Pinggir 9
ŠVEJK
Catatan Pinggir 9 57
http://facebook.com/indonesiapustaka
58
Catatan Pinggir 9
PO KYIN
A
pati adalah produk samping kolonialisme yang menye-
babkan kemerdekaan dianggap keliru. Mungkin bukan
hanya penindasan orang asing yang jadi soal—melain
kankombinasi antara bedil, bui, dan bujukan yang efektif, sesu
atu yang dulu terjadi di Burma, dan sekarang terjadi lagi.
Saya teringat U Po Kyin. Lelaki berperut buncit dalam novel
Orwell Burmese Days ini memang tak mudah dilupakan: ia ada
lah kekejian yang turun ke bumi di sebuah negeri panas yang tak
bisa berharap. Ia menipu, ia memperkosa, ia merancang untuk
menghancurkan orang yang didengkinya, dan ia ingin memper
oleh semuanya—juga surga.
Novel ini dibuka dengan adegan ketika Po Kyin, hakim per
adilan rendah di Kota Kyauktada, Burma Utara, sedang duduk di
beranda rumahnya. Hari baru setengah sembilan pagi, tapi langit
warna biru laut yang segera mendatangkan tengah hari yang pan-
jang dan gerah. Tapi U Po Kyin, seperti patung dewa dari porse-
lin, tak bergeming.
Tubuhnya begitu gemuk hingga dalam umur 56 tahun itu ia
tak bisa bangkit dari kursinya tanpa ditolong. Kepalanya gundul,
raut mukanya luas, warna kulitnya langsat dan tak berkerut.
Tungkai kakinya tambun, dengan jari-jari yang rata panjangnya.
Ia mengenakan sarung longyi dari Arakan, bergaris-gars hijau
dan magenta, yang biasa dipakai orang Burma untuk acara tak
resmi. Mulutnya sibuk mengunyah gambir yang diambilnya dari
kotak kayu dipernis di meja dekatnya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 9 59
PO KYIN
60 Catatan Pinggir 9
PO KYIN
Catatan Pinggir 9 61
http://facebook.com/indonesiapustaka
62
Catatan Pinggir 9
PULANG
P
ulang adalah sepatah kata kerja yang bertuah. Berapa
juta manusia bersedia berdesak-desak, menanggung pa-
nas dan rasa tak nyaman dan risiko celaka, luka, dan ma
ti, dalam sebuah ritual raksasa tiap tahun yang disebut ”mudik”?
”Mudik”, sebagaimana ”pulang”, adalah pengertian ruang,
tapi juga waktu. ”Pulang” berarti kembali ke tempat asal, ke titik
di bumi dari mana aku berangkat, dulu.
Kini ritual itu kian dikukuhkan. Negara dan pasar menyesuai
kan langkah dengan gegap-gempita: jawatan perhubungan, dinas
kepolisian, perusahaan transportasi, pelayanan telepon.... Bila
para peneliti sosial kini bicara tentang orang Indonesia yang se-
makin konservatif, ”pulang” adalah salah satu indikasinya.
Pernah ”pulang”, gerak ke masa silam, tak dianggap sebagai
bagian dari zaman. Pernah hidup digerakkan gelora modernitas.
Pada tahun 1930-an, S. Takdir Alisjahbana, pelopor Pujangga
Baru itu, menulis sebuah sajak yang juga sebuah manifesto mo-
dernitas: temanya bukan pulang, melainkan pergi.
”Telah kutinggalkan engkau,” bisik Takdir kepada teluk te
duh tempat asalnya. Dalam sajak yang terkenal itu ia putuskan
untuk meninggalkan alam tenang yang dilindungi gunung. Sang
penyair memilih laut luas tanpa proteksi: ia bebas, sebab itu ia be-
rani menghadapi mara bahaya dalam ketakpastian cuaca.
Di masa itu, dalam semangat itu, ”pulang” adalah arus balik
ke tradisi. Tradisi mengandung tuntutannya sendiri. Modernitas
adalah pembangkangan: ada anak yang hilang.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Tentu ada juga luka. Tentu ada rasa bersalah ketika seorang
anak tak hendak kembali dan ada rasa sakit ketika seutas akar di
lepaskan. Tapi ”tak-pulang” adalah kondisi zaman. Bila pulang
kini jadi ritual, dulu pergi adalah sebuah ritus. Hanya seorang
Catatan Pinggir 9 63
PULANG
64 Catatan Pinggir 9
PULANG
Catatan Pinggir 9 65
PULANG
66 Catatan Pinggir 9
SEPATU TUA
R
endra menulis Sajak-Sajak Sepatu Tua: jika ada hu
bungan yang intim dan mendasar antara seseorang de-
ngan sepetak tanah—dan hubungan itu tumbuh jadi
puisi—kita menyaksikan sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh
kapitalisme.
Kapitalisme akan mengubah petak tanah itu jadi ruang yang
bisa dipertukarkan. Setelah itu, atau berbareng dengan itu, di
konsumsi. Konsumsi adalah laku menghabisi. Si petak tanah
mengalami proses seperti nasi tumpeng: ia mempunyai sesuatu
yang indah ditata dan diberi makna simbolik, tapi setelah itu
akan berubah jadi santapan, benda yang siap dikunyah dan dite
lan. Mengkonsumsi adalah membikin ludes.
Sepatu tua yang menemani kakiku bertahun-tahun, yang be
gitu kenal dengan raut telapak dan jariku, yang merupakan bagi
an pengalaman hidupku, oleh kapitalisme akan dianggap sebagai
sesuatu yang mendekati habis. Kata ”tua” akan menjadi sama de-
ngan ”bekas”: sepasang sepatu yang aus, perlu dibuang, dan harus
diganti dengan yang baru.
Dalam arti tertentu, kapitalisme memisahkan hampir segala
hal. Dengan memberi harga, kekuatan modal dan pasar bisa
membelah sepetak tanah dan sepasang sepatu ke dalam nilai gu
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 9 67
SEPATU TUA
sejarah tubuh dan kenanganku. Ia, sebagai bekas, akan jadi ben-
da yang tak perlu disimpan. Ia hanya elemen dalam perputaran
perdagangan, termasuk perdagangan di pasar loak.
Pemisahan seperti itu yang menyebabkan sebuah komoditi
jadi semacam hewan korban. Dipisahkan dari statusnya sebagai
sesuatu yang unik, yang singular, ia bisa dipertukarkan dengan
sesuatu yang datang dari yang tak tampak. Dalam agama, ia dise-
but ”rahmat Tuhan”; dalam kapitalisme ia disebut ”harga” yang
ditentukan oleh ”tangan yang tak terlihat.”
Maka ada benarnya ketika Walter Benjamin, dalam salah satu
karyanya yang diterbitkan setelah ia meninggal, melihat kapital-
isme sebagai agama. Yang dikatakan Agamben dalam Profana
tions (Zone Books, 2007) tentang perkara ini membuat saya me
mikirkan kembali satu segi agama dan kapitalisme yang dapat
membuat mereka bergandengan—gejala yang kini tampak di
mana-mana.
Agama, dalam arti yang dikenal di bahasa Barat, bukan ber-
asal dari kata religare, sesuatu yang mengikat dan menyatukan
yang insani dengan yang ilahi. Menurut Agamben, asal kata reli
gio adalah relegere, yang mengacu kepada sikap penuh hati-hati
dan cermat yang harus kita miliki ketika berhubungan dengan
para dewa. Harus ada kekhusyukan yang waspada di depan ben-
tuk dan formula, yang harus ditaati ketika kita memisahkan ma
na yang sakral dan mana yang profan. Religio bukan menyatukan
manusia dan dewa, melainkan meneguhkan bahwa masing-ma
singterpisah jelas.
Sebab itu, kata Agamben, yang menentang agama bukanlah
sikap tak beriman kepada yang ilahi, melainkan sikap abai, atau
http://facebook.com/indonesiapustaka
perilaku yang bebas dan tak terpaku oleh pemisahan itu. Melaku-
kan sesuatu yang profan, kata Agamben, berarti membuka ke-
mungkinan untuk sikap yang acuh tak acuh, atau lalai terhadap
pemisahan antara yang sakral dan yang tidak.
68 Catatan Pinggir 9
SEPATU TUA
Namun saya kira ada yang dilupakan Agamben: apa yang ter-
jadi setelah pemisahan. Seperti saya sebut di atas tentang pemi
sahan yang terjadi oleh kapitalisme, ada penindasan yang satu
oleh yang lain. Demikianlah nilai guna ditindas oleh nilai tukar,
dorongan kreatif didesak oleh dorongan produktif, apresiasi atas
satu barang ditenggelamkan oleh konsumsi yang membuat ba-
rang itu ludes dan terbuang.
Dalam agama, perpisahan antara yang insani dari yang ilahi
akhirnya juga dicoba dilenyapkan ketika kehidupan yang profan
dicengkeram oleh gairah untuk membuat semuanya jadi wilayah
Tuhan, ketika ”kota manusia” hendak dilindas oleh ”kota Tu-
han.”
Itu sebabnya para dewa atau Tuhan ”cemburu”, dalam pe
ngertian Perjanjian Lama dan sajak Amir Hamzah, ketika manu
sia abai. Atau ketika ia lebih akrab dengan sebuah benda, atau se
petak tanah dan segala yang dianggap tak layak menyaingi-Nya.
Seperti halnya kapitalisme tak akan dengan mudah membiarkan
benda-benda tak dipertukarkan, bebas lepas dari harga, uang,
dan proses komodifikasi.
Tapi akan menyerahkan manusia? Mungkin ya—tapi tak se
lamanya. Terutama jika ia menemukan cara membebaskan hal ih-
wal melalui apresiasi yang tanpa perhitungan—lewat permainan,
misalnya, atau lewat puisi, dan keakraban dengan pengalaman
yang datang dari hidup. Dengan kiasan Rendra, lewat sajak-sajak
sepatu tua: sesuatu yang tak kekal, tetapi lebih berarti ketimbang
mati, sesuatu yang tak berguna dan bisa dibuang, tetapi tak akan
bisa dicampakkan. Sesuatu yang bisa bertahan dari keangkeran
agama yang merengkuh ke mana-mana dan mampu mengelak-
http://facebook.com/indonesiapustaka
kan desakan kekuatan yang disebut pasar yang menjerat apa saja.
Suatu sikap abai, tapi bisa mengembalikan apa yang bermakna.
Catatan Pinggir 9 69
http://facebook.com/indonesiapustaka
70
Catatan Pinggir 9
KRESNA
D
I lereng selatan Himalaya itu malam ketakutan—dan
pangeran dari Dwarawati itu merasakan suasana itu be-
gitu ia tiba. Di bawah bulan yang jadi kusam, bahkan
ular ikut menyembunyikan diri di bawah batu-batu karang yang
menjorok melampaui tebing. Tak ada cerah yang tersisa, rasanya.
Deretan pertapaan hancur; begitu brutal tentara Raja Boma
memporakpandakan wilayah itu. Di tepi hutan, ladang-ladang
telah binasa bersama benih kering yang tertanam di antara pema-
tang. Ilalang hangus, rata. Sebuah padepokan yang asri musnah;
dindingnya tak berbekas. Hari-hari murung. ”Dan di pohon-po-
hon beringin, capung pun bertangis-tangisan sedih ditinggalkan
oleh mereka yang mencintai keindahan.”
Itulah kalimat penyair penggubah Bhomantaka, puisi naratif
Jawa Kuno yang ditulis di abad ke-12. Diterjemahkan oleh A.
Teeuw dan S.O. Robson, puisi yang terdiri dari 118 canto ini me
ngisahkan perang antara pasukan Kresna dan balatentara Raja
Boma yang menyerbu dan merusak pusat-pusat pertapaan di se
kitar Dwarawati.
Syahdan, tak lama setelah para pertapa datang meminta per
lindungan, Kresna pun mengirimkan Samba, putra mahkota, ke
wilayah yang kena gempur. Canto 7 yang saya kutip di atas adalah
adegan ketika Samba dan pasukannya tiba.
Perang yang segera terjadi melawan pasukan gergasi Raja Bo
ma itu memang dahsyat, dengan ribuan gajah, kuda, dan manu-
sia bertabrakan. Di mana-mana leher putus tertebas, perut robek,
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 9 71
KRESNA
72 Catatan Pinggir 9
KRESNA
Catatan Pinggir 9 73
KRESNA
apa-apa, dan [sebab itu] aku harus jadi segalanya.” Dari situasi
ketiadaan itulah perjuangan ke pembebasan dimulai, tapi bukan
pembebasan untuk satu kelas semata, melainkan untuk hilang-
nya semua kelas sebagai perumus identitas.
Dalam Bhomantaka, ada sebuah nasihat Patih Uddawa yang
didengarkan Kresna: ”Jangan bersikukuh ketika si lemah datang
kepada Paduka.” Maka mantan raja Druma, yang tak punyaapa-
apa lagi, pun dipilih untuk dibebaskan dari kematian. Sebab si le-
mah, si ”bukan apa-apa”, mengingatkan kita bahwa jika ada yang
universal dalam manusia, itu adalah karena ia bisa hadir sebagai
”segalanya”. Ia tak hanya sebagai wakil satu satuan yang akan se-
lama-lamanya dirumuskan oleh kubunya sendiri.
74 Catatan Pinggir 9
MACET
J
alan raya adalah sejarah politik.
Di Indonesia, cerita ini dimulai di tahun 1808. Untuk per
siapan perang, Daendels membangun ”jalan raya pos” se
panjang 1.000 kilometer antara Anyer di Jawa Barat dan
Panarukan, kemudian disambung sampai Banyuwangi di Jawa
Timur. Ia, seorang opsir tinggi kerajaan Prancis, yang diangkat
Maharaja Louis Bonaparte untuk memegang kekuasaan di Jawa,
berencana membuat infrastruktur militer buat memperlancar
gerak pasukan. Ia harus menghadapi serbuan Inggris.
Dengan tangan besi, Daendels memaksa agar proyek itu ram-
pung dalam setahun. Ribuan orang di Pulau Jawa mati karena di-
kerahkan untuk kerja rodi. Pemberontakan timbul tapi ditindas.
Kita tak akan melupakan kekejaman itu—seraya memanfaatkan
hasilnya. Jalan yang disebut Daendels La Grande Route itu kini
sebuah monumen tentang kekuasaan yang efektif dan brutal.
Jalan raya adalah sejarah politik dan kebrutalan. Di sanalah
kekuasaan dikukuhkan, seperti dilakukan Daendels dan para pe
nguasa di abad ke-20 dan 21. Tapi di sana pula kekuasaan disang-
gah. Di tahun 1966, di Jakarta, para mahasiswa ”turun ke jalan”,
sebuah istilah yang kini masuk ke kamus politik Indonesia, dan
sejak itu aksi yang serupa berkali-kali terjadi, menjatuhkan rezim
Soeharto, menggagalkan rancangan undang-undang ini dan itu.
Selamanya dengan korban: ada yang mati ditembak, remuk dipu-
kuli, ada bangunan yang dirusak.
Ketika kota bertambah penting dalam percaturan politik, ja-
http://facebook.com/indonesiapustaka
lan raya jadi arena tersendiri. Di sana mereka yang ingin meng
ubah kehidupan menemukan pengeras suara alternatif, ketika fo-
rum yang tersedia (parlemen, mahkamah, media) tak punya sam-
bungan lagi dengan orang ramai.
Catatan Pinggir 9 75
MACET
Tema ini tak cuma ada dalam cerita Indonesia. Sejak jatuh-
nya monarki di Mesir, sejak Nasser memimpin, di Timur Tengah
para analis politik selalu memasang radar mereka ke arah ”the
Arab Streets”. Kata ”streets” di sini sama dengan ruang tempat rak
yatberdesak-desak, bersua, bertemu, mendengar, bicara, bergem
bira,marah, benci, tentang segala sesuatu yang menyangkut nege
ri mereka, bangsa mereka, kelas mereka. Mereka tak membentuk
partai, tak berwujud ”NGO”. Tapi mereka sebuah faktor yang
tak dapat diabaikan. Di Arab Streets, tak ada tempat bagi para po
litikus di parlemen yang bukan dipilih, juga bagi kepala negara
yang kehilangan legitimasi. Revolusi bisa meletus dari kawahnya.
Sejarah politik tentu saja tak hanya terdiri dari kejadian yang
gemuruh dan spektakuler. Asef Bayat mengamati satu gejala da
lam politik Iran yang tak banyak dilihat. Dalam Street Politics:
Poor People’s Movements in Iran (terbit di tahun 1997), ia menye
butnya the quiet encroachment of the ordinary. Dalam uraian Ba
yat, proses itu tak punya dampak politik yang langsung. Tapi ma-
suknya kaum miskin dari pedalaman ke Teheran, yang sering tak
mendapat tempat dalam lapangan hidup dan percakapan, diam-
diam adalah sebuah perubahan tersendiri. Para penguasa yang
di atas tak dengan sendirinya guyah. Tapi di bawah, tulis Bayat,
”praktek yang sehari-hari dan bersahaja itu mau tak mau akan
beralih ke ranah politik.”
Saya ingat sebuah esai pendek Orhan Pamuk setelah ia ber
kunjung ke Teheran. Ia menyewa mobil dengan seorang sopir. Di
tengah lalu lintas yang kacau itu si sopir mengeluh di kota itu se
mua orang tak patuh aturan. Tapi tak urung ia sendiri kemudian
melanggar hukum dengan memotong jalan, sebuah laku yang
http://facebook.com/indonesiapustaka
terlarang.
Begitulah, kata Pamuk, di arus lalu lintas Teheran itu justru
”kehadiran agama” paling terasa: tiap kali ribuan orang tak me-
matuhi hukum, tiap kali mereka berhadapan dengan para aya
76 Catatan Pinggir 9
MACET
Catatan Pinggir 9 77
MACET
78 Catatan Pinggir 9
BENDERA
S
urabaya, 19 September 1945.
Di hotel dengan gaya art deco yang elegan dari masa sebe-
lum perang itu, sebuah tim Anglo-Dutch Country Section
menempati kamar No. 33.
Di jalanan, juga di Jalan Tunjungan itu, Surabaya serak oleh
suara kemerdekaan. Republik Indonesia baru berdiri, dengan
bangga, yakin, nekat, cemas. Ini revolusi, Bung, kita tak akan
biarkan kolonialisme kembali! Surabaya mendengus siap perang.
Sebuah transisi besar terasa tegang sampai ke saraf kaki.
Bisa diduga kenapa tim yang terdiri atas sekitar 20 orang asing
itu ada di sana. ADCS adalah organisasi intelijen gabungan Ing-
gris-Belanda yang berpusat di Kolombo, Sri Lanka. Kamar No.
33 hotel itu jadi kantor mereka untuk beroperasi. Mereka harus
bekerja agar Indonesia tak lepas dari kekuasaan Belanda.
Ada yang simbolik dari hotel yang kini bernama ”Majapahit”
itu. Saya coba bayangkan hari itu perasaan orang-orang Belanda
yang ada dalam Kamar No. 33. Ketika mereka datang, hotel yang
dibangun di tahun 1910 oleh Lucas Sarkies, orang Armenia, itu
telah berubah nama; sampai tahun 1943, namanya ”Oranje”. Ke-
mudian Jepang datang, pemerintahan Hindia Belanda bertekuk
lutut, dan hotel itu jadi ”Yamato”—yang juga markas tentara.
Militer Jepang telah mengambil alih semuanya, juga nostalgia.
Dan ketika di bulan September 1945 Jepang tak berkuasa lagi,
”Nederlandsche Indie” juga sudah tak ada. Di mana-mana ter
dengar pekik ”Merdeka”, dan ribuan orang siap mati untuk ke-
http://facebook.com/indonesiapustaka
merdekaan itu.
Saya bayangkan perasaan orang-orang Belanda itu: mereka
tak hendak ditampar ketiga kalinya oleh sejarah. Maka pagi-pagi
sekali, pukul enam, di atas hotel itu (ingat, namanya ”Oranje”!),
Catatan Pinggir 9 79
BENDERA
80 Catatan Pinggir 9
BENDERA
Catatan Pinggir 9 81
BENDERA
82 Catatan Pinggir 9
BOLONG
H
arapan menggerakkan kita dengan bahasa yang tak
jelas. Seakan-akan di sekitarnya ada sebuah lubang ver-
bal—bolong yang diterobos oleh sesuatu yang tak ter-
katakan. Seperti yang terjadi pagi itu, 18 Desember 1989, di kota
Timisoara di Rumania sebelah barat, dekat perbatasan negeri itu
dengan Yugoslavia.
Peristiwa ini dimulai dengan keputusan pemerintahan Presi
den Ceauşescu untuk mengusir seorang pendeta asal Hungaria
yang telah bicara terus terang tentang keburukan kediktatoran
Rumania. Ia tampaknya seorang rohaniwan yang dicintai jemaat
nya,hingga hari itu mereka berkumpul di sekitar apartemennya,
berjaga agar bapak pendeta tak digusur dengan kekerasan.
Berangsur-angsur, banyak orang yang bergabung. Yang mere-
ka dengar ialah bahwa rezim komunis yang bertakhta di Bukares
itu sekali lagi bermaksud membatasi kemerdekaan beragama. Sa
tu kelompok besar manusia pun berhimpun—suatu hal yang tak
pernah terjadi sebelumnya di Rumania. Mereka berharap, meski
pun tak jelas berharap apa.
Dalam beberapa jam, polisi dan pasukan agen rahasia Securi
tate sudah mengepung tempat itu. Tapi tahun 1989 adalah tahun
perubahan besar di Eropa Timur. Kurang sebulan sebelum protes
di Timisoara itu, Tembok Berlin runtuh, dan sejak 9 November
satu demi satu kekuasaan Partai Komunis guncang atau rontok.
Perlindungan Uni Soviet tak diberikan lagi kepada para penguasa
yang dibenci rakyat itu. Tapi pemerintahan Ceauşescu tak me-
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 9 83
BOLONG
84 Catatan Pinggir 9
BOLONG
Catatan Pinggir 9 85
BOLONG
86 Catatan Pinggir 9
HIJAU
D
I dunia yang letih, orang mengutip sajak Federico Gar-
cia Lorca yang masyhur itu:
Catatan Pinggir 9 87
HIJAU
ada yang bergerak berubah dalam diri anda. Rasanya seperti mena
rik napas dalam-dalam dan berbisik, ’Ah, ya, aku telah lupa semua
ini’.”
88 Catatan Pinggir 9
HIJAU
Catatan Pinggir 9 89
HIJAU
90 Catatan Pinggir 9
MINORITAS
S
ederet tubuh hitam berbaring di pentas, berbaris, ber
gerak—terkadang seperti patung kayu dari Asmat, ter-
kadang seperti adegan sehari-hari di sebuah distrik Papua,
terkadang seperti sederet totem dalam warna gelap betutul-tutul
putih yang mobil, bergeser, menggedrukkan kaki, tarik-menarik,
berpindah-pindah. Koreografi Jacko Siompo, penata tari kelahir
an Sorong, entah kenapa diberi nama In Front of Papua; yang pas
ti ia memikat kita: sederet anekdot yang menyambut hidup da
lam kontras dan keserempakan, gabungan antara yang jenaka
dan yang sayu, antara yang biasa dan yang tak diduga, mungkin
sebuah parodi, mungkin juga sebuah nostalgia.
Ragam geraknya, yang cenderung dekat rendah ke bumi, de-
ngan tangan dan kaki ditekuk seperti menirukan kanguru, se
akan-akan mengingatkan kita akan sebuah dunia sebelum manu
sia dipisahkan dari alam oleh pelbagai ambisi dan lagak.
Sebuah ekspresi khas Papua? Memang ada ”warna lokal”, tapi
pada akhirnya yang penting bagi sebuah koreografi yang kuat bu-
kanlah mencerminkan sebuah identitas, ”daerah” atau ”nasio
nal”, ”tradisional” ataupun ”modern”, melainkan bagaimana
membuat sebuah karya mencengangkan.
Salah satu kekuatan yang lahir dari karya seni justru bukan
untuk mengukuhkan identitas, melainkan menunjukkan ada
yang hidup: sesuatu yang tak dapat dirumuskan jadi identitas—
apa yang disebut oleh Adorno sebagai ”non-identitas”.
Pikiran itu terlintas di kepala saya, ketika sehabis menyaksikan
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 9 91
MINORITAS
kan kata itu buat orang Papua, ataupun sebuah suku kecil sekali-
pun di pulau itu. Tapi saya kira saya tahu mengapa orang ini ber
tanya demikian. Seperti kebanyakan orang Singapura, ia terbiasa
hidup dengan ruang yang tak bersentuhan langsung dengan
alam. Ia mudah melihat ekspresi yang ”primitif”, ”eksotik”—
yang praktis tak ada di London atau New York—sebagai sesuatu
yang terpencil, ganjil, dan nyaris hilang. Modernitas ada di ma-
na-mana; yang beda dari itu adalah ”minoritas”.
Aneh juga kata itu sebetulnya. Di Indonesia ia biasa menandai
mereka yang berdarah Cina, atau Arab, atau Eropa, atau India—
seakan-akan sebuah klasifikasi biologis, tapi yang tak pernah
digugat dengan pertanyaan dasar: mengapa klasifikasi penting?
Dan mengapa berdasarkan ras?
Memang, orang telah lama mengenal perbedaan warna kulit
dan corak hidung yang berbeda-beda. Kita misalnya melihatnya
dalam wayang kulit: ada sosok sabrangan yang besar dan kasar
dan ”raksasa” yang gempal dan bundar, yang berbeda dengan ra
ut wajah dan bentuk tubuh para Pandawa dalam Mahabharata
dan Rama dan Leksmana dalam Ramayana.
Tapi menata wayang—dengan pakem yang tetap—tak sama
dengan menata manusia. Menata manusia adalah obsesi kekuasa
an politik. Klasifikasi penduduk adalah keputusan sebuah sistem
yang mau membereskan hal ihwal, mau menguasai dan meng
arahkan. Saya kira David Theo Goldberg benar (di tahun 2002 ia
menerbitkan The Racial State) ketika ia menunjukkan bahwa ka
tegori ”ras” lahir sebagai modus untuk mengelola krisis, mengelo-
la apa yang dibikin sebagai ancaman, serta mengekang dan meng
asingkan ”tantangan dari apa yang tak diketahui”, the challengeof
http://facebook.com/indonesiapustaka
the unknown.
Demikianlah administrasi Hindia-Belanda datang dengan
klasifikasi—sebagaimana layaknya sebuah bangunan modern di
kancah yang begitu beragam, yang terasa sebagai khaos dan ke
92 Catatan Pinggir 9
MINORITAS
Catatan Pinggir 9 93
MINORITAS
94 Catatan Pinggir 9
RAKUS (1)
A
pa yang bisa membebaskan kita dari keserakahan?
Malam itu saya duduk di antara 800 penonton konser
penghormatan buat kedua pemenang Hadiah Nobel
Perdamaian 2007 di Balai Konser Spektrum, Oslo. Di panggung
yang terang, Al Gore berdiri berdampingan dengan Rajendra Pa
chauri, Ketua Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim
(IPCC).
Orang India berumur 67 tahun itu tak banyak dikenal sebe
lumnya. Rambut dan janggutnya memanjang, dan dibiarkan pu-
tih secercah di sebelah kiri, hingga raut mukanya angker. Dalam
upacara pemberian Hadiah Nobel malam sebelumnya di Balai
Kota Oslo ia mengenakan jas tutup dengan saputangan hijau ter-
sisip di saku, dan berpidato dengan nada membosankan. Kini, di
panggung Spektrum itu, ia bisa lucu: ”Kolega saya hanya menge
nal saya dengan nama julukan ’Pachi’, tapi sekarang, berkat ha
diah Nobel, mereka tahu nama saya ’Pachauri’.”
Ia tampak lebih kharismatik ketimbang Al Gore, dan lebih
mampu menggugah hati. Di panggung itu, di antara hiasan dua
lengkung besar bak gading raksasa yang terkadang menyala ge-
merlap oleh ribuan watt tata lampu, Pachauri mengutip Gandhi:
”Yang disediakan bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan tiap
orang, tapi tidak untuk memenuhi keserakahan tiap orang.”
Saya tak tahu apakah kata-kata itu bakal punya efek. Konser
itu menenggelamkan suara lain, apalagi yang khidmat. Di balai
besar itu yang hadir adalah gerak dan lagu Kyle Minogue, Alicia
http://facebook.com/indonesiapustaka
Keys, Earth Wind & Fire, Annie Lennox, Melissa Etheridge (”I
need to Wake Up,” dalam film An Inconvenient Truth), dan pang-
gung tampil gembira, gemerlap, gemuruh dengan gitar listrik dan
perkusi.
Catatan Pinggir 9 95
RAKUS (1)
nyatak tergerak oleh rasa iri (mereka sudah ada di puncak) atau
oleh rasa cemas akan kelangkaan (mereka sudah berlebih) kecuali
kalau mereka sedikit sakit jiwa dan ingin membeli juga masa de-
pan.
96 Catatan Pinggir 9
RAKUS (1)
Catatan Pinggir 9 97
RAKUS (1)
98 Catatan Pinggir 9
LANGKA
P
ada mulanya bukanlah Langka. Tiap ekor hewan yang
mati disembelih untuk korban adalah lambang pemberi
an yang tak hendak dibalas. Ibrahim bersedia membu
nuhanak yang dicintainya untuk Tuhan yang tak diharapkannya
memberi sesuatu. Di hari itu Tuhan tak berjanji apa-apa. Dan
seandainya pun ada kontrak bahwa pengorbanan itu akan men
dapatkan imbalan, akankah itu punya arti bagi Ibrahim, setelah
anak itu mati?
Pengorbanan adalah ”memberi”. Di dalamnya, waktu tak ter-
ulangi. Seperti yang dilakukan Ibrahim, kata kuncinya adalah
”ikhlas”. Tak ada pengharapan akan adanya pembalasan kelak.
Baginya, tak ada ”kelak”. Waktu tak diperlakukan sebagai ling-
karan dengan ujung yang akan bertaut kembali. Seperti dikata
kan Derrida, bila waktu-sebagai-lingkaran amat penting dan me-
nentukan, pemberian akan jadi sesuatu yang ”mustahil”. Yang
terjadi adalah pertukaran antara jasa dan jasa atau jasa dan benda.
Kapitalisme membuat pertukaran jadi paradigma. Sumbang
an besar Marcel Mauss dengan telaah antropologinya dalam Essai
sur le don di tahun 1925 adalah melihat bahwa dalam kehidupan
bersama ada proses lain yang penting: ”memberi”.
Dalam pemberian, benda berpindah tangan tanpa berdasar-
kan kontrak. Tersirat dalam kontrak adalah pembatasan: dalam
kepercayaan, dalam solidaritas, dalam waktu. Ketika kita ”mem
beri”, batas itu tak ada. Waktu dihayati sebagai sesuatu yang tak
melingkar, malah lepas tak terhingga. ”Memberi” mengandung
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 9 99
LANGKA
Mungkin, tapi entah kapan. Uang, seperti kata Lietaer, telah ja
di sebuah cincin besi yang dipasang di cuping hidung manusia,
dan menyeret manusia ke mana saja—juga ke arah menajamnya
Langka dan kehancuran sosial.
Catatan Pinggir 9
2008
103
http://facebook.com/indonesiapustaka
104
Catatan Pinggir 9
BHUTTO
S
ejarah apakah ini, yang dicatat Rawalpindi? Beberapa
menit setelah pukul 5.30 sore 27 Desember 2007 itu, se
orang lelaki kurus membunuh Benazir Bhutto yang baru
selesai berpidato di rapat umum di Taman Liaquat Bagh. Tokoh
politik itu sudah duduk dalam mobil tapi menjulurkan kepalanya
ke luar kap atap. Sebuah bom meledak. Ia rubuh. Dengan cepat
mobil membawanya ke rumah sakit umum kota itu. Pada pukul
6.16, ia tak bernyawa lagi.
Ledakan bom itu menewaskan sekitar 30 orang. Kelimun
orang itu histeris.
”Semoga Tuhan menjaga keselamatan Pakistan.”
Itu kata-kata terakhir seorang pemimpin lain, di tahun 1951.
Dia Liaquat Ali Khan, perdana menteri pertama. Ia juga tewas,
ditembak, setelah berpidato di taman yang sama—sebuah alun-
alun yang kemudian dikekalkan dengan namanya.
Jika kata-kata terakhirnya sebuah doa, maka doa itu tak dika-
bulkan Tuhan agaknya. Di pagi hari 4 April 1979, tak jauh dari
taman itu, di penjara Rawalpindi, Zulfikar Ali Bhutto, ayah Be
nazir, bekas presiden dan perdana menteri, digantung mati oleh
pemerintahan militer Jenderal Zia ul-Haq, dengan tuduhan ia
telah membunuh seorang lawan politiknya....
Sejarah apakah ini, yang dicatat di Rawalpindi?
Benazir dibunuh: keluarga Bhutto adalah tragedi Pakistan.
Tiga dari empat anak Zulfikar dengan istrinya, Nusrat, tewas. Di
tahun 1985, Shanawaz, si putra bungsu, ditemukan mati di Ri
http://facebook.com/indonesiapustaka
bel ”Islam” telah menutupi apa yang najis dan menakutkan itu—
juga menyembunyikan yang retak. Bertahun-tahun orang hidup
dengan ideologi ”keutuhan” itu. Akhirnya adalah kekerasan—
atau ledakan amarah yang mencoba menolak apa yang tak bisa
ditolak, bahwa ”Islam” dan ”Pakistan”, (ya, bahkan ”Bhutto”),
adalah nama tentang sesuatu yang tak pernah utuh.
”Semoga Tuhan menjaga keselamatan Pakistan”—dan berka-
li-kali pembunuhan terjadi di Rawalpindi.
T
ahun adalah cermin. Di depannya, setiap sehabis 31
Desember, akan saya lihat: guratan umur makin keras.
Keriput makin banyak. Pori-pori kulit membesar. Ram-
but rontok.
Dan waktu kembali jadi angka: jika tahun ini kau rayakan
ulang tahun ke-50, atau ke-60, atau lebih, kita tahu jangka waktu
hidup yang sama tak akan tercapai lagi. Ujung jalan itu sudah
tampak.
Dalam arti itulah masa depan jadi lebih tertentu: hidup akan
berakhir. Saya pasti tak akan menyaksikan 7.000.000 batang
muda yang ditanam tahun lalu tumbuh jadi pohon tinggi dan
rimbun, seperti deretan pokok asam dan mahoni di tepi jalan di
kota saya masa kecil. Saya tak akan melihat tanah air kaya kembali
dengan hutan tropis yang lebat. Saya pasti tak akan merasakan ja-
lan-jalan tak lagi macet, polusi udara berkurang karena bensin
tak lagi dipakai, dan bulan tak kusam ketika malam purnama,
dan di Jakarta, di ibu kota, sesuatu yang lebih manusiawi hadir
bahkan di rumah sakit umum, di penjara, di kaki lima, dan mu-
seum dan teater dikunjungi, bangunan baru terawat dan bangun
an lama selesai dipugar, dan stasiun kereta api gaya Art Deco di
wilayah Kota yang sudah lama tak terawat itu mempesona kem-
bali. Ya, banyak sekali yang pasti tak akan saya alami.
Tapi siapa yang dapat mengatakan, hal-hal indah itulah yang
akan terjadi. Bagaimana bila sebaliknya? Bagaimana jika kelak
ribuan dusun dan kota hilang tenggelam oleh laut yang mengge
http://facebook.com/indonesiapustaka
legak karena kutub utara jadi cair? Bagaimana jika yang terjadi
adalah bentrokan berdarah yang tak henti-hentinya, karena ma-
syarakat jadi amat timpang antara kaya dan miskin, dan sumber-
sumber alam kikis, dan orang marah kehilangan rasa keadilan?
Ketika aku jadi kaku, ketika kematian itu datang, itu adalah
”ketika” yang probabilitasnya praktis 100 persen. Tapi tak urung,
ada kemungkinan yang menakjubkan akan terjadi: ”topan ajaib”
yang ”menggulingkan gundu, memutarkan gasing...”.
Bahwa kita bisa merasakan yang ajaib itu sebetulnya sebuah
keajaiban tersendiri. Bahwa kita bisa menghayati, bahkan meng-
hasilkan, sesuatu yang tak disangka-sangka, itu menunjukkan
betapa hidup tak semuanya buah sebab dan akibat, tapi juga ke
jutan demi kejutan.
Determinisme selamanya meleset. Ada yang dalam filsafat ki
ni disebut sebagai ”kejadian”, setidaknya semenjak Heidegger me-
nyebutnya sebagai Eregnis: sesuatu yang terjadi di luar hubungan
kausal. Seperti ketika sederet nada muncul dalam sebuah kompo
http://facebook.com/indonesiapustaka
kau, bukan oleh satu titik yang kukuh di ujung sana dari sebuah
garis lurus. Tak ada garis lurus. Kita tak tahu dari mana sajak
Chairil, komposisi Cornel Simanjuntak, dan kanvas Zaini mulai.
Semuanya ”kejadian”. Itu sebabnya dalam pemikiran Deleuze,
”kejadian” sama saja maknanya dengan ”penciptaan”.
Maka tahun tak hanya ibarat cermin tempat kita berkaca me-
lihat proses keuzuran. Tahun juga sebuah tanda waktu yang tak
sempurna, ”titimangsa” yang hanya satu sisi.
Sebab—jika kita teruskan meminjam uraian Deleuze (yang
mengembangkan buah pikir para filosof sebelumnya)—ada wak-
tu sebagai Chronos, ada waktu sebagai Aion. Yang pertama adalah
waktu yang merupakan satu rangkaian ”kini” yang bisa diukur,
diingat, dan disusun sebagai urutan. Yang kedua adalah waktu
kreatif, waktu ”kejadian”, waktu kejutan. Dikatakan secara lain,
itulah ”waktu yang copot dari sendi”, time out of joint, untuk me-
makai kata-kata Hamlet kepada sahabatnya, Horatio, setelah (de
mikianlah tersebut dalam lakon Shakespeare) hantu ayahnya da
tang memberi tahu rahasia yang mengerikan di takhta Denmark.
Waktu yang ”copot dari sendi” memang terasa mencemaskan.
Tapi rasa cemas itu tak melumpuhkan manusia. Dalam waktu
sebagai Aion, manusia seakan-akan terlontar. Ia mengalami kebe
basan dari hukum sebab dan akibat, tapi dengan itu ia masuk
di momen ”kejadian”. Seperti nada B minor yang muncul dalam
harmoni, ”kejadian” tak berlangsung dalam waktu yang sudah
disusun; ia justru membuka waktunya sendiri. Bahkan pada
akhirnya ”kejadian” atau ”penciptaan” tak bisa selamanya berada
dalam harmoni. Deleuze melukiskannya dengan membanding-
kan musik Baroque dan neo-Baroque: sebuah peralihan dari pe-
http://facebook.com/indonesiapustaka
B
ento dilaknat dan dicampakkan ketika ia baru ber
umur24. Hari itu, 27 Juli 1656, majelis para rabbi di Si
nagoga Amsterdam memaklumkan bahwa anak muda
itu, yang pernah jadi murid yang pandai dalam pendidikan aga
ma,dibuang dari kalangan Yahudi, dari ”bangsa Israel”, karena
pendapat dan perbuatannya yang dianggap keji.
Pengumuman hukuman itu dibacakan dengan angker. Dari
mimbar kata demi kata dilafalkan, seraya terompet besar yang
meratap menyela sesekali. Sinagoga yang terang itu pelan-pelan
suram. Lampu satu demi satu dimatikan, sampai akhirnya se
muanya padam dan ruang jadi gelap: lambang kematian cahaya
rohani dalam diri orang yang dikutuk.
”Terkutuklah ia di hari siang dan terkutuklah ia di hari ma
lam. Terkutuklah ia ketika ia berbaring dan terkutuklah ia ketika
ia bangun. Terkutuklah ia bila ia keluar dan terkutuklah ia bila
masuk.” Dan kalimat terakhir keputusan para sesepuh Dewan
Eklesiastik itu berbunyi: ”... Tuhan akan mencoret namanya dari
kehidupan di bawah Langit.”
Kalimat itu garang, tentu, tapi keliru. Berkali-kali sejarah
mencatat, dengan keputusan seperti itu para pembesar agama me
nunjukkan keangkaramurkaannya dan juga kekonyolannya. Se-
jak itu Bento memang mulai harus hidup terasing dari sanak sau
daranya. Tapi ia tak mau takluk. Ia meninggalkan usaha ayahnya
yang pernah ia teruskan dan berhasil. Menumpang sewa dari ru
mah ke rumah di daerah murah, nafkahnya datang dari menatah
http://facebook.com/indonesiapustaka
Politicus, tak pernah tercoret dari muka bumi. Kutukan itu gagal.
Aneh, (tapi mungkin tidak) para ulama Yahudi Amsterdam
itu mengambil keputusan sekeras itu. Mereka sendiri berasal dari
para pengungsi Spanyol dan Portugal, tempat Gereja Katolik de-
ngan lembaga Inkuisisinya membakar orang yang dianggap mur-
tad hidup-hidup, tempat raja dan gereja memaksa orang Yahudi
dan muslim memeluk iman Kristen. Pada suatu hari di tahun
1506, di Lisabon, 20.000 anak dipaksa dibaptis, sementara 2.000
orang Yahudi dibantai.
Tapi toh para tetua Yahudi di Amsterdam itu, yang punya ka-
kek-nenek yang lari dari aniaya di Semenanjung Iberia, menun-
jukkan sikap tak toleran yang sama terhadap Spinoza, meskipun
tak sekejam membakar orang di api unggun.
Mungkin ada dalam agama-agama Ibrahimi yang membuat
iman seperti gembok: kita hidup dalam bilik yang tertutup dan
terpisah. Di situ Tuhan pencemburu yang tak tenteram hati.
Tentu saja bagi pandangan macam itu suara Spinoza—yang
diejek sebagai espinas (”duri-duri”)—bisa sangat mengganggu. Ia
dianggap atheis.
Spinoza akan membantah itu. Ia percaya Tuhan ada—dan
tak hanya itu. Novalis bahkan menganggap Spinoza ”orang yang
gandrung-akan-Tuhan”. Tapi Tuhan baginya tak mengadili dan
mempidana orang per orang. ”Tuhan tak memberikan hukum
kepada manusia untuk menghadiahi mereka bila patuh dan
menghukum mereka bila melanggar,” tulis Spinoza. Tuhan bu
kanperson. Sebagaimana Ia tak bisa diwujudkan dalam arca, Ia
tak bisa dibayangkan secara antroposentris. Siapa yang meman-
dang Tuhan dengan memakai sifat dan fiil manusia sebagai mo
http://facebook.com/indonesiapustaka
S
lamet adalah sebuah teriakan, ketika ia bunuh diri pa
da umur 48. Mungkin Kota Pandeglang mendengarnya.
Mungkin Banten dan Jakarta mendengarnya. Tapi hanya
10 menit.
Segera setelah itu, teriakan itu lenyap. Slamet hilang. Ia kem-
bali jadi noktah yang melintas tipis pada layar radar, seperti berju-
ta-juta titik lain yang diabaikan. Jakarta sibuk. Tuan-tuan sibuk:
tuan-tuan berbaris membesuk Soeharto, sang patriarkh yang ge
ring terbaring di rumah sakit itu, dan dengan tekun tuan-tuan
mengikuti naik-turun tekanan darahnya, menyimak jantung
dan paru-parunya, berkomat-kamit membaca doa untuknya, dan
berseru, makin lama makin keras, maafkan dia, maafkan dia....
Tentu, semua itu karena tuan-tuan orang yang beradab. Tapi
tak ada peradaban yang tak berdiri di atas pengakuan bahwa ada
mala yang besar (meskipun tak disebut sebagai dosa) ketika di
luar pintu seseorang rubuh, tertindih, hilang harap—dan kita
tak menolongnya.
Slamet adalah indikator negatif peradaban. Ia yang hidup bu-
kan sebagai penggugat, mati, dan dengan itu ia menggugat.
Lelaki ini seorang pedagang yang tekun, meskipun tetap mis
kin. Sejak 1993 dengan angkringannya ia jajakan gorengan sing-
kong, tahu, tempe, dan pisang di sekitar Jalan Ahmad Yani di
Pandeglang. Ia pernah yakin hidup akan lebih baik setelah ia ber-
henti bekerja di sebuah pom-bensin. Mula-mula memang ada ha
rapan: ia bisa memperoleh untung sedikit-sedikit. Kata istrinya,
http://facebook.com/indonesiapustaka
ngan Oji, anaknya yang masih di kelas tiga SMK Pariwisata dan
sudah setahun belum membayar uang sekolah. Ia bisikkan bahwa
ia akan segera meninggal.
Slamet akhirnya sebuah cerita selamat tinggal yang tenang.
K
ami, sejumlah juru sensor, duduk di ruangan gelap se-
perti seregu malaikat yang waswas.
Kami tak henti-hentinya mencuri pandang ke arah Tu-
han, (meskipun kami tak tahu ke arah mana semestinya), dengan
mata gundah: tidakkah Ia terlampau optimistis tentang manusia
ketika Ia memutuskan untuk menciptakan makhluk yang mere-
potkan ini? Tidakkah Tuhan lalai menduga bahwa manusia akan
menyebarkan kejorokan di muka bumi?
Kami, para juru sensor, sungguh khawatir. Memang Tuhan
pernah mengatakan kekhawatiran itu tak berdasar. ”Aku tahu
apa yang kalian tak tahu”, kata-Nya. Tapi kami tetap tak percaya
manusia akan berfiil baik, berakhlak tinggi, dan berjiwa kuat. Ba
gi kami, manusia pasti akan mudah tergoda syahwat dan kemu
dian mencandu seks. Manusia, terutama yang muda-muda, pasti
akan terhanyut tenggelam oleh arus hal ihwal yang erotis. Tentu,
ini baru dugaan, tapi lebih baik kami siaga.
Sebab kami, para juru sensor, sebenarnya tak ikhlas ketika Tu-
han memberi begitu besar kemerdekaan kepada Adam + Hawa
beserta keturunannya. Kami mendengarkan baik-baik kata
Allah,tapi kami tersenyum kecut ketika mendengar beberapa ka-
limat dalam Al-Baqarah bahwa Ia mengangkat manusia sebagai
”khalifah”-Nya di bumi.
Sebab, bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin makhluk
yang lemah ini—yang kadang-kadang memandang dengan be-
rahi sebuah foto Happy Salma atau berpikir cabul tentang Tom
http://facebook.com/indonesiapustaka
juga manusia. Tapi rasanya kami lain: bahan kami mungkin lem-
pung yang lebih unggul. Jangan-jangan malah kami diciptakan
dengan campuran api. Kami memang oknum luar biasa. Buktin-
ya: kami telah dipilih Pemerintah Republik Indonesia sebagai se
kelompok kecil yang tentu tak akan tergoda bila menonton, mi
salnya, adegan malam pengantin baru dalam film Berbagi Suami.
Sebab kami tak sembarangan. Kami yakin bahwa orang yang
bukan kami, mereka yang bukan juru sensor, akan rusak bila me-
lihatnya. Kalau tidak rusak, pasti bingung, atau salah paham.
Kasihan, ’kan? Karena orang-orang di luar gedung lembaga yang
luhur ini belum sematang kami. Mereka belum terdidik. Mere
ka lemah iman, suka melamun, bolos ibadah, penuh dosa, dan,
maaf, bodoh-bodoh. Mereka harus dilindungi.
Lagi pula mereka tak butuh kebebasan untuk memilih apa
yang akan mereka tonton, tak perlu kemerdekaan untuk berpikir
sendiri dan mengutarakan pendapat. Kebebasan itu kemewahan.
Atau dikatakan secara lain: kemerdekaan itu harus ada batasnya.
Kami tahu, mereka tak tahu mana batasnya. Sebab itulah
kami yang akan bikin rambu-rambu. Bagaimana cara kami mem
bikin, dan apakah rambu-rambu itu adil dan dapat dipertang
gungjawabkan—ah, sudahlah, tak perlu dibicarakan. Pokoknya,
inilah tugas kami.
Ini tugas yang mulia, sebagaimana mutu diri kami yang mu-
lia. Kami menjaga manusia Indonesia dari pelbagai bahaya yang
mengancam mereka—dari bahaya masturbasi sampai dengan
bahaya aborsi, dari bahaya film biru sampai dengan koran ku
ning.Bukankah ada seorang tua yang mengatakan, (dan seperti
lazimnya orang tua, mengatakannya berkali-kali), kita sekarang
http://facebook.com/indonesiapustaka
Dalam Kitab Suci, ada cerita bahwa Iblis, yang merasa tak ter-
buat dari lempung, melainkan dari api, menampik untuk meng
ikuti Tuhan yang memberi kepercayaan kepada manusia. De-
ngan demikian bisa dikatakan, sang Pengusut Agung tak tampak
berbeda dari Iblis. Tapi apa salahnya? Kami bukan Iblis, na
munkami juga sepakat dengan sikapnya yang memandang ma-
nusia sebagai makhluk yang tak dapat diandalkan. Sebab itu-
lah kami ada: manusia harus dijaga, dilindungi, diawasi, diatur,
dikekang....
Dunia mencemaskan. Dunia dan manusia gampang berdosa
dan najis. Mencatat semua itu memang bisa sama dengan mera-
gukan, layakkah Tuhan diberi ucapan terima kasih dan kita ber-
syukur. Para juru sensor, yang duduk di ruangan gelap seperti se-
regu malaikat yang berwajah suram, tahu apa jawabnya.
S
etelah Duryudana mati, dan berangsur-angsur pagi
meluas, dan suara gamelan bertambah pelan, tancep ka
yon.Dalang menancapkan lambang gunung itu di tengah-
tengah layar. Kisah berakhir, meskipun sebenarnya banyak hal
belum diutarakan. Pertunjukan wayang kulit semalam suntuk
itu selesai.
Kayon: lambang gunung, lambang hutan, isyarat untuk awal,
isyarat untuk penutup. Dari jauh bentuk itu mirip sebuah siluet
segi tiga di bawah cahaya. Tapi dari dekat akan kelihatan di gu
nungan itu tersembunyi (dalam ukiran yang renik) pohon-pohon
rindang dengan cabang yang merangkul dan pucuk yang tinggi
menyembul. Ada sebuah gapura dengan tempat kunci berbentuk
teratai. Ada sepasang raksasa bersenjata yang tegak simetris. Ada
harimau, banteng, kera, burung merak dan burung-burung lain.
Juga wajah seram banaspati.
Dengan kata lain, di gunungan itu tersimpan bermacam hal,
tapi bertaut dalam satu misteri, sesuatu yang angker, tapi juga te
duh: sebuah wilayah kehidupan yang lain. Ketika arena di luar
nya memaparkan kisah intrik, nafsu, dan perang yang tak henti-
hentinya, di kerimbunan yang agung itu hidup berlangsung an-
teng dan syahdu. Dalam kayon, waktu yang mengalir detik demi
detik seakan-akan tak ada lagi. Di dalam gunungan, arus menit
dan jam seakan-akan diinterupsi dan distop. Segala hal seakan-
akan berada di luar waktu.
Tapi manusia tidak. Ia akan kembali menghadapi, bahkan ter-
http://facebook.com/indonesiapustaka
laku buas, merasa bahagia atau lupa daratan. Ada waktu dari Na-
sib, waktu sebagai Kala, yang tak berubah dan tak mengubah. Di
dalam Kala, manusia tak dapat lepas memilih dan memutuskan
masa depannya dengan bebas. Tapi sementara itu ada waktu se-
hari-hari: waktu ketika manusia menyakiti dan disakiti, membu
nuh dan dibunuh, rindu dan bahagia, heroik dan culas. Itulah
waktu ketika manusia jadi subyek, biarpun sejenak, biarpun tak
utuh.
Persoalannya tentu: mungkinkah subyek lahir, subyek yang
melawan situasi tempat ia hidup, merombak kondisi yang mem-
bentuknya, subyek yang terlepas dari posisi obyek di bawah sang
Kala? Dalam Bharatayudha, contoh yang utama bahwa hal itu
mungkin adalah Karna. Ia anak seorang sais. Ia anak sudra, tapi
ia berani maju menandingi para kesatria. Ia, seorang pendekar
yang diklaim sebagai saudara seibu para Pandawa, tetap memilih
berpihak kepada Kurawa—meskipun tahu pihak yang dipilihnya
akan hancur. Tapi ia bebas.
Mungkin ada saat-saat yang tak dikisahkan ki dalang ketika
Karna berdiri sendiri memandang ke arah kayon. Wilayah itu tak
akan pernah dijangkaunya: pohon-pohon dengan cabang yang
agung, gapura yang selalu siap menyambut dan mengunci raha-
sia, sepasang raksasa yang berjaga entah atas titah siapa, dan ma-
can, dan banteng, dan kera, dan burung merak... semuanya sua-
sana angker yang tak mempunyai bahasa.
Pada saat seperti itu ia sadar, ia jauh dari sana, ia hidup dengan
waktunya sendiri. Lebih radikal lagi, ia—yang merasa ada misteri
yang membayang dari gunungan itu—memutuskan untuk ber-
tindak, tanpa merasa siap mengetahui rahasia hidup. Nasib? Sang
http://facebook.com/indonesiapustaka
1
945, 1966, 1998....
Angka-angka itu kini jadi nama. Masing-masing menjuluki
sebuah pergantian sejarah: yang pertama lahirnya Republik
Indonesia, yang kedua runtuhnya kekuasaan Sukarno, dan yang
ketiga jebolnya kekuasaan Soeharto.
Dengan kata lain, masing-masing angka itu bahkan tak lagi
hanya berarti tahun. Tiap nama/angka yang ditulis merujuk ke
sebuah peristiwa besar: kejadian yang membuat sebuah zaman
patah arang dengan zaman sebelumnya, ketika sebuah situasi
runtuh dan seluruh sendi kehidupan berubah, dan setelah itu,
datang awal yang sama sekali baru. Bahkan, jika kita memakai
retorika Alain Badiou, datang ”sebuah kebenaran baru”.
Nama-nama itu juga menunjukkan usaha manusia untuk
mengawetkan proses yang terjadi sejak kejadian besar itu mele
dak.Sebab tiap kejadian memang sebuah ledakan: keras, mengge-
tarkan dan menghancurkan, tapi segera surut, larut, lenyap.
1945, 1966, 1998: sederet metonimi. Masing-masing adalah
pengganti yang ringkas bagi sesuatu yang lebih kompleks: ”1945”,
misalnya, adalah penanda waktu ketika Sukarno dan Hatta
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dengan metonimi
sebenarnya kita mengakui, ada pelbagai hal—ya, banyak sekali
hal, boleh dikata tak terhingga—yang bisa dihimpun di Jakarta
pada tanggal 17 Agustus 1945.
Banyak hal itu membuat kata ”patah arang” dan ”awal yang sa
ma sekali baru” sekadar sederet hiperbol. Ada yang dilebih-lebih
http://facebook.com/indonesiapustaka
kungi khaos.
Setelah 1945, 1966, 1998, kita menemukan bahwa dalam ”ke-
benaran baru” yang muncul hari ini ada jejak dari masa silam. Je-
jak itulah yang tampil menggugah hati kembali. Tapi bersama
S
epotong catatan Leonardo da Vinci, di akhir abad ke-
15:
”... manusia, yang dengan rasa ingin tahu yang riang berharap men
dapatkan musim semi baru, musim panas baru, dan bulan-bulan
yang baru selamanya... tak tahu bahwa dalam kerinduannya itulah
terbawa kuman kematiannya sendiri.”
S
eandainya Obama seorang perempuan....
Tentu saja ia bukan—dan ini bisa dikatakan sebagai se-
buah kekurangan. Tapi nobody’s perfect—seperti kata si ju
tawan bego dalam adegan terakhir film Some Like it Hot, ketika
diberi tahu bahwa orang yang digandrunginya itu (”Daphne”
yang sebenarnya adalah Jerry) ternyata laki-laki.
Obama akan nyaris sempurna seandainya ia bisa jadi perem-
puan, kemarin, atau besok. Sebab bahkan sekarang pun ia sudah
merupakan satu sosok yang unik: ia persilangan (pelbagai) identi-
tas. Ia contoh bahwa ”identitas” bukanlah sebuah cap yang kekal
dan kaku. Dalam kata pengantar edisi tahun 2004 untuk buku-
nya The Dream of My Father, Obama sendiri menyebut ”the fluid
state of identity—the leaps through time, the collision of cultures—
that mark our modern life.” Ia menegaskan apa yang ia ketahui dari
tubuhnya sendiri: bahwa identitas selalu dalam keadaan cair—
ciri zaman ini.
Mungkin sebab itu ia politikus Amerika yang bisa dengan wa-
jar menunjukkan bahwa politik tak bisa hanya mengibarkan pan-
ji-panji partikularisme, dengan politik identitas yang menegas-
kan apa yang istimewa pada ”kami” dan tidak pada ”mereka”. Po
litik pada akhirnya sebuah proses pencarian dan penyampaian
apa yang universal. Politik adalah suatu pergulatan antarkelom-
pok yang terdorong membentuk ”kita”.
Obama tak bermula dari ”kami” yang pasti. Orang berkata,
pria yang hari-hari ini sedang ikut bersaing untuk jadi calon Par
http://facebook.com/indonesiapustaka
Jackson.
Ibu Obama seorang perempuan kulit putih dari Kansas. Ma
lah, jika kita percaya hasil penelitian trah oleh The New England
Historic Genealogical Society, Ann Dunham ada dalam garis ke-
turunan seorang raja Skotlandia pada abad ke-12.
Tapi sementara itu ia juga seorang ”Afro-Amerika” dalam pe
ngertian yang harfiah. Ayahnya, Barrack Hussein, datang dari
suku Luo di Provinsi Nyanza, Kenya, seorang mahasiswa asing di
Hawaii yang bertemu dan kemudian menikah dengan Ann Dun-
ham.
Seorang bayi yang diberi nama seperti ayahnya lahir di Hono-
lulu, 4 Agustus 1961. Tapi, ketika ia berumur dua tahun, orang
tuanya berpisah. Si ayah menyelesaikan studi ilmu ekonominya
di Universitas Harvard. Perpisahan itu jadi perceraian. Pria Ke
nya yang berambisi tinggi itu kembali ke tanah kelahirannya.
Bagi si anak yang tertinggal di Hawaii, ia jadi seorang ayah yang
tak dikenal. Barrack muda bertemu dengan dia ketika si bocah
berumur 10. Barrack tua kemudian tewas dalam kecelakaan mo
bilpada 1982. Sang ayah jadi nama yang menandai kehilangan
dalam diri anaknya.
Dalam kehilangan itulah pengertian ”Afro-Amerika” yang
harfiah berubah. Makna lain kemudian mengisi lubang itu, dan
sejak itu Obama memandang dirinya sendiri secara lain. Berkat
ibunya.
Dalam The Dream of My Father, yang ditulisnya sebelum ia
masuk lembaga legislatif, pemuda separuh Kenya ini menyebut
dongeng-dongeng suku Luo di tepi Danau Victoria. Tapi yang
agaknya paling membekas adalah yang diberikan sang ibu selama
http://facebook.com/indonesiapustaka
satu sekolah, satu bus, dan satu tempat kencing dengan orang ku-
lit putih, tapi juga sebuah sejarah dengan demokrasi yang ternya-
ta bisa mengembangkan diri.
Demokrasi itu kini sedang menunjukkan, bagaimana kaum
P
ada tanggal 8 Juni 1992, mereka bunuh Farag Fouda
di Madinat al-Nasr, Kairo. Dua orang bertopeng menye
rangnya. Fouda tewas tertembak, anaknya luka-lukapa
rah. Kelompok Jamaah Islamiyah mengatakan: ”Ya, kami mem-
bunuhnya.”
Bagi kelompok itu, tak ada dosa bila Fouda dibinasakan. Bu-
kankah lima hari sebelum itu sekelompok ulama dari Universitas
al-Azhar memaklumkan bahwa cendekiawan ini telah menghujat
agama, dan sebab itu boleh dibunuh? Seorang ulama, Muham-
mad al-Ghazali, membela para algojo: tindakan mereka adalah
pelaksanaan hukuman yang tepat bagi seorang yang murtad.
Tapi tak seorang pun tahu sebenarnya, benarkah Fouda, yang
tewas pada umur 46, orang yang murtad. Terutama jika kita baca
buku yang baru-baru ini diterbitkan Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama, Kebenaran Yang Hilang, yang juga memuat
kata pengantar Samsu Rizal Panggabean.
Lima bulan sebelum ia dibunuh, Fouda ikut dalam perdebat
an di Pameran Buku Kairo. Dalam acara yang konon diikuti
30.000 orang itu ia menghadapi ulama macam Muhammad al-
Ghazali. Perdebatan berkisar pada masalah hubungan antara
agama dan politik, negara dan agama, penerapan syariat Islam
dan lembaga khilafah.
Pendirian Fouda dikemukakan dengan gamblang dalam se-
rangkaian bab al-Haqiah al-Ghaybah-nya yang diterjemahkan
oleh Novriantoni. Ia memang bisa mengguncang sendi-sendi pe-
http://facebook.com/indonesiapustaka
D
ini hari, pukul 3. Anak-anak sedang tidur tenteram di
seluruh Amerika. Tiba-tiba telepon berdering di Ge-
dung Putih. Sesuatu tengah terjadi di dunia. Tampak-
nya gawat. Siapa gerangan yang mampu memberi respons yang
tepat kepada pesan lewat telepon itu?
Pertanyaan itu sah, tapi ini baru sebuah pengandaian yang
dibawakan sebuah iklan: sebuah film pendek yang dimulai de-
ngan cahaya biru yang suram, dengan dini hari yang sunyi, anak-
anak yang nyenyak, dan kamar tidur bersih: imaji-imaji yang me-
nyarankan sesuatu yang tanpa dosa, tapi rapuh, di tengah gelap
yang menyembunyikan ancaman.
Dipasang Hillary Clinton di televisi menjelang pemungutan
suara untuk melawan pesaingnya, Barack H. Obama, pesan iklan
itu jelas: yang bisa menghadapi ancaman itu hanya seorang Presi
den Amerika yang kenal ”para pemimpin dunia, kenal dunia mi-
liter, seorang yang sudah diuji bisa memimpin di dunia yang ber-
bahaya....”
Bagi para juru kampanye Hillary Clinton, sifat-sifat itu tentu
tak ada pada Obama, seorang yang belum pernah memimpin ne
geri dalam ancaman perang.
Tiap propaganda tentu memaafkan sendiri keculasannya.Ik
lanitu tak menyebut bahwa sebenarnya Hillary juga belumdiuji.
Ia memang pernah di Gedung Putih, tapi sebagai istri seorang
presiden. Ia memang kemudian jadi seorang senator, tapi satu-
satunya keputusan penting adalah dukungannya kepada Perang
http://facebook.com/indonesiapustaka
Uni Soviet dan Cina mundur. Dengan musuh itu Amerika dapat
memiliki arah yang tegas dan satu.
Nasionalisme, apalagi yang gelap, punya gairah dan daya ter
sendiri untuk mengukuhkan kekuasaan yang brutal. Maka pe
rang antiterorisme dari Gedung Putih bukanlah perang untuk
mengakhiri terorisme, melainkan untuk menyambutnya. Tak
mengherankan bila sampai hari ini Al-Qaidah belum dihabisi
dan Usamah bin Ladin masih tersembunyi. Tak mengherankan
bila empat tahun yang lalu Bush-dan-Cheney dipilih lagi.
London, 3 November 2004. Koran Daily Mirror terbit me-
nyambut pilihan rakyat Amerika yang mendukung kembali Pre
siden Bush dengan bersemangat, meskipun begitu jelas ia menyer
bu Irak dengan dalih yang bohong. Di halaman depan tabloid itu
tampak wajah George W. Bush melambai. Di bawahnya sebuah
kalimat: How can 59,054,087 people be so DUMB?
Saya ingat seorang Amerika tertawa pahit membacanya. ”Saya
tak tahu lagi, di mana tanah air saya,” katanya sedih.
Tapi itu empat tahun yang lalu. Kini ia tak merasa sedih lagi,
ketika bersama ribuan orang muda setanahairnya ia ikut berkam-
panye untuk Obama dan merayakan kemenangan di sebelas ne
gara bagian. ”Anak-anak muda ini,” tulisnya, ”telah menemukan
kembali indahnya kehidupan berpolitik; kami telah menemukan
keberanian untuk berharap.” Di hatinya, judul buku Obama, the
Audacity of Hope, terasa begitu kena. Dengan mata yang berkaca-
kaca karena bangga ia kini bisa mengatakan, The Daily Mirror
tak benar, setidaknya di tahun 2008 ini: jutaan pemilih Amerika
ternyata tak bodoh.
Mereka bahkan tengah merintis sebuah zaman baru—zaman
http://facebook.com/indonesiapustaka
B
egitu banyak salah paham tentang Amir Hamzah. Pe-
nyair ini dibunuh dalam sebuah pergolakan sosial di Su-
matera Utara pada tahun 1946, tak lama setelah Indone-
sia diproklamasikan. Kekuasaan Belanda dan Jepang dinyatakan
habis, tapi ”negara” dalam republik yang masih beberapa bulan
umurnya itu belum tersusun. Mesin kekuasaan belum berjalan
ketika euforia ”kerakyatan” meletup di mana-mana. Kata ”Revo
lusi” (dengan ”R”) diarak. Itu berarti seluruh tata yang lama ha-
rus dihancurkan, meskipun tak selalu jelas apa yang akan meng-
gantikannya.
Amir Hamzah adalah anggota keluarga Sultan Langkat. De-
ngan demikian ia berasal dari kelas feodal, bagian masa lalu yang
dibenci, meskipun tak pernah tercatat bahwa Amir—yang meng-
habiskan waktu mudanya bukan di istana, melainkan di sekolah-
sekolah di Jawa—melakukan sesuatu yang tak dapat dimaafkan.
Dunia hanya mengenalnya sebagai seorang yang menulis sa-
jak yang menyentuh hati sampai hari ini. Karya-karyanya adalah
serangkaian ekspresi yang merupakan bagian dari ”puisi baru”
Indonesia, dan memang demikian. Amir tak ingin sepenuhnya
lepas dari ungkapan Melayu klasik, tapi banyak kata bentukan-
nya yang datang dari gramatika Jawa. Dalam sebuah sajak yang
indah—gabungan ironi dan kesedihan—ia menyebut diri ”beta,
bujang Melayu”, tapi seluruh kumpulan puisinya, Buah Rindu
(yang ditulis pada 1928-35), ia persembahkan kepada ”Paduka
Indonesia Raya”, selain kepada ”ibu ratu” dan kepada seorang pe
http://facebook.com/indonesiapustaka
S
yahdan, dua hari setelah Harmoko berhenti dari jabat
annya sebagai Menteri Penerangan ”Orde Baru”, datang
lahseorang perempuan ke kantor departemen itu. Wajah
nya manis, senyumnya tulus meski samar-samar. Di meja peneri-
ma tamu, ia berkata, ”Saya datang untuk menghadap Pak Har-
moko, Pak Menteri Penerangan.”
Petugas penerima tamu itu berkata dengan sopan, ”Maaf, Bu,
Pak Harmoko sudah bukan Menteri Penerangan lagi.”
”Oh, begitu,” jawab perempuan tamu itu. Dan ia pun pergi.
Tapi esoknya ia datang lagi. Ia menuju meja penerima tamu itu
pula dan berkata, dengan nada suara yang sama dan senyum sa
mar-samar yang sama, ”Saya datang untuk menghadap Pak Har-
moko, Pak Menteri Penerangan.”
Petugas itu (orang yang juga sama seperti kemarin) sejenak ter
henyak. Ia ingat, ini tamu yang kemarin juga. Tapi ia menjawab
sabar, ”Maaf, Bu, Pak Harmoko sudah bukan Menteri Penerang
an lagi.”
Dan perempuan itu pun pergi.
Tapi esoknya dan esoknya lagi ia kembali, dan adegan, ucap
an, dan senyum itu berulang lagi. Sampai lima kali.
Tak urung, para petugas penerima tamu bingung, kemudian
curiga, lalu melapor ke bagian keamanan dan protokol. Dengan
cepat cerita ini menyebar ke seluruh lantai Departemen Pene
rangan.
Syahdan, pada hari keenam, para pegawai (yang umumnya
http://facebook.com/indonesiapustaka
ia muncul, kita sadar bahwa sebuah negeri tak pernah bisa benar-
benar jelas bagi dirinya sendiri.
Tapi sebenarnya tak hanya itu: Antah Berantah itu, yang tak
bisa diterangkan dan ditangkap oleh bahasa dan sistem, oleh arti
kulasi dan proses politik, bukanlah sekadar bagian yang turah
tak tertampung sistem. Ia lebih mendasar. Bahkan bisa dikatakan
tiap negeri berada dalam orbitnya. Berpusar di sekitar Antah Be-
rantah, tiap negeri sebenarnya genting dan tak tuntas disalin da
lam satu wacana.
Itu sebabnya, meskipun regularitas adalah bagian yang pro
duktif dalam demokrasi, kita tak akan memandangnya sebagai
sebuah kehadiran yang tak bergeming. Kita tak akan lupa bahwa
justru regularitas lahir karena ada yang tak hadir, ada yang nega-
tif, yang traumatis, di sekitarnya.
Itu sebabnya pemilihan umum, pergantian pemimpin dan
manajemennya, perubahan para legislator dan undang-undang
nya—semuanya adalah regularitas yang terjadi dari paradoks de
mokrasi: inilah sistem yang (seperti telah saya sebut tadi) menia
dakan keajaiban, tapi pada saat yang bersamaan inilah sistem
yang mengakui bahwa ada yang sesekali muncul dari Antah Be-
rantah.
Itu sebabnya kita selalu perlu risau melihat ke Senayan. Di sa
na duduk orang-orang yang dengan yakin, mungkin sedikit po
ngah,memandang diri sebagai intan dua cahaya: cahaya pertama
adalah cahaya ”wakil suara rakyat”; cahaya kedua, ”pembuat un-
dang-undang”. Mereka bisa mengatakan, dari tangan merekalah
undang-undang sah dan adekuat untuk kepentingan umum.
Tapi benarkah? Undang-undang pada akhirnya hanya akan
http://facebook.com/indonesiapustaka
P
embebasan datang dari yang tak punya nama.
Saya bayangkan ini: ketika dari kapal orang-orang Belan-
da memandang ke pantai di sebelah barat Jawa itu, mere-
ka lihat sosok, corak rambut, warna kulit, dan jenis pakaian yang
demikian tak tepermanai ragamnya. Kemudian mereka tinggal
di bandar yang gerah dan terik itu. Sebuah ekonomi pengenalan
berlaku: dalam pikiran mereka, manusia itu tersusun dalam per-
bedaan yang rapi. Lalu mereka memberi nama.
Maka mulailah klasifikasi manusia penghuni bandar itu—
dan di situlah kolonisasi memasang tonggak dan pagarnya. Seki-
tar dua setengah abad kemudian, ketika kekuasaan serikat da-
gang VOC diteruskan oleh birokrasi yang mewakili Kerajaan Be-
landa di ”Hindia Timur”, ekonomi pengenalan berkembang jadi
administrasi penamaan.
Tak jelas apa dasar penamaan itu. Ada yang mengatakan itu
lah usaha untuk menguasai dan sekaligus mengasingkan ”apa
yang tak diketahui”, the unknown. Tapi tak dikatakan kenapa jus-
tru nama ”inlander”, ”timur asing”, dan ” Eropa” yang dipakai,
bukan nama bahasa atau jenis pekerjaan.
Apa boleh buat. Penamaan mau tak mau bergantung pada
sang penguasa bahasa atau bahasa sang penguasa. Seakan-akan
berdasarkan sesuatu yang hadir di luar diri, penamaan adalah
metonimi dalam kesewenangan. Kata ”inlander”, ”timur asing”,
dan ”Eropa” merujuk tempat, tapi tempat belum tentu sama de-
ngan ”asal”. ”Asal” berkait dengan masa lalu. Kenapa masa lalu
http://facebook.com/indonesiapustaka
dan bukan masa kini? Apa pula masa lalu itu: waktu ketika lahir,
atau ketika dibesarkan? Bukankah masa lalu bisa kupilih, bukan
cuma memilihku?
Pada 1935, Edgar du Perron menerbitkan novelnya, Het land
yang berbeda, bunuh diri pada 1926, dengan harta ludes. Du Per-
ron tertinggal miskin, tanpa pendidikan formal, menikah dan ce-
rai dan menikah lagi, dan semua itu harus ia biayai. Ia terdesak.
Pada 1936 ia ke Indonesia—dan dalam arti tertentu, ia ”kembali”.
sarkan kesetaraan politik bagi orang dari ”ras” (atau nama identi-
tas) yang berbeda-beda.
Artinya, bahasa yang berkuasa sedang dihapus. Politik pem-
bebasan dimulai dari sebuah komunitas yang, seperti kata Alain
Badiou, ada pada ”titik yang tak ternamai”.
Dari titik itu lahir ”Indonesia”. Ini mungkin sebuah nama,
tapi yang pasti ia sebuah cita-cita.
K
ita hidup di sebuah zaman ketika benci bisa jadi adver-
tensi. Jika tuan teriakkan rasa muak, geram, dan tak sa-
bar tuan kepada sekelompok manusia—dengan teriak
an yang cukup keras—tuan akan menarik perhatian orang ra-
mai. Tuan bahkan akan dapat dukungan.
Geert Wilders tahu betul hal itu.
Dalam umur 44, politikus Belanda ini adalah sosok yang co-
cok bagi zaman yang celaka sekarang. Tiap kali ia mencaci maki
orang imigran—para ”non-pribumi” muslim yang hidup di Ne
geri Belanda—ia dengan segera tampak mumbul seperti balon
jingga di langit Den Haag.
Dalam sebuah wawancara dengan harian De Pers pertengah
an Februari 2007, inilah yang dikatakannya: ”Jika orang muslim
ingin hidup di Negeri Belanda, mereka harus menyobek dan
membuang setengah dari isi Quran.” Katanya pula: ”Jika Mu-
hammad hidup di sini sekarang, saya akan usul agar dia diolesi ter
dan ditempeli bulu ayam sebagai ekstremis, lalu diusir....”
Syahdan, 15 Desember 2007, radio NOS pun mengangkat
Wilders sebagai ”politician of the year”. Para wartawan surat kabar
yang meliput parlemen memuji kemampuannya mendominasi
diskusi politik dan memperoleh publisitas, berkat ucapan-ucapan
ringkasnya yang pas waktu. Ucapan dengan abab yang panas dan
bau tentu.
Demikianlah Wilders jadi tokoh publik yang mendapat tepuk
tangan karena benci memperoleh tempat yang strategis. Pada
http://facebook.com/indonesiapustaka
awal November 2004, sutradara film Theo van Gogh digorok dan
ditikam di sebuah jalan di Amsterdam oleh seorang pemuda Is-
lam, Mohammad Bouyeri, yang menganggap korbannya layak
dibinasakan. Van Gogh, seperti Wilders, adalah penyebar ke-
S
epotong sajak Turki dari zaman Usmani tertulis di
antara bingkai yang dilukis dengan warna keemasan: se-
buah sajak yang cantik dan sebuah karya kaligrafi yang
piawai. Di sudut disebutkan: inilah buah tangan Rikkat Kunt
(1903-1986).
Penjelasan lain menyusul: Rikkat adalah seorang perempuan
juru kaligrafi Turki yang terkemuka justru di masa ketika Kemal
Attaturk mendekritkan bahwa Turki baru harus mengganti hu
ruf Arab dengan huruf Latin. Artinya, para seniman kaligrafi
adalah makhluk yang terpencil dan hampir punah, dan Rikkat
Kunt lolos dari keterpencilan.
Ia menang dalam kompetisi nasional seni kaligrafi dan dapat
posisi mengajar di Akademi Seni Rupa Istanbul. Tapi ia tak akan
diingat orang seandainya karyanya tak ikut dipamerkan di Mu-
seum Louvre pada tahun 2000. Dan seandainya tak ada Yasmine
Ghata.
Pada 2004, dari perempuan yang waktu itu berumur 31 itu
terbit sebuah novel pertama, La Nuit des Caligraphes.
Turki ada di mana-mana, Turki ingin jadi bagian dari Uni Eropa,
dan Islam dilihat terkait dengan kekerasan dan ketidakbebasan
perempuan, tapi juga sebagai bagian dari nasib si miskin yang
menanggung sebuah peradaban yang terluka.
Pendeknya, ”Turki” dan ”Islam” adalah nama kini bagi ”Si
Lain”. Bagaimana memperlakukan ”Si Lain” dalam sebuah de-
mokrasi? Sebagai sesuatu yang harus dibuat ”tidak beda”, agar tak
membelah masyarakat? Atau ditoleransi sebagaimana dia adanya,
agar tak terjadi kesewenang-wenangan?
La Nuit des Caligraphes tak bermaksud menjawab persoalan
itu. Yasmine Ghata, anak seorang novelis dan penyair Libanon,
lahir di Prancis dan hidup di negeri itu. Ia tergerak menulis kare-
na satu hal yang intim: Rikkat Kunt adalah neneknya sendiri.
Tapi novel tentang nenek sendiri ini justru menarik bagi pem-
baca Eropa karena dari dalamnya ”Turki” dan ”Islam” tetap ajaib:
”Si Lain” yang tak mudah dijelaskan. Nostalgia kepada sesuatu
yang eksotis terasa meruap dalam prosa Yasmine Ghata: daya
imajinatif, yang selalu menghidupkan prosanya, menyebabkan
La Nuit des Caligraphes seakan-akan tak bercerita tentang abad
ke-20 melainkan bagian dari dongeng 1001 malam. Tapi dengan
itu pula kisah Rikkat Kunt menunjukkan bahwa sejarah adalah
proses yang tak mudah, tak gampang diputus-putus. Kaligrafi—
seni tua yang tak juga punah, goresan tinta yang mengalir mem-
bentuk kata dari huruf—adalah perumpamaan yang baik ten-
tang kontinuitas.
Sejarah dalam kontinuitas itulah yang menyebabkan masalah
besar seperti ”agama” dan ”modernisasi”—yang membayang di
belakang novel ini—tak tampil bagaikan dua tenaga yang berha
http://facebook.com/indonesiapustaka
dap-hadapan dan tak kait berkait. Ini agaknya nilai tambah ke-
tika La Nuit des Caligraphes diterjemahkan ke bahasa Indonesia
(dengan judul Seniman Kaligrafi Terakhir, oleh Ida Sundari Hu-
sen, terbitan Serambi, 2008). Di Indonesia, sebagaimana di Tur-
ki, orang berada di tengah masalah yang sama: konflik atas nama
kemajuan, dan konflik atas nama Tuhan.
”Tuhan tak tertarik abjad Latin,” kata Rikkat. Napas Tuhan,
katanya pula, tak dapat meluncur di atas huruf-huruf yang pen
dek, tambun, dan terpisah-pisah itu. Kemal, yang memimpin
Turki agar negerinya maju seperti Eropa, hendak membuat masa
lalu lenyap dan membuat masa depan lekas datang: ia memaksa
kan penggunaan alfabet Latin ke seluruh negeri. Istilah lama dari
bahasa Arab terkadang diganti dengan istilah Prancis. Para seni-
man kaligrafi ”terluka”, kata Rikkat.
Luka itu bukan karena kehilangan posisi, tapi karena sebab
yang lebih dalam: seni kaligrafi adalah ibadah yang tulus dan tra-
gis. Semua seniman kaligrafi berusaha ”menangkap kehadiran
Ilahi”, tapi tak seorang pun berhasil. Tapi mereka ingin terus.
Maka kata ”malam” (la nuit) dalam judul asli novel ini me
ngandung kiasan untuk suasana sunyi dalam ibadah itu dan juga
suasana gelap karena terancam. Dalam arti tertentu, Seniman Ka
ligrafi Terakhir mengandung sebuah pembelaan bagi sikap religi-
us di hadapan sekularisasi yang agresif.
Dengan latar Eropa sekarang, pleidoi itu punya nilai yang pen
ting. Novel ini jadi suara pengimbang di tengah sebuah masya
rakat yang memandang iman dengan cemooh atau curiga. Tapi
perlu dicatat: dalam novel ini, ”iman” dan ”agama” dan ”Islam”
dijalani dengan imajinasi yang subur.
Rikkat percaya pada hantu Selim (”seniman kaligrafi yang
berumur 100 tahun”, yang ”menulis di bawah pengawasan ketat
Rasulullah”), percaya pada patung-patung kecil darwis yang
”bergerak tiap kali mendengar suara orang mengaji”, percaya
http://facebook.com/indonesiapustaka
H
ari-hari ini, ketika ada rasa cemas bila puisi jadi suara
yang tak taat dan seni tak alim, saya ingin mengingat
Chairil Anwar. Ia meninggal, mati muda, 28 April
1949. Bagian penting dari 27 tahun dalam hidupnya intens, ber-
gairah, gemuruh, dan khaotis.
Ada satu kalimat goresannya sendiri yang tertulis di secarik
kertas:
manusia ada ”gedong besar dan gelap tempat jiwa kita yang sejati
bersembunyi.”
Itu sebabnya ”Kata” atau ”hidup” punya sifatnya yang tak ce
rah, bahkan tragis. Dalam sajak Chairil yang terkenal, Aku, kita
dapatkan manusia yang terbuang dan luka. Ia berlari, kesakitan,
berteriak, ”aku ingin hidup 1000 tahun lagi”, tapi keinginan itu
justru menunjukkan kekurangannya. Ia fana. Ia terbatas.
Mungkin itu sebabnya sajak Hsu-Chih Mo oleh Chairil diberi
judul Datang Dara, Hilang Dara. Di balik kehadiran itu ada ke-
tiadaan. Di akhir sajak, terdengar suara yang memanggil si dara
dari tepi laut yang hampir gelap itu. Tapi ternyata
I
NI pagi, kata Kartini, dan bila pagi seperti ini, ia akan be-
rangkat kerja, naik ojek dengan motor yang guncang, terpe-
kur di sadel plastik yang gelap, mungkin mengingat ujung
mimpi, mungkin mimpi.
Ini pagi, kata Kartini, dan bila pagi seperti ini, ia akan turun
di pengkol gang yang patah, sebuah lorong dengan nama seorang
haji, dan akan menyusuri aspal kusam, dan akan membayangkan
dirinya menyanyi, mungkin sebuah lagu Dewi Persik, mungkin
sejumlah goyang, sejumlah angan-angan, mungkin fantasi.
Ini pagi, kata Kartini, dan bila pagi seperti ini, di tempat kerja
itu, di sebuah panti pijat, si asisten pemilik usaha akan berkata
kepadanya: ”Jangan lupa gembok.” Dan ia akan mengambil di
lokernya celana-dalam seragam yang hijau itu, dengan retsliting
mengkilap, dengan gembok kecil yang merah.
”Jangan lupa gembok”. Aku tak akan lupa, tak akan lupa.
Gembok itu melindungi perempuan pemijat dari dosa, kata pega-
wai jawatan agama kabupaten; gembok adalah teknologi kealim
an, peranti iman, pelindung harmoni keluarga, perisai kesehatan
jasmani & rohani. ”Tentu, tentu, tentu. Amin, amin, amin,” kata
Kartini, kata Kardinah, kata perempuan-perempuan pemijat, ka
ta asisten pemilik usaha, dan tak seorang pun yang tak patuh.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Ini pagi, kata Kartini, dan tiap pagi di tempat ini selalu dimu
lai dengan ingatan tentang dosa, kekotoran manusia, atau najis,
Tuhan yang mengirimkan sifilis, insan yang menyembunyikan
kemungkinan-kemungkinan jorok, syahwat yang hanya sedetik
celana-dalam.
Ini pagi, kata Kartini. Pagi adalah menunggu tamu. Pagi ada
lah dag-dig-dug. Pagi adalah suara tokek di dinding yang dite
bak seperti ramalan feng-sui: rezeki–rugi–rezeki–rugi–rezeki–
176
Catatan Pinggir 9
MAK
P
ada suatu peringatan 1 Mei, sejumlah buruh ditangkap,
termasuk Pavel—dan Maxim Gorky menulis novelMat’.
Pramoedya Ananta Toer menerjemahkannya dengan
Ibunda. Saya kira kata yang lebih cocok adalah ”Mak”.
”Ibunda” memang mengandung rasa hormat dan hangat,dan
tokoh novel ini, Pelagedia Nilovna, perempuan yang mendam
pingi anaknya dalam perjuangan buruh itu, patut disebut dengan
sungkan dan sekaligus mesra, bak Maria yang melahirkan Ye-
sus. Tapi, dalam bahasa Melayu, ”ibunda” adalah kata panggilan
di kalangan atas. Panggilan ”mak” lebih lazim di lapisan rendah
masyarakat.
Namun Pramoedya tak sepenuhnya keliru. Pilihan judul itu
mencerminkan paradoks karya sastra yang hendak mengobarkan
semangat perjuangan: menyatakan diri bagian dari ”realisme”
tapi condong ke arah mitologi.
Tokoh Mat’ didasarkan pada kisah nyata Anna Zalomova
yang berjalan ke mana-mana menyebarkan pamflet revolusi sete
lah anaknya ditahan polisi dalam sebuah aksi massa. Tapi, dalam
novel ini, sang ibu—dengan iman Kristennya yang masih utuh,
dengan cintanya kepada Pavel, sang anak yang berubah dari si
bandel jadi pejuang buruh—senantiasa hadir sebagai bayang-
bayang sang suci; si mak terasa lebih agung ketimbang manusia
sehari-hari.
Di bab terakhir ucapannya fasih-lidah kepada orang ramai,
ketika polisi mulai mengepung:
http://facebook.com/indonesiapustaka
cara terbuka siapa kita; kita junjung bendera kita hari ini, bendera
nalar, kebenaran, kebebasan!”
Begitu meyakinkankah ”nalar”?
”Hidup rakyat pekerja!” Pavel berseru pula, dan ratusan suara
menyahut, ”Hidup Partai Pekerja Sosial Demokrasi, partai kita...
ibu rohani kita.”
Bagaimana mungkin Partai jadi ”ibu rohani”?
Menjelang Revolusi Oktober 1917, ”nalar” dan partai sebagai
”ibu rohani” adalah bagian dari iman gerakan Bolsyewik. Tapi,
September 1980, kaum buruh Polandia mengibarkan gerakan
mereka, Solidarnosc, yang menentang Partai Komunis yang ber
kuasa atas nama proletariat. Kita pun diingatkan kembali: kaum
pekerja. lahir, dari kerja—bukan dari ideologi. Ideologi adalah
hasil dari ”nalar”. Kaum pekerja tumbuh dari bawah, dari otot
dan peluh, sedangkan Partai, ”sang ibu rohani”, akhirnya tak ber-
sentuhan dengan otot dan peluh, elemen jasmani para proletar.
Bahkan sang buruh, yang bukan mitos, tak selamanya ingin
menghabisi kapitalisme. Di Indonesia, ada yang lebih menderita:
para penganggur, yang tiap kali buruh memperoleh upah minim
um yang lebih tinggi, tiap kali pula para tunakarya itu kehilang
an kesempatan kerja.
Tapi Gorky bisa dimaafkan. Pada tahun 1907, ketika Mat’
terbit, Partai, ”si ibu rohani”, belum berkuasa dan berubah jadi
Bapak yang streng. Baru pada 1918, setelah majalahnya, Novaya
Zhin, diberangus Partai, Gorky tahu apa yang ia hadapi; ia menu-
lis sebuah buku yang kritis— yang baru bisa diterbitkan di Rusia
setelah Uni Soviet runtuh.
Tapi mengherankan, hari-hari itu bahkan Gorky tak meng
http://facebook.com/indonesiapustaka
S
ejarah kebangsaan juga bisa mengandung cerita keke-
jaman, meskipun sebuah bangsa semestinya dibangun da
ri ta’ayush.
Ta’ayush adalah kata Arab yang berarti ”hidup bebrayan”. Kata
ini tak istimewa, tapi terasa luar biasa di sebuah negeri di mana
”bangsa” bukan saja sedang terguncang sendi-sendinya, melain
kanjuga terancam oleh saling membenci. Negeri itu adalah Isra
el. Ia bulan ini berumur 60, dengan kegundahan yang dulu tak
terbayangkan ketika ia dinyatakan berdiri pada 14 Mei 1948.
Di tengah kegundahan itulah pada tahun 2000 sejumlah war-
ga Israel memakai ta’ayush untuk jadi nama sebuah organisasi. Ia
terdengar seperti bagian dari sebuah agenda mulia namun musta-
hil. Tapi statemennya yakin:
Kami—warga Israel keturunan Arab dan Yahudi—hidup di
kelilingi tembok dan kawat berduri: dinding pemisahan, rasial
isme, dan diskriminasi...; dinding penutup dan pengepungan
yang mengurung orang Palestina di daerah pendudukan di Wi
layah Barat dan Gaza; dinding peperangan yang mengelilingi se-
luruh penghuni Israel, selama Israel jadi benteng bersenjata di
jantung Timur Tengah....
Kami bergabung bersama membentuk ”Ta’ayush”, sebuah
gerakan dari bawah masyarakat Arab dan Yahudi yang bekerja
sama untuk membongkar tembok rasialisme dan pemisahan de-
ngan membangun sebuah kemitraan sejati antara orang Arab dan
Yahudi.
http://facebook.com/indonesiapustaka
dulu ada masanya orang-orang Arab binasa atau terusir, tapi kini
suara yang datang dari warga yang ”lain” itu makin lama makin
penting. Tiap tahun penduduk Arab tumbuh 2,5 persen; pendu
duk Yahudi hanya 1,4 persen. Sementara itu, Israel sekaligus
P
OTRET yang tertinggal dari awal abad ke-20 itu meng-
gambarkan Mas Wahidin Sudirohusodo seakan-akan
bagian dari Jawa yang lembek. Atau jinak. Ia tak tampak
cakrak, dengan kepala bangga. Ia malah terkesan mengambil
postur seorang yang sopan sekali. Tak ada kumis yang perkasa.
Blangkon di kepalanya tampak ditimpa waktu.
Saya terkadang tak paham kenapa ”dokter Jawa” ini jadi tokoh
utama Hari Kebangkitan Nasional. Saya tak pernah membaca
teks pidatonya yang berapi-api. Saya tak pernah melihat sehelai
foto pun yang menunjukkan ia berdiri dengan tangan mengepal.
Bagaimana mungkin dengan itu ada ”kebangkitan nasional”?
Apanya yang ”bangkit”? Mana yang ”nasional”?
Saya lupa: ketika ia merintis jalan yang akhirnya melahirkan
organisasi ”Boedi Oetomo” pada tanggal 20 Mei 1908 itu, Wahi-
din sudah seorang pensiunan. Tapi ia pensiunan yang tak hendak
mandeg. Sejak 1906, Wahidin berkeliling dari kota ke kota untuk
menjajakan idenya: membentuk dana buat beasiswa bagi anak-
anak Jawa. Selama dua tahun ia gagal terus. Baru ketika ia berte-
mu dengan para siswa STOVIA gayungnya disambut.
Sekolah itu seperti sudah menantikannya. Sejak awal abad ke-
20, STOVIA diperbaiki agar jadi tempat untuk para pemuda—
terutama mereka yang datang dari kalangan yang disebut ”bu-
miputra”—dilatih jadi tenaga kesehatan. Para lulusannya disebut
”dokter”, tapi dengan tambahan: ”dokter Jawa”.
Dari nama ini saja dapat dilihat bagaimana struktur sosial
http://facebook.com/indonesiapustaka
dan ideologi kolonial Belanda waktu itu. Dari sini pula dapat di-
mengerti kenapa STOVIA jadi tempat di mana ada api dalam se
kam, hingga ide Wahidin berkembang di sini.
Para mahasiswa STOVIA bukan dari keluarga petinggi dae-
J
AKARTA mungkin kota dengan sebuah lampu Aladin ra-
hasia. Kini kita hanya lupa-lupa ingat apa yang tak ada sebe-
lum April 1966, sebelum Ali Sadikin diangkat oleh Presiden
Sukarno jadi gubernur kota ini.
Saya coba susun sebuah daftar dari luar kepala: Jalan H.R.
Rasuna Said–Jalan Casablanca–Taman Ismail Marzuki–sejum-
lah gelanggang remaja–taman hiburan di pantai Ancol–sebuah
pusat perfilman–museum tekstil, wayang, seni rupa–stasiun bus
kota–halte–lampu-lampu lalu lintas–taksi–taman-taman kecil–
kampung-kampung yang dihubungkan dengan jalan yang rapi....
Mereka yang lahir atau datang terlambat di kota ini tak akan
merasakan proses yang menakjubkan dari ”tak-ada” menjadi
”ada” itu.
Saya datang ke kota ini pada 1960, untuk jadi mahasiswa Uni-
versitas Indonesia, di fakultas psikologi yang waktu itu terletak
tak kentara di seberang rumah sakit umum yang masih disebut
”CBZ”. Saya tinggal indekos di satu rumah tak jauh dari Salem-
ba, di mana kampus Universitas Indonesia terselip praktis tanpa
halaman. Kadang-kadang saya naik sepeda dari Grogol.
Dulu ada sebuah kebun binatang yang nyaris kosong di tem-
pat yang kini jadi Taman Ismail Marzuki. Dulu ada bus-bus Ro-
bur yang hampir mirip kotak yang gemuk bikinan Cekoslowakia,
sudah peyot, dengan penumpang yang berimpitan seperti ikan
teri dalam kuali. Atau opelet yang separuh kayu persegi untuk
tujuh orang dengan seorang kenek yang mengatur penumpang.
http://facebook.com/indonesiapustaka
dikin jadi gubernur. Mereka tak tampak lagi. Kota ini berubah,
bergegas.
Saya tak mengenang masa pra-Ali Sadikin dengan nostalgia.
Saya kira Jakarta bukanlah kota yang cocok buat merindukan
masa lalu: penduduk bertambah hampir 6 persen setahun, baik
dari kelahiran maupun dari urbanisasi, dan anak + remaja mem-
bentuk dasar yang luas di piramida demografi. Dengan kata lain,
mayoritas bukanlah mereka yang punya pengalaman yang bisa
diingat dari kota ini. Mayoritas penduduk dilecut untuk sibuk
dengan kini dan esok.
Ketika Bung Karno melantik Ali Sadikin, Presiden itu bicara
tentang impiannya: Jakarta yang dikagumi dunia. Saya tak tahu
apakah Ali Sadikin ingat kata-kata itu. Tapi baginya yang mende-
sak bukanlah apa kata dunia, melainkan apa kata penghuni Ja-
karta sendiri.
Dan ia pun bekerja. Dan Jakarta berubah.
Ali Sadikin sendiri juga berubah—meskipun ada hal-hal
yang tetap dalam hidupnya: kerja kerasnya, keberaniannya untuk
membuat sebuah gebrakan dan melawan pendapat yang ingar-
bingar, kemauannya untuk mendengar dan belajar sesuatu yang
baru, kharismanya, kepemimpinannya, dan juga daya tariknya.
Ia perwira tinggi Marinir yang harus mengurus 5 juta manusia
yang begitu beraneka dan berantakan. Cepat atau lambat, ia ha-
rus mengambil sikap lain: ia tak bisa terus-menerus membentak.
Saya ingat pada hari-hari pertama ia mencoba menertibkan bus
kota. Waktu itu puluhan bus kota menggunakan Lapangan Ban-
teng sebagai tempat parkir dan calo-calo menguasai lalu lintas pe
numpang. Sebuah khaos besar berkuasa di sana. Pada suatu hari,
http://facebook.com/indonesiapustaka
J
alan juga sebuah laku. Di sana orang ambil keputusan,
ambil risiko, hanya mengulang tapi bisa juga melakukan
yang tak terduga-duga. Di sana ia bisa menemui rezeki atau
ajal. Dan jika kita bicara tentang lingkungan kota besar, ja-
lan bisa juga berarti satu wilayah untuk mengelak.
Ada sepatah kata bahasa Indonesia yang sering dipakai tapi
tak menarik perhatian: ”kluyuran”. Dalam kata ini tergambar ba
gaimana ruang yang sambung-menyambung dan berkelok-kelok
itu dapat merupakan tempat kita iseng, main-main, atau meng
ikutirasa ingin tahu. Saya kluyuran jika saya berjalan menyusuri
kota besar ini, tanpa ingin menghasilkan apa-apa, tanpa didesak
waktu, tapi asyik mengamat-amati seraya terus-menerus meng
alihkan fokus.
Laku semacam itu bukanlah laku yang cocok dengan apa yang
dikehendaki sebuah kota besar: rasionalitas, efisiensi, produktivi-
tas. Baudelaire, penyair Les Fleurs du Mal (”Bunga Mala”) dan
LeSpleen de Paris (”Limpa Paris”), telah membuat kata flâneur—
yang artinya tak jauh dari ”Bung Kluyur”—jadi begitu penting
dalam telaah ilmu sosial dan filsafat, karena ia dapat menggam-
barkan bagaimana ”kluyuran” di kota yang telah diubah jadi mo
dern merupakan sebuah sikap politik dan estetik. Flâneurie se
akan-akan menampik rasionalitas yang diterapkan di Parismeng
ikuti planologi Baron Georges-Eugène Haussman selama dua da-
sawarsa sejak 1852. Sang flâneur menjelajah secara acak, santai,
dan seenaknya sebuah metropolis, semacam ikhtiar memperta
http://facebook.com/indonesiapustaka
la-sela tamu. Hanya setengah meter dari sana: barisan drum band,
pekerja seks, orang mati melarat, orkes keliling, perempuan ber-
dandan keren, pengkhotbah yang marah, petugas ketertiban kota
yang hendak menegakkan tertib, banci yang hidup di luar tata.
I
A kurus, keras, kompetitif, brutal. Matanya sering menyem-
pit, penuh wasangka dan cerdik. Rahangnya seakan-akan
dibentuk buat melumat apa saja. ”Aku penuh persaingan.
Aku tak mau ada orang lain berhasil. Kebanyakan orang kuben-
ci.”
Daniel Plainview, diperankan dengan meyakinkan oleh Da
niel Day-Lewis dalam film There Will be Blood, mengenal baik
perangainya sendiri. Ia harus mengalahkan, memukul, atau me-
nipu untuk menang.
Tapi cerita ini bukan tentang jiwa yang sakit, betapapun sen
tralnya sosok Plainview di layar putih itu. Yang kita ikuti ada
lah kisah tentang kekuasaan yang membuat seseorang seakan-
akan palu godam, tentang kemauan merengkuh dan memiliki
yang membuat orang bengis. Sutradara dan penulis skenario Pa
ul Thomas Anderson berkisah tentang seorang raja minyak di wi
layah California pada awal abad ke-20.
Ia bertolak dari novel Sinclair Lewis, Oil!, yang terbit pada
1927. Tapi ada beda besar antara film Anderson dan novel Lewis.
Tokoh Ross dalam Oil! bukan mirip seekor hewan yang paranoid
seperti Plainview. Meskipun begitu, Ross dengan dingin menyo
gok politikus dan pejabat, yakin bahwa uang suap bisa membuat
urusan cepat beres.
Dengan kata lain, Oil! juga hendak menunjukkan betapa ber
kilau dan licinnya minyak bumi, hingga orang sesat dan noda ter-
jadi.
http://facebook.com/indonesiapustaka
kan ke dunia harga minyak tak akan bisa turun. Kita lupa per-
tumbuhan ekonomi Cina dan India akan mengkonsumsi BBM
dengan pesat. Permintaan pun naik, persediaan terbatas.
Kini kita protes karena harga menjulang—dan bukan menge-
cam pemerintah yang takut mengingatkan rakyat bahwa jalan di
depan niscaya pedih, bukan jalan sim-salabim ”blue energy”.
”Akan ada darah”, itulah kemungkinan yang menakutkan
dari riwayat minyak. Di salah satu adegan Plainview memper
ingatkan, ”...Kalian punya kesempatan baik di sini, tapi ingat, ka-
lian bisa kehilangan ini semua jika tak berhati-hati....”
Bicarakah ia kepada kita?
D
I luar sel kantor Kepolisian Daerah Jakarta Raya itu se-
buah statemen dimaklumkan pada pertengahan Juni
yang panas: ”SBY Pengecut!”
Yang membacakannya Abu Bakar Ba’asyir, disebut sebagai
”Amir” Majelis Mujahidin Indonesia, yang pernah dihukum ka
rena terlibat aksi terorisme. Yang bikin statemen Rizieq Shihab,
Ketua Front Pembela Islam, yang sedang dalam tahanan polisi
dan hari itu dikunjungi sang Amir.
Dari kejadian itu jelas: mencerca Presiden dapat dilakukan de-
ngan gampang. Suara itu tak membuat kedua orang itu ditang-
kap, dijebloskan ke dalam sel pengap, atau dipancung.
Sebab ini bukan Arab Saudi, wahai Saudara Shihab dan
Ba’asyir! Ini bukan Turki abad ke-17, bukan pula Jawa zaman
Amangkurat! Ini Indonesia tahun 2008.
Di tanah air ini, seperti Saudara alami sendiri, seorang tahan-
an boleh dikunjungi ramai-ramai, dipotret, didampingi pembe-
la, tak dianggap bersalah sebelum hakim tertinggi memutuskan,
dapat kesempatan membuat maklumat, bahkan mengecam Ke-
pala Negara.
Di negeri ini proses keadilan secara formal dilakukan de-
ngan hati-hati—karena para polisi, jaksa, dan hakim diharuskan
berendah hati dan beradab. Berendah hati: mereka secara bersa-
ma atau masing-masing tak boleh meletakkan diri sebagai yang
mahatahu dan mahaadil. Beradab: karena dengan kerendahan
hati itu, orang yang tertuduh tetap diakui haknya untuk membe-
http://facebook.com/indonesiapustaka
kan kepada kadi, majelis ulama, Ketua FPI, atau amir yang mana
pun. Keadilan yang sebenarnya tak di tangan manusia.
Itulah yang tersirat dalam iman. Kita percaya kepada Tuhan:
kita percaya kepada yang tak alang kepalang jauhnya di atas kita.
Ia Yang Maha Sempurna yang kita ingin dekati tapi tak dapat kita
capai dan samai. Dengan kata lain, iman adalah kerinduan yang
mengakui keterbatasan diri. Iman membentuk, dan dibentuk,
sebuah etika kedaifan.
Di negeri dengan 220 juta orang ini, dengan perbedaan yang
tak tepermanai di 17 ribu pulau ini, tak ada sikap yang lebih tepat
ketimbang bertolak dari kesadaran bahwa kita daif. Kemampuan
kita untuk membuat 220 juta orang tanpa konflik sangat terbatas.
Maka amat penting untuk punya cara terbaik mengelola seng
keta.
Harus diakui (dan pengakuan ini penting), tak jarang kita ga-
gal. Saya baca sebuah siaran pers yang beredar pada Jumat kema-
rin, yang disusun oleh orang-orang Indonesia yang prihatin:
pikiran siapa saja—”yang kaya dan yang tidak kaya,” kata Bung
Karno, ”yang Islam dan yang Kristen”, ”yang bukan Indonesia
tulen dengan yang peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.”
”Gotong-royong” itu juga berangkat dari kerendahan hati dan
I
man selamanya akan bernama ketabahan. Tapi iman juga
bertaut dengan antagonisme. Kita tahu begitu dalam makna
keyakinan kepada yang Maha Agung bagi banyak orang,
hingga keyakinan itu seperti tambang yang tak henti-hentinya
memberikan ilham dan daya tahan.
Tapi kita juga akan selalu bertanya kenapa agama berkali-kali
menumpahkan darah dalam sejarah, membangkitkan kekerasan,
menghalalkan penindasan.
Hari-hari ini, ketika orang-orang Ahmadiyah terpojok di be-
berapa kota di Indonesia, dua sisi itu muncul di kepala saya kem-
bali.
Tiga tahun yang lalu seorang teman di Eropa bercerita tentang
sepucuk surat yang ia terima dari adiknya di Basra, Irak. Si adik
mengenangkan apa yang dipikirkannya ketika ia, seorang perem-
puan keluarga Sunni, bersembunyi di sebuah lubang di lapangan
agak jauh dari rumah, sementara di luar, di jalanan, para anggota
milisia Syiah lalu-lalang bersenjata. Bunuh-membunuh telah be-
berapa hari berlangsung. Paman mereka dan kedua anaknya tak
pernah kembali.
”Saya bayangkan, saya adalah seorang penganut Islam pada
tahun-tahun menjelang Hijrah—seorang yang ikut bersembunyi
dalam gua bersama Rasulullah, ketika orang-orang Quraisy ber-
simaharajalela,” demikian si adik menulis. ”Apakah saya akan
setakut diri saya hari itu, tak putus-putusnya menanti hari jadi
gelap agar saya, penganut Muhammad saw, akan bisa bebas dari
http://facebook.com/indonesiapustaka
208
Catatan Pinggir 9
DD
O
rang kelahiran Pasuruan itu selalu mengingatkan sa
ya apa arti sebuah tanah air. Ia Ernest François Eugene
Douwes Dekker. Ia mengingatkan apa arti Indonesia
bagi saya.
Sekitar akhir Juli 1913 ia disekap di sebuah penjara di Jakarta
Pusat. Waktu itu umurnya 33 tahun. Pemerintah kolonial menu
duhnya telah ”membangkitkan rasa benci dan penghinaan terha-
dap pemerintah Belanda dan Hindia Belanda”. Tuduhan itu tak
benar; tapi ia memang tak menyukai kekuasaan itu, yang, seperti
dikatakannya kepada para hakim kolonial, bertakhta ”di negeri
kami ini, di bumi orang-orang yang tak menikmati kebebasan”.
Dari sebuah berita acara yang bertanggal 11 Agustus kita tahu
apa yang ia perbuat sebenarnya. Partai politik yang didirikannya,
”Indische Partij”, tak diakui sebagai badan hukum. Tapi Douwes
Dekker terus menulis dalam surat kabar De Expres dan lain-lain
sejumlah artikel yang oleh Residen Betawi, yang menginterogasi
nya hari itu, dianggap ”melanjutkan membuat propaganda” ten-
tang cita-cita partai itu.
Tapi dapatkah itu dielakkan? Dalam sebuah memori pembela
an Douwes Dekker menjawab: ”Adakah kemungkinan saya tak
lagi berbuat propaganda? Apakah hati seseorang ibarat jas luar
yang dapat sesuka hati dipakai atau disimpan...? Tidakkah sese
orang akan merupakan propaganda bagi dirinya sendiri selama ia
hidup?”
”Saya tak dapat berbuat lain.... Kecuali saya dalam sebuah to
http://facebook.com/indonesiapustaka
merintah kolonial.
Akhirnya kita tahu, DD bergerak. Rumahnya di Jakarta jadi
tempat para mahasiswa STOVIA berkunjung—para pemuda
yang di asrama mereka gemar menyanyikan lagu Revolusi Pran-
S
oal paling serius dalam politik hari ini adalah harapan.
Haruskah kita terus berjuang dalam politik untuk per
ubahan, ketika hampir semua hal sudah diucapkan secara
terbuka, tapi Indonesia hanya berubah beberapa senti? Atau begi-
tukah nasib dunia: sejarah adalah repetisi kesalahan yang tak kita
sadari? Atau sejarah sebenarnya tak punya tujuan, apa pun yang
dikatakan Hegel dan Marx?
Rahman Tolleng kini 70 tahun: ia mungkin tak akan menja-
wab pertanyaan di atas. Tapi ia saksi yang bisa menunjukkan, ka-
laupun sejarah hanya sebuah cerita acak-acakan, tak berarti ia sia-
sia. Kalaupun akal budi tak kunjung menang, seperti dicitakan
Hegel, tak berarti manusia takluk. Kalaupun kebebasan tak ber-
hasil terbentang penuh di dunia, seperti diperhitungkan Marx,
tak berarti ia tak layak diperjuangkan.
Entah mengapa, selalu ada orang-orang yang bersedia bekerja
untuk menjaga agar sejarah, yang tujuannya tak jelas, tak berge
rak jadi arus yang berakhir dengan pembinasaan—khususnya
pembinasaan mereka yang tak berdaya.
Pada 1 Juni yang lalu saya bertemu Rahman Tolleng di hala
man depan Galeri Nasional, Jakarta. Orang-orang, termasuk
anak-anak, berkumpul di sana. Mereka menghindar dari Taman
Monumen Nasional, setelah sejumlah orang dari mereka yang se-
dang akan memeriahkan Hari Lahir Pancasila diserbu dan dipu-
http://facebook.com/indonesiapustaka
dato.
Tapi kini perangai partai-partai politik mirip tikus besar-kecil
yang merusak padi di sawah kita. Atau, lebih buruk lagi, mirip
”vampir”, seperti kata editorial Media Indonesia, pelesit yang
menghisap darah dari tubuh demokrasi.
Kini parlemen, pengadilan, polisi, kejaksaan, dan media nya
ris jadi sederet bordello, di mana si kaya bisa membeli sukma dan
raga manusia. Kini suara rakyat yang diberikan kepada sang pre
siden seakan-akan sia-sia: sang presiden tetap tak yakin dan terus-
menerus menunggu mandat. Kini para mahasiswa mencoba
mengulang heroisme angkatan sebelumnya, seakan-akan sejarah
bisa diulangi. Di manakah harapan?
Tapi siapa yang menggantungkan politik pada harapan lupa
bahwa harapan tak pernah datang sebelum perbuatan. Siapa yang
menggantungkan politik pada harapan akhirnya hanya akan ter
pekur, karena harapan selalu samar. Atau sebaliknya, ia akan
membuat harapan sebuah obat yang serba mujarab, dan mem-
bikin agenda melambung-lambung.
Dengan modal harapan semacam itu, politik justru akan ma
ti—”politik” dalam arti the political: gerak dan gairah melawan
kebekuan yang represif.
Saya melihat ke Rahman Tolleng: politik adalah tugas, sering
murung karena fana tapi juga tak terhingga. Saya ingat anjuran
Alain Badiou: ”Dalam politik, mari kita berusaha jadi orang mili-
tan dari aksi yang terbatas”. Kita tahu dunia tak akan jadi surga;
hanya di surga kita bisa tahu apa yang akan kita capai. Tapi sebab
itu kita tak bisa berhenti.
Bukan karena kita Sisiphus yang perkasa. Kita bukan si sete
http://facebook.com/indonesiapustaka
nyatakan diri berharga. Dalam hal ini, berharga bagi harkat liyan,
bagi liyan yang juga sesama. Simon Critchley menyebut sesuatu
yang ”infinitely demanding”, dan saya kira dengan itulah politik
adalah ”ethik” dalam perbuatan.
Di situlah ”mikropolitik” punya makna: ia ”militansi dari aksi
yang terbatas”. Ia bukan rencana mengubah semesta berdasarkan
wajah sendiri. Tapi ia tak takut kepada yang mustahil.
Dan harapan? Mungkin bukan itu soalnya. Politik bisa de-
ngan harapan, bisa tidak. Sebab ia perlawanan yang membuat
hidup kita—di sebuah tempat, di suatu waktu, bersama yang
lain—tak sia-sia.
Juga pada usia 70.
S
yahdan, Riziq mengunjungi sebuah sekolah di Aceh,
setahun setelah Meulaboh dihancurkan tsunami. Ia diper
silakan bicara di depan sebuah kelas yang baru dibangun
kembali. Ia senang, sebab dulu, sebelum jadi anggota DPR, ia se
orang dosen jurusan sastra Inggris.
Ia pun maju. Sambil mengingat bencana yang terjadi di Aceh,
ia menulis di papan tulis: T-R-A-G-E-D-I.
”Anak-anak,” katanya kepada murid-murid sekolah menengah
itu, ”kalian tahu apa arti tragedi?”
”Tahu, Pak!” jawab para murid hampir serentak.
”Bagus! Coba beri contoh bagaimana sebuah tragedi terjadi!”
Murid A: ”Apabila seorang tua memanjat pohon mangga un-
tuk memetik sebuah buat cucunya yang sakit—tapi ia terjatuh
dan mati.”
Riziq: ”Oh, itu bukan tragedi. Itu kecelakaan.”
Murid B: ”Apabila sebuah asrama yang dihuni serombongan
olahragawan nasional kena gelombang tsunami dan semuanya
tewas.”
Riziq: ”Oh, itu bukan tragedi. Itu namanya kehilangan besar
yang menyedihkan bangsa.
Murid C: ”Apabila Bapak dan tujuh orang anggota DPR lain
terbang dengan sebuah helikopter, dan tiba-tiba pesawat tergun-
cang, terbalik, dan bapak semua jatuh ke dalam jurang.”
Riziq: ”Nah, itu yang benar—itulah contoh tragedi. T-R-A-
G-E-D-I! Coba kamu terangkan kepada teman-temanmu, kena-
http://facebook.com/indonesiapustaka
lah hanya wakil. Sementara ia tak bisa jadi tempat yang sanggup
menyelesaikan tuntas soal keadilan, ia tak bisa mengelak dari ke-
nyataan bahwa dalam tubuh sosial selalu bersembunyi apa yang
disebut Rancière la police: struktur yang diam-diam mengatur
M
ungkinkah Indonesia akhirnya hanya sederet
partai?
Sekitar seabad yang lalu, kita tak akan berkeberatan
dengan itu. Indische Partij, Partai Komunis, Partai Sarekat Islam,
PNI, dan lain-lain lahir. Mereka datang dengan keyakinan.
Pada masa itu, ”politik” adalah gugatan. ”Politik” adalah usa
ha membongkar sebuah wacana yang dianggap cacat, tapi dijejal-
kan oleh mesin kekuasaan kolonial sebagai konstruksi yang final.
Menghadapi itulah ”politik” adalah ”pergerakan”.
Berarti, di dalamnya ada kehendak mengubah keadaan, ke
arah emansipasi sosial dan musnahnya ketidakadilan. Dengan
kata lain, ada social imaginary: sebuah gambaran yang mengge
rakkan hati tentang sebuah kehidupan masyarakat yang lain, wa-
laupun gambaran itu bukan sebuah desain yang siap.
Konon, pada awal abad ke-20, di asrama mereka, para murid
STOVIA—yang kemudian jadi bara pertama perlawanan anti
kolonialisme—tiap malam menyanyikan lagu revolusi Prancis
dengan berkobar-kobar: ”Kita lawan tirani!”
Berkobar-kobar—Chantal Mouffe menyebut arti passion da
lam politik: fantasi, hasrat, ”semua hal yang tak dapat diringkus
jadi kepentingan dan rasionalitas”, semua hal yang membentuk
subyektivitas manusia. Dengan catatan: ”subyektivitas” itu bu
kantentang ”aku”. Ia justru timbul karena ada sesuatu yang uni
versal yang datang mengimbau, sesuatu yang berarti bukan cuma
buatku, tapi bagi engkau, bagi sesama, sebuah dunia yang me
http://facebook.com/indonesiapustaka
surplus.
Di sini memang politik tampak sebagai jalan yang aman.
Partai tak akan jadi pembelot. Tapi saya kira sebetulnya sebuah
fragmentasi diam-diam berlangsung. Sebab inilah politik tanpa
wah lampu neon yang tak terang, sejumlah pemuda duduk. Ku-
rus, lusuh, tapi intens. Di leher mereka terkalung bandana merah.
Mereka memaklumkan berdirinya Partai Rakyat Demokratik,
sebuah partai kiri—ketika suasana tambah represif di bawah
”Orde Baru” dan apa saja yang merah dan kiri dihabisi dan tiap
partai alternatif akan dibabat.
Di ruang itu saya duduk bersama Pramoedya Ananta Toer
memandangi mereka. Kami tahu, ke sana mata-mata penguasa
mengintip, senjata disiapkan, penjara dicadangkan. Tapi anak-
anak muda tetap saja dengan upacara sederhana yang bersejarah
itu.
Bersejarah, apalagi bila dibandingkan dengan pesta kelahiran
partai-partai hari ini.
B
ung Karno jadi presiden dalam usia 44. Soeharto me-
mimpin gerilya ke Kota Yogya dalam umur 26. Ali Sa-
dikin jadi gubernur ketika ia 39 tahun.
Apa yang menyebabkan keadaan seperti itu kini tak terjadi
lagi? Kenapa kini, pada awal abad ke-21 ini, sejumlah orang harus
berteriak, seakan-akan mendesakkan yang tak lumrah, memberi-
takan yang tak lazim, bahwa mereka yang masih muda bisa jadi
pemimpin?
Memang ganjil, sebenarnya. Indonesia belum tua benar.
Enam puluh tiga tahun adalah waktu yang pendek bahkan da
lam tarikh kepulauan ini sendiri. Tapi rupanya sesuatu terjadi:
kini Indonesia tak berada dalam sebuah krisis dan lebih dari itu,
kini kita telah terbiasa gentar untuk krisis.
Tak ada lagi tanah longsor politik, yang menyebabkan lemba
ga-lembaga yang ada retak atau runtuh. Tak ada celah tempat
munculnya sesuatu yang baru sama sekali. Tak ada awal yang se
akan-akan murni dan sepenuhnya awal. Kita bisa bernapas lega.
Tapi jangan-jangan kita sebenarnya sedang tidak benar-benar
bernapas.
Sebab, seperti dialami Indonesia pada tahun-tahun revolusi—
dari 1945 sampai 1949—dari retakan tanah longsor itulah, ke-
tika sejarah bagaikan dipenggal, bisa lahir pemimpin yang justru
jadi penting karena ia tak punya masa lalu. Bukan kebetulan Be
nedict Anderson menyebut masa itu masa ”Revolusi Pemuda”:
yang muda tak hanya berada di garis depan yang menghela maju,
http://facebook.com/indonesiapustaka
Politik memang mati pada masa itu. Kini, sejak 1998, ia me-
mang hidup kembali, tapi tiap ”Reformasi”—bahkan sebenar
nya juga tiap Revolusi—tak hanya mengandalkan sisi destruktif
dari sikap menampik. ”Reformasi” tak hanya terdiri dari sisi yang
merusak dari ”negasi”. Tiap ”Reformasi” mengandung sisi yang
”afirmatif”. Tiap ”Reformasi” menunjukkan kemungkinan la-
hirnya tatanan baru yang sebenarnya bukan sebuah awal yang be
nar-benar awal.
Tapi dengan demikian ”Reformasi” mengandung kemung
kinan berubahnya tatanan itu jadi kontra-reformasi. Ada satu
fragmen dari sajak Pier Paolo Pasolini, Vittoria, yang pernah di-
kutip Alain Badiou—sebuah sajak yang dimulai dengan kalimat
yang muram, ”semua politik adalah Realpolitik”. Dari sini kita
temukan gambaran yang murung: pasukan anak muda yang te
lah gugur, yang datang kembali dan menunggu. Tak mustahil bi
la ”ayah mereka, pemimpin mereka, terlibat habis dalam sebuah
debat yang misterius dengan Kekuasaan”. Tak mustahil bila sang
ayah akan meninggalkan mereka, ”di pegunungan putih, di lem-
bah yang anteng...”.
Tak mustahil—bahkan itulah yang terjadi kini. Politik hidup
kembali, tapi tampaknya anak-anak muda telah ditinggalkan.
Sepuluh tahun setelah Reformasi, tetap tak ada tampak gerakan
pemuda dalam radar politik Indonesia. Partai-partai yang kini si-
buk tak henti-hentinya terlibat dalam ”debat yang misterius de-
ngan Kekuasaan” dan ke luar dari sana dengan tubuh yang ge-
muk tapi tua.
Tubuh itu tampak tua tentu saja karena Megawati, dalam
umur 61, tetap ingin jadi presiden sekali lagi. Juga karena Abdur
http://facebook.com/indonesiapustaka
A
khirnya, Obama kembali ke dalam kisah yang biasa:
sejarah politik adalah sejarah kembang api.
Pada suatu hari yang gelap, sebuah partai atau seorang
tokoh politik dengan cepat terlontar bercahaya ke angkasa, bak
bintang luncur dengan suara riuh. Tapi tak lama kemudian, ia tak
tampak. Ia malah mungkin jatuh sebagai arang yang getas.
Ketika Obama masuk ke gelanggang persaingan untuk jadi ca
lon presiden, ia seperti kembang api. Ia berseru, Change!—dan se-
bagai orang kulit berwarna pertama dalam posisi itu sejak Ameri-
ka berdiri pada abad ke-18, ia seakan-akan pengejawantahan
”perubahan” itu sendiri.
Tapi benarkah? Waktunya memang tepat. Amerika Serikat ki
ni dalam titik terburuk. Presiden Bush hanya bisa mengulang ka
ta-kata klise untuk kebijakan yang kuno dan keliru: jingoisme ala
Perang Dingin, paranoia politik ala tahun 1950-an, dan ekonomi
pasar yang memproduksi pengangguran seakan-akan John May-
nard Keynes belum lahir. Perang ”antiterorisme”-nya gagal me
nyetop bom yang diledakkan dengan pekik ”anti-Amerika”. Pe
rangIrak-nya berangkat dengan kebohongan besar dan berlanjut
tanpa diketahui kapan selesai. Amerika tak lagi punya wibawa
moral dalam perjuangan demokrasi: ia melanggar hak asasi ma-
nusia tanpa malu-malu bertahun-tahun di Guantanamo.
Dengan latar seperti itu, Obama menggugah. Tapi benar dah-
syatkah ”perubahan” yang disuarakannya?
Demokrasi adalah sistem dengan rem tersendiri—juga ketika
http://facebook.com/indonesiapustaka
S
AYA bisa bayangkan pagi hari 17 Agustus 1945 itu, di ha
laman sebuah rumah di Jalan Pegangsaan, Jakarta: men
jelang pukul 09:00, semua yang hadir tahu, mereka akan
melakukan sesuatu yang luar biasa.
Hari itu memang ada yang menerobos dan ada yang runtuh.
Yang runtuh bukan sebuah kekuasaan politik; Hindia Belanda
sudah tak ada, otoritas pendudukan Jepang yang menggantikan-
nya baru saja kalah. Yang ambruk sebuah wacana.
Sebuah wacana adalah sebuah bangunan perumusan. Tapi
yang berfungsi di sini bukan sekadar bahasa dan lambang. Se-
buah wacana dibangun dan ditopang kekuasaan, dan sebaliknya
membangun serta menopang kekuasaan itu. Ia mencengkeram.
Kita takluk dan bahkan takzim kepadanya. Sebelum 17 Agustus
1945, ia membuat ribuan manusia tak mampu menyebut diri de-
ngan suara penuh, ”kami, bangsa Indonesia”—apalagi sebuah
”kami” yang bisa ”menyatakan kemerdekaan”.
Agustus itu memang sebuah revolusi, jika revolusi, seperti ka
ta Bung Karno, adalah ”menjebol dan membangun”. Wacana ko-
lonial yang menguasai penghuni wilayah yang disebut ”Hindia
Belanda” jebol, berantakan. Dan ”kami, bangsa Indonesia” kian
menegaskan diri.
Sebulan kemudian, 19 September 1945, dari pelbagai penjuru
orang mara berduyun menghendaki satu rapat akbar untuk me
negaskan ”kemerdekaan” mereka, ”Indonesia” mereka. Bahkan
penguasa militer Jepang tak berdaya menahan pernyataan politik
http://facebook.com/indonesiapustaka
K
etika Mahmoud Darwish meninggal, apa yang kita
ingat? Sajak-sajaknya? Atau nasibnya yang seperti nasib
Palestina: terkurung, melakukan apa yang dilakukan
para tahanan dan dikerjakan para penganggur—yakni meng
olahharap?
***
Di sini tak ada ”aku”.
Di sini Adam
mengingat debu dari lempung itu
***
yang terusir dan tinggal di kamp berpuluh tahun itu tak hanya
ada tenaga para pembunuh. Dari Mahmoud Darwish kita tahu:
di Palestina, ketidakadilan tegak dan dijaga ketat, sementara ke-
adilan jadi tahanan di sel yang tersembunyi. Kita tak bisa merun-
tuhkan sel itu. Tapi kita tak bisa membenarkannya.
K
ita sedang menyaksikan semacam nihilisme, dengan
paras yang cantik. Ketika partai-partai politik tak lagi
memaparkan apa yang mau mereka capai dengan ber-
saing dalam pemilihan umum, ketika mereka cuma memajang
bintang sinetron untuk membujuk orang ramai, kita pun tahu:
politik telah berubah. Kita tidak lagi hidup di abad ke-20. Kita te
ngahmemasuki ”sindrom Italia”.
Di Italia, perempuan yang tersohor itu, pemain utama dalam
sederet film porno, La Cicciolina, ikut dalam pemilihan umum
pada pertengahan 1987. Ia dipilih; ia duduk di Parlemen mewakili
”Partai Cinta”. Pada 1992, ia terjun lagi, ketika di Italia pengang-
guran mencapai 11% dan inflasi 6%. Tahun ini tampil Milly
D’Abbraccio. Ketika perempuan cantik ini masih lebih muda, ia
pernah membintangi film yang berjudul, misalnya, Paolina Bor
ghese, Maharani Nimfomaniak.
Sesuatu yang terjadi di Italia tampaknya tak banyak berbeda
dengan yang terjadi di Indonesia kini—meskipun di daftar calon
legislator itu belum ada bintang blue film. Kita seakan-akan men-
dengarkan suara orang Indonesia ketika dari apartemennya di
Roma D’Abraccio berkata kepada wartawan Reuters: di sini, ”tiap
orang sudah muak dengan wajah para politisi itu.... Mereka ganti
nama partai, tapi orangnya sama saja. Masing-masing menjanji-
kan banyak hal, tapi tak ada yang terjadi.”
Sudah begitu membosankankah demokrasi di Indonesia—
yang baru lahir lagi 10 tahun yang lalu? Saya tak tahu. Tapi orang
http://facebook.com/indonesiapustaka
seperti butuh sesuatu yang gemerlap ketika tak jelas lagi kenapa
para pemilih diharapkan datang ke kotak suara. ”Rakyat”, yang
di sepanjang abad ke-20 merupakan sebutan bagi sebuah kekuat
an yang dahsyat (bahkan suci) karena dialah tenaga dasar per-
tapi itu kegaduhan suara merdu, tangis + ketawa galak yang pal-
su, dan bentrokan yang akan selesai ketika sutradara (atas titah
produser, tentu saja), berseru, ”Cut!”
Nihilisme itu memang bisa asyik. Ia memperdaya.
A
da sebuah pernyataan tentang perang yang seharusnya
tak terlupakan, terutama ketika senjata masih terus di-
produksi dan mesiu diledakkan dan manusia tak habis-
habisnya sengsara: ”Tiap senjata yang dibuat, tiap kapal perang
yang diluncurkan, tiap roket yang ditembakkan, menandai se-
buah pencurian.”
”Pencurian” adalah kata yang mengejutkan. Tapi orang yang
mengucapkannya, Dwight D. Eisenhower, tahu apa yang dika
takannya. Ia—satu-satunya jenderal yang jadi presiden Amerika
Serikat pada abad ke-20—melihat dengan tajam bahwa ada hu
bungan erat antara ekonomi persenjataan dan peperangan, se-
buah hubungan yang disebutnya sebagai ”kompleks militer-in-
dustri”. Bagi Eisenhower, tiap kali perang disiapkan dan tiap kali
meletus, sesuatu yang berharga diambil dari ”mereka yang lapar
dan tak dapat makan, mereka yang kedinginan dan tak dapat ba
ju”. Permusuhan bersenjata menghabiskan keringat para buruh
dan kecerdasan para ilmuwan. Korban tak hanya di medan tem-
bak-menembak. Di bawah bayang-bayang perang, ”kemanusia
an-lah yang terpentang di sebatang salib besi”.
Eisenhower mengatakan itu pada 1953, kurang dari dua dasa
warsa setelah perang besar menggerus dan mengubah Eropa dan
Pasifik—sebuah perang tempat ia, sebagai prajurit, menyaksikan
dan mengalami kegagalan dan kemenangan, seraya tahu bahwa
di tiap medan tempur, kebrutalan, kebodohan, dan kesia-siaan
tampak dengan jelas.
http://facebook.com/indonesiapustaka
bis-habisnya.
Empat tahun yang lalu, John Kerry, calon presiden Partai De-
mokrat, kalah karena ia diragukan kepahlawanannya dalam Pe
rang Vietnam. Tahun ini, calon presiden dari Partai Republik,
John McCain, seorang yang berumur 72 tahun, bisa jadi akan
dipilih karena nun di masa lalu dia ”pahlawan perang”. Sebalik
nya Obama, yang tak pernah terlibat dalam perang apa pun, dan
menjanjikan sebuah masa depan yang berbeda, diragukan ke
mampuannya sebagai ”panglima tertinggi”. Ia bisa kalah karena
itu.
Kenangan bisa jadi aneh memang, dan masa lalu tak pernah
datang sendiri. Sejarawan Inggris terkenal, Tony Judt, dalam The
New York Review of Books (1 Mei 2008), mengatakan sesuatu yang
tajam dan menukik dalam: ”Amerika Serikat kini satu-satunya
demokrasi yang telah lanjut di mana tokoh-tokoh publik meng
agungkan dan menjunjung tinggi militer, sebuah perasaan yang
dikenal di Eropa sebelum 1945 tapi tak terasa lagi sekarang.” Para
politikus Amerika, kata Judt pula, mengelilingi diri dengan ”lam-
bang dan pajangan yang menandai kekuatan bersenjata”.
Judt menemukan sebabnya: perang belum pernah membuat
Amerika remuk. Dalam pelbagai konflik abad lalu, Amerikatak
pernah diserbu. Ia tak pernah kehilangan onggok besar wilayah
nyakarena diduduki negara asing. Bahkan, sementara AS amat
diperkaya oleh dua perang dunia, Inggris kehilangan imperium-
nya. Meskipun merasa dipermalukan dalam perang neokolonial
di negeri jauh (di Vietnam dan di Irak), orang Amerika tak per-
nah menanggungkan akibat kekalahan secara penuh. Mereka bi
sa saja mendua dalam menyikapi aksi militer belakangan ini, tapi
http://facebook.com/indonesiapustaka
yang tewas kurang dari 120 ribu, sementara Inggris 885 ribu,
Prancis 1,4 juta, dan Jerman di atas dua juta. Dalam Perang Du-
nia II, sementara AS kehilangan 420 ribu tentara, Jepang 1,2 juta,
Jerman 5,5 juta, dan Uni Soviet 10,7 juta. Di dinding granit hi-
tam monumen Perang Vietnam di Washington, DC, tercantum
58.195 orang Amerika yang mati; tapi jumlah itu dihitung selama
15 tahun pertempuran, sementara, kata Judt, tentara Prancis ke-
hilangan dua kali lipat hanya dalam waktu enam minggu.
”Perang”, akhirnya, adalah sebuah pengertian yang disajikan
dari bagaimana sejarah dibicarakan. Kini orang Amerika perca
ya, sejarah telah terbagi dua: sebelum dan sesudah ”11 September
2001”. Semenjak itu, masa lalu dan masa depan pun ditentukan
oleh apa yang tumbuh pada tanggal itu: sikap waspada, takut,
malu, dan dendam yang berkecamuk pada hari-hari setelah para
teroris menghancurkan dua gedung tinggi di Kota New York itu.
Yang dilupakan: sejarah lebih lama dan lebih luas ketimbang
hari itu. Seperti ditunjukkan Judt, terorisme tak hanya terjadi
pada 11 September 2001. Apokalips tak hanya terjadi ”kini”, dan
tak hanya mengenai orang Amerika.
Dalam film Apocalypse Now, dari rimba Vietnam yang penuh
kekejaman, Kolonel Kurtz memaparkan segala yang menakut-
kan, berdarah, absurd, edan, dan tak bertujuan. Pada akhirnya ia
adalah sosok rasa ngeri dan kebuasan manusia, yang menyebab
kan Perang Vietnam tak membedakan lagi mana yang ”biadab”
dan yang ”beradab”. Di jantung kegelapan Sungai Mekhong,
Kurtz dalam film Coppola pada 1979 itu adalah versi lain dari
Kurtz di Sungai Kongo dalam novel Conrad pada 1899. Kita tahu
ia manusia luar biasa. Tapi ia bagian dari konteks yang brutal.
http://facebook.com/indonesiapustaka
M
ukjizat tak pernah datang tanpa mengecoh. Ma-
nusia punya kemampuan besar untuk membentuk
khayal jadi janji—dan mempercayai janji itu setelah
mengemasnya dengan ”iman” atau ”ilmu”.
Di zaman ”iman”, orang percaya akan deus ex machina, dewa
yang keluar tiba-tiba dari ”mesin” dan menyelamatkan manusia
dari tebing jurang bencana. Di zaman kini—persisnya di zaman
ketika seorang bernama Heru Lelono hidup di dekat Presiden In-
donesia, di masa ketika kata ”ilmu” & ”teknologi” sering mem-
buat mata silau—orang pun percaya akan blue energy dan padi
”Super Toy HL-2”.
Tapi, untunglah, tak semua dan tak selamanya orang teperda
ya. Mukjizat hanya laris ketika yang terkecoh dan yang mengecoh
bersatu, ketika ada hasrat yang diam-diam mencekam, agar hari
ini yang terpuruk dapat ditinggalkan dengan ”loncatan jauh ke
depan”.
Padahal, sejarah tak pernah terdiri atas loncatan seperti itu.
Hasrat buat mendatangkan mukjizat selamanya gawal, bahkan
ketika ia didukung ”iman” yang bergabung dengan ”ilmu”.
Contoh yang terkenal adalah cerita Trofim Lysenko di Uni
Soviet di masa kekuasaan Stalin. Pada 1927, dalam usia 29, anak
petani Ukraina yang pernah belajar di Institut Pertanian Kiev ini
menjanjikan mukjizat. Koran resmi Pravda (artinya ”Kebenar
an”) menyebut Lysenko bisa ”mengubah padang gersang Trans-
kaukasus jadi hijau di musim dingin, hingga ternak tak akan pu-
http://facebook.com/indonesiapustaka
nah karena kurang pangan, dan petani Turki akan mampu hidup
sepanjang musim salju tanpa gemetar menghadapi hari esok”.
Dengan proses yang disebutnya ”vernalisasi”, Lysenko meng-
klaim ia mampu membuat keajaiban itu. Partai yang berkuasa—
kan.
Keinginan untuk mendapatkan mukjizat mungkin sebanding
dengan tingkat putus asa yang menghantui mereka yang men
dambakan deus ex machina. Manipulasi Lysenko terjadi ketika
W
OLE Soyinka tahu apa artinya diinjak dan bagaima-
na rasanya ditindas. Pemenang Hadiah Nobel untuk
Sastra tahun 1986 ini sekarang berusia 74. Ketika ia
31 tahun, orang Nigeria ini ditahan pemerintah selama tiga bu-
lan, dan dua tahun kemudian, ia—waktu itu direktur Sekolah
Drama di Universitas Ibadan—dipenjarakan karena tulisan-tu-
lisannya dianggap mendukung gerakan separatis Biafra. Selama
setahun ia disekap, antara lain di sebuah sel yang sesempit liang
lahat. Karena protes internasional, ia dibebaskan. Tapi ketika Jen-
deral Sani Abacha berkuasa di Nigeria (1993-1998), Soyinka di-
hukum mati in absentia. Kesalahannya: ia membela seorang pe
ngarang dan aktivis terkenal yang dihukum gantung.
Dari riwayat itu kita tahu, Soyinka tak akan berhenti menen-
tang ”sepatu lars yang menindas”. Tapi kemudian sesuatu yang le
bih opresif datang: fundamentalisme agama, terutama di tanah
airnya. Bagi Soyinka, kini jadi tugasnya untuk ”melawan mere
ka yang memilih bergabung dengan pihak kematian”. Artinya
”mereka yang mengatakan telah menerima titah Tuhan entah
di mana dan berkata bahwa mereka wajib membakar dunia agar
mereka mencapai keselamatan”. ”Pihak kematian” ini tak hanya
di satu sisi. Soyinka melihat musuh itu ”di lorong-lorong sempit
Irak ataupun di Gedung Putih”.
Karenanya, tugas itu tak mudah. Bagi Soyinka, Nigeria yang
didera pembunuhan antarkelompok agama karena fundamental-
isme iman, ”lebih berbahaya” ketimbang Nigeria di bawah kedik-
http://facebook.com/indonesiapustaka
Nigeria, anak tanah air itu berseru, menolak ”the party of death”:
”Aku datang dari tanah Ogun/negeri perempuan menampik ca-
dar dan laki-laki/berbagi suka dengan bumi”.
T
iap kali ”kapitalisme” tampak guncang dan buruk,
tiap kali Wall Street terbentur, orang jadi Oliver Stone.
Dalam Wall Street, sutradara yang bakat utamanya
membuat protes sosial dengan cara menyederhanakan soal, me-
nampilkan dahsyatnya keserakahan manusia. Di sana Gekko, di-
perankan Michael Douglas, menegaskan dalilnya: rakus itu ba-
gus. ”Rakus itu benar. Rakus itu membawa hasil. Rakus itu...
menandai gerak maju manusia.”
Tapi rakus adalah fiil pribadi-pribadi, sementara ”kapitalisme”
tak cukup bisa dikoreksi dengan membuat orang insaf. Rakus ju
ga bisa lahir di luar Wall Street. Ia tak hanya melahirkan ”kapi-
talisme”.
Memang ada sesuatu yang amat rumit hari-hari ini.
Seperti mantra, seperti makian, kata ”kapitalisme” kini meya-
kinkan hanya karena dampaknya bagi pendengar, bukan karena
definisinya yang persis. Juga kata ”sosialisme”. Juga kata ”pasar”,
”Negara”, dan lain-lain yang tak berseliweran di antara kita.
Kita sering tak menyimak, pengertian itu sekarang pada retak,
nyaris rontok. Setidaknya sejak Juli yang lalu. Majalah The Econo
mist melukiskan adegan dramatik yang terjadi di pusat kekuasa
an Amerika Serikat, negara kapitalis papan atas itu: ”Pada 13 Juli,
Hank Paulson, Menteri Keuangan Amerika, berdiri di tangga de-
partemennya seakan-akan ia menteri sebuah negara dengan eko-
nomi pasar yang baru timbul....”
Hari itu Paulson, pembantu Presiden Bush, mengungkapkan
http://facebook.com/indonesiapustaka
akan terbatas dan terdorong ke arah pola yang cepat jadi aus.
Ketidakadilan juga tak akan bisa diselesaikan dengan perbaik
an budi pekerti, dengan mengubah atau mengalahkan orang ma
cam Gekko.
A
DA seorang perempuan yang mudah dilupakan dunia
tapi seharusnya tak dilupakan kesusastraan. Namanya
Margaret Anderson.
Ia lahir pada 1886 di Indianapolis, Amerika Serikat, di sebuah
keluarga yang berada, dengan seorang ibu yang hampir setiap ta-
hun tergerak untuk pindah ke rumah baru—dengan mebel, tap
lak, gorden, dan lukisan dinding baru.
Margaret tak seperti ibunya, tapi ia punya keresahannya sen
diri.
Pada suatu malam, ketika ia berumur 21 tahun, setelah sehari
an merasa murung, ia terbangun dari tidur. ”Pikiran persis per-
tama: aku tahu kenapa aku murung,” demikianlah tulisnya, me
ngenang. ”Tak ada yang bersemangat yang terjadi—nothing in
spired is going on. Kedua: aku menuntut hidup harus bersemangat
tiap saat. Ketiga: satu-satunya cara untuk menjamin itu adalah
mendapatkan percakapan yang bersemangat tiap saat. Keempat:
kebanyakan orang tak bisa jauh dalam percakapan....”
Akhirnya kelima: ”Kalau aku punya sebuah majalah, aku
akan dapat mengisi waktu dengan percakapan yang terbagus
yang bisa disajikan dunia....”
Syahdan, pada umur 28 tahun, ketika ia sudah lumayan dike-
nal sebagai penulis resensi buku di beberapa media, di Chicago,
Margaret menerbitkan majalah The Little Review. ”Omong-
omong tentang seni”, itulah semboyannya.
Tapi tentu saja tak sembarang omong-omong. Nomor perta
http://facebook.com/indonesiapustaka
I
ZINKAN saya menulis tentang dinihari. Tentang jam-jam
para insomniak, ketika malam sudah tak bisa disebut malam
tapi pagi belum datang. Tentang orang-orang yang tak tidur,
seperti kau dan aku, tak bisa tidur, mereka yang terpekur atau be
ngong atau bekerja apa saja, berdoa apa saja, mereka yang menco
ba melupakan kesendirian, atau justru memasuki kesendirian.
Izinkan saya menulis tentang gelap. Dinihari adalah saat keti
ka gelap, yang berhimpun sejak senja, akan berakhir. Tapi di dini-
hari pula gelap seperti tak hendak pergi. Justru (sebuah e-mail
datang dan kamu mengingatkan saya, mengutip Paulo Coelho),
”saat paling gelap dalam seluruh hari adalah menjelang terang”.
Agaknya pada diniharilah gelap adalah sebuah ajektif bukan ten-
tang kekurangan, melainkan tentang kelebihan: gelap adalah
sesuatu yang bersama kita sebelum cahaya; ia juga sesuatu yang
akan bersama kita sesudah cahaya.
Kesementaraan, juga kelebihan. Barangkali kedua-duanya
yang membuat dinihari mempertautkan manusia dengan yang
kekal. Di biara yang jauh dari keramaian, para rahib bangun pu-
kul 03.30 pagi. Masing-masing melakukan doa pribadi di bilik
yang sempit. Pada pukul 04.00, misa bersama mulai.
Dan selama Ramadan, makan sahur dilakukan di saat itu pu
la. Orang bisa mengatakan, fisik kita perlu dijaga dengan bebera
pa suap nasi sebelum puasa 12 jam. Tapi jangan-jangan semua
itu bukanlah buat kesehatan—makan di jam seperti itu justru ti-
dak membantu metabolisme tubuh—melainkan buat merasakan
http://facebook.com/indonesiapustaka
Terkurung gelap debu Tambora itu, pagi datang dan pergi, tak
membawa siang. ”Morn came and went—and came, and brought
no day.” Dan ombak mati, pasang berdiam di kuburnya, sementa
ra Bulan, ”tuan putri mereka, telah padam sebelumnya”. Angin
pun lingsut di udara yang tak bergerak, awan musnah. Tapi, tulis
Byron, ”Gelap tak perlu bantuan dari mereka. Gelap adalah Alam
Semesta itu sendiri. She was the Universe.”
Sedikit berlebihan, tentu saja, seperti setiap sajak. Sebab selalu
ada jarak antara alam semesta dengan gelap dan terang. Itulahse-
babnya dinihari begitu penting: perbatasan; transisi; pertemuan
dua hal, momen perbedaan, momen ketidakstabilan, tapi juga
keterbukaan.
Mungkin itulah kita bisa saling merindukan—kita yang lain,
kita yang beda, kita yang mungkin belum pernah bertemu. Di
jam-jam awal dari hari, di dinihari, ketika kita dengarkan dengan
sedikit tergetar oleh kangen yang tak terelakkan Sting menyanyi,
”In the wee small hours of the morning.” Dan kita dengar trompet
Chris Botti meningkah, dan terasa, semua yang akan berakhir se-
jenak seperti sesuatu yang abadi.
270
Catatan Pinggir 9
PLEONOXIA
A
pa gerangan yang akan dikatakan pangeran Jawa yang
meninggalkan istana itu, Ki Ageng Suryomentaram, se-
andainya ia hidup pada hari ini? Seandainya ia berjalan
di Sudirman Business District, Jakarta, antara Pacific Place yang
memamerkan benda-benda mentereng dan ruang BEJ di mana
harga saham rontok, para pemilik dana panik, dan di langit-la
ngitnya bergaung rasa cemas?
Mungkin inilah yang akan kita dengar dari Ki Ageng: ”Yang
menangis adalah yang berpunya. Yang berpunya adalah yang ke-
hilangan. Yang kehilangan adalah mereka yang ingin.”
Tapi mungkin tak seorang pun akan memahaminya.
Ia memang lain. Ia lahir pada 20 Mei 1892 di Keraton Yogya-
karta. Ia pangeran ke-55 di antara sederet putra Sultan Hamengku
Buwono VII. Ibunya seorang garwa ampilan. Pangeran kecil ini
bersekolah di Srimenganti, yang dikelola istana. Pendidikan for-
malnya tipis, tapi ia berbahasa Belanda dengan baik, dan kemu-
dian belajar bahasa Arab dan Inggris. Dan ia membaca.
Pada umur 18 ia jadi Pangeran, dengan gelar ”Bendara Pa
ngeran Harya Suryomentaram”. Kita tak tahu bagaimana hidup
nya pada masa itu, tapi ada sebuah kejadian yang membuat masa
depannya berubah.
Dalam sebuah tulisan yang dimuat jurnal Archipel (nomor 16,
tahun 1978), Marcel Boneff menceritakan kembali kejadian itu.
Pada suatu hari, dalam perjalanan ke sebuah pesta perkawinan di
Keraton Surakarta, dari jendela kereta api sang Pangeran melihat
http://facebook.com/indonesiapustaka
D
engan kesadaran akan keterbatasan itu kita mene-
mui manusia dengan mengakui sifatnya yang ”komi-
kal”.
Kau menyukai lelucon dan aku menyukai tertawa. Justru ke-
tika kita menyadari, dengan sedikit sakit, harapan yang sulit di-
penuhi, impian yang rasanya mustahil. Tampaknya lawak bisa
juga sebuah tanda murung. Atau ketakmampuan mencapai.
Atau kesia-siaan.
”Bawa masuk para badut!” konon begitulah bisik di belakang
panggung bila sebuah pertunjukan terasa jadi hambar dan harus
diselamatkan, agar para penonton tak pergi. Send in the clowns!
kata lagu terkenal dalam musikal Broadway Little Night Music
pada 1973—sebuah lagu yang dinyanyikan saat tokoh lakon ini,
Desirée, terduduk bersendiri, sadar ia telah salah pilih dan kini
ditinggalkan orang yang sebenarnya dicintainya. Seperti yang di-
katakan sang komponis, Stephen Sondheim: ini ”sebuah lagu se
saldan amarah”.
”Bawa masuk para badut!”. Tapi seperti dicantumkan di akhir
lagu itu, disadari bahwa para badut sebenarnya tak diperlukan
datang. ”Don’t bother, they are all here.” Mereka sudah di sini; me
reka adalah kita sendiri.
Kita: badut. Antara ”kita”, ”badut”, dan ”kekonyolan”—seba
gaimana antara ”clown” dan ” fool” dalam teater Shakespeare—
terdapat pertautan. Di simpul itu tampak bahwa kita, manusia,
adalah makhluk yang peyot, meskipun tak putus-putusnya me
http://facebook.com/indonesiapustaka
narik. Keadaan peyot yang dilihat bukan dengan rasa kesal itulah
yang membuat kehidupan tak membuka jalan bagi sifat takabur.
Hal itu agaknya perlu ditegaskan lagi kini, di masa ketika kita ke-
cewa kepada para tokoh, dan menghasratkan pahlawan datang,
sementara, seperti hari-hari ini, dunia tetap tak bisa dibuat ten-
teram penuh.
Pada sifat peyot yang menarik itulah terletak humor. Humor,
kata Simon Critchley dalam Infinitely Demanding, ”mengingat-
kan kita akan sifat rendah hati dan keterbatasan kondisi manusia”.
Dengan kesadaran akan keterbatasan itu kita menemui manusia
dengan mengakui sifatnya yang ”komikal”, comic acknowledg
ment, bukan dalam sifatnya dalam posisi sebagai pahlawan trage-
di. Kita akan melihat diri kita, manusia, lebih sebagai Petruk atau
si Kabayan ketimbang sebagai Bisma atau Kumbakarna.
Memang perlu kematangan tersendiri untuk mendapatkan
perspektif itu. Bertolak dari makalah Freud tentang humor,
Critchley memperkenalkan satu faktor dalam kesadaran manu
sia, yang disebutnya ”super-ego II”. Kita ingat, dalam psikoanali
sis Freud ”super-ego” adalah sang Penguasa yang Keras yang
menghuni kesadaran manusia: ia pengawas, pengendali, dan pe
nindak yang menyebabkan ego patuh kepada hukum ajaran mo
ralmasyarakat. Tapi ”super-ego” pula yang dengan demikian me-
nyebabkan ego tertekan dan menderita.
Tapi Freud tak berhenti di situ. Dalam makalah bertahun
1927, ia menyebut kemungkinan hadirnya ”super-ego” yang bu
kanlagi sang Penguasa yang Streng. ”Super-ego” inilah yang ha-
dir dalam humor, yang ”berbicara dengan kata-kata yang ramah
yang menghibur kepada si ego yang ketakutan”. Itulah yang dise-
but Critchley sebagai ”super-ego II”.
Jiwa manusia akan lebih sehat, tak dirundung takut dan di
dera rasa bersalah yang habis-habisan, jika ”super-ego” yang lain
ini tak dibungkam. Dengan kata lain: jika humor tak dimatikan
http://facebook.com/indonesiapustaka
dan tawa serta permainan tak diharamkan. Dengan kata lain, jika
manusia mengakui ada yang lucu dalam ketaksempurnaannya,
tapi dengan pengakuan itu ia jadi akrab. Itulah saat ketika kita
tak didera untuk jadi Prometheus yang menantang dewa dan du-
278
Catatan Pinggir 9
KAKI LANGIT
D
I makam pahlawan tak dikenal, kita diberi tahu: ada
seorang yang luar biasa berjasa, tapi ia tak punya identi-
tas. Ia praktis sebuah penanda yang kosong. Tapi ham-
pir tiap bangsa, atau lebih baik: tiap ide kebangsaan, memberi sta-
tus yang istimewa kepada sosok yang entah berantah yang terku-
bur di makam itu.
Orang yang pertama kali melihat fenomen itu adalah Benedict
Anderson. Dalam Imagined Communities-nya yang terkenal itu,
ia menulis: ”Betapapun kosongnya liang lahat itu dari sisa-sisa ke-
hidupan yang fana dan sukma yang abadi, tetap saja mereka sarat
dengan anggitan tentang ’kebangsaan’ yang membayang bagai
hantu.”
Barangkali sebuah bangsa memang harus selalu menyediakan
ruang kosong untuk sebuah cita-cita. Seperti kita memandang ke
kaki langit yang sebenarnya tak berwujud, tapi kita ingin jelang.
Sekaligus, barangkali sebuah bangsa membutuhkan bayangan
yang bagai hantu tentang dirinya: antara jelas dan tak jelas.
Pahlawan Tak Dikenal. Pahlawan Kita. Antara ”tak dikenal”
dan ”kita” ada pertautan dan juga jarak. Ia yang gugur itu adalah
seorang yang sebenarnya asing—bukan yang dalam bahasa Ing
gris disebut foreigner, melainkan stranger—tapi ia juga bagian ter-
dalam dari aku dan engkau. Jika tampak ada yang bertentangan
di sini, mungkin itu juga menunjukkan bahwa sebuah bangsa—
seperti yang dimaklumkan oleh Sumpah Pemuda pada 1928
itu—memang mengandung ketegangan dan keterpautan antara
http://facebook.com/indonesiapustaka
keduanya tak saling kenal betul, bahkan ada saat-saat ketika yang
satu disebut ”asing” oleh yang lain. Itulah sebabnya kepeloporan
para pendiri Indische Partij tak dapat dilupakan: ”orang Indone
sia” adalah orang yang bisa melintasi batas, menemui yang ”asing”,
untuk jadi satu—tapi di situ ”satu” sebenarnya sama dengan yang
tak terhingga. Sebab sebuah bangsa yang tak didefinisikan oleh
ikatan darah adalah sebuah bangsa yang selalu siap menjangkau
yang beda—dan yang beda tak bisa dirumuskan lebih dulu, tak
bisa dikategorisasikan kemudian. Ia tak tepermanai.
Seperti pahlawan tak dikenal itu: ia memberikan hidupnya
buat kau dan aku, tapi ia bukan bagian kau dan aku.
Maka tak aneh jika dalam semangat kebangsaan, tersirat se-
buah paradoks: sesuatu yang universal ada di dalamnya. Sebab
sebuah bangsa pada akhirnya hanya secara samar-samar, seperti
hantu, bisa merumuskan dirinya sendiri. Yang penting akhirnya
bukanlah definisi, melainkan hasrat. Renan menyebut bahwa
bangsa lahir dari ”hasrat buat bersatu”, tapi seperti halnya tiap
hasrat, ia tak akan sepenuhnya terpenuhi dan hilang. Hidup tak
pernah berhenti kecuali mati.
Dalam hal itu, orang sering lupa bahwa bangsa sebenarnya bu-
kan sebuah asal. Ia sebuah cita-cita—dan di dalamnya termaktub
cita-cita untuk hal-hal yang universal: kebebasan dan keadilan.
Bangsa adalah kaki langit.
Kaki langit: impian yang mustahil, sulit, tapi berharga untuk
disimpan dalam hati. Sebab ia impian untuk merayakan sesuatu
yang bukan hanya diri sendiri, meskipun tak mudah.
Sebuah bangsa adalah sebuah proses. Jangan takut dengan
proses itu, kata orang yang arif. Tak jarang datang saat-saat yang
http://facebook.com/indonesiapustaka
K
AU kembali ke pojok yang agak diterangi matahari di
kerimbunan hutan itu. Kau kembali dengan mesin wak-
tu yang tak sempurna, tapi masih kau dengar kor itu, My
Old Kentucky Home, lagu murung yang bertahun-tahun terde
ngarsampai jauh lepas dari Sungai Mississippi, sejak Stephen Fos-
ter menulisnya. Itu tahun 1853. Budak belian hitam yang menco
ba jeda dari terik dan jerih ladang tembakau. Sebuah selingan se
derhana dari rutin panjang yang tak pernah dinamai ”Penghisap
an”. Sebuah sudut hutan yang jadi majelis tersembunyi.Sebuah
ruang buat orang-orang yang dirantai dan dinista untuk berkum-
pul dan bertanya: apa sebenarnya semua ini?
Kau tak tahu kapan kau datang. Tapi dengan mesin waktu
yang tak sempurna kau lihat seorang perempuan tua berbicara
di depan majelis itu, di depan jemaat yang takut menyebut nama
Tuhan. Ia mengingatkan kamu kepada Baby Suggs dalam Be
loved Toni Morrison. Kau dengar ia berbicara tentang sesuatu
yang menakjubkan tapi diabaikan, sesuatu yang biasa tapi tak ter-
duga-duga: daging, jangat, tulang, sendi yang sanggup menang-
gung pukulan dan dera perbudakan, kelenjar yang menitikkan
air mata, jantung yang sesak sebelum tangis, tubuh yang me
nyembuhkan lukanya sendiri, badan yang dari kepedihan bisa
menyanyi, menari, menyanyi.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Ada sesuatu yang lain pada lagu itu, yang mula-mula tampak
pada litograf Orosco: pohon dan dahan itu—tak dihiasi daun-
daun—seakan-akan menegaskan kekuatan yang lurus, lugas,
tegak. Juga ia tempat pameran yang meyakinkan. Tak sengaja
Yes, we can
Yes, we can
http://facebook.com/indonesiapustaka
286
Catatan Pinggir 9
DI ZAMAN YANG MELESET
K
ATA sebuah kisah, John Maynard Keynes pernah mem-
buang sebakul handuk kamar mandi ke lantai di tengah
sebuah pembicaraan yang serius. Orang-orang terkejut.
Tapi begitulah agaknya ekonom termasyhur itu menjelaskan pe
sannya: Jangan takut berbuat drastis, untuk menciptakan keada
an di mana bertambah kebutuhan akan kerja. Dengan itu orang
akan dapat nafkah dan perekonomian akan bisa bergerak.
Waktu itu Keynes sedang berceramah di Washington DC pa
da 1930-an. Krisis ekonomi yang bermula di Amerika Serikat
pada 1929 telah menyebar ke seluruh dunia. ”Depresi Besar”—
dengan suasana malaise—berkecamuk di mana-mana. Di Indo-
nesia orang menyebutnya ”zaman meleset”.
Kata ”meleset” sebenarnya tak salah. Prediksi yang dibuat, ju
ga oleh para pakar ekonomi, terbentur dengan kenyataan bahwa
dasarnya sebenarnya guyah. ”Kenyataan yang sangat menonjol,”
tulis Keynes, ”adalah sangat guyah-lemahnya basis pengetahuan
yang mendasari perkiraan yang harus dibuat tentang hasil yang
prospektif.” Kita menyamarkan ketidakpastian dari diri kita sen
diri, dengan berasumsi bahwa masa depan akan seperti masa la
lu. Ilmu ekonomi, kata pengarang The General Theory of Employ
ment, Interest, and Money yang terbit pada 1936 itu, hanyalah
”teknik yang cantik dan sopan” yang mencoba berurusan dengan
masa kini, dengan menarik kesimpulan dari fakta bahwa kita se
betulnya tahu sedikit sekali tentang kelak.
Yang menarik di situ adalah pengakuan: manusia—juga para
http://facebook.com/indonesiapustaka
perlukan.
Adakah ia seorang ”etatis”? Saya pernah membaca seorang pe
nulis yang menunjukkan bagaimana Keynes, dalam kata peng
antar untuk terjemahan Jerman atas bukunya, The General Theo
ry, menyatakan bahwa teorinya ”lebih mudah disesuaikan kepa-
da kondisi sebuah negara totaliter”, ketimbang ke sebuah Nega
ra yang pasarnya dibiarkan bebas, laissez faire. Ini karena, kata
Keynes, dalam negara totaliter ”kepemimpinan nasional lebih
mengemuka”.
Keynes memang menyaksikan bagaimana Jerman, di bawah
Nazi, bisa mengelakkan empasan Depresi Besar. Tapi tentu berle
bihan untuk menyimpulkan Keynes percaya akan sebuah sistem
yang mengklaim punya jalan keluar yang benar selama-lamanya.
Ketika para intelektual Inggris yang ”kekiri-kirian” pada menga
gumi Uni Soviet dan Perencanaan Lima Tahun ala Stalin, Keynes
tak ikut arus.
Suatu hari ia berkunjung ke Rusia dan bertemu dengan sanak
keluarga istrinya di St Petersburg. Mereka melarat dan menderita.
Keynes melihat bagaimana ajaran Stalin gagal. Ajaran ini tak bisa
dikritik, meskipun hanya ”sebuah buku teks yang sudah kedalu-
warsa” tentang ekonomi.
Manusia adalah kecerdasan yang bisa mengatasi keterbatas
an—seraya menyadari keterbatasan kecerdasan itu sendiri. Ma-
nusia bisa merancang dan mengendalikan pasar tapi juga ia bisa
bikin rusak—dan kemudian bisa mengenal dan mengoreksi ke-
salahan dalam pengendalian itu. Ada kepercayaan diri yang luar
biasa pada Keynes.
Dengan penampilan yang rapi dan dengan perilaku yang khas
http://facebook.com/indonesiapustaka
S
aleem kembali ke kota kelahirannya, Bombay: tempat
tinggal nostalgianya yang paling dalam. Tapi di awal ta-
hun 1970-an itu, kota itu telah berubah.
Tokoh utama novel Salman Rushdie Midnight’s Children ini
tak menemukan kembali toko penjual tumpukan komik Super-
man. Dan nun di bukit itu tak ada lagi rumah-rumah megah yang
dirias bunga bougenville, menatap ke laut. Tak ada lagi lapangan
sirkus di masa kanak. Kini yang tampak adalah ”monster-mons
ter yang mengangkang menjulang ke langit, memanggul nama
asing yang ganjil: OBEROI-SHERATON....”
Saleem, yang dilahirkan di tengah malam 15 Agustus 1947,
persis di hari India lahir, akhirnya cuma punya masa lalu. Ia me-
masuki kota itu seraya memeluk erat Aadam, si bocah yang jadi
anaknya, dan berseru gembira: ”Back-to-Bom!” Tapi ia tak bisa
kembali. Sebab itu ia harus musnah. Durga telah berkata kepada
nya: ”... ketika orang kehilangan minat pada hal-ihwal yang baru,
ia membuka pintu bagi Malaikat Hitam.”
Kini Bombay disebut Mumbai—hampir sepenuhnya sebuah
hal baru, dibentuk minat baru. Orang jadi penting bila berlalu
lalang di ruang pasar modal yang terus membubung, atau di kori
dor industri film yang menjangkau dunia. Dengan glamor dan
kalkulator mereka membuat hotel megah seperti Oberoi dan Taj
Mahal bukan sebagai monster yang asing, melainkan sebuah ke
http://facebook.com/indonesiapustaka
D
I tiap tikungan sejarah, orang akan menemukan se
orang Fortinbras. Pangeran Norwegia yang masihmu
da ini hanya punya peran kecil dalam Hamlet Shakes
peare, tapi dalam dirinyalah tindakan adalah keluhuran tapi juga
absurditas.
Pada suatu hari, di sebuah padang rumput di luar kota, Ham-
let menyaksikan pangeran itu menggelar pasukan: 20 ribu praju-
rit yang siap ”masuk ke kubur seakan-akan hendak berangkat ti-
dur”. Dan semua itu hanya untuk merebut beberapa hasta tanah
yang tak berarti, petak yang begitu kecil hingga tak cukup un-
tuk jadi makam tempat ”mereka yang terbunuh [akan] disembu-
nyikan”.
Tapi agaknya itulah yang membedakan manusia dari hewan:
bahkan demi ”sekerat cangkang telur” pun orang macam Fortin-
bras siap menantang nasib dan ajal, menyepelekan apa yang tak
dapat diramalkan, untuk mempertaruhkan martabat diri.
Tentu, ada yang gila, dahsyat, dan merisaukan dalam tiap ke
pahlawanan. Tapi kegilaan dan kedahsyatan Fortinbras meng-
gugah Hamlet. Akhirnya pangeran perenung dari Istana Elsinore
ini menyimpulkan betapa salahnya orang yang larut dalam pikir
an—”yang sebagian membuat kita arif, dan tiga bagian membuat
kita pengecut”. Sejak hari itu, Hamlet menentukan sikap: ia akan
bikin pikirannya ”berlumur darah”—atau sama sekali tak ber-
harga.
Demikianlah ”yang fana dan tak pasti” pun bersiap, nasib
http://facebook.com/indonesiapustaka
muda itu berdiri sendiri di salah satu sudut Istana Elsinore, ber-
gumam dalam solilokui yang paling dikenang dari karya besar
ini—gumam bimbang seseorang yang tiba-tiba mengetahui hal-
hal yang dirahasiakan, tapi juga tahu apa yang mungkin terjadi.
Hamlet berdiri di antara nasib dan keputusan, di antara amarah
dan kematian,
D
engan tubuhnya yang gempal perempuan itu meme
cah batu, dengan tubuhnya yang tebal ia seorang pela-
cur.
Namanya Nur Hidayah, 35 tahun, kelahiran Tulungagung,
Jawa Timur. Ia seorang istri yang ditinggalkan suami (meskipun
mereka belum bercerai), ia ibu dari lima anak yang praktis yatim.
Tiap pagi, setelah Tegar, anaknya yang berumur enam tahun,
berangkat ke sekolah dengan ojek, Nur datang ke tempat kerja
nya. Di sana ia mengangkut batu, kemudian memecah-mecah
nya,untuk dijual ke pemborong bangunan. Nova, empat tahun,
anak bungsunya, selalu dibawanya. Nur bekerja sekitar lima jam
sampai tengah hari.
Lalu ia pulang. Tegar akan sudah kembali ke rumah kontrak
an mereka, dan Nur bisa bermain dengan kedua anak itu. Sampai
pukul tiga sore.
Matahari sudah mulai turun ketika Nur membawa kedua
anaknya ke tempat penitipan milik Ibu In, yang ia bayar Rp 20 ri
bu sehari. Lalu ia berdandan: memasang lipstik tebal, berpupur,
mengenakan baju terbaik. Lepas magrib, ia naik ojek dari kam-
pung Mujang itu ke Gunung Bolo, 45 menit jaraknya dengan se
peda motor.
Di kegelapan malam di tempat tinggi yang jadi kuburan Cina
itu, Nur menjajakan seks. Ia menjual tubuhnya.
Ia tak memilih pekerjaan itu. Sutrisno, suaminya, yang meni
kah dengan perempuan lain, tak memberinya nafkah. Ia bertemu
http://facebook.com/indonesiapustaka
kah.
Ia pun jadi istri seorang suami yang menghabiskan waktunya
di meja judi dan botol ciu. Tak ada penghasilan. Tak ada peng-
harapan. Setelah anak yang kelima lahir, dalam keadaan putus
asa, Nur ikut ajakan tetangganya, seorang pelacur di Gunung Bo
lo. Ia bergabung dengan sekitar 80 pekerja seks di tempat itu, dan
jadi sahabat Mira, yang lebih muda setahun tapi sudah hampir
separuh usianya menyewakan kelamin. Mereka menghabiskan
malam mereka mencari konsumen di pekuburan Cina itu. Tarif:
Rp 10 ribu sepersetubuhan.
”Pernah ada pengalaman yang membuat Mbak Nur senang,
selama ini, ketika melayani tamu?”
”Ah, ya ndak ada,” jawabnya.
Tapi suara itu tak getir. Nur, juga Mira, bukanlah keluh yang
pahit. Dalam film dokumenter yang dibuat Ucu Agustin—salah
satu dari Pertaruhan, empat karya dokumenter tentang perem-
puan yang layak beredar luas di Indonesia kini—kedua pelacur
itu berbicara tentang hidup mereka seperti seorang pedagang ke-
cil (atau guru mengaji yang miskin) berbicara tentang kerja mere
ka sehari-hari.
Bahkan dengan kalem mereka, sebagai undangan Kalyana
Shira Foundation yang memproduksi Pertaruhan, duduk bersa
ma peserta Jakarta International Film Festival di sebuah kafe di
Grand Indonesia—seakan-akan mall megah itu bukan negeri
ajaib dalam mimpi seorang Tulungagung. Ketika saya menemui
mereka di tempat minum Goethe Haus pekan lalu, Mira duduk
seperti di warung yang amat dikenalnya, dengan rokok yang te
rusmenyala (tapi ia menolak minum bir), dan Nur memelukNo
http://facebook.com/indonesiapustaka
paksa uang dari jerih payah di Gunung Bolo itu. Tapi Nur tahu
bagaimana tabah. Kebaikan hati bukan mustahil. Tegar diberi
keringanan membayar uang sekolah di TK Katolik itu. Tiap bu-
lan ke Gunung Bolo, seperti ke belasan tempat pelacuran di Tu-
lungagung itu, datang tim dari CIMED, organisasi lokal yang de-
ngan cuma-cuma memeriksa kesehatan mereka. Dan ke rumah
penitipan Ibu In secara teratur datang Mbak Sri untuk memban-
tu Tegar berbahasa Inggris dan mengerti bilangan.
Terkadang Nur berbicara tentang Tuhan (ia belum melupa
kan-Nya). Ia menyebut-Nya ”Yang di Atas”. Mungkin itu untuk
menunjuk sesuatu yang jauh—tapi justru tak merisaukannya,
karena manusia, yang di bawah, tetap berharga: bernilai dalam
kerelaannya.
D
I abad ke-16 ada cerita tentang Tuhan yang aneh. Mung
kin ia bukan yang disebut Yesus, yang digambarkanse-
bagai bayi dengan ibu yang lembut hati di tiap hari Na-
tal. Tapi apa arti sebuah nama? Seperti nama Tuhan yang mana
pun, pada akhirnya manusialah yang memilih bagaimana me-
manggil-Nya dan bagaimana Ia dihadirkan untuk memenuhi ke-
hendak di dunia.
Itulah riwayat Francisco Pizarro di Peru. Saya akan mencerita-
kannya dengan sedikit imajinasi.
Pada 1532, perwira Spanyol itu masuk ke wilayah Inca di Ame
rika Selatan itu dengan 102 orang pasukan dan 62 ekor kuda. De-
ngan kemauan dan keberanian yang luar biasa opsir Spanyol itu
mengarungi Atlantik, dan tatkala mendarat ia temukan orang-
orang kufur, najis, biadab, sesat. Sebuah alasan yang cukup bagi
tiap laskar Tuhan, yang melangkah di atas jalan lurus yang ditun-
jukkan agama untuk menghabisi nyawa beberapa ribu orang.
Syahdan, di lapangan di pusat kota Cajamarca, telah menung-
gu Atahualpa, raja bangsa Inca. Ia di sana bersama ribuan hamba
sahaya dan pengawal. Ada yang mengatakan, mereka sebenarnya
siap berperang.
Orang-orang Spanyol berpura-pura tidak. Pertemuan dibuka
oleh Frater Vicente, rohaniwan yang datang bersama para con
quistador itu. Ia mengulurkan sebuah salib di tangan kanan dan
sebuah buku doa di tangan kiri. Ia memperkenalkan diri sebagai,
sebagaimana Pizarro, utusan Raja Spanyol yang dia sebut sebagai
http://facebook.com/indonesiapustaka
pada sang Surya yang abadi. Tapi bagi Vicente itu berarti sesat.
Hanya Tuhannya yang benar dan kekal.
Maka Atahualpa pun bertanya: ”Apa gerangan kewenangan
Tuan atas agama Tuan?”
”Semuanya tertulis di kitab ini,” sahut sang rohaniwan.
”Berikanlah kitab itu,” kata Atahualpa, ”agar ia bicara pada-
ku.”
Tapi tentu saja buku itu tak bicara, meskipun dicoba didengar
kan di dekat kuping. Dan tanpa beranjak dari takhta, dengan ge
rak yang angkuh, yang dipertuan Inca itu membuang kata-kata
suci yang tercetak itu ke tanah.
Vicente berteriak: ”Ia melawan Kristen!”
Maka Pizarro dan seorang letnannya pun menjalankan apa
yang sudah direncanakan. Mereka teriakkan perintah menye
rang. Prajurit-prajurit Spanyol menembakkan bedil harquebusier
dan dua kanon kecil mereka ke arah kerumunan orang kafir itu.
Menurut catatan orang Spanyol, orang-orang Inca yang tak
pernah menghadapi senjata itu terkejut, panik, menghambur
hendak lari. Tapi pasukan berkuda Pizarro menyerbu. Ribuan
manusia itu berdesak-desak, dan tembok plaza itu runtuh, dan
1.500 orang mati terinjak-injak.
Atahualpa ditangkap. Beberapa bulan lamanya ia jadi sande
ra. Ia akhirnya menawarkan emas untuk memperoleh kebebasan-
nya, dan Pizarro setuju. Orang Spanyol ini menerima 6.000 kilo
gram emas 22 karat dan 12.000 kilo perak murni. Tapi Atahualpa
tetap dikurung. Pada akhirnya ia dituduh mencoba, dari tempat
ia ditahan, memerintahkan agar orang Spanyol dibunuhi. Tak
ayal, ia dijatuhi hukuman mati. Tapi seraya mengingat Tuhan
http://facebook.com/indonesiapustaka
308
Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 9
2009
309
http://facebook.com/indonesiapustaka
310
Catatan Pinggir 9
TRANSFORMASI
S
ubagio Sastrowardojo mengerti transformasi yang aja-
ib dalam kisah Natal. Ia bukan seorang Kristen, tapi sajak
itu datang dari sebuah Indonesia sekian puluh tahun yang
lalu, yang dengan serta-merta mengerti apa yang universal dalam
cerita yang luar biasa tapi juga bersahaja itu: Yesus lahir, tapi ha
nyasatu bintang di langit yang tampak terang di atas Bethlehem.
Tak ada suara dahsyat atau guncangan bumi yang mengubah
geografi. ”Malam sunyi...,” kata lagu yang berulang kita dengar
itu. Begitu biasa, tapi kelahiran itu diterima sebagai isyarat: Tu-
han tak meninggalkan manusia sendirian.
Maka,
Dalam imaji yang muncul dari larik sajak ini, manusia tak
bergerak, bahkan tanpa perasaan lagi. Tapi suatu ketika terasa
ada daya lain yang mengambil peran. Dari sesosok kekuatan yang
dalam Perjanjian Lama digambarkan bisa ganas, cemburu, dan
destruktif, hadir sebuah pesona yang diasosiasikan dengan ”ta
http://facebook.com/indonesiapustaka
jak Subagio itu (bagaimana langit jadi seperti ”tangan bayi”?). Ta
pi kita tak akan luput menangkap radikalnya perubahan yang
terjadi ketika kita tahu bahwa Tuhan, atau apa pun namanya bagi
yang mengutamakan cinta kasih, bisa begitu dekat. Tak menghe
Terutama ketika iman bisa begitu keras dan harapan jadi op-
timisme yang buta dan menghalalkan segalanya. ”Dunia jadi pu-
tih” bukan tanda musim dingin yang hanya terjadi di sebagian
muka bumi. ”Dunia jadi putih” adalah bagian dari transformasi
ketika kita menyadari bahwa kita tak selamanya hidup di bawah
kekerasan dan pelanggaran, ”darah dan jinah”. Di waktu yang
tersisa ini, kelembutan terkadang menyelip—dan unggul.
Hanya dalam ritual agama, yang aturannya ditaati tiap kali,
dan hanya dalam kalender iklan, Natal dapat direncanakan.
T
ahun akan menghadapi krisis, kata para pakar, tapi
kita tahu, ”nasib” adalah sebuah cerita yang senantiasa
datang terlambat. Kita baru dapat menyimpulkannya se
telah perjalanan selesai.
Bagaimana sejarah akan usai, itu tak mudah dijawab. Sebab
kita adalah anjing diburu dalam tamsil Catetan Th. 1946 Chairil
Anwar, yang
Dua abad yang lalu, para literati Jawa membedakan (dan ke-
mudian mencoba mempertautkan) antara ngèlmu dan laku, anta-
ra ”tahu” (dari mana kata ”pengetahuan” berasal) dan perjalanan
dalam hidup dan pengalaman. Jika kini kita memakai dikotomi
ini, dalam arus deras informasi yang berubah terus dengan cepat
ini sejauh manakah ngèlmu membentuk laku dan sebaliknya laku
membentuk ngèlmu?
Hubungan antara pengetahuan, isi kognitif kesadaran kita,
dan pengalaman jasmaniah, punya sejarah sendiri. Ada masanya
ngèlmu diasumsikan datang dari Tuhan atau sumber ekstra-em-
piris lain, ada masa lain ketika ngèlmu dianggap berasal dari per-
jalanan di dunia, ” kalakoné kanti laku”, seperti ditulis dalam syair
Wedatama yang terkenal.
Dalam sejarah, manusia tak putus-putusnya terlibat dalam
ambivalensi. Di satu pihak ada dorongan untuk melihat kesadar
an, sang subyek, sebagai pembentuk pengalaman. Di lain pihak
ada dorongan semangat empiris untuk melihat pengetahuan se-
bagai sesuatu yang berakar pada dan dibentuk oleh pengalaman
itu.
Di satu pihak, ada pengakuan bahwa pengalaman empiris ha
nya mampu menyajikan ”sebagian dari sandiwara sekarang”—
dengan kata lain: sesuatu yang niscaya terbatas. Di lain pihak ada
keyakinan bahwa kita mampu melintasi, dengan transendensi,
batas itu.
Di satu pihak, ada pengakuan bahwa tak mungkin kita mem-
punyai sebuah pandangan yang total, yang menyeluruh, tentang
hal ihwal. Pada akhirnya kita akan mengakui bahwa ketika ma-
nusia menulis sejarah—mencatat, menyusun ngèlmu—ia men-
http://facebook.com/indonesiapustaka
Tapi semakin lama semakin kita tahu, seperti tebersit dari Ca
tetan Th. 1946, kita selalu mencoba berdiri dari sejarah yang ter-
guncang. Yang tercatat adalah sesuatu yang tak stabil—tapi itu
lah bagian yang tak tercampakkan dari diri manusia: laku, ter-
kadang dengan kreatif, dalam dunia fisik yang rapuh, sementara,
kekurangan.
Pada tahun 2009 yang sulit, haruskah kita jeri? Ada satu baris
dari Chairil lagi yang bisa menjawab:
D
I atas tuts pianonya, Ibrahim Souss memainkan Le
Myth de Sisyphe. Komposisi itu mencoba menghidup-
kan kembali gerak, kepedihan, dan absurditas nasib
yang dialami manusia setengah dewa yang dihukum Zeus itu: ia,
Sisiphus, harus mengangkut batu berat ke puncak gunung, dan
tiap kali sampai di sana, batu itu akan berguling lagi. Dan ia ha
ruskembali ke bawah. Ia harus mengangkutnya lagi. Dalam mi
tologi Yunani Kuno itu, nasib itu tak pernah berakhir.
Souss memainkan karyanya itu ketika ia jadi direktur kantor
PLO di Paris, sekitar 20 tahun yang lalu. Saya tak tahu di mana
ia sekarang: seorang pianis yang piawai, komponis yang kreatif,
yang dengan Le Myth de Sisyphe hendak menyatakan sesuatu ten-
tang Palestina.
Ia lahir di Yerusalem pada 1945. Umurnya baru tiga tahun
ketika orang Palestina diusir dari bagian kota itu setelah perang
Arab-Israel tahun 1948. Setelah kekalahan Arab yang nista pada
1967, Ibrahim bergabung dengan PLO. Ia memilih karena ia ha
rus memilih: ia tahu ia, bagian dari bangsa yang diusir dan di
abaikan, tak bisa cuma bisa hidup merdeka dengan musik.
Sisiphus-nya pun mengandung ambiguitas. Di satu pihak, di
dalamnya tergambar nasib orang Palestina yang tiap kali berha
rap, tiap kali pula kandas. Dari 1948 sampai 2009, berapa genera-
si terus hidup terjepit dan dihinakan, berapa usaha perdamaian
gawal?
Tapi, seperti kata Souss sendiri, Palestina bukan Sisiphus.
http://facebook.com/indonesiapustaka
yang hanya mau berbuat baik buat Palestina tanpa mau berbuat
baik kepada mereka yang lain yang juga dianiaya.
Bila demikian, manusia akan hilang harap untuk jadi sesa-
ma....
D
I sebagian bukit Pasir Tengah di atas Sarongge, hutan
jadi monoton. Pohon-pohon kayu putih menguasai
area. Batang mereka yang lurus menjulang bisa sampai
15 meter, berjajar rapi, masing-masing dengan kulit yang seakan-
akan jangat yang telanjang dan di sana-sini terkelupas.
Di bawahnya: hamparan rumpun daun wortel. Bumi dibudi
dayakan dengan telaten di sini. Dari pucuk bukit, sesekali terde
ngar deru beberapa sepeda motor tua yang datang untuk meng
angkut hasil bumi itu, tak hendak terhambat oleh jalan mendaki
yang buncah dan bongkah karena deras hujan. Tak lama lagi para
pengendaranya akan turun, dengan mesin yang dimatikan, nekat
tapi tangkas seperti pemain sirkus, ke arah tempat pengumpulan
di bawah, melalui ladang cabai dan bawang-daun, melintasi ten-
da-tenda putih yang melindungi perkebunan strawberry.
Ekonomi bergerak di kesepian ini. Para petani bekerja dan hi
dup. Tanah adalah nafkah. Pohon adalah bagian dari proses pro
duksi manusia. Sebuah perusahaan negara telah mengubah bukit
dan hutan tropis itu untuk perspektif tersebut.
Hanya beberapa hektare di sebelah sana, tampak lanskap yang
berbeda: sisi bukit yang belum disentuh. Hutan masih penuh ra-
gam dan masih gelap lebat. Batang-batang rasamala dan mahoni,
suren dan puspa, tampak nongol dengan pelbagai derajat warna
cokelat-abu-abu-hijau, bertaut dengan belukar yang tak teperma-
nai, mungkin di antaranya bermula pada zaman purba.
Seorang polisi hutan mengatakan, bahkan di bagian bukit
http://facebook.com/indonesiapustaka
dua sisi tanah tinggi dan kehidupan. Yang satu akan disebut se-
cara resmi sebagai ”hutan industri”, yang sebenarnya adalah ”ke-
bun”—sesuatu yang telah diolah, tempat di mana alam rapi dan
jinak, atau, dalam kata-kata Penyair Hölderlin, ”di mana alam
hidup dengan sabar dan mrumah” (häuslich). Yang lain, yang di
sebelah sana: pohon-pohon yang seperti pokok eik yang disan-
jung sang penyair, mengorak tanpa dikelola dalam tahap dan jen-
jang pertumbuhan oleh manusia:
hutan industri?
Hari itu saya, bersama sekitar 80 orang relawan, menanam tu-
nas yang berbeda ke celah-celah pohon kayu putih—sebuah tin-
dakan yang kami anggap memberikan sebuah alternatif. Tapi tu-
nas yang berbeda itu bukanlah tunas yang ganjil, yang tak pantas
di kawasan itu, bukan pohon-pohon yang ”eksotik”, kata petugas
Departemen Kehutanan itu, melainkan yang ”endemik”. Para
petani pada akhirnya tak hanya akan hidup dengan pohon-po-
hon yang produktif, tetapi sesuatu yang tidak produktif: sesuatu
yang justru lebih dekat kepada hidup, meskipun bukan hidup
”manusia yang bekerja keras untuk hasil”, yang disebut dalam sa-
jak Die Eichbäume.
Yang tanpa hasil, yang tak produktif berguna ketika jarak an-
tara produksi dan destruksi begitu dekat, ketika hutan tropis yang
menakjubkan itu kehilangan diversitasnya, ketika bumi yang tua
itu tak lagi menyimpan cukup air.
Kini yang dulu disebut sebagai keindahan yang hijau bukan
lagi masalah estetik. Ia jadi masalah ethik: bagaimana saya bersi-
kap ke dunia, ke orang lain, dengan kehendak untuk tak meng-
hancurkan. Pada gilirannya ia jadi masalah politik. Kehendak
untuk menyelamatkan mau tak mau akan melibatkan orang lain,
kekuasaan, dan juga harapan yang mungkin dan tak mungkin
yang harus dijangkau bersama.
Pohon tegak, ”masing-masing bagaikan dewa, dalam sebuah
aliansi merdeka”, kata Hölderlin. Manusia mungkin tak sebagai
dewa ketika membentuk aliansi merdeka—sebab aliansi itu bu-
kan hanya dengan yang hadir hari ini. Ketika saya menanam tiga
tunas rasamala, saya diingatkan bahwa baru 30 tahun kemudian
pohon itu akan setinggi lima meter. Saya tak akan melihatnya.
Saya tersentak sejenak. Mungkin jika ada yang berharga da
lam laku saya, sebagaimana laku orang-orang lain hari itu di bu
kit Pasir Tengah itu, ialah mengingat bahwa kita tak melakukan
http://facebook.com/indonesiapustaka
itu buat diri kita sendiri yang besok lusa mungkin mati.
326
Catatan Pinggir 9
BADRI
S
etitik air menetes ke kepalanya, dan sejak saat itu Badri
seakan-akan dilahirkan kembali. Ia jadi seseorang yang
baru.
Kisahnya saya baca dalam Kompas 19 Januari yang lalu. Kisah
itu membuat saya percaya bahwa jangan-jangan ada mukjizat,
kata lain dari sesuatu yang menakjubkan. Mukjizat dalam versi
ini tak datang ke dunia secara spektakuler. Ia menyusup dalam
berkas-berkas kecil.
Badri tinggal di sebuah kampung yang merupakan bagian da
ri Desa Tugu Utara, di Kecamatan Cisarua, Bogor. Bertahun-ta
hunlamanya, lelaki yang kini berumur 60 tahun itu jadi tukang
babat hutan. Bersama beberapa temannya, ia keluar-masuk kawa
san Puncak yang waktu itu rimbun dan sejuk. Dengan gergaji
dan parang mereka tebangi pohon-pohon untuk dipotong-po-
tong dan dijual sebagai kayu bakar. Empat tahun lamanya, se
jaktahun 1975, sejak ia berumur 36 tahun, Badri mendapatkan
nafkahnya dengan merusak hutan.
Tapi sesuatu terjadi di sebuah hari di bulan Oktober tahun
1979.
Siang itu ia tak pergi bersembahyang Jumat. Sejak pagi ia terus
saja menebangi pohon. Di tengah hari, ketika siang jadi terik, ia
beristirahat sejurus. Ia duduk. Mendadak, katanya, seperti diku-
tip Kompas, setetes air jatuh ke kepalanya.
”Hanya setetes,” katanya, ”tetapi membuat badan saya segar.
Keletihan saya menebang pohon dan memikul kayu langsung hi-
http://facebook.com/indonesiapustaka
lang.”
Ia pun melihat ke sekeliling, mencari dari mana tetes air itu
datang. Ternyata, butir bening yang sejuk itu jatuh dari pokok
yang baru ditebangnya. ”Saya terkejut,” kata Badri. ”Saya duduk
S
EMOGA Tuhan menyelamatkan kita dari potret. Semo-
ga Tuhan menyelamatkan pepohonan Indonesia, tiang lis-
trik Indonesia, pagar desa dan tembok kota Indonesia, dan
segala hal yang berdiri dengan sabar di Indonesia, dari gambar
manusia.
Bukan karena membuat gambar manusia itu dikutuk Allah.
Tapi....
Sebaiknya lebih dulu perlu saya terangkan, terutama bagi para
pembaca yang sedang tak di negeri ini, atau yang selama lima
bulan belum keluar rumah: adapun gambar manusia itu adalah
potret wajah para ”ca-leg”. Atau ”ca-bup”. Atau ”ca-wali”. Atau
”ca-gub”. Atau ”ca-pres”. Demokrasi telah marak di Indonesia,
para pembaca yang budiman, juga kelatahan.
Kelatahan, mungkin juga konformisme. Kini hampir tiap
orang yang mencalonkan diri untuk dipilih siap maju buat bersa-
ing—sebuah tekad yang bagus sebetulnya. Tapi rupanya meka
nisme persaingan politik kini mengandung sebuah paradoks.
Di satu pihak, siapa yang ingin menang harus lebih menonjol
ketimbang yang lain. Tapi, di lain pihak, sebagaimana tampak
dalam potret-potret yang menempel atau bergelantungan di se
panjang tepi jalan itu, tak seorang pun tampak ingin berbeda dari
yang lain.
Saya lihat potret M. Tongtongsot dari Partai Bulan Pecah ter-
pasang berdampingan dengan gambar G. Gundulpringis dari
Partai Bintang Bujel. Kedua-keduanya tampil berpeci, mengena
http://facebook.com/indonesiapustaka
rus ke depan, dengan tatapan tanpa emosi, seperti foto ijazah kur-
sus montir.
Dengan kata lain, orang-orang itu memasarkan diri bukan
sebagai pribadi, dengan watak yang tersendiri. Yang tampak di
sana hanyalah sebuah tipe. Tipe itu menyatukan entah berapa ba
nyakpotret yang berderet-deret, hampir tanpa jarak, dengan na-
ma-nama yang tak akan kita tangkap dengan jelas, apalagi kita
ingat, ketika kita lewat di atas motor atau bus. Seorang kawan
yang berpengalaman memilih foto wajah buat sampul majalah
menyatakan penilaiannya kepada saya: ”92% dari deretan wajah
itu tak menarik.” Ia mengatakannya dengan yakin: ”Saya telah
berjalan dari ujung Jawa Timur sampai Banten untuk mengamati
potret kampanye.”
Apa gerangan yang hendak didapat para pemasang gambar?
Jawabnya jelas: mereka ingin dipilih di antara ratusan orang lain.
Potret mereka ingin direkam dalam ingatan orang pada menit-
menit yang sunyi di depan kotak suara pada hari pemilihan nanti.
Nama mereka ingin dihafal. Mereka keluarkan dana berjuta-juta
untuk mencapai semua itu dengan memanfaatkan dan mengotori
pohon, tembok, dan tiang listrik. Tapi belum saya dengar mereka
pernah meneliti sejauh mana kampanye pasang-tampang itu tak
sia-sia.
”Tapi saya tak mau ketinggalan,” agaknya demikianlah alasan
mereka untuk memakai teknik kampanye ini. Tentu, alasan itu
bisa diterima. Namun yang terjadi, yang bisa disebut sebagai ke-
latahan, justru akan menyebabkan mereka ketinggalan: mereka
akan terpaku di tempat, sebagai repetisi, ketika waktu berjalan
dan orang-orang jadi jenuh.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Hari-hari ini saya pun ingin bersikap sebagai sagi nahor. Saya
ingin berdoa: semoga mata orang Indonesia tak akan membuat
Indonesia tersesat. Demokrasi perlu dirindukan lagi sebagai tem-
pat suara berseru dengan gema yang kuat, dengan keberanian
berbeda—bukan konformisme yang menyerahkan apa yang ber
harga dalam pribadi ke dalam sebuah pasfoto. Potret itu tak bi-
cara apa-apa.
J
urnalisme tak bermula ketika kabar disiarkan. Tiap ka
li sebuah berita terbit, ada sisi yang kelihatan dan ada yang
tak kelihatan. Bahkan di halaman majalah ini dan juga di
Koran Tempo, bagian yang tak tampak sebenarnya lebih be
sarperannya.
Para pembaca umumnya tak ingat bahwa hampir tiap kalimat,
foto, dan gambar ditopang oleh sebuah aturan dan sistem kerja,
perencanaan anggaran, persiapan logistik, juga latihan keteram
pilan yang bertahun-tahun. Juga: pembentukan l’esprit de corps.
Sayangnya, sejarah jurnalisme selalu mengabaikan yang tak
kelihatan itu. Harian Indonesia Raya dulu hanya identik dengan
Mochtar Lubis, Merdeka dengan B.M. Diah, Pedoman dengan
Rosihan Anwar. Juga Tempo sering dianggap cukup bisa diwakili
oleh Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Bambang Harymurti, To-
riq Hadad.
Betapa tak lengkapnya. Siapa yang pernah bekerja di dalam
majalah ini tahu, seorang Goenawan Mohamad sebenarnya ber-
gantung pada orang lain yang praktis tak pernah dapat tepuk-ta
ngan.
Salah satu yang mengelak dari aplaus itu adalah Yusril Djali-
nus. Ia meninggal pekan lalu. Perkabungan keluarga besar Tempo
hari-hari ini karena Yusril lebih dari sekadar seorang kolega.
Bagi saya, dialah pembentuk utama ethos Tempo, sikap kerja
yang seperti para pendaki gunung dan tebing. Puncak, tujuan itu,
harus dicapai. Untuk itu dibutuhkan ketabahan pribadi; dan tak
http://facebook.com/indonesiapustaka
sistem.
Saya mengenalnya sejak ia bekerja sebagai reporter baru di ma
jalah berita Ekspres di tahun 1970. Saya mengenalnya sebagai se
orang yang bicara halus dengan aksen Sunda, seorang pemuda
kurus, tinggi, berambut rimbun. Mula-mula saya tak begitu
memperhatikannya. Langsung di bawah saya ada sejumlah sas
trawan yang waktu itu sudah mulai terkenal (misalnya Putu Wi-
jaya, Syu’bah Asa, Usamah) yang entah kenapa jadi wartawan.
Karena sifat majalah itu yang dasarnya adalah kecakapan berceri-
ta dalam tulisan—para sastrawan itu mengambil peran yang sen-
tral. Di antara mereka, Yusril tentu tak menonjol.
Ia baru saja meninggalkan kuliahnya di Jurusan Publisistik
Universitas Padjadjaran, Bandung. Dan ia bukan seorang penulis
yang canggih; tulisannya jelas, tapi nyaris kaku.
Hanya dengan pelan-pelan saya mulai menyadari: Yusril ba-
gus dalam kerja tim dan ia tangguh. Ia tak pernah mengelakkan
tugas. Majalah Ekspres, yang kami dirikan di tahun 1970, masih
sebuah usaha yang merangkak. Dana tak tersedia banyak, juga
untuk kerja sehari-hari. Pada suatu hari Yusril tak dapat uang
transpor. Pemuda yang pernah membiayai kuliahnya dengan jadi
tukang potret keliling dari desa ke desa ini memutuskan: ia berja-
lan kaki. Pada satu hari Jakarta yang terik, ditempuhnya jarak 20
kilometer dari Jatinegara sampai Pecenongan, bersama debu, kar-
bon dioksida, dan keringat.
Ketika saya dan teman-teman lain, misalnya Fikri Jufri, Chris-
tianto Wibisono, dan Bur Rasuanto, mendirikan majalah Tempo
(setelah meninggalkan ramai-ramai majalah Ekspres), Yusril ter-
masuk yang ikut bergabung.
http://facebook.com/indonesiapustaka
ri.
Y.D. bersama Harun Musawa terpilih dengan jumlah suara
yang sama. Saya kemudian memasang Yusril di posisi itu. Harun
Musawa, yang berminat pada sastra dan punya kemahiran menu-
lis yang lebih, disiapkan untuk mengelola dan mengisi salah satu
rubrik. Y.D. punya kelebihan yang berbeda. Sebagaimana dika
takan Harun, ”Saya tak akan mungkin selugas Yusril dalam ber-
sikap.” Harun lemah lembut; Yusril tegas dengan kombinasi yang
langka: ia selalu bisa bercanda. Disiplin keras yang diterapkannya
bisa tak terasa menekan, sebab segera setelah itu ada suasana ber-
gurau.
Dari jabatan inilah, sejak 1976, Y.D. berkembang cepat. Kepe-
mimpinannya produktif. Seperti dikatakan Harun, pada rekan
dekatnya ini ada kemampuan memotivasi bawahan agar bekerja
optimal. Seperti para pendaki tebing, reporter harus pantang me-
nyerah untuk ”menembus sumber”. Berita harus diperoleh mela
lui rintangan apa pun.
Ethos inilah yang berkembang penuh dalam diri Dahlan Is-
kan (yang kemudian jadi pemimpin dan pembangun dan seka-
rang pemimpin grup media Jawa Pos), yang di awal tahun 1981
meliput terbakar dan tenggelamnya kapal Tampomas dengan
korban 600 orang tewas. Dahlan ikut naik ke kapal penolong dan
selama tiga hari di sana tanpa memincingkan mata. Baru empat
hari kemudian, ia tidur, setelah menulis sebuah reportase yang
jadi salah satu puncak prestasi jurnalisme Tempo.
Karni Ilyas, kini tokoh media televisi di Indonesia yang me-
mimpin TV One dengan 1.200 karyawan, membawa ethos itu ke
tempat kerjanya sekarang. Di kantor kerja Karni di Pulogadung,
sebuah poster Tempo terpampang di salah satu dinding. ”Ke mana
pun kantor saya pindah, [poster] ini akan saya bawa,” katanya.
Sebagai wartawan Tempo yang pernah menghasilkan lapor
an yang merupakan scoop, Karni mengingat Yusril sebagai orang
http://facebook.com/indonesiapustaka
yang tak mudah puas akan hasil kerja anak buahnya. Tapi dengan
itu, kata Karni, para wartawan ”terpacu”. ”Yang tidak bisa akan
terpental dengan sendirinya.”
Tapi jadi pemacu hanyalah salah satu kelebihan Yusril. Ia juga
nya.
Itu sebabnya bukan hanya ada latihan teknis untuk mendapat-
kan data yang akurat, tapi juga ada prinsip untuk menolak ”am-
plop” dan suap. Prinsip ini tak bermula di majalah Tempo dan bu-
D
arwin, lelaki pemalu itu, tak ingin membunuh Tu-
han. Ini agaknya yang sering dilupakan orang sampai
hari ini, ketika dunia memperingati 200 tahun hari la-
hirnya, 12 Februari.
Menjelang akhir hidupnya, ia hanya mengatakan bahwa ia
”harus puas untuk tetap jadi seorang agnostik”. Teori evolusinya
yang mengguncangkan dunia pada akhirnya bukanlah penerang
segala hal. Ketika ditanya mengapa manusia percaya kepada Tu-
han, Darwin hanya mengatakan, ”Misteri tentang awal dari se
mua hal tak dapat kita pecahkan.”
Dia sendiri pernah jadi seorang yang alim, setidaknya jika di
lihat di awal perjalanannya mengarungi laut di atas kapal HMS
Beagle dari tahun 1831 sampai 1836. Pemuda berumur 22 tahun
yang pernah dikirim ayahnya untuk jadi pastor ini (setelah gagal
bersekolah dokter), dan di penjelajahan itu diajak sebagai pakar
geologi, amat gemar mengutip Alkitab. Terutama untuk menasi
hati awak kapal yang berfiil ”buruk”. Selama belajar di Christ’s
College di Cambridge, sebuah sekolah tua yang didirikan pada
abad ke-15, Darwin memang terkesan kepada buku seperti Evi
dences of Christianity karya William Paley, pemikir yang gigih
membela ajaran Kristen pada zaman ketika rasionalitas dan oto
nomi manusia dikukuhkan tiap hari.
Tapi Darwin pelan-pelan berubah pandangan. Otobiografinya
mengatakan, ketika ia menulis karyanya yang termasyhur, On the
Origin of Species, yang terbit pada 1859, ia masih seorang ”theis”.
http://facebook.com/indonesiapustaka
orang tak percaya kepada teori evolusi. Di sana pula, para peng-
kritik Darwin mengibarkan teori tentang adanya ”desain yang
pintar” di alam semesta. Mereka mengatakan, ada ”kecerdasan”
yang datang dari luar alam yang campur tangan ke kancah hidup
di sini, hingga, misalnya, bakteria bisa berpusar pada flagellum
yang strukturnya begitu rumit hingga tak teruraikan.
Tapi kaum penerus Darwin bisa menunjukkan ada ribuan je-
nis flagella yang terbangun dari protein yang sebagian besar ber-
beda, dan jejak evolusi tampak jelas di dalamnya. Sebagian besar
komponen yang membentuk flagella diperkirakan sudah ada
dalam bakteria sebelum struktur yang dikenal kini muncul.
Artinya, tak ada desain, kata para penerus Darwin. Teori evo
lusi menunjukkan ketidaktetapan dan kontingensi: hal ihwal se-
lamanya berubah, meskipun tak terus-menerus, dan perubahan
itu bergantung pada konteks yang ada, dan konteks itu pun ter-
bangun tanpa dirancang. Bahkan terjadi karena koinsidensi. Ste-
phen Jay Gould mengiaskannya sebagai spandrel, satu bagian dari
plengkung dalam gereja gothis yang tak dirancang oleh arsitek
tapi terjadi secara kebetulan ketika, dan karena, plengkung yang
direncanakan itu rampung dibangun.
Memang dengan demikian tak ada lagi narasi besar. Kita hi
dup dengan apa yang dalam bahasa program komputer disebut
kluge, himpunan yang kacau dari macam-macam anasir yang ter-
jadi dalam proses menyelesaikan satu masalah. Tak ada flowchart
yang bisa segalanya dan lengkap, tak ada resep yang akan siap.
Itulah sejarah: dibangun dari praxis, laku, keputusan setelah
meraba-raba, dan mungkin juga loncatan ke dalam gelap di de-
pan. Tapi tak semuanya gagal. Alam penuh dengan perabot yang
http://facebook.com/indonesiapustaka
tak ada. Mungkin tak ada apa pun sebelumnya. Bagi Darwin itu
bukan persoalan. Yang penting adalah mengakui pengetahuan
kita yang guyah, rumus kita yang coba-coba, tapi pada saat yang
sama kita bilang ”ya” kepada hidup.
Orang beragama akan menyebutnya syukur. Juga tawakal.
T
EATER itu bernama Slamet Gundono. Dengan tubuh
300 kilogram lebih ia tetap bisa bergerak ritmis seperti
penari. Suaranya mengalun, bisa gagah bisa sayu, terka
dang dramatik terkadang kocak, sebagaimana laiknya seorang
dalang. Tapi ia lebih dari itu. Di pentas itu ia juga seorang aktor
penuh. Dialog diucapkannya dengan diksi yang menggugah dan
pause yang pas. Ia bisa membawakan lagu, ia bisa menggubah la
gu dengan cepat, seraya memelesetkan melodi, tapi pada saatnya,
ekspresinya bisa tangis.
Gundono adalah gunungan dalam pertunjukan wayang kulit
yang tanpa jejer. Ia pusat. Tapi ia bergerak dari pelbagai posisi,
dan dengan asyik berpindah dari idiom seni pertunjukan yang sa
tu ke idiom yang lain.
Tentu saja karena ia, lebih dari seniman teater yang mana pun
kini, adalah sosok yang dibentuk oleh aneka khazanah. Tubuh
dengan lapisan lemak yang seperti unggunan bantal itu—sebuah
keistimewaan yang terkadang ia tertawakan sendiri—adalah se-
buah sedimentasi dari sejarah kebudayaan yang panjang.
Sejarah kebudayaan itu dapat disebut ”Jawa”, tapi yang tak da
pat ditentukan batas-batasnya. Gundono bisa menembangkan
pangkur dan melantunkan suluk, mengalir luwes dari nada diato
nik ke pentatonik, tapi ia juga bisa menyerukan azan dan mengu
tip Quran dengan gaya qiraat Mesir. Ia memetik ukulele seakan-
akan seorang penyanyi Hawaii, dan yang terdengar adalah kasi-
dah. Di sana-sini dalam narasinya bahasa Jawa literer dari tradisi
http://facebook.com/indonesiapustaka
Surakarta berbaur seperti tak sadar dengan bahasa Tegal yang se
ring dianggap ”kasar” dan ”kurang-Jawa”.
Ya, Gundono sebuah teater tanpa definisi. Ia lahir di Kota Sla
wi di pantai utara Jawa Tengah, anak seorang dalang dengan 12
P
ada suatu hari di abad ke-7, dua orang Madinah ber
tengkar. Yang satu muslim dan yang satu lagi Yahudi.
Yang pertama mengunggulkan Muhammad SAW ”atas
sekalian alam”. Yang kedua mengunggulkan Musa. Tak sabar,
orang muslim itu menjotos muka si Yahudi.
Orang Yahudi itu pun datang mengadu ke Nabi Muhammad,
yang memimpin kehidupan kota itu. Ia ceritakan apa yang ter-
jadi. Maka Rasulullah pun memanggil si muslim dan berkata:
S
AYA bayangkan Sjahrir di Banda Neira pagi itu, 1 Februari
1942. Kemarin tentara Jepang menyerbu Ambon. Bebera-
pa jam sesudah itu bom meledak.
Saya bayangkan pagi itu, setelah sebuah pesawat MLD-Cata-
lina berputar-putar di sekitar pulau. Berisiknya membangunkan
penduduk, sebelum ia berhenti di pantai yang tenang. Ko-pilot
pesawat, seorang opsir Belanda, turun dan menuju ke tempat
Sjahrir dan Hatta tinggal. Kedua tahanan politik itu harus me-
ninggalkan pulau cepat-cepat, pesannya. Hanya ada sekitar wak-
tu satu jam untuk bersiap.
Hatta mengepak buku-bukunya, tergopoh-gopoh, ke dalam
16 kotak. Sjahrir memutuskan untuk membawa ketiga anak ang-
katnya, meskipun salah satunya masih berumur tiga tahun.
Sesampai di tempat pesawat, ada problem: ruang di Catalina
itu terbatas. Para penumpang itu harus memilih, 16 kotak buku
atau ketiga anak itu harus ditinggalkan. Hatta mengalah. Enam
belas kotak buku itu tak jadi dibawa—untuk selama-lamanya—
kecuali Bos Atlas yang sempat disisipkan Hatta ke dalam koper
pakaian. Empat puluh tahun kemudian Hatta masih menyesali
kehilangan itu.
Saya bayangkan Sjahrir di pantai Banda Neira pagi itu, di da
lam Catalina yang meninggalkan pulau. Ia memandang ke luar
jendela, melambai sekenanya. Seluruh Banda Neira tampak baru
bangun, berjajar di tepi laut menyaksikan perginya kedua orang
buangan itu bersama tiga anak yang masih kecil.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Hari itu menutup masa hampir enam tahun Hatta dan Sjah-
rir tinggal di pulau kecil itu, di antara 7.000 penduduk. Ada pepe
rangan di seberang sana, dan mungkin semua orang sudah men-
duga, Hatta, Sjahrir, dan anak-anak itu tak akan kembali.
***
Saya bayangkan Sjahrir enam tahun sebelum 1 Februari
1942: seorang tahanan politik di sebuah rumah tua di Banda
Neira. Ia tinggal bersama Hatta. Sejak di hari pertama ia datang,
ia menemui anak-anak, dan anak-anak datang untuk belajar, ber-
main, bergurau.
Rumah itu luas, dulu ditempati pejabat perkebunan, dengan
ruang dalam yang 50 meter persegi dan beranda yang 40 meter
panjangnya. Hari itu seorang dari anak-anak itu menumpahkan
vas kembang. Airnya membasahi sebagian buku yang ditaruh
Hatta di atas meja. Hatta—selalu sangat sayang kepada buku-bu-
kunya, selalu rapi dengan benda-benda itu—marah.
Sjahrir pun memutuskan untuk meninggalkannya. Ia pindah
ke paviliun kecil di kebun keluarga Baadilla. Baadilla tua, seorang
keturunan Arab yang dulu saudagar, menitipkan pendidikan cu-
cu-cucunya kepada Sjahrir: dua lelaki, Does dan Des, dua perem-
puan, Lily dan Mimi.
Sjahrir segera jadi bagian dari keluarga itu. ”Mereka... adalah
teman terbaik yang saya miliki,” katanya tentang anak-anak Ban-
da itu, dalam sepucuk surat bertanggal 25 Februari 1936. Ia tak
menyebut tahanan politik lain di pulau itu: Hatta, Cipto Ma
ngunkusumo, Iwa Kusumasumantri....
Saya bayangkan Sjahrir di paviliun itu: ia seorang hukuman
yang berbahagia. Ia mengajar anak-anak itu menulis, matemati-
ka, sejarah, cara makan yang sopan, dan entah apa lagi. Ia menye-
wa mesin jahit Singer dan menjahitkan pakaian mereka.
Jika ia tak sedang membaca buku atau menulis surat, ia bawa
anak-anak itu berjalan meninggalkan dataran pulau, berlayar,
http://facebook.com/indonesiapustaka
Ada yang tak dipatok oleh tujuan dan tak dikejar-kejar oleh
”manfaat” di sini, laku yang lalai tapi gembira. Kapal itu dirajut
dan diapungkan ke laut dalam, entah ke mana. Kersik itu dikum-
pulkan dan kemudian ditebarkan kembali, entah untuk apa.
Saya bayangkan anak-anak Banda Neira pada tahun 1930-an
itu menyeberangi selat, melintasi kebun laut, bersama seorang bu
angan yang tak jelas asalnya dan masa depannya. Pantai itu ber
ubah. Dalam keasyikan bermain, mereka tak tahu adakah pantai
itu membatasi laut ataukah pulau, awal penjelajahan atau tempat
asal. Pada saat itu, di ruang itu, mistar tak ditarik dan hitungan
tak ada. Hidup tak dimulai dengan kalkulasi dan kesadaran. Juga
tak diakhiri akalbudi.
Pada 17 Maret 1936, Sjahrir menulis kepada istrinya: ”Sesung
guhnyalah, impuls, dorongan, gairah (drifts), seperti yang saya ya-
kini sekarang, tak pernah akan dilenyapkan oleh akalbudi. Bah-
kan sebaliknyalah yang benar—akalbudi bertakhta hanya sepan-
jang impuls, dorongan, gairah membiarkannya....”
Suratnya bertanggal 29 Mei 1936 mengatakan, hidup tanpa
http://facebook.com/indonesiapustaka
emosi jadi ”terlampau positif”. Hidup seperti itu tak memadai, se-
buah ”penalaran abstrak” tanpa ”pengalaman” (”ervaring”).
Sjahrir memang menyukai Nietzsche. ”Nietzsche itu kebuda
yaan, Nietzsche itu seni, Nietzsche itu jenius,” tulisnya kepada
gaikan Dionysius.
Artinya pendiri Partai Sosialis itu juga tak lepas dari nilai yang
diunggulkan tata sosial borjuis—tata yang mengandung kontra-
diksi. Di satu pihak disambut energi produktif yang berani men
jelajah dan menemukan, dan dengan demikian mengandungsi
fat liar dan khaotik; tapi di lain pihak dibangun stabilitas, ke
lugasan, rasionalitas. Dari yang terakhir ini perdagangan, indus-
tri, teknologi, dan hukum lahir. Juga kekuasaan yang mengatur
kehidupan politik.
Saya tak tahu sadarkah Sjahrir tentang kontradiksi itu. Tapi
itu juga kontradiksi dalam dirinya. Yang Nietzschean dalam si-
kapnya bertemu, dan juga berlaga, dengan pemikiran Marxis
yang diyakininya. Yang Nietzschean akan terasa ”anti-politik”
ketika ia harus menempuh sebuah proyek bersama yang terting-
gal: kemerdekaan dan keadilan di Indonesia. Tapi itu yang me-
nyebabkannya dibuang ke Banda Neira.
***
Saya bayangkan Sjahrir di pesawat Catalina itu. Nun di
bawah dilihatnya mungkin sawah, mungkin hutan, mungkin
masa depan. Yang terbentang itu sebuah negeri yang harus disiap-
kan, sebuah ruang di mana yang publik harus dikukuhkan, arena
di mana pengukuhan itu memerlukan persaingan hegemoni dan
konflik kekuasaan.
Gamangkah ia, yang mencintai anak-anak yang bermain tan-
pa tujuan di pantai Banda Neira? Seorang tahanan politik yang
digambarkan tak terpesona oleh politik?
Yang pasti, ia akhirnya hidup dalam persaingan kekuasaan. Ia
kalah. Partai Sosialis-nya tak didukung luas. Ia dipenjarakan Su
http://facebook.com/indonesiapustaka
Ditulis kembali dari Setelah Revolusi Tak Ada lagi (Jakarta, Alva-
bet: 2001). Diolah dari Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia (Studies on
Southeast Asia, No. 14) oleh Rudolf Mrazek.
362
Catatan Pinggir 9
BUKAN-PASAR
D
I tiap pasar selalu ada yang bukan-pasar. Dan itu dibu-
tuhkan. Ada pohon-pohon yang meneduhi kaki lima.
Ada sumur di halaman belakang yang dipakai ramai-
ramai. Ada peturasan untuk buang air siapa saja. Dan tak jauh
dari sana, ada jalan raya dengan rambu-rambu lalu lintas.
Semua itu menopang kehidupan pasar itu, meskipun tak jadi
bagian yang dikendalikan pasar dan kesibukannya: tak seorang
pun bisa mengklaim pohon, kakus, dan rambu-rambu itu sebagai
milik sendiri untuk dipertukarkan dengan milik orang lain.
Dengan cara yang sama, kita juga bisa bicara tentang apa yang
pernah disebut sebagai ”pasar metaforik”: kegiatan yang tak ter-
batas pada sebuah lokasi, ketika barang jadi komoditas dan hu
bungan antarmanusia adalah hubungan jual-beli.
Dalam ”pasar metaforik” ini pun (yang selanjutnya akan ditu
lis dengan ”P”) diperlukan hal-hal yang tak seharusnya diubah ja
di benda yang nilainya lahir lewat perdagangan. Ada kebutuhan
akan barang yang bukan benda, yang tak ditentukan oleh harga:
hal-hal di luar jangkauan Pasar, meskipun ada di dalam tubuh
Pasar itu sendiri.
Tapi sejak 1980-an, orang mulai lupa akan hal itu. Bersama
menonjolnya pengaruh Milton Friedman, sebuah dikotomi di
tegakkan dan bergema: di satu sisi ada Pasar, di sebelah sana ada
Negara. Pasar bahkan berdiri tampak lebih luhur ketimbang Ne
gara. Seri ceramah TV Friedman, Free to Choose, jadi alkitab bagi
mereka yang ogah atau jera akan campur tangan Negara dalam
http://facebook.com/indonesiapustaka
tak dapat berkembang sebelum orang tak dapat hasil yang mudah
dan berlebih dari korupsi.
Pendek kata, menurut Sen, ”kapitalisme yang berorientasi
laba selamanya mendapatkan dukungan dari nilai-nilai institusi
onal yang lain”. Nilai-nilai: hal-hal yang bukan komoditas, tak
bisa diklaim sebagai milik dan diukur dengan nilai tukar.
Seperempat abad yang lalu Albert Hirschman sudah menga
takan hal itu dalam esainya, ”Against Parsimony: Three Easy Ways
of Complicating Some Categories of Economic Discourse”: ketika
kapitalisme bisa meyakinkan setiap orang bahwa ia dapat meng-
abaikan moralitas dan semangat bermasyarakat, public spirit, dan
hanya mengandalkan gairah mengejar kepentingan diri, ”sistem
itu akan menggerogoti vitalitasnya sendiri”. Sebab vitalitas itu be-
rangkat dari sikap menghormati ”norma-norma moral tertentu”,
sikap yang katanya tak diakui dan dianggap penting oleh ”ideolo-
gi resmi kapitalisme”.
Kini memang terbukti: Pasar yang hanya mengakui bahwa
”rakus itu bagus”—seperti yang dikumandangkan oleh risa
lah macam The Virtue of Greed dan In Defense of Greed—pada
akhirnya terguncang oleh skandal Bernard Madoff. Orang
ini—seorang pebisnis terpandang—berhasil mengeruk US$
65.000.000.000 dengan menipu orang-orang yang menanam
uang dengan penuh kepercayaan di koceknya.
Jelas, akibatnya bukanlah cuma uang yang raib. Yang tak ka-
lah rusak adalah sikap percaya-mempercayai. Bank kini ragu me-
minjamkan uang, investor ragu menanam dana. Sekarang terasa
betapa perlunya ”nilai-nilai institusional” di luar Pasar. Mereka
perlu dijaga.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Tapi tak mudah. Problem besar dewasa ini: dari mana nilai-ni-
lai itu akan datang lagi dan bagaimana akan dilembagakan. Siapa
yang akan secara sistematis menanam pohon, menegakkan ram-
bu jalan, membuat perigi bersama? Bukankah kini public spirit
W
AJAHNYA seorang bapak Yahudi yang kalem. Ta
pi sebenarnya ia penipu terbesar dalam sejarah mo
dern— dan sekaligus aktor dalam kapitalisme Ame
rika sebagai dunia Harry Potter.
Dari luar, Madoff, menjelang 71 tahun, memang tampak da
pat diandalkan. Ia suami yang tetap dalam hidup perkawinan
sejak menikahi pacar masa remajanya; mereka punya dua putra
yang baik. Ia mendirikan Madoff Family Foundation dan mem-
beri dana buat pendidikan, riset kesehatan, rumah sakit, dan tea
ter.
Filantropi itu bagian dari posisi sosialnya—sebagaimana ben-
da-benda yang dimilikinya: rumah seharga 11 juta dolar di Palm
Beach, apartemen seharga 7 juta dolar di Manhattan, New York,
sebuah lagi di Prancis.... Pendek kata, Madoff adalah gaya hidup
yang tak sembarangan. Potong rambut $ 65; cukur janggut $ 40;
merapikan kuku kaki $ 50; mengatur kuku tangan $ 22.
Demikianlah ia meletakkan diri, dan meyakinkan dunia, se-
bagai orang yang berpunya (yang dalam bahasa Indonesia juga
berarti ber-”ada”) dan sebab itu terhormat: ia mantan Ketua Bur-
sa Saham Nasdaq yang pernah menyatakan bahwa aturan yang
mengawasi dunia persahaman Amerika begitu rapi hingga mus-
tahil dikibuli.
Maka siapa akan menyangka ia pencoleng? Madoff pernah ja
di bendahara American Jewish Congress. Sampai ia ditahan ba-
ru-baru ini, ia bendahara Dewan Penyantun Universitas Yeshiva,
http://facebook.com/indonesiapustaka
Dengan kata lain, dana itu seakan-akan punya daya lebih ke
timbang manusia—seperti sudah tersirat dalam cerita pendek
Mark Twain, The One Million Banknote.
Alkisah, Henry Adams, seorang Amerika, terdampar di Lon-
bak, bertanya bisakah hidup sosial kita tak lagi bertolak dari tiga
fantasi yang dipupuk Madoff.
Kenapa tidak? Kalaupun kita tak mampu membunuh kapi-
talisme, setidaknya kita bisa membangun wilayah, mungkin ke-
cil, di mana uang tak jadi jimat. Kita bisa melawan fetis itu, dan
membuat seorang Shapiro tetap mempercayai sesamanya.
Meskipun tak mudah.
S
EORANG pengamen, dengan rambut gondrong dan gigi
gingsul, dengan jaket yang penuh ditempeli kancing ber
gambar, memainkan gitarnya di sebuah tepi jalan di Ta
ngerang. Namanya Herdy Aswarudi. Dia calon legislator dari
Partai Bulan Bintang. Menurut harian The Jakarta Post, ia bukan
sedang cari duit derma; ia, seorang pengamen, sedang berkampa-
nye.
Di kota lain: satu sosok dengan kedua tangan siap bersarung
tinju, dengan mata mengintai ke depan. Ia terpampang pada se-
buah poster di tepi jalan di sebuah kota di sekitar Yogya. Sosok itu
memang tak meyakinkan sebagai petarung: dada yang terbuka
itu tampak empuk seperti bakpao, dan wajah itu tak ganas benar.
Ia bukan pelawak. Ia seorang calon legislator, meskipun saya lupa
dari partai apa. Ia menyatakan diri akan melawan korupsi.
Ada sosok lain: berdiri tegak di samping sederet semboyan de-
ngan kostum superhero yang terkenal. It is not a bird. It is not a
plane. It is not Superman. It is... well, dia calon wakil rakyat, pem-
buat undang-undang. Sama dengan ambisi yang di tempat lain
memperkenalkan diri dengan huruf-huruf besar sebagai ”papinya
si X” (nama penyanyi terkenal). Atau berpotret di sebelah potret
besar Obama. Atau memasang wajah di samping gambar Beck-
ham, pemain bola tersohor itu....
Lalu apa yang harus kita katakan tentang Pemilihan Umum
2009? Mungkin satu hal: inilah sebuah pemilu tanpa tujuan.
Ada ratusan partai politik yang tak pernah jelas apa bedanya
http://facebook.com/indonesiapustaka
dengan partai lain, tak pernah jelas apa program dan ideologinya,
bahkan tak pernah jelas (saking ruwetnya) tanda gambarnya.
Pembuat logo itu pasti bukan pendesain yang berpengalaman da
lam komunikasi massa; ia pasti seorang calon politikus yang ter-
374
Catatan Pinggir 9
HERMAN
P
otret itu dipajang berderet-deret, hampir di tiap po-
hon. Tapi di manakah Herman? Tiba-tiba saya ingat dia.
Ia tak pernah kembali. Sepuluh tahun lebih, sejak ia hi-
lang pada 12 Maret 1998. Orang banyak sudah lupa akan kejadi-
an itu, orang mungkin bahkan lupa ada nama itu, nama seorang
yang diculik, terutama karena Herman tak dikenal luas. Saya ju
ga tak mengenalnya betul—dan memang tak harus mengenalnya
betul.
Baru kemudian saya ketahui aktivis Partai Rakyat Demokratik
(PRD) itu, bernama lengkap Herman Hendarwan, lahir pada 29
Mei 1971 di Pangkal Pinang, Bangka. Selebihnya tak banyak lagi
informasi. Wilson, aktivis PRD yang juga sejarawan, menuliske-
nangan tentang kawannya ini dan mengakui: ”Menulis... tentang
Herman Hendarwan bukanlah hal yang mudah. Banyak sekali
aktivitas politiknya yang dilakukan secara rahasia dan tersembu-
nyi....”
Rahasia dan tersembunyi: saya dan Herman bertemu dalam
beberapa rapat seperti itu. Itu tahun 1998, pada hari-hari ketika
tentara Soeharto menangkap dan memburu para anggota PRD,
setelah rezim itu memenjarakan anggota-anggota AJI (Aliansi
Jurnalis Independen), setelah orang-orangnya menduduki de
ngankekerasan Kantor PDI-P.... Beberapa orang sudah dilenyap-
kan. Dan Herman salah satu buron, seperti halnya Andi Arif, Ne-
zar Patria, Bimo Petrus, dan lain-lain....
Dari bangunan di Jalan Utan Kayu 68-H, saya dan teman-te
http://facebook.com/indonesiapustaka
man aktivis lain tahu kami dimata-matai. Di tempat yang kini di
kenal sebagai ”Komunitas Utan Kayu”, kami belajar bagaimana
mengamankan diri, setelah markas AJI, organisasi kami, digere
bek polisi dan tiga anggota ditangkap. Satu tim dari kami—Ira
Yang pasti, ia tak pernah pulang. Para pejuang dalam sajak Hr.
Bandaharo berkata ”tak berniat pulang, walau mati menanti”.
Dan Herman pernah menulis surat ke orang tuanya: ”Herman
sudah memilih untuk hidup di gerakan”, sebab Indonesia, tanah
airnya, membutuhkan itu. Tapi haruskah kekejian itu?
Saya memandang potret-potret pemilihan umum itu, ada
orang-orang keji yang saya kenal. Tak ada Herman.
D
I bilik suara itu aku tertegun: di sini aku sendiri, satu di
antara jutaan suara lain, satu noktah di dalam arus 170
juta manusia, mungkin patahan bisik yang tak akan
terdengar. Ini sebuah pemilihan umum; statusku: sebuah angka.
Di ruang yang sempit itu, beberapa menit aku menatap lem-
bar-lembar kertas yang diberikan kepadaku. Sederet gambar. Se-
jumlah nama, 99% tak kukenal. Kalau ada yang kukenal, ia terasa
berjarak dari diriku. Tak ada nama partai dan orang yang tercan
tum yang menggerakkan hati saya. Tak ada dorongan kesetiaan
yang akan membuat aku dengan gigih memilih sambil berkata
pelan tapi bangga, di bilik itu, ”Partaiku, wakilku!”
Aku tertegun: apa aku, apa mereka? Partai-partai itu sehim-
pun penanda yang tampaknya tak berkaitan dengan yang ditan-
dai; mungkin bahkan tak ada sama sekali yang mereka tandai.
Yang jelas, mereka tak membuatku mati-matian ingin mengisi-
kan makna, dengan seluruh keyakinan, ke dalam penanda ko-
song itu.
Tapi aku mencontreng, aku memilih. Dengan demikian aku
mengubah diriku jadi satu satuan numerik, sebuah unsur dalam
sebuah ritus kolektif. Dan dengan demikian pula aku termasuk,
tergabung, ke dalam sesuatu yang tak pernah, dan mungkin seka-
li tak akan, jadi bagian hidupku.
Jangan-jangan seluruh ritus ini, setidaknya pada tahun 2009
ini, adalah sebuah alienasi. Aku bayangkan mungkin yang serupa
terjadi di sebuah pabrik: seorang buruh mengerahkan seluruh tu-
http://facebook.com/indonesiapustaka
K
esedihan terbesar mungkin bukan kesedihan ma-
nusia karena Tuhan mati, tapi kesedihan seorang ibu
yang anaknya menemui ajal dalam penyaliban.
Pada zaman ini kesedihan besar itu tetap tak terbandingkan.
Tapi pada saat yang sama juga menyebar. Kini tak hanya satu ibu
yang sedih, dan tak hanya satu anak yang disalibkan.
Kita ingat Argentina, 1976-1983. Negeri ini hidup di bawah
titah pemerintahan militer yang menculik dan melenyapkan ri-
buan orang, termasuk anak-anak muda. Diperkirakan 30 ribu
orang hilang.
Renee Epelbaum, misalnya, seorang ibu, menemukan bahwa
anak sulungnya, Luis, mahasiswa fakultas kedokteran, diculik.
Tanpa sebab yang jelas. Itu 10 Agustus 1976. Takut nasib yang
sama akan jatuh ke kedua anaknya yang lain, Lila dan Claudio,
Renee pun mengirim mereka ke Uruguay. Tapi di sana mereka
justru dikuntit sebuah mobil dengan nomor polisi Argentina—
dan akhirnya, 4 November 1976, Lila dan Claudio juga lenyap.
Bertahun-tahun kemudian, seorang perwira angkatan laut
menceritakan apa yang dilakukannya terhadap anak-anak muda
yang diculik itu. Pada suatu saat mereka akan dibius dan ditelan-
jangi. Para serdadu akan mengangkut mereka ke sebuah pesawat.
Dari ketinggian 4.000 meter, tubuh mereka akan dilontarkan
hidup-hidup ke laut Atlantik, satu demi satu....
http://facebook.com/indonesiapustaka
nyian dan pentas gelap, tampak laut. Makam yang tak bertanda
itu muncul sejenak di layar. Kemudian: wajah, puluhan wajah.
Di antara itu, sebuah paduan suara yang semakin menggemuruh.
Tapi bukan sang korban yang jadi fokus opera ini, melainkan
sejumlah perempuan yang tak lazim. ”Inilah orang-orang gila
itu,” begitu kita dengar di pembukaan.
Para ”orang gila”, umumnya separuh baya, berbaris di jalan,
dengan kain menutupi rambut, dan duka menutup mulut. Tapi
sebenarnya mereka tak diam. Estaba la Madre mengutip kisahnya
dari sejarah: perempuan-perempuan itu ibu yang berdiri, yang
berkabung, bertanya, menuntut, karena anak-anak mereka telah
dihilangkan. Mereka ”gila” karena di negeri yang ketakutan itu,
mereka berani menggugat. Tiap Kamis mereka akan muncul di
Plaza de Mayo, di seberang istana Presiden. Tiap Kamis, selama
20 tahun.
”Saya tak bisa melupakan,” kata Renee Epelbaum. ”Saya tak
bisa memaafkan.” Ia pun jadi salah satu pemula himpunan ibu
orang-orang yang hilang itu, yang kemudian dikenal sebagai
”Para Ibu di Plaza de Mayo”—sebuah bentuk perlawanan yang
tak disangka-sangka. Mula-mula, akhir April 1977, hanya 14 pe
rempuan yang berani melawan larangan berkumpul. Berangsur-
angsur, jumlah itu jadi 400.
Tak mengherankan bila kemudian para ibu pun jadi sebuah
lambang yang lebih luas cakupannya ketimbang Plaza de Mayo.
Ia menandai yang universal. Opera Estaba la Madre, misalnya,
mengambil asal-usul pada Stabat Mater dalam C minor yang di
gubah Pergolesi, menjelang komponis ini meninggal dalam umur
26 tahun pada abad ke-18. Kata-katanya berasal dari lagu puja
http://facebook.com/indonesiapustaka
Dan ketika dua orang dari para ibu Argentina itu pekan lalu
datang ke Indonesia, mereka pun menghubungkan kisah mereka
dengan apa yang terjadi di sini, di antara keluarga Indonesia yang
”hilang”.
Tentu ada beda antara sang Ibu dalam Stabat Mater dan para
ibu di Plaza de Mayo: tak ada tubuh sang anak yang mati di Ar-
gentina. Dalam pentas Estaba la Madre, kita akan menemukan
Sara, ibu si Samuel. Ia dan suaminya menanti anaknya. ”Kamis,
mereka menunggunya untuk makan malam di rumah,” demiki-
anlah paduan suara meningkah. Tapi Samuel tak kembali.
Sampai hari ini orang masih bertanya, kenapa itu mesti ter-
jadi. Mungkinkah sebuah kekuasaan yang dijaga ribuan tentara
bisa begitu ketakutan?
Saya tak tahu jawabnya—meskipun saya menyaksikannya ju
ga di Indonesia, di tahun di pertengahan 1990-an, ketika ”Tim
Mawar” dibentuk untuk menculik dan menyiksa, mungkin seka-
li membunuh, sejumlah anak muda yang sebenarnya tak cukup
kuat untuk menjatuhkan rezim Soeharto. Barangkali paranoia
adalah bagian utama dari kekuasaan yang bertolak dari kebrutal
an dan pembasmian—kekuasaan yang selamanya merasa tak ya-
kin akan legitimasinya sendiri.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Mungkin sekali para petinggi tentara itu tak bisa lagi membe
dakan khayalan dengan keinginan. Dalam Estaba la Madre ada
adegan yang tak mudah dilupakan, baik di Argentina maupun
di Indonesia: tiga jenderal muncul di pentas atas, suara mereka
Hidup kemerdekaan!
Kemerdekaan bicara dan membuat orang bicara.
Hidup kemerdekaan mengaku dan membuat orang mengaku.
Hidup kemerdekaan menjerit dan membuat mereka menjerit.
Yang tak mereka sangka: yang menjerit tak akan bisu. Kekua-
saan militer Argentina akhirnya runtuh. Dan di tembok jalan la
yang,di dinding kios koran, di pelbagai sudut di Buenos Aires, ka-
ta-kata ini tertulis, bukan hanya dari Renee, tapi dari mana-ma-
na yang dianiaya: ”Kami tak memaafkan. Kami tak melupakan.”
T
IGA nenek sihir muncul di tepi jalan, ketika Jenderal
Macbeth dan Jenderal Banquo melewati hutan yang ge
lap berkabut itu. Cuaca didera hujan dan guntur. Mereka
dalam perjalanan pulang dari sebuah pertempuran yang berhasil.
Setengah ketakutan setengah ingin tahu, mereka terpacak di de-
pan ketiga makhluk aneh itu—tiga sosok yang mengelu-elukan
Macbeth dengan gelar kebangsawanan yang tinggi, seperti ba-
gian dari sebuah ramalan yang dahsyat: bahwa Macbeth kelak
bahkan akan disebut sebagai raja.
Pada detik itu, bagi perwira tinggi Skotlandia itu, masa depan
tiba-tiba tampak berubah. Raja? Takhta? Benarkah puncak itu
akan tercapai, jika mengingat bahwa Duncan, raja yang diabdi
nyadan dibelanya dalam perang yang baru saja usai, masih ku-
kuh berkuasa? Sahkah keinginan mencapai posisi itu, berada di
kedudukan milik baginda?
Bagi saya, penting buat dicatat bahwa Macbeth, lakon Shakes
peare yang termasyhur ini, dimulai dengan adegan tiga nenek si-
hir itu. Tiga perempuan yang ganjil, yang hidup disisihkan dari
tata sosial dan percaturan kekuasaan, ternyata tak bisa diabaikan.
Justru mereka itulah yang pada akhirnya mengharu-biru ter-
tib yang ada—dan tanpa melalui kekerasan. Di Skotlandia wak-
tu itu tertib yang ada tak akan memungkinkan Macbeth bisa jadi
raja. Adat yang berlaku tak membuka peluang bagi Macbeth un-
tuk mengambil alih tampuk. Tapi malam itu, di hutan berkabut
itu, di bawah cuaca buruk itu, tertib, adat, dan lambangnya gun-
http://facebook.com/indonesiapustaka
cang.
Tapi bukan salah para nenek sihir itu jika tertib itu akhirnya
jadi keadaan yang dibangun dengan pembunuhan. Sebab Mac-
beth, begitu ia merasa nasib akan menjadikannya seorang raja,
bisi. Drama ini juga bercerita tentang kekuasaan yang tak tahu
di mana mesti berhenti—dalam arti berhenti menaklukkan yang
lain. Kekuasaan itu jadi lingkaran setan karena ia dimulai dengan
kekerasan.
P
ADA suatu hari yang tak diumumkan, menjelang tahun
2009, neo-liberalisme terjerembap. Tapi lakon dengan
tema ”Negara & pasar” itu tetap tak mudah diselesaikan.
Di Australia, misalnya. Kevin Rudd, perdana menteri yang
berasal dari Partai Buruh, menulis sebuah esai dalam The Month
ly awal tahun ini: krisis yang sekarang menghantam dunia adalah
titik puncak ”neo-liberalisme” yang mendominasi kebijakan eko-
nomi dunia sejak 1978. Kini, masa kejayaan 30 tahun itu berakhir
dengan kegagalan.
Sepanjang zaman itu, di bawah pemerintahan Partai Liberal
yang baru saja jatuh, perekonomian dibiarkan menolak peran ak-
tif Negara. Pasar diyakini sebagai jalan lurus yang tak perlu di-
intervensi. Lalu lintas global (terutama dalam pasar saham dan
uang) dibebaskan menerobos perbatasan nasional.
Menjelang akhir 2008, ortodoksi ”neo-liberal” itu membawa
krisis yang dahsyat. Rudd menggantikannya dengan yang berbe-
da. Ia menyebut agenda baru yang mendasari kebijakan ekonomi
yang akan ditempuh Partai Buruh di Australia sebagai ”kapital-
isme sosial-demokratik”.
Tak begitu jelas, bagaimana kompromi antara ”sosial-demo
krasi” dan ”kapitalisme” itu akan berjalan. Rudd, yang menjanji-
kan peran Negara yang aktif tapi yang tetap bertaut dengan ”pa
saryang terbuka”, hanyalah salah satu dari artikulasi kesepakatan
yang kini tumbuh di negeri-negeri kapitalis: ternyata pasar tak
bisa selamanya dianggap benar; ternyata ia belum tentu memper-
http://facebook.com/indonesiapustaka
bangkan nilai yang berbeda dari nilai yang berlaku di pasar. Ada-
pun nilai yang berlaku di pasar adalah nilai yang mendorong
maksimalisasi kepentingan privat, bukan kepentingan publik.
Tapi bagaimana hal itu akan terjadi di sini?
ngar, tapi harus saya akui, saya sering kebingungan. Mungkin ka
rena saya menanti lakon ”Negara & pasar” itu berakhir dengan
Negara yang bersih dan pasar yang tak cemar. Sebuah happy end
ing.
D
emokrasi dimulai dengan seorang buruk muka
yang dipukul punggungnya. Namanya Thersites, to-
koh yang tak banyak dikenal dalam puisi Iliad karya
Homeros dari sekitar abad ke-9 sebelum Masehi.
Dalam kisah para raja dan pangeran yang membawa ribuan
prajurit untuk berperang mengalahkan Kota Troya ini Thersites
dilukiskan sebagai ”lelaki paling jelek” dalam pasukan. Kakinya
lemah sebelah, pundaknya melengkung, rambutnya tinggal be-
berapa helai di ubun-ubun. Tapi yang menyebabkan ia dicatat
dalam Iliad adalah ”lidahnya yang tak terkendali”. Ia mengecam
mereka yang berkuasa.
Pada suatu saat, setelah bertahun-tahun perang tak selesai,
Thersites mendamprat Raja Agamemnon.
”Agamemnon,” teriaknya dengan suara melengking, ”seka-
rang apa yang membuat diri tuan rusuh, apa lagi yang tuan ingin
kan? Tenda tuan penuh dengan logam berharga dan perempuan
jelita, sebab tiap kali kami taklukkan kota kami persembahkan
jarahan itu kepada tuan.”
Thersites tampaknya adalah suara yang lelah perang—yang
merasa bahwa orang bawahan macam dia hanya menanggungkan
rasa sakit. Maka serunya pula kepada sang raja: ”Tuan tak berbuat
baik, dengan membiarkan bangsa Achaea yang tuan perintah jadi
sengsara.”
Ketika Agamemnon tak menyahut, Thersites pun berseru ke-
pada sejawatnya: ”Marilah kita berlayar pulang, dan tinggalkan
http://facebook.com/indonesiapustaka
eka yang tak berpunya”. Tapi di satu bagian Buku XII Odysseus
disebutkan bagaimana Polydamas mengeluh karena pendapat-
nya tak diacuhkan Hektor—meskipun keduanya pangeran
Troya dan saudara sekandung.
Rakyat, atau demos, dengan demikian bukanlah himpunan
tertentu satu kelompok penduduk. Rakyat adalah pelengkap pe-
nyerta justru dalam arti mereka tak bisa serta. Rakyat adalah sia-
pa saja yang jadi bagian yang tak masuk bagian, himpunan yang
tak masuk hitungan, le compte des incomptés.
Ada yang paradoksal di sini: di satu pihak, rakyat melengkapi
bangunan kekuasaan; di lain pihak, rakyat ada di luarnya. Dalam
paradoks itulah politik, sebagai perjuangan, lahir. Sebagai peleng-
kap, mereka yang tak masuk hitungan itu dibutuhkan. Tapi kete-
gangan terjadi ketika pada saat yang sama mereka ditampik dan
pemisahan ditegakkan, ketika kekuasaan yang ada menentukan
mana yang bisa didengar (atau dilihat) dan mana yang tidak.
Tapi kekuasaan yang demikian tak mengakui bahwa selalu ada
yang gerowong yang tak tercakup oleh garis pemisah yang dile
takkan dari atas. Dari yang gerowong itulah semburan terjadi.
Dari gerowong itulah politik bangkit. Thersites bersuara dan ia
dipukul, ditertawakan, dan diabaikan—tapi bukankah dengan
demikian kita tahu ada liang kosong dalam wibawa Agamemnon
dan keutuhan bangsa Achaea, dan bahwa Odysseus tak ingin di
tinggalkan sendiri di ambang Perang Troya?
Tentu, Thersites seorang diri; ia bukan subyek sebuah laku
politik. Tapi gugatannya adalah gugatan yang wajar bagi siapa
saja yang merasakan ketidakadilan dan aniaya. Politik sebagai
perjuangan selalu menyerukan panggilan yang universal—dan
http://facebook.com/indonesiapustaka
itu sebabnya dari gerowong itu terjadi gerak kolektif yang bisa
dahsyat.
Maka kini kita lebih dekat ke Thersites ketimbang ke Ody
sseus.Tapi ini juga karena kita (bersama Thersites) tak tahu apa
K
ita bertemu di sini—di gedung tempat Bung Karno
mengucapkan pleidoinya di pengadilan kolonial 79 ta-
hun yang lalu—karena kita merasa sesuatu yang ganjil
terjadi. Sesuatu yang tak lazim dan mengandung harap.
Yang ganjil adalah bahwa hari ini kita menemukan seorang
yang akan dicalonkan jadi wakil presiden, dan orang itu tak da
tangdari kancah yang ribut di mana partai-partai politik bersaing
mendapatkan uang atau kedudukan.
Boediono seorang ekonom; ia bekerja dalam pengelolaan per-
ekonomian Indonesia; ia seorang teknokrat. Ia bukan tokoh par-
tai. Ia bukan anggota dinasti pemimpin partai. Ia tak tersohor da
lam pasaran media seperti para bintang sinetron, komedian, dan
penyanyi. Ia bukan seorang vote-getter.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilihnya sebagai ca
lon wakilnya tentu karena Boediono memenuhi sejumlah syarat.
Tapi lebih penting lagi adalah kenyataan bahwa Boediono bukan
saja seorang yang telah bekerja untuk perbaikan kehidupan per-
ekonomian bangsa, tapi juga seorang pejabat dan pribadi yang
bersih.
Di atas saya sebut, itulah sebuah ”keganjilan”—dan di atas sa
ya sebut juga, ”keganjilan” itu membawa harap. Diakui atau ti-
dak, ada yang merisaukan dalam kegaliban kehidupan politik ki
ta. Kini SBY, dengan memilih Boediono, menunjukkan langkah
kepemimpinan yang berani—dan itu indikasi bahwa kita, seba
http://facebook.com/indonesiapustaka
A
pa yang kita ingat tentang 20 Mei 1908? Potret Mas Wa-
hidin Sudirohusodo. Sang ”dokter Jawa” ini mengenakan
blangkon di atas raut mukanya yang tenang; ia lulusan
STOVIA pada awal abad ke-20 yang bertahun-tahun jadi ikon
kebangkitan nasionalisme Indonesia.
Tapi ingatan orang ramai tak pernah lengkap. Dalam catatan
sejarah Indonesia pada masa itu disebutkan bahwa blangkon, sur
jan, dan kain—dan semua ”pakaian daerah” lain—dikenakan
para siswa sekolah kedokteran itu praktis bukan sebagai pernya
taan kebanggaan. Blangkon itu penanda ”inlander”; baju dan
songkok itu atribut ”pribumi”. Peraturan sekolah menentukan,
kecuali yang beragama Kristen, anak-anak muda itu dilarang me
ngenakan jas dan pantalon.
Mereka boleh mendapatkan pendidikan Barat, tapi tak boleh
tampak seperti orang Barat. Mereka tak disebut ”dokter” penuh.
Mereka hanya ”dokter Hindia” atau ”Jawa”. Gaji mereka di dinas
pemerintah dan perkebunan jauh lebih rendah ketimbang para
dokter Belanda. Jika bepergian, mereka tak boleh naik kereta api
kelas I—sementara orang Eropa yang berpendidikan lebih ren-
dah boleh duduk di sana.
Kolonialisme telah menggabungkan apartheid dengan dalih
”orientalisme” yang kedengarannya murah hati: penguasa Hin-
dia-Belanda, kata mereka, hendak melindungi ke-”asli”-an para
pemuda ”pribumi”.
Tapi para pemuda STOVIA itu merasakan, dari ulu hati sam-
http://facebook.com/indonesiapustaka
pai ujung kaki, betapa palsunya sikap murah hati itu. Mereka
pun berontak. Sebab memang tak ada diskriminasi tanpa represi,
dan tak ada represi yang tanpa diskriminasi.
Syahdan, tiap malam, di kamar-kamar asrama mereka, mere-
perti kaum buruh dalam tesis Marx: proletariat adalah sebuah ke-
las yang, dari situasinya yang terbatas dan tertentu, mengusaha
kan pembebasan tanpa batas, bagi siapa saja dan di mana saja.
Dalam arti ini, Marxisme adalah sebuah humanisme universal—
merupakan segalanya. ”Ich bin nichts, und ich müßte alles sein,”
kata Marx. Dengan kata lain, subyek sebagai trauma yang beron
tak itu harus mencakup semua, siapa saja. Bukan hanya para
pribumi alias inlander. Bukan hanya mereka yang harus pakai
blangkon dengan wajah yang kalem.
K
” arena kau bukan orang Jawa,” kata orang itu kepada
saya dengan senyum mengasihani. ”Karena itu kau tak
mengerti....”
Pertunjukan telah selesai. Saya merasa lega. Terus terang, saya
tak menyukai tarian itu sebuah karya abad ke-18 yang tak meng-
gugah. Mungkin sebab itu orang itu, yang duduk di sebelah saya,
menyimpulkan saya ”tak mengerti”.
Ia (seorang tokoh setengah fiktif) seorang Eropa yang sudah
20 tahun hidup di Solo, berbahasa Jawa dengan bagus, pandai
memainkan saron dan rebab. Komentarnya mengingatkan saya
akan kata-kata seorang jurnalis Belanda kepada Minke, tokoh
Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer: seorang Eropa yang me
rasa lebih kenal rakyat di Jawa lebih baik ketimbang Minke, sang
inlander.
Dalam novel Pramoedya, Minke merasa bersalah. Dalam ka-
sus saya, saya bingung: apa artinya saya ”bukan orang Jawa”? Apa
itu ”Jawa”?
Kata ini telah lama beredar, dan makin lama makin dianggap
jelas, padahal tak pernah dipertanyakan. Kini orang mengatakan
Sultan Hamengku Buwono X itu ”raja Jawa”, sementara kita de-
ngan sah juga bisa mengatakan bahwa ia—dengan segala hor
mat—tak lebih dari seorang sultan dari separuh Yogyakarta.
Orang juga mengatakan Bung Karno ”Jawa”, tetapi bisa juga di-
katakan sebenarnya bukan; ia seperti halnya sekarang Boediono,
calon wakil presiden yang mendampingi SBY: seorang yang la
http://facebook.com/indonesiapustaka
pa saja yang datang dari Maluku: sebutan yang sebenarnya tak
mengacu ke sesuatu yang tetap....
Saya pernah masuk ke sebuah penjara di Wamena, Papua,
tempat sejumlah orang yang dianggap penggerak ”separatisme”
disekap. Untuk mengelabui polisi, saya menyamar jadi pastor Ka
tolik dari Bali; teman saya, seorang Amerika yang ingin menulis
laporan buat sebuah lembaga hak asasi manusia, mengaku utus
an dari sebuah gereja Kristen di Boston. Di hadapan kami, salah
seorang tahanan menyatakan kesalnya kepada ”orang Jawa” yang
”telah banyak membunuh” orang Papua.
Waktu itu saya mencoba meluruskan. Kekerasan itu, kata sa
ya,tak bisa dijelaskan dengan dasar kesukuan. Kekerasan itu di-
lakukan oleh sebuah pemerintahan militer, yang pada 1965-1966
juga telah membunuhi ”orang Jawa”, bahkan dalam jumlah yang
jauh lebih besar. Tapi saya tak yakin apakah tahanan Papua yang
penuh kemarahan itu mengerti. Kata, sebutan, bahasa, pada
akhirnya punya kekerasan dan penjaranya sendiri.
Sepulang dari sana, saya baca kembali buku John Pemberton
On the Subject of ”Java”. Buku itu membantu saya yang sudah
agak lama mencoba melacak dari mana ”Jawa”, sebagai identi-
fikasi, berasal. Saya merasa perlu melacak itu. Saya dibesarkan
di pesisir utara Jawa Tengah di mana orang menggunakan ba-
hasa yang berbeda-beda, dan di antaranya jauh dari bahasa yang
dipakai di Surakarta dan Yogyakarta, di mana orang lebih sering
menonton wayang golek dengan lakon Umar Maya ketimbang
wayang kulit dengan lakon Mahabharata, dan di mana orang tak
mengenal serimpi melainkan sintren. Bagaimana jutaan orang
dengan keragaman yang tak tepermanai itu dimasukkan ke satu
http://facebook.com/indonesiapustaka
P
OLITIK adalah sebuah tugas sedih: usaha menegakkan
keadilan di dunia yang berdosa. Reinhold Niebuhr, theo-
log itu, mengatakan demikian untuk siapa saja. Tapi saya
kira ini terutama berlaku bagi tiap intelektual publik—artinya
seseorang yang dengan tulisan dan ucapannya berbicara ke orang
ramai, mengetengahkan apa yang sebaiknya dan yang tak sebaik
nya terjadi bagi kehidupan bersama.
Niebuhr (dan saya mengikutinya) memakai kata ”tugas”.Kata
yang aneh, memang. Sebab tugas itu bukan karena komandose
buah partai atau kekuasaan apa pun. Tugas itu muncul, di dalam
diri kita, karena ada sebuah luka. Kita merasa harus melakukan
sesuatu karena itu. Luka itu terjadi ketika pada suatu hari, dalam
kehidupan sosial kita, ada liyan yang dianiaya, ada sesamayang
berbeda dan sebab itu hendak dibinasakan. Luka itu ketidak-
adilan.
Saya menyebutnya ”luka” karena persoalan ketidak-adilan
bukanlah sesuatu yang abstrak, tapi konkret, menyangkut tubuh,
melibatkan perasaan, membangkitkan trenyuh dan juga amarah:
Munir yang dibunuh tapi kasusnya tak terungkap tuntas, ribuan
orang yang dilenyapkan di masa ”Orde Baru” dan tak pernah di-
usut, Prita Mulyasari, si ibu, yang dimasukkan sel oleh jaksa se-
cara seenaknya, atau Prabangsa, wartawan Radar Bali, yang di-
bunuh dengan brutal karena ia mengkritik orang yang berkuasa.
Ada luka, dan aku ada: pada momen itu aku tahu apa yang te
rasa tak adil. Meskipun aku belum bisa merumuskan seluruhnya
http://facebook.com/indonesiapustaka
celah agar keadilan itu datang. Terkadang tangan jadi kotor, hati
jadi keras—dan itu menyebabkan rasa sedih tersendiri.
Di depan belukar itu, kita berjudi dengan masa depan. Tapi
kita siap: kalaupun gagal, setidaknya ada yang berharga yang di-
perkelahikan.
Maka selalu ada saat untuk bertindak dan memihak, ada saat
untuk berdiri menjauh, merenungkan apa yang tadi kita laku-
kan. Terkadang dengan ironi, terkadang dengan penyesalan.
B
agaimana kita membebaskan diri dari terkaman Pa
sar?
Ada sejumlah pemikir murung yang berbicara tentang
struktur sosial dan manusia; mereka umumnya mengatakan: tak
ada lagi harapan. Kapitalisme merasuk ke mana-mana pada abad
ke-21 ini. Modal dan Pasar menyulap manusia jadi bukan lagi
subyek untuk selama-lamanya. Kita tak bisa berharap dari Nega
ra, yang bagi kaum pemikir yang muram itu tak jauh jaraknya
dari takhta sang Modal Besar.
Akhirnya kita tak sanggup melawan. Kini perlawanan terha
dap Negara + Modal hanya akan seperti tusukan pisau yang ma-
jal. Tak ada efek. Tidak ada lagi Marxisme yang menyatukan ka
um buruh dan menyiapkan datangnya revolusi. Yang ada hanya
protes yang terpecah-pecah. Seperti tembakan mercon yang sa
lingtak berkaitan.
Maka satu-satunya cara melawan mungkin dengan menulis,
mencerca, atau menertawakan. Selebihnya ilusi.
Tapi benarkah cengkeraman Kapital itu demikian total?
Jawab saya: tidak benar.
Pada suatu hari saya mendapatkan sebuah hadiah. Saya se
dangmenulis sebuah risalah dan membutuhkan satu kutipan da
ri puisi Toto Sudarto Bachtiar. Tapi saya tak punya lagi kumpulan
puisinya, Suara, yang terbit pada pertengahan 1950-an, juga tak
ada sajak-sajak dalam buku Etsa. Tiba-tiba terpikir oleh saya un-
tuk mencarinya di Internet, melalui Google. Alhamdulillah, saya
http://facebook.com/indonesiapustaka
menemukan apa yang saya cari! Itulah hadiah yang tak disangka-
sangka hari itu....
Tapi pada saat itu pula terpikir oleh saya: seseorang telah ber-
buat baik dengan mengunggah sajak itu ke alam maya. Ia mung-
420
Catatan Pinggir 9
DEBAT
S
aya malas berdebat. Tiap debat mengandung unsur ber-
laga, ujian, dan telaah. Memang, dulu ketika Sokrates me
nanyai seseorang, menggunakan teknik eclenchus, menyo
al dan meminta jawab dan siap dibantah serta membantah, ia
tak bermaksud mengalahkannya hingga takluk. Ia menggugah
orang untuk berpikir, menilik hidup, terutama hidupnya, dan
menjadi lebih bijaksana sedikit. Tapi tidak setiap orang seperti
Sokrates. Dan saya cepat lelah dengan berujar lisan.
Pengalaman saya mengajari saya bahwa debat, seperti umum-
nya dialog, acap kali berakhir dengan dua-log: saya dan lawan bi
cara saya akan seperti dua pesawat televisi yang disetel berhadap-
hadapan. Dia tak mencoba mengerti saya dan saya tak mencoba
mengerti dia. Bahasa punya problem. Kata yang kita ucapkan
atau kita tulis tidak jatuh persis di sebelah sana dalam makna
yang seperti ketika ia keluar dari kepala saya.
Pengalaman saya juga membuat saya bertanya: apa tujuan se
buah perdebatan? Untuk menunjukkan bahwa saya tak kalah
pintar ketimbang lawan itu? ”Kalah pintar” tidak selamanya
mudah diputuskan, kalaupun ada juri yang menilai. Atau un-
tuk meyakinkan orang di sebelah sana itu, bahwa pendirian saya
benar, dan bisa dia terima? Saya tak yakin.
Kita tak bisa untuk selalu optimistis, bahwa sebuah diskusi
yang ”rasional” akan menghasilkan sebuah konsensus. Bahkan
Mikhail Bakhtin cenderung menganggap bahwa debat yang ter-
buka dan kritis tidak dengan sendirinya akan membuka pintu ke
http://facebook.com/indonesiapustaka
yang berbeda pula, dan pada saat mereka sadar bahwa intuisi me
reka tentang realitas berbeda—dan teknik Sokrates akan menim-
bulkan kesadaran itu—mereka akan makin ketat dalam pilihan
posisi mereka. Ada yang selamanya tak terungkap, juga bagi diri
sendiri, dalam kalimat.
Di manakah peran percakapan? Buat apa dialog dilakukan?
Mungkin jawabnya lebih sederhana dari yang diharapkan se
orang Sokrates: percakapan punya momen persentuhan yang tak
selamanya bisa dibahasakan—momen ketika tubuh jadi bagian
dari keramahan dan redanya rasa gentar.
Tapi orang senang menonton debat, apalagi debat para calon
presiden. Saya tidak tahu apakah setelah menonton itu, orang
akan mengambil keputusan mana yang lebih baik dia pilih. Saya
duga lebih sering yang terjadi adalah pilihan sudah dijatuhkan
sebelum debat mulai—dan orang menonton sebagai pendukung
atau penggembira, seperti orang menonton pertandingan bad
minton atau tinju. Maka saya lebih cenderung menganggap, de-
bat diselenggarakan lebih untuk jam-jam hiburan—dengan se
gala ketegangan yang dirasakan dalam menonton itu. Kita te-
gang, maka kita senang. Juga debat calon presiden. Pendek kata,
debat itu tidak untuk meyakinkan. Debat itu untuk membuat
kita bertepuk.
Tidak mengherankan bila televisi mengambil peran besar da
lam debat politik. Sementara mereka yang berdebat mempersiap-
kan diri baik-baik dengan mengumpulkan bahan serta memper-
tajam argumen dan juga berlatih menyusun kata, tuan rumah da
ri acara itu sebenarnya punya tujuan yang tak ada hubungannya
dengan discourse. Sang tuan rumah hanya menginginkan sesuatu
http://facebook.com/indonesiapustaka
424
Catatan Pinggir 9
KAMAR
S
ajak itu menghadirkan sebuah kamar. Luasnya cuma
3 mx 4 m, ”terlalu sempit buat meniup nyawa”. Penghuni
nyatujuh. Ruang pun terasa kerdil dan rudin, ketika se-
buah jendela menghubungkannya dengan dunia luar yang begitu
perkasa.
Dalam sajak itu pula Chairil Anwar melukiskan kemurung
andan kelesuan kamar itu dengan sederet imaji yang makin la
ma makin dramatis. Sang ibu ”tertidur dalam tersedu”. Sang
bapak ”terbaring jemu”. Mata lelaki tua itu menatap ke sesuatu
yang mungkin hanya sebuah citra ketidak-berdayaan: gambaran
”orang tersalib di batu”. Cahaya terbatas. Malam itu bulan me
ngirimkan sinarnya sedikit untuk mengintip, dan tampak ”sudah
lima anak bernyawa di sini”.
Suasana represif, seperti sel-sel bui yang padat tapi kehilangan
suara. ”Keramaian penjara sepi selalu”.
Chairil menuliskan baris-baris itu sekitar setengah abad yang
lalu, di Jakarta yang penduduknya belum lagi empat juta. Kini
kota ini—yang baru saja berulangtahun ke-482—dihuni 12 juta
orang, dan membaca sajak itu kita terpekur: apa makna sebuah
ruang (mungkin sebuah rumah) di kota seperti ini? Bagaimana
pula kelak, di tahun 2025, ketika diperhitungkan hampir 70%
penduduk Indonesia hidup di kota-kota? Apa yang tengah kita
saksikan: sebuah progresi kepadatan dan ketercekikan?
Kecemasan atas kota-kota yang padat tak hanya terbatas di
Dunia Ketiga. Di pertengahan abad ke-20, ada sebuah keluhan
http://facebook.com/indonesiapustaka
tentang Paris: ”Di Paris tak ada rumah.” Itu tulis Gaston Bache-
lard, filosof Prancis itu, dalam La poétique de l’espace. ”Penduduk
kota-kota besar tinggal di dalam kotak-kotak yang dipasang-su-
sun”. Akhirnya rumah hanya terbangun horizontal; ia kehilang
kata Jawa yang bukan saja menunjukkan sebuah situs fisik, tetapi
juga afeksi, sentuhan perasaan yang positif, ruang yang pas un
tukku. Tempat telah jadi komoditas. Ia bukan lagi bagian dari
pengalamanku yang tak bisa dipertukarkan. Ia bukan lagi men
E
NDE, Flores. Beberapa meter dari pohon sukun yang
rindang itu ada sebuah patung. Yang hendak dihadirkan
di atas pedestal itu sosok Bung Karno, yang pada 1933
dibuang ke kota ini.
Tak impresif. Warnanya yang menguning karena iklim me-
nambah kesan letih ke seluruh permukaannya. Tubuh itu kurus,
memanjang ke langit, yang mungkin bisa ditafsirkan sebagai
gambaran Bung Karno yang menderita tapi bercita-cita.
Foto-foto yang tersimpan di Museum Bung Karno di kota itu
memang memperlihatkan seorang laki-laki yang ramping. Tapi
patung itu tampaknya tak ingin menggambarkan sang pemimpin
yang kurang gizi di pengasingan: bajunya yang khas, bersaku em-
pat, dengan dasi, adalah baju ketika Bung Karno sudah jadi presi
den. Dan saya lihat di sana Bung Karno memegang tongkat ko-
mando yang berujung kepala burung garuda—meskipun hewan
itu lebih mirip ayam jago yang lemas....
Saya duga sang pematung bukanlah seorang seniman yang
menguasai teknik—jika hal ini bisa disimpulkan dari ketidakmi-
ripan patung itu dengan tokoh yang dipatungkan. Wajah Bung
Karno itu bermata besar, berhidung runcing, dan tatapannya se-
perti gamang melihat dunia.
Tapi haruskah sebuah patung mirip dengan wajah orang yang
dipatungkan? Tidakkah sang pematung punya hak interpretasi?
Giacometti mungkin akan selamanya menampilkan sosok yang
seperti stalagmit kerempeng di gua-gua, meskipun seandainya ia
http://facebook.com/indonesiapustaka
T
entang rakyat, apakah yang sebenarnya kita ketahui?
Kata itu, seperti bagian penting dari mantra, punya efek
yang kuat, tapi tak punya arti yang jelas. Seperti bagian
dari mantra, ia diulang untuk membuat orang terkesima, atau
tunduk, atau bersemangat. Tapi ia (sebagaimana mantra) akan
hilang tuahnya apabila diletakkan sebagai sebuah satuan sintakse
yang diurai maknanya. Di hadapan analisis, kata ”rakyat” akan
jadi sebuah problem.
Artinya (seperti arti kata umumnya) ternyata bergantung pada
bedanya dengan kata lain tempat ia dipasangkan. ”Rakyat” ber
artibagian penduduk yang tak sedang berkuasa dari sebuah nege
ri, bila kata itu disandingkan dengan ”pemerintah”. Tapi kata
”rakyat” bisa berarti sebuah kekuatan tersendiri, juga di dalam
pemerintahan, seperti dalam istilah ”Republik Rakyat Cina”. Ka
ta itu juga bisa mengandung makna perlawanan terhadap yang
mapan. Tapi ”rakyat” juga bisa berarti suara mayoritas yang, seba
gaimana lazimnya mayoritas, berkumpul di bagian tengah kurva
lonceng dalam statistik: sebuah tendensi di luar yang ekstrem.
Saya ingat sebuah sajak Hartojo Andangdjaja yang mencoba
mengutarakan apa itu ”rakyat”. Tapi sebagaimana layaknya puisi,
ia tak menawarkan definisi, melainkan imaji:
J
ika bom itu tak hanya mengejutkan, tapi membuat kita
marah dan sedih, jika beberapa orang bahkan menangis pagi
itu, ketika dua ledakan membunuh sembilan orang dan me-
lukai entah berapa lagi di Hotel Ritz-Carlton dan JW Marri
ott di Jakarta, apa sebenarnya yang terjadi? Saya tak tahu persis
jawabnya. Kematian dan luka-luka itu mengerikan, tapi saya de
ngarkan percakapan, saya baca pesan di HP, dan saya mungkin
bisa mengatakan bahwa kita marah, sedih, dan menangis kare
na tiba-tiba kita menyadari, betapa terkait kita dengan sebuah ta
nah air: sebuah negeri yang selama ini seakan-akan bisa diabai
kan,atau hanya disebut dalam paspor—sebuah Indonesia yang
seakan-akan selamanya akan di sana dan utuh tapi kini teran
cam—Indonesia yang dulu mungkin hanya menempel direkat
kanke kepala karena pelajaran kewarganegaraan di sekolah, ka
rena pidato di televisi.
Ketika bom itu mengguncang kita, pagi tiba-tiba jadi lain.
Pagi itu kita merasa secara akut jadi bagian dari tubuh imajiner
itu—justru ketika tubuh itu dilukai. Tiba-tiba kita merasa berada
di sebuah perjalanan bersama yang dicegat dengan kasar dan se-
perti hendak direnggutkan dari masa depan yang bisa memberi
kita sedikit rasa bangga. Tiba-tiba kita takut kita akan tak bisa
mengatakan, ”Saya datang dari sebuah negeri yang pelan-pelan
membuat saya tidak malu lagi.”
Teror itu akhirnya memusuhi sesuatu yang lebih berarti ke
timbang apa saja yang semula dimusuhinya—jika yang dimusuhi
http://facebook.com/indonesiapustaka
tis memusuhi sebuah cita-cita sekian puluh juta manusia yang be-
bas. Ia memusuhi Indonesia.
Pada momen itu, kita sebenarnya bisa berkata: kita akan mela-
wan. Pada saat itu, kita tahu, teror itu tak akan menang. Memang
sejenak ia bisa bikin gugup, menyebabkan reaksi yang berlebihan,
juga dari seorang presiden yang biasanya tenang. Tapi bom itu,
teror itu, tak akan bisa mendapat lebih dari itu.
Di zaman ini, para teroris memerlukan pentas dan penonton.
Ada panggung untuk mempertunjukkan akrobatik mereka. Ada
penonton yang menyaksikannya dan merasakan dampaknya ke
dalam hidup mereka, sejenak ataupun lama. Kengerian, kebuas
an, dan kenekatan itu adalah bagian dari spectacle itu, seperti
dalam sirkus. Tapi, apa sesudah itu?
Kita ingat 11 September 2001: sebuah pertunjukan spektaku
lerdengan pentas yang kolosal: dua pesawat berpenumpang pe
nuh ditabrakkan ke dua gedung pencakar langit di Kota New
York, pada sebuah pagi yang cerah. Sekitar 3.000 orang tewas.
Teror adalah sebuah show dan sekaligus statemen. Tapi statemen
itu tidak pernah jadi jelas, juga bagi jutaan penonton. Efeknya
mengharu biru, tapi ia tak menyebabkan sang musuh (”Ameri-
ka”) bertobat atau runtuh. Teror akhirnya bukanlah untuk meng-
gerakkan dukungan yang konsisten untuk perubahan. Teror tak
punya daya transformatif. Teror bukan sebuah revolusi.
Dan ia juga tak bisa mengelak dari ”the law of diminishing re
turn”. Tiap pertunjukan yang ingin menarik perhatian akan sam-
pai pada suatu titik, di mana ia tidak bisa lagi jadi rutin. Ketika
ia jadi rutin, diulang berkali-kali tanpa hasil yang berarti, kecuali
membunuh sejumlah orang tak bersalah (bahkan ia tak bisa ber-
http://facebook.com/indonesiapustaka
440
Catatan Pinggir 9
POLITESSE
D
I sebuah TPS, pada pukul 9 pagi: para tetangga datang,
saling menyapa, saling senyum, bercakap-cakap agak
lirih, duduk menunggu dengan tertib, kemudian bergi
liran masuk ke ruang kotak suara, mencontreng, mencelupkan
jari ke tinta hitam, lalu melangkah ke luar, menyambung senyum
dan percakapan, tentang tetangga yang sudah pindah, tentang
anak yang baru menikah, tentang selokan yang belum diperbaiki,
tentang segala hal—kecuali tentang partai atau tokoh yang telah
dan akan dipilih hari itu.
Politik: apa gerangan ia sebenarnya? Di TPS itu tak ada gelora
yang berapi-api. Para militan dan partisan sedang mengubah diri
jadi warga RT (jangan lupa, artinya, ”Rukun Tetangga”). Poli-
tik seakan-akan berhenti jika politik, (das Politische, kata Carl
Schmitt) adalah sebuah arena kekuasaan, sengketa, dan antago
nisme. Tapi benarkah?
Berhari-hari sebelumnya kampanye memang menderu sega
nas deretan panser dalam perang yang, dengan bendera yang
angkuh, menembakkan kata-kata yang ingin menghancurkan.
Tapipada hari itu, di TPS itu, para tetangga yang bertentangan
dalam menentukan pilihan dengan serta-merta tampak jinak:
orang-orang yang saling mengucapkan selamat pagi. Mereka se
perti salingmengerti: pilihanmu adalah pilihanmu, pilihanku pi
lihanku. Nanti, menjelang sore hari, mereka akan dengan tegang
menanti hasil penghitungan suara, tapi setelah itu....
Beberapa minggu kemudian anggota DPR ditentukan, presi
http://facebook.com/indonesiapustaka
den dan wakil presiden dilantik. Dan segera setelah itu tak terasa
lagi kemeriahan, gereget, dan semangat.
Ada yang menyambut hilangnya gairah yang berapi-api itu
sebagai tingkat matang demokrasi sebuah kebajikan. Ada yang
dari apa yang brutal dalam politik, selalu masih ada amarah yang
tersisa dan dendam yang tersekat di saat para musuh politik ber-
jabat tangan.
Betapapun berlebih-lebihannya gambaran politik sebagai are-
J
ANGAN bicara kepada saya tentang jihad. Hari ini saya su-
dah tak tahu lagi apa maksudnya.
Tuan bisa berkata, jihad bukanlah kekerasan. Tapi berba
rengdengan itu orang lain berkata jihad itulah yang membe
narkan bila orang yang dianggap kafir atau murtad dibunuh.
Tiap tafsir bisa dibantah tafsir lain. Kepada siapa saya bisa minta
kata akhir tentang apa sebenarnya yang diperintahkan agama?
Maka jangan bicara kepada saya tentang jihad. Terorisme tak
perlu dan tak bisa diterangkan dengan sabda atau fatwa. Bom
yang diledakkan untuk membunuh dan bunuh diri itu justru
mungkin akan lebih jelas bila dilihat sebagai sesuatu yang tak da
pat diutarakan oleh (dan dalam) sabda dan fatwa.
Siapa yang melihat hubungan antara terorisme dan ajaran,
apalagi ideologi, melupakan bahwa ada sesuatu yang lebih dahu-
lu, dan lebih bisu, ketimbang ajaran dan ideologi—yaitu luka.
Yang menyedihkan dalam sejarah ialah bahwa luka itu tam-
paknya tak terelakkan. Akan ada selalu orang-orang buntung. Ka
ta ini tak menunjukkan luka potong yang harfiah; di sini, ”bun
tung”adalah lawan kata ”beruntung”. Seorang teman diBonn ta
dipagi mengirim sebuah tulisan Hans Magnus Enzensberger dan
di sana saya menemukan apa yang saya maksud. Dalam bahasa
Jerman Enzensberger menyebut si buntung ”Verlierer”; dalam ba-
hasa Inggris ”loser”.
Si buntung—dan ia tak hanya seorang—lahir dari semacam
kecelakaan yang niscaya ketika manusia mengorganisasi dirinya
http://facebook.com/indonesiapustaka
S
AYA tak bisa mengerti bagaimana Rendra ”pergi selama-
lamanya”, kecuali bahwa jasad itu dimakamkan, 7 Agus-
tus 2009, dalam umur hampir 74. Rendra tak pernah
mati: ia telah memberi kita puisi.
Sajak seperti ini ditulis sekitar setengah abad yang lalu. Tapi
deskripsinya yang bersahaja dan terang tetap menyembunyikan
sesuatu yang seakan-akan baru terungkap secara mendadak buat
pertama kalinya hari ini. Rendra menghadirkan yang tak ter-
hingga. ”Tujuh pasang mata peri/terpejam di pohonan”. Imaji se-
perti itu terus-menerus tak bisa dibekukan oleh tafsir.
Puisi tentu saja bisa beku, juga puisi Rendra. Ini terjadi ketika
apa yang tumbuh dan hidup dari dalamnya—yaitu yang fantas-
tis, yang ganjil, yang misterius—ditiadakan. Ini yang terjadi ke-
tika puisi diambil alih perannya oleh ajaran, dengan niat bisa ber-
guna secara efektif. Dan zaman bisa membutuhkan itu: karena
keadaan, kita dengan brutal menuntut puisi untuk mati suri.
Saya tak ingin Rendra, yang sebagai penyair rela mengorban
kanbanyak hal—termasuk apa yang terbaik dari dirinya—harus
dikorbankan berkali-kali.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Sebab itu, ketika kini Rendra hanya diingat sebagai suara kri-
tik dan kearifan sosial yang menggugah, saya ingin mengenang-
nya lebih dari sekadar itu.
***
Di gereja St Josef
tanggal 31 Maret 1959
di pagi yang basah
seorang malaikat telah turun.
Seorang malaikat remaja
dengan rambut keriting
berayun di lidah lonceng.
Maka sambil membuat bahana indah
dinyanyikan masmur
yang mengandung sebuah berita
yang bagus.
Dan kakinya yang putih indah
terjuntai
ologi yang berkuasa, dan dengan posisi itu, para ”urakan” justru
berperan untuk pembaharuan, transformasi sosial, dan pembe-
basan.
Pada akhirnya, posisi ”urakan” bagi Rendra lebih penting dan
lebih menarik ketimbang posisi pembela ketertiban. Meskipun ia
tak pernah memaki tanah asal sebagai ”batu semua!” sebagaima-
na Rivai Apin, ia tak pernah tergerak untuk mensakralkan tem-
pat tinggal, rumah, dan negeri asal.
Hubungannya dengan tradisi, dalam hal ini tradisi Jawa, tak
akrab. Baginya kebudayaan Jawa adalah sebuah ”kebudayaan ka-
sur tua”: sebuah tempat mandek yang hanya enak buat tidur nye
nyak.
Tapi ia melihat tradisi dan masa lalu tak satu. Masa lalu yang
dikecamnya adalah ”kebudayaan Jawa baru, yang kira-kira di
mulai abad ke-18 atau akhir abad ke-17”. Ada masa lalu lain, yang
menurut Rendra dilupakan orang Jawa sendiri. Dalam ”tem-
bang-tembang kuno,” katanya, ”ada ajaran yang mengajak kita
untuk mandiri, untuk berdiri sendiri, untuk mengada.”
Rendra tak menyebut dengan jelas ”tembang kuno” mana
yang mengajarkan demikian. Ia hanya menyebut kisah Dewa Ru
ci, kisah tentang Bima yang mencari dan kemudian menemukan
”dirinya sendiri”. Agaknya yang jadi soal bukanlah tradisi itu sen
diri, tapi kemandekan yang mencekik individu. Dalam kebuda
yaan tradisional yang ada, kata Rendra, ”individu belum dikete
mukan”.
Pada 1967 ia pergi ke Amerika Serikat, dan hidup di Kota
New York. Dari sana datang beberapa puisinya yang matang dan
memukau, yang terkumpul dalam Blues untuk Bonnie. Dalam se-
http://facebook.com/indonesiapustaka
sehat untuk kesadaran mistik dan seni yang ada dalam diri saya.”
Dari sini ia berbicara untuk melaksanakan ”firman moderni
sasi”. Ia bersuara tentang agar orang Indonesia ”melawan alam”.
Ini ditandaskannya kembali ketika ia, bersama awak Bengkel
Teater Yogya memperingati Hari Sumpah Pemuda pada 1969. Ia
berpidato dengan teks yang ditulis tangan. Ia berbicara bagaima-
na di Barat kehidupan diatur oleh mesin bikinan manusia, dan
bagaimana di Indonesia individu bagaikan sekrup dan gotri yang
ditentukan perannya oleh semacam mesin lain, yakni alam. Indi-
vidu tak bisa merdeka, katanya, karena seluruh hidupnya hanya
merupakan onderdil yang sudah ditetapkan status dan tugasnya
dalam tradisi. Panggilan zaman yang sekarang adalah melawan-
nya, kata Rendra.
Di sini ada gema yang kembali dari pemikiran yang dibawa
kan para sastrawan pada 1930-an, terutama oleh S. Takdir Ali
sjahbana. Suara itu kemudian dilanjutkan Soedjatmoko ketika
menulis pengantar buat majalah Konfrontasi pada 1955: ia men
jelaskan kenapa harus ada ”konfrontasi” dengan ”faktor-faktor
kebudayaan” yang tidak mendukung pembangunan bangsa.
Rendra meneruskan ”firman modernisasi” itu.
Tapi dunia modern, sebagaimana dicemaskan Sanusi Pane, se
orang penganut Theosofi yang memuja masa lalu India, punya sisi
gelap. Tak ada yang baru di sini: Max Weber meramalkan bahwa
”akal instrumental” yang memacu dunia modern pada akhirnya
akan membawa manusia ke dalam ”kerangkeng besi”. Mazhab
Frankfurt melihat ”Pencerahan” yang membawa ”firman mo
dernisasi” pada akhirnya melahirkan penindasan.
Sanusi Pane memandang sisi gelap itu seraya memegang gam-
http://facebook.com/indonesiapustaka
Fantastis.
Di satu Minggu siang yang panas
di gereja yang penuh orangnya
seorang padri muda berdiri di mimbar.
Wajahnya molek dan suci
matanya manis seperti mata kelinci
dan ia mengangkat kedua tangannya
yang bersih halus bagai leli
lalu berkata:
”Sekarang kita bubaran
Hari ini khotbah tak ada”.
K
ADANG-KADANG saya berpikir, apa gerangan yang
ada dalam pikiran bapak saya beberapa saat sebelum ia
ditembak mati. Kadang-kadang saya ingin membayang
kan, ia menyebut nama ”Indonesia” di bibirnya, atau ”Indonesia
merdeka”, tapi tentu saja ini satu imajinasi klise, dan sebab itu tiap
kali muncul cepat-cepat saya stop. Bukan mustahil bapak keta
kutan di depan regu tembak pasukan pendudukan Belanda itu.
Atau ia pasrah? Yang agaknya pasti, beberapa puluh menit, atau
beberapa puluh detik kemudian, seluruh ketakutan (atau sikap
pasrah, atau jangan-jangan kecongkakan yang tampil seperti ke-
beranian) pun punah: peluru-peluru menembus batok kepalanya.
Darah muncrat, ia roboh, tak akan pernah pulang lagi.
Di tengah perkabungan, seluruh keluarga kami ketakutan
dan menangis. Hanya ibu yang teguh: seperti tiang rumah yang
ajaib. Ia menangis tapi ia menenangkan kami semua dan meng
ambil alih persiapan pemakaman dan perkabungan yang tergesa-
gesa itu.
Kini saya mencoba mengerti kenapa ibu dapat demikian kuat.
Ia mungkin sudah tahu, hidup suaminya akan berakhir seperti
itu, atau sedikit lebih baik ketimbang ditembak mati. Ibu telah
menyaksikan bapak keluar-masuk penjara; ia bahkan menyertai
bapak ke pembuangan nun di Digul, di Papua, yang tak terkira
kan jauhnya. Adakah ia ikhlas? Ibu tak pernah berbicara tentang
suaminya dengan kekaguman kepada seorang pejuang; ia hanya
sesekali berbicara tentang sikap keras hati laki-laki itu: ada saat-
http://facebook.com/indonesiapustaka
arus yang tak bisa dilupakan, suara ayah yang memuji, lagu ibu
yang sejuk, batuk kakek, dan cerita-cerita kanak yang mengen
dap dalam kesadaran. Juga harapan: rumah kelak akan diba
ngun,anak-anak akan beres bersekolah, karier akan dicapai. Juga
harapan akan melakukan sesuatu yang berarti.
Tapi tentu saja ada mereka yang menolak itu semua—atau tak
merasa terpaut dengan tanah air yang mana pun. Saya kira, mere
ka yang bersetia kepada gagasan ”Darul Islam” yang tak berpeta
bumi itu adalah contoh yang baik; mereka berpindah dari satu
wilayah ke wilayah lain, tanpa bertaut ke masing-masing tempat.
Mereka tak bertanah air, sebab tanah air adalah bagian dari bumi
dan badan, sedang mereka yakin bahwa hukum—yang bagi me
reka adalah segala-galanya—tak terpaut pada bumi dan badan,
ruang dan waktu tertentu. Tak akan mengherankan bila ”Indo-
nesia” bagi mereka tak berarti apa-apa. Geografi mereka seder-
hana: sebuah tempat adalah bagian dari wilayah musuh atau wi
layah diri. Tak ada yang lain.
Kita tahu mereka siap untuk mati, untuk ditembak mati. Tapi
betapa berbedanya dengan mereka yang merasa terpaut dengan
sebuah tempat hidup dan tempat mati. Mungkin sekali di depan
regu tembak itu bapak saya tak menyebut nama ”Indonesia” de-
ngan tekad utuh. Mungkin sekali ibu saya bekerja dengan tekad
untuk anak-anaknya bukan untuk masa depan negeri ini. Tapi
bagi saya mereka seperti kebanyakan kita: bagian dari sesama,
yang hidup fana, di sebuah masa, di sebuah tempat, dan tak per-
nah bisa ditiadakan dengan hukum dan senjata.
460
Catatan Pinggir 9
PADRI
P
ada bulan puasa tahun 1818, Thomas Stamford Raffles
memasuki pedalaman Minangkabau. Ia ingin menemu-
kan Kerajaan Pagaruyung.
Menurut cerita, kerajaan ini tegak sebelum Islam datang, tapi
sejak orang Portugis mendatanginya pada 1648 ia tak pernah lagi
diketahui orang luar. Pagaruyung hidup bagaikan sebuah keraja-
an dongeng, berlanjut sampai hari ini.
Syahdan, Raffles praktis tak menemukan petilasan apa pun.
Yang dilihatnya cuma seonggok puing yang dibatasi pohon bua h
dan nyiur. Tapi, seperti ditulis dengan menarik oleh Jeffrey Had
ler dalam Muslims and Matriarchs, (NUS Press, 2009), Raffles
mampu merekonstruksi sebuah masa lalu dari fantasi hingga jadi
sejarah, mungkin melalui ”a feat of archeological alchemy”. Maka
lahirlah Pagaruyung yang megah tapi tak bersisa. Konon ia tiga
kali terbakar dan reruntuhannya terabaikan selama Perang Padri
yang waktu itu baru tiga tahun berlangsung.
Bagi Raffles, (ia masih Letnan-Gubernur Inggris di Bengku
lu), tema itu penting. Ia seorang Inggris yang tertarik kepada apa
saja yang ”India”, dan ingin membuktikan adanya kekuasaan
Hindu-Melayu yang kemudian runtuh karena datangnya Islam.
Tersirat dalam pandangannya, Islam adalah kekuatan pendatang
yang tak membangun apa-apa. Apalagi Islam, bagi Raffles, ada
lah Islam sebagaimana ditampakkan kaum Padri: sejumlah orang
berjubah putih dan bersorban dalam pelbagai bentuk, berjanggut
pula, dan jadi variasi lokal dari kaum Wahabi yang keras dan se-
http://facebook.com/indonesiapustaka
tidak, kerajaan pra-Islam itu hanya mitos atau bukan, tapi ada se
suatu yang tetap bertahan dari masa lampau—sesuatu yang tak
tertangkap oleh hukum apa pun, sesuatu Entah yang ada bersama
sejarah. Tempo, 30 Agustus 2009
464
Catatan Pinggir 9
MODERNITAS
D
I kesunyian Pulau Buru, Pramoedya Ananta Toer me-
nonton wayang. Atau ia memperhatikan orang menon-
ton wayang.
Saya bayangkan malam itu. Di koloni tahanan politik itu, di
sepetak lapangan, layar dipasang dan batang pisang dibaringkan.
Deretan wayang kulit tertancap. Sebuah blencong (atau bola lam-
pu 100 watt?) menyala di atasnya.
Orang berkerumun. Juga prajurit yang berjaga. Dalang siap,
tanpa beskap, tanpa keris. Para pangrawit mulai memainkan ga
melan yang seadanya. Dan semua orang tahu, di balik kebersaha-
jaan itu ada ambisi dan proses kerja yang luar biasa: di pengasing
an itu para tahanan menatah sendiri wayang mereka dari kulit
sapi yang mereka ternakkan, dengan pahat kecil yang diraut dari
besi sisa peralatan. Selebihnya: imajinasi.
Saya tak tahu apa lakonnya. Tapi Pramoedya tak begitu ber
gembira.
Di catatan di Pulau Buru bertanggal akhir Januari 1973, yang
dimuat dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu jilid I, ia anggap wa
yang—juga gamelan dan tembang—”membawa orang tertelan
oleh dunia ilusi yang menghentikan segala gerak...”.
Bagi Pramoedya, dalam wayang, kahyangan terlampau domi-
nan. Padahal manusia-lah yang harus mengambil peran, bukan
para dewa:
Jam tujuh pagi baru selesai: tancep kayon. Pukulan gong peng-
http://facebook.com/indonesiapustaka
P
ada tahun ke-13 masa pembuangan, di suatu hari yang
terik di hutan pekat itu, Yudistira menemukan keempat
adiknya tewas. Di tepi sebuah danau tergeletak dua sau
dara kandungnya seibu, Bima dan Arjuna. Lebih ke utara terda
pat jenazah Nakula. Lalu ia temukan juga mayat Sadewa. Kedua
nya adik yang lain: putra Pandu dari Ibu Madrim.
Yudistira terenyak. Keempat saudaranya mati tanpa bekas
pertempuran. Apa yang terjadi? Sementara pikirannya galau, ia
dengar suara berat yang tak tampak sumbernya.
Suara itu mengatakan, keempat kesatria itu mati karena me-
langgar larangan: mereka telah diberi tahu untuk tak meminum
air telaga itu, tapi mereka dengan penuh percaya-diri, bahkan
angkuh melawan pantangan itu. Yudistira sebaiknya tak mela
kukan hal yang sama, kata suara gaib itu. Ia harus menjawab lebih
dulu beberapa pertanyaan sebelum ia boleh mereguk air danau.
Yudistira bersedia. Dalam Mahabharata ada beberapa perta
nyaan yang dimajukan, tapi di sini saya kutip saja yang terakhir,
yang paling menentukan.
Kata suara gaib: ”Salah satu dari adikmu akan segera kuhidup-
kan kembali. Siapa yang kau kehendaki, Yudistira?”
Yudistira terdiam. Ia pejamkan matanya, dan pilihan-pilih
anyang sulit bertabrakan dalam gelap. Akhirnya sahutnya lirih:
”Nakula”.
”Nakula?” suara itu heran. ”Bukan Bima, saudara kandungmu
http://facebook.com/indonesiapustaka
I
A hadir tapi ia asing di kantor itu: seorang bekas gerilyawan
di kehidupan yang ditentukan oleh daftar absen. Oleh pukul
8-13. Oleh lajur lurus di permukaan kertas.
Dalam film Lewat Jam Malam, Iskandar (dimainkan dengan
bagus oleh A.N. Alcaff) akhirnya hanya duduk: bingung tak tahu
mau apa, malu pada diri sendiri dan nyaris putus asa. Revolusisu-
dah tak ada lagi, debur jantung menghadapi mati atau hidup, ka
lah atau menang, menyerah atau berkorban, kini jauh. Yang di
saksikannya cuma kemenangan yang diborong si culas dan kor
ban yang jatuh tanpa ada hubungannya dengan usaha kemerde
kaan.
Apa arti hari ini? Film yang dibuat pada 1954 ini agaknya me
rumuskan zamannya: si ”bekas pejuang” (kata itu lazim waktu
itu)makin tampak sebagai bekas, dan arti ”pejuang” makin jadi
kabur. Iskandar pada akhirnya seperti ampas: ia tak melakukan
hal yang berbahaya tapi tertembak mati oleh polisi militer repub
likyang ditegakkannya.
Pada 1950-an, republik itu tengah ingin jadi republik yang
”normal”, dan normalisasi memang membasmi yang dianggap
ganjil dan asing. Rasa kecewa pun meluas di antara mereka yang
tersisih. Kelesuan berkecamuk. Juga rasa ngilu, lelah, dan pedih,
dengan kenangan tentang sebuah masa yang penuh suspens tapi
telah hilang—perasaan yang oleh Ramadhan K.H. disebut ”ro
yan”,mirip yang dialami seorang ibu sehabis melahirkan, seperti
dilukiskannya dalam novelnya Royan Revolusi.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Pada suasana itu, ada satu kata yang tak putus-putusnya di
utarakan: ”krisis”. Koran dan majalah di Jakarta masa itu gemar
menyebutnya—seakan-akan Indonesia seperti tergambar dalam
film Krisis yang dibuat Usmar Ismail pada 1953: ruang hidup
P
ADA pertengahan abad ke-18, seorang yang menjelajah
kepulauan ini—dan melihat penghuninya yang berku-
lit sawo matang seperti orang Polinesia—bertanya kepa-
da diri sendiri: apa nama manusia ini? Apa nama kepulauan yang
mereka diami?
Kemudian pengelana Inggris itu, George Samuel Windsor
Earl, memutuskan: ”Indunesia”. Tapi segera ia berubah pikiran.
”Malayanusia” lebih baik, katanya. Ternyata sebutan ini pun tak
lama. Seorang rekannya, James Logan, memilih nama ”Indone-
sia”.
”Indonesia” sejak itu memasuki sejarah. Dalam The Idea of In
donesia: A History dari R.E. Elson (sebuah buku yang terbit pada
2008 dan membentuk dokumen paling lengkap tentang gagasan
kebangsaan kita), dikisahkanlah bagaimana nama itu hidup de-
ngan saga sendiri.
Nama ternyata tak hanya jadi penanda. Nama bukan hanya
dibuat dan dikonstruksi. Ia juga mengkonstruksi. Nama mengu
kuhkan sebuah identitas. Tapi nama tak seluruhnya lahir dari
niat membuat konsep. Orang tak cuma menyebut ”Indonesia”
dengan sebuah definisi. Nama bukan indeks yang abstrak. Ro-
bot dalam film Star Wars diberi label ”R2D2”, tapi akhirnya kita
mengingatnya sebagai si ”Artuditu”. Label itu jadi nama, ketika
yang menyandangnya hidup, bergerak, menampakkan emosi,
berperilaku manusia. Nama menyarankan adanya personifikasi,
seperti gamelan disebut ”Kiai Tunggul”. Ia menghadirkan se-
http://facebook.com/indonesiapustaka
I
NI sebuah cerita yang telah lama beredar, sebuah kisah yang
termasyhur dalam Injil, yang dimulai di sebuah pagi di pela-
taran Baitullah, ketika Yesus duduk mengajar.
Orang-orang mendengarkan. Tiba-tiba guru Taurat dan
orangFarisi datang. Mereka membawa seorang perempuan yang
langsung mereka paksa berdiri di tengah orang banyak.
Perempuan itu tertangkap basah berzina, kata mereka. ”Hu-
kum Taurat Musa memerintahkan kita untuk melempari perem-
puan-perempuan yang demikian dengan batu,” kata para pemim
pin Yahudi itu pula. Mereka tampak mengetahui hukum itu, tapi
toh mereka bertanya: ”Apa yang harus kami lakukan?”
Bagi Yohanes, yang mencatat kejadian ini, guru Taurat dan
orang Farisi itu memang berniat ”menjebak” Yesus. Mereka ingin
agar sosok yang mereka panggil ”Guru” itu (mungkin dengan ce-
mooh?) mengucapkan sesuatu yang salah.
Saya seorang muslim, bukan penafsir Injil. Saya hanya mengi
ra-ngira latar belakang kejadian ini: para pakar Taurat dan kaum
Farisi agaknya curiga, Yesus telah mengajarkan sikap beragama
yang keliru. Diduga bahwa ia tak mempedulikan hukum yang
tercantum di Kitab Suci; bukankah ia berani melanggar larangan
bekerja di ladang di hari Sabbath? Mungkin telah mereka dengar,
bagi Yesus iman tak bisa diatur pakar hukum. Beriman adalah
menghayati hidup yang terus-menerus diciptakan Tuhan dan di-
rawat dengan cinta-kasih.
Tapi bagi para pemimpin Yahudi itu sikap meremehkan hu-
http://facebook.com/indonesiapustaka
S
emua bermula di Hong Kong, barangkali. Seorang te-
man yang telah menonton film baru sutradara Wong Jing
mengingatkan: film I Corrupt All Cops (produksi 2009)
menunjukkan bahwa bentrok antara komisi pemberantasan ko-
rupsi dan pejabat polisi bukan hanya cerita Indonesia.
Tentu saja I Corrupt All Cops bukan cukilan sejarah. Film ini
menceritakan pergulatan beberapa petugas Independent Com
mission Against Corruption (ICAC) melawan sejumlah perwira
polisi Hong Kong yang korup. Wong Jin berusaha untuk tak no
rak,kata teman itu, tapi filmnya akhirnya hanya menyajikan se-
potong kisah yang disederhanakan.
Sejarah ICAC, yang didirikan pemerintah Hong Kong pada
1974, dan akhirnya jadi sebuah ikhtiar yang berhasil (dan dicon-
toh oleh Indonesia untuk membentuk KPK), memang bukan po-
tongan-potongan cerita yang lurus.
ICAC mencatat prestasi ketika lembaga baru ini memenjara
kan Peter Fitzroy Godber, perwira tinggi polisi yang tak bisa men
jelaskan dari mana uang US$ 600 ribu ada di rekening banknya.
Godber melarikan diri ke Inggris dengan bantuan rekan-rekan-
nya. Dengan gigih, ICAC berhasil mengekstradisi sang buaya
kembali ke Hong Kong. Ke dalam kurungan.
Tapi dengan segera HKPF, angkatan kepolisian kota itu, me
rasa terancam. Pada 28 Oktober 1977, beberapa puluh anggota
nya menyerbu memasuki kantor ICAC. Ketegangan terjadi.
Akhirnya kepala pemerintahan Hong Kong (dulu disebut ”Go
http://facebook.com/indonesiapustaka
katan ICAC (jadi ”I can accept cash”, atau ”I corrupt all cops”)
adalah indikasi hancurnya ”modal sosial”. Negeri telah jadi sede-
ret labirin yang membusuk.
Maka ICAC, terlebih lagi KPK, lahir dengan kekuasaan yang
abnormal: ia mekanisme penyembuhan yang juga sebuah perke-
cualian. Kekuasaannya lain dari yang lain. Wewenang KPK
bahkan lebih besar: di Hong Kong ICAC tak punya wewenang
menuntut. Wewenang itu ada pada kejaksaan. Di sini, KPK me-
megangnya.
KPK bahkan diharapkan bebas dari kekuasaan eksekutif. Di
Hong Kong, ICAC bekerja secara independen namun bertang-
gung jawab kepada ”Chief Executive”, yang dulu disebut ”Gover-
nor”. Di Indonesia, KPK tak bertanggung jawab kepada Presiden
dan mungkin juga tidak kepada DPR.
Keluarbiasaan itu mungkin tak enak diungkit-ungkit kini.
Tapi mungkin tak bisa dilupakan: posisi KPK diletakkan (untuk
memakai kata-kata Agamben) ”daerah tak bertuan antara hu-
kum publik dan fakta politik”. Dengan kata lain, kekuasaan itu
ditopang hukum yang lahir dari satu subyektivitas yang menegas-
kan kedaulatannya untuk membuat perkecualian.
Tapi kedaulatan itu toh akhirnya bertopang pada legitimasi
yang contingent. Tak ada dasar a priori bagi hak pemegang ke
kuasaan istimewa itu.
Maka di ”daerah tak bertuan”, kekuasaan itu justru kian bu
tuhpembenaran. Apalagi yang diperoleh ICAC dan KPK bersi-
fat derivatif: bukan datang dari pilihan rakyat—sumber mandat
sebuah demokrasi—melainkan dari badan-badan yang dipilih
rakyat. Badan seperti KPK terus-menerus perlu pihak di luar diri
http://facebook.com/indonesiapustaka
S
EORANG gubernur mengeluh. Saya kebetulan mende
ngarnya. Maka tahulah saya ada yang ganjil yang jadi ru-
tin dalam pemerintahan kota yang dipimpinnya, seakan-
akan sang gubernur dan administrasinya muncul dari novel Kaf-
ka, seakan-akan Kafka bukan hidup di Praha di awal abad ke-20
melainkan di Jakarta, mungkin di sekitar Gambir, sejak empat
dasawarsa ini.
Tapi cerita ini bukan buah imajinasi seorang sastrawan: pada
suatu hari di tahun 1990-an gubernur itu memang mengirim su-
rat dinas ke direktur kebun binatang di Ragunan. Berhari-hari ia
tak menerima jawaban dari bawahannya itu. Kemudian baru ia
ketahui, surat yang ditandatanganinya itu perlu waktu tiga bulan
untuk keluar dari kantor gubernuran. Berminggu-minggu ker-
tas itu diteruskan dari biro satu ke biro lain di dalam kantor yang
sama, sebelum akhirnya dikirim ke alamat yang dimaksud.
Gubernur itu, seorang perwira tinggi angkatan darat yang lu-
rus hati yang diberi jabatan itu baru satu tahun, bertanya seakan-
akan pada dirinya sendiri: ”Kantor macam apa ini?”
Seorang wali kota juga mengeluh. Atau mungkin lebih tepat
terenyak. Ia seorang mantan pengusaha sukses yang dipilih de-
ngan penuh harapan oleh rakyat di kota Jawa Tengah itu. Tapi pa
da hari pertama ia masuk kantor balai kota, ia lihat ratusan orang
duduk di dalamnya: para pegawai. Sebagian besar baca koran. Se-
bagian lagi main catur. Bahkan ada seorang pegawai perempuan
asyik merajang sayur.
http://facebook.com/indonesiapustaka
D
ES Alwi adalah seonggok sejarah Indonesia dalam mi
niatur yang padat. Juga berwarna-warni. Jika kita lihat
lelaki ini duduk di bawah pohon ketapang berumur
100 tahun yang menaungi halaman hotelnya di Banda Neira, jika
kita ingat sosok yang tambun tinggi itu (kini dalam umur 83 ta-
hun) sudah ada di tempat itu pada 1936 dan, sebagai anak kecil,
melihat Hatta dan Sjahrir jadi orang buangan yang turun dari
kapal dengan paras pucat, kita bisa iri kepadanya: begitu banyak
yang telah dilihatnya, begitu beragam pengalamannya, begitu
pas ia di pulau Maluku itu. Begitu ”Indonesia”.
Des Alwi seperti Banda Neira: elemen yang sering tak diingat,
tapi saksi penting dari riwayat Indonesia—dalam hal ini Indone-
sia sebagai sebuah perjalanan kemerdekaan. ”Di sini,” kata Rizal
Mallarangeng, yang telah dua kali ke Banda Neira dengan rasa
kagum kepada para perintis kemerdekaan yang dibuang ke pulau
itu, ”bermula apa yang kemudian menjadikan Indonesia.” Dia
benar: di sini berawal kolonialisme dan antitesisnya.
Kita bisa baca: di Banda-lah pada 1529 usaha kolonisasi Eropa
dipatahkan; di sini kontingen orang Portugis terus-menerus dise
rang hingga mereka batal membangun sebuah benteng. Hampir
seabad kemudian, pada 1609, ketika sepasukan Belanda menco-
ba memperkuat Benteng Nassau, para pemimpin Banda, disebut
”orang kaya”, membunuh laksamana asing itu dengan segenap
stafnya.
Banda mencatat konflik seperti itu sampai ke dalam abad ke-
http://facebook.com/indonesiapustaka
awal, seperti minyak bumi pada zaman ini. Dan bersama perda-
gangan, datang peradaban. Juga kebiadaban.
Sebelum orang Portugis masuk ke Maluku pada abad ke-16,
letak Banda yang kaya rempah itu dirahasiakan para saudagar
Arab (atau ”Mur”) yang membawa barang berharga itu ke Eropa.
Kemudian penakluk dari Semenanjung Iberia masuk, kemudian
Belanda dan Inggris. Perjalanan jauh dan berbahaya, tapi mereka
selalu datang. Untuk laba yang 300 kali lipat dari jual-beli pala,
bahkan yang bengis siap dihadapi dan diberlakukan.
Di Banda Neira ada sebuah monumen kecil. Di Parigi Rante
itu ada sebuah sumur di sepetak halaman. Di sanalah, 8 Mei
1621, seregu samurai Jepang didatangkan Jan Pieterszoon Coen
(Gubernur Jenderal VOC yang terkenal itu) ke Neira. Mereka di
sewa untuk menyembelih 40 orang pemuka masyarakat Banda
yang menolak klaim Belanda dalam monopoli niaga pala. Tubuh
ke-40 orang itu dicincang, kepala mereka dipancangkan di deret
an tiang.
Di dinding di belakang perigi itu juga tertulis sederet nama
orang dari pelbagai penjuru Nusantara yang dibuang ke pulau itu
sejak abad ke-19: dari Pontianak, Yogya, Kutaraja, Cirebon, Se-
rang, Blitar. Pada abad ke-20 ada nama yang kini lebih dikenal:
Cipto Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri, Hatta, Sjahrir.
Tak akan mengherankan bila dari kepulauan ini sejarah tam-
pak berbeda: kita tak akan mengatakan bahwa yang berlangsung
selama lebih dari 350 tahun di Nusantara adalah 350 tahun pen-
jajahan. Dari Banda kita jadi tahu: sejarah Nusantara adalah 500
tahun perlawanan. Dan Des Alwi, yang lahir 7 November 1927
di Neira dan sejak kecil mengenal Cipto, Hatta, dan Sjahrir—
http://facebook.com/indonesiapustaka
yang masa kecilnya dibentuk Hatta dan Sjahrir, yang masa mu-
danya ikut bertempur dan terluka di Surabaya 10 November
1945—adalah contoh bahwa Indonesia ”men-jadi” dengan riwa
yat seperti pantai pulau-pulau Banda: kekerasan bisa meletup, ta
pi inilah negeri yang tak merasa perlu memberi batas mutlak ten-
tang ”luar” dan ”asing”. Kecuali ketika yang ”luar” dan ”asing”
itu menegaskan diri dengan senjata dan pemaksaan. Dan kita
melawan.
I
ni akhir pekan Erasmus. Saya diminta bicara tentang hu
manisme dalam pandangan Indonesia untuk ulang tahun
tokoh humanisme Eropa yang lahir 27 Oktober 1466 itu di
Erasmus Huis, Jakarta. Saya tak tahu banyak tentang humanisme
abad ke-15 Eropa, dan yang pertama kali saya ingat tentang Eras-
mus adalah apa yang dikatakan Luther tentang dia. Bagi Luther,
pemula Protestantisme yang pada akhirnya mengambil posisi
yang tegas keras menghadapi Gereja itu, Erasmus ibarat ”belut”.
Licin, sukar ditangkap.
Erasmus memang tak selamanya mudah masuk kategori, tak
mudah menunjukkan di mana ia berpihak, ketika zaman penuh
empasan pertentangan keyakinan theologis. Pada mulanya ia
membela Luther, ketika pembangkang ini diserang dan diancam,
tapi kemudian ia menentangnya, ketika Luther dianggapnya se-
makin mengganas dalam menyerang Roma. Dalam sepucuk su-
ratnya kepada Paus Adrianus VI, Erasmus sendiri mengatakan,
”Satu kelompok mengatakan hamba bersetuju dengan Luther
karena hamba tak menentangnya; kelompok lain menyalahkan
hamba karena hamba menentangnya....”
Bagi Erasmus, sikapnya menunjukkan apa yang disebut di za-
mannya sebagai civilitas. Dalam kata-kata sejarawan Belanda ter-
kemuka, Huizinga, itulah ”kelembutan, kebaikan hati, dan mo
derasi”.
Perangai tokoh humanisme abad ke-15 ini agaknya seperti so-
sok tubuhnya. Kita hanya bisa melihat wajahnya melalui kanvas
http://facebook.com/indonesiapustaka
tak masuk akal, dipujikan. ”Tak ada masyarakat, tak ada kehi
dupan bersama, yang dapat jadi nyaman dan awet tanpa sikap ge
bleg.” Dengan sikap gebleg itulah manusia mencintai, bertindak
berani, termasuk berani menikah, apalagi cuma sekali, dan de-
ngan sikap yang tak masuk akal pula ia percaya kepada apa yang
diajarkan agama.
Mungkin manusia selalu harus mengakui ada yang lain yang
menyertai satu sisi dari dirinya dan satu bagian dari dunianya.
Yang lain dan yang tak cocok bahkan tak senonoh itu tak dapat
dibungkam—atau manusia hilang dalam kepongahan dan keti-
dakadilan.
K
ITA kira-kira tahu dari mana datangnya hukum, tapi
tahukah kita dari mana datangnya keadilan?
Hukum memang dimaksudkan sebagai aktualisasi dari
”rasa keadilan”. Kata ”rasa” di sini sebenarnya lebih dekat ke arah
”kesadaran”. Dengan catatan: kesadaran akan keadilan itu tak
hanya sebuah produk kognitif, hasil proses pengetahuan, melain-
kan juga tumbuh melalui proses penghayatan. Dengan kata lain,
sebagai aktualisasi, hukum adalah ibarat realisasi dari hasrat yang
kita sebut ”rasa keadilan” itu.
Tapi ”rasa keadilan” punya sejarah yang rumit, separuhnya ge
lap yang mungkin belum juga selesai.
Ada masanya ”keadilan” kurang-lebih sama dengan pembalas
an simetris, sesuatu yang kita dapatkan dalam cerita silat Hong
Kong abad ke-20 atau riwayat Keris Empu Gandring dari Jawa
abad ke-11: Ken Arok membunuh Tunggul Ametung, dan atas
nama keadilan, Ken Arok dibunuh Anusapati, kemudian Anusa-
pati dibunuh Tohjaya. Pendek kata, pelbagai versi lex talionis yang
mengharuskan, untuk memakai rumusan Perjanjian Lama, ”satu
mata dibalas satu mata”.
Tapi jika ”keadilan” yang sama artinya dengan dendam itu kita
temukan dalam cerita, juga dalam Mahabharata, agaknya hanya
sebuah karya Aeschylus di Yunani abad ke-5 sebelum Masehi kita
temukan bagaimana ”keadilan” itu mengalami transformasi.
Dalam lakon Oresteia yang terdiri atas tiga bagian itu, Aga
memnon membunuh anaknya yang perempuan, dan sebagai
http://facebook.com/indonesiapustaka
kita tahu, ketika rasa keadilan kita terkoyak, kita melihat ke se-
buah arah, sebuah cakrawala, yang mengimbau kita dan mung-
kin mengubah kita jadi seseorang yang berteriak: ”Keadilan, atau
kehancuran!”
Seakan-akan keadilan punya dewi pembalasan yang tak bisa
dibenamkan oleh bangunan mahkamah mana pun. Hukum se-
lamanya sebuah kekurangan.
... dan metafor pun menang. Mungkin itu tak disadari ketikaka
ta ”cicak” melawan ”buaya” dipakai pertama kalinya dalam per
tentangan yang kini disebut sebagai konflik antara ”KPK” dan
”Polisi”. Saya yakin Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji tak
memperhitungkan betapa ampuhnya perumpamaan yang dipa
kainya dalam majalah Tempo, 16 Juni 2009:
K
etika polisi tak ada, dan keadilan terasa asing, mun-
cullah Watchmen. Dalam cerita bergambar karya Alan
Moore dan Dave Gibbons ini, sejumlah orang luar biasa
perkasa menyamar sebagai vigilante: penyelamat kota dari kekeji-
an, penyelamat Republik dari musuh, bahkan penyelamat dunia
dari perang besar Armageddon.
Rorschach, salah seorang dari mereka, memulai cerita ini de-
ngan menulis dalam catatan hariannya, 12 Oktober 1985: ”Kota
ini takut kepadaku. Aku telah melihat mukanya yang sebenar
nya.” Bagi Rorschach, yang menutup wajahnya dengan topeng
putih bebercak-bercak hitam, jalanan kota telah jadi ”selokan
memanjang” yang ”penuh darah”. Ia merasa unggunan najis ”seks
dan pembunuhan” akan menggenang membusa sampai ping-
gang, dan ”semua cabo dan politikus akan memandang ke atas
dan berteriak, ’Selamatkan kami.’”
Rorschach adalah suara yang tajam getir, yang bergetar di atas
garis yang jelas: ”Sebab ada kebaikan dan ada mala, dan mala ha-
rus dihukum. Bahkan sampai di hadapan Armageddon aku tak
akan berkompromi dalam perkara ini.”
Berbeda dari Rorschach adalah Eddie Blake, ”The Comedi-
an”. Ia menertawakan hidup dengan sinisme yang dalam. Ia tahu
masa depan, yang bergerak cepat, tak punya tempat berlindung:
dunia, seraya meneruskan lukanya yang busuk, hidup di bawah
ancaman perang nuklir. ”Blake mengerti,” kata Rorschach ten-
tang kawannya ini. ”Ia melihat wajah abad ke-20... dan memilih
http://facebook.com/indonesiapustaka
untuk jadi sebuah cerminan dan sebuah parodi tentang abad ini.”
Maka Blake adalah kebrutalan. Ia mencoba memerkosa re
kannya sendiri dalam kelompok vigilante The Minutemen. Ia
ikut dalam Perang Vietnam, tapi cepat-cepat meninggalkan Sai-
kat dan Uni Soviet, dari permusuhan. Keduanya jadi sekutu, ka
rena merasa ada kekuatan lain dari luar bumi yang mengancam.
Adilkah tindakannya? ”Jon,” katanya kepada Dr Manhattan
menjelang cerita berakhir, ”aku tahu orang menganggap aku tak
punya perasaan lagi.... Apa yang penting adalah bahwa aku tahu
aku telah bergulat menyeberangi tubuh orang-orang tak bersalah
yang terbunuh untuk menyelamatkan umat manusia.... Tapi ha-
rus ada seseorang yang menanggung beban berat kejahatan yang
keji tapi perlu itu.”
Benarkah? Veidt sendiri tak yakin. Ia masih bertanya, ”Jon...
apa yang kulakukan benar, bukan? Semuanya berakhir baik.”
Tapi Osterman hanya menjawab, ”Tak ada yang berakhir, Adri-
an. Tak akan ada yang pernah berakhir.”
Juga keputusan tentang kebaikan dan kekejian tak akan ber
akhir. Rorschach merasa ada konfrontasi yang tegas antara ke
baikan dan mala, tapi ia sendiri meletakkan garis itu pada keke
rasan yang brutal.
Tapi mungkin dengan itu ia ingin memperingatkan bahwa
baik otoritas moral yang diwakili lembaga resmi—polisi, penga-
dilan, hukum—maupun dirinya, seorang vigilante, bermula se
bagai kekerasan. Seperti dialami para tokoh Watchmen, tiap kali
kita bersikap bahwa kebaikan diri kita tak sedikit pun terkonta
minasi kejahatan, akan terjadi kesewenang-wenangan.
Sebab itu, perlu dekonstruksi. Dekonstruksi adalah keadilan,
kata Derrida: membuka diri kita kepada yang di sana yang berbe
da dan dibungkam. Termasuk bagian diri sendiri yang cacat.
Itu sebabnya keputusan untuk adil tak bisa bertolak hanya da
ri hukum yang ada. Keputusan yang adil perlu menggunakan
http://facebook.com/indonesiapustaka
P
ernah ada sebuah zaman ketika agama, zina, kekuasa
an, uang, nepotisme, jual-beli jabatan, perang, pembu
nuhan, dan moralitas campur baur. Itulah abad ke-16 di
Italia, ketika Paus Aleksander VI naik Takhta Suci.
Ketika Kardinal Rodrigo Borgia dipilih dengan suara bulat
dalam pertemuan para uskup tanggal 10 Agustus 1492, Paus baru
ini memilih nama ”Aleksander” tokoh sejarah ”yang tak terka
lahkan”, katanya, mengacu ke sebuah nama penakluk yang tak
pernah mengenal Yesus. Upacara penobatannya meriah. Roma
menyaksikan dengan penuh kegembiraan barisan panjang kuda
putih, 700 pastor dan kardinal berpakaian warna-warni, deretan
kesatria dan pasukan panah, parade permadani dan lukisan. Di
ujung prosesi itu Aleksander kemudian tampak: dalam usia 61 ia
tetap gagah, tubuhnya tinggi, penuh energi, dengan sikap perca
ya diri yang mengesankan.
Di masa itu, tak banyak yang berkeberatan dengan kemewah-
an itu. Juga tak ada yang mengungkit kehidupan pribadi Sri Paus:
ia naik jenjang karier sampai jadi kardinal dalam usia 25 tahun.
Tentu saja jalur cepat itu karena Paus Calixtus III adalah paman-
nya. Yang tak bisa dilupakan adalah bahwa Kardinal Borgia yang
pandai memimpin Kuria itu, yang unggul dalam administrasi
dan politik, juga ganteng, hangat, bijak bestari, dan memikat hati
para perempuan. Pada umur 29 tahun, sang kardinal punya anak
gelap pertama.
Enam tahun kemudian, seorang perempuan lain jadi ibu dari
http://facebook.com/indonesiapustaka
P
olitik terkadang butuh melodrama. Pada saat-saat ter-
tentu ia sebuah melodrama tersendiri bahkan. Seperti da
lam sinetron yang silih berganti kita saksikan di TV—la-
kon-lakon yang itu-itu juga, Kitsch yang tanpa malu memperda-
gangkan ajaran budi pekerti yang simplistis—politik sebagai
melodrama bisa juga bicara tentang ”moral” dan pada saat yang
sama, tak meyakinkan.
Melodrama dibangun oleh ”monopati”. Kata ini saya pungut
dari Oliver Marchand yang menulis satu esai yang bagus tentang
politik sebagai teater dan teater sebagai politik (Marchand me-
minjamnya dari Robert Heilman). Monopathy adalah ”kesatuan
perasaan yang membuat seseorang merasakan diri utuh”. Tokoh-
tokoh dalam sebuah melodrama ”tak punya konflik yang menda
sar dalam dirinya”—berbeda dari tokoh-tokoh tragis, yang tero
bek-robek antara nasib dan kebebasan, antara kewajiban besar
dan gelora hati. Melodrama adalah konflik manusia dengan ma-
nusia lain, sedang tragedi menghadirkan tokoh seperti Hamlet
dan Oedipus, dan dengan demikian tragedi adalah konflik di da
lam diri manusia. Maka melodrama bergantung pada permusuh
an dengan sesuatu yang di luar sana—si jahat atau bakhil, ideo
logi yang memusuhi atau kekuasaan yang akan menindas, alam
yang destruktif, dan lain-lain. Dalam melodrama, dunia hanya
hitam atau putih.
Maka benar juga jika dikatakan, melodrama mirip politik,
tragedi mirip agama—kecuali bila agama pun jadi proyek poli-
http://facebook.com/indonesiapustaka
sesuatu yang datang dari luar sejarah, melainkan juga datang dari
sebuah ”situasi”, dari sebuah keadaan yang terkadang disebut sta
tus quo. Saya kira Marx lebih benar ketimbang Badiou: revolusi
bagi Marx tak akan terjadi bila tak ada keadaan obyektif, bila tak
terjadi penguasaan total alat produksi di masyarakat oleh kaum
borjuis dan makin meluasnya mereka yang tak punya apa pun,
kecuali tenaga.
Dengan kata lain, politik dan revolusi sebagai melodrama bu-
kanlah lakon seru yang tak dirundung ambiguitas dalam dirinya.
Tiap perubahan besar sebuah masyarakat selamanya mengan
dungsifat yang tragis: kita bersengketa dengan diri kita sendiri,
gerak terasa mundur dan jadi antiperubahan, tak pastinya proses
yang biasa dibayangkan dalam pidato-pidato ”moralisme revolu-
sioner”.
Politik yang tetap tak ingin melihat diri sebagai melodrama
akan dengan cepat jadi komedi atau bahkan farce. Para pejuang
yang bukan lagi pejuang tapi terus mengklaim kesucian motif
dalam dirinya dan kemurnian semangat dalam kepejuangannya,
akan tampak menggelikan, atau semakin tak meyakinkan para
penonton. Terutama dalam keadaan ketika elan perubahan telah
bercampur dengan rasa kecewa dan hilangnya keyakinan yang
meluas.
Tapi melodrama selalu tersimpan dalam sebuah masyarakat.
Hidup terkadang terlalu penuh warna abu-abu hingga orang
menginginkan gambar yang tegas dan sederhana. Yang tragis me
nakutkan. Kita pun membuat kisah seperti Ramayana dengan
akhir yang jelas dan bahagia: Sita kembali mendampingi suami
nyasetelah Dasamuka yang jahat itu mati. Tak ada dalam cerita
http://facebook.com/indonesiapustaka
M
ereka saling tak kenal, tapi masing-masing mereka
berjalan ke sebuah pintu yang jauh. Ada seorang pe
rempuan tua yang memetik tiga butir biji kopi di per
kebunan negara. Ada seorang lelaki setengah baya yang mengam-
bil dua batang ketimun di kebun orang. Ada seorang perempuan
yang dituduh memfitnah karena mengeluh di surat kabar sore
kota itu.
Mereka berjalan dari sudut-sudut yang tak dekat. Ketika me
reka tiba di gerbang yang berbeda-beda itu, masing-masing dice-
gat penjaga.
”Mau ke mana?” tanya juru pintu.
”Ketemu Hukum,” sahut mereka, sebuah jawaban yang sama,
dengan logat yang berbeda-beda, di tempat yang berjauhan.
”Belum boleh masuk,” kata sang penjaga.
Sebelum saya lanjutkan, para pembaca tentu tahu, saya se-
dang meminjam dari Kafka untuk cerita ini; maksud saya, saya
akan memakai—dengan diubah di sana-sini—parabelnya yang
ganjil dan muram, Vor dem Gesetz (”Di Depan Hukum”), karena
meskipun ditulis di Praha di awal abad ke-20, kali ini rasanya ia
diceritakan untuk kita.
Di depan Hukum, pintu terbuka, tapi perempuan itu, tak bisa
melangkah masuk. Ia mencoba melihat sedikit ke dalam, tapi
mengurungkan niatnya, ketika penjaga pintu itu berkata: ”Ka-
lau kamu ingin masuk, meskipun sudah aku larang, silakan saja.
Tapi di balik pintu ini ada pintu lain, dan di baliknya lagi, ada
http://facebook.com/indonesiapustaka
D
I Jakarta yang macet, jalan menampik alasannya sendi
ri. Sejak Daendels membentangkan 1.400 km ”La
Grande Route” di Jawa di abad ke-18, sampai dengan
ketika dinas pekerjaan umum Republik Indonesia membuka ja
lur-jalur baru di abad ke-21, jalan diasumsikan sebagai ruang un-
tuk mobilitas, peringkas waktu tempuh. Ia bagian dari arah dan
gerak, dari dunia modern yang dinamis dan tak bergantung lang-
sung pada alam. Tapi apa yang kita alami kini? Dengan lekas bisa
Anda jawab: di Jakarta, jalan sama dengan kelambatan dan ham-
batan; jalan adalah bagian kota yang rentan pada gangguan alam.
Jalan adalah lahan banjir.
Ada lagi yang menampik alasannya sendiri: mobil. Kendara-
an ini berkembang biak dengan cepat. Dan dengan cepat pula
mobil, sebuah tanda modernitas yang lain—teknologi dengan
dinamika tinggi—telah terbalik posisinya: ia malah jadi simp-
tom kesumpekan. Kita bisa hitung berapa meter persegi wilayah
jalan yang diambil oleh satu mobil, dan berapa jadinya jika ada
500.000 buah jenis kendaraan itu, dibandingkan dengan betapa
kecilnya bagian kota yang tersedia untuk penghuni baru itu. Saya
gemar mengutip Hirsch di dalam soal ini: inilah kongesti, inilah
”batas sosial dari pertumbuhan (ekonomi)”.
Mungkin menarik untuk meneliti atau memperkirakan de-
ngan rada persis bagaimana akibat kongesti ini bagi hidup kejiwa
an. Berapa banyak orang makin naik tekanan darahnya jika tiap
hari mereka terjebak macet dan harus menempuh jarak lima kilo-
http://facebook.com/indonesiapustaka
meter dalam satu jam, terutama sekitar pukul tujuh malam hari?
Atau jangan-jangan telah berkembang sikap sabar yang tak ter-
hingga?
Bagi saya, macet memang memberi kesempatan tidur lelap
dijok mobil. Atau menulis sajak. Tapi saya tak tahu bagaimana
orang lain memanfaatkan kemacetan itu—yang mengambil kira-
kira tiga jam dalam hidupnya sehari, atau sekitar 18 jam seming-
gu, atau sekitar tiga hari kerja dalam sebulan. Yang agaknya jelas
adalah implikasinya bagi kehidupan bersama. Kongesti itu—
berjubelnya mobil di jalan-jalan Jakarta tiap hari itu—adalah se-
buah gejala perpecahan sosial.
Kongesti mendorong orang untuk melihat orang lain yang di
sebelah, di depan, dan mungkin juga di belakangnya sebagai pi-
hak yang tak diinginkan. Kompetisi, bahkan antagonisme, ber-
langsung diam-diam (kadang-kadang dengan teriak: pakai mu-
lut atau klakson). Menutup mata tidur juga bisa jadi sikap tak
mengacuhkan orang yang di luar sana.
Kemacetan lalu lintas lantaran mobil juga akibat dari yang di
sebut Hirsch, dalam The Social Limits to Growth, sebagai ”the ty
ranny of small decisions”: keputusan individual yang tak bertautan
satu sama lain dalam mengadakan transaksi di pasar. Jika saya
membeli mobil, saya tak memikirkan apa dampaknya bagi kelan-
caran lalu lintas atau bagi bersihnya cuaca—hal-hal yang meru-
pakan bagian kebersamaan.
Itu sebabnya, di jalan-jalan, masyarakat—yang biasa diba
yangkan sebagai sebuah bangunan utuh—tak hadir. Polisi lalu
lintas—jikapun ada—memperkuat raibnya keutuhan sosial itu,
ketika ia menggunakan kekuasaannya untuk menarik uang so
gok. Sebagaimana banyak orang menghayati mobil dan ruas ja-
lan sebagai milik privat, polisi itu juga memberlakukan otoritas-
nya sebagai kekuasaan privat. Saya selalu mengatakan, korupsi
adalah privatisasi kekuasaan yang didapat dari orang banyak.
http://facebook.com/indonesiapustaka
ta, kita tak lagi bertanya, tak lagi peduli, di mana gerangan hu-
kum, kelancaran, dan udara bersih.
Berangsur-angsur, tiap orang pun merasa bisa mengabaikan
public spirit, moralitas, dan semangat untuk kepentingan publik.
Ada ikhtiar untuk menangkal kecenderungan itu dengan me
ngendalikan kapitalisme dari bahaya ”tirani keputusan-keputus
an kecil”. Itulah inti dari ”kompromi Keynesian”, cara Keynes un-
tuk menyelamatkan kapitalisme dari fragmentasi yang berkelan-
jutan. ”Kompromi Keynesian” mengakui bahwa tak semua bisa
diserahkan kepada pasar. Diakui bahwa public spirit selamanya
perlu.
Ketika zaman pasca-neoliberal kini ditinggalkan, ketika
”kompromi Keynesian” diangkat untuk dijadikan kebijakan lagi,
timbul lagi keyakinan bahwa perilaku pasar tak bisa dijadikan te-
ladan bagi seluruh perilaku sosial. Ada pengakuan bahwa kekuat
an yang bukan-pasar (Negara dan para teknokratnya) harus—
dan bisa—memiliki ketahanan untuk mengembangkan nilai
yang berbeda, khususnya nilai yang tak membenarkan manusia
memaksimalkan kepentingan diri.
Tapi benarkah asumsi yang tersirat dalam ”kompromi Keyne
sian” itu, bahwa para pejabat Negara yang jadi pengelola sistem
sosial-politik dan ekonomi niscaya punya nilai tersendiri?
Kenyataannya di Indonesia, institusi yang berkuasa tak de-
ngan sendirinya bebas dari ”tirani keputusan-keputusan kecil”.
Di atas telah saya sebutkan korupsi sebagai privatisasi kekuasaan.
Maka kita pun bertanya dengan murung: masih adakah tempat
bekerjanya apa ”yang-sosial”, apa yang menampik nafsi-nafsi?
Mungkin jawabnya bukan di kantor pemerintah dan pos po
http://facebook.com/indonesiapustaka
P
olitik, seperti halnya tragedi, tak akan punya arti tan-
pa kesangsian. Mungkin itulah sebabnya Macbeth, trage-
di Shakespeare, tak mudah dilupakan, juga oleh seorang
presiden.
Pada suatu malam sastra di Gedung Putih, Presiden Clinton
bercerita bahwa perkenalan pertamanya dengan puisi berlang-
sung di SMP, ketika gurunya memintanya menghafal baris-baris
solilokui dalam Macbeth. Lalu ditambahkannya, setengah melu-
cu: untuk memasuki kehidupan politik, membaca Macbeth bu-
kanlah awal yang baik.
Ketika acara selesai dan hadirin bergiliran menjabat tangan-
nya, seseorang bertanya masih ingatkah presiden itu baris-baris
Macbeth itu. Di saat itu Clinton pun membacakannya dengan ba-
gus:
Catatan Pinggir 9
2010
533
http://facebook.com/indonesiapustaka
534
Catatan Pinggir 9
TROWULAN
S
EBUAH kota abad ke-13 yang hilang di pelosok Jawa Ti
mur mungkin bisa bicara tentang kita.
Sisa-sisanya ditemukan di sebuah tanah lapang di Keca-
matan Trowulan, Mojokerto. Di area seluas 63 x 63 meter persegi
itu, di bawah atap rendah, berderet petak galian, semuanya cu
masekitar setengah meter dalamnya. Tapi warna gelap bumi se
akan-akan melindungi apa yang hanya sedikit terungkap di sana:
bekas-bekas rumah, pola lantai halaman, gerabah yang halus,
tangga, lorong parit, gobang, ribuan artefak....
Rumah, bukan candi, bukan gerbang, bukan tempat ritual ke-
agamaan. Arkeolog Mundardjito, guru besar dari UI yang telah
bertahun-tahun bekerja dalam ekskavasi besar ini, menunjukkan
betapa pentingnya yang ditemukan di sana: sebelum Trowulan,
para arkeolog belum pernah menemukan sisa-sisa sebuah kota.
Dengan kata lain, inilah buat pertama kalinya mereka berha-
sil. Inilah sebuah pintu baru ke masa silam!
Tak urung, saya (yang tak pernah berpikir sebelumnya ten-
tang itu) tertular oleh semangat itu dan pergi ke Trowulan—
mengikuti Mundardjito berjalan dari situs ke situs, menggali,
menelaah, membuat hipotesis. ”Kalau di lapangan, umur saya
bukan 73, tapi 37,” katanya, setengah bergurau.
Umur + energi tambahan memang diperlukan untuk kerja be-
sar ini, yang sebenarnya dimulai pada 1924, ketika Bupati Mo-
jokerto, Kromodjojo Adinegoro, bersama Arsitek Henry Mac
Laine Pont mendirikan Oudheidkundige Vereeneging Majapa-
http://facebook.com/indonesiapustaka
lanjut hingga kini: orang berpindah dari luar ke dalam kota tan-
pa membuat hidupnya berubah. Perilaku dan nilai-nilai ”udik”
merembes ke kehidupan urban—dan begitu juga sebaliknya.
Yang ”udik” menyebabkan gerak jadi lamban, karena harmoni
A
LKISAH, seekor burung deruk yang luka terbang, pa
nik, ketakutan, dan putus asa. Di belakangnya seekor
lang memburu. Terdesak, deruk itu pun menerobos ma-
suk lewat sebuah tingkap, dan terjatuh di sebuah bilik yang le
ngang.
Di ruang puri itu, Raja Usinara sedang duduk, membaca,
hanya ditemani dua orang abdi.
Burung malang yang terlontar di kaki baginda itu berkata,
”Tolonglah saya!” Suaranya lamat-lamat.
Usinara melihat tubuh unggas itu berdarah. Burung itu pun
diangkatnya, dan disuruhnya salah satu abdi membawa air dan
obat. Ketika ia bersihkan luka itu dengan hati-hati, tiba-tiba ter-
dengar suara yang membentak, berat dan gelap, dari arah jendela:
”Kembalikan ia kepadaku!”
Di bendul jendela itu dilihatnya seekor lang besar dengan pan-
dang yang liar. ”Deruk itu milikku!” lang itu berkata. ”Aku telah
berhasil menggigitnya: itulah tanda ia mangsaku. Hukum perbu-
ruan menentukan demikian. Berikan kembali ia kepadaku. Li-
hat, aku gemetar. Aku lapar. Sudah sepekan aku tak memangsa
apa-apa.”
Untuk beberapa saat Usinara yang terkejut itu kehilangan ka
ta-kata. Tapi akhirnya raja yang lembut hati itu—yang juga me
lihat bagaimana lang itu memang gemetar karena lapar—me
nawarkan sebuah jalan lain: ia akan memberikan daging apa saja
yang diminta burung buas itu asal deruk itu dibebaskan.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Tapi apa itu sebenarnya, dari mana datangnya das Faktum der
Vernunft itu? Tak bisa dijelaskan. Faktum itu tak mungkin ditun-
jukkan di dunia empiris. Kita, kata Kant, hanya ”mengerti keti-
dakmungkinannya untuk dimengerti”.
Mungkin justru sebab itu kita takjub: Usinara tak bertolak se-
bagai ”aku” yang telah merumuskan apa itu kebaikan budi. Ia bu-
kan ”aku” di pusat situasi. Kita takjub karena ia mengatasi keter-
batasan dirinya justru ketika ia merasa, di saat yang konkret itu,
imbauan makhluk yang terancam itu adalah segala-galanya.
Selebihnya, juga dirinya sendiri, hanya turahan.
K
etika Mahatma Gandhi wafat, ia—yang selama hi
dupnya antikekerasan dimakamkan dengan upacara
militer. Ironis, mungkin juga menyedihkan: bahkan se
orang Gandhi tak bisa mengelak dari protokol kebesaran yang
tak dikehendakinya.
Seorang tokoh besar yang wafat meninggalkan bekas yang
panjang, seperti gajah meninggalkan gading. Kadang-kadang ia
hadir sebagai ikon: sebuah tanda yang memberikan makna yang
menggugah hati karena melebihi kehendak kita sendiri. Kadang-
kadang sebagai simbol: sebuah tanda yang maknanya kita tentu-
kan, tak perlu menggugah hati lagi, namun berguna untuk tuju
an kita yang jelas.
Sebuah ikon adalah sebuah puisi. Sebuah simbol: alat. Kedua
nya saling menyilang tak henti-hentinya.
”Pahlawan mati hanya satu kali,” kata orang hukuman dalam
lakon Hanya Satu Kali, yang disebutkan sebagai terjemahan se-
buah karya John Galsworthy tapi yang tak pernah saya ketahui
yang mana.
Gus Dur bisa disebut seorang pahlawan: ia tak akan mening-
galkan kita lagi, begitu jenazahnya dikuburkan. Terutama ketika
yang hidup tak akan meninggalkan apa yang baik yang dilaku-
kannya.
Tapi dalam arti lain pahlawan mati hanya satu kali karena ia
tak lagi bagian dari kefanaan. Tak lagi bagian dari kedaifan. Tak
lagi bagian dari pergulatan untuk menjadi baik atau bebas—yang
http://facebook.com/indonesiapustaka
bukan istana
Sering saya berpikir kenapa Gus Dur dengan tanpa ragu tak
ikut mengutuk novel Salman Rushdie, The Satanic Verses.
Saya duga karena ia menemukan dalam novel itu empat un-
sur yang tak terpisahkan: kenakalan, kecerdasan, provokasi, dan
humor.
Gus Dur tak keberatan dengan keempat unsur itu karena ia
yakin Tuhan tak sama dengan mereka yang terusik oleh kenakal
an dan humor. Saya kira Tuhan bagi Gus Dur bukanlah Tuhan
yang terbayang dalam Perjanjian Lama, Tuhan yang menggeli
sahkan puisi Amir Hamzah: Tuhan yang ”ganas” dan ”cemburu”.
Yang ganas dan cemburu akan menampik kenakalan dan hu-
mor. Tuhan yang antihumor itulah yang diyakini Jorge, kepala
biara dalam novel Umberto Eco, Il nome della Rosa. Di biara Italia
abad ke-14 itu beberapa rahib ditemukan tewas. Kemudian dike-
tahui bahwa mereka telah terkena racun ketika membuka sebuah
buku terlarang di dalam perpustakaan; sebuah buku tentang ter-
tawa.
Satu paragraf yang tak terlupakan: ”Mungkin misi mereka
yang mencintai umat manusia adalah untuk membuat orang me
nertawakan kebenaran, untuk membuat kebenaran tertawa, se-
bab satu-satunya kebenaran terletak dalam belajar membebaskan
diri kita dari kegandrungan gila-gilaan kepada kebenaran”.
Saya lebih bangga punya seorang Gus Dur yang bukan presi
den, ketimbang seorang Gus Dur di atas takhta.
Betapapun keinginannya, ia tak pernah cocok di sana. Sebab
http://facebook.com/indonesiapustaka
ia bagian yang wajar dari sesuatu yang bagi saya sangat berhar
ga—ketidakmauan untuk tunduk kepada yang kuasa dan yang
beku— semacam anarkisme yang jinak dan jenaka.
Seorang intelektual publik terkadang yakin bahwa memasuki
T
iap generasi ingin punya revolusinya sendiri. Di bulan
Januari.
15 Januari 1974. Jakarta guncang, tegang, dan suasana
menakutkan. Ribuan orang berdemonstrasi, menyusuri jalan,
membakar puluhan mobil dan ratusan sepeda motor, membumi
hanguskan pusat belanja di kawasan Senen (yang waktu itu ter-
masuk megah), dan merusak apa saja yang memakai logo per
usahaan Jepang. Sudah beberapa lama sebelumnya—pada masa
ketika pers belum dijerat ketat oleh penguasa—para aktivis ma-
hasiswa dan intelektual menyuarakan kecaman mereka kepada
modal Jepang. Dan hari itu aksi massa meledak.
Revolusi? Mungkin itulah yang dibayangkan para pelakunya.
Tapi, bagi saya, hari itu yang terjadi sebuah laku tanpa ide. Ter-
biasa membaca Lenin, saya cenderung melihat ”revolusi” sebagai
langkah untuk perubahan radikal yang bukan hanya disertai aksi
massa, tapi juga berkait dengan sebuah ”teori” atau gagasan yang
tak cuma datang dari batok kepala, melainkan dari benturan de-
ngan keadaan.
Revolusi Lenin bahkan bertolak dari telaah tentang keadaan
sosial dan ekonomi. Dari telaah itu disusun ”program umum”
dan ”program khusus”. Dalam strategi dan taktik itu perebutan
kekuasaan politik jadi soal penting. Jelas juga pihak yang akan
memimpin, jelas pula sistem politik & ekonomi yang akan dite
rapkan. Revolusi Oktober 1917 di Rusia jadi teladan.
Revolusi Prancis memang tak tampak berangkat dari ”prog
http://facebook.com/indonesiapustaka
ram” apa pun, tapi, seperti dikatakan Lenin, itu juga sebuah revo
lusi besar: dengan itu dasar baru masyarakat diletakkan dan tak
bisa diubah lagi. Perebutan kekuasaan—sang raja dipenggal—
bahkan jadi tanda zaman baru: tak ada lagi yang kekal di takhta
itu.
Revolusi Prancis juga tak hanya meletus dari konflik sosial,
dan sebab itu melibatkan orang ramai. Ia sambungan cita-cita
yang lahir dari konflik sosial itu, yang dirumuskan oleh para pe-
mikir dan disaripatikan dalam semboyan liberté, egalité, frater
nité.
Dengan sedikit penyesuaian, kita bisa mengatakan, yang ter-
jadi di tahun 1945 di Indonesia (dan 17 Agustus hanya salah satu
penanda waktu yang penting) juga sebuah ”revolusi”. Sebab sejak
itu, sejak kekuasaan berpindah tangan dari Hindia Belanda dan
Jepang, Indonesia tak bisa ditarik kembali ke kerangkeng kolo-
nialisme. Bertahun-tahun sebelumnya, gagasan tentang sebuah
bangsa dicanangkan dan sejak 1945 bangsa itu bersedia mati un
tuk merdeka. Dari kancah mereka yang bersedia mati itu Pra
moedya Ananta Toer, dalam Di Tepi Kali Bekasi, bersaksi tentang
sebuah ”epos revolusi jiwa”. Revolusi: awal transformasi yang tak
dapat dibalikkan.
Januari 1966. Saya tak tahu bagaimana keadaan waktu itu.
Saya tak ada di Indonesia. Dari sebuah kota kecil di Eropa saya
hanya dapat kabar secara sporadis (antara lain dari surat-surat al-
marhum Soe Hok Gie, salah satu aktivis yang militan masa itu)
tentang aksi mahasiswa yang tak henti-hentinya.
Sekembali di Tanah Air, saya kemudian tahu bahwa ada kerja
sama para mahasiswa itu dengan militer; ada pembantaian de-
ngan korban para anggota PKI atau yang dicurigai jadi pendu-
kung. Ya, ada hal-hal yang mengerikan dan busuk. Pelan-pelan
tampak bahwa militer mengambil-alih gerak perubahan politik
yang dipelopori mahasiswa ke arah sebuah rezim baru yang anti-
http://facebook.com/indonesiapustaka
P
ERANG (atau kekerasan) punya batas. Ia akan berakhir,
betapapun panjang rentang waktunya. Kalaupun berlan-
jut, ia tak bisa menjawab segala soal. Jika bedil sudah di-
simpan, dan hancur-menghancurkan telah jadi kenangan yang
berdebu, kita akan melihat bahwa masyarakat manusia juga me
ngandung benih-benih perkawanan. Tak cuma antagonisme.
Sebab itu, ”Kita memburu arti...,” kata Chairil Anwar dalam
sajak yang saya kutip di pembuka tulisan ini.
Memburu ”arti” dalam hal ini mencoba mencari makna dan
nilai dari luka dan rasa terhina, dari pengalaman brutal dan getir
yang telah terjadi. Perbuatan baik atau burukkah yang telah kita
lakukan? Untuk sesuatu yang berhargakah ia atau cuma sia-sia?
Berharga buat apa, buat siapa?
Kita pun bergulat untuk menjawab deretan pertanyaan itu.
Kekerasan dalam bentuk pengalaman pra-diskursif kita ganti de-
ngan wacana.
Discourse, atau wacana, yang menggunakan kata-kata, meru-
pakan pilihan yang lebih sedikit ongkosnya ketimbang mesin ke
kuasaan dan senjata. Orang tak bisa selamanya dan sepenuhnya
akur dengan orang lain hanya karena ia tunduk kepada aura se-
buah otoritas. Atau ia tunduk karena takut dibinasakan. Setelah
bedil disimpan, orang hanya bisa setuju karena pada saling bicara.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Tulis...!
pertimbangan—dengan ”kebenaran”.
Pandangan ini optimistis sekali. Katakanlah ini optimisme
epistemik: ia berpegang pada satu premis bahwa ada sesuatu da
lam bahasa manusia yang menyebabkan sebuah argumen dapat
berpengaruh tanpa dipaksakan. Itulah daya komunikatif. Haber-
mas mengibaratkan daya komunikatif sebagai sebuah kekuatan
yang mengepung, bukan mengambil alih: daya itu hanya mempe
ngaruhi sekeliling arena tempat berlangsungnya penilaian dan
keputusan politik dan bukan menaklukkan arena itu. Daya aksi
komunikatif yang sejati menang tanpa ngasoraké. Bahkan kata
”menang” itu tak pas untuk dipakai, sebab tak ada yang dikalah-
kan. Konsensus bukanlah kekalahan.
Saya tak seoptimistis itu. Tentu saja saya mengakui, konsensus
bukan sesuatu yang mustahil di akhir sebuah proses politik. De-
mokrasi ”deliberatif”—yang membuka diri pada rembukan dan
saling mempertimbangkan—dengan prosedur yang benar akan
bisa mencapai mufakat. Setidaknya mufakat dalam pengertian
Übereinstimmung yang dipakai Habermas: bukan sepaham, tapi
mencapai titik pertemuan yang cocok.
Tapi saya tak yakin—seraya mengasah pena dan menulis, se-
raya menggunakan bahasa—dengan sendirinya kita melakukan
aksi komunikatif ke titik pertemuan itu. Kita tak bisa jadi peng
arah. Justru kata dan bahasa itulah yang mempergunakan kita,
bukan sebaliknya. Seperti dikatakan sebuah sajak Subagio Sas
trowardojo:
P
ENDUDUK kota kecil itu, Maycomb, bukan orang yang
keji, tapi ada sesuatu yang menakutkan di pengadilan itu.
Tom Robinson tak terbukti bersalah, tapi hampir seluruh
penduduk bersepakat dengan diam-diam atau berteriak: Tom
harus dihukum mati.
Dan para juri memutuskan ia memang telah memperkosa
Mayella Ewell. Dan vonis itu dibacakan hakim. Dan Tom dima-
sukkan ke sel penjara, menunggu, tapi putus asa, mencoba me
larikan diri, dan ditembak mati.
Novel terkenal To Kill a Mockingbird, ditulis oleh Harper Lee
dan terbit pada 1960, mungkin akan selalu mengingatkan kita
bahwa ketidakadilan dapat dilakukan atas nama keadilan bagi
orang banyak. Orang banyak itu penduduk kulit putih yang tak
ingin dipermalukan seorang buruh kulit hitam, justru karena si
negro tak bersalah dan dengan demikian ayah dan ibu si gadis
yang bersalah, berdusta—dan bukan cuma itu, sebab dari penga-
dilan itu tampak bahwa Mayella itu yang mencoba merayu Tom,
bukan sebaliknya.
Pengacara yang lurus hati itu, Atticus Finch, telah ikut mem-
permalukan mereka. Ia, duda yang senantiasa berpakaian leng-
kap itu, seharusnya di pihak orang ramai, kaumnya, sebab ia ju
ga berkulit putih. Tapi tidak. Atticus Finch memutuskan untuk
membela Tom Robinson. Tanpa dibayar. Tanpa ragu meskipun
ia harus menghadapi para tetangganya, bahkan disesali kakak
kandungnya sendiri. Dan meskipun ia tahu ia tak boleh banyak
http://facebook.com/indonesiapustaka
tak akan sanggup pergi ke gereja dan menyembah Tuhan jika aku
tak menolong orang itu.”
Apa sebenarnya yang disebut ”hati nurani”, kita tak tahu. Tapi
ada dorongan untuk kurang-lebih tak palsu. Atticus Finch mung-
kin bukan seorang yang tiap kali membaca Injil, tetapi ia merasa
harus ada hakim yang terakhir, sebuah kekuatan yang tahu per-
sis kebenaran dan keadilan, ketika manusia begitu galau, tak tahu
persis apa yang terjadi, tapi ikut berteriak-teriak, ”Salibkan dia!”
Atticus dimusuhi tetangganya. Di luar gedung pengadilan,
seseorang datang, dan meludahi mukanya. Orang itu Ewell, ayah
Mayella, pemabuk yang suka memukuli anaknya sendiri.
Dan Atticus berkata, ”Nah, kalau meludahi mukaku dan
mengancam-ancamku dapat menyelamatkan Mayella dari pu
kulan tambahan, aku dengan senang hati menerima diludahi.”
Di kota kecil Maycomb yang sedang menanggungkan depresi
ekonomi, ketika orang dirundung cemas, Atticus Finch berdiri: ia
jadi merasa kuat, justru ketika ia merasa bahwa yang ditanggung
kannya bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Mayella yang
dipukuli dan Tom yang difitnah dan dizalimi oleh kekuasaan
yang seharusnya melindunginya.
K
ADANG-KADANG orang menjepit orang lain dengan
kata, menjerat diri dengan kata. Sejarah politik Indone-
sia modern bisa ditulis sebagai sejarah bekerjanya jepit
dan jerat kata dari masa ke masa.
Pada tahun 1960-an, di bawah ”demokrasi terpimpin”, jepit
dan jerat itu misalnya terbentuk dalam kata ”kontra-revolusioner”.
Kata ini, bila dikenakan kepada seseorang, satu kelompok, atau
satu pola sikap, dapat membuat yang dikenai seakan-akan ter-
tangkap. Dalam posisi itu, ia berubah jadi sasaran untuk diserang
atau—dalam kata yang dominan waktu itu—”diganyang”. Kata
”kontra-revolusioner” sama artinya dengan ”musuh” Republik,
pengk hianat tanah air, penentang ”Revolusi”, dan segala usaha
yang sedang digerakkan oleh sang Pemimpin Besar Revolusi
yang tak bisa dibantah.
Dalam varian ”kontra-revolusioner” ini ada kata ”PSI” dan
”Masyumi”—dua partai politik yang dibubarkan Bung Karno,
Pemimpin Besar Revolusi. Kedua partai itu juga dimusuhi oleh
dua kekuatan pendukung, PKI dan ABRI. Para pemimpin PSI
dan Masyumi dipenjarakan. Surat kabar mereka ditutup. Dan
melalui serangan verbal lewat media massa, ”PSI” dan ”Masyu-
mi” (kemudian juga ”Manikebu”) segera jadi kata yang menjepit
dan menjerat siapa saja yang dianggap musuh politik. Buat dige-
buk.
Pada tahun 1970-an, di bawah ”Orde Baru”, kata yang dengan
lebih buas menjepit dan menjerat adalah ”PKI” dan ”G30S” atau
http://facebook.com/indonesiapustaka
di doktrin. Kita hanya bisa membebaskan diri dari jerat dan jepit
itu bila kita ingat bahwa pada tiap stigma ada racun yang melum-
puhkan semuanya.
Dengan beras kasar yang kumakan, dengan air yang kuminum, seraya le
nganku bertelekan ke sebuah bantal—masih kurasakan sukacita pada benda-
benda ini.
—Konghucu
B
enda-benda makin lama makin membuat jarak dari
kita. Beras, air minum, dan bantal itu kita konsumsi dan
kita pakai setiap hari—mungkin kita nikmati—tapi di
manakah kita?
Hari ini kita pergi ke sebuah mall di Jakarta. Di deretan etala
se yang gilang-gemilang itu benda-benda diletakkan dengan ja
rak tertentu. Kalau bukan jarak fisik, ia jarak dari keseharian kita.
Mereka tampak mengimbau karena mereka, seperti satu adegan
film Avatar, bukan bagian dari malam dan siang kita yang lazim.
Dan ketika kita ketahui harga mereka yang tak dapat diraih ke-
banyakan orang, makin jelas bagaimana benda-benda itu telah
berubah.
Marx pernah berbicara tentang ”festishisme komoditas”: ke-
tika komoditas jadi jimat, benda yang dianggap punya kesaktian,
atau, dalam bahasa Portugis, feitiço.
Pada waktu ia menulis itu, dalam jilid pertama Kapital, Marx
belum melihat gaun Max Mara, tas Louis Vuitton, stoking Pierre
Mantoux, jaket Gucci, yang dipamerkan dengan iklan besar atau
dipasang di tubuh manekin langsing. Marx baru berbicara ten-
tang beberapa potong kayu yang dijadikan meja, dan meja yang
http://facebook.com/indonesiapustaka
num, dan bantal itu sudah berubah. ”Apa yang dulu dialami da
lam hidup secara langsung kini telah hanya jadi representasi,” tu-
lis Guy Debord, seorang Marxis yang masygul. Baginya, sejarah
kehidupan sosial adalah sejarah merosotnya ”ada” jadi ”milik”
dan ”milik” jadi ”penampilan”. Kita hidup, kita ada, tetapi dalam
kenyataannya kita dibentuk oleh ”penampilan” yang mendorong
kita memiliki.
Kita hidup dalam ”masyarakat tontonan”, la socièté du specta
cle. ”Tontonan”, yang punya akar pada kata Jawa ”ton”, menemu-
kan contohnya pada mall itu. Tontonan, tulis Debord, ”bukan-
lah sebuah himpunan imaji, melainkan persesuaian sosial antara
orang-orang, yang diperantarai oleh imaji-imaji”.
Debord, seperti saya singgung tadi, menilai keadaan ini seba
gai kemerosotan. Bukunya, La socièté du spectacle, adalah tafsir
yang lebih jauh atas sinyalemen Marx bahwa di bawah kapital-
isme, manusia sebenarnya hidup dalam ”alienasi”, dalam ”keter-
asingan”: aku terasing dari tenaga kerjaku sendiri ketika tenaga
kerja itu jadi komoditas yang tak aku kuasai; aku terasing dari
benda yang aku hasilkan, ketika benda itu diperjualbelikan; aku
terasing dari orang lain yang akan membeli dan menggunakan
benda itu.
Dalam analisis Debord, keterasingan manusia, sebagai penon
ton, ada dalam posisi yang agak berbeda: ketika sang penonton
(alias sang konsumen) makin meletakkan diri dalam dominasi
markah-markah yang menandai kebutuhan, ia akan makin ku
rang ada bersama eksistensinya sendiri. Ia minum kopi, baca ko-
ran, mengunyah kue, pergi main golf, pergi ke mall: tontonan itu
ada di mana-mana. Dan sang penonton? Ia bersama mereka, di
http://facebook.com/indonesiapustaka
B
agaimana cara menodai agama?
11 Juni 1762, di halaman Gedung Mahkamah Pengadil
an, Paris, sebuah buku dibakar. Karya itu berbentuk no
vel, tapi sebenarnya ditulis untuk membahas soal pendidikan
anak. Dengan Émile itu Jean-Jacques Rousseau dinilai telah ber-
salah karena ”menganggap semua agama sama-sama baik”.
Seorang pejabat berpidato di depan Parlemen untuk melontar
kan tuduhan itu; dalam buku, ujarnya, Rousseau telah ”berani
mencoba menghancurkan kebenaran Kitab Suci dan nubuatnya”.
Ia ”mengejek dan menghujat agama Kristen...”.
Maka Parlemen memutuskan agar bukan saja buku itu diro
bek dan dibakar, tapi juga Rousseau ditangkap.
Sang pengarang melarikan diri ke Swiss. Dua hari sebelum
bukunya dibakar, Rousseau sudah meninggalkan Prancis dengan
bantuan teman-temannya. Setiba di wilayah Bern ia turun dari
kereta, bersujud dan mencium tanah: ”Yang Maha Tinggi, pelin
dung kebajikan, terpujilah tuan; hamba menyentuh sebuah nege
ri kebebasan!”
Tapi betapa cepatnya ia berharap. Ia menetap sebulan lamanya
di rumah seorang teman di wilayah Bern itu. Ia berpikir untuk
pindah ke Jenewa. Tapi di kota yang dikuasai 25 aristokrat ad-
ministrator itu disebut ”Dewan yang Dua Puluh Lima”—karya
Rousseau juga dinyatakan dilarang. Émile dan Du contrat social
dianggap ”penuh dengan hujatan dan cercaan terhadap agama”.
Dan sebagaimana Parlemen Paris yang menyuarakan kuasa
http://facebook.com/indonesiapustaka
K
ita dengar mereka berdebat di dalam dan di luar parle
men. Kita tahu demokrasi sedang marak. Kita ikuti pa
ra politikus mengatakan, ”kami sedang mencari kebe
naran”. Tapi saya kira semua itu hanya salah sangka. Atau sebuah
lagak. Sebab ambisi sebuah demokrasi bukanlah, atau tak mung-
kin, ”kebenaran”.
Jika kita memandangnya sebagai sebuah sistem dan prosedur
bagaimana keputusan politik diambil, kita akan melihat bahwa
demokrasi bertolak dan berakhir dalam keadaan yang tak pernah
utuh. Situasi yang dihadapi adalah situasi serba tergantung, serba
mungkin. Di sini, yang membentuknya sering bukan ”kebenar
an”, melainkan ”kebetulan”. Castoriadis benar ketika ia menga
takan, demokrasi adalah sebuah ”rezim yang tragis”.
Demokrasi bermula dari pengakuan bahwa nun di atas yang
paling atas di dunia ini, dan juga nun di dasar paling dasar dari
kehidupan, yang ada adalah sebuah growongan tanpa penghuni,
tanpa isi. Sang otoritas yang dulu dianggap punya hak yang aba-
di, yang didesain Allah, telah terbukti bisa disingkirkan. Fondasi
yang semula dianggap kekal telah ditiadakan.
Sejarah revolusi-revolusi menunjukkan itu. Siapa pun yang ke-
mudian mengisi liang kosong itu akan tahu, ia tak identik dengan
growongan itu. Ia memegang otoritas, tapi ia tak bisa menyatakan
diri dialah sang penentu sepenuhnya. Posisi itu tak sama dan se-
bangun dengan dirinya. Kehidupan beragam dan berubah, tak
mungkin itu-itu-saja, mustahil untuk jadi tunggal. Otoritas yang
http://facebook.com/indonesiapustaka
yang tersedia.
Itu sebabnya, mufakat tak akan mewakili kebenaran yang
universal.
Demokrasi adalah sebuah rezim yang tragis, karena ia terpak-
sa harus bekerja dengan dasar-dasar yang tak kuat, yang tak ber-
laku selama-lamanya dan diterima di mana saja. ”Kebenaran”,
jika hasil konsensus bisa disebut demikian, hanya buah pertim-
bangan praktis. Kita sepakat karena kita tak bisa terus-menerus
bertengkar untuk menentukan bahwa A adalah A. Besok kita ha-
rus bekerja untuk hidup, dan untuk itu harus ada stabilitas ter-
tentu.
Ketika kita berkompromi, sering kita tak 100% puas dan tak
100% yakin akan benarnya kesimpulan yang dimufakati. Apala-
gi tak jarang kompromi itu merupakan hasil kemenangan si kuat
yang disamarkan.
Demokrasi yang seperti itulah yang kini dijalankan, juga di
Indonesia. Dengan gaya yang berbeda-beda, dalam demokrasi ini
yang diharapkan adalah prosedur bertukar-pikiran yang sehat,
bertolak dari rasionalitas yang praktis.
Tapi jika demikian, di mana gerangan ada kebenaran yang di-
yakini? Di mana kita temukan makna yang sangat berarti bagi hi
dup kita, yang akan kita pertahankan mati-matian? Bagaimana
akan ada semangat yang militan untuk meneguhkan A adalah
benar-benar A? Bagaimana bila semua nilai jadi nisbi dan kita ha
nya bekerja separuh hati untuk hidup yang lebih baik, sebab yang
”lebih baik” itu juga tak amat meyakinkan?
Sang militan akan mati. Atau ia harus jadi seorang yang meli-
hat politik seraya melupakan sifat tragis demokrasi. Ia bisa meng
http://facebook.com/indonesiapustaka
Tapi sang militan bisa jadi sang fanatik. Kecuali bila ia berse-
dia melihat kebenaran bagaikan energi dari petir: gelegar dan ca-
hayanya menggetarkan tapi tak akan pernah menetap.
Di situlah demokrasi, tanpa ambisi mencapai yang ”benar”,
tetap penting. Sistem ini memberikan peluang bagi kerendahan
hati. Atau kearifan: dalam meraih kebenaran, kita tahu hidup ter-
diri atas kesementaraan dan pelbagai kebetulan.
D
ua orang duduk berdekatan. Dalam lakon Menunggu
Godot Samuel Beckett ini, di babak ke-7, mereka berbi-
cara:
K
husus di pagi itu W melihat ke luar jendela, ke arah
langit yang masih belum terang penuh, dan bertanya,
atau berdoa, atau berharap-harap cemas: ”Tuhan selu-
ruh alam, akan bebaskah kita hari ini dari kebencian?”—sambil
tak sadar ia pakai kata ”kita” di kalimat itu. Seakan-akan ”Tu-
han” termasuk subyek yang ikut bertanya. Mungkin karena ia tak
tahu di mana Tuhan—jangan-jangan Tuhan akrab merasuk ke
dalam dirinya—atau mungkin karena ia makin merasa, di du-
nia yang berhari-hari dipanasi politik dan maki-maki dan suara
bising di TV, Tuhan juga perlu teman untuk melawan kebencian
dan kebisingan.
W, perempuan berumur 43 tahun itu, menyukai hening, bu-
kan karena hening punya makna religius yang dalam, tapi karena
hening, di kota besar ini, semacam ruang yang bisa bebas dari
kolonisasi suara yang menjerit-jerit: dominasi enam pengeras sua
ra sehabis subuh dan knalpot ribuan sepeda motor yang melintas
tak jauh dari rumahnya. Hening itu sebentar, tapi begitu berharga
dan mengejutkan—seperti anggrek putih yang sendirian di ke-
bun di sebelah kamarnya itu, kebun dengan tiga batang pohon
dan 3 x 3 meter persegi petak rumput. Anggrek itu di sana tam-
pak yang paling beda, sebuah selingan, sebuah surprise.
Kalau hidup tanpa surprise, apa jadinya dengan Penciptaan?
W bertanya pada diri sendiri. Ia ingat seseorang mengutip Kant:
”Die Schopfung ist niemals vollendet”. Penciptaan tak pernah usai.
Pagi bukanlah serangkaian repetisi.
http://facebook.com/indonesiapustaka
”Ini anak saya, Bu,” tiba-tiba sopir itu berkata, tahu bahwa pe
numpang di belakangnya memperhatikan foto itu.
”Dia besok akan dioperasi otaknya,” katanya lagi.
”Kenapa, Pak?”
P
ENDETA Hale datang jauh-jauh ke Kota Salem di akhir
abad ke-17 itu dengan keyakinan ia akan menghalau
kejahatan dari muka bumi. Ia diundang ke kota di Te
luk Massachusetts itu untuk memeriksa satu kasus santet: ada
seorang anak gadis yang pingsan terjatuh di hutan, dan ada se
orang budak hitam dari Barbados yang dituduh jadi dukun setan
yang menyebarkan bid’ah dan malapetaka.
Dalam lakon The Crucible Arthur Miller ini Pendeta Hale
tampil sebagai seorang yang ingin mendekati persoalan dengan
logis dan ilmiah. Ia berbeda dari orang-orang udik itu. Ia tak
ingin terlibat dalam takhayul. ”We cannot look to superstition in
this. The Devil is precise.”
Tapi ia tak merasa ada kontradiksi dalam kata-kata itu. Ia me-
nolak takhayul, tapi baginya Setan bukanlah sesuatu yang ambi
gu. Setan itu hadir secara pasti dan akurat. Hale membedakan
dengan jelas antara keyakinannya yang berdasarkan Alkitab dan
takhayul; baginya, iman dapat ditunjang dengan sikap ilmiah.
Tapi pada saat yang sama ia tak menggunakan dasar paling mula
dari sikap ilmiah. Ia tak hendak mempertanyakan dan menguji
tiap hipotesis; ia tak bertekad mendapatkan pembuktian secara
empiris. Hale, yang hidup di zaman sebelum empirisisme John
Locke terdengar, datang ke kota udik itu dengan buku-buku te-
bal. ”Ilmiah” baginya rasional, tapi itu saja: tak bertolak dari
pengamatan, tak berangkat dari pengalaman dalam ruang dan
waktu.
http://facebook.com/indonesiapustaka
D
I Yerusalem, justru di Yerusalem, percayakah orang
bahwa manusia itu diciptakan dari Ruh yang satu? Bah
wa agama-agama dengan Tuhan-Yang-Tunggal, yang
menegaskan jejak mereka yang cemas dan keras beratus-ratusta-
hun di kota itu, sungguh-sungguh yakin bahwa manusia—yang
diharapkan menyembah Khalik yang sama—dianggap bisa ber-
bagi keluhan tentang ketidakadilan?
Memang agak ganjil dan mungkin menyedihkan, bahwa di
Yerusalem, justru di Yerusalem, kita bertanya bisakah manusia
bersepakat menolak kesewenang-wenangan—dan bisakah kita
berbicara tentang manusia sebagai ”sesama”.
Hari-hari ini, Israel membangun permukiman untuk warga
Israel yang Yahudi di Yerusalem Timur, merebut hak orang Pales
tina dan melanggar kesepakatan yang diakui dunia. Hari-hari
ini, di Yerusalem tampaknya tak berlaku pertanyaan apa pun
yang membuat ragu—dan pintu ditutup bagi gugatan dari luar
gerbang. Hampir seluruh negeri di dunia, termasuk Amerika Se
rikat, menganggap tindakan itu sewenang-wenang, tapi tampak-
nya bagi para pemimpin Israel, apa yang sewenang-wenang bagi
orang lain tak berlaku buat mereka. ”Kami adalah kami—apa
mau dikata.”
Perang agaknya telah demikian membekas dalam pemikiran
seperti itu—perang yang menghendaki pihak ”sana” hancur atau
bisu. Israel, merasa terkepung dan terancam sejak lahir, menye
rang dan menduduki wilayah orang sejak mula, dan bersikap
http://facebook.com/indonesiapustaka
karena Yerusalem:
S
etelah Maria menemukan makam itu kosong dan ke-
mudian ia melihat Yesus berdiri di belakangnya dan ia ber-
seru, ”Rabuni!”, dan sejak Sang Guru menampakkan diri
di depan beberapa murid yang berkumpul di ruang tertutup, dan
kemudian menampakkan diri lagi beberapa kali, agama Kristen
merayakan Paskah sebagai hari kebangkitan kembali: tubuh
yang telah mati disalib itu bangkit dari kubur. Ia kekal.
Orang-orang Arab Kristen di Nazareth terkadang menyebut
Paskah sebagai, ’Íd al-Qiyãmah, ”Perayaan Kebangkitan Kemba-
li”.
Tapi Yesus yang bangkit kembali itu tak berada di bumi untuk
seterusnya. Ia telah berpamit kepada Maria: ”sekarang Aku akan
pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allah
mu”. Dalam salah satu kitab disebut, 40 hari setelah penampak-
an pertama itu, tubuh Yesus naik ke surga. Palestina pun senyap.
Saya bayangkan para murid yang tak banyak itu hidup dengan
harapan-harapan yang tak jarang guncang.
Namun sebenarnya di situ pula akhir tak terjadi. Hegel pernah
mengatakan bahwa ”kebangkitan kembali adalah universalisa
si dari penyaliban”. Jika sakit dan kematian di Golgotha itu di
tafsirkan sebagai teladan dari pengorbanan diri secara habis-
habisan untuk orang lain yang dekat dan jauh, untuk siapa saja
yang dikenal dan tak dikenal, jika penyaliban itu dianggap con-
toh bahwa sengsara dan kematian mampu untuk ditanggungkan
tanpa benci dan dendam (meskipun dengan kepedihan dan kesu-
http://facebook.com/indonesiapustaka
Joe Hill tak pernah mati, tapi bukan sebagai sosok yang ada
di luar ruang dan waktu para buruh itu. ”Ia hidup di sini, persis
dalam jiwa para pekerja yang mengingatnya dan melanjutkan
perjuangannya,” kata Zizek.
Dengan kata lain, ”pahlawan tak mati-mati”, seperti kata
H.R. Bandaharo—tapi bukan sebagai patung yang dipuja kapan
saja di mana saja, melainkan sebagai yang hadir dalam laku yang
konkret. Bagi Zizek, kesalahan para pengikut Kristus ialah keti-
ka mereka terjatuh ke dalam ”reifikasi” (katakanlah: pemberhala
an) dan melupakan kata-kata Yesus yang terkenal: ”Jika akan ada
kasih di antara kalian berdua, aku akan ada di sana.”
Kasih, dalam konteks ini, adalah laku yang menempuh hidup
dengan tubuh yang lemah, yang kadang-kadang kesakitan atau
tergoda, tapi tiap kali bisa mengatasi diri karena laku itu tak ha
nyauntuk diri sendiri. Di situlah kebangkitan kembali akan sela
lu berupa kebangkitan, bukan pengulangan.
http://facebook.com/indonesiapustaka
592
Catatan Pinggir 9
SAN-DEK
L
OL!
Saya bingung.
Dengan telepon genggam, sebuah teks berisi lelucon di
kirim. Sebagai jawaban, tiga huruf itu yang muncul.
LOL? Baru kemudian seorang teman menjelaskan bahwa hu
ruf-huruf itu berarti ”laugh out loud”. Artinya: si pengirim pesan
ketawa terpingkal-pingkal.
Pelan-pelan saya belajar. Begitu banyak singkatan. Begitu ba
nyak penanda yang direduksi dan lambang yang ganjil. Dengan
setengah gagap saya memasuki samudra ”short messages services”,
SMS, atau, dalam bahasa Indonesia, ”san-dek” (ringkasan dari
kata ”pesan pendek”). Artinya saya jadi salah seorang dari tiga
miliar manusia yang mengirim lebih dari satu triliun san-dek tiap
tahun, dengan bahasa tersendiri.
Sekitar dua tahun lalu ada sebuah buku yang ditulis David
Crystal, Texting: The Gr8 Db8. Ia mencoba menjawab kenapa
orang gemar mengirim san-dek, yang sebenarnya tak lebih ring-
kas ketimbang tanda morse (yang mengganti huruf ”s” dengan
tiga pijitan tombol saja). Menurut Crystal, orang mengirim san-
dek sebagai sukan, game. Orang mengirim SMS sebagaimana
orang membuat gurindam: dalam sebuah bentuk yang ringkas—
tak boleh lebih dari 140 bytes atau 160 huruf—harus disampai-
kan sebuah isi yang kena. Ini tantangan keterampilan yang me-
mikat.
Mungkin itu sebabnya san-dek jadi kaya dengan singkatan
http://facebook.com/indonesiapustaka
atau inisial. ”LOL” hanya salah satunya. Ada ”GBU” (God bless
you) atau ”OMG” (Oh, my God). Ada juga ”IMHO”: in my hum
ble opinion. Lebih pintar lagi piktogram, dan tak boleh dilupakan:
”emotikon”, gambar-gambar yang menandai perasaan tertentu.
main dengan bahasa sejak dulu, di era pra-HP, dan sampai seka-
rang kita masih saling bicara dengan enak.
Yang bagi saya tak kalah penting adalah kembalinya kesadar
an dan keterampilan akan bahasa tulis dalam masa surat elektro
nik dan san-dek ini. Generasi kini hidup dikepung oleh gambar
dan suara (dan di Indonesia, sembilan dari 10 rumah mempunyai
pesawat TV) dan diberondong khotbah di rumah, di tempat
ibadah, atau di televisi. Bahasa lisan menguasai ruang. Tapi un-
tunglah tak selama-lamanya. Kini, seraya memegang erat telepon
genggam yang dimiliki berjuta-juta orang Indonesia dari pelba
gai kelas sosial, rakyat di seluruh penjuru tanah air melatih kete
rampilan menulis tiap jam, mungkin tiap menit. Lebih dahsyat
ketimbang kursus pemberantasan buta huruf. Insya Allah, ke-
mampuan baca-tulis, biarpun sangat sederhana, akan meningkat
di negeri ini.
Meskipun dalam san-dek, bahasa lisan praktis berbaur dengan
bahasa tulis, masih ada ruang tempat kita mampu bersikap lebih
analitis biarpun sejenak. Dengan tradisi bahasa tulis yang kuat,
orang seakan-akan bisa meletakkan bahasa di atas meja, mencer-
matinya, dan mengurainya.
Bahkan sejak seseorang membubuhkan kata-katanya dalam
huruf dan angka, ia harus cukup teliti. Satu hal yang agaknya di
lupakan ialah bahwa di tengah kekacauan ejaan dalam bahasa
kita, anak-anak muda memperkenalkan bahasa tulis yang justru
mengharuskan mereka memperhatikan baik-baik tiap huruf; me
reka menyebutnya ”bahasa Alay”. Bahasa ini juga ibarat sebuah
sukan. Dari main-main ini kreativitas berkembang ke mana-ma-
na. Bahkan di Internet saya temukan ada yang mampu menyusun
program penyalin teks ke dalam ”bahasa” yang mirip huruf paku
itu: gabungan antara huruf dan angka yang harus pas. Agaknya
ada konsensus: di kalangan Alay, salah eja bikin bengong. 54l4h
3j4, b1kin b3n60n6.
http://facebook.com/indonesiapustaka
”kamu” juga muncul di layar yang sama. Tiap ”aku” tak bisa men-
dorongkan dirinya sebagai pemberi makna yang tunggal. Tak
ada pusat yang akan berdiri lebih dari beberapa jam.
Yang ada hanya teks yang berseliweran, mengalir, bercampur,
tak permanen. D4l4m k34n3ka-r464m4n.
D
I hari ketika Aimee Dawis meluncurkan buku Orang
Indonesia Tionghoa-Mencari Identitas pekan lalu di Ja-
karta, saya berada di Singapura.
Tuan rumah saya, seorang pebisnis, berbicara tak henti-henti.
Saya diam dengan sopan. Akhirnya pada menit ke-40 ia minta
pendapat saya. Dengan catatan: ”Anda ini orang Jawa, tentu An
da akan mengatakannya tak terus terang....”
Saya ketawa masam. Jawab saya: ”Saya tak tahu apakah saya
orang Jawa, atau bukan orang Jawa.”
Dia bingung. Tapi saya mengerti kenapa dia bingung. Berada
di Singapura (atau Malaysia) saya sering sekali menemui perca
kapan macam itu: orang akan secara tersirat atau tersurat menye-
but seseorang dan mengaitkannya dengan ”bangsa Cina” atau
”bangsa Melayu” atau ”bangsa” apa saja—dengan suatu sifat
yang mereka anggap khas pada ”bangsa” itu.
Berada di dua negeri ini, di mana etnisitas menguasai kebi-
jakan politik dan kehidupan sehari-hari, tendensi itu tampak su-
dah jadi bagian bahasa yang otomatis. Tak mengherankan bila di
sana saya selalu dipandang dan diletakkan dalam satu kotak iden-
titas. Khususnya yang terkait dengan ”perkauman”. Kalau saya
bergerak dari kotak itu, orang hilang akal. Seperti halnya tuan
rumah saya malam itu.
Di Indonesia agak lain soalnya. Bagi saya, yang mengganggu
di sini adalah bagaimana identitas diterjemahkan dengan istilah
yang seakan-akan keramat, yakni ”jati diri”. Saya selalu berkebe
http://facebook.com/indonesiapustaka
ratan tentang ini, karena tak ada yang keramat di dalamnya. Bah-
kan ketika orang mengatakan telah menemukan ”jati diri”, orang
sebenarnya tak tahu bahwa ”diri” yang ”(se)-jati” mustahil dida
pat.
B
uku bisa bertaut dengan trauma, setidaknya dalam peng
alaman saya.
Ketika saya berumur hampir enam, tentara penduduk
anBelanda menangkap ayah dan menggeledah seisi rumah. Di
hari itu, setelah bapak diikat tangannya dan dinaikkan ke atas
truk, kami sekeluarga duduk ketakutan. Satu kejadian masih saya
ingat:dua orang serdadu mengangkut sejumlah buku dari kamar
kerja ayah dan melemparkan jilid-jilid itu ke dalam sumur.
Saya tak tahu buku apa yang dibuang, dan kenapa. Yang pen
tingbagi saya hanya ini: seorang serdadu mematahkan bedil kayu
mainan saya dan membuangnya juga ke dalam sumur.
Buku dan senapan mainan: tanda permusuhan? Beberapa pu-
luh tahun kemudian seorang kakak saya yang dekat dengan ayah
(saya agak jauh dari beliau) ingat bahwa di perpustakaan bapak
ada buku dengan sampul bergambar Karl Marx. Mungkin kitab
macam itu yang harus ditiadakan. Juga senjata, serius ataupun ti-
dak.
Sebab ada beberapa buku yang tak disentuh. Di antaranya se-
buah kamus Webster terbitan 1939 bersampul hitam (di halaman
pertama ada tanda tangan bapak dengan pena celup) dan sebuah
buku sejarah Inggris.
Dari kamus tebal itu saya temukan sebuah ilustrasi: empat
orang mengangkat sebuah kotak. Karena saya tak mengerti apa
http://facebook.com/indonesiapustaka
P
ADA suatu hari di tahun 2010, seorang perempuan dari
Utara membayar lebih dari satu juta dolar untuk membeli
beberapa ekor anjing.
Dan kita tercengang: Cina bukan lagi Mao. Saya tak tahu ma-
sih adakah orang di sana yang ingat Mao Zedong yang pernah
berbicara berapi-api tentang ”proletariat”, ”proletariat gelandang
an”, dan ”semi-proletariat”, kelompok miskin yang akan membe-
baskan Cina dari ”keadaan setengah feodal dan setengah kolo-
nial”.
Tampaknya kini yang membebaskan—atau yang menjerat?—
adalah uang dan hasrat, dan dengan itu banyak batas diterobos.
Perempuan dari Utara itu, seperti ditulis China Daily, pada hari
itu mengirimkan 30 mobil Mercedes-Benz ke bandara untuk
menjemput hewan yang dipesannya.
Ia pasti salah seorang dari 835.000 orang miliarwan yang ada
di Republik Rakyat yang berpenduduk sekitar 1.330.000.000
ini. Ia pasti bagian dari 0,06 persen warga yang hidup berkelim-
pahan dan tak merasa berdosa atau rikuh di negeri yang setengah
abad yang lalu diguncang ”Revolusi Kebudayaan Proletar” itu.
Setengah abad yang lalu itu para pengikut Mao yang militan
bahkan siap membunuh seekor babi yang dimiliki tetangga de-
ngan granat; babi itu tanda kelas ”borjuis”. Pada awal abad ke-21
sekarang orang berduit membayar dengan harga mahal anjing je-
http://facebook.com/indonesiapustaka
P
OLITIK jadi sebuah cul-de-sac ketika ia selamanya diten-
tukan oleh penghitungan kekuatan. Ia hanya jalan bolak-
balik di tempat yang sama, di gang buntu itu, ketika ia
kehilangan panggilan untuk melintasi langkahnya sendiri yang
diukur. Para pelakunya jadi penunggang yang pada dasarnya an-
teng di komidi kuda-putar: mereka menerima kenyataan bahwa
politik adalah persaingan bukan untuk memperoleh hal-hal yang
muluk dan rumit, melainkan untuk mendapatkan apa yang
mungkin saja.
Persoalannya, memang, adakah sesuatu yang lain—katakan-
lah yang muluk dan rumit—yang bisa menyeru dan memukau di
luar cul-de-sac itu? Adakah sebuah cakrawala yang ingin diraih,
bukan berupa kekuasaan yang lebih besar, melainkan apa yang
”baik” bagi kehidupan bersama, sesuatu yang membuat manusia
bukan sekadar elemen pasif dari sebuah situasi?
Bahwa kini pertanyaan itu timbul, itu karena zaman makinla
ma makin dibentuk oleh skeptisisme. Bahkan mungkin sinisme.
Hidup sepenuhnya dianggap percaturan kekuasaan; tak ada yang
di luar itu. Juga ketentuan mana yang ”baik” dan ”buruk” diang-
gap sebagai nilai-nilai yang dibuat dan ditentukan oleh adu ke-
pentingan dan daya pengaruh; bukan oleh sesuatu yang transen-
dental.
Apa boleh buat. Sejarah memang banyak mendatangkan
”bukti” bahwa yang transendental itu hanya ada sebagai hasil
fantasi. Tuhan disebut tiap hari, tapi pada saat yang sama diper-
http://facebook.com/indonesiapustaka
seni dan bahasa, yang bukan sekadar respons dan pantulan ke-
adaan sosialnya. Meskipun itu tak berarti hal-hal itu ”jatuh dari
langit”.
Sebab manusia bukanlah cuma cerita badan dan tanah. Da
lam pengalaman kita, tak ada konflik antara hal-hal yang lahir
dari sejarah (”the historical”) dan hal-hal yang melampaui sejarah
(”the transcendental”). Ini karena sejarah justru ”merupakan se-
buah proses transendensi-diri”. Manusia sebagai ”makhluk seja
rah” adalah makhluk yang mampu mengatasi dirinya sendiri.
Seorang Marxis, berbeda dengan seorang penganut materialisme
Fuerbach, percaya bahwa zat bukan yang menentukan; selalu ada
dialektik.
Maka transendensi bukan omong-kosong. Eagleton menyebut
ada transendensi yang ”vertikal” dan yang ”horizontal”. Yang
pertama dianggap hal yang diturunkan dari luar sejarah, dari Tu-
han, misalnya. Yang kedua merupakan bagian dan sekaligus lon-
catan melampaui batas-batas sejarah.
Saya kira, di situlah kita bisa kembali percaya bahwa ada ni-
lai-nilai yang tak hanya merupakan hasil konstruksi hubungan-
hubungan sosial di suatu masa di suatu tempat. Di situlah kita bisa
percaya bahwa politik sebenarnya mampu bergerak meloncat me
lampaui pusarannya sendiri. Politik bisa jadi gerak yang terpang-
gil untuk menjangkau sesuatu yang transendental, meskipuntak
membawa-bawa Tuhan. Politik cukup sah untuk merasa diseru
buat melakukan yang ”baik” bagi semua orang meskipun itu usa
ha perjuangan sekelompok orang.
Artinya, kita tak usah menyerah dengan mudah kepada poli-
tik dengan sinisme. Kita masih bisa percaya bahwa ada nilai-nilai
http://facebook.com/indonesiapustaka
yang menggugah manusia di luar cul-de-sac itu. Kita tak usah se
lalu menghalalkan bahwa politik adalah perhitungan kekuatan,
tak lebih dan tak kurang. Kita masih bisa menampik pandangan
”siapa yang kuat akan dapat” dan ”yang lemah tak akan pernah
benar”.
Maka kita bisa, dan kita perlu, kembali ke politik yang tergoda
oleh cakrawala, ke dalam apa yang dikatakan Eagleton sebagai a
process of self-transcendence. Tanpa itu, kita hanya jadi bidak catur
yang merasa menggerakkan langkahnya sendiri mengikuti siasat.
Padahal, kita tiap kali harus jadi manusia, tiap kali bisa jadi
manusia.
S
iang itu saya lihat seorang perempuan berjilbab duduk
tekun di depan sebuah mikroskop di sebuah lab. Saya ter-
ingat Kartini.
Dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902, Kartini mencan-
tumkan seuntai kwatrin:
gal.
Tapi pada saat itulah—dalam mencampakkan gelap—agama
dan akal sering bertemu. Saya teringat perempuan berjilbab di
depan mikroskop itu: saya teringat Kartini. Jangan-jangan Kar-
S
aya tak tahu benarkah Tuhan hanya menghendaki dunia
yang tertib.
Ada sebuah cerita detektif yang ganjil yang ditulis G.K.
Chesterton, The Man Who Was Thursday. Buku ini lain dari ceri-
ta detektif biasa: ujungnya mirip sebuah renungan tentang Tu-
han—bermula dari ketegangan antara anarkisme dan ketertiban,
dengan tokoh seorang agen Scotland Yard yang menyamar seba
gai penyair.
Cerita dibuka dengan senja di Saffon Park, sebuah wilayah di
tepi Kota London. Di lingkungan rumah-rumah berbatu bata
warna terang itu hidup sebuah ”dukuh artistik”, artistic colony.
Buku ini tak menyebutnya ”dukuh seniman”, sebab tempat itu
tak pernah memproduksi karya seni apa pun. Keistimewaannya:
enak dipandang.
Tapi kita diantar untuk tak menyukai suasana di sana. Ter
utamakarena penghuninya. Ada orang bertampang penyair yang
semenarik syair, tapi ia sendiri bukan penyair. Atau si Fulan yang
berlagak filosof tapi sebenarnya sosok yang bisa membuat filosof
merenung. Para wanitanya menyatakan diri bebas, tapi suka me
muji para lelaki dengan berlebihan. Orang yang memasuki at
mosfer sosial tempat itu akan merasa seperti ”memasuki sebuah
komedi yang telah ditulis”.
Tokoh sentral di sini bernama Lucien Gregory. Ia seorang pe-
nyair berambut merah yang dibelah tengah, dengan keriting ke-
cil bak rambut perawan dalam lukisan Eropa kuno. Chesterton
http://facebook.com/indonesiapustaka
sungguhnya Tuhan.
The Man Who Was Thursday lebih rumit dan kaya ketimbang
yang saya ringkaskan. Tapi tanpa lebih jauh kita sudah didorong
menjawab: benarkah Tuhan berpihak kepada ketertiban? Benar
B
ayi yang kemudian jadi Buddha itu lahir ketika sang ibu
memegangi sebatang dahan pohon Sal di Kebun Lum-
bini.
Adakah ini lambang pertautan antara bayi yang suci itu de-
ngan kehidupan yang bersambung ke ranting dan daun—dari
mana oksigen menyebar dan di mana burung pengembara mene
mukan tempat jeda?
Saya tak tahu. Orang besar yang lahir lebih dari 2.500 tahun
yang lalu akan selalu tumbuh dengan legenda, dan tiap legenda
punya pertanyaan yang tak pernah putus. Tapi beberapa ”data”
dari kehidupan Buddha agaknya bisa jadi bahan percakapan—
setidaknya antara saya, yang bukan Buddhis, dan para pembaca,
yang mungkin di antaranya Buddhis.
Sang Buddha, seperti kita tahu, lahir sebagai Pangeran Sid
dharta. Ayahnya, Suddhodhana, adalah Raja Kapilavastu, wila
yahdi kaki Himalaya. Keluarga ini bagian dari klan Gautama,
yang termasuk wangsa Shakya. Dari kitab Jataka kita dapat se-
dikit cerita tentang kehidupan para aristokrat itu.
Siddharta hidup di tiga istana, terlindung dari dunia luar yang
tak secantik dan setenteram Keraton Kapilavastu. Ada 40.000
penari untuk menghiburnya. Ketika ia dewasa, 5.000 wanita di
kirim ke hadapannya untuk dipilih. Dan Siddharta pun meni-
kah. Ia jadi ayah yang hidup mewah dan nyaman.
Tapi kemudian ada kisah yang termasyhur itu: dalam sebuah
perjalanan di luar istana, sang pangeran melihat dunia yang sela-
http://facebook.com/indonesiapustaka
ma ini tertutup dari dirinya: seorang tua, seorang yang sakit, dan
seorang yang mati. Siddharta terkejut, ia tersadar: ternyata ma
nusia, juga dirinya, akan jadi tua, bisa sakit, dan akan meninggal.
”Semua keriangan masa mudaku tiba-tiba raib,” tutur sang pa
tumbuh.
Dengan kata lain, nasib bukanlah ”kesunyian masing-ma-
sing” seperti dikatakan Chairil Anwar. Hidup meletakkan ma-
sing-masing sebagai bagian dari sebuah keseluruhan—seperti
akar, kulit, dahan, ranting, dan daun pohon Sal. Bahkan pohon
itu juga bagian dari perjalanan burung-burung dan peserta dalam
lingkungan ke mana selalu ia embuskan oksigen pada hari terik.
Untuk siapa saja.
Harapan, dengan kata lain, ialah karena kita tak bersendiri.
S
alah satu dari flotilla enam kapal yang mencoba menem
bus blokade Israel di Gaza itu, dan diserang marinir Israel
hingga sekitar sembilan korban tewas, diberi nama ”Rachel
Corrie”.
Tulisan ini dimuat kembali untuk mengenang pengorbanan me
reka, orang-orang asing, dari pelbagai agama dan tanah air, yang
mati untuk rakyat Palestina.
***
Rachel Corrie yang ada di surga, selalu kembalilah nama-
mu. Semoga selalu kembali ingatan kepada seseorang yang berse-
dia mati untuk orang lain dalam umur 23 tahun, seseorang yang
memang kemudian terbunuh, seakan-akan siap diabaikan di satu
Ahad yang telah terbiasa dengan kematian.
Hari itu 16 Maret yang tak tercatat. Hari selalu tak tercatat
dalam kehidupan orang Palestina, orang-orang yang tahu benar,
dengan ujung saraf di tungkai kaki mereka, apa artinya ”semen-
tara”.
Juga di Kota Rafah itu, di dekat perbatasan Mesir, tempat hi
dup 140 ribu penghuni—yang 60 persennya pengungsi—juga
pengungsi yang terusir berulang kali dari tempat ke tempat. Pe-
kan itu tentara Israel datang, seperti pekan lalu, ketika 150 laki-
laki dikumpulkan dan dikurung di sebuah tempat di luar permu
kiman. Tembakan dilepaskan di atas kepala mereka, sementara
tank dan buldoser menghancurkan 25 rumah kaca yang telah
mereka olah bertahun-tahun dan jadi sumber penghidupan 300
http://facebook.com/indonesiapustaka
tanah dari mana mereka mustahil pergi, karena tak ada lagi tem-
pat untuk pergi.
Saya bayangkan kini Rachel Corrie di surga, sebab hari itu ia,
seorang perempuan muda dari sebuah kota yang tenang di timur
laut Amerika Serikat, memilih nasibnya di antara orang-orang
di Rafah itu: mereka yang terancam, tergusur, tergusur lagi, dan
tenggelam. Hari itu ia melihat sebuah buldoser tentara Israel
menderu. Sebuah rumah keluarga Palestina hendak dihancur-
kan. Dengan serta-merta ia pun berlutut di lumpur. Ia mencoba
menghalangi.
Tapi jaket jingga terang yang ia kenakan hari itu tak menyebab
kan serdadu di mobil perusak itu memperhatikannya. Prajurit di
belakang setir itu juga tak mengacuhkan orang-orang yang ber-
teriak-teriak lewat megafon, mencoba menyetopnya. Buldoser itu
terus. Tubuh itu dilindas. Tengkorak itu retak. Saya bayangkan
Rachel Corrie di surga setelah itu; ia meninggal di Rumah Sakit
Najar.
***
Rachel yang di surga, selalu kembalilah namamu. Korban
dan kematian di hari ini menjadikan kita sebaya rasanya. Kau ter
bunuh di sebuah masa ketika tragedi dibentuk oleh berita pagi,
dan makna kematian disusun oleh liputan yang datang dan pergi
dengan sebuah kekuasaan yang bernama CNN. Tahukah kau, di
seantero Amerika Serikat, tanah airmu, tak terdengar gemuruh
suara protes yang mengikuti jenazahmu?
Tentu kita maklum, bukan singkat ingatan semata-mata yang
menyebabkan sikap acuh tak acuh setelah kematianmu di hari
itu. Bayangkanlah betapa akan sengitnya amarah orang dari Sea
http://facebook.com/indonesiapustaka
tulisnya. ”Bukan ini dunia yang Mama dan Papa inginkan buat
diriku ketika kalian memutuskan untuk melahirkanku.”
Apa yang mereka inginkan, Rachel, dan apa yang kau minta?
Berangsur-angsur kau pun tahu: kau tak menghendaki sebuah
630
Catatan Pinggir 9
JUNI
J
uni adalah bulan Bung Karno—kesempatan kita menge
nang yang kecil dan yang besar dari tokoh ini. Ada satu keja
dian dalam riwayat yang direkam Cindy Adams: ketika
Bung Karno pertama kali menikah, ketika ia jadi mempelai
bagi Utari.
Utari adalah putri H.O.S. Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat
Islam, yang menampung Sukarno sewaktu anak kepala sekolah
dari Blitar itu berumur 14 tahun dan datang ke Surabaya untuk
masuk HBS, sekolah menengah Belanda. Hubungan antara Su
karno dan Tjokroaminoto makin lama makin erat. Pemuda ini
praktis jadi kadernya dalam pergerakan. Ia tinggal di rumah ke
luarga itu sampai 1920, sampai ia lulus dari HBS dan melanjut-
kan ke Technische Hooge School di Bandung.
Tapi, sebelum itu, Nyonya Tjokroaminoto wafat. Kesedihan
merundung suaminya, yang ditinggal dengan beberapa anak
yang masih remaja. Mereka dan anak-anak yang indekos, terma-
suk Sukarno, pun pindah ke rumah lain. Tapi Tjokroaminoto tak
terlipur penuh. Untuk meringankan hati orang tua itu, Sukar
no memutuskan untuk menikahi Utari—meskipun masih me
rupakan ”perkawinan gantung”, sebab Utari masih 16 tahun dan
Sukarno sendiri baru 20.
Yang menarik kisah Bung Karno tentang hari pernikahan itu.
Sang mempelai—seorang yang suka berdandan—datang de
ngan mengenakan jas, pantalon, dan dasi. Melihat itu, penghu
lu berkeberatan. ”Anak muda,” katanya, ”dasi adalah pakaian
http://facebook.com/indonesiapustaka
ubah.
Itu sebabnya nasionalisme Indonesia mengandung optimis
me. Hatta, misalnya, percaya kepada dialektika sejarah yang ber
akar pada Marxisme: tiap keadaan ”menimbulkan syarat yang
mesti mengubah keadaan itu sendiri”.
Tentu, optimisme semacam ini tak selamanya terbukti benar.
Tapi sejak awal abad ke-20 zaman terasa bergerak. Entah ke ma
na, tapi banyak hal yang tak tumbuh jadi membatu, jadi benda
antik atau ditinggalkan.
... dia menebarkan ketakutan di benak para musuh kami, dia memberi
kekuatan yang lebih hebat ketimbang 1.000 bek dan 10.000.000 kiper.”
—Ri Myong-guk, penjaga gawang Korea Utara, menjelang pertan
dingan di Piala Dunia.
T
uhan dan Kim Jong-il tak datang ke Afrika Selatan.
Tapi tiap kesebelasan yang bertanding di Sokkerstad
yang mirip belanga Afrika itu harus mengerahkan ke
kuatan apa saja, termasuk yang gaib, untuk menang. Bagi kiper
Korea Utara, Ri Myong-guk, yang gaib adalah kepala negaranya,
Kim Jong-il. ”Dia pemain terpenting kami,” katanya tentang to-
koh sakit-sakitan yang malam itu mungkin sedang terbaring di
Istana Presiden di Pyongyang, 12.447 kilometer jauhnya dari Jo-
hannesburg.
Syahdan, pada malam dingin menggigit itu, Ri dan 10 kawan-
nya berjuang. Ratusan juta penonton di seluruh dunia menyaksi-
kan bagaimana tim Korea Utara bermain gigih, rapi, efektif.
Tapi mereka melawan Brasil, juara dunia lima kali. Merekaka-
lah: 2-1—meskipun kalah dengan bangga, karena mereka telah
menunjukkan permainan yang mengesankan. Dunga, manajer
tim Brasil, mengakui, ”Sangat berat menghadapi lawan yang be-
gitu gigih dan begitu defensif.” Kata Ri, yang memimpin lini be-
lakang, ”Saat menjaga gawang rasanya seperti menjaga gerbang
tanah airku.”
Kalimat itu hiperbolik, memang. Kita tak tahu, tuluskah Ri
http://facebook.com/indonesiapustaka
atau tidak. Sepak bola di Piala Dunia punya daya yang ganjil.
Ia bisa membuat orang (pemain atau penonton) merasa bagian
dari sebuah puak besar yang berapi-api, dari rambut sampai kuku
kaki, mendukung sebuah tim nasional. Ketika sebelum pertan
Putra.
Dalam sejarah pemerintahan partai komunis, ini melebihi ta
karan. Tapi sesuatu yang sebelumnya hanya terdapat pada zaman
Nazi Hitler dan Fasisme Mussolini ternyata bisa terjadi di kubu
D
I ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, se-
buah dusun di Flores Barat mencoba mengingat.
Di Desa Wae Rebo itu, orang membangun kembaliru
mah adat mereka yang berbentuk kerucut—setelah entah berapa
lama hanya empat yang tertinggal dari tujuh yang pernah berdiri,
setelah pohon kayu worok tak mudah lagi didapat untuk bahan
tiang utama, setelah sawah ladang tak cukup bisa membuat sur-
plus. Generasi silih berganti selama 1.000 tahun; mereka mem-
bentuk sejarah, dibentuk sejarah. Kebutuhan baru datang, dan
desa didefinisikan oleh kekurangan yang dulu tak ada. Pada abad
ke-21, ingatan tak lagi berwibawa: hanya sebuah gudang berisi-
kan hal-hal yang aus.
Waktu memang bukan teman untuk Wae Rebo—sebagai
nama yang dicoba disimpan dalam ingatan dan dilambangkan
oleh rumah adat. Waktu bukan teman bagi banyak dusun tua
lain di Indonesia, di mana rumah pernah memiliki ”kosmisitas”,
di mana (jika saya tafsirkan pengertian Bachelard ini) orang bisa
merasakan getar dari tiang yang menjulang, seakan-akan tiap sa
at bumi menjangkau yang kosmis.
Kita, hidup di kota yang makin padat, mungkin bahkan tak
lagi sempat mempedulikan yang kosmis nun di atas. Yang verti-
kal di tempat tinggal dan tempat kerja kini dilambangkan oleh
bangunan bertingkat yang tiap lantai bisa didatangi dengan lift.
Ia jadi sesuatu yang horizontal. Tubuh kita tak mendaki.
Berbeda dengan nenek moyang orang Wae Rebo, kita tak ber-
http://facebook.com/indonesiapustaka
tang rumah masa lalu hanya penting jika ia bagian dari respons
itu. Di situlah rumah adat dan rumah darurat punya titik temu-
nya. Bukan dalam bentuk, tapi dalam kreativitas: kemampuan
menemukan cara yang pas, di suatu masa, di suatu tempat, di se-
P
ada suatu hari saya berjalan dalam sebuah mall, di se
panjang deretan etalase. Seakan-akan melangkah di atas
ruas jalan yang telah dipindahkan dari tengah kota ke se-
buah interior, saya tertegun. Beberapa detik lamanya, saya tak
tahu saya sedang di mana.
Di saat itu saya sadar, sebuah mall bukanlah sebuah titik dalam
peta bumi. Ia bukan sebuah lokasi; berada jauh dari langit dan ta-
nah, ia seakan-akan tak tersentuh waktu + unsur alam. Di mana
pun letaknya, ia sesuatu yang generik: sebuah atau serangkaian
bangunan besar yang berisi pelbagai toko dan restoran. Untuk
nya, konteks tak diperlukan.
Mungkin karena mall adalah sebuah pengulangan. Saya bisa
berpindah dari yang satu ke yang lain dan mengalami hal yang
sama. Toko-toko itu memajang merek yang sama pula dari satu
bangunan ke bangunan lain. Baik di Orchard Road, Singapura,
maupun di Senayan, Jakarta; baik di Brunswick, Melbourne,
maupun di Queensway, Hong Kong, model-model yang ditam
pilkan di pelbagai tempat itu praktis serupa—setidaknya dengan
potongan tubuh dan gaya yang tak berbeda—dengan kaca-kaca
etalase yang bermiripan.
Repetisi tampaknya punya peran tersendiri di sini. Ia perpan-
jangan dari sifat fashion. Fashion, atau mode, tiap kali memang
memperbarui diri, tetapi sebenarnya ia merupakan cerminan
pengulangan. Ia hidup dengan membuat keinginan datang ber
ulangkali untuk memperoleh merek favorit itu lagi, lagi, dan lagi.
http://facebook.com/indonesiapustaka
B
eberapa menit sebelum ia roboh tertembak, Hasan
masih membandingkan dirinya dengan ”Hamlet si Tu-
kang Sangsi”.
Kita ingat Hasan. Ia tokoh utama Atheis—sebuah novel yang
tak bisa dilupakan sejak terbit pada 1949. Penulisnya, Achdiat K.
Mihardja, meninggal pekan lalu di Canberra, Australia. Penga
rang kelahiran Garut ini mencapai usia 99. Tapi, seperti nasib
tiap sastrawan yang punya karya yang berarti, usia sepanjang itu
masih akan kalah lanjut ketimbang apa yang ditulisnya.
Terutama karena Atheis, lebih dari 60 tahun setelah pertama
kali beredar, pantas jadi sebuah klasik. Prosa Achdiat masih terasa
segar, cara berceritanya sama sekali tak aus, frase-frasenya masih
bisa mengejutkan. Di samping itu, Hasan ”si Tukang Sangsi” te
taptokoh yang tak ada duanya dalam sastra Indonesia. Lebih lagi:
ia bisa melintasi zamannya sendiri.
Mungkin karena apa yang ada dalam zaman itu, masa akhir
1930-an, belum juga mati pada hari ini: perubahan besar dalam
sejarah modern yang terkadang tak tertanggungkan guncangan-
nya, baik bagi seorang yang sederhana maupun pada hal-hal yang
luhur dan sakral.
Hasan seorang sederhana. Di akhir cerita, ia ditembak pasu
kanJepang, tapi ia bukan seorang pelawan. Pada jam malam di
Bandung itu ia lari dari hotel tempatnya menginap karena ia ka-
lap, galau, marah, dan cemburu, ketika mengetahui istrinya per-
nah menginap di hotel itu bersama temannya, Anwar.
http://facebook.com/indonesiapustaka
T
ak ada apa-apa hari itu. Dan Louis XVI pun mencatat
dalam buku hariannya: ”rien”.
14 Juli 1789. Di Istana Tuileries yang ia diami sejak ia di
desak meninggalkan Versailles dan pindah ke Paris, Raja Prancis
itu tak tahu yang terjadi beberapa belas kilometer dari kursinya.
Menjelang senja yang panjang hari itu, Penjara Bastille direbut
rakyat.
Tembak-menembak berlangsung sejak lewat tengah hari. Se-
belumnya, di depan halaman luar penjara itu, sekitar 900 warga
Paris berhimpun: tukang kayu, pembikin gembok, penjahit,
pembuat topi, pedagang anggur, pengusaha cabaret, pemilik pa
brik bir, dan tentara yang diam-diam meninggalkan induk pasu-
kan.
Sebenarnya mereka cemas.
Sebagaimana dikisahkan kembali oleh Simon Schama dalam
Citizens, kecemasan itu berjangkit sejak malam sebelumnya. Ada
desas-desus, pasukan disiapkan untuk memadamkan para pem-
bangkang yang menentang Raja. Keadaan genting. Orang marah
di mana-mana. Harga roti mencekik. Di Lyon terbit kerusuhan.
Di Paris beberapa kali kantor cukai diserbu. Tentara disiagakan
untuk mengawal pasar penjualan gandum atau konvoi yang
mengangkut tepung.
Awal Juli juga mencekam penduduk miskin, sebab itulah ma
sa ketika segala utang & sewa harus dibayar. Sehari sebelum tang-
gal 7, ketika terme tiba, tampak keluarga-keluarga meninggalkan
http://facebook.com/indonesiapustaka
bahwa di balik semua itu ada siasat kaum aristokrat. Para bang-
sawan ini membuat rakyat lapar karena ingin menyingkirkan
Jacques Necker, menteri keuangan, seorang bankir asal Swiss
yang dianggap mampu menyelamatkan Prancis dari kebangkrut
an. Dugaan itu tak benar, tapi Necker memang dimusuhi kelas
atas itu. Dalam catatan sejarah, ia cakap dan jujur. Ia bahkan siap
mengorbankan hartanya untuk jadi jaminan impor pangan dari
Amsterdam. Tapi semuanya terlambat. Prancis menanggungkan
musim dingin yang ganas. Selain transportasi yang rusak, perang
Turki-Rusia dan konflik politik di Baltik membuat suplai pangan
tak mudah.
Ibu kota makin rusuh. Ketakpuasan menjalar ke kalangan mi
liter yang lebih memihak le troisieme état, penduduk yang bukan
dari kalangan aristokrat ataupun Gereja. Sementara itu, milisia
yang dibentuk untuk menertibkan kerusuhan, gardes françaises,
yang terdiri atas anak-anak muda dari pedesaan, ikut tak setia.
Bersama penduduk, mereka akhirnya jadi bagian dari ”penakluk
Bastille”.
Penjara ini sebenarnya sudah tak berfungsi penuh lagi. Peme
rintah sedang merencanakan akan merobohkan gedung nomor
232 di rue Saint-Antoine itu. Dibangun pada akhir abad ke-14 se-
bagai benteng, bangunan 4½ lantai itu diubah jadi penjara pada
abad ke-17. Di sanalah dikurung anak nakal yang diminta keluar-
ganya agar disekap, atau para penulis yang dianggap menghasut
atau cabul. Voltaire sudah dua kali dikurung sebentar. Marquis
de Sade termasuk penghuni terakhir.
14 Juli itu, hanya tinggal tujuh yang di dalam. Empat orang
adalah penipu. Seorang bangsawan nakal yang dimasukkan atas
http://facebook.com/indonesiapustaka
permintaan keluarga sendiri. Dua yang lain orang gila. Tak ada
lagi pembangkang.
Kondisi penjara itu juga tak buruk amat. Marquis de Sade (dari
mana kata ”sadisme” berasal, dan sebab itu ia disekap) diperbo
H
AMPIR tiap hari kita menyaksikan anak-anak yang di-
hilangkan. Orang-orang dewasa telah menguasai me
reka. Di layar televisi, mereka dibikin menyanyi seperti
para biduan komersial menyanyi, berkhotbah seperti para kiai
berkhotbah, bersaing seperti para pecundang dewasa bersaing.
Mereka dicetak. Model mereka bukan datang dari imajinasi
sendiri. Mereka dikepung. Di rumah, di sekolah, di tempat iba-
dah, anak-anak harus mengikuti apa yang dipetuahkan. Si bocah
mesti menuruti tatanan simbol yang dijadikan sendi kehidupan
ibu-bapak.
Tentu, masih ada dunia fantasi mereka sendiri. Tapi ini pun se
bagian besar sudah dibentuk oleh selera orang-orang yang punya
pengaruh: pemilik taman hiburan, entrepreneur baju dan sepatu,
industri mainan, produser acara TV, pengelola jasa iklan, peng
arahkindergarten dan sekolah dasar.
Lewat itu semua, tiap hari anak-anak sedang hendak dihilang
kan.
Mungkin ini tanda-tanda dua masa yang cemas.
Yang pertama masa ketika kita cemas kalau-kalau sebuahge
nerasi baru akan meninggalkan tradisi—sisa simptom masyara
katpetani yang berubah. Dalam masyarakat agraris, ketika per
ubahan teknik dan nilai-nilai hampir tak terasa, orang bisa berta
han dengan ingatan dan masa lalu kolektif. Mereka gentar kepa
da yang baru, malah mungkin tak merasa butuh dengan yang
baru.
http://facebook.com/indonesiapustaka
anak-anak.
Di tengah kecemasan itu, acap kali anak hanya diberi, tapi de-
ngan sikap yang mendua. Sang pemberi, si orang tua, merasa diri
berkorban, dan dengan pengorbanan itu memposisikan diri lebih
mulia. Saya kira ambivalensi itulah yang tecermin dalam satu sa-
jak Amir Hamzah yang ditulis pada tahun 1930-an:
P
ada suatu hari di bulan November 1936, Bung Karno
menerima sepucuk pos. Di zaman ketika komunikasi
masih sangat terbatas, surat itu dikirim seseorang dari
Bandung dengan kapal biasa ke Kupang, di Pulau Timor bagian
barat; dari sana ia diterbangkan sebagai vliegpost (pos udara) ke
Ende, tempat Bung Karno waktu itu hidup sebagai orang buang
an.
Surat itu ditulis seorang teman. Ia bercerita bahwa harian Pe
mandangan memuat satu informasi kecil: Bung Karno telah men
dirikan cabang Ahmadiyah dan ”menjadi propagandis Ahmadi-
yah” wilayah Sulawesi.
Saya tak tahu kaget atau tidakkah Bung Karno mendengar ce
rita fiktif tentang dirinya itu. Mungkin tidak. Ia sudah siap men-
dengar tuduhan yang bermacam-ragam, termasuk ”anti-Islam”,
karena pandangannya yang kritis tentang perilaku umat Islam di
Indonesia. Meskipun demikian, Bung Karno membantah. De-
ngan tenang sekali.
”Saya bukan anggota Ahmadiyah,” demikian ditulisnya da
lam suratnya bertanggal 25 November tahun itu, yang bisa kita
temukan dalam buku Dibawah Bendera Revolusi. Karena ia bu-
kan anggota, kata Bung Karno pula, ”Mustahil saya mendirikan
cabang Ahmadiyah atau menjadi propagandisnya.” Apalagi un-
tuk wilayah Sulawesi: ia tak akan sampai ke sana. Sebagai orang
yang diasingkan dan diawasi pemerintah kolonial Belanda, Bung
Karno bahkan tak akan diizinkan untuk ”pelesir ke sebuah pulau
http://facebook.com/indonesiapustaka
lain tentang Islam. Tahun 1936, seperti 2010: ada sikap berseteru
terhadap gerakan dan keyakinan Ahmadiyah.
Di tahun surat Bung Karno ditulis itu, permusuhan terhadap
Ahmadiyah sudah sekitar tujuh tahun umurnya. Meskipun mu-
la-mula tak ada gejolak apa pun. Pada awalnya sekitar 20 pemuda
Islam dari Sumatera Barat datang ke India untuk belajar agama di
Qadian. Tahun 1925: mubalig pertama Ahmadiyah Qadian sam-
pai ke Tapaktuan, Aceh. Ia kemudian ke Sumatera Barat. Pada
1926, organisasi Jemaat Ahmadiyah berdiri.
Sampai di sini, belum ada konflik yang tercatat, meskipun ka-
langan Ahmadiyah Qadian percaya bahwa Mirza Ghulam Ah-
mad seorang pembaharu dan sekaligus ”nabi” tapi nabi yang tak
membawa syariat baru.
Konflik pertama justru terbuka di Yogya, dan ini berhubung
an dengan Ahmadiyah Lahore, yang tak menganggap Mirza
Ghulam Ahmad seorang nabi, melainkan seorang mujaddid
(pembaharu).
Awalnya sebuah ukhuwah. Tahun 1924, dua pendakwah ge
rakan ini, Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad, datang
ke Yogya. Djojosugito, sekretaris Muhammadiyah, mengundang
mereka untuk berpidato di muktamar, dan menyebut Ahmadi-
yah sebagai ”organisasi saudara Muhammadiyah”. Tapi, setelah
sebuah perdebatan, Muhammadiyah melarang paham Ahmadi.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-18 di Solo, pada 1929, di
nyatakan bahwa ”orang yang percaya akan Nabi setelah Muham-
mad SAW adalah kafir”. Djojosugito dipecat. Ia mendirikan Ge
rakan Ahmadiyah Indonesia, 4 April 1930.
Takutkah Bung Karno dikaitkan dengan paham ini? Dari
http://facebook.com/indonesiapustaka
”... pada umumnya ada mereka punya ’ features’ yang saya setu-
jui: mereka punya rationalisme, mereka punya kelebaran pengli-
hatan (broadmindedness), mereka punya modernisme, mereka pu-
nya hati-hati terhadap hadits, mereka punya streven Qur’an sahaja
dulu, mereka punya systematische aannemelijk making van den Is
lam.”
D
I bulan Agustus 1963, sebuah dokumen ditulis dan di-
umumkan: ”Manifes Kebudayaan”. Ia dengan segera
menimbulkan kontroversi yang heboh. Isinya dianggap
”kontrarevolusioner” oleh Lekra dan organisasi-organisasi kebu-
dayaan dan politik yang diakui pemerintah waktu itu. Kemudian
juga oleh Presiden Sukarno.
Pada 8 Mei 1964, dokumen itu—kemudian disebut dengan
ejekan ”Manikebu”—dinyatakan ”terlarang”. Para penanda ta
ngannya, umumnya sastrawan, tak boleh menerbitkan karya
mereka di mana saja. Di masa ”demokrasi terpimpin”, yang sudah
membredel sejumlah surat kabar dan majalah dan memenjara-
kan sejumlah orang, misalnya Mochtar Lubis, larangan itu punya
efek yang tak main-main.
Jika hari ini saya menulis tentang dokumen itu, bukan untuk
mengungkapkan lagi represi yang terjadi masa itu. Saya menulis-
nya karena sebentar lagi 17 Agustus.
Inilah tanggal ketika kita umumnya mengingat apa yang di-
harapkan dari kemerdekaan yang direbut dan republik yang di
dirikan. Hampir tiap tahun, Agustus adalah bulan ketika kita de
ngar suara kekecewaan yang berulang-ulang seperti sebuah lita
ni: ”Indonesia merdeka tapi rakyat masih sengsara”, ”tak ada lagi
semangat bersama”, ”terpuruk” (kata ini paling sering disebut),
dan bahkan ”gagal”.
Kita jarang bertanya: tidakkah kita punya harapan yang ber-
lebihan dari sejarah, dan sebab itu berlebihan pula kecewa kepada
http://facebook.com/indonesiapustaka
zaman?
Saya ikut merumuskan ”Manifes Kebudayaan”. Dalam umur
22 tahun itu saya, ketika para mahasiswa dan lain-lain harus bela
jar Marxisme, saya menemukan kalimat Marx ini: ”Manusia
baru.”
Kekuasaan selalu terbatas. Hegemoni kebudayaan tak akan
bisa penuh. Ada gema pemikiran Gramsci, pemikir Marxis Italia
itu, dalam teks ”Manifes”: ia sebenarnya berbicara tentang kenis-
P
uasa: perut yang harus dibiarkan lapar, tenggorokan
yang menahan haus selama 12 jam, alat kelamin yang tak
tersentuh syahwat. Demikianlah yang jasmani dikenda-
likan: daging harus dituntun oleh roh. Kalau tidak: dosa.
Maka dari waktu ke waktu, seraya menolak yang jasmani, kita
dianjurkan hanya menerima yang ”rohani”. Sejak pukul 4 diniha
ri, masjid dan surau penuh suara orang menyebut Tuhan, meng
anjurkan ibadat, meneguhkan iman, menjalankan syariat.... Kita
dilengkapi dengan banyak penangkal: kita harus bisa menolak
gado-gado, soto, video porno.
Tapi bisakah daging diasingkan? Bisakah tubuh dilihat terpi
sah? Tampaknya ada yang luput dilihat di sini. Justru di bulan
Ramadan, yang jasmani diam-diam menyiapkan resistensi.
Mari datang ke pusat-pusat perbelanjaan mewah dan ang-
kringan sederhana di kaki lima. Kita akan lihat semarak pelbagai
penganan lezat yang tak lazim sehari-hari. Ramadan telah jadi se
buah paradoks: ketika orang diharuskan menahan nafsu,kreati
vitas menyiapkan hidangan justru meningkat; omzet perdagang
an makanan naik sampai 60%. Orang ramai berbelanja untuk
membuat meriah meja berbuka puasa dan sahur mereka.
Ramadan agaknya telah jadi sebuah periode ketika orang ber
usaha memperoleh kompensasi istimewa. Tampaknya kuat ang-
gapan bahwa pengekangan atas tubuh kita selama 30 hari itu
adalah sebuah deprivasi, sebuah perenggutan dari hidup yang
normal, dan kita, yang merasa harus menangungkan itu, meng-
http://facebook.com/indonesiapustaka
tuk kebutuhan tiap orang, namun tak akan cukup untuk keta-
makan tiap orang.
Puasa yang macam itu tentu saja tak akan diakhiri dengan ke-
menangan yang dirayakan dengan Idul Fitri yang pongah. Puasa
yang menampik keserakahan dan agresivitas tak akan meneriak-
kan kemenangan, terutama kemenangan diriku sebagai subyek
yang perkasa yang telah mengalahkan tubuh sendiri. Bahkan
dalam puasa yang seperti itu, ”aku”, seperti dikatakan Chairil
Anwar di pintu Tuhan, ”hilang bentuk, remuk”.
Tak berarti ”hilang bentuk, remuk” itu menunjukkan wajah
manusia yang tertindas dan jadi asing bagi dirinya sendiri.
Marx memang pernah menganggap, dalam agama (sebagai
bentuk alienasi), wujud manusia hilang: ”semakin banyak yang
dicurahkan manusia ke Tuhan, semakin sedikit yang ia sisakan
bagi dirinya sendiri...”. Tapi di situ Marx salah. Di abad ini yang
kita saksikan justru sebaliknya: semakin banyak yang dicurah-
kan manusia ke Tuhan, semakin menggelembung ia jadi subyek
yang penuh dan perkasa. Dan agresif.
Mungkin itu sebabnya mereka yang berpuasa juga tampak
seperti orang yang ingin berkuasa. Kecuali jika puasa membuat
kita sadar, kita tak pernah bisa utuh sendiri: aku selalu bersama
kekuranganku. Kita, roh yang juga daging, terbentuk oleh zat-
zat yang sama dengan zat-zat dunia. Kita yang merasakan lapar
dan haus adalah kita yang seperti makhluk umumnya: terpaut
pada ”yang-lain”, bukan cuma kesadaran kita. Kita terpaut pada
pencernaan, arus darah, trauma, dan nostalgia kita. Juga pada cu
aca, flora, fauna, benda-benda sekitar kita. Kita ada di bumi, di
bawah langit, di antara makhluk lain yang fana, di hadapan Tu-
http://facebook.com/indonesiapustaka
D
I sana-sini, dunia perlu orang majenun. Atau penyair.
Atau kedua-duanya.
T
AHUN 1815. Dari penjara Bagne de Toulon, setelah 19
tahun dikurung, terpidana dengan No. 24601 itu dibe-
baskan. Tak punya lagi tempat kembali, ia berjalan tanpa
arah, lama dan sendirian.
Ia sebenarnya belum bebas. Hukum mengharuskannya mem-
bawa paspor kuning, tanda ia bekas orang rantai. Tapi sebab itu
ia tak diterima menginap di losmen mana pun. Maka putus asa,
bromocorah itu hanya bisa membaringkan tubuhnya di tepi ja-
lan. Dengan rasa marah dan pahit.
Tapi ini bukan kisah seorang yang marah dan pahit. Les Mi
sérables yang termasyhur itu oleh Victor Hugo dirangkai jadi ceri-
ta kehidupan Jean Valjean, si No. 24601 yang berubah.
Kita ingat bagaimana kejadiannya: tiba di Digne, kota kecil di
Prancis Selatan, Valjean ditampung menginap oleh Uskup My
riel. Ia diberi makan malam dan tempat tidur—dan dibiarkan
bersendiri.
Malam itu, tanpa ada orang yang mengawasinya, Valjean
mendapatkan kesempatan. Ia ambil pisau, sendok, garpu, dan
alat-alat perak buat jamuan yang ada di kamar itu. Ia pun melari-
kan diri.
Tapi tak bisa jauh. Polisi menggeledah bekas terpidana yang
berjalan mencurigakan di dinihari itu. Pada bromocorah itu me
reka temukan benda-benda milik keuskupan.
Valjean pun dibawa menghadap Uskup Myriel. Saya bayang-
kan bagaimana ketakutan dan putus asanya Valjean. Ia tahu, kini
http://facebook.com/indonesiapustaka
S
ebuah klise: What is in a name?
Sejak lakon Romeo and Juliet dipentaskan di tahun 1597,
kata-kata itu diulang dalam berjuta-juta percakapan. Tiap
kali orang kerepotan karena soal nama, dikutiplah Juliet (atau
persisnya Shakespeare) di adegan itu: nama bukan soal penting.
Juliet Capulet dan Romeo Montague bisa saling mencintai, mes
kipun Capulet dan Montague lain bermusuhan.
tak akan sakit-sakitan lagi. Malah dengan nama baru itu ia di
harapkan akan seperti Karna, tokoh cerita wayang itu. Menurut
penuturan Bung Karno sendiri, ayahnya menganggap Karna se
orang patriot; semangatnya mudah-mudahan akan diteruskan si
anak.
Keputusan sang ayah menunjukkan bahwa nama bukan seka-
dar tempelan. Nama punya daya performatif.
Ya, Juliet salah.
Bung Karno, seperti Pak Sukemi, ayahnya, juga tak semba-
rangan memberi nama anaknya. Yang laki-laki: ”Guntur”, ”Gu-
ruh”, Taufan”—kata-kata yang punya daya sugestif tentang ke-
dahsyatan alam. Yang perempuan: ”Mega” dan ”Sukma”. Kedua
kata itu menimbulkan asosiasi kepada apa yang halus dan lembut.
Tentu saja selain makna dan daya asosiatif, faktor bunyi pen
ting:”Guntur” dan ”guruh” dipilih karena lebih bagus terdengar
ketimbang ”gledek”. Bung Karno & segenap bangsa Indonesia
akan malu seandainya di Istana Merdeka ada seorang anak berna-
ma ”Gledek Sukarnoputra”.
Tapi tampak, nama seorang anak lebih mencerminkan hasrat
(dan sifat) orang tua ketimbang nasib si anak. ”Guntur”, ”guruh”,
”taufan”, ”mega” menunjukkan kesukaan Bung Karno akan hal-
halyang sublim, yang tak statis, dan terkait dengan langit.
Pelukis Djoko Pekik—seorang perupa Lekra yang datang da
ri sebuah desa Jawa Tengah yang miskin—melihat ke arah lain.
Nama anak + cucunya dipinjamnya dari benda sehari-hari yang
tak dipedulikan orang, mungkin bahkan disisihkan: Pakuril
(”paku rel kereta api”), Lugut (”miang pada bambu”), Drejeg La
lang(”umbi alang-alang”). Sastrawan Bur Rasuanto lain lagi. Sa-
dar posisinya sebagai sastrawan, untuk anaknya ia memodulasi
nama dari bentuk-bentuk sastra: Legendariya dan Mitologenta.
Anak-anak memang tak memilih namanya sendiri. Mungkin
ini bagian dari kolonisasi orang tua. Maka tak jarang ketika jadi
http://facebook.com/indonesiapustaka
ga; ”Sandioriva” itu ”Qori”. Bukan wakil sebuah puak. Dari na
ma itu, tak tampak dari ”suku” apa atau dari agama apa dia. Ia
wakil Indonesia.
Sebagaimana Rima Melati. Bung Karno telah meneladani ke-
Indonesia-an dengan memilih nama itu, sebagaimana ia membe
ri nama putrinya ”Megawati”, bukan ”Waljinah”. Bung Karno
menghindari nama yang tipikal Jawa (atau kelompok suku dan
etnis lain), dan dengan demikian menunjukkan: tanah air ini bu-
kan hanya multi-kultural, melainkan ”inter-kultural”.
Jika di Malaysia atau Singapura ada garis yang jelas antara
”Harun” dan ”Stephen”, di Indonesia kita bisa bersua dengan
”Stephen Harun” dalam diri satu orang. Jika di Semenanjung
Muhammad Ali pasti orang yang masuk dalam kategori Melayu,
di sini belum tentu. Tiga puluh tahun yang lalu seorang teman
punya kenalan bernama Muhammad Islam. Agamanya Kristen.
Juliet salah, tapi ada bagusnya dia bertanya. What is in a name?
Sebab ternyata banyak cerita dalam sepotong nama. Terutama
jika kita tak anggap nama sebagai tanda identitas yang mengung-
kung, melainkan sebagai tanda bahwa manusia adalah pribadi-
pribadi. Merdeka. Bukan sebuah eksemplar dari sebuah himpun
an. Bukan sebuah angka.
B
ung Karno mungkin kesepian. Di Ende, diasingkan
oleh pemerintah kolonial sejak Februari 1934, hanya sa-
tu-dua orang yang berani mengunjunginya. Tentu saja
tak ada rapat umum tempat ia bisa berpidato, dielu-elukan orang
ramai, didengarkan dengan kagum.
Seorang penulis biografi politiknya, Bernard Dahm, menye-
butkan, dalam kesendirian itu Bung Karno ”berpaling mencari
lindungan ke dalam Islam”. Di Ende, Bung Karno memang ba
nyakbicara soal Islam, tapi saya tak yakin tepatkah kata ”lindung
an” (dalam versi Inggris ”refuge”) di situ.
Sejak Desember tahun itu, ia memulai serangkaian kores
pondensi dengan T.A. Hassan, tokoh ”Persatuan Islam” yang
beralamat di Bandung. Surat-surat itu, kemudian terkenal seba
gai ”Surat-Surat Islam dari Endeh”, terkumpul dalam Dibawah
Bendera Revolusi, sebuah buku monumental yang menghimpun
hampir semua risalah yang ditulis Bung Karno di masa pergerak
an nasional. Mula-mula ia meminta kepada ”saudara-saudara” di
Bandung itu agar dikirimi buku-buku. Kemudian surat-surat itu
jadi sederet diskusi tentang keadaan umat Islam di Indonesia dan
dunia.
Saya belum pernah membaca bagaimana T.A. Hassan mem-
balas. Tapi dari ke-12 surat Bung Karno, tak tampak ada rasa gen-
tar untuk mengecam keadaan Islam waktu itu dengan kata-kata
tajam. Artinya, ia tak mencari ”lindungan” dalam Islam. Apalagi
Islam yang ia saksikan adalah Islam yang dirundung takhayul
http://facebook.com/indonesiapustaka
... dupa dan korma dan jubah dan celak-mata! Siapa yang mata
nya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa yang mata
nyadicelak dan jubahnya panjang dan menggenggam tasbih yang se
lalu berputar—dia, dialah yang kita namakan Islam.
kin ia tak akan didengar dengan rasa segan. Ada satu hal lain:
dalam kritiknya kepada keadaan dunia Islam ia meletakkan diri
sebagai orang-dalam: ia memakai kata ”kita”, bukan ”kalian”.
Tapi ada faktor yang lebih penting. Indonesia sedang berada
dalam kejutan perubahan-perubahan besar sejarah. Kolonialisme
memperkenalkan dunia modern yang tak terkalahkan. Tradisi
dan adat mulai digugat, modernitas melecut. Masyarakat lama
retak. Berdirinya Sarekat Islam (tahun 1912) adalah jawaban
atas keretakan itu. Organisasi ini meninggalkan Islam yang di
cemooh Bung Karno sebagai celak-kurma-jubah-dupa semata.
Lebih jelas lagi Muhammadiyah. Ia lahir dengan tekad menying
kirkan Islam dari ”takhayul”, dengan keberanian menghalalkan
orang Islam mengenakan pakaian Barat dan niat mendirikan se
kolah dan rumah sakit seperti dilakukan orang Kristen.
Maka ketika Bung Karno menyebut adanya dynamical laws
of progress, tak ada yang membantahnya. Menjelang pertengah-
an abad ke-20 itu, orang umumnya yakin kemajuan adalah ”hu-
kum” sejarah, juga buat umat Islam. ”Panta rei, kata Heraclitus—
segala hal mengalir, segala hal selalu berubah, segala hal memer-
lukan pembaharuan,” tulis Bung Karno dalam ”Me-’muda’-kan
Pengertian Islam”.
Tapi jika kemajuan tak bisa dielakkan, tak berarti umat Is
lamtak jadi subyek yang aktif menggerakkannya. Bung Karno,
seorang Marxis yang paham dialektika, akan menjawab bahwa
sejarah, juga kemajuan, tak hanya terjadi karena ia niscaya. Kema-
juan terjadi karena ada kesadaran manusia untuk bertindak.
Maka Bung Karno berkali-kali bicara perlunya umat Islam
menghidupkan ”Roh Islam yang berkobar-kobar”, ”api Islam
http://facebook.com/indonesiapustaka
”Roh Islam yang sejati”. Dengan kata lain, keduanya tak tersen-
tuh oleh sejarah yang bergerak, bebas dari panta rei. Di sini Bung
Karno melenceng dari pandangan Marxistisnya sendiri. Dalam
pandangan ini ”Roh Islam yang sejati” tak akan pernah ada. Yang
ada: tafsir orang, di suatu masa, di suatu tempat tentang apa yang
”sejati” dan yang bukan.
Dan tentang ”Roh”....
Barangkali kita tak perlu istilah yang melambung. ”Roh” itu
sebenarnya hal yang biasa saja: hasrat manusia untuk tak tengge
lam. ”Api” itu bukan datang dari luar sejarah, ”Roh” itu bukan ja
tuh dari langit. Keduanya terbit dari dalam pengalaman manusia
di atas bumi di dalam kekurangannya.
Itu sebabnya hasrat itu senantiasa ada. Bung Karno, yang ter-
kadang seakan-akan menyamakan ”Api” dan ”Roh” itu dengan
”rasio”, mengatakan bahwa ada sebuah masa—tak kurang dari
1.000 tahun—ketika sejarah Islam hanya terdiri atas ”abu” dan
”debu”. Itu adalah masa gelap yang panjang ketika ”akal menjadi
terkutuk” di ingatan umat.
Tapi benarkah semudah itu gelap menimpa?
Bung Karno termasuk orang yang berasumsi, kebekuan itu
bermula dengan berkuasanya pemikiran Abu’l Hasan al-Ash’ari.
Sejak berkembangnya Ash’arisme, dan itu berarti di abad ke-9,
”Islam bukan lagi satu agama yang boleh difikirkan secara merde-
ka, tetapi menjadi monopolinya kaum faqih dan tarikat.”
Di sini saya kira Bung Karno alpa. Ia tak menjelaskan ba
gaimana sebuah ”haluan” pemikiran dapat demikian berkuasa,
hingga ”akal, fikiran, rede, reason, dienyahkan”. Bung Karno—
seorang Marxis yang menafsirkan sejarah—seharusnya tak per-
http://facebook.com/indonesiapustaka
Pada mulanya adalah laku, ”Im Anfang war die Tat,” seperti ujar
Faust dalam karya Goethe.
Dalam laku, kesadaran lahir. Melalui laku, pengetahuan
tumbuh. Pengalamanlah yang menentukan tafsir manusia ten-
A
da seorang laki-laki yang merasa dirinya sebutir beras.
Bila ini kurang aneh, masih ada tambahannya: ia merasa
diri sebagai sebutir beras dan membayangkan ada seekor
ayam besar yang membuntutinya, untuk mematuknya.
Siang dan malam ia cemas dan curiga. Tiap kali ia mengunci
pintu dan jendelanya. Ia tak ingin tahu apa yang terjadi di jalan
di sebelah rumah. Ia menutup kupingnya bila ia dengar ayam me
ngaisdan berkotek.
Setelah berbulan-bulan ia merasakan itu, istrinya membawa-
nya ke seorang psikiater. Selama 10 minggu lelaki itu diterapi,
hingga akhirnya ia dapat diyakinkan bahwa ia memang bukan
sebutir beras.
Tapi tak semuanya beres. Sang psikiater bingung, sebab laki-
laki itu tetap saja ketakutan bahwa ia akan dipatuk si ayam besar.
”Kenapa masih ketakutan? Kan tuan sudah tahu, tuan bukan
beras?”
”Benar. Aku bukan beras. Tapi si ayam mungkin masih meng
anggap begitu.”
Ini cerita fiktif tentang paranoia—tapi lebih dari itu, ceri-
ta bagaimana orang percaya kepada hal yang paling aneh kare-
na ia memang mau percaya. Dunia di luar dirinya adalah dunia
yang dibentuk menurut kecemasannya. Informasi cuma penting
sepanjang cocok dengan kepercayaannya bahwa si ayam memang
ada.
Tentu, kepercayaan itu jadi teror bagi dirinya. Tapi dengan itu
http://facebook.com/indonesiapustaka
Hewan khayali itu satu bentuk yang lebih bisa ia ”pegang”, dan
itu menenteramkan. Ia gentar menghadapi gerak hidup yang tak
berbentuk, yang acak, yang inkonsisten. Ia takut menghadapi
khaos.
Dewasa ini kita berkali-kali menemukan sindrom beras &
ayam itu, terutama dalam diri orang-orang yang ”beriman”. Aga
ma tampaknya memberi peluang. Saya kira itu juga yang terjadi
pada Terry Jones, seorang pendeta dari gereja fundamentalis di
Gainesville, Florida, AS, yang berencana membakar Quran tiap
hari.
Meskipun ia menulis buku Islam is of the Devil, ia mengakui ia
tak tahu sedikit pun tentang hukum Islam. Bahkan, seperti ter-
dapat dalam rekaman yang transkripnya diperoleh CBS News, se
panjang umurnya yang 51 tahun itu ia tak pernah bertemu de-
ngan seorang muslim pun.
Baginya, informasi tak penting. Apalagi jika bertentangan de-
ngan apa yang diyakininya. Dan yang diyakininya adalah bahwa
hidup terdiri atas beras yang akan dipatuk dan ayam yang akan
mematuk beras. Si ayam, atau si Setan, ada di mana-mana. Dari
transkrip bertanggal 10 Agustus 2010:
T: Dan Anda percaya bahwa apa yang tak datang dari Tuhan
berarti datang dari Setan? Benarkah?
J: Yah, saya kira begitu. Tapi ya itu bergantung pada apa yang
Anda maksud. Saya tak percaya bahwa baseball itu berasal dari Se
tan hanya karena tak berasal dari Tuhan. Tapi, maksud saya, pada
dasarnya, umumnya, jika sesuatu tak datang dari Tuhan, itu dari
Setan. Benar.
http://facebook.com/indonesiapustaka
A
PA guna Tuhan? Kita mungkin tak pernah bertanya.
Kita mungkin takut bertanya. Tapi Tuhan dimanfaat-
kan manusia tiap hari: Ia jadi tumpuan untuk mendapat-
kan yang dihasratkan. Ia disebut Sang Maha Pemurah: Ia sumber
perkenan. Dengan perkenan-Nya si sakit dibuat sembuh, si zalim
jatuh, perkawinan selamat, bulu tangkis menang, dan bisnisber
untung. Pernah ada seorang pengusaha yang merayakan ulang
tahunnya dengan disertai seorang pendeta yang membacakan
”doa mencegah bangkrut”.
Mungkin hanya orang macam Meister Eckhart, mistikus Jer-
man yang hidup di abad ke-14 itu, yang bisa mengatakan: ”Ka-
laupun satu-satunya doa yang kamu bisa ucapkan adalah ’terima
kasih’, itu sudah akan cukup.”
Memang ada beda antara Tuhan seorang mistikus dan Tuhan
orang ramai. Bagi orang ramai, Tuhan itu bermanfaat. Kalaupun
bukan untuk jadi sang penolong, Ia jadi fondasi terakhir dari apa
yang mereka ketahui dan perbuat. Dunia tak kekal dan tak tung-
gal, bergerak acak dan tanpa kepastian. Tanah dan laut menyim
pan bekas gerakan yang tak semuanya tampak, bencana yang tak
bisa diprediksi. Mengalami itu, manusia akan jadi gila seandai
nya tak menemukan sesuatu yang stabil dan abadi. Dengan itu
yang acak dijelaskan, yang kacau pun ditata.
Maka Tuhan pun hadir dan disembah.
Tapi tak hanya karena itu. Tuhan tak hanya bermanfaat dalam
keadaan manusia goyah. Ada sesuatu dalam diri manusia yang
http://facebook.com/indonesiapustaka
dakan moral, kata Kant, bukanlah jadi sesuatu yang kita anggap
wajib karena itu perintah Tuhan. Tapi kita harus menganggapnya
sebagai titah Tuhan karena kita punya ”kewajiban batin” kepada
tindakan moral itu.
ramkan hati kita ketika tak ada poros bagi nilai-nilai yang ber
ubah dan berbeda.
Tapi begitukah kita bicara tentang Tuhan? Cukupkah Tuhan
hanya dimengerti sebagai Fondasi yang stabil dan statis, bukan
S
ebelum Sokrates dihukum mati dengan meminum ra-
cun, ia sudah dibayangkan hampir tewas. Dalam sebuah
lakon yang dipentaskan di tahun 423 sebelum Masehi,
Aristophanes mengkhayalkan Sokrates sebagai pendidik yang
dibenci orang: sekolahnya, yang disebut ”Toko Pikiran”, dibakar
ramai-ramai. Sokrates melarikan diri.
Aristophanes punya alasan untuk menulis komedi itu: ia me-
musuhi guru filsafat yang dikagumi para pemuda itu. Aristopha
nes seorang konservatif. Ia tak percaya kepada sikap skeptis yang
diajarkan pada filosof. Ia anggap diakuinya hak-hak politik indi
vidu akan memperlemah Negara. Ia curigai sosialisme sebagai
penghasut para budak. Dan ia menganggap agama sangat pen
tingbagi kehidupan bersama.
Dengan pandangan hidup yang seperti itu, baginya Sokrates
sebuah sumber kekacauan. Sokrates telah menyesatkan anak-
anak muda, hingga mereka doyan bertanya terus-menerus ten
tangapa saja, juga tentang dewa-dewa.
Dalam lakon yang ditulisnya itu, Mendung, Aristophanes
membuat sebuah satire yang tajam.
Syahdan, Pak Strepsiades datang ke Sokrates di sekolah ”Toko
Pikiran”. Dilihatnya tuan guru sedang berada dalam sebuah ke
ranjang yang tergantung-gantung dari loteng. Di bawahnya be-
berapa murid menungging dengan pantat mencuat ke langit dan
hidung menyentuh tanah. Ada yang menduga, dalam adegan itu
Aristophanes hendak menyindir Sokrates, seorang homoseksual,
http://facebook.com/indonesiapustaka
B
eberapa saat sebelum ia tewas, Karna tahu ia akan ka-
lah. Dan ia akan kalah dengan kesadaran yang pahit: ia
akhirnya memang bukan apa-apa. Ia merasa diri telah
bertempur dengan keberanian seorang pendekar perang, tapi
siapakah dia sebenarnya? Bukan seorang dari keluarga Kurawa
yang dibelanya. Bukan seorang kesatria seperti para pangeran di
pertempuran di Kurusetra itu. Ia hanya seorang yang, ketika ter-
pojok, tak bisa membaca lengkap mantra yang mungkin akan
menyelamatkannya dari panah Arjuna.
Saat terlalu sempit untuk memaki atau menangisi nasib. Tapi
ia ingat: mantra yang lengkap itu tak diberikan kepadanya oleh
gurunya, Rama Bargawa. Sang guru membatalkan memberinya
versi yang penuh, karena ia dianggap telah berdusta: ketika ia da
tang berguru, Karna tak mengaku ia datang dari kasta kesatria—
kasta yang bagi Rama Bargawa, yang berasal dari kaum brahma
na dan punya dendam khusus kepada para kesatria, harus dimus
nahkan.
”Tapi hamba memang bukan dari kasta itu,” Karna ingin
memprotes ketika sang guru membongkar ”kepalsuan” dirinya.
Tapi protes itu, seperti air matanya, harus ia tahan. Ia segera kem-
bali ke asrama, mengemasi pakaian dan busur serta panahnya,
lalu pergi seperti dikehendaki: seorang murid yang diusir.
Tidak, Rama Bargawa tak akan mempertimbangkannya kem
bali. Guru ini merasa tahu bagaimana dengan tepat meletakkan
orang lain. Baginya tak ada yang tak terduga: manusia selalu ada
http://facebook.com/indonesiapustaka
706
Catatan Pinggir 9
ASTERIX
T
IAP jagoan perlu ironi. Tiap kali seorang tokoh ditampil-
kan demikian perkasa, penting untuk ambil jarak. Jarak
untuk berpikir lagi, dengan sedikit lelucon. Jarak untuk
lebih arif.
Ironi membuka pintu ke kearifan itu. Ironi, kata Anatole
France, adalah la gaiet de la rflexion et la joie de la sagesse. Bersama
ironi kita bisa merenung kembali dengan hati ringan tentang hal
ihwal yang berlebihan—dan jadi sedikit bijaksana seraya riang.
Agaknya itulah yang membuat kita, pada usia di atas 40—
yang sudah menyaksikan sejumlah omong kosong di dunia—tak
berhenti menyukai komik Asterix. Kita hanya sesekali menengok
kembali Superman atau Batman yang kita gemari pada usia di
bawah 20.
Asterix diciptakan Ren Goscinny dan Albert Uderzo. Umur
komik ini lebih panjang ketimbang Goscinny sendiri, yang me-
ninggal pada 1977, setelah ulang tahunnya yang ke-51. Uderzo
meneruskan karya bersama itu. Cerita bergambar yang kocak itu
kini sudah mencapai sekitar 34 jilid, sejak pertama kali terbit di
majalah Pilote pada 29 Oktober 1959.
Sebagaimana tiap penggemarnya tahu, Asterix dikisahkan
tinggal di sebuah desa bernama Armorica di wilayah Gaul, atau
Gallia, atau Prancis kuno, sekitar tahun 50 sebelum Masehi. Di
masa itu, daerah yang luasnya meliputi peta Prancis modern itu
(plus Belgia, Luksemburg, dan Swiss) dikuasai imperium Roma
wi di bawah Julius Caesar. Goscinny menciptakan Desa Armori-
http://facebook.com/indonesiapustaka
Sosok patriot besar Gallia itu tinggi tegap. Rambutnya ikal me
manjang. Sebaliknya Asterix kontet, apalagi bila disandingkan
dengan sahabatnya yang gendut gempal, Obelix. Wajahnya tua,
tapi tanpa wibawa.
T
ak cuma menafsirkan kenyataan, tapi juga mengubah
nya....
Marx mengemukakan ini—meskipun tak persis begi-
tu—ketika ia berbicara tentang filsafat. Statemennya dapat juga
diterapkan untuk ideologi dan agenda politik. Tapi di sini saya
ingin mengemukakan hal yang sama untuk sesuatu yang lebih
bersahaja: produksi kesenian. Terutama teater.
Teater tak cuma sebuah tafsir atas kenyataan. Bekerja dalam
teater mengajarkan kepada saya bahwa pada mulanya memang
bukan teks—satu kesimpulan yang juga berlaku untuk hal-hal
lain dalam hidup. Ketika saya menulis libretto untuk Opera Tan
Malaka, saya menyusun sebuah teks yang agak rinci. Saya sudah
merancang bagaimana adegan diaktualisasikan dalam pentas,
unsur apa saja yang harus hadir di sana, bagaimana para pemeran
bergerak. Tapi dalam proses produksi, banyak hal berubah.
Pertama-tama perlu disebutkan, opera ini tak dimaksudkan
untuk jadi sebuah narasi biografis. Saya tak ingin berkisah ten-
tang riwayat orang yang pernah disebut sebagai ”Bapak Republik
Indonesia” ini bagian demi bagian. Saya asumsikan cerita perju
angannya bisa dibaca di tempat lain. Dengan sebuah libretto saya
ingin mengatakan sesuatu yang lain.
Dalam pertemuan awal Tony Prabowo menyebut yang dili
hatnya di Lincoln Center Festival tahun 2005: Shadowtime, se-
buah opera tentang pemikiran dan pengalaman Walter Benja-
min, yang diciptakan komponis Brian Ferneyhough dan libretis
http://facebook.com/indonesiapustaka
nyut terbuai oleh alur cerita. Tak ada alur cerita. Yang ada hanya
entakan-entakan untuk berpikir.
Sebuah opera tentang Tan Malaka tentunya cocok dengan en-
takan kontradiksi itu. Itulah yang kemudian terwujud. Di pen-
D
I Istana Bogor, patung perempuan di mana-mana. Te
lanjang. Tubuh dengan lekuk yang jelas. Badan dengan
proporsi yang rapi. Tampilan jangat yang kencang tapi
halus. Paras dengan raut yang tanpa cela....
Bung Karno telah merias kediaman resmi itu dengan selera
nya,selama ia tinggal di sana sebagai presiden pertama sekitar 10
tahun. Para penggantinya dengan satu dan lain cara masih meng-
hormatinya. Pajangan koleksi itu tak dihancurkan. Bahkan tam-
pak dirawat.
Tapi Bung Karno telah pergi lebih dari 40 tahun yang lalu. Za
man berubah, pemimpin berganti. Di masa yang kian konserva
tif kini, orang tetap menghormati tinggalan itu, tapi agaknya tak
mudah menerimanya. Oktober 2009 saya mengunjungi Istana
itu dengan beberapa sastrawan dalam dan luar negeri; para tamu
tertawa geli. Mereka lihat tiap patung itu ditutupi selembar kain
yang dibelitkan. Sensor atau bukan, efeknya justru membuat kar
ya-karya tiga dimensi itu—yang semula bertaut dengan ruang—
seakan-akan melepaskan diri dari latar belakang. Mereka lebih
hadir. Ketelanjangan itu justru menarik perhatian: penutup itu
mengalahkan dirinya sendiri.
Tapi juga keindahan bisa mengalahkan dirinya sendiri—jika
keindahan diartikan seperti yang tampak di deretan patung di
Istana Bogor itu. Bentuk-bentuk itu dimaksudkan sebagai karya
artistik. Tapi ketika yang artistik hanya berarti cantik, yang ”in-
dah” pun jadi sesuatu yang tunggal. Kecantikan, kerapian, dan
http://facebook.com/indonesiapustaka
indahan yang seperti itu. Pernah ada masa ketika seni rupa Indo-
nesia didominasi oleh kanvas-kanvas yang menyajikan gunung
yang biru, sawah yang menguning, sungai yang tenang, petani-
petani yang tenteram.
Awalnya bisa ditarik ke masa kolonial, ke awal abad ke-19.
Dalam Cultivated Tastes: Colonial Art, Nature and Landscape in
the Netherlands Indies (sebuah disertasi yang layak dibaca para pe
nelaah sejarah seni rupa Indonesia), Susie Protschky menyebut
nama seorang pelukis amatir, Abraham Salm (1801-1876), yang
hidup makmur dari perkebunan tembakau di Malang. Dialah
yang praktis mengedepankan lukisan panorama. Suku kata ”pan”
dalam kata itu (”pan” + ”horama”, kombinasi dua kata Yunani
yang berarti pandangan yang menangkap semua) menunjukkan
kehendak untuk mencapai satu totalitas dalam satu kanvas. Ada
hasrat penguasaan terhadap apa yang tampak di luar sana. Dan
dalam hal panorama Salm, penguasaan itu dikukuhkan oleh
gambar lanskap yang elok, damai, tertib, sejahtera. Bagi sang pe-
lukis, yang juga pemilik perkebunan, keindahan hanya punya
tempat bagi rust (ketertiban), dan tidak bagi onrust (kekacauan).
Kecenderungan panorama ini tak terbatas pada Salm. Dalam
kanvas, keindahan praktis diwakili karya Willem Bleckmann
(1853-1952), Leo Eland (1884-1952), Ernest Dezentjé (1885-
1972), Abdullah Suriosubroto (1878-1941), Mas Pirngadie (1865-
1936), dan Wakidi (1889-1980). Di sebuah masyarakat yang pa
saran seni bergerak terbatas di antara pejabat kolonial dan peng
usaha yang ingin ketenteraman, karya para pelukis itulah yang
dikenal di dinding dan di penerbitan masa itu.
Begitu dominan kecenderungan itu hingga ia tak berhenti di
http://facebook.com/indonesiapustaka
dullah.
Terhadap keindahan yang menampik onrust itulah sejak 1930-
an perupa S. Sudjojono berontak. Ia mencemooh panorama ala
Dezentjé sebagai lukisan ”Mooie Indie”, Hindia Molek. Dalam
buku yang baru saja terbit, Sang Ahli Gambar: Sketsa, Gambar
& Pemikiran S. Sudjojono oleh Aminudin T.H. Siregar, disebut-
kan bagaimana pelukis itu memandang kanvas Basuki Abdullah.
Lukisan Basuki, kata Sudjojono, cenderung mengutamakan ”ar
tistieke plekken”, lokasi dan tempat yang memang sudah bagus.
Yang demikian bukanlah ”Indonesia”. Sebab Indonesia, menurut
Sudjojono, berarti ”bersatu, bangun, bekerja, jatuh, berkorban,
dan berjuang terus-menerus”.
Sudjojono, tentu saja, bukan seorang penyusun teori yang si
ap. Cetusan pikirannya tak sistematis, sering tanpa argumen yang
kukuh. Tapi agaknya bisa diduga, ia menghendaki sebuah kanvas
yang tak cuma berisi panorama dan paras yang elok karenater
kendali. Kata-kata ”bangun, bekerja, jatuh, berkorban, berjuang”
mengarah ke pengertian sesuatu yang dinamis, terkadang sakit
dan tak menyenangkan, dan tak seluruhnya dapat dipastikan,
karena selamanya ada perubahan, ada perbedaan.
Kreativitas, yang menciptakan sesuatu yang esthetis, dengan
demikian mengandung sesuatu yang lebih dalam ketimbang ha
nya ”indah”, jika makna ”indah” cuma berarti picturesque. Da
lam sesuatu yang esthetis selamanya tersirat sesuatu yang-tak me-
nyenangkan, yang lain, yang beda, dan sebab itu bisa mengejut-
kan. Dalam apa yang esthetis bisa terdapat apa yang grotesque,
mungkin mengerikan, rusuh, ganjil, bahkan menjijikkan: dan
itulah sebabnya karya Picasso atau Frida Kahlo, karya Bacon atau
http://facebook.com/indonesiapustaka
Bosch, karya Affandi atau Masriadi, karya Edi Hara atau Heri
Dono—untuk menyebut beberapa saja di ruang sempit ini—ti-
dak saja memukau, tapi juga mengandung sesuatu yang ethis: ke
sediaan menampung apa yang tak lazim, yang diabaikan, bahkan
ditolak.
Itu sebabnya saya tak begitu berminat menikmati patung-pa-
tung molek di Istana Bogor. Diberi baju atau tidak.
M
bah Maridjan: sebuah pertanyaan. Ia tewas di tem-
patnya bertugas di Gunung Merapi, karena ia sejak la
ma menolak turun menghindar dari letusan yang telah
berkali-kali menelan korban itu. Kesetiaannya mengagumkan,
tapi apa arti tugas itu sebenarnya?
Ia, meninggal dalam usia 83, mungkin sebagai pelanjut dari
alam pikiran yang dikukuhkan Kerajaan Mataram sejak abad ke-
17. Ia pernah bercerita, Merapi adalah tempat terkuburnya Empu
Rama dan Permadi, dua pembuat keris yang ditimbuni Gunung
Jamurdipa karena telah mengalahkan dewa-dewa. Kedua orang
itu tak mati. Mereka hidup, menghuni gunung yang kemudian
disebut Merapi itu—yang jadi semacam keraton para arwah. Dan
ke sanalah Raja Mataram (Islam) pertama, Panembahan Senapati
(1575-1601), mengirim juru tamannya yang berubah jadi raksasa.
Si raksasa diangkat sebagai ”Patih Keraton Merapi”, dijulukiKiai
Sapujagat. Dengan itu, Panembahan Senapati, yang dikisahkan
mempersunting Ratu Laut Selatan, menunjukkan bahwa kuasa
nya juga membentang ke arah utara. Dan di situlah pelanjut Ke
rajaan Mataram, atau Yogyakarta sejak abad ke-19, mengangkat
orang untuk jadi kuncen Merapi.
Maridjan, yang biasa dipanggil ”Mbah”, sejak 1982 diangkat
Hamengku Buwono IX untuk tugas itu. Betapa penting kehor-
matan itu bagi si jelata yang lahir di Dukuh Kinahrejo di kaki
Merapi itu. Ia menyandang gelar kebangsawanan ”Raden”; nama
resminya Surakso Hargo.
http://facebook.com/indonesiapustaka
para pengusaha mencopoti jutaan meter kubik batu dan pasir da
ri tubuh Merapi. Juga dikatakan Sri Sultan enggan ikut dalam
upacara nyadran ke Kiai Sapujagat, ketika makanan, kembang,
kain, dan potongan rambut serta kuku raja dipersembahkan un-
tuk melestarikan hubungannya dengan Keraton Merapi.
Agaknya Maridjan tak mengerti, HB X ada di alam pikiran
yang berbeda. Sri Sultan, yang dalam National Geographic digam-
barkan mengisap lisong Davidoff dan suka setelan Armani, me
ngatakan: ”Sebuah bangsa yang besar tak dapat dibangun di atas
mithos yang pesimistis.”
Modernitas memang berangkat dengan optimisme. Ia berto-
lak dari keyakinan manusia bisa melepaskan diri dari alam seki-
tarnya. Dengan jarak itu, ia sanggup mengendalikan dunia. Fisi-
ka, geografi, ilmu kimia, dan juga teknologi bertumbuh terus da
ri kesanggupan menaklukkan bumi. Kesadaran modern meng
anggap alam sebagai materi yang mati. Tak ada peri menghuni
samudra, tak ada raksasa menjaga Merapi.
Di abad ke-18, di Jerman, penyair Schiller menyebut arus mo
dern ini sebagai die Entgötterung der Natur, ”lepasnya dewa-dewa
dari alam”.
Tapi tak hanya di Jerman di zaman Schiller dan Goethe tum-
buh kesadaran hilangnya sifat yang magis dari alam. Animisme,
yang menganggap benda-benda sekitar punya sukma, tergusur di
Yunani sejak Sokrates dan Plato. Sejak abad ke-5 sebelum Mase-
hi, rasionalitas disambut. Sokrates tak menyukai mereka yang
bekerja hanya berdasarkan ”naluri”. Plato tak menghendaki pe-
nyair yang memandang alam sebagai sesuatu yang senyawa de-
ngan manusia.
http://facebook.com/indonesiapustaka
D
ES Alwi adalah seonggok sejarah Indonesia dalam mi
niatur yang padat. Juga berwarna-warni. Jika kita lihat
lelaki ini duduk di bawah pohon ketapang berumur
100 tahun yang menaungi halaman hotelnya di Banda Neira, jika
kita ingat sosok yang tambun tinggi itu sudah ada di tempat itu
pada 1936 dan, sebagai anak kecil, melihat Hatta dan Sjahrir jadi
orang buangan yang turun dari kapal dengan paras pucat, kita bi
sa iri kepadanya: begitu banyak yang telah dilihatnya, begitu be
ragam pengalamannya, begitu pas ia di Pulau Maluku itu. Begitu
”Indonesia”.
Des Alwi seperti Banda Neira: elemen yang sering tak diingat,
tapi saksi penting dari riwayat Indonesia—dalam hal ini Indone-
sia sebagai sebuah perjalanan kemerdekaan. ”Di sini,” kata Rizal
Mallarangeng, yang telah dua kali ke Banda Neira dengan rasa
kagum kepada para perintis kemerdekaan yang dibuang ke pulau
itu, ”bermula apa yang kemudian menjadikan Indonesia.” Dia
benar: di sini berawal kolonialisme dan antitesisnya.
Kita bisa baca: di Banda-lah pada 1529 usaha kolonisasi Eropa
dipatahkan; di sini kontingen orang Portugis terus-menerus dise
rang hingga mereka batal membangun sebuah benteng. Hampir
seabad kemudian, pada 1609, ketika sepasukan Belanda menco-
ba memperkuat Benteng Nassau, para pemimpin Banda, disebut
”orang kaya”, membunuh laksamana asing itu dengan segenap
stafnya.
Banda mencatat konflik seperti itu sampai ke dalam abad ke-
http://facebook.com/indonesiapustaka
paling awal, seperti minyak bumi di zaman ini. Dan bersama per
dagangan, datang peradaban. Juga kebiadaban.
Sebelum orang Portugis masuk ke Maluku di abad ke-16, le-
tak Banda yang kaya rempah itu dirahasiakan para saudagar Arab
(atau ”Mur”) yang membawa barang berharga itu ke Eropa. Ke-
mudian penakluk dari Semenanjung Iberia masuk, kemudian
Belanda dan Inggris. Perjalanan jauh dan berbahaya, tapi mereka
selalu datang. Untuk laba yang 300 kali lipat dari jual-beli pala,
bahkan yang bengis siap dihadapi dan diberlakukan.
Di Banda Neira ada sebuah monumen kecil. Di Parigi Rante
itu ada sebuah sumur di sepetak halaman. Di sanalah, 8 Mei
1621, seregu samurai Jepang didatangkan Jan Pieterszoon Coen
(Gubernur Jenderal VOC yang terkenal itu) ke Neira. Mereka di
sewa untuk menyembelih 40 orang pemuka masyarakat Banda
yang menolak klaim Belanda dalam monopoli niaga pala. Tubuh
ke-40 orang itu dicincang, kepala mereka dipancangkan di deret
an tiang.
Di dinding di belakang perigi itu juga tertulis sederet nama
orang dari pelbagai penjuru Nusantara yang dibuang ke pulau
itu sejak abad ke-19: dari Pontianak, Yogya, Kutaraja, Cirebon,
Serang, Blitar. Di abad ke-20 ada nama yang kini lebih dikenal:
Cipto Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri, Hatta, Sjahrir.
Tak akan mengherankan bila dari kepulauan ini sejarah tam-
pak berbeda: kita tak akan mengatakan bahwa yang berlangsung
selama lebih dari 350 tahun di Nusantara adalah 350 tahun pen-
jajahan. Dari Banda kita jadi tahu: sejarah Nusantara adalah 500
tahun perlawanan. Dan Des Alwi, yang lahir 7 November 1927
di Neira dan sejak kecil mengenal Cipto, Hatta, dan Sjahrir—
http://facebook.com/indonesiapustaka
yang masa kecilnya dibentuk Hatta dan Sjahrir, yang masa mu-
danya ikut bertempur dan terluka di Surabaya 10 November
1945—adalah contoh bahwa Indonesia ”men-jadi” dengan riwa
yatseperti pantai pulau-pulau Banda: kekerasan bisa meletup, ta
pi inilah negeri yang tak merasa perlu memberi batas mutlak ten-
tang ”luar” dan ”asing”. Kecuali ketika yang ”luar” dan ”asing”
itu menegaskan diri dengan senjata dan pemaksaan. Dan kita
melawan.
M
enyembelih seorang anak yang tak berdosa, me-
nyembelih anak sendiri yang tak bersalah, sanggupkah
engkau? Ibrahim telah mendengar suara itu. Ia yakin
itu titah Tuhan, agar itulah yang harus dikerjakannya. Ia sedang
diuji, sedekat manakah dirinya dengan Tuhan yang harus ditaati.
Ia berangkat.
Seandainya saya yang diberi perintah, mungkin sekali saya
akan menolak. Dengan takzim dan takut. Saya akan katakan,
biarlah saya masuk neraka. Biarlah saya dikutuk, asal anak itu se
lamat. Belas kasih kepada bocah yang tak berdaya itu lebih meng-
guncang diri saya ketimbang kehendak Yang Maha Kuasa.
Tapi saya bukan Ibrahim. Saya bukan tokoh Kitab Suci. Da
lam Frygt og Baeven (Gentar dan Gementar) yang terbit tahun
1843, Kierkegaard, pemikir Denmark itu, menggambarkan iman
Ibrahim sebagai sesuatu yang mengatasi nilai ”kebaikan” yang
universal, yang berlaku buat siapa saja, di mana saja, kapansaja.
Ibrahim bukan siapa saja. Ia unik, tersendiri, bersendiri. Tindak
annya di Bukit Muria itu tak dapat dibenarkan oleh nilai dan hu
kum apa pun. Tindakan itu hanya bisa dilakukan karena Ibra-
him menaruh kepercayaan kepada ”kekuatan dari sesuatu yang
absurd”. Kierkegaard menyebutnya bukan tokoh tragis. Ibrahim
bukan seperti Kaisar Brutus yang dengan sedih harus membu
nuh anaknya demi hukum Romawi yang harus ditegakkannya—
hukum untuk siapa saja, di mana saja, kapan saja. Ibrahim, bagi
Kierkegaard, seorang ”kesatria iman”.
http://facebook.com/indonesiapustaka
sang malaikat yang lembut: biji matanya yang hitam itu tampak
sebagai bagian dari senyum yang belum merekah.
Menurut catatan, Rembrandt melukis adegan itu ketika ia,
dalam usia 29, baru saja kematian anaknya yang masih bayi.
Agaknya ini membuat lukisannya lebih peka kepada kepedihan
atas hilangnya nyawa seorang anak yang direnggutkan tanpa do
sa, tanpa sebab. Ibrahim-nya bukan yang sedang mematuhi titah
pertama Tuhan.
Rembrandt mungkin akan lebih suka membaca tafsir Emma
nuel Levinas. Filosof Prancis yang erat dengan tradisi Yahudi itu
mengkritik pengutaraan Kierkegaard tentang Ibrahim. Dalam
esainya, ”A propos Kierkegaard Vivant”, ia menulis, ”bahwa Abra-
ham mematuhi suara yang pertama—itu menakjubkan: bahwa ia
punya cukup jarak dengan kepatuhan itu hingga bisa mendengar
suara kedua-itu esensial”.
Sebab, di saat itulah ia melihat kembali wajah nyaris seorang
kurban. Wajah bocah. Wajah manusia. Wajah yang tak teperma-
nai. Yang tak bisa jadi obyek. Wajah yang menyebabkan perintah
Tuhan punya makna: ”Jangan engkau membunuh.”
Dan bagi Levinas, sebagaimana halnya bagi kita, tiap wajah
mengetuk diri kita. Kita pun memberi respons, bertanggung ja-
wab, tak mudah sewenang-wenang. Kita ingat Ibrahim di saat
itu. Ia jadi berarti karena itu.
730
Catatan Pinggir 9
ORAKEL
S
YAHDAN, dewa-dewa berhenti bicara, sekitar abad per-
tama tarikh Masehi. Yang saya maksud adalah dewa-de-
wa Yunani, yang berabad-abad sebelumnya dipercaya me-
nyampaikan pesannya kepada manusia melalui orakel. Mereka
seakan-akan telah pergi.
Apa sebabnya?
Pada mulanya, takjub, gentar, dan merasa tak berdaya melihat
angkasa yang tak terbatas, orang Yunani Kuno merunduk. Mere
ka menegakkan satu sesembahan, yakni langit itu sendiri. Seperti
di mana pun, dulu dan sekarang, mereka percaya bahwa alam se-
mesta—yang tak selamanya bisa ditebak itu—mengandung ke
kuatan supernatural yang bebas dari daya manusia.
Tapi kemudian yang disembah terasa begitu jauh, begitu ab
strak, begitu susah dipahami. Maka ia dibayangkan punya sosok
seperti manusia: mula-mula disebut Uranus, kemudian Zeus.
Dan dari sini mithologi berkembang. Politheisme lahir dengan
banyak sekali dewa. ”Nama-nama mereka semua,” kata Hesiodos,
penyair dan pencerita lisan yang hidup antara abad ke-8 dan ke-7
sebelum Masehi, ”akan merepotkan manusia yang fana bila harus
mengisahkannya.”
Di Olimpus, nun di puncak itu, sejumlah besar dewa pun
tinggal,hidup bersama, bersengketa, saling dendam, saling mem
bantu.Di bawah, di bumi, sang dewi Gaea. Di sampingnya, ribu
an dewa-dewi yang kurang penting menghuni dan menjaga air,
udara, laut, hutan, dan angin.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Tapi tetap saja: jarak antara dewa-dewa dan manusia tak mu-
dah terjembatani. Maka dibutuhkan orakel.
Orang-orang yang dianggap bisa jadi perantara dengan apa
yang diniatkan penghuni Olimpus hadir di mana-mana dalam
A
gama tak mati-mati. Tapi juga sekularisasi. Jangan-ja
ngan karena keduanya sebenarnya tak bertentangan.
Pernah ada suatu zaman ketika orang-orang pintar me
ngira bahwa agama (”candu bagi orang banyak”, kata Marx) akan
terhapus dari kehidupan.
Dari Eropa, suara seperti ini menyebut diri suara ”Pencerah-
an”. Mereka gambarkan manusia melangkah dari gelap ke cerah.
”Gelap” berarti kondisi ketika manusia berpikir dan memandang
dunia dalam bimbingan doktrin dan dogma. ”Cerah” berarti hi
langnya dua hal itu. Dengan ”Pencerahan”, manusia bebas dari
ketergantungan kepada kepercayaan yang mengikat pikirannya.
Kita ingat perumusan Kant yang termasyhur itu: ”Pencerahan”
berarti keluar dari Unmündigkeit, ketidakdewasaan atau keter-
gantungan kepada bimbingan orang lain—sebuah keadaan yang
sebenarnya dibikin si manusia sendiri, selbst verschuldeten.
Itu 1784. Itu zaman resah. Tahun 1789: Revolusi Prancis.
Orang-orang atheis menyingkirkan keyakinan dan lembaga
agama dari kehidupan publik. Revolusi ini punya dampak yang
mendalam dan panjang pada proses sekularisasi, sampai di Pran-
cis (dan Eropa) hari ini. Tapi tak berarti agama lenyap.
Mula-mula beberapa tokoh revolusi menegakkan ”pemujaan
kepada akal budi”, Culte de la Raison. Kultus ini tak mengenal
sesembahan. Dekristenisasi berlangsung, Tuhan dimakzulkan.
Tapi itu tak bertahan lama. Tahun 1794, ketika ia jadi pemimpin
Revolusi, Robespierre menghukum pancung para pelopor anti-
http://facebook.com/indonesiapustaka
itu berbunyi, ”Ne plus ultra” (Jangan pergi lebih dari sini). Di buku
Bacon, motonya, ”Multi pertransibunt, et augebitter scientia” (Ban-
yak yang akan melintas, dan ilmu pengetahuan akan bertambah).
Bacon meninggal di tahun 1626, karena kedinginan dalam
salju. Ilmu pengetahuan bertambah, juga keberanian manusia
untuk menembus batas. Tapi Bacon tak segera diikuti. Eropa, juga
Inggris, tak tertarik untuk ilmu. Benua itu terlibat dalam perang
antara Protestan dan Katolik yang tak henti-hentinya. Bacon per-
nah memperkirakan, konflik antar-iman ini akan menumbuh
kan atheisme. Tentu ia salah. Fanatisme malah berkobar. Meski-
pun, dan ini yang sering dilupakan, ketika itu sebenarnya Tuhan
telah direduksikan jadi pendukung kubu yang saling menghan-
curkan. Tuhan telah jadi bagian dari teknologi politik.
Maka tak benar apa yang dikatakan Marx: agama adalah can-
du bagi orang banyak. Candu menidurkan. Tapi di zaman itu,
juga di zaman kini, agama bagian dari energi untuk satu tujuan:
mengalahkan apa yang di luar itu: dunia yang dianggap tak beres;
manusia yang dianggap mencong; alam yang dianggap mubazir.
Dari dalamnya lahir manusia sang penakluk.
Ini tak hanya berlaku di dunia Kristen. Di dunia Islam, abad
ke-20, dari Maududi sampai dengan Qutb, citra manusia yang
sepenuhnya dibentuk oleh tujuan—dan sanggup mengubah du-
nia—membayang di mana-mana. Manusia yang di pusat semes-
ta itu juga pandangan yang dianut Iqbal. Setidaknya dalam sajak
ini, ketika ia berbicara dengan Tuhan:
738
Catatan Pinggir 9
PRIMORDIALISME
T
EMAN itu berkata dengan tersenyum mengasihani:
”Kamu orang pesisir. Kamu tak mengerti Jawa.” Waktu
itu, sekitar 20 tahun yang lalu, saya baru menonton se-
buah tarian dari Keraton X. Saya tak menyukainya.
Saya tak tahu benarkah itu karena saya ”tak mengerti Jawa”,
dan apakah ”tak mengerti Jawa” itu ada hubungannya dengan
fakta bahwa saya ”orang pesisir”.
Saya memang dilahirkan di sebuah kota di pantai utara Jawa.
Bagi para literati yang hidup di lingkungan Keraton Yogya dan
Surakarta, pesisir adalah wilayah (atau lebih tepat: perilaku, pi
lihan-pilihan artistik, dan bahasa) yang berbeda dari yang di-
dapatkan di sekitar keraton. ”Berbeda” dalam arti lebih ”kasar”,
lebih ”tak pantas”, dan ”kurang Jawa”.
Maka mungkin teman itu benar: saya ”tak mengerti Jawa”.
Tapi siapa yang mengerti Jawa? Apa itu ”Jawa”?
Kata itu, ”Jawa”, tentu saja sebuah nama, untuk menyebut se
suatu yang dikemukakan sebagai sebuah ”kesatuan”. Tapi apa
yang dianggap sebagai satu itu, sebuah himpunan, sebenarnya
taksatu. Sebab itu tiap nama mengukuhkan sesuatu yang sebe
narnya genting.
Jauh sebelum unsur-unsur yang kemudian jadi himpunan itu
terbentuk, yang ada adalah kemajemukan atau multiplisitas mur-
ni, yang tak berpola, tak konsisten. Kemajemukan yang seperti
ituibarat chaos yang tak akan terjangkau pikiran. Tapi manusia
berpikiran. Dan berpikir selamanya berangkat bersama proses
http://facebook.com/indonesiapustaka
742
Catatan Pinggir 9
DARI SUATU HARI YANG PENDEK
DI YOGYAKARTA
Y
ogyakarta, 17 Desember 1949.
Bung Karno mengenakan satu setel pakaian yang mung-
kin didesainnya sendiri. Kerah itu memanjang ke atas,
menutupi seluruh leher. Jas dengan sederet kancing itu tanpa dasi.
Di bahunya ada epaulet tipis seperti tanda pangkat seorang mar
sekal. Pici hitamnya tampak lebih tinggi dari biasa, satu kontras
yang necis buat seluruh kostum yang putih sampai warna sepatu.
Dengan sosoknya yang lebih jangkung dari orang-orang di se
kitarnya, dengan tubuh yang ramping dan paras tampan, ia sadar
ia bintang utama dalam prosesi itu.
Mereka berjalan melewati gerbang Keraton, menuju balairung
Sitihinggil. Di depan: Fatmawati Sukarno, cantik di bawah keru-
dungnya yang berenda, bersama Rahmi Hatta, rupawan dengan
rambutnya yang hitam pekat. Bung Karno di saf berikutnya ber-
jalan didampingi Mohammad Roem. Di belakangnya: Bung
Hatta,berjas warna terang.
Sejumlah opsir tentara, berdasi yang diselipkan ke baju sera
gamkhaki, berjalan menyusul. Kemudian tampak sebarisan pe
rempuan, memakai gaun, dengan wajah santai dan riang, mung-
kin pegawai kementerian atau aktivis politik.
Lalu acara resmi pun dimulai di ruang yang lazim dipakai un-
tuk menghadap raja-raja Yogya itu: upacara pengambilan sumpah
Presiden Republik Indonesia Serikat.
Sesudah pembacaan doa, Bung Karno berdiri maju, di balik
http://facebook.com/indonesiapustaka
satu dari sedikit undangan (yang diseleksi ketat) yang ikut makan
malam di Hotel Paulenz, Den Haag, di awal musim semi 1917—
sebuah pertemuan di mana nama ”Indonesia” untuk pertama ka-
linya dipakai oleh seorang peserta.
Dari pelbagai pertemuan dan kongres masa itu, sudah kelihat
an pandangan Van Mook: Indonesia adalah bhineka. Negeri ini
terbangun dari pelbagai etnisitas dan budaya, dan tentu saja tak
semuanya ”pribumi”. Ia sendiri, meskipun keturunan Belanda,
juga merasa bagian dari Indonesia. Tapi ia tentu berbeda dari
Douwes Dekker, yang juga bukan ”pribumi”. Bersama Soewardi
Soerjaningrat dan Tjipto Mangoenkoesoemo, Douwes Dekker
mendirikan Indische Partij (IP) dengan tujuan yang tegas: ”India
bebas dari Nederland”.
Bagi Van Mook, yang kemudian jadi Letnan Gubernur Jen-
deral Belanda di Indonesia, Indonesia tak boleh lepas.
Tapi nasibnya tak beruntung. Ia menjabat tugas itu sampai
1942. Jepang datang, Van Mook tak bisa melawan. Ia mengungsi
ke Australia. Kemudian Jepang kalah Perang Pasifik dan Indone
sia menyatakan dirinya merdeka—satu hal yang tentu tak mudah
diterima oleh petinggi terakhir Hindia Belanda itu, atau siapa
punpemerintah yang bertakhta di Den Haag.
Namun dengan susah-payah, akhirnya Kerajaan Belanda sen
diri, juga Van Mook, sadar: kemerdekaan Indonesia tak bisa di
tolak. Tapi Van Mook, begitu ia kembali berkantor di Jakarta,
setelah pemerintahan Republik Indonesia menyingkir ke Yogya,
menyiapkan agendanya sendiri.
Pertengahan Juli 1946, ia menyelenggarakan sebuah konferen
si untuk mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT), di Kota
http://facebook.com/indonesiapustaka
750
Catatan Pinggir 9
Indeks
A
Abacha, Sani, 255
Abdullah, Basuki, 716
Abdullah, Taufik, 152, 463
Abendanon, J.H., 613, 614
Abubakar, Dahaltu, 256
Adam, nabi, 121
Adams, Cindy, 631
Adams, Henry, 368, 369
Adinegoro, Kromodjojo, 535
Adorno, 91, 467
Adrianus VI, paus, 497
Aeschylus, 501
Affandi, 717
Agamben, 68, 69, 231, 312, 313, 487
Agamemnon, 395, 397, 398, 501
Agung, Anak Agung Gde, 746
Agung, sultan, 348
Agustin, Ucu, 302, 303
Ahmad, Maulana, 660
Ahmad, Mirza Ghulam, 660, 661
Ahmed, 294
Aiken, Conrad, 173
Al Gore, 88, 95
Al Masih, 135
http://facebook.com/indonesiapustaka
Banquo, 387-389
Bargawa, Rama, 703, 704
Barroso, Ary, 439
Basudewa, raja, 72
Etheridge, Melissa, 95
F
Fairouz, 544
Fennimore Cooper, James, 602
Ferneyhough, Brian, 711
Finch, Atticus, 555, 556
Fitzroy Godber, Peter, 485, 486
Foster, E.M., 290
Foster, Stephen, 281
Foucault, Michel, 36, 37, 467
Fouda, Farag, 141-144
France, Anatole, 706
Freud, Sigmund , 178, 276, 610, 696
Friedman, Milton, 260, 363
Fukuyama, Francis, 291
G
Gaea, dewi, 731
Galsworthy, John, 543
Gandhi, Mahatma, 184, 199, 543
Gandring, empu, 501
Gautama, Siddharta, 621, 623
Geert, Clifford, 426
Gekko, 261
Georges, baron, 193
Gerung, Rocky, 380
Gesel, Silvio, 101
Ghata, Yasmine, 165, 166
Ghazali, Abd. Moqsith, 351
http://facebook.com/indonesiapustaka
Giacometti, 429
Gibbons, Dave, 509
Gilliam, Terry, 438, 439
Ginanjar, Ging, 376
Hasan, 648-650
Hašek, Jaroslav, 55-57
Hassan, T.A., 661, 685
Hatta, Mohammad (Bung Hatta), 26, 129, 355,356,359,430,447
Huber, Wolfgang, 5
Hughes, George, 283
Hugo, Victor, 294, 349, 675
Huis, Erasmus, 497-499
Huizinga, 497
Husen, Ida Sundari, 166
Hussein, Saddam, 628
Hutten, Ulrich von, 498
Hythloday, Raphael, 30
I
Ibnu Saud, raja, 690
Ibrahim, nabi, 99, 101, 727-729
Iesus, Dominus, 5
Ilyas, Karni, 338
Inandiak, Elizabeth D., 349
Iqbal, Mohammad, 106, 107
Iskan, Dahlan, 338
Ismail, Usmar, 473
Ismaya, Badri, 327-330
Ithaca, raja, 395
J
Jackson, Jesse, 137
Jackson, Mahalia, 139
Jassin, H.B., 171
Jati, Hidayat, 682
Jati, Parang, 352
Jati, Waluyo, 377
Joad, Tom, 292
Johannes, Hubertus, 744
Jones, Terry, 692, 693
Jorge, 545
Josef Švejk, 55
http://facebook.com/indonesiapustaka
Jung, 100
K
Kabayan, 276
Kafka, 232, 489, 491, 523
Kahlo, Frida, 717
Kant, Immanuel, 298, 321, 541, 542, 577, 695-697, 736
Kardinah, 173, 174
Karna, 704
Kartalegawa, raden Soeria, 747
Kartini, 173-175, 613-615
Kemal, Mustafa, 31-34
Kerry, John, 248
Keynes, 527
Keys, Alicia, 95
Khan, Liaquat Ali, 105
Khomeini, ayatullah, 569
Kierkegaard, 298, 728
Kim Il-sung, 636
Kim Jong-il, 636
King, Alexander, 199
Kinross, 32
Klee, Paul, 132
Kreon, raja, 506
Kresna, 71, 72, 431
Krugman, Paul, 364
Kumbakarna, 276
Kundera, Milan, 422
Kunt, Rikkat, 165-167
http://facebook.com/indonesiapustaka
L
Lacan, Jacques, 559, 598
Laclau, Ernesto, 49, 85, 478, 665
Laherrere, 199
Lal, Vijay, 295
Langie, G.S.S.J. Ratu, 479
Latuharhary, Johannes, 747
Laura Stoler, Ann, 210
Lazaro, 11
Lee, Harper, 555
Lefort, Claude, 23, 24, 29
Leibnitz, 115, 116
Leksmana, 92
Lelono, Heru, 251
Lenin, 547
Lennox, Annie, 95
Leonard, 290
Lesmana, Jack, 518
Levinas, 729
Levy, Leon, 273
Lewis, Sinclair, 197
Lietaer, Bernard, 100, 101
Locke, John, 581
Logan, James, 477
Lorca, Federico Garcia, 87, 450
Loren, Sophia, 673
Louis XVI, raja, 651
Lowell, Amy, 264
http://facebook.com/indonesiapustaka
Marx, Karl, 73, 211, 244, 261, 369, 406, 408, 519, 526, 536, 549,
561-563, 575, 587, 601, 606, 607, 644, 645, 649, 663, 664, 669,
735, 737
Maselli, Domenico, 5
Masriadi, 717
Mauss, Marcel, 99
May, Karl, 602
Maya, Umar, 410
Maycomb, 555, 556
Mayella Ewell, 555, 556
Maynard Keynes, John, 229, 287-291, 392
McCain, John, 230, 248
Megawati, 227, 684
Mehta, 295
Melati, Rima, 518, 681, 684
Messiah, 468
Methwold, William, 294
Michelangelo, 134, 135
Mihardja, Achdiat K., 647
Millbank, John, 590
Minogue, Kyle, 95
Miskin, haji, 462, 463
Moeljanto, D.S., 451
Mohamad, Goenawan, 335
Montague, Romeo, 315, 316, 679
Moore, Alan, 509
More, Thomas, 27
Morrison, Toni, 281
http://facebook.com/indonesiapustaka
Mugianto, 377
Muhammad III, 28
Muhammad SAW, nabi, 162, 351
Muljam, Ibnu, 143
Mulyasari, Prita, 413, 527
Mundardjito, 535
Munir, 413
Murad III, 28
Murad IV, 28
Murtaza, 105
Musa, nabi, 134, 351
Musawa, Harun, 337, 338
Myriel, uskup, 675-678
N
Nakula, 469, 470
Napoleon III, 708
Nawi, Ezra, 184
Necker, Jacques , 652
Neumann, Louisa Margaretha, 210
Niebuhr, Reinhold, 413
Niel, Robert van, 186
Nietzsche, 263, 357-359, 470, 733
Nilovna, Pelagedia, 177
Nitisastro, Widjojo, 198
Njono, 681
Njoto, 681
Nolde, Emil, 135
Nova, 301-303
http://facebook.com/indonesiapustaka
Schumacher, 454
Segar, E.C., 708
Semar, 329
Sen, Amartya, 364, 365
Sengkuni, 471
Sforza, Ludovico, 135
Shakarov, Andrei, 252
Shakespeare, William, 275, 297-299, 387, 529, 531, 649, 679
Shanawaz, 105
Shapiro, Carl, 368-370
Sharon, Ariel, 240, 241, 628
Shihab, Rizieq, 201
Shulman, David, 183
Silado, Remy, 680
Simanjuntak, Cornel, 111
Simbolon, Parakitri Tahi, 744
Sinai, Amina, 294
Siompo, Jacko, 91
Siregar, Aminudin T.H., 717
Siregar, Merari, 189
Situmorang, Sitor, 64-66
Sjahrir, 25, 235-238, 355-360, 475, 493,494, 614, 723-725
Slamet, 116-119
Sloterdijk, Peter, 223
Smith, Adam, 101, 288, 289, 364
Sokrates, 421, 422, 699, 701, 720
Soe Hok Gie, 212, 214, 548
Soedjatmoko, 199, 453, 454, 474, 475
http://facebook.com/indonesiapustaka
Soeharto, 25, 75, 117, 119, 129, 153, 154, 191, 340, 375-377, 381,
385
Sondheim, Stephen, 275
Sophocles, 502
Sunil, 295
Suriosubroto, Abdullah, 716
Suryaningrat, Suwardi, (Ki Hajar Dewantara) 83, 187, 188, 210,
632, 745
Trotsky, 236
Turgenev, Ivan, 604
Turtle, Archibald ”Harry”, 439
Twain, Mark, 368
U
U Po Kyin, 59-61
Uddawa, 74
Uderzo, Albert, 707, 709
Uranus, 731
Usamah bin Ladin, 335, 628
Usinara, raja, 539, 540
Usman bin Affan, 142, 143
Usmani, khilafah, 33
Utami, Ayu, 353, 683
Utari, 631
Utopus, raja, 27, 29
V
Valjean, Jean, 675-678
Van der Veur, Paul W., 210, 211
Van Mook, 744-748
Veidt, Adrian, 511
Veraswami, 61
Vicente, frater, 305, 306
Vinci, Leonardo da, 133, 135
Voldemort, lord, 368
Voltaire, 652
W
Wahid, Abdurrahman (Gus Dur), 227, 543-545
Waikiki, I Made, 681
Wakidi, 716
Waljinah, 684
Wanusi, Choki Sapta, 682
http://facebook.com/indonesiapustaka
Ward, Barbara, 89
Wasserman, 672
Watchmen, 509, 510
Weber, Max, 453, 490, 615, 721
Zubaidah, 31, 32
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir, esai pendeknya tiap minggu untuk majalah Tempo, di antara
nya terbit dalam terjemahan bahasa Inggris oleh Jennifer Lindsay, dalam Sidelines
(1994) dan Conversations with Difference (2002). Kritiknya diwarnai keyakinan Goe
nawan bahwa tak pernah ada yang final dalam manusia. Kritik yang, meminjam
satu bait dalam sajaknya, ”dengan raung yang tak terserap karang”.
ii Catatan Pinggir 6