Anda di halaman 1dari 800

Goenawan Mohamad 9

http://facebook.com/indonesiapustaka

Pusat Data
Catatan & analisa
Pinggir 6 iii
TEMPO
9
Kumpulan tulisan

GOENAWAN MOHAMAD
di majalah Tempo, Juli 2007-Desember 2010
http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 9 i
http://facebook.com/indonesiapustaka

ii
Catatan Pinggir 9
GOENAWAN MOHAMAD 9
http://facebook.com/indonesiapustaka

PUSAT DATA & ANALISA TEMPO

Catatan Pinggir 9 iii


Catatan Pinggir 9
© Goenawan Mohamad

Kumpulan Catatan Pinggir di majalah Tempo, Juli 2007 - Desember 2010

Kata pengantar: F. Budi Hardiman


Editor bahasa: Dewi Kartika Teguh W., H. Sapto Nugroho, Uu Suhardi
Korektor dan Indeks: Ade Subrata, Danni Muhadiansyah, Dina Andriani,
Driyandono Adi
Kulit muka, tata letak, dan ilustrasi: Edi RM
Foto pengarang: Dwianto Wibowo

Cetakan Pertama, 2011

MOHAMAD, Goenawan
Catatan Pinggir 9
Pusat Data dan Analisa Tempo, 2011
xxii + 776 hlm.; 14.5 x 21 cm
ISBN 978-602-9065-38-4
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dicetak oleh Percetakan PT Temprint, Jakarta


Isi di luar tanggung jawab Percetakan

iv Catatan Pinggir 9
Daftar Isi

xi Pengantar

1 Gubernur
5 Mereka
9 Murtad
13 Atheis (1)
17 Bergman
21 Ada Revolusi di Bulan Agustus 1945
27 Formula
31 Turki
35 Ong
39 11/9
43 Puasa
47 Gestapu
51 Myanmar
55 Švejk
59 Po Kyin
63 Pulang
67 Sepatu Tua
71 Kresna
75 Macet
79 Bendera
83 Bolong
87 Hijau
91 Minoritas
http://facebook.com/indonesiapustaka

95 Rakus (1)
99 Langka

Catatan Pinggir 9 v
2008
105 Bhutto
109 Cermin
113 Bento
117 Slamet
121 Sensor
125 Kayon
129 Puing
133 Da Vinci
137 Obama
141 Fouda
145 Dering Itu
149 Melayu
153 Harmoko
157 Negeri Asal
161 Fitna
165 Kaligrafi
169 Hoppla!
173 Ini Pagi, Kata Kartini
177 Mak
181 Ta’ayush
185 B.O.
189 Aladin
193 Jalan
197 BBM
201 Indonesia (1)
205 Gua
209 DD
http://facebook.com/indonesiapustaka

213 Mikropolitik
217 La Police
221 Gerai
225 Api, Laut

vi Catatan Pinggir 9
229 El Cambio
233 Tan Malaka, Sejak Agustus Itu
239 Tahanan
243 Bintang
247 Perang
251 Mukjizat
255 Zilot
259 Rakus (2)
263 Ulysses
267 ”In the Wee Small Hours”
271 Pleonoxia
275 Tawa
279 Kaki Langit
281 Obama, 2008
287 Di Zaman yang Meleset
293 Mumbai
297 Fortinbras
301 Pelacur
305 Pizarro
2009
311 Transformasi
315 Diburu
319 Sisiphus
323 Pohon
327 Badri
331 Potret
335 Y.D. (1944-2009)
343 Darwin
http://facebook.com/indonesiapustaka

347 Cebolang
351 Mono
355 Sjahrir di Pantai
363 Bukan-Pasar

Catatan Pinggir 9 vii


367 Tiga Fantasi
371 Karnivalesk
375 Herman
379 Politik-P
383 Estaba la Madre
387 Tiga Nenek Sihir
391 Neo-Liberal
395 Thersites
399 Untuk Boediono: Sebuah Titipan
dari Sebuah Gedung Bersejarah
405 Blangkon
409 Bukan-Jawa
413 Memihak
417 Berbagi
421 Debat
425 Kamar
429 Monumen
433 Tentang Rakyat
437 Teror Itu
441 Politesse
445 Si Buntung
449 Rendra, (1935-...)
457 Indonesia (2)
461 Padri
465 Modernitas
469 Yudistira
473 Krisis
477 Nama Itu
http://facebook.com/indonesiapustaka

481 Perajam
485 KPK
489 Kastil
493 Des

viii Catatan Pinggir 9


497 Erasmus
501 Eumenides
505 Cicak & Buaya
509 Watchmen
513 Cesare
517 Melodrama
521 Pintu
525 Recehan
529 Macbeth
2010
535 Trowulan
539 Usinara
543 Gus Dur
547 Januari
551 Kata
555 Atticus
557 Cap
561 Benda-benda
565 Émile
569 Sang Militan
573 Percakapan
577 Sopir
581 Persis
585 Di Yerusalem
589 Paskah
593 San-Dek
597 Diri
601 Buku
http://facebook.com/indonesiapustaka

605 Proletariat
609 Cul-de-Sac
613 Gelap
617 Tertib

Catatan Pinggir 9 ix
621 Waiçak
625 Untuk Rachel Corrie
631 Juni
635 Pemimpin
639 Rumah
643 Repetisi
647 Atheis (2)
651 14 Juli 1789
655 Anak
659 Ahmadiyah
663 Manifes
667 Daging
671 Majenun
675 Ampun
679 Nama, atau Mengapa Juliet Salah
685 ”Roh”, ”Api”, Kata Bung Karno
691 Si Ayam
695 Guna
699 Baik
703 Yang-Lain
707 Asterix
711 Teater
715 Kanvas
719 Maridjan
723 Des
727 Ibrahim
731 Orakel
735 Pencerahan
http://facebook.com/indonesiapustaka

739 Primordialisme
743 Dari Suatu Hari yang Pendek di Yogyakarta

751 Indeks

x Catatan Pinggir 9
Coretan Sang Pelintas Batas

F. Budi Hardiman

E sai-esai yang secara rutin dimuat dalam majalah Tempo


dengan nama Catatan Pinggir ini salah satu karya tulis yang
paling menarik di negeri ini. Majalah itu memuat berita, yaitu
ber­bicara dari perspektif pengamat, dan memang demikianlah
be­rita sebagai berita sedapat mungkin berbicara dari perspektif
peng­amat. Catatan Pinggir merupakan satu-satunya bagian dari
majalah itu yang dengan leluasa beralih-alih perspektif, kadang
dari perspektif pengamat dan kadang dari perspektif pelaku, ka­
dang si ”saya” muncul dan kadang si ”dia”. Berita sebagai berita se­
dapat mungkin jauh dari mitos, alegori, metafor, dan mendekati­
faktum, tetapi Catatan Pinggir membangun sebuah jembatan ra-
hasia antara faktum dan mitos, antara deskripsi dan alegori. Itu-
lah cara bagaimana esai-esai itu menjadi obat kepicikan. Seusai
membacanya, pengetahuan kita tentang banyak hal—tokoh, ka-
sus, sejarah, dst.—bertambah seiring dengan bertambah kayanya
cara lihat yang ditawarkannya.
Penulisnya sudah menuturkan puluhan cerita yang dibaca, di-
ingat, dan digalinya dari berbagai tradisi, entah itu filsafat dari
masa silam yang sudah sayup-sayup di telinga, sisi sejarah dinasti
Barat atau Timur yang dikenal atau kerap diabaikan dalam histo-
riografi, narasi kekuasaan yang masih bising di telinga kita, atau
apa saja yang hendak dikomentari penulisnya. Tanpa canggung
ia pindah dari kitab suci agama yang satu ke kitab suci agama
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang lain untuk memberikan semacam ”pencerahan eksistensi­


al”­atas sebuah topik, seolah untuk menghindarkan kita menja­
di­homo unius libri1 yang picik memandang dunia. Argumentasi
para filsuf Barat pun dimanfaatkan secara piawai, bahkan sam-

Catatan Pinggir 9 xi
CORETAN SANG PELINTAS BATAS

pai pikiran sang filsuf sendiri menjadi jelas. Suatu saat faktum
di­beberkan. Di saat lain film cerita, mitos, alegori, dan metafor
di­kisahkan. Akan tetapi, setelah membaca bagian-bagian berita
da­ri majalah itu, pembaca akan segera mengerti bahwa penulis ti-
dak membiarkan jurang antara fiksi dan realitas tetap menganga.
Mitos yang dikisahkannya itu kadang terhubung dengan faktum
yang diberitakan di negeri ini. Mitos dan metafor seolah dibiar-
kan penulisnya untuk berbicara tentang fakta yang diberitakan,
agar pembaca dapat menemukan bagaimana kebijaksanaan yang
mengendap di dalam fiksi itu mencerahi realitas yang diberita-
kan.
Kita tahu, penulisnya, Goenawan Mohamad, adalah seorang
war­tawan dan sekaligus penyair. Bahwa penyair menuturkan mi-
tos, narasi, alegori, atau metafor tidaklah mengherankan. Kita ju­
ga tidak heran bahwa wartawan melaporkan faktum. Kedua pro-
fesi tersebut mengenali batas-batas kawasan mereka masing-ma-
sing. Lalu, apa yang dapat dikatakan mengenai seorang penulis
yang menuturkan mitos dengan maksud mengomentari faktum
atau melaporkan faktum dengan membangun jembatan rahasia
ke kawasan mitos? Penulis Catatan Pinggir adalah seorang pe­lin­
tas­ batas atau seorang—seperti disebut orang Jerman—Grenz­
gänger. Sebutan serupa pernah diberikan untuk filsuf Prancis,
Jacques Derrida, oleh Wolfgang Welsch, karena pemikiran Der-
rida bergerak di antara metafisika dan sesuatu di luarnya, yaitu
da­lam tegangan di antara keduanya, persis di pinggiran.2 Kita
mempunyai Goenawan yang berpikir dalam tegangan antara ka-
wasan faktum dan kawasan fiksi, alegori, metafor, mitos, sastra.
Seorang pelintas batas bukanlah seseorang yang tidak tahu
http://facebook.com/indonesiapustaka

1
Arti pepatah Latin ini adalah ”orang dari satu buku”. Yang dimaksud adalah seseorang yang tidak me-
miliki pengetahuan selain dari satu buku yang ia miliki.
2
Lih. Welsch, Wolfgang, Vernunft. Die Zeitgenőssische Vernunftkritik und das Konzept der transversalen
Vernunft, Suhrkamp, Frankfurt a.M., hlm. 247.

xii Catatan Pinggir 9


CORETAN SANG PELINTAS BATAS

batas. Dia tahu batas, maka dia dapat melintasinya. Batas tentu­
dapat dilintasi tanpa pengetahuan, yaitu secara tidak sengaja, te­
tapi dengan cara itu batas dilintasi hanya secara obyektif, semen-
tara secara subyektif tidak pernah terjadi pelintasan batas. Goena­
wan tidak ingin melintasi batas hanya secara obyektif, tetapi juga
secara subyektif, yaitu dengan sengaja. Dia ”bermain di antara”
kedua kawasan yang selama ini dijaga ketat dalam pikiran orang
banyak. Dan hal ini sebuah kesengajaan. Dengan sengaja posisi
tidak ditegaskan sejak awal, karena ”bermain di antara” berarti
beralih-alih posisi. Dengan sengaja solusi juga tidak dijanjikan se-
jak awal, karena solusi adalah bagian keseriusan yang tentu asing
bagi permainan. Seperti Sokrates, penulis Catatan Pinggir kerap­
mengakhiri tuturannya dengan pertanyaan atau kesangsian. Da­
lam ”Perajam” (4 Oktober 2009), misalnya, tuturan tentang kisah
hukum rajam dalam Injil yang awalnya menggiring kita pada
pen­dirian bahwa person adalah sentral dalam agama diakhiri de-
ngan sebuah enigma: ”Tapi kepada siapakah sebenarnya agama
berbicara: kepada tiap person dalam kesunyian masing-masing?
Atau kepada ’gerombolan’? Saya tak tahu. Di pelataran itu Yesus
membungkuk, membisu, hanya mengguratkan jarinya. Ketika ia
berdiri, ia berkata ke arah orang banyak. Tapi sepotong kalimat
itu tak berteriak.” Goenawan tahu betul apa artinya aporia yang
meng­hadang di ujung lorong panjang dan berkelok dari pencari-
an suatu jawaban final. Dengan demikian, permainannya adalah
sebuah keseriusan yang patut mendapat perhatian kita.
Pertanyaan dan kesangsian yang diletakkan di akhir esainya­
secara tersirat mengundang pembaca untuk terbuka terhadap pe­
ristiwa. Teks-teks berita yang memenuhi halaman-halaman sebe­
http://facebook.com/indonesiapustaka

lumnya dalam majalah Tempo bukanlah peristiwa, melainkan


la­poran tentangnya. Dengan menyebut sebuah laporan sebagai
fak­tum, peristiwa seolah dibekukan sebagai obyek-obyek yang
da­­pat diamati. Ketidakterdugaan yang menandai setiap hal yang

Catatan Pinggir 9 xiii


CORETAN SANG PELINTAS BATAS

berciri peristiwa seolah dapat dijelaskan sebagai hal-hal yang ter-


duga. Faktum membuat kita tidak bertanya-tanya lagi karena se-
olah tidak dapat muncul lagi hal tak terduga. Suatu dunia yang
se­­luruhnya dapat dijelaskan atau sepenuhnya dapat diantisipasi
adalah sebuah dunia yang tidak memberi tempat untuk peristiwa,
sebuah dunia yang untuk seorang penyair pasti menjemukan­dan
bahkan mengerikan. Peradaban telah mencapai banyak prestasi­
un­tuk mengusir peristiwa: sains, teknik, birokrasi, dan jurnalis­
me. Diletakkan pada akhir majalah itu, Catatan Pinggir seolah
mem­bebaskan kembali peristiwa dari kerangkeng laporan-lapor­
an atasnya yang dianggap faktual dalam jurnalisme. Sang pelin-
tas batas mendekonstruksi tatanan fakta yang dilaporkan sebe-
lumnya untuk menginsafi kembali ”yang serba mungkin” yang
telah dipaksa berhenti dalam kerangkeng laporan-laporan itu.
Istilah ”catatan pinggir” itu sendiri sudah menyiratkan kodrat­
tulisan ini. Catatan-catatan yang bisa berupa komentar singkat,
kode, coretan, acuan, tanda-tanda baca, dst. biasanya ditulis di
ping­giran halaman buku yang sedang dibaca. Peneliti yang bia­sa
bekerja dengan banyak buku akan sangat tertolong dengan mem-
berikan catatan-catatan di pinggir halaman buku yang diteliti­
nya.­ Apa saja isinya? Segala yang mungkin ditulis, asal singkat.
Ca­tatan-catatan itu bisa menyimpan memori, prapemikiran,
atau embrio argumen peneliti yang bisa saja mempersoalkan, me-
nyanggah, atau—lebih tepat—menunda keyakinan-keyakinan
yang ditulis dalam buku itu. Secara semiotis dapat dikatakan
bah­wa catatan-catatan di pinggir buku itu menentang rezim
mak­na yang menjadi hegemonial dalam buku itu. Sementara se-
buah buku lahir prematur, yaitu selesai sebelum waktunya, kare-
http://facebook.com/indonesiapustaka

na pengarang sebenarnya juga tidak pernah merasa cukup­untuk


menulis, catatan pinggir adalah tulisan yang menunda pe­nyele­
sai­­an. ”Buku-buku yang paling berguna,” demikian tulis Vol­
taire, ”adalah buku-buku yang mengajak pembaca untuk me-

xiv Catatan Pinggir 9


CORETAN SANG PELINTAS BATAS

lengkapinya.”3
Seandainya dipaksa untuk menjelaskan posisi, satu-satunya
des­kripsi yang lumayan kena untuk posisi penulis Catatan Ping-
gir adalah bergerak di pinggiran, yaitu menunda penyelesaian.
Re­zim-rezim politis silih berganti seperti gelombang-gelombang,
dan seperti perahu layar esai-esai Goenawan mengarungi zaman
lewat embusan roh zaman menyertai gelombang-gelombang itu.
Cara lihat ini juga bisa dicoba: jika politik adalah sebuah perja­
lan­an menembus berbagai medan menuju entah ke mana, esai-
esai­itu dapat dianggap sebagai coretan-coretan pada pepohonan,
tebing, dan semak yang telah dilalui. Pada coretan-coretan itu ki­
ta mungkin dapat menemukan jalan untuk kembali. Dari yang
te­lah lewat mungkin juga petunjuk ke depan dapat diperoleh.
Na­mun jangan berharap untuk mengetahui tujuan entah itu
pun­cak atau lembah karena si pencoret tidak meninggalkan apa-
apa selain isyarat untuk terus pergi.
***
Apa saja yang dibahas di dalamnya? Catatan Pinggir berbi-
cara tentang hampir semua persoalan penting yang gaduh dibi-
carakan di dalam republik kita. Buku ini merupakan kumpulan
esai Goenawan dalam Tempo yang merentang selama lebih dari
tiga tahun, yaitu dari Juli 2007 sampai Desember 2010. Pemba­ca­
kumpulan ini tidak hanya segera akan menangkap keluasan dan
kedalaman pengetahuan penulisnya, tetapi juga akan takjub de­
ngan stamina intelektual yang dibuktikan Goenawan untuk me­
lahirkan tulisan-tulisan yang penuh variasi dan tidak menjemu­
kan ini. Bukan hanya itu, jika berasal dari mazhab akademis yang
ketat, pembaca tentu akan tertantang dengan metode yang ju­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ga­bermacam-macam yang dipilihnya. Di sana, misalnya, tidak


ha­nya ada impresi-impresi situasi, alegori-alegori, atau bahkan

3
Lih. Knischek, Stefan, Lebensweisheiten berűhmter Philosophen, Humbolt, Műnchen, 2000, hlm. 165.

Catatan Pinggir 9 xv
CORETAN SANG PELINTAS BATAS

semacam celotehan di kafe, tapi juga psikoanalisis, hermeneu-


tik, dekonstruksi, kritik ideologi, semiotik, sejarah filsafat, dst.
Tidak cukup hanya polifonik dengan pemakaian berbagai istilah
asing, karena biasa ”bermain di antara”, Goenawan juga adalah
se­seorang yang polimorfis dalam menyiangi kulit gejala yang ber­
lapis-lapis. Pembaca dapat ikut melihat dunia dari perspektif se­
macam compound eyes dalam penulisan, sehingga cukup diyakin­
kan bahwa cara melihat itu tidak tunggal, tetapi banyak.
Kiranya buku ini dapat kita mulai dari mana saja justru karena
esai-esai itu dapat dibaca lepas satu sama lain. Klasifikasi tematis
pun tidak dapat diseragamkan karena komentator yang berbeda-­
beda dapat menemukan klasifikasi yang berbeda-beda pula. Goe-
nawan banyak mengulas tokoh-tokoh sejarah kita, seperti Tan
Ma­laka, Muhammad Yamin, Wahidin, dan Sukarno, dan cukup­
sering bercerita tentang seniman dan budayawan. Dalam hal ini
sejarawan dan politikus pasti punya urusan tersendiri dengan
Goe­nawan. Karena area keterlibatan saya adalah penulisan dan
peng­ajaran filsafat, saya sendiri cenderung memperhatikan topik-
topik yang dekat dengan filsafat. Di sini saya mengambil segelin­
tir­contoh.
Beberapa Catatan Pinggir langsung atau tak langsung bersen-
tuhan dengan persoalan ”metodologis”. ”Cicak dan Buaya” (15
No­vember 2009), misalnya, adalah sebuah tilikan psikoanalisis
Freud. Jika bukan praktek dekonstruksi, ”Watchmen” (22 No-
vember 2009) setidaknya merupakan penjelasan ilustratif ten-
tang apa itu dekonstruksi. Semacam metode Entmythologisierung
(demitologisasi) ala Bultmann yang masih saja menyulut kontro­
versi teologis juga ada di sini dalam kombinasi ganjil dengan Zi­
http://facebook.com/indonesiapustaka

zek, seperti dapat dicermati dalam ”Paskah” (11 April 2010). Bah-
kan Ideologiekritik yang dulu dibidikkan Horkheimer dan tim-
nya ke arah Aufklärung dalam ”Modernitas” (6 September 2009)
menemukan target lokalnya: ”Pramoedya dan Tan Malaka begi­

xvi Catatan Pinggir 9


CORETAN SANG PELINTAS BATAS

tu­saja menyamakan imajinasi dengan takhayul yang meremeh­


kan rasionalitas. Seakan-akan sejarah tak dibangun juga oleh
ker­ja dan fantasi penatah wayang, energi dalang yang berkisah,
hasrat tubuh dan kesepian, yang membuat riwayat manusia dari
abad ke abad tak lurus, tak tunggal, tak konsisten—tapi juga sela-
lu bisa tak terduga-duga, tak pernah kering.” Ulasan-ulasan ring-
kas seperti itu mengandung argumen yang juga memiliki gaung
di dalam mazhab-mazhab akademis ketat yang membutuhkan
berlembar-lembar argumentasi dan kerap tetap tak dimengerti
oleh pembaca biasa.
Yang memukau pada tulisan-tulisan Goenawan adalah teknik
khasnya dalam mencerahi peristiwa dengan tilikan yang bajik dan
bijak: dengan lincahnya—kadang juga akrobatis—dia meng­
hubungkan peristiwa, tokoh, kasus, atau apa saja yang menarik
mi­natnya dengan pendapat para filsuf atau pemikir yang buku-
bu­kunya paling sering keluar dari rak-rak buku kampus. Nama-
nama besar, seperti Laclau, Zizek, Deleuze, Lacan, Badiou, dan
Schmitt, menambah deretan nama yang lebih klasik yang pernah
dibahas Goenawan, seperti Sokrates, Machiavelli, Hegel, Marx,
dan Freud. Kekayaan literatur yang dibacanya­ akan menggoda
homo unius libri untuk menambah bacaannya. Dalam ”Bhutto”­
(6 Januari 2008), Carl Schmitt dipakai untuk mengomentari
tra­gedi Bhutto. Problem absurditas informasi yang ditematisasi
dalam drama absurd Beckett secara tak terduga­dihubungkan de-
ngan persoalan komunikasi yang ramai dibicarakan para pemba­
ca J. Habermas dan Karl Otto Apel, seperti terbaca dalam ”Per-
cakapan” (14 Maret 2010). ”Bento” (20 Januari 2008) adalah ko-
mentar atas seorang filsuf, Spinoza. Di dalam ”Orakel” (5 Desem-
http://facebook.com/indonesiapustaka

ber 2010) kita dapati bagaimana perkara rumit seperti peralih­


an dari teosentrisme ke antroposentrisme dalam filsafat Barat di
ta­ngan­ Goenawan menjadi begitu ilustratif. Memahami perta­
rung­an berlarut-larut antara logos dan mitos, rasionalitas dan

Catatan Pinggir 9 xvii


CORETAN SANG PELINTAS BATAS

takhayul sebagai pertarungan language games, ia mengajak kita


un­tuk terbuka terhadap misteri Ada. ”Katakan itu takhayul,” tu-
lisnya, ”Tapi siapa tahu ada sesuatu yang berharga di dalamnya.”
Beberapa contoh lain adalah coretan-coretan tentang seja­
rah yang sekilas tampaknya ”cuma” menyampaikan informasi,­
tetapi jika dicermati ternyata dibidikkan kepada kepicikan-ke­
picikan. Dalam hal ini kritik agama tetap merupakan tema fa-
vorit Goenawan, sebagaimana dapat kita tangkap, misalnya, da­
lam ”Si Ayam” (26 September 2010), ”Ahmadiyah” (8 Agustus
2010), ”Daging” (22 Agustus 2010), ”Émile” (28 Februari 2010),
”Mono” (8 Maret 2009), ”Bento” (20 Januari 2008), dan ”Si Bun-
tung” (9 Agustus 2009). Baginya agama dapat merosot menjadi
ben­da, res, atau berhala sesembahan penderita paranoia yang di-
dikte rasa takut akan kekosongan dirinya dan memburu yang
lain. Termasuk dalam res itu adalah legalisme agama yang diper-
soalkannya secara kritis, seperti tampak dalam ”Perajam” (4 Ok­
tober 2009). Doktrin intoleran dari Vatikan pun tak luput da­
ri bidikannya, sebagaimana terbaca dalam ”Mereka” (22 Juli
2007). Untuk menghadapi Zeitgeist yang serba politis sekaligus
ser­ba agamawi, dia lalu membuat catatan tentang mistik, seperti
da­pat dibaca dalam ”Guna” (3 Oktober 2010). Politisasi agama
ma­lah menjauhkan kita dari Tuhan. Goenawan lalu mengubah
kutipan yang dikutip mistikus Meister Eckhart: ”Andaikata aku
punya Tuhan yang dapat kugunakan, aku tak akan menganggap-
nya Tuhan.” Yang sebaliknya juga dilakukannya: menyingkap
”iman implisit” dalam sains yang telanjur dianggap sebagai sum-
ber atheisme, seperti ditunjukkan dalam ”Darwin” (22 Februari
2009). Sekularisme tidak mungkin menjadi total, demikianlah
http://facebook.com/indonesiapustaka

keyakinan yang tersirat.


Ada juga topik yang dulu digunjingkan oleh Adorno dan ka­
wan-kawan sebagai Kritik der Massenkultur, yaitu masifikasi, se-
perti tertuang dalam ”Debat” (28 Juni 2009) dan ”Potret” (8 Feb-

xviii Catatan Pinggir 9


CORETAN SANG PELINTAS BATAS

ruari 2009), sebuah coretan melawan kediktatoran visualitas


yang mulai mendominasi masyarakat kita. Kita mungkin men-
duga, kritik atas kapitalisme suatu kali akan menjadi radikal dan
total, karena di beberapa esai Marx di tangan Goenawan bagai
gu­ru Timur yang menasihati kehidupan. Dugaan itu keliru. Se-
perti sekularisme, kapitalisme dan individualisme juga tidak
mung­kin menjadi total, karena selalu saja ada celah bagi sosialitas
manusia, sebagaimana tertuang dalam ”Berbagi” (21 Juni 2009).
Begitu juga yang kolektif tidak akan menjadi total, karena selalu
saja akan ada celah bagi individualitas. Dalam ”Ibrahim” (28 No-
vember 2010), Goenawan menyingkap enigma kolektivisasi dan
individualisasi, impersonalisasi dan personalisasi itu dengan ale-
gori menutup wajah dan melihat wajah. Manusia punya wajah
yang tak dapat ditotalisasi, direifikasi, atau didepersonalisasi ke-
cuali dengan menyelubunginya.
Karena pelintasan batas membawa tegangan semantik juga,
ambivalensi merupakan locus penceritaan yang digemari Goena­
wan, seperti dapat kita baca dalam ”Perang” (7 September 2008)
atau dalam ”Monumen” (12 Juli 2009), yang mengironikan celah
yang menganga di antara penanda dan petanda. Hidup seorang
manusia itu sendiri mengandung ambivalensi, maka Catatan
Pinggir juga berlaku sebagai serpihan-serpihan informasi tentang
potret seorang tokoh yang menguak ambivalensi hidupnya, se-
bagaimana ditunjukkan dalam ”Tiga Fantasi” (29 Maret 2009)
dan ”Rendra (1935-...)” (16 Agustus 2009). ”Teror Itu” (26 Janu­
ari 2009) kiranya merupakan contoh bagaimana dua ciri yang
ber­tentangan seperti horor dan komedi dalam film dibiarkan me­
ngatakan sesuatu untuk kejadian real di Jakarta, yaitu bom di
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ritz-Carlton dan JW Marriott beberapa tahun lalu, dan dengan


cara itu ambivalensi justru memungkinkan harapan.
Goenawan juga tak segan mengolok-olok ”diri” lewat mulut
orang lain, sebelum dia membawa pembacanya kepada penelitian

Catatan Pinggir 9 xix


CORETAN SANG PELINTAS BATAS

se­mantik yang lebih dalam yang segera menghambarkan olok-


olok tadi, seperti dapat kita baca dalam ”Primordialisme” (19
De­sember 2010) atau ”Diri” (25 April 2010). Baginya identitas
adalah topik sensitif yang merahasiakan ironi: kejawaan, kepria­
an/keperempuanan, atau keislaman adalah ke-apa-an yang biasa
dipakai untuk menjelaskan ke-siapa-an, tetapi ketika ke-apa-an
ini begitu menentukan seseorang, ke-siapa-annya yang merupa­
kan­ misteri itu dicaplok oleh batasan-batasan yang datang dari
ke-­apa-an itu. ”Bagi saya,” tulisnya dalam ”Diri”, ”yang penting
bu­kanlah identitas, yang menyetrap saya dalam sebuah kotak dan
seperangkat baju resmi. Bagi saya, yang penting adalah manu­sia
sebagai agency, pelaku.” Dari fiksi tentang identitas itulah lahir
segregasi dan diskriminasi ras, gender, dan religius. ”Dan iden-
titas itu adalah bagian dari paranoiaku,” katanya. Cara Goena­
wan­untuk melepaskan diri dari fiksi konyol itu menyerupai cara
Georg Simmel, yakni melawan setiap upaya stabilisasi dan esen-
sialisasi identitas dengan memahami ”diri” sebagai sesuatu yang
ti­dak pernah ”sejati”, karena terdiri atas banyak relasi yang te­rus­
berubah. Akibatnya, seperti secara personal disingkapkannya­da­
lam ”Indonesia” (23 Agustus 2009), ia sendiri kagum akan se­ma­
cam ”imigran permanen” yang tidak berakar pada tanah mana
pun.­ Namun bukankah anti-esensialisme merupakan konse­k­
uen­­si logis pelintasan batas?
***
Jika mengikuti terus esai-esai Goenawan, akan timbul kesan­
bahwa Catatan Pinggir ”cerewet”.4 Tapi kesan itu keliru. Yang di
tengahlah yang cerewet dan bising, sementara yang di pinggir­
cen­derung hening mengamati. Sementara peristiwa-peristiwa
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang di tengah itu bagaikan teriakan-teriakan histeris manusia­

4
Bdk. Steele, Janet, Wars Within. Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru, Dian
Rakyat, Jakarta, 2007, hlm. 145.

xx Catatan Pinggir 9
CORETAN SANG PELINTAS BATAS

massa dalam Colosseum yang menentukan hidup-matinya gla­


dia­tor yang kalah, Catatan Pinggir menarik diri dari kerumun­
an dan mencoba mendengarkan keheningan manusia batiniah.­
Membaca esai-esai singkat ini, orang tidak sekadar menjadi
”orang”, tetapi akan menjadi ”seseorang”. Catatan Pinggir me­
ngan­dung motif individuasi yang merebut kembali sang aku yang
berpikir dari kerumunan yang berpikir standar atau bahkan ti-
dak berpikir sama sekali. Paradoks, ironi, aporia, ambivalensi,
dan ketidakselesaian yang tidak hanya disajikan, tetapi juga di­
latihkan oleh Goenawan, membantu untuk menemukan kembali
individualitas individu yang sudah terancam punah di negeri ki­
ta. Membaca dan menulis tidak bisa dengan berisik, dan memba­
ca dan menulis, demikian Sloterdijk, akan membangun interi-
oritas manusia.5 Lagi, dalam ”Perajam”, kalimat ”Tapi sepotong
kalimat itu tak berteriak” menyampaikan secara enigmatis bah-
wa tulisan tidak lumat di dalam gejolak kediktatoran oleh tak se­
orang pun, seperti dialami dalam demokrasi massa. Ia terarah pa­
da interioritas manusia.
Karena itu, antara penulis Catatan Pinggir dan pembacanya
ter­jadi sebuah hubungan diam yang hanya dapat dialami oleh—
saya mengacu pada Luhmann—suatu spesies yang tinggi taraf
evo­lusinya, yaitu suatu makhluk yang mampu mereproduksi­
”ma­syarakat” lewat menulis dan membaca.6 Berbeda dengan
DPR yang bising dan gaduh, karena politik memang tidak lain
dari ”bicara keras-keras”, menulis dan membaca hanya mungkin
tanpa berisik, yaitu mendengarkan ”bagian dalam” manusia. Se-
buah tulisan, seperti Catatan Pinggir ini, menghasilkan masyara-
kat tanpa kehadiran seorang pun, sementara dengan kehadiran
http://facebook.com/indonesiapustaka

orang banyak, politik yang berisik itu bisa jadi malah ”mengha­

5
Bdk. Sloterdijk, Peter, Sphären III, Suhrkamp, Frankfurt a.M., 2004, hlm. 382-383.
6
Lih. Luhmann, Niklas, Social Systems, Stanford, Stanford University Press, 1995, hlm. 427.

Catatan Pinggir 9 xxi


CORETAN SANG PELINTAS BATAS

bisi”­masyarakat. Mengapa? Karena language games dan isi pikir­


an yang dimainkan dalam Catatan Pinggir mereproduksi publik
pembaca yang kritis, suatu lapisan sosial yang sangat diperlukan
untuk demokrasi, sementara dengan oportunisme dan pragma­
tis­me kekuasaan, politik kerap justru menghancurkan individu-
alitas individu.
Yang dibutuhkan dalam demokrasi bukanlah kerumunan
yang berteriak sama. Sebaliknya, demokrasi membutuhkan
orang yang berani berpikir dan mengeluarkan suara yang ber­be­
da­dan bahkan menentang kerumunan. Seklusi dari politik lewat
menulis dan membaca sampai saat ini masih merupakan jalan­
untuk memelihara kewarasan dan menghindar dari histeria mas-
sa dalam politik. Catatan Pinggir menawarkan jalan itu. Penulis­
nya tampak tidak goyah oleh teriakan riuh rendah berita-berita
di tengahnya; dia berdiri di atas batu karang yang tenang dan ko-
koh: kebebasan berpikirnya. ”Kini perlawanan terhadap Nega­
ra + Modal hanya akan seperti tusukan pisau yang majal,” be-
gitu keyakinannya, ”... Maka satu-satunya cara melawan mung-
kin dengan menulis, mencerca, atau menertawakan. Selebihnya
ilusi.”7 Tentu Goenawan tidak minta pembacanya untuk setuju
padanya. Dia bahkan seperti memprovokasi kita untuk memban-
tah. Esai-esainya adalah deretan tantangan untuk berpikir tanpa
tuntunan hal-hal yang baku atau—seperti dikatakan di atas—
obat kepicikan. Membacanya adalah latihan yang enak dan perlu
ke dalam kebebasan berpikir. Anda harus mencobanya sendiri.
Selamat membaca.
http://facebook.com/indonesiapustaka

7
Mohamad, Goenawan, ”Berbagi”, dalam: Tempo, 21 Juni 2009.

xxii Catatan Pinggir 9


GUBERNUR

S
ANCHO Panza yang pendek, buncit, dan bodoh itu ber-
mula sebagai sasaran olok-olok, tapi saya tak tahu adakah
ia berakhir demikian.
Penggubahnya, Cervantes, memperkenalkan tokoh petani­
bu­­­ta huruf dari La Mancha itu dalam bagian awal Don Quixote­
se­­ba­gai sosok yang lebih menggelikan sekaligus memelas­ke­tim­
bang Don Quixote yang majenun itu sendiri. Sancho tahu, orang
yang dengan setia diikutinya itu seorang yang sinting di­rundung
kha­yal­—seorang yang berangkat meninggalkan dusun­nya dan
membayangkan dirinya seorang kesatria pengembara, yang ga­
gah dan mulia hati, seperti dibacanya dari cerita-cerita ku­no. San-
cho tahu kesintingan ini, tapi ia mengikuti lelaki ke­rem­peng yang
mengenakan baju zirah zaman pertengahan itu ke mana saja, naik
keledai, meskipun ia tak memahaminya. Ia perca­ya, janji orang
yang menyebut dirinya Don Quixote itu akan terpenuhi: kelak, ia
akan diangkat jadi gubernur di sebuah pulau, di sebuah ”insula”.
Di bagian kedua novel termasyhur ini, ternyata harapan itu
terpenuhi—tapi kita menemukan dalam diri tokoh konyol ini se­
suatu yang lain.
Syahdan, dalam perjalanan pengembaraannya ke pelbagai pe-
losok Spanyol, Don Quixote dan Sancho Panza bertemu dengan
sepasang bangsawan. Suami-istri ini berniat menjadikan kedua­
orang yang berubah akal itu obyek permainan. Cara mereka: me­
reka layani fantasi Don Quixote dengan memperlakukannya se-
bagai kesatria pengembara betul-betul. Mereka kerahkan orang
http://facebook.com/indonesiapustaka

untuk membuat agar suasana seakan-akan kembali ke zaman da-


hulu. Salah satu olok-olok ialah mengangkat Sancho Panza jadi
”gubernur” di sebuah ”insula” yang sebenarnya sebuah dusun.
Demikianlah Sancho diarak ke Barataria yang dihuni sekitar

Catatan Pinggir 9 1
GUBERNUR

1.000 penduduk. Memasuki gerbang dusun ia disambut orang


ra­mai, dibawa ke gereja terbesar, diserahi kunci desa, dan diiring­
ke kursi hakim di gedung mahkamah. Di situ ia diberi tahu bah-
wa ”menurut adat kuno” Barataria, siapa saja yang berkuasa di
”pulau” itu harus menjawab pertanyaan yang ”agak rumit dan ru-
wet”, hingga rakyat dapat mengukur kecerdasan gubernur baru
mereka, dan dengan demikian dapat menentukan, akankah me­
re­ka bersukacita atau berkabung.
Ternyata Sancho Panza bukan lagi seseorang yang termakan
ilusinya sendiri—justru ketika ia dijerumuskan ke dalam ilusi. Ia
menolak disebut dengan gelar ”Don”. ”Kamu harus tahu, Bung,”
ujarnya kepada orang yang dipasang jadi pembantunya. ”Aku tak
punya gelar itu, juga tak seorang pun dalam keluargaku.” Dan de­
ngan suara yang cukup radikal dalam sebuah novel pada abad ke-
16, Sancho mengatakan, ”Saya kira di insula ini ada lebih banyak
Don ketimbang batu, tapi cukup begitulah: Tuhan mengerti aku,
dan jika jabatanku sebagai gubernur hanya berlangsung bebera-
pa hari, aku akan babat para Don ini, sebab begitu banyak mere­
ka....”
Kita tak bisa mengatakan Sancho seorang revolusioner. Ia
mempertahankan privilese para priayi, menghormati agama, dan
menjunjung tinggi para padri. Namun bagaimanapun, di Barata­
ria itu ia jadi sosok yang menolak dikalahkan: ia meloncat keluar
dari sistem yang dipasang.
Dalam sistem itu, seorang petani yang melarat diharuskan ja­
di lucu ketika ia tak jadi dirinya sendiri; Sancho justru jadi dirinya­
sendiri. Dalam sistem itu, seorang petani harus terbukti goblok
ji­ka berkuasa; Sancho justru mampu memecahkan soal-soal ke-
http://facebook.com/indonesiapustaka

adilan yang dihadapkan kepadanya.


Lebih dari keadilan, atau di dasar keadilan, ada hal lain yang
tak diabaikannya: rasa belas, terutama ketika alasan untuk meng­
hukum seseorang seimbang dengan alasan untuk membebaskan-

2 Catatan Pinggir 9
GUBERNUR

nya dari hukuman. Ia ingat ada satu ajaran yang diberikan ke-
padanya oleh Don Quixote: ”bila hukum dalam keraguan, aku
ha­rus mengutamakan dan merangkul rasa belas”.
Ternyata, pada titik yang paling puncak dalam hidupnya,
San­cho Panza tak bisa melepaskan pertautannya dengan mereka­
yang terkekang dan lapar. Agak lucu keluhannya kepada perla­
kuan Dokter Recio yang serba melarang pak gubernur yang bun-
cit itu makan hal-hal yang dianggap tak sehat. Juga suratnya ke-
pada istrinya, dan surat istrinya kepadanya—meskipun ditulis-
kan orang lain—menunjukkan kuatnya ikatan Sancho dengan
asal-usulnya. Suratnya kepada Don Quixote mengungkapkan si­
sinya yang tak kalah penting: ”Sejauh ini, saya tak menyentuh ba­
yaran atau menerima suap, dan saya tak tahu apa artinya ini, se-
bab mereka katakan di sini bahwa orang-orang memberi atau me-
minjamkan banyak kepada gubernur yang biasanya datang ke in-
sula ini, bahkan sebelum mereka datang, dan bahwa itulah prak-
tek umum siapa saja yang pegang jabatan gubernur, tak hanya di
sini....”
Pada suatu zaman yang korup macam itu, jabatan akhirnya
se­buah kesempatan untuk jadi manusia luar biasa justru dengan
jadi manusia biasa. Terutama dalam sikap terhadap kedudukan:
ketika jabatannya membuatnya terasing dari dirinya sendiri, San-
cho memilih untuk meninggalkan kursinya yang luhur.
Salah satu bagian yang mengharukan dalam Don Quixote ia­
lah setelah Sancho dipermainkan habis-habisan. Pada suatu ma­
lam, ”insula” itu seakan-akan diserang musuh. Pak Gubernur ha-
rus dilindungi dengan dijepit perisai seperti seekor penyu. Dalam
”pertempuran”, ia terjatuh tergolek secara menggelikan. Ia ping-
http://facebook.com/indonesiapustaka

san. Tapi itulah titik akhir.


Fajar merekah ketika Sancho siuman. Ia pun berdiri, menge­
na­kan bajunya dengan amat pelan karena luka-luka tubuhnya.
Selama itu ia diam, juga ketika ia berjalan ke kandang tempat

Catatan Pinggir 9 3
GUBERNUR

keledainya diinapkan. Orang-orang pun mengikutinya, di anta-


ranya ada yang menyesal bahwa olok-olok mereka sudah berlebih­
an.
Di kandang itu, Sancho sang petani merangkul keledai yang
selama itu menemaninya. Matanya basah: ”Kemari, teman perja­
lanan dan sahabatku, kawanku di sepanjang sengsara dan duka”.
Ia tahu dengan hewan itu ia merasakan kebahagiaan. Di kursi gu-
bernur itu tidak.

Tempo, 15 Juli 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

4 Catatan Pinggir 9
MEREKA

M
EREKA di luar dan terkutuk, kami tidak. Di sini,
kami adalah penyelamatan; di sana, mereka sesat....
Di abad ke-21, suara seperti itu akan terasa sebagai
gema dari sebuah zaman kusam berabad-abad yang lalu. Tapi
benarkah itu suara yang telah lapuk oleh panas, lekang oleh hu-
jan?
Tembok Vatikan berdiri tegak, tua, seakan tak terusik. Dalam
bu­lan Juli 2007 ini Paus Benediktus menegaskan kembali apa
yang dirumuskannya ketika ia masih Kardinal Joseph Ratzinger
tujuh tahun sebelumnya. Doktrin ini, Dominus Iesus, telah me-
nyebabkan para pemimpin Protestan menganggap Vatikan kini
sebuah pintu yang ditutup kembali. Pertalian ekumeni dan dia-
log sesama iman Kristiani mungkin tak dapat diharapkan lagi.
Seorang tokoh Protestan, Wolfgang Huber, ketua kelompok Ge-
reja Evangeli Jerman, mengeluh: ”Harapan ke arah sebuah per­
ubahan dalam situasi hubungan ekumeni telah digusur lebih
men­jauh....”
Paus yang sekarang, kata Huber, mengulangi ”statemen yang
melecehkan” yang termaktub dalam Dominus Iesus. Pernah ada
su­atu masa harapan kerukunan akan tumbuh pesat, ketika Kon-
sili Vatikan II dijadikan pegangan bagi Gereja Katolik untuk me­
nerima dengan lebih hormat agama-agama lain. Tapi Konsili Va­
tikan itu kini berumur 40 tahun, dan di Takhta Suci duduk se­
orang Paus yang memandang cemas dunia pascamodern.
Kecemasannya memang mencemaskan. Ketika Dominus Ie-
http://facebook.com/indonesiapustaka

sus diumumkan, Presiden Federasi Gereja-Gereja Evangeli Italia,


Domenico Maselli, bereaksi: teks itu merupakan ”sebuah lang-
kah besar mundur dalam hubungan antara Katolik Romawi dan
komunitas Kristiani lain”. Gereja Anglikan, ketika itu di bawah

Catatan Pinggir 9 5
MEREKA

Uskup Agung Canterbury, George Carey, mengecamnya sebagai


sesuatu yang tak dapat diterima.
Tapi doktrin ”tak ada penyelamatan di luar Gereja”, extra ecc­
le­siam nulla salus, agaknya senantiasa dapat dipanggil kemba-
li ketika dibutuhkan. Dan Paus Benediktus XVI melihat bahwa
abad ke-21 adalah masa serba nisbi, tak ada ajaran yang dianggap­
be­nar secara mutlak, ketika manusia bingung mencari pegang­
an seakan-akan Tuhan benar mati. Ia membawakan ketakutan
orang-orang tradisionalis, yang mengecam ”ekumenisme” Konsi­
li Vatikan II, yang dianggap telah mengaburkan garis lurus ajar­
an. Doktrin telah dibuat lemah di hadapan ”agama-agama yang
palsu”.
Tapi orang tak bisa menyalahkan sebuah zaman. Pintu yang
tertutup selalu mengikuti tiap gereja—dan Roma tak hanya kali
ini membuat palang pintu yang besar. Di tahun 1441, Gereja me-
maklumkan bula Cantate Domino, 1441: ”tak seorang pun yang
ada di luar Gereja Katolik, tak hanya orang tak beragama, juga
orang Yahudi, orang murtad... tak akan mendapatkan tempat
dalam kehidupan abadi, tapi mereka akan masuk ke dalam api
abadi yang disiapkan oleh Setan... biarpun mereka besar sede­
kahnya, biarpun mereka menumpahkan darah atas nama Kris-
tus....”
Maka apa sebenarnya yang baru dalam pendirian Paus Bene-
diktus XVI—dan apa yang aneh di sana, sebab hampir tiap aga­
ma membangun pintu benteng yang membatasi ”mereka” de-
ngan ”kami”, dan menunjukkan gejala yang disebut oleh Bergson
sebagai ”moralitas tertutup”?
Dalam risalahnya yang terkenal, karya besarnya yang terakhir,­
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dua Sumber Moralitas dan Agama, Bergson menyebut ”morali-


tas tertutup” itu tampak ketika agama hadir dalam sifatnya yang
”statis”. Moralitas ini berkembang dari kehendak untuk menjaga­
kesatupaduan sosial—sebuah kebutuhan yang tumbuh karena

6 Catatan Pinggir 9
MEREKA

spesies tahu ia tak akan dapat hidup sendirian. Kelanjutan hidup


komunitas itu mengharuskan adanya sikap patuh kepada aturan,
ketika ada rasa terancam oleh elemen yang ada di luarnya. Bagi
Bergson, ”moralitas tertutup” berurusan dengan perang. Di sini
berperan ”fungsi fabulasi”: dengan inilah dihadirkan citra dewa
atau tuhan yang mengawasi, agar kepatuhan dijaga.
Dari segi ini, extra ecclesiam nulla salus dan pelbagai variasinya­
dalam agama-agama lain pada hakikatnya berpegang pada apa
yang keras tapi beku, kukuh tapi mandek. Berbeda dengan ”mo-
ralitas terbuka”. Bergson menggunakan kata ”terbuka” karena si-
fatnya yang inklusif, tak hendak menyisihkan ”mereka” dari ”ka­
mi” yang suci, dan mencalonkan mereka serta-merta ke api nera-
ka yang kekal.
Moralitas ini lahir dari ”emosi kreatif”: emosi yang melahir­
kan (dan bukan dilahirkan oleh) representasi, seperti ketika se­
orang musikus, karena dorongan emosinya, melahirkan nada-na-
da dalam notasi.
Dapat dibayangkan bahwa dalam hal ini bukan teks ajaran
dan lembaga sang penjaga doktrin yang melahirkan hubungan
aku dengan Tuhan. Hubungan aku dengan Tuhan lahir dari
”emo­si kreatif”: dari kerinduan, diri pun menjangkau yang Ma-
ha-Agung.
Tentu saja ada sesuatu yang tak dapat diatur di sana—juga tak
dapat dibatasi. Maka wajar jika ”moralitas terbuka” pada akhir­
nya tak akan berkutat pada perumusan siapa ”mereka” siapa­
”kami”. Jika di sini orang bicara tentang ”penyelamatan”, ia tak
didahului dengan membangun sebuah tembok yang kedap. Ia
tak lahir dari ketakutan. Ia tak hendak berlindung dari kehancur­
http://facebook.com/indonesiapustaka

an, sebab percaya bahwa Tuhan tak akan menghancurkan, sebab


Tuhan akan selalu menjadikan, akan berada dalam proses yang
tak tepermanai....
Tapi mungkin Paus seperti halnya mereka yang melihat bah-

Catatan Pinggir 9 7
MEREKA

wa ajaran dan komunitas harus selalu dijaga—kalau perlu dengan


darah dan besi. Dalam pandangan ini hanya dengan ketakut­an,
dan dengan pintu tertutup, manusia dapat diselamatkan.
Itu juga wajah muram zaman ini.

Tempo, 22 Juli 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

8 Catatan Pinggir 9
MURTAD

S
aya tak akan berpindah agama—dan dengan demikian
se­benarnya saya memilih agama saya sekarang. Tapi saya
sedih benar mendengar cerita orang yang dilarang me­mi­
lih­agama yang ingin dianutnya. Saya sedih mendengar kisah Re-
vathi Massosai.
Perempuan Malaysia ini, yang sudah menikah dan beranak
sa­tu, lahir dari ayah ibu yang beragama Hindu tapi kemudian
ber­pindah jadi muslim. Dari pasangan ini ia mendapatkan nama
muslim. Tapi ia dibesarkan oleh neneknya, seorang Hindu, dan
Revathi memilih mengikuti agama sang nenek. Di Malaysia, ini
jadi masalah. Di negeri itu, orang yang berayah muslim harus ja­
di seorang muslim. Dan sebagai muslimah, Revathi dilarang ber-
pindah agama atau menikah dengan seorang yang tak seiman. Ia
dilarang murtad.
Tapi di tahun 2004 Revathi kawin dengan seorang pria Hin-
du. Pasangan ini mendapatkan seorang anak perempuan.
Januari yang lalu ia datang ke mahkamah pengadilan agar se­
cara resmi ia disebut sebagai seorang Hindu. Bukan saja usaha­
nya gagal; ia malah ditahan para petugas. Ia dimasukkan ke ”pu-
sat pemulihan akidah”. Dia ditahan sampai enam bulan. Tuju­
an para pejabat syariah Islam ialah untuk menjaganya agar ia te­
tap berada ”di jalan yang benar”—tentu saja ”jalan yang benar”
menurut para pemegang otoritas iman di Malaysia.
Selama enam bulan dikungkung itu, ia harus mengenakan jil­
bab, menegakkan salat, dan lain-lain. Yang kemudian dicerita-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kannya kepada dunia ialah bahwa juga kepadanya disajikan da­


ging­ sapi—sesuatu yang bagi orang Hindu merupakan pelang-
garan.
Pengakuan itu agaknya menimbulkan suara marah dari ka-

Catatan Pinggir 9 9
MURTAD

langan Hindu di Malaysia, dan para advokat pembela penguasa


syariah di Negara Bagian Malaka itu pun buru-buru menjelas-
kan bahwa apa yang dikatakan Revathi tak benar. Mereka yakin,
demikian dikutip BBC, bahwa perempuan itu masih bisa dibujuk
untuk tetap tak meninggalkan Islam.
Revathi membantah.
Saya tak tahu, apa yang akan didapat para penguasa syariah
Islam di Malaka itu sebenarnya: seorang muslimah yang selamat
rohnya dari api neraka, atau jumlah penganut Islam yang tak
ber­­kurang, atau seorang yang hanya pura-pura beriman kepada
Allah­tapi hatinya menderita dan tak ikhlas.
Saya tak tahu bagaimana orang-orang yang berkuasa di per-
adilan syariah itu menafsirkan kearifan terkenal Quran, bahwa
”tak ada paksaan dalam agama”.
Saya juga tak tahu pasti adakah segala usaha mencegah se­
orang dewasa memilih agamanya sendiri itu merupakan bagian
da­ri politik waswas yang merundung Malaysia—yang menye-
babkan soal identitas ”Islam” dipertautkan tetap dengan identitas
”Melayu”, hingga agama bukan lagi diyakini karena kesadaran,
me­lainkan dipegang karena faktor genetik. Saya orang Indonesia,­
yang dengan agak bangga bisa mengatakan, di negeri ini keis-
laman tak secara otomatis dikaitkan dengan ras. Iman bukan-
lah sesuatu yang otomatis. Agama adalah akal, kata Nabi. Akal
mengimplikasikan kemerdekaan berpikir dan memilih.
Memang harus saya katakan, saya seorang muslim karena
orang tua saya. Tapi saya sebenarnya bebas untuk tak mengikuti
ga­ris itu—sebagaimana orang-orang Arab dulu bebas untuk tak
mengikuti kepercayaan nenek moyang mereka dan memutuskan
http://facebook.com/indonesiapustaka

untuk mengikuti Rasul Tuhan, dengan risiko dimusuhi keluarga


sendiri dan masyarakat sekitarnya.
Memang harus saya katakan, saya memilih tetap dalam aga­
ma­saya sekarang bukan karena saya anggap agama itu paling ba-

10 Catatan Pinggir 9
MURTAD

gus. Saya tak berpindah ke agama lain karena saya tahu dalam
agama saya ada kebaikan seperti dalam agama lain, dan dalam
aga­ma lain ada keburukan yang ada dalam agama saya. Sejarah
agama-agama senantiasa terdiri atas bab-bab yang paling represif­
dan buas, tapi juga pasase yang paling mulia dan memberikan ha­
rapan. Agama menyumbangkan kepada kehidupan manusia­se-
cercah kesadaran, betapapun mustahilnya keadilan akan datang,
nilai itu—dan segala sifat Allah—tetap memberi inspirasi. Agak­
nya itulah yang berada dalam inti iman.
Maka pada akhirnya yang penting bukanlah apa agama yang
saya pilih dan Revathi pilih, melainkan bagaimana seseorang te­
tap berada dalam inti iman itu—bagaimana ia hidup dan bertin-
dak.
Dalam inti iman, Tuhan tak dipersoalkan lagi. Bahkan se­
orang murtad tak bisa menggugat—sebagaimana tokoh Lazaro
yang murtad tak bisa untuk tak merasa dekat dengan Don Ma­
nuel,­pastor di kota kecil Spanyol dalam novel Migel de Unamu-
no, Saint Manuel Bueno, Sang Martir.
Saya teringat akan tokoh novel itu, sebab Don Manuel adalah
seorang penolong, penyabar dan—menurut sang pencerita—
suka mendahulukan ”mereka yang paling malang, dan terutama­
mereka yang membangkang”. Tapi ia juga padri dengan mata
sedih. Pandangannya meredup ketika ia mengatakan kepada se­
orang anak bahwa orang harus percaya kepada Neraka.
Bahkan Lazaro yang meninggalkan iman Kristennya meng-
hormatinya dan jadi pembantunya. Berdua mereka merawat yang
sakit, menemani yang kesepian, memberi makan yang lapar,
meng­hibur yang berduka.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pastor itu tak meminta Lazaro tetap jadi seorang Kristen. Ia


ha­nya minta agar pemuda itu ”berpura-pura percaya”, meskipun
tetap tak beriman, sekadar agar tak membuat heboh penduduk
kota kecil itu. Don Manuel tak mendesakkan kebenaran, sebab

Catatan Pinggir 9 11
MURTAD

kebenaran, seperti pernah dikatakannya kepada Lazaro, ”mung-


kin sesuatu yang begitu tak tertanggungkan, begitu mengerikan,
begitu mematikan, hingga orang-orang biasa tak dapat hidup de-
ngan itu”.
Ia sendiri mungkin tak percaya akan neraka; ia bersedih bila
Tuhan membalas dendam. Tapi ia tak hendak meninggalkan
aga­manya, sebagaimana ia membiarkan Lazaro murtad. Pada sa­
at yang sama, seluruh laku hidupnya menunjukkan bahwa ha­rap­
an bisa terjadi—harapan sebagai bayang-bayang Tuhan yang ha-
dir dalam tiap perbuatan baik dan ikhlas bagi mereka yang lu­ka
dan diabaikan.

Tempo, 29 Juli 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

12 Catatan Pinggir 9
ATHEIS (1)

A
gama akan tetap bertahan dalam hidup manusia, tapi
layakkah ia dibela?
Christopher Hitchens baru-baru ini menarik perhati­
an­ketika bukunya terbit dengan judul God Is Not Great: Religi­
on Poisons Everything. Penulis Inggris ini—yang yakin bahwa Tu-
han tidak akbar dan bahwa agama adalah racun—tak bersuara
sendirian di awal abad ke-21 ini. Di tahun 2004 terbit The End of
Faith, oleh Sam Harris, yang tahun lalu mempertegas posisinya
de­ngan menyerang agama Kristen dalam Letter to a Christian Na­
tion. Yang juga terkenal adalah karya Richard Dawkins, seorang
pakar biologi, The God Delusion, yang mengutip satu kalimat pe­
ngarang lain: ”Bila seseorang menderita waham, gejala itu akan
di­sebut gila. Bila banyak orang menderita waham, gejala itu akan
disebut agama.”
Saya belum khatam membaca buku-buku itu, tapi saya telah
me­rasa setengah terusik, tersinggung, berdebar-debar, terangsang­
berpikir, tapi juga gembira. Baiklah saya jelaskan kenapa saya
gem­bira: kini datang beberapa orang atheis yang sangat fasih de-
ngan argumen yang seperti pisau bedah. Dengan analisis yang
ta­jam mereka menyerang semua agama, tanpa kecuali, di zaman
ke­tika iman dikibarkan dengan rasa ketakutan, dan rasa ketakut­
an dengan segera diubah jadi kebencian. Dunia tak bertambah
damai karenanya. Maka siapa tahu memang dunia menantikan
Hitchens, Harris, dan Dawkins. Siapa tahu para atheis inilah
yang akan membuat kalangan agama mengalihkan fokus mereka
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan kemudian berhenti bermusuhan.


Apalagi ada benarnya ketika Christopher Hitchens bicara ten-
tang iman dan rasa aman. Sepekan sebelum 11 September 2001,
hari yang bersejarah itu, ia ditanya dalam sebuah wawancara ra-

Catatan Pinggir 9 13
ATHEIS (1)

dio: ”Bayangkan Anda berada di sebuah kota asing di waktu sen-


jakala, dan sejumlah besar orang datang ke arah Anda. Akan le­
bih­merasa amankah Anda, atau justru merasa kurang aman, bila
Anda tahu orang-orang itu baru selesai berkumpul untuk ber-
doa?”
Hitchens, yang pernah berada di Belfast, Beirut, Bombay,
Beograd, Bethlehem, dan Baghdad, menjawab, ”Kurang aman.”
Ia tak bicara dari khayal. Ia telah menyaksikan permusuhan
an­tara orang Katolik dan Protestan di Ulster; Islam dan Kristen
di Beirut dan Bethlehem; orang Katolik Kroasia dan orang Gere­
ja Ortodoks Serbia dan orang Islam di bekas Yugoslavia; orang
Sunni dan Syiah di Baghdad. Beribu-ribu orang tewas dan cacat
dan telantar.
Maka bagi Hitchens, agama adalah ”sebuah pengganda be­
sar”,­an enormous multiplier, ”kecurigaan dan kebencian antarpu­
ak”.
Tapi menarik bahwa Hitchens tak menyatakan agama sebagai
sumber sikap negatif itu.
Dalam hal ini ia berbeda dari Sam Harris. Bagi Harris, konflik
antara umat Katolik dan Protestan yang berdarah di Irlandia­—
yang bermula baru di abad ke-17—bersumber pada teks Alkitab,
tak ada hubungannya dengan politik pertanahan di wilayah ke­
kuasaan Inggris masa itu. Harris tak melihat endapan seja­rah
dalam tiap tafsir atas akidah—dan dalam hal ini ia mirip se­
orang fundamentalis Kristen atau Islam. Pandangannya yang
me­nampik sejarah akan bisa mengatakan bahwa doktrin Quran
itulah yang membuat sejumlah orang menghancurkan Menara
Kembar New York dan membunuh hampir 3.000 manusia pada
http://facebook.com/indonesiapustaka

11 September 2001. Harris tak akan melihat bahwa hari itu ”Is-
lam” identik dengan amarah karena ada kepahitan kolonialisme
di Timur Tengah, Afrika, dan Asia, dan kekalahan dunia Arab di
Palestina.

14 Catatan Pinggir 9
ATHEIS (1)

Dari sini, memang ada benarnya apologi yang terkenal itu: bu-
kan agamanya yang salah, melainkan manusianya.
Tapi persoalan tak selesai di situ. Orang-orang atheis semacam
Hitchens akan bertanya: Jika faktor manusia yang menyebabkan­
keburukan tumbuh dalam suatu umat, berarti tak ada peran aga­
ma dalam memperbaiki umat itu. Jika demikian, jika akidah di-
tentukan oleh sejarah, dan bukan sebaliknya, apa guna agama
bagi perbaikan dunia?
Mungkin sebuah nol. Bahkan melihat begitu banyak pembu­
nuhan dilakukan atas nama agama hari-hari ini, orang memang
mudah sampai kepada atheisme Hitchens dan kesimpulannya:
agama meracuni segala hal.
Tapi kita dapat juga sampai pada kesimpulan yang lain: ja­
ngan-­jangan agama memang tak punya peran bagi perbaikan du-
nia. Perannya memang bisa lain sama sekali—terutama bila dili-
hat dari awal lahirnya agama-agama.
Dalam ceramahnya yang diselenggarakan oleh MUIS (Ma-
jlis Ugama Islam Singapura) bulan Juni yang lalu, Karen Arm-
strong mengatakan sesuatu yang tak lazim: agama lahir dari si-
kap jeri (recoil) atas kekerasan. Juga Islam, yang kini tak urung
di­hubungkan dengan bom bunuh diri, konflik berdarah di Irak,
Afganistan, dan Pakistan. Agama ini hadir sebagai pembangun
perdamaian di sekitar Mekah, di tengah suku-suku Arab yang sa-
ling galak.
Tapi mungkin juga Karen Armstrong bisa menelusurinya lebih­
jauh: jika agama memang lahir dari rasa jeri akan kekerasan, rasa
jeri itu bertaut dengan kesadaran akan ketakberdayaan. Agama
sebab itu tak merasa kuasa untuk memperbaiki dunia; ia justru
http://facebook.com/indonesiapustaka

berada di kancah yang tersisih, menemani mereka yang daif—se-


buah posisi yang kian tampak dalam keadaan manusia teraniaya.
Tapi kini, dalam mencoba menyaingi gagahnya modernitas,
agama cenderung melupakan ”empati asali”-nya sendiri. Orang-

Catatan Pinggir 9 15
ATHEIS (1)

orang Islam merayakan Hijrah bukan dengan rasa setia kawan


dan bela rasa kepada mereka yang diteror, walaupun Hijrah ber-
mula dari nasib sekelompok minoritas yang dikejar-kejar. Orang
merayakan Hijrah lebih sebagai kemenangan. Mungkin dengan
tendensi itu, pengalaman kedaifan sendiri terlupa: pekan lalu atas
nama ”Islam” orang-orang mengancam para biarawati Karmel
yang hendak berkumpul untuk berdoa di lembah Cikanyere di
wilayah Cianjur.
Dalam keadaan lupa kepada yang tak berdaya itulah agama
bisa jadi tenaga yang dahsyat. Tapi ia juga bisa jadi tenaga yang
tak tahu batas. Di saat seperti itu, bukankah para atheis perlu
datang dan bersuara?

Tempo, 5 Agustus 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

16 Catatan Pinggir 9
BERGMAN

T
uhan pernah jadi beban bagi Ingmar Bergman. Tapi
kemudian beban itu lepas, bahkan jauh sebelum sutrada-
ra film ini meninggal dalam usia 89—dengan nama ha­
rum­ke seluruh dunia—di Pulau Farö di Laut Baltik, 30 Juli yang
lalu. ”Superstruktur keagamaan saya yang berat ke atas telah run-
tuh,” katanya pada suatu kali—dan ia merasa lega.
Tuhan pernah jadi beban bagi Bergman karena dalam hi­dup­
nya, Yang Maha Kuasa diwakili sosok angker seorang ayah. Ayah
itu pendeta Lutheran Swedia yang keras, yang tak jarang me­
ngu­rung Ingmar kecil di ruang gelap—seperti yang bertahun-
tahun kemudian digambarkannya dalam tokoh Pendeta Edvard
Vergerus, ayah tiri yang tanpa belas kasih itu, dalam film Fanny
och Alexander (1983).
Film ini adalah kisah Alexander, bocah berumur 10 tahun.
Ia anak yang peka rasa, agak pelamun, dan terbuka pada khayal­
yang hidup. Dibesarkan dalam keluarga Ekhdal yang longgar,
sen­sual, gembira, dan artistik, ia kemudian masuk ke dunia Pen-
deta Vergerus, setelah rohaniwan Lutheran ini menikahi ibunya:­
sebuah dunia dengan iman yang teguh, puritan, represif, dan be­
ngis.
Di sela-sela itu, Alexander menemukan dunia yang magis dan
remang di antara boneka-boneka antik sebuah keluarga Yahudi.
Satu dimensi lain pun muncul: dalam hidup ada sesuatu yang
ajaib­dan mempesona, sesuatu yang bukan duniawi, tapi jauh da­
ri akidah agama.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Fanny och Alexander, yang mengandung anasir otobiografis


yang tebal, praktis sebuah gugatan kepada ruang terkunci yang
bernama ”akidah agama”. Masa kecil Bergman—seperti dalam
kisah si Alexander—adalah tahun-tahun yang dirundung trau-

Catatan Pinggir 9 17
BERGMAN

ma dalam ruang terkunci itu. Salah satu perasaan yang paling


me­nusuk, bagi Bergman, adalah perasaan direndahkan. Kini ia
melihatnya sebagai salah satu sebab ia memandang muram ajar­
an agama. Ia ”menentang agama Kristen dengan sangat,” katanya­
dalam Bergman on Bergman, Interviews with Ingmar Bergman,
”ka­rena agama ini dilekati motif penghinaan yang sangat ganas.”
Bagi ajaran agama Kristen yang ia warisi, manusia adalah pendo-
sa sejak lahir. Ia selalu berada dalam posisi untuk diawasi.
Memang agak aneh, Bergman tak melihat segi lain dari iman
Kristen: adanya keyakinan akan Kasih dan Penebusan. Mungkin
karena dalam hidup Bergman Tuhan hadir lebih sebagai tiran—
dan teramat kuat pula pembangkangannya lantaran itu. Dalam
The Magic Lantern, otobiografinya, ia mengatakan: ”Saya telah
ber­gulat seumur hidup saya dengan sebuah hubungan yang me-
nyakitkan dan tanpa suka cita dengan Tuhan”.
Hubungan yang menyakitkan itu pula yang agaknya menda­
sari film Der Sjunde Inseglet (versi Inggris, The Seventh Seal, 1957).
Dalam film ini aktor Max von Sydow memainkan peran kesatria
Antonius Block yang pulang dari Perang Salib, letih, murung, dan
guncang iman. Diiringi pembantunya, Jöns, ia kembali ke negeri­
nya yang dikerkah wabah. Di tengah jalan, Ajal menjemput­nya.
Block mencoba menawar dengan menantang bermain catur: jika
ia kalah, ia bersedia dibawa Ajal pergi. Di sela-sela permainan itu,
ia masuk ke sebuah gereja kecil. Ia pun mengutarakan kerisauan
hatinya kepada seorang pastor—yang ternyata sang Maut sendiri.

Ajal: ”Apa yang kau tunggu?”


Block: ”Pengetahuan.”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ajal: ”Kamu mau jaminan.”

Dengan kata lain, Block perlu kepastian—yang ia beri nama


”pengetahuan”—karena ia berpijak di sebuah dasar yang sudah

18 Catatan Pinggir 9
BERGMAN

gu­yah. ”Aku ingin Tuhan ulurkan tangan-Nya, tunjukkan paras-


Nya, bicara padaku.”
Block memang di ambang murtad. Tapi siapa yang gandrung
kepada ”pengetahuan” yang menjamin adanya Tuhan sebenar­
nya­menanggungkan Tuhan sebagai obsesi. Tak mengherankan
bila di depan seorang perempuan yang dihukum bakar karena
dituduh jadi dukun penyebar sampar, Block hanya tertarik pada
persoalan adakah pada saat kematiannya wanita itu melihat Tu-
han. Sang kesatria tak tergerak membawakan air untuk si terhu-
kum. Justru Jöns yang tak beriman yang punya belas.
Dengan kata lain, antara soal Tuhan dan manusia, mana yang
lebih didahulukan? Di satu sisi, kita saksikan Block dengan obsesi
mendapatkan jaminan tentang Tuhan. Di sisi lain, di bawah ma-
tahari yang cerah, kita lihat hidup sederhana dan bahagia keluar-
ga Jof, si pemain akrobat, yang tak memerlukan itu.
”Saya selalu bersimpati kepada orang seperti Jöns dan Jof…,”
kata Bergman. Sebaliknya, ia memandang obsesi Block seba­
gai­ fanatisme: orang yang pikirannya mengabaikan manusia di
dekatnya.
Mungkin itu sebabnya, ketika membuat Vargtimmen (The
Time of the Wolf, 1968) Bergman merasa menemukan makna ke-
sucian yang lain: dalam manusia sendiri. ”Pengertian cinta,” ka-
tanya, ”adalah satu-satunya bentuk kesucian yang bisa kita pikir-
kan.”
Di sekitar masa itulah ia merasakan ”struktur keagamaan” da­
lam dirinya, yang ”berat ke atas”, telah digantikan dengan apre­
siasi kepada yang ada di ”bawah”: hidup di bumi yang fana dan
penuh salah, tapi mengandung sesuatu yang suci dan mempeso-
http://facebook.com/indonesiapustaka

na.
Ia merasa lega. ”Ketika segi religius dari kehidupanku terha-
pus,” katanya, ”hidup terasa lebih mudah dijalani.”
Agaknya kesimpulan yang mirip bisa ditarik dari ”trilogi ke­

Catatan Pinggir 9 19
BERGMAN

iman­annya”, Såsom I en Spegel (Through a Glass Darkly, 1961),


Natt­vardsgästerna (Winter Light, 1962), dan Tystnaden (The Si­
lence, 1963).
Dalam Såsom I en Spegel, Karin yang menderita skizofrenia
ada­lah fokus cinta yang tak mudah dari ayahnya, David. Tapi de-
ngan itu David juga yang bisa mengatakan bahwa ”cinta ada di
du­nia nyata”. Dalam Nattvardsgästerna, Pastor Tomas Ericsson
yang susut imannya akhirnya menjalankan ritual di gereja ko-
song itu untuk Marta, kekasihnya, yang konkret hadir di bangku
sunyi itu.
Tanpa persentuhan hati semacam itu, kita akan hidup dalam
keterpisahan, seperti kakak beradik Ester dan Anna yang meng­
inap di sebuah kota asing dalam Tystnaden. Artinya, sekali kita
memutuskan Tuhan tak menjawab lagi, neraka adalah orang lain
yang tak peduli.

Tempo, 12 Agustus 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

20 Catatan Pinggir 9
ADA REVOLUSI DI BULAN AGUSTUS 1945

A
DA sebuah revolusi di bulan Agustus 1945—meskipun
tak ada pemberontakan. Di Jakarta hari itu tak ada ge­
lom­bang massa yang menghancurkan sebuah penjara,
tak ada tentara rakyat yang menjebol sebuah kekuasaan yang
men­coba terus tegak. Di seberang sana, tak ada barikade, juga tak
ada takhta yang bisa memberikan titah agar revolusi dipadam­
kan.
Pada pagi hari 62 tahun yang lalu itu yang tampak hanya se-
jumlah orang yang mendengarkan Bung Karno membacakan se-
buah teks, yang kemudian disebut ”Naskah Proklamasi”. Pada
pagi hari itu juga bendera Merah Putih dikibarkan, tapi tak di
mana-mana, hanya di depan sebuah gedung tak begitu besar di
Ja­lan Pegangsaan, Jakarta, tempat para pelopor kemerdekaan itu
berkumpul.
Namun sesuatu berubah. Terutama dalam diri mereka yang
meng­alaminya. Setelah bertahun-tahun tertekan dan tersisih da­
lam proses menentukan sejarah tempat mereka hidup, hari itu
orang bisa menyebut diri ”Indonesia” dan jadi ”merdeka”.
Revolusi memang sebuah transformasi: sejak saat itu sesuatu
yang dialami segera jadi sesuatu yang dihayati—ketika orang
mengartikulasikan apa yang terjadi dengan kata, lambang, mitos.­
Mereka memberi makna kepada semua itu, dan mendapatkan
makna dari sana. ”Indonesia” waktu itu wujud politik dan geo-
grafi yang sebenarnya belum ada; tapi ia telah begitu berarti hing-
ga kelak orang akan mempertaruhkan nyawa buat mempertahan­
http://facebook.com/indonesiapustaka

kannya.
Tak berarti semua itu serta-merta muncul pada 17 Agustus
1945. ”Indonesia” sebagai sebuah komunitas telah dianggit, diar-
tikulasikan, dipaparkan, dan diberi makna sejak awal abad ke-20.

Catatan Pinggir 9 21
ADA REVOLUSI DI BULAN AGUSTUS 1945

Pada bulan Juni dan Juli 1945, di sebuah gedung lain di daerah­
Menteng di Jakarta, sebuah panitia bahkan telah bekerja berda­
sar­kan anggitan itu. Tugasnya menyiapkan bentuk negara dan
kons­titusi bagi sebuah ”Indonesia” yang akan lahir.
Meskipun demikian, tak semua bisa dipersiapkan. Ada yang
tak terduga-duga, ketika tiba-tiba sebuah kekosongan terjadi: di
wi­layah yang semula dikuasai Jepang ini tak ada lagi kuasa apa
pun yang berdaulat.
Sejarah akhirnya memang bukan sebuah lorong lempang. Se-
lalu ada kelokan mendadak. Revolusi sering ditulis sebagai ujung
yang logis dari sebuah sebab sosial politik, tapi bahkan Revolusi
Rusia—yang mengartikulasikan diri sebagai revolusi Marxis, ba-
gian dari ramalan ”sosialisme ilmiah”—sebenarnya juga sebuah
kejutan: perubahan besar di bulan Oktober 1917 itu dilakukan
se­jumput minoritas, sebuah partai atas nama kelas buruh di se-
buah negeri yang masih agraris, dipimpin Lenin yang baru saja
kembali dari hidup di pengasingan. Tapi sejak itu, Rusia tak per-
nah kembali seperti dulu, dan ”Revolusi Oktober” mengandung
getaran yang menggugah.
Juga di bulan Agustus 1945 itu. Di Indonesia, sesuatu yang
serba-mungkin telah berubah: revolusi itu jadi sebuah kata sakti
yang kemudian membayangi terus politik Indonesia.
***
Ketika Bung Karno membubarkan sistem demokrasi par-
lementer pada tahun 1958, ia membenarkan tindakannya sebagai
”penemuan kembali Revolusi kita”. Itulah judul pidato penting-
nya yang kemudian dikenal juga sebagai ”Manifesto Politik”.
Tampak bahwa ”Revolusi”—karena getarannya yang dah-
http://facebook.com/indonesiapustaka

syat—tak dilihat sebagai sesuatu yang lahir dari keadaan serba-


mung­kin, sesuatu yang bisa jadi tapi bisa juga tidak. Dalam baha-
sa politik yang dipakai, ”Revolusi” adalah tuah. Ia sesuatu yang
da­pat berulang, dilanjutkan melintasi waktu. Dalam beberapa

22 Catatan Pinggir 9
ADA REVOLUSI DI BULAN AGUSTUS 1945

kalimatnya, Bung Karno bahkan membandingkannya dengan


revolusi Amerika dan revolusi Rusia—sebuah klaim bahwa yang
terjadi di Indonesia bisa jadi standar baru dalam sejarah dunia.
Saya tak menganggap Bung Karno berlebihan. Tapi ia tak me­
lakukan sesuatu yang baru. Ia mengulangi cara memandang se-
jarah yang lazim pada masa itu: menafsirkan revolusi sebagai to-
talitas, juga sebagai sebuah jalan universal, kerja para pelaku yang
kompak karena semua berdasarkan nalar atau mengikuti hukum
sejarah.
Namun revolusi tidaklah sesederhana itu. Waktu itu agaknya
dialami tapi tak disadari, bahwa hasil penting Revolusi Agustus
1945 adalah penegasan tentang peran apa yang disebut Claude
Lefort ”tempat kosong” dalam revolusi itu—sebuah pembuka
bagi kehidupan demokrasi.
Ketika orang Indonesia melihat Hindia Belanda runtuh dan
ke­mudian Jepang jatuh, jelas bahwa di posisi pemegang kedaulat­
an itu ada sesuatu yang sudah seharusnya terbuka, kosong, untuk
di­isi oleh yang lain. Revolusi Indonesia, ditandai dengan Prokla-
masi Sukarno-Hatta, adalah sebuah langkah merebut tempat
yang kosong itu—satu hal yang agaknya bukan bagian dari seja­
rah­kemerdekaan India, Singapura, atau Malaysia. Kejadian itu
membuat pengertian ”politik”, la politique, punya sifat yang lebih
radikal.
Ada heroisme dalam Revolusi Agustus, ada yang transforma-
tif dalam kejadian itu—dan sebab itu ada sesuatu yang layak un-
tuk dianggap indah dan dikenang terus. Tapi tiap revolusi nasio­
nal—yang jadi ciri perlawanan terhadap kolonialisme—meng­
andaikan sebuah bangunan bangsa yang pasti. Ketika pemerin-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tah kolonial tak ada lagi, ”tempat yang kosong” yang ditinggal-
kan seakan-akan sudah dipesan selama-lamanya untuk sebuah
himpunan politik tanpa konflik, tanpa kongkurensi. Dan revolu-
si, sebagai sesuatu yang transformatif, dibayangkan akan sang-

Catatan Pinggir 9 23
ADA REVOLUSI DI BULAN AGUSTUS 1945

gup menghilangkan endapan masa lalu dan membentuk manusia


baru: manusia yang bisa dipastikan seia-sekata.
Dengan kata lain, revolusi, sebagai mitos, justru menggarisba­
wahi sebuah citra-diri yang tanpa-konflik. Pada pertengahan ta-
hun 1960-an Bung Karno berkali-kali menyeru ”penggalangan
yang padu semua kekuatan revolusioner”, samenbundeling van all­
revolutionaire krachten. Tapi mereka yang hendak dibuat bersa­tu
padu—PNI, NU, PKI, dan dapat dibilang juga ABRI—sebe­nar­
nya juga mereka yang bersaing, saling mengintai, dan saling me­
nerkam. Pada dasarnya mereka tahu, siapa pun di antara mere­ka
sah untuk mengisi ”tempat yang kosong” itu. Pada dasarnya me­
re­ka juga tahu, Bung Karno, sang ”Pemimpin Besar Revolusi”,
tak akan dapat terus-menerus berada di sana.
Tak urung, revolusi Agustus yang ”ditemukan kembali” itu
pun terbentang antara la politique—yang membuka terus-me­ne­
rus sifat radikal, agar perubahan selalu terjadi dan kian demo­
kratis—dan le politique, yang mengandaikan keutuhan bentuk­
se­buah bangunan kebersamaan—yang tak jarang akhirnya man­
dek, buntu, bahkan represif.
Akhirnya ”demokrasi terpimpin” pun gagal menggantikan
demokrasi parlementer yang dicoba diterapkan di antara tahun
1946 dan 1958. Bagi saya, kegagalan ini bermula dari tafsiran
yang salah atas revolusi. Revolusi ternyata bukan sesuatu yang
pu­nya ”rel” atau garis lurus. Revolusi ternyata tak sepenuhnya bi­
sa melintasi waktu. Sebagian besar dari dirinya terjadi sebagai se-
buah aksiden sejarah. Banyak elemennya yang tak bisa diulangi.
Ia juga tak pernah bisa melintasi perbedaan dan sengketa yang
timbul dalam perjalanan sebuah bangsa.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Di bawah ”Orde Baru”, antara 1966-1998, kata ”revolusi” me-


mang telah ditanggalkan. Tapi di sini juga tampak usaha menia-
dakan la politique dari kehidupan masyarakat—sebuah lanjutan
kecenderungan represif ”demokrasi terpimpin”, tapi dijalankan

24 Catatan Pinggir 9
ADA REVOLUSI DI BULAN AGUSTUS 1945

Presiden Soeharto dengan lebih luas dan lebih lama. Sebuah mis-
en-scène disusun untuk memanggungkan Indonesia sebuah kesa­
tuan yang stabil dan serba selaras.
Tapi tak ada sebuah bangsa yang serba selaras. Pemanggungan
itu pun gagal memberikan makna bagi para pelaku politik dan
orang ramai. Mis-en-scène itu akhirnya tak mampu lagi menam-
pakkan mis-en-sense.
***
Pemanggungan—itu juga yang bisa dikatakan tentang­
demo­krasi parlementer pada dasawarsa pertama setelah kemer­
dekaan. Sebagian pemimpin Indonesia, terutama Sjahrir, konon­
menya­ran­kan sistem itu diterapkan agar Indonesia dilihat— ten-
tu saja oleh Eropa dan Amerika—sebagai sebuah negara demo­
kratis, yang tak merupakan kelanjutan model fasisme Jepang.
Tapi sebenarnya masih jadi pertanyaan, adakah para pelaku
ke­giatan politik dan orang banyak mendapatkan makna dalam
pang­gung itu. Di tengah kesulitan ekonomi dan keterbatasan
alo­kasi sumber kekayaan ke daerah, dibayang-bayangi Perang
Di­ngin yang merasuk ke dalam politik dalam negeri, diintai am-
bisi militer yang menampik kepemimpinan sipil, demokrasi par-
lementer dengan segera kehilangan kemampuannya untuk jadi
artikulasi rakyat.
Bung Karno—selamanya curiga kepada apa yang berbau
”Barat”—dengan segera menganggap sistem ini sebuah cangkok­
an.
Saya kira di sini kita menyaksikan bagaimana para pendukung­
demokrasi parlementer lebih memperhatikan adanya bentuk in­
sti­tusional—parlemen, mahkamah yang mandiri, dan pers yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

bebas—sebagai formula. Hak seakan-akan diberikan, bukan ha-


sil sebuah perjuangan yang melibatkan orang banyak. Sangat me-
narik, misalnya, bahwa di awal Oktober 1945 ada ketentuan dari
Menteri Penerangan bahwa pers ”harus” merdeka. Dalam formu-

Catatan Pinggir 9 25
ADA REVOLUSI DI BULAN AGUSTUS 1945

la semacam itu, tak ada pengalaman transformatif seperti yang


terjadi dalam sebuah revolusi.
Dengan kata lain, hak-hak asasi hanya mendapatkan makna
jika direbut dari kondisi pengingkaran akan hak-hak itu—se-
buah proses yang memang membutuhkan pengalaman sejarah
yang pahit. Dalam dasawarsa awal kemerdekaan, pengalaman se­
macam itu tak cukup tebal dan melekat dalam ingatan. Ketika­
jauh di awal persiapan kemerdekaan Bung Hatta memperingat­
kan akan perlunya hak-hak asasi karena khawatir akan kesewe­
nang-wenangan negara, orang mengatakan bahwa dia ”curiga”
kepada negara. Orang tak mengira, beberapa dasawarsa kemudi-
an kecurigaan itu memang beralasan.
Sebuah bagian yang sedih dari sejarah Indonesia kemudi­an­
me­mang terbentang. Tapi mungkin dengan itu kita bisa men­da­
patkan makna dari apa yang dulu dikatakan tapi tak begitu di-
hayati: kemerdekaan.

Tempo, 19 Agustus 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

26 Catatan Pinggir 9
FORMULA

T
iap gagasan luhur butuh sebuah cemooh. Dalam rekam­
an sejarah, manusia berkali-kali menggagas sebuah ma-
syarakat yang sempurna, tapi akhirnya ia perlu sepotong
khayal yang agak lucu. Ia perlu Raja Utopus.
Kini kita akan berpihak pada fantasi Thomas More itu. Uto-
pus berhasil membangun sebuah negeri yang tanpa sengketa, tan-
pa ketimpangan, dan tanpa keserakahan—tapi untuk itu ia harus
menggali sebuah kanal dan menegakkan tembok tinggi. Negeri
yang sehat walafiat itu mesti dipisahkan dari negeri lain agar tak
kena pengaruh buruk. Kesempurnaan hanya bisa terjadi dalam
isolasi, dan isolasi hanya bisa dengan paksa. Sebelum Kim Il-sung
dan anaknya di Korea Utara, Raja Utopus tahu akan hal itu.
Utopia, negeri itu, akhirnya bukan sesuatu yang layak diidam-
kan—atau sebuah kesempurnaan yang mustahil. Dalam kata
”Utopia” (yang bergerak antara uo-topos yang berarti ”tak bertem-
pat” dan eu-topos yang berarti ”tempat yang baik”) terkan­dung­
ironi. Dalam hal ini, Utopia Thomas More, yang diterbitkan pada
awal abad ke-16, telah mendahului suara akhir abad ke-20.
Pada akhir abad yang lalu, terbukti pelbagai angan-angan lu­
hur­telah gagal untuk membuat manusia bahagia. Terbitlah ke­
perluan buat mengambil jarak dari cita-cita kita sendiri; kita ha-
rus meledeknya sedikit. Keraguan sebaiknya terbit sekali-sekali.
Ironi itu sehat.
Tapi ironi mudah mati. Sampai sekarang pun tiap hari ia dihu­
kum gantung di lapangan umum. Derap langkah mereka yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

ma­rah, yang penuh keluh dan protes kepada keadaan, dengan ce­
pat akan membabatnya. Di pihak lain, mereka yang meluap-luap­
memimpikan dunia baru yang bagai surga juga akan membe­ran­
tasnya. Benar, tiap gagasan luhur butuh tak hanya doa, tapi juga

Catatan Pinggir 9 27
FORMULA

cemooh, namun cemooh selalu dicap subversi, pengkhianatan,


atau paling sedikit pemborosan waktu.
Saya kira tak adanya ironi itulah yang tampak mencolok ke-
tika Hizbut Tahrir menghimpun 70 ribu orang di Jakarta pekan
lalu. Organisasi ini mencita-citakan berdirinya kembali ”khila-
fah” di dunia Islam, dan sekaligus ia menolak demokrasi. Tak
tampak usaha mengambil jarak dari desain besar itu, tak terde­
ngar­ selintas pun keraguan—apalagi cemooh—yang dibiarkan
mengganggu. Tampaknya tak diperlukan segera renungan dan
jawaban: Bagaimana sang ”khalifah” di pucuk pimpinan diten­
tu­­kan? Oleh siapa? Bagaimana membentuk kekuatan yang bisa
menghapus dan mengatasi kedaulatan nasional yang terbangun
selama ini?
Ironi bukan kenakalan. Ia menandai sebuah kearifan. Sebe­
nar­­nya kearifan itu bisa datang dari sejarah dunia muslim sendi­
ri­—jika sejarah ditafsirkan sebagai jalan hidup manusia yang ba­
nyak salah, proses di mana kesucian berhenti.
Tapi dengan sikap jiwa yang merasa terpuruk di jurang yang
ruwet, para ideolog ”Islamisme” hanya melihat masa lalu seperti
langit jernih penuh bintang. Seakan-akan di sana tak pernah ada
prahara, bahkan hujan darah. Seakan-akan tak pernah ada Mu-
rad III (1574-95) yang punya 103 anak dari sederet istri—sebuah
keadaan yang menyulitkan soal kekuasaan dalam khilafah Us-
mani. Anaknya, Muhammad III (1595-1603), memulai bertakh-
ta dengan membunuh 19 orang saudaranya sendiri. Murad IV
(1623-40) melakukan hal yang sama, dan hanya membiarkan se­
orang adik hidup hanya karena si adik lemah mental.
Pendek kata, sejarah—yang selamanya penuh dengan keti­
http://facebook.com/indonesiapustaka

dak­pastian—tak diantisipasi dengan sebuah sistem yang dapat


me­­ngelola ketidakpastian secara teratur, tanpa kekerasan, tanpa
da­rah. ”Islamisme” gagal belajar dari kondisi itu. Yang dijalan­
kan­­nya adalah ”politik kesempurnaan”: karena Islam dianggap

28 Catatan Pinggir 9
FORMULA

sebagai ”jawaban yang sempurna” untuk membangun sebuah


masyarakat yang ”sempurna”, ada usaha menghapus wajah hidup
yang tragis dan cela. Yang tragis, yang kurang, yang negatif, di-
anggap tak punya peran dalam politik.
Tak mengherankan bila Hizbut Tahrir, didirikan oleh Taqi­
uddin al-Nabhani, seorang qadi dari Yerusalem, pada tahun
1953, menampik demokrasi. Demokrasi berdiri dari kesadaran
akan kondisi yang tragis: ”luruhnya marka-marka kepastian”, se-
perti dikatakan Claude Lefort. Dengan catatan: la dissolution des
repères de la certitude itu tak hanya disadari sejak Revolusi Prancis.
Masa lalu Islam telah memaparkan itu. Setelah Nabi wafat, ter-
buka ”tempat yang kosong” yang mau tak mau minta diisi—tapi
untuk mengisinya tak seorang pun yang akan setara Rasul­ullah.
Tak seorang pun, tak satu golongan Islam pun, yang dapat meng­
artikulasikan ke-Islam-an secara sempurna. Si pengisi harus­ber-
sedia diganti, atau akan terpaksa diganti. ”Tempat kosong” itu
tak akan kunjung penuh.
Hidup memang tak cocok buat ”politik kesempurnaan”. Hi­
dup­adalah tempat ”politik kedaifan”—politik yang lebih tawakal
dan tak cepat marah. Manusia berubah tapi keterbatasan menyer­
tainya. Ia makhluk yang dilahirkan kurang. Peradaban justru la-
hir dari keadaan kurang yang tragis itu. Dostoyevsky benar ke-
tika dalam catatan hariannya ia menulis: ”Semut tahu formula
bukit semut mereka, lebah punya formula sarang mereka.... Tapi
manusia tak punya formulanya sendiri.”
Sebuah formula memang ditawarkan Raja Utopus. Tapi ia
makhluk khayal yang tak dengan sendirinya menyenangkan bila
malam tiba. Di Utopia, bunyi trompet akan terdengar pada jam-
http://facebook.com/indonesiapustaka

jam tertentu, isyarat bahwa 30 keluarga akan bersantap bersama-


sama dalam sebuah komunitas. Dunia privat praktis hilang. Ke-
seragaman memerintah. Rumah dan kota semua tampak mirip.
”Kalau kamu sudah melihat satu, kamu sudah melihat semua­

Catatan Pinggir 9 29
FORMULA

nya,”­ kata tokoh dalam Utopia yang mengisahkan negeri ajaib


itu, Raphael Hythloday.
Dalam bahasa Yunani, konon hythloday berarti ”pembicara
omong-kosong”. Kita geli. Tapi bukankah di awal dan di akhir,
iro­ni tak bisa diabaikan, dan cemooh bagian dari jalan ke kebe­
nar­an?

Tempo, 26 Agustus 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

30 Catatan Pinggir 9
TURKI

M
USTAFA lahir di tahun 1881 dari kandungan seorang
ibu yang saleh, Zubaidah namanya. Perempuan ini
kuat wataknya; ia tak mudah menyerah kepada kehen-
dak sang suami. Khususnya dalam hal pendidikan buat anak le-
laki mereka satu-satunya—seorang anak yang tak mereka sangka­
kelak akan dikenang dengan kagum sebagai Atatürk, ”bapak
Tur­ki [modern]”, tapi juga dikutuk keras sebagai penghancur
Khi­­lafah Usmani, sebuah imperium yang dianggap sanggup me-
nyatukan bangsa-bangsa muslim selama beradab-abad.
Mustafa Kemal memang lahir di sebuah zaman ketika perten-
tangan tak terelakkan, bahkan sejak hari ia harus bersekolah.
Ali Riza, sang ayah, ingin agar Mustafa masuk sekolah umum.
Tapi Zubaidah tetap bersikeras. Si buyung harus hafal Quran; ia
harus jadi hoja, guru agama.
Mustafa pun dikirim masuk sekolah Fatimah Mullah Kadin,
pendidikan Islam yang terkemuka di Kota Salonika itu. Diterima­
di sekolah itu agaknya sesuatu yang istimewa. Dalam buku Ata­
türk: The Rebirth of a Nation, Patrick Kinross mengutip penuturan­
Mustafa sendiri tentang upacara di hari pertama itu.
Di pagi hari, ibunya mendandaninya dengan pakaian putih
dan kalung leher bersulam emas; sorban melingkar di kepala. Ia
pun dijemput seorang hoja beserta ulama lain. Mereka melang-
kah ke jalan dalam semacam prosesi ke sekolah. Di sekolah yang
ber­taut dengan sebuah masjid itu, doa bersama pun dibacakan.
Lalu sang guru membimbing Mustafa masuk ke sebuah ruang.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Di sana sebuah Quran sudah siap terbuka.


Tapi ia tak lama bersekolah di situ. Ia membangkang karena
disuruh duduk bersila di lantai. Ia benci membaca dan menulis
huruf Arab. Ia gelisah.

Catatan Pinggir 9 31
TURKI

Akhirnya ayahnya memindahkan Mustafa ke sekolah umum


yang diasuh Shemsi Effendi. Di situ si buyung bersemangat. Kali
ini Zubaidah tak berkeberatan.
Zubaidah memang berubah, seperti Turki. Salonika, sebuah
ko­ta perdagangan di Makedonia, bertaut dengan dunia luar tiap
hari. Kota pelabuhan di teluk itu beragam penduduknya: Yahudi
(meskipun sebagian telah jadi muslim), Bulgaria, dan Armenia.
Ada konsulat Inggris, Prancis, Jerman, Austria, Italia, Portugal.
Ketika Mustafa berumur belasan tahun, kereta api buat perta­
ma kalinya masuk ke kota itu. Dalam bukunya, Kinross mengu­
tip kenang-kenangan seorang penghuni: ”Abad [ke-19] ini sedang­
mendekati akhir. Dengan diam-diam dunia Barat merayap ma-
suk, mencoba memikat Timur dengan keajaibannya.... Dipamer-
kannya di depan mata kami sihir ilmu pengetahuan dan mukjizat
temuan dan ciptaannya. Kami menangkap selintas kecemerlang­
annya dan dengan malu-malu mendengarkan nyanyian merdu
de­wi lautnya. Ibarat orang dusun yang ikut dalam sebuah jamuan
besar, kami merasa rendah diri dan tingkah kami kikuk....”
Dari sini kita tahu, bukan Mustafa Kemal yang mengubah
Tur­ki, tapi Turki memang tak bisa seperti dulu lagi. Seperti kere-
ta api yang mendengus dan berderak masuk ke Salonika, abad
baru—dengan segala godaan dan kerisauannya—tak dapat di­
elak­kan siapa pun.
Syahdan, anak yang pernah didandani sorban itu kini lebih­
tertarik kepada pakaian yang lain: seragam yang dikenakan de-
ngan bergas oleh para prajurit. Ia ikut ujian masuk sekolah me­
ne­­ngah militer. Ia lulus. Sejarah kemudian mencatatnya sebagai
se­­orang perwira yang tangguh, cerdas, dan bisa menggerakkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

pa­­sukannya yang terpojok hingga menang. Pertempuran tentara


Tur­ki yang dipimpinnya melawan pasukan Inggris dan sekutu­
nya­di jazirah Gallipoli di tahun 1915 adalah sejarah kemenangan
Turki yang tak terlupakan.

32 Catatan Pinggir 9
TURKI

Tapi Kemal sadar, kemenangan itu tak akan selamanya di pi-


hak Turki. Ia tahu ada yang hilang di ”imperium Usmani”: di wi­
layahnya yang terbentang luas, pelbagai negeri, termasuk Tanah
Arab, mulai resah di bawah titah Istanbul. Pada saat yang sama,
kekhalifahan kian merosot—sebuah proses yang telah mulai se-
jak hari-hari akhir Sulaiman yang Agung, setelah baginda jadi
mu­rung karena terpaksa membunuh putra-putranya sendiri yang
mencoba merebut takhta. Berangsur-angsur, Khilafah Usmani
jadi kekuatan yang gombyor dan lembek.
Abad ke-20 adalah abad yang kian mengingatkan bahwa mus-
tahil ada kekuasaan yang dapat selamanya kencang dan mampu
sepenuhnya mengisi ruang kehidupan—apalagi mengisinya de-
ngan kepastian. Bahkan agama tak dapat dipakai untuk meno-
pang takhta dan kepastiannya. Sejarah dinasti Usmani menun-
jukkan, pada akhirnya tafsir tentang ”Islam” masa itu dikaitkan­
de­ngan ”Islam” para sultan yang hidup antara seraglio yang pe­
nuh perempuan simpanan dan medan perang yang penuh de-
ngan bangkai.
Ketika wibawa mereka runtuh, guyah pula wibawa ”Islam”.
Akhirnya manusia, apalagi Kemal, tak bisa lagi berharap banyak
dari mereka yang mengklaim punya satu hal yang bisa menjawab
semua hal. Orang makin sadar, demokrasi diperlukan.
Demokrasi adalah sebuah pengakuan akan pentingnya nol:
dalam keadaan tak berisi, terkandung sebuah awal ikhtiar untuk
mem­beri isi; tapi dengan nol, manusia menampik ketakaburan.
Saya kira Kemal, dalam keresahan dan ketidaksabarannya,
da­lam semangat dan keterbatasannya, akhirnya menyadari hal
itu: ia seorang diktator yang mencoba membangun demokrasi.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ada sebuah anekdot. Pada suatu hari, dalam usahanya mem-


perbaiki sistem politik Turki yang macet karena sikapnya sendi­
ri yang otoriter, Kemal bertemu dengan seorang pegawai muda
Ke­menterian Pendidikan, Hassan Ali namanya. Sang Presiden

Catatan Pinggir 9 33
TURKI

mengundang anak muda itu duduk di dekatnya. Dengan sikap


seorang guru, Kemal mengujinya soal-soal dasar matematika:
Apa itu titik? Apa itu garis?
Hassan bisa menjawab dengan baik. Lalu Kemal bertanya:
”Apa itu nol?”
Hassan Ali: ”Definisi nol yang terbaik adalah sesuatu yang sa­
ma dengan diri saya di depan tuan, Pasha.”
Kemal: ”Tapi nol itu penting!”
Hassan Ali: ”Begitu juga saya, Pasha.”

Tempo, 2 September 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

34 Catatan Pinggir 9
ONG

S
EJAK saya melihatnya pada tahun 1962 di sekitar Univer-
sitas Indonesia, Onghokham selalu tampak dengan baju
dan celana khaki yang kusut. Ia selalu membawa satu tas
kulit yang mencong; isinya—buku dan lain-lain—selalu berle­
bih­an. Ia terkadang naik sebuah bromfiets yang mencemaskan ka­
rena bergoyang-goyang dengan bunyi sember yang seperti men-
derita.
Rambutnya sudah menipis, kacamatanya sudah sedikit mero­
sot—satu hal yang mengesankan saya yang baru saja jadi maha-
siswa. Cara bicaranya tak berubah sampai dengan masa Reforma­
si: tak koheren, dengan aksen Jawa Timur yang tak lekang, terka­
dang agak menyembur, tapi umumnya tak agresif, dan selamanya
menunjukkan Ong yang perseptif dalam melihat dan memikir-
kan sekitar.
Kini, dalam obituari yang ditulis orang setelah ia mening­gal
pekan lalu, ia disebut sebagai ”sejarawan”. Terutama sejak ia kem-
bali dengan gelar doktor dari Universitas Yale pada tahun 1975. Ia
sendiri punya versi lain tentang diri­nya. Ada dua hal yang dia ba­
wa pulang dari Yale, ujarnya. Satu, gelar doktor itu. Dua, kepan­
dai­an memasak. Ia lebih bangga dengan yang nomor dua itu, ka-
tanya, tanpa senyum.
Tentu ada beda antara sejarawan dan juru masak, tapi jangan-
jangan perlu juga dilihat bahwa beda itu tak teramat besar. Ke­
dua­nya mengolah bahan dari detail, dengan metode dan sistem
yang kurang-lebih ajek, dan menyajikan sebuah hasil dengan sen-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tuhan personal.
Mereka yang menganggap sejarah sebagai ilmu yang terhor-
mat tentu akan berkeberatan dengan kesimpulan itu. Tapi bukan
hal yang baru untuk mengatakan bahwa karya sejarah tak pernah

Catatan Pinggir 9 35
ONG

ditulis dari pandangan yang kekal, yang tak bermula dari satu ti-
tik dalam waktu. Tiap karya seorang sejarawan bertolak dari ma-
sa-kininya sendiri.
Mungkin bahkan bukan hanya itu. Ketika Foucault bicara
ten­tang ”genealogi”, yang bisa dikatakan sebagai penulisan alter-
natif tentang masa lalu, yang tersirat di sana bukan saja pernyata-
an bahwa yang dituju bukanlah ”pengetahuan” dan ”kebenaran”
tentang masa lalu itu, tapi sebuah tindakan terhadap masa kini.
Saya baca kembali kumpulan tulisan Onghokham dalam
Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong. Hampir tiap bab tergerak
un­tuk melakukan sesuatu bagi keadaan saat itu. Itu mungkin se-
babnya Ong tak pernah lagi menulis sebuah buku utuh, kecuali
yang berdasarkan skripsinya di Fakultas Sastra UI dan tesisnya
di Universitas Yale. Ia menulis risalah pendek, hidangan sekali
santap, selalu sebagai respons terhadap keadaan yang dialaminya
waktu itu—dan hampir selamanya terasa tak selesai.
Sebagai editornya di saat-saat ia menyumbang tulisan ke ma-
jalah Tempo, saya punya problem dengan cara Ong menulis: saya
selalu ingin menemukan paragraf penutup yang baik. Tapi kemu-
dian saya pikir: jangan-jangan itu tak perlu bagi Ong. Makanan
yang lezat tak pernah punya akhir, juga dengan cuci mulut.
Tapi dengan itu pula Ong memang tak hendak mengemuka-
kan sebuah kesimpulan dan teori besar. Seperti Sartono Kartodir­
djo, ia mengutamakan latar sosial-ekonomi sebuah peristiwa,
yang menyebabkan sejarah bagi­nya bukan kisah orang ”atas”. Ia
suka menemukan dan mengemukakan hal ihwal kecil—misal-
nya ”perhitungan hari baik” dalam masyarakat Jawa, atau jumlah
gulden subsidi seorang bupati yang dibuang pemerintah kolo­nial.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tapi tampaknya ia bukan berambisi untuk jadi seorang Braudel,


yang dari detail yang memikat melahirkan sebuah teori (tentang
kapitalisme, misalnya) yang memukau. Ong bukan pula seorang
sejarawan Marxis, yang dengan teori mengkonstruksi­kan temuan

36 Catatan Pinggir 9
ONG

empiris. Ong menulis dengan cara hampir seenaknya—tak sam-


pai berkeringat seperti ketika ia bekerja di dapur.
Ia seakan-akan dengan sengaja menunjukkan dirinya tanpa
ka­tegori. Apakah dia sebenarnya—”sejarawan”, ”kolumnis”, ”in-
telektual publik”, ”juru masak”—ia tak peduli. Ia keturunan Ti­
onghoa yang akan menampik stereotip warga ”kebudayaan Ci­
na”—yang disebut oleh Lee Kuan Yew sebagai ”sinic culture”, se-
buah sistem nilai yang katanya berbeda, bahkan sebuah kontras,
dari ”indic culture”, ”kebudayaan ala India”. Dengan bangga, pe-
mimpin Singapura itu mau menunjukkan bahwa hanya mere­ka
yang berakar pada ”kebudayaan Cina” yang cocok buat pemba­
ngun­an ekonomi: pekerja keras, tak suka berleha-leha, dan pada
dasarnya puritan untuk mencapai hasil optimal dalam kerja.
Onghokham menertawakan ”teori” Lee Kuan Yew yang sa­
ngat­dekat dengan pandang­an rasialis itu. ”Lee bukan menggam-
barkan watak orang Cina,” katanya. ”Gambaran idealnya gam­
bar­an seorang Kristen Metodis.”
Ong tak menyukai mereka yang puritan, Kristen Metodis,­
para santri, para saudagar, atau ideolog ala Singapura. Baginya­
Puritanisme adalah represi demi mencapai surga atau kesem­pur­
naan. Ong jauh dari mere­ka yang peduli akan prestasi ting­gi,
karya yang sempurna, atau posisi yang terhormat. Ia tak men­da­
pat­kan gelar ”profesor” karena ia anggap sepele tetek-bengek ad­
mi­nistratif buat memperoleh gelar akademis itu. Baginya yang
memikat justru hal-hal yang dianggap ”dosa” oleh Puritanisme:
makanan, minuman, waktu bergaul dan bersenang-senang.
Mungkin karena Ong lebih dekat dengan hidup ketimbang
in­telektual lain yang hanya berkutat pada ide besar tentang ”ma-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nusia” dan ”masyarakat”.


Saya ingat malam-malam di pertengahan 1960-an: saya ter-
masuk sekelompok teman yang kemudian dikenal se­bagai penu-
lis (Nono Makarim, Fikri Jufri, Arief Budiman, Wiratmo Sukito,

Catatan Pinggir 9 37
ONG

Ismid Hadad, Salim Said, dan lain-lain) yang sering minum kopi
di warung di Gang Ampiun, Cikini. Terkadang Ong muncul, de-
ngan pakaian khaki yang lusuh dan tas yang penuh. Ia gemar
men­cemooh kami se­bagai ”intelektual kota”. Mungkin ia hendak
meng­ingatkan, kami yang suka omong tentang ”Indonesia” acap
kali lupa ada yang tak dapat dirumuskan dari sudut kota Jakar-
ta itu. ”Indonesia” bukanlah hanya ide. ”Indonesia” adalah kehi­
dup­an. Dan Ong memang dekat ke dalamnya.

Tempo, 9 September 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

38 Catatan Pinggir 9
11/9

S
AYA melihat New York 11 September 2001. Sampai lewat
te­ngah malam, yang mengepung adalah suasana murung
dan cemas, berkabung dan waswas. Orang di pelbagai
pen­juru terperanjat. Dunia tersentuh: me­reka ingin menemani
kota itu, bersama ribuan kandil yang dinyalakan di sudut-sudut
ja­lan, seakan-akan mau ikut mencari mereka yang tak pulang
dari puing.
Asap kebakaran masih membubung hitam beberapa hari se­
telah itu, membentuk sebuah sosok di langit New York sebelah se-
latan, seakan-akan mengisi rongga yang melompong di angkasa­
setelah dua gedung jangkung The World Trade Center runtuh
dan 3.000 orang yang tak bersalah mati.
Tapi dengan cepat asap dan debu diubah sesuatu yang ber-
warna: bendera Amerika, bendera Amerika, bendera Amerika.
Di mana-mana. Tak putus-putusnya televisi menyiarkan orang
menyanyi God Bless America, bergetar, bergemuruh. Di seluruh
Ame­rika Serikat, pada jutaan layar, huruf yang muncul tak henti-
hentinya adalah AMERICA UNDER ATTACK.
Dan perkabungan pun jadi api.
Tema klasik nasionalisme pun berulang pada hari-hari itu:
”Kami dihina. Mereka jahat. Kami dizalimi. Mereka brutal. Me­
reka harus dibalas. Kami bangkit. Kami kuat.”
Orang Amerika akan marah jika dikatakan bahwa tema nasi-
onalisme itu tak jauh berbeda dengan yang dulu terbit di Jerman,
kini di Arab dan Israel. Tapi itu justru indikasinya: orang Ameri-
http://facebook.com/indonesiapustaka

ka akan marah karena nasionalisme mere­ka—yang disebut­”pa-


triotisme”—juga api yang sama yang mampu membentuk ”ka­
mi” jadi se­suatu yang terang dan orang lain, ”mereka”, jadi frag­
men­kegelapan.

Catatan Pinggir 9 39
11/9

Mungkin itu sebabnya saya beberapa lama termenung di Wa­


shington Square Park, sore itu. Di lapangan yang rindang itu ber-
macam orang berkumpul, menyatakan belasungkawa dan du-
kungannya kepada New York—ya, kepada Amerika Serikat. Ada
yang mengekspresikan perasaan dengan doa yang diam, ada yang
menuliskan kalimat yang tulus.
Tapi yang tak akan saya lupakan ialah secarik kertas yang di-
robek dari sebuah buku tulis dan disematkan entah oleh siapa di
se­helai pagar kawat di bawah lengkung gerbang taman. Di sana
ter­cantum satu paragraf tulisan ta­ngan, serangkai kata-kata Nel-
son Mandela:

”Rasa takut kita yang terdalam tak disebabkan oleh karena kita
tak memadai. Rasa takut kita yang terdalam disebabkan kekuat­an
kita yang tak tepermanai. Cahaya terang kita, dan bukan kegelapan
kita, itulah yang paling mengerikan kita.”

Saya terkesima: kalimat itu muncul seperti dipanggil ke te­


ngah­suasana yang membutuhkannya.
Mandela: bertahun-tahun lamanya pemimpin Afrika hitam
ini dianiaya sebuah kekuasaan yang brutal; ia dengan gampang
akan diterima sebagai korban yang tak bersalah, yang memancar­
kan ”cahaya terang”. Pada saat yang sama, ia juga pemimpin poli-
tik dan moral yang dipatuhi jutaan orang di Afrika Selatan, se-
buah ”kekuatan yang tak tepermanai”.
Tapi, berbeda dengan orang Amerika dan pemimpin me­
reka, George W. Bush & Dick Cheney, Mandela tahu benar apa
yang harus ditakuti: keagungan diri. Bagi Bush & Cheney, Tu-
http://facebook.com/indonesiapustaka

han mem­berkati Amerika, God Bless America, dan mungkin


benar. Ta­pi soalnya jadi gawat ketika Tuhan dan ”cahaya terang”
meng­ambil alih seluruh sikap dan pikiran dan memperkukuh ke­
agung­an diri.

40 Catatan Pinggir 9
11/9

Apalagi ketika itu diintegrasikan ke dalam proyek besar yang


disebut ”The New American Century”.
Dick Cheney, Rumsfeld, dan konco-konco mereka—yang su-
dah lama punya proyek untuk mengubah dunia ke dalam ”Abad
Baru” yang mereka kuasai—sebenarnya orang-orang yang secara
tak langsung diperkuat oleh teror ”11/9”. Mere­ka bisa bersorak-
sorai: hari itu musuh lahir, ketika sejumlah orang asing mena-
brakkan dua pesawat ke dua buah gedung yang bisa jadi lambang
kejayaan Amerika.
Sebab Cheney pernah khawatir, AS tak akan punya musuh la­
gi setelah Perang Dingin berakhir dan Uni Soviet runtuh. Mu-
suh itu penting. AS butuh sesuatu yang mengancam di luar sana,
dan sebab itu bisa membuatnya bersatu padu. Maka di New
York­hari itu, Al-Qaidah praktis memberi Cheney dan Bush se-
buah hadiah: alas­an yang bagus untuk merasa memiliki ”cahaya
terang” dan menampilkan ”kekuatan yang tak tepermanai”.
Akhirnya, ”9/11” adalah dalih untuk sebuah proyek imperial,
mula-mula dengan bendera ”perang melawan terorisme”: ”Kami
di­zalimi. Mereka harus dibalas.”
Dalih itu begitu memikat hingga sejumlah intelektual terpan­
dang Amerika tak malu-malu berseru menghalalkan perang itu
sebagai ”pe­rang yang adil”, seakan-akan keadilan dapat begitu
sa­ja diterima secara universal, bukan hasil pergulatan yang tak
mu­dah untuk jadi pasti. Ketika Mandela memperingatkan kita
akan ”cahaya terang” dan ”kekuatan yang tak tepermanai”, ia se-
benarnya hendak menunjukkan bahwa kedua hal itu tak pernah
menetap—dan tak pernah tinggal di satu sisi. Mandela berbicara
agar kita tahu perlunya mengosongkan diri—sadar bahwa diri
http://facebook.com/indonesiapustaka

kita sebenarnya ”tak memadai”, bahkan mengandung ”kegelap­


an”.
Tapi siapa yang membaca kearifan di secarik kertas di bawah
gerbang Washington Square itu? Bush & Cheney telah mengge­

Catatan Pinggir 9 41
11/9

lembung dengan proyek ”Abad Baru Amerika”. Ketika perang


melawan teror Al-Qaidah diperluas jadi Perang Irak yang dike-
cam dunia—karena dilancarkan dengan dusta yang malang-me­
lintang—mereka bahkan ingin­ menunjukkan, ”kekuatan yang
tak tepermanai ”justru penting untuk dirayakan. Kekuatan itu
me­reka anggap bisa menentukan segala-galanya, juga untuk me­
monopoli ”cahaya terang”.
Tapi kini terbukti, ”kekuatan yang tak tepermanai” itu hanya
sebuah waham besar. Juga gegabah. Hegemoni tak pernah pasti.
Perang melawan Al-Qaidah tak juga berhasil—sebuah kegagalan
yang patut disesali di mana-mana. Perang di Afganistan makin
sulit. Perang di Irak praktis kehilangan tujuan. Amerika diben-
ci di pelbagai pelosok. Orang Amerika takut datang ke pelbagai
tempat.
Ah, Tuan Cheney, di manakah kini ”The New American Cen­
tury”?

Tempo, 16 September 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

42 Catatan Pinggir 9
PUASA

D
I hari-hari ini saya berpuasa dan merasakan sebuah pri-
vilese: saya dihormati. Dengan tekad saya sendiri saya
berniat tak makan dan tak minum sejak dini hari hing-
ga senja; selama itu saya sadar bahwa akan ada saat-saat saya bisa
tergoda—tetapi saya selamat. Saya siap untuk terganggu, tetapi
lihat: saya tak boleh diganggu.
Privilese itu kini sudah seperti sesuatu yang semestinya. Demi
ibadah saya, yang saya niatkan sendiri, orang-orang lain tak bisa
pergi pijat karena selama sebulan semua panti pijat harus di­tu­
tup­—meskipun ini bukan tempat yang mesum sama sekali—
dan­sekian ratus pemijat tidak mendapatkan penghasilan. De­mi­­
ibadah saya, orang-orang lain tidak dapat minum minum­an­­ber-
alkohol selama kurang-lebih 30 hari, siang dan malam—meski­
pun­mereka lazim melakukannya sebagai bagian dari hidup me­
re­ka—karena bar tak boleh buka dan kalaupun ada restoran bu­
ka, bir, anggur, wiski, konyak, vodka, dan lain-lain harus masuk
kotak.
Terkadang saya tak tahu apakah saya merasa bangga, atau ber-
syukur, atau merasa bersalah, ketika di mana-mana dipasang an-
juran: ”Hormatilah Orang yang Berpuasa”.
Tentu saja sikap menghormati adalah sebuah sikap yang bisa
datang dari hati yang ikhlas dan sukarela. Tapi sikap itu juga bisa
diperlihatkan khalayak ramai karena aturan pemerintah, para
ula­ma, atau tekanan lain yang menakutkan. Kita sekarang tidak
tahu yang mana yang menentukan. Jika ada polisi atau petugas
http://facebook.com/indonesiapustaka

kota praja—belum lagi kelompok orang galak yang dengan gam-


pang menyerbu dan merusak—yang membuat penghormatan itu
berlaku, saya tak pernah yakin sejauh mana penghormatan (atau
lebih tepat ”apresiasi”) yang ikhlas yang sedang saya rasakan. Ja­

Catatan Pinggir 9 43
PUASA

ngan-­jangan semuanya adalah penghormatan (atau lebih tepat


”sikap merunduk”) yang dengan gerutu.
Tapi di sebuah negeri yang tak jarang memperdagangkan ke-
palsuan, akhirnya soal seperti itu tak dipersoalkan. Pokoknya: sa­
ya berpuasa, sebab itu saya harus dihormati.
Namun saya tak hendak mengomel. Sebab menghormati­
orang yang berpuasa dapat berangkat dari sebuah alasan yang
ba­gus. Ramadan sering dikatakan sebagai bulan yang dekat de-
ngan rohani. Tetapi tak kurang dari itu Ramadan sebenarnya me­
nekankan pentingnya tubuh—justru dengan mengaktualisasi-
kan tubuh yang tak penuh. Bulan ini adalah bulan yang berbica­ra
tentang kondisi dasar manusia yang paling kurang. Puasa adalah
penegasan diriku sebagai sesuatu yang lapar dan juga retak: seba­
gai aku yang ingin dan tak mendapat, aku yang menolak untuk
ra­kus tapi juga merasa sakit.
Tapi saya, yang berpuasa ini, juga sering tak menyadari bahwa­
puasa dapat memberi diri sesuatu yang sama sekali bertentangan:­
rasa berkelebihan, bahkan supremasi. Aku seakan-akan dalam
ke­sucian, sebagai yang ”berkorban” dan juga sebagai yang ”tak na-
jis”. Orang lain? Mereka dosa, loba, penuh syahwat—pendeknya
lebih nista dari diriku.
Itu barangkali asal mula orang lain dituntut untuk menghor-
mati aku. Kalau tidak, orang lain harus aku jauhi. Kalau tidak,
orang lain harus aku tobatkan. Aku, si suci, harus meniadakan-
nya sebagaimana dia adanya, dengan menyisihkan atau meng­
ubahnya.
Salah satu problem besar dunia ialah bahwa kita sering mene­
mukan wajah yang bertentangan seperti saya sebut tadi dari orang
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang berpuasa—atau dari orang dalam ibadat yang mana pun.


Kon­tradiksi ini disembunyikan atau ditekan karena wacana yang
ada diberi sanksi oleh sebuah bayangan tentang Yang Maha Kua-
sa dan Maha Sempurna yang menuntut keutuhan dan kekuatan,

44 Catatan Pinggir 9
PUASA

bukan sebuah bayangan tentang Yang Maha Rahman dan Ra-


him yang mengampuni si daif dan si retak-cacat.
Dalam wajah yang lapar, yang dekat dengan tubuh, dalam
kekurangan dan kefanaan, manusia hadir mau tak mau mengala-
mi dirinya bukan sebagai sebuah ide, bukan sebuah konsep yang
abstrak. Perut yang meminta nasi dan tenggorokan yang sedikit
bau basah tidak ada dalam Manusia dengan ”M”. Seraya bersen-
tuhan dalam sifatnya yang konkret, manusia mengalami dan
me­nyadari apa artinya perubahan, apa perlunya perbedaan dari
waktu ke waktu, perbedaan dari satu situasi ke situasi lain.
Tetapi bila puasa bukan menandaskan wajah yang lapar, me-
lainkan kesucian diri yang penuh, manusia merasa seakan-akan
berada di atas segala situasi, di luar waktu, tak tersentuh perubah­
an, dan perubahan bahkan dapat berarti najis.
Di hari-hari ini saya berpuasa—dan apakah gerangan yang
tumbuh dalam diri saya? Sesuatu yang menghargai yang fana dan
sebab itu berterima kasih atas setiap momen empati? Atau sesuatu
yang meminta dihormati, karena aku adalah sebuah prestasi, se-
buah posisi di atas sana, di mana yang kekal dan sempurna meng­
angkatku?
Jika saya harus menjawab, saya akan mengatakan: saya takut
dihormati.

Tempo, 23 September 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 9 45
http://facebook.com/indonesiapustaka

46
Catatan Pinggir 9
GESTAPU

T
iap 30 September dan 1 Oktober kita teringat pembu­
nuhan. Di tahun 1965-1966 itu, mula-mula sejumlah
jen­deral, kemudian berpuluh ribu orang Indonesia yang
bukan jenderal dan tak bersalah bergelimpangan dibantai. Atau
disiksa.
Sejak itu, di tanah tumpah darah ini, kita begitu takut, pedih,
dan malu mengaku bersalah oleh keganasan itu. Semuanya kita
ma­sukkan ke dalam sebuah kata, ”Gestapu”, seperti kita me­
nyem­bunyikan sesuatu di dalam kotak. Kita gagap bila kita harus
mengenangnya.
Maka tiap 30 September dan 1 Oktober ada keinginan yang
sa­ya kira terpendam di hati orang banyak: keinginan untuk mam-
pu mengenang horor itu, tapi juga berharap ia tak akan berulang.
Indonesia tak boleh lagi mengelola konflik lewat darah dan besi.
Keinginan itu tampak mudah dipenuhi setelah ”Orde Baru”
runtuh, setelah sebuah pemerintahan yang stabil—tapi bersandar­
pada kapasitasnya membangun rasa takut—ambruk. Tapi se­gera
terbukti kita gampang terbuai ilusi. Prasangka rasial, rasa cu­riga
antarkelompok, kebencian, paranoia, dan waswas yang diperkuat
oleh agama seakan-akan malah bergelombang datang. In­donesia
nyaris habis harapan. Semuanya seakan-akan mesti ber­akhir de-
ngan membunuh.
Tapi mungkinkah ada sebuah lingkungan hidup bersama—
bi­sa disebut ”masyarakat”, ”komunitas”, atau ”bangsa”—yang
akan memilih khaos dan kekerasan sebagai satu-satunya cara ber-
http://facebook.com/indonesiapustaka

saing dan bersengketa? Para optimis mengatakan, tak mungkin.


Sengketa dan kekerasan bukanlah pola dalam sejarah. Tiap kehi­
dupan bersama selalu mengandung keinginan bersama untuk
”ma­syarakat yang baik” dan kapasitas untuk mencapai mufakat.

Catatan Pinggir 9 47
GESTAPU

Bahkan binatang buas berdamai dalam puaknya.


Tapi benarkah ”selalu”? Benarkah kita senantiasa bergerak un-
tuk mufakat? Katakanlah tiap orang, tiap kelompok, memang
meng­hendaki ”masyarakat yang baik”, tapi apa gerangan yang
”ba­ik”? Selalukah yang ”baik” bagi kami juga ”baik” bagi mere­
ka?
Zaman ini yang berbeda dan ganjil berduyun-duyun masuk
ke dalam pengalaman—dan kita ragu adakah nilai yang univer-
sal. Kondisi ”pasca-modernis” datang. Seorang pemikir seperti
Ri­chard Rorty bahkan menunjukkan, nilai-nilai selamanya con­
tingent, tergantung, kepada waktu dan tempat. Apa yang ”baik”
selamanya dipengaruhi konteks. Sebab itu jangan dipaksakan.
Bahkan keyakinan kita sendiri tentang ”baik” dan ”buruk” perlu
dicampur dengan satu dosis besar ironi.
Pandangan seperti ini memang membuka ruang luas toleran­
si. Kita tak bisa jadi fanatik memeluk ide-ide besar. Tapi ada yang
boyak; ia tak cukup memberi dasar bagi langkah politik untuk
membangun kebaikan bagi sesama. Tentu, Rorty tak mengang-
gap kita bisa selamanya berdiri di tepi dengan senyum ironis. Ba­
gi­nya, tak ada alasan untuk berpangku tangan ketika kekejam­an
terjadi.
Rorty memang tak menampik tumbuhnya rasa solidaritas an­
tarmanusia. Tapi bagaimana rasa solidaritas itu mungkin? Ba­
gaimana ia bisa memadai untuk membentuk sebuah kekuatan
pembebas, jika keyakinan tentang nilai-nilai yang universal, yang
menggerakkan siapa saja, cair oleh ironi?
Memang, liberalisme Rorty bukan formula untuk bunuh-
mem­bunuh. Tapi ia tak bisa memberi jawab bagi keadaan yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

mungkin tak dialaminya. Rorty begitu betah dengan hidup nya-


man Amerika-nya. Tapi ada kondisi lain, di mana politik bergerak­
bukan karena keinginan, melainkan oleh kemestian, di mana ga­
gasan tentang ”masyarakat yang baik” bukan imajinasi waktu

48 Catatan Pinggir 9
GESTAPU

senggang, melainkan karena rasa lapar yang akut akan keadilan.


Di sini liberalisme ala Rorty bisa semacam skandal. Tak meng­
herankan dalam latar umum Afrika, Asia, dan Amerika La­tin,
orang pernah dengan bahagia mendapatkan analisis dan ins­pirasi
dari yang lain: Marxisme. Marxisme punya satu imbauan­univer­
sal: cita-cita tentang masyarakat tanpa kelas. Tapi juga Marxisme
bisa ampuh karena melihat nilai-nilai sebagai sesuatu yang tak
da­tang dari luar sejarah. Marxisme merayakan dinamika dan­
per­ubahan.
Tak mengherankan bila beribu-ribu orang pun bergerak, de-
ngan sakit dan miskin, dengan jiwa dan raga. Yang tragis ialah
bahwa Marxisme—sebuah alat diagnostik yang cemerlang—
ternyata sebuah terapi yang gagal. Bahkan Cina murtad. Apa
yang tersisa dari Marxisme di sana sekarang, dengan kemajuan
ekonomi yang membuat orang terkesima? Hanya sebuah partai
komunis yang tak percaya kepada imannya sendiri.
Maka pada suatu saat orang pun membaca Habermas. Ia me­
yakinkan kita bahwa ada rasionalitas yang bisa membawa apa
yang ”baik” melintasi batas ruang-dan-waktu. Komunikasi ada­
lah laku yang tak asing. Dalam situasinya yang ideal, komunika-
si dapat menghasilkan mufakat tentang ”masyarakat yang baik”.
Tapi tiap 30 September dan 1 Oktober kita teringat bahwa do-
rongan untuk bermufakat berakhir dengan pembunuhan. Indo-
nesia adalah sebuah republik yang luka ketika bersikeras mem-
bentuk konsensus. Kini kita takut berilusi: bisakah kita sepakat
tentang ”masyarakat yang baik”? Akan adakah situasi percakap­
an yang ideal?
Siapa yang takut mimpi perlu memanggil mambang Marx-
http://facebook.com/indonesiapustaka

isme. Kita akan bisa melihat—seperti Laclau memanggil roh


Gramci—bahwa mufakat tak datang dengan sendirinya. Ia hasil
pergulatan hegemoni. Dan dengan Marxisme yang radikal yang
memandang sejarah sebagai perubahan, kita akan mengakui

Catatan Pinggir 9 49
GESTAPU

bahwa hegemoni itu tak akan abadi. Pengertian dan konsensus


tentang ”masyarakat yang baik” tak akan kekal. Kekuasaan yang
menjaga konsensus itu tak akan selamanya bisa memenuhi cita-
cita.
Itu sebabnya kita memilih demokrasi sebagai sistem yang
mengakui kekurangan manusia. Kita lebih berendah hati. Maka
sambil mengakui pergulatan politik akan berlangsung terus-
menerus, kita tak perlu bersiap dengan darah dan besi. Ongkos
akan terlalu mahal—seperti 30 September dan 1 Oktober 1965—
untuk sesuatu yang tak akan sempurna dan selama-lamanya.

Tempo, 30 September 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

50 Catatan Pinggir 9
MYANMAR

K
au benar, Suu Kyi: keberanian bisa menular. Ia juga bi­
sa menyentuh. Dunia kini tengah menyaksikan dengan
kagum deretan 10 ribu biarawan dan biarawati berju­
bah merah berbaris dari Pagoda Shwegadon, menapak jalan-ja-
lan kota Yangoon. Telah sepuluh hari lamanya mereka utarakan
apa yang selama ini telah kau utarakan, mereka ucapkan apa yang
selama ini dibisukan: pemerintahan militer tak bisa diterima!
Myanmar tak bisa ditindas!
Mereka juga datang memasuki Avenue Universitas, mendekat
ke rumah tempat kau ditahan selama sebelas tahun. Seratus orang
polisi mencegah. Para biarawan itu mundur. Tapi akhirnya ada
yang juga mendekat. Orang-orang melihat kau muncul di jen-
dela. Kau melambai, menyambut mereka—dengan mata basah.
Aku ingin sekali berada di jalan itu, Suu Kyi. Tiap keberanian
untuk keadilan adalah cercah harapan—benda langka di zaman
yang sinis. Seperti berkah yang hilang, seperti wahyu yang sela-
lu tertunda. Tapi keberanian, biarpun sejenak, bisa menular, kau
pernah bilang. Aku tak heran ketika Aung Way, sang penyair, ke-
marin berkata, ”Besok banyak lagi yang akan serta!”
Hari ini, ada yang dihalau dari Myanmar. Tak akan banyak
lagi yang akan bilang: ”Kita semua hanya memikirkan diri sendi­
ri.” Kau pernah katakan, rasa takut itu mengkorup jiwa, tapi ada
yang lebih jahat ketimbang itu, Suu Kyi: ketakpercayaan kepada
yang baik dalam diri sesama. Sinisme itulah yang membinasakan
kita.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Memang, orang bilang, sejarah tak selamanya dibikin dari op-


timisme. Sebab itu aku tak akan bicara tentang itu. Tapi jelas:
ke­laliman, kesewenang-wenangan, dan penindasan yang dirasa­
kan luas adalah sebuah kehilangan yang menusuk hati. Dari li-

Catatan Pinggir 9 51
MYANMAR

ang luka itulah keadilan disebut sebagai hasrat yang kuat dan ke-
bebasan jadi pekik yang keras. Tanpa seorang pintar pun yang
mendefinisikannya.
Kau pasti tahu, dari pengalamanmu, sebuah rezim tak dengan
sendirinya rubuh di depan pekik itu. Tapi para jenderal itu—de-
ngan seragam mereka yang wagu tapi yakin—kini tak bisa lagi
mengatakan, ”Hai, kalian tak mewakili bangsa ini! Kamilah
yang mewujudkannya!” Kini ribuan jubah merah yang bergerak
itu adalah tanda kesekian dari zaman yang bergerak, dengan su-
ara yang menggugat: ”Tuan-tuan tidak mewakili kami! Burma
telah jadi sebuah jurang!”
Tapi tentu saja Myanmar bukan sebuah jurang yang walau
dalam tak punya udara lepas. Sebab bukan hanya protes seperti
itu yang kini jadi berarti, Suu Kyi. Di bawah teror bahasa yang
selama 45 tahun dikuasai koran resmi yang buruk, ucapan kecil,
ungkapan lucu, saling tatap yang muram, bahkan senyum diku-
lum—semuanya jadi bagian dari penolakan. Karena tiap frase di
Myanmar kini adalah klise, karena tiap klise adalah represi, dan
tiap represi membuat gagu. Yang ajaib ialah bahwa gagu itu men-
jalar tak sepihak. Para jenderal di podium itu ikut terkena: bahasa
mereka tak berbunyi lagi.
Aku ingat Zagana, komedian kota Yangoon yang selama ini
dibiarkan oleh rezim karena cemoohnya dianggap tak berbahaya.­
Ia sebenarnya sudah lama membangkang, dengan ucapan-ucap­
an lucu, mengejek, yang pintar. Tapi kini ia lebih dari kocak. Aku
dengar ia bilang akan menyediakan makanan dan minuman ba­gi
para pemrotes. Itu bukan isyarat sepele—sebab tentara telah me­
nembak sembilan orang mati, ratusan biarawan disekap, bebera-
http://facebook.com/indonesiapustaka

pa biara dikepung, dan jam malam diumumkan.


Beberapa bulan yang lalu, di puncak Bukit Mandalay, di ba­
lus­trada yang memanjang dari patung perak Sang Buddha, biara­
wan muda yang aku belum berani sebut namanya itu menunjuk­

52 Catatan Pinggir 9
MYANMAR

jauh ke bawah. Lihat deretan bangunan kuning itu, katanya.


Penjara Myinchan. Dan aku tahu apa maksudnya.
Burma sebuah penjara, ia seperti menirukan Hamlet yang
menyimpan dendam. Tahun 1988, ia berbisik dalam bahasa Ing-
gris yang bagus. Kami semua ingat 1988. Apa yang terjadi di ta-
hun itu? Ia menjawab: 3.000 demonstran ditembak mati.
Dan dunia tak bisa berbuat banyak. Kau pasti cemas, Suu Kyi.
Dunia selalu tak akan bisa berbuat apa-apa kecuali mengeluar-
kan kata-kata jika nanti lebih banyak orang ditembak. Indonesia,
negeriku, yang pernah menumbangkan sebuah rezim yang mirip,
mungkin juga akan tak malu untuk hanya diam—sebagaimana
ia juga dulu tak malu-malu membiarkan kaum fasis itu masuk
ASEAN. Dan kami, yang di kejauhan menyatakan simpati, yang
menulis, membuat statemen, mengenakan baju merah mengikuti
protes di Yangoon dan Mandalay, hanya bisa sebatas ini.
Tapi keberanian tak hanya menular, Suu Kyi. Keberanian
membangun sesuatu ke dalam diri. Hari-hari ini protes mungkin
akan gagal. Tapi bangunan batin itu akan bisa tetap, mungkin­
makin meluas dalam mengalahkan ketakutan, mengusir sinisme.
Mudah-mudahan ia akan lebih bertahan ketimbang sebuah re­
zim—biarpun begitu banyak kekecewaan dalam sejarah. Sebab
Myanmar telah punya sebuah teladan: engkau. Sebab sejak hari
ini tiap pagi harapan memanjat naik, biarpun pelan, lebih tinggi
ketimbang 1.000 pagoda.

Tempo, 7 Oktober 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 9 53
http://facebook.com/indonesiapustaka

54
Catatan Pinggir 9
ŠVEJK

H
ari itu 5 Oktober 1945. Tak seorang pun agaknya
yang ingat Švejk. Atau tak seorang pun di antara para
pe­muda yang bertekad mendirikan angkatan perang
un­tuk Republik Indonesia yang baru berumur dua bulan itu yang
pernah membaca Švejk, Prajurit Baek.
Kita tahu kenapa. Waktu itu Indonesia sedang bertolak de-
ngan keyakinan seorang pemuda tanggung; ia belum tahu bahwa­
banyak hal sebenarnya perlu diolok-olok—juga perkara yang mu-
lia dan luhur: tanah air, tuhan resmi, tentara nasional. Seingat
saya, Švejk, sebuah prosa yang penuh cemooh, baru dikenal di In-
donesia pada 1950-an, ketika Republik sudah mulai senyum ke-
cut dan novel itu diterjemahkan.
Karya satire Jaroslav Hašek ini terbit dalam bahasa Cek pada
1923. Inilah kisah Josef Švejk, seorang prajurit yang ikut dalam
Perang Dunia I—sebuah perang yang bagi Hašek bukan cuma
brutal, tapi juga sia-sia dan tak beralasan.
Agar mudah membayangkan sosok Švejk, kita lihat ilustrasi­
Josef Lada yang menyertai novel ini sejak awal: si prajurit berumur­
sekitar 40, tambun dan sedikit buncit perutnya, dengan hidung
yang mencuat seperti sosis goreng. Seluruhnya kaku. Alkisah, de-
ngan antusias ia mendaftarkan diri di dinas militer. Tapi ia begi­
tu dungu sehingga tak jelas benarkah ia mau berjuang atau justru­
hendak mengacaukan tentara Kerajaan Austro-Hungaria dari
da­lam, saking pandirnya.
Ada situasi absurd dalam tiap novel ”picaresque”, dalam tiap
http://facebook.com/indonesiapustaka

kisah petualangan si kebayan. Švejk, Prajurit Baek sering diang-


gap sebagai novel anti-perang, tapi yang diolok-olok bukanlah
kekerasan besar itu. Bahkan tak ada adegan pertempuran dalam
karya Hašek ini. Švejk memunculkan sesuatu yang lebih tak ma-

Catatan Pinggir 9 55
ŠVEJK

suk akal, kocak saking absurdnya, dan menakutkan: birokrasi


ten­tara.
Mesin manusia inilah yang membuat seorang serdadu seperti
Švejk jadi sebutir bola lembek yang ditendang ke sana-kemari di
sebuah pertandingan yang edan.
Tapi bisa juga dikatakan bahwa Hašek tak cuma bicara ten­
tang­itu. Semua organisasi besar jadi bulan-bulanannya, dan se­
mua oknum yang terlibat ditertawakannya: dari maharaja, pen-
deta, sampai pejabat rendah, semua ditampilkan tak becus, atau
teler, atau berpikir sempit dan rasialis. Tentu saja mereka menga­
ta­kan mereka menjalankan tugas. Tapi atas nama tugas pula me­
re­ka bisa agresif, baik dengan kata maupun dengan perbuatan—
terutama terhadap anak buah.
Walhasil, dalam Švejk, Negara terjadi karena hasrat mencipta­
kan tertib, dan tertib itu berarti kepatuhan. Sifat ”baik” pun sa­
ma dengan sikap ”tunduk”. Tapi Hašek menunjukkan, dengan
ter­tawa geli, bahwa hasrat penaklukan itu cuma ilusi. Si Švejk di-
katakan sebagai prajurit yang ”baik”, tapi ia tetap mencong ke
sana-kemari, hingga di sini saya lebih suka menyebutnya bukan
”baik”, tapi ”baek”.
Para penguasa—contoh yang paling mencolok adalah para
pembesar militer—selalu tak insyaf bahwa mereka sebenarnya
di­batasi sejarah. Negara tak datang dari langit. Ia dibangun oleh
tangan dan kaki manusia dalam sebuah ruang dan waktu terba-
tas. Ia tak ajeg dan tak kekal. Tapi, lebih dari itu, ia juga ditopang
oleh riwayat kekerasan. Legitimasinya didasarkan pada sebuah
masa lalu yang sebenarnya tak legal, bahkan ganas.
Legenda Roma adalah paradigmanya: kota itu dibangun oleh
http://facebook.com/indonesiapustaka

Romus dan Romulus, tapi Roma praktis terjadi setelah Romus


mem­bunuh saudaranya itu. Indonesia (juga Amerika Serikat,
Cina, India, atau mana saja) pun berdiri lewat permusuhan, pe-
nyingkiran, dan pemaksaan sesama saudara.

56 Catatan Pinggir 9
ŠVEJK

Tentu saja tak sepenuhnya sejarah adalah kisah yang berdarah.


Setelah kekerasan, lahirlah simbol, mitos, dan seluruh produksi
wacana—yang sering dirancang untuk mengukuhkan diri.
Satu cerita dalam Švejk adalah kisah prajurit Marek. Sukare-
lawan ini diberi tugas menulis sejarah batalion tempat ia berga­
bung. Ia pun sibuk menuliskan tindakan heroik batalion itu—
tapi lebih dahulu, sebelum perang sebenarnya terjadi.
”Sebutkan nama seorang sersan mayor di kompi 12,” kata Ma­
rek sambil merancang karya sejarahnya. ”Houska? Bagus. Nanti­
dalam pertempuran kepala Houska akan copot kena ranjau. Ke-
palanya akan terlontar, tapi tubuhnya akan berbaris maju satu
atau dua langkah, membidik dan pesawat musuh itu jatuh.”
”Historiografi” seperti itu tentu saja menggelikan, sebab keli-
hatan bagaimana Marek merancang agar akal sehat dan imajinasi
diperkosa.
Tapi Negara dan legitimasinya tak pernah kekal. Yang disusun­
Marek akan rontok. Akan muncul seorang Hašek yang tak mau
terkesima wacana resmi. Bukan maksudnya menuliskan sejarah
tandingan—sebab sejarah tandingan juga bisa tergoda dusta. Se-
perti Idrus dalam novel Surabaya, yang mengisahkan kembali
hari-hari pertempuran November 1945, seorang Hašek mungkin
akan menulis yang lain tentang 5 Oktober—dan membuat kita
arif: siapa saja yang dengan mesin dan wacana mencoba membuat
kita ”baik”, paling-paling hanya akan membuat kita gagal meme­
nuhi rumusnya; kita hanya jadi ”baek”.

Tempo, 14 Oktober 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 9 57
http://facebook.com/indonesiapustaka

58
Catatan Pinggir 9
PO KYIN

A
pati adalah produk samping kolonialisme yang menye-
babkan kemerdekaan dianggap keliru. Mungkin bukan
hanya penindasan orang asing yang jadi soal—melain­
kan­kombinasi antara bedil, bui, dan bujukan yang efektif, sesu­
atu yang dulu terjadi di Burma, dan sekarang terjadi lagi.
Saya teringat U Po Kyin. Lelaki berperut buncit dalam novel­
Orwell Burmese Days ini memang tak mudah dilupakan: ia ada­
lah kekejian yang turun ke bumi di sebuah negeri panas yang tak
bi­sa berharap. Ia menipu, ia memperkosa, ia merancang untuk
meng­hancurkan orang yang didengkinya, dan ia ingin memper­
oleh semuanya—juga surga.
Novel ini dibuka dengan adegan ketika Po Kyin, hakim per­
adil­an rendah di Kota Kyauktada, Burma Utara, sedang duduk di
beranda rumahnya. Hari baru setengah sembilan pagi, tapi langit
warna biru laut yang segera mendatangkan tengah hari yang pan-
jang dan gerah. Tapi U Po Kyin, seperti patung dewa dari porse-
lin, tak bergeming.
Tubuhnya begitu gemuk hingga dalam umur 56 tahun itu ia
tak bisa bangkit dari kursinya tanpa ditolong. Kepalanya gundul,­
raut mukanya luas, warna kulitnya langsat dan tak berkerut.
Tung­kai kakinya tambun, dengan jari-jari yang rata panjangnya.
Ia mengenakan sarung longyi dari Arakan, bergaris-gars hijau
dan magenta, yang biasa dipakai orang Burma untuk acara tak
res­mi. Mulutnya sibuk mengunyah gambir yang diambilnya dari
kotak kayu dipernis di meja dekatnya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ia, U Po Kyin, sedang merenungkan nasibnya yang baik.


Suksesnya dimulai dengan sebuah keputusan ketika ia masih­
seorang anak yang terkesima melihat pasukan Inggris berbaris
masuk penuh kemenangan ke Kota Mandalay. Memandang ba­

Catatan Pinggir 9 59
PO KYIN

ris­an laki-laki bermuka merah dan berseragam merah itu, yang


menyandang senapan panjang di pundak dan melangkah dalam
derap yang berat tapi berirama, ia lari. Kesimpulannya: manusia
yang baru datang itu tak akan terkalahkan. Dan Po Kyin kecil
pun bertekad untuk bergabung dengan bangsa itu, nanti bila ia
be­sar. Ia tak hendak memihak Burma yang kalah.
Pada umur 17 ia mencoba jadi pegawai gubernemen, tapi ga-
gal. Ia miskin dan tak punya koneksi. Maka tiga tahun lamanya
ia bekerja di lorong-lorong pasar Mandalay yang apak dan bacin,­
jadi kerani saudagar beras, seraya sekali-sekali mencuri. Pada
umur 20 ia dapat 400 rupiah gara-gara memeras kecil-kecilan,
dan dengan uang itu ia berangkat ke Rangoon. Di ibu kota itu ia
ber­hasil menyuap untuk masuk jadi kerani pemerintah.
Pekerjaan itu memberinya penghasilan yang mudah, meski­
pun­gajinya kecil. Ia menilap banyak barang dari gudang guberne­
men. Tapi nasib terbaiknya datang kemudian: sebuah lowongan
terbuka dan ia berhasil memfitnah pesaing-pesaingnya, yang ke-
banyakan masuk penjara, dan dengan itu ia naik.
Kariernya meningkat. Ia akhirnya dapat jabatan hakim per­
adil­an rendah Kota Kyauktada, dengan sikap adil yang terkenal
ta­pi sebetulnya menyembunyikan sesuatu yang licik: Po Kyin
akan menarik suap dari kedua pihak yang berperkara, dan kemu-
dian memutuskan berdasarkan hukum yang ada.
Kejahatan orang ini tak hanya sampai di situ, dan saya kira
Or­well sedikit berlebihan menampilkan tokoh yang begitu busuk­
dalam novelnya. Tapi ini bukan kisah tentang Po Kyin. Novel
ini membidikkan kata-katanya ke sebuah masyarakat yang sakit
oleh kolonialisme—dibelah oleh prasangka dan kebencian rasial,
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang pada akhirnya merupakan garis kebijakan penjajahan juga.


Bila ambisi Po Kyin adalah ingin jadi anggota Klub Eropa—yang
anggotanya khusus orang kulit putih atau orang lain yang diang-
gap setara—kita tahu sebabnya: diskriminasi dan penghinaan

60 Catatan Pinggir 9
PO KYIN

karena warna kulit telah menyusup sampai ke tulang sumsum


siapa saja.
Bahkan mereka yang sebenarnya jadi korban penghinaan itu
sendiri mereproduksinya dalam hidup mereka. Po Kyin akan
meng­halalkan tindakan apa saja—menghasut, membuat keru­
suh­an, memfitnah—untuk dapat disetarakan dengan orang pu-
tih di Klub Eropa. Dr Veraswami, orang India berkulit gelap itu,
mengukuhkan supremasi orang Inggris dengan menganggap
bah­wa manusia Timur tak akan tertolong tanpa Pax Britanica.
Ketika sahabatnya, Flory, satu-satunya orang Inggris yang dengan
mata nyalang melihat akibat buruk kolonialisme, Veraswami­jus-
tru membantahnya. ”Lihat Burma di zaman Thibaw,” katanya,
”dengan kotoran, penyiksaan dan kebodohan, dan lihat apa yang
tam­pak sekarang di sekitar tuan. Rumah sakit, sekolah, kantor
polisi....”
Bagi Po Kyin dan Veraswami, kolonialisme dan penghinaan
me­reka perlukan. Bagi orang macam mereka, kemerdekaan tak
per­nah terpikirkan, sebab mereka tak merasa membutuhkan se-
buah keadaan yang lebih adil, meskipun sebenarnya ketidakadil­
an mengepung hidup mereka. Mereka bebas dari bedil dan bui,
tapi mereka menyerah ke dalam bujukan yang menjebak mereka,
bahwa bangsa mereka ditakdirkan kalah. Apati yang menang—
itu bahkan terasa dari tangan Orwell ketika ia menggambarkan
bangsa yang terjajah itu: tak ada perlawanan.
Tapi mungkinkah apati bisa bertahan? Yang terjadi di Myan-
mar hari-hari ini menjawab: tidak.

Tempo, 21 Oktober 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 9 61
http://facebook.com/indonesiapustaka

62
Catatan Pinggir 9
PULANG

P
ulang adalah sepatah kata kerja yang bertuah. Berapa­
juta manusia bersedia berdesak-desak, menanggung pa-
nas dan rasa tak nyaman dan risiko celaka, luka, dan ma­
ti, dalam sebuah ritual raksasa tiap tahun yang disebut ”mudik”?
”Mudik”, sebagaimana ”pulang”, adalah pengertian ruang,
ta­pi juga waktu. ”Pulang” berarti kembali ke tempat asal, ke titik
di bumi dari mana aku berangkat, dulu.
Kini ritual itu kian dikukuhkan. Negara dan pasar menyesuai­
kan langkah dengan gegap-gempita: jawatan perhubungan, dinas
kepolisian, perusahaan transportasi, pelayanan telepon.... Bila
pa­ra peneliti sosial kini bicara tentang orang Indonesia yang se-
makin konservatif, ”pulang” adalah salah satu indikasinya.
Pernah ”pulang”, gerak ke masa silam, tak dianggap sebagai
ba­gian dari zaman. Pernah hidup digerakkan gelora modernitas.
Pada tahun 1930-an, S. Takdir Alisjahbana, pelopor Pujangga
Ba­ru itu, menulis sebuah sajak yang juga sebuah manifesto mo-
dernitas: temanya bukan pulang, melainkan pergi.
”Telah kutinggalkan engkau,” bisik Takdir kepada teluk te­
duh tempat asalnya. Dalam sajak yang terkenal itu ia putuskan
un­tuk meninggalkan alam tenang yang dilindungi gunung. Sang
penyair memilih laut luas tanpa proteksi: ia bebas, sebab itu ia be-
rani menghadapi mara bahaya dalam ketakpastian cuaca.
Di masa itu, dalam semangat itu, ”pulang” adalah arus balik
ke tradisi. Tradisi mengandung tuntutannya sendiri. Modernitas
adalah pembangkangan: ada anak yang hilang.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tentu ada juga luka. Tentu ada rasa bersalah ketika seorang
anak tak hendak kembali dan ada rasa sakit ketika seutas akar di­
lepaskan. Tapi ”tak-pulang” adalah kondisi zaman. Bila pulang
ki­ni jadi ritual, dulu pergi adalah sebuah ritus. Hanya seorang

Catatan Pinggir 9 63
PULANG

yang disunat yang jadi dewasa.


Sajak Sitor Situmorang, Si Anak Hilang, dengan memukau
melantunkan kembali melankoli kehilangan dalam ritus itu—
ketika si anak muda pulang dari Eropa, menemui ibunya yang
rin­du dan dusunnya yang ingin tahu, tapi ternyata tetap ada yang
putus. Saya kutip bagian akhir sajak itu:

Si anak hilang kini kembali


tak seorang dikenalnya lagi
berapa kali panen sudah
apa saja telah terjadi?

Seluruh desa bertanya-tanya


sudah beranak sudah berapa?
Si anak hilang berdiam saja
ia lebih hendak bertanya

Selesai makan ketika senja


ibu menghampiri ingin disapa
anak memandang ibu bertanya
ingin tahu dingin Eropa

Anak diam mengenang lupa


dingin Eropa musim kotanya
ibu diam berhenti berkata
tiada sesal hanya gembira

Malam tiba ibu tertidur


http://facebook.com/indonesiapustaka

bapa lama sudah mendengkur


di pantai pasir berdesir gelombang
tahu si anak tiada pulang

64 Catatan Pinggir 9
PULANG

Kita lihat, Sitor kembali menggunakan bentuk syair lama, bu-


kan sajak bebas, tapi berbeda dengan sastra tradisional, dalam
Si Anak Hilang terasa sebuah dunia subyektif yang intens. Anak
muda itu berdiam diri, karena di kepalanya berlintasan ”dingin
Eropa” yang belum sepenuhnya ia lupakan. Anak muda itu tak
bi­cara, karena di hatinya ia menjauh dari suara di sekitarnya, juga
suara kangen sang ibu.
Ada sikap mendua yang murung dalam sajak Sitor. Tapi pada
akhirnya hanya gelombang yang berdesir yang tahu bahwa ia me-
mang anak yang hilang. Gelombang: di pantai pasir itu ia datang
dari jauh, tapi segera kembali ke laut. Kita tak tahu dari mana ge­
lom­bang berasal, ke mana ia menghilang.
Dari mana sebenarnya kita berasal? Di tiap zaman selalu ter-
dengar seruan agar kita ingat akan akar kita. Yang sering dilupa­
kan adalah bahwa asal dan akar bukan sesuatu yang dengan sen­
dirinya terpacak siap di dunia. Akar dan asal selamanya sebuah
ha­sil seleksi terhadap ingatan kita sendiri. Seorang tak hanya ber­
akar di Serang atau Seram; ia juga punya akar pada keluarga ter-
tentu, dengan riwayat tertentu, di lapisan sosial dan dibesarkan
dengan nilai tertentu. Tiap kali sebuah asal diberi nama dan dise-
but sebagai identitas, timbul masalah.
Saya pernah mengatakan, ”jati diri” adalah sebuah kata yang
meragukan. ”Jati” berarti ”benar”; tapi mana sebenarnya ”diri”
yang ”benar”? Tak hanya tersedia satu jawaban untuk itu. Pulang
ke dalam ”diri” yang ”benar” pada akhirnya juga sebuah pengem-
baraan tersendiri, sebab yang ”benar” itu hanya tercapai sementa­
ra, semacam sebuah pelabuhan transito.
Pernah kita kenal sebuah talibun, sebentuk pantun enam baris
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang berisi petuah:

Kalau anak pergi ke pekan


Yu beli beranak beli

Catatan Pinggir 9 65
PULANG

Ikan panjang beli dahulu

Kalau anak pergi berjalan


Ibu cari sanakpun cari
Induk semang cari dahulu

Kata-kata itu datang dari masyarakat yang merantau, bukan


menetap—dari mana lahir Takdir dan Sitor. Talibun itu memang
tak mengekspresikan keputusan yang murung seorang anak yang
hilang, tapi ada yang sejajar: perjalanan adalah pengakuan bahwa­
teluk yang terlindung telah ditinggalkan. Sang perantau tak ber-
jalan untuk mencari ibu, melainkan ”induk semang”. Dengan
ka­ta lain, ia siap hidup dengan seseorang yang lain, yang bukan
sa­nak keluarga tapi bersedia menerima sang perantau, yang juga
asing.
Kini zaman berubah. Paradoks masa kini ialah ketika di ja­
ring­an Internet tapal batas raib, justru bertambah rasa takut ke­
pa­da yang lain, yang bukan sanak sendiri. Suasana kian konser-
vatif: orang bersiap pulang, walau mati menanti. Di masa lain,
un­tuk sebuah pembebasan, ”Tak seorang berniat pulang, walau
mati menanti.”
Itu sebaris sajak Hr. Bandaharo yang selalu menggetarkan.

Tempo, 28 Oktober 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

66 Catatan Pinggir 9
SEPATU TUA

Victor yang baik,


Percik darah saya yang pertama
Di bumi ini tumpahnya

R
endra menulis Sajak-Sajak Sepatu Tua: jika ada hu­
bung­an yang intim dan mendasar antara seseorang de-
ngan sepetak tanah—dan hubungan itu tumbuh jadi
puisi—kita menyaksikan sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh
kapitalisme.
Kapitalisme akan mengubah petak tanah itu jadi ruang yang
bisa dipertukarkan. Setelah itu, atau berbareng dengan itu, di­
konsumsi. Konsumsi adalah laku menghabisi. Si petak tanah
meng­alami proses seperti nasi tumpeng: ia mempunyai sesu­atu
yang indah ditata dan diberi makna simbolik, tapi setelah itu
akan berubah jadi santapan, benda yang siap dikunyah dan di­te­
lan. Mengkonsumsi adalah membikin ludes.
Sepatu tua yang menemani kakiku bertahun-tahun, yang be­
gi­tu kenal dengan raut telapak dan jariku, yang merupakan bagi­
an pengalaman hidupku, oleh kapitalisme akan dianggap sebagai
sesuatu yang mendekati habis. Kata ”tua” akan menjadi sama de-
ngan ”bekas”: sepasang sepatu yang aus, perlu dibuang, dan harus
di­ganti dengan yang baru.
Dalam arti tertentu, kapitalisme memisahkan hampir segala­
hal. Dengan memberi harga, kekuatan modal dan pasar bisa
mem­belah sepetak tanah dan sepasang sepatu ke dalam nilai gu­
http://facebook.com/indonesiapustaka

na dan nilai tukar, memisahkan apresiasi dari konsumsi, memi­


sah­kan yang kreatif dari yang produktif, memisahkan pengha­
yat­an dari sukses—dan kemudian menindas yang disebut perta-
ma. Sepatu itu tidak lagi bagian dari hidupku; ia dilepaskan dari

Catatan Pinggir 9 67
SEPATU TUA

sejarah tubuh dan kenanganku. Ia, sebagai bekas, akan jadi ben-
da yang tak perlu disimpan. Ia hanya elemen dalam perputaran
perdagangan, termasuk perdagangan di pasar loak.
Pemisahan seperti itu yang menyebabkan sebuah komoditi
jadi semacam hewan korban. Dipisahkan dari statusnya sebagai
sesuatu yang unik, yang singular, ia bisa dipertukarkan dengan
sesuatu yang datang dari yang tak tampak. Dalam agama, ia dise-
but ”rahmat Tuhan”; dalam kapitalisme ia disebut ”harga” yang
ditentukan oleh ”tangan yang tak terlihat.”
Maka ada benarnya ketika Walter Benjamin, dalam salah satu
karyanya yang diterbitkan setelah ia meninggal, melihat kapital-
isme sebagai agama. Yang dikatakan Agamben dalam Profana­
tions (Zone Books, 2007) tentang perkara ini membuat saya me­
mi­­kirkan kembali satu segi agama dan kapitalisme yang dapat
mem­buat mereka bergandengan—gejala yang kini tampak di
mana-mana.
Agama, dalam arti yang dikenal di bahasa Barat, bukan ber-
asal dari kata religare, sesuatu yang mengikat dan menyatukan
yang insani dengan yang ilahi. Menurut Agamben, asal kata reli­
gio adalah relegere, yang mengacu kepada sikap penuh hati-hati
dan cermat yang harus kita miliki ketika berhubungan dengan
pa­ra dewa. Harus ada kekhusyukan yang waspada di depan ben-
tuk dan formula, yang harus ditaati ketika kita memisahkan ma­
na yang sakral dan mana yang profan. Religio bukan menyatukan­
manusia dan dewa, melainkan meneguhkan bahwa masing-ma­
sing­terpisah jelas.
Sebab itu, kata Agamben, yang menentang agama bukanlah
sikap tak beriman kepada yang ilahi, melainkan sikap abai, atau
http://facebook.com/indonesiapustaka

perilaku yang bebas dan tak terpaku oleh pemisahan itu. Melaku-
kan sesuatu yang profan, kata Agamben, berarti membuka ke-
mungkinan untuk sikap yang acuh tak acuh, atau lalai terhadap
pemisahan antara yang sakral dan yang tidak.

68 Catatan Pinggir 9
SEPATU TUA

Namun saya kira ada yang dilupakan Agamben: apa yang ter-
jadi setelah pemisahan. Seperti saya sebut di atas tentang pemi­
sah­an yang terjadi oleh kapitalisme, ada penindasan yang satu
oleh yang lain. Demikianlah nilai guna ditindas oleh nilai tukar,
dorongan kreatif didesak oleh dorongan produktif, apresiasi atas
sa­tu barang ditenggelamkan oleh konsumsi yang membuat ba-
rang itu ludes dan terbuang.
Dalam agama, perpisahan antara yang insani dari yang ilahi
akhirnya juga dicoba dilenyapkan ketika kehidupan yang profan
dicengkeram oleh gairah untuk membuat semuanya jadi wilayah
Tuhan, ketika ”kota manusia” hendak dilindas oleh ”kota Tu-
han.”
Itu sebabnya para dewa atau Tuhan ”cemburu”, dalam pe­
ngertian Perjanjian Lama dan sajak Amir Hamzah, ketika manu­
sia abai. Atau ketika ia lebih akrab dengan sebuah benda, atau se­
petak tanah dan segala yang dianggap tak layak menyaingi-Nya.
Seperti halnya kapitalisme tak akan dengan mudah membiarkan
benda-benda tak dipertukarkan, bebas lepas dari harga, uang,
dan proses komodifikasi.
Tapi akan menyerahkan manusia? Mungkin ya—tapi tak se­
la­manya. Terutama jika ia menemukan cara membebaskan hal ih-
wal melalui apresiasi yang tanpa perhitungan—lewat permainan,
misalnya, atau lewat puisi, dan keakraban dengan pengalam­an
yang datang dari hidup. Dengan kiasan Rendra, lewat sajak-sajak
sepatu tua: sesuatu yang tak kekal, tetapi lebih berarti ketimbang
mati, sesuatu yang tak berguna dan bisa dibuang, tetapi tak akan
bisa dicampakkan. Sesuatu yang bisa bertahan dari keangkeran
agama yang merengkuh ke mana-mana dan mampu mengelak-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kan desakan kekuatan yang disebut pasar yang menjerat apa saja.
Suatu sikap abai, tapi bisa mengembalikan apa yang bermakna.

Tempo, 4 November 2007

Catatan Pinggir 9 69
http://facebook.com/indonesiapustaka

70
Catatan Pinggir 9
KRESNA

D
I lereng selatan Himalaya itu malam ketakutan—dan
pangeran dari Dwarawati itu merasakan suasana itu be-
gitu ia tiba. Di bawah bulan yang jadi kusam, bahkan
ular ikut menyembunyikan diri di bawah batu-batu karang yang
menjorok melampaui tebing. Tak ada cerah yang tersisa, rasanya.
Deretan pertapaan hancur; begitu brutal tentara Raja Boma
mem­­porakpandakan wilayah itu. Di tepi hutan, ladang-ladang
te­­lah binasa bersama benih kering yang tertanam di antara pema-
tang. Ilalang hangus, rata. Sebuah padepokan yang asri musnah;
din­­dingnya tak berbekas. Hari-hari murung. ”Dan di pohon-po-
hon beringin, capung pun bertangis-tangisan sedih ditinggal­kan­
oleh mereka yang mencintai keindahan.”
Itulah kalimat penyair penggubah Bhomantaka, puisi naratif­
Jawa Kuno yang ditulis di abad ke-12. Diterjemahkan oleh A.
Teeuw dan S.O. Robson, puisi yang terdiri dari 118 canto ini me­
ngi­sahkan perang antara pasukan Kresna dan balatentara Raja
Bo­ma yang menyerbu dan merusak pusat-pusat pertapaan di se­
ki­tar Dwarawati.
Syahdan, tak lama setelah para pertapa datang meminta per­
lin­dungan, Kresna pun mengirimkan Samba, putra mahkota, ke
wilayah yang kena gempur. Canto 7 yang saya kutip di atas ada­lah
adegan ketika Samba dan pasukannya tiba.
Perang yang segera terjadi melawan pasukan gergasi Raja Bo­
ma itu memang dahsyat, dengan ribuan gajah, kuda, dan manu-
sia bertabrakan. Di mana-mana leher putus tertebas, perut robek,
http://facebook.com/indonesiapustaka

jantung tercincang. Samba sempat terluka parah dalam sebuah


per­tempuran malam hari yang tak terduga; ia akhirnya gugur. Ju­
ga Arjuna, dengan kematian yang diikuti pekik bumi dan ge­mu­
ruh laut yang berkabung.

Catatan Pinggir 9 71
KRESNA

Tak urung, Kresna pun turun gelanggang. Berhadapan de-


ngan Boma yang ganas dan tak terkalahkan, ia dengan serta mer­­
ta­ mengubah diri jadi Wisnu dalam bentuk yang mengerikan,­
yang dalam Bhomantaka digambarkan dengan fantastis: ”Mon-
ster dari tiga dunia bergantungan dari tiap helai rambutnya,­
meng­hitam bagaikan semut, menghunus berbagai senjata, di an-
tara gelimang darah dan untaian usus manusia....”
Di hadapan wujud yang luarbiasa itu, Boma pun kalah, te­was.
Kisah telah mencapai dan melampaui klimaksnya.
Sampai akhir, deskripsi Bhomantaka tak tertandingi indahnya­
oleh kesusastraan Jawa setelah abad ke-18; Ronggowarsito hanya
akan tampak gagap bila dibandingkan dengan penyair yang tak
ber­nama yang hidup di masa Jawa Hindu itu.
Tapi bagi saya yang menarik adalah adegan-adegan terakhir
cerita ini. Di dua bagian dikisahkan dengan khidmat bagaimana­
para dewa memberi Kresna—yang telah rela mengorbankan
anak­­nya untuk melindungi para pertapa yang tak bersenjata—
sebuah anugerah.
Di canto 101-102, segera setelah Arjuna tewas, datanglah ta­
war­­an kepada Kresna yang berduka cita: ia boleh memilih sese­
orang di antara yang tewas dalam perang itu untuk dihidupkan
kembali. Pilihan itu harus segera diambil. Samba, putranya sen­
di­ri? Atau Raja Basudewa? Atau Arjuna?
Ternyata, tanpa bimbang, Raja Dwarawati ini tak memilih sa­
nak saudaranya sendiri. Yang dimintanya kembali dari pelukan
Maut adalah Raja Druma. Raja pendatang itu seorang yang tak
pu­nya apa-apa lagi. Ia terusir dari tahtanya, menghadap ke Kres-
na untuk meminta perlindungan, tapi ia tewas bersama anaknya
http://facebook.com/indonesiapustaka

dalam peperangan di sekitar Gunung Rewata itu.


Di canto 111 kembali para dewa memberi Kresna anugerah.
Ka­li ini Kresna minta lebih: agar semua dihidupkan kembali—
ter­masuk musuh-musuhnya. Katanya:

72 Catatan Pinggir 9
KRESNA

Cedi, Karna, dan Jarasandha


Semua jelas musuh hamba
Tapi kembalikanlah juga mereka dari kematian
Bersama keluarga mereka

Permintaan Kresna dikabulkan. Dengan permintaan itu, ia­


se­benarnya mengingatkan: tiap perang, tiap perjuangan untuk
pembebasan, mengandung pengakuan bahwa ada yang universal
dalam hidup manusia yang tak dapat diabaikan.
Boma, ”najis pada seantero bumi”, kalêngka ning rat, harus­
di­sing­kirkan. Tapi bukan agar mampu meyakinkan secara uni-
versal tentang apa yang ”najis” maka Kresna menjelma jadi Wis­
nu. Ia ja­di Wisnu, jadi subyek yang menakjubkan dan perkasa
itu, justru karena Kebenaran tentang keangkara-murkaan Bo­
ma­menggugah dan mengubah dirinya. Itulah saat ”tiwikra­ma”.
Dalam arti itu Kebenaran yang dialami Kresna adalah sub­yektif:
ia jadi kukuh. Tapi juga universal: perang itu, kemati­an Boma
itu,­bukan buat dirinya sendiri, melainkan buat semua, juga mu-
suh-musuhnya.
Sesuatu yang subyektif, namun juga universal—itulah para-
doks tiap perjuangan politik. Di awal perjuangan itu harus ada­
garis yang tegas dan kubu yang tertutup yang memisahkan ka­
wan dengan lawan. Tapi mungkinkah ketertutupan itu hakiki?
Dalam saat ”tiwikrama”, ketika Kebenaran menggugahku, dan
aku jadi perkasa, perjuanganku mendapatkan maknanya. Tapi
pada saat yang sama, sifat universal dari Kebenaran itulah yang
membuat makna itu begitu penting.
Tak berarti yang universal sudah ada rumusnya sebelum per-
http://facebook.com/indonesiapustaka

juangan dimulai. Justru yang universal berangkat dari ketiadaan


—sebuah situasi di mana aku tak punya apa pun yang membe-
bani identitas diriku. Ada sebaris kata-kata Marx di tahun 1843
ketika ia mencoba merumuskan arti ”proletariat”: ”Aku bukan

Catatan Pinggir 9 73
KRESNA

apa-apa, dan [sebab itu] aku harus jadi segalanya.” Dari situasi
ketiadaan itulah perjuangan ke pembebasan dimulai, tapi bukan
pembebasan untuk satu kelas semata, melainkan untuk hilang-
nya semua kelas sebagai perumus identitas.
Dalam Bhomantaka, ada sebuah nasihat Patih Uddawa yang
di­dengarkan Kresna: ”Jangan bersikukuh ketika si lemah da­tang
kepada Paduka.” Maka mantan raja Druma, yang tak punya­apa-
apa lagi, pun dipilih untuk dibebaskan dari kematian. Sebab si le-
mah, si ”bukan apa-apa”, mengingatkan kita bahwa jika ada yang
universal dalam manusia, itu adalah karena ia bisa hadir sebagai
”segalanya”. Ia tak hanya sebagai wakil satu satuan yang akan se-
lama-lamanya dirumuskan oleh kubunya sendiri.

Tempo, 11 November 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

74 Catatan Pinggir 9
MACET

J
alan raya adalah sejarah politik.
Di Indonesia, cerita ini dimulai di tahun 1808. Untuk per­
siap­an perang, Daendels membangun ”jalan raya pos” se­
pan­jang 1.000 kilometer antara Anyer di Jawa Barat dan
Pa­narukan, kemudian disambung sampai Banyuwangi di Jawa
Timur. Ia, seorang opsir tinggi kerajaan Prancis, yang diangkat
Maharaja Louis Bonaparte untuk memegang kekuasaan di Jawa,
berencana membuat infrastruktur militer buat memperlancar
gerak pasukan. Ia harus menghadapi serbuan Inggris.
Dengan tangan besi, Daendels memaksa agar proyek itu ram-
pung dalam setahun. Ribuan orang di Pulau Jawa mati karena di-
kerahkan untuk kerja rodi. Pemberontakan timbul tapi ditindas.
Kita tak akan melupakan kekejaman itu—seraya memanfaatkan
hasilnya. Jalan yang disebut Daendels La Grande Route itu kini
sebuah monumen tentang kekuasaan yang efektif dan brutal.
Jalan raya adalah sejarah politik dan kebrutalan. Di sanalah
ke­kuasaan dikukuhkan, seperti dilakukan Daendels dan para pe­
nguasa di abad ke-20 dan 21. Tapi di sana pula kekuasaan disang-
gah. Di tahun 1966, di Jakarta, para mahasiswa ”turun ke jalan”,
sebuah istilah yang kini masuk ke kamus politik Indonesia, dan
sejak itu aksi yang serupa berkali-kali terjadi, menjatuhkan rezim
Soeharto, menggagalkan rancangan undang-undang ini dan itu.
Selamanya dengan korban: ada yang mati ditembak, remuk dipu-
kuli, ada bangunan yang dirusak.
Ketika kota bertambah penting dalam percaturan politik, ja-
http://facebook.com/indonesiapustaka

lan raya jadi arena tersendiri. Di sana mereka yang ingin meng­
ubah kehidupan menemukan pengeras suara alternatif, ketika fo-
rum yang tersedia (parlemen, mahkamah, media) tak punya sam-
bungan lagi dengan orang ramai.

Catatan Pinggir 9 75
MACET

Tema ini tak cuma ada dalam cerita Indonesia. Sejak jatuh-
nya monarki di Mesir, sejak Nasser memimpin, di Timur Tengah­
para analis politik selalu memasang radar mereka ke arah ”the
Arab Streets”. Kata ”streets” di sini sama dengan ruang tempat rak­
yat­ber­desak-desak, bersua, bertemu, mendengar, bicara, ber­gem­
bira,­marah, benci, tentang segala sesuatu yang menyangkut nege­
ri mereka, bangsa mereka, kelas mereka. Mereka tak membentuk
partai, tak berwujud ”NGO”. Tapi mereka sebuah faktor yang
tak dapat diabaikan. Di Arab Streets, tak ada tempat bagi para po­
litikus di parlemen yang bukan dipilih, juga bagi kepala negara
yang kehilangan legitimasi. Revolusi bisa meletus dari kawahnya.
Sejarah politik tentu saja tak hanya terdiri dari kejadian yang
gemuruh dan spektakuler. Asef Bayat mengamati satu gejala da­
lam politik Iran yang tak banyak dilihat. Dalam Street Politics:
Poor People’s Movements in Iran (terbit di tahun 1997), ia menye­
but­nya the quiet encroachment of the ordinary. Dalam uraian Ba­
yat, proses itu tak punya dampak politik yang langsung. Tapi ma-
suknya kaum miskin dari pedalaman ke Teheran, yang sering tak
mendapat tempat dalam lapangan hidup dan percakapan, diam-
diam adalah sebuah perubahan tersendiri. Para penguasa yang
di atas tak dengan sendirinya guyah. Tapi di bawah, tulis Bayat,
”praktek yang sehari-hari dan bersahaja itu mau tak mau akan
ber­alih ke ranah politik.”
Saya ingat sebuah esai pendek Orhan Pamuk setelah ia ber­
kun­jung ke Teheran. Ia menyewa mobil dengan seorang sopir. Di
tengah lalu lintas yang kacau itu si sopir mengeluh di kota itu se­
mua orang tak patuh aturan. Tapi tak urung ia sendiri kemudian­
melanggar hukum dengan memotong jalan, sebuah laku yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

ter­larang.
Begitulah, kata Pamuk, di arus lalu lintas Teheran itu justru
”ke­hadiran agama” paling terasa: tiap kali ribuan orang tak me-
matuhi hukum, tiap kali mereka berhadapan dengan para aya­

76 Catatan Pinggir 9
MACET

tullah­yang menerapkan dalil Kitab Suci buat segala segi kehidup­


an. Mereka sedang berkonfrontasi dengan hukum syariah yang
mengawasi perilaku mereka terus-menerus. Nah, tatkala di bela­
kang setir itulah, kata Pamuk, mereka mendapatkan satu-satunya
saat untuk bisa menafikan semua itu—sebagaimana orang-orang
Teheran yang diam-diam menikmati alkohol dan percakapan be-
bas di ruang privat mereka.
Dengan kata lain, Pamuk juga telah menunjukkan bagaima-
na jalan raya adalah sebuah arena politik—setidaknya the politics
of the ordinary. Sayang, Pamuk tak memandang perkara ini le­
bih­jauh; ia tak melihat bahwa politik dari hal-yang-biasa-saja itu
adalah bagian dari gerak sejarah yang selalu menggagalkan kese­
rakahan. Ketika para sopir Teheran melanggar aturan lalu lintas,
mereka sebenarnya menunjukkan bahwa ambisi Negara untuk
menertibkan hanya sia-sia. Mereka sebenarnya menolak sikap­
para mullah yang tak puas-puasnya menghendaki ”ketaatan”
atau ”kesucian”. Tapi mereka juga memprotes sikap rakus para
pe­ngendara mobil (ternyata juga mereka sendiri) untuk merebut
tiap celah avenue.
Jalan raya adalah sejarah politik—yang sebenarnya juga se-
jarah keserakahan dan perebutan. Dengan kata lain, sejarah ke­
langkaan. Kota-kota di Indonesia kian lama kian dirundung
macetnya lalu lintas. Macet adalah indikasi bahwa ruas jalan tak
cukup—sebuah kelangkaan akibat gagalnya para penghuni kota
membebaskan diri dari jeratan ”empat-M” yang menggerakkan
kota-kota Indonesia: modal, milik, mobil, dan mode.
Adapun modal juga yang membuat mobil berubah: ia tak seka-
dar sebuah alat transportasi; ia juga sebuah pesona. Dari waktu ke
http://facebook.com/indonesiapustaka

waktu mobil tampil seakan-akan baru: ia berubah karena sebuah


”musim” berubah dan konon selera juga berubah. Pada saat yang
sama, komoditi yang memancarkan pesona itu bertaut dengan
hasrat untuk memiliki. Dan karena pesona itu selalu merangsang

Catatan Pinggir 9 77
MACET

kekurangan, ada dorongan untuk terus-menerus memiliki—tak


hanya satu.
Maka lahirlah kelangkaan. Sejarahnya belum selesai. Di jalan
raya, keserakahan masih berkibar, perebutan ruang masih ber-
langsung. Pergulatan politik untuk membebaskan diri dari ”em-
pat-M” masih akan terus. Mungkin sampai akhirnya jalan raya
musnah, lingkungan runtuh, dan orang berteriak: ”Kita celaka!”

Tempo, 18 November 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

78 Catatan Pinggir 9
BENDERA

S
urabaya, 19 September 1945.
Di hotel dengan gaya art deco yang elegan dari masa sebe-
lum perang itu, sebuah tim Anglo-Dutch Country Section
menempati kamar No. 33.
Di jalanan, juga di Jalan Tunjungan itu, Surabaya serak oleh
su­ara kemerdekaan. Republik Indonesia baru berdiri, dengan
bang­ga, yakin, nekat, cemas. Ini revolusi, Bung, kita tak akan
biar­kan kolonialisme kembali! Surabaya mendengus siap perang.
Se­buah transisi besar terasa tegang sampai ke saraf kaki.
Bisa diduga kenapa tim yang terdiri atas sekitar 20 orang asing
itu ada di sana. ADCS adalah organisasi intelijen gabungan Ing-
gris-Belanda yang berpusat di Kolombo, Sri Lanka. Kamar No.
33 hotel itu jadi kantor mereka untuk beroperasi. Mereka harus
be­kerja agar Indonesia tak lepas dari kekuasaan Belanda.
Ada yang simbolik dari hotel yang kini bernama ”Majapahit”
itu. Saya coba bayangkan hari itu perasaan orang-orang Belanda
yang ada dalam Kamar No. 33. Ketika mereka datang, hotel yang
dibangun di tahun 1910 oleh Lucas Sarkies, orang Armenia, itu
te­lah berubah nama; sampai tahun 1943, namanya ”Oranje”. Ke-
mudian Jepang datang, pemerintahan Hindia Belanda bertekuk
lutut, dan hotel itu jadi ”Yamato”—yang juga markas tentara.
Militer Jepang telah mengambil alih semuanya, juga nostalgia.
Dan ketika di bulan September 1945 Jepang tak berkuasa lagi,
”Nederlandsche Indie” juga sudah tak ada. Di mana-mana ter­
de­ngar pekik ”Merdeka”, dan ribuan orang siap mati untuk ke-
http://facebook.com/indonesiapustaka

merdekaan itu.
Saya bayangkan perasaan orang-orang Belanda itu: mereka
tak hendak ditampar ketiga kalinya oleh sejarah. Maka pagi-pagi
sekali, pukul enam, di atas hotel itu (ingat, namanya ”Oranje”!),

Catatan Pinggir 9 79
BENDERA

mereka kibarkan Merah-Putih-Biru. Mereka berharap Surabaya


akan bangun dari tidur dan melihat: Belanda tetap di sini....
Apakah sebuah bendera, sebenarnya? Selembar kain yang di-
beri harga untuk menandai ”kami” yang ”bukan-mereka” dan
”me­reka” yang ”bukan-kami”. Bendera adalah saksi sejarah bah-
wa identitasku punya arti karena ada perbatasan dengan ”dia”
yang di luar diriku. Dalam arti itu, yang di luar itu jugalah yang
membentuk diriku, hingga ”aku” jadi sebuah totalitas yang se­
akan-­akan utuh. Tapi sementara itu, yang di luar itu pula yang
selalu mengancam akan melenyapkan aku. Identitas selamanya
genting.
Pagi itu, bendera di atas Hotel ”Oranje” itu menegaskan kem-
bali perannya dalam suasana genting. Di tahun 1572 ia bagian
dari perlawanan orang Belanda menghadapi penjajahan Spanyol.­
Di tahun 1945, di Surabaya, ia bagian dari ingin kembalinya dau­
lat Belanda yang terancam oleh para ”inlander” yang mau mem­
be­rontak.
Tapi yang memberontak juga punya bendera. Mereka punya
se­buah penanda yang maknanya secara a priori tak ada, dan sebab
itu bisa disambut pelbagai unsur dan interpretasi yang berbeda-
beda. Ketika pagi itu orang Surabaya melihat sang Tiga Warna
ber­kibar, mereka tahu: ada penanda lain, bukan milik mereka,
yang dipasang oleh ”mereka” yang mengancam ”kami”.
Maka sebelum hari siang, Sudirman, residen Surabaya, wakil
Republik, datang. Ia merasa punya otoritas dan kewajiban me­
min­ta agar bendera Belanda itu diturunkan. Tapi ia ditampik;
konon seorang Belanda dalam tim ADCS itu bahkan mencabut
pistolnya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Di luar, berpuluh-puluh pemuda tak sabar lagi. Bentrokan tak


dapat dielakkan. Seorang Belanda tewas ditikam. Empat orang
pe­muda Surabaya mati. Beberapa orang memasang tangga dan
mencapai tempat tiang dipasang. Merah-Putih-Biru itu pun di-

80 Catatan Pinggir 9
BENDERA

turunkan. Warna birunya digunting, lalu dibuang. Sisanya, kini


jadi Merah-Putih, dikibarkan di tempat yang semula. Di Jalan
Tunjungan orang ramai menyaksikan bendera itu naik. Dengan­
mata yang jadi basah, mereka berseru, ”Merdeka! Indonesia
merdeka!”
Apakah selembar bendera sebetulnya? Sesuatu yang mewakili­
sebuah wacana yang disebut ”Indonesia”. Sebuah signan yang di-
pilih untuk mematok wacana itu: dengan itulah, ”Indonesia”, se­
patah kata yang tak henti-hentinya melahirkan arti, telah terpa­
cak­(setidaknya dalam satu atau beberapa jenak) dalam lambang
sang Merah Putih.
Yang menarik dari insiden itu ialah bahwa ”Indonesia” tak di­
pacak oleh konsep yang jelas dan lengkap, melainkan oleh perbu­
atan orang-orang yang tiba-tiba jadi dahsyat, seakan-akan tiwi­
krama, seakan-akan berubah dalam sebuah proses di mana kebe­
naran menggugah. Hari itu ”Indonesia” lahir dalam sebuah keja­
di­an yang transformatif: untuk meminjam kata Alain Badiou,
ka­rena subyek yang bangkit oleh l’ événement.
Tapi kebangkitan itu bukanlah suatu mukjizat. Ia tak datang
dari langit. Merah-Putih itu beberapa menit yang lalu adalah Me­
rah-Putih-Biru. Sebagaimana Merah-Putih-Biru itu juga lahir
dari sejarah, dan sebab itu sebenarnya tak kekal (dulu ia disebut
”Oranje-Wit-Blau”), ”Indonesia” muncul bukan dari ketiadaan
to­tal. Ada masa lalu yang tetap membayang.
Tapi pada sisi lain, ”Indonesia” berkibar setelah sebuah pemo-
tongan. Ada yang ditiadakan dari bendera yang terpasang di
atas Hotel ”Oranje” pukul 6 pagi tadi. Itu sebabnya saya selalu
ingat:­ peristiwa di Hotel ”Oranje” itu sesuatu yang heroik, tapi
http://facebook.com/indonesiapustaka

para pahlawan memberi kita sebuah warisan yang terbelah dan


kurang.
Ia terbelah, karena di satu pihak ia lahir dari sebuah kejadian
yang transformatif. Tapi di lain pihak, masa lalu—bahkan masa

Catatan Pinggir 9 81
BENDERA

lalu yang traumatik—terus-menerus membayanginya. Ia kurang,


karena memang begitulah ia dibentuk: dari pemotongan.
Maka Indonesia tak akan henti-hentinya mendamba, berhas-
rat, agar dirinya utuh. Ia punya utopianya sendiri yang tak akan
pernah ada: Indonesia sebagai sebuah harmoni yang lengkap.
Tapi utopia itu bukanlah khayal tempat kita lari menghibur diri
dari pedihnya ketakutuhan dan kekurangan. Utopia itu, untuk
meminjam kata Paul Ricoeur, adalah ”satu tangan kritik”.
Dengan itu kita tahu, ”kerja belum selesai, belum apa-apa”,
tapi tiap kali kita bisa memberinya arti.

Tempo, 25 November 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

82 Catatan Pinggir 9
BOLONG

H
arapan menggerakkan kita dengan bahasa yang tak
jelas. Seakan-akan di sekitarnya ada sebuah lubang ver-
bal—bolong yang diterobos oleh sesuatu yang tak ter-
katakan. Seperti yang terjadi pagi itu, 18 Desember 1989, di kota
Timisoara di Rumania sebelah barat, dekat perbatasan negeri itu
dengan Yugoslavia.
Peristiwa ini dimulai dengan keputusan pemerintahan Presi­
den­ Ceauşescu untuk mengusir seorang pendeta asal Hungaria
yang telah bicara terus terang tentang keburukan kediktatoran
Ru­mania. Ia tampaknya seorang rohaniwan yang dicintai jemaat­
nya,­hingga hari itu mereka berkumpul di sekitar apartemennya,
berjaga agar bapak pendeta tak digusur dengan kekerasan.
Berangsur-angsur, banyak orang yang bergabung. Yang mere-
ka dengar ialah bahwa rezim komunis yang bertakhta di Bukares
itu sekali lagi bermaksud membatasi kemerdekaan beragama. Sa­
tu kelompok besar manusia pun berhimpun—suatu hal yang tak
pernah terjadi sebelumnya di Rumania. Mereka berharap, mes­ki­
pun tak jelas berharap apa.
Dalam beberapa jam, polisi dan pasukan agen rahasia Securi­
tate sudah mengepung tempat itu. Tapi tahun 1989 adalah tahun
perubahan besar di Eropa Timur. Kurang sebulan sebelum protes
di Timisoara itu, Tembok Berlin runtuh, dan sejak 9 November
sa­tu demi satu kekuasaan Partai Komunis guncang atau rontok.
Perlindungan Uni Soviet tak diberikan lagi kepada para penguasa
yang dibenci rakyat itu. Tapi pemerintahan Ceauşescu tak me-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nyadari bagaimana rapuhnya dirinya. Ketika suara protes kian


galak, para petugas keamanan bertindak dengan gas air mata,
sem­buran air, pukulan, dan juga penangkapan.
Hanya sebentar berhasil. Malamnya rakyat berkumpul di

Catatan Pinggir 9 83
BOLONG

sekitar Katedral Ortodoks Rumania. Dari sini aksi menjalar.


Dan esok harinya, 17 Desember, massa menyerbu masuk Komite
Distrik Partai Komunis. Mereka buang dokumen, brosur propa-
ganda, dan karya-karya Ceauşescu.
Ketika mereka coba bakar gedung itu, muncul tentara Ruma­
nia—dengan panser, tank, helikopter, dan bedil. Tembakan ter­
de­ngar, korban jatuh. Untuk beberapa jam para demonstran mun-
dur. Pagi 18 Desember, menembus kepungan pasukan keaman-
an, 30 pemuda maju ke arah Katedral, menyanyikan ”Deşteapta-
te, române!” (Bangunlah, Bangsa Rumania!), sebuah lagu nasio­
nal­yang dilarang rezim komunis sejak tahun 1947. Mereka me­
ngi­barkan bendera Rumania—tapi sebuah bendera yang berlu-
bang, karena lambang Partai Komunis yang semula terpacak di
tengah sang saka itu telah digunting dan dicampakkan.
Akhirnya revolusi antikomunis itu tak dapat dipadamkan la­
gi, meskipun para pemuda itu ditembaki dan beberapa orang te­
was dan luka-luka. Keberanian menjalar ke seluruh republik,
sam­pai akhirnya Ceauşescu dan istrinya terpojok dan ditembak
ma­ti para pemberontak.
Rumania pun berubah. Demokrasi menang.
Syahdan, kini, di Museum Militer di Bukares, terpasang se­
lembar bendera yang dibawa 30 pemuda di hari bersejarah di Ti-
misoara: bendera yang bolong.
Tapi bolong itu bukanlah sesuatu yang hampa: ia justru me­
lambangkan harapan dan juga rasa tak puas yang begitu luas dan
meluap-luap, hingga apa yang simbolik tak menampungnya lagi.
Saya teringat yang dikatakan Slavoj Zizek dalam Tarrying with
the Negative tentang lambang pembangkangan rakyat Ruma-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nia itu: ”Antusiasme yang menggerakkan mereka secara harfiah


adalah antusiasme terhadap lubang ini.” Sebab lubang itu belum
di­isi oleh agenda politik apa pun, belum direbut maknanya oleh
pro­yek ideologis yang mana pun. Kita ingat: kemarahan yang

84 Catatan Pinggir 9
BOLONG

ber­mula dari terusirnya seorang pendeta Protestan juga akhirnya


menjalar menemukan tempat perlawanannya di katedral Gereja
Ortodoks. Protes yang berawal dari sekelompok jemaat, akhirnya
jadi seruan, ”Bangunlah, Bangsa Rumania!”
Dengan kata lain, bolong itu mengisyaratkan bahwa harapan
belum diringkas dan diberi bentuk oleh sebuah kerangka makna.
Perebutan untuk memberi kerangka makna kepada ”penanda
yang kosong” itulah—jika kita pakai argumen Laclau yang ter-
kenal—yang menggerakkan politik. Memang pada suatu tahap,
akan ada yang memegang hegemoni, akan ada satu nama, satu
iden­titas, yang punya kuasa dan wibawa buat jadi pengisi bolong
itu. Tapi sejarah menunjukkan, politik tak akan berakhir. Hanya
sebuah ilusi besar untuk mengira bahwa lubang itu akan lenyap.
Kaum liberal atau kaum kiri, kaum sekuler atau kaum agama,
mau tak mau harus menghadapi kenyataan bahwa mereka akhir­
nya tak akan mampu mewakili sepenuhnya harapan rakyat yang
tak 100% terkatakan itu, yang dilambangkan dengan bagus di
lem­bar bendera di museum di Bukares itu: ada identitas nasional
yang diutarakan, tapi pada dirinya ada sebuah lubang.
Saya teringat akan bendera Merah Putih yang dikibarkan di
Hotel ”Oranje” di Surabaya pada bulan September 1945: bendera
itu juga lahir dari tindakan mencopot bagian yang tak dikehen-
daki dari tubuhnya. Tapi tak ada yang bolong yang menganga di
sana. Identitas seakan-akan kian tegas: ini merah-putih, bukan
merah-putih-biru.
Mungkinkah sebab itu revolusi Indonesia sering membuah-
kan salah sangka? Kita sering mengira kita adalah bangsa yang
sudah jadi, lengkap, selesai mengartikulasikan diri—bahkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

Mu­hammad Yamin pernah berteori bahwa Merah Putih sudah


berumur 1.000 tahun sampai saat ia dikibarkan di abad ke-20.
Tapi sejarah Merah Putih di Surabaya itu bukanlah sejarah
mengulang yang telah pasti dan ajek. Yang terjadi hari itu adalah

Catatan Pinggir 9 85
BOLONG

tindakan kreatif yang berani—sebuah laku yang di tengah ketak­


pastian mengubah kondisi yang tersedia jadi sesuatu yang baru
dan berarti. Seperti sepotong puisi.
Tapi kita tahu puisi tak henti-hentinya ditulis. Kata dan arti-
kulasi yang siap kemarin tak lagi menampung getaran hati yang
meluap hari ini. Maka klise pun ditanggalkan, percakapan kem-
bali disegarkan—sebuah metafor lain bagi ikhtiar terus-menerus
untuk ”mengisi kemerdekaan”.

Tempo, 2 Desember 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

86 Catatan Pinggir 9
HIJAU

D
I dunia yang letih, orang mengutip sajak Federico Gar-
cia Lorca yang masyhur itu:

Hijau, kumau engkau hijau:


Bintang agung yang beku dingin
Tiba dengan bayang ikan
Yang merintis fajar

Verde que te quiero verde.... Puisi Lorca mempesona karena­


lon­­catan-loncatannya—warna hijau, bintang agung, bayang
ikan, hari fajar—yang tak pernah bisa dipertalikan rapi dalam
sa­tu tafsir, tapi memperkaya kita dengan imaji-imaji yang menge-
jutkan, baru, segar, tak terulangi, seperti dalam mimpi.
Maka di dunia yang mulai lelah, puisi, imaji yang segar, me­
lon­cat-loncat, dan tak disangka-sangka—ya, juga warna hijau—
jadi alternatif (yang tak diakui) bagi sebuah kehidupan yang
meng­abaikan itu semua. Modal, mesin, dan birokrasi telah mem-
buat sistem yang hanya kenal bentuk dan warna pada lajur lapor­
an keuangan dan bagan eksak di buku-buku teknik. Baik kapital­
isme (digerakkan orang Eropa dan Amerika) maupun sosialisme
(dimulai di Uni Soviet dan Cina) sama-sama meringkus dunia
da­lam garis lurus, hitam-putih—garis ”modernitas” dan ”kema-
juan”, garis nalar yang menghitung, mencapai, dan menghasil-
kan. Itulah garis penaklukan dunia. Puisi, sebaliknya, tak hen-
dak menaklukkan, tak hendak memaksa apa yang di luar dirinya,­
http://facebook.com/indonesiapustaka

bahkan cenderung rela membiarkannya, menyambutnya, seba­


gai elemen hidup yang tak terduga. ”Le poète ne force pas le réel,”
kata René Char.
Sudah lama sebenarnya masalah ini dikemukakan. Tapi seba­

Catatan Pinggir 9 87
HIJAU

gaimana Lorca hanya mengutarakan hasratnya di antara lanskap


yang memukau tapi tragis di Andalusia, puisi—dan pelbagai su-
ara yang gundah menyaksikan ”modernitas” dan ”kemajuan”—
hanya bisa bicara secara terbatas.
Memang suara yang menghendaki ”hijau” itu terkadang
membingungkan. Ia tak menawarkan cara bagaimana menghen­
tikan keniscayaan pertumbuhan ekonomi dan perlunya kemaju­
an teknologi. Sesekali bahkan ia mengandung racun kecurigaan
dan kebencian: di tahun 1930-an, di Jerman, pemujaan akan Blut
und Boden (”darah dan tanah”) dikobarkan para penganjur Na-
ziisme, yang ingin menjaga kemurnian Jerman dengan tradisi
dan alamnya yang perawan, agar Volk, bangsa atau ras, tak terce-
mar oleh persentuhan dengan ”yang-asing” dan ”yang-borjuis” di
kota besar.
Memang ada yang indah, tapi kuno, juga konyol, atau reak-
sioner dalam seruan ”hijau” di masa lampau.
Tapi abad ke-21 mengubah semua itu. Sambutan kepada film
dokumenter An Inconvenient Truth adalah indikasinya: film do-
kumenter yang dibuat dengan ongkos satu juta dolar ini begitu
laris di mana-mana; ia dapat menghimpun dana 49 juta dolar le­
bih.­Al Gore, tokoh di pusat film yang memperingatkan perubah-
an iklim global itu, mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian ta-
hun 2007. Berjuta-juta penonton akan selalu ingat suaranya:

”Anda pandang sungai yang lembut mengalir melintasi itu. Anda


perhatikan daun berkerisik pada angin. Anda dengar suara burung;
anda dengar katak pohon. Di ke-jauhan ada lenguh seekor lembu.
Anda rasakan rerumputan itu.... Hening; damai. Dan tiba-tiba,
http://facebook.com/indonesiapustaka

ada yang bergerak berubah dalam diri anda. Rasanya seperti mena­
rik napas dalam-dalam dan berbisik, ’Ah, ya, aku telah lupa semua
ini’.”

88 Catatan Pinggir 9
HIJAU

Kata-kata itu tak istimewa, sebenarnya. Tapi mau tak mau,


bersama itulah hasrat Lorca, ”kumau engkau hijau”, menemukan
makna dan wibawa lain. ”Hijau” telah jadi hasrat untuk mengga­
pai sesuatu yang terasa begitu menggerakkan hati tapi tak hadir:
bumi yang tak rusak oleh polusi dan keserakahan.
”Hijau”, melalui proses percakapan dan pergulatan kepenting­
an, berangsur-angsur telah jadi kepentingan umum. Ia jadi lam-
bang sesuatu yang universal.
Dalam arti tertentu, di sini telah berlangsung ”globalisasi”
yang berbeda dengan globalisasi kapital, justru ketika bangunan
global satu-satunya ini terancam musnah. Kini yang diserukan
Barbara Ward dan René Dubos dalam buku mereka yang terke-
nal, Only One Earth (dalam bahasa Indonesia, Hanya Satu Bumi),
yang ditulis buat Konferensi PBB di Stockholm di tahun 1972,
mendapatkan pendengar. Pelbagai identitas yang berbeda-be­
da­—yang ditandai nama negara, bangsa, kelompok etnis, kelas
sosial, gender—berada dalam posisi setara. Mereka ekuivalen di
bulatan bumi yang satu, di sebutir planet yang genting.
Di saat seperti ini, identitas makin tak bisa berlaku seperti ben-
teng tertutup. Dalam diri tiap negara, atau bangsa, atau kelom­
pok etnis, atau kelas, atau gender, ada anasir yang akan membuka­
diri ke luar, memahami nasib ”hanya satu bumi” ini. Tapi ada ju­
ga yang justru akan melihat ”hanya satu bumi” hanyalah ilusi;­
mereka akan kembali menutup pintu, bersiaga. Dengan kata lain,
”globalisasi” kecemasan ini tak berarti akan menghasilkan se-
buah dunia yang tanpa konflik—tak peduli betapa bersemangat,
tulus, dan sopannya para kepala negara berbicara di Bali.
Tapi tak bisakah kita berharap? Saya kira bisa. Justru kini ha­
http://facebook.com/indonesiapustaka

rapan lebih punya sandaran ketimbang di masa lampau, keti­ka


yang universal datang secara menakutkan dan mencuriga­kan:
ekspansi ”peradaban” sekelompok manusia dengan seja­rah ter-
tentu ke kelompok-kelompok manusia lain, seperti keti­ka Eropa

Catatan Pinggir 9 89
HIJAU

mengkristenkan orang Amerika Selatan atau ketika ”Pen­ce­rah­


an”-nya mengubah muka bumi dengan kolonialisme dan ”kema-
juan”.
Kini, yang universal adalah sebuah utopia hijau melawan ke-
matian—yakni kematian yang akan mengenai siapa saja. Juga
melawan ketidakadilan, karena mereka yang kaya adalah yang
paling merusak bumi, sementara yang miskin akan jadi korban
pertama kali. Walhasil, yang universal kali ini datang bukan dari
si kuasa, tapi dari yang terancam—dan itu praktis berarti siapa
saja.

Kini aku bukan diriku


Rumahku bukan rumahku
Biarkan aku sebentar naik ke beranda tinggi
Biarkan aku pergi! Biarkan aku naik
Ke beranda hijau
Tempat air bergema pelan
Di balustrada bulan

Tempo, 9 Desember 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

90 Catatan Pinggir 9
MINORITAS

S
ederet tubuh hitam berbaring di pentas, berbaris, ber­
gerak—terkadang seperti patung kayu dari Asmat, ter-
kadang seperti adegan sehari-hari di sebuah distrik Papua,
terkadang seperti sederet totem dalam warna gelap betutul-tutul
putih yang mobil, bergeser, menggedrukkan kaki, tarik-menarik,
berpindah-pindah. Koreografi Jacko Siompo, penata tari kelahir­
an Sorong, entah kenapa diberi nama In Front of Papua; yang pas­
ti ia memikat kita: sederet anekdot yang menyambut hidup da­
lam­ kontras dan keserempakan, gabungan antara yang jenaka
dan yang sayu, antara yang biasa dan yang tak diduga, mungkin
se­buah parodi, mungkin juga sebuah nostalgia.
Ragam geraknya, yang cenderung dekat rendah ke bumi, de-
ngan tangan dan kaki ditekuk seperti menirukan kanguru, se­
akan-­akan mengingatkan kita akan sebuah dunia sebelum manu­
sia dipisahkan dari alam oleh pelbagai ambisi dan lagak.
Sebuah ekspresi khas Papua? Memang ada ”warna lokal”, tapi
pada akhirnya yang penting bagi sebuah koreografi yang kuat bu-
kanlah mencerminkan sebuah identitas, ”daerah” atau ”nasio­
nal”,­ ”tradisional” ataupun ”modern”, melainkan bagaimana
mem­­buat sebuah karya mencengangkan.
Salah satu kekuatan yang lahir dari karya seni justru bukan
un­tuk mengukuhkan identitas, melainkan menunjukkan ada
yang hidup: sesuatu yang tak dapat dirumuskan jadi identitas—
apa yang disebut oleh Adorno sebagai ”non-identitas”.
Pikiran itu terlintas di kepala saya, ketika sehabis menyaksikan­
http://facebook.com/indonesiapustaka

In Front of Papua yang memukau di National Museum of Singa­


pore awal November yang lalu, seorang penonton bertanya: ”Apa­
kah ini tarian dari kebudayaan minoritas?”
”Minoritas”—tak seorang pun di Indonesia akan mengguna­

Catatan Pinggir 9 91
MINORITAS

kan kata itu buat orang Papua, ataupun sebuah suku kecil sekali-
pun di pulau itu. Tapi saya kira saya tahu mengapa orang ini ber­
ta­nya demikian. Seperti kebanyakan orang Singapura, ia terbiasa­
hidup dengan ruang yang tak bersentuhan langsung dengan
alam. Ia mudah melihat ekspresi yang ”primitif”, ”eksotik”—
yang praktis tak ada di London atau New York—sebagai sesuatu
yang terpencil, ganjil, dan nyaris hilang. Modernitas ada di ma-
na-mana; yang beda dari itu adalah ”minoritas”.
Aneh juga kata itu sebetulnya. Di Indonesia ia biasa menandai­
mereka yang berdarah Cina, atau Arab, atau Eropa, atau India—
seakan-akan sebuah klasifikasi biologis, tapi yang tak pernah
digugat dengan pertanyaan dasar: mengapa klasifikasi penting?
Dan mengapa berdasarkan ras?
Memang, orang telah lama mengenal perbedaan warna kulit
dan corak hidung yang berbeda-beda. Kita misalnya melihatnya
dalam wayang kulit: ada sosok sabrangan yang besar dan kasar
dan ”raksasa” yang gempal dan bundar, yang berbeda dengan ra­
ut wajah dan bentuk tubuh para Pandawa dalam Mahabharata
dan Rama dan Leksmana dalam Ramayana.
Tapi menata wayang—dengan pakem yang tetap—tak sama
dengan menata manusia. Menata manusia adalah obsesi kekuasa­
an politik. Klasifikasi penduduk adalah keputusan sebuah sis­tem
yang mau membereskan hal ihwal, mau menguasai dan me­ng­
arah­­kan. Saya kira David Theo Goldberg benar (di tahun 2002 ia
menerbitkan The Racial State) ketika ia menunjukkan bahwa ka­
te­gori ”ras” lahir sebagai modus untuk mengelola krisis, mengelo-
la apa yang dibikin sebagai ancaman, serta mengekang dan meng­
asingkan ”tantangan dari apa yang tak diketahui”, the challenge­of
http://facebook.com/indonesiapustaka

the unknown.
Demikianlah administrasi Hindia-Belanda datang dengan
kla­sifikasi—sebagaimana layaknya sebuah bangunan modern di
kancah yang begitu beragam, yang terasa sebagai khaos dan ke­

92 Catatan Pinggir 9
MINORITAS

ka­buran. Di luar kantor dan tata buku gubernemen, Indonesia


ha­rus dibuat rapi. Manusia pun dibagi dalam kategori: ”pribu-
mi”, ”Timur Asing”, dan ”Eropa”. Dan yang ”pribumi” dibagi
lagi dalam ”suku”.
Bagaimana menentukan klasifikasi ini tak pernah jelas. Sebab
”pribumi” tampaknya ditentukan berdasar tempat kelahiran, se-
dang ”Eropa” berdasar asumsi asal usul genetik. ”Timur Asing”
tampaknya berdasar atas ”ras” dan sekaligus ”tempat asal”—se-
buah kategorisasi yang tak akan pas ketika ”Timur” berarti juga
penduduk yang berasal dari Thailand, Filipina, Vietnam, Mala­
ya,­yang menampakkan ciri-ciri tubuh yang sama dengan orang
Minang, Makassar, atau Jawa.
Kata ”asing” juga rancu. Seorang Tionghoa atau Arab yang
ne­nek moyangnya 400 tahun yang lalu sudah beranak-pinak di
Singkawang atau Demak sama sekali tak asing bila dibanding­se­
orang Melayu yang 10 tahun sebelumnya baru pindah dari Mala­
ka ke Medan.
Dan apa sebenarnya ”suku”? Kata ini tampaknya dipakai un-
tuk membuat satu kategori baru di bawah ”pribumi” dan ”Timur
Asing.” Ada kesan bahwa satu ”suku” mengandung satu identitas
budaya, tapi bagaimana menentukan identitas itu tak jelas: jika
bahasa dipakai sebagai cirinya, maka ”suku Jawa” tak pernah ada.
Sebab yang disebut ”bahasa Jawa”, yang diajarkan di sekolah, se-
benarnya hanya bahasa yang dipakai di Surakarta dan Yogyakar-
ta, tapi tidak di Tegal dan di wilayah Banyumas.
Maka tak bisa dikatakan ”suku Jawa” adalah satu ”mayoritas”.
Sama tak masuk akalnya menyebut orang Indonesia keturunan
Cina ”minoritas”: pemakai bahasa Hokian agaknya lebih banyak
http://facebook.com/indonesiapustaka

ketimbang pemakai bahasa Osing di Jawa Timur.


Dengan kata lain, kita sebenarnya mewarisi ambisi mengatasi
kekacauan yang ternyata menghasilkan kekacauan baru. Dengan­
kata lain, kita harus bongkar Hindia-Belanda dari bahasa dan

Catatan Pinggir 9 93
MINORITAS

manajemen perbedaan kita. Menghadapi apa yang diduga se­ba­


gai khaos, menatap ”tantangan dari apa yang tak diketahui”, me­
rasa cemas dengan yang ”lain” yang mengancam kerapian yang
palsu, sebenarnya kita justru menemukan sebuah kearifan: Indo-
nesia adalah bangunan minoritas-minoritas.
Atau serangkaian ”non-identitas”: totem-totem gelap bertutul
putih yang bergerak antara yang biasa dan tak terduga.

Tempo, 16 Desember 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

94 Catatan Pinggir 9
RAKUS (1)

A
pa yang bisa membebaskan kita dari keserakahan?
Malam itu saya duduk di antara 800 penonton konser
penghormatan buat kedua pemenang Hadiah Nobel
Per­­damaian 2007 di Balai Konser Spektrum, Oslo. Di panggung
yang terang, Al Gore berdiri berdampingan dengan Rajendra Pa­
cha­uri, Ketua Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim
(IPCC).
Orang India berumur 67 tahun itu tak banyak dikenal sebe­
lum­nya. Rambut dan janggutnya memanjang, dan dibiarkan pu-
tih secercah di sebelah kiri, hingga raut mukanya angker. Dalam
upacara pemberian Hadiah Nobel malam sebelumnya di Balai
Kota Oslo ia mengenakan jas tutup dengan saputangan hijau ter-
sisip di saku, dan berpidato dengan nada membosankan. Kini, di
panggung Spektrum itu, ia bisa lucu: ”Kolega saya hanya me­nge­
nal saya dengan nama julukan ’Pachi’, tapi sekarang, berkat ha­
diah Nobel, mereka tahu nama saya ’Pachauri’.”
Ia tampak lebih kharismatik ketimbang Al Gore, dan lebih
mam­pu menggugah hati. Di panggung itu, di antara hiasan dua
lengkung besar bak gading raksasa yang terkadang menyala ge-
merlap oleh ribuan watt tata lampu, Pachauri mengutip Gandhi:
”Yang disediakan bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan tiap
orang, tapi tidak untuk memenuhi keserakahan tiap orang.”
Saya tak tahu apakah kata-kata itu bakal punya efek. Konser
itu menenggelamkan suara lain, apalagi yang khidmat. Di balai
be­sar itu yang hadir adalah gerak dan lagu Kyle Minogue, Alicia
http://facebook.com/indonesiapustaka

Keys, Earth Wind & Fire, Annie Lennox, Melissa Etheridge (”I
need to Wake Up,” dalam film An Inconvenient Truth), dan pang-
gung tampil gembira, gemerlap, gemuruh dengan gitar listrik dan
perkusi.

Catatan Pinggir 9 95
RAKUS (1)

Berapa kilowatt dikerahkan untuk acara yang hendak mengu­


mandangkan semangat hemat energi itu? Saya tak tahu apakah
Pachauri bertanya. Di sebelahnya berdiri dua bintang Hollywood
yang jadi pembawa acara, Kevin Spacey yang necis dan Uma
Thur­man yang gilang gemilang dengan gaun panjang kehijauan
yang mengkilap.
Pachauri tak tampak terkesima, tapi tak juga merengut. Me­
nge­nakan jas warna gelap dengan dasi merah yang tak mencolok,
glamor tak menyentuhnya. ”I hate shopping,” kata Pachauri kepa-
da Kevin Spacey. ”Saya hanya membeli apa yang saya butuhkan.”
”Yang saya butuhkan”, bukan ”yang saya hasratkan.” Beda ke­
dua kalimat itu adalah beda antara yang lumrah dan yang sera­
kah. Tapi kian lama garis itu kian kabur. Glamor adalah penyakit
menular di panggung dunia—lewat pertunjukan mode, konser
besar para bintang pop dan rock, film Hollywood, film Bolly-
wood, iklan, media, dan seluruh hasil industri budaya. Dari sana
lahir kebutuhan baru yang sebenarnya bukan kebutuhan, me-
lainkan hasrat untuk tak ketinggalan. Rasa iri adalah daya yang
dahsyat. Ialah kekuatan rahasia yang membangun pola konsumsi
dari mal ke mal, menggerakkan produksi dan melebarkan distri-
busi.
Iri, dan bersama itu rakus.
Konon, iri dan rakus terbit dari rasa cemas. Tapi tampaknya
ada dinamika lanjut yang menyebabkan seseorang merasa tak ha­
nya butuh satu mobil, tapi 10 mobil Porsche dan Jaguar, atau me­
ra­sa perlu membeli dan membeli lagi rumah dan tanah, di sam­
ping menyimpan uangnya bermiliar-miliar dalam bank untuk
men­dapatkan hasil lebih banyak. Orang-orang macam itu rasa­
http://facebook.com/indonesiapustaka

nya­tak tergerak oleh rasa iri (mereka sudah ada di puncak) atau
oleh rasa cemas akan kelangkaan (mereka sudah berlebih) ke­cuali
kalau mereka sedikit sakit jiwa dan ingin membeli juga masa de-
pan.

96 Catatan Pinggir 9
RAKUS (1)

Masa depan memang perlu dikuasai. Tapi bukankah rasa ce-


mas di balik keinginan menguasai itu—yang membuat orang
menimbun mobil, rumah, uang—justru membuat rasa cemas
ba­ru, karena planet ini dengan demikian akan tak habis-habisnya
dikuras sampai kering dan kelangkaan akan berkecamuk?
”Yang disediakan bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan
tiap orang, tapi tidak untuk memenuhi keserakahan tiap orang,”
Pachauri mengutip Gandhi. Tapi yang tak bisa dilupakan ialah
bahwa ”keserakahan tiap orang” hanya sebuah hipotesis. Yang
su­dah terbukti: keserakahan beberapa orang.
Sejarah kita sekarang adalah sejarah yang dibentuk ”super-
kapitalisme”, untuk meminjam istilah Robert B. Reich dalam bu-
kunya, Supercapitalism: The Transformation of Business, Democra­
cy,­and Everyday Life. Dengan ”superkapitalisme”, jurang antara­
yang kaya dan miskin kian menganga tajam. Di Amerika tahun
2005, 21,2 persen pendapatan nasional tertumpah ke hanya 1
per­sen pencari nafkah. Di tahun 2005, penghasilan pejabat ter-
tinggi perusahaan Wal-Mart besarnya 900 kali dari upah rata-
rata pegawainya. Pendapatan keluarga pemilik perusahaan itu
diperkirakan US$ 90 miliar, yang artinya sama dengan jumlah
penghasilan 120 juta penduduk Amerika yang miskin.
Tuan bisa katakan, ini memang ketimpangan, tapi ketimpang­
an tak sama dengan keserakahan. Benar, tapi bukan hanya ketim­
pangan yang jadi soal. ”Superkapitalisme” yang mengelu-elu-
kan Wal-Mart dan Wall Street itu membuat komunitas manusia
rapuh. Seperti ditunjukkan Reich, di bawah ”superkapitalisme”,
”lembaga-lembaga yang dulu menghimpun nilai-nilai warga ne­
ga­ra telah merosot.” Kata ”warga negara” jadi masalah; orang te­
http://facebook.com/indonesiapustaka

lah jadi ”investor” atau ”konsumen” yang mengutamakan laba


ba­gi diri sendiri. Pengertian common good, atau yang baik bagi
ber­sama, telah sirna. Orang tak perlu merasa bersalah jika punya
10 mobil Jaguar di tengah-tengah jutaan manusia yang melarat

Catatan Pinggir 9 97
RAKUS (1)

dan tak punya kerja.


Tapi bumi makin panas, sumber alam makin rudin, planet
terancam punah. Si serakah tak perlu merasa diri serakah dan
bersalah, tapi masa depan yang ia sangka dapat dibelinya adalah
masa yang rongsokan: hutan habis, ikan punah, udara beracun.
Rasanya bukan hanya imbauan untuk hidup sederhana ketika
Pachauri mengatakan, ”I hate shopping.” Rasanya ia ingin bebas
dari keserakahan karena ia tak hendak masuk legiun bunuh diri.

Tempo, 23 Desember 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

98 Catatan Pinggir 9
LANGKA

P
ada mulanya bukanlah Langka. Tiap ekor hewan yang
mati disembelih untuk korban adalah lambang pemberi­
an yang tak hendak dibalas. Ibrahim bersedia membu­
nuh­anak yang dicintainya untuk Tuhan yang tak diharapkannya­
memberi sesuatu. Di hari itu Tuhan tak berjanji apa-apa. Dan
se­andainya pun ada kontrak bahwa pengorbanan itu akan men­
da­patkan imbalan, akankah itu punya arti bagi Ibrahim, setelah
anak itu mati?
Pengorbanan adalah ”memberi”. Di dalamnya, waktu tak ter-
ulangi. Seperti yang dilakukan Ibrahim, kata kuncinya adalah
”ikhlas”. Tak ada pengharapan akan adanya pembalasan kelak.
Baginya, tak ada ”kelak”. Waktu tak diperlakukan sebagai ling-
karan dengan ujung yang akan bertaut kembali. Seperti dikata­
kan Derrida, bila waktu-sebagai-lingkaran amat penting dan me-
nentukan, pemberian akan jadi sesuatu yang ”mustahil”. Yang
ter­jadi adalah pertukaran antara jasa dan jasa atau jasa dan benda.
Kapitalisme membuat pertukaran jadi paradigma. Sumbang­
an besar Marcel Mauss dengan telaah antropologinya dalam Essai
sur le don di tahun 1925 adalah melihat bahwa dalam kehidupan
bersama ada proses lain yang penting: ”memberi”.
Dalam pemberian, benda berpindah tangan tanpa berdasar-
kan kontrak. Tersirat dalam kontrak adalah pembatasan: dalam
kepercayaan, dalam solidaritas, dalam waktu. Ketika kita ”mem­
be­ri”, batas itu tak ada. Waktu dihayati sebagai sesuatu yang tak
me­lingkar, malah lepas tak terhingga. ”Memberi” mengandung­
http://facebook.com/indonesiapustaka

pre­mis bahwa ada yang turah, apalagi waktu, dalam hidup.


”Mem­beri” tak mengenal Langka.
Tapi hidup kian ribut oleh Langka dan manusia cemas.
”Mem­beri” makin jadi laku yang sulit. Yang berkuasa adalah per­

Catatan Pinggir 9 99
LANGKA

da­­gang­an: proses tukar-menukar yang mengharapkan laba, da­


ri mana orang menghimpun—dan menghimpun adalah cara
meng­hadapi sebuah kelak yang masih akan dirundung Langka.
Bahkan sindrom Langka begitu kuat hingga masuk ke wi­la­
yah di mana orang mencoba meniru jejak Ibrahim tapi tak bisa
lagi memberi. Di sini pun cemas tak kalah akut, juga kesera­kah­an
yang terbit dari kecemasan itu. Rahmat Tuhan tak dilihat lagi se-
bagai sesuatu yang memancar tak terhingga. Rahmat jadi sesuatu
yang harus diperebutkan.
Dengan kata lain, beribu tahun setelah Ibrahim, hubungan
ma­nusia dengan Tuhan akhirnya juga jadi proses pertukaran
yang dikalkulasi. Manusia menyembah Tuhan dengan mesin hi-
tung pahala yang dipegang dengan waswas: jangan-jangan Tu-
han selalu kekurangan. Orang pun berlomba-lomba melipatgan-
dakan ibadat dan jumlah umat, memamerkan masjid, gereja dan
kealiman.
Ada keserakahan yang menyusup di situ, tapi kita tak bisa me­
ngatakan, Rakus, yang lahir dari sindrom Langka, adalah sifat
manusia yang mendasar. Ia dibentuk sejarah.
Dalam sebuah wawancara, Bernard Lietaer, pengarang The
Future of Money: Beyond Greed and Scarcity, menawarkan satu te­
ori yang diambilnya dari psikoanalisis Jung: 5.000 tahun sebelum
zaman ini, manusia di Barat menyimpan ”Bunda Agung” sebagai
archetype, sebagai citra yang terawat dalam jiwa individual mau-
pun kolektif yang menggerakkan orang ke suatu arah tertentu.
Dalam sang ”Bunda Agung”—agaknya sama dengan Ibu Perti­
wi—ada citra tentang kesuburan yang berlimpah dan karunia
yang rela dan pemurah. Tapi archetype itu kemudian tersingkir
http://facebook.com/indonesiapustaka

oleh citra Tuhan sebagai Bapa yang membatasi manusia dengan


hukum dan pembalasan. Lima ribu tahun lamanya sang Bunda
Agung tenggelam. Ketika manusia tak percaya lagi akan keder-
mawanan semesta, muncullah bayangan Langka dan Rakus.

100 Catatan Pinggir 9


LANGKA

Puncaknya, kata Lietaer, terjadi di masa puritanisme Inggris.


Di masa itulah Adam Smith merumuskan pemikirannya ten-
tang ekonomi: pada mulanya adalah Langka, dan Langka pun
jadi gerak, dan gerak menuju ke kekayaan. Ekonomi berjalan dari
premis itu. Apalagi dari Langka pula lahir nilai. Ketika kemudian
yang berkuasa adalah ”nilai tukar”, uang dan bank pun kian ber-
peran. Bank, yang memproduksi uang, sekaligus membuat uang
sebagai sesuatu yang terbatas jumlahnya. Dengan memberikan
pinjaman seraya memungut bunga, bank akan memperoleh lebih
banyak uang tanpa ia harus memperbanyak uang yang beredar.
Bagi Lietaer, (ia pernah bekerja di bank sentral Belgia), uang
dan sistem peredarannya itulah yang membuat Langka dan Ra­
kus ”terus-menerus diciptakan dan diperbesar”. Bank Sentral,
yang merawat langkanya uang dengan menjaga suku bunga, seca­
ra tak langsung menguntungkan mereka yang menyimpan uang
di bank. Investasi di sektor riil jadi tak selalu memikat—terutama­
ketika dana bisa dengan cepat melintasi batas nasional dalam
rang­kaian pinjam-meminjam dengan bunga berbunga. Lapang­
an kerja makin sedikit. Ketimpangan pun menajam, seperti di
Indonesia kini, dan kita tahu apa akhirnya bagi sebuah bangunan
politik.
Lietaer mencoba menawarkan alternatif. Ia menganjurkan pe-
makaian uang lokal dan menyebut sistem Silvio Gesel di tahun
1890: dalam sistem ini si penyimpan uang bukannya mendapat-
kan bunga, melainkan harus membayar ongkos simpan kepada
pe­merintah. Dengan demikian, bank tak memberi kesempatan
bagi si kaya untuk bertambah kaya seraya tidur.
Tapi mungkinkah pemikiran alternatif itu akan disambut?
http://facebook.com/indonesiapustaka

Mungkin, tapi entah kapan. Uang, seperti kata Lietaer, telah ja­
di sebuah cincin besi yang dipasang di cuping hidung manusia,
dan menyeret manusia ke mana saja—juga ke arah menajamnya
Langka dan kehancuran sosial.

Catatan Pinggir 9 101


LANGKA

Sejauh ini, kita masih terhibur, sebab ”memberi” masih tetap


mungkin. ”Memberi” membebaskan manusia dari cincin besi
itu, yang mengikatnya, kata George Bataille, di dalam ”keadaan
yang tak hidup dari dunia yang profan”. Hanya dalam memberi,
dalam berkorban, orang menemukan sesuatu yang suci, justru
dalam tak adanya faedah.
Mungkin seperti Ibrahim di Muria: ia tak tahu apa faedah
perbuatannya bagi dirinya sendiri atau bagi Tuhan, tapi di saat
ia membebaskan diri pamrih, ia tak terperangkap oleh Rakus,
meng­atasi rasa takut akan Langka di ”dunia yang profan”.

Tempo, 30 Desember 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

102 Catatan Pinggir 9


http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 9
2008

103
http://facebook.com/indonesiapustaka

104
Catatan Pinggir 9
BHUTTO

S
ejarah apakah ini, yang dicatat Rawalpindi? Beberapa
menit setelah pukul 5.30 sore 27 Desember 2007 itu, se­
orang lelaki kurus membunuh Benazir Bhutto yang baru
selesai berpidato di rapat umum di Taman Liaquat Bagh. Tokoh
politik itu sudah duduk dalam mobil tapi menjulurkan kepalanya
ke luar kap atap. Sebuah bom meledak. Ia rubuh. Dengan cepat
mobil membawanya ke rumah sakit umum kota itu. Pada pukul
6.16, ia tak bernyawa lagi.
Ledakan bom itu menewaskan sekitar 30 orang. Kelimun
orang itu histeris.
”Semoga Tuhan menjaga keselamatan Pakistan.”
Itu kata-kata terakhir seorang pemimpin lain, di tahun 1951.
Dia Liaquat Ali Khan, perdana menteri pertama. Ia juga tewas,
di­tembak, setelah berpidato di taman yang sama—sebuah alun-
alun yang kemudian dikekalkan dengan namanya.
Jika kata-kata terakhirnya sebuah doa, maka doa itu tak dika-
bulkan Tuhan agaknya. Di pagi hari 4 April 1979, tak jauh dari
taman itu, di penjara Rawalpindi, Zulfikar Ali Bhutto, ayah Be­
nazir, bekas presiden dan perdana menteri, digantung mati oleh
pemerintahan militer Jenderal Zia ul-Haq, dengan tuduhan ia
telah membunuh seorang lawan politiknya....
Sejarah apakah ini, yang dicatat di Rawalpindi?
Benazir dibunuh: keluarga Bhutto adalah tragedi Pakistan.
Ti­ga dari empat anak Zulfikar dengan istrinya, Nusrat, tewas. Di
tahun 1985, Shanawaz, si putra bungsu, ditemukan mati di Ri­
http://facebook.com/indonesiapustaka

viera, Prancis, dalam umur 28. Keluarganya mengatakan ia dira-


cun. Di tahun 1996, adik Benazir yang juga jadi musuh politik­
nya, Murtaza, mati dalam tembak-menembak dengan polisi Pa­
kis­tan. Fatima Bhutto, anaknya yang kini jadi penyair dan ko­

Catatan Pinggir 9 105


BHUTTO

lum­nis, tak pernah memaafkan Benazir, sang bibi.


Walhasil, riwayat Bhutto adalah bagian dari sejarah kekerasan
politik, sejarah kegagalan mengelola konflik, sejarah kekecewaan.
Pakistan berdiri sebagai bagian dari India yang memisahkan
diri, hingga kedua republik itu lahir di tahun yang sama, 1947.
Ta­pi sementara India kini mulai bangkit sebagai kekuatan ekono­
mi, Pakistan—dalam kata-kata penulis Tariq Ali di koran The
Guardian pekan lalu—hanya sebuah ”conflagration of despair”,
sebuah gelombang api yang menjalarkan putus asa.
Tentu, India juga mengandung sejarah kekerasan dan pembu­
nuhan politik. Tapi sampai hari ini demokrasi di India bisa berta­
han (meskipun terkadang dengan ledakan yang menakutkan se-
perti bengisnya fundamentalisme Hindu), seraya membuktikan
dapat menaikkan pertumbuhan ekonomi sampai 9 persen seta-
hun.
Pertumbuhan ekonomi Pakistan sendiri tak buruk amat, sam-
pai 7 persen. Aktivitas politik dan pers di negeri itu lebih bebas
ke­timbang di Malaysia atau Singapura yang tenang bak akuari­
um. Tapi lembaga yang menopang struktur politiknya dijalari ke­
takpastian. Tiap rezim yang dijaga bedil tentara adalah sebuah
re­zim yang diam-diam meragukan legitimasinya sendiri. Maka
berkecamuklah politik paranoia. Pintu dan saluran dijaga ketat.
Dalam keadaan bumpet, desakan mudah jadi eksplosi.
Kenapa? Karena ”Islam”?
Saya kira bukan. ”Islam” adalah sebuah nama yang maknanya­
dirumuskan dengan beberapa patokan yang tetap. Yang sering
diabaikan ialah bahwa patokan itu—katakanlah hukum syari-
at—tak selamanya mampu mewakili ”Islam” yang dianggit, yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

diimajinasikan secara sosial dalam sejarah—imajinasi yang ber-


lapis, beragam dan mengalir terus seperti, untuk memakai istilah
Castoriadis, ”magma”.
Di tahun 1930, ketika Mohammad Iqbal, penyair dan filosof

106 Catatan Pinggir 9


BHUTTO

itu, merumuskan argumennya agar minoritas muslim di India


pu­nya tanah airnya sendiri, ia tampak berpikir bahwa pengertian
tentang identitas ”Islam” adalah realitas yang sudah siap pakai
se­perti briket bata. Iqbal menganggap gampang dan jelas agen-
da mendirikan negeri kaum muslimin tersendiri. Ia tak melihat
bahwa tiap wacana tentang identitas sosial selalu mengandung
konstruksi atas arus yang ”magmatik”. Konstruksi itu ditentukan
oleh sebuah ”pusat”. ”Pusat” itu adalah sang pemenang dalam
per­­gulatan mencapai posisi hegemonik.
Saya katakan ”pergulatan”: ada gerak politik di dalam tiap pe­
rumusan identitas sosial. Itulah yang tak dilihat Iqbal. Ketika­
Pakistan dimaklumkan kelahirannya bersama India, dengan se­
ge­ra tampak jarak antara niat luhur seorang filosof dan politik pa­
ra­noia yang mencemaskan.
Politik punya sejarah yang tak hanya terdiri dari membangun­
imajinasi bersama dan memberi makna bersama. Machiavelli
meng­ingatkan hal ini sebenarnya: ia berbicara tentang kekuasaan
bukan sebagaimana ”seharusnya”, melainkan sebagaimana ”ada­
nya”. Politik sebagaimana ”adanya” adalah yang kemudian diru-
muskan dengan brutal oleh Carl Schmitt sebagai das Politische: di
dasarnya adalah antagonisme.
Itu sudah tampak sebenarnya ketika perpisahan India-Pakis­
tan dilaksanakan. Tapal batas digariskan terkadang dengan se­
enak­nya dari meja para administrator Inggris. Syahdan, sebanyak­
14,5 juta manusia bertukar tempat. Karena kedua republik baru
itu belum siap mengelola sebuah migrasi besar-besaran, ke­bi­
ngung­­an yang meresahkan berakhir dengan bentrokan yang me-
luas. Tanah berpindah tangan, keluarga terpisah, komunitas asal
http://facebook.com/indonesiapustaka

retak—dan sekitar 500 ribu manusia mati hari-hari itu.


Lahirnya Pakistan dan India memang bukan kisah yang suci
murni. Tapi bila India lahir tanpa memakai label agama, dan se-
bab itu mengakui dirinya tak sempurna, dalam kasus Pakistan la-

Catatan Pinggir 9 107


BHUTTO

bel ”Islam” telah menutupi apa yang najis dan menakutkan itu—
juga menyembunyikan yang retak. Bertahun-tahun orang hidup
dengan ideologi ”keutuhan” itu. Akhirnya adalah kekerasan—
atau ledakan amarah yang mencoba menolak apa yang tak bisa
ditolak, bahwa ”Islam” dan ”Pakistan”, (ya, bahkan ”Bhutto”),
adalah nama tentang sesuatu yang tak pernah utuh.
”Semoga Tuhan menjaga keselamatan Pakistan”—dan berka-
li-kali pembunuhan terjadi di Rawalpindi.

Tempo, 6 Januari 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

108 Catatan Pinggir 9


CERMIN

T
ahun adalah cermin. Di depannya, setiap sehabis 31
De­sember, akan saya lihat: guratan umur makin keras.
Ke­riput makin banyak. Pori-pori kulit membesar. Ram-
but rontok.
Dan waktu kembali jadi angka: jika tahun ini kau rayakan
ulang tahun ke-50, atau ke-60, atau lebih, kita tahu jangka waktu­
hidup yang sama tak akan tercapai lagi. Ujung jalan itu sudah
tampak.
Dalam arti itulah masa depan jadi lebih tertentu: hidup akan
berakhir. Saya pasti tak akan menyaksikan 7.000.000 batang
muda yang ditanam tahun lalu tumbuh jadi pohon tinggi dan
rim­bun, seperti deretan pokok asam dan mahoni di tepi jalan di
kota saya masa kecil. Saya tak akan melihat tanah air kaya kembali­
dengan hutan tropis yang lebat. Saya pasti tak akan merasakan ja-
lan-jalan tak lagi macet, polusi udara berkurang karena bensin
tak lagi dipakai, dan bulan tak kusam ketika malam purnama,
dan di Jakarta, di ibu kota, sesuatu yang lebih manusiawi hadir
bah­kan di rumah sakit umum, di penjara, di kaki lima, dan mu-
seum dan teater dikunjungi, bangunan baru terawat dan bangun­
an lama selesai dipugar, dan stasiun kereta api gaya Art Deco di
wi­layah Kota yang sudah lama tak terawat itu mempesona kem-
bali. Ya, banyak sekali yang pasti tak akan saya alami.
Tapi siapa yang dapat mengatakan, hal-hal indah itulah yang
akan terjadi. Bagaimana bila sebaliknya? Bagaimana jika kelak
ribuan dusun dan kota hilang tenggelam oleh laut yang mengge­
http://facebook.com/indonesiapustaka

legak karena kutub utara jadi cair? Bagaimana jika yang terjadi
adalah bentrokan berdarah yang tak henti-hentinya, karena ma-
syarakat jadi amat timpang antara kaya dan miskin, dan sumber-
sumber alam kikis, dan orang marah kehilangan rasa keadilan?

Catatan Pinggir 9 109


CERMIN

Ba­gaimana jika mereka yang lemah terus tertekan oleh kemaha­


kuasaan uang, ketidakjujuran pejabat negara, dan sifat represif
dari lembaga-lembaga adat dan agama?
Saya, seperti Anda, tak tahu bagaimana menjawab itu. Orang
mampu menyusun statistik, membuat prediksi, memperkirakan
probabilitas. Tapi kita tahu hidup tak bisa distatistikkan, karena
yang tak lazim selamanya bisa terjadi—atau memang selalu ter-
jadi.
Ada sebuah sajak Chairil Anwar:

Kalau datang nanti topan ajaib


menggulingkan gundu, memutarkan gasing
memacu kuda-kudaan, menghembus kapal-kapalan
aku sudah lebih dulu kaku

Ketika aku jadi kaku, ketika kematian itu datang, itu adalah
”ke­tika” yang probabilitasnya praktis 100 persen. Tapi tak urung,
ada kemungkinan yang menakjubkan akan terjadi: ”topan ajaib”
yang ”menggulingkan gundu, memutarkan gasing...”.
Bahwa kita bisa merasakan yang ajaib itu sebetulnya sebuah
ke­ajaiban tersendiri. Bahwa kita bisa menghayati, bahkan meng-
hasilkan, sesuatu yang tak disangka-sangka, itu menunjukkan
be­tapa hidup tak semuanya buah sebab dan akibat, tapi juga ke­
jut­an demi kejutan.
Determinisme selamanya meleset. Ada yang dalam filsafat ki­
ni disebut sebagai ”kejadian”, setidaknya semenjak Heidegger me-
nyebutnya sebagai Eregnis: sesuatu yang terjadi di luar hubung­an
kausal. Seperti ketika sederet nada muncul dalam sebuah kompo­
http://facebook.com/indonesiapustaka

sisi musik: nada yang satu tak disebabkan, atau menyebabkan,


na­da yang di sebelahnya; masing-masing hadir, terdengar, en­
tah­­ dari mana. Di situ kita tahu, hidup bergerak didorong oleh
élan vital yang kreatif, dan yang tak terduga-duga datang, memu-

110 Catatan Pinggir 9


CERMIN

kau, bukan oleh satu titik yang kukuh di ujung sana dari sebuah
ga­ris lurus. Tak ada garis lurus. Kita tak tahu dari mana sajak
Chairil, komposisi Cornel Simanjuntak, dan kanvas Zaini mulai.
Semuanya ”kejadian”. Itu sebabnya dalam pemikiran Deleuze,
”kejadian” sama saja maknanya dengan ”penciptaan”.
Maka tahun tak hanya ibarat cermin tempat kita berkaca me-
lihat proses keuzuran. Tahun juga sebuah tanda waktu yang tak
sempurna, ”titimangsa” yang hanya satu sisi.
Sebab—jika kita teruskan meminjam uraian Deleuze (yang
me­ngembangkan buah pikir para filosof sebelumnya)—ada wak-
tu sebagai Chronos, ada waktu sebagai Aion. Yang pertama adalah
waktu yang merupakan satu rangkaian ”kini” yang bisa diukur,
diingat, dan disusun sebagai urutan. Yang kedua adalah waktu
kreatif, waktu ”kejadian”, waktu kejutan. Dikatakan secara lain,
itu­lah ”waktu yang copot dari sendi”, time out of joint, untuk me-
makai kata-kata Hamlet kepada sahabatnya, Horatio, setelah (de­
mi­kianlah tersebut dalam lakon Shakespeare) hantu ayahnya da­
tang memberi tahu rahasia yang mengerikan di takhta Denmark.
Waktu yang ”copot dari sendi” memang terasa mencemaskan.
Tapi rasa cemas itu tak melumpuhkan manusia. Dalam waktu
se­bagai Aion, manusia seakan-akan terlontar. Ia mengalami kebe­
basan dari hukum sebab dan akibat, tapi dengan itu ia masuk
di momen ”kejadian”. Seperti nada B minor yang muncul dalam
harmoni, ”kejadian” tak berlangsung dalam waktu yang sudah
di­­susun; ia justru membuka waktunya sendiri. Bahkan pada
akhir­nya ”kejadian” atau ”penciptaan” tak bisa selamanya berada­
da­lam harmoni. Deleuze melukiskannya dengan membanding-
kan musik Baroque dan neo-Baroque: sebuah peralihan dari pe-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nyelesaian atau cakupan harmonis ke dalam sebuah susunan yang


macam-macam nada, termasuk yang sumbang, atau, dalam kata-
kata komponis Boulez, ”sebuah polifoni dari pelbagai polifoni”.
Hidup adalah sebuah polifoni, bergerak, memencar, multi-

Catatan Pinggir 9 111


CERMIN

lipat­an yang tak henti-henti. Kematian hanyalah salah satu mo-


men di dalamnya. Haruskah saya sesali, jika itu terjadi? Tiba-tiba
saya temukan lagi satu kutipan yang ditulis Deleuze: ”Yang ter-
baik dari semua dunia yang mungkin bukanlah dunia yang mere-
produksi yang abadi, melainkan yang jadi tempat di mana cipta-
an baru diproduksi”.
Yang abadi tak akan di sini. Di depan cermin tetap akan tam-
pak rambut rontok dan kulit mengeriput. Juga napas kian lemah.
Tapi entah di mana dalam evolusi hidup, ada ”topan ajaib” yang
seakan-akan menggerakkan bahkan mainan yang mati: ”memu-
tarkan gasing, memacu kuda-kudaan, menghembus kapal-kapal­
an.”

Tempo, 13 Januari 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

112 Catatan Pinggir 9


BENTO

B
ento dilaknat dan dicampakkan ketika ia baru ber­
umur­24. Hari itu, 27 Juli 1656, majelis para rabbi di Si­
na­goga Amsterdam memaklumkan bahwa anak muda
itu, yang pernah jadi murid yang pandai dalam pendidikan aga­
ma,­dibuang dari kalangan Yahudi, dari ”bangsa Israel”, karena
pendapat dan perbuatannya yang dianggap keji.
Pengumuman hukuman itu dibacakan dengan angker. Dari
mimbar kata demi kata dilafalkan, seraya terompet besar yang
me­­ratap menyela sesekali. Sinagoga yang terang itu pelan-pelan
su­ram. Lampu satu demi satu dimatikan, sampai akhirnya se­
mua­­nya padam dan ruang jadi gelap: lambang kematian cahaya
rohani dalam diri orang yang dikutuk.
”Terkutuklah ia di hari siang dan terkutuklah ia di hari ma­
lam. Terkutuklah ia ketika ia berbaring dan terkutuklah ia ketika
ia bangun. Terkutuklah ia bila ia keluar dan terkutuklah ia bila
ma­suk.” Dan kalimat terakhir keputusan para sesepuh Dewan
Ek­lesiastik itu berbunyi: ”... Tuhan akan mencoret namanya dari
kehidupan di bawah Langit.”
Kalimat itu garang, tentu, tapi keliru. Berkali-kali sejarah
men­catat, dengan keputusan seperti itu para pembesar agama me­
nunjukkan keangkaramurkaannya dan juga kekonyolannya. Se-
jak itu Bento memang mulai harus hidup terasing dari sanak sau­
daranya. Tapi ia tak mau takluk. Ia meninggalkan usaha ayahnya­
yang pernah ia teruskan dan berhasil. Menumpang sewa dari ru­
mah ke rumah di daerah murah, nafkahnya datang dari menatah
http://facebook.com/indonesiapustaka

lensa buat teleskop dan mikroskop. Ia mati sebelum umur 45 dan


hanya meninggalkan dua pasang celana dan tujuh lembar keme-
ja. Tapi ia, Bento, nama panggilan Portugis bagi Baruch de Es-
pinoza, atau Spinoza pemikir yang menulis Tractacus Theologico-

Catatan Pinggir 9 113


BENTO

Politicus, tak pernah tercoret dari muka bumi. Kutukan itu gagal.
Aneh, (tapi mungkin tidak) para ulama Yahudi Amsterdam
itu mengambil keputusan sekeras itu. Mereka sendiri berasal dari
para pengungsi Spanyol dan Portugal, tempat Gereja Katolik de-
ngan lembaga Inkuisisinya membakar orang yang dianggap mur-
tad hidup-hidup, tempat raja dan gereja memaksa orang Yahudi­
dan muslim memeluk iman Kristen. Pada suatu hari di tahun
1506, di Lisabon, 20.000 anak dipaksa dibaptis, sementara 2.000
orang Yahudi dibantai.
Tapi toh para tetua Yahudi di Amsterdam itu, yang punya ka-
kek-nenek yang lari dari aniaya di Semenanjung Iberia, menun-
jukkan sikap tak toleran yang sama terhadap Spinoza, meskipun
tak sekejam membakar orang di api unggun.
Mungkin ada dalam agama-agama Ibrahimi yang membuat
iman seperti gembok: kita hidup dalam bilik yang tertutup dan
terpisah. Di situ Tuhan pencemburu yang tak tenteram hati.
Tentu saja bagi pandangan macam itu suara Spinoza—yang
di­ejek sebagai espinas (”duri-duri”)—bisa sangat mengganggu. Ia
dianggap atheis.
Spinoza akan membantah itu. Ia percaya Tuhan ada—dan
tak hanya itu. Novalis bahkan menganggap Spinoza ”orang yang
gandrung-akan-Tuhan”. Tapi Tuhan baginya tak mengadili dan
mem­pidana orang per orang. ”Tuhan tak memberikan hukum
ke­pada manusia untuk menghadiahi mereka bila patuh dan
meng­hukum mereka bila melanggar,” tulis Spinoza. Tuhan bu­
kan­person. Sebagaimana Ia tak bisa diwujudkan dalam arca, Ia
tak bisa dibayangkan secara antroposentris. Siapa yang meman-
dang Tuhan dengan memakai sifat dan fiil manusia sebagai mo­
http://facebook.com/indonesiapustaka

del­akhirnya membuat iman jadi absurd: bagaimana Tuhan cem-


buru dan menuntut dipatuhi bila Ia mahakuasa?
Bagi Spinoza, Tuhan itu ”substansi”. Substansi itu mengambil
”modus”, dan Tuhan mengambil modus sebagai Natura naturans,­

114 Catatan Pinggir 9


BENTO

Alam kreatif yang membuahkan ”alam yang di-alam-kan”, Na­


tura naturata. Ada kesatuan ontologis antara Tuhan dan ciptaan-
nya.
Tapi dengan demikian Tuhan bagi Spinoza bukanlah Tuhan
yang akan mencintai, atau membenci, atau membuat mukjizat.
Pada saat yang sama, Tuhan ada di mana-mana, dalam segala
yang ada.
Suara Spinoza tak akan diberangus seandainya ia hidup di za-
man lain. Tapi seperti dikisahkan dengan mengasyikkan oleh
Matthew Stewart dalam The Courtier and the Heretic, tentang
pertemuan dan konflik pemikiran Leibnitz dan Spinoza, Tuhan
adalah ”nama persoalan abad ke-17”.
Waktu itu Gereja telah dijatuhkan monopolinya oleh banyak
aliran protestanisme; ilmu pengetahuan mulai mengguncang Ki­
tab Suci; ekonomi dan politik mulai bebas dari intervensi lemba-
ga agama.
Ada kebebasan berpikir, tapi juga rasa cemas menghadapi ke-
bebasan. Spinoza sejenak merasakan kemerdekaan justru ketika
ia dikeluarkan dari jemaat Yahudi—dan bersyukur ia hidup di
negeri yang tak akan membinasakan orang ”murtad”. Namun
pa­da akhirnya ia tahu: tak akan ada rasa aman begitu ia jadi duri
ba­gi iman orang ramai.
Pada suatu hari seorang fanatik mencoba menusuknya dengan
belati. Ia selamat. Tapi ia tahu ia harus berhati-hati. Ia, yang ting­
gal­menumpang di Rhinsburg, dekat Leiden, dan di Den Haag,
praktis menghabiskan waktunya menulis di kamarnya sambil tak
henti-hentinya merokok—dan menyelesaikan beberapa buku.
Tapi selama 10 tahun Spinoza tak berusaha menerbitkannya. Se­
http://facebook.com/indonesiapustaka

orang penerbit yang mencetak pendapat yang dianggap berbaha-


ya bagi iman telah dipenjarakan 10 tahun. Di tahun 1675, ketika
Spinoza ke Amsterdam untuk mencetak satu karyanya, ia dengar
desas-desus tersebar di kalangan para pakar theologi Kristen bah-

Catatan Pinggir 9 115


BENTO

wa buku itu berusaha membuktikan Tuhan tak ada. Spinoza pun


membatalkan niatnya.
Baru setelah ia meninggal karyanya yang penting, Ethica, ter-
bit di tahun 1677. Sementara itu Tractacus-Theologico-Politicus
yang terbit di tahun 1670, ketika ia masih hidup, muncul dengan
tanpa nama—dan segera masuk buku terlarang.
Tak mengherankan, bila sejalan dengan pikirannya tentang
Tuhan yang terpaut erat dengan manusia dan semesta—artinya­
Tuhan tak bisa digambarkan sebagai raja yang bertakhta—Spi-
noza menganggap kekuasaan politik para ulama dan pendeta ha­
rus ditiadakan. Iman yang tulus hanya tumbuh dalam kebebas­
an—dan justru pada kisah Bento yang diusir, kita tahu Spinoza
benar.

Tempo, 20 Januari 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

116 Catatan Pinggir 9


SLAMET

S
lamet adalah sebuah teriakan, ketika ia bunuh diri pa­
da umur 48. Mungkin Kota Pandeglang mendengarnya.
Mungkin Banten dan Jakarta mendengarnya. Tapi hanya
10 menit.
Segera setelah itu, teriakan itu lenyap. Slamet hilang. Ia kem-
bali jadi noktah yang melintas tipis pada layar radar, seperti berju-
ta-juta titik lain yang diabaikan. Jakarta sibuk. Tuan-tuan sibuk:
tuan-tuan berbaris membesuk Soeharto, sang patriarkh yang ge­
ring­ terbaring di rumah sakit itu, dan dengan tekun tuan-tuan
meng­ikuti naik-turun tekanan darahnya, menyimak jantung
dan paru-parunya, berkomat-kamit membaca doa untuknya, dan
ber­seru, makin lama makin keras, maafkan dia, maafkan dia....
Tentu, semua itu karena tuan-tuan orang yang beradab. Tapi
tak ada peradaban yang tak berdiri di atas pengakuan bahwa ada
ma­la yang besar (meskipun tak disebut sebagai dosa) ketika di
luar pintu seseorang rubuh, tertindih, hilang harap—dan kita
tak menolongnya.
Slamet adalah indikator negatif peradaban. Ia yang hidup bu-
kan sebagai penggugat, mati, dan dengan itu ia menggugat.
Lelaki ini seorang pedagang yang tekun, meskipun tetap mis­
kin. Sejak 1993 dengan angkringannya ia jajakan gorengan sing-
kong, tahu, tempe, dan pisang di sekitar Jalan Ahmad Yani di
Pan­deglang. Ia pernah yakin hidup akan lebih baik setelah ia ber-
henti bekerja di sebuah pom-bensin. Mula-mula memang ada ha­
rapan: ia bisa memperoleh untung sedikit-sedikit. Kata istrinya,
http://facebook.com/indonesiapustaka

Nuriah, Slamet dapat membawa laba sampai Rp 20 ribu sehari.


Tapi kemudian harga kedelai naik cepat dari Rp 3.400 menu-
ju ke Rp 8.000 sekilo. Akhirnya Slamet hanya bisa membawa pu-
lang rata-rata Rp 8.000, sementara tiap kali ia harus belanja ba­

Catatan Pinggir 9 117


SLAMET

han­sampai Rp 100 ribu.


Apa yang bisa dilakukannya? Utangnya memberat. Tapi bu-
kan hanya itu yang menimpanya. Ia, yang lahir di Ciamis dan
ma­ti di Pandeglang, ia yang berkeluarga di rumah 7 x 7 meter
per­segi berdinding gedek yang terletak di dekat Pasar Badak, di-
tentukan nasibnya tak di sana, melainkan di kejauhan: oleh para
birokrat Departemen Pertanian dan Perdagangan, oleh pasar du-
nia yang bergejolak, oleh ladang dan lumbung di Amerika Seri-
kat, oleh pusat-pusat makanan di Cina, oleh cuaca dan panen di
Brasil, oleh struktur agrobisnis di Argentina.
Apa daya Slamet di sela-sela jaringan raksasa itu? Seorang pa­
kar­Departemen Pertanian Amerika Serikat telah memperhitung­
kan, produksi kedelai tahun 2007-2008 akan turun 14 persen di
negeri itu, dan pembaca koran tahu Amerika Serikat adalah salah
satu produsen terbesar. Ketika para petani Amerika mendahulu-
kan menanam jagung yang lebih menguntungkan untuk indus-
tri biodiesel, suplai kedelai pun merosot di dunia. Sementara itu,
Brasil dan Argentina hanya meningkat sedikit panennya. Semen-
tara itu, permintaan bertambah, terutama dari Cina dan India,
dua negeri yang lebat penduduk dan sedang tumbuh pesat ekono­
minya. Maka harga pun membubung tak terelakkan. Di Pandeg­
lang, Slamet terjungkal.
Apa yang bisa dilakukannya? Ia hidup di sebuah negeri de­
ngan­ para birokrat yang seperti tak hendak tahu dan berbuat;
tren memburuk itu bukanlah sesuatu yang mendadak. Slamet
adalah sebuah indikator keteledoran.
Ia juga gejala kegagalan. Di tahun 1974, Indonesia bisa me-
menuhi kebutuhan kedelai dengan produksi sendiri, tapi sejak
http://facebook.com/indonesiapustaka

1975 sudah jadi pengimpor. Ketika di Jawa tanah-tanah pertani-


an yang subur dipergunakan untuk kebutuhan lain, kedelai kian
tak mendapat ruang yang cukup untuk ditanam. Seorang peneli­
ti, Dewa K.S. Swastika, bahkan sejak tahun 2000 menghitung:

118 Catatan Pinggir 9


SLAMET

tanpa terobosan yang berarti, defisit kedelai akan berlanjut.


Apa ”terobosan” itu, saya, seperti halnya Slamet, tak tahu.
Yang saya tahu, Indonesia tak mengalami apa yang dialami Bra­
sil.­Di sana, demokrasi yang menggantikan kediktatoran militer­
mem­bongkar juga kendali pemerintah atas pasar, dan di antara­
2002-2003 (ketika di Indonesia tak ada lagi harapan untuk swa­
sem­bada) di negeri Amerika Selatan itu produksi kedelai naik
ham­pir 300 persen dibandingkan dengan 1987-1988.
Lebih beruntungkah Brasil ketimbang Indonesia, yang kem-
bali ke demokrasi dengan masyarakat yang telah dipangkas habis
sumber-sumber kepemimpinannya? Saya tak tahu adakah ini so­
al malang dan mujur. Yang pasti, demokrasi datang dan negeri
ini hanya punya sederet pengambil keputusan yang kacau, atau
tak cerdas, atau bingung. Tampaknya cerita kedelai ini juga cerita
keledai-keledai.
Tuan-tuan pasti tak mau seperti itu. Tapi jangan takut. Cerita
Slamet bukanlah hanya cerita tentang tempe dan kekuasaan dan
kebebalan. Ia juga cerita sebuah keadaan, ketika seorang bisa be-
gitu putus asa dililit utang Rp 5 juta, sementara tak jauh dari tem-
pat ia menggantung diri ada orang-orang yang menghabiskan be­
ratus juta untuk satu malam perhelatan. Cerita Slamet adalah ce­
rita seorang yang dibunuh dengan acuh tak acuh. Maka ia juga
ce­rita tentang kematian yang tak terdengar, tapi seperti sebuah
teriakan.
Slamet memang tak menggugat siapa-siapa, tapi ia tetap se-
buah kontras: ia kecemasan yang tak ditengok, ia bukan Soeharto
yang terus-menerus dijenguk. Tapi ia lebih siap mati. Menjelang
ia menggantung diri, dibelinya dua helai kaus putih. Ia bicara de-
http://facebook.com/indonesiapustaka

ngan Oji, anaknya yang masih di kelas tiga SMK Pariwisata dan
sudah setahun belum membayar uang sekolah. Ia bisikkan bahwa
ia akan segera meninggal.
Slamet akhirnya sebuah cerita selamat tinggal yang tenang.

Catatan Pinggir 9 119


SLAMET

Pu­tus asa itu tampaknya menyebabkannya siap dan ikhlas. Ia


adalah pemberitahuan, ia seperti sajak Subagio Sastrowardojo:
pada akhirnya, apa sebenarnya yang dimiliki manusia?

Tak ada yang kita punya

Yang kita bisa hanya


membekaskan telapak kaki,
dalam, sangat dalam,
ke pasir
Lalu cepat lari sebelum
semua berakhir

Tempo, 27 Januari 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

120 Catatan Pinggir 9


SENSOR

K
ami, sejumlah juru sensor, duduk di ruangan gelap se-
perti seregu malaikat yang waswas.
Kami tak henti-hentinya mencuri pandang ke arah Tu-
han, (meskipun kami tak tahu ke arah mana semestinya), dengan
mata gundah: tidakkah Ia terlampau optimistis tentang manusia
ketika Ia memutuskan untuk menciptakan makhluk yang mere-
potkan ini? Tidakkah Tuhan lalai menduga bahwa manusia akan
menyebarkan kejorokan di muka bumi?
Kami, para juru sensor, sungguh khawatir. Memang Tuhan
per­nah mengatakan kekhawatiran itu tak berdasar. ”Aku tahu
apa yang kalian tak tahu”, kata-Nya. Tapi kami tetap tak percaya
ma­nusia akan berfiil baik, berakhlak tinggi, dan berjiwa kuat. Ba­
gi kami, manusia pasti akan mudah tergoda syahwat dan kemu­
di­an mencandu seks. Manusia, terutama yang muda-muda, pasti
akan terhanyut tenggelam oleh arus hal ihwal yang erotis. Tentu,
ini baru dugaan, tapi lebih baik kami siaga.
Sebab kami, para juru sensor, sebenarnya tak ikhlas ketika Tu-
han memberi begitu besar kemerdekaan kepada Adam + Hawa
be­serta keturunannya. Kami mendengarkan baik-baik kata
Allah,­tapi kami tersenyum kecut ketika mendengar beberapa ka-
limat dalam Al-Baqarah bahwa Ia mengangkat manusia sebagai
”khalifah”-Nya di bumi.
Sebab, bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin makhluk
yang lemah ini—yang kadang-kadang memandang dengan be-
rahi sebuah foto Happy Salma atau berpikir cabul tentang Tom
http://facebook.com/indonesiapustaka

Cruise—bisa diandalkan sebagai wakil-Nya? Bagaimana mung-


kin kita harus merayakan kedaulatan manusia?
Hati kami menampik. Manusia tak bisa dipercaya. Tentu, ka­
mi, para juru sensor, para alim ulama dan pengkhotbah moral,­

Catatan Pinggir 9 121


SENSOR

juga manusia. Tapi rasanya kami lain: bahan kami mungkin lem-
pung yang lebih unggul. Jangan-jangan malah kami diciptakan
de­ngan campuran api. Kami memang oknum luar biasa. Buktin-
ya: kami telah dipilih Pemerintah Republik Indonesia sebagai se­
kelompok kecil yang tentu tak akan tergoda bila menonton, mi­
sal­nya, adegan malam pengantin baru dalam film Berbagi Suami.
Sebab kami tak sembarangan. Kami yakin bahwa orang yang
bu­kan kami, mereka yang bukan juru sensor, akan rusak bila me-
lihatnya. Kalau tidak rusak, pasti bingung, atau salah paham.
Ka­sihan, ’kan? Karena orang-orang di luar gedung lembaga yang
luhur ini belum sematang kami. Mereka belum terdidik. Mere­
ka lemah iman, suka melamun, bolos ibadah, penuh dosa, dan,
maaf, bodoh-bodoh. Mereka harus dilindungi.
Lagi pula mereka tak butuh kebebasan untuk memilih apa
yang akan mereka tonton, tak perlu kemerdekaan untuk berpikir
sendiri dan mengutarakan pendapat. Kebebasan itu kemewahan.
Atau dikatakan secara lain: kemerdekaan itu harus ada batasnya.
Kami tahu, mereka tak tahu mana batasnya. Sebab itulah­
kami yang akan bikin rambu-rambu. Bagaimana cara kami mem­
bikin, dan apakah rambu-rambu itu adil dan dapat dipertang­
gungjawabkan—ah, sudahlah, tak perlu dibicarakan. Pokoknya,
inilah tugas kami.
Ini tugas yang mulia, sebagaimana mutu diri kami yang mu-
lia. Kami menjaga manusia Indonesia dari pelbagai bahaya yang
mengancam mereka—dari bahaya masturbasi sampai dengan
ba­haya aborsi, dari bahaya film biru sampai dengan koran ku­
ning.­Bukankah ada seorang tua yang mengatakan, (dan seperti
lazimnya orang tua, mengatakannya berkali-kali), kita sekarang
http://facebook.com/indonesiapustaka

sedang diserbu ”gerakan syahwat merdeka”?


Tentu, sinyalemen itu menggelikan. Sebab sebenarnya tak ada
”gerakan”, tak ada aktivitas yang terarah dan terorganisasi. Yang
ter­jadi adalah dinamika kapitalisme: ketika ekonomi pasar mu-

122 Catatan Pinggir 9


SENSOR

lai bangkit, tampak celah-celah untuk memasarkan hal-hal yang


terkait ”syahwat”. Tapi jika kata ”gerakan” dipakai, itu cuma ba-
gian dari sebuah bualan—sebuah siasat retorika untuk membuat
orang dag-dig-dug. Sedikit menyesatkan tak apa-apa, asal tujuan
tercapai.
Namun ada ”gerakan” atau tidak, lebih baik kami mendahu-
lui: kami harus tegakkan benteng. Lebih baik kami awas, sejak
awal.
Sebab manusia terlampau lembek. Harus kami katakan, Tu­
han­ salah. Tuhan terlalu optimistis. Itu juga yang diutarakan­
sang­Pengusut Agung dalam satu bagian novel Dostoyevsky yang­
ter­masyhur itu, Karamazov Bersaudara.
Dalam cerita ini, kardinal di Sevilla, Spanyol, yang berusia 90
tahun, dengan bengis dan yakin menangkap orang yang dituduh
murtad, mengusut imannya sampai sejauh-jauhnya, dan memba-
karnya hidup-hidup. Tiap hari, api unggun tampak di mana-ma-
na. Orang ketakutan, sampai akhirnya Yesus sendiri turun kem-
bali ke bumi untuk membebaskan mereka.
Tapi sang Kardinal tak gentar. Ia juga tak menyesal. Malah ia
berani bicara agresif kepada Tuhan: ”Apa yang Paduka telah ta­
war­kan kepada manusia? Apa yang dapat Paduka tawarkan? Ke-
bebasan? Manusia tak dapat menerimanya. Manusia butuh hu-
kum-hukum, sebuah tata yang mapan yang terperi untuk seterus­
nya, yang akan menolongnya membedakan yang sejati dan yang
palsu....”
Membangkangkah dia? Bukankah sang Pengusut melakukan­
semuanya untuk menyelamatkan dunia? Jawabnya ”ya” dan ”ti-
dak”.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dalam Kitab Suci, ada cerita bahwa Iblis, yang merasa tak ter-
buat dari lempung, melainkan dari api, menampik untuk meng­
ikuti­ Tuhan yang memberi kepercayaan kepada manusia. De-
ngan demikian bisa dikatakan, sang Pengusut Agung tak tampak­

Catatan Pinggir 9 123


SENSOR

berbeda dari Iblis. Tapi apa salahnya? Kami bukan Iblis, na­
mun­kami juga sepakat dengan sikapnya yang memandang ma-
nusia sebagai makhluk yang tak dapat diandalkan. Sebab itu-
lah kami ada: manusia harus dijaga, dilindungi, diawasi, diatur,
dikekang....
Dunia mencemaskan. Dunia dan manusia gampang berdosa
dan najis. Mencatat semua itu memang bisa sama dengan mera-
gukan, layakkah Tuhan diberi ucapan terima kasih dan kita ber-
syukur. Para juru sensor, yang duduk di ruangan gelap seperti se-
regu malaikat yang berwajah suram, tahu apa jawabnya.

Tempo, 3 Februari 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

124 Catatan Pinggir 9


KAYON

S
etelah Duryudana mati, dan berangsur-angsur pagi
meluas, dan suara gamelan bertambah pelan, tancep ka­
yon.­Dalang menancapkan lambang gunung itu di tengah-
tengah layar. Kisah berakhir, meskipun sebenarnya banyak hal
belum diutarakan. Pertunjukan wayang kulit semalam suntuk
itu selesai.
Kayon: lambang gunung, lambang hutan, isyarat untuk awal,
isyarat untuk penutup. Dari jauh bentuk itu mirip sebuah siluet
segi tiga di bawah cahaya. Tapi dari dekat akan kelihatan di gu­
nungan itu tersembunyi (dalam ukiran yang renik) pohon-pohon
rindang dengan cabang yang merangkul dan pucuk yang tinggi
menyembul. Ada sebuah gapura dengan tempat kunci berbentuk
teratai. Ada sepasang raksasa bersenjata yang tegak simetris. Ada
harimau, banteng, kera, burung merak dan burung-burung lain.
Juga wajah seram banaspati.
Dengan kata lain, di gunungan itu tersimpan bermacam hal,
ta­pi bertaut dalam satu misteri, sesuatu yang angker, tapi juga te­
duh: sebuah wilayah kehidupan yang lain. Ketika arena di luar­
nya memaparkan kisah intrik, nafsu, dan perang yang tak henti-
hentinya, di kerimbunan yang agung itu hidup berlangsung an-
teng dan syahdu. Dalam kayon, waktu yang mengalir detik demi
detik seakan-akan tak ada lagi. Di dalam gunungan, arus menit
dan jam seakan-akan diinterupsi dan distop. Segala hal seakan-
akan berada di luar waktu.
Tapi manusia tidak. Ia akan kembali menghadapi, bahkan ter-
http://facebook.com/indonesiapustaka

libat dengan, peristiwa-peristiwa yang berubah dan terkadang


mengguncang. Terletak terpisah tapi tak jauh dari medan peris-
tiwa, kayon adalah sebuah kontras.
Dalam wayang kulit, ketika dalang menghadirkan adegan

Catatan Pinggir 9 125


KAYON

ma­jelis yang tertib di balairung atau sebuah pertempuran yang se­


ru di tepi hutan, kayon akan terpasang di sisi layar, seperti me­nan­
dai bahwa ada kehidupan yang bertentangan dengan kehi­dup­an
manusia yang tak henti-hentinya berubah dan resah. Meskipun­
demikian, gunungan itu juga yang mengisyaratkan pergantian
ba­bak atau adegan. Ironis, bahwa yang berada di luar waktu jus-
tru jadi tengara perubahan waktu.
Bahkan sesekali ki dalang akan mengangkat dan menggerak­
kan kayon untuk melukiskan angin gemuruh, halilintar yang me­
ngejutkan, dan saat keajaiban yang membuat seorang kesatria ja­
di makhluk yang dahsyat.
Dengan kata lain, dengan gunungan, waktu yang tak kekal da­
lam hidup manusia senantiasa dibayang-bayangi sebuah wujud­
rahasia yang hadir di awal dan terpacak di akhir.
Barangkali karena itu Bharatayudha adalah sebuah tragedi.­
Bukan karena perang besar itu sia-sia. Memang tak jelas apa sebe­
nar­nya arti kemenangan Pandawa dalam merebut kembali Kera-
jaan Hastina, jika akhirnya seluruh generasi kedua mereka terbu­
nuh dan, ketika perang usai, seantero anggota keluarga dibantai
As­watama di sebuah malam yang lengah.
Tapi Bharatayudha terasa sebuah tragedi karena kontras dan
ironi kayon tepat mengenai inti ceritanya. Lihatlah para kesatria
itu. Mereka jalani hidup yang berubah-ubah, yang tak mudah,
me­­reka masuk ke dalam sengketa yang menyakitkan dan buas,
mereka ambil keputusan-keputusan yang rumit dan musykil, ta­
pi me­reka tak akan dapat membatalkan perang yang mengerikan
itu. Sudah ditetapkan, Bharatayudha akan terjadi. Baik para Pan-
dawa maupun Kurawa tak dapat memilih untuk mati dengan ca­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ra lain. Apa arti pilihan dan keputusan manusia di bawah Nasib


dan Kutuk yang permanen?
Pada akhirnya memang tak pernah bisa jelas, dalam waktu
yang manakah manusia ketika ia menanggung sengsara atau ber-

126 Catatan Pinggir 9


KAYON

laku buas, merasa bahagia atau lupa daratan. Ada waktu dari Na-
sib, waktu sebagai Kala, yang tak berubah dan tak mengubah. Di
dalam Kala, manusia tak dapat lepas memilih dan memutuskan­
masa depannya dengan bebas. Tapi sementara itu ada waktu se-
hari-hari: waktu ketika manusia menyakiti dan disakiti, membu­
nuh dan dibunuh, rindu dan bahagia, heroik dan culas. Itulah
wak­tu ketika manusia jadi subyek, biarpun sejenak, biarpun tak
utuh.
Persoalannya tentu: mungkinkah subyek lahir, subyek yang
me­lawan situasi tempat ia hidup, merombak kondisi yang mem-
bentuknya, subyek yang terlepas dari posisi obyek di bawah sang
Kala? Dalam Bharatayudha, contoh yang utama bahwa hal itu
mungkin adalah Karna. Ia anak seorang sais. Ia anak sudra, tapi
ia berani maju menandingi para kesatria. Ia, seorang pendekar
yang diklaim sebagai saudara seibu para Pandawa, tetap memilih
ber­pihak kepada Kurawa—meskipun tahu pihak yang dipilihnya
akan hancur. Tapi ia bebas.
Mungkin ada saat-saat yang tak dikisahkan ki dalang ketika
Kar­na berdiri sendiri memandang ke arah kayon. Wilayah itu tak
akan pernah dijangkaunya: pohon-pohon dengan cabang yang
agung, gapura yang selalu siap menyambut dan mengunci raha-
sia, sepasang raksasa yang berjaga entah atas titah siapa, dan ma-
can, dan banteng, dan kera, dan burung merak... semuanya sua-
sana angker yang tak mempunyai bahasa.
Pada saat seperti itu ia sadar, ia jauh dari sana, ia hidup dengan
waktunya sendiri. Lebih radikal lagi, ia—yang merasa ada misteri
yang membayang dari gunungan itu—memutuskan untuk ber-
tindak, tanpa merasa siap mengetahui rahasia hidup. Nasib? Sang
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kala? Baginya semua itu lebih baik ia tinggalkan. Terlalu pahit


un­tuk ditanggung. Ia tak terikat dengan sebuah masa lalu dan se-
buah masa depan. Ia hanya punya masa kini dan sebuah pertalian
dengan orang lain: para Kurawa.

Catatan Pinggir 9 127


KAYON

Dengan itulah Karna jadi subyek—justru karena ia, seraya


me­lepaskan diri dari Waktu, Kala, menjangkau orang lain dan
bertanggung jawab kepada mereka. Pada dirinyalah sebenarnya
Bha­ratayudha jadi kisah kepahlawanan dan sekaligus tragedi.
Tapi entah kenapa, para dalang tak pernah mengatakan itu.
Karna tewas dihunjam panah Arjuna, tapi tak ada yang bercerita
bagaimana ia dikuburkan. Yang pasti bukan sebagai pahlawan.
Mungkin sebab itu tiap kali gunungan ditancapkan, dan suara ga­
me­lan menghilang dari cerah pagi, kita tahu ada sesuatu yang be-
lum diutarakan dan kita tak mengerti.

Tempo, 10 Februari 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

128 Catatan Pinggir 9


PUING

1
945, 1966, 1998....
Angka-angka itu kini jadi nama. Masing-masing menjuluki
sebuah pergantian sejarah: yang pertama lahirnya Republik
Indonesia, yang kedua runtuhnya kekuasaan Sukarno, dan yang
ketiga jebolnya kekuasaan Soeharto.
Dengan kata lain, masing-masing angka itu bahkan tak lagi
ha­nya berarti tahun. Tiap nama/angka yang ditulis merujuk ke
se­buah peristiwa besar: kejadian yang membuat sebuah zaman
pa­tah arang dengan zaman sebelumnya, ketika sebuah situasi
run­tuh dan seluruh sendi kehidupan berubah, dan setelah itu,
da­tang awal yang sama sekali baru. Bahkan, jika kita memakai
re­torika Alain Badiou, datang ”sebuah kebenaran baru”.
Nama-nama itu juga menunjukkan usaha manusia untuk
meng­awetkan proses yang terjadi sejak kejadian besar itu mele­
dak.­Sebab tiap kejadian memang sebuah ledakan: keras, mengge-
tarkan dan menghancurkan, tapi segera surut, larut, lenyap.
1945, 1966, 1998: sederet metonimi. Masing-masing adalah
pengganti yang ringkas bagi sesuatu yang lebih kompleks: ”1945”,
misalnya, adalah penanda waktu ketika Sukarno dan Hatta
mem­­proklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dengan metonimi
sebenarnya kita mengakui, ada pelbagai hal—ya, banyak sekali
hal, boleh dikata tak terhingga—yang bisa dihimpun di Jakarta
pa­da tanggal 17 Agustus 1945.
Banyak hal itu membuat kata ”patah arang” dan ”awal yang sa­
ma sekali baru” sekadar sederet hiperbol. Ada yang dilebih-lebih­
http://facebook.com/indonesiapustaka

kan di dalam ”patah” dan ”baru”. Sebab di antara yang muncul


se­bagai jejak kejadian besar seperti ”1945”, ada hal-hal yang amat
kerdil. Di antara yang ”patah”, ada yang berlanjut dan bahkan
me­nguat. Tak semua hal merupakan ”awal”, dan mungkin tak

Catatan Pinggir 9 129


PUING

ada awal yang ”sama sekali baru”.


Itu sebabnya tiap perubahan besar selalu mengandung keke-
cewaan, diikuti disilusi.
Dalam ”1945”, misalnya. Semangat yang mendorong orang
In­donesia membentuk sebuah republik yang merdeka begitu me-
luap, begitu sakti. Ribuan pemuda mempertahankan republik
me­reka dari usaha kolonisasi kembali. Mereka bergerak dengan
sakit dan kematian, juga dengan sikap tulus dan keberanian. Na-
mun kemudian, cepat atau lambat, semangat yang sakti itu jadi
boyak.
Kita ingat adegan-adegan kepahlawanan dalam novel Pra­
moe­dya Ananta Toer, Di Tepi Kali Bekasi. Farid, seorang remaja
Jakarta, ikut dalam perang kemerdekaan mula-mula hanya kare-
na keinginan ”masuk Tentara”. Tapi pada akhirnya ia jadi seorang
komandan gerilya yang, tanpa kata-kata heroik, mempertahan­
kan­ Kranji dan Bekasi, kehilangan Kranji dan Bekasi, dan ber-
tempur terus, melawan pasukan musuh yang jauh lebih kuat da­
lam persenjataan.
Kisah ini, untuk memakai kata-kata pengarangnya sendiri,
ada­lah rekaman ”suatu epos tentang revolusi jiwa—dari jiwa ja-
jahan dan hamba menjadi jiwa merdeka”. Transformasi itu dah-
syat. Sebab ”perubahan atau Revolusi jiwa” itu, tulis Pramoedya
pula, ”lebih berhasil dalam seluruh sejarah Indonesia daripada se-
luruh Revolusi bersenjata yang pernah dilakukannya”.
Tapi Revolusi, ledakan besar itu, segera surut, larut, lenyap.
Ha­nya beberapa tahun setelah pertempuran Farid di sepanjang
Ka­li Bekasi, Indonesia memasuki masa yang menanggungkan
”royan revolusi”. Novel Ramadhan K.H. memakai kata itu untuk
http://facebook.com/indonesiapustaka

judul. ”Royan”, rasa sakit tubuh yang baru melahirkan, adalah


me­tafor untuk masa tahun 1950-an yang dirundung frustrasi.
Itu­lah masa ketika situasi tak bertambah baik di dalam republik
yang baru merdeka itu: orang mulai mementingkan diri sendiri,

130 Catatan Pinggir 9


PUING

kesetiaan kepada ”1945” tak ada lagi.


Hal yang sama dapat dikatakan bagi ”1966”. Para mahasis­wa
yang menumbangkan ”demokrasi terpimpin” yang represif­sejak
1958-1965—para pemuda yang bersedia menanggungkan ke-
kerasan dan tak takut mati untuk sebuah Indonesia yang demo­
kratis—berangsur-angsur sadar bahwa mereka teperdaya. Rezim
yang menggantikan ”demokrasi terpimpin” ternyata sebuah ”de-
mokrasi terpimpin” lain—malah dimulai dengan pembantaian
yang menyebarkan teror selama tiga dasawarsa.
Yap Thiam Hien, pendekar hak asasi manusia itu, ikut menco-
ba membuka zaman baru di bawah ”Orde Baru”. Tapi kemudian
kita tahu apa yang terjadi. Hukum terus saja diinjak dengan bru-
tal; kemerdekaan ditendang ke sudut sel; Indonesia dijadikan se-
perti kerbau yang dicocok hidungnya.
Kini 2008. Sepuluh tahun setelah Reformasi, sebuah masa se­
telah Soeharto pergi: bukankah ”royan revolusi” dirasakan lagi
dan orang juga mengeluh?
Agaknya selang-seling antara ”kejadian” dan ”royan” atau an-
tara pengharapan dan kekecewaan telah jadi sebuah pola yang
ber­ulang. Jangan-jangan kita harus kembali melihat apa arti
”1945”, ”1966”, atau ”1998”.
Jangan-jangan kita sebenarnya memberi nama itu sebagai cara
kita bertahan dari serbuan gelap dan campur-aduk yang membi­
ngungkan di tiap transformasi politik. Bukankah bersama itu
ada sebuah hasrat yang radikal terhadap sejarah?
Hasrat itu radikal (Badiou menyebutnya ”kiri-isme yang spe-
kulatif”), karena ingin memurnikan waktu, menertibkan ruang.
Tapi waktu dan ruang selamanya kekusutan, selamanya diling-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kungi khaos.
Setelah 1945, 1966, 1998, kita menemukan bahwa dalam ”ke-
benaran baru” yang muncul hari ini ada jejak dari masa silam. Je-
jak itulah yang tampil menggugah hati kembali. Tapi bersama

Catatan Pinggir 9 131


PUING

itu, ada puing dari zaman lama yang terus teronggok.


Saya teringat malaikat sejarah dalam lukisan Paul Klee—tapi
dengan narasi yang lain dari yang dibawakan Walter Benjamin.
Malaikat itu memang menghadap ke belakang, sementara ia ter-
bang maju. Selama itu ia diikuti sisa-sisa masa lalu yang dirun-
tuhkannya—reruntuhan yang terus meninggi dan mendesakkan
diri, mendorongnya terbang ke depan, melewati kejadian demi
kejadian.
Saya ragu, adakah di sayapnya ada angka-angka 1945, atau
1966, atau 1998. Mungkin tidak; hanya warna polos yang ber­
gerak.­

Tempo, 17 Februari 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

132 Catatan Pinggir 9


DA VINCI

S
epotong catatan Leonardo da Vinci, di akhir abad ke-
15:

”... manusia, yang dengan rasa ingin tahu yang riang berharap men­
dapatkan musim semi baru, musim panas baru, dan bulan-bulan
yang baru selamanya... tak tahu bahwa dalam kerindu­an­nya itu­lah
terbawa kuman kematiannya sendiri.”

Sebuah pandangan hidup yang muram mungkin, tapi Da Vin-


ci tak berhenti di situ. Baginya, kita tak harus menyesali, justru­
harus menyambut, nasib yang dibentuk oleh harapan yang tak
per­nah sampai. ”Kerinduan” itulah, kata Da Vinci, ”sifat dasar
ke­hidupan,­” dan ”Manusia adalah sebuah teladan bagi dunia.”
Ya, pelukis Italia itu menyebut manusia sebagai ”teladan”, se-
bagaimana laiknya seorang seniman zaman Renaissance. Dan ia
menulis ”Manusia” dengan ”M”, bukan ”m”. Kita tahu abad ke-
15 di Italia adalah abad narsisme: manusia memandang ke dunia,
dan yang ia temukan wajahnya sendiri, makhluk yang menga­
gum­kan.
Di zaman itulah teknik melukis dengan perspektif dikem-
bangkan. Di kanvas, orang tak lagi menggambar gunung yang
jauh terletak rapat dengan pohon yang dekat. Ruang disusun ja­
di­stabil dengan ukuran yang pasti, berdasarkan posisi pandang
sang pelukis. Dunia seakan-akan dihadirkan kembali (”re-pre-
sentasi”), tapi sebenarnya dibentuk. Ia dikonstruksikan oleh su­
http://facebook.com/indonesiapustaka

dut pandang si empunya mata. Manusialah yang mengendali­


kan costruzione legittima. Sejak itu, seni rupa tak lagi berpusat da­
lam Tuhan, melainkan dalam manusia. Manusia, dengan ”M”,
adalah ukuran segala-galanya.

Catatan Pinggir 9 133


DA VINCI

Itu juga pandangan Michelangelo. Pelukis ini pernah menulis­


se­potong sajak; di dalamnya ia katakan bahwa Tuhan hanya me-
nampakkan diri lewat ”cadarnya yang indah”, yakni manusia.
Ma­ka ketika Paus memesannya untuk menghiasi Kapela Sistina
di Roma dengan satu karya fresko, ia gambarkan Tuhan di langit-
la­ngit bangunan itu dengan paras seorang tua yang gagah.
Kita bisa menyangka, di situ Michelangelo (dan juga Sri Pa­
us)­ lupa akan satu adegan dalam Alkitab, di hari ketika Musa
dan­Bani Israel datang ke kaki Gunung Sinai ”untuk menjumpai
Allah”.­Tapi gunung itu sepenuhnya ditutupi asap; Tuhan ”turun
ke atasnya dalam api”. Seluruh gundukan bumi itu gemetar. Bu­
nyi­sangkakala terdengar, kian lama kian keras. Syahdan, Allah
pun memanggil Musa ke puncak. Ia peringatkan agar manusia
ja­ngan coba menembus asap untuk mendapatkan dan melihat-
Nya. Di saat itu juga turunlah firman: ”Jangan membuat bagimu
patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau
yang ada di bumi bawah, atau yang ada di dalam air....”
Sejak itu haramlah patung atau gambar, apalagi yang disem-
bah. Tapi tak mudah firman Allah itu dipatuhi. Bahkan ketika
Musa masih di puncak Sinai, dan belum ada tanda-tanda akan
tu­run, Bani Israel membuat sebuah patung lembu emas yang me­
reka sembah sebagai pengganti Tuhan yang tak kunjung tampak.­
Tak ayal, Musa pun turun dan menjatuhkan hukuman yang me­
ngerikan: mereka yang ”memihak kepada Tuhan” harus membu­
nuh saudara, teman, dan tetangga mereka sendiri. Tertulis dalam
Keluaran 32: 28: ”Pada hari itu tewaslah kira-kira tiga ribu
orang....”
Sejarah ikonoklasme—yang kelak akan dipraktekkan dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

garang ketika orang-orang Kristen dan Islam menghancurkan


pa­tung dan gambar sebagai berhala—mendapatkan momen dra-
matisnya di kaki Sinai hari itu.
Tapi apa sebenarnya yang dilarang: membuat patung dan

134 Catatan Pinggir 9


DA VINCI

gam­­bar, atau membuat berhala untuk disembah? Dalam sejarah


Gereja, Yesus dan Maria dan bahkan Allah bisa dilukis, tapi gam-
bar-gambar itu tak diperlakukan sebagai sesembahan. Seni Mi-
chelangelo dan Da Vinci tak dilihat sebagai ikhtiar mimetik, usa­
ha meniru sang sosok yang dilukis. Mereka tak diperlakukan se­
ba­gai re-presentasi, melainkan sebagai ekspresi.
Ekspresi itu tentu saja ekspresi manusia di suatu masa, di suatu
tempat. Apalagi di zaman ketika, seperti kata Leonardo, ”Manu-
sia” hadir sebagai teladan, juga dalam imajinasi.
Itu sebabnya ketika Da Vinci ingin menghidupkan suasana
ade­gan Perjamuan Terakhir dalam Injil, ia—yang hidup beratus-
ra­tus tahun setelah peristiwa di Yerusalem itu—menampilkan Al
Masih dengan menggunakan seorang bangsawan dari keluarga
Kardinal Mortaro sebagai model. Latar dan alam benda yang ter-
gambar dengan tempera itu bertaut erat bukan dengan kemela­
rat­an para rasul di Palestina, tapi dengan zaman Italia abad ke-15:
gelas anggur, pisau, garpu, dan keramik cantik terletak di taplak
meja yang bersulam. Semuanya mirip benda yang digunakan­pa­
ra penghuni biara Santa Maria delle Grazie di Milano, tempat lu­
kisan itu muncul di dinding batu.
Memang ada ambiguitas di sini: kekekalan itu disampaikan
da­lam kekinian—satu hal yang juga dilakukan oleh Emil Nolde,
pelukis ekspresionis Jerman di awal abad ke-20, yang melukis Per-
jamuan Terakhir dengan goresan kuas yang kasar, warna merah
yang pedih, garis yang bersahaja, dan suasana persatuan penuh
tekad seperti dalam poster perjuangan buruh. Leonardo—yang
melukis adegan Injil di biara itu bukan atas pesanan Gereja, me-
lainkan penguasa Milano, Ludovico Sforza—tentu juga sadar
http://facebook.com/indonesiapustaka

bahwa karyanya hidup dalam zaman yang disebut Walter Ben-


jamin sebagai masa ”pasca-aura”. Ia, yang juga seorang ilmuwan,
tak hendak membuat berhala, tak ingin membuat aikon.
Beda antara berhala (l’ idole) dan aikon (l’ icône) seperti yang di-

Catatan Pinggir 9 135


DA VINCI

paparkan Jean-Luc Marion, filosof Katolik dari Prancis itu, pada


dasarnya beda cara bersikap terhadap Tuhan. Berhala adalah ke-
tika tatapan dan konsep manusia merasa mampu merumuskan-
Nya. Aikon adalah peristiwa ketika Allah memberikan diri-Nya
sebagai karunia cahaya yang demikian berlimpah, hingga manu-
sia tak mampu melihat-Nya, dan yang terasa adalah gelap—ya,
gelap yang gemilang.
Di situlah manusia ada dalam kerinduannya yang tak sampai.
Leonardo telah mencatat hal itu pada suatu hari di abad ke-15.

Tempo, 24 Februari 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

136 Catatan Pinggir 9


OBAMA

S
eandainya Obama seorang perempuan....
Tentu saja ia bukan—dan ini bisa dikatakan sebagai se-
buah kekurangan. Tapi nobody’s perfect—seperti kata si ju­
tawan bego dalam adegan terakhir film Some Like it Hot, ketika­
diberi tahu bahwa orang yang digandrunginya itu (”Daphne”
yang sebenarnya adalah Jerry) ternyata laki-laki.
Obama akan nyaris sempurna seandainya ia bisa jadi perem-
puan, kemarin, atau besok. Sebab bahkan sekarang pun ia sudah
me­rupakan satu sosok yang unik: ia persilangan (pelbagai) identi-
tas. Ia contoh bahwa ”identitas” bukanlah sebuah cap yang kekal
dan kaku. Dalam kata pengantar edisi tahun 2004 untuk buku-
nya The Dream of My Father, Obama sendiri menyebut ”the fluid
state of identity—the leaps through time, the collision of cultures—
that mark our modern life.” Ia menegaskan apa yang ia ketahui dari
tubuhnya sendiri: bahwa identitas selalu dalam keadaan cair—
ciri zaman ini.
Mungkin sebab itu ia politikus Amerika yang bisa dengan wa-
jar menunjukkan bahwa politik tak bisa hanya mengibarkan pan-
ji-panji partikularisme, dengan politik identitas yang menegas-
kan apa yang istimewa pada ”kami” dan tidak pada ”mereka”. Po­
li­tik pada akhirnya sebuah proses pencarian dan penyampaian
apa yang universal. Politik adalah suatu pergulatan antarkelom-
pok yang terdorong membentuk ”kita”.
Obama tak bermula dari ”kami” yang pasti. Orang berkata,­
pria yang hari-hari ini sedang ikut bersaing untuk jadi calon Par­
http://facebook.com/indonesiapustaka

tai Demokrat buat jabatan Presiden Amerika Serikat adalah orang


kulit hitam pertama yang berhasil naik ke gelanggang seting­gi
itu. Tapi sebutan black bagi Obama berlebihan—dan sekaligus
kurang. Ia tak sehitam Mohammad Ali, Stevie Wonder, atau Jesse

Catatan Pinggir 9 137


OBAMA

Jackson.
Ibu Obama seorang perempuan kulit putih dari Kansas. Ma­
lah, jika kita percaya hasil penelitian trah oleh The New England
Historic Genealogical Society, Ann Dunham ada dalam garis ke-
turunan seorang raja Skotlandia pada abad ke-12.
Tapi sementara itu ia juga seorang ”Afro-Amerika” dalam pe­
nger­tian yang harfiah. Ayahnya, Barrack Hussein, datang dari
su­ku Luo di Provinsi Nyanza, Kenya, seorang mahasiswa asing di
Hawaii yang bertemu dan kemudian menikah dengan Ann Dun-
ham.
Seorang bayi yang diberi nama seperti ayahnya lahir di Hono-
lulu, 4 Agustus 1961. Tapi, ketika ia berumur dua tahun, orang
tua­nya berpisah. Si ayah menyelesaikan studi ilmu ekonominya­
di Universitas Harvard. Perpisahan itu jadi perceraian. Pria Ke­
nya­­­ yang berambisi tinggi itu kembali ke tanah kelahirannya.
Bagi si anak yang tertinggal di Hawaii, ia jadi seorang ayah yang
tak di­kenal. Barrack muda bertemu dengan dia ketika si bocah
ber­umur 10. Barrack tua kemudian tewas dalam kecelakaan mo­
bil­pada 1982. Sang ayah jadi nama yang menandai kehilangan
da­­lam diri anaknya.
Dalam kehilangan itulah pengertian ”Afro-Amerika” yang
harfiah berubah. Makna lain kemudian mengisi lubang itu, dan
sejak itu Obama memandang dirinya sendiri secara lain. Berkat
ibunya.
Dalam The Dream of My Father, yang ditulisnya sebelum ia
ma­suk lembaga legislatif, pemuda separuh Kenya ini menyebut
dongeng-dongeng suku Luo di tepi Danau Victoria. Tapi yang
agaknya paling membekas adalah yang diberikan sang ibu selama
http://facebook.com/indonesiapustaka

mereka hidup di Jakarta.


Ibu itu, Ann—seorang perempuan yang dibesarkan dengan
pandangan yang tak konvensional—menikah dengan seorang
ma­hasiswa dari Indonesia, Sutoro namanya. Pada 1967 keluarga

138 Catatan Pinggir 9


OBAMA

itu pindah ke Jakarta. Mereka punya seorang anak perempuan,


Maya.
Sutoro bekerja di kalangan perminyakan. Masa akhir 60-an
adalah masa pergolakan di Indonesia, ekonomi masih berat, dan
kepastian belum tampak. Sedikit yang kita ketahui tentang ayah
tiri Obama ini, kecuali bahwa ia tak cukup uang untuk mema-
sukkan Barrack ke The Jakarta International School. Maka Bar-
rack (biasa disebut ”Barry”) bersekolah di sekolah negeri di Jalan
Besuki. Tapi ibunya menyiapkannya untuk mendapat pendidik­
an yang lebih baik di Amerika.
Barry belajar memperbaiki bahasa Inggrisnya dari sang ibu,
dan harus bangun pukul 4 pagi untuk itu. Sang ibu tak hanya
meng­ajarnya berbahasa Inggris. Ia juga memperkenalkan Barry
dengan lagu-lagu Mahalia Jackson dan pidato Dr Martin Luther
King, juga kisah tentang anak-anak hitam yang terjepit di Ameri-
ka Serikat bagian selatan. Dari sinilah Barry memilih apa arti
”Afro-Amerika” baginya: bagian dari perjuangan pembebasan
dari diskriminasi rasial, keterbelakangan, dan ketersisihan orang
hitam berabad-abad.
Tapi tentu saja ia tak sepenuhnya ada dalam sejarah itu—
dan ia tumbuh jadi seorang pemuda dengan kulit hitam yang
tak dirundung amarah. Ketika gerakan Civil Rights berhasil, dan
hak-hak lebih luas orang hitam didapat, Barrack tinggal menem-
puh jalan yang lebih luas terbentang. Tapi ia sudah bertindak,
dengan bekerja di komunitas hitam di Chicago. Ia memasuki se-
jarah Amerika yang baru.
Kini ia tengah ikut membuat sejarah itu—sebuah sejarah yang
pernah bernoda oleh larangan bagi orang hitam untuk berada di
http://facebook.com/indonesiapustaka

sa­tu sekolah, satu bus, dan satu tempat kencing dengan orang ku-
lit putih, tapi juga sebuah sejarah dengan demokrasi yang ternya-
ta bisa mengembangkan diri.
Demokrasi itu kini sedang menunjukkan, bagaimana kaum

Catatan Pinggir 9 139


OBAMA

yang paling di pinggiran bisa bergerak masuk ke tengah—dan


ke puncak. Tak hanya itu. Demokrasi itu juga sedang menunjuk-
kan, bagaimana sebuah bangsa bisa menebus sebagian dari kesa­
lahannya sendiri, yang telah memilih pemerintahan Bush yang
menumbuhkan antagonisme ”kami” dan ”mereka” di mana-ma-
na.
Obama (terutama jika ia menang) adalah sebuah indikator
le­bih kuat, bahwa demokrasi Amerika membuat antagonisme
tak memutlakkan dasar antagonisme itu sendiri. Demokrasi itu
sendiri proses perubahan. Pada abad ke-21, Amerika Serikat bisa
berhenti jadi negeri yang dibenci. Ia bisa memberikan inspirasi.

Tempo, 2 Maret 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

140 Catatan Pinggir 9


FOUDA

P
ada tanggal 8 Juni 1992, mereka bunuh Farag Fouda
di Madinat al-Nasr, Kairo. Dua orang bertopeng menye­
rangnya. Fouda tewas tertembak, anaknya luka-luka­pa­
rah. Kelompok Jamaah Islamiyah mengatakan: ”Ya, kami mem-
bunuhnya.”
Bagi kelompok itu, tak ada dosa bila Fouda dibinasakan. Bu-
kankah lima hari sebelum itu sekelompok ulama dari Universitas
al-Azhar memaklumkan bahwa cendekiawan ini telah menghujat
agama, dan sebab itu boleh dibunuh? Seorang ulama, Muham-
mad al-Ghazali, membela para algojo: tindakan mereka adalah
pelaksanaan hukuman yang tepat bagi seorang yang murtad.
Tapi tak seorang pun tahu sebenarnya, benarkah Fouda, yang
tewas pada umur 46, orang yang murtad. Terutama jika kita baca
buku yang baru-baru ini diterbitkan Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama, Kebenaran Yang Hilang, yang juga memuat
kata pengantar Samsu Rizal Panggabean.
Lima bulan sebelum ia dibunuh, Fouda ikut dalam perdebat­
an di Pameran Buku Kairo. Dalam acara yang konon diikuti­
30.000 orang itu ia menghadapi ulama macam Muhammad al-
Ghazali. Perdebatan berkisar pada masalah hubungan antara
aga­ma dan politik, negara dan agama, penerapan syariat Islam
dan lembaga khilafah.
Pendirian Fouda dikemukakan dengan gamblang dalam se-
rangkaian bab al-Haqiah al-Ghaybah-nya yang diterjemahkan
oleh Novriantoni. Ia memang bisa mengguncang sendi-sendi pe-
http://facebook.com/indonesiapustaka

mikiran kaum ”Islamis”: mereka yang ingin menegakkan ”negara


Islam” berdasarkan ingatan tentang dunia Arab di abad ke-7 ke-
tika para sahabat Nabi memimpin umat.
Bila kaum ”Islamis” menggambarkan periode salaf itu sebagai

Catatan Pinggir 9 141


FOUDA

zaman keemasan yang patut dirindukan, Fouda tidak. Baginya,


sebagaimana ditulis Samsu Rizal Panggabean, periode itu ”za-
man biasa”.
Bahkan sebenarnya ”tidak banyak yang gemilang dari masa
itu”, demikian kesimpulan Samsu Rizal Panggabean. ”Malah,
ada banyak jejak memalukan.”
Contoh yang paling tajam yang dikemukakan Fouda ialah
saat kejatuhan Usman bin Affan, khalifah ke-3. Sahabat Rasul
yang diangkat ke kedudukan pemimpin umat pada tahun 644
itu—melalui sebuah musyawarah terbatas antara lima orang—
ber­akhir kekuasaannya 12 tahun kemudian. Ia dibunuh. Para
pem­bunuhnya bukan orang Majusi, bukan pula orang yang mur-
tad, tapi orang Islam sendiri yang bersepakat memberontak.
Mereka tak sekadar membunuh Usman. Menurut sejarawan
al-Thabari, jenazahnya terpaksa ”bertahan dua malam karena ti-
dak dapat dikuburkan”. Ketika mayat itu disemayamkan, tak ada
orang yang bersembahyang untuknya. Siapa saja dilarang menya­
latinya. Jasad orang tua berumur 83 itu bahkan diludahi dan sa­
lah satu persendiannya dipatahkan. Karena tak dapat dikubur-
kan di pemakaman Islam, khalifah ke-3 itu dimakamkan di Hisy
Kaukab, wilayah pekuburan Yahudi.
Tak diketahui dengan pasti mengapa semua kekejian itu ter-
jadi kepada seseorang yang oleh Nabi sendiri telah dijamin
akan masuk surga. Fouda mengutip kitab al-Tabaqãt al-Kubrã
karya sejarah Ibnu Sa’ad, yang menyebutkan satu data yang me­
narik:­khalif itu agaknya bukan seorang yang bebas dari kesera­
kah­an. Tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya terdapat
30.500.000 dirham dan 100.000 dinar.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kaum ”Islamis” tak pernah menyebut peristiwa penting itu,


ten­tu. Dan tentu saja mereka tak hendak mengakui bahwa tin­
dak­an berdarah terhadap Usman itu menunjukkan ada yang
ku­rang dalam hukum Islam: tak ada pegangan yang mengatur

142 Catatan Pinggir 9


FOUDA

cara mencegah seorang pemimpin agar tak menyeleweng dan


bagaimana pergantian kekuasaan dilakukan.
Ketika Usman tak hendak turun dari takhta (ia mengatakan,
”Demi Allah, aku tidak akan melepas baju yang telah disematkan
Allah kepadaku!”), orang-orang Islam di bawahnya pun mene­
mui­jalan buntu. Sebagaimana disebut dalam Kebenaran yang Hi­
lang, para pemuka Islam waktu itu mencari-cari contoh dari masa
lalu bagaimana memecahkan soal suksesi. Mereka gagal. ”Me­
re­ka juga mencari kaidah dalam Islam... tapi mereka tak mene-
mukannya,” tulis Fouda. Maka perkara jadi runcing dan mereka
mengepung Usman—lalu membunuhnya, lalu menistanya.
Tampak, ada dinamika lain yang mungkin tak pernah diper­
kirakan ketika Islam bertaut dengan kekuasaan. Dinamika itu
mencari jalan dalam kegelapan tapi dengan rasa cemas yang sa­
ngat.­ Orang memakai dalih agama untuk mempertahankan
takh­ta atau untuk menjatuhkan si penguasa, tapi sebenarnya me­
reka tahu: tak ada jalan yang jelas, apalagi suci. Di satu pihak, me­
reka harus yakin, tapi di lain pihak, mereka tahu mereka buta.
Itu sebabnya laku mereka begitu absolut dan begitu bengis.
Pada tahun 661, setelah lima tahun memimpin, Ali dibunuh de-
ngan pedang beracun oleh seorang pengikutnya yang kecewa,
Ibnu Muljam. Khalifah ke-4 itu wafat setelah dua hari kesakitan.
Pembunuhnya ditangkap. Sebagai hukuman, tangan dan kaki
orang ini dipenggal, matanya dicungkil, dan lidahnya dipotong.
Mayatnya dibakar.
Ketika pada abad ke-8 khilafah jatuh ke tangan wangsa Abba­
siyah, yang pertama kali muncul al-Saffah, ”si Jagal”. Di mim-
bar ia mengaum, ”Allah telah mengembalikan hak kami.” Tapi
http://facebook.com/indonesiapustaka

tentu saja ia tahu Tuhan tak pernah menghampirinya. Maka ia


ingin tak ada lubang dalam keyakinannya sendiri (juga keyakin­
an orang lain) tentang kebenaran kekuasaannya. Al-Saffah pun
men­dekritkan: para petugas harus memburu lawan politik sang

Catatan Pinggir 9 143


FOUDA

khalif sampai ke kuburan.


Makam pun dibongkar. Ketika ditemukan satu jenazah yang
agak utuh, mayat itu pun didera, disalib, dibakar. Musuh yang
telah mati masih terasa belum mutlak mati. Musuh yang hidup,
apa lagi....
Itu sebabnya, bahkan sekian abad setelah ”Si Jagal”, orang ma­
cam Fouda harus dibunuh. Ia mempersoalkan keabsahan posisi­
khilafah. Ia pengganggu kemutlakan. Tapi itu terjadi di Mesir
lebih dari 10 tahun yang silam—bukan di Indonesia. Mungkin
ini ciri Islam yang mengagumkan di sini: justru Departemen
Agama-lah yang menerbitkan Kebenaran Yang Hilang.

Tempo, 9 Maret 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

144 Catatan Pinggir 9


DERING ITU

D
ini hari, pukul 3. Anak-anak sedang tidur tenteram di
seluruh Amerika. Tiba-tiba telepon berdering di Ge-
dung Putih. Sesuatu tengah terjadi di dunia. Tampak-
nya gawat. Siapa gerangan yang mampu memberi respons yang
tepat kepada pesan lewat telepon itu?
Pertanyaan itu sah, tapi ini baru sebuah pengandaian yang
di­bawakan sebuah iklan: sebuah film pendek yang dimulai de-
ngan cahaya biru yang suram, dengan dini hari yang sunyi, anak-
anak yang nyenyak, dan kamar tidur bersih: imaji-imaji yang me-
nyarankan sesuatu yang tanpa dosa, tapi rapuh, di tengah gelap
yang menyembunyikan ancaman.
Dipasang Hillary Clinton di televisi menjelang pemungutan
suara untuk melawan pesaingnya, Barack H. Obama, pesan iklan
itu jelas: yang bisa menghadapi ancaman itu hanya seorang Presi­
den Amerika yang kenal ”para pemimpin dunia, kenal dunia mi-
liter, seorang yang sudah diuji bisa memimpin di dunia yang ber-
bahaya....”
Bagi para juru kampanye Hillary Clinton, sifat-sifat itu tentu­
tak ada pada Obama, seorang yang belum pernah memimpin ne­
geri dalam ancaman perang.
Tiap propaganda tentu memaafkan sendiri keculasannya.­Ik­
lan­itu tak menyebut bahwa sebenarnya Hillary juga belum­di­uji.­
Ia memang pernah di Gedung Putih, tapi sebagai istri seorang
pre­siden. Ia memang kemudian jadi seorang senator, tapi satu-
sa­tu­nya keputusan penting adalah dukungannya kepada Perang
http://facebook.com/indonesiapustaka

Irak Presiden Bush—yang ternyata sebuah keputusan yang cela-


ka.
Tapi bahwa iklan semacam itu ditayangkan—dan berhasil
me­yakinkan pemilih di dua negara bagian—menunjukkan bah-

Catatan Pinggir 9 145


DERING ITU

wa pada mulanya bukanlah Hillary atau Obama. Pada mulanya


adalah paranoia.
Kita ingat empat patah kata dalam iklan itu: ”dunia yang ber-
bahaya ini....” Di sana tak ada kemungkinan lain dalam dering
telepon pada jam 3 pagi itu. Tak mungkin pesan itu ternyata se-
buah kabar gembira, misalnya kabar perdamaian yang solid an-
tara Palestina dan Israel, atau pesawat ruang angkasa Amerika
yang menemukan sebuah dataran yang subur di sebuah planet.
Sebab, kabar baik bukanlah yang diharapkan. Iklan itu hendak
menampilkan suasana gawat di mana Hillary Clinton berperan
besar; sebab ia kenal betul ”dunia militer”.
Saya tertegun. Dengan propaganda macam itu, Amerika­ma­
cam inikah yang akan tecermin dalam pemilihan umum 2008:
Amerika sebagai kekuatan militer yang memandang dengan su­
ram­sekitarnya yang tak ramah? Bukan Amerika yang dulu per­
nah­membentuk PBB di dunia yang penuh harapan damai dan
ke­merdekaan?
Jika demikian, kita pantas murung.
Bush-dan-Cheney memang segera tak akan berkuasa lagi.
Ne­geri yang ditinggalkannya memang telah jadi negeri yang
di­benci di seluruh dunia, yang angkuh ke seluruh dunia, yang
tan­­pa mengerdipkan mata menyerbu negeri lain dengan alasan
yang palsu, seraya tak peduli melanggar hak-hak asasi manusia di
Guantanamo dan di tempat-tempat interogasi yang disembunyi­
kan. Sungguh buruk peninggalan itu, tapi tampaknya tetap ter-
buka kemungkinan Amerika mengukuhkan politik paranoia
yang dilembagakan sejak 11 September 2001.
Politik paranoia adalah politik nasionalisme yang gelap. Hari
http://facebook.com/indonesiapustaka

itu, ketika para teroris Al-Qaidah menabrakkan dua pesawat ter-


bang ke dua menara tinggi di New York dan membunuh hampir­
3.000 orang, seluruh Amerika terkejut dan ngeri. Tapi Tuan Che­
ney menemukan apa yang dicarinya: sebuah musuh baru, setelah

146 Catatan Pinggir 9


DERING ITU

Uni Soviet dan Cina mundur. Dengan musuh itu Amerika dapat
memiliki arah yang tegas dan satu.
Nasionalisme, apalagi yang gelap, punya gairah dan daya ter­
sen­diri untuk mengukuhkan kekuasaan yang brutal. Maka pe­
rang­ antiterorisme dari Gedung Putih bukanlah perang untuk
meng­akhiri terorisme, melainkan untuk menyambutnya. Tak
meng­herankan bila sampai hari ini Al-Qaidah belum dihabisi
dan Usamah bin Ladin masih tersembunyi. Tak mengherankan
bila empat tahun yang lalu Bush-dan-Cheney dipilih lagi.
London, 3 November 2004. Koran Daily Mirror terbit me-
nyambut pilihan rakyat Amerika yang mendukung kembali Pre­
si­den Bush dengan bersemangat, meskipun begitu jelas ia menyer­
bu Irak dengan dalih yang bohong. Di halaman depan tabloid itu
tampak wajah George W. Bush melambai. Di bawahnya sebuah
kalimat: How can 59,054,087 people be so DUMB?
Saya ingat seorang Amerika tertawa pahit membacanya. ”Saya
tak tahu lagi, di mana tanah air saya,” katanya sedih.
Tapi itu empat tahun yang lalu. Kini ia tak merasa sedih lagi,
ke­tika bersama ribuan orang muda setanahairnya ia ikut berkam-
panye untuk Obama dan merayakan kemenangan di sebelas ne­
ga­ra bagian. ”Anak-anak muda ini,” tulisnya, ”telah menemukan
kembali indahnya kehidupan berpolitik; kami telah menemukan
keberanian untuk berharap.” Di hatinya, judul buku Obama, the
Audacity of Hope, terasa begitu kena. Dengan mata yang berkaca-
kaca karena bangga ia kini bisa mengatakan, The Daily Mirror
tak benar, setidaknya di tahun 2008 ini: jutaan pemilih Amerika
ternyata tak bodoh.
Mereka bahkan tengah merintis sebuah zaman baru—zaman­
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang bisa menyambut seorang Obama, yang bukan 100% ”pribu-


mi”, yang tak memamerkan bendera Amerika di lencana jas­
nya­­—tapi yang percaya bahwa ada patriotisme lain yang bisa
meng­gugah: patriotisme yang membuat sebuah bangsa bersama-

Catatan Pinggir 9 147


DERING ITU

sama melepaskan rasa saling curiga dan benci yang tumbuh di


bawah politik paranoia. Juga patriotisme yang bangga kepada ta-
nah air yang bisa membawa damai ke dunia.
Tapi mungkinkah? Sepekan setelah dering seram di iklan itu,
pada pukul 3 pagi sebuah ledakan terdengar di Times Square,
New York. Letupan kecil, dengan kerusakan kecil, dari sebuah
alat sederhana yang dipasang di gedung milik Angkatan Bersen-
jata. Tak ada yang terbunuh. Tapi dengan segera keluar statement
Hillary Clinton: ”Apa pun yang kita ketahui dari serangan ini, itu
sebuah pengingat akan ancaman yang terus menghadang tanah
air kita.”
Ancaman. Dering lewat tengah malam....
Kita cemas. Kita cemas memandang Amerika.

Tempo, 16 Maret 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

148 Catatan Pinggir 9


MELAYU

B
egitu banyak salah paham tentang Amir Hamzah. Pe-
nyair ini dibunuh dalam sebuah pergolakan sosial di Su-
matera Utara pada tahun 1946, tak lama setelah Indone-
sia diproklamasikan. Kekuasaan Belanda dan Jepang dinyatakan
habis, tapi ”negara” dalam republik yang masih beberapa bulan
umurnya itu belum tersusun. Mesin kekuasaan belum berjalan
ke­tika euforia ”kerakyatan” meletup di mana-mana. Kata ”Revo­
lu­si” (dengan ”R”) diarak. Itu berarti seluruh tata yang lama ha-
rus dihancurkan, meskipun tak selalu jelas apa yang akan meng-
gantikannya.
Amir Hamzah adalah anggota keluarga Sultan Langkat. De-
ngan demikian ia berasal dari kelas feodal, bagian masa lalu yang
dibenci, meskipun tak pernah tercatat bahwa Amir—yang meng-
habiskan waktu mudanya bukan di istana, melainkan di sekolah-
sekolah di Jawa—melakukan sesuatu yang tak dapat dimaafkan.
Dunia hanya mengenalnya sebagai seorang yang menulis sa-
jak yang menyentuh hati sampai hari ini. Karya-karyanya adalah
serangkaian ekspresi yang merupakan bagian dari ”puisi baru”
In­donesia, dan memang demikian. Amir tak ingin sepenuhnya
lepas dari ungkapan Melayu klasik, tapi banyak kata bentukan-
nya yang datang dari gramatika Jawa. Dalam sebuah sajak yang
indah—gabungan ironi dan kesedihan—ia menyebut diri ”beta,
bujang Melayu”, tapi seluruh kumpulan puisinya, Buah Rindu
(yang ditulis pada 1928-35), ia persembahkan kepada ”Paduka
Indonesia Raya”, selain kepada ”ibu ratu” dan kepada seorang pe­
http://facebook.com/indonesiapustaka

rem­puan dengan nama ”Sendari”.


Tampak bahwa Amir Hamzah, seperti teman-teman segene­
ra­sinya, S. Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane, yang aktif di se­
kitar majalah Poedjangga Baroe, melihat diri bagian dari generasi

Catatan Pinggir 9 149


MELAYU

yang didera oleh masa depan. Mereka hendak menciptakan sesu­


atu yang baru dari sebuah kondisi terjajah, terkebelakang, terhi-
na—sesuatu yang bukan lagi bisa disebut ”Jawa”, ”Melayu”, atau
”Ambon”.
Dalam arti itu, Amir Hamzah adalah sebuah fenomen ”pasca-
Melayu”.
Jika kita perhatikan sajaknya yang terkenal itu, kata ”bujang
Melayu” itu memang disebut bukan hendak membanggakan di­
ri. Bahkan sebaliknya: kata itu sejajar dengan frase ”anak Lang-
kat, musyafir lata,” bagian dari bait-bait yang murung:

Kicau murai tiada merdu


Pada beta bujang Melayu
Himbau pungguk tiada merindu
Dalam telingaku seperti dahulu.

Tuan aduhai mega berarak


Yang meliput dewangga raya
Berhentilah tuan di atas teratak
Anak Langkat musyafir lata.

Zaman memang telah berubah. Graham K. Brown, dalam te­


la­a hnya yang membandingkan terbentuknya identitas politik di
Indonesia dan Malaysia (The Formation and Management of Po­
litical Identities: Indonesia and Malaysia Compared), mengutip
catatan sejarah: pada masa kesultanan Malaka, ”Melayu” bukan-
lah identitas sebuah kelompok etnis, melainkan sebuah lapisan
elite yang masih berhubungan darah dengan raja. Kitab Sejarah
http://facebook.com/indonesiapustaka

Melayu praktis berarti genealogi para sultan.


Tapi pada 1511 Malaka jatuh diserbu armada Portugis. Ke-
luarga kerajaan melarikan diri ke Johor. Tak ada lagi pemegang
he­gemoni yang menentukan apa arti ”Melayu”. Kata itu akhir­

150 Catatan Pinggir 9


MELAYU

nya menyebar bersama diaspora para pedagang pasca-Malaka.


”Melayu” bukan lagi identitas yang menunjukkan lapisan sosial,
melainkan sebuah ”identitas horizontal”. Nama itu jadi penanda­
dalam pengelompokan sosial yang berbeda-beda tapi setara—
terutama dalam pandangan kekuasaan kolonial orang Eropa.
Kolonialisme memang tatapan yang membekukan si terjajah.
Kolonialisme adalah garis ruang yang brutal—baik ruang dalam
kehidupan sehari-hari maupun ruang dalam lajur daftar pendu­
duk dan kitab hukum. Jakarta yang didirikan sebagai Batavia
oleh VOC pada tahun 1650-an berkembang jadi kota yang terba­
ngun oleh apartheid: di satu sisi dibatasi tembok tempat orang Be-
landa hidup, di sisi lain Ommelanden, tempat yang ”lain” diletak-
kan.
Dari pemisahan macam ini sang penjajah membangun identi-
tas etnis untuk memudahkan kontrol dan pembagian kerja. De-
ngan itu juga berlangsung divide et impera. Dalam telaah Brown
dikutip keputusan VOC di Cirebon, misalnya, untuk memper­
ku­­kuh batas etnis agar bisa mengisolasi orang ”peranakan”, ketu­
run­an Cina yang semula hidup berbaur sebagai penasihat politik­
sultan. Dengan itu, kompeni bisa memperlemah posisi kedua-
duanya.
Maka tak mengherankan bila pembebasan dari kolonial-
isme ­bertaut dengan kehendak melepaskan diri dari tatapan yang
membekukan itu. Amir Hamzah dan puisinya adalah bagian
da­ri pembebasan itu: ia tak lagi bisa disebut ”Melayu”. Sejak ta-
hun 1930-an, puisi Indonesia adalah puisi para ”musyafir lata,”
para pejalan yang tak punya apa-apa selain kebebasannya dalam
menjelajah. Indonesia lahir dari penjelajahan itu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sebab itulah nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme


yang mengangkut milik yang diwariskan masa lalu, baik dalam
wu­jud candi maupun ketentuan biologi. Mungkin itu sebabnya
”Indonesia” dan ke-”Indonesia”-an selalu terasa genting, tapi de-

Catatan Pinggir 9 151


MELAYU

ngan itu justru punya makna yang tak mudah disepelekan.


Baru-baru ini saya dengar cerita sejarawan Taufik Abdullah
ke­tika ia di Mekkah. Di kota suci itu seorang Malaysia bertanya
kepadanya apakah ia orang ”Indon”—sebutan yang sering dipa­
kai­orang Malaysia untuk menyebut Indonesia. Taufik Abdullah
marah. ”Jangan sebut ’Indon’,” katanya, ”tapi ’Indonesia’.”
Ia menjelaskan kenapa ia marah. ”Saya penelaah sejarah. Saya
tahu nama ’Indonesia’ diperjuangkan dengan tidak main-main,
sejak awal abad ke-20.”
Sungguh tak main-main: berapa puluh, berapa ratus, berapa
ri­bu orang dipenjara dan mati untuk nama itu? Bisakah kita me-
lupakannya?
Ada sebuah sajak Rivai Apin pada tahun 1949:

Ingatlah bila angin bangkit


Ingatlah bila angin bangkit
Bahwa daerah yang kita mimpikan
Telah bermayat, banyak bermayat

Sajak itu ditulis tiga tahun setelah Amir Hamzah dibunuh.


Tampaknya memang hanya dengan tragedi kita tahu apa yang se-
harusnya kita hargai.

Tempo, 23 Maret 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

152 Catatan Pinggir 9


HARMOKO

S
yahdan, dua hari setelah Harmoko berhenti dari jabat­
annya sebagai Menteri Penerangan ”Orde Baru”, datang­
lah­seorang perempuan ke kantor departemen itu. Wajah­
nya manis, senyumnya tulus meski samar-samar. Di meja peneri-
ma tamu, ia berkata, ”Saya datang untuk menghadap Pak Har-
moko, Pak Menteri Penerangan.”
Petugas penerima tamu itu berkata dengan sopan, ”Maaf, Bu,
Pak Harmoko sudah bukan Menteri Penerangan lagi.”
”Oh, begitu,” jawab perempuan tamu itu. Dan ia pun pergi.
Tapi esoknya ia datang lagi. Ia menuju meja penerima tamu itu
pula dan berkata, dengan nada suara yang sama dan senyum sa­
mar-­samar yang sama, ”Saya datang untuk menghadap Pak Har-
moko, Pak Menteri Penerangan.”
Petugas itu (orang yang juga sama seperti kemarin) sejenak ter­
henyak. Ia ingat, ini tamu yang kemarin juga. Tapi ia menjawab­
sabar, ”Maaf, Bu, Pak Harmoko sudah bukan Menteri Penerang­
an lagi.”
Dan perempuan itu pun pergi.
Tapi esoknya dan esoknya lagi ia kembali, dan adegan, ucap­
an, dan senyum itu berulang lagi. Sampai lima kali.
Tak urung, para petugas penerima tamu bingung, kemudian
cu­riga, lalu melapor ke bagian keamanan dan protokol. Dengan
ce­pat cerita ini menyebar ke seluruh lantai Departemen Pene­
rang­an.
Syahdan, pada hari keenam, para pegawai (yang umumnya
http://facebook.com/indonesiapustaka

me­mang hanya pura-pura banyak kerja) pun menunggu. Dengan


mengintip-intip. Betul juga: perempuan misterius itu datang lagi.
Langsung ia dibawa ke lantai ke-3. Sang Sekretaris Jenderal
sen­diri, dengan didampingi dua direktur jenderal, duduk mene-

Catatan Pinggir 9 153


HARMOKO

muinya. Perempuan itu tak tampak gugup atau gentar. Senyum-


nya tetap, juga ketika salah seorang direktur jenderal bertanya:
”Ibu sudah lima kali ke kantor ini untuk menghadap Pak Har-
moko. Petugas kami sudah memberi tahu bahwa Pak Harmoko­
sudah bukan Menteri Penerangan lagi. Tapi Ibu datang lagi, da­
tang lagi. Kan sudah jelas bahwa Pak Harmoko tak menjabat lagi?
Apa maksud Ibu, sebenarnya?”
”Oh, saya tak bermaksud apa-apa, Pak,” jawab perempuan itu.
”Saya datang berkali-kali kemari karena saya senang mendengar
kabar baik itu berkali-kali.”
Cerita ini—sebuah fiksi, tentu—hanya lucu jika kita letakkan
dalam latar masa ”Orde Baru”, ketika ada ketaksukaan yang me­
lu­as kepada Harmoko: Menteri Penerangan yang tak henti-henti-
nya muncul di layar TV, yang tak habis-habisnya omong yang
itu-itu juga, seraya tak putus-putusnya bermulut manis kepada
Presiden—di masa ketika media massa dikekang dan orang takut
membantah kebohongan para pembesar.
Cerita ini hanya lucu jika orang ingat masa itu, ketika keajaib­
an bisa sangat sederhana: seorang menteri berhenti.
Kini hal seperti itu tak akan ada lagi. Demokrasi adalah sistem
politik yang meniadakan keajaiban. Ada yang lugas di sini: ber-
hentinya seorang yang berkuasa adalah bagian dari regularitas.
Tapi kita tahu, proses yang teratur dan ajek itu bukan sekadar
tour of duty seperti yang harus dijalani para birokrat sipil dan mili-
ter. Sebab itu kejutan bukan mustahil. Pergantian masih bisa jadi
berita baik. Regularitas dalam demokrasi adalah sebuah struktur­
yang agonistik: yang naik dan yang berhenti bergerak dalam se-
buah bangunan politik dengan ketegangan, perjuangan, per­
http://facebook.com/indonesiapustaka

saing­an, pertentangan. Ada kalah dan menang.


Tapi dalam kondisi seperti itu, struktur itu dibayang-bayangi
oleh hantu yang sesekali memperlihatkan diri, seperti hantu sang
raja dalam lakon Hamlet. Ia datang dari Antah Berantah. Ketika

154 Catatan Pinggir 9


HARMOKO

ia muncul, kita sadar bahwa sebuah negeri tak pernah bisa benar-
benar jelas bagi dirinya sendiri.
Tapi sebenarnya tak hanya itu: Antah Berantah itu, yang tak
bisa diterangkan dan ditangkap oleh bahasa dan sistem, oleh arti­
kulasi dan proses politik, bukanlah sekadar bagian yang turah
tak tertampung sistem. Ia lebih mendasar. Bahkan bisa dikatakan
tiap negeri berada dalam orbitnya. Berpusar di sekitar Antah Be-
rantah, tiap negeri sebenarnya genting dan tak tuntas disalin da­
lam satu wacana.
Itu sebabnya, meskipun regularitas adalah bagian yang pro­
duktif dalam demokrasi, kita tak akan memandangnya sebagai
sebuah kehadiran yang tak bergeming. Kita tak akan lupa bahwa
justru regularitas lahir karena ada yang tak hadir, ada yang nega-
tif, yang traumatis, di sekitarnya.
Itu sebabnya pemilihan umum, pergantian pemimpin dan
ma­najemennya, perubahan para legislator dan undang-undang­
nya—semuanya adalah regularitas yang terjadi dari paradoks de­
mokrasi: inilah sistem yang (seperti telah saya sebut tadi) menia­
dakan keajaiban, tapi pada saat yang bersamaan inilah sistem
yang mengakui bahwa ada yang sesekali muncul dari Antah Be-
rantah.
Itu sebabnya kita selalu perlu risau melihat ke Senayan. Di sa­
na duduk orang-orang yang dengan yakin, mungkin sedikit po­
ngah,­memandang diri sebagai intan dua cahaya: cahaya pertama
adalah cahaya ”wakil suara rakyat”; cahaya kedua, ”pembuat un-
dang-undang”. Mereka bisa mengatakan, dari tangan merekalah
undang-undang sah dan adekuat untuk kepentingan umum.
Tapi benarkah? Undang-undang pada akhirnya hanya akan
http://facebook.com/indonesiapustaka

mencapai apa yang normatif. Ia terbatas. Masih ada sesuatu yang


tiap kali bisa hilang dalam kehidupan sebuah negeri di mana
yang normatif tak bisa digugat—yakni keadilan.
Sebab keadilan lebih dari norma. Ia tak pernah secara lengkap

Catatan Pinggir 9 155


HARMOKO

dipenuhi. Ia juga berada dalam Antah Berantah. Ia seperti han-


tu yang sesekali datang sesekali hilang dan, seperti hantu dalam
Hamlet, begitu penting dalam menggerakkan lakon.
Tapi analogi itu perlu stop di situ. Demokrasi bukanlah se-
buah tragedi. Kalaupun keadilan mirip hantu, ia bukan mukjizat.
Ia bisa kita panggil dan bisa kita datangkan sekali-sekali—dan ia
bisa jadi kabar baik yang kita suka mendengarnya berkali-kali.

Tempo, 30 Maret 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

156 Catatan Pinggir 9


NEGERI ASAL

P
embebasan datang dari yang tak punya nama.
Saya bayangkan ini: ketika dari kapal orang-orang Belan-
da memandang ke pantai di sebelah barat Jawa itu, mere-
ka lihat sosok, corak rambut, warna kulit, dan jenis pakaian yang
de­mikian tak tepermanai ragamnya. Kemudian mereka tinggal
di bandar yang gerah dan terik itu. Sebuah ekonomi pengenalan
berlaku: dalam pikiran mereka, manusia itu tersusun dalam per-
bedaan yang rapi. Lalu mereka memberi nama.
Maka mulailah klasifikasi manusia penghuni bandar itu—
dan di situlah kolonisasi memasang tonggak dan pagarnya. Seki-
tar dua setengah abad kemudian, ketika kekuasaan serikat da-
gang VOC diteruskan oleh birokrasi yang mewakili Kerajaan Be-
landa di ”Hindia Timur”, ekonomi pengenalan berkembang jadi
administrasi penamaan.
Tak jelas apa dasar penamaan itu. Ada yang mengatakan itu­
lah usaha untuk menguasai dan sekaligus mengasingkan ”apa
yang tak diketahui”, the unknown. Tapi tak dikatakan kenapa jus-
tru nama ”inlander”, ”timur asing”, dan ” Eropa” yang dipakai,
bu­kan nama bahasa atau jenis pekerjaan.
Apa boleh buat. Penamaan mau tak mau bergantung pada
sang penguasa bahasa atau bahasa sang penguasa. Seakan-akan
ber­dasarkan sesuatu yang hadir di luar diri, penamaan adalah
me­tonimi dalam kesewenangan. Kata ”inlander”, ”timur asing”,
dan ”Eropa” merujuk tempat, tapi tempat belum tentu sama de-
ngan ”asal”. ”Asal” berkait dengan masa lalu. Kenapa masa lalu
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan bukan masa kini? Apa pula masa lalu itu: waktu ketika lahir,
atau ketika dibesarkan? Bukankah masa lalu bisa kupilih, bukan
cuma memilihku?
Pada 1935, Edgar du Perron menerbitkan novelnya, Het land

Catatan Pinggir 9 157


NEGERI ASAL

van herkomst. Kata ”asal” dalam judul itu ambigu sebenarnya.


Du Perron lahir pada 1899 di Jatinegara, Jakarta, dan dibesar-
kan dalam keluarga kaya raya pemilik perkebunan, dengan darah
campuran dan kaitan yang akrab ke kebudayaan lokal. Keti­ka
Edgar berumur 22, orang tuanya menjual milik mereka dan ba­
lik ke Eropa, tanah leluhur. Mereka membeli sebuah kastil di Bel-
gium dan tinggal dikelilingi pelayan dan kemewahan. Si Edgar
yang tak kekurangan uang menggelandang bak seorang bohe­mi­
an di lorong-lorong Paris, bergaul dengan Pascal Pia dan André­
Malraux. Pengarang Prancis ini kemudian memperuntukkan
no­velnya yang termasyhur tentang kaum revolusioner Cina, La
Con­dition Humaine, kepada pemuda kelahiran Jawa itu.
Pada masa itulah Du Perron mulai mempertanyakan perilaku
ayahnya sendiri, sang tuan besar dalam struktur masyarakat ko-
lonial di Indonesia. Edgar mulai merasa dirinya bukan orang
Ero­pa—meskipun selama di Hindia Belanda, ke dalam golongan
itulah ia dan keluarganya dinamai.
Het land van herkomst dikisahkan oleh Ducroo, terutama seba­
gai seorang bocah. Bersama ayahnya, tuan onderneming itu, Du­
croo menyukai novel yang mengungkapkan pedihnya perbudak­
an di Amerika itu, Uncle Tom’s Cabin—dengan simpati kepada si
budak hitam dan benci kepada si tuan kulit putih, tanpa si ayah
sa­dar betapa dekat posisinya dengan si pemilik budak yang ke-
jam. Si anak menyaksikan sendiri bagaimana si ayah memukuli­
se­orang petani, dan novel ini dibuka dengan menyebut orang
Ero­­pa ”bandit yang berniat sungguh-sungguh”.
Para bandit akhirnya tak bisa hidup sendiri. Ayahnya, yang
me­lanjutkan gaya hidup seorang tuan besar kolonial di negeri
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang berbeda, bunuh diri pada 1926, dengan harta ludes. Du Per-
ron tertinggal miskin, tanpa pendidikan formal, menikah dan ce-
rai dan menikah lagi, dan semua itu harus ia biayai. Ia terdesak.
Pada 1936 ia ke Indonesia—dan dalam arti tertentu, ia ”kembali”.­

158 Catatan Pinggir 9


NEGERI ASAL

Di negeri yang sedang hangat oleh gerakan nasionalis ini ia


tak betah bergaul dengan kawan-kawan masa kecilnya: perilaku
orang-orang Belanda itu persis seperti yang dibencinya sejak ia
hidup di Paris. Di Jakarta (waktu itu masih Batavia), Du Perron
memilih teman lain: sejumlah intelektual Belanda yang progresif
dan orang-orang pergerakan untuk kemerdekaan. Suwarsih Djo-
jopuspito, pengarang yang merekam hidup kaum pergerakan
dalam novel Buiten Het Gareel, adalah salah satu di antaranya.
Tapi Du Perron tahu, dengan sedih, di masyarakat kolonial
itu tak ada tempat baginya. Ia seorang sastrawan yang tak hendak­
percaya bahwa puisi bisa berarti bagi orang banyak. Ia meng­
ang­gap pendirian S. Takdir Alisjahbana, yang ingin agar sastra
bekerja untuk ”pembangunan bangsa”, sebagai sikap ”seniman
ser­dadu”. Takdir menyerangnya balik.
Du Perron pun kembali ke Nederland. Sebelum pergi, ia ber­
kata, ”Untuk berada di pihak yang benar, orang harus jadi se­
orang Indonesia. Saya mungkin akan tetap kritis, mengganggu,
dan suka bertentangan, dengan kata lain, seorang individualis.
Tapi saya juga akan jadi seorang nasionalis sampai ke ulu hati.”
Ia meninggal pada 1940, terkena serangan jantung, lima ta-
hun sebelum perjuangan kaum nasionalis berhasil.
Kini, jika Anda bertanya, nama apakah yang bisa diberi-
kan ke­pada Du Perron—”Eropa” atau ”inlander” atau ”timur
asing”­— tak akan ada yang pas buatnya. Ia bagian dari yang tak
ternamai.
Sebenarnya demikian juga gerakan pembebasan nasionalis se-
jak sebelum Du Perron kembali ke Eropa. Pada 1908, sejumlah­
mahasiswa di Belanda yang datang dari ”Hindia” mendirikan­
http://facebook.com/indonesiapustaka

Indische Vereniging, sebuah himpunan yang meniadakan pe­na­


maan yang ada dalam klasifikasi kolonial. Setelah itu, di Jakar­
ta, Indische Partij didirikan Douwes Dekker pada 1912, untuk
mem­bangun ”patriotisme dari semua penduduk Hindia”, berda­

Catatan Pinggir 9 159


NEGERI ASAL

sar­kan kesetaraan politik bagi orang dari ”ras” (atau nama identi-
tas) yang berbeda-beda.
Artinya, bahasa yang berkuasa sedang dihapus. Politik pem-
bebasan dimulai dari sebuah komunitas yang, seperti kata Alain
Badiou, ada pada ”titik yang tak ternamai”.
Dari titik itu lahir ”Indonesia”. Ini mungkin sebuah nama,
tapi yang pasti ia sebuah cita-cita.

Tempo, 6 April 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

160 Catatan Pinggir 9


FITNA

K
ita hidup di sebuah zaman ketika benci bisa jadi adver-
tensi. Jika tuan teriakkan rasa muak, geram, dan tak sa-
bar tuan kepada sekelompok manusia—dengan te­riak­
an yang cukup keras—tuan akan menarik perhatian orang ra-
mai. Tuan bahkan akan dapat dukungan.
Geert Wilders tahu betul hal itu.
Dalam umur 44, politikus Belanda ini adalah sosok yang co-
cok bagi zaman yang celaka sekarang. Tiap kali ia mencaci maki
orang imigran—para ”non-pribumi” muslim yang hidup di Ne­
ge­ri Belanda—ia dengan segera tampak mumbul seperti balon
jingga di langit Den Haag.
Dalam sebuah wawancara dengan harian De Pers pertengah­
an Februari 2007, inilah yang dikatakannya: ”Jika orang muslim­
ingin­ hidup di Negeri Belanda, mereka harus menyobek dan
mem­buang setengah dari isi Quran.” Katanya pula: ”Jika Mu-
hammad hidup di sini sekarang, saya akan usul agar dia diolesi ter
dan ditempeli bulu ayam sebagai ekstremis, lalu diusir....”
Syahdan, 15 Desember 2007, radio NOS pun mengangkat
Wil­ders sebagai ”politician of the year”. Para wartawan surat kabar­
yang meliput parlemen memuji kemampuannya mendominasi
dis­kusi politik dan memperoleh publisitas, berkat ucapan-ucapan
ringkasnya yang pas waktu. Ucapan dengan abab yang panas dan
bau tentu.
Demikianlah Wilders jadi tokoh publik yang mendapat tepuk
tangan karena benci memperoleh tempat yang strategis. Pada
http://facebook.com/indonesiapustaka

awal November 2004, sutradara film Theo van Gogh digorok dan
ditikam di sebuah jalan di Amsterdam oleh seorang pemuda Is-
lam, Mohammad Bouyeri, yang menganggap korbannya layak­
di­binasakan. Van Gogh, seperti Wilders, adalah penyebar ke-

Catatan Pinggir 9 161


FITNA

bencian yang dibalas dengan kebencian. Tak ayal, dukungan me-


limpah ke partai yang dipimpin Wilders. Sebuah jajak pendapat
mengindikasikan bahwa partai itu, PVV, bisa memperoleh 29
dari 150 kursi di parlemen seandainya pemilihan umum berlang-
sung setelah pembunuhan yang mengerikan itu.
Kini bisa diperkirakan film Fitna yang dibuatnya akan mem-
buat Wilders lebih berkibar-kibar—terutama jika benci yang di­
tiup-tiupkannya disambut, jika orang-orang Islam meledak,
meng­ancam, atau berusaha membunuhnya. Wilders bahkan
mem­peroleh sesuatu yang lebih: bila kekerasanlah yang terjadi,
Fitna, yang ingin menunjukkan betapa brutalnya ajaran Islam,
akan dikukuhkan.
Saya menonton film ini di Internet. Saya tak menikmatinya.­
Isinya repetitif. Apa maunya sudah dapat pula diperkirakan.
Di­mulai dengan karikatur terkenal dari Denmark, karya Kurt
Westergaard itu—gambar seorang berpipi tambun dengan bom
di kepala sebagai sorban hitam, yang dikesankan sebagai ”potret”
Nabi Muhammad—film ini adalah kombinasi antara petilan teks
Quran dalam terjemahan Inggris, suara qari yang fasih memba-
cakan ayat yang dimaksud, dan klip video tentang kekerasan atau
kata-kata benci yang berkobar-kobar.
Ayat 60 dari Surat Al-Anfal yang ditampilkan pada awal Fitna,­
misalnya—perintah Allah agar umat Islam menghimpun keku­
at­an dan mendatangkan rasa takut ke hati musuh—diikuti oleh
potongan film dokumenter ketika pesawat terbang itu ditabrak-
kan ke World Trade Center New York, 11 September 2001. Ke-
mudian tampak pengeboman di kereta api di Madrid. Setelah itu:
seorang imam yang tak disebutkan namanya bangkit dari asap,
http://facebook.com/indonesiapustaka

me­nyatakan: ”Allah berbahagia bila orang yang bukan-muslim


ter­bunuh”.
Pendek kata, dalam Fitna, Quran adalah buku yang meng­
ajar­kan khotbah kebencian yang memekik-mekik dan tindak

162 Catatan Pinggir 9


FITNA

biadab yang berdarah. Wilders sebenarnya hanya mengulang


pendapatnya. Pada 8 Agustus 2007, ia menulis untuk harian De
Volkskrant: Quran, baginya, adalah ”buku fasis” yang harus dila-
rang beredar di Negeri Belanda, seperti halnya Mein Kampf Hit-
ler. ”Buku itu merangsang kebencian dan pembunuhan.”
Salahkah Wilders? Tentu. Penulis resensi dalam Het Parool ko­
non menyatakan, setelah membandingkan film itu dengan Qur­
an­secara keseluruhan, ”Saya lebih suka bukunya.” Sang penulis
re­sensi, seperti kita, dengan segera tahu, Wilders hanya memilih
ayat-ayat Quran yang cocok untuk proyek kebenciannya. Semua
orang tahu, Quran tak hanya deretan pendek petilan itu. Dan
ten­tu saja tiap petilan punya konteks sejarahnya sendiri.
Tapi Wilders tak hanya sesat di situ. Ia juga salah di tempat
yang lebih dasar: ia berasumsi bahwa ayat-ayat itulah yang mem-
produksi benci, amarah, dan darah. Ia tak melihat kemungkinan
bahwa Al-Qaidah yang ganas, Taliban yang geram, imam-imam
dengan mulut yang penuh api—mereka itulah yang mengkons­
truksikan Quran hingga jadi sehimpun kata yang berbisa. Ajaran
tak selamanya membentuk perilaku; perilaku justru yang tak ja-
rang membentuk ajaran.
Tapi dalam hal itu Wilders tak sendiri. Kaum ”Islamis” juga
yakin, ajaranlah yang mampu membentuk manusia. Dan seper­ti
Wilders, mereka juga memilih ayat-ayat yang cocok untuk agenda­
kebencian mereka. Dan seperti Wilders, mereka tak mengacuh-
kan konteks sejarah ketika sebuah ayat lahir.
Benci memang bersifat substraktif. Benci membuat pelbagai
hal jadi ringkas—dan membuat sang pembenci tegas, jelas, me-
nonjol. Benci adalah advertensi Wilders dan iklan para imam de-
http://facebook.com/indonesiapustaka

ngan demagogi ”Islam”.


Itulah sebabnya Wilders salah tapi dibenarkan. Ia salah, bila
ia hendak menunjukkan hubungan antara Surat Al-Anfal ayat 39
dan pemenggalan leher wartawan Eugene Armstrong menjelang

Catatan Pinggir 9 163


FITNA

akhir film. Tapi bukankah para algojo itu melakukannya karena


merasa mengikuti firman Tuhan?
Apa mau dikata: inilah zaman ketika firman berkelindan de-
ngan fitnah, ketika yang sakral bertaut dengan yang brutal. Kita
hidup pada masa ketika Jonathan Swift, satiris penulis Gulliver’s
Travels dari abad ke-17 itu, terdengar kembali arif dan sekaligus
menusuk: ”Kita punya agama yang cukup untuk membuat kita
membenci, tapi tak cukup untuk membuat kita mencintai....”

Tempo, 13 April 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

164 Catatan Pinggir 9


KALIGRAFI

S
epotong sajak Turki dari zaman Usmani tertulis di
antara bingkai yang dilukis dengan warna keemasan: se-
buah sajak yang cantik dan sebuah karya kaligrafi yang
piawai. Di sudut disebutkan: inilah buah tangan Rikkat Kunt
(1903-1986).
Penjelasan lain menyusul: Rikkat adalah seorang perempuan
juru kaligrafi Turki yang terkemuka justru di masa ketika Kemal­
Attaturk mendekritkan bahwa Turki baru harus mengganti hu­
ruf­ Arab dengan huruf Latin. Artinya, para seniman kaligrafi
ada­lah makhluk yang terpencil dan hampir punah, dan Rikkat
Kunt lolos dari keterpencilan.
Ia menang dalam kompetisi nasional seni kaligrafi dan dapat
posisi mengajar di Akademi Seni Rupa Istanbul. Tapi ia tak akan
diingat orang seandainya karyanya tak ikut dipamerkan di Mu-
seum Louvre pada tahun 2000. Dan seandainya tak ada Yasmine
Ghata.
Pada 2004, dari perempuan yang waktu itu berumur 31 itu
terbit sebuah novel pertama, La Nuit des Caligraphes.

Hidupku berakhir pada 26 April 1986: umurku delapan puluh­


tiga. Istanbul sedang merayakan Pesta Kembang Tulip di Emirgan­....
Kematian tak membuatku takut. Ajal hanya kejam terhadap mere­
ka­yang takut kepadanya.

Dengan kalimat pembuka seperti itu, novel ini—bertolak da­


http://facebook.com/indonesiapustaka

ri riwayat hidup Rikkat Kunt—memang mempesona. Dunia sas-


tra Prancis menyambutnya dengan hangat.
Bisa dimengerti kenapa. Prancis, seperti halnya seluruh Eropa,­
sedang sibuk dengan dua nama: ”Turki” dan ”Islam”. Imigran

Catatan Pinggir 9 165


KALIGRAFI

Turki ada di mana-mana, Turki ingin jadi bagian dari Uni Ero­pa,
dan Islam dilihat terkait dengan kekerasan dan ketidakbebasan
perempuan, tapi juga sebagai bagian dari nasib si miskin yang
me­nanggung sebuah peradaban yang terluka.
Pendeknya, ”Turki” dan ”Islam” adalah nama kini bagi ”Si
La­in”. Bagaimana memperlakukan ”Si Lain” dalam sebuah de-
mokrasi? Sebagai sesuatu yang harus dibuat ”tidak beda”, agar tak
membelah masyarakat? Atau ditoleransi sebagaimana dia adanya,­
agar tak terjadi kesewenang-wenangan?
La Nuit des Caligraphes tak bermaksud menjawab persoalan
itu. Yasmine Ghata, anak seorang novelis dan penyair Libanon,
la­hir di Prancis dan hidup di negeri itu. Ia tergerak menulis kare-
na satu hal yang intim: Rikkat Kunt adalah neneknya sendiri.
Tapi novel tentang nenek sendiri ini justru menarik bagi pem-
baca Eropa karena dari dalamnya ”Turki” dan ”Islam” tetap ajaib:­­
”Si Lain” yang tak mudah dijelaskan. Nostalgia kepada se­suatu
yang eksotis terasa meruap dalam prosa Yasmine Ghata:­ daya­
ima­­jinatif, yang selalu menghidupkan prosanya, menyebabkan
La Nuit des Caligraphes seakan-akan tak bercerita tentang abad
ke-20 melainkan bagian dari dongeng 1001 malam. Tapi dengan
itu pula kisah Rikkat Kunt menunjukkan bahwa sejarah adalah
proses yang tak mudah, tak gampang diputus-putus. Kaligrafi—
seni tua yang tak juga punah, goresan tinta yang mengalir mem-
bentuk kata dari huruf—adalah perumpamaan yang baik ten-
tang kontinuitas.
Sejarah dalam kontinuitas itulah yang menyebabkan masalah
besar seperti ”agama” dan ”modernisasi”—yang membayang di
be­lakang novel ini—tak tampil bagaikan dua tenaga yang berha­
http://facebook.com/indonesiapustaka

dap-hadapan dan tak kait berkait. Ini agaknya nilai tambah ke-
tika La Nuit des Caligraphes diterjemahkan ke bahasa Indonesia
(dengan judul Seniman Kaligrafi Terakhir, oleh Ida Sundari Hu-
sen, terbitan Serambi, 2008). Di Indonesia, sebagaimana di Tur-

166 Catatan Pinggir 9


KALIGRAFI

ki, orang berada di tengah masalah yang sama: konflik atas nama
kemajuan, dan konflik atas nama Tuhan.
”Tuhan tak tertarik abjad Latin,” kata Rikkat. Napas Tuhan,­
katanya pula, tak dapat meluncur di atas huruf-huruf yang pen­
dek, tambun, dan terpisah-pisah itu. Kemal, yang memimpin
Tur­ki agar negerinya maju seperti Eropa, hendak membuat masa
lalu lenyap dan membuat masa depan lekas datang: ia memaksa­
kan penggunaan alfabet Latin ke seluruh negeri. Istilah lama dari
bahasa Arab terkadang diganti dengan istilah Prancis. Para seni-
man kaligrafi ”terluka”, kata Rikkat.
Luka itu bukan karena kehilangan posisi, tapi karena sebab
yang lebih dalam: seni kaligrafi adalah ibadah yang tulus dan tra-
gis. Semua seniman kaligrafi berusaha ”menangkap kehadiran
Ilahi”, tapi tak seorang pun berhasil. Tapi mereka ingin terus.
Maka kata ”malam” (la nuit) dalam judul asli novel ini me­
ngan­dung kiasan untuk suasana sunyi dalam ibadah itu dan juga
suasana gelap karena terancam. Dalam arti tertentu, Seniman Ka­
ligrafi Terakhir mengandung sebuah pembelaan bagi sikap religi-
us di hadapan sekularisasi yang agresif.
Dengan latar Eropa sekarang, pleidoi itu punya nilai yang pen­
ting. Novel ini jadi suara pengimbang di tengah sebuah masya­
rakat yang memandang iman dengan cemooh atau curiga. Tapi
perlu dicatat: dalam novel ini, ”iman” dan ”agama” dan ”Islam”
di­jalani dengan imajinasi yang subur.
Rikkat percaya pada hantu Selim (”seniman kaligrafi yang
ber­umur 100 tahun”, yang ”menulis di bawah pengawasan ketat­
Rasulullah”), percaya pada patung-patung kecil darwis yang
”ber­gerak tiap kali mendengar suara orang mengaji”, percaya
http://facebook.com/indonesiapustaka

bahwa alat-alat tulis bisa bergerak sendiri, terkadang menari ero-


tis, juga dalam memuja Yang Maha Suci.
Di hadapan imajinasi yang subur, yang hidup, yang mesra ke-
pada fantasi seperti itu, dan fantasi yang tumbuh terus dalam

Catatan Pinggir 9 167


KALIGRAFI

kreasi, apa yang lebih yang diberikan ”modernisasi”? Sesuatu


yang terasa terlalu datar, dangkal, dan hanya memikirkan ”guna”
dan ”hasil”.
Tapi demikian juga yang diberikan ”agama”—jika ”agama”
adalah keyakinan yang cuma mengerti hukum, yang lurus, ke­
ring,­ dan kaku. Menarik bahwa bukan jalan yang lurus yang
di­ingat Rikkat menjelang akhir. Ia malah bicara tentang ”zig-
zag”, ”labirin”, dan ”spiral”—yang mengembalikannya kepada
yang membahagiakan dan menyusahkan dalam hidupnya. Ya,
hidupnya.

Tempo, 20 April 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

168 Catatan Pinggir 9


HOPPLA!

... Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam.

H
ari-hari ini, ketika ada rasa cemas bila puisi jadi suara
yang tak taat dan seni tak alim, saya ingin mengingat­
Chairil Anwar. Ia meninggal, mati muda, 28 April
1949. Bagian penting dari 27 tahun dalam hidupnya intens, ber-
gairah, gemuruh, dan khaotis.
Ada satu kalimat goresannya sendiri yang tertulis di secarik
ker­tas:

...wijsheid + inzicht tidak cukup, musti stimulerende kracht +


enthousiasme.

Chairil tak ingin cuma punya kearifan dan wawasan. Baginya


manusia perlu ”daya rangsang” dan antusiasme.
Dalam sebuah pidato pada 1943 Chairil mendahului paragraf
pertamanya dengan sebuah sajak:

Mari berdiri merentak


Diri-sekeliling kita bentak

Kehendak menggugah (me-”rentak” dan mem-”bentak”) itu


bagian dari yang disebutnya sebagai ”vitaliteit” atau ”tenaga hi­
dup”.­ Dalam seni, menurut Chairil, ”tenaga hidup” itu selalu
mun­cul sebelum keindahan, berupa ”chaotisch voorstadium”, ta-
http://facebook.com/indonesiapustaka

hap pendahulu yang galau, yang khaotis.


Kreativitas memang diawali rasa gelisah mencari, kegalauan
ingin menemukan, juga niat merombak. Sesuatu yang destruktif­
tersirat di dalamnya. Seorang ”pujangga”, kata Chairil (pada 1943

Catatan Pinggir 9 169


HOPPLA!

itu ia masih menyebut sastrawan demikian) tak gentar akan apa


pun. ”Pohon-pohon beringin keramat” ia panjat. Bahkan ia akan
”memotong cabang-cabang yang merindang-merimbun tak per-
lu...”.
Inilah statemen Chairil: ”Aku berani memasuki rumah suci
hingga ruang tengah! Tidak tinggal di pekarangan saja.”
Dengan keberanian menerobos itu ia pun mempertanya­
kan­—bahkan sedikit mencemooh—ajaran agama.
Kita ingat sajak Sorga. Sang penyair mula-mula mengikuti tra­
disi orang tua: ia berdoa agar masuk surga. Sebab, ”kata Masyu-
mi + Muhammadiyah”, surga itu ”bersungai susu” dan bertabur­
an beribu-ribu bidadari. Tapi dalam diri sang penyair ada suara
yang ”nekat mencemooh”: benarkah dengan demikian surga le­
bih­ asyik ketimbang dunia? Tidakkah kehidupan yang berlim-
pah itu justru membuat manusia kehilangan gairah seperti ketika
pelaut melihat ”gamitan dari tiap pelabuhan”?
Dalam pertanyaan itu, Tuhan praktis ”mati”: tak ada lagi satu
sumber yang diakui sebagai maha-penjamin segalanya, juga hal
yang paling ganjil.
Atau Tuhan telah redup: ”caya-Mu panas suci/tinggal kerdip
lilin di kelam sunyi”, demikian kita temukan dalam sajak Doa.
Atau Tuhan jadi penyebab tamatnya pengembaraan: sang kela-
na tak lagi menemui dunia dengan takjub dan cemas seperti di
se­­buah negeri asing. ”Aku mengembara di negeri asing,” kata
Chairil. Tapi kemudian, ketika ”di pintu-Mu aku mengetuk/ aku
tidak bisa berpaling.”
Dengan kata lain, setelah pintu itu, ”tenaga hidup” kehilang­
an rangsang untuk mencari, untuk gelisah, untuk berbeda. Tiap
http://facebook.com/indonesiapustaka

ke­kuasaan yang mengontrol cenderung membuat hidup terbatas


pada yang hadir dan dikenali, berpegang pada satu ensiklopedia
yang sudah tersusun rapi. Dengan demikian, pintu ditutup bagi
kebenaran yang tak terduga-duga.

170 Catatan Pinggir 9


HOPPLA!

Tapi bisakah pengembaraan yang membuka diri bagi yang tak


pernah dikenal itu dihabisi? Dalam adaptasinya atas sajak Hsu-
Chih Mo (1897-1931), A Song of the Sea, Chairil menghadirkan
seorang dara yang sendiri, ”berani mengembara/Mencari di pan-
tai senja”. Ketika si gadis diseru agar pulang, ia menolak:

”Tidak, aku tidak mau!


Biar angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu.”

Penolakan itu menegaskan kebebasan. Tak mengherankan­


bila Chairil menyambut jatuhnya kekuasaan Jepang dengan te­
riakan, ”Hoppla!” Di bawah fasisme Jepang, yang tumbuh adalah
”kebudayaan paksaan.” Diawasi oleh sensor dan doktrin, sastra
dan seni harus mengikuti arahan tertentu. Pada masa penduduk­
an Jepang, yang harus dipatuhi adalah ”garis-garis Asia Raya”,
seruan agar rakyat menanam pohon jarak, melipatgandakan pa­
nen,­menabung, bikin kapal.... Banyak seniman yang patuh. Bagi
Chairil, mereka telah ”mendurhaka kepada Kata”.
”Kata” dalam pengertian Chairil bukanlah Logos. ”Kata” tak
dibentuk oleh aku-yang-berpikir, tapi aku-yang-ada-di-dunia.
Dalam pemikiran Chairil, ”Kata adalah yang menjalar mengurat,­
hidup dari masa ke masa, terisi padu dengan penghargaan, mim-
pi, pengharapan, cinta, dan dendam.”
Artinya ”Kata” praktis sama dengan ”hidup”. Maka ia tak bisa
diperbudak; ia bebas-lepas. Tapi hidup juga selamanya riskan,
http://facebook.com/indonesiapustaka

bisa tak disangka-sangka, bisa gelap. Manusia dan ”Kata”-nya


bukanlah makhluk yang transparan, lurus, dan koheren. Dalam
satu coretan pendeknya yang dikutip H.B. Jassin dalam Chairil
Anwar, Pelopor Angkatan 45, Chairil menyebut bahwa dalam diri

Catatan Pinggir 9 171


HOPPLA!

manusia ada ”gedong besar dan gelap tempat jiwa kita yang sejati
bersembunyi.”
Itu sebabnya ”Kata” atau ”hidup” punya sifatnya yang tak ce­
rah, bahkan tragis. Dalam sajak Chairil yang terkenal, Aku, kita
dapatkan manusia yang terbuang dan luka. Ia berlari, kesakitan,
berteriak, ”aku ingin hidup 1000 tahun lagi”, tapi keinginan itu
justru menunjukkan kekurangannya. Ia fana. Ia terbatas.
Mungkin itu sebabnya sajak Hsu-Chih Mo oleh Chairil diberi
judul Datang Dara, Hilang Dara. Di balik kehadiran itu ada ke-
tiadaan. Di akhir sajak, terdengar suara yang memanggil si dara
dari tepi laut yang hampir gelap itu. Tapi ternyata

Di pantai, di senja, tidak ada dara


Tidak ada dara, tidak ada, tidak....

Sang penyair mengakui yang ganjil, yang misterius, dan tak


ter­­pahami di luar sana. Puisi jadi berarti bukan karena menjejal-
kan isi, melainkan karena menemui sebuah pantai senja yang ke-
hilangan. ”Aku...,” kata Chairil kepada Ida [Nasution?], ”bukan
pendeta atau kiai tentang sesuatu.”
Sajak-sajak Chairil terus-menerus mempesona kita justru ka­
rena itu.

Tempo, 27 April 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

172 Catatan Pinggir 9


INI PAGI, KATA KARTINI

It is morning, Senlin says, and in the morning


Should I not pause in the light to remember God?
—Conrad Aiken

I
NI pagi, kata Kartini, dan bila pagi seperti ini, ia akan be-
rangkat kerja, naik ojek dengan motor yang guncang, terpe-
kur di sadel plastik yang gelap, mungkin mengingat ujung
mimpi, mungkin mimpi.
Ini pagi, kata Kartini, dan bila pagi seperti ini, ia akan turun
di pengkol gang yang patah, sebuah lorong dengan nama seorang
haji, dan akan menyusuri aspal kusam, dan akan membayangkan
dirinya menyanyi, mungkin sebuah lagu Dewi Persik, mungkin
sejumlah goyang, sejumlah angan-angan, mungkin fantasi.
Ini pagi, kata Kartini, dan bila pagi seperti ini, di tempat kerja­
itu, di sebuah panti pijat, si asisten pemilik usaha akan berkata
ke­padanya: ”Jangan lupa gembok.” Dan ia akan mengambil di
lo­kernya celana-dalam seragam yang hijau itu, dengan retsliting
mengkilap, dengan gembok kecil yang merah.
”Jangan lupa gembok”. Aku tak akan lupa, tak akan lupa.
Gem­bok itu melindungi perempuan pemijat dari dosa, kata pega-
wai jawatan agama kabupaten; gembok adalah teknologi kealim­
an, peranti iman, pelindung harmoni keluarga, perisai kesehatan
jasmani & rohani. ”Tentu, tentu, tentu. Amin, amin, amin,” kata
Kartini, kata Kardinah, kata perempuan-perempuan pemijat, ka­
ta asisten pemilik usaha, dan tak seorang pun yang tak patuh.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ini pagi, kata Kartini, dan tiap pagi di tempat ini selalu dimu­
lai dengan ingatan tentang dosa, kekotoran manusia, atau najis,
Tuhan yang mengirimkan sifilis, insan yang menyembunyikan
ke­mungkinan-kemungkinan jorok, syahwat yang hanya se­de­tik­­

Catatan Pinggir 9 173


INI PAGI, KATA KARTINI

dirasakannya, dan fatwa yang menyuntikkan ke jantungnya­se­


gumpal rasa bersalah seperti dokter menyuntikkan serum kuda.
Siapa yang bersalah? Ini pagi, kata Kartini, jam-jam pertama­
ia mencari upah, tak mencari laki-laki. Ini pagi, kata Kartini, be­
narkah ia selamanya paham apa yang dikehendaki laki-laki? Sua-
minya yang cemburu tapi lapar dan malas mengantar si Ujang ke
sekolah; pak cik yang tiap Jumat datang menagih utang karena ia
sendiri hidup dari utang; satpam yang selalu sangat ramah kepada
istri pemilik warteg di pinggir jalan, dan tukang ojek yang selalu
ber­kata lewat kaca spion sepeda motornya, seperti mau mengejek,
”Aku tak suka bau badan.”
Siapa yang bersalah? Laki-laki yang tak mau memakai gembok­
di celana-dalam, kata Kardinah: bupati yang selalu berpikir ten-
tang seks; anggota dewan yang percaya ada gerakan pengedar
syah­wat di selatan khatulistiwa; komandan koramil yang punya
se­nyum mesum; nyonya kepala jawatan agama yang kalang-ka-
but mengintip film ”begituan” dan merasa betapa gemuruhnya
godaan dan asyiknya kenikmatan, astaghfirullah, astaghfirullah.
”Jangan lupa gembok”. Laki-laki adalah otak, kata ketua Ma­
jelis Ulama setempat, perempuan adalah badan. Laki-laki mata­
hari, perempuan bumi, katanya lagi. Yang di dekat langit dekat
pu­la dengan sumber terang dan wahyu, yang dekat bumi mudah
ter­senggol lendir dan gonorea. Surya melahirkan tenaga, bumi
me­lahirkan bahan. Memang dari sini datang bau harum, tapi ju­
ga racun. Jangan lupa gembok. Jangan lupa penutup rambut di
kepala. Jangan lupa penutup lengan dan tungkai kaki. Wahai,
jangan lupa dari mana datangnya dosa: dari mata turun ke vagi­
na.­Jangan lupa gembok, jangan lupa kunci. O, ya. Jangan lupa
http://facebook.com/indonesiapustaka

ce­lana-dalam.
Ini pagi, kata Kartini. Pagi adalah menunggu tamu. Pagi ada­­
lah dag-dig-dug. Pagi adalah suara tokek di dinding yang di­te­
bak­ seperti ramalan feng-sui: rezeki–rugi–rezeki–rugi–rezeki–

174 Catatan Pinggir 9


INI PAGI, KATA KARTINI

tidak....­ Dan Kardinah, dan Rukmini, dan Badriyah, dan Sri


Urip, dan Zakiyah, dan seluruh tim pemijat itu, mereka tahu
bahwa di antara mereka cemas adalah sesuatu yang sah dan ter-
duga: para tamu tak akan gampang dan tenang datang ke sini, se-
bab para tamu adalah orang yang terhormat, dan orang yang ter-
hormat tak mau dituduh mendekati sesuatu yang harus diprotek-
si dengan sepotong logam berwarna merah.
Ini pagi, kata Kartini. Ini pagi, Stella—ataupun siapa nun di
luar sana. Di ruang ini hari dimulai dengan kewaspadaan. Atau
kecurigaan. Atau penghinaan. Dan kaum yang lapar, kaum yang
terhina, berderet termangu, duduk, bersalah sebelum diupah.

Ini pagi, kata Kartini, aku turun dari gelap


dan dengan angin yang menghuni,
aku berangkat, entah ke mana.
Sepucuk kunci di kantungku,
arlojiku kuputar siap.
Langit menyuram,aku turun tangga.
Ada bayang-bayang di jendela, melintas,
juga sepotong awan di atas,dan sesosok tuhan
di antara bintang—aku akan pergi....

Tempo, 4 Mei 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 9 175


http://facebook.com/indonesiapustaka

176
Catatan Pinggir 9
MAK

P
ada suatu peringatan 1 Mei, sejumlah buruh ditangkap,
termasuk Pavel—dan Maxim Gorky menulis novel­Mat’.
Pramoedya Ananta Toer menerjemahkannya dengan
Ibunda. Saya kira kata yang lebih cocok adalah ”Mak”.
”Ibunda” memang mengandung rasa hormat dan hangat,­dan
tokoh novel ini, Pelagedia Nilovna, perempuan yang men­dam­
pingi anaknya dalam perjuangan buruh itu, patut disebut dengan
sungkan dan sekaligus mesra, bak Maria yang melahirkan Ye-
sus. Tapi, dalam bahasa Melayu, ”ibunda” adalah kata panggilan
di kalangan atas. Panggilan ”mak” lebih lazim di lapisan rendah
masyarakat.
Namun Pramoedya tak sepenuhnya keliru. Pilihan judul itu
mencerminkan paradoks karya sastra yang hendak mengobarkan
semangat perjuangan: menyatakan diri bagian dari ”realisme”
tapi condong ke arah mitologi.
Tokoh Mat’ didasarkan pada kisah nyata Anna Zalomova­
yang berjalan ke mana-mana menyebarkan pamflet revolusi se­te­
lah anaknya ditahan polisi dalam sebuah aksi massa. Tapi, dalam
novel ini, sang ibu—dengan iman Kristennya yang masih utuh,
de­ngan cintanya kepada Pavel, sang anak yang berubah dari si
ban­del jadi pejuang buruh—senantiasa hadir sebagai bayang-
bayang sang suci; si mak terasa lebih agung ketimbang manusia
sehari-hari.
Di bab terakhir ucapannya fasih-lidah kepada orang ramai,
ketika polisi mulai mengepung:
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Untuk mengubah hidup ini, untuk membebaskan semua,


mem­bangunkannya dari kematian, sebagaimana aku dibangun­
kan, beberapa orang telah datang, mereka yang secara bersembu-
nyi-sembunyi telah menyaksikan kebenaran dalam hidup. Ber-

Catatan Pinggir 9 177


MAK

sembunyi-sembunyi, sebab, kalian tahu, tak seorang pun dapat


meng­ucapkan kebenar­an itu dengan lantang.... Sejauh ini ke-
benaran adalah musuh bebuyutan dari si kaya, musuh yang tak
akan dapat diajak damai selama-lamanya! Anak-anak kita tengah
membawa kebenaran ke dunia....”
Rangkaian kalimat itu mirip khotbah seorang nabi di depan
kenisah: kata ”kebenaran” disebut berkali-kali. Dan ketika akhir­
nya polisi menyerbu, Pelagedia Nilovna tak berhenti. Perempuan
ini seakan-akan martir yang tak bisa luka.
Pendek kata, ia tokoh ideal; ia lahir dengan takdir yang dide-
sain sang pengarang. Mungkin itu sebabnya novel ini tak punya
ba­nyak kelok yang rumit tak disangka-sangka. Sekali kita tahu
pe­san yang hendak disampaikan Gorky, kita segera temukan ga­
ris lurus antara bab pertama yang melukiskan kehidupan kumuh
kaum proletar dan bagian akhir yang menunjukkan kegagahbe­
ra­nian.
Mungkin itu pula sebabnya novel yang begitu menggugah ke-
tika dibaca di awal abad ke-20 di Rusia, di awal abad ke-21 ini
akan disambut dengan satu tarikan napas: tak ada yang baru di
situ.
Zaman memang tak seperti dulu. Kini mitos kian goyah, rea­
lis­me problematis. Kini manusia adalah ”orang”, makhluk yang
lebih mengasyikkan tapi juga menjengkelkan. Lebih dari satu da­
sawarsa setelah Gorky menuliskan novelnya, Freud menunjuk­
kan bahwa kita semua (juga para nabi dan pahlawan) punya ba­
wah-sadar yang penuh nafsu, naluri, dan hasrat kenikmatan. Ki­
ni kita lebih skeptis memandang pokok & tokoh.
Dan apa arti ”realisme”, jika ”realitas” kian disadari se­bagai
http://facebook.com/indonesiapustaka

dunia hasil konstruksi yang didukung bahasa sendiri?


Dalam Bab XIX, Pavel, buruh muda yang akhirnya jadi ke-
banggaan maknya, berdiri di samping bendera merah yang berki-
bar: ”Kawan semua! Kita telah putuskan untuk menyatakan se-

178 Catatan Pinggir 9


MAK

cara terbuka siapa kita; kita junjung ben­dera kita hari ini, bendera
nalar, kebenaran, kebebasan!”
Begitu meyakinkankah ”nalar”?
”Hidup rakyat pekerja!” Pavel berseru pula, dan ratusan suara
menyahut, ”Hidup Partai Pekerja Sosial Demokrasi, partai kita...
ibu rohani kita.”
Bagaimana mungkin Partai jadi ”ibu rohani”?
Menjelang Revolusi Oktober 1917, ”nalar” dan partai seba­gai­
”ibu rohani” adalah bagian dari iman gerakan Bolsyewik. Tapi,
September 1980, kaum buruh Polandia mengibarkan gerak­an­
mereka, Solidarnosc, yang menentang Partai Komunis yang ber­
kuasa atas nama proletariat. Kita pun diingatkan kembali: kaum
pekerja. lahir, dari kerja—bukan dari ideologi. Ideologi adalah
hasil dari ”nalar”. Kaum pekerja tumbuh dari bawah, dari otot
dan peluh, sedangkan Partai, ”sang ibu rohani”, akhirnya tak ber-
sentuhan dengan otot dan peluh, elemen jasmani para proletar.
Bahkan sang buruh, yang bukan mitos, tak selamanya ingin
menghabisi kapitalisme. Di Indonesia, ada yang lebih menderita:
para penganggur, yang tiap kali buruh memperoleh upah minim­
um yang lebih tinggi, tiap kali pula para tunakarya itu kehi­lang­
an kesempatan kerja.
Tapi Gorky bisa dimaafkan. Pada tahun 1907, ketika Mat’
terbit, Partai, ”si ibu rohani”, belum berkuasa dan berubah jadi
Ba­pak yang streng. Baru pada 1918, setelah majalahnya, Novaya
Zhin, diberangus Partai, Gorky tahu apa yang ia hadapi; ia menu-
lis sebuah buku yang kritis— yang baru bisa diterbitkan di Rusia
setelah Uni Soviet runtuh.
Tapi mengherankan, hari-hari itu bahkan Gorky tak meng­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ingat­Engels (dalam Anti-Dühring) yang menunjukkan penting-


nya elemen jasmani dalam kerja dan sejarah.
”Kerja”, bukan ”karya”, berasal dari badan yang tegak, ketika­
manusia tak lagi menggunakan tangannya unluk merangkak.

Catatan Pinggir 9 179


MAK

Tangan yang bebas itulah yang membentuk kerja: menenun dan


meniup serunai, menulis alkisah dan Alkitab. Otak pun berkem-
bang amat jauh, hingga ”nalar” seakan-akan lepas dari jasmani.
Yang jasmani memang tak kekal dan tak pasti. Mungkin itu
sebabnya dalam novel ini si Rus Kecil berseru: ”Kawan-kawan!
Kita telah memulai sebuah prosesi suci atas nama Tuhan yang ba­
ru, Tuhan Kebenaran dan Cahaya, Tuhan Nalar dan Kebaikan!”
Jangan-jangan ini nostalgia tubuh kepada ”roh”; agama yang
ngumpet di balik ”materialisme dialektik”, mitologi yang berbaju
”realisme”. Tak aneh jika para pejuang sering lupa: yang merasa
benar dan kekal akan terasing dari sejarah.

Tempo, 11 Mei 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

180 Catatan Pinggir 9


TA’AYUSH

S
ejarah kebangsaan juga bisa mengandung cerita keke-
jaman, meskipun sebuah bangsa semestinya dibangun da­
ri ta’ayush.
Ta’ayush adalah kata Arab yang berarti ”hidup bebrayan”. Kata
ini tak istimewa, tapi terasa luar biasa di sebuah negeri di mana
”bangsa” bukan saja sedang terguncang sendi-sendinya, melain­
kan­juga terancam oleh saling membenci. Negeri itu adalah Isra­
el. Ia bulan ini berumur 60, dengan kegundahan yang dulu tak
terbayangkan ketika ia dinyatakan berdiri pada 14 Mei 1948.
Di tengah kegundahan itulah pada tahun 2000 sejumlah war-
ga Israel memakai ta’ayush untuk jadi nama sebuah organisasi. Ia
terdengar seperti bagian dari sebuah agenda mulia namun musta-
hil. Tapi statemennya yakin:
Kami—warga Israel keturunan Arab dan Yahudi—hidup di­
kelilingi tembok dan kawat berduri: dinding pemisahan, rasial­
isme, dan diskriminasi...; dinding penutup dan pengepungan­
yang mengurung orang Palestina di daerah pendudukan di Wi­
layah Barat dan Gaza; dinding peperangan yang mengelilingi se-
luruh penghuni Israel, selama Israel jadi benteng bersenjata di
jantung Timur Tengah....
Kami bergabung bersama membentuk ”Ta’ayush”, sebuah
ge­rakan dari bawah masyarakat Arab dan Yahudi yang bekerja
sama untuk membongkar tembok rasialisme dan pemisahan de-
ngan membangun sebuah kemitraan sejati antara orang Arab dan
Yahudi.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Kemitraan sejati”—ketika dari Israel tak terdengar semangat­


yang universal, tapi ”tembok dan kawat berduri”? Ta’ayush di te­
ngah­ ”pemisahan, rasialisme, dan diskriminasi”? Keraguan se-
perti itu tak aneh bila terdengar di wilayah itu, yang selalu dekat

Catatan Pinggir 9 181


TA’AYUSH

dengan api kebencian yang murub. Tapi semangat organisasi ini


bukan baru. Jauh sebelum Israel lahir, pada 1925 di wilayah Pa­
les­tina berdiri Brith Shalom.
Organisasi ini—berarti ”Kontrak Perdamaian”—hendak me­
laksanakan ide-ide Martin Buber (1878-1965), filosof Yahudi
yang terkenal karena karyanya Ich und Du (”Aku dan Kau”). Bu-
ber bukan saja menentang kekerasan orang Yahudi ketika meng-
hadapi orang Arab, melainkan menjauh dari arus besar nasional­
isme dalam Zionisme. Berpindah dari Jerman yang menghalau­
dan membinasakan orang Yahudi, Buber datang ke Palestina.­
Tapi, berbeda dengan banyak Zionis lain, ia punya cita-cita ter­
sen­­diri. Ia tak ingin sebuah republik Yahudi, tapi sebuah negeri
dwi-bangsa.
Ia tak punya ilusi idenya akan diterima kaum nasionalis yang
menggebu-gebu. Tapi, baginya, perjuangan tak hanya terdiri dari
strategi politik. Buber bersuara terus, percaya bahwa kebenaran
moral tetap penting biarpun terpojok. Bertahun-tahun lamanya­
ia dilupakan. Tapi mungkin ini tanda kegundahan Israel, bila
kini pemikirannya menarik perhatian lagi: sebuah kumpulan tu­
lis­annya diterbitkan dalam bahasa Inggris pada 2005, dengan
judul A Land of Two Peoples.
Tampaknya orang sedang mencari jalan dan harapan, ketika
Israel harus memecahkan dilemanya yang terbesar. Republik ini
berdiri dengan asas demokrasi (dulu ia demokrasi satu-satunya
di Timur Tengah), yang mengakui mandat datang dari suara ter-
banyak warganya. Namun, sejak kemenangannya yang menge-
jutkan pada 1967, ketika Israel tak hanya punya sejarah yang pan-
jang tapi juga peta bumi yang luas, republik itu harus mengakui:
http://facebook.com/indonesiapustaka

dulu ada masanya orang-orang Arab binasa atau terusir, tapi kini
suara yang datang dari warga yang ”lain” itu makin lama makin
pen­ting. Tiap tahun penduduk Arab tumbuh 2,5 persen; pendu­
duk Yahudi hanya 1,4 persen. Sementara itu, Israel sekaligus

182 Catatan Pinggir 9


TA’AYUSH

men­duduki wilayah Arab yang hanya bisa ia pertahankan dengan


darah dan besi.
Maka kini paranoia, kebencian, dan kehendak destruktif me­
rasuk di mana-mana—sebuah lingkaran setan, sebuah napas ib-
lis, yang diperkuat dengan nama Tuhan di kedua belah pihak.
Apa gerangan yang akan terjadi dengan Israel? Tidakkah Martin­
Buber dulu benar: Israel sebaiknya memang tak hanya semata-
mata republik Yahudi? Dengan kata lain, masa depan adalah
ta’ayush, dengan pelbagai versi yang mungkin?
Tak mudah untuk percaya. Harapan gelap. ”Israel, seperti ma-
syarakat mana saja, punya anasir yang buas dan mengidap pato­
logi sosial,” tulis David Shulman dalam Dark Hope: Working for
Peace in Israel and Palestine, sebuah buku kesaksian yang sedih
dari seorang anggota kelompok Ta’ayush. Tapi dalam 40 tahun
ter­akhir orang-orang Yahudi yang destruktif telah dapat tempat,
lengkap dengan dalih ideologisnya, dalam ”usaha pemukiman”.
Di pelbagai wilayah, tutur Shulman, orang-orang itu ”punya ke-
bebasan yang tak terbatas untuk menteror penduduk Palestina:
menyerang, menembak, melukai, dan terkadang membunuh—
semua atas nama apa yang dianggap kesucian tanah ini dan hak
eksklusif orang Yahudi atasnya.”
Mereka praktis tak bisa disetop. Tiap usaha mengatasi kebi-
adaban itu, tiap usaha perdamaian—juga dari pemerintah Israel
sendiri—terjerat dalam apa yang disebut Shulman sebagai ”me-
sin yang rumit”. Aparat pemerintah sipil, tangan militer dan poli-
si, jalin-menjalin secara sengaja dan tidak dengan para pemukim
Yahudi, yang bisa begitu kejam hingga tega menebarkan racun ke
ternak orang Palestina miskin penghuni gua.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tapi gelap atau terang, harapan tak sepenuhnya padam. Ter­


utama­ketika ada orang Arab seperti Sari Nusseibeh, Rektor Uni-
versitas al-Quds, yang melawan represi dengan berani justru ka­
rena ia memakai cara damai. Atau orang seperti Shulman sendi­

Catatan Pinggir 9 183


TA’AYUSH

ri, seorang pengagum Gandhi. Atau Ezra Nawi, si Yahudi asal


Irak yang menolong orang Palestina tak putus-putusnya: orang
yang percaya bahwa manusia, juga dalam bentuk bangsa, perlu
ta’ayush.
Untuk itu ide kebangsaan bukan hanya lahir dari ingatan—
satu tendensi yang dominan di Israel—tapi justru dari kemam-
puan melupakan. Tak mungkin bangsa akan tegak dengan kese-
tiaan primordial, apalagi dengan trauma dan saling dendam yang
berakar.

Tempo, 18 Mei 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

184 Catatan Pinggir 9


B.O.

P
OTRET yang tertinggal dari awal abad ke-20 itu meng-
gambarkan Mas Wahidin Sudirohusodo seakan-akan
ba­­gian dari Jawa yang lembek. Atau jinak. Ia tak tampak­
cakrak, dengan kepala bangga. Ia malah terkesan mengambil
pos­tur seorang yang sopan sekali. Tak ada kumis yang perkasa.
Blangkon di kepalanya tampak ditimpa waktu.
Saya terkadang tak paham kenapa ”dokter Jawa” ini jadi tokoh­
utama Hari Kebangkitan Nasional. Saya tak pernah membaca
teks pidatonya yang berapi-api. Saya tak pernah melihat sehelai
fo­to pun yang menunjukkan ia berdiri dengan tangan mengepal.
Bagaimana mungkin dengan itu ada ”kebangkitan nasional”?
Apa­nya yang ”bangkit”? Mana yang ”nasional”?
Saya lupa: ketika ia merintis jalan yang akhirnya melahirkan
organisasi ”Boedi Oetomo” pada tanggal 20 Mei 1908 itu, Wahi-
din sudah seorang pensiunan. Tapi ia pensiunan yang tak hendak
mandeg. Sejak 1906, Wahidin berkeliling dari kota ke kota untuk
menjajakan idenya: membentuk dana buat beasiswa bagi anak-
anak Jawa. Selama dua tahun ia gagal terus. Baru ketika ia berte-
mu dengan para siswa STOVIA gayungnya disambut.
Sekolah itu seperti sudah menantikannya. Sejak awal abad ke-
20, STOVIA diperbaiki agar jadi tempat untuk para pemuda—
terutama mereka yang datang dari kalangan yang disebut ”bu-
miputra”—dilatih jadi tenaga kesehatan. Para lulusannya disebut
”dokter”, tapi dengan tambahan: ”dokter Jawa”.
Dari nama ini saja dapat dilihat bagaimana struktur sosial
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan ideologi kolonial Belanda waktu itu. Dari sini pula dapat di-
mengerti kenapa STOVIA jadi tempat di mana ada api dalam se­
kam, hingga ide Wahidin berkembang di sini.
Para mahasiswa STOVIA bukan dari keluarga petinggi dae-

Catatan Pinggir 9 185


B.O.

rah, melainkan dari kalangan priayi rendah. Wahidin sendiri,


misalnya, bukan seorang ”raden”. Demikian pula Cipto Mangun­
kusumo dan adiknya, Gunawan: mereka anak guru. Bahkan per-
nah tercatat anak pembantu rumah tangga di sekolah kedokteran
itu. Seperti dikemukakan Robert van Niel dalam The Emergence
of the Modern Indonesian Elite, status sosial para ”dokter Jawa”
tak dipandang tinggi di masyarakat kolonial. Bahkan tak banyak
yang tertarik masuk ke sana. Untuk mempromosikannya, sejak
1891 pemerintah memberi pelbagai kemudahan bagi murid yang
ingin masuk STOVIA.
Dalam sejarahnya, STOVIA disiapkan melayani kepentingan­
pemilik perkebunan di Sumatera Timur: para buruh yang dida­
tangkan dari Jawa perlu dijaga kesehatannya agar tak membebani­
perusahaan. Untuk itu perlu dokter. Pendidikan yang disiapkan­
cukup serius. Sejak 1904, diploma STOVIA dapat mengantar­se­
orang lulusan ke sebuah sekolah kedokteran di Belanda di tingkat
lanjut, hingga ia bisa mendapatkan gelar dokter tingkat Eropa ha­
nya dalam waktu setahun.
Tapi lulusan itu akhirnya toh hanya dijuluki ”dokter Jawa”.
Gajinya di perkebunan tak sebanding dengan ”dokter Eropa”.
Ko­lonialisme selamanya ingin mengukuhkan diri dengan mem-
bedakan sang penjajah dari si terjajah. Kalaupun si inlander di-
beri kesempatan meniru, peniruan itu harus dijaga agar ”hampir­
sama, tapi tak benar-benar sama”, untuk memakai kata-kata Ho­
mi Bhabha tentang bagaimana masyarakat kolonial disusun.
Demikianlah semasa kuliah para calon dokter itu—kecuali me­
re­ka yang beragama Nasrani—tak boleh mengenakan pakaian
Eropa.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dalam latar yang panas itu, ide Wahidin akhirnya berkembang­


me­lampaui soal beasiswa. ”Boedi Oetomo” dibentuk­ oleh para
ma­hasiswa kedokteran itu—dan peran dr Wahidin segera ber­
akhir.­Para pemuda mengambil alih. Bagi mereka, ikhtiar akhir­

186 Catatan Pinggir 9


B.O.

nya mes­ti bersifat politik, sebab ketidakadilan yang mereka alami


ada­lah bagian dari kekuatan struktural.
Jika politik adalah penggalangan kekuatan alternatif untuk
mengubah keadaan, mau tak mau sebuah aksi masuk ke dalam
se­buah paradoks. Di satu sisi, aksi itu harus menegaskan identitas
tersendiri. Tapi di sisi lain, ia harus menjangkau yang bukan diri­
nya, hingga identitas itu tak seperti baju besi yang terkunci rapat.
Dan itulah yang terjadi pada ”Boedi Oetomo”.
Organisasi ini pada awalnya bertumpu pada segala sesu­atu
yang ”Jawa”. Tapi ketentuan organisatorisnya sepenuhnya ”Ba­
rat”. Bahkan dengan segera ”Jawa” tak hanya berarti sekitar Yog­
ya dan Surakarta, tapi juga mereka yang biasa disebut ”Sunda”,­
”Ma­dura”, dan ”Bali”. Akhirnya identitas pun terbongkar: se­
mua­­nya tak jelas batasannya. Salah satu yang menarik pada ”Boe­
di Oetomo”: untuk berkomunikasi, organisasi ini tak mengguna­
kan bahasa Jawa, melainkan Melayu.
Bukankah gerakan politik ke arah keadilan akan selalu terdo-
rong menjangkau yang universal?
Tapi sejumlah orang tua, para aristokrat Jawa, menampik.
Bagi mereka, ”Boedi Oetomo” harus tetap ”Jawa”. ”Berpolitik”
harus dihentikan. Pada Oktober 1908, orang-orang konservatif
itu mengambil alih pimpinan ”B.O.”.
Bentrokan terjadi. Dari sinilah muncul dua nama yang kekal
dalam sejarah kebangkitan Indonesia—dua orang yang tak seso-
pan Mas Wahidin: Cipto Mangunkusumo, dokter; ia dengan se­
ngaja memasang bintang penghargaan dari Ratu Belanda di pan-
tat sebagai protes. Suwardi Suryaningrat, pemuda bangsawan ke-
turunan Paku Alam; ia akhirnya meninggalkan STOVIA dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

menulis sebuah pamflet cemooh. Ia gugat pemerintah Hindia Be-


landa ketika berencana membuat pesta besar ulang tahun ke-100
kemerdekaan Belanda dari penjajahan Prancis—pesta yang di­
ada­kan di tanah yang tak punya kemerdekaan.

Catatan Pinggir 9 187


B.O.

Als ik eens Nederlander was, tulis Suwardi. Seandainya aku


seorang Belanda.... ”Aku juga patriot, dan sebagaimana seorang
Belanda yang dengan semangat nasionalis mencintai tanah
airnya, juga aku mencintai tanah airku....”
Kalimat itu betapa menggigit: seorang hamba menyatakan
diri bisa sama dengan si tuan—bukan dalam kuasa, tapi dalam
menghargai kemerdekaan.
Hal itu mungkin tak diduga Mas Wahidin: yang ”Jawa” bisa
dan seyogianya lebur dalam sesama. Nasionalisme bukan suara
igauan sendiri.

Tempo, 25 Mei 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

188 Catatan Pinggir 9


ALADIN

J
AKARTA mungkin kota dengan sebuah lampu Aladin ra-
hasia. Kini kita hanya lupa-lupa ingat apa yang tak ada sebe-
lum April 1966, sebelum Ali Sadikin diangkat oleh Presiden
Sukarno jadi gubernur kota ini.
Saya coba susun sebuah daftar dari luar kepala: Jalan H.R.
Rasuna Said–Jalan Casablanca–Taman Ismail Marzuki–sejum-
lah gelanggang remaja–taman hiburan di pantai Ancol–sebuah
pusat perfilman–museum tekstil, wayang, seni rupa–stasiun bus
kota–halte–lampu-lampu lalu lintas–taksi–taman-taman kecil­–
kampung-kampung yang dihubungkan dengan jalan yang rapi....
Mereka yang lahir atau datang terlambat di kota ini tak akan
merasakan proses yang menakjubkan dari ”tak-ada” menjadi
”ada” itu.
Saya datang ke kota ini pada 1960, untuk jadi mahasiswa Uni-
versitas Indonesia, di fakultas psikologi yang waktu itu terletak
tak kentara di seberang rumah sakit umum yang masih disebut
”CBZ”. Saya tinggal indekos di satu rumah tak jauh dari Salem-
ba, di mana kampus Universitas Indonesia terselip praktis tanpa
ha­laman. Kadang-kadang saya naik sepeda dari Grogol.
Dulu ada sebuah kebun binatang yang nyaris kosong di tem-
pat yang kini jadi Taman Ismail Marzuki. Dulu ada bus-bus Ro-
bur yang hampir mirip kotak yang gemuk bikinan Cekoslowakia,
sudah peyot, dengan penumpang yang berimpitan seperti ikan
teri dalam kuali. Atau opelet yang separuh kayu persegi untuk
tujuh orang dengan seorang kenek yang mengatur penumpang.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Atau trem yang bergerak seakan-akan enggan melanjutkan za-


man Batavia dalam cerita Si Jamin dan Si Johan saduran Merari
Siregar.
Semua itu surut ke belakang kepala, tak lama setelah Ali Sa-

Catatan Pinggir 9 189


ALADIN

dikin jadi gubernur. Mereka tak tampak lagi. Kota ini berubah,
bergegas.
Saya tak mengenang masa pra-Ali Sadikin dengan nostalgia.
Saya kira Jakarta bukanlah kota yang cocok buat merindukan
ma­sa lalu: penduduk bertambah hampir 6 persen setahun, baik
dari kelahiran maupun dari urbanisasi, dan anak + remaja mem-
bentuk dasar yang luas di piramida demografi. Dengan kata lain,
mayoritas bukanlah mereka yang punya pengalaman yang bisa
diingat dari kota ini. Mayoritas penduduk dilecut untuk sibuk
dengan kini dan esok.
Ketika Bung Karno melantik Ali Sadikin, Presiden itu bicara
tentang impiannya: Jakarta yang dikagumi dunia. Saya tak tahu
apakah Ali Sadikin ingat kata-kata itu. Tapi baginya yang mende-
sak bukanlah apa kata dunia, melainkan apa kata penghuni Ja-
karta sendiri.
Dan ia pun bekerja. Dan Jakarta berubah.
Ali Sadikin sendiri juga berubah—meskipun ada hal-hal
yang tetap dalam hidupnya: kerja kerasnya, keberaniannya untuk
membuat sebuah gebrakan dan melawan pendapat yang ingar-
bingar, kemauannya untuk mendengar dan belajar sesuatu yang
baru, kharismanya, kepemimpinannya, dan juga daya tariknya.
Ia perwira tinggi Marinir yang harus mengurus 5 juta manu­sia
yang begitu beraneka dan berantakan. Cepat atau lambat, ia ha-
rus mengambil sikap lain: ia tak bisa terus-menerus membentak.­
Saya ingat pada hari-hari pertama ia mencoba menertibkan bus
kota. Waktu itu puluhan bus kota menggunakan Lapangan Ban-
teng sebagai tempat parkir dan calo-calo menguasai lalu lintas pe­
numpang. Sebuah khaos besar berkuasa di sana. Pada suatu hari,
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ali Sadikin datang mendadak. Ketika ia menghadapi seorang


ca­lo yang rupanya menjengkelkannya, ia mengayunkan tinju.
Orang itu terjerembap.
Tapi ada yang membuat Ali Sadikin tak dibenci: ia mau me-

190 Catatan Pinggir 9


ALADIN

minta maaf. Ia bisa melihat kelemahannya sendiri dan kelemah­


an orang lain. Di Lapangan Banteng itu ia tahu orang yang cari
nafkah dengan kasar dan kacau itu bukan oknum yang bersalah.
Ia perlu lebih sabar. Sebab yang bersalah adalah kemiskinan. Tak
lama kemudian di Lapangan Banteng dibangun sebuah stasiun
bus yang bagus dan rapi. Para bekas calo diberi pekerjaan di situ.
Tempat itu jadi tempat yang nyaman bagi siapa saja.
Salah satu anekdot terkenal terjadi dengan pelukis Srihadi di
sebuah pameran. Salah satu kanvas seniman terkenal itu meng-
gambarkan Jakarta dengan pencakar langit, tapi juga dengan ke­
kalang-kabutannya. Ali Sadikin melihat kanvas itu; ia naik darah.
Ia ambil bolpoin dan ia coret-coret karya Srihadi. Para seniman
pun protes. Ali Sadikin, yang telah memberi mereka fasilitas dan
menghargai kebebasan kreatif, tak membalas dengan mengingat-
kan mereka akan apa yang telah diberikannya. Malah ia minta
maaf. Srihadi kemudian menyimpan karyanya tak untuk dijual;
baginya, coretan Bang Ali adalah kenangan tentang seorang pe-
mimpin yang jarang didapat di Indonesia: begitu berkuasa tapi
bersedia meminta maaf dan mengoreksi kesalahannya sendiri.
Ali Sadikin memang berbeda dari yang lain di tatanan Orde
Baru itu. Ia tokoh yang berdiri agak sendiri, di tepi wilayah Soe-
harto. Ia diangkat Bung Karno, tak lama sebelum Bung Karno
jatuh. Ia seorang perwira KKO, ketika rezim dikuasai Angkatan
Darat. Dengan tubuh tinggi dan paras mirip bintang film, ia me-
nonjol mengatasi yang lain—dan ia punya kebanggaan sendiri
untuk tak merunduk. Dengan segera orang tahu: Jakarta mem-
punyai seorang pemimpin, bukan pejabat.
Pada zaman ketika pemimpin dan calon pemimpin dibabat—
http://facebook.com/indonesiapustaka

ketika Soeharto-lah yang menunjuk ketua partai apa pun, me-


milih panglima angkatan dan kepala daerah mana pun—ketika­
cara kerja, perilaku, dan bahkan bahasa jadi bagian dari biro­
kratisasi, Ali Sadikin tak tenggelam.

Catatan Pinggir 9 191


ALADIN

Ia memang memanfaatkan struktur yang dibangun Orde Ba­


ru: kepala daerah bisa jadi pemegang otokrasi. Tapi ia punya rasa
percaya diri yang besar pada dirinya yang menyebabkannya—
seorang otokrat par excellence—tak gentar mendengar kritik, tak
takut akan ide baru dan saran orang.
Seandainya ia jadi presiden republik....
Tapi ia tak mau. Ia mengajukan kritiknya yang fundamental
kepada ”Orde Baru”, tapi ia membuktikan kritik itu bukan kare-
na rasa iri dan getir orang yang sudah tak berkuasa lagi.
Saya belum pernah menjumpai orang sebesar dia dalam sikap.
Bertahun-tahun lamanya bagi saya hanya dia presiden saya.

Tempo, 1 Juni 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

192 Catatan Pinggir 9


JALAN

J
alan juga sebuah laku. Di sana orang ambil keputusan,
ambil risiko, hanya mengulang tapi bisa juga melakukan
yang tak terduga-duga. Di sana ia bisa menemui rezeki atau
ajal. Dan jika kita bicara tentang lingkungan kota besar, ja-
lan bisa juga berarti satu wilayah untuk mengelak.
Ada sepatah kata bahasa Indonesia yang sering dipakai tapi
tak menarik perhatian: ”kluyuran”. Dalam kata ini tergambar ba­
gai­mana ruang yang sambung-menyambung dan berkelok-kelok
itu dapat merupakan tempat kita iseng, main-main, atau meng­
ikuti­rasa ingin tahu. Saya kluyuran jika saya berjalan menyusuri
kota besar ini, tanpa ingin menghasilkan apa-apa, tanpa didesak
waktu, tapi asyik mengamat-amati seraya terus-menerus meng­
alih­kan fokus.
Laku semacam itu bukanlah laku yang cocok dengan apa yang
dikehendaki sebuah kota besar: rasionalitas, efisiensi, produktivi-
tas. Baudelaire, penyair Les Fleurs du Mal (”Bunga Mala”) dan
Le­Spleen de Paris (”Limpa Paris”), telah membuat kata flâneur—
yang artinya tak jauh dari ”Bung Kluyur”—jadi begitu penting
da­­lam telaah ilmu sosial dan filsafat, karena ia dapat menggam-
barkan bagaimana ”kluyuran” di kota yang telah diubah jadi mo­­­­
dern merupakan sebuah sikap politik dan estetik. Flâneurie­ se­­­
akan-­akan menampik rasionalitas yang diterapkan di Paris­meng­­
ikuti planologi Baron Georges-Eugène Haussman selama dua da-
sawarsa sejak 1852. Sang flâneur menjelajah secara acak, santai,
dan seenaknya sebuah metropolis, semacam ikhtiar memperta­
http://facebook.com/indonesiapustaka

han­kan yang sepele, percuma, lemah, dan kuno. Sang flâneur,­se-


raya tampil sebagai pesolek yang keren, merayakan tapi se­kaligus
memandang dengan berjarak dunia Paris yang berubah secara
me­nakjubkan dan mencemaskan itu.

Catatan Pinggir 9 193


JALAN

Di Indonesia, ”kluyuran” tentu saja tak sepenuhnya sama de-


ngan flâneurie. Di sini kontras antara kota dan udik bisa begitu
besar, tapi kota tak terputus secara radikal dari yang bukan-kota.
Seperti pernah dikatakan seorang pakar sosiologi perkotaan, Ja-
karta tak cuma mengalami urbanisasi, tapi juga ”ruralisasi”. Ran-
cangan yang rasional, ketertiban yang efisien, kapital yang men-
coba menguasai pembagian ruang dengan perhitungan laba-ru-
gi, tak henti-hentinya berbenturan dengan arus deras dari bawah
yang datang dari desa-desa, barisan yang tiap kali kalah tapi tiap
kali menyerbu kembali.
Kota ini sendiri bukanlah teladan rasionalitas. Birokrasi begi­
tu korup dan tak becus hingga planologi tak ada artinya. Kelas
me­nengah tak secara serius menegakkan hukum. Kemiskinan
be­gitu luas dan juga pengangguran, hingga bukan efisiensi yang
ter­jadi, melainkan involusi.
Involusi adalah cara kelas bawah kota besar berbagi hidup: da­
lam ruang yang sempit, dalam pekerjaan yang terbatas, dalam
mi­lik yang tak seberapa. Involusi adalah sebuah kiat hidup dalam
keadaan berjejal.
Ketika saya menonton Je.ja.l.an yang dipentaskan Teater Ga-
rasi di Teater Luwes Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 25 Mei yang
lalu, saya merasa seakan-akan saya ikut dalam sebuah ”kluyur­
an”: menyusur jalan-jalan kota, mengamati involusi yang terjadi
di sana, terpisah tapi terpaut.
Jarak antara pentas dan penonton dibuat demikian rapat,
hing­ga mereka yang duduk di meja VIP (dengan gelas berisi ang-
gur dan bir) juga tak bisa mengelak. Seperti di rumah makan tepi
jalan, pengamen, penjaja kitab dan lain-lain mudah masuk ke se-
http://facebook.com/indonesiapustaka

la-sela tamu. Hanya setengah meter dari sana: barisan drum band,
pekerja seks, orang mati melarat, orkes keliling, perempuan ber-
dandan keren, pengkhotbah yang marah, petugas ketertiban kota
yang hendak menegakkan tertib, banci yang hidup di luar tata.

194 Catatan Pinggir 9


JALAN

Je.ja.l.an bagi saya mengandung makna ”jejalan”.


Memang banyak adegan yang tak baru: kita telah sering me-
lihatnya, setidaknya di berita televisi dan koran. Tapi itu justru
me­nunjukkan bahwa yang terpapar bukanlah sesuatu yang ekso-
tis, bukan pula yang dramatis. Di kota-kota besar Indonesia, kita
menemukannya tiap kali di tiap sudut. Kluyuran bukanlah se-
buah darmawisata: karya teater Yudi Ahmad Tajudin dan kawan-
kawan menegaskan hal itu karena ia tak mengajak menyaksikan
hal yang menakjubkan.
Namun tiap karya teater adalah sebuah intervensi terhadap
apa yang tak menakjubkan yang kita temukan di tiap sudut. Re-
alisme dalam teater pada akhirnya mengakui bahwa ”realitas” bu-
kanlah das Ding an sich. ”Realitas” mengandung sejarah sosial: ia
dihadirkan oleh bahasa dan percakapan. Maka di pentas, kluyur­
an merupakan konstruksi ganda. Di pentas, ia diberi bentuk jadi
sesuatu yang lebih intens. Demikianlah teater lahir, membuka
pe­luang bagi dunia yang tampil sebagai beda, juga ketika ia se­
akan-­akan menampilkan yang itu-itu juga.
Dalam beda itulah hadir sebuah tamasya—tapi bukan tamas­
ya­yang tertangkap secara panoptik, bukan gambaran utuh yang
hanya bisa dilihat dari atas. Justru ambisi kota besar untuk meng­
ikuti­ sebuah rencana agung terbentur oleh centang-perenang
yang mencemooh perubahan budaya dalam ”urbanisasi”.
Itu sebabnya bagi saya Je.ja.l.an bukan hendak terdiri dari satu
statemen, misalnya sebuah protes sosial karena kemiskinan. Pi-
dato Bung Karno berapi-api, tapi rekamannya yang diputar tak
men­dominasi ruang. Kisah seorang miskin yang bunuh diri diba­
cakan, tapi si pembaca seperti lelah di ujungnya. Keduanya tak
http://facebook.com/indonesiapustaka

menimbulkan perubahan di pentas itu.


Dialektik antara beda dan sama, antara yang menusuk dan
yang banal, antara teriak dan sikap acuh tak acuh, memantulkan
kembali yang kita alami kini: sebuah fragmentasi pengalaman,

Catatan Pinggir 9 195


JALAN

sebuah khaos dalam perhatian.


Michel de Certeau, yang juga merenungkan makna kluyuran
dalam hidup sehari-hari, seakan-akan berbicara tentang jalanan
kota yang terpapar di pentas malam itu: ”Pengguna kota memu­
ngut­ fragmen tertentu dari statemen itu, dan dengan demikian
mengaktualisasikannya dalam rahasia”.

Tempo, 8 Juni 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

196 Catatan Pinggir 9


BBM

I
A kurus, keras, kompetitif, brutal. Matanya sering menyem-
pit, penuh wasangka dan cerdik. Rahangnya seakan-akan
dibentuk buat melumat apa saja. ”Aku penuh persaingan.
Aku tak mau ada orang lain berhasil. Kebanyakan orang kuben-
ci.”
Daniel Plainview, diperankan dengan meyakinkan oleh Da­
niel­ Day-Lewis dalam film There Will be Blood, mengenal baik
perangainya sendiri. Ia harus mengalahkan, memukul, atau me-
nipu untuk menang.
Tapi cerita ini bukan tentang jiwa yang sakit, betapapun sen­
tralnya sosok Plainview di layar putih itu. Yang kita ikuti ada­
lah kisah tentang kekuasaan yang membuat seseorang seakan-­
akan palu godam, tentang kemauan merengkuh dan memiliki
yang membuat orang bengis. Sutradara dan penulis skenario Pa­
ul Thomas Anderson berkisah tentang seorang raja minyak di wi­
layah California pada awal abad ke-20.
Ia bertolak dari novel Sinclair Lewis, Oil!, yang terbit pada
1927. Tapi ada beda besar antara film Anderson dan novel Lewis.
Tokoh Ross dalam Oil! bukan mirip seekor hewan yang paranoid
seperti Plainview. Meskipun begitu, Ross dengan dingin menyo­
gok politikus dan pejabat, yakin bahwa uang suap bisa membuat
urusan cepat beres.
Dengan kata lain, Oil! juga hendak menunjukkan betapa ber­
kilau dan licinnya minyak bumi, hingga orang sesat dan noda ter-
jadi.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kita tak hanya menyaksikannya dalam film dan membacanya­


dalam novel. Di Indonesia, kita mengalaminya dalam kehidup­
an: Indonesia pada 1970-an adalah Indonesia yang dimanjakan
petrodolar, ketika Pertamina yang seharusnya milik Republik itu­

Catatan Pinggir 9 197


BBM

praktis jadi kerajaan pribadi Letnan Jenderal Ibnu Sutowo dan


ke­luarganya, ketika kekayaan para pejabat perusahaan itu ber­ki­
lau-kilau, tersimpan hingga di sudut yang jauh di luar negeri, ke-
tika korupsi dan kemewahan membludak seperti tak akan ber­
akhir—dan mungkin memang belum berakhir.
Kejiwaan yang dibentuk oleh uang yang licin, berkilau, dan
me­limpah dari barel demi barel itulah yang merupakan awal ja-
lan sesat Indonesia.
Memang para pejabat Pertamina dan anak cucunya yang
gom­byor itu bukan makhluk seperti Daniel Plainview yang ber-
tulang keras dengan wajah yang siap menerkam. Tapi justru per-
bedaan ini menandai sesuatu yang lebih berarti: bagaimanapun,
Plainview jadi kaya oleh tangan dan kakinya sendiri, sedangkan
para pejabat Pertamina dan anak cucu mereka hampir tak pernah
meneteskan keringat untuk memperoleh harta & kuasa yang be-
gitu menjulang.
Yang merisaukan, kecenderungan gombyor itu menular: se­
akan-­akan Indonesia tak harus bersakit-sakit dahulu, seakan-
akan kekayaan alam akan selalu tersedia. Maka segala hasrat un-
tuk megah & mentereng pun berkobar: pada masa itu ada yang
berniat membangun ”industri” penerbangan tanpa peduli perhi­
tungan laba-rugi, ada yang dengan gampang berutang untuk
mem­buat pabrik-pabrik pupuk terapung dan armada kapal tang-
ki minyak raksasa; lapangan golf luas pun dibuka di mana-mana,
rumah mewah besar yang lebih bergas ketimbang yang di Beverly
Hills didirikan di hampir tiap kota besar.
Saya ingat arsitek pembangunan ekonomi Indonesia, Widjojo
Nitisastro, memandang gila-gilaan waktu itu dengan masygul:
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Seharusnya, kita tak punya minyak...”.


Tapi Widjojo dan para ekonom lain yang terkenal dengan
”uang ketat” itu tak sepenuhnya berkuasa. Presiden Soeharto me-
mang mendengar suara mereka—tapi tak selalu, dan tak lama.

198 Catatan Pinggir 9


BBM

Mewah dan manja telah jadi jalan sesat Indonesia.


Memang ada usaha untuk mencoba mengingatkan, tapi usa­
ha itu tak laku. Pada 1972 terbit sebuah laporan yang mengejut-
kan dunia, The Limits to Growth. Buku itu hasil penelitian yang
di­tugasi oleh The Club of Rome, sebuah lembaga swasta yang di­
dirikan Aurelio Peccei, industriawan Italia, dan Alexander King,
ilmuwan Skotlandia. Dalam The Limits to Growth kita diingat-
kan, pertumbuhan ekonomi akan ada batasnya dan sumber ener­
gi akan kian habis.
Saya ingat cendekiawan terkemuka Indonesia, Soedjatmoko,­
yang diundang untuk ikut membahas laporan itu, pulang ke In-
donesia dan menyerukan agar kita meninjau kembali ”strategi
pem­bangunan”. Ia bicara tentang perlunya ”teknologi madya”
yang ramah terhadap lingkungan dan hemat minyak bumi.
Saya menyebutnya ”neo-Gandhiisme”: gema suara Gandhi
yang memilih hidup sederhana, dengan peralatan bersahaja, dan
hasrat yang tak muluk dalam menikmati benda-benda.
Tapi ”neo-Gandhiisme” itu lenyap sebelum jadi. Mungkin ka­
rena di dalamnya tak ditelaah bagaimana nanti posisi Indone­
sia di depan dunia luar yang terus menumbuhkan ekonomi dan
kekuatan teknologi. Semboyan ”kecil itu indah” Schumacher­ter-
dengar terlalu romantis. Di negeri Gandhi sendiri, India, teknolo-
gi dikembangkan—juga senjata nuklir.
Dan kita juga abai kembali. Kita terus di jalan minyak yang
ber­kilau, licin, dan menyesatkan. Melalui ”krisis moneter” 1989,
kita terus menghimpun mobil mewah (dan mendapatkan subsi­
di untuk bensinnya) dan terus mendirikan mall demi mall (dan
menikmati subsidi untuk listriknya). Kita melanjutkan ”Sutowo-
http://facebook.com/indonesiapustaka

isme” yang alpa bahwa energi, terutama BBM, akan mencekik


kita.
Maka, ketika harga minyak membubung di dunia, kita kaget.
Kita lupa pada 1998 Campbell dan Laherrere sudah mengumum-

Catatan Pinggir 9 199


BBM

kan ke dunia harga minyak tak akan bisa turun. Kita lupa per-
tumbuhan ekonomi Cina dan India akan mengkonsumsi BBM
dengan pesat. Permintaan pun naik, persediaan terbatas.
Kini kita protes karena harga menjulang—dan bukan menge-
cam pemerintah yang takut mengingatkan rakyat bahwa jalan di
depan niscaya pedih, bukan jalan sim-salabim ”blue energy”.
”Akan ada darah”, itulah kemungkinan yang menakutkan
dari riwayat minyak. Di salah satu adegan Plainview memper­
ingat­­kan, ”...Kalian punya kesempatan baik di sini, tapi ingat, ka-
lian bisa kehilangan ini semua jika tak berhati-hati....”
Bicarakah ia kepada kita?

Tempo, 15 Juni 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

200 Catatan Pinggir 9


INDONESIA (1)

D
I luar sel kantor Kepolisian Daerah Jakarta Raya itu se-
buah statemen dimaklumkan pada pertengahan Juni
yang panas: ”SBY Pengecut!”
Yang membacakannya Abu Bakar Ba’asyir, disebut sebagai
”Amir” Majelis Mujahidin Indonesia, yang pernah dihukum ka­
rena terlibat aksi terorisme. Yang bikin statemen Rizieq Shihab,
Ke­tua Front Pembela Islam, yang sedang dalam tahanan polisi
dan hari itu dikunjungi sang Amir.
Dari kejadian itu jelas: mencerca Presiden dapat dilakukan de-
ngan gampang. Suara itu tak membuat kedua orang itu ditang-
kap, dijebloskan ke dalam sel pengap, atau dipancung.
Sebab ini bukan Arab Saudi, wahai Saudara Shihab dan
Ba’asyir! Ini bukan Turki abad ke-17, bukan pula Jawa zaman
Amangkurat! Ini Indonesia tahun 2008.
Di tanah air ini, seperti Saudara alami sendiri, seorang tahan-
an boleh dikunjungi ramai-ramai, dipotret, didampingi pembe-
la, tak dianggap bersalah sebelum hakim tertinggi memutuskan,
dapat kesempatan membuat maklumat, bahkan mengecam Ke-
pala Negara.
Di negeri ini proses keadilan secara formal dilakukan de-
ngan hati-hati—karena para polisi, jaksa, dan hakim diharuskan
berendah hati dan beradab. Berendah hati: mereka secara bersa-
ma atau masing-masing tak boleh meletakkan diri sebagai yang
mahatahu dan mahaadil. Beradab: karena dengan kerendahan
hati itu, orang yang tertuduh tetap diakui haknya untuk membe-
http://facebook.com/indonesiapustaka

la diri; ia bukan hewan untuk korban.


Keadilan adalah hal yang mulia, Saudara Shihab dan Ba’asyir,
sebab itu pelik. Ia tak bisa digampangkan. Ia tak bisa diserahkan
mutlak kepada hakim, jaksa, polisi—juga tak bisa digantung-

Catatan Pinggir 9 201


INDONESIA (1)

kan kepada kadi, majelis ulama, Ketua FPI, atau amir yang mana
pun. Keadilan yang sebenarnya tak di tangan manusia.
Itulah yang tersirat dalam iman. Kita percaya kepada Tuhan:
kita percaya kepada yang tak alang kepalang jauhnya di atas kita.
Ia Yang Maha Sempurna yang kita ingin dekati tapi tak dapat kita
capai dan samai. Dengan kata lain, iman adalah kerinduan yang
mengakui keterbatasan diri. Iman membentuk, dan dibentuk,
sebuah etika kedaifan.
Di negeri dengan 220 juta orang ini, dengan perbedaan yang
tak tepermanai di 17 ribu pulau ini, tak ada sikap yang lebih tepat
ketimbang bertolak dari kesadaran bahwa kita daif. Kemampu­an
kita untuk membuat 220 juta orang tanpa konflik sangat terba­tas.
Maka amat penting untuk punya cara terbaik mengelola seng­
keta.
Harus diakui (dan pengakuan ini penting), tak jarang kita ga-
gal. Saya baca sebuah siaran pers yang beredar pada Jumat kema-
rin, yang disusun oleh orang-orang Indonesia yang prihatin:

”... ternyata, sejarah Indonesia tidak bebas dari konflik dengan


kekerasan. Sejarah kita menyaksikan pemberontakan Darul Islam­
sejak Indonesia berdiri sampai dengan pertengahan 1960-an. Seja­
rah kita menanggungkan pembantaian 1965, kekerasan Mei 1998,
konflik antargolongan di Poso dan Maluku, tindakan bersenjata di
Aceh dan Papua, sampai dengan pembunuhan atas pejuang hak asa­
si manusia, Munir.”

Ingatkah, Saudara Ba’asyir dan Saudara Shihab, semua itu?


Ingatkah Saudara berapa besar korban yang jatuh dan kerusakan
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang berlanjut karena kita menyelesaikan sengketa dengan benci,


kekerasan, dan sikap memandang diri paling benar? Saudara ber-
dua orang Indonesia, seperti saya. Saya mengimbau agar Sauda-
ra juga memahami Indonesia kita: sebuah rahmat yang disebut­

202 Catatan Pinggir 9


INDONESIA (1)

”bhineka-tunggal-ika”. Saya mengimbau agar Saudara juga me­


ra­wat rahmat itu.
Merawat sebuah keanekaragaman yang tak tepermanai sama
halnya dengan meniscayakan sebuah sistem yang selalu terbuka
bagi tiap usaha yang berbeda untuk memperbaiki keadaan. Indo-
nesia yang rumit ini tak mungkin berilusi ada sebuah sistem yang
sempurna. Sistem yang merasa diri sempurna—dengan meng-
klaim diri sebagai buatan Tuhan—akan tertutup bagi koreksi,
sementara kita tahu, di Indonesia kita tak hidup di surga yang tak
perlu dikoreksi.
Itulah yang menyebabkan demokrasi penting dan Pancasila
dirumuskan.
Demokrasi mengakui kedaifan manusia tapi juga hak-hak
asa­sinya—dan itulah yang membuat Saudara tak dipancung ka­
rena mengecam Kepala Negara.
Dan Pancasila, Saudara, yang bukan wahyu dari langit, ada­
lah buah sejarah dan geografi tanah air ini—di mana perbedaan
diakui, karena kebhinekaan itu takdir kita, tapi di mana kerja
ber­sama diperlukan.
Pada 1 Juni 1945, Bung Karno memakai istilah yang dipetik­
dari tradisi lokal, ”gotong-royong”. Kata itu kini telah terlalu se­
ring dipakai dan disalahgunakan, tapi sebenarnya ada yang me-
narik yang dikatakan Bung Karno: ”gotong-royong” itu ”paham
yang dinamis,” lebih dinamis ketimbang ”kekeluargaan”.
Artinya, ”gotong-royong” mengandung kemungkinan ber­
ubah-ubah cara dan prosesnya, dan pesertanya tak harus tetap
da­ri mereka yang satu ikatan primordial, ikatan ”kekeluargaan”.
Sebab, ada tujuan yang universal, yang bisa mengimbau hati dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

pi­kiran siapa saja—”yang kaya dan yang tidak kaya,” kata Bung
Karno, ”yang Islam dan yang Kristen”, ”yang bukan Indonesia
tu­len dengan yang peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.”
”Gotong-royong” itu juga berangkat dari kerendahan hati dan

Catatan Pinggir 9 203


INDONESIA (1)

sikap beradab, sebagaimana halnya demokrasi. Itu sebabnya,­bah-


kan dengan membawa nama Tuhan—atau justru karena memba-
wa nama Tuhan—siapa pun, juga Saudara Ba’asyir dan Saudara
Shihab, tak boleh mengutamakan yang disebut Bung Karno se­
ba­gai ”egoisme-agama.”
Bung Karno tak selamanya benar. Tapi tanpa Bung Karno
pun kita tahu, tanah air ini akan jadi tempat yang mengerikan
ji­ka ”egoisme” itu dikobarkan. Pesan 1 Juni 1945 itu patut dide­
ngar­kan kembali: ”Hendaknya negara Indonesia ialah negara­
yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan ca­
ra leluasa.”
Dengan begitulah Indonesia punya arti bagi sesama, Saudara
Shi­hab dan Ba’asyir. Ataukah bagi Saudara ia tak punya arti apa-
apa?

Tempo, 22 Juni 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

204 Catatan Pinggir 9


GUA

I
man selamanya akan bernama ketabahan. Tapi iman juga
bertaut dengan antagonisme. Kita tahu begitu dalam makna­
keyakinan kepada yang Maha Agung bagi banyak orang,
hingga keyakinan itu seperti tambang yang tak henti-hentinya
memberikan ilham dan daya tahan.
Tapi kita juga akan selalu bertanya kenapa agama berkali-kali
menumpahkan darah dalam sejarah, membangkitkan kekerasan,
menghalalkan penindasan.
Hari-hari ini, ketika orang-orang Ahmadiyah terpojok di be-
berapa kota di Indonesia, dua sisi itu muncul di kepala saya kem-
bali.
Tiga tahun yang lalu seorang teman di Eropa bercerita tentang
sepucuk surat yang ia terima dari adiknya di Basra, Irak. Si adik
mengenangkan apa yang dipikirkannya ketika ia, seorang perem-
puan keluarga Sunni, bersembunyi di sebuah lubang di lapangan
agak jauh dari rumah, sementara di luar, di jalanan, para anggota
milisia Syiah lalu-lalang bersenjata. Bunuh-membunuh telah be-
berapa hari berlangsung. Paman mereka dan kedua anaknya tak
pernah kembali.
”Saya bayangkan, saya adalah seorang penganut Islam pada
ta­hun-tahun menjelang Hijrah—seorang yang ikut bersembunyi­
dalam gua bersama Rasulullah, ke­tika orang-orang Quraisy ber-
simaharajalela,” demikian si adik menulis. ”Apakah saya akan
se­takut diri saya hari itu, tak putus-putusnya menanti hari jadi
gelap agar saya, penganut Muhammad saw, akan bisa bebas dari
http://facebook.com/indonesiapustaka

pembantaian? Ataukah saya akan tabah, karena saya ada di dekat


Nabi?”
Dan si adik menjawab pertanyaannya sendiri: ”Benar, Rasul­
ullah tak berada di Basra, tapi saya tetap merasa di dekat beliau.

Catatan Pinggir 9 205


GUA

Karena seperti orang-orang Islam pertama, saya dalam posisi


yang lemah, tapi tahu tak merasa bersalah. Saya tak bersalah bah-
kan kepada orang-orang yang ingin membinasakan kami di luar
itu—apalagi kepada Tuhan. Saya hanya berbeda. Saya hanya di-
lahirkan berbeda.”
Si kakak, teman saya orang keturunan Irak yang sudah hidup­
di Amsterdam itu, yang seperti hafal benar dengan surat itu, tak
bercerita apa selanjutnya yang ditulis adiknya. Kami berdua se-
dang menyeberangi Vondelpark, di sebuah awal musim panas.
Orang-orang berbaring atau duduk membaca di bawah pohon, di
atas rumput. Dua pemuda Cina sedang membuat sketsa. Seorang
hitam memukul perkusi, sendirian.
Teman saya tak memperhatikan itu semua. Ia hanya berkata,
se­perti kepada dirinya sendiri: ”Beda—itu perkara besar pada za-
man kita. Terutama karena beda tak lagi dilihat dari luar, dari ku-
lit tubuh dan pakaian, tapi dari dalam, dari iman.”
Saya coba membantah. ”Surat adikmu menunjukkan bahwa­
itu bukan hanya perkara besar buat zaman kita. Itu sudah se­de­
mi­kian penting dan sedemikian genting sejak manusia mengenal
agama-agama.”
”Betul. Tapi pada zaman ini perkara itu tak hanya persoalan
lo­kal. Iman jadi penggerak antagonisme di mana-mana di dunia.
Terus terang saya tak tahu apa desain Tuhan sebenarnya dengan
manusia. Beda adalah sesuatu yang Ia kehendaki. Iman adalah
sesuatu yang Ia kehendaki. Tapi permusuhan?”
Iman: antagonisme? Atau iman sama dengan perisai pelin­
dung­—yang juga berarti suatu kekuatan yang bertolak dari
asum­si bahwa kehidupan beragama adalah semacam perang?
http://facebook.com/indonesiapustaka

Saya ingat, seraya bercakap-cakap itu kami berjalan ke arah


hal­te trem di tepi kanal. Saya ingat, saya mendengar suara jeng­
kerik­di sebuah semak. Tiba-tiba teman saya berkata, ”Me­ngapa
kita ha­rus memakai perisai?”

206 Catatan Pinggir 9


GUA

Saya diam tak tahu apa yang dimaksudkannya.


”Surat adik saya itu,” katanya. ”Surat itu mengingatkan saya
akan cerita yang saya dengar ketika saya anak-anak. Rasulullah
ber­sembunyi di gua itu, ketika orang-orang Quraisy mencarinya
untuk dibinasakan. Mereka tak curiga bahwa di dalamnya Mu-
hammad putra Abdullah bersembunyi, sebab di pintu gua itu Tu-
han meletakkan seekor laba-laba, yang menyusun jaringnya, dan
dengan begitu membuat sebuah kamuflase: gua itu tak dimasuki
siapa pun.”
Bukankah itu sesuatu yang inspiratif, tanya teman saya itu.
Apa yang inspiratif?
Laba-laba, katanya pula. Dari cerita itu kita tahu, tak salah bi­
la­kita melihat dunia di luar itu dengan sadar, bahwa yang memi­
sahkan ”kita” dengan ”mereka” cukup benang-benang tipis laba-
la­ba. Bukan pintu besi sebuah benteng. Bukan sebuah tameng.
Ba­­tas itu mengubah sikap antagonistis dengan sikap tabah,
meng­­ubah yang agresif ke luar dengan yang tenang dan yakin da­
lam batin.
Tentu. Mereka yang agresif dan penuh kekuatan tak dengan
sen­dirinya akan berhenti. Batas itu memang bisa dikoyak dengan
gampang; laba-laba itu makhluk yang lemah. Tapi bukankah ki­
sah Rasulullah itu juga mengajari kita bahwa tiap iman punya
gua­nya sendiri? Dan gua itu tak akan terjangkau bahkan oleh ke-
bengisan apa pun?
Saya termenung. Saya dengar lagi suara jengkerik. Saya pun
ingat serangga yang gampang terinjak, burung yang gampang di­
usir, semut yang gampang dibasmi, juga laba-laba yang mudah­
diterjang. Betapa rapuh. Tapi mereka punya ruang sendiri, mung-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kin gua, mungkin liang, mungkin sarang, yang mengandung ra-


hasia—sebagai bagian dari desain Tuhan yang juga sebuah raha-
sia.
Tempo, 29 Juni 2008

Catatan Pinggir 9 207


http://facebook.com/indonesiapustaka

208
Catatan Pinggir 9
DD

O
rang kelahiran Pasuruan itu selalu mengingatkan sa­
ya apa arti sebuah tanah air. Ia Ernest François Eugene
Douwes Dekker. Ia mengingatkan apa arti Indone­sia
ba­­gi saya.
Sekitar akhir Juli 1913 ia disekap di sebuah penjara di Jakarta
Pusat. Waktu itu umurnya 33 tahun. Pemerintah kolonial me­nu­
duhnya telah ”membangkitkan rasa benci dan penghinaan terha-
dap pemerintah Belanda dan Hindia Belanda”. Tuduhan itu tak
be­nar; tapi ia memang tak menyukai kekuasaan itu, yang, seperti
dikatakannya kepada para hakim kolonial, bertakhta ”di negeri
kami ini, di bumi orang-orang yang tak menikmati kebebasan”.
Dari sebuah berita acara yang bertanggal 11 Agustus kita tahu
apa yang ia perbuat sebenarnya. Partai politik yang didirikannya,
”Indische Partij”, tak diakui sebagai badan hukum. Tapi Douwes
Dekker terus menulis dalam surat kabar De Expres dan lain-lain
sejumlah artikel yang oleh Residen Betawi, yang menginterogasi­
nya hari itu, dianggap ”melanjutkan membuat propaganda” ten-
tang cita-cita partai itu.
Tapi dapatkah itu dielakkan? Dalam sebuah memori pembela­
an Douwes Dekker menjawab: ”Adakah kemungkinan saya tak
la­gi berbuat propaganda? Apakah hati seseorang ibarat jas luar
yang dapat sesuka hati dipakai atau disimpan...? Tidakkah sese­
orang akan merupakan propaganda bagi dirinya sendiri selama ia
hidup?”
”Saya tak dapat berbuat lain.... Kecuali saya dalam sebuah to­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ko barang loakan dapat memperoleh watak yang sudah usang, se-


mangat yang telah luntur, dan kedok yang kelihatannya tak me­
ngerikan.”
Kalimat itu menggugah, meskipun bukan bagian sebuah pro-

Catatan Pinggir 9 209


DD

sa yang gemilang. Douwes Dekker ini bukan Douwes Dekker


yang lebih termasyhur, yang terbilang masih kakeknya: penulis
Max Havelaar yang memakai nama samaran Multatuli. Douwes
Dekker dari Pasuruan ini bahkan agak enggan dikaitkan dengan
sang kakek.
Dalam biografi yang ditulis Paul W. Van der Veur, The Lion
and­the Gadfly (KITLV Press, 2006)—sebuah buku yang layak­
dibaca orang Indonesia—dapat kita temukan rasa enggannya.
”Me­ngapa saya dibandingkan dengan Multatuli?” Ia merasa itu
tak adil. Eduard Douwes Dekker, sang Multatuli, ”seorang sas-
trawan cemerlang”. Sedangkan dia, Ernest François Eugene, ”cu­
ma seorang jurnalis rata-rata”.
Lagi pula, katanya pula, ”Multatuli seorang Belanda....”
Jika Multatuli ”orang Belanda”, orang apakah Ernest, yang
oleh Van der Veur disebut ”DD”? Yang jelas, ia Indo. Ia lahir pada
8 Oktober 1879, anak ketiga dan putra kedua Auguste Henri
Edou­ard Douwes Dekker dan Louisa Margaretha Neumann.
Ibu­nya putri seorang Jerman yang kawin dengan seorang wanita
Jawa.
Posisi seorang Indo cukup galau masa itu. Dalam ”negara tak­
sonomi” (istilah Ann Laura Stoler, dalam telaahnya tentang ke­
kuasaan dan klasifikasi sosial di Hindia Belanda) seorang Indo
akhirnya tak diterima oleh mereka yang mengagungkan yang
”asli” dan ”murni”. Orang Indo, kata DD, adalah ”makhluk yang
nestapa”.
Tapi justru sebab itu DD bisa berdiri memandang ”negara tak-
sonomi” dengan hati kesal dan mata nyalang: ia tahu, taksonomi
manusia adalah laku yang sewenang-wenang.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Maka ia bisa cepat merasakan ketidakadilan dengan tajam.


Pada pertengahan 1898 ia selesai sekolah menengah dan bekerja
di perkebunan kopi Soember Doeren, di lereng selatan Gunung
Semeru, Jawa Timur. Ia akrab dengan para buruh. Seorang kuli

210 Catatan Pinggir 9


DD

tua pernah mengatakan kepadanya, ”Tuan muda, tuan memper-


lakukan kami sebagai manusia.” Tapi majikannya menilai DD
tak selamanya tahu bagaimana ”membuat batas”.
Ia pun berhenti bekerja. Ia pindah ke pabrik gula Padjarakan
di dekat Probolinggo. Pada masa itu di Jawa selalu ada sengketa
pembagian air irigasi antara pabrik gula dan para petani di seki-
tarnya. Ketika DD menemukan bahwa Padjarakan merebut hak
petani, ia menyatakan itu kepada atasannya. Ia diperingatkan.
Dari sini ia juga berhenti.
Mungkin juga karena ibunya, yang amat dicintainya, wafat.
Dalam keadaan kehilangan, ia memutuskan meninggalkan
Hindia Belanda: ia bergabung dalam sukarelawan untuk Perang
Boer di Afrika Selatan, yang pecah pada awal abad ke-20 itu, ke-
tika orang keturunan Belanda bertempur melawan ekspansi Ing­
gris. Syahdan, Februari 1900, ia naik kapal S.S. Calédonien ke
medan perang.
Pertalian dengan yang ”Belanda” tampaknya masih kuat da­
lam diri DD pada masa itu. Dalam perjalanan ke Afrika Selatan
itu, DD berhenti di Bombay. Seperti dikutip dalam The Lion and
the Gadfly, ia begitu bahagia bertemu dengan konsul Belanda,
mendengar suara seseorang yang bicara dalam ”bahasa Belanda
murni” di depan potret ”Ratu Belanda yang tercinta”.
Tapi dalam perang itu DD tertangkap pasukan Inggris. Ia di­
buang ke Sri Lanka. Pada 1903, ia kembali ke Jawa—tapi dengan
sikap yang makin berjarak, dan akhirnya sengit, menyaksikan
ke­serakahan Belanda. Pada 1904 ia menulis: rakyat Jawa diram-
pok; pada 1908 ia menulis: api besar yang membakar desa-desa
Aceh telah membuat terang ”kebangkrutan moral Kristiani” pe­
http://facebook.com/indonesiapustaka

me­rintah kolonial.
Akhirnya kita tahu, DD bergerak. Rumahnya di Jakarta jadi
tempat para mahasiswa STOVIA berkunjung—para pemuda
yang di asrama mereka gemar menyanyikan lagu Revolusi Pran-

Catatan Pinggir 9 211


DD

cis: semangat untuk kemerdekaan, persamaan, persaudaraan.


Ketika dua aktivis asal STOVIA, Suwardi Suryaningrat dan Cip-
to Mangunkusumo, ditangkap pemerintah kolonial, DD menu-
lis: kedua sahabatnya itu, dengan sikap perkasa yang tak bisa ”di-
taklukkan di dalam penjara”, telah ”mempersatukan kita semua”.
Dari sanalah Indonesia lahir. Indonesia adalah sebuah sejarah
kerja ke masa depan yang berharga bukan untuk diri sendiri—
dan dengan demikian memberi makna bagi hidup kita. Indone-
sia adalah sebuah sejarah harapan dan pengorbanan—dari orang
yang berbeda-beda, bagi orang yang berbeda-beda. Cipto dan Su-
wardi dibuang, dan DD menulis: ”Anak-anak berkulit cokelat
dan putih... akan menaburkan bunga di atas jalan yang mereka
berdua lalui.”

Tempo, 6 Juli 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

212 Catatan Pinggir 9


MIKROPOLITIK

—untuk Rahman Tolleng, pada ulang tahun ke-70

S
oal paling serius dalam politik hari ini adalah harapan.
Haruskah kita terus berjuang dalam politik untuk per­
ubah­an, ketika hampir semua hal sudah diucapkan secara
terbuka, tapi Indonesia hanya berubah beberapa senti? Atau begi-
tukah nasib dunia: sejarah adalah repetisi kesalahan yang tak kita
sadari? Atau sejarah sebenarnya tak punya tujuan, apa pun yang
dikatakan Hegel dan Marx?
Rahman Tolleng kini 70 tahun: ia mungkin tak akan menja-
wab pertanyaan di atas. Tapi ia saksi yang bisa menunjukkan, ka-
laupun sejarah hanya sebuah cerita acak-acakan, tak berarti ia sia-
sia. Kalaupun akal budi tak kunjung menang, seperti dicitakan
He­gel, tak berarti manusia takluk. Kalaupun kebebasan tak ber-
hasil terbentang penuh di dunia, seperti diperhitungkan Marx,
tak berarti ia tak layak diperjuangkan.
Entah mengapa, selalu ada orang-orang yang bersedia bekerja
un­tuk menjaga agar sejarah, yang tujuannya tak jelas, tak berge­
rak­­ jadi arus yang berakhir dengan pembinasaan—khususnya
pem­binasaan mereka yang tak berdaya.
Pada 1 Juni yang lalu saya bertemu Rahman Tolleng di hala­
man­ depan Galeri Nasional, Jakarta. Orang-orang, termasuk
anak-anak, berkumpul di sana. Mereka menghindar dari Taman
Monumen Nasional, setelah sejumlah orang dari mereka yang se-
dang akan memeriahkan Hari Lahir Pancasila diserbu dan dipu-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kuli sampai berdarah-darah oleh sepasukan orang seakan-akan


hen­dak menunjukkan, ”Kami Islam, sebab itu Kami berhak me­
mukul!”
Hari itu Rahman di tengah orang-orang yang dipukuli itu. Ia

Catatan Pinggir 9 213


MIKROPOLITIK

tak kelihatan letih. Ini tahun 2008.


Saya coba mengingat, kapan saya bertemu pertama kali de-
ngan dia. Mungkin pada 1962. Seingat saya, ia muncul di hala-
man sebuah hotel besar di Bandung yang lampunya hanya sete­
ngah­menerangi ruang. Kami diperkenalkan oleh seorang teman.
Saya mahasiswa baru dari Jakarta. Ia sudah aktivis terkemuka
Ge­rakan Mahasiswa Sosialis di Bandung. Tahun-tahun itu ia ha-
rus setengah bersembunyi—terutama karena ia tak mau dibung-
kam. GMSOS organisasi yang dekat rapat dengan Partai Sosialis­
Indonesia yang dilarang Presiden Sukarno. Para pemimpinnya
di­penjarakan.
Setelah itu saya jarang sekali melihatnya. Beberapa orang te-
man, antara lain Soe Hok Gie (ia juga aktivis GMSOS), memberi
tahu saya bahwa Rahman terus menghimpun dan memproduksi­
tulisan yang diam-diam diedarkan dan didiskusikan di antara
ma­­hasiswa di Bandung. Ketika pada 1966 mahasiswa di Ban­dung­
dan Jakarta turun ke jalan, mengguncang ”demokrasi terpimpin”
yang melahirkan otokrasi, Rahman tak lagi bersembunyi.­Ia me-
mimpin mingguan Mahasiswa Indonesia.
Dari sini pula saya menduga apa gerangan yang menyebabkan­
ia bergerak, menulis, membentuk kelompok. Politik, baginya,
ada­lah sebuah tugas.
Tapi itu tugas yang murung, agaknya. Seperti tiap orang sege­
nerasinya, Rahman Tolleng tahu yang terjadi pada 1908 sampai
2008: gerakan antikolonial yang terkadang menyempit jadi xeno­
fobia, revolusi yang meletus dan segera jadi Negara yang mau me­
ngen­dalikan segala hal, perubahan yang berakhir jadi teror, refor-
masi yang melambungkan harapan tapi segera kelihatan betapa
http://facebook.com/indonesiapustaka

terbatas jangkauannya. Adakah harapan?


Setelah 1998, kita berusaha percaya bahwa demokrasi konsti-
tusional, dengan parlemen yang dipilih, adalah jalan perbaikan
yang pantas dan rendah hati. Radikalisme hanya bagus buat pi­

214 Catatan Pinggir 9


MIKROPOLITIK

da­to.
Tapi kini perangai partai-partai politik mirip tikus besar-kecil
yang merusak padi di sawah kita. Atau, lebih buruk lagi, mirip­
”vampir”, seperti kata editorial Media Indonesia, pelesit yang
meng­hisap darah dari tubuh demokrasi.
Kini parlemen, pengadilan, polisi, kejaksaan, dan media nya­
ris jadi sederet bordello, di mana si kaya bisa membeli sukma dan
raga manusia. Kini suara rakyat yang diberikan kepada sang pre­
si­den seakan-akan sia-sia: sang presiden tetap tak yakin dan terus-­
menerus menunggu mandat. Kini para mahasiswa mencoba
meng­ulang heroisme angkatan sebelumnya, seakan-akan sejarah
bisa diulangi. Di manakah harapan?
Tapi siapa yang menggantungkan politik pada harapan lupa
bah­wa harapan tak pernah datang sebelum perbuatan. Siapa yang
menggantungkan politik pada harapan akhirnya hanya akan ter­
pekur, karena harapan selalu samar. Atau sebaliknya, ia akan
mem­buat harapan sebuah obat yang serba mujarab, dan mem-
bikin agenda melambung-lambung.
Dengan modal harapan semacam itu, politik justru akan ma­
ti—”politik” dalam arti the political: gerak dan gairah melawan
kebekuan yang represif.
Saya melihat ke Rahman Tolleng: politik adalah tugas, sering
murung karena fana tapi juga tak terhingga. Saya ingat anjuran
Alain Badiou: ”Dalam politik, mari kita berusaha jadi orang mili-
tan dari aksi yang terbatas”. Kita tahu dunia tak akan jadi surga;
ha­nya di surga kita bisa tahu apa yang akan kita capai. Tapi sebab
itu kita tak bisa berhenti.
Bukan karena kita Sisiphus yang perkasa. Kita bukan si sete­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ngah­ dewa yang dengan gagah menanggungkan hukuman itu:


meng­angkut batu besar ke puncak gunung, dan segera sesudah
itu akan menggelundung kembali. Kita hanya makhluk yang di-
tuntut, dipanggil, terus-menerus oleh sesuatu yang tiap saat me-

Catatan Pinggir 9 215


MIKROPOLITIK

nyatakan diri berharga. Dalam hal ini, berharga bagi harkat liyan,­
bagi liyan yang juga sesama. Simon Critchley menyebut sesuatu
yang ”infinitely demanding”, dan saya kira dengan itulah politik
adalah ”ethik” dalam perbuatan.
Di situlah ”mikropolitik” punya makna: ia ”militansi dari aksi
yang terbatas”. Ia bukan rencana mengubah semesta berdasarkan
wajah sendiri. Tapi ia tak takut kepada yang mustahil.
Dan harapan? Mungkin bukan itu soalnya. Politik bisa de-
ngan harapan, bisa tidak. Sebab ia perlawanan yang membuat
hi­dup kita—di sebuah tempat, di suatu waktu, bersama yang
lain—tak sia-sia.
Juga pada usia 70.

Tempo, 13 Juli 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

216 Catatan Pinggir 9


LA POLICE

S
yahdan, Riziq mengunjungi sebuah sekolah di Aceh,
setahun setelah Meulaboh dihancurkan tsunami. Ia diper­
silakan bicara di depan sebuah kelas yang baru dibangun
kembali. Ia senang, sebab dulu, sebelum jadi anggota DPR, ia se­
orang dosen jurus­an sastra Inggris.
Ia pun maju. Sambil mengingat bencana yang terjadi di Aceh,
ia menulis di papan tulis: T-R-A-G-E-D-I.
”Anak-anak,” katanya kepada murid-murid sekolah menengah­
itu, ”kalian tahu apa arti tragedi?”
”Tahu, Pak!” jawab para murid hampir serentak.
”Bagus! Coba beri contoh bagaimana sebuah tragedi terjadi!”
Murid A: ”Apabila seorang tua memanjat pohon mangga un-
tuk memetik sebuah buat cucunya yang sakit—tapi ia terjatuh
dan mati.”
Riziq: ”Oh, itu bukan tragedi. Itu kecelakaan.”
Murid B: ”Apabila sebuah asrama yang dihuni serombongan
olahragawan nasional kena gelombang tsunami dan semuanya
te­was.”
Riziq: ”Oh, itu bukan tragedi. Itu namanya kehilangan besar
yang menyedihkan bangsa.
Murid C: ”Apabila Bapak dan tujuh orang anggota DPR lain
terbang dengan sebuah helikopter, dan tiba-tiba pesawat tergun-
cang, terbalik, dan bapak semua jatuh ke dalam jurang.”
Riziq: ”Nah, itu yang benar—itulah contoh tragedi. T-R-A-
G-E-D-I! Coba kamu terangkan kepada teman-temanmu, kena-
http://facebook.com/indonesiapustaka

pa itu bisa disebut tragedi.”


Murid C: ”Pertama, karena itu pasti bukan kecelakaan. Ke­
dua,­karena itu pasti bukan sebuah kehilangan besar yang menye­
dihkan bangsa.”

Catatan Pinggir 9 217


LA POLICE

Satire yang mencemooh para politikus legislator macam ini


pas­ti kini mulai bermunculan. Mungkin lucu, mungkin pahit,
atau kasar, tapi semuanya sebuah gejala krisis kepercayaan yang
gawat: politik telah kehilangan makna sosialnya.
Bila beberapa orang anggota DPR ditahan karena menerima
su­ap, bila partai didirikan hanya untuk mengusung pemimpin-
nya agar jadi presiden, bila mereka yang ingin jadi presiden tak
jelas apa maunya selain mengelus-elus ego sendiri, orang Indone­
sia akan memandang ke pemilihan umum pada 2009 dengan
ang­kat bahu: apa gunanya ramai-ramai itu buatku?
Nila setitik memang membuat susu sebelanga rusak. Dari se­
kian ratus anggota DPR, tentu banyak yang tak terima suap. Pasti
ada yang rajin membahas rencana undang-undang dengan serius
dan tekun mengunjungi orang-orang yang memilih mereka, un-
tuk tahu apa yang diinginkan agar keadaan bisa lebih baik.
Tapi tampaknya tak terelakkan: persoalan besar Indonesia, sa­
tu dasawarsa setelah kembali ke demokrasi dengan pemilihan be-
bas, adalah bagaimana merawat kepercayaan bahwa pemilihan
be­bas itu diperlukan.
Tanpa kepercayaan itu, apa jadinya Indonesia? Negeri ini se-
buah bangunan dalam waktu: ia berubah, bersama penghuninya,
dengan kelemahan, kekuatan, dan harapan mereka. Semuanya
tak bisa mandek. Bila Indonesia belum berniat bunuh diri, pemi­
lih­an bebas adalah satu cara yang baik untuk mengikuti niat hi­
dup­ itu. Kalau tidak, tubuh sosial akan kaku-beku oleh usia—
dan mudah retak, bahkan patah.
Tubuh sosial itu diwakili Parlemen. Tapi dengan itu Parlemen
tak bisa menganggap diri identik dengan masyarakat: wakil ada­
http://facebook.com/indonesiapustaka

lah hanya wakil. Sementara ia tak bisa jadi tempat yang sanggup
menyelesaikan tuntas soal keadilan, ia tak bisa mengelak dari ke-
nyataan bahwa dalam tubuh sosial selalu bersembunyi apa yang
di­sebut Rancière la police: struktur yang diam-diam mengatur

218 Catatan Pinggir 9


LA POLICE

dan menegakkan tubuh itu.


La police itu (mungkin ada hubungan kata ini dengan ”polis”­
sebagai negeri dan ”polisi” sebagai penjaga ketertiban) bersifat­oli-
garkis. Tubuh sosial mengandung ketimpangan yang tak terelak-
kan; selamanya ada yang kuat dan ada yang lemah, yang mengua-
sai dan dikuasai.
Tapi yang kuat hanya kuat jika ia diakui demikian oleh yang
le­mah—meskipun dengan mengeluh dan marah. Dengan kata
lain, si kuat diam-diam mengasumsikan adanya posisi dan poten­
si si lemah untuk memberi pengakuan. Bagi Rancière, itu berarti
nun di dasar yang tak hendak diingat, ada kesetaraan di antara
kedua pihak.
Di situ kita menemukan bagaimana di sebuah negeri, polis,
hi­dup: ada la logique du tort. Ada sesuatu yang salah dan sengka-
rut ta­pi dengan begitu berlangsunglah sejarah sosial. Di dalam
”logika” itu, ketegangan terjadi, sebab hierarki yang membentuk
masyarakat justru mungkin karena mengakui kesetaraan. Kete­
gang­an dalam salah dan sengkarut itulah yang melahirkan kon-
flik, guncangan pada konsensus, dan polemik yang tak henti-
hen­tinya.
Itulah la politique: sebuah pergulatan. Ia bukan seperti aksi
ko­munikasi ala Habermas: di arena itu tak ada tujuan untuk ber-
sepakat; di medan itu yang hadir bukanlah sekadar usul dan ar-
gumen yang berseberangan, tapi tubuh dan jiwa, ”perbauran dua
dunia”, ”di mana ada subyek dan obyek yang tampak, ada yang
tidak”.
Agaknya yang tak tampak itulah yang menyebabkan la poli­
tique, atau politik sebagai perjuangan, mendapatkan makna so­
http://facebook.com/indonesiapustaka

sial.­Sebab, yang menggerakkan adalah mereka yang bukan apa-


apa, yang tak punya hakikat dan asal-usul untuk menang. Ran­
cière menyebut kata ”skandal demokrasi”: ia agaknya mau me­
nun­jukkan bahwa kehormatan para tulang punggung la police

Catatan Pinggir 9 219


LA POLICE

pada gilirannya akan diguncang oleh demos, mereka yang bukan


apa-apa itu.
Satire adalah usaha skandalisasi yang dicetuskan si lemah.
Mereka cuma bisa mengejek. Tapi, bila lelucon di atas membuat
kita prihatin, itu karena di sana tersirat sepotong harap: proses
par­lementer akan mewakili perjuangan, terutama perjuangan
me­reka yang bukan apa-apa.
Tapi itu ilusi yang terbentur. Pada akhirnya Parlemen hanya­
lah sebuah konsensus darurat. Ia penting. Tapi seperti dikatakan
Rancière: ”Konsensus mengacu kepada apa yang disensor.”
Ataukah lelucon di atas mencerminkan sesuatu yang lain?
Jangan-jangan kita menghasratkan ini: mereka yang hidup nya-
man dari konsensus dan sensor insya Allah akan jatuh ke dalam
jurang.

Tempo, 20 Juli 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

220 Catatan Pinggir 9


GERAI

M
ungkinkah Indonesia akhirnya hanya sederet
partai?
Sekitar seabad yang lalu, kita tak akan berkeberatan
dengan itu. Indische Partij, Partai Komunis, Partai Sarekat Islam,
PNI, dan lain-lain lahir. Mereka datang dengan keyakinan.
Pada masa itu, ”politik” adalah gugatan. ”Politik” adalah usa­
ha membongkar sebuah wacana yang dianggap cacat, tapi dijejal-
kan oleh mesin kekuasaan kolonial sebagai konstruksi yang final.
Menghadapi itulah ”politik” adalah ”pergerakan”.
Berarti, di dalamnya ada kehendak mengubah keadaan, ke
arah emansipasi sosial dan musnahnya ketidakadilan. Dengan
ka­ta lain, ada social imaginary: sebuah gambaran yang mengge­
rak­kan hati tentang sebuah kehidupan masyarakat yang lain, wa-
laupun gambaran itu bukan sebuah desain yang siap.
Konon, pada awal abad ke-20, di asrama mereka, para murid­
STOVIA—yang kemudian jadi bara pertama perlawanan anti­
kolonialisme—tiap malam menyanyikan lagu revolusi Prancis
de­ngan berkobar-kobar: ”Kita lawan tirani!”
Berkobar-kobar—Chantal Mouffe menyebut arti passion da­
lam politik: fantasi, hasrat, ”semua hal yang tak dapat diringkus­
jadi kepentingan dan rasionalitas”, semua hal yang membentuk­
subyektivitas manusia. Dengan catatan: ”subyektivitas” itu bu­
kan­­tentang ”aku”. Ia justru timbul karena ada sesuatu yang uni­­
ver­sal yang datang mengimbau, sesuatu yang berarti bukan cu­ma
bu­atku, tapi bagi engkau, bagi sesama, sebuah dunia yang me­
http://facebook.com/indonesiapustaka

lampaui jagat kecilku.


Dari situlah passion, atau gelora hati, terbit. Mouffe bahkan
me­­nyebut perlunya ”mobilisasi gelora hati”. Sebab politik sebuah
partai yang menganggap dirinya bagian dari pergerakan, sebuah

Catatan Pinggir 9 221


GERAI

partai dengan ”imajinari sosial” yang menggugah passion—par-


tai politik yang seperti itu bukanlah tanda nafsi-nafsi.
Justru sebaliknya: didirikan hanya segelintir orang pun—se-
perti halnya Indische Partij—partai seperti itu pada dasarnya
ingin­menjangkau liyan, mereka yang lain yang juga sesama. PNI
yang berangkat atas nama kaum ”marhaen” dan PKI yang atas
na­ma kaum buruh keduanya membayangkan sebuah masyarakat
di mana marhaen dan proletar akan lenyap, sebab tak akan ada
ke­las sosial lagi: manusia akan sama rata, sama rasa.
Tapi adakah partai yang seperti itu sekarang?
Kini sejumlah partai baru muncul bagaikan lapak dan gerai,
kios dan show-room. Inilah zaman ketika advertensi tak henti-
hen­tinya menyusupi ruang kehidupan. Inilah masa ketika hasil
ja­jak pendapat umum jadi ukuran yang lebih penting ketimbang
kebenaran, ketika penampilan yang atraktif dan riuh-rendah di
te­levisi lebih efektif ketimbang prestasi dan gagasan sosial yang
menggugah. Berangsur-angsur, dalam lapak dan gerai itu yang
le­bih menentukan bukanlah benda yang ditawarkan. Yang lebih
penting: kemasan.
Sebuah parodi yang tak disengaja naik pentas: politik jadi pe-
kan raya. Tiap tauke kios akan berusaha mendapatkan pembeli
se­banyak-banyaknya. Tapi ketegangan hanya terbatas di situ: tak
akan ada yang menggugat wacana yang mendukung (dan didu-
kung) pekan raya itu sendiri.
Jika dulu lahirnya partai politik adalah isyarat tentang apa
yang berlubang dalam situasi di mana ia lahir, kini partai berdiri
sebagai indikator sebaliknya: terbukanya peluang untuk investa-
si—yang hanya bisa dilakukan mereka dengan kekayaan yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

surplus.
Di sini memang politik tampak sebagai jalan yang aman.
Par­tai tak akan jadi pembelot. Tapi saya kira sebetulnya sebuah
frag­mentasi diam-diam berlangsung. Sebab inilah politik tanpa

222 Catatan Pinggir 9


GERAI

”ima­ji­nari sosial”, tanpa gelora hati, tanpa militansi. Inilah poli-


tik yang tak membentuk subyektivitas yang lahir karena terpang-
gil oleh yang universal.
Memang ada niat menjangkau pelanggan di mana saja, kapan
saja. Tapi ini cuma universalitas sebagai façade. Dalam percakap­
an para juru kampanye partai, seperti di kantor perdagangan,
orang bicara bukan jangkauan yang tanpa batas, melainkan ten-
tang ”segmen pasar”.
Tentu, di pekan raya, para tauke memang bisa membuat usaha
pa­tungan. Tapi pada awal dan akhirnya yang berlaku adalah ke-
masing-masing-an. Para pemilih akan datang bak konsumen. Ta­
pi sejauh mana mereka yakin? Inilah zaman ketika kita tahu bah-
wa iklan mengandung dusta tapi kita toh membiarkan diri terpi-
kat—zaman berkuasanya perangai ”akal yang sinis”, der Zynisch­
en Vernunft, dalam diagnosis Peter Sloterdijk.
Mungkin kita tak akan punya lagi gelora hati dalam politik.
Tapi kita tak bisa mengelakkan keniscayaan hadirnya partai di se-
buah demokrasi. Haruskah kita jadi ronin di luar dinding Nega-
ra? Jangan-jangan. Bagaimanapun, sebuah masyarakat tak akan
dapat mengelakkan dimensi politiknya—politik sebagai perta-
rungan: konsensus akan selalu berlubang, ketakadilan akan me-
nimbulkan jerit.
Saya masih percaya, di dalam dan di luar partai, jerit itu tak
akan jadi bisu. Akan selalu muncul mereka yang setia kepada
ge­lora hati para penggugat, segumpal subyektivitas yang terbit
dalam militansi, sujet fidèle dalam pengertian Alain Badiou.
Saya teringat pada senja 22 Juni 1996. Di satu ruang kantor­
Lembaga Bantuan Hukum di Jalan Diponegoro, Jakarta, di ba­
http://facebook.com/indonesiapustaka

wah lampu neon yang tak terang, sejumlah pemuda duduk. Ku-
rus, lusuh, tapi intens. Di leher mereka terkalung bandana merah.
Mereka memaklumkan berdirinya Partai Rakyat Demokratik,
se­buah partai kiri—ketika suasana tambah represif di bawah

Catatan Pinggir 9 223


GERAI

”Orde Baru” dan apa saja yang merah dan kiri dihabisi dan tiap
partai alternatif akan dibabat.
Di ruang itu saya duduk bersama Pramoedya Ananta Toer
me­mandangi mereka. Kami tahu, ke sana mata-mata penguasa
meng­intip, senjata disiapkan, penjara dicadangkan. Tapi anak-
anak muda tetap saja dengan upacara sederhana yang bersejarah
itu.
Bersejarah, apalagi bila dibandingkan dengan pesta kelahiran
partai-partai hari ini.

Tempo, 27 Juli 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

224 Catatan Pinggir 9


API, LAUT

B
ung Karno jadi presiden dalam usia 44. Soeharto me-
mimpin gerilya ke Kota Yogya dalam umur 26. Ali Sa-
dikin jadi gubernur ketika ia 39 tahun.
Apa yang menyebabkan keadaan seperti itu kini tak terjadi
lagi? Kenapa kini, pada awal abad ke-21 ini, sejumlah orang harus
berteriak, seakan-akan mendesakkan yang tak lumrah, memberi-
takan yang tak lazim, bahwa mereka yang masih muda bisa jadi
pemimpin?
Memang ganjil, sebenarnya. Indonesia belum tua benar.
Enam puluh tiga tahun adalah waktu yang pendek bahkan da­
lam tarikh kepulauan ini sendiri. Tapi rupanya sesuatu terjadi:
kini Indonesia tak berada dalam sebuah krisis dan lebih dari itu,
kini kita telah terbiasa gentar untuk krisis.
Tak ada lagi tanah longsor politik, yang menyebabkan lemba­
ga-lembaga yang ada retak atau runtuh. Tak ada celah tempat
munculnya sesuatu yang baru sama sekali. Tak ada awal yang se­
akan-akan murni dan sepenuhnya awal. Kita bisa bernapas lega.
Tapi jangan-jangan kita sebenarnya sedang tidak benar-benar
bernapas.
Sebab, seperti dialami Indonesia pada tahun-tahun revolusi—
dari 1945 sampai 1949—dari retakan tanah longsor itulah, ke-
tika sejarah bagaikan dipenggal, bisa lahir pemimpin yang justru­
jadi penting karena ia tak punya masa lalu. Bukan kebetulan Be­
ne­dict Anderson menyebut masa itu masa ”Revolusi Pemuda”:
yang muda tak hanya berada di garis depan yang menghela maju,
http://facebook.com/indonesiapustaka

tapi juga di belakang, jadi pendorong.


Gemuruh itu menemukan jejaknya, dengan sedikit mencong-
mencong, dalam organisasi-organisasi pemuda. Ada Gerakan Pe­
muda Marhaen, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Pemuda Rak­

Catatan Pinggir 9 225


API, LAUT

yat, Pemuda Sosialis, Pemuda Ansor—dan pada 1958 sampai


1966, sebagian dari ”gerakan” itu disingkirkan dan sebagian di-
hidupkan kembali, sebuah tanda bahwa sesuatu sedang guncang
di masa itu.
Pada 1958, Bung Karno menyebut tema ”Manifesto Politik”
yang dimaklumkannya ”penemuan kembali revolusi kita”. Sam-
pai 1965, kata ”revolusi” jadi sakti kembali. Tak berarti masa itu
adalah masa yang seluruhnya layak dirindukan kembali: ”revolu-
si”, walaupun dalam bentuk separuh retorika belaka, punya kor­
ban­nya sendiri. Tapi ada yang kuat di sana, dan suasana seperti
ma­tang kembali, berseru, seperti Chairil Anwar berseru:

Ayo Bung Karno, kasi tangan mari kita bikin janji


Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang di atas apimu, digarami lautmu

Kemudian datang 1965-1966: api itu membakar, laut itu


meng­hantam, ke sana-kemari, dan dari arang dan puing Indone-
sia berpegang erat-erat, dengan rasa takut dan paranoia, sebuah
ke­adaan yang disebut ”stabilitas”. Gemuruh dan gejolak dicegah.
Revolusi digantikan Kontrarevolusi. Lembaga-lembaga diku­
kuh­kan. Sistem dan prosedur dimantapkan.
Dalam keadaan itu, yang muda tak bisa lagi berkata, seperti
Chairil berkata, ”aku sekarang api, aku sekarang laut”. Berang-
sur-angsur, yang muda jadi bagian penopang bangunan yang di­
dirikan dan diberi nama ”Orde Baru”: jadi paku, sekrup, dan pe-
nyangga—hal-hal yang tak bisa mengguncang, bahkan diada-
kan buat melawan guncangan. Para pemuda bukan lagi bergerak,
http://facebook.com/indonesiapustaka

melainkan harus antre dengan tertib. ”Orde Baru” adalah sebuah


masa ketika kita praktis tak mendengar lagi kata ”pemuda” seba­
gai yang terkait dengan gerakan. Kita tak mendengar dengus na­
pasnya.

226 Catatan Pinggir 9


API, LAUT

Politik memang mati pada masa itu. Kini, sejak 1998, ia me-
mang hidup kembali, tapi tiap ”Reformasi”—bahkan sebenar­
nya juga tiap Revolusi—tak hanya mengandalkan sisi destruktif­
dari sikap menampik. ”Reformasi” tak hanya terdiri dari sisi yang
merusak dari ”negasi”. Tiap ”Reformasi” mengandung sisi yang
”afirmatif”. Tiap ”Reformasi” menunjukkan kemungkinan la-
hirnya tatanan baru yang sebenarnya bukan sebuah awal yang be­
nar-benar awal.
Tapi dengan demikian ”Reformasi” mengandung kemung­
kin­­an berubahnya tatanan itu jadi kontra-reformasi. Ada satu
frag­men dari sajak Pier Paolo Pasolini, Vittoria, yang pernah di-
kutip Alain Badiou—sebuah sajak yang dimulai dengan kalimat­
yang muram, ”semua politik adalah Realpolitik”. Dari sini kita
temukan gambaran yang murung: pasukan anak muda yang te­
lah gugur, yang datang kembali dan menunggu. Tak mustahil bi­
la ”ayah mereka, pemimpin mereka, terlibat habis dalam sebuah
debat yang misterius dengan Kekuasaan”. Tak mustahil bila sang
ayah akan meninggalkan mereka, ”di pegunungan putih, di lem-
bah yang anteng...”.
Tak mustahil—bahkan itulah yang terjadi kini. Politik hidup­
kembali, tapi tampaknya anak-anak muda telah ditinggalkan.
Sepuluh tahun setelah Reformasi, tetap tak ada tampak gerakan
pemuda dalam radar politik Indonesia. Partai-partai yang kini si-
buk tak henti-hentinya terlibat dalam ”debat yang misterius de-
ngan Kekuasaan” dan ke luar dari sana dengan tubuh yang ge-
muk tapi tua.
Tubuh itu tampak tua tentu saja karena Megawati, dalam
umur 61, tetap ingin jadi presiden sekali lagi. Juga karena Abdur­
http://facebook.com/indonesiapustaka

rahman Wahid, 68 tahun, belum hendak melepaskan niatnya


buat kembali jadi kepala negara. Tapi bukan hanya itu soalnya.
Ke­tuaan itu terasa ketika partai-partai memang tidak dimaksud-
kan untuk jadi ”api” dan ”laut”—kekuatan yang bisa destruktif

Catatan Pinggir 9 227


API, LAUT

tapi juga bisa menggerakkan perubahan.


Buat sebuah perubahan sosial, mereka yang tak terikat masa
lalu—para pemuda—diperlukan di depan, sebagai penghela dan
pendorong. Tapi jika kini kita tak melihat mereka, itu karena par-
tai hanya jadi sebuah tempat pengawet, berangkat dari keinginan
untuk kembali, bukan untuk sebuah gerakan maju.

Tempo, 3 Agustus 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

228 Catatan Pinggir 9


EL CAMBIO

A
khirnya, Obama kembali ke dalam kisah yang biasa:
sejarah politik adalah sejarah kembang api.
Pada suatu hari yang gelap, sebuah partai atau seorang
tokoh politik dengan cepat terlontar bercahaya ke angkasa, bak
bintang luncur dengan suara riuh. Tapi tak lama kemudian, ia tak
tampak. Ia malah mungkin jatuh sebagai arang yang getas.
Ketika Obama masuk ke gelanggang persaingan untuk jadi ca­
lon presiden, ia seperti kembang api. Ia berseru, Change!—dan se-
bagai orang kulit berwarna pertama dalam posisi itu sejak Ameri-
ka berdiri pada abad ke-18, ia seakan-akan pengejawantahan­
”per­ubahan” itu sendiri.
Tapi benarkah? Waktunya memang tepat. Amerika Serikat ki­
ni dalam titik terburuk. Presiden Bush hanya bisa mengulang ka­
ta-kata klise untuk kebijakan yang kuno dan keliru: jingoisme ala
Perang Dingin, paranoia politik ala tahun 1950-an, dan ekono­mi
pasar yang memproduksi pengangguran seakan-akan John May-
nard Keynes belum lahir. Perang ”antiterorisme”-nya gagal me­
nye­top bom yang diledakkan dengan pekik ”anti-Amerika”. Pe­
rang­Irak-nya berangkat dengan kebohongan besar dan berlanjut
tan­pa diketahui kapan selesai. Amerika tak lagi punya wibawa
moral dalam perjuangan demokrasi: ia melanggar hak asasi ma-
nusia tanpa malu-malu bertahun-tahun di Guantanamo.
Dengan latar seperti itu, Obama menggugah. Tapi benar dah-
syatkah ”perubahan” yang disuarakannya?
Demokrasi adalah sistem dengan rem tersendiri—juga ketika
http://facebook.com/indonesiapustaka

keadaan buruk dan harus dijebol. Pemilihan umum adalah mesin­


yang mengikuti statistik. Tiap pemungutan suara terkurung da­
lam ”kurva lonceng”: sebagian besar orang tak menghendaki per­
ubahan yang ”ekstrem”. Statistik menunjukkan ada semacam

Catatan Pinggir 9 229


EL CAMBIO

tendensi bersama untuk tak memilih hal yang mengguncang-


gun­cang. Terutama di masyarakat yang melihat diri sendiri de-
ngan puas dan menyanyi God Bless America tanpa jemu. Statistik
itu status quo.
Dalam haribaan ”kurva lonceng”, Obama jinak. Ia tak akan
ber­sedia mengubah politik Amerika dengan yang baru yang
meng­gebrak. Akan sulit kita menemukan perbedaan pandang­an­
nya tentang Palestina dari posisi Bush. Ia, yang harus mencari­du-
kungan lobi Israel di Amerika, tak akan nekat bilang akan meng­
ajak Hamas ke meja perundingan. Ia tak akan berani menam­
pik­sepenuhnya hak orang Amerika memiliki senjata api pribadi,
meskipun korban kekerasan di negeri itu tak kunjung reda. Ia tak
akan bertekad mengubah sikap orang Amerika yang cenderung
memandang perang sebagai kegagahan patriotik, bukan keke­
jam­an.
Seraya bersaing ketat dengan McCain, ia—yang memprokla-
masikan diri sebagai pemersatu Amerika, negarawan yang akan
menyembuhkan negeri yang terbelah antara ”biru” dan ”me­
rah”—akan tampil sebagai si pembangun konsensus.
Tapi konsensus tak akan mudah jadi wadah bagi the audaci­
ty of hope. Saya teringat Spanyol pada 1982, ketika kediktatoran
Franco sedang digantikan dengan demokrasi yang gandrung per­
ubahan. Felipe Gonzáles Márquez, waktu itu 40 tahun, memikat
seluruh negeri. Partai Sosialisnya menawarkan lambang kepalan
tangan yang yakin dan mawar merah yang segar. Semboyannya:
Por El Cambio. Ia menang. Ia bahkan memimpin Spanyol sampai
empat masa jabatan. Tapi berangsur-angsur, partai yang berang-
kat dari semangat kelas buruh yang radikal itu kian dekat dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

kalangan uang dan modal. Di bawah kepemimpinan Gonzáles,


Spanyol jadi anggota NATO dan mendukung Amerika dalam
Pe­rang Teluk 1991. Politik jadi biasa-biasa saja. Sebagai tanda ba­
gaimana demokrasi tak menginginkan yang luar biasa, Partai So-

230 Catatan Pinggir 9


EL CAMBIO

sialis menang berturut-turut. Kini orang melucu dengan menga­


takan, kata cambio (”perubahan”) berakhir di kios Cambio, pe-
nukaran mata uang.
Mungkin itu indikasi bahwa ”perubahan” pada akhirnya ha­
rus­dibatasi oleh sinkronisasi pengalaman orang ramai dan diatur
oleh logika toko serba ada. Tiap kampanye politik kian mirip de-
ngan advertensi makanan-cepat saji: kita tak tahu persis apa beda
isi daging McDonald’s dan Burger King; kita hanya menikmati­
nya­karena melihat banyak orang merasa menikmatinya; dan kita
pun merasa kenyang dan sedikit keren.
Itulah haribaan ”kurva lonceng”—di mana tiap Obama
akhir­nya akan turun dari ketinggian gemebyar kembang api. Da­
lam arti tertentu ia bintang. Tapi ia seperti planet mati: bercaha­
ya, jika dilihat dari jauh. Dari dekat, ia bukan lagi sebuah otori­
tas. Kehidupan politik yang melahirkannya kehilangan greget
yang subyektif. Keberanian disimpan dalam laci.
Dengan kata lain, kita hidup dalam masa ”pasca-politik”, se-
perti kata Agamben. Dengan tontonan yang digelar oleh dan le­
wat­media massa, satu kenyataan telah disamarkan: tiap orang te­
lah jadi obyek ”biopolitik”. ”Cacah jiwa” berubah jadi ”cacah ba­
dan”; dengan itu seorang warga dikemas dan dikelola administra-
si negara, jadi satuan yang diperlakukan ”sekadar hidup”.
Tentu, ada yang dilebih-lebihkan dalam diagnosis sosial ala
Agamben. Tapi itu indikasi bahwa kita kini perlu memikirkan
lagi bagaimana menghadapi demokrasi.
Kita bisa memilih bersikap pragmatis: kita terima cacat de-
mokrasi sebagai yang tak terelakkan dan kita manfaatkan kele-
bihannya. Sikap pragmatis bisa menenangkan hati, tapi ia akan
http://facebook.com/indonesiapustaka

mudah menghalalkan penyumbatan darah dalam tubuh sosial.


Artinya akan tertutup luka dan sakit, dan akan tersingkir hasrat,
harapan, dan imajinasi yang berani menuntut sesuatu yang radi-
kal.

Catatan Pinggir 9 231


EL CAMBIO

Sebab sejarah politik sebenarnya tak selalu hanya sejarah kem-


bang api. Kita bahkan bisa membacanya sebagai perjalanan an-
tariksa dalam kisah Star Trek yang belum pernah ditulis: penjela-
jahan mendapatkan Ratu Adil dalam ketak-berhinggaan semes-
ta. Kita yakin kita akan menemuinya, seraya berusaha mengerti
kenapa Kafka berkata: ”Sang Juru Selamat hanya akan datang
ketika ia tak dibutuhkan lagi”.

Tempo, 10 Agustus 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

232 Catatan Pinggir 9


TAN MALAKA, SEJAK AGUSTUS ITU

S
AYA bisa bayangkan pagi hari 17 Agustus 1945 itu, di ha­
laman sebuah rumah di Jalan Pegangsaan, Jakarta: men­
jelang pukul 09:00, semua yang hadir tahu, mereka akan
melakukan sesuatu yang luar biasa.
Hari itu memang ada yang menerobos dan ada yang runtuh.
Yang runtuh bukan sebuah kekuasaan politik; Hindia Belanda
su­dah tak ada, otoritas pendudukan Jepang yang menggantikan-
nya baru saja kalah. Yang ambruk sebuah wacana.
Sebuah wacana adalah sebuah bangunan perumusan. Tapi
yang berfungsi di sini bukan sekadar bahasa dan lambang. Se-
buah wacana dibangun dan ditopang kekuasaan, dan sebaliknya
membangun serta menopang kekuasaan itu. Ia mencengkeram.
Kita takluk dan bahkan takzim kepadanya. Sebelum 17 Agustus­
1945, ia membuat ribuan manusia tak mampu menyebut diri de-
ngan suara penuh, ”kami, bangsa Indonesia”—apalagi sebuah
”kami” yang bisa ”menyatakan kemerdekaan”.
Agustus itu memang sebuah revolusi, jika revolusi, seperti ka­
ta Bung Karno, adalah ”menjebol dan membangun”. Wacana ko-
lonial yang menguasai penghuni wilayah yang disebut ”Hindia
Belanda” jebol, berantakan. Dan ”kami, bangsa Indonesia” kian
menegaskan diri.
Sebulan kemudian, 19 September 1945, dari pelbagai penjuru
orang mara berduyun menghendaki satu rapat akbar untuk me­
ne­­gaskan ”kemerdekaan” mereka, ”Indonesia” mereka. Bahkan
pe­nguasa militer Jepang tak berdaya menahan pernyataan politik
http://facebook.com/indonesiapustaka

orang ramai di Lapangan Ikada itu.


Dua tahun kemudian, meletus pertempuran yang nekat, se­
ngit,­dan penuh korban, ketika ratusan pemuda melawan kekuat­
an militer Belanda yang hendak membuat negeri ini ”Hindia Be-

Catatan Pinggir 9 233


TAN MALAKA, SEJAK AGUSTUS ITU

landa” kembali. Dari medan perang itu Pramoedya Ananta Toer


mencatat dalam Di Tepi Kali Bekasi: sebuah revolusi besar sedang
terjadi, ”revolusi jiwa—dari jiwa jajahan dan hamba menjadi jiwa
merdeka...”.
Walhasil, sebuah subyek (”jiwa merdeka”) lahir. Agaknya itu-
lah makna dari mereka yang gugur, terbaring, tinggal jadi ”tu-
lang yang berserakan, antara Krawang dan Bekasi”, seperti dise-
but dalam sajak Chairil Anwar yang semua kita hafal. Subyek la-
hir sebagai sebuah laku yang ”sekali berarti/sudah itu mati”, un-
tuk memakai kata-kata Chairil lagi dari sajak yang lain. Sebab
subyek dalam revolusi adalah sebuah tindakan heroik, bukan
seorang hero.
Dalam hal ini Tan Malaka benar: ”Revolusi bukanlah suatu
pendapatan otak yang luar biasa, bukan hasil persediaan yang
jem­polan dan bukan lahir atas perintah seorang manusia yang
luar biasa.”
Tan Malaka menulis kalimat itu dalam Aksi Massa yang terbit
pada 1926. Dua puluh tahun kemudian memang terbukti bahwa,
seperti dikatakannya pula, ”Revolusi timbul dengan sendirinya
sebagai hasil dari berbagai keadaan.”
Itulah Revolusi Agustus.
Tapi kemudian tampak betapa tak mudahnya memisahkan
perbuatan yang heroik dari sang X yang berbuat, yang terkadang
disambut sebagai ”hero” atau ”pelopor”. Sebab tiap revolusi dige­
rak­kan oleh sebuah atau sederet pilihan + keputusan, dan tiap
ke­putusan selalu diambil oleh satu orang atau lebih. Dan ketika
revolusi hendak jadi perubahan yang berkelanjutan, ia butuh di-
tentukan oleh satu agenda. Ia juga akan dibentuk oleh satu pusat
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang mengarahkan proses untuk melaksanakan agenda itu.


Sekitar seperempat abad setelah 1945, Bung Karno, yang ingin­
menegaskan bahwa Revolusi Agustus ”belum selesai”, meng­
utarakan sebuah rumus. Ia sebut ”Re-So-Pim”: Revolusi-Sosial-

234 Catatan Pinggir 9


TAN MALAKA, SEJAK AGUSTUS ITU

isme-Pimpinan. Bagi Bung Karno, revolusi Indonesia mesti pu-


nya arah, punya ”teori”, yakni sosialisme, dan arah itu ditentukan
oleh pimpinan, yakni ”Pemimpin Besar Revolusi”.
Tan Malaka tak punya rumus seperti itu. Tapi ia tetap seorang
Marxis-Leninis yang yakin akan perlunya ”satu partai yang revo­
lu­sioner”, yang bila berhubungan baik dengan rakyat banyak
akan punya peran ”pimpinan”.
Bahwa ia percaya kepada revolusi yang ”timbul dengan sendi­
ri­nya”, hasil dari ”berbagai keadaan”, menunjukkan bagaimana
ia, seperti hampir tiap Marxis-Leninis, berada di antara dua sisi
di­alektika: di satu sisi, perlunya ”teori” atau ”kesadaran” tentang
re­volusi sosialis; di sisi lain, perlunya (dalam kata-kata Tan Mala­
ka) ”pengupasan yang cocok betul atas masyarakat Indonesia”.
Di situ, ada ambiguitas. Tapi ambiguitas itu agaknya selalu
menghantui agenda perubahan yang radikal ke arah pembebasan
Indonesia.
***
Tak begitu jelas, apa yang dikerjakan Tan Malaka pada Agus-
tus 1945. Yang bisa saya ikuti adalah yang terjadi sejak proklamasi
kemerdekaan bergaung.
Beberapa pekan setelah 17 Agustus 1945, di Serang, wilayah
Ban­ten, Tan Malaka bertemu dengan Sjahrir. Mungkin itulah­
buat pertama kalinya tokoh kiri radikal di bawah tanah itu be­
rem­bug dengan sang tokoh sosial demokrat. Tan Malaka dan
Sjah­rir secara ideologis berseberangan; seperti halnya tiap Marx-
is-Leninis, Tan Malaka menganggap seorang sosial-demokrat se-
jenis Yudas.
Tapi seperti dituturkan kembali oleh Abu Bakar Lubis—
http://facebook.com/indonesiapustaka

orang yang menyatakan pernah dapat perintah Presiden Sukar-


no untuk menangkap Tan Malaka—dalam pertemuan di Serang
itu Tan Malaka mengajak Sjahrir untuk bersama-sama menying­
kirkan Sukarno sebagai pemimpin revolusi. Menurut cerita yang

Catatan Pinggir 9 235


TAN MALAKA, SEJAK AGUSTUS ITU

di­peroleh A.B. Lubis pula, Sjahrir menjawab: jika Tan Malaka


bisa menunjukkan pengaruhnya sebesar 5 persen saja dari penga­
ruh Sukarno di kalangan rakyat, Sjahrir akan ikut bersekutu.
Ada sikap meremehkan dalam kata-kata Sjahrir itu. Konon ia
juga menasihati agar Tan Malaka berkeliling Jawa untuk melihat
keadaan lebih dulu sebelum ambil sikap.
Jika benar penuturan A.B. Lubis (saya baca dalam versi Ing-
gris, dalam jurnal Indonesia, April 1992), pertemuan di Serang
itu lebih berupa sebuah perselisihan: sang ”radikal” tak cocok de-
ngan sang ”pragmatis”.
Tan Malaka tampaknya hendak menjalankan tesis Trotsky
ten­tang ”revolusi terus-menerus”. Bagi Trotsky, di sebuah negeri
se­perti Rusia dan Indonesia—yang tak punya kelas borjuasi yang
kuat—revolusi sosialis harus berlangsung tanpa jeda. Trotsky tak
se­tuju dengan teori bahwa dalam masyarakat seperti Rusia dan
Indonesia revolusi berlangsung dalam dua tahap: pertama, tahap
”borjuis” dan ”demokratis”; kedua, baru setelah itu, ”tahap sosial­
is”.
Bagi Trotsky, di negeri yang ”setengah-feodal dan setengah-
ko­lonial”, kaum borjuis terlampau lemah untuk menyelesaikan
agenda revolusi tahap pertama: membangun demokrasi, merefor­
masi pemilikan tanah, dan menciptakan pertumbuhan ekonomi.
Maka kaum proletarlah yang harus melaksanakan revolusi itu.
Be­gitu tercapai tujuannya, kelas buruh melanjutkan revolusi ta-
hap kedua, ”tahap sosialis”.
Ini tentu sebuah pandangan yang terlampau radikal—bah-
kan bagi Rusia pada tahun 1920-an, di suatu masa ketika Lenin­
terpaksa harus melonggarkan kendali Negara atas kegiatan eko-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nomi, dan kelas borjuis muncul bersama pertumbuhan yang le­


bih­ pesat. Di Indonesia agenda Trotskyis itu bisa seperti garis
yang setia kepada gairah 1945. Dilihat dari sini, niat Tan Malaka
tak salah: ia, yang melihat dirinya wakil proletariat, harus meng-

236 Catatan Pinggir 9


TAN MALAKA, SEJAK AGUSTUS ITU

gantikan Sukarno, wakil kelas borjuis yang lemah.


Tapi Sjahrir, sang ”pragmatis”, juga benar: pengaruh Tan Ma­
la­ka di kalangan rakyat tak sebanding dengan pengaruh Bung
Kar­no. Dunia memang alot. Di sini ”pragmatisme” Sjahrir (yang
juga seorang Marxis), sebenarnya tak jauh dari tesis Tan Malaka­
sendiri. Kita ingat tesis pengarang Madilog ini: revolusi lahir kare-
na ”berbagai keadaan”, bukan karena adanya pemimpin dengan
”otak yang luar biasa”.
Tapi haruskah seorang revolusioner hanya mengikuti ”berba­
gai keadaan” di luar dirinya? György Lukács, pemikir Marxis­
yang oleh Partai Komunis pernah dianggap menyeleweng itu,
mem­bela dirinya dalam sebuah risalah yang dalam versi Jerman
disebut Chvostismus und Dialektik, dan baru diterbitkan di Hu­
nga­ria pada 1996, setelah 70 tahun dipendam.
Dari sana kita tahu, Lukács pada dasarnya dengan setia meng­
ikuti Lenin. Ia mengecam ”chvostismus”. Kata ini pernah di­pa­kai
Lenin untuk menunjukkan salahnya mereka yang hanya­”meng­
ekor” keadaan obyektif untuk menggerakkan revolusi. Bagi Le­
nin­dan bagi Lukács, revolusi harus punya komponen subyektif.
Tentu, ada baku pengaruh antara dunia subyektif dan dunia
obyektif; ada interaksi antara niat dan kesadaran seorang revolusi­
oner dan ”berbagai keadaan” di luar dirinya. Tapi, kata Lukács,
di saat krisis, kesadaran revolusioner itulah yang memberi arah.
Penubuhannya adalah Partai Komunis.
Tapi seberapa bebaskah ”kesadaran revolusioner” itu dari wa­
ca­na yang dibangun Partai itu sendiri? Saktikah Partai Komunis
hingga bisa jadi subyek yang tanpa cela, sesosok hero?
Ternyata, sejarah Indonesia menunjukkan PKI juga punya ba-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tas. Partai ini harus mengakui kenyataan bahwa ia hidup di te­


ngah­”lautan borjuis kecil”. Agar revolusi menang, ia harus beker-
ja sama dengan partai yang mewakili ”borjuis kecil” itu. Ia tak
akan berangan-angan seperti Tan Malaka yang hendak merebut

Catatan Pinggir 9 237


TAN MALAKA, SEJAK AGUSTUS ITU

kepemimpinan Bung Karno. Di bawah Aidit, PKI bahkan akhir­


nya meletakkan diri di bawah wibawa Presiden itu.
Pada 1965 terbukti strategi ini gagal. PKI begitu besar tapi ke-
hilangan kemandirian dan militansinya. Ia tak melawan pada sa­
at yang menentukan, tatkala militer dan partai ”borjuasi kecil”
yang selama ini jadi sekutunya menghantamnya. PKI terbawa pa­
tuh mengikuti jalan Bung Karno, sang Pemimpin Besar Revolusi,
yang mementingkan persatuan nasional.
Terkurung di bawah wacana ”persatuan nasional”, agenda ra-
dikal tersisih dan sunyi. Terutama dari sebuah Partai yang me-
wakili sebuah minoritas—yakni proletariat di sebuah negeri yang
tak punya mayoritas kaum buruh. Tan Malaka sendiri mencoba
mengelakkan ketersisihan itu dengan tak hendak mengikuti garis
Moskow, ketika pada 1922 ia menganjurkan perlunya Partai Ko-
munis menerima kaum ”Pan-Islamis”—yang bagi kaum komu-
nis adalah bagian dari ”borjuasi”—guna mengalahkan imperial­
isme.
Tapi ia juga akhirnya sendirian. Sang radikal, yang ingin
meng­­ubah dunia tanpa jeda tanpa kompromi, bergerak antara
tampak dan tidak. Ia muncul menghilang bagaikan titisan dewa.
Sejak Agustus 1945, Tan Malaka adalah makhluk legenda.
Sebuah legenda memang memikat. Tapi dalam pembebasan
me­reka yang terhina dan lapar, sang pahlawan sebaiknya mati.
Revolusi tak pernah sama dengan dongeng yang sempurna.

Jakarta, 7 Agustus 2008.

Tempo, 17 Agustus 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

238 Catatan Pinggir 9


TAHANAN

K
etika Mahmoud Darwish meninggal, apa yang kita
ingat? Sajak-sajaknya? Atau nasibnya yang seperti nasib
Palestina: terkurung, melakukan apa yang dilakukan
para tahanan dan dikerjakan para penganggur—yakni meng­
olah­harap?

Di sini di lereng bukit,


menatap malam dan meriam waktu
di dekat kebun bayangan patah
kita lakukan yang tahanan lakukan
dan kerjakan yang penganggur kerjakan:
mengolah harap

***
Di sini tak ada ”aku”.
Di sini Adam
mengingat debu dari lempung itu

***

Di ambang mati, ia berkata:


Aku tak punya jejak yang akan kutinggalkan:
Aku bebas di dekat rapat kemerdekaanku.
Masa depanku di tangan
Dan akan segera kutembus hidup
http://facebook.com/indonesiapustaka

Aku akan lahir lepas, yatim piatu


Memilih huruf lazuardi buat namaku...

Bisakah kita mengingat kata-kata begitu saja, jika kata-kata itu

Catatan Pinggir 9 239


TAHANAN

tak punya sejarah? Jika, seperti dalam puisi Mahmoud Darwish,­


tak menyentak lepas dari tembok-tembok yang dibangun dengan
paksa?
Ketika Mahmoud Darwish meninggal, 9 Agustus yang lalu,­
da­lam usia 67, sudah enam tahun lebih lamanya tembok itu­ber­di­
ri. April 2002, Perdana Menteri Israel Ariel Sharon me­mulai­nya:­­
dinding-dinding pembatas dari semen setinggi 10 meter diba­
ngun.­Kepada dunia luar dikesankan, tembok itu akan membata-
si wilayah Israel dari wilayah Palestina—batas yang ditarik sejak
1947. Tapi dalam kenyataan tidak: bangunan itu meruyak ma-
suk ke daerah Palestina. Panjangnya 650 kilometer, merentang
melintasi Tepi Barat Sungai Yordan dan Yerusalem Timur. Kawat
berduri, radar, kamera, dan peralatan elektronik didirikan di atas
parit yang digali di kedua sisi.
Orang Palestina praktis tak bisa bergerak. Penduduk Kota el-
Azariyeh harus menggunakan alat pengangkat barang untuk me-
nyeberangkan anak-anak mereka melintasi dinding untuk pergi
sekolah. Di Kota Budrus tak ada klinik, sekolah menengah, dan
80 persen buruh yang tinggal tak bisa meninggalkan tempatnya
buat kerja.
Tembok itu telah menegaskan: ada yang ada di dalam dan ada
yang harus ada di luar. Palestina adalah identitas yang telah me-
misahkan sejumlah manusia dari dunia—dan identitas pun jadi
kebanggaan yang harus ditegakkan, tapi sekaligus beban yang
ha­rus ditanggung. Pada 1964, Darwish menulis sepotong sajak:

Catat! Aku orang Arab/dan nomor KTP-ku 50.000/Dan yang


kesembilan akan datang musim-panas nanti....
http://facebook.com/indonesiapustaka

Catat! Aku orang Arab/Namaku tanpa gelar/Pasien di negeri


tempatku tinggal.

Kekuasaan dan kekerasan—kita tak tahu lagi mana yang da­

240 Catatan Pinggir 9


TAHANAN

tang lebih dulu—gemar membuat KTP, garis, tembok, peta. Tak


cuma di Palestina, tentu. Kita ingat Tembok Berlin yang didiri-
kan dengan paksa oleh titah Moskow untuk membagi dua kota
itu. Ia mengerikan dan tinggi, rata-rata 3,5 meter, dan panjang,
sepanjang 155 kilometer—tapi tak setinggi dan sepanjang tem-
bok Ariel Sharon. Dan mungkin juga tak sekuat apa yang didiri-
kan oleh pemerintah Israel, sebab keputusan itu didukung para
pemilih yang yakin—atas nama keselamatan diri, meskipun un-
tuk itu harus mencelakakan orang lain.
Pada 9 Juli 2004, Mahkamah Internasional di Den Haag me-
mutuskan tembok itu melanggar hukum yang menjaga hak asa-
si manusia. Mahkamah itu menganggap ilegal tiap bagian batas
yang dibangun di wilayah Palestina. Tapi Den Haag begitu jauh.
Kata-kata para hakim begitu lamat-lamat. Keputusan itu telah ja­
di seperti kata-kata para penyair. Sekitar tahun 2002 Mahmoud
Darwish, yang pernah jadi anggota Partai Komunis (yang percaya
bahwa kesadaran dan bahasa tak hanya buat menafsirkan dunia),
mengatakan, ”Semula saya kira puisi dapat mengubah semuanya,
dapat mengubah sejarah dan membuat hal jadi manusiawi... tapi
sekarang saya kira puisi hanya mengubah penyairnya.”
Dia mungkin pahit, atau dia mungkin mengejek ketidakber­
dayaannya sendiri. Tapi ia benar, meskipun tak sepenuhnya be­
nar. Ketika kekuasaan dan kekerasan membentuk ruang jadi geo­
metri yang mati, tiap kata puisi adalah tenaga yang cair, yang tak
tampak, tapi mampu untuk melintasinya. Tiap kata puisi adalah
”huruf lazuardi”—warna langit di atas Palestina, sesuatu yang
me­ngembalikan pesona dan kebebasan—yang bisa dituliskan
bahkan oleh seorang yang kehilangan semuanya, seorang yatim
http://facebook.com/indonesiapustaka

piatu sejarah, manusia tanpa proteksi dalam arti yang sehabis-


habisnya.
Tapi, kalaupun puisi tak punya dampak politik, setidaknya,
berkat Mahmoud Darwish, dunia mendengar dari orang-orang

Catatan Pinggir 9 241


TAHANAN

yang terusir dan tinggal di kamp berpuluh tahun itu tak hanya
ada tenaga para pembunuh. Dari Mahmoud Darwish kita tahu:
di Palestina, ketidak­adilan tegak dan dijaga ketat, sementara ke-
adilan jadi tahanan di sel yang tersembunyi. Kita tak bisa merun-
tuhkan sel itu. Tapi kita tak bisa membenarkannya.

Tempo, 24 Agustus 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

242 Catatan Pinggir 9


BINTANG

K
ita sedang menyaksikan semacam nihilisme, dengan
paras yang cantik. Ketika partai-partai politik tak lagi
memaparkan apa yang mau mereka capai dengan ber-
saing dalam pemilihan umum, ketika mereka cuma memajang
bintang sinetron untuk membujuk orang ramai, kita pun tahu:
politik telah berubah. Kita tidak lagi hidup di abad ke-20. Kita te­
ngah­memasuki ”sindrom Italia”.
Di Italia, perempuan yang tersohor itu, pemain utama dalam
sederet film porno, La Cicciolina, ikut dalam pemilihan umum
pada pertengahan 1987. Ia dipilih; ia duduk di Parlemen mewakili­
”Partai Cinta”. Pada 1992, ia terjun lagi, ketika di Italia pengang-
guran mencapai 11% dan inflasi 6%. Tahun ini tampil Milly
D’Abbraccio. Ketika perempuan cantik ini masih lebih muda, ia
pernah membintangi film yang berjudul, misalnya, Paolina Bor­
ghese, Maharani Nimfomaniak.
Sesuatu yang terjadi di Italia tampaknya tak banyak berbeda­
dengan yang terjadi di Indonesia kini—meskipun di daftar calon
legislator itu belum ada bintang blue film. Kita seakan-akan men-
dengarkan suara orang Indonesia ketika dari apartemennya di
Roma D’Abraccio berkata kepada wartawan Reuters: di sini, ”tiap
orang sudah muak dengan wajah para politisi itu.... Mereka ganti
nama partai, tapi orangnya sama saja. Masing-masing menjanji-
kan banyak hal, tapi tak ada yang terjadi.”
Sudah begitu membosankankah demokrasi di Indonesia—
yang baru lahir lagi 10 tahun yang lalu? Saya tak tahu. Tapi orang
http://facebook.com/indonesiapustaka

seperti butuh sesuatu yang gemerlap ketika tak jelas lagi kenapa
para pemilih diharapkan datang ke kotak suara. ”Rakyat”, yang
di sepanjang abad ke-20 merupakan sebutan bagi sebuah kekuat­
an yang dahsyat (bahkan suci) karena dialah tenaga dasar per-

Catatan Pinggir 9 243


BINTANG

juangan pembebasan, kini berganti jadi sehimpun angka dalam


jajak pendapat. Tak ada sebuah agenda yang mengge­rakkan para
pemilih agar aktif terlibat untuk sebuah re­publik yang lebih baik.
Tujuan yang sejak Aristoteles disebut ”kebaikan bersama” tam-
paknya sudah hilang, atau dianggap sia-sia, atau kuno.
Kini orang memandang politik dengan mencemooh. Nihil-
isme itu merayap dan mengambil tempat dengan tenang.
Memang harus dikatakan, suasana ini berlangsung di banyak­
negeri. November 2007, di Universitas Pennsylvania sebuah pa­
nel­ diskusi diselenggarakan dengan judul, Democracy and Dis­
appointment, dan Alain Badiou dan Simon Critchley berbicara.
Rasa kecewa bertemu dengan jemu ketika orang tahu bahwa keti-
dakadilan masih menginjak-injak sementara tak tampak lagi ha­
rap­an akan terjadinya perubahan yang radikal. Jika ketidakadil­
an itu adalah kapitalisme, kita tahu betapa saktinya dia: segala
ikh­tiar sejak abad ke-18 untuk meruntuhkannya gagal. Slavoj Zi­
zek mengingatkan bahwa Marx menyamakan kekuasaan mo­
dal­dengan vampir; kini salah satu persamaannya yang mencolok
ada­lah bahwa ”vampir selalu bangkit lagi setelah ditikam sampai
mati”.
Apa yang bisa dilakukan menghadapi itu?
Ada yang memutuskan untuk keluar dari medan pergulatan,
dan memilih sikap seperti para nabi yang aktif bersuara tapi men-
jauhi istana, memperingatkan bahaya keserakahan bagi ”kebaik­
an bersama”. Ada pula yang jadi semacam rahib: setengah meng­
asingkan diri dan menolak menjunjung ”akal instrumental” yang
selama ini dipakai untuk memanipulasikan orang lain dan du-
nia. Tapi tak jelas, apa yang berubah karena itu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Mereka yang lebih marah dan lebih ganas akan meledakkan­


bom, menebar takut dan maut, seperti Al-­Qaidah. Tapi kini ki­ta
tahu, Al-Qaidah tak menghasilkan sesuatu yang lebih hebat ke­
tim­bang banyaknya kematian. Sang Iblis yang dimusuhinya tak

244 Catatan Pinggir 9


BINTANG

mus­nah. Jaringan teror itu tak sebanding dengan Partai Komunis


internasional yang juga gagal—meskipun dulu lengkap punya se-
buah organisasi untuk memobilisasi massa, merebut kekuasaan,
dan membangun sebuah negeri, bukan hanya menambah jumlah
musuh yang mati.
Maka ada yang berkesimpulan, terhadap ketidakadilan yang
ber­tahan itu, kita mengubah politik jadi parodi terhadap politik
itu sendiri. Parade bintang sinetron itu, apalagi bintang porno,
ada­lah contoh parodi yang tak disengaja: partai-partai berpura-
pura menjalankan ”politik”, tapi sebenarnya melecehkannya se-
bagai sesuatu yang layak diremehkan. Dengan bintang-bintang
dan pesohor lain, yang esensial adalah kemasan. Partai jadi ko-
moditas, lengkap dengan khayalan yang muncul: seakan-akan
partai punya nilai dalam dirinya, tanpa proses kerja keras di jalan
dan medan perjuangan.
Kini kita punya media massa yang mempermudah parodi
itu. Terutama televisi, sumber informasi utama dan pabrik (juga
ajang) fantasi orang Indonesia sekarang. Kita tahu televisi perlu
men­jangkau khalayak seluas-luasnya; kalau tidak, ia akan gagal
sebagai bisnis. Untuk itu ia membuat soal hidup dan mati seba­gai
se­suatu yang gampang dan sedap dipandang, acap kali menyen­
tuh hati, tapi selamanya bisa dipecahkan dan segera dilewatkan.
Sinetron tak ingin membuat kita seperti Pangeran Siddharta­yang
tertegun melihat bahwa dunia ternyata sebuah sengsara yang la­
yak­ direnungkan terus-menerus. Sinetron adalah sebuah state-
men bahwa serius itu tak bagus.
Ketika politik jadi versi lain dari sinetron, ia menjangkau
orang ramai—tapi bukan karena sesuatu imbauan yang menggu­
http://facebook.com/indonesiapustaka

gah secara universal. Kalaupun ia berseru mengutuk ketidakadil­


an, itu pun hanya berlangsung untuk satu episode. Sejarah manu-
sia yang dulu terdiri atas kemarahan dan pembebasan diganti de-
ngan sesuatu yang jinak. Kini cerita manusia tetap masih gaduh,

Catatan Pinggir 9 245


BINTANG

tapi itu kegaduhan suara merdu, tangis + ketawa galak yang pal-
su, dan bentrokan yang akan selesai ketika sutradara (atas titah
produser, tentu saja), berseru, ”Cut!”
Nihilisme itu memang bisa asyik. Ia memperdaya.

Tempo, 31 Agustus 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

246 Catatan Pinggir 9


PERANG

A
da sebuah pernyataan tentang perang yang seharusnya
tak terlupakan, terutama ketika senjata masih terus di-
produksi dan mesiu diledakkan dan manusia tak habis-
habisnya sengsara: ”Tiap senjata yang dibuat, tiap kapal perang
yang diluncurkan, tiap roket yang ditembakkan, menandai se-
buah pencurian.”
”Pencurian” adalah kata yang mengejutkan. Tapi orang yang
meng­ucapkannya, Dwight D. Eisenhower, tahu apa yang dika­
ta­kannya. Ia—satu-satunya jenderal yang jadi presiden Amerika­
Serikat pada abad ke-20—melihat dengan tajam bahwa ada hu­
bungan erat antara ekonomi persenjataan dan peperangan, se-
buah hubungan yang disebutnya sebagai ”kompleks militer-in-
dustri”. Bagi Eisenhower, tiap kali perang disiapkan dan tiap kali
meletus, sesuatu yang berharga diambil dari ”mereka yang lapar
dan tak dapat makan, mereka yang kedinginan dan tak dapat ba­
ju”. Permusuhan bersenjata menghabiskan keringat para buruh
dan kecerdasan para ilmuwan. Korban tak hanya di medan tem-
bak-menembak. Di bawah bayang-bayang perang, ”kemanusia­
an-lah yang terpentang di sebatang salib besi”.
Eisenhower mengatakan itu pada 1953, kurang dari dua dasa­
warsa setelah perang besar menggerus dan mengubah Eropa dan
Pasifik—sebuah perang tempat ia, sebagai prajurit, menyaksikan
dan mengalami kegagalan dan kemenangan, seraya tahu bahwa
di tiap medan tempur, kebrutalan, kebodohan, dan kesia-siaan
tam­pak dengan jelas.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kini tahun 2008. Di Irak dan Afganistan seharusnya semua


itu juga jelas. Tapi orang Amerika telah memilih persepsi lain ten-
tang perang: sebagai bagian prestasi kegagahan, patriotisme, si-
kap setia kawan, dan keluhuran budi yang sudi berkorban seha-

Catatan Pinggir 9 247


PERANG

bis-habisnya.
Empat tahun yang lalu, John Kerry, calon presiden Partai De-
mokrat, kalah karena ia diragukan kepahlawanannya dalam Pe­
rang­ Vietnam. Tahun ini, calon presiden dari Partai Republik,
John McCain, seorang yang berumur 72 tahun, bisa jadi akan
di­pilih karena nun di masa lalu dia ”pahlawan perang”. Sebalik­
nya Obama, yang tak pernah terlibat dalam perang apa pun, dan
menjanjikan sebuah masa depan yang berbeda, diragukan ke­
mam­puannya sebagai ”panglima tertinggi”. Ia bisa kalah karena
itu.
Kenangan bisa jadi aneh memang, dan masa lalu tak pernah
da­tang sendiri. Sejarawan Inggris terkenal, Tony Judt, dalam The
New York Review of Books (1 Mei 2008), mengatakan sesuatu yang
tajam dan menukik dalam: ”Amerika Serikat kini satu-satunya
de­mokrasi yang telah lanjut di mana tokoh-tokoh publik meng­
agung­kan dan menjunjung tinggi militer, sebuah perasaan yang
dikenal di Eropa sebelum 1945 tapi tak terasa lagi sekarang.” Para
politikus Amerika, kata Judt pula, mengelilingi diri dengan ”lam-
bang dan pajangan yang menandai kekuatan bersenjata”.
Judt menemukan sebabnya: perang belum pernah membuat­
Amerika remuk. Dalam pelbagai konflik abad lalu, Amerika­tak
pernah diserbu. Ia tak pernah kehilangan onggok besar wilayah­
nya­karena diduduki negara asing. Bahkan, sementara AS amat
di­perkaya oleh dua perang dunia, Inggris kehilangan imperium-
nya. Meskipun merasa dipermalukan dalam perang neokolonial­
di negeri jauh (di Vietnam dan di Irak), orang Amerika tak per-
nah menanggungkan akibat kekalahan secara penuh. Mereka bi­
sa saja mendua dalam menyikapi aksi militer belakangan ini, tapi
http://facebook.com/indonesiapustaka

kebanyakan orang Amerika masih merasa bahwa perang yang di-


lancarkan negerinya adalah ”perang yang baik”.
Korban jiwa Amerika juga tak sebanyak korban negara lain.
Menurut catatan Judt, dalam Perang Dunia I, jumlah prajuritnya­

248 Catatan Pinggir 9


PERANG

yang tewas kurang dari 120 ribu, sementara Inggris 885 ribu,
Pran­cis 1,4 juta, dan Jerman di atas dua juta. Dalam Perang Du-
nia II, sementara AS kehilangan 420 ribu tentara, Jepang 1,2 juta,
Jerman 5,5 juta, dan Uni Soviet 10,7 juta. Di dinding granit hi-
tam monumen Perang Vietnam di Washington, DC, tercantum
58.195 orang Amerika yang mati; tapi jumlah itu dihitung selama
15 tahun pertempuran, sementara, kata Judt, tentara Prancis ke-
hilangan dua kali lipat hanya dalam waktu enam minggu.
”Perang”, akhirnya, adalah sebuah pengertian yang disajikan­
dari bagaimana sejarah dibicarakan. Kini orang Amerika perca­
ya, sejarah telah terbagi dua: sebelum dan sesudah ”11 September
2001”. Semenjak itu, masa lalu dan masa depan pun ditentukan
oleh apa yang tumbuh pada tanggal itu: sikap waspada, takut,
ma­lu, dan dendam yang berkecamuk pada hari-hari setelah para
teroris menghancurkan dua gedung tinggi di Kota New York itu.
Yang dilupakan: sejarah lebih lama dan lebih luas ketimbang
hari itu. Seperti ditunjukkan Judt, terorisme tak hanya terjadi
pada 11 September 2001. Apokalips tak hanya terjadi ”kini”, dan
tak hanya mengenai orang Amerika.
Dalam film Apocalypse Now, dari rimba Vietnam yang penuh
ke­kejaman, Kolonel Kurtz memaparkan segala yang menakut-
kan, berdarah, absurd, edan, dan tak bertujuan. Pada akhirnya ia
adalah sosok rasa ngeri dan kebuasan manusia, yang menyebab­
kan Perang Vietnam tak membedakan lagi mana yang ”biadab”
dan yang ”beradab”. Di jantung kegelapan Sungai Mekhong,
Kurtz dalam film Coppola pada 1979 itu adalah versi lain dari
Kurtz di Sungai Kongo dalam novel Conrad pada 1899. Kita tahu
ia manusia luar biasa. Tapi ia bagian dari konteks yang brutal.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Itulah perang, itulah kekerasan kolektif yang meluas. Hanya­


mereka yang melihatnya dari jauh yang akan bertepuk tangan
untuknya tanpa mendengar bisikan terakhir Kurtz: The horror!
The horror! Eisenhower, yang menyaksikan perang dari dekat,

Catatan Pinggir 9 249


PERANG

tahu: dalam perang, apa yang luar-biasa, yang terkadang disebut


kepahlawanan, jangan-jangan terkait dengan ”kebrutalannya,
kesia-siaannya, kebodohannya”.

Tempo, 7 September 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

250 Catatan Pinggir 9


MUKJIZAT

M
ukjizat tak pernah datang tanpa mengecoh. Ma-
nusia punya kemampuan besar untuk membentuk
kha­yal jadi janji—dan mempercayai janji itu setelah
mengemasnya dengan ”iman” atau ”ilmu”.
Di zaman ”iman”, orang percaya akan deus ex machina, dewa
yang keluar tiba-tiba dari ”mesin” dan menyelamatkan manusia
dari tebing jurang bencana. Di zaman kini—persisnya di zaman
ketika seorang bernama Heru Lelono hidup di dekat Presiden In-
donesia, di masa ketika kata ”ilmu” & ”teknologi” sering mem-
buat mata silau—orang pun percaya akan blue energy dan padi
”Super Toy HL-2”.
Tapi, untunglah, tak semua dan tak selamanya orang teperda­
ya. Mukjizat hanya laris ketika yang terkecoh dan yang mengecoh­
bersatu, ketika ada hasrat yang diam-diam mencekam, agar hari
ini yang terpuruk dapat ditinggalkan dengan ”loncatan jauh ke
depan”.
Padahal, sejarah tak pernah terdiri atas loncatan seperti itu.
Has­rat buat mendatangkan mukjizat selamanya gawal, bahkan
ke­tika ia didukung ”iman” yang bergabung dengan ”ilmu”.
Contoh yang terkenal adalah cerita Trofim Lysenko di Uni
So­viet di masa kekuasaan Stalin. Pada 1927, dalam usia 29, anak
petani Ukraina yang pernah belajar di Institut Pertanian Kiev ini
menjanjikan mukjizat. Koran resmi Pravda (artinya ”Kebenar­
an”) menyebut Lysenko bisa ”mengubah padang gersang Trans-
kaukasus jadi hijau di musim dingin, hingga ternak tak akan pu-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nah karena kurang pangan, dan petani Turki akan mampu hidup
sepanjang musim salju tanpa gemetar menghadapi hari esok”.
Dengan proses yang disebutnya ”vernalisasi”, Lysenko meng-
klaim ia mampu membuat keajaiban itu. Partai yang berkuasa—

Catatan Pinggir 9 251


MUKJIZAT

yang selamanya ingin dengan segera dapat kabar baik—mendu-


kungnya, dan Stalin mendekingnya. Tak seorang pakar pertani-
an pun yang berani membantah. Sejak 1935, Lysenko bahkan di-
angkat ke jabatan yang penting: memimpin Akademi Ilmu-ilmu
Pertanian. Di sini ia bisa menggeser siapa saja yang tak menyetu-
juinya. Baru pada 1964, hampir sedasawarsa setelah Stalin mang-
kat, ilmuwan terkemuka Andrei Shakarov secara terbuka menge-
camnya: Lysenko-lah yang bertanggung jawab atas kemunduran
yang memalukan bidang biologi Uni Soviet, karena ”penyebar­
an pandangan pseudo-ilmiah”, bahkan penyingkiran dan pem-
bunuhan para ilmuwan yang sejati.
Kehendak untuk mukjizat acap kali berkaitan dengan hasrat
untuk super-kuasa: ”iman” atau ”ilmu” seakan-akan bisa mem-
bawa seseorang ke sana. Itu sebabnya mukjizat yang mengecoh
tak hanya terbatas pada kasus macam Lysenko. Ada contoh lain
dari Cina. Menjelang akhir 1950-an, Mao Zedong—yang ber­
iman­kepada sosialismenya sendiri dan merasa sosialisme itu ”il-
miah”—menggerakkan rakyat di bawah kekuasaannya agar
mem­buat ”loncatan jauh ke depan”.
Mao ingin agar Cina yang ”terkebelakang” akan dengan wak-
tu beberapa tahun jadi sebuah negeri industri yang setaraf Ing­
gris. Caranya khas Mao: mobilisasi rakyat. Di pedesaan Cina
yang luas, ribuan tanur tinggi untuk produksi baja dibangun de-
ngan mengerahkan segala bahan yang ada. Hasilnya: baja yang
tak bermutu. Sementara itu, di seantero Cina yang luas, selama
dua tahun berjuta-juta petani telah dikuras tenaganya untuk itu,
hingga sawah dan ladang telantar—dan kelaparan pun datang.
Berapa juta manusia yang mati akibat itu, tak pernah bisa dipasti­
http://facebook.com/indonesiapustaka

kan.
Keinginan untuk mendapatkan mukjizat mungkin sebanding
dengan tingkat putus asa yang menghantui mereka yang men­
dam­bakan deus ex machina. Manipulasi Lysenko terjadi ketika

252 Catatan Pinggir 9


MUKJIZAT

Uni Soviet menghadapi krisis pangan setelah ladang-ladang per-


tanian diambil alih negara dan panen gagal bertubi-tubi. Saya
ki­ra fantasi Mao tak bisa dipisahkan dari trauma macam yang
pa­da 1928 dilukiskan dalam A Learner in China: A Life of Rewi
Alley tentang bocah-bocah buruh perajutan sutra di Shanghai,
yang berbaris panjang, berdiri selama 12 jam di depan kuali-kuali
perebus kepompong yang mendidih.
Anak-anak berumur sekitar sembilan tahun itu menatap lelah,­
sementara jari tangan mereka bengkak memerah memunguti ke-
pompong ulat sutra yang direbus itu. Para mandor berdiri di be-
lakang mereka dengan cambuk kawat, tak jarang mendera bocah
yang salah kerja. Ada yang menangis kesakitan. Di ruangan yang
penuh uap dan panas itu, ”mereka terlalu sengsara untuk bisa di-
lukiskan dengan kata-kata”, tulis Alley.
Kita tahu, kesengsaraan itu juga tanda ketidakadilan. Dan
me­mang tak mudah buat bersabar di hadapan itu. Maoisme be-
rangkat dari kehendak menghabisinya, dengan rencana yang ce­
pat dan tepat. Tapi apa yang ”tepat” dalam sejarah yang senantia­
sa bergerak, berkelok, dan tak jarang jadi kabur? Baik ”iman”
maupun ”ilmu” acap kali membuat hal-hal jadi terlampau mudah
diselesaikan. Apalagi jika, seperti dalam hal blue energy dan ”ver-
nalisasi”, ada kekuasaan yang bersedia mendesakkan mukjizat
itu.
Tentu saja harus dicatat: Indonesia hari ini bukan Uni Soviet
di masa Lysenko, bukan pula Cina di masa Mao. Di sini ”iman”
dan ”ilmu” tak dibiarkan memegang monopoli. Informasi meng­
alir leluasa, pertanyaan dan keraguan dengan bebas dinyatakan,
dan tiap pengetahuan diperlakukan hanya sampai kepada tingkat
http://facebook.com/indonesiapustaka

pengetahuan, bukan kebenaran. Dan di sini, bahkan kantor ke-


presidenan tak bisa dan tak hendak membungkam perdebatan.
Mukjizat Lysenko dalam ilmu biologi berlangsung antara
1927 dan 1964, dengan korban yang tak sedikit. Mukjizat Mao

Catatan Pinggir 9 253


MUKJIZAT

lebih sebentar, tapi menghancurkan kehidupan jutaan manu-


sia. Mukjizat blue energy dan ”Super Toy HL-2” lebih pendek
umurnya. Mungkin kita perlu bersyukur. Kita masih bisa melihat
keyakinan dan kepastian, ”iman” dan ”ilmu” sebagai kekuatan
yang sementara.

Tempo, 14 September 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

254 Catatan Pinggir 9


ZILOT

W
OLE Soyinka tahu apa artinya diinjak dan bagaima-
na rasanya ditindas. Pemenang Hadiah Nobel untuk
Sastra tahun 1986 ini sekarang berusia 74. Ketika ia
31 tahun, orang Nigeria ini ditahan pemerintah selama tiga bu-
lan, dan dua tahun kemudian, ia—waktu itu direktur Sekolah
Drama di Universitas Ibadan—dipenjarakan karena tulisan-tu-
lisannya dianggap mendukung gerakan separatis Biafra. Selama
setahun ia disekap, antara lain di sebuah sel yang sesempit liang
lahat. Karena protes internasional, ia dibebaskan. Tapi ketika Jen-
deral Sani Abacha berkuasa di Nigeria (1993-1998), Soyinka di-
hukum mati in absentia. Kesalahannya: ia membela seorang pe­
nga­rang dan aktivis terkenal yang dihukum gantung.
Dari riwayat itu kita tahu, Soyinka tak akan berhenti menen-
tang ”sepatu lars yang menindas”. Tapi kemudian sesuatu yang le­
bih opresif datang: fundamentalisme agama, terutama di tanah­
airnya. Bagi Soyinka, kini jadi tugasnya untuk ”melawan me­re­
ka­­ yang memilih bergabung dengan pihak kematian”. Artinya­
”me­­re­ka yang mengatakan telah menerima titah Tuhan entah
di mana dan berkata bahwa mereka wajib membakar dunia agar
me­reka mencapai keselamatan”. ”Pihak kematian” ini tak hanya
di satu sisi. Soyinka melihat musuh itu ”di lorong-lorong sempit
Irak ataupun di Gedung Putih”.
Karenanya, tugas itu tak mudah. Bagi Soyinka, Nigeria yang
di­dera pembunuhan antarkelompok agama karena fundamental-
isme iman, ”lebih berbahaya” ketimbang Nigeria di bawah kedik-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tatoran militer ketika ia sendiri dipenjarakan.


”Fundamentalisme agama lebih berbahaya... sebab ia tak ber­
ben­tuk, dan bergerak ke banyak arah,” katanya dalam satu wa­
wan­­cara bertanggal Januari 2003. ”Melawan kediktatoran mili-

Catatan Pinggir 9 255


ZILOT

ter, kita bisa memfokuskan sasaran. Kita dapat melawannya lang-


sung. Kediktatoran itu segerombolan orang yang didera hasrat
ke­kuasaan. [Tapi] fundamentalisme memperoleh pengikut di
tempat yang paling tak terduga. Ia menyatakan diri dalam ben-
tuk yang acak dan sangat berbahaya.”
Tanah airnya mungkin salah satu saksi yang boncel-boncel­
dan berdarah. Sejak 1999, di dua belas negara bagian Nigeria­
Utara, penduduk yang muslim memilih untuk menerapkan sya-
riah Islam. Tapi kian lama kian tampak, ada yang tak beres de­
ngan­ketetapan itu, terutama di republik yang berpenduduk 147
juta dan hanya 50 persennya muslim, sementara 40 persennya­
Kristen. Sementara korupsi meluas, 70 persen penduduk di ba­
wah garis kemiskinan. Ketimpangan sosial tajam (indeks Gini
ham­pir 44, bandingkan dengan Indonesia yang 34) dan hanya 68
persen penduduknya yang melek huruf (sementara Indonesia: 90
persen). Syariah Islam, yang sibuk mengurus soal akhlak pribadi,
tak kunjung tampak hendak melenyapkan kondisi sosial itu.
Bahkan satu kejadian menggambarkan bagaimana hukum
syariah jadi soal yang gawat: kasus Aminah Lawal Kurami.
Maret 2002, perempuan berumur 27 ini dijatuhi hukuman
mati dengan dirajam, karena mahkamah syariah di Kota Funtua
menganggapnya telah berzina. Ia baru bercerai, tapi melahirkan.­
Perempuan miskin ini divonis tanpa didampingi pembela. Ha­nya­
satu hakim yang menjatuhkan hukuman. Aminah buta huruf,­
tak tahu undang-undang yang dianggap tak boleh dilanggarnya.
Tentu saja para hakim syariah tak menganggap hal itu bisa
me­ringankan hukumannya. Harian The Guardian awal Oktober
2003 mengutip pernyataan Dahaltu Abubakar dari mahkamah
http://facebook.com/indonesiapustaka

banding di Katsina: ”Tak tahu undang-undang tak bisa jadi pem-


belaan.” Ini bukan hukum bikinan manusia, katanya. ”Selama
kamu muslim, hukum ini berlaku buat dirimu.”
Syukurlah, setelah kampanye yang gigih di seluruh dunia—

256 Catatan Pinggir 9


ZILOT

bahkan The Oprah Winfrey Show ikut membelanya—Aminah


tak jadi mati dirajam. Tapi kejadian itu menunjukkan bagaimana
penerapan syariah Islam justru mengungkapkan perbenturan an-
tara hukum dan keadilan, antara iman dan kemanusiaan.
Tapi apa artinya kemanusiaan, apa artinya hidup, bagi yang
di­sebut Soyinka sebagai ”pihak kematian”, the party of death? Se-
bab ”kematian” di sini tak hanya menyangkut disambutnya hu-
kum rajam dan potong tangan, tapi juga menyangkut tafsir yang
tak hidup lagi.
The party of death itu juga yang berkibar ketika pada tahun
2000 dan 2002 Nigeria, khususnya di Kota Kaduma, orang Kris-
ten dan Islam baku bunuh. Dari sana Soyinka menulis sajak,
Twelve Canticles for the Zealot, dengan nada yang marah dan kali­
mat yang menusuk. Sajak pemenang Hadiah Nobel untuk Sastra­
tahun 1986 itu tak begitu bagus, sebetulnya, tapi bukankah ia
pu­nya alasan untuk tergesa-gesa?
Para zilot telah menyuarakan pekik pertempuran, dan Soyin-
ka memandang mereka sebagai ”pelayan vampir”, yang hinggap
di pucuk gereja, di menara masjid, di kupola katedral. Ia berteng-
ger di tembok penyangga ”kesalihan”. Sang ”pelayan vampir” itu
me­nunggu untuk loncat ke semua arah. Ia tak akan berangkat
sendirian. Ia akan mengajak: ”Datanglah bersamaku atau, kalau
tidak, ke neraka!”
Maka tangan sang zilot terulur, kata sajak Soyinka pula, tapi
bukan untuk membuai ranjang bayi yang damai. Tangan itu ”ca-
kar kebencian”, mencengkeram dari ujung ke ujung, ”Membu­
buhkan luka, membunuh, itulah segalanya”.
Zilot—sebuah pengertian dari Injil yang kemudian meng-
http://facebook.com/indonesiapustaka

gambarkan sikap orang fanatik yang militan—dalam sajak So­


yin­ka kata itu menunjuk mereka yang atas nama hukum agama
yang murni mengancam spontanitas kegembiraan hidup di atas
bumi, di bawah langit, di antara makhluk yang fana. Maka dari

Catatan Pinggir 9 257


ZILOT

Nigeria, anak tanah air itu berseru, menolak ”the party of death”:
”Aku datang dari tanah Ogun/negeri perempuan menampik ca-
dar dan laki-laki/berbagi suka dengan bumi”.

Tempo, 21 September 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

258 Catatan Pinggir 9


RAKUS (2)

T
iap kali ”kapitalisme” tampak guncang dan buruk,
tiap kali Wall Street terbentur, orang jadi Oliver Stone.
Dalam Wall Street, sutradara yang bakat utamanya
mem­buat protes sosial dengan cara menyederhanakan soal, me-
nampilkan dahsyatnya keserakahan manusia. Di sana Gekko, di-
perankan Michael Douglas, menegaskan dalilnya: rakus itu ba-
gus. ”Rakus itu benar. Rakus itu membawa hasil. Rakus itu...
menandai gerak maju manusia.”
Tapi rakus adalah fiil pribadi-pribadi, sementara ”kapitalisme”­
tak cukup bisa dikoreksi dengan membuat orang insaf. Rakus ju­
ga bisa lahir di luar Wall Street. Ia tak hanya melahirkan ”kapi-
talisme”.
Memang ada sesuatu yang amat rumit hari-hari ini.
Seperti mantra, seperti makian, kata ”kapitalisme” kini meya-
kinkan hanya karena dampaknya bagi pendengar, bukan karena
definisinya yang persis. Juga kata ”sosialisme”. Juga kata ”pasar”,
”Negara”, dan lain-lain yang tak berseliweran di antara kita.
Kita sering tak menyimak, pengertian itu sekarang pada retak,
nyaris rontok. Setidaknya sejak Juli yang lalu. Majalah The Econo­
mist melukiskan adegan dramatik yang terjadi di pusat kekuasa­
an Amerika Serikat, negara kapitalis papan atas itu: ”Pada 13 Juli,
Hank Paulson, Menteri Keuangan Amerika, berdiri di tangga de-
partemennya seakan-akan ia menteri sebuah negara dengan eko-
nomi pasar yang baru timbul....”
Hari itu Paulson, pembantu Presiden Bush, mengungkapkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

rencana daruratnya buat menyelamatkan Fannie Mae dan Fred-


die Mac, dua bisnis raksasa dalam bidang pendanaan hipotek
yang tak mampu lagi membayar kewajibannya US$ 5,2 triliun.
Pemerintah memakai kata ”conservatorship”. Artinya, dewan di-

Catatan Pinggir 9 259


RAKUS (2)

reksi dicopot, pemegang saham praktis disingkirkan, tapi peru-


sahaan itu akan terus bekerja dengan Pemerintah jadi penyangga
utangnya. Pendek kata: Pemerintah AS mengambil alih perusa-
haan itu—kata lain dari ”nasionalisasi”, sebuah langkah yang mi-
rip apa yang pernah dilakukan di Indonesia dan akhir-akhir ini
di Venezuela.
Tapi ini terjadi di suatu masa, di suatu tempat, di mana ”pasar”­
dianggap punya daya memecahkan persoalannya sendiri. Ini ter-
jadi di sebuah era yang masih meneruskan fatwa Milton Fried-
man bahwa ”penyelesaian oleh Pemerintah terhadap satu soal bia­
sanya sama buruk dengan soal itu sendiri”. Ini terjadi di sebuah
perekonomian—disebut ”kapitalisme”—yang prinsipnya adalah
siapa yang mau ambil untung harus berani menerima kemung­
kin­an jatuh. Jika para direksi dan pemegang saham siap menye­
pak ke sana-kemari meraih laba di pasar, kenapa kini mereka ha-
rus dilindungi ketika tangan itu patah?
Di situlah ”kapitalisme” meninggalkan prinsipnya sendiri.
Ta­pi tak berarti ”kapitalisme” di Amerika berhenti sejenak. Me-
mang tindakan nasionalisasi di sana—terakhir dilakukan terha­
dap perusahaan asuransi raksasa AIG (American International
Group)—menunjukkan kian besarnya peran ”Negara” dalam
perekonomian Bush.
Namun kita perlu lebih saksama. Sebab yang terjadi sebenar­
nya sebuah simbiosis yang tak selamanya diakui antara ”Negara”
dan ”pasar”. ”Nasionalisasi” terhadap Fannie dan Freddie berarti
sebuah langkah menyelamatkan sejumlah pemain pasar dengan
dana yang dipungut dari pajak rakyat. Dengan kata lain: yang di-
lakukan Pemerintah Bush adalah sebuah ”pemerataan” kerugian,
http://facebook.com/indonesiapustaka

bukan ”pemerataan” hak.


Hubungan simbiosis antara kedua perusahaan itu dan ”Nega-
ra” juga bisa dilihat dari segi lain: menurut laporan CNN, selama
10 tahun, Fannie dan Freddie mengeluarkan US$ 174 juta untuk

260 Catatan Pinggir 9


RAKUS (2)

melobi para politikus, untuk membangun ”iklim politik” yang


ramah kepada mereka—termasuk ketika tanda-tanda keam­
bruk­­an sudah terasa.
Tapi jika ”Negara” dan ”kapital”, ”pemerintah” dan ”pasar”
ter­nyata tak sepenuhnya lagi bisa dipisahkan dengan jelas, apa
yang luar biasa? Bukankah sejak abad ke-19 Marx menunjukkan
bahwa ”Negara” selamanya adalah sebuah kekuasaan yang me-
mihak kelas yang berkuasa? Dikatakan secara lain, bukankah
”Negara” tak hanya terdiri atas ”apa”, melainkan ”siapa”?
Tapi persoalan tak selesai hanya dengan satu tesis Marx. Se-
jarah politik makin tak mudah menentukan bagaimana sebuah
kelas sosial merumuskan identitasnya—terutama ketika kaum
pekerja bisa tampil lebih ”kolot” ketimbang kelompok sosial yang
lain, dan ”ketidakadilan” tak hanya menyangkut ketimpangan
da­lam memiliki alat produksi. Mau tak mau, para analis dan pa-
kar teori harus berhenti seperti beo yang pintar, dan berhenti me-
makai mantra dan makian ketika ”kapitalisme” dan ”sosialisme”
begitu gampang dikatakan.
Itu tak berarti api awal yang dulu membakar perang purba
itu, perang yang melahirkan mantra dan makian itu, telah sirna.­
Selama ketidakadilan menandai rasa sakit sejarah, api itu masih
akan membakar dan perang masih akan berlangsung. Selama
se­jarah belum berakhir dalam mengisi pengertian yang disebut
Etienne Balibar sebagai égaliberté, paduan antara ”keadilan” dan
”kebebasan”, perang tak akan padam.
Perang itu, tak selamanya dengan darah dan besi, adalah per-
juangan politik. Ketidakadilan tak bisa hanya bisa diselesaikan
dengan administrasi, karena administrasi ”Negara” selamanya­
http://facebook.com/indonesiapustaka

akan terbatas dan terdorong ke arah pola yang cepat jadi aus.
Ke­tidakadilan juga tak akan bisa diselesaikan dengan perbaik­
an budi pekerti, dengan mengubah atau mengalahkan orang ma­
cam Gekko.

Catatan Pinggir 9 261


RAKUS (2)

Apalagi pergulatan ke arah keadilan dan kebebasan tak hanya


terbatas dengan mengutuk Wall Street. Kita tak cukup jadi Oli-
ver Stone.

Tempo, 28 September 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

262 Catatan Pinggir 9


ULYSSES

A
DA seorang perempuan yang mudah dilupakan dunia
tapi seharusnya tak dilupakan kesusastraan. Namanya
Margaret Anderson.
Ia lahir pada 1886 di Indianapolis, Amerika Serikat, di sebuah
keluarga yang berada, dengan seorang ibu yang hampir setiap ta-
hun tergerak untuk pindah ke rumah baru—dengan mebel, tap­
lak, gorden, dan lukisan dinding baru.
Margaret tak seperti ibunya, tapi ia punya keresahannya sen­
di­ri.
Pada suatu malam, ketika ia berumur 21 tahun, setelah sehari­
an merasa murung, ia terbangun dari tidur. ”Pikiran persis per-
tama: aku tahu kenapa aku murung,” demikianlah tulisnya, me­
nge­nang. ”Tak ada yang bersemangat yang terjadi—nothing in­
spired is going on. Kedua: aku menuntut hidup harus bersemangat
tiap saat. Ketiga: satu-satunya cara untuk menjamin itu adalah
men­dapatkan percakapan yang bersemangat tiap saat. Keempat:
kebanyakan orang tak bisa jauh dalam percakapan....”
Akhirnya kelima: ”Kalau aku punya sebuah majalah, aku
akan dapat mengisi waktu dengan percakapan yang terbagus
yang bisa disajikan dunia....”
Syahdan, pada umur 28 tahun, ketika ia sudah lumayan dike-
nal sebagai penulis resensi buku di beberapa media, di Chicago,­
Margaret menerbitkan majalah The Little Review. ”Omong-
omong tentang seni”, itulah semboyannya.
Tapi tentu saja tak sembarang omong-omong. Nomor perta­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ma majalah kecil itu berbicara soal Nietzsche, feminisme, dan


psikoanalisis—hal-hal yang bisa menyentakkan orang Amerika
dari tidur borjuis mereka yang tertib dan taklid.
Seperti lazimnya majalah seni dan sastra, The Little Review tak

Catatan Pinggir 9 263


ULYSSES

laku. Juga sulit mendapat sponsor. Margaret kehabisan uang, di-


usir dari rumah sewaannya, dan harus menutup kantor majalah­
nya. Tapi ia tetap menginginkan percakapan yang bersemangat,­
dan ketika ia ketemu Jane Heap, seorang seniman yang aktif da­
lam gerakan seni rupa baru Chicago, cita-citanya bangkit lagi.
Ke­dua perempuan itu, yang kemudian berpacaran, meneruskan
The Little Review dengan memindahkannya ke New York. Seraya
membuka toko buku di Washington Square, di sudut kota tem-
pat inspirasi tak mudah mati itu, kedua perempuan itu membuat
sejarah.
The Little Review memuat karya para sastrawan yang kemudi-
an jadi percakapan seluruh dunia: T.S. Eliot, Hemingway, Amy
Lowell, Francis Picabia, Sandburg, Gertrude Stein.... Sejak awal,
Ezra Pound jadi penasihat dan koresponden majalah itu di Lon-
don, dan dari Eropa André Breton dan Jean Cocteau mengirim-
kan tulisan mereka.
Juga: James Joyce, dengan Ulysses-nya.
Tapi sejarah sastra tak pernah mudah, terutama di masa ketika
modernisme bersedia membenturkan diri menghadapi apa yang
”normal”—yakni segala hal yang ukurannya dibentuk oleh tata
so­sial yang ada, oleh bahasa yang diwariskan, dan oleh ketakutan
ter­hadap yang tak pasti, yang tak jelas, yang beda. Sejarah sastra
me­mang jadi berarti ketika sastrawan dan karyanya tak memilih
kenyamanan yang ditentukan oleh kelaziman sosial.
Margaret membuktikan itu dengan dirinya—sejak ia, dalam
ketiadaan uang, berani hidup di bawah tenda yang didirikannya
sendiri di tepi Danau Michigan, sampai dengan ketika ia berani­
menerbitkan Ulysses, dalam bentuk cerita bersambung sejak 1918.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Joyce baru merampungkan karya besarnya yang setebal 732


halaman ini pada akhir Oktober 1921. Sengaja disandingkan de-
ngan epos Yunani Kuno karya Homeros, Ulysses tak berkisah ten-
tang para pahlawan, melainkan tentang kehidupan sehari-hari

264 Catatan Pinggir 9


ULYSSES

Ko­ta Dublin, Irlandia, dengan dua tokoh yang berbeda, Stephen


Daedalus dan Leopold Bloom.
Novel yang terdiri atas tiga bagian besar dengan 18 episode
ini tak mudah dibaca, meskipun tiap bagian memukau, liris, juga
ketika ”arus kesadaran” sang tokoh merasuk ke dalam paragraf
se­akan-akan puisi yang meracau. Joyce sendiri mengatakan—
mung­kin serius, mungkin main-main—bahwa ke dalam Ulysses­
ia memasukkan ”begitu banyak teka-teki dan enigma hingga pa­
ra profesor akan berabad-abad sibuk berdebat tentang apa yang
saya maksud”.
Tapi di dunia ini ada para profesor, atau para peminat sastra
yang bersungguh-sungguh yang menemukan kenikmatan dan
ke­arifan dalam percakapan (”percakapan yang bersemangat”, ka­
ta Margaret Anderson), dan ada orang yang tak begitu berminat
meskipun teramat bersungguh-sungguh: para sensor.
Dalam Ulysses sang sensor merasa menemukan ”pornografi”.
Pada 1920, orang-orang yang merasa diri bermoral dan saleh
yang bergabung dalam ”The New York Society for the Suppres­
sion­of Vice” berhasil memenangkan dakwaannya di pengadilan,
dan hakim menyetop The Little Review memuat novel itu.
Majalah itu disita. Margaret Anderson dan Jane Heap dihu-
kum sebagai penyebar kecabulan. Masing-masing didenda $ 100.
The Little Review yang miskin dana itu pun kehilangan masa de-
pan. Akhirnya kedua perempuan itu memutuskan untuk me-
ninggalkan Amerika—di mana kekuasaan uang dan ”morali-
tas” dipergunakan untuk mengimpit mereka yang berbeda—
dan melanjutkan The Little Review di Eropa.Ulysses juga telantar.
Tak ada penerbit baik di Amerika maupun di Inggris yang mau
http://facebook.com/indonesiapustaka

mencetak dan menyebarkan novel itu. Baru pada 1931, di Paris,


seorang perempuan lain, Sylvia Beach, berani melakukannya, di-
am-diam dari toko bukunya yang sampai kini tak mentereng di
tepi Sungai Seine, ”Shakespeare and Co”.

Catatan Pinggir 9 265


ULYSSES

Sejak itu, zaman berubah, juga ”moralitas” dan kecemasan.


Pada 1933, hakim John M. Woolsey mengizinkan novel itu ber­
edar.­Porno? Merangsang? Hakim itu telah membacanya dan ia
me­ngatakan bahwa ia, bersama dua orang temannya, tak bangkit
syahwatnya karena Ulysses.
Pada akhirnya seorang lelaki bisa mengerti kearifan yang di­
bawa Margaret Anderson, Jane Heap, dan Sylvia Beach: ”moral­i­
tas”­itu hanya bangunan kekuasaan mereka yang waswas akan li­
bido diri sendiri.

Tempo, 5 Okttober 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

266 Catatan Pinggir 9


”IN THE WEE SMALL HOURS”

I
ZINKAN saya menulis tentang dinihari. Tentang jam-jam
para insomniak, ketika malam sudah tak bisa disebut malam
tapi pagi belum datang. Tentang orang-orang yang tak tidur,
seperti kau dan aku, tak bisa tidur, mereka yang terpekur atau be­
ngong atau bekerja apa saja, berdoa apa saja, mereka yang menco­
ba melupakan kesendirian, atau justru memasuki kesendirian.
Izinkan saya menulis tentang gelap. Dinihari adalah saat keti­
ka gelap, yang berhimpun sejak senja, akan berakhir. Tapi di dini-
hari pula gelap seperti tak hendak pergi. Justru (sebuah e-mail
da­tang dan kamu mengingatkan saya, mengutip Paulo Coelho),
”saat paling gelap dalam seluruh hari adalah menjelang terang”.
Agaknya pada diniharilah gelap adalah sebuah ajektif bukan ten-
tang kekurangan, melainkan tentang kelebihan: gelap adalah
se­su­atu yang bersama kita sebelum cahaya; ia juga sesuatu yang
akan bersama kita sesudah cahaya.
Kesementaraan, juga kelebihan. Barangkali kedua-duanya
yang membuat dinihari mempertautkan manusia dengan yang
ke­kal. Di biara yang jauh dari keramaian, para rahib bangun pu-
kul 03.30 pagi. Masing-masing melakukan doa pribadi di bilik
yang sempit. Pada pukul 04.00, misa bersama mulai.
Dan selama Ramadan, makan sahur dilakukan di saat itu pu­
la. Orang bisa mengatakan, fisik kita perlu dijaga dengan bebera­
pa suap nasi sebelum puasa 12 jam. Tapi jangan-jangan semua
itu bukanlah buat kesehatan—makan di jam seperti itu justru ti-
dak membantu metabolisme tubuh—melainkan buat merasakan
http://facebook.com/indonesiapustaka

hubungan antara yang indrawi, yang badani, dan transisi saat.


Ketika kita tahu hidup begitu sejenak, kita pun akan bertanya
ada­kah segalanya juga fana—dan tidakkah pengertian tentang
”fana” hanya bisa dimengerti jika ada yang ”bukan-fana”, jika di­

Catatan Pinggir 9 267


”IN THE WEE SMALL HOURS”

sandingkan dengan yang abadi? Meskipun yang abadi tak pernah


kita alami?
Dalam gelap dinihari, jika yang abadi bisa terasa hadir, mung-
kin karena ada hubungan antara keabadian dan kuasa, dan ada
hu­bungan kuasa dengan misteri. Ia tak pernah bisa ditebak. Ia se­
macam peringatan akan apa yang kurang pada kita—yang me-
nyebabkan kita selamanya terbelah, antara kini yang rapuh dan
ke­lak yang tak jelas, antara kini yang hadir dan kelak yang kita
tak pernah tahu.
Justru karena dinihari juga akan berhenti. Ia juga bagian dari
keterbatasan dan kesementaraan. Gelap tak bisa mutlak. ”Aku tak
takut gelap,” kau bilang. ”Dalam gelap aku bisa menemukan ke-
damaian.” Tapi mungkin juga karena kita temui gelap tak sendi­
rian: ia sebuah beda, ia sebuah intermezzo di dunia yang diberon-
dong cahaya. Ada cahaya surya yang tua, ada cahaya yang dibikin
Thomas Alva Edison, ada cahaya bintang yang sporadis, ada kilau
lampu-lampu iklan yang kian agresif. Maka gelap adalah se­
lingan­­dari terang yang gaduh. Kita tahu terang telah jadi bagian
dari proyek manusia menguasai bumi—yang tak membuat keda-
maian hal yang lumrah.
Tapi tak selamanya gelap sebuah intermezzo. Ia bisa jadi awal
pu­tus harapan. Pada 1815, lebih dari separuh abad sebelum Kra­
katau, sebuah gunung di Nusantara meletus. Sampai setahun
ber­ikutnya, debu yang muncrat dari kepundan Tambora itu me-
nutupi langit. Matahari terkurung cadar tebal. Bulan padam. Di
Eropa, tahun berikutnya semacam perubahan cuaca terjadi. Ta-
hun itu kemudian diingat sebagai ”tahun tanpa musim panas”.
Pada tahun itu pula penyair besar Inggris Lord Byron menulis se-
http://facebook.com/indonesiapustaka

buah sajak yang memukau, Darkness.

... dan bintang-bintang


menggelandang di ruang kekal

268 Catatan Pinggir 9


”IN THE WEE SMALL HOURS”

tanpa sinar, tanpa jalur,


dan Bumi yang dingin
bergoyang, buta...

Terkurung gelap debu Tambora itu, pagi datang dan pergi, tak
mem­bawa siang. ”Morn came and went—and came, and brought
no day.” Dan ombak mati, pasang berdiam di kuburnya, sementa­
ra Bulan, ”tuan putri mereka, telah padam sebelumnya”. Angin
pun lingsut di udara yang tak bergerak, awan musnah. Tapi, tulis­
Byron, ”Gelap tak perlu bantuan dari mereka. Gelap adalah Alam
Semesta itu sendiri. She was the Universe.”
Sedikit berlebihan, tentu saja, seperti setiap sajak. Sebab sela­lu­
ada jarak antara alam semesta dengan gelap dan terang. Itulah­se-
babnya dinihari begitu penting: perbatasan; transisi; pertemuan
dua hal, momen perbedaan, momen ketidakstabilan, tapi juga
keterbukaan.
Mungkin itulah kita bisa saling merindukan—kita yang lain,
kita yang beda, kita yang mungkin belum pernah bertemu. Di
jam-jam awal dari hari, di dinihari, ketika kita dengarkan dengan
sedikit tergetar oleh kangen yang tak terelakkan Sting menyanyi,
”In the wee small hours of the morning.” Dan kita dengar trompet
Chris Botti meningkah, dan terasa, semua yang akan berakhir se-
jenak seperti sesuatu yang abadi.

Tempo, 12 Oktober 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 9 269


http://facebook.com/indonesiapustaka

270
Catatan Pinggir 9
PLEONOXIA

A
pa gerangan yang akan dikatakan pangeran Jawa yang
meninggalkan istana itu, Ki Ageng Suryomentaram, se-
andainya ia hidup pada hari ini? Seandainya ia berjalan
di Sudirman Business District, Jakarta, antara Pacific Place yang
me­mamerkan benda-benda mentereng dan ruang BEJ di mana
har­ga saham rontok, para pemilik dana panik, dan di langit-la­
ngit­nya bergaung rasa cemas?
Mungkin inilah yang akan kita dengar dari Ki Ageng: ”Yang
menangis adalah yang berpunya. Yang berpunya adalah yang ke-
hilangan. Yang kehilangan adalah mereka yang ingin.”
Tapi mungkin tak seorang pun akan memahaminya.
Ia memang lain. Ia lahir pada 20 Mei 1892 di Keraton Yogya-
karta. Ia pangeran ke-55 di antara sederet putra Sultan Hamengku­
Buwono VII. Ibunya seorang garwa ampilan. Pangeran kecil ini
ber­sekolah di Srimenganti, yang dikelola istana. Pendidikan for-
malnya tipis, tapi ia berbahasa Belanda dengan baik, dan kemu-
dian belajar bahasa Arab dan Inggris. Dan ia membaca.
Pada umur 18 ia jadi Pangeran, dengan gelar ”Bendara­ Pa­
ngeran Harya Suryomentaram”. Kita tak tahu bagaimana hi­dup­
nya pada masa itu, tapi ada sebuah kejadian yang membuat masa
depannya berubah.
Dalam sebuah tulisan yang dimuat jurnal Archipel (nomor 16,
tahun 1978), Marcel Boneff menceritakan kembali kejadian itu.
Pada suatu hari, dalam perjalanan ke sebuah pesta perkawinan di
Keraton Surakarta, dari jendela kereta api sang Pangeran melihat­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ke luar. Di bentangan sawah, sejumlah manusia berkeringat,­ber­


susah payah, mencari sesuap nasi. Sementara itu di gerbong itu
ia duduk dengan megah dan nyaman: kenikmatan yang diper­
olehnya semata-mata karena ia dilahirkan di suatu tempat yang

Catatan Pinggir 9 271


PLEONOXIA

tak harus diraih. Bisakah ia berbahagia?


Sejak itu Suryomentaram mempertanyakan hal yang oleh
orang lain didiamkan: arti benda bagi hidup, arti punya bagi ma-
nusia.
Dalam bahasa Jawa ada dua kata yang hampir mirip, milik dan
mé­­lik. Yang pertama berarti ”punya” atau ”harta”. Yang kedua
ber­arti ”keinginan yang cemburu untuk mendapatkan sesuatu”.
Kini milik begitu penting dan mélik dilembagakan sebagai pe­
rilaku yang wajar; keduanya dianggap bagus buat pertumbuh­an
ekonomi. Dan jika dari kesibukan dengan milik dan mélik itu la-
hir sifat tamak, Sudirman Business District adalah saksinya. Di
sini bergema kata-kata Walter Williams, ekonom dari George
Ma­son University, tentang the virtue of greed: ”Sebutlah itu ta-
mak, atau egoisme, atau kepentingan diri yang tak sempit, tapi
akhirnya motivasi inilah yang membuat hal ihwal jadi.”
Mungkinkah itu sebabnya ”pasar”—yang digerakkan milik
dan mélik—tak mudah ditertibkan oleh Negara? Bank sentral
dan kementerian keuangan di seluruh dunia bergerak. Mereka
hendak membendung arus jatuh pasar saham, yang makin mem-
pengaruhi perekonomian secara keseluruhan. Tapi sejauh ini sia-
sia. Sejauh ini tampak bahwa Negara, yang bekerja untuk kepen­
ting­an umum, tak berdaya menghadapi pasar yang tamak yang
tak mengacuhkan res publica.
Yang tak selamanya disadari adalah cepatnya gerak milik dan
mélik pada zaman ini. Bersama cepatnya alir kekayaan dari tem-
pat ke tempat—ya, itulah globalisasi—terjadilah akselerasi has-
rat. Kepuasan akan satu benda dengan segera dihapus oleh hasrat
baru. ”Benda”—yang telah berubah jadi komoditas—kini jadi
http://facebook.com/indonesiapustaka

lambang ke-baru-an. Maka ada orang yang punya 10 mobil Jagu­


ar: ketika puas hilang, satu Jaguar lagi terbilang. Terus-menerus.
Menyimpan akhirnya jadi tak menarik. Masa depan, ditandai­
dengan yang ”baru”, jadi kian cepat tiba. Menabung kehilang­

272 Catatan Pinggir 9


PLEONOXIA

an alasannya. Kapitalisme zaman ini makin mengukuhkan da­


lil Leon Levy (”investor jenius dari Wall Street”, kata majalah
Forbes), bahwa ”tiap satu persen tabungan naik di masyarakat, la­
ba perusahaan akan turun 11 persen”.
Ada yang patologis dalam gejala itu. Kita hidup dengan ”pleo­
noxia”, penyakit jiwa yang didera keinginan segera mendapatkan
lagi, lagi, lebih, lebih.
Itu sebabnya saya teringat Ki Ageng Suryomentaram. Apa ge-
rangan yang akan dikatakannya? Pada masa hidupnya, ia tela­
dan.­Ia melihat bagaimana pleonoxia datang setapak demi seta­
pak.­Pangeran itu mencegahnya dengan drastis: ia meninggalkan
keraton. Sebelum umurnya 30, ia mengajukan surat agar gelar
Pa­ngerannya dibatalkan. Salah satu bangsawan terkaya di Yogya-
karta ini pun memberikan mobilnya kepada sopirnya, menyerah-
kan kuda-kudanya kepada pekatiknya. Lalu ia berangkat ke arah
Banyumas. Ia memakai nama ”Notodongso” dan praktis meng-
hilang. Ketika Raja menyuruh orang mencari putranya yang gan-
jil ini, mereka menemukannya di Kota Kroya: sedang menggali
sumur.
Apa yang dicarinya? ”Suprana-supréné, aku kok durung tau
kepethuk wong,” konon begitulah yang dikatakannya. ”Selama
ini, aku belum pernah berjumpa manusia.” Ia tahu, manusia le-
bur di antara milik dan mélik.
Syahdan, ia pun memilih hidup sebagai petani di Dusun Bri­
ngin.­Orang melihatnya selalu hanya memakai kathok pendek hi-
tam, tak bersandal. Di lehernya terkalung sehelai batik bermotif­
parang rusak barong yang konon melambangkan resistansi.
Mung­­­kin dengan itulah manusia muncul, kadang-kadang: da­
http://facebook.com/indonesiapustaka

lam menampik tamak, ia mencintai hidup dengan cara sederhana,­


menghargai liyan dengan mulut membisu.
Syahdan, pada suatu hari ia hendak pergi naik bus. Menjelang
masuk, seorang penumpang lain yang menyangka Suryomenta­

Catatan Pinggir 9 273


PLEONOXIA

ram seorang kuli menyerahkan sebuah koper agar diangkat. De-


ngan patuh Ki Ageng meletakkannya di dalam bus—dan segera
setelah itu, ia turun lagi. Ia membatalkan pergi. Ia tak ingin pe­
num­pang tadi jadi malu, telah salah menyuruhnya.
Begitu merendah—seorang yang tak akan kelihatan dari lan-
tai tinggi Sudirman Business District, seorang yang seakan-akan
menunjukkan: ”Lihat, tanganku di dekat akar rumput. Lebih
banyak yang bisa kita sentuh. Lebih banyak ketimbang yang bisa
kau rengkuh.”

Tempo, 19 Oktober 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

274 Catatan Pinggir 9


TAWA

D
engan kesadaran akan keterbatasan itu kita mene-
mui manusia dengan mengakui sifatnya yang ”komi-
kal”.
Kau menyukai lelucon dan aku menyukai tertawa. Justru ke-
tika kita menyadari, dengan sedikit sakit, harapan yang sulit di-
penuhi, impian yang rasanya mustahil. Tampaknya lawak bisa
juga sebuah tanda murung. Atau ketakmampuan mencapai.
Atau kesia-siaan.
”Bawa masuk para badut!” konon begitulah bisik di belakang
panggung bila sebuah pertunjukan terasa jadi hambar dan harus
diselamatkan, agar para penonton tak pergi. Send in the clowns!
kata lagu terkenal dalam musikal Broadway Little Night Music
pada 1973—sebuah lagu yang dinyanyikan saat tokoh lakon ini,
Desirée, terduduk bersendiri, sadar ia telah salah pilih dan kini
di­tinggalkan orang yang sebenarnya dicintainya. Seperti yang di-
katakan sang komponis, Stephen Sondheim: ini ”sebuah lagu se­
sal­dan amarah”.
”Bawa masuk para badut!”. Tapi seperti dicantumkan di akhir­
lagu itu, disadari bahwa para badut sebenarnya tak diperlukan
da­tang. ”Don’t bother, they are all here.” Mereka sudah di sini; me­
reka adalah kita sendiri.
Kita: badut. Antara ”kita”, ”badut”, dan ”kekonyolan”—seba­
gai­mana antara ”clown” dan ” fool” dalam teater Shakespeare—
ter­dapat pertautan. Di simpul itu tampak bahwa kita, manusia,
adalah makhluk yang peyot, meskipun tak putus-putusnya me­
http://facebook.com/indonesiapustaka

na­rik. Keadaan peyot yang dilihat bukan dengan rasa kesal itulah
yang membuat kehidupan tak membuka jalan bagi sifat takabur.
Hal itu agaknya perlu ditegaskan lagi kini, di masa ketika kita ke-
cewa kepada para tokoh, dan menghasratkan pahlawan datang,

Catatan Pinggir 9 275


TAWA

sementara, seperti hari-hari ini, dunia tetap tak bisa dibuat ten-
teram penuh.
Pada sifat peyot yang menarik itulah terletak humor. Humor,­
kata Simon Critchley dalam Infinitely Demanding, ”mengingat-
kan kita akan sifat rendah hati dan keterbatasan kondisi manusia”.
Dengan kesadaran akan keterbatasan itu kita menemui manusia
dengan mengakui sifatnya yang ”komikal”, comic acknowledg­
ment, bukan dalam sifatnya dalam posisi sebagai pahlawan trage-
di. Kita akan melihat diri kita, manusia, lebih sebagai Petruk atau
si Kabayan ketimbang sebagai Bisma atau Kumbakarna.
Memang perlu kematangan tersendiri untuk mendapatkan­
perspektif itu. Bertolak dari makalah Freud tentang humor,
Critch­ley memperkenalkan satu faktor dalam kesadaran manu­
sia, yang disebutnya ”super-ego II”. Kita ingat, dalam psikoanali­
sis­ Freud ”super-ego” adalah sang Penguasa yang Keras yang
meng­huni kesadaran manusia: ia pengawas, pengendali, dan pe­
nindak yang menyebabkan ego patuh kepada hukum ajaran mo­
ral­masyarakat. Tapi ”super-ego” pula yang dengan demikian me-
nyebabkan ego tertekan dan menderita.
Tapi Freud tak berhenti di situ. Dalam makalah bertahun
1927, ia menyebut kemungkinan hadirnya ”super-ego” yang bu­
kan­lagi sang Penguasa yang Streng. ”Super-ego” inilah yang ha-
dir dalam humor, yang ”berbicara dengan kata-kata yang ramah
yang menghibur kepada si ego yang ketakutan”. Itulah yang dise-
but Critchley sebagai ”super-ego II”.
Jiwa manusia akan lebih sehat, tak dirundung takut dan di­
dera rasa bersalah yang habis-habisan, jika ”super-ego” yang lain
ini tak dibungkam. Dengan kata lain: jika humor tak dimatikan
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan tawa serta permainan tak diharamkan. Dengan kata lain, ji­ka
manusia mengakui ada yang lucu dalam ketaksempurnaannya,­
tapi dengan pengakuan itu ia jadi akrab. Itulah saat ketika kita
tak didera untuk jadi Prometheus yang menantang dewa dan du-

276 Catatan Pinggir 9


TAWA

nia, mengalahkan apa yang di luar.


Maka bukankah pemeo populer itu benar, bahwa tertawa itu
sehat? Yang sehat adalah yang hidup dan tumbuh dan bekerja te­
rus­dalam keterbatasan, seperti cinta yang tak diakui tapi tulus.
Dari sini, kita bisa merayakan apa yang mungkin gagal tapi
in­dah, menyambut apa yang tak tentu tapi pada tiap detik mem-
beri alasan untuk hidup yang berarti.

Tempo, 26 Oktober 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 9 277


http://facebook.com/indonesiapustaka

278
Catatan Pinggir 9
KAKI LANGIT

D
I makam pahlawan tak dikenal, kita diberi tahu: ada
seorang yang luar biasa berjasa, tapi ia tak punya identi-
tas. Ia praktis sebuah penanda yang kosong. Tapi ham-
pir tiap bangsa, atau lebih baik: tiap ide kebangsaan, memberi sta-
tus yang istimewa kepada sosok yang entah berantah yang terku-
bur di makam itu.
Orang yang pertama kali melihat fenomen itu adalah Benedict­
Anderson. Dalam Imagined Communities-nya yang terkenal itu,
ia menulis: ”Betapapun kosongnya liang lahat itu dari sisa-sisa ke-
hidupan yang fana dan sukma yang abadi, tetap saja mereka sarat
dengan anggitan tentang ’kebangsaan’ yang membayang bagai
han­tu.”
Barangkali sebuah bangsa memang harus selalu menyediakan
ruang kosong untuk sebuah cita-cita. Seperti kita memandang ke
kaki langit yang sebenarnya tak berwujud, tapi kita ingin jelang.
Sekaligus, barangkali sebuah bangsa membutuhkan bayangan
yang bagai hantu tentang dirinya: antara jelas dan tak jelas.
Pahlawan Tak Dikenal. Pahlawan Kita. Antara ”tak dikenal”
dan ”kita” ada pertautan dan juga jarak. Ia yang gugur itu adalah
se­orang yang sebenarnya asing—bukan yang dalam bahasa Ing­
gris disebut foreigner, melainkan stranger—tapi ia juga bagian ter-
dalam dari aku dan engkau. Jika tampak ada yang bertentang­an
di sini, mungkin itu juga menunjukkan bahwa sebuah bangsa­—
seperti yang dimaklumkan oleh Sumpah Pemuda pada 1928
itu­­—memang mengandung ketegangan dan keterpautan antara
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang asing dan yang tak asing dalam dirinya sendiri.


Seperti sang pahlawan yang tak dikenal itu: yang termasuk
dalam ”kita” tak selamanya datang dari puak kita. Salah satu ana-
sir dalam bangsa bisa bekerja untuk unsur yang lain, meskipun

Catatan Pinggir 9 279


KAKI LANGIT

keduanya tak saling kenal betul, bahkan ada saat-saat ketika yang
satu disebut ”asing” oleh yang lain. Itulah sebabnya kepeloporan­
para pendiri Indische Partij tak dapat dilupakan: ”orang Indone­
sia” adalah orang yang bisa melintasi batas, menemui yang ”asing”,­
untuk jadi satu—tapi di situ ”satu” sebenarnya sama dengan yang
tak terhingga. Sebab sebuah bangsa yang tak didefinisikan oleh
ikatan darah adalah sebuah bangsa yang selalu siap menjangkau
yang beda—dan yang beda tak bisa dirumuskan lebih dulu, tak
bisa dikategorisasikan kemudian. Ia tak tepermanai.
Seperti pahlawan tak dikenal itu: ia memberikan hidupnya
bu­at kau dan aku, tapi ia bukan bagian kau dan aku.
Maka tak aneh jika dalam semangat kebangsaan, tersirat se-
buah paradoks: sesuatu yang universal ada di dalamnya. Sebab
se­buah bangsa pada akhirnya hanya secara samar-samar, seperti
hantu, bisa merumuskan dirinya sendiri. Yang penting akhirnya
bukanlah definisi, melainkan hasrat. Renan menyebut bahwa
bang­sa lahir dari ”hasrat buat bersatu”, tapi seperti halnya tiap
has­rat, ia tak akan sepenuhnya terpenuhi dan hilang. Hidup tak
pernah berhenti kecuali mati.
Dalam hal itu, orang sering lupa bahwa bangsa sebenarnya bu-
kan sebuah asal. Ia sebuah cita-cita—dan di dalamnya termaktub
cita-cita untuk hal-hal yang universal: kebebasan dan keadilan.
Bangsa adalah kaki langit.
Kaki langit: impian yang mustahil, sulit, tapi berharga untuk
disimpan dalam hati. Sebab ia impian untuk merayakan sesuatu
yang bukan hanya diri sendiri, meskipun tak mudah.
Sebuah bangsa adalah sebuah proses. Jangan takut dengan
pro­ses itu, kata orang yang arif. Tak jarang datang saat-saat yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

nya­ris putus harapan, tapi seperti kata Beckett dalam Worstward


Ho, ”Coba lagi. Gagal lagi. Gagal dengan lebih baik lagi.”

Tempo, 2 November 2008

280 Catatan Pinggir 9


OBAMA, 2008

Weep no more, my lady,


Oh, weep no more today

K
AU kembali ke pojok yang agak diterangi matahari di­
kerimbunan hutan itu. Kau kembali dengan mesin wak-
tu yang tak sempurna, tapi masih kau dengar kor itu, My
Old Kentucky Home, lagu murung yang bertahun-tahun terde­
ngar­sampai jauh lepas dari Sungai Mississippi, sejak Stephen Fos-
ter menulisnya. Itu tahun 1853. Budak belian hitam yang menco­
ba jeda dari terik dan jerih ladang tembakau. Sebuah selingan se­
derhana dari rutin panjang yang tak pernah dinamai ”Penghisap­
an”. Sebuah sudut hutan yang jadi majelis tersembunyi.­Sebuah
ruang buat orang-orang yang dirantai dan dinista untuk berkum-
pul dan bertanya: apa sebenarnya semua ini?
Kau tak tahu kapan kau datang. Tapi dengan mesin waktu
yang tak sempurna kau lihat seorang perempuan tua berbicara
di depan majelis itu, di depan jemaat yang takut menyebut nama
Tu­han. Ia mengingatkan kamu kepada Baby Suggs dalam Be­
loved­ Toni Morrison. Kau dengar ia berbicara tentang sesuatu
yang menakjubkan tapi diabaikan, sesuatu yang biasa tapi tak ter-
duga-duga: daging, jangat, tulang, sendi yang sanggup menang-
gung pukulan dan dera perbudakan, kelenjar yang menitikkan
air mata, jantung yang sesak sebelum tangis, tubuh yang me­
nyem­buhkan lukanya sendiri, badan yang dari kepedihan bisa
me­nyanyi, menari, menyanyi.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Saudara-saudaraku, tubuh kita bisa mengejutkan kita. Ka­


dang-kadang dengan kegagahan. Kadang-kadang dengan kein-
dahan. Semuanya terbatas, tapi dengan itu kita menggapai yang
tak terhingga. Semuanya fana, tapi tiap kali memberi arti yang

Catatan Pinggir 9 281


OBAMA, 2008

kekal. Maka jangan menangis lagi.


Kau lihat orang-orang terpekur. Kau mungkin tak tahu kena­
pa: mereka ingin percaya. Tapi mereka juga mendengar, konon di
atas tubuh bertakhta Takdir. Yang tetap. Yang tegar. Yang lurus­
dan terang-benderang. Yang tangan-tangannya menebarkan da­
ya tersendiri, merasuki ke otak, setitik demi setitik.
Otak itulah yang kemudian memproduksi alasan. Telah lahir­
penjelasan yang gamblang, bahwa ada pigmen dalam kulit yang
ja­di nasib. Pigmen kita membuat hakikat kita. Ada orang hitam,
ada kulit ”negro”, ada juga yang ”putih”. Warna-warna itulah
yang mengarahkan sejarah. Identitas adalah nujum. Ada esensi
sebelum eksistensi.
Tapi benarkah Takdir segala-galanya? Di majelis hutan Missi­
ssippi itu, suara perempuan tua itu merendah: ”Saudara-saudara-
ku, kegelapan menyertai kita.”
”Kegelapan di balik pori-pori, di ceruk sel darah merah dan
ge­tah bening. Kegelapan dalam suara serak, dalam lagu Old Black
Joe yang memberat menjelang ajal. Kegelapan Maut, kege­lapan
kata-kata Tuhan yang tak selamanya kita mengerti, kegelap­an
yang mengelak dari Takdir yang makin lama makin putih.
”Kegelapan yang membiarkan kita tak punya nama, yang me-
nampik nama bila nama adalah daftar milik yang jelas dari tuan-
tuan kita. Kegelapan hutan ini yang teduh. Kegelapan yang me-
lindungi kita dari Kebengisan.”

Blood on the leaves


And blood at the root
Black bodies swinging
http://facebook.com/indonesiapustaka

In the southern breeze


Strange fruits hanging
From the poplar trees

282 Catatan Pinggir 9


OBAMA, 2008

Kebengisan itu tak pernah kau lihat. Mesin-waktumu yang


tak sempurna hanya menemukan potret tubuh George Hughes
yang digantung di dahan pohon. Tak hanya digantung. Ia diba-
kar. Ini Sherman, Texas, 1930.
Kau bisa baca di perpustakaan kota itu: ”negro” buruh tani ini
ditangkap dengan tuduhan membunuh majikannya dan mem-
perkosa istri si tuan. Di kampung kecil yang jarang dihuni itu,
bisik-bisik beredar: Hughes adalah ”hewan yang tahu betul apa
yang dimauinya”.
Para petani kulit putih yang tinggal di dusun itu telah lama
be­ringas, dan kini punya alasan buat lebih beringas. Mereka yang
selamanya takut, curiga, dan benci kepada makhluk dengan pig-
men berbeda itu kini punya dalih. Mereka serbu gedung peng­
adil­an tempat Hughes ditahan. Mereka bakar. Hughes mereka
seret ke luar dan mereka lemparkan ke atas truk. Polisi tak ber-
buat apa-apa—malah membantu mengatur lalu lintas. Di sebuah
lapangan dekat tempat tinggal orang hitam, Hughes diikat dan
dikerek ke atas sebuah pohon. Api besar dinyalakan.
Dalam sebuah potret kau lihat: Hughes yang tinggal arang,
terpentang, bergayut, pada pokok yang rendah.
Orosco mengabadikan adegan itu dalam sebuah litograf da­
ri tahun 1934, Negros Colgados. Lihat, tak cuma satu ”negro”.
Tu­buh-tubuh yang dibunuh itu bergelantungan seperti puluh­
an buah yang aneh. Billie Holiday mengungkapkannya dalam
Strange Fruits: suaranya setengah serak, dengan pilu yang seakan-­
akan telah jadi napas: Darah pada daun/darah pada akar/Jasad hi­
tam yang terayun-ayun/di angin selatan/buah ganjil yang tergan­
tung/di pohon poplar.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ada sesuatu yang lain pada lagu itu, yang mula-mula tampak
pada litograf Orosco: pohon dan dahan itu—tak dihiasi daun-
daun—seakan-akan menegaskan kekuatan yang lurus, lugas,
te­gak. Juga ia tempat pameran yang meyakinkan. Tak sengaja­

Catatan Pinggir 9 283


OBAMA, 2008

Orosco mengingatkan kita bahwa sebuah negeri, sebuah tata,


adalah bangunan yang kuat karena ia memamerkan sesuatu yang
lurus dan sekaligus mengancam. Dengan kata lain: kebengisan.
Kebengisan itu sering ditutupi dengan kata-kata: ”utuh”, ”har­
monis”, ”mufakat”, seakan-akan sesuatu yang mulia telah diraih.
Seakan-akan tak ada pergulatan politik di baliknya. Seakan-­akan
yang ada hanya arsitektur Tuhan. Tapi nyanyian Billie Holiday
mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi yang disembunyikan:
ia berbisik tentang daerah pedalaman Selatan Amerika yang pu-
nya sejarah yang gagah, the gallant South, tapi ia segera menyebut
wajah kesakitan orang-orang hitam yang tercekik. Ia menyebut
”harum segar manis kembang magnolia”, tapi di baris berikutnya
”bau jangat terbakar yang terhidu tiba-tiba”.
Tiap tata dibentuk dengan taksonomi: ”putih”, ”hitam”, ”bor-
juis”, ”proletar”, ”asli”, ”tak-asli”, ”mayoritas”, ”minoritas”. Tiap
tak­sonomi dimulai dengan kepalsuan dan pemaksaan.
Tapi itu berarti di sini tak ada Takdir. Tak ada hakikat sebelum
apa yang diperbuat. Tak ada esensi sebelum eksistensi. Pemba­gi­
an, apalagi pemisahan rasial, sepenuhnya hasil sebuah proses poli-
tik. Si ”hitam” bukan jadi ”hitam” karena ia diciptakan ”hitam”,­
me­lainkan karena ia distempel dan disensus dan dikelompokkan
ke dalam kategori ”hitam”. Sejarah ”hitam” dan ”putih” adalah
ri­wayat pergelutan, terkadang dengan pertempuran, terkadang
de­ngan teriak mengajak maju, serempak, berbaris, 1.000 pekik
dari pita suara yang panas.

Yes, we can
Yes, we can
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kau dengar suara itu di kerumunan manusia di Grant Park,


Chicago, 4 November 2008 malam. Ya, kita dapat. Ya, kita sang-
gup. Kita—kata orang-orang itu—sanggup membuat seorang

284 Catatan Pinggir 9


OBAMA, 2008

Amerika dengan nama yang aneh dipilih jadi presiden dengan


dukungan yang meyakinkan. Kita sanggup mengubah warisan
sejarah yang telah memicu Perang Saudara pada abad ke-19. Kita
sanggup mengguncang pohon tempat kebengisan dipajang se­
akan-­akan sebuah struktur yang cantik.
Tapi ini bukan hanya cerita kemenangan seorang yang bisa
me­lintasi taksonomi ”hitam-putih”. Ini terutama cerita keme­
nang­an dari pengertian lain tentang ”politik”. Sebab yang datang
bersama Obama bukanlah politik sebagai kiat untuk mendapat-
kan yang-mungkin. Pada tahun 2008 ini, di Amerika Serikat kita
justru menyaksikan ”politik” sebagai hasrat, setengah nekat, un-
tuk menggayuh yang-tak-mungkin.
Yang-tak-mungkin memang akan selamanya tak-mungkin.
Tapi yang-mustahil itu jadi berarti karena ia memanggil terus-
me­nerus, dan ia membuat kita merasakan sesuatu yang tak ter-
hingga—yang agaknya menyebabkan jutaan orang bersedia an-
tre berjam-jam untuk memilih dan mengubah sejarah: mereka
menyebutnya Keadilan, atau Kemerdekaan, atau nama lain yang
menggugah hati. Seperti cinta yang terbata-bata tapi tulus. Seper­
ti sajak yang hanya satu bait tapi menggetarkan.
Seperti tubuh-tubuh yang kau lihat menyanyi di hutan itu.

Weep no more, my lady,


Oh, weep no more today.

Tempo, 16 November 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 9 285


http://facebook.com/indonesiapustaka

286
Catatan Pinggir 9
DI ZAMAN YANG MELESET

K
ATA sebuah kisah, John Maynard Keynes pernah mem-
buang sebakul handuk kamar mandi ke lantai di tengah­
sebuah pembicaraan yang serius. Orang-orang terkejut.­
Tapi begitulah agaknya ekonom termasyhur itu menjelaskan pe­
sannya: Jangan takut berbuat drastis, untuk menciptakan keada­
an di mana bertambah kebutuhan akan kerja. Dengan itu orang
akan dapat nafkah dan perekonomian akan bisa bergerak.
Waktu itu Keynes sedang berceramah di Washington DC pa­
da 1930-an. Krisis ekonomi yang bermula di Amerika Serikat
pada 1929 telah menyebar ke seluruh dunia. ”Depresi Besar”—
de­ngan suasana malaise—berkecamuk di mana-mana. Di Indo-
nesia orang menyebutnya ”zaman meleset”.
Kata ”meleset” sebenarnya tak salah. Prediksi yang dibuat, ju­
ga oleh para pakar ekonomi, terbentur dengan kenyataan bahwa­
dasarnya sebenarnya guyah. ”Kenyataan yang sangat menonjol,”
tulis Keynes, ”adalah sangat guyah-lemahnya basis pengetahuan
yang mendasari perkiraan yang harus dibuat tentang hasil yang
pros­pektif.” Kita menyamarkan ketidakpastian dari diri kita sen­
diri, dengan berasumsi bahwa masa depan akan seperti masa la­
lu. Ilmu ekonomi, kata pengarang The General Theory of Employ­
ment, Interest, and Money yang terbit pada 1936 itu, hanyalah
”tek­nik yang cantik dan sopan” yang mencoba berurusan dengan
masa kini, dengan menarik kesimpulan dari fakta bahwa kita se­
be­tulnya tahu sedikit sekali tentang kelak.
Yang menarik di situ adalah pengakuan: manusia—juga para
http://facebook.com/indonesiapustaka

pakar—tak tahu banyak tentang perjalanan hidupnya sendiri.


Kita ingat ucapan Keynes yang terkenal bahwa yang pasti tentang
kelak adalah bahwa kita semua akan mati. Hidup dan sejarah,
me­nurut Keynes, terdiri atas proses jangka pendek, short runs.

Catatan Pinggir 9 287


DI ZAMAN YANG MELESET

Ada seorang mantan redaktur The Times yang pernah menulis


bahwa kesukaan Keynes akan jangka pendek hanya akibat ketak-
mampuannya menghargai nilai yang berlanjut beberapa generasi.
Dan ini, kata penulis itu, disebabkan sifat seksualitasnya: Keynes
seorang gay.
Memang benar, sejak muda, terutama ketika ia masih berse­
ko­lah di Eton, Keynes hanya berpacaran dengan sesama pria,
mes­kipun ia kemudian menikah dengan Lydia Lopokova, bale-
rina asal Rusia. Tapi tak jelas benarkah ada hubungan antara ten-
densi seksual itu dan teori ekonominya—yang sebenarnya juga
sebuah teori tentang manusia.
Manusia adalah makhluk yang bisa meleset dalam memperki-
rakan, tapi dalam teori Keynes, manusia bukan peran yang pa-
sif. Sejak Adam Smith memperkenalkan pengertian tentang ”Ta­
ngan yang Tak Tampak”, yang mengatur permintaan dan pe­na­
waran, para ekonom cenderung memberikan peran yang begitu
do­minan kepada sang Pasar. Tapi Keynes ragu.
Sejak 1907, sejak ia bekerja untuk urusan koloni Inggris terbe-
sar, India, Keynes tak begitu percaya bahwa dengan mekanisme
yang tak terlihat, pasar akan bisa memecahkan problemnya sen­
di­ri. Pasar, kata Keynes, ”akan tergantung oleh gelombang pera­
sa­an optimistis atau pesimistis, yang tak memakai nalar tapi sah
juga ketika tak ada dasar yang solid untuk sebuah perhitungan
yang masuk akal”.
Tapi kemampuan untuk bertindak ”tak memakai nalar” ada­
lah satu sisi dari manusia. Sisi lain adalah kapasitasnya untuk me­
ngendalikan pasar. Abad ke-20 bagi Keynes adalah ”era stabili­
sasi” yang mencoba mengganti ”anarki perekonomian” dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

pe­ngarahan dan kontrol atas kekuatan-kekuatan ekonomi, agar


ter­capai keadilan dan stabilitas sosial. Keynes percaya: kekuatan
politik, khususnya Negara, bisa berperan besar ke arah sebuah
ha­sil yang positif, dan perencanaan ekonomi sedikit-banyak di-

288 Catatan Pinggir 9


DI ZAMAN YANG MELESET

perlukan.
Adakah ia seorang ”etatis”? Saya pernah membaca seorang pe­
nulis yang menunjukkan bagaimana Keynes, dalam kata peng­
antar untuk terjemahan Jerman atas bukunya, The General Theo­
ry, menyatakan bahwa teorinya ”lebih mudah disesuaikan kepa-
da kondisi sebuah negara totaliter”, ketimbang ke sebuah Nega­
ra yang pasarnya dibiarkan bebas, laissez faire. Ini karena, kata
Keynes, dalam negara totaliter ”kepemimpinan nasional lebih
me­ngemuka”.
Keynes memang menyaksikan bagaimana Jerman, di bawah
Na­zi, bisa mengelakkan empasan Depresi Besar. Tapi tentu berle­
bihan untuk menyimpulkan Keynes percaya akan sebuah sistem
yang mengklaim punya jalan keluar yang benar selama-lamanya.
Ketika para intelektual Inggris yang ”kekiri-kirian” pada menga­
gumi Uni Soviet dan Perencanaan Lima Tahun ala Stalin, Keynes
tak ikut arus.
Suatu hari ia berkunjung ke Rusia dan bertemu dengan sanak
ke­luarga istrinya di St Petersburg. Mereka melarat dan menderita.
Keynes melihat bagaimana ajaran Stalin gagal. Ajaran ini tak bisa
dikritik, meskipun hanya ”sebuah buku teks yang sudah kedalu-
warsa” tentang ekonomi.
Manusia adalah kecerdasan yang bisa mengatasi keterbatas­
an—seraya menyadari keterbatasan kecerdasan itu sendiri. Ma-
nusia bisa merancang dan mengendalikan pasar tapi juga ia bisa
bikin rusak—dan kemudian bisa mengenal dan mengoreksi ke-
salahan dalam pengendalian itu. Ada kepercayaan diri yang luar
biasa pada Keynes.
Dengan penampilan yang rapi dan dengan perilaku yang khas
http://facebook.com/indonesiapustaka

warga elite masyarakat Inggris—lebih karena kepiawaian pikir­


annya ketimbang karena asal-usul sosialnya—Keynes lahir di
Cambridge pada 1883 di keluarga akademisi yang bukan bagian
pucuk kehidupan intelektual di sana. Tapi itu sudah cukup mem-

Catatan Pinggir 9 289


DI ZAMAN YANG MELESET

buat John Maynard seorang pemuda cemerlang yang tertarik


akan rangsangan hidup yang luas. Ia tak hanya seorang ekonom.
Ia kolektor seni rupa kontemporer, pencinta balet, penggerak ke-
hidupan kesenian; ia juga pemain pasar modal dan valas yang,
mes­kipun pernah gagal, bisa makmur dan dengan itu membantu
rekan-rekannya yang satu lingkungan.
Di kebun halamannya di Tilton, di wilayah Sussex yang tak
ja­uh dari London, ia adalah tuan rumah untuk saat-saat minum
teh seraya berdiskusi dengan teman-temannya yang terdekat,
semuanya anggota kalangan cendekiawan Inggris yang terkenal.
Di sana secara teratur datang Leonard dan Virginia Woolf, Mary
MacCarthy, dan E.M. Foster. Dalam ”Bloomsbury Group” ini,
ekonomi, sastra, dan estetika dibicarakan dengan cemerlang; no­
vel dan teori-teori terkenal ditulis.
Saya tak tahu apakah dari kalangan ini semacam aristokrasi
jiwa tumbuh pada Keynes. Ada sebuah kritik yang datang dari
Friedrich von Hayek, guru besar asal Austria yang mengajar di
Lon­don School of Economics. Hayek menyaksikan bagaimana
Negara yang gagal mengatur dananya akan rudin terlanda infla­
si. Kekayaan akan menciut habis. Tapi juga Hayek punya kritik
yang lebih mendasar: pandangan Keynes yang meningkatkan
jangkauan tangan Negara akan mematikan kebebasan, dan akan
membuat borjuasi terhambat.
Tapi bagi Keynes, jangkauan yang seperti itu tak sepenuhnya
berbahaya, kalau dilakukan oleh satu lapisan elite yang progresif
dan cerdas, seperti para lulusan Oxford, Cambridge, atau Har-
vard. Aristokrasi ini diharapkan akan bisa merencanakan pereko-
nomian ke arah terbangunnya ”Negara kesejahteraan”. Setidak­
http://facebook.com/indonesiapustaka

nya, dengan kepemimpinan yang pintar dan bisa dipercaya, Ne­


ga­ra sanggup memberikan stimulus yang kuat bukan saja untuk
keadilan, tapi juga untuk pertumbuhan. Contoh handuk yang di­
lemparkan Keynes ke lantai itu bisa terus diingat: perlu keberani­

290 Catatan Pinggir 9


DI ZAMAN YANG MELESET

an para pengambil keputusan politik buat melakukan sesuatu di


luar formula kapitalisme.
Tapi tentu saja bahkan Keynes tak selamanya benar. Pada
1980-an, formula kapitalisme kembali menguat. Para pemimpin
tak mau lagi mencoba menegakkan ”Negara kesejahteraan”. Niat
me­nyebarkan kesejahteraan ke seluruh masyarakat telah melahir­
kan­sebuah perekonomian yang terancam inflasi tapi sementara­
itu hampir mandek. Untuk kesejahteraan yang menyeluruh dan
me­rata di masyarakat, pajak harus ditarik agar Negara punya­
uang untuk bekerja. Tapi dengan demikian orang enggan meraih
hasil sendiri. Negara, sebagai lembaga publik, merasa wajib meng­
atur perilaku ekonomi, termasuk modal. Tapi dengan de­mikian
inisiatif melemah dan dinamisme pertumbuhan terganggu.
Pada saat itulah Reagan jadi Presiden Amerika Serikat dan
Thatcher jadi Perdana Menteri Inggris. Kedua pemimpin ini me­
mulai ”revolusi”: pajak diturunkan, regulasi diminimalkan, dan
in­tervensi Negara praktis diharamkan.
Tapi bila Keynes bisa dibantah oleh dua dasawarsa kemakmur­
an yang tampak di bawah perekonomian ala Reagan dan That­
cher,­Keynes juga bisa dibenarkan di sisi lain: bukankah ia pernah
mengatakan hidup dan sejarah terdiri atas proses jangka-pendek?
Ketika pemecahan soal di sebuah saat dikukuhkan jadi obat mu-
jarab sepanjang masa, manusia lupa akan keterbatasan kecerdas­
annya sendiri.
Itu juga yang ditunjukkan Francis Fukuyama ketika ia menye­
butkan di mana salahnya ”Revolusi Reagan”. Sebagaimana semua
gerakan perubahan, tulis Fukuyama, ”Revolusi Reagan sesat ja-
lan karena... ia jadi sebuah ideologi yang tak dapat digugat, bu-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kan sebuah jawaban pragmatis terhadap ekses-ekses Negara ke-


sejahteraan.”
Kini tampaknya sejarah jadi jera. Krisis yang sekarang melan-
da dunia mengingatkan orang pada Keynes lagi dan bahwa ada

Catatan Pinggir 9 291


DI ZAMAN YANG MELESET

keyakinan yang aus—terutama di tengah penderitaan manusia.


Tahun 2008 ini zaman ”meleset” lagi. Usaha sulit dan para
pengang­gur kian bertambah. Kita membaca angka-angka itu.
Kita cemas. Tapi mungkin kita masih memerlukan pengingat
lain tentang bengisnya keadaan—seperti Amerika merekam pa-
hitnya hidup dilanda Depresi Besar dalam novel termasyhur John
Steinbeck, The Grapes of Wrath, yang terbit pada 1936.
Dalam cerita rekaan ini, sosok Tom Joad dan sanak saudara­
nya telah jadi orang-orang yang terusir, kehilangan tanah, kehi­
langan kerja, bermigrasi ke wilayah jauh. Semuanya membangun­
murung yang tak terhindarkan, ditingkah topan debu yang mera-
jalela bersama putus asa.
Tapi tak semuanya patah. Dalam kesetiakawanan, terbit ha­
rap­an. Menjelang akhir novel, Tom Joad menghangatkan hati
ki­ta karena tekadnya menyertai mereka yang berjuang dalam
ke­kurangan: ”Kapan saja orang berantem supaya yang lapar bisa
makan, aku akan di sana....”
Mungkin ini awal semacam sosialisme—yang tak harus da­
tang dari atas.

Tempo, 30 November 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

292 Catatan Pinggir 9


MUMBAI

”... yes, it was my Bombay, but also not-mine”

S
aleem kembali ke kota kelahirannya, Bombay: tempat
tinggal nostalgianya yang paling dalam. Tapi di awal ta-
hun 1970-an itu, kota itu telah berubah.
Tokoh utama novel Salman Rushdie Midnight’s Children ini
tak menemukan kembali toko penjual tumpukan komik Super-
man. Dan nun di bukit itu tak ada lagi rumah-rumah megah yang
dirias bunga bougenville, menatap ke laut. Tak ada lagi lapang­an
sirkus di masa kanak. Kini yang tampak adalah ”monster-mons­
ter yang mengangkang menjulang ke langit, memanggul nama
asing yang ganjil: OBEROI-SHERATON....”
Saleem, yang dilahirkan di tengah malam 15 Agustus 1947,
per­sis di hari India lahir, akhirnya cuma punya masa lalu. Ia me-
masuki kota itu seraya memeluk erat Aadam, si bocah yang jadi
anak­nya, dan berseru gembira: ”Back-to-Bom!” Tapi ia tak bisa
kem­bali. Sebab itu ia harus musnah. Durga telah berkata kepa­da­
nya: ”... ketika orang kehilangan minat pada hal-ihwal yang baru,
ia membuka pintu bagi Malaikat Hitam.”
Kini Bombay disebut Mumbai—hampir sepenuhnya sebuah
hal baru, dibentuk minat baru. Orang jadi penting bila berlalu
lalang di ruang pasar modal yang terus membubung, atau di kori­
dor industri film yang menjangkau dunia. Dengan glamor dan
kalkulator mereka membuat hotel megah seperti Oberoi dan Taj
Mahal bukan sebagai monster yang asing, melainkan sebuah ke­
http://facebook.com/indonesiapustaka

gairah­an yang tak dimengerti Saleem.


Tapi berbeda dengan Saleem, para penghuni Mumbai di la­
pis­an atas itu tak hendak sepenuhnya berpijak ke kota yang oleh
orang Portugis disebut ”Teluk yang Baik” (Bom Bahia) itu. Da­

Catatan Pinggir 9 293


MUMBAI

lam­sebuah buku yang memukau tentang pesona dan kebrutalan


Bom­bay, Maximum City, Suketu Mehta menggambarkan sebuah
kalangan atas, the society set, yang sebenarnya benci hidup di sana.
Mereka tinggal di Mumbai karena tak bisa hidup di tempat lain
di India. Bila mereka pindah, mereka pindah ke New York atau
London. Atau mereka bawa New York dan London ke ibu kota
ne­gara bagian Maharashtra itu. ”Jika kita berjalan lepas dari ja­
lan­an Bombay yang jorok, kita akan berada di Soho,” tulis Meh-
ta. ”Seluruh usaha dicurahkan untuk membuatnya ’luar-negeri’:
para pe­layannya, makanannya, dekornya.”
Tapi mungkin tak hanya kalangan atas yang memimpikan ne­
geri lain. Dengan akses yang relatif mudah ke kancah diaspora
orang-orang India di seluruh dunia, terutama di Amerika dan
Ero­pa, sebenarnya tak jelas betul mana yang ”asing” dan bukan,
ma­na yang ”luar” dan ”dalam”.
Saleem dalam Midnight’s Children—yang riwayatnya oleh
Salman Rushdie diparalelkan dengan bangsa dan negara ”India”
—sebenarnya berdarah Inggris; ia anak haram William Meth-
wold, yang ditukar jadi anak Ahmed dan Amina Sinai. Sampai
akhir hayatnya, Saleem adalah sebuah keragaman dalam satu so-
sok, keanekaan yang batasnya tak jelas. Agaknya menyadari ini,
kutipan awal dalam Maximum City diambil dari ucapan Kabir:
”Aku sendirian, tapi beberapa.”
Bahkan dalam kesendirian, apakah makna batas? Di mana ia
ditarik? Hari-hari ketika Mumbai kena gempur sejumlah teroris
yang tak dikenal, para pemimpin politik dan komentator India
berbicara tentang ”kekuatan luar” dan ”perbatasan yang bolong-
bolong” yang menyebabkan serangan sehebat itu terjadi. Tapi ji­ka
http://facebook.com/indonesiapustaka

Mumbai, seperti Saleem—ya, seperti India seluruhnya—tak ha­


nya satu, melainkan kebhinekaan, maka yang ”asing” dan yang
”lu­ar” adalah identifikasi yang mudah runyam.
Maximum City mengutip Victor Hugo: semua kota besar di­

294 Catatan Pinggir 9


MUMBAI

run­dung skizofrenia. Mumbai dirundung gejala kepribadian


gan­da yang bisa parah. Mehta berhasil menghadirkan kepada ki­
ta dunia gelap yang tersembunyi di kota terkaya di India ini: ada
Monalisa, penari kabaret yang memotong pergelangan tangan­
nya sendiri, ada Vijay Lal, perwira polisi yang jujur tapi tak eng-
gan menyiksa tahanannya. Ada Sunil, Satish, dan Mohsin, yang
bi­sa bercerita dengan acuh tak acuh bagaimana membunuh
orang.
Mehta tak menjerit menghakimi mereka, meskipun kita bisa
merasakan horor yang merayap ke dalam laporannya.
Dalam cerita Sunil, misalnya. Ia anggota Shiv Sena, organi­sa­si
Hindu yang tumbuh dengan dendam dan kebencian kepada­mi-
noritas muslim. Pada Januari 1993, setelah sebuah bentrok­an an-
tara Hindu-muslim, Sunil dan teman-temannya bergerak mem­
ba­bat orang muslim, menjarah milik mereka, membakar tu­buh
me­reka hidup-hidup.
Dengan rinci ia gambarkan bagaimana seseorang mati terba-
kar. ”Minyak menetes dari tubuhnya. Matanya jadi besar, besar...
dan jika kau sentuh tangannya, putihnya kelihatan, putih, pu-
tih... terutama di hidung.”
Horor, dia sendiri mengakui itu. Tapi ia dengan tenang mem-
basmi habis tubuh penjual roti langganannya. ”Kejahatannya ter-
besar adalah ia muslim,” seperti kata seorang anggota Sena yang
lain.
Hal yang sama bisa dikatakan oleh seorang muslim yang me-
menggal leher seorang Hindu: ”Kejahatannya terbesar adalah ia
Hindu”—dan sebab itu identitas di Mumbai, sebagaimana diki-
sahkan Mehta, harus bisa dikaburkan: kartu nama dicetak dalam
http://facebook.com/indonesiapustaka

dua versi, muslim dan Hindu.


Ini cara untuk selamat, ini mungkin bukan heroisme, tapi ja­
ngan-­jangan ini menunjukkan dasar persoalan: bagaimana kita
men­definisikan diri dan orang lain?

Catatan Pinggir 9 295


MUMBAI

Dalam kisah Salman Rushdie, Saleem menutup kisahnya de-


ngan sebuah kalimat amat panjang. Tapi kata-katanya bukan se-
buah ucapan selamat tinggal kepada India yang beraneka-ragam.
Justru sebaliknya:

”Akulah bom di Bombay, simaklah aku meledak, tulang pe­cah-


retak tertekan desakan tak enak kelimunan manusia, kantung berisi
belulang yang jatuh, ke bawah ke bawah ke bawah...
... aku telah jadi yang-begitu-banyak-terlampau-banyak....”

”Terlampau banyak”: perbedaan bukanlah sesuatu yang gam-


pang berhenti. Siapa yang memaksakan sesuatu yang tunggal,
akan batal.

Tempo, 7 Desember 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

296 Catatan Pinggir 9


FORTINBRAS

D
I tiap tikungan sejarah, orang akan menemukan se­
orang Fortinbras. Pangeran Norwegia yang masih­mu­
da ini hanya punya peran kecil dalam Hamlet Shakes­
peare, tapi dalam dirinyalah tindakan adalah keluhuran tapi juga
absurditas.
Pada suatu hari, di sebuah padang rumput di luar kota, Ham-
let menyaksikan pangeran itu menggelar pasukan: 20 ribu praju-
rit yang siap ”masuk ke kubur seakan-akan hendak berangkat ti-
dur”. Dan semua itu hanya untuk merebut beberapa hasta tanah
yang tak berarti, petak yang begitu kecil hingga tak cukup un-
tuk jadi makam tempat ”mereka yang terbunuh [akan] disembu-
nyikan”.
Tapi agaknya itulah yang membedakan manusia dari hewan:
bahkan demi ”sekerat cangkang telur” pun orang macam Fortin-
bras siap menantang nasib dan ajal, menyepelekan apa yang tak
dapat diramalkan, untuk mempertaruhkan martabat diri.
Tentu, ada yang gila, dahsyat, dan merisaukan dalam tiap ke­
pahlawanan. Tapi kegilaan dan kedahsyatan Fortinbras meng-
gugah Hamlet. Akhirnya pangeran perenung dari Istana Elsinore
ini menyimpulkan betapa salahnya orang yang larut dalam pikir­
an—”yang sebagian membuat kita arif, dan tiga bagian membuat
kita pengecut”. Sejak hari itu, Hamlet menentukan sikap: ia akan
bikin pikirannya ”berlumur darah”—atau sama sekali tak ber-
harga.
Demikianlah ”yang fana dan tak pasti” pun bersiap, nasib
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan kemungkinan mati dihadapi. Orang tak perlu lagi ”memikir-


kan terlalu persis apa yang terjadi”. Sebab kita tahu sebagaimana
Hamlet tahu: kepastian tentang apa yang benar dan tak benar,
adil dan tak adil, patut atau tak patut, adalah garis-garis yang tak

Catatan Pinggir 9 297


FORTINBRAS

dapat sepenuhnya tajam dan dapat dikekalkan. Momen keputus­


an, seperti kata Derrida, selalu merupakan momen yang mende-
sak, momen yang digegas. ”Saat keputusan adalah sebuah kegila­
an” (ia mengutip Kierkegaard). Di saat itu yang terjadi adalah
in­terupsi atas pertimbangan pengetahuan, politis, hukum, dan
ethis—tapi itulah kebebasan.
Tapi kita tahu, sejarah juga sebuah sejarah malapetaka. Orang
takut akan ”kegilaan”, waswas akan pikiran ”berlumur darah”
dan sikap yang hanya memuliakan tindakan. Tindakan tak sela­
ma­nya dihargai sebagai sesuatu yang murni, sepi dari pamrih dan
luhur dalam niat. Dalam salah satu kuliahnya tentang filsafat
politik Immanuel Kant, Hannah Arendt menyebut sebuah para-
bel Pythagoras tentang festival, yang membedakan sang penon-
ton dari sang pelaku dalam sebuah pertunjukan pertandingan.
Sang pelaku pertandingan tak akan bisa melihat dari luar gelang-
gang dan kesibukan dirinya; ia sibuk dengan niatnya memperoleh
kemasyhuran.
Sebaliknya sang penonton: ia melihat semuanya, dan dapat
mengambil jarak dari laku yang terjadi di arena itu. Dialah tamsil
sang filosof, orang yang menjalani hidup dengan mengamati dan
merenungkan, bios theôrêtikos. Arendt juga mengatakan bahwa
dalam risalah Plato tentang ”negarawan”, seorang penguasa yang
ideal dikatakan tak bertindak sama sekali. Ia berada di atas per-
buatan. Ia ibarat kepala yang sadar bahwa ada kaki-tangan yang
bekerja, ada bagian yang harus tetap tak tercemar, dan ada bagian
yang bila perlu menempuh air yang bacin dan lumpur yang ber-
najis.
Tapi bukankah itu menyebabkan Hamlet tak putus dirun­
http://facebook.com/indonesiapustaka

dung­ bimbang? Pangeran Denmark ini, mahasiswa yang pere-


nung ini, harus membalas pembunuhan ayahnya: sebuah kewa-
jiban yang mengerikan, ketika Denmark berada dalam keadaan
seperti ”sebuah penjara”. Shakespeare menggambarkan anak

298 Catatan Pinggir 9


FORTINBRAS

mu­da itu berdiri sendiri di salah satu sudut Istana Elsinore, ber-
gumam dalam solilokui yang paling dikenang dari karya besar
ini—gumam bimbang seseorang yang tiba-tiba mengetahui hal-
hal yang dirahasiakan, tapi juga tahu apa yang mungkin terjadi.
Hamlet berdiri di antara nasib dan keputusan, di antara amarah
dan kematian,

Dan rona asli yang mewarnai tekad


jadi kuyu dan lesi, tersaput pikiran pucat
Dan ikhtiar yang bergelora di saat utama
Jadi surut, berpaling jalan
Tak lagi bernama tindakan—

Sampai dengan babak penghabisan, Hamlet tetap tidak ber-


tindak. Tekadnya masih saja ”tersaput pikiran pucat”. Satu hal be-
sar yang berhasil yang dilakukannya justru sebagai penonton—
atau membuat tontonan sebagai substitusi dari tindakan. Di ba-
bak III karya Shakespeare ini tampak ia mengatur sebuah pertun­
jukan sandiwara yang menyindir Raja, orang yang kini bertakhta
dan mengawini Sri Ratu dan menggantikan ayah Hamlet yang
dua bulan sebelumnya ia bunuh. Tapi salah satu kalimatnya di
ma­lam itu, seperti dikatakannya kepada sahabatnya, Horatio,
ada­lah ”Aku harus seperti tak berbuat apa-apa”.
Saya tak tahu pasti, adakah jalan ini yang dianjurkan Hamlet­
sebenarnya. Ia telah menyaksikan Fortinbras. Ia telah merenung-
kan, dalam hidup sehari-hari, banyak laku berlangsung tanpa ki­
ta mengetahui sepenuhnya apa yang akan terjadi, apa yang sebe-
lumnya ada, dan sejauh mana yang kita lakukan benar. Agama,
http://facebook.com/indonesiapustaka

ideologi, dan ilmu-ilmu acap kali menganggap itu sebagai cela.


Tapi benarkah itu sebuah cela, bukannya malah sebuah kebebas­
an?
Mungkin itu sebabnya di tiap tikungan sejarah, kita akan di-

Catatan Pinggir 9 299


FORTINBRAS

gerakkan seorang Fortinbras. Pada akhirnya, di satu ujung jalan,­


kita akan tahu, tiap proyek manusia selalu serba-mungkin, labil,­
dan rentan. Tiap pemecahan masalah kehidupan senantiasa bersi-
fat coba-coba; tak ada yang untuk selama-lamanya. Kita mung-
kin hanya selamat kalau kita sadar bahwa yang kekal adalah ilusi.

Tempo, 14 Desember 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

300 Catatan Pinggir 9


PELACUR

D
engan tubuhnya yang gempal perempuan itu meme­
cah batu, dengan tubuhnya yang tebal ia seorang pela-
cur.
Namanya Nur Hidayah, 35 tahun, kelahiran Tulungagung,
Ja­wa Timur. Ia seorang istri yang ditinggalkan suami (meskipun
mereka belum bercerai), ia ibu dari lima anak yang praktis yatim.
Tiap pagi, setelah Tegar, anaknya yang berumur enam tahun,
berangkat ke sekolah dengan ojek, Nur datang ke tempat kerja­
nya.­ Di sana ia mengangkut batu, kemudian memecah-mecah­
nya,­untuk dijual ke pemborong bangunan. Nova, empat tahun,
anak bungsunya, selalu dibawanya. Nur bekerja sekitar lima jam
sampai tengah hari.
Lalu ia pulang. Tegar akan sudah kembali ke rumah kontrak­
an mereka, dan Nur bisa bermain dengan kedua anak itu. Sampai
pukul tiga sore.
Matahari sudah mulai turun ketika Nur membawa kedua
anak­nya ke tempat penitipan milik Ibu In, yang ia bayar Rp 20 ri­
bu sehari. Lalu ia berdandan: memasang lipstik tebal, berpupur,
mengenakan baju terbaik. Lepas magrib, ia naik ojek dari kam-
pung Mujang itu ke Gunung Bolo, 45 menit jaraknya dengan se­
pe­da motor.
Di kegelapan malam di tempat tinggi yang jadi kuburan Cina
itu, Nur menjajakan seks. Ia menjual tubuhnya.
Ia tak memilih pekerjaan itu. Sutrisno, suaminya, yang meni­
kah dengan perempuan lain, tak memberinya nafkah. Ia bertemu
http://facebook.com/indonesiapustaka

dengan lelaki itu pada 1992 dalam bus ke Trenggalek. Mereka


saling tertarik, dan Sutrisno menemukan lowongan buat Nur di
Pabrik Rokok ”Semanggi” di Kediri. Pekerjaan mengelinting si-
garet itu hanya dijalaninya dua bulan. Nur hamil. Ia harus meni-

Catatan Pinggir 9 301


PELACUR

kah.
Ia pun jadi istri seorang suami yang menghabiskan waktunya
di meja judi dan botol ciu. Tak ada penghasilan. Tak ada peng-
harapan. Setelah anak yang kelima lahir, dalam keadaan putus
asa, Nur ikut ajakan tetangganya, seorang pelacur di Gunung Bo­
lo. Ia bergabung dengan sekitar 80 pekerja seks di tempat itu, dan
jadi sahabat Mira, yang lebih muda setahun tapi sudah hampir
se­paruh usianya menyewakan kelamin. Mereka menghabiskan
ma­lam mereka mencari konsumen di pekuburan Cina itu. Tarif:
Rp 10 ribu sepersetubuhan.
”Pernah ada pengalaman yang membuat Mbak Nur senang,
selama ini, ketika melayani tamu?”
”Ah, ya ndak ada,” jawabnya.
Tapi suara itu tak getir. Nur, juga Mira, bukanlah keluh yang
pahit. Dalam film dokumenter yang dibuat Ucu Agustin—salah
satu dari Pertaruhan, empat karya dokumenter tentang perem-
puan yang layak beredar luas di Indonesia kini—kedua pelacur
itu berbicara tentang hidup mereka seperti seorang pedagang ke-
cil (atau guru mengaji yang miskin) berbicara tentang kerja mere­
ka sehari-hari.
Bahkan dengan kalem mereka, sebagai undangan Kalyana
Shi­ra Foundation yang memproduksi Pertaruhan, duduk bersa­
ma peserta Jakarta International Film Festival di sebuah kafe di
Grand Indonesia—seakan-akan mall megah itu bukan negeri
ajaib dalam mimpi seorang Tulungagung. Ketika saya menemui
mereka di tempat minum Goethe Haus pekan lalu, Mira duduk
se­­perti di warung yang amat dikenalnya, dengan rokok yang te­
rus­menyala (tapi ia menolak minum bir), dan Nur memeluk­No­
http://facebook.com/indonesiapustaka

va yang dibawanya ikut ke Jakarta.


Haruskah Mira, Nur, merasa lain: nista? Produser, sutradara,
dan aktivis perempuan yang menjamu mereka tak membuat para
pe­lacur itu asing dan rikuh. Bahkan Tegar dan Nova diurus pa-

302 Catatan Pinggir 9


PELACUR

nitia seakan-akan kemenakan sendiri—dan dengan kagum saya


melihat sebuah generasi Indonesia yang menolak sikap orang tua
dan guru agama mereka. Mira dan Nur tak akan mereka kirim ke
neraka, di mana pun neraka itu. Ucu Agustin, 32 tahun, sutrada-
ra dokumenter ini, telah berjalan jauh. Ia lulus dari IAIN pada
tahun 2000 setelah enam tahun di pesantren Darunnajah di Ja-
karta, di mana murid perempuan bahkan dilarang membaca ma-
jalah Femina. Ia kini tahu, agama tak berdaya menghadapi Nur
dan kaumnya.
Di Tulungagung terdapat setidaknya 16 tempat pelacuran.
Ada dua yang legal, yang tiap Ramadan harus tutup. Tapi sia-
sia:­di tiap bulan puasa pula para pelacur yang kehilangan kerja
datang antara lain ke Gunung Bolo. Pekerja di tempat itu bertam-
bah 50 persen.
Dan bagaimana agama akan punya arti bila tak memandang
de­ngan hormat ke wajah Nur: seorang ibu yang mengais dari Na-
sib untuk mengubah hidup anak-anaknya? ”Mereka harus seko-
lah, mereka ndak boleh mengulangi hidup emak mereka,” Nur
berkata, berkali-kali.
Dengan memecah batu ia dapat Rp 400 ribu sebulan, dengan
melacur ia rata-rata dapat Rp 30 ribu semalam. Dengan itu ia bisa
mengirim Tegar ke sebuah TK Katolik sambil membantu hidup
anak-anaknya yang lain yang ia titipkan di rumah seorang sauda-
ra. Nur tegak di atas kakinya sendiri. Ia contoh yang baik ”dialek-
tika” yang disebut Walter Benjamin: seorang pelacur—seorang
pe­milik alat produksi dan sekaligus alat produksi itu sendiri, se­
orang penjaja (Verkäuferin) dan barang yang dijajakan (Ware) da­
lam satu tubuh. Ia buruh; ia bukan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bagi saya ia ”Ibu Indonesia Tahun 2008”.


Setidaknya ia kisah tentang harapan dalam hidup yang re­
mang-remang. Memang tuan dan nyonya yang bermoral mengu­
tuknya. Memang polisi merazianya dan para preman memungut

Catatan Pinggir 9 303


PELACUR

paksa uang dari jerih payah di Gunung Bolo itu. Tapi Nur tahu
bagaimana tabah. Kebaikan hati bukan mustahil. Tegar diberi
ke­ringanan membayar uang sekolah di TK Katolik itu. Tiap bu-
lan ke Gunung Bolo, seperti ke belasan tempat pelacuran di Tu-
lungagung itu, datang tim dari CIMED, organisasi lokal yang de-
ngan cuma-cuma memeriksa kesehatan mereka. Dan ke rumah
penitipan Ibu In secara teratur datang Mbak Sri untuk memban-
tu Tegar berbahasa Inggris dan mengerti bilangan.
Terkadang Nur berbicara tentang Tuhan (ia belum melupa­
kan-­Nya). Ia menyebut-Nya ”Yang di Atas”. Mungkin itu untuk
menunjuk sesuatu yang jauh—tapi justru tak merisaukannya,
karena manusia, yang di bawah, tetap berharga: bernilai dalam
kerelaannya.

Tempo, 21 Desember 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

304 Catatan Pinggir 9


PIZZARO

D
I abad ke-16 ada cerita tentang Tuhan yang aneh. Mung­
kin ia bukan yang disebut Yesus, yang digambarkan­se-
bagai bayi dengan ibu yang lembut hati di tiap hari Na-
tal. Tapi apa arti sebuah nama? Seperti nama Tuhan yang mana
pun,­ pada akhirnya manusialah yang memilih bagaimana me-
manggil-Nya dan bagaimana Ia dihadirkan untuk memenuhi ke-
hendak di dunia.
Itulah riwayat Francisco Pizarro di Peru. Saya akan mencerita-
kannya dengan sedikit imajinasi.
Pada 1532, perwira Spanyol itu masuk ke wilayah Inca di Ame­
rika Selatan itu dengan 102 orang pasukan dan 62 ekor kuda. De-
ngan kemauan dan keberanian yang luar biasa opsir Spanyol itu
me­ngarungi Atlantik, dan tatkala mendarat ia temukan orang-
orang kufur, najis, biadab, sesat. Sebuah alasan yang cukup bagi
ti­ap laskar Tuhan, yang melangkah di atas jalan lurus yang ditun-
jukkan agama untuk menghabisi nyawa beberapa ribu orang.
Syahdan, di lapangan di pusat kota Cajamarca, telah menung-
gu Atahualpa, raja bangsa Inca. Ia di sana bersama ribuan hamba
sahaya dan pengawal. Ada yang mengatakan, mereka sebenarnya
siap berperang.
Orang-orang Spanyol berpura-pura tidak. Pertemuan dibuka
oleh Frater Vicente, rohaniwan yang datang bersama para con­
quistador itu. Ia mengulurkan sebuah salib di tangan kanan dan
sebuah buku doa di tangan kiri. Ia memperkenalkan diri sebagai,
sebagaimana Pizarro, utusan Raja Spanyol yang dia sebut sebagai
http://facebook.com/indonesiapustaka

”sahabat Tuhan”. Ia mengimbau orang Inca agar meninggalkan


de­wa-dewa mereka.
Dalam catatan yang ditemukan kemudian, disebutkanlah
Ata­hualpa menjawab bahwa ia tak dapat mengubah imannya ke-

Catatan Pinggir 9 305


PIZZARO

pada sang Surya yang abadi. Tapi bagi Vicente itu berarti sesat.
Hanya Tuhannya yang benar dan kekal.
Maka Atahualpa pun bertanya: ”Apa gerangan kewenangan
Tuan atas agama Tuan?”
”Semuanya tertulis di kitab ini,” sahut sang rohaniwan.
”Berikanlah kitab itu,” kata Atahualpa, ”agar ia bicara pada-
ku.”
Tapi tentu saja buku itu tak bicara, meskipun dicoba didengar­
kan di dekat kuping. Dan tanpa beranjak dari takhta, dengan ge­
rak yang angkuh, yang dipertuan Inca itu membuang kata-kata
su­ci yang tercetak itu ke tanah.
Vicente berteriak: ”Ia melawan Kristen!”
Maka Pizarro dan seorang letnannya pun menjalankan apa
yang sudah direncanakan. Mereka teriakkan perintah menye­
rang. Prajurit-prajurit Spanyol menembakkan bedil harquebusier
dan dua kanon kecil mereka ke arah kerumunan orang kafir itu.
Menurut catatan orang Spanyol, orang-orang Inca yang tak
per­nah menghadapi senjata itu terkejut, panik, menghambur
hen­dak lari. Tapi pasukan berkuda Pizarro menyerbu. Ribuan
ma­nusia itu berdesak-desak, dan tembok plaza itu runtuh, dan
1.500 orang mati terinjak-injak.
Atahualpa ditangkap. Beberapa bulan lamanya ia jadi sande­
ra. Ia akhirnya menawarkan emas untuk memperoleh kebebasan-
nya, dan Pizarro setuju. Orang Spanyol ini menerima 6.000 kilo­
gram emas 22 karat dan 12.000 kilo perak murni. Tapi Atahualpa­
tetap dikurung. Pada akhirnya ia dituduh mencoba, dari tempat
ia ditahan, memerintahkan agar orang Spanyol dibunuhi. Tak
ayal, ia dijatuhi hukuman mati. Tapi seraya mengingat Tuhan
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang diimaninya, Pizarro memberi raja Inca itu dua pilihan: ia


akan dibakar hidup-hidup bila menolak Yesus, atau ia akan hanya
ma­ti dicekik bila bersedia berpindah agama.
Raja Inca yang kalah itu akhirnya tak ingin tetap jadi seorang

306 Catatan Pinggir 9


PIZZARO

ka­fir dan memilih cara pembunuhan yang kedua. Ia dicekik. Ia


dikebumikan di pekuburan Kristen di Cajamarca.
Pizarro berhasil.
Tapi yang penting dalam tiap cerita penaklukan bukanlah ke-
berhasilan. Seandainya pun Pizarro gagal, ia tetap menunjukkan
bahwa Tuhan ada bersama para penakluk—sebab di sini Tuhan
hadir sebagai ”Aku” yang menaklukkan.
Siapa pun nama-Nya.

Tempo, 28 Desember 2008


http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 9 307


http://facebook.com/indonesiapustaka

308
Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 9
2009

309
http://facebook.com/indonesiapustaka

310
Catatan Pinggir 9
TRANSFORMASI

Ketika Kristus lahir


dunia jadi putih
juga langit yang semula gelap oleh darah dan jinah
jadi lembut seperti tangan bayi sepuluh hari

S
ubagio Sastrowardojo mengerti transformasi yang aja-
ib dalam kisah Natal. Ia bukan seorang Kristen, tapi sajak
itu datang dari sebuah Indonesia sekian puluh tahun yang
lalu, yang dengan serta-merta mengerti apa yang universal dalam
ce­rita yang luar biasa tapi juga bersahaja itu: Yesus lahir, tapi ha­
nya­satu bintang di langit yang tampak terang di atas Bethlehem.
Tak ada suara dahsyat atau guncangan bumi yang mengubah
geo­grafi. ”Malam sunyi...,” kata lagu yang berulang kita dengar
itu. Begitu biasa, tapi kelahiran itu diterima sebagai isyarat: Tu-
han tak meninggalkan manusia sendirian.
Maka,

manusia berdiri dingin sebagai patung-patung mesir


dengan mata termangu ke satu arah

Dalam imaji yang muncul dari larik sajak ini, manusia tak
ber­gerak, bahkan tanpa perasaan lagi. Tapi suatu ketika terasa
ada daya lain yang mengambil peran. Dari sesosok kekuatan yang
dalam Perjanjian Lama digambarkan bisa ganas, cemburu, dan
des­truktif, hadir sebuah pesona yang diasosiasikan dengan ”ta­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ngan­bayi sepuluh hari”. Dan manusia termangu.


Pertanyaan besar sejarah—yang sebenarnya tiap akhir tahun
di­ungkapkan dengan cara yang banal—adalah bagaimana keaja-
iban seperti itu mungkin. Dengan kata lain, bagaimana harap­an

Catatan Pinggir 9 311


TRANSFORMASI

bisa hidup. Bisakah dunia dan kehidupan diperbaiki, ketika ri­


wayat manusia telah demikian panjang, juga deretan kekecewa­
annya.
Nabi-nabi datang, petuah dan perintah dimaklumkan, dan
ke­mudian dicoba revolusi dan diperkenalkan penemuan teknolo-
gi—tapi tiap kali kita mengalami perbaikan dalam hidup, tiap
ka­li ada mala yang terjadi. Mungkin sebab itu di sebuah buku
yang terbit pada 1990 Agamben menulis: ”Kita dapat mempunyai­
harapan hanya dalam apa yang tak punya penyembuhan” (rime­
dio).
Tentu saja ada paradoks dalam ucapan itu. Berharap kepada­
sesuatu yang tak bisa disembuhkan atau tak dapat diperbaiki sa­
ma saja dengan tak berharap. Namun barangkali di situ bekerja
iman, sebuah dasar sikap yang dalam agama Kristen dan Islam
di­contohkan dalam diri Ibrahim. Kita ingat ia dititahkan Tuhan
menyembelih anak kesayangannya sendiri. Kita bayangkan ia
ber­jalan sedih, tak paham, lunglai, ke Gunung Muria dan cuma
percaya kepada sesuatu yang tak bisa diperhitungkannya.
Ada semacam sikap tawakal (yang tak selalu terkait dengan
aga­ma) ketika manusia berjalan terus, walaupun sejarah penuh
de­ngan kebengisan, kegagalan, dan kesengsaraan. Tak henti-hen­
tinya kita mengarungi l’ irreparabile, yang tak dapat diperbaiki.
Dalam keadaan itu manusia memang kelihatan heroik. Na-
mun ada yang kosong: baginya, tak akan ada transformasi di du-
nia. Manusia dengan gagah menanggungkan langit yang ”gelap
oleh darah dan jinah”, tanpa tahu bahwa sesuatu bisa mengubah
itu jadi ”lembut seperti tangan bayi yang sepuluh hari”.
Kita bisa mempersoalkan tepat-tidaknya metafora dalam sa-
http://facebook.com/indonesiapustaka

jak Subagio itu (bagaimana langit jadi seperti ”tangan bayi”?). Ta­
pi kita tak akan luput menangkap radikalnya perubahan yang
ter­jadi ketika kita tahu bahwa Tuhan, atau apa pun namanya bagi
yang mengutamakan cinta kasih, bisa begitu dekat. Tak menghe­

312 Catatan Pinggir 9


TRANSFORMASI

rankan bila Paulus dikutip mengatakan bahwa di antara tiga hal


yang tinggal—iman, pengharapan, kasih—maka kasih itulah
yang terbesar. Iman dan pengharapan bisa menggusur gunung.
Kasih tak merasa perlu untuk itu. Ia merayakan adanya gunung,
membuka diri kepada liyan, yang lain, yang bukan dirinya.
Sajak Subagio menyebut ”mata” (manusia) yang ”termangu
ke satu arah”. Kata ”termangu”—dan bukan ”terpaku”—menya­
ran­kan sikap visual yang lebih pasif. ”Satu arah” itu bukan sesu­
atu yang disasar, melainkan sesuatu yang seakan-akan justru me-
narik kita ke arahnya, meskipun tak jelas benar.
”Kita mengharapkan apa yang tak kita lihat,” kata Paulus, ”ki­
ta menantikannya dengan tekun.” Artinya, yang penting bukan­
lah yang tampak, tempat kita meletakkan fokus. Yang penting
bu­kanlah sesuatu yang dapat dipastikan, yang bisa dikuasai.
Bah­wa kita bisa tekun menantikannya itu karena kita terpesona
ketika sesuatu yang seakan-akan mukjizat hadir: ada cinta kasih,
ternyata.
Sebab itu harapan tak sepenuhnya penting untuk membuat
hi­dup berharga. Kesadaran akan ini kurang meluas di sebuah ba-
bakan kehidupan yang oleh Agamben disebut sebagai ”waktu
yang tinggal”. Ini bukan lagi waktu para ”nabi”, kata Agamben.
Dalam tradisi Yahudi, ”nabi” didefinisikan ”oleh hubungannya
de­ngan masa depan”. Bagi Agamben, ”waktu yang tertinggal”
ada­lah waktu yang sekarang. Dan itu adalah waktu para ”utus­
an”, apostel, yang dalam peristilahan Kristen disebut ”rasul”. Sab-
da, kata Agamben, ”diberikan kepada sang rasul, utusan sang ju­
ru selamat, yang waktunya bukanlah masa depan, melainkan se­
karang”.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Di ”waktu yang tersisa” sekarang ini, harapan, iman, dan cinta­


kasih tak selalu cocok—bahkan terkadang yang dua pertama di­
sebut diunggulkan di atas yang lain. Sajak Subagio mengingat-
kan, Natal tak datang tanpa kejutan.

Catatan Pinggir 9 313


TRANSFORMASI

Terutama ketika iman bisa begitu keras dan harapan jadi op-
timisme yang buta dan menghalalkan segalanya. ”Dunia jadi pu-
tih” bukan tanda musim dingin yang hanya terjadi di sebagian
muka bumi. ”Dunia jadi putih” adalah bagian dari transformasi
ketika kita menyadari bahwa kita tak selamanya hidup di bawah
kekerasan dan pelanggaran, ”darah dan jinah”. Di waktu yang
tersisa ini, kelembutan terkadang menyelip—dan unggul.
Hanya dalam ritual agama, yang aturannya ditaati tiap kali,
dan hanya dalam kalender iklan, Natal dapat direncanakan.

Tempo, 4 Januari 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

314 Catatan Pinggir 9


DIBURU

T
ahun akan menghadapi krisis, kata para pakar, tapi
ki­ta tahu, ”nasib” adalah sebuah cerita yang senantiasa
datang terlambat. Kita baru dapat menyimpulkannya se­
telah perjalanan selesai.
Bagaimana sejarah akan usai, itu tak mudah dijawab. Sebab
ki­ta adalah anjing diburu dalam tamsil Catetan Th. 1946 Chairil
Anwar, yang

—hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang


Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang.

Pernah ada optimisme bahwa kita bisa menyusun sebuah tam-


bo tentang perubahan, ketika

Lahir orang besar dan tenggelam beratus ribu


Keduanya harus dicatat, keduanya dapat tempat.

Pernah juga ada harapan bahwa nanti, jika kegaduhan selesai,


gejolak reda dan rusuh hati berhenti, jika bencana, jatuh bangun-
nya kekuasaan, perang dan huru-hara yang berkecamuk sudah le-
wat dan hanya tersisa sebagai ingatan yang kabur—jika nanti tia-
da sawan lagi diburu/Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan
berdebu—kita akan bisa mencoba menemukan makna dari semua
itu: Kita memburu arti atau diserahkan kepada anak lahir setempat.
Tapi pada awal abad ke-21 kita tahu bahwa menyusun kemba-
http://facebook.com/indonesiapustaka

li ”kenangan berdebu”, dan memberi arti dari pengalaman itu—


semua itu tak mudah. Kita, selamanya dibentak oleh batas ruang
dan waktu, makin tak tahu apa sebenarnya yang terjadi. ”Sandi-
wara sekarang” kian lama kian hanya secara fragmentaris tam-

Catatan Pinggir 9 315


DIBURU

pak. Informasi datang lekas dan segera pula berubah.


Perubahan itu meningkat terus tinggi velositasnya: benda-
ben­da teknologi ditemu-ciptakan dan disebarkan kian cepat dan
tanpa istirahat, begitu juga halnya kesimpulan ilmu kian mudah
jadi basi, jumlah dan keanekaan penerima informasi pesat me-
luas, dan berubah pula ekologi manusia yang merespons infor-
masi itu.
Semua memergoki kita sebelum kita siap—seakan-akan pada
tiap jam berita pagi masa-depan melewati ambang pintu tanpa
me­ngetuk, mengambil alih masa-kini. Perubahan berarti kera­
gam­an, kompleksitas, inkonsistensi, bahkan chaos, dan apa yang
per­nah disebut sebagai ”kejutan masa-depan”, the future shock, ki­
ni jadi sebuah masalah epistemologis: bagaimana kita ”tahu” atau
”tak tahu”. Kita ”tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur
atau di ranjang”, tapi juga banyak hal lain tak kita ketahui. ”Ke­
jut­an masa-depan” mempercepat masa-kini jadi masa-lalu, dan
me­nyebabkan masa-lalu berubah dalam gudang kenangan kita,
makin tak stabil dan makin tak mudah diidentifikasi.
Maka jadi problematis pula kesatu-paduan kesadaran kita,
dan goyah pula posisi kita sebagai subyek yang ”mengetahui”.
Apa artinya ”mengetahui”? Alain Badiou mencerminkan suasana
zaman ini ketika ia membedakan ”pengetahuan” dari ”kebenar­
an”.
”Pengetahuan” bersifat melanjutkan, mengulang, menerap-
kan. Sebaliknya kebenaran bercirikan sifat ”baru”, sesuatu yang
”kawedar”—sesuatu yang kita temui ketika kita misalnya mem-
baca puisi, menyaksikan karya seni rupa. Badiou mengutip Hei-
degger tentang penyair dan kebenaran: ”Penyair selalu bicara se­
http://facebook.com/indonesiapustaka

akan-akan ’ada’ diekspresikan buat pertama kalinya.”


Badiou berbicara tentang ”proses kebenaran”.
Proses itu menyebabkan ”pengetahuan” tak begitu penting di­
bandingkan pengalaman dan perbuatan.

316 Catatan Pinggir 9


DIBURU

Dua abad yang lalu, para literati Jawa membedakan (dan ke-
mudian mencoba mempertautkan) antara ngèlmu dan laku, anta-
ra ”tahu” (dari mana kata ”pengetahuan” berasal) dan perjalanan
da­lam hidup dan pengalaman. Jika kini kita memakai dikotomi
ini, dalam arus deras informasi yang berubah terus dengan cepat
ini sejauh manakah ngèlmu membentuk laku dan sebaliknya laku
membentuk ngèlmu?
Hubungan antara pengetahuan, isi kognitif kesadaran kita,
dan pengalaman jasmaniah, punya sejarah sendiri. Ada masanya­
ngèlmu diasumsikan datang dari Tuhan atau sumber ekstra-em-
piris lain, ada masa lain ketika ngèlmu dianggap berasal dari per-
jalanan di dunia, ” kalakoné kanti laku”, seperti ditulis dalam syair
Wedatama yang terkenal.
Dalam sejarah, manusia tak putus-putusnya terlibat dalam
ambivalensi. Di satu pihak ada dorongan untuk melihat kesadar­
an, sang subyek, sebagai pembentuk pengalaman. Di lain pihak
ada dorongan semangat empiris untuk melihat pengetahuan se-
bagai sesuatu yang berakar pada dan dibentuk oleh pengalaman
itu.
Di satu pihak, ada pengakuan bahwa pengalaman empiris ha­
nya mampu menyajikan ”sebagian dari sandiwara sekarang”—
de­ngan kata lain: sesuatu yang niscaya terbatas. Di lain pihak ada
keyakinan bahwa kita mampu melintasi, dengan transendensi,
batas itu.
Di satu pihak, ada pengakuan bahwa tak mungkin kita mem-
punyai sebuah pandangan yang total, yang menyeluruh, tentang
hal ihwal. Pada akhirnya kita akan mengakui bahwa ketika ma-
nusia menulis sejarah—mencatat, menyusun ngèlmu—ia men-
http://facebook.com/indonesiapustaka

jalani sebuah laku, sebuah perjalanan dalam hidup. Di lain pi-


hak, ada kepercayaan bahwa manusia, dengan bantuan Kitab Su­
ci atau ilmu pengetahuan, melihat pengalaman itu bagian dari to-
talitas yang belum diungkapkan kepada kita.

Catatan Pinggir 9 317


DIBURU

Tapi semakin lama semakin kita tahu, seperti tebersit dari Ca­
tetan Th. 1946, kita selalu mencoba berdiri dari sejarah yang ter-
guncang. Yang tercatat adalah sesuatu yang tak stabil—tapi itu­
lah bagian yang tak tercampakkan dari diri manusia: laku, ter-
kadang dengan kreatif, dalam dunia fisik yang rapuh, sementara,
kekurangan.
Pada tahun 2009 yang sulit, haruskah kita jeri? Ada satu baris
dari Chairil lagi yang bisa menjawab:

Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau ba­


sah!­

Tempo, 11 Januari 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

318 Catatan Pinggir 9


SISIPHUS

D
I atas tuts pianonya, Ibrahim Souss memainkan Le
Myth­ de Sisyphe. Komposisi itu mencoba menghidup-
kan kembali gerak, kepedihan, dan absurditas nasib
yang dialami manusia setengah dewa yang dihukum Zeus itu: ia,­
Sisiphus, harus mengangkut batu berat ke puncak gunung, dan
ti­ap kali sampai di sana, batu itu akan berguling lagi. Dan ia ha­­
rus­kembali ke bawah. Ia harus mengangkutnya lagi. Dalam mi­
to­­logi Yunani Kuno itu, nasib itu tak pernah berakhir.
Souss memainkan karyanya itu ketika ia jadi direktur kantor
PLO di Paris, sekitar 20 tahun yang lalu. Saya tak tahu di mana
ia sekarang: seorang pianis yang piawai, komponis yang kreatif,
yang dengan Le Myth de Sisyphe hendak menyatakan sesuatu ten-
tang Palestina.
Ia lahir di Yerusalem pada 1945. Umurnya baru tiga tahun
ke­tika orang Palestina diusir dari bagian kota itu setelah perang
Arab-Israel tahun 1948. Setelah kekalahan Arab yang nista pada
1967, Ibrahim bergabung dengan PLO. Ia memilih karena ia ha­
rus­ memilih: ia tahu ia, bagian dari bangsa yang diusir dan di­
abai­kan, tak bisa cuma bisa hidup merdeka dengan musik.
Sisiphus-nya pun mengandung ambiguitas. Di satu pihak, di
dalamnya tergambar nasib orang Palestina yang tiap kali berha­
rap, tiap kali pula kandas. Dari 1948 sampai 2009, berapa genera-
si terus hidup terjepit dan dihinakan, berapa usaha perdamaian
ga­wal?
Tapi, seperti kata Souss sendiri, Palestina bukan Sisiphus.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Ka­mi menolak menjalankan hukuman itu.” Hakikat Palestina,


katanya pula, adalah penampikannya untuk dibuang.
Ambiguitas itu pula yang tersirat ketika Albert Camus menu-
lis esainya dengan tema yang sama. Saya kira pengaruh Camus

Catatan Pinggir 9 319


SISIPHUS

pa­da Souss cukup jelas, meskipun ia sampai pada kesimpulan


yang berbeda.
Dalam tafsir Camus, kian lama kian tumbuh semacam simbi­
osis dalam diri Sisiphus dengan batu yang diangkutnya. Pada to-
koh itu tampak, tulis Camus, sebuah wajah yang, seraya bekerja­
keras dan begitu dekat dengan batu, telah mengeraskan diri dan
dunianya. Dari keadaan terkutuk dan dipenjara para dewa, ia
akhirnya mengubah posisinya secara radikal. Kini nasibnya ada­
lah miliknya. Ia lebih kuat ketimbang batu karang.
Sebuah sikap yang gagah, tentu—yang dengan itu juga me­
nunjukkan perlawanan terhadap Zeus: raja dewa itu hendak
meng­hinanya, tapi Sisiphus-lah yang kini menistanya, dengan
meng­anggap hukuman itu tak relevan. Sejak saat itu, alam semes-
ta tak punya lagi yang dipertuan.
Tapi kesimpulan Camus yang termasyhur, bahwa kita harus
bisa membayangkan Sisiphus ”bahagia”, adalah kesimpulan yang
bermasalah. Setidaknya bagi Souss. Dan yang pasti bagi Palesti-
na. Heroisme yang tampak di sana memang memberikan se­ma­
ngat,­ tapi itu bukan kisah kepahlawanan yang menyenangkan.
Di Palestina, pahlawan tak mati hanya satu kali, melainkan ber­
kali-kali. Tiap kali sang syuhada tewas hidup pun bersinar, ta­pi
se­bentar, dan selamanya pedih.
Masalahnya, bisakah yang heroik dan yang pedih itu menggu­
gah, di masa kita sekarang? Ketika Camus menuliskan esainya
pa­da awal tahun 1940-an, ia tak mempersoalkan itu. Ia bertolak­
dari asumsi yang lazim pada zamannya: siapa saja akan melihat­
hu­kuman atas Sisiphus sesuatu yang tak bisa diterima dalam ta­
tanan manusia, dan perlawanannya dengan demikian amat dah-
http://facebook.com/indonesiapustaka

syat. Tapi ”manusia”, siapakah dia sekarang? Samakah ia dengan


”siapa saja”?
Di Palestina, gerilyawan dan bocah-bocah, aktivis dan kakek-
nenek, dengan segera tahu apa artinya ketidakadilan. ”Kau bu-

320 Catatan Pinggir 9


SISIPHUS

rung yang beruntung... ajari aku terbang mengatasi peluru, ajari


aku merdeka,” begitulah kerinduan diucapkan dalam lagu yang
di­gubah Rima Terazi, yang dinyanyikan anak-anak di kamp-
kamp pengungsi. Kerinduan kepada sesuatu yang absen: keadil­
an, kemerdekaan, perdamaian. Kerinduan yang di sini berlaku
bagi ”siapa saja”.
Tapi di Amerika dan Eropa, tampaknya ada kesulitan besar
un­tuk melihat yang universal dalam kerinduan itu. Orang me-
nyaksikan bagaimana museum Holocaust didirikan di mana-
mana di kedua bagian dunia ”Barat” itu, sebagai tanda solidaritas­
kepada orang-orang Yahudi yang dibunuh dan diusir di Eropa
pada zaman Hitler. Sementara orang bisa mencatat begitu sedikit
simpati kepada orang Palestina yang ditundung dari tanahnya se-
lama 60 tahun.
Mau tak mau, orang sampai pada kesimpulan bahwa yang-
uni­versal tidaklah satu. Ada yang menang dan yang kalah, ada
yang berada dalam hegemoni dan yang masih tersingkir.
Tapi bila yang-universal ternyata tak satu, dan bahwa yang
tam­pak sebenarnya akibat posisi hegemonik satu bagian masya­
rakat manusia dalam menilai, apa gerangan yang dapat membuat
kita melihat manusia langsung sebagai sesama? Apa yang mem-
buat kita tergerak untuk berbuat baik di mana saja dan kapan saja
dan bagi siapa saja—sesuatu yang lahir dari yang disebut Kant se-
bagai das Faktum der Vernunft?
Atau ”faktum” itu jangan-jangan hanya fiksi? Kini, di Palesti­
na yang diduduki Israel, aniaya seperti tak pernah bisa dihenti-
kan. Kini ada bagian dari dunia yang tak merasa dituntut untuk
berbuat baik ke mereka yang dinistakan. Sementara itu, ada juga
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang hanya mau berbuat baik buat Palestina tanpa mau berbuat
baik kepada mereka yang lain yang juga dianiaya.
Bila demikian, manusia akan hilang harap untuk jadi sesa-
ma....

Catatan Pinggir 9 321


SISIPHUS

Untunglah, compassion—perasaan ikut sakit ketika orang lain


menderita—bukanlah sesuatu yang mustahil; kita mengalaminya­
sehari-hari, tanpa kita harus melalui pergulatan politik untuk
me­rasa bertugas menolong orang lain.
Yang mencemaskan dari tragedi Palestina ialah bahwa peng­
alam­an sehari-hari itu acap kali tenggelam. Yang memberi harap­
an ialah bahwa yang tenggelam tak pernah hilang total. Ia akan
se­lalu kembali.
Mungkin macam Sisiphus.

Tempo, 18 Januari 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

322 Catatan Pinggir 9


POHON

D
I sebagian bukit Pasir Tengah di atas Sarongge, hutan
ja­di monoton. Pohon-pohon kayu putih menguasai
area. Batang mereka yang lurus menjulang bisa sampai
15 meter, berjajar rapi, masing-masing dengan kulit yang seakan-
akan jangat yang telanjang dan di sana-sini terkelupas.
Di bawahnya: hamparan rumpun daun wortel. Bumi dibudi­
dayakan dengan telaten di sini. Dari pucuk bukit, sesekali terde­
ngar deru beberapa sepeda motor tua yang datang untuk meng­
angkut hasil bumi itu, tak hendak terhambat oleh jalan mendaki
yang buncah dan bongkah karena deras hujan. Tak lama lagi para
pengendaranya akan turun, dengan mesin yang dimatikan, nekat
tapi tangkas seperti pemain sirkus, ke arah tempat pengumpulan
di bawah, melalui ladang cabai dan bawang-daun, melintasi ten-
da-tenda putih yang melindungi perkebunan strawberry.
Ekonomi bergerak di kesepian ini. Para petani bekerja dan hi­
dup. Tanah adalah nafkah. Pohon adalah bagian dari proses pro­
duksi manusia. Sebuah perusahaan negara telah mengubah bukit
dan hutan tropis itu untuk perspektif tersebut.
Hanya beberapa hektare di sebelah sana, tampak lanskap yang
berbeda: sisi bukit yang belum disentuh. Hutan masih penuh ra-
gam dan masih gelap lebat. Batang-batang rasamala dan mahoni,
suren dan puspa, tampak nongol dengan pelbagai derajat warna
cokelat-abu-abu-hijau, bertaut dengan belukar yang tak teperma-
nai, mungkin di antaranya bermula pada zaman purba.
Seorang polisi hutan mengatakan, bahkan di bagian bukit
http://facebook.com/indonesiapustaka

itu masih hidup sekitar 60 ekor harimau. Di situ manusia be-


lum berdaulat. Pohon-pohon masih punya hayat dan riwayatnya
sendiri.
Dengan sekali pandang, kita memang akan menyaksikan

Catatan Pinggir 9 323


POHON

dua sisi tanah tinggi dan kehidupan. Yang satu akan disebut se-
cara resmi sebagai ”hutan industri”, yang sebenarnya adalah ”ke-
bun”—sesuatu yang telah diolah, tempat di mana alam rapi dan
jinak, atau, dalam kata-kata Penyair Hölderlin, ”di mana alam
hidup dengan sabar dan mrumah” (häuslich). Yang lain, yang di
sebelah sana: pohon-pohon yang seperti pokok eik yang disan-
jung sang penyair, mengorak tanpa dikelola dalam tahap dan jen-
jang pertumbuhan oleh manusia:

Dan engkau mendesak maju dengan gembira dan bebas, dari


akar yang kukuh, saling berjalin, mencengkeram ruang, dengan le­
ngan­perkasa, seperti elang menangkap mangsa....

Kontras itu memang dibangun dari sebuah masa ketika sang


penyair Jerman akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 itu, dalam
hi­dupnya yang menyendiri, merindukan kemerdekaan (dika­ta­
kan ia melintasi masuk ke zaman Romantik) dan hanya dengan
ke­bebasan ia tak hendak menampik kehidupan yang dibangun
da­ri orang-orang yang asyik beramai-ramai, kehidupan yang di­
sebutnya sebagai das gesellige Leben.
Kita hidup di masa yang berbeda, di negeri yang berbeda, tapi
tampaknya kita belum bisa melepaskan hasrat itu: tak hendak
me­nyerah kepada persetujuan orang banyak yang hanya tunduk
kepada pasar, seperti disentuh Hölderlin dalam sajaknya Men­
schenbeifall, (”Persetujuan Orang-orang”). Pasar dan demokrasi
memang menjurus ke arah penciptaan ”kebun” ketimbang po­
hon-­pohon yang, seperti pokok eik (Eichbäume) ”tegak, bagaikan
kaum para titan”. Tapi haruskah hidup jadi seluruhnya sebuah
http://facebook.com/indonesiapustaka

hu­tan industri?
Hari itu saya, bersama sekitar 80 orang relawan, menanam tu-
nas yang berbeda ke celah-celah pohon kayu putih—sebuah tin-
dakan yang kami anggap memberikan sebuah alternatif. Tapi tu-

324 Catatan Pinggir 9


POHON

nas yang berbeda itu bukanlah tunas yang ganjil, yang tak pantas
di kawasan itu, bukan pohon-pohon yang ”eksotik”, kata petugas
Departemen Kehutanan itu, melainkan yang ”endemik”. Para
pe­tani pada akhirnya tak hanya akan hidup dengan pohon-po-
hon yang produktif, tetapi sesuatu yang tidak produktif: sesuatu
yang justru lebih dekat kepada hidup, meskipun bukan hidup
”manusia yang bekerja keras untuk hasil”, yang disebut dalam sa-
jak Die Eichbäume.
Yang tanpa hasil, yang tak produktif berguna ketika jarak an-
tara produksi dan destruksi begitu dekat, ketika hutan tropis yang
menakjubkan itu kehilangan diversitasnya, ketika bumi yang tua
itu tak lagi menyimpan cukup air.
Kini yang dulu disebut sebagai keindahan yang hijau bukan
lagi masalah estetik. Ia jadi masalah ethik: bagaimana saya bersi-
kap ke dunia, ke orang lain, dengan kehendak untuk tak meng-
hancurkan. Pada gilirannya ia jadi masalah politik. Kehendak
untuk menyelamatkan mau tak mau akan melibatkan orang lain,
ke­kuasaan, dan juga harapan yang mungkin dan tak mungkin
yang harus dijangkau bersama.
Pohon tegak, ”masing-masing bagaikan dewa, dalam sebuah
aliansi merdeka”, kata Hölderlin. Manusia mungkin tak sebagai
dewa ketika membentuk aliansi merdeka—sebab aliansi itu bu-
kan hanya dengan yang hadir hari ini. Ketika saya menanam tiga
tunas rasamala, saya diingatkan bahwa baru 30 tahun kemudian
pohon itu akan setinggi lima meter. Saya tak akan melihatnya.
Saya tersentak sejenak. Mungkin jika ada yang berharga da­
lam laku saya, sebagaimana laku orang-orang lain hari itu di bu­
kit Pasir Tengah itu, ialah mengingat bahwa kita tak melakukan
http://facebook.com/indonesiapustaka

itu buat diri kita sendiri yang besok lusa mungkin mati.

Tempo, 25 Januari 2009

Catatan Pinggir 9 325


http://facebook.com/indonesiapustaka

326
Catatan Pinggir 9
BADRI

S
etitik air menetes ke kepalanya, dan sejak saat itu Badri
seakan-akan dilahirkan kembali. Ia jadi seseorang yang
baru.
Kisahnya saya baca dalam Kompas 19 Januari yang lalu. Kisah
itu membuat saya percaya bahwa jangan-jangan ada mukjizat,
kata lain dari sesuatu yang menakjubkan. Mukjizat dalam versi
ini tak datang ke dunia secara spektakuler. Ia menyusup dalam
berkas-berkas kecil.
Badri tinggal di sebuah kampung yang merupakan bagian da­
ri Desa Tugu Utara, di Kecamatan Cisarua, Bogor. Bertahun-ta­
hun­lamanya, lelaki yang kini berumur 60 tahun itu jadi tukang
ba­bat hutan. Bersama beberapa temannya, ia keluar-masuk kawa­
san Puncak yang waktu itu rimbun dan sejuk. Dengan gergaji
dan parang mereka tebangi pohon-pohon untuk dipotong-po-
tong dan dijual sebagai kayu bakar. Empat tahun lamanya, se­
jak­tahun 1975, sejak ia berumur 36 tahun, Badri mendapatkan
nafkahnya dengan merusak hutan.
Tapi sesuatu terjadi di sebuah hari di bulan Oktober tahun
1979.
Siang itu ia tak pergi bersembahyang Jumat. Sejak pagi ia terus
saja menebangi pohon. Di tengah hari, ketika siang jadi terik, ia
beristirahat sejurus. Ia duduk. Mendadak, katanya, seperti diku-
tip Kompas, setetes air jatuh ke kepalanya.
”Hanya setetes,” katanya, ”tetapi membuat badan saya segar.
Keletihan saya menebang pohon dan memikul kayu langsung hi-
http://facebook.com/indonesiapustaka

lang.”
Ia pun melihat ke sekeliling, mencari dari mana tetes air itu
da­tang. Ternyata, butir bening yang sejuk itu jatuh dari pokok
yang baru ditebangnya. ”Saya terkejut,” kata Badri. ”Saya duduk

Catatan Pinggir 9 327


BADRI

ter­diam, merenungkan tetes air itu.”


Sejak hari itu—ia ingat tanggalnya dengan persis, 6 Oktober
1979—ia gundah. Ia kembali masuk-keluar hutan, tapi kali ini
ti­dak untuk menebang, melainkan untuk membuktikan bahwa
po­hon-pohon memang menyimpan air di tubuh mereka, di akar
mereka yang masuk ke tanah. Setelah ia menemukan kenyataan
itu sendiri, ia pun yakin. Ia pun bertekad. ”Sejak tahun itu pula
sa­ya berjanji tidak lagi menebang pohon,” tuturnya. Bahkan ia
ber­sumpah akan terus menanam sampai akhir hidupnya.
Maka hampir tiap hari ia membawa coredan, alat pembuat
lu­bang kecil di tanah tempat akan dipendamnya bibit. Hampir
tiap hari, dengan tubuhnya yang tua, kurus tapi liat, dilapisi ku-
lit yang hitam legam terbakar matahari, Badri mengembalikan ke
bukit-bukit di Puncak daun dan dahan dan akar hutan tropis. Ia
menebus. Ia memulihkan. Ia tak mau lelah. Kakek itu menampik
sakit.
Janji itu tak mudah. Ia kehilangan sumber nafkahnya: sang
pencuri kini jadi sang pemberi. Istrinya marah. Hidupnya sendiri
tak selamanya aman. Badri menciptakan musuh. Beberapa kali
ia ditangkap dan dianiaya para spekulan tanah dan petugas ke-
amanan vila-vila di kawasan Cisarua. Sebab ia tak ragu untuk
me­nanam pohon apa saja di tanah kosong mana saja—yang tak
ja­rang kepunyaan orang tapi dibiarkan telantar atau sedang dibi-
dik untuk diperjualbelikan.
Ia melakukan itu sejak 1979. Sampai sekarang: sebuah kese­
tiaan non-institusional. Yang mengarahkannya bukanlah satu
program, satu lembaga, atau ajaran, melainkan sebuah ”kejadian”.­
Kata ”jadi”—sebuah kata dalam bahasa Indonesia yang tak
http://facebook.com/indonesiapustaka

mudah diterjemahkan—menggambarkan perubahan yang-po-


tensial ke dalam yang-aktual, yang-belum ke dalam yang-sudah.
”Kejadian” juga mensugestikan sesuatu yang tak rutin dan terka­
dang menakjubkan. Jika yang dialami Badri dan yang membuat

328 Catatan Pinggir 9


BADRI

dirinya berubah kita sebut sebuah mukjizat, itu karena semuanya­


berlangsung di sebuah masa ketika hal demikian sungguh tak la­
zim. Inilah masa ketika orang berbuat segala sesuatu konon dipa-
cu oleh kepentingan-diri.
Kita bayangkan Badri: tetesan air itu membuatnya tergun-
cang, tapi dengan segera jadi sebuah tekad, pada 6 Oktober 1979
itu. Dengan itu Badri tak merasa perlu bertanya untuk siapa dia
menanam pohon tiap hari selama tiga dasawarsa.
Ia seorang militan. Tapi seorang militan lain mungkin akan
me­ngorbankan dirinya untuk sesuatu yang tertutup, misalnya
ka­um atau pihaknya sendiri. Militansi Badri tidak demikian: ia
bekerja untuk sesuatu yang tak berpuak. Ia menjangkau sesuatu
yang secara universal terbuka. Pohon-pohon itu tumbuh dan hu-
tan itu akan kembali rimbun untuk siapa saja, bahkan untuk ma-
nusia dalam geografi dan generasi yang tak akan ia kenal.
Mungkin orang akan mencemooh Badri: ia naif. Ia tak ber-
pikir bahwa bila Puncak jadi hijau kembali, bila hutan tumbuh
dan menyimpan air, yang akan menikmatinya terutama orang
yang berduit dan berkuasa. Pendeknya, niat untuk menjangkau
se­suatu yang universal itu bodoh, melupakan bahwa ”sesama” tak
pernah ”sama”, kecuali sebagai angka statistik.
Tapi saya tak akan mencemooh Badri. Ia mungkin tahu tapi
mungkin juga tidak bahwa orang-orang kaya di Jakarta adalah
perusak hutan yang lebih buas ketimbang para pencuri batang po-
hon seperti dia sebelum 1979. Orang-orang berduit dan berkuasa
membangun vila dan membedah lereng, memakai mobil dengan
karbon dioksida yang paling ganas, dan mengkonsumsi sandang
pangan dengan rakus hingga segala yang alami dikorbankan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tapi salahkah Badri bila ia terus menanam pohon di bukit itu?


Saya kira kita perlu melihat bahwa kisah orang ini, yang ber-
nama lengkap Badri Ismaya (dan ”Ismaya” adalah Semar dalam
wa­yang, jelata yang juga dewata), adalah sebuah cerita penebusan

Catatan Pinggir 9 329


BADRI

yang lebih mendasar: di zaman yang dibentuk oleh keserakahan


manusia, Badri memberikan dirinya. Ia ingin kita tak bunuh diri,
karena saling menghancurkan dan putus asa setelah melihat diri
sebagai unsur yang keji di atas bumi. Saya kira Badri ingin manu-
sia jadi seperti pohon hutan: makhluk yang luka tapi layak diberi
ucapan terima kasih.

Tempo, 1 Februari 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

330 Catatan Pinggir 9


POTRET

S
EMOGA Tuhan menyelamatkan kita dari potret. Semo-
ga Tuhan menyelamatkan pepohonan Indonesia, tiang lis-
trik Indonesia, pagar desa dan tembok kota Indonesia, dan
segala hal yang berdiri dengan sabar di Indonesia, dari gambar
manusia.
Bukan karena membuat gambar manusia itu dikutuk Allah.
Tapi....
Sebaiknya lebih dulu perlu saya terangkan, terutama bagi para
pembaca yang sedang tak di negeri ini, atau yang selama lima
bu­lan belum keluar rumah: adapun gambar manusia itu adalah
potret wajah para ”ca-leg”. Atau ”ca-bup”. Atau ”ca-wali”. Atau
”ca-gub”. Atau ”ca-pres”. Demokrasi telah marak di Indonesia,
pa­ra pembaca yang budiman, juga kelatahan.
Kelatahan, mungkin juga konformisme. Kini hampir tiap
orang yang mencalonkan diri untuk dipilih siap maju buat bersa-
ing—sebuah tekad yang bagus sebetulnya. Tapi rupanya meka­
nisme persaingan politik kini mengandung sebuah paradoks.
Di satu pihak, siapa yang ingin menang harus lebih menonjol­
ketimbang yang lain. Tapi, di lain pihak, sebagaimana tampak
da­lam potret-potret yang menempel atau bergelantungan di se­
panjang tepi jalan itu, tak seorang pun tampak ingin berbeda dari
yang lain.
Saya lihat potret M. Tongtongsot dari Partai Bulan Pecah ter-
pasang berdampingan dengan gambar G. Gundulpringis dari
Par­­tai Bintang Bujel. Kedua-keduanya tampil berpeci, menge­na­
http://facebook.com/indonesiapustaka

kan jas dan dasi. Kedua-duanya memasang sederet huruf, mak­


sud­nya singkatan, di dekat nama mereka, dimaksudkan sebagai
gelar yang diharapkan membuat diri gagah: ”H”, atau ”Drs”, atau
”MA”, atau ”MSc”. Kedua-duanya terpampang dengan muka lu-

Catatan Pinggir 9 331


POTRET

rus ke depan, dengan tatapan tanpa emosi, seperti foto ijazah kur-
sus montir.
Dengan kata lain, orang-orang itu memasarkan diri bukan
sebagai pribadi, dengan watak yang tersendiri. Yang tampak di
sana hanyalah sebuah tipe. Tipe itu menyatukan entah berapa ba­
nyak­potret yang berderet-deret, hampir tanpa jarak, dengan na-
ma-nama yang tak akan kita tangkap dengan jelas, apalagi kita
ingat, ketika kita lewat di atas motor atau bus. Seorang kawan
yang berpengalaman memilih foto wajah buat sampul majalah
me­nyatakan penilaiannya kepada saya: ”92% dari deretan wajah
itu tak menarik.” Ia mengatakannya dengan yakin: ”Saya telah
ber­jalan dari ujung Jawa Timur sampai Banten untuk mengamati
pot­ret kampanye.”
Apa gerangan yang hendak didapat para pemasang gambar?
Jawabnya jelas: mereka ingin dipilih di antara ratusan orang lain.
Potret mereka ingin direkam dalam ingatan orang pada menit-
me­nit yang sunyi di depan kotak suara pada hari pemilihan nanti.
Nama mereka ingin dihafal. Mereka keluarkan dana berjuta-juta
untuk mencapai semua itu dengan memanfaatkan dan mengotori­
pohon, tembok, dan tiang listrik. Tapi belum saya dengar mereka
pernah meneliti sejauh mana kampanye pasang-tampang itu tak
sia-sia.
”Tapi saya tak mau ketinggalan,” agaknya demikianlah alasan
me­reka untuk memakai teknik kampanye ini. Tentu, alasan itu
bi­sa diterima. Namun yang terjadi, yang bisa disebut sebagai ke-
latahan, justru akan menyebabkan mereka ketinggalan: mereka
akan terpaku di tempat, sebagai repetisi, ketika waktu berjalan
dan orang-orang jadi jenuh.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Memang ada yang mengatakan, menirukan keyakinan juru


pro­paganda Partai Nazi, bahwa repetisi akan punya hasil positif;­
bahkan dusta yang terus-menerus diulang akan jadi kebenaran.
Partai yang sering memasang iklan di televisi memang tercatat—

332 Catatan Pinggir 9


POTRET

oleh juru jajak pendapat—mulai menuai hasil: dikenal, dan ka­


dang-kadang dikenal tanpa orang bilang, ”ah, tidak”.
Tapi yang berlangsung kini bukan cuma repetisi. Yang kita
sak­sikan penyeragaman: perlombaan untuk memperlihatkan diri
tapi ada saat yang sama takut tampak ”lain”. Maka yang akhirnya
saya ingat dari deretan gambar di tepi jalan itu bukanlah wajah
calon anggota DPR wilayah saya, melainkan tampang yang lain
dari yang lain: tampang dalam iklan kartu telepon XL—muka
monyet.
Sebab yang berulang-ulang datang kini bukanlah semboyan­
yang menggugah, dari retorika yang menggetarkan. Repetisi da­
lam politik hari ini adalah muka orang yang terpampang di bi-
dang datar. Muka dua dimensi. Muka yang dengan gampang me-
nyesuaikan diri dengan pola umum, ukuran yang lazim, dan ben-
tuk persegi tertentu. Muka yang pada dasarnya menyerah tertem-
pel, tanpa pesona.
Saya kira pada mulanya adalah sebuah salah paham. Serbuan
yang visual ke dunia pancaindra kita punya akar di sebuah premis
tua bahwa ”melihat” sama dengan ”mengetahui”.
Kesalahpahaman oculocentric ini sudah ada sejak Plato di Yu-
nani Kuno memakai perumpamaan orang yang hidup dalam
gua, yang dari kegelapan melihat terang. Tapi tak berhenti di si­
tu. Orang Jawa abad ke-21 tetap memakai kata weruh (melihat)
sebagai akar kata kawruh (pengetahuan atau ilmu). Kini televisi­
merupakan sumber ”pengetahuan” yang tak tertandingi. Kita
pun menonton iklan di layar itu, atau melihat (biarpun dengan
se­kilas) potret-potret di pohon itu, seraya hampir lupa bahwa, se-
perti pernah ditulis oleh seorang buta, ”indra penglihatan adalah
http://facebook.com/indonesiapustaka

indra berjarak”. Indra lain—penghidu, pendengar, peraba, mi­


sal­nya—berangkat untuk sesuatu yang dekat, bahkan akrab. Ja­
uh sebelum Plato, dalam bahasa Aramaik, orang buta disebut sagi
nahor, atau ”penglihatan yang hebat”.

Catatan Pinggir 9 333


POTRET

Hari-hari ini saya pun ingin bersikap sebagai sagi nahor. Saya
ingin berdoa: semoga mata orang Indonesia tak akan membuat
In­donesia tersesat. Demokrasi perlu dirindukan lagi sebagai tem-
pat suara berseru dengan gema yang kuat, dengan keberanian
ber­beda—bukan konformisme yang menyerahkan apa yang ber­
har­ga dalam pribadi ke dalam sebuah pasfoto. Potret itu tak bi-
cara apa-apa.

Tempo, 8 Februari 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

334 Catatan Pinggir 9


Y.D. (1944-2009)

J
urnalisme tak bermula ketika kabar disiarkan. Tiap ka­
li sebuah berita terbit, ada sisi yang kelihatan dan ada yang
tak kelihatan. Bahkan di halaman majalah ini dan juga di
Ko­ran Tempo, bagian yang tak tampak sebenarnya lebih be­
sar­perannya.
Para pembaca umumnya tak ingat bahwa hampir tiap kalimat,­
foto, dan gambar ditopang oleh sebuah aturan dan sistem kerja,­
perencanaan anggaran, persiapan logistik, juga latihan keteram­
pil­an yang bertahun-tahun. Juga: pembentukan l’esprit de corps.
Sayangnya, sejarah jurnalisme selalu mengabaikan yang tak
ke­lihatan itu. Harian Indonesia Raya dulu hanya identik dengan
Moch­tar Lubis, Merdeka dengan B.M. Diah, Pedoman dengan
Ro­sihan Anwar. Juga Tempo sering dianggap cukup bisa diwakili
oleh Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Bambang Harymurti, To-
riq Hadad.
Betapa tak lengkapnya. Siapa yang pernah bekerja di dalam
ma­jalah ini tahu, seorang Goenawan Mohamad sebenarnya ber-
gantung pada orang lain yang praktis tak pernah dapat tepuk-ta­
ngan.
Salah satu yang mengelak dari aplaus itu adalah Yusril Djali-
nus. Ia meninggal pekan lalu. Perkabungan keluarga besar Tempo
hari-hari ini karena Yusril lebih dari sekadar seorang kolega.
Bagi saya, dialah pembentuk utama ethos Tempo, sikap kerja­
yang seperti para pendaki gunung dan tebing. Puncak, tujuan itu,
harus dicapai. Untuk itu dibutuhkan ketabahan pribadi; dan tak
http://facebook.com/indonesiapustaka

kurang penting: kerja sama yang saling mempercayai. Yusril, pen-


daki gunung itu (dia tokoh kelompok pencinta alam, ”Wanad-
ri”), tak banyak berpidato di depan para wartawan agar ethos itu­
tertanam. Yusril langsung memberi contoh, dan ia membentuk­

Catatan Pinggir 9 335


Y.D. (1944-2009)

sistem.
Saya mengenalnya sejak ia bekerja sebagai reporter baru di ma­
jalah berita Ekspres di tahun 1970. Saya mengenalnya sebagai se­
orang yang bicara halus dengan aksen Sunda, seorang pemuda­
kurus, tinggi, berambut rimbun. Mula-mula saya tak begitu
mem­perhatikannya. Langsung di bawah saya ada sejumlah sas­
tra­wan yang waktu itu sudah mulai terkenal (misalnya Putu Wi-
jaya, Syu’bah Asa, Usamah) yang entah kenapa jadi wartawan.
Karena sifat majalah itu yang dasarnya adalah kecakapan berceri-
ta dalam tulisan—para sastrawan itu mengambil peran yang sen-
tral. Di antara mereka, Yusril tentu tak menonjol.
Ia baru saja meninggalkan kuliahnya di Jurusan Publisistik
Universitas Padjadjaran, Bandung. Dan ia bukan seorang penulis
yang canggih; tulisannya jelas, tapi nyaris kaku.
Hanya dengan pelan-pelan saya mulai menyadari: Yusril ba-
gus dalam kerja tim dan ia tangguh. Ia tak pernah mengelakkan
tu­gas. Majalah Ekspres, yang kami dirikan di tahun 1970, masih
se­buah usaha yang merangkak. Dana tak tersedia banyak, juga
un­tuk kerja sehari-hari. Pada suatu hari Yusril tak dapat uang
trans­por. Pemuda yang pernah membiayai kuliahnya dengan jadi
tukang potret keliling dari desa ke desa ini memutuskan: ia berja-
lan kaki. Pada satu hari Jakarta yang terik, ditempuhnya jarak 20
kilometer dari Jatinegara sampai Pecenongan, bersama debu, kar-
bon dioksida, dan keringat.
Ketika saya dan teman-teman lain, misalnya Fikri Jufri, Chris-
tianto Wibisono, dan Bur Rasuanto, mendirikan majalah Tempo
(setelah meninggalkan ramai-ramai majalah Ekspres), Yusril ter-
masuk yang ikut bergabung.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Itu tahun 1971. Majalah Tempo dimulai dengan sedikit nekat


dan ketololan. Seperti Ekspres, mingguan baru ini mengambil
mo­del majalah berita Time dan Newsweek di Amerika. Tapi sebe­
nar­nya kami tak tahu bagaimana cara memproduksinya. Kami

336 Catatan Pinggir 9


Y.D. (1944-2009)

bah­kan bekerja mula-mula tanpa melalui koordinasi. Peran satu


orang bisa begitu besar hingga mengabaikan orang-orang lain,
dan sejumlah wartawan bekerja jungkir-balik sementara sejum-
lah wartawan lain bisa menghabiskan waktu main biliar. Tiap pe-
kan hampir selalu ada yang jatuh sakit kecapekan.
Setelah dua-tiga tahun, baru kami tahu ini tak beres. Kami
meng­undang seorang konsultan: Amir Daud, bekas wartawan
Ti­me di Jakarta.
Dialah yang mengajari kami membentuk organisasi dasar.
Be­gitu tololnya kami hingga baru dari Amir-lah kami tahu perlu­
nya menulis memo untuk teman sekerja, bila si rekan sedang ber-
tugas di luar kantor. Dari Amir Daud pula kami mulai belajar
bekerja efisien. Ia menyarankan agar kami punya seorang ”chief
reporter” yang akan membagi tugas hingga distribusi tenaga kerja
tak acak-acakan.
Penugasan, pesan Amir, harus tertulis. Ini memang akan
mem­­buat ia bisa diingat, mudah dikontrol, dan bila ada problem,
bi­sa dipindahkan langsung ke wartawan lain. Penugasan harus
je­las dan ringkas. Bahkan Amir memperkenalkan kebiasaan me-
mendekkan nama kami. Maka nama saya pun jadi ”G.M.”, Fikri
Jufri jadi ”F.J.”, dan Yusril jadi ”Y.D.” (Amir, yang menyukai gaya
Amerika, mengucapkannya ”Way-Di”). Akronimisasi nama itu
melekat sampai hari ini.
Tempo beruntung: ”Y.D.” jadi chief reporter pertama. Yang pa­
tut diingat ialah bahwa pada awalnya jabatan ini—yang segera
kami Indonesiakan jadi ”koordinator reportase” (diakronimkan
jadi ”KR”)—tak ditunjuk dari atas. Saya sebagai pemimpin re­
dak­si memutuskan agar pejabat KR dipilih para wartawan sendi­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ri.
Y.D. bersama Harun Musawa terpilih dengan jumlah suara
yang sama. Saya kemudian memasang Yusril di posisi itu. Harun­
Musawa, yang berminat pada sastra dan punya kemahiran menu-

Catatan Pinggir 9 337


Y.D. (1944-2009)

lis yang lebih, disiapkan untuk mengelola dan mengisi salah satu
rubrik. Y.D. punya kelebihan yang berbeda. Sebagaimana dika­
ta­kan Harun, ”Saya tak akan mungkin selugas Yusril dalam ber-
sikap.” Harun lemah lembut; Yusril tegas dengan kombinasi yang
langka: ia selalu bisa bercanda. Disiplin keras yang diterapkannya
bisa tak terasa menekan, sebab segera setelah itu ada suasana ber-
gurau.
Dari jabatan inilah, sejak 1976, Y.D. berkembang cepat. Kepe-
mimpinannya produktif. Seperti dikatakan Harun, pada rekan
dekatnya ini ada kemampuan memotivasi bawahan agar bekerja
op­timal. Seperti para pendaki tebing, reporter harus pantang me-
nyerah untuk ”menembus sumber”. Berita harus diperoleh mela­
lui rintangan apa pun.
Ethos inilah yang berkembang penuh dalam diri Dahlan Is-
kan (yang kemudian jadi pemimpin dan pembangun dan seka-
rang pemimpin grup media Jawa Pos), yang di awal tahun 1981
me­liput terbakar dan tenggelamnya kapal Tampomas dengan
kor­­ban 600 orang tewas. Dahlan ikut naik ke kapal penolong dan
selama tiga hari di sana tanpa memincingkan mata. Baru empat
ha­ri kemudian, ia tidur, setelah menulis sebuah reportase yang
jadi salah satu puncak prestasi jurnalisme Tempo.
Karni Ilyas, kini tokoh media televisi di Indonesia yang me-
mimpin TV One dengan 1.200 karyawan, membawa ethos itu ke
tempat kerjanya sekarang. Di kantor kerja Karni di Pulogadung,­
sebuah poster Tempo terpampang di salah satu dinding. ”Ke mana
pun kantor saya pindah, [poster] ini akan saya bawa,” katanya.
Sebagai wartawan Tempo yang pernah menghasilkan lapor­
an yang merupakan scoop, Karni mengingat Yusril sebagai orang
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang tak mudah puas akan hasil kerja anak buahnya. Tapi dengan
itu, kata Karni, para wartawan ”terpacu”. ”Yang tidak bisa akan
terpental dengan sendirinya.”
Tapi jadi pemacu hanyalah salah satu kelebihan Yusril. Ia juga

338 Catatan Pinggir 9


Y.D. (1944-2009)

pembangun institusi. Bagaimana mengelola kerja para wartawan


dan yang bukan wartawan, bagaimana melatih mereka terus-me­
nerus, menilai mereka dengan sistematis, dan memberi mereka
ke­sempatan berkembang—semua itu dimulai dari sistem yang
di­bangun Y.D.
Salah satu yang jarang ditilik ketika orang menelaah Tempo
ada­lah sistem itu yang bisa membuat majalah ini memandang
jur­­nalisme sebagai sebuah posisi ethis. Posisi yang bertahan hing-
ga hari ini.
***
Jurnalisme sebagai sebuah posisi ethis yang diteguhkan­
Y.D. adalah kerja kewartawanan dengan sikap yang memandang­
orang lain dan merasa bertanggung jawab: jurnalisme yang tam­
pil dengan kukuh bukan karena ia merasa unggul, melainkan jus-
tru ke­tika ia prihatin. Dengan keprihatinan kepada liyan, orang
lain yang juga sesama, ia bertindak.
Posisi ethis itu dimulai ketika seorang wartawan tergerak buat
menulis sesuatu, baik sebuah investigasi tentang ketidakadilan
mau­pun sebuah cerita ringan yang menghibur. Segera ia dituntut
dirinya sendiri untuk terbuka, juga kepada yang paling tak disu-
kainya. Ia dituntut diri sendiri untuk tak culas. Ia diminta tak pu-
tus-putusnya untuk meraih apa yang baik dan yang benar, beta-
papun mustahilnya.
Di sini ethos yang ditanamkan Yusril dapat diikhtisarkan:
Per­tama, seorang wartawan harus pantang surut mendapatkan
be­rita. Kedua, ia tak bisa dibeli. Tiap kali ada godaan buat lem-
bek dan menyeleweng, tiap kali ia harus ingat ada orang lain yang
mungkin sekali celaka, atau tertipu, karena kebohongan berita­
http://facebook.com/indonesiapustaka

nya.­
Itu sebabnya bukan hanya ada latihan teknis untuk mendapat-
kan data yang akurat, tapi juga ada prinsip untuk menolak ”am-
plop” dan suap. Prinsip ini tak bermula di majalah Tempo dan bu-

Catatan Pinggir 9 339


Y.D. (1944-2009)

kan dicanangkan oleh Y.D. Yang dilakukan Yusril adalah mem-


perkuat tembok hingga sogokan tak tembus ke tubuh organisasi.
Y.D. memanfaatkan sistem produksi berita majalah ini: sebuah
berita selalu hasil kerja tim yang anggotanya bisa berubah, dan se-
buah berita selalu diperiksa setidaknya dua lapis redaksi.
Tapi tak hanya mencegah yang buruk. Y.D. juga menumbuh-
kan rasa harga diri ke kalangan wartawan. Departemen redaksi­
mengalokasikan dana yang cukup bagi tiap wartawan untuk be­
kerja. Yusril-lah yang pertama kali di tahun 1980-an merancang
agar reporter mampu menjamu para humas—dan dengan itu
mem­balikkan praktek sebelumnya, di mana sang reporter yang
selamanya dijamu. Yusril juga yang mengharuskan wartawan me-
nolak uang saku perjalanan yang disediakan satu lembaga yang
mengundang, dan untuk itu ada dana dari kantor yang memadai.
Dari sini wartawan jadi oknum yang dihormati, dan pada gi­
lir­annya, merasa diri kukuh. Ia jadi subyek yang merdeka. Harga­
diri ini tampaknya terbawa ke saat yang paling kritis. Di tahun
1994, ketika Tempo dibredel, Rustam Mandayun, waktu itu Ke-
pala Biro Yogyakarta, melakukan aksi protes terbuka bersama
ma­hasiswa dan kaum cendekiawan, satu hal yang penuh risiko di
bawah rezim Soeharto. Saya bertanya kepadanya, kenapa ia me-
milih langkah itu, sementara ia punya keluarga. Rustam menja-
wab, tanpa suara yang heroik: ”Kan kita semua sudah dibiasakan
menolak amplop, Mas.”
Jurnalisme adalah sebuah posisi ethis ketika ia bersiteguh un-
tuk merdeka, sebab hanya dengan kemerdekaan itu rasa tanggung­
jawab dan harga diri tumbuh. Tapi seperti para pendaki gunung
dan tebing, dalam kegigihan itu juga perlu dijalin rasa saling per-
http://facebook.com/indonesiapustaka

caya dalam sebuah tim. Di sini, posisi ethis menyentuh ke sesama


teman sekerja: tak boleh ada curang-mencurangi.
***
Berada di lapis pimpinan, Y.D. sangat peka akan soal itu.

340 Catatan Pinggir 9


Y.D. (1944-2009)

Itu sebabnya ia tak pernah mendahulukan kepentingan diri, jus­


tru ketika ia punya kekuasaan yang besar. Seperti dikenang Har­
joko­ Trisnadi, direktur keuangan waktu itu, Yusril tak pernah
mau me­nerima fasilitas apa pun tanpa aturan yang berlaku bagi
siapa saja. Ia rela untuk tak ditunjuk jadi pemimpin redaksi.
Di tahun 1994 ada usaha dari Menteri Penerangan Harmoko­
dan Jenderal Prabowo Subianto, waktu itu menantu Presiden, un­
tuk memecah belah dan mengendalikan Tempo dari dalam. Sa­lah
satu caranya membujuk Y.D. untuk jadi pemimpin redaksi.­Yus-
ril menolak dengan seketika. ”Yusril bukan orang yang akan ber­
khianat,” kata Zulkifly Lubis, rekan sekerjanya yang ikut mem-
bangun organisasi Tempo.
Dalam masalah-masalah ethis, saya selalu bersandar pada Yus-
ril. Sebagai salah satu anggota dewan direksi, ia diberi kemung-
kinan mendapatkan saham di sebuah majalah yang dimiliki oleh
Tempo. Tapi Yusril menolak. Ia teguh tak tertarik untuk mem-
perbanyak milik dan menyukai yang mentereng dan gemerlap.
De­ngan itu ia pantas untuk menuntut sikap tangguh yang setara
dari para wartawan.
Ia tahu l’esprit de corps dan kerja tim amat menentukan dalam
ikhtiar itu. Pimpinan dan bawahan harus kompak, dan sebab itu
manajemen pun harus bersikap adil terutama kepada yang beker-
ja di bawah: selain tak mementingkan diri sendiri, pimpinan tak
boleh pilih kasih dan harus terbuka dalam pengambilan keputus­
an. Karena di Tempo ada Dewan Karyawan yang bertindak seba­
gai serikat sekerja dan tak ada pribadi yang memiliki modal se-
cara langsung—saham dikuasai institusi yang separuhnya diken-
dalikan karyawan l’esprit de corps itu mudah ditumbuhkan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Untuk itu pula Y.D. (bersama Bambang Halintar, M. Mah-


tum, Zulkifly Lubis, dan kemudian Meity Bachrul) menyusun
ca­ra evaluasi dan promosi yang transparan. Tak ada pengangkat­
an tanpa melalui jenjang karier dan jabatan yang jelas. Penilaian

Catatan Pinggir 9 341


Y.D. (1944-2009)

harus bisa diketahui orang yang dinilai.


Pada mula dan pada akhirnya, jurnalisme, justru di sisinya
yang tak tampak, adalah setiakawan. Itu yang dijalankan Yusril
sampai ia meninggal. Malam sebelum ia pergi, saya sempat men-
cium pipinya yang masih hangat. Saya tahu saya tak akan meli-
hatnya lagi. Tapi saya tahu ia bukannya tanpa peninggalan yang
tak ternilai.

Tempo, 15 Februari 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

342 Catatan Pinggir 9


DARWIN

D
arwin, lelaki pemalu itu, tak ingin membunuh Tu-
han. Ini agaknya yang sering dilupakan orang sampai
ha­ri ini, ketika dunia memperingati 200 tahun hari la-
hirnya, 12 Februari.
Menjelang akhir hidupnya, ia hanya mengatakan bahwa ia
”ha­rus puas untuk tetap jadi seorang agnostik”. Teori evolusinya­
yang mengguncangkan dunia pada akhirnya bukanlah penerang
segala hal. Ketika ditanya mengapa manusia percaya kepada Tu-
han, Darwin hanya mengatakan, ”Misteri tentang awal dari se­
mua hal tak dapat kita pecahkan.”
Dia sendiri pernah jadi seorang yang alim, setidaknya jika di­
li­hat di awal perjalanannya mengarungi laut di atas kapal HMS
Beagle dari tahun 1831 sampai 1836. Pemuda berumur 22 tahun­
yang pernah dikirim ayahnya untuk jadi pastor ini (setelah gagal­
bersekolah dokter), dan di penjelajahan itu diajak sebagai pakar
geologi, amat gemar mengutip Alkitab. Terutama untuk menasi­
hati awak kapal yang berfiil ”buruk”. Selama belajar di Christ’s
College di Cambridge, sebuah sekolah tua yang didirikan pada
abad ke-15, Darwin memang terkesan kepada buku seperti Evi­
dences of Christianity karya William Paley, pemikir yang gigih
mem­bela ajaran Kristen pada zaman ketika rasionalitas dan oto­
nomi manusia dikukuhkan tiap hari.
Tapi Darwin pelan-pelan berubah pandangan. Otobiografinya­
mengatakan, ketika ia menulis karyanya yang termasyhur, On the
Origin of Species, yang terbit pada 1859, ia masih seorang ”theis”.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sampai akhir hayatnya ia tak pernah jadi atheis. Namun, setelah


lima tahun penjelajahan menelaah kehidupan satwa liar dan fosil,
ditanggalkannya argumen Paley.
Bagi seorang apologis, segala hal di alam semesta adalah hasil­

Catatan Pinggir 9 343


DARWIN

desain Tuhan yang mahasempurna. Tapi Darwin menemukan


bah­wa tak ada satu spesies pun yang bisa dikatakan dirancang
”sempurna”; makhluk itu berubah dalam perjalanan waktu, me­
nye­suaikan diri dengan kondisi tempatnya hidup.
Darwin juga menemukan hal yang lain. Ia tak hanya menyia-
sati hidup alam di pantai Amerika Selatan dan ceruk Pulau Gala-
pagos. Ia memandang juga ke dunia manusia di zamannya, dan
bertanya: bagaimana desain Tuhan dikatakan sempurna bila keti-
dakadilan begitu menyakitkan hati? Darwin melihat kejamnya
per­budakan. Ia, yang pernah bersahabat dengan seorang bekas
bu­dak dari Guyana yang mengajarinya teknik taksidermi ketika
ia bersekolah kedokteran di Edinburgh, menganggap perbudak­
an sebagai ”skandal bagi bangsa-bangsa yang beragama Kristen”.
Dalam perjalanan dengan HMS Beagle itu ia juga menyaksikan
nestapanya manusia yang jadi pribumi Tierra del Fuego.
Tak bisa diterangkan dengan cara Paley mengapa Tuhan yang
adil dan mahapenyayang menghasilkan desain yang melahirkan
ke­adaan keji itu. Tentu ia bisa menemukan tema ini dalam kisah
ke­sengsaraan Ayub dalam Alkitab, tapi bagaimana ”keadilan”
Tu­han di situ bisa diterima seseorang yang berpikir kritis dan tak
takut?
Bagi Darwin, apologia ala Paley gagal. Darwin tak melihat
ada desain dalam keanekaragaman makhluk hidup dan kerja se­
leksi alamiah. Lingkungan hidup yang mengontrol nasib kehi­
dupan di alam semesta bekerja tak konsisten dan tanpa tujuan.
Alam memecahkan problemnya dengan cara yang berantakan
dan tak optimal, dan tiap penyelesaian bergantung pada keadaan
ke­tika itu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Mau tak mau, pandangan itu merisaukan. Darwinisme adalah


bagian dari sejarah yang ikut menenggelamkan apa yang disebut
pe­nyair Yeats sebagai ”ceremony of innocence”—yang terutama di-
junjung oleh lembaga agama. Di Amerika Serikat, lebih banyak

344 Catatan Pinggir 9


DARWIN

orang tak percaya kepada teori evolusi. Di sana pula, para peng-
kritik Darwin mengibarkan teori tentang adanya ”desain yang
pin­tar” di alam semesta. Mereka mengatakan, ada ”kecerdasan”
yang datang dari luar alam yang campur tangan ke kancah hidup
di sini, hingga, misalnya, bakteria bisa berpusar pada flagellum
yang strukturnya begitu rumit hingga tak teruraikan.
Tapi kaum penerus Darwin bisa menunjukkan ada ribuan je-
nis flagella yang terbangun dari protein yang sebagian besar ber-
beda, dan jejak evolusi tampak jelas di dalamnya. Sebagian besar­
komponen yang membentuk flagella diperkirakan sudah ada
dalam bakteria sebelum struktur yang dikenal kini muncul.
Artinya, tak ada desain, kata para penerus Darwin. Teori evo­
lusi menunjukkan ketidaktetapan dan kontingensi: hal ihwal se-
lamanya berubah, meskipun tak terus-menerus, dan perubahan
itu bergantung pada konteks yang ada, dan konteks itu pun ter-
bangun tanpa dirancang. Bahkan terjadi karena koinsidensi. Ste-
phen Jay Gould mengiaskannya sebagai spandrel, satu bagian dari
plengkung dalam gereja gothis yang tak dirancang oleh arsitek
tapi terjadi secara kebetulan ketika, dan karena, plengkung yang
direncanakan itu rampung dibangun.
Memang dengan demikian tak ada lagi narasi besar. Kita hi­
dup­ dengan apa yang dalam bahasa program komputer disebut
kluge, himpunan yang kacau dari macam-macam anasir yang ter-
jadi dalam proses menyelesaikan satu masalah. Tak ada flowchart
yang bisa segalanya dan lengkap, tak ada resep yang akan siap.
Itulah sejarah: dibangun dari praxis, laku, keputusan setelah
meraba-raba, dan mungkin juga loncatan ke dalam gelap di de-
pan. Tapi tak semuanya gagal. Alam penuh dengan perabot yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

ganjil dan awut-awutan, tapi makhluk hidup juga punya keteram­


pilan dan kreativitas di tengah keserbamungkinan itu. ”Nature is
as full of contraptions as it is if contrivance,” kata Darwin.
Mungkin Tuhanlah yang menyiapkan itu, mungkin juga Ia

Catatan Pinggir 9 345


DARWIN

tak ada. Mungkin tak ada apa pun sebelumnya. Bagi Darwin itu
bukan persoalan. Yang penting adalah mengakui pengetahuan
kita yang guyah, rumus kita yang coba-coba, tapi pada saat yang
sama kita bilang ”ya” kepada hidup.
Orang beragama akan menyebutnya syukur. Juga tawakal.

Tempo, 22 Februari 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

346 Catatan Pinggir 9


CEBOLANG

T
EATER itu bernama Slamet Gundono. Dengan tubuh
300 kilogram lebih ia tetap bisa bergerak ritmis seperti
pe­nari. Suaranya mengalun, bisa gagah bisa sayu, terka­
dang dramatik terkadang kocak, sebagaimana laiknya seorang
da­lang. Tapi ia lebih dari itu. Di pentas itu ia juga seorang aktor
pe­nuh. Dialog diucapkannya dengan diksi yang menggugah dan
pause yang pas. Ia bisa membawakan lagu, ia bisa menggubah la­
gu dengan cepat, seraya memelesetkan melodi, tapi pada saatnya,
ekspresinya bisa tangis.
Gundono adalah gunungan dalam pertunjukan wayang kulit­
yang tanpa jejer. Ia pusat. Tapi ia bergerak dari pelbagai posisi,
dan dengan asyik berpindah dari idiom seni pertunjukan yang sa­
tu ke idiom yang lain.
Tentu saja karena ia, lebih dari seniman teater yang mana pun
ki­ni, adalah sosok yang dibentuk oleh aneka khazanah. Tubuh
de­ngan lapisan lemak yang seperti unggunan bantal itu—sebuah
keistimewaan yang terkadang ia tertawakan sendiri—adalah se-
buah sedimentasi dari sejarah kebudayaan yang panjang.
Sejarah kebudayaan itu dapat disebut ”Jawa”, tapi yang tak da­
pat ditentukan batas-batasnya. Gundono bisa menembangkan
pang­kur dan melantunkan suluk, mengalir luwes dari nada diato­
nik ke pentatonik, tapi ia juga bisa menyerukan azan dan mengu­
tip Quran dengan gaya qiraat Mesir. Ia memetik ukulele seakan-
akan seorang penyanyi Hawaii, dan yang terdengar adalah kasi-
dah. Di sana-sini dalam narasinya bahasa Jawa literer dari tradisi
http://facebook.com/indonesiapustaka

Surakarta berbaur seperti tak sadar dengan bahasa Tegal yang se­
ring dianggap ”kasar” dan ”kurang-Jawa”.
Ya, Gundono sebuah teater tanpa definisi. Ia lahir di Kota Sla­
wi di pantai utara Jawa Tengah, anak seorang dalang dengan 12

Catatan Pinggir 9 347


CEBOLANG

keturunan yang tak dipedulikan. Suwati, sang ayah, hampir tak


per­nah berada di rumah. Ia mendalang di mana saja, terkadang
tanpa dibayar.
Sebab itu anak-anaknya, khususnya yang laki-laki, mencari
ba­pak sendiri. Slamet mendapatkan bapak angkatnya seorang
kiai desa. Dari sinilah ia masuk jadi santri. Ia seorang santri yang
keras.
Tapi mimpinya adalah jadi aktor. Ini yang mendorongnya be-
rangkat untuk jadi mahasiswa Institut Kesenian Jakarta. Ia tak
ber­tahan lama di sana. Ia banyak dimusuhi teman, katanya, se-
bab ia gemar mengkhotbahi orang. Baru setelah ia pindah ke So­lo
dan kuliah di STSI, sikapnya berubah: di sekolah kesenian itu, di
mana seni tradisi mau tak mau bersua dengan yang di luar wi­la­
yahnya, Gundono lebih bisa menerima hal-hal yang dulu di­tam­
piknya. Selain mendalang—dan jadi penerus ayahnya—ia ikut
dalam pentas karya Sardono W. Kusumo dan akrab dengan Ren-
dra.
”Saya ini seperti Karna,” katanya pada suatu ketika, ”tak pu-
nya bapak yang jelas. Bapak biologis saya Suwati, bapak spiritual
saya pak kiai, dan kemudian saya dibesarkan bapak-bapak lain.”
Tapi Gundono, kini 43 tahun, bukan sebuah ensiklopedia;
di pentas itu ia sebuah kejadian. Di dalam teaternya definisi dan
identitas luruh dan puisi timbul: puisi sebagai jejak kebenaran
yang lewat, sejenak, menyentuh, tak terhingga.
Mungkin itu sebabnya ia menemui tempat yang tepat di lantai
Teater Salihara, Jakarta, malam itu: ia memainkan satu fragmen
dari Serat Centhini, teks bahasa Jawa abad ke-19 yang berkisah
ten­tang pengembaraan dua putra Kerajaan Giri yang melarikan
http://facebook.com/indonesiapustaka

diri ketika pasukan Sultan Agung (1613-46) dari Mataram me-


nyerbu.
Gundono beruntung. Versi yang dipakainya—dengan judul
Cebolang Minggat—bukanlah teks yang seperti mumi di mu­

348 Catatan Pinggir 9


CEBOLANG

seum.­Ia bekerja sama dengan Elizabeth D. Inandiak, seorang sas-


trawan Prancis yang menyadur Serat Centhini dan mengatakan:
”Ini adalah Centhini abad ke-21.”
Inandiak, seperti diakuinya sendiri, bukan seorang pakar ba-
hasa Jawa. Ia, tulisnya, ”seorang petualang dan pencinta Jawa”. Ia
menggubah kembali 4.200 halaman, 722 tembang, 2.000 bait
lebih itu jadi narasi yang berjalan dengan kiasan dan pencandra­
an yang puitis dan tak terduga, bertaut tapi tak terikat dengan
teks asli. Terkadang Inandiak meringkas, terkadang mengubah.
Dan terkadang ia menggerakkan puisi Jawa itu dengan potongan
sa­jak Victor Hugo dan Baudelaire. Di bagian tertentu, juga ma-
suk anasir yang kocak dari Gargantua Rabelais. ”Centhini, c’est
Rabelais!” kata sejarawan Onghokham kepada sang penyadur.
Dengan kata lain, ia sebenarnya meneruskan proses semula la-
hirnya Centhini—teks yang merupakan pertemuan berbagai alir.
Dua ribu bait itu terjadi karena dorongan keasyikan, nostalgia,­
dan kreativitas bermacam-macam orang. Centhini-nya, seperti
dikatakan dalam pengantar, adalah ”pengembaraan edan luar
batas”.
Malam itu, di kanan pentas yang mirip panggung pertunjuk­
an dusun itu Inandiak duduk di depan laptop. Ia membaca de-
ngan tenang, mula-mula frase pembukaan dalam bahasa Prancis,
lalu segera kalimat berbahasa Indonesia: ”Cebolang bertubuh lu­
wes dan licin layaknya penari Ramayana....”
Teks yang diterjemahkan dari bahasa Prancis itu di sana-sini­
agak kikuk, dan Inandiak melafalkannya dengan aksen asing
yang menghidupkan konsonan akhir—tapi itu justru yang me-
nyebabkan bunyinya menarik. Apalagi segera setelah itu Gundo-
http://facebook.com/indonesiapustaka

no meningkahi suasana dengan janturan seperti dalam wayang,


nyanyian seperti dalam orkes kampung, kasidah seperti dalam
upa­cara santri, dan gamelan, dan joget, dan suara bariton yang
berkisah....

Catatan Pinggir 9 349


CEBOLANG

Kisah itu, sebagaimana terkenal dari Centhini, terkadang sa­


ngat­erotis: deskripsi persetubuhan dalam puisi. Tapi tak berhenti
di sana. Cebolang yang melarikan diri dari rumah, setelah me­
nem­puh dosa tubuh dan pengalaman mistis, akhirnya pulang.
Ayahnya menyambutnya. Sang anak disuruhnya menjalankan
”ilmu yang paling dasar yang akan mengantarmu ke semua lain-
nya”.
”Ayahanda, ilmu apa itu?”
”Cinta.”

Tempo, 1 Maret 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

350 Catatan Pinggir 9


MONO

P
ada suatu hari di abad ke-7, dua orang Madinah ber­
tengkar. Yang satu muslim dan yang satu lagi Yahudi.
Yang pertama mengunggulkan Muhammad SAW ”atas
se­kalian alam”. Yang kedua mengunggulkan Musa. Tak sabar,
orang muslim itu menjotos muka si Yahudi.
Orang Yahudi itu pun datang mengadu ke Nabi Muhammad,
yang memimpin kehidupan kota itu. Ia ceritakan apa yang ter-
jadi. Maka Rasulullah pun memanggil si muslim dan berkata:

”Janganlah kau unggulkan aku atas Musa. Sebab di hari kiamat


semua umat jatuh pingsan, dan aku pun jatuh pingsan bersama me­
re­ka. Dan akulah yang pertama bangkit dan sadar, tiba-tiba aku li­
hat Musa sudah berdiri di sisi Singgasana. Aku tidak tahu, apakah
ia tadinya juga jatuh pingsan lalu bangkit sadar sebelumku, ataukah
dia adalah orang yang dikecualikan Allah.”

Riwayat ini dikutip dari Shahih Muslim, Bab Min Fadla’ il


Mu­sa. Dalam buku Abd. Moqsith Ghazali yang terbit pekan lalu,
Argumen Pluralisme Agama, hadis itu dituturkan kembali sebagai
salah satu contoh pandangan Islam tentang agama yang bukan
Islam, khususnya Yahudi dan Kristen.
Pada intinya, Moqsith, sosok tenang dan alim yang mengajar
di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ini, datang de-
ngan pendirian yang kukuh: Islam adalah ”sambungan—bukan
musuh—dari agama para nabi sebelumnya”, yang sering disebut
http://facebook.com/indonesiapustaka

sebagai agama-agama Ibrahimi.


Tapi yang bagi saya menarik adalah kata-kata Muhammad
SAW yang dikutip di sana: ”Janganlah kau unggulkan aku atas
Musa”, dan, ”aku tidak tahu...”.

Catatan Pinggir 9 351


MONO

Kini kata-kata itu tenggelam. Kini sebagian ulama merasa­di­


atas Rasulullah: mereka merasa tahu keunggulan diri mereka.­
Me­reka akan membenarkan si muslim yang memukul si Yahudi.­
Mereka bahkan mendukung aniaya terhadap orang yang ”me­
nyim­pang”, walaupun orang lain itu, misalnya umat Ahmadiyah,
membaca syahadat Islam.
Dari mana datangnya kekerasan itu?
Saya sering bingung. Satu kalimat suci terkadang bisa mem-
buat orang jadi lembut, tapi satu kalimat lain dari sumber yang
sa­ma bisa menghalalkan pembunuhan.
Mungkin pada mulanya bukanlah agama. Agama, seperti ba­
nyak hal lain, terbangun dalam ambiguitas. Dengan perut dan
tangan, ambiguitas itu diselesaikan. Tafsir pun lahir, dan kitab-
ki­tab suci berubah peran, ketika manusia mengubah kehidupan-
nya. Yang suci diputuskan dari bumi. Pada mulanya bukanlah
Sabda, melainkan Laku.
Tapi juga benar, Sabda punya kesaktiannya sendiri setelah jadi
suci; ia bisa jadi awal sebuah laku. Kekerasan tak meledak di sem-
barang kaum yang sedang mengubah sejarah. Ia lebih sering ter-
jadi dalam sejarah Yahudi, Kristen, dan Islam: sejarah kepercaya­
an yang berpegang pada Sabda yang tertulis. Pada gilirannya ka-
ta-kata yang direkam beku dalam aksara itu menghendaki kesa­
tuan tafsir.
Kesatuan: jangan-jangan mala itu datang dari angka ”satu”—
dan kita harus bebas dari the logic of the One.
Kata ini dipakai Laurel C. Schneider dalam Beyond Mono­
theism.­ Pakar theologi itu menuding: ”Oneness, as a basic claim
about God, simply does not make sense.” Dunia sesungguhnya me­
http://facebook.com/indonesiapustaka

lampaui ke-satu-an dan totalitas.


Schneider menganjurkan iman berangkat ke dalam ”multi­
plisitas”—yang tak sama artinya dengan ”banyak”. Kata itu, me­
nurut dia, mencoba menamai cara melihat yang luwes, mampu

352 Catatan Pinggir 9


MONO

me­nerima yang tak terduga tak berhingga.


Tapi Schneider, teguh dalam tradisi Ibrahimi, menegaskan
”multiplisitas” itu tak melenyapkan yang Tunggal. Yang Satu tak
hilang dalam multiplisitas, hanya ambyar sebagaimana bintang
jatuh tapi sebenarnya bukan jatuh melainkan berubah dalam
per­jalanan benda-benda planeter.
Dengan kata lain, tetap ada ke-tunggal-an yang membayangi
tafsir kita. Bagaimana kalau terbit intoleransi monotheisme kem-
bali?
Saya ingat satu bagian dalam novel Ayu Utami, Bilangan Fu.
Ada sebuah catatan pendek dari tokoh Parang Jati yang bertanya:
”Kenapa monotheisme begitu tidak tahan pada perbedaan?” De-
ngan kata lain, ”anti-liyan”?
Pertanyaan itu dijawab di catatan itu juga: sikap ”anti-liyan”
itu berpangkal pada ”bilangan yang dijadikan metafora bagi inti
falsafah masing-masing”. Monotheisme menekankan bilangan
”satu”. Agama lain di Asia bertolak dari ketiadaan, kekosongan,
sunyi, shunyat, shunya, sekaligus keutuhan. ”Konsep ini ada pada
bilangan nol,” kata Parang Jati.
Bagi Parang Jati, agama Yahudi, pemula tradisi monotheisme,
tak mampu menafsirkan Tuhan sebagai Ia yang terungkap dalam
shunya, sebab monotheisme ”dirumuskan sebelum bilangan nol
dirumuskan”.
Ada kesan Parang Jati merindukan kembali angka nol, namun­
ia tak begitu jelas menunjukkan, di mana dan bila kesalahan di­
mu­lai. Ia mengatakan, setelah bilangan nol ditemukan, manusia
pun kehilangan kualitas yang ”puitis”, ”metaforis” dan ”spiritual”­
dalam menafsirkan firman Tuhan. ”Ketika nol belum ditemu-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kan,” tulis Parang Jati, ”sesungguhnya bilangan tidaklah hanya


matematis.”
Dengan kata lain, mala terjadi bukan karena angka satu, me-
lainkan karena ditemukannya nol. Tapi Parang Jati juga menun-

Catatan Pinggir 9 353


MONO

jukkan, persoalan timbul bukan karena penemuan nol, melain­


kan­ketika dan karena ”shunya menjadi bilangan nol”.
Salahkah berpikir tentang Tuhan sebagai nol? Salahkah de-
ngan memakai ”the logic of the One”?
Di sebuah pertemuan di Surabaya beberapa bulan yang lalu
saya dapat jawab yang mencerahkan. Tokoh Buddhisme Indone-
sia, Badhe Dammasubho, menunjukkan bahwa kata ”esa” dalam
asas ”Ketuhanan yang Maha Esa” bukan sama dengan ”eka” yang
berarti ”satu”. Esa berasal dari bahasa Pali, bahasa yang dipakai
kitab-kitab Buddhisme. Artinya sama dengan ”nirbana”.
Setahu saya, ”nirbana” berarti ”tiada”. Bagi Tuhan, ada atau
tak ada bukanlah persoalannya. Ia melampaui ”ada”, tak harus
”ada”, dan kita, mengikuti kata-kata Rasulullah, ”aku tidak tahu”.

Tempo, 8 Maret 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

354 Catatan Pinggir 9


SJAHRIR DI PANTAI

S
AYA bayangkan Sjahrir di Banda Neira pagi itu, 1 Februari­
1942. Kemarin tentara Jepang menyerbu Ambon. Bebera-
pa jam sesudah itu bom meledak.
Saya bayangkan pagi itu, setelah sebuah pesawat MLD-Cata-
lina berputar-putar di sekitar pulau. Berisiknya membangunkan­
penduduk, sebelum ia berhenti di pantai yang tenang. Ko-pilot
pe­sawat, seorang opsir Belanda, turun dan menuju ke tempat
Sjah­rir dan Hatta tinggal. Kedua tahanan politik itu harus me-
ninggalkan pulau cepat-cepat, pesannya. Hanya ada sekitar wak-
tu satu jam untuk bersiap.
Hatta mengepak buku-bukunya, tergopoh-gopoh, ke dalam
16 kotak. Sjahrir memutuskan untuk membawa ketiga anak ang-
katnya, meskipun salah satunya masih berumur tiga tahun.
Sesampai di tempat pesawat, ada problem: ruang di Catalina
itu terbatas. Para penumpang itu harus memilih, 16 kotak buku
atau ketiga anak itu harus ditinggalkan. Hatta mengalah. Enam
belas kotak buku itu tak jadi dibawa—untuk selama-lamanya—
kecuali Bos Atlas yang sempat disisipkan Hatta ke dalam koper
pakaian. Empat puluh tahun kemudian Hatta masih menyesali
kehilangan itu.
Saya bayangkan Sjahrir di pantai Banda Neira pagi itu, di da­
lam Catalina yang meninggalkan pulau. Ia memandang ke luar
jen­dela, melambai sekenanya. Seluruh Banda Neira tampak baru
ba­ngun, berjajar di tepi laut menyaksikan perginya kedua orang
buangan itu bersama tiga anak yang masih kecil.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Hari itu menutup masa hampir enam tahun Hatta dan Sjah-
rir tinggal di pulau kecil itu, di antara 7.000 penduduk. Ada pepe­
rang­an di seberang sana, dan mungkin semua orang sudah men-
duga, Hatta, Sjahrir, dan anak-anak itu tak akan kembali.

Catatan Pinggir 9 355


SJAHRIR DI PANTAI

***
Saya bayangkan Sjahrir enam tahun sebelum 1 Februari
1942: seorang tahanan politik di sebuah rumah tua di Banda
Nei­ra. Ia tinggal bersama Hatta. Sejak di hari pertama ia datang,
ia mene­mui anak-anak, dan anak-anak datang untuk belajar, ber-
main, bergurau.
Rumah itu luas, dulu ditempati pejabat perkebunan, dengan
ru­ang dalam yang 50 meter persegi dan beranda yang 40 meter
panjangnya. Hari itu seorang dari anak-anak itu menumpahkan
vas kembang. Airnya membasahi sebagian buku yang ditaruh
Hatta di atas meja. Hatta—selalu sangat sayang kepada buku-bu-
kunya, selalu rapi dengan benda-benda itu—marah.
Sjahrir pun memutuskan untuk meninggalkannya. Ia pindah­
ke paviliun kecil di kebun keluarga Baadilla. Baadilla tua, seorang
keturunan Arab yang dulu saudagar, menitipkan pendidikan cu-
cu-cucunya kepada Sjahrir: dua lelaki, Does dan Des, dua perem-
puan, Lily dan Mimi.
Sjahrir segera jadi bagian dari keluarga itu. ”Mereka... adalah
teman terbaik yang saya miliki,” katanya tentang anak-anak Ban-
da itu, dalam sepucuk surat bertanggal 25 Februari 1936. Ia tak
menyebut tahanan politik lain di pulau itu: Hatta, Cipto Ma­
ngun­kusumo, Iwa Kusumasumantri....
Saya bayangkan Sjahrir di paviliun itu: ia seorang hukuman
yang berbahagia. Ia mengajar anak-anak itu menulis, matemati-
ka, sejarah, cara makan yang sopan, dan entah apa lagi. Ia menye-
wa mesin jahit Singer dan menjahitkan pakaian mereka.
Jika ia tak sedang membaca buku atau menulis surat, ia bawa
anak-anak itu berjalan meninggalkan dataran pulau, berlayar,
http://facebook.com/indonesiapustaka

atau mendaki gunung di sebelah sana.


***
Anak-anak, permainan, pantai—mungkin itulah kiasan
ter­baik bagi hidup yang spontan, tak berbatas, dengan kebetulan-

356 Catatan Pinggir 9


SJAHRIR DI PANTAI

kebetulan yang mengejutkan dan menyegarkan, proses yang tak


berangkat dari satu asal. Saya teringat sebuah sajak Tagore:

”Mereka bangun rumah dari pasir, mereka rajut kapal dengan­


da­­un kering, dan dengan tersenyum mereka apungkan ke laut da­
lam...
”Nelayan menyelam mencari mutiara, saudagar berlayar meng­
arungkan perahu, sementara anak-anak menghimpun batu dan me­
ne­barkannya kembali...”

Ada yang tak dipatok oleh tujuan dan tak dikejar-kejar oleh
”man­faat” di sini, laku yang lalai tapi gembira. Kapal itu dirajut
dan diapungkan ke laut dalam, entah ke mana. Kersik itu dikum-
pulkan dan kemudian ditebarkan kembali, entah untuk apa.
Saya bayangkan anak-anak Banda Neira pada tahun 1930-an­
itu menyeberangi selat, melintasi kebun laut, bersama seorang bu­
angan yang tak jelas asalnya dan masa depannya. Pantai itu ber­­
ubah. Dalam keasyikan bermain, mereka tak tahu adakah pan­tai
itu membatasi laut ataukah pulau, awal penjelajahan atau tem­pat
asal. Pada saat itu, di ruang itu, mistar tak ditarik dan hitungan
tak ada. Hidup tak dimulai dengan kalkulasi dan kesa­dar­an. Juga
tak diakhiri akalbudi.
Pada 17 Maret 1936, Sjahrir menulis kepada istrinya: ”Sesung­
guhnyalah, impuls, dorongan, gairah (drifts), seperti yang saya ya-
kini sekarang, tak pernah akan dilenyapkan oleh akalbudi. Bah-
kan sebaliknyalah yang benar—akalbudi bertakhta hanya sepan-
jang impuls, dorongan, gairah membiarkannya....”
Suratnya bertanggal 29 Mei 1936 mengatakan, hidup tanpa
http://facebook.com/indonesiapustaka

emosi jadi ”terlampau positif”. Hidup seperti itu tak memadai, se-
buah ”penalaran abstrak” tanpa ”pengalaman” (”ervaring”).
Sjahrir memang menyukai Nietzsche. ”Nietzsche itu kebuda­
ya­an, Nietzsche itu seni, Nietzsche itu jenius,” tulisnya kepada­

Catatan Pinggir 9 357


SJAHRIR DI PANTAI

adiknya dalam sepucuk surat bertanggal 7 November 1941. Nietz­


sche menyebut, mengikuti Schiller, adanya ”dorongan bermain”,
Spieltrieb, dan agaknya dalam hubungan itu ia melukiskan­”api
hidup abadi” yang ”bermain, seperti si anak dan sang seniman”,
dalam arti ”membangun dan menghancurkan, tanpa dosa...”.
Tujuan, juga hasil, tak relevan. Tapi bagaimana dengan niat
dan rancangan mengubah dunia, tak sekadar menafsirkannya?
***
Saya bayangkan Sjahrir: seorang tahanan yang betah. ”Di
sini benar-benar sebuah firdaus,” tulisnya tentang Banda Neira
pada awal Juni 1936.
Sebuah kenang-kenangan yang ditulis Sal Tas, sahabatnya se-
jak muda di Belanda, menyebutkan kenapa demikian: di pulau
itu, Sjahrir bisa melampiaskan gairahnya dalam dua hal—ber-
main dengan anak-anak dan mengajar. ”Seakan-akan ia, dalam
ber­main dengan anak-anak, menghilang ke dalam dunia yang
tan­pa ketegangan, pertikaian, dan problem.”
Sebab, menurut Sal Tas, di lubuk hatinya, Sjahrir tak menyu-
kai politik. ”Ia melibatkan diri ke dalamnya karena tugas dan bu-
kan karena terpikat. Ia tak terpesona oleh fenomena yang dah-
syat, menarik, bergairah—terkadang luhur, sering kotor, namun
se­penuhnya manusiawi—yang kita sebut politik. Ia tak merasa­
kan ada panggilan....”
Politik tak mengerumuninya di Banda Neira. Tapi bisakah ia
mengelakkannya?
Di tiap pantai, juga di pantai yang paling tenang, ada dilema
dan ambivalensi. Pada pagi 1 Februari 1936 itu, Sjahrir pergi ber-
sama tiga anak pungutnya, meninggalkan Banda Neira, di pesa­
http://facebook.com/indonesiapustaka

wat yang mungkin tak diketahuinya hendak tiba di mana. Itulah


pilihannya: anak-anak, bukan buku; pergi, bukan berlindung di
rumah asal; berangkat ke tempat yang tak terikat, bukan ke ala­
mat yang terjamin.

358 Catatan Pinggir 9


SJAHRIR DI PANTAI

Tapi tak semua dilema menghilang. Dalam tubuh MLD-Ca­


talina yang melayang itu berkecamuk kontradiksi yang tak ter-
hindarkan. Terbang, penjelajahan, avontur, pembuangan, anak-
anak, rantau antah berantah—mungkin dalam hal-hal ini Sjah-
rir mendapatkan, secara intens, apa yang oleh Nietzsche disebut
sebagai ”kelupaan yang aktif”.
Namun di dalam kabin itu ”kelupaan” (Vergeszlichkeit) tak
mung­kin jadi dasar segalanya. Ada Hatta dan buku atlasnya, pi-
lot yang mengikuti angka beban dan bahan bakar, peta yang pas-
ti, tubuh dan mesin pesawat yang bergerak dengan perhitungan
aerodinamik, dan keinginan untuk selamat dari ketakpastian cu­
a­ca dan situasi perang.
Pesawat Catalina itu bukan ”the only possible non-stop flight”,
un­tuk ”terbang, mengenali gurun, sonder ketemu, sonder menda-
rat”, seperti dihasratkan dalam sebuah sajak Chairil Anwar. Pada
akhirnya Sjahrir tetap harus ketemu dan mendarat, dengan ren-
cana, sebagaimana Catalina itu akan mendarat dengan kalkulasi.
Dunia tak seluruhnya tergelar hanya dalam impuls, dorongan,
gairah.
Sjahrir sendiri tak lepas dari kesadaran tentang itu. Seperti pa­
ra penganjur modernisasi di Indonesia, baik yang Marxis atau bu-
kan, baik Tan Malaka dan PKI maupun Takdir Alisjahbana, dan
”Surat Kepercayaan Gelanggang”, Sjahrir percaya, kebudayaan
Indonesia harus masuk ke zaman baru. Bukan lagi dengan mistik
dan adat yang ”semi-feodal”, bukan dengan mengelap-elap candi
tua.
Di Banda Neira itu juga Sjahrir, seperti umumnya mereka
yang terbentuk oleh pendidikan pemerintah kolonial, percaya ha­
http://facebook.com/indonesiapustaka

nya rasionalitas-lah yang cukup kuat untuk menguasai dunia. Ia


menulis tentang perlunya ”nuchterheid” dan ”zakelijkheid”, sikap
berpertimbangan dan lugas—pada saat ketika ia juga menyam­
but Nietzsche yang merayakan vitalitas yang berani untuk liar ba­

Catatan Pinggir 9 359


SJAHRIR DI PANTAI

gaikan Dionysius.
Artinya pendiri Partai Sosialis itu juga tak lepas dari nilai yang
diunggulkan tata sosial borjuis—tata yang mengandung kontra-
diksi. Di satu pihak disambut energi produktif yang berani men­
jelajah dan menemukan, dan dengan demikian mengandung­si­
fat liar dan khaotik; tapi di lain pihak dibangun stabilitas, ke­
lugasan, rasionalitas. Dari yang terakhir ini perdagangan, indus-
tri, teknologi, dan hukum lahir. Juga kekuasaan yang mengatur
kehidupan politik.
Saya tak tahu sadarkah Sjahrir tentang kontradiksi itu. Tapi
itu juga kontradiksi dalam dirinya. Yang Nietzschean dalam si-
kapnya bertemu, dan juga berlaga, dengan pemikiran Marxis
yang diyakininya. Yang Nietzschean akan terasa ”anti-politik”
ke­tika ia harus menempuh sebuah proyek bersama yang terting-
gal: kemerdekaan dan keadilan di Indonesia. Tapi itu yang me-
nyebabkannya dibuang ke Banda Neira.
***
Saya bayangkan Sjahrir di pesawat Catalina itu. Nun di
bawah dilihatnya mungkin sawah, mungkin hutan, mungkin
masa depan. Yang terbentang itu sebuah negeri yang harus disiap-
kan, se­buah ruang di mana yang publik harus dikukuhkan, arena
di ma­na pengukuhan itu memerlukan persaingan hegemoni dan
konflik kekuasaan.
Gamangkah ia, yang mencintai anak-anak yang bermain tan-
pa tujuan di pantai Banda Neira? Seorang tahanan politik yang
di­gambarkan tak terpesona oleh politik?
Yang pasti, ia akhirnya hidup dalam persaingan kekuasaan. Ia
kalah. Partai Sosialis-nya tak didukung luas. Ia dipenjarakan Su­
http://facebook.com/indonesiapustaka

karno, lawannya. Ia meninggal sebagai tahanan di sebuah tempat


yang jauh dari rumah, tapi kali ini bukan Banda Neira.
April 1966 Soedjatmoko menulis dari Zurich, beberapa jam
setelah Sjahrir wafat: ”Dalam arti yang sangat nyata saya sadar

360 Catatan Pinggir 9


SJAHRIR DI PANTAI

bahwa kegagalannya dalam politik menandakan kebesarannya


sebagai seorang manusia....”

Ditulis kembali dari Setelah Revolusi Tak Ada lagi (Jakarta,­ Alva-
bet: 2001). Diolah dari Sjahrir: Politics and Exile in Indone­sia (Studies on
Southeast Asia, No. 14) oleh Rudolf Mrazek.

Tempo, 15 Maret 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 9 361


http://facebook.com/indonesiapustaka

362
Catatan Pinggir 9
BUKAN-PASAR

D
I tiap pasar selalu ada yang bukan-pasar. Dan itu dibu-
tuhkan. Ada pohon-pohon yang meneduhi kaki lima.
Ada sumur di halaman belakang yang dipakai ramai-
ramai. Ada peturasan untuk buang air siapa saja. Dan tak jauh
dari sana, ada jalan raya dengan rambu-rambu lalu lintas.
Semua itu menopang kehidupan pasar itu, meskipun tak jadi
bagian yang dikendalikan pasar dan kesibukannya: tak seorang
pun bisa mengklaim pohon, kakus, dan rambu-rambu itu sebagai
milik sendiri untuk dipertukarkan dengan milik orang lain.
Dengan cara yang sama, kita juga bisa bicara tentang apa yang
pernah disebut sebagai ”pasar metaforik”: kegiatan yang tak ter-
batas pada sebuah lokasi, ketika barang jadi komoditas dan hu­
bungan antarmanusia adalah hubungan jual-beli.
Dalam ”pasar metaforik” ini pun (yang selanjutnya akan ditu­
lis dengan ”P”) diperlukan hal-hal yang tak seharusnya diubah ja­
di benda yang nilainya lahir lewat perdagangan. Ada kebutuhan
akan barang yang bukan benda, yang tak ditentukan oleh harga:
hal-hal di luar jangkauan Pasar, meskipun ada di dalam tubuh
Pa­sar itu sendiri.
Tapi sejak 1980-an, orang mulai lupa akan hal itu. Bersama­
me­nonjolnya pengaruh Milton Friedman, sebuah dikotomi di­
te­gakkan dan bergema: di satu sisi ada Pasar, di sebelah sana ada
Ne­gara. Pasar bahkan berdiri tampak lebih luhur ketimbang Ne­
gara. Seri ceramah TV Friedman, Free to Choose, jadi alkitab bagi
me­reka yang ogah atau jera akan campur tangan Negara dalam
http://facebook.com/indonesiapustaka

eko­nomi, mereka yang menampik ”kekuasaan yang sewenang-


wenang segelintir orang” yang terkadang disebut sebagai birokra-
si dan hendak mengendalikan perilaku yang pada akhirnya dipi-
lih oleh masing-masing orang. Dengan diberi dalih oleh peme­

Catatan Pinggir 9 363


BUKAN-PASAR

nang Hadiah Nobel, tokoh Mazhab Chicago yang fasih dalam


ber­argumentasi itu, ekonomi pun di mana-mana digerakkan oleh
semangat deregulasi dan privatisasi. Negara—itu sesuatu yang
buruk. Pasar—itu selamanya penting.
George Soros kemudian menyebut pandangan macam itu
”fun­damentalisme pasar”; Paul Krugman menamakannya ”abso-
lutisme laissez faire”. Dalam tulisannya di The New York Review of
Books bertanggal 26 Maret 2009 Amartya Sen tak memberi nama
apa pun. Tapi ia menyebut kesalahan mereka yang tak bisa de­
ngan­jelas membedakan ”keniscayaan” (necessity) pasar dari ”ke­
ser­bacukupan” (sufficiency) pasar.
Dari sini akhirnya diakui, di tiap pasar selalu ada yang bu­
kan-­pasar—dan itu dibutuhkan. Sen menunjukkan bahwa pa­ra­
penerus Adam Smith, pemikir yang sering disebut sebagai ”ba­
pak paham kapitalisme” itu, telah keliru bukan karena sang ba­
pak salah. Mereka keliru karena Smith, dalam bukunya yang per-
tama, The Theory of Moral Sentiment, bukan orang yang meng­
anggap kehidupan bersama adalah sesuatu yang hanya dibentuk­
oleh Pasar, oleh kepentingan diri dan motif mencari untung.
Smith, sebagaimana dikutip Sen, juga berbicara tentang perlunya
”pe­rikemanusiaan, keadilan, kedermawanan, dan semangat ber­
ma­syarakat”.
Dan itu adalah sifat-sifat yang tak menentang Pasar. Mereka­
justru diperlukan Pasar agar berjalan beres. Sebagaimana dicatat
oleh sejarah, menurut Sen, kapitalisme tak muncul sebelum ada
sis­tem hukum dan praktek ekonomi yang menjaga hak milik dan
me­mungkinkan berjalannya perekonomian yang berdasarkan­
ke­­pemilikan. Tukar-menukar komersial tak dapat berlangsung
http://facebook.com/indonesiapustaka

se­cara efektif sampai tumbuh moralitas bisnis yang membu­at


per­­­janjian kontraktual ditaati tanpa ongkos yang tinggi, misal­
nya­ karena tak perlu terus-menerus membayar biaya perkara
peng­­aduan dan peradilan. Investasi dalam bisnis yang produktif

364 Catatan Pinggir 9


BUKAN-PASAR

tak dapat berkembang sebelum orang tak dapat hasil yang mudah
dan berlebih dari korupsi.
Pendek kata, menurut Sen, ”kapitalisme yang berorientasi
laba selamanya mendapatkan dukungan dari nilai-nilai institusi­
onal yang lain”. Nilai-nilai: hal-hal yang bukan komoditas, tak
bisa diklaim sebagai milik dan diukur dengan nilai tukar.
Seperempat abad yang lalu Albert Hirschman sudah menga­
ta­kan hal itu dalam esainya, ”Against Parsimony: Three Easy Ways
of Complicating Some Categories of Economic Discourse”: ketika
kapitalisme bisa meyakinkan setiap orang bahwa ia dapat meng-
abaikan moralitas dan semangat bermasyarakat, public spirit, dan
hanya mengandalkan gairah mengejar kepentingan diri, ”sistem
itu akan menggerogoti vitalitasnya sendiri”. Sebab vitalitas itu be-
rangkat dari sikap menghormati ”norma-norma moral tertentu”,
sikap yang katanya tak diakui dan dianggap penting oleh ”ideolo-
gi resmi kapitalisme”.
Kini memang terbukti: Pasar yang hanya mengakui bahwa­
”ra­kus itu bagus”—seperti yang dikumandangkan oleh risa­
lah­ macam The Virtue of Greed dan In Defense of Greed—pada
akhir­nya terguncang oleh skandal Bernard Madoff. Orang
ini­—seorang pebisnis terpandang—berhasil mengeruk US$
65.000.000.000 dengan menipu orang-orang yang menanam
uang dengan penuh kepercayaan di koceknya.
Jelas, akibatnya bukanlah cuma uang yang raib. Yang tak ka-
lah rusak adalah sikap percaya-mempercayai. Bank kini ragu me-
minjamkan uang, investor ragu menanam dana. Sekarang terasa
be­tapa perlunya ”nilai-nilai institusional” di luar Pasar. Mereka
perlu dijaga.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tapi tak mudah. Problem besar dewasa ini: dari mana nilai-ni-
lai itu akan datang lagi dan bagaimana akan dilembagakan. Siapa
yang akan secara sistematis menanam pohon, menegakkan ram-
bu jalan, membuat perigi bersama? Bukankah kini public spirit

Catatan Pinggir 9 365


BUKAN-PASAR

nyaris tipis dan pengertian ”bebrayan” dirusak oleh ketimpangan


sosial dan korupsi? Apa gerangan yang harus dilakukan?
Saya ingin sekali bisa menjawab itu. Sungguh, saya ingin se­
kali­bisa menjawab itu.

Tempo, 22 Maret 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

366 Catatan Pinggir 9


TIGA FANTASI

W
AJAHNYA seorang bapak Yahudi yang kalem. Ta­
pi­ sebenarnya ia penipu terbesar dalam sejarah mo­
dern­— dan sekaligus aktor dalam kapitalisme Ame­
rika sebagai dunia Harry Potter.
Dari luar, Madoff, menjelang 71 tahun, memang tampak da­
pat­ diandalkan. Ia suami yang tetap dalam hidup perkawinan
se­jak menikahi pacar masa remajanya; mereka punya dua putra
yang baik. Ia mendirikan Madoff Family Foundation dan mem-
beri dana buat pendidikan, riset kesehatan, rumah sakit, dan tea­
ter.
Filantropi itu bagian dari posisi sosialnya—sebagaimana ben-
da-benda yang dimilikinya: rumah seharga 11 juta dolar di Palm
Beach, apartemen seharga 7 juta dolar di Manhattan, New York,
sebuah lagi di Prancis.... Pendek kata, Madoff adalah gaya hidup
yang tak sembarangan. Potong rambut $ 65; cukur janggut $ 40;
merapikan kuku kaki $ 50; mengatur kuku tangan $ 22.
Demikianlah ia meletakkan diri, dan meyakinkan dunia, se-
bagai orang yang berpunya (yang dalam bahasa Indonesia juga
ber­arti ber-”ada”) dan sebab itu terhormat: ia mantan Ketua Bur-
sa Saham Nasdaq yang pernah menyatakan bahwa aturan yang
meng­awasi dunia persahaman Amerika begitu rapi hingga mus-
tahil dikibuli.
Maka siapa akan menyangka ia pencoleng? Madoff pernah ja­
di bendahara American Jewish Congress. Sampai ia ditahan ba-
ru-baru ini, ia bendahara Dewan Penyantun Universitas Yeshiva,
http://facebook.com/indonesiapustaka

per­guruan tinggi Yahudi yang telah 122 tahun berdiri di Ameri-


ka.
Dengan jabatan dan kekayaan itu ia yakinkan orang agar me­
na­namkan uang ke usahanya, dengan janji akan ada perolehan

Catatan Pinggir 9 367


TIGA FANTASI

yang besar dan ajek tiap tahun.


Semuanya akhirnya hanya kebohongan: Madoff membayar
”per­olehan” itu bukan dari hasil investasi, melainkan dari uang
yang ditanam investor baru. Pada akhirnya, uang yang dipercaya­
kan kepadanya ia tilep—entah untuk apa saja.
Ada lebih dari 13 ribu rekening di pelbagai negara yang jadi
kor­ban. Universitas Yeshiva sendiri kehilangan $ 110 juta. Madoff
juga memusnahkan dana The Elie Wiesel Foundation for Huma­
nity, yang didirikan Elie Wiesel, pemenang Hadiah Nobel Perda­
maian dan penulis buku Malam, karya terkenal tentang peng­
alaman­hidup dalam kamp konsentrasi Nazi. Sebesar $ 15 juta le­
bih—atau hampir seluruh aset yang dipunyai yayasan itu—raib.
Bahkan para tetangganya di Palm Beach, kebanyakan orang
tua Yahudi yang berpunya, kena tipu. Termasuk Carl Shapiro, se­
orang jutawan umur 95 yang telah menganggap Madoff sebagai
anak; $ 400 juta uang pribadinya hilang.
Kenapa itu bisa terjadi? Keserakahan dan kelicikan Madoff
ten­tu jadi pangkalnya. Juga kemampuannya meyakinkan orang.
Tapi tak dapat diabaikan: suasana optimisme yang melonjak-lon­
jak, ketika keadaan investasi cerah, dan orang mau percaya apa
pun agar uang jadi pohon buah yang subur. Euforia itu ruang ba­
gi fantasi. Dan kapitalisme Amerika pun berkembang jadi kisah
ala Harry Potter tanpa (atau dengan) Lord Voldemort.
Di situlah Madoff, sang ilusionis alias juru sulap, membangun­
tiga lapis fantasi dengan sempurna.
Yang pertama fantasi bahwa dana itu hidup dan bergerak sen­
diri, seakan-akan sejumlah makhluk rahasia dari Hogwart yang
bekerja untuk membawa kekayaan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dengan kata lain, dana itu seakan-akan punya daya lebih ke­
timbang manusia—seperti sudah tersirat dalam cerita pendek
Mark Twain, The One Million Banknote.
Alkisah, Henry Adams, seorang Amerika, terdampar di Lon-

368 Catatan Pinggir 9


TIGA FANTASI

don dalam keadaan compang-camping dan lapar. Tapi tiba-tiba


ia jadi alat taruhan dua jutawan kakak-beradik.
Sang kakak mengatakan, bila seorang jembel dipegangi se­
lem­bar mata uang bernilai sejuta pound sterling selama 30 hari,
orang itu akan mati kelaparan. Untuk beli makanan, ia harus me-
nukarkan mata uang segede itu agar jadi recehan. Tapi orang tak
akan percaya dan ia pasti akan ditangkap.
Sang adik sebaliknya menebak: si jembel akan berhasil.
Maka Adams pun jadi kelinci percobaan. Taruhan dijalan­
kan­— dan ternyata si adik yang benar. Si Yankee jembel bisa me­
ya­kinkan orang, cukup dengan menunjukkan kertas bertanda­
1.000.000 pound itu, bak paspor seorang jutawan. Toko dan res­
to­ran akan melayaninya bagai raja.
Artinya, kertas berangka itu telah jadi jimat. Orang hidup de-
ngan ”fetisisme” itu. Dalam hubungannya dengan komoditas la­
in, uang kertas itu bukan lagi terpacak di bumi, melainkan, un-
tuk memakai kata-kata Marx, ”berdiri di atas kepalanya”, tum-
buh keluar dari sifatnya sebagai kertas. Ia jadi sesuatu yang ”jauh
lebih hebat ketimbang seandainya ia harus menari menurut ira-
manya sendiri”.
Dengan itu lahirlah lapisan fantasi kedua: Madoff bukan ha­
nya menampakkan selembar kertas sejuta dolar, tapi lebih. Dan
para pemilik jutaan dolar pun menerimanya sebagai kawan se­
kaum. Bila si Henry yang rombeng itu bisa meyakinkan dunia,
apalagi Madoff yang tinggal di Palm Beach.
Tapi fantasi itu tak berhenti di sini. Ada fantasi lapis ketiga.
Sha­piro mengira hubungannya dengan Madoff adalah hubungan
antarmanusia. Ternyata bukan. Madoff memompa fantasi itu,
http://facebook.com/indonesiapustaka

mes­kipun baginya hubungan antarmanusia cuma sebuah medi-


um pertukaran uang. Sebab dengan fantasi Shapiro-lah transaksi
kapitalisme mungkin.
Memang akhirnya hati Shapiro tertusuk. Kini kita, yang terje-

Catatan Pinggir 9 369


TIGA FANTASI

bak, bertanya bisakah hidup sosial kita tak lagi bertolak dari tiga
fantasi yang dipupuk Madoff.
Kenapa tidak? Kalaupun kita tak mampu membunuh kapi-
talisme, setidaknya kita bisa membangun wilayah, mungkin ke-
cil, di mana uang tak jadi jimat. Kita bisa melawan fetis itu, dan
membuat seorang Shapiro tetap mempercayai sesamanya.
Meskipun tak mudah.

Tempo, 29 Maret 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

370 Catatan Pinggir 9


KARNIVALESK

S
EORANG pengamen, dengan rambut gondrong dan gi­gi
gingsul, dengan jaket yang penuh ditempeli kancing ber­
gambar, memainkan gitarnya di sebuah tepi jalan di Ta­
nge­rang. Namanya Herdy Aswarudi. Dia calon legislator dari
Par­tai Bulan Bintang. Menurut harian The Jakarta Post, ia bukan
sedang cari duit derma; ia, seorang pengamen, sedang berkampa-
nye.
Di kota lain: satu sosok dengan kedua tangan siap bersarung
tin­ju, dengan mata mengintai ke depan. Ia terpampang pada se-
buah poster di tepi jalan di sebuah kota di sekitar Yogya. Sosok itu
memang tak meyakinkan sebagai petarung: dada yang terbuka
itu tampak empuk seperti bakpao, dan wajah itu tak ganas benar.
Ia bukan pelawak. Ia seorang calon legislator, meskipun saya lupa
dari partai apa. Ia menyatakan diri akan melawan korupsi.
Ada sosok lain: berdiri tegak di samping sederet semboyan de-
ngan kostum superhero yang terkenal. It is not a bird. It is not a
plane. It is not Superman. It is... well, dia calon wakil rakyat, pem-
buat undang-undang. Sama dengan ambisi yang di tempat lain
mem­perkenalkan diri dengan huruf-huruf besar sebagai ”papinya
si X” (nama penyanyi terkenal). Atau berpotret di sebelah potret
be­sar Obama. Atau memasang wajah di samping gambar Beck-
ham, pemain bola tersohor itu....
Lalu apa yang harus kita katakan tentang Pemilihan Umum
2009? Mungkin satu hal: inilah sebuah pemilu tanpa tujuan.
Ada ratusan partai politik yang tak pernah jelas apa bedanya
http://facebook.com/indonesiapustaka

dengan partai lain, tak pernah jelas apa program dan ideologinya,­
bahkan tak pernah jelas (saking ruwetnya) tanda gambarnya.
Pembuat logo itu pasti bukan pendesain yang berpengalaman da­
lam komunikasi massa; ia pasti seorang calon politikus yang ter-

Catatan Pinggir 9 371


KARNIVALESK

lalu banyak maunya.


Juga mungkin terlalu banyak pesaingnya. Ada ratusan nama
aspiran anggota parlemen yang gambarnya dipasang jorjoran di
sepanjang jalan—dengan hasil yang sama sekali tak memikat.­
Ada calon-calon presiden yang tak bakal punya kans tapi nekat,
atau yang rapor masa lalunya mengerikan tapi bicara sebagai ba­
pak bangsa, atau seorang yang tak jelas kenapa gerangan ia maju:
karena merasa diri mampu atau karena merasa diri keren?
Di tengah hiruk-pikuk itu, pejabat penyelenggara pemilihan
bekerja seperti orang kebingungan. Dan di tengah kebingung­
an itu, birokrasi mendaftar nama pemilih dengan kebiasaannya
yang malas dan serampangan....
Jangan-jangan, inilah sebuah pemilu yang diam-diam diang­
gap tak begitu perlu tapi ajaib. Saya katakan ”tak begitu perlu”­
karena tampaknya orang tak antusias lagi ikut ramai-ramai ber­
kampanye. Dugaan kuat: yang ikut pawai di jalan-jalan itu hanya
te­naga bayaran. Dugaan kuat pula: mereka yang tak hendak me-
milih, ”golongan putih” itu, akan lebih banyak ketimbang jum-
lah suara sang pemenang nanti.
Walhasil, kalau para pesaing sendiri tak begitu jelas kenapa
ikut bersaing, bukankah sebenarnya lebih baik mereka memilih­
kesibukan lain—misalnya mendanai (dan ikut main) satu tim
bo­la kasti, atau lomba andong, atau kompetisi jaipongan?
Tapi ”ajaib”. Meskipun tak jelas benar tujuannya, toh bermi­
liar-­miliar rupiah dibelanjakan untuk itu. Para peserta itu tak pe­
duli bila hasilnya cuma sekadar masuk hitungan dalam daftar
yang umurnya tak lebih dari tiga bulan.
Tapi kata ”ajaib” mungkin tak sepenuhnya tepat. Kata yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

le­bih tepat mungkin ”lucu”. Pemilihan Umum 2009 tampaknya­


jadi sebuah parodi atas diri sendiri: orang-orang membuat sebuah
ti­ruan yang menggelikan atas sebuah proses demokrasi yang te­
ngah­ mereka tempuh tapi diam-diam mereka cemooh. Demo­

372 Catatan Pinggir 9


KARNIVALESK

krasi yang pernah diejek Sokrates di zaman Yunani Kuno sedang


diejek para pesertanya sendiri.
Tapi mungkin lebih baik kita berhenti masygul dan mencibir.
Ada satu sifat dalam Pemilu 2009 ini yang agaknya bisa menghi-
bur para ”pemerhati politik” yang prihatin: ini sebuah karnaval,
Bung!
Keramaian ”karnivalesk” mengandung sesuatu yang kurang
ajar, meriah, kacau, berlebihan, tapi bisa kreatif, menghibur, sa­
ma rata sama rasa, melibatkan semua orang, tak ada garis pe­mi­
sah antara pemain dan penonton, dan sama sekali tak ingin­pro­
duk­tif. Seperti dikatakan Mikhail Bakhtin, yang carnivalesque
”menangguhkan untuk sementara waktu semua perbedaan hie­
rar­kis dan tanggul batas antara manusia”.
Sebuah bentuk baru kehidupan sosial terbangun dalam kar-
naval: mereka yang datang dan ikut serta (kecuali para pengikut
pawai bayaran) tak menganggap benda dan manusia sebagai ko-
moditas. Ruang dan waktu tak dihitung untuk dipertukarkan,
melainkan dikomunikasikan. Dalam saatnya yang paling meng-
gugah, sebuah karnaval adalah saling merangkul pada pertemu­
an yang universal. Ia melawan monolog.
Humor sangat penting di sana. Dengan humor, sebuah paro­di
bisa terhindar dari sikap benci. Saya kira sebenarnya itulah yang
tercapai oleh poster-poster yang tampaknya berlebihan itu: se-
buah ekspresi menertawakan diri sendiri.
Maka marilah kita jangan terlalu masygul: tak ada jeleknya
orang buang uang (yang akan diserap anggota masyarakat lain)
untuk secara sengaja atau tak sengaja jadi lucu. Lucu yang sehat,
lu­cu yang mencemooh wajah (juga wajahku) yang sok-penting.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tempo, 5 April 2009

Catatan Pinggir 9 373


http://facebook.com/indonesiapustaka

374
Catatan Pinggir 9
HERMAN

P
otret itu dipajang berderet-deret, hampir di tiap po-
hon. Tapi di manakah Herman? Tiba-tiba saya ingat dia.
Ia tak pernah kembali. Sepuluh tahun lebih, sejak ia hi-
lang pada 12 Maret 1998. Orang banyak sudah lupa akan kejadi-
an itu, orang mungkin bahkan lupa ada nama itu, nama seorang
yang diculik, terutama karena Herman tak dikenal luas. Saya ju­
ga tak mengenalnya betul—dan memang tak harus mengenalnya
betul.
Baru kemudian saya ketahui aktivis Partai Rakyat Demokratik­
(PRD) itu, bernama lengkap Herman Hendarwan, lahir pada 29
Mei 1971 di Pangkal Pinang, Bangka. Selebihnya tak banyak la­gi
informasi. Wilson, aktivis PRD yang juga sejarawan, menulis­ke-
nangan tentang kawannya ini dan mengakui: ”Menulis... tentang
Herman Hendarwan bukanlah hal yang mudah. Banyak sekali
aktivitas politiknya yang dilakukan secara rahasia dan tersembu-
nyi....”
Rahasia dan tersembunyi: saya dan Herman bertemu dalam
be­­berapa rapat seperti itu. Itu tahun 1998, pada hari-hari ketika
ten­tara Soeharto menangkap dan memburu para anggota PRD,
se­­telah rezim itu memenjarakan anggota-anggota AJI (Aliansi
Jur­­nalis Independen), setelah orang-orangnya menduduki de­
ngan­kekerasan Kantor PDI-P.... Beberapa orang sudah dilenyap-
kan. Dan Herman salah satu buron, seperti halnya Andi Arif, Ne-
zar Patria, Bimo Petrus, dan lain-lain....
Dari bangunan di Jalan Utan Kayu 68-H, saya dan teman-te­
http://facebook.com/indonesiapustaka

man aktivis lain tahu kami dimata-matai. Di tempat yang kini di­
kenal sebagai ”Komunitas Utan Kayu”, kami belajar bagaimana­
mengamankan diri, setelah markas AJI, organisasi kami, digere­
bek polisi dan tiga anggota ditangkap. Satu tim dari kami—Ira­

Catatan Pinggir 9 375


HERMAN

wan Saptono, Ging Ginanjar, Stanley Adi Prasetya, Tedjobayu—


mengatur cara pengamanan itu, yang kadang membingungkan
karena tiap kali diubah.
Itu tak bertambah gampang ketika kami harus berhubung­an
dengan lingkaran yang lebih luas. Tapi waktu itu kalangan per­
ge­rakan perlu membentuk jaringan, bahkan front bersama, se-
cara pelan-pelan. Soeharto terlampau kuat, dan kami hanya se­
ke­lompok aktivis dengan jangkauan terbatas. Di luar pelbagai ge­
rakan pro-demokrasi bergerak, diam-diam atau terbuka, dan ka­
mi saling mendukung, tapi tak ada front persatuan untuk perla-
wanan.
Selebihnya gagu. Soeharto berhasil menundukkan Indonesia
dengan cara yang efisien: menyebarkan ketakutan. Rezim itu pu-
nya modal teror yang amat cukup, setelah pada 1965-66 puluh­
an ribu orang dibunuh, dibui, dan dibuang. Dalam keadaan itu,
membentuk kerja sama dengan kalangan lain dalam pergerakan
pro-demokrasi perlu didahului dengan mematahkan teror itu.
Dengan menjajal keberanian.
PRD ada di garis depan keberanian itu. Saya mulai bekerja­sa­
ma dengan mereka secara lebih dekat sejak saya mengetuai Ko­
mi­te Independen Pemantau Pemilu (KIPP)—sebuah langkah ke
arah pembentukan front bersama dan sekaligus sebuah siasat­un-
tuk mendelegitimasi pemilihan umum Soeharto (”kami pura-
pu­­ra memantau pemilu, karena rezim ini juga pura-pura meng­
adakan pemilu”). Harus saya katakan sekarang: para anggota
PRD—mereka umumnya sadar arti gerakan politik, bersema­
ngat,­­ dan tak gentar—adalah sayap yang paling saya andalkan
dalam KIPP.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tapi sebelum KIPP bekerja penuh, PRD digerebek. Pimpinan


mereka, antara lain Budiman Sudjatmiko, kemudian tertangkap.
Kami terpukul, tentu: seluruh daya harus dibagi. Sebagian untuk
meningkatkan perlawanan—”la lutta continua!”—dan sebagian

376 Catatan Pinggir 9


HERMAN

menggagalkan usaha tentara Soeharto mematahkan bagian ge­


rak­an yang tersisa. Langkah baru harus diatur.
Sejak itu hubungan kami berlangsung makin berahasia, ter-
masuk membangun kontak ke tempat tahanan. Dari Utan Kayu
68-H, operasi seperti ini, termasuk operasi penyebaran informasi­
dan disinformasi, dikerjakan oleh yang kami sebut ”Tim Blok
M”. Lewat jaringan yang dibentuk Irawan kami secara periodik­
bertemu dengan link PRD”: Andi Arif dan Bambang Ekalaya.
Ke­mudian Herman—meskipun saya tak mengenalnya betul se-
bagaimana ia tak akan mengenal saya betul. Ada yang harus dija­
ga, karena bisa saja suatu hari kami tertangkap dan dipaksa bu­ka
mulut.
Dan benar: pada Maret itu Herman tertangkap. Atau lebih te-
pat, diculik. Tak hanya dia; Andi Arief, Faisol Reza, Waluyo Jati,
Mugianto, Nezar Patria, Aan Rusdianto—semua aktivis PRD
yang diangkut dengan paksa, dalam mobil yang tertutup rapat,
dengan mata yang diikat dan kepala yang diselubungi seibo, dan
dimasukkan ke dalam yang oleh Nezar Patria disebut, dalam tes-
timoninya kemudian, sebagai ”kuil penyiksaan Orde Baru”.
Sebagian mereka kemudian dilepas. Tapi Herman tidak. Ia hi-
lang. Juga dua nama lain Bimo Petrus dan Suyat. Wiji Thukul,
yang untuk beberapa lama dapat disembunyikan satu tim teman-
teman, juga kemudian lenyap.
Tak ada alasan untuk tak menduga mereka dibunuh. Setidak­
nya mati dalam penyiksaan. Nezar pernah menggambarkan ba­
gai­mana tentara Soeharto menganiaya mereka: pada satu bagian
dari interogasi, kepalanya dijungkirkan. Listrik pun menyengat
dari paha sampai dada. ”Allahu akbar!” ia berteriak. Tapi mulut-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nya diinjak. Darah mengucur lagi. Satu setruman di dada mem-


buat napasnya putus. Tersengal-sengal.
Saya bayangkan Herman di ruang itu. Mungkin ia lelap sela-
manya setelah tersengal-sengal. Mungkin ia langsung dibunuh.

Catatan Pinggir 9 377


HERMAN

Yang pasti, ia tak pernah pulang. Para pejuang dalam sajak Hr.
Bandaharo berkata ”tak berniat pulang, walau mati menanti”.
Dan Herman pernah menulis surat ke orang tuanya: ”Herman
sudah memilih untuk hidup di gerakan”, sebab Indonesia, tanah
airnya, membutuhkan itu. Tapi haruskah kekejian itu?
Saya memandang potret-potret pemilihan umum itu, ada
orang-orang keji yang saya kenal. Tak ada Herman.

Tempo, 12 April 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

378 Catatan Pinggir 9


POLITIK-P

D
I bilik suara itu aku tertegun: di sini aku sendiri, satu di
antara jutaan suara lain, satu noktah di dalam arus 170
juta manusia, mungkin patahan bisik yang tak akan
ter­dengar. Ini sebuah pemilihan umum; statusku: sebuah angka.
Di ruang yang sempit itu, beberapa menit aku menatap lem-
bar-lembar kertas yang diberikan kepadaku. Sederet gambar. Se-
jumlah nama, 99% tak kukenal. Kalau ada yang kukenal, ia tera­sa
berjarak dari diriku. Tak ada nama partai dan orang yang tercan­
tum yang menggerakkan hati saya. Tak ada dorongan kesetia­an
yang akan membuat aku dengan gigih memilih sambil berkata
pelan tapi bangga, di bilik itu, ”Partaiku, wakilku!”
Aku tertegun: apa aku, apa mereka? Partai-partai itu sehim-
pun penanda yang tampaknya tak berkaitan dengan yang ditan-
dai; mungkin bahkan tak ada sama sekali yang mereka tandai.
Yang jelas, mereka tak membuatku mati-matian ingin mengisi-
kan makna, dengan seluruh keyakinan, ke dalam penanda ko-
song itu.
Tapi aku mencontreng, aku memilih. Dengan demikian aku
meng­ubah diriku jadi satu satuan numerik, sebuah unsur dalam
sebuah ritus kolektif. Dan dengan demikian pula aku termasuk,­
tergabung, ke dalam sesuatu yang tak pernah, dan mungkin seka-
li tak akan, jadi bagian hidupku.
Jangan-jangan seluruh ritus ini, setidaknya pada tahun 2009
ini, adalah sebuah alienasi. Aku bayangkan mungkin yang serupa­
terjadi di sebuah pabrik: seorang buruh mengerahkan seluruh tu-
http://facebook.com/indonesiapustaka

buhnya dan mencucurkan keringatnya untuk sebilah gunting


atau sepasang sepatu, dan pada saat itu juga berubah: ia hanya ja­
di tenaga-kerja-sebagai-komoditas; ia tak berkaitan lagi dengan
buah tangannya sendiri. Ia terasing.

Catatan Pinggir 9 379


POLITIK-P

Aku pun keluar dari bilik suara, aku melangkah meninggalkan­


TPS, dan tak merasa amat peduli mana yang akan menang dan
yang akan kalah dalam pertandingan lima tahun sekali ini. Ada
jarak antara aku dan ritus itu. Saling tak kenal lagi, saling ter­
asing.­Mungkin inilah yang aku alami: politik yang telah mati.
Di rumah aku baca lagi bab-bab yang berat dari buku Kem­
balinya Politik, yang ditulis beberapa pemikir politik mutakhir
In­donesia, dengan pengantar Rocky Gerung, sebuah buku yang
di­persembahkan kepada A. Rahman Tolleng, seorang aktivis
yang tak kunjung reda kesetiaannya kepada politik.
Tapi di sini, ”politik” berarti politik-sebagai-perjuangan, ”po­
litik-P”. Bukan politik yang telah mati. Bukan politik-sebagai-ri-
tus, ”politik-R”.
”Politik-R” adalah politik yang tercetak dalam gambar-gam-
bar di lembaran kartu suara 2009 itu. ”Politik-R” datang karena­
ritus adalah repetisi yang diwajibkan dan disepakati. Repetisi bi­
sa membawa daya magis, seperti mantra yang berkali-kali dirapal,­
tapi juga sebaliknya: bahkan sembahyang yang suatu ketika khu­
syuk juga bisa kehilangan rasa ketika dilakukan berulang-ulang.
Kita bisa juga mengatakan, ”politik-R” adalah politik tanpa la
passion pour le réel—untuk memakai kata-kata Alain Badiou, pe-
mikir yang banyak dikutip dalam Kembalinya Politik.
Tanpa passion, tak ada gairah. Tanpa gairah untuk bersua dan
memasuki le réel, berarti tak ada tekad untuk membuka diri ke-
pada yang paling tak terduga. Le réel ada dalam tubuh kita, di
ba­wah-sadar kita, dalam relung gelap kebersamaan kita: wilayah
Antah Berantah yang tak terjaring dalam ”pengetahuan”, tak ter-
cakup dalam bahasa, tak dapat diatur dalam tata simbolik. Di
http://facebook.com/indonesiapustaka

sanalah segala rencana dan doktrin terbentur.


Tapi justru sebab itu, politik adalah perjuangan. ”Politik-P”
ada­lah laku yang militan, karena ada keberanian mempertaruh-
kan nasib, menabrak apa yang sudah pasti untuk sesuatu yang

380 Catatan Pinggir 9


POLITIK-P

be­lum. Tapi perjuangan itu memanggil aku, melibatkan diriku,


bahkan perjuangan itulah yang menjadikan aku sebagai sub-
yek—bukan badan pasif yang datang ke kotak suara dan pergi
de­ngan rasa asing kepada apa yang dilakukannya sendiri.
”Politik-P” itu pernah terjadi ketika Indonesia diproklamasi-
kan merdeka, 17 Agustus 1945, atau ketika para pemuda melawan­
Tentara Sekutu di Surabaya, 10 November 1945, atau ketika para
mahasiswa menantang rezim Orde Baru dan tanpa senjata men-
duduki Parlemen sampai Soeharto terdesak mundur.
Tentu, kejadian itu jarang. Selalu datang ”politik-R” menggan­
tikannya. Tapi yang menyebabkan aku merasa terasing pada ta-
hun 2009 bukan semata-mata ”politik-R” yang tak terelakkan.
Di atas saya katakan, tanda gambar dan nama politikus itu tak
me­nandai apa-apa—tapi mungkin saya keliru. Mereka sebenar­
nya sebuah symptom. Mereka gejala dua nihilisme yang berten-
tangan.
Nihilisme pertama menampik politik sebagai proses kebenar­
an—karena kebenaran dianggap tak perlu. Hampir semua par-
tai didirikan bukan karena ada satu subyek kolektif yang tergerak
oleh keyakinan tentang yang benar dan yang tidak. Bahkan be-
berapa partai bukanlah ”partai politik” (yang mengandung ”ke-
bersamaan”), melainkan ”partai palangki”: dibuat hanya untuk
jadi tempat mengusung sang pemimpin.
Nihilisme kedua juga menampik politik sebagai proses kebe­
naran. Tapi ia berbeda dari nihilisme pertama. Bagi para pelaku-
nya, kebenaran ada, tapi bukan sebuah proses. Kebenaran sudah
selesai. Tak ada pengakuan, apalagi gairah, akan le réel. Maka tak
ada celah bagi yang baru, yang tak terduga-duga, yang lain.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Di sini pun sebenarnya yang terjadi hanya pengulangan. Se-


bab para pak turut dogma bukanlah orang yang berjuang. Per-
juangan dalam arti sebenarnya melawan kebekuan dan represi,
juga dalam pikiran sendiri.

Catatan Pinggir 9 381


POLITIK-P

Sekian puluh tanda dan nama, dua nihilisme....


Di tengah itu, bagaimana aku tak akan terasing? Bagaimana
aku tak akan merasa diri hanya sebuah angka kurus di bilik sua­
ra, jari pencontreng yang sebentar lagi akan ditelan ritus 170 juta
manusia?

Tempo, 19 April 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

382 Catatan Pinggir 9


ESTABA LA MADRE

”Ibu itu di sana, berdiri, berkabung...”

K
esedihan terbesar mungkin bukan kesedihan ma-
nusia karena Tuhan mati, tapi kesedihan seorang ibu
yang anaknya menemui ajal dalam penyaliban.
Pada zaman ini kesedihan besar itu tetap tak terbandingkan.
Ta­pi pada saat yang sama juga menyebar. Kini tak hanya satu ibu
yang sedih, dan tak hanya satu anak yang disalibkan.
Kita ingat Argentina, 1976-1983. Negeri ini hidup di bawah
ti­­tah pemerintahan militer yang menculik dan melenyapkan ri-
buan orang, termasuk anak-anak muda. Diperkirakan 30 ribu
orang hilang.
Renee Epelbaum, misalnya, seorang ibu, menemukan bahwa
anak sulungnya, Luis, mahasiswa fakultas kedokteran, diculik.
Tanpa sebab yang jelas. Itu 10 Agustus 1976. Takut nasib yang
sama akan jatuh ke kedua anaknya yang lain, Lila dan Claudio,
Renee pun mengirim mereka ke Uruguay. Tapi di sana mereka
justru dikuntit sebuah mobil dengan nomor polisi Argentina—
dan akhirnya, 4 November 1976, Lila dan Claudio juga lenyap.
Bertahun-tahun kemudian, seorang perwira angkatan laut
men­ceritakan apa yang dilakukannya terhadap anak-anak muda
yang diculik itu. Pada suatu saat mereka akan dibius dan ditelan-
jangi. Para serdadu akan mengangkut mereka ke sebuah pesawat.
Dari ketinggian 4.000 meter, tubuh mereka akan dilontarkan
hidup-hidup ke laut Atlantik, satu demi satu....
http://facebook.com/indonesiapustaka

Komponis Argentina, Luis Bacalov, pernah hendak meng-


ingatkan orang lagi akan zaman yang buas itu. Ia menciptakan
sebuah opera satu babak, Estaba la Madre. Saya tengok di You-
Tube: di adegan pertama, ketika perkusi dan piano mengisi kesu-

Catatan Pinggir 9 383


ESTABA LA MADRE

nyian dan pentas gelap, tampak laut. Makam yang tak bertanda
itu muncul sejenak di layar. Kemudian: wajah, puluhan wajah.
Di antara itu, sebuah paduan suara yang semakin menggemuruh.
Tapi bukan sang korban yang jadi fokus opera ini, melainkan­
sejumlah perempuan yang tak lazim. ”Inilah orang-orang gila
itu,” begitu kita dengar di pembukaan.
Para ”orang gila”, umumnya separuh baya, berbaris di jalan,
de­ngan kain menutupi rambut, dan duka menutup mulut. Tapi
sebenarnya mereka tak diam. Estaba la Madre mengutip kisahnya­
dari sejarah: perempuan-perempuan itu ibu yang berdiri, yang
berkabung, bertanya, menuntut, karena anak-anak mereka telah
dihilangkan. Me­reka ”gila” karena di negeri yang ketakutan itu,
mereka berani menggugat. Tiap Kamis mereka akan muncul di
Plaza de Mayo, di seberang istana Presiden. Tiap Kamis, selama
20 tahun.
”Saya tak bisa melupakan,” kata Renee Epelbaum. ”Saya tak
bi­­sa memaafkan.” Ia pun jadi salah satu pemula himpunan ibu
orang-orang yang hilang itu, yang kemudian dikenal sebagai
”Para Ibu di Plaza de Mayo”—sebuah bentuk perlawanan yang
tak disangka-sangka. Mula-mula, akhir April 1977, hanya 14 pe­
rempuan yang berani melawan larangan berkumpul. Berangsur-
angsur, jumlah itu jadi 400.
Tak mengherankan bila kemudian para ibu pun jadi sebuah
lambang yang lebih luas cakupannya ketimbang Plaza de Mayo.
Ia menandai yang universal. Opera Estaba la Madre, misalnya,
mengambil asal-usul pada Stabat Mater dalam C minor yang di­
gubah Pergolesi, menjelang komponis ini meninggal dalam umur
26 tahun pada abad ke-18. Kata-katanya berasal dari lagu puja
http://facebook.com/indonesiapustaka

seorang rahib Fransiskan pada abad ke-13 tentang penderitaan


di Golgotha: ”Stabat Mater dolorosa iuxta crucem lacrimosa dum
pendebat Filius...”—”Ibu itu di sana, berdiri, berkabung, di sisi
salib tempat sang anak tergantung.”

384 Catatan Pinggir 9


ESTABA LA MADRE

Dan ketika dua orang dari para ibu Argentina itu pekan lalu
datang ke Indonesia, mereka pun menghubungkan kisah mereka
dengan apa yang terjadi di sini, di antara keluarga Indonesia yang
”hilang”.
Tentu ada beda antara sang Ibu dalam Stabat Mater dan para
ibu di Plaza de Mayo: tak ada tubuh sang anak yang mati di Ar-
gentina. Dalam pentas Estaba la Madre, kita akan menemukan
Sara, ibu si Samuel. Ia dan suaminya menanti anaknya. ”Kamis,
mereka menunggunya untuk makan malam di rumah,” demiki-
anlah paduan suara meningkah. Tapi Samuel tak kembali.

”Ini pukul sembilan.


Ini pukul 10.
Tengah malam
Fajar datang,
dan ia tak pernah pulang.”

Sampai hari ini orang masih bertanya, kenapa itu mesti ter-
jadi. Mungkinkah sebuah kekuasaan yang dijaga ribuan tentara
bisa begitu ketakutan?
Saya tak tahu jawabnya—meskipun saya menyaksikannya ju­
ga di Indonesia, di tahun di pertengahan 1990-an, ketika ”Tim
Ma­war” dibentuk untuk menculik dan menyiksa, mungkin seka-
li membunuh, sejumlah anak muda yang sebenarnya tak cukup
kuat untuk menjatuhkan rezim Soeharto. Barangkali paranoia
adalah bagian utama dari kekuasaan yang bertolak dari kebrutal­
an dan pembasmian—kekuasaan yang selamanya merasa tak ya-
kin akan legitimasinya sendiri.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Mungkin sekali para petinggi tentara itu tak bisa lagi membe­
da­kan khayalan dengan keinginan. Dalam Estaba la Madre ada
adegan yang tak mudah dilupakan, baik di Argentina maupun
di Indonesia: tiga jenderal muncul di pentas atas, suara mereka

Catatan Pinggir 9 385


ESTABA LA MADRE

meng­ancam si lemah dan mengajukan dalih kebersamaan—


hingga terdengar menggelikan:

Hidup kemerdekaan!
Kemerdekaan bicara dan membuat orang bicara.
Hidup kemerdekaan mengaku dan membuat orang mengaku.
Hidup kemerdekaan menjerit dan membuat mereka menjerit.

Yang tak mereka sangka: yang menjerit tak akan bisu. Kekua-
saan militer Argentina akhirnya runtuh. Dan di tembok jalan la­
yang,­di dinding kios koran, di pel­bagai sudut di Buenos Aires, ka-
ta-kata ini tertulis, bukan hanya dari Renee, tapi dari mana-ma-
na yang dianiaya: ”Kami tak memaafkan. Kami tak melupakan.”­

Tempo, 26 April 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

386 Catatan Pinggir 9


TIGA NENEK SIHIR

T
IGA nenek sihir muncul di tepi jalan, ketika Jenderal­
Macbeth dan Jenderal Banquo melewati hutan yang ge­
lap berkabut itu. Cuaca didera hujan dan guntur. Mereka
dalam perjalanan pulang dari sebuah pertempuran yang berhasil.
Setengah ketakutan setengah ingin tahu, mereka terpacak di de-
pan ketiga makhluk aneh itu—tiga sosok yang mengelu-elukan
Macbeth dengan gelar kebangsawanan yang tinggi, seperti ba-
gian dari sebuah ramalan yang dahsyat: bahwa Macbeth kelak
bah­kan akan disebut sebagai raja.
Pada detik itu, bagi perwira tinggi Skotlandia itu, masa depan­
tiba-tiba tampak berubah. Raja? Takhta? Benarkah puncak itu
akan tercapai, jika mengingat bahwa Duncan, raja yang diabdi­
nya­dan dibelanya dalam perang yang baru saja usai, masih ku-
kuh berkuasa? Sahkah keinginan mencapai posisi itu, berada di
kedudukan milik baginda?
Bagi saya, penting buat dicatat bahwa Macbeth, lakon Shakes­
peare yang termasyhur ini, dimulai dengan adegan tiga nenek si-
hir itu. Tiga perempuan yang ganjil, yang hidup disisihkan dari
tata sosial dan percaturan kekuasaan, ternyata tak bisa diabaikan.
Justru mereka itulah yang pada akhirnya mengharu-biru ter-
tib yang ada—dan tanpa melalui kekerasan. Di Skotlandia wak-
tu itu tertib yang ada tak akan memungkinkan Macbeth bisa jadi
raja. Adat yang berlaku tak membuka peluang bagi Macbeth un-
tuk mengambil alih tampuk. Tapi malam itu, di hutan berkabut
itu, di bawah cuaca buruk itu, tertib, adat, dan lambangnya gun-
http://facebook.com/indonesiapustaka

cang.
Tapi bukan salah para nenek sihir itu jika tertib itu akhirnya
jadi keadaan yang dibangun dengan pembunuhan. Sebab Mac-
beth, begitu ia merasa nasib akan menjadikannya seorang raja,

Catatan Pinggir 9 387


TIGA NENEK SIHIR

pun segera menyisihkan sang takdir. Ia tak sekadar pasif menung-


gu sampai keberuntungan itu datang.
Ia bertindak menyingkirkan Duncan. Bukan karena petunjuk­
ketiga perempuan misterius di hutan itu bila ia membunuh sang
Raja. Itu sepenuhnya inisiatifnya. Itu dorongan kehendaknya
yang kian kuat. Ia bahkan tak perlu lagi dihasut istrinya untuk
me­rebut kekuasaan. Ketika nujum mengatakan bahwa kelak
yang akan menggantikannya sebagai penguasa adalah anak-cucu
Jen­deral Banquo, Macbeth pun diam-diam (bahkan tanpa mem-
beri tahu istrinya) menyuruh agar sahabatnya dalam perang itu
di­bunuh. Banquo mati. Dengan itu Macbeth berharap nujum,
atau ”takdir”, bisa dikalahkannya.
Tapi dengan itu semua terungkap bahwa manusia dan per­
buat­annya-lah yang akhirnya menentukan. Takdir tak ada arti-
nya. Tertib yang semula ditaati oleh seluruh Skotlandia terbukti
bukan tertib yang datang secara alamiah, bukan tatanan yang di-
tentukan oleh langit. Kedudukan raja bukanlah sesuatu yang se-
cara a priori ditetapkan. Ia seperti kursi kosong yang bisa diisi sia-
pa saja yang bisa merebutnya. Tertib dan adat itu pada akhirnya
dibentuk oleh ambisi, akal, dan antagonisme manusia.
Apalagi yang diucapkan nenek sihir itu bukan nubuat: mereka
tak pernah dihormati sebagai nabi. Wibawa mereka praktis tak
ada. Ucapan mereka tak berdiri di atas (dan terlepas dari) tafsir
subyektif Macbeth sendiri. Dalam adegan ke-3 Babak I sang jen-
deral secara tak langsung menunjukkan hal itu. Ia menyebut ke-
tiga makhluk itu ”imperfect speakers” yang cuma sebentar bicara
dan kemudian menghilang ke udara malam yang basah.
Itu sebabnya Macbeth bukan hanya sebuah cerita tentang am-
http://facebook.com/indonesiapustaka

bisi. Drama ini juga bercerita tentang kekuasaan yang tak tahu
di mana mesti berhenti—dalam arti berhenti menaklukkan yang
lain. Kekuasaan itu jadi lingkaran setan karena ia dimulai dengan
kekerasan.

388 Catatan Pinggir 9


TIGA NENEK SIHIR

Sebelum akhirnya kekerasan itu membinasakan manusia, pa­


da mulanya ia berupa kekerasan terhadap misteri. Macbeth men-
campakkan nujum tiga nenek sihir yang sebenarnya diutarakan
dalam bentuk puisi yang remang-remang dan belum selesai; ia
menggantikannya dengan tafsir dan rencana yang tegar; ia meng­
artikan kata-kata para nenek sihir dengan harfiah. Ketika ketiga­
perempuan setengah gaib itu meramal bahwa Macbeth hanya bi­
sa dikalahkan oleh seseorang yang ”tak dilahirkan oleh perempu­
an”, jenderal itu yakin tak akan ada manusia yang bisa meroboh­
kannya. Padahal ternyata ada kemungkinan arti lain dari kalimat­
itu: Macduff, yang akhirnya berhasil membunuhnya, lahir se­te­
lah perut ibunya dirobek dan sang bayi direnggutkan ke luar.
Macbeth: ia ambisi yang lempang seperti tombak yang keras
dan menakutkan. Maka ia tak tahu bahwa selalu ada lapis yang
tak akan tertembus olehnya. Ketiga nenek sihir itu, misalnya,
yang tak pernah bisa diperintahkannya dan tak pernah bisa pe­
nuh­dimaknainya. Juga hutan yang gelap itu. Juga guruh dan cu-
aca buruk itu.
Juga rasa bersalah yang tak bisa dilenyapkan. Istrinya merasa
ta­ngannya selalu berdarah. Macbeth melihat hantu Banquo yang
dibunuhnya datang malam-malam di ruangnya. Kian menghan-
tui rasa bersalah itu, kian paranoid pula ia jadinya, dan makin
buas.
Lakon Macbeth akhirnya menunjukkan: betapa destruktifnya
ambisi kekuasaan politik ketika ia berkali-kali ingin menembus
apa yang tak tertembus, menaklukkan apa yang tak akan tertak-
lukkan, menghapuskan apa yang tak bisa terhapuskan, ketika ia
menyangka dunia bisa dikuasai seperti dalam markas militer.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Maka biarlah di sini saya memperingatkan: Tuan bisa mencu­


lik, menyiksa, menggertak—atau, sebaliknya membeli manusia
dengan uang—tapi di balik kehidupan selalu tersembunyi nenek-­
nenek sihir. Kalau Tuan tak tahu kapan harus berhenti, Tuan

Catatan Pinggir 9 389


TIGA NENEK SIHIR

akan bertaut dengan mala—yang buruk, yang busuk, yang keji,


yang akhirnya akan mengenai Tuan sendiri.

Tempo, 3 Mei 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

390 Catatan Pinggir 9


NEO-LIBERAL

P
ADA suatu hari yang tak diumumkan, menjelang tahun
2009, neo-liberalisme terjerembap. Tapi lakon dengan
tema ”Negara & pasar” itu tetap tak mudah diselesaikan.
Di Australia, misalnya. Kevin Rudd, perdana menteri yang
berasal dari Partai Buruh, menulis sebuah esai dalam The Month­
ly awal tahun ini: krisis yang sekarang menghantam dunia adalah
titik puncak ”neo-liberalisme” yang mendominasi kebijakan eko-
nomi dunia sejak 1978. Kini, masa kejayaan 30 tahun itu berakhir­
dengan kegagalan.
Sepanjang zaman itu, di bawah pemerintahan Partai Liberal
yang baru saja jatuh, perekonomian dibiarkan menolak peran ak-
tif Negara. Pasar diyakini sebagai jalan lurus yang tak perlu di-
intervensi. Lalu lintas global (terutama dalam pasar saham dan
uang) dibebaskan menerobos perbatasan nasional.
Menjelang akhir 2008, ortodoksi ”neo-liberal” itu membawa
kri­sis yang dahsyat. Rudd menggantikannya dengan yang berbe-
da. Ia menyebut agenda baru yang mendasari kebijakan ekonomi
yang akan ditempuh Partai Buruh di Australia sebagai ”kapital-
isme sosial-demokratik”.
Tak begitu jelas, bagaimana kompromi antara ”sosial-demo­
krasi” dan ”kapitalisme” itu akan berjalan. Rudd, yang menjanji-
kan peran Negara yang aktif tapi yang tetap bertaut dengan ”pa­
sar­yang terbuka”, hanyalah salah satu dari artikulasi kesepakatan
yang kini tumbuh di negeri-negeri kapitalis: ternyata pasar tak
bi­sa selamanya dianggap benar; ternyata ia belum tentu memper-
http://facebook.com/indonesiapustaka

baiki dirinya sendiri. Di Prancis, di sebuah rapat umum di Kota


Toulon menjelang akhir 2008, Presiden Sarkozy mengatakan,
”Pikiran bahwa pasar adalah serba-kuasa dan tak dapat ditentang
oleh aturan apa pun dan oleh intervensi politik macam apa pun

Catatan Pinggir 9 391


NEO-LIBERAL

ada­lah pikiran yang gila.”


Sebuah kesimpulan yang tak baru, sebenarnya. Pada 1926
John Maynard Keynes menulis The End of Laissez-faire dan me­
nunjukkan betapa produktifnya sebuah kapitalisme yang dikelo­
la, bukan yang dibiarkan berjalan seenak nafsu para kapitalis
sen­diri. Tak lama sejak itu, Amerika dan Eropa mencoba meng-
gabungkan dinamisme modal dan kecerdasan teknokrasi Nega­
ra—sebuah jalan tengah yang terkenal sebagai ”kompromi Key­
nesian”.
Adakah kini sebuah ”kompromi Keynesian” baru sedang ter-
susun? Kita memang melihat, Amerika Serikat, di bawah Obama,
telah jadi sebuah republik di mana pemerintahnya aktif masuk ke
dunia yang dulu sepenuhnya daulat swasta. Tapi Obama masih
bisa disebut sebagai ”kompromi Keynesian” yang setengah hati.
Bahkan para pengkritiknya melihat agendanya sebagai ”neo-libe­
ralisme” yang didaur ulang.
Mungkin karena tak bisa orang mengulang apa yang terjadi di
dunia pada zaman Keynes hampir seabad lalu.
Dalam Radical Philosophy (Mei/Juni 2009) Antonio Negri me­
nunjukkan mengapa jalan Keynesian kini mustahil. Dulu jalan
itu dapat ditempuh karena, antara lain, ada sebuah negara-bang­sa
yang mampu secara independen mengembangkan kebijak­an eko-
nomi. Kini, pada abad ke-21, negara-bangsa diterobos oleh proses­
internasionalisasi di bidang produksi dan globalisasi finansial.
Dalam pengalaman Indonesia, persoalannya bukanlah hanya­
karena terobosan itu. Jalan Keynesian bertolak dari keyakinan
bah­wa kekuatan yang bukan-pasar (Negara dan para teknokrat-
nya) harus—dan bisa—memiliki ketahanan untuk mengem-
http://facebook.com/indonesiapustaka

bangkan nilai yang berbeda dari nilai yang berlaku di pasar. Ada-
pun nilai yang berlaku di pasar adalah nilai yang mendorong
maksimalisasi kepentingan privat, bukan kepentingan publik.
Tapi bagaimana hal itu akan terjadi di sini?

392 Catatan Pinggir 9


NEO-LIBERAL

Di sini, institusi yang berkuasa tak dengan sendirinya jauh


dari nilai yang mengutamakan yang publik. Korupsi adalah con-
tohnya. Korupsi adalah privatisasi kekuasaan sebagai sebuah
ama­nat publik.
Agaknya itulah sebabnya tiap kebijakan yang mengandalkan­
intervensi Negara ke dalam perekonomian selalu disertai rasa
was­was: kita tak tahu di mana Negara berada. Rasa waswas itu
me­nyebabkan ada dorongan yang kuat—dari mana saja, juga dari
pemerintah sendiri—untuk melucuti tangan birokrasi di pelba­
gai bidang. Ketika seorang politikus berteriak, ”awas neo-liberal-
isme dan pasar bebas”, sang politikus umumnya tak menunjuk-
kan bagaimana menegakkan Negara di atas aparatnya yang ter-
tular oleh perilaku berjual-beli di pasar bebas.
Krisis negara-bangsa seperti itulah, krisis karena tubuhnya
ber­lubang-lubang oleh korupsi, yang sebenarnya lebih merisau-
kan ketimbang gerakan separatis. Dalam krisis itu, orang akan
menyerah ke sejenis laissez-faire—ke sebuah kondisi ”neo-liberal”
yang tak disengaja. Sebab, hampir di tiap sektor, juga di kalangan
birokrasi, ada semacam ”anarki” yang dicemaskan Keynes. Anar-
ki, karena apa yang merupakan pegangan kebersamaan hampir-
hampir tak ada lagi.
Tapi tak berarti bahwa negara-bangsa telah disisihkan. Justru
sebaliknya: dalam keadaan ketika korupsi merajalela, ada sebuah
kekuatan yang paradoksal yang bekerja di sekitar Negara. Di satu
pihak, kekuatan itu cenderung mengaburkan posisi ”Negara” da­
lam mengelola pasar: semua keputusan bisa diatur dengan jual-
beli kekuasaan. Di lain pihak, posisi ”Negara” justru diperkuat,
agar ada kebutuhan untuk membeli kekuasaan itu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Itu sebabnya kita sebenarnya tak tahu persis, bagaimana


meng­atur ”kompromi Keynesian”, bagaimana mengelola sekali­
gus­pasar yang terbuka dan Negara yang aktif. Tapi orang-orang
ma­sih terus berbicara tentang ”neo-liberalisme”. Ya, saya mende­

Catatan Pinggir 9 393


NEO-LIBERAL

ngar, tapi harus saya akui, saya sering kebingungan. Mungkin ka­
rena saya menanti lakon ”Negara & pasar” itu berakhir dengan
Ne­gara yang bersih dan pasar yang tak cemar. Sebuah happy end­
ing.

Tempo, 10 Mei 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

394 Catatan Pinggir 9


THERSITES

D
emokrasi dimulai dengan seorang buruk muka
yang dipukul punggungnya. Namanya Thersites, to-
koh yang tak banyak dikenal dalam puisi Iliad karya
Homeros dari sekitar abad ke-9 sebelum Masehi.
Dalam kisah para raja dan pangeran yang membawa ribuan
pra­jurit untuk berperang mengalahkan Kota Troya ini Thersites
di­lukiskan sebagai ”lelaki paling jelek” dalam pasukan. Kakinya­
lemah sebelah, pundaknya melengkung, rambutnya tinggal be-
berapa helai di ubun-ubun. Tapi yang menyebabkan ia dicatat
da­lam Iliad adalah ”lidahnya yang tak terkendali”. Ia mengecam
mereka yang berkuasa.
Pada suatu saat, setelah bertahun-tahun perang tak selesai,
Ther­sites mendamprat Raja Agamemnon.
”Agamemnon,” teriaknya dengan suara melengking, ”seka-
rang apa yang membuat diri tuan rusuh, apa lagi yang tuan ingin­
kan? Tenda tuan penuh dengan logam berharga dan perempuan
jelita, sebab tiap kali kami taklukkan kota kami persembahkan
jarahan itu kepada tuan.”
Thersites tampaknya adalah suara yang lelah perang—yang
me­rasa bahwa orang bawahan macam dia hanya menanggungkan­
rasa sakit. Maka serunya pula kepada sang raja: ”Tuan tak berbuat
baik, dengan membiarkan bangsa Achaea yang tuan perintah jadi
sengsara.”
Ketika Agamemnon tak menyahut, Thersites pun berseru ke-
pada sejawatnya: ”Marilah kita berlayar pulang, dan tinggalkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

orang ini di Troya.”


Mendengar itu, salah seorang sekutu Agamemnon, Odysseus,
mendatanginya. Raja Ithaca ini marah. ”Jaga mulutmu, Thersi­
tes!­Jangan kau ngoceh lebih jauh. Jangan kau cerca para pangeran

Catatan Pinggir 9 395


THERSITES

bila tak ada yang mendukungmu....”


Dan Odysseus pun memukulkan tongkat keemasannya ke
punggung Thersites. Laki-laki itu tersungkur, bengkak dan ber­
darah.
Tapi orang-orang tak menolong Thersites; mereka malah me­
ner­tawakannya ketika si mulut tajam itu menangis kesakitan....
Sejarah demokrasi mendapatkan perumpamannya dalam ki­
sah orang yang dipukul dan ditertawakan itu. ”Demokrasi,” kata
Rancière dalam 10 tesisnya tentang politik, ”adalah istilah yang
diciptakan oleh musuh-musuhnya.”
Kata demos bermula sebagai ejekan bagi yang tak ”punya kua­
li­fikasi” memerintah. Menurut Rancière, dari tujuh axiomata
atau syarat-syarat memerintah yang disusun Plato ada empat yang
bersifat alamiah, semuanya berdasarkan kelahiran. Maka yang
tua punya dasar untuk berkuasa atas yang muda, majikan atas
ham­ba, bangsawan atas petani. Plato juga menyebut syarat ke-
lima: kekuasaan yang kuat atas yang lemah, dan syarat keenam:
kekuasaan mereka yang punya pengetahuan atas mereka yang ti-
dak.
Yang menarik ada axioma ketujuh dalam Plato: ”pilihan tu-
han”. Lantaran dewa atau Tuhan tak bisa ditebak, kekuasaan
yang disebut karena ”pilihan tuhan” datang melalui sejenis undi­
an. Dalam demokrasi tak ada kualifikasi apa pun bagi yang me­
merintah, kecuali, dalam kata-kata Rancière, ”semata-mata kebe­
tulan”. Tak ada prinsip yang sudah siap dalam mengalokasikan
pe­ran sosial.
Dengan kata lain: demokrasi, bagi musuh-musuhnya, adalah
kekuasaan yang awut-awutan, pemerintahan para Thersites yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

bermuka buruk yang pantas dipukul dan ditertawakan.


Perlu ditambahkan di sini: mereka ini—setidaknya dalam
kisah Yunani Kuno—tak hanya yang berasal dari kelas sosial leb-
ih rendah. Pada mulanya, kata demos memang mengacu ke ”mer-

396 Catatan Pinggir 9


THERSITES

eka yang tak berpunya”. Tapi di satu bagian Buku XII Odysseus
disebutkan bagaimana Polydamas mengeluh karena pendapat-
nya tak diacuhkan Hektor—meskipun keduanya pangeran
Troya dan sau­dara sekandung.
Rakyat, atau demos, dengan demikian bukanlah himpunan
tertentu satu kelompok penduduk. Rakyat adalah pelengkap pe-
nyerta justru dalam arti mereka tak bisa serta. Rakyat adalah sia-
pa saja yang jadi bagian yang tak masuk bagian, himpunan yang
tak masuk hitungan, le compte des incomptés.
Ada yang paradoksal di sini: di satu pihak, rakyat melengkapi­
bangunan kekuasaan; di lain pihak, rakyat ada di luarnya. Dalam
paradoks itulah politik, sebagai perjuangan, lahir. Sebagai peleng-
kap, mereka yang tak masuk hitungan itu dibutuhkan. Tapi kete-
gangan terjadi ketika pada saat yang sama mereka ditampik dan
pemisahan ditegakkan, ketika kekuasaan yang ada menentukan
mana yang bisa didengar (atau dilihat) dan mana yang tidak.
Tapi kekuasaan yang demikian tak mengakui bahwa selalu ada
yang gerowong yang tak tercakup oleh garis pemisah yang dile­
takkan dari atas. Dari yang gerowong itulah semburan terjadi.
Dari gerowong itulah politik bangkit. Thersites bersuara dan ia
dipukul, ditertawakan, dan diabaikan—tapi bukankah dengan
demikian kita tahu ada liang kosong dalam wibawa Agamemnon
dan keutuhan bangsa Achaea, dan bahwa Odysseus tak ingin di­
ting­galkan sendiri di ambang Perang Troya?
Tentu, Thersites seorang diri; ia bukan subyek sebuah laku
politik. Tapi gugatannya adalah gugatan yang wajar bagi siapa
saja yang merasakan ketidakadilan dan aniaya. Politik sebagai
perjuangan selalu menyerukan panggilan yang universal—dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

itu sebabnya dari gerowong itu terjadi gerak kolektif yang bisa
dahsyat.
Maka kini kita lebih dekat ke Thersites ketimbang ke Ody­
sseus.­Tapi ini juga karena kita (bersama Thersites) tak tahu apa

Catatan Pinggir 9 397


THERSITES

sebenarnya yang hendak dicari orang macam Agamemnon.


Kita hanya tahu, Perang Troya yang bertahun-tahun itu ber-
mula karena istri sang raja melarikan diri ke pelukan orang lain.
Pada mulanya adalah ego—yang akhirnya menentukan segala­
nya.­Hanya dengan kebrutalan yang luar biasa proses itu ber­ta­
han.­Dalam arti itu, kisah Homeros bukanlah sebuah epos; ia se-
buah tragi-komedi: sebuah kisah kekuasaan yang gila dan ganjil,
di mana seorang Thersites tak bisa serta, tak mau serta.

Tempo, 17 Mei 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

398 Catatan Pinggir 9


UNTUK BOEDIONO: SEBUAH TITIPAN
DARI SEBUAH GEDUNG BERSEJARAH

K
ita bertemu di sini—di gedung tempat Bung Karno
meng­ucapkan pleidoinya di pengadilan kolonial 79 ta-
hun yang lalu—karena kita merasa sesuatu yang ganjil
terjadi. Sesuatu yang tak lazim dan mengandung harap.
Yang ganjil adalah bahwa hari ini kita menemukan seorang
yang akan dicalonkan jadi wakil presiden, dan orang itu tak da­
tang­dari kancah yang ribut di mana partai-partai politik bersaing­
men­dapatkan uang atau kedudukan.
Boediono seorang ekonom; ia bekerja dalam pengelolaan per-
ekonomian Indonesia; ia seorang teknokrat. Ia bukan tokoh par-
tai. Ia bukan anggota dinasti pemimpin partai. Ia tak tersohor da­
lam pasaran media seperti para bintang sinetron, komedian, dan
pe­nyanyi. Ia bukan seorang vote-getter.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilihnya sebagai ca­
lon wakilnya tentu karena Boediono memenuhi sejumlah syarat.
Tapi lebih penting lagi adalah kenyataan bahwa Boediono bukan
saja seorang yang telah bekerja untuk perbaikan kehidupan per-
ekonomian bangsa, tapi juga seorang pejabat dan pribadi yang
ber­sih.
Di atas saya sebut, itulah sebuah ”keganjilan”—dan di atas sa­
ya sebut juga, ”keganjilan” itu membawa harap. Diakui atau ti-
dak, ada yang merisaukan dalam kegaliban kehidupan politik ki­
ta. Kini SBY, dengan memilih Boediono, menunjukkan langkah­
kepemimpinan yang berani—dan itu indikasi bahwa kita, seba­
http://facebook.com/indonesiapustaka

gai bangsa, sanggup memperbaiki keadaan yang merisaukan itu.


Telah luas diketahui, hari-hari ini orang berpolitik dengan se­
macam sinisme yang gelap: pada sebuah zaman ketika semua da­
pat diperjual-belikan, orang cenderung percaya bahwa bahkan

Catatan Pinggir 9 399


UNTUK BOEDIONO: SEBUAH TITIPAN DARI SEBUAH GEDUNG BERSEJARAH

par­tai harus juga dianggap sebagai komoditas.


Para calon anggota legislatif yang berkampanye ke daerah bisa
ber­cerita, bagaimana ratusan juta rupiah dihabiskan untuk mem-
peroleh suara. Sebaliknya ada juga cerita bagaimana para pemilih
mengorganisasi diri jadi kelompok dan menawarkan dukungan
agar dibeli.
Walhasil, ikatan yang terjadi bukanlah ikatan agenda dan ci-
ta-cita, melainkan ikatan antara penjaja dan pembeli.
Di tingkat elite politik, sinisme yang lebih gelap berlaku. Koa­
lisi antarpartai dibentuk atau dibatalkan bukan berdasarkan
program ataupun ideologi, bukan karena apa yang akan diper-
buat bagi pemilih dan bagi Republik. Koalisi antarpartai hampir
sepenuhnya berkisar di sekitar siapa dapat jabatan apa, bahkan
siapa yang membayar dan siapa yang dibayar.
Di tengah berisiknya tawar-menawar yang seperti pasar ter-
nak itu pertanyaan pun timbul: Adakah prinsip tentang kebaik­
an dan kebenaran dalam politik? Benarkah semuanya untuk ke-
pentingan subyektif, dan tak ada suatu nilai universal yang meng-
gugah hati dan membentuk kesepakatan?
***
79 tahun yang lalu, di ruangan ini, Bung Karno memulai plei-
doinya dengan sebuah statemen yang menarik. Sebuah statemen
yang menunjukkan, betapa bisa palsunya klaim pemerintah kolo­
nial bahwa kebenaran dan keadilan yang hendak ditegakkan-
nya—dalam tubuh hukum—adalah kebenaran dan keadilan
yang universal.
Bung Karno menyebut apa yang salah dalam hukum yang di-
pergunakan hari itu. ”Tuan-tuan Hakim,” katanya, ”kami di sini
http://facebook.com/indonesiapustaka

didakwa bersalah menjalankan hal-hal, yang sangat sekali mem-


beri kesempatan lebar pada pendapat subyektif....”
Adapun jaksa menyatakan Bung Karno bersalah berdasarkan­
pasal tentang ”pemberontakan”. Tapi Bung Karno menunjukkan,­

400 Catatan Pinggir 9


UNTUK BOEDIONO: SEBUAH TITIPAN DARI SEBUAH GEDUNG BERSEJARAH

pasal itu, seperti pasal yang menyebut diri ”pencegah penyebaran


rasa benci” (haatzaai artikelen), mengandung kata-kata yang bisa
di­tafsirkan seenaknya oleh yang membacanya, terutama para jak-
sa dan hakim kolonial. Bung Karno mengulang apa yang sering
dikatakan tentang pasal-pasal seperti itu—yakni ”aturan karet
yang keliwatan kekaretannya”. Artinya, aturan yang dapat diren-
tang dan dikerutkan sesuai dengan kepentingan sepihak, atau
apa yang disebut Bung Karno sebagai ”subyektif”.
Apa yang tersirat dari pernyataan Bung Karno ialah bahwa ke-
adilan dan kebenaran, yang seharusnya bersifat universal, telah
direduksi jadi pasal-pasal. Dengan kata lain, yang universal, yang
tak terhingga, telah dikuasai oleh bahasa, sistem simbolik yang
mau mendikte karena berkuasa.
Tak mengherankan bila Bung Karno pada akhirnya dinya­ta­
kan­bersalah. Ia dihukum empat tahun penjara dan dikurung di
Sukamiskin. Tapi tak mudah menerima keputusan itu sebagai
eks­presi keadilan. Pada saat palu diketukkan, terasa benar apa
yang diingatkan Marxisme: keadilan dan kebenaran selamanya
adalah keadilan dan kebenaran dari yang berkuasa. Dengan kata
lain, dalam rumusan nilai-nilai selalu ada dimensi politik, perta-
rungan kekuasaan, dan perebutan hegemoni.
Memang, Marxisme sebuah suara zaman modern, bagian da­ri
apa yang disebut hermeneutics of suspicion, yang meragukan­bah­
wa­ada kebenaran yang mulus dan murni. Tapi kita ingat, bah­
kan­ dalam Marxisme orang senantiasa dirundung pertanya­an:­
be­­­nar­kah politik hanya pergulatan kepentingan ”subyektif” atau
sepihak? Jika demikian, apa makna perjuangan proletariat untuk
membebaskan manusia dari ikatan kepentingan kelas-kelas? Bila
http://facebook.com/indonesiapustaka

perjuangan politik tak bisa berangkat dari kebenaran dan keadil­


an yang berlaku bagi siapa saja, bagaimana ia bisa menggugah ba­
nyak orang, mengajak banyak orang, untuk bergerak?
Saya termasuk orang yang percaya, politik adalah perjuangan

Catatan Pinggir 9 401


UNTUK BOEDIONO: SEBUAH TITIPAN DARI SEBUAH GEDUNG BERSEJARAH

yang terdorong untuk melawan kepentingan ”aku”. Politik ber-


beda dari pasar ternak. Ada yang universal dalam nilai-nilai yang
membuat kita memenuhi panggilannya.
Tapi sejarah perjuangan politik juga menunjukkan, yang uni-
versal bukanlah sesuatu yang sudah dirumuskan sepenuhnya.
Yang universal adalah yang justru dirasakan sebagai kekurangan­
yang akut. Keadilan (sebuah nilai universal) jadi sesuatu yang se­
akan-akan hadir, memanggil-manggil, ketika ketidakadilan me­
rajalela. Kebenaran (sebuah nilai universal) jadi mendesak semua
orang ketika dusta menguasai percakapan. Dalam Indonesia
Meng­gugat, Bung Karno mengutarakan ini dengan retorika yang
memukau:

... Diberi hak-hak atau tidak diberi hak-hak; diberi pegangan


atau tidak diberi pegangan; diberi penguat atau tidak diberi pengu­
at—tiap-tiap machluk, tiap-tiap ummat, tiap-tiap bangsa tidak
bo­­­leh tidak, pasti achirnja berbangkit, pasti achirnja bangun, pasti­
achirnja menggerakkan tenaganja, kalau ia sudah terlalu sekali me­
rasakan tjelakanja diri teraniaja oleh suatu daja angkara murka!!”

Kebangkitan mereka yang teraniaya untuk mencapai keadilan


dan kebebasan pada akhirnya hanya berarti ketika keadilan dan
kebebasan itu ditujukan buat siapa saja. Sejarah bergerak karena
sebanyak-banyaknya orang ikut bergerak.
***
Tapi bisakah sejarah berakhir? Kita berada pada awal abad ke-
21, yang mengharuskan kita tabah dan juga berendah hati. Abad
yang lalu telah menyaksikan ide-ide besar yang diperjuangkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

dengan sungguh-sungguh, namun akhirnya gagal membangun­


sebuah masyarakat yang dicita-citakan.
Dengan ketabahan itu sejarah tak berhenti, bahkan berjalan
se­­makin cepat. Teknologi, pengetahuan tentang manusia dan

402 Catatan Pinggir 9


UNTUK BOEDIONO: SEBUAH TITIPAN DARI SEBUAH GEDUNG BERSEJARAH

ling­kungannya, kecenderungan budaya dan politik, berubah


be­gitu tangkas, hingga persoalan baru timbul sebelum jawaban
buat persoalan lama ditemukan.
Kini makin jelaslah, tak ada doktrin yang mudah dan mutlak­
untuk memecahkan problem manusia. Tak ada formula yang
tung­gal dan kekal bagi kini dan nanti.
Yang ada, yang dibutuhkan, justru sebuah sikap yang menam­
pik doktrin yang tunggal dan kekal. Kita harus selalu terbuka un-
tuk langkah alternatif. Kita harus selalu bersedia mencoba cara
yang berbeda, dengan sumber kreatif yang beraneka.
Boediono tentu sangat akrab dengan keniscayaan itu. Seorang
ekonom adalah seorang yang sangat dekat dengan kekurangan
dan kelangkaan, dan seorang teknokrat adalah seorang yang ha­
rus­bersua tiap kali dengan kerumitan. Itu sebabnya Boediono ta­
hu, doktrin seperti ”neoliberalisme” tak akan pernah berhasil, se­
bagaimana ”ekonomi yang etatis” tak akan pernah sampai di tu-
juan.
Sikap pragmatik itu, sebagai sebuah keniscayaan, tak berarti­
sikap yang hanya mengutamakan hasil dan tak mempedulikan
ni­lai-nilai, tak mengacuhkan apa yang baik dan yang benar. Se­
orang ekonom, terutama di Indonesia, tak mungkin mengabaikan­
persoalan korupsi, ketakadilan dalam aturan main, goyahnya ke-
mandirian lembaga yudikatif, dan last but not least, tipisnya mo­
dal­sosial dalam bentuk sikap yang lebih percaya kepada liyan—
orang lain yang juga sesama.
Seorang ekonom, seperti kita semua, punya daftar panjang
ten­tang hal-hal yang tak bisa diabaikan. Untuk itu diperlukan ke-
setiaan yang tak habis-habisnya: kesetiaan kepada negeri ini.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kesetiaan kepada negeri ini bukanlah karena patriotisme yang


pongah. Kita setia kepada Indonesia justru karena ia terus-me­
nerus memanggil: ia belum selesai. Kita tak bisa melepaskan diri
dari ikatan kita kepadanya; kita tak bisa melupakannya; kita ter-

Catatan Pinggir 9 403


UNTUK BOEDIONO: SEBUAH TITIPAN DARI SEBUAH GEDUNG BERSEJARAH

kadang bangga terkadang risau oleh karenanya. Tapi tetap: Indo-


nesia bukan hanya sebuah tempat tinggal. Indonesia adalah se-
buah amanat. Begitu banyak sudah orang berkorban untuk cita-
cita yang membuat negeri ini lahir.
Saudara Boediono, kami percaya, Anda tak akan menyia-
nyia­kan amanat itu. Dari ruang ini, pada hari ini, izinkanlah ka­
mi mengucapkan selamat bertugas.

Bandung, 15 Mei 2009

Tempo, 24 Mei 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

404 Catatan Pinggir 9


BLANGKON

A
pa yang kita ingat tentang 20 Mei 1908? Potret Mas Wa-
hidin Sudirohusodo. Sang ”dokter Jawa” ini mengenakan­
blangkon di atas raut mukanya yang tenang; ia lulusan
STOVIA pada awal abad ke-20 yang bertahun-tahun jadi ikon
kebangkitan nasionalisme Indonesia.
Tapi ingatan orang ramai tak pernah lengkap. Dalam catatan
sejarah Indonesia pada masa itu disebutkan bahwa blangkon, sur­
jan, dan kain—dan semua ”pakaian daerah” lain—dikenakan­
para siswa sekolah kedokteran itu praktis bukan sebagai pernya­
ta­an kebanggaan. Blangkon itu penanda ”inlander”; baju dan
song­kok itu atribut ”pribumi”. Peraturan sekolah menentukan,
ke­cuali yang beragama Kristen, anak-anak muda itu dilarang me­
nge­nakan jas dan pantalon.
Mereka boleh mendapatkan pendidikan Barat, tapi tak boleh
tam­pak seperti orang Barat. Mereka tak disebut ”dokter” penuh.
Mereka hanya ”dokter Hindia” atau ”Jawa”. Gaji mereka di dinas
pemerintah dan perkebunan jauh lebih rendah ketimbang para
dok­ter Belanda. Jika bepergian, mereka tak boleh naik kereta api
kelas I—sementara orang Eropa yang berpendidikan lebih ren-
dah boleh duduk di sana.
Kolonialisme telah menggabungkan apartheid dengan dalih
”orien­talisme” yang kedengarannya murah hati: penguasa Hin-
dia-Belanda, kata mereka, hendak melindungi ke-”asli”-an para
pemuda ”pribumi”.
Tapi para pemuda STOVIA itu merasakan, dari ulu hati sam-
http://facebook.com/indonesiapustaka

pai ujung kaki, betapa palsunya sikap murah hati itu. Mereka
pun berontak. Sebab memang tak ada diskriminasi tanpa represi,
dan tak ada represi yang tanpa diskriminasi.
Syahdan, tiap malam, di kamar-kamar asrama mereka, mere-

Catatan Pinggir 9 405


BLANGKON

ka bertemu. Di sana dengan sepenuh hati mereka nyanyikan lagu


Revolusi Prancis, dan kata-kata sihir Revolusi itu agaknya telah
terpahat: libèrté, égalité, fraternité ou la mort.
Mereka memang mengaduh. Mereka memang terkungkung
dalam ketiadaan ”kemerdekaan, kesederajatan, persaudaraan”.
Dan dari protes mereka, mereka ada: mereka jadi subyek. Mereka
lemah, tapi tekad mereka sebenarnya tak mengherankan. Bung
Karno berkata dua dasawarsa kemudian: ”... cacing pun tentu
bergerak berkeluget-keluget kalau merasakan sakit!”
Nasionalisme 20 Mei 1908 adalah bagian dari subyek yang
”berkeluget-keluget”—subyek sebagai trauma karena rasa sakit,
subyek yang bergerak untuk menjawab ketiadaan libèrté, égalité,
dan fraternité. Dengan kata lain, subyek yang lahir karena men-
coba lepas dari megap-megap oleh putusnya hubungan dengan
”yang-lain”, dengan liyan, manusia yang berbeda tapi disebut ”se­
sama”.
Maka nasionalisme 20 Mei itu bukanlah sebuah solipsisme; ia
bukan kesibukan yang hanya mengakui diri sendiri.
Tentu, nasionalisme itu sikap yang berpihak. Ia partisan. Tapi
di sebuah dunia di mana ada sesama yang diperlakukan sebagai
makhluk yang tak sederajat dan bahkan disisihkan, keberpihak­
an itu tak terelakkan: para nasionalis itu berpihak kepada sebuah
ma­sa depan ketika tak ada seorang pun yang dihinakan.
Itu sebabnya mereka mengulangi seruan Revolusi Prancis ten-
tang ”kemerdekaan, kesederajatan, dan persaudaraan” yang men-
cakup semua orang. Itu sebabnya Revolusi Indonesia melahirkan
sebuah mukadimah Konstitusi yang menyebut ”hak semua bang-
sa” untuk merdeka. Mereka menyuarakan tuntutan universal. Se­
http://facebook.com/indonesiapustaka

perti kaum buruh dalam tesis Marx: proletariat adalah sebuah ke-
las yang, dari situasinya yang terbatas dan tertentu, mengusaha­
kan pembebasan tanpa batas, bagi siapa saja dan di mana saja.
Da­lam arti ini, Marxisme adalah sebuah humanisme universal—

406 Catatan Pinggir 9


BLANGKON

tapi universalitas yang lahir dari konteks yang spesifik.


Semangat universal ini membuat politik, sebagai perjuang­
an, jadi panggilan yang menggugah. Sebab bukan ”aku berontak,­
maka aku ada”, melainkan, seperti tulis Albert Camus dalam
l’Homme Révolté, ”aku berontak, maka kita ada”.
Dalam bahasa Indonesia, ”kita” lebih inklusif ketimbang ”ka­
mi”. Bila pengertian ”kita” lebih menggugah ketimbang ”aku”
atau ”kami”, itu karena subyek, sebagai trauma, merindukan li­
yan sebagai saudara yang sederajat dalam kemerdekaan. Dengan
kata lain, merindukan agar ”kita” ada.
Dari sini solidaritas lahir dan politik—selamanya sebuah ge­
rak­bersama—bangkit.
Sejarah menunjukkan bahwa solidaritas itu bisa beragam dan
berubah-ubah, sebab ”kita” adalah pertautan ”aku/kami” dengan
”engkau” dalam multiplisitas yang tak terhingga. ”Aku/ka­mi”
dan ”engkau” masing-masing hanya seakan-akan tunggal pa­da
waktu ke waktu, tapi sebenarnya tak pernah utuh dan selesai­di-
maknai. ”Kita” tak bisa sepenuhnya terwakili dalam organisasi
dan identitas apa pun.
Itu sebabnya dari STOVIA, pemberontakan tak berhenti.
”Boe­di Oetomo” dibentuk sebagai ”aku/kami”, tapi sejarah per­
ge­­rak­an nasional berlanjut setelah itu. Sebab ”aku/kami” bukan
ha­nya dokter-dokter yang diremehkan. Kemudian muncul juga
”mar­haen”, ”proletariat”, ”pedagang kecil”, dan entah apa lagi.
Na­sionalisme sebagai perjuangan pembebasan tak hanya terbatas­
pada satu kelompok. Bahkan ”nasionalisme” yang merupakan
per­lawanan terhadap imperialisme (dan di sini ia berbeda dari
”nasionalisme” Hitler) hanya bisa setia sebagai perlawanan jika
http://facebook.com/indonesiapustaka

ia jadi bagian dari emansipasi dunia—seperti semangat yang ter­


sirat­dalam lagu Internationale.
Sebab politik pembebasan adalah sebuah proses: ia lahir dari
”aku/kami” yang bukan apa-apa menjadi ”aku/kami” yang harus­

Catatan Pinggir 9 407


BLANGKON

merupakan segalanya. ”Ich bin nichts, und ich müßte alles sein,”
kata Marx. Dengan kata lain, subyek sebagai trauma yang beron­
tak itu harus mencakup semua, siapa saja. Bukan hanya para
pri­bumi alias inlander. Bukan hanya mereka yang harus pakai
blang­kon dengan wajah yang kalem.

Tempo, 31 Mei 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

408 Catatan Pinggir 9


BUKAN-JAWA

K
” arena kau bukan orang Jawa,” kata orang itu kepada
saya dengan senyum mengasihani. ”Karena itu kau tak
mengerti....”
Pertunjukan telah selesai. Saya merasa lega. Terus terang, saya
tak menyukai tarian itu sebuah karya abad ke-18 yang tak meng-
gugah. Mungkin sebab itu orang itu, yang duduk di sebelah saya,
menyimpulkan saya ”tak mengerti”.
Ia (seorang tokoh setengah fiktif) seorang Eropa yang sudah­
20 tahun hidup di Solo, berbahasa Jawa dengan bagus, pandai
me­­mainkan saron dan rebab. Komentarnya mengingatkan saya
akan kata-kata seorang jurnalis Belanda kepada Minke, tokoh
Bu­mi Manusia Pramoedya Ananta Toer: seorang Eropa yang me­
rasa lebih kenal rakyat di Jawa lebih baik ketimbang Minke, sang
inlander.
Dalam novel Pramoedya, Minke merasa bersalah. Dalam ka-
sus saya, saya bingung: apa artinya saya ”bukan orang Jawa”? Apa
itu ”Jawa”?
Kata ini telah lama beredar, dan makin lama makin dianggap­
jelas, padahal tak pernah dipertanyakan. Kini orang mengatakan
Sultan Hamengku Buwono X itu ”raja Jawa”, sementara kita de-
ngan sah juga bisa mengatakan bahwa ia—dengan segala hor­
mat­—tak lebih dari seorang sultan dari separuh Yogyakarta.
Orang juga mengatakan Bung Karno ”Jawa”, tetapi bisa juga di-
katakan sebenarnya bukan; ia seperti halnya sekarang Boediono,
calon wakil presiden yang mendampingi SBY: seorang yang la­
http://facebook.com/indonesiapustaka

hir­dan besar di Blitar, Jawa Timur, dan sangat mungkin bahasa


masa kanaknya bukan bahasa Surakarta.
Sebutan ”Jawa” barangkali seperti sebutan ”Padang” bagi si­a­
pa­­saja yang datang dari Sumatera Barat, atau ”Ambon” bagi sia­

Catatan Pinggir 9 409


BUKAN-JAWA

pa­ saja yang datang dari Maluku: sebutan yang sebenarnya tak
meng­acu ke sesuatu yang tetap....
Saya pernah masuk ke sebuah penjara di Wamena, Papua,
tem­pat sejumlah orang yang dianggap penggerak ”separatisme”
di­sekap. Untuk mengelabui polisi, saya menyamar jadi pastor Ka­
tolik dari Bali; teman saya, seorang Amerika yang ingin menulis
la­poran buat sebuah lembaga hak asasi manusia, mengaku utus­
an dari sebuah gereja Kristen di Boston. Di hadapan kami, salah
se­orang tahanan menyatakan kesalnya kepada ”orang Jawa” yang
”te­lah banyak membunuh” orang Papua.
Waktu itu saya mencoba meluruskan. Kekerasan itu, kata sa­
ya,­tak bisa dijelaskan dengan dasar kesukuan. Kekerasan itu di-
lakukan oleh sebuah pemerintahan militer, yang pada 1965-1966
ju­ga telah membunuhi ”orang Jawa”, bahkan dalam jumlah yang
ja­uh lebih besar. Tapi saya tak yakin apakah tahanan Papua yang
pe­nuh kemarahan itu mengerti. Kata, sebutan, bahasa, pada
akhir­nya punya kekerasan dan penjaranya sendiri.
Sepulang dari sana, saya baca kembali buku John Pemberton­
On the Subject of ”Java”. Buku itu membantu saya yang sudah
agak lama mencoba melacak dari mana ”Jawa”, sebagai identi-
fikasi, ber­asal. Saya merasa perlu melacak itu. Saya dibesarkan
di pesisir­ utara Jawa Tengah di mana orang menggunakan ba-
hasa yang ber­beda-beda, dan di antaranya jauh dari bahasa yang
dipakai di Surakarta dan Yogyakarta, di mana orang lebih sering
menonton wa­yang golek dengan lakon Umar Maya ketimbang
wayang kulit dengan lakon Mahabharata, dan di mana orang tak
mengenal serimpi melainkan sintren. Bagaimana jutaan orang
dengan ke­ra­gaman yang tak tepermanai itu dimasukkan ke satu
http://facebook.com/indonesiapustaka

kelompok dan dengan gampangan disebut ”Jawa”?


Buku Pemberton terkadang terasa terlampau panjang, tapi sa­
ya menyukai telaahnya yang dengan tajam melihat hubungan la­
hir­nya wacana tentang ”Jawa” dengan modernitas. Wacana itu

410 Catatan Pinggir 9


BUKAN-JAWA

dan keinginan membentuk identitas itu—muncul justru ketika


modernitas, dalam bentuk tatapan orang Eropa, masuk menero­
bos­pintu gerbang dua istana yang terpisah dan bersaing di Sura-
karta: Keraton Sunan Pakubuwono, yang biasa disebut ”Kesu­
nan­an”, dan istana yang biasa disebut ”Mangkunegaran”.
Dari keduanyalah mula-mula orang bicara tentang ”Jawa”.
Dunia ”Kesunanan” adalah dunia ”Jawa” yang cenderung berge­
rak­ke pinggir, keluar dari tatapan dan pemahaman para pengelo­
la kolonialisme Belanda. Dunia ”Mangkunegaran”, yang lebih
mu­da umurnya, punya kecenderungan sebaliknya: ada keingin­
an­ bergerak ke tengah pemahaman itu. Contoh yang tak mu­
dah­dilupakan diberikan Pemberton: busana resmi yang disebut
”La­­ngen­harjan” adalah kombinasi yang pintar yang diciptakan
Mangkunegara IV pada 1871: paduan antara busana formal Be­
lan­da (rokkie Walandi) yang dipotong ekornya dengan keris dan
kain batik. Berangsur-angsur, rokkie Jawi itu diterima sebagai pa­
kaian resmi ”Jawa” bahkan di upacara pernikahan orang di luar
is­tana.
”Jawa” dengan demikian tak merupakan sesuatu yang kuno,
per­manen, dan utuh. Namun bukan hanya itu. Di balik dinding
tinggi kedua istana di Surakarta itu tersimpan apa yang oleh Pem-
berton disebut sebagai the sense of hidden ’Java’. Ada yang kemu-
dian membuatnya sebagai misteri yang memikat tentang ”Jawa”.
Tapi, bagi saya, jangan-jangan yang disebut oleh Mangkunegara
IV sebagai (dalam bahasa Belanda!) ”kawruh rahasia Jawa” atau
”de geheime Javaansche wetenschap” itu satu pengakuan akan tak
mungkinnya bahasa mana pun merumuskan ”Jawa”. ”Jawa”, se­
ba­­gaimana identitas mana pun, sebagiannya selalu berada di ne­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ge­ri Antah Berantah.


Mungkin itu sebabnya saya tak mengerti, kenapa orang Ero­
pa itu menganggap saya—yang berbahasa Jawa dengan baik dan
benar, tapi kecewa kepada satu nomor tarian klasik ”bukan orang

Catatan Pinggir 9 411


BUKAN-JAWA

Jawa”. Sebagaimana saya tak mengerti kenapa dia merasa menger-


ti apa itu ”Jawa” sebuah sebutan yang, seperti umumnya nama,
ha­nya untuk memudahkan percakapan, atau permusuhan, atau
pertalian.

Tempo, 7 Juni 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

412 Catatan Pinggir 9


MEMIHAK

P
OLITIK adalah sebuah tugas sedih: usaha menegakkan
keadilan di dunia yang berdosa. Reinhold Niebuhr, theo-
log itu, mengatakan demikian untuk siapa saja. Tapi saya
kira ini terutama berlaku bagi tiap intelektual publik—artinya
se­seorang yang dengan tulisan dan ucapannya berbicara ke orang
ramai, mengetengahkan apa yang sebaiknya dan yang tak sebaik­
nya terjadi bagi kehidupan bersama.
Niebuhr (dan saya mengikutinya) memakai kata ”tugas”.­Ka­­ta
yang aneh, memang. Sebab tugas itu bukan karena komando­se­
buah partai atau kekuasaan apa pun. Tugas itu muncul, di da­lam
diri kita, karena ada sebuah luka. Kita merasa harus melakukan
sesuatu karena itu. Luka itu terjadi ketika pada suatu hari, da­lam
kehidupan sosial kita, ada liyan yang dianiaya, ada sesama­yang
berbeda dan sebab itu hendak dibinasakan. Luka itu ke­tidak-­
adil­an.
Saya menyebutnya ”luka” karena persoalan ketidak-adilan
bu­kanlah sesuatu yang abstrak, tapi konkret, menyangkut tubuh,
melibatkan perasaan, membangkitkan trenyuh dan juga amarah:
Munir yang dibunuh tapi kasusnya tak terungkap tuntas, ribuan
orang yang dilenyapkan di masa ”Orde Baru” dan tak pernah di-
usut, Prita Mulyasari, si ibu, yang dimasukkan sel oleh jaksa se-
cara seenaknya, atau Prabangsa, wartawan Radar Bali, yang di-
bunuh dengan brutal karena ia mengkritik orang yang berkuasa.
Ada luka, dan aku ada: pada momen itu aku tahu apa yang te­
ra­sa tak adil. Meskipun aku belum bisa merumuskan seluruhnya
http://facebook.com/indonesiapustaka

apa yang adil, aku terpanggil.


Di situlah seorang intelektual publik berbeda dengan seorang
clerc dalam pengertian Julien Benda. Dalam versi Inggris, kata
clerc disebut sebagai ”intelektuil”, tapi itu adalah padanan yang

Catatan Pinggir 9 413


MEMIHAK

tak­ tepat. Benda menggunakan kata itu untuk mengacu ke za­


man­ lama Eropa, ke kalangan rohaniwan yang semata-mata
meng­utamakan nilai-nilai universal, hidup jauh dari pertikaian
politik. Mereka tak memihak; mereka jaga kemurnian akal budi.
Dalam La Trahison des Clercs Benda mengecam para intelektual
yang turun ke keramaian pasar, memihak kepada satu kelompok
dan mengobar-ngobarkan ”nafsu politik”.
Harus dicatat: Benda seorang rasionalis sejati. Ia menganggap
”nilai-nilai universal” itu sudah terpatri selesai di dalam diri. Ia
tak mengakui bahwa yang ”universal” datang dari pengalaman
manusia sebagai mahkluk-di-bumi, yang berkekurangan, terba-
tas, hidup dengan liyan, fana. Benda memisahkan rasionalitas
dari dunia, sebagaimana ia menghendaki siapa pun yang setara
de­ngan clerc tak memasuki arena pergulatan politik di mana ni-
lai-nilai universal konon ditampik.
Memang harus diakui, di masa Benda, sebagaimana di masa
kini, ada perjuangan politik yang hanya memenangkan cita-cita
yang tertutup: kaum Nazi hanya hendak membuat dunia baru
ba­gi ”ras Arya”, kaum ”Islamis” hanya untuk menegakkan supre­
masi umat sendiri. Apa yang kini disebut ”budayawan”, atau ”in-
teligensia”, atau ”intelektual publik” yang memihak ke kaum ma­
cam itu memang tak akan mengakui politik sebagai tugas yang
sedih. Di kancah itu, politik adalah kerja yang brutal.
Tapi kita ingat Nelson Mandela. Ia berjuang sebagai pe­mim­­
pin kaum kulit hitam, tapi cita-citanya tak hanya­un­tuk­ke­­baikan
kaumnya. Dalam cerita Afrika Selatan luka ke­ti­dak­­adilan itu
me­­manggil keadilan dalam arti yang se­be­nar­­nya:­­ sebab sebuah
keadaan itu berlaku bagi siapa saja. Itu­lah sifat universal yang ber-
http://facebook.com/indonesiapustaka

beda dengan universalitas seorang rasionalis. Universalitas dalam


politik Mandela berlangsung dalam proses: universalitas yang,
dalam kata-kata Alain Badiou, ”kreatif” karena merombak per­
be­daan yang berabad-abad dianggap seakan-akan kodrat.

414 Catatan Pinggir 9


MEMIHAK

Di situlah seorang intelektual publik seharusnya terpanggil­


untuk memihak. Tapi dengan itu ia memandang politik sebagai
se­buah tugas, bukan untuk sebuah ambisi. Ia tak duduk di tepi
ongkang-ongkang, merasa harus bermartabat di mahligai. Ia tak
berbeda dengan seorang tetangga yang ikut memadamkan api
bila rumah di sudut sana terbakar, bukan hanya untuk menye­la­
mat­kan kampung seluruhnya (dan tentu saja rumahnya sendiri),
tapi juga karena ia terpanggil untuk tak menyebabkan orang lain
menderita.
Dengan demikian, seperti Mandela, memihak tak berarti me-
lenyapkan sikap tak memihak. Perjuangan, atau pergulatan poli-
tik, memang bisa menjadikan sikap memihak menjadi mutlak.
Disitulah bahaya ”politik sebagai panglima” yang mengarahkan
segala sudut hidup kita seakan-akan bisa bikin dunia jadi sempur­
na. Tidak, kita mau tak mau harus menyadari dunia adalah tem-
pat yang cacat. Tiap perjuangan politik akan terbentur pada ke­
ter­batasannya sendiri.
Sebab itu, bila aku memilih A hari ini, aku memilihnya dengan­
ber­siap untuk kecewa. Aku juga memilihnya bukan untuk sela-
ma-lamanya. Aku hanya memilihnya sebagai sarana yang saat ini
kurang cacat di antara yang amat cacat—sarana sementara untuk
mencegah luka lagi, meskipun pencegahan itu tak pernah pasti.
Tak berarti kita menyerah. Tak berarti kita pelan-pelan meng-
halalkan ketakadilan sebagai kodrat hidup. Sebab, di tengah ke­
tak­adilan yang akut, kita selalu merasakan bahwa kita tak bisa
mengelakkan panggilan keadilan. Keadilan yang entah di mana,
ke­adilan yang entah kapan datang.
Politik adalah tugas merambah jalan di belukar membuka
http://facebook.com/indonesiapustaka

celah agar keadilan itu datang. Terkadang tangan jadi kotor, hati
jadi keras—dan itu menyebabkan rasa sedih tersendiri.
Di depan belukar itu, kita berjudi dengan masa depan. Tapi
kita siap: kalaupun gagal, setidaknya ada yang berharga yang di-

Catatan Pinggir 9 415


MEMIHAK

perkelahikan.
Maka selalu ada saat untuk bertindak dan memihak, ada saat
untuk berdiri menjauh, merenungkan apa yang tadi kita laku-
kan. Terkadang dengan ironi, terkadang dengan penyesalan.

Tempo, 14 Juni 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

416 Catatan Pinggir 9


BERBAGI

B
agaimana kita membebaskan diri dari terkaman Pa­
sar?­
Ada sejumlah pemikir murung yang berbicara tentang
struktur sosial dan manusia; mereka umumnya mengatakan: tak
ada lagi harapan. Kapitalisme merasuk ke mana-mana pada abad
ke-21 ini. Modal dan Pasar menyulap manusia jadi bukan lagi
subyek untuk selama-lamanya. Kita tak bisa berharap dari Nega­
ra, yang bagi kaum pemikir yang muram itu tak jauh jaraknya
dari takhta sang Modal Besar.
Akhirnya kita tak sanggup melawan. Kini perlawanan terha­
dap Negara + Modal hanya akan seperti tusukan pisau yang ma-
jal. Tak ada efek. Tidak ada lagi Marxisme yang menyatukan ka­
um buruh dan menyiapkan datangnya revolusi. Yang ada hanya
protes yang terpecah-pecah. Seperti tembakan mercon yang sa­
ling­tak berkaitan.
Maka satu-satunya cara melawan mungkin dengan menulis,
mencerca, atau menertawakan. Selebihnya ilusi.
Tapi benarkah cengkeraman Kapital itu demikian total?
Jawab saya: tidak benar.
Pada suatu hari saya mendapatkan sebuah hadiah. Saya se­
dang­menulis sebuah risalah dan membutuhkan satu kutipan da­
ri puisi Toto Sudarto Bachtiar. Tapi saya tak punya lagi kumpulan
puisinya, Suara, yang terbit pada pertengahan 1950-an, juga tak
ada sajak-sajak dalam buku Etsa. Tiba-tiba terpikir oleh saya un-
tuk mencarinya di Internet, melalui Google. Alhamdulillah, saya
http://facebook.com/indonesiapustaka

menemukan apa yang saya cari! Itulah hadiah yang tak disangka-
sangka hari itu....
Tapi pada saat itu pula terpikir oleh saya: seseorang telah ber-
buat baik dengan mengunggah sajak itu ke alam maya. Ia mung-

Catatan Pinggir 9 417


BERBAGI

kin seorang pengagum Toto Sudarto Bachtiar, atau seorang pen-


cinta puisi. Yang jelas, ia seorang yang dengan tanpa mengharap-
kan balasan apa pun bersusah payah membuat agar sajak sang pe-
nyair dapat dibaca orang lain, dan saya—yang tak mengenalnya,
tak pula dikenalnya—mendapatkan manfaat.
Saya ceritakan ”hadiah” saya itu kepada Antyo Rentjoko, se­
orang yang disebut sebagai ”Begawan Blogger”, dan ia menunjuk­
kan kepada saya bahwa itulah kehidupan yang berlangsung di
du­nia maya: tiap orang yang masuk ke sana akan beramai-ramai
berbagi.
Di sana ada semacam gotong-royong post-modern: tak ada
yang memerintahkan, tak ada pusat komando, tak ada pusat, dan
tak ada perbatasan yang membentuk lingkungannya. Masing-
ma­­sing orang memberi sesuai dengan kemampuannya. Yang
di­berikan adalah informasi, yang didapat juga informasi. Tapi
trans­aksi itu tak menggunakan uang. Pasar dan Modal Besar tak
hi­dup­di sini.
Dengan gotong-royong post-modern itulah lahir Wikipedia,
sebuah ensiklopedia yang bisa dibaca dan dikutip bebas tanpa­ba­
yar. Didirikan pada 2001, ensiklopedia lewat Internet ini kini su-
dah terbit dalam 266 bahasa, isinya ditulis oleh 75 ribu penyum-
bang aktif. Siapa saja sebenarnya dapat mengisi dan mengedit isi­
nya—dan dengan demikian diasumsikan ada saling koreksi­da­
lam proses berbagi informasi itu. Dalam komunitas yang terben-
tuk oleh Wikipedia ini—tiap bulan ia dikunjungi 65 juta orang—
sebuah dunia baru tengah mendesak dunia ensiklopedia lama,
yang disusun dengan biaya besar, dan membutuhkan Modal Be-
sar.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Hal yang mirip terjadi dalam gerakan yang dirintis Richard


Stallman untuk menyediakan peranti lunak gratis bagi siapa saja.
Beribu-ribu pengembang software pun bekerja sebagai sukarela-
wan bersama-sama dan berhasil menciptakan GNU/Linux, se-

418 Catatan Pinggir 9


BERBAGI

buah pesaing serius bagi sang Modal Besar di belakang Micro-


soft. Sebanyak 4,5 juta sukarelawan lain menciptakan sebuah su-
perkomputer paling kuat di muka bumi, SETI@Home.
Melihat gejala ini, Yochai Benkler, guru besar dari Yale itu,
menulis The Wealth of Networks, merasa yakin bahwa kita tengah
menyaksikan ”bangkitnya produksi nonpasar”. Ia menyebutnya
”produksi sosial” yang tak berdasarkan klaim dengan tujuan di-
jual ke pasar. Tak ada pula dasar hak milik, misalnya atas paten.
Dalam buku yang dikirimkan Antyo ke saya itu saya temukan
suatu totokan ke dalam pikiran kita yang mulai beku: kapitalisme
memang tidak mati-mati, seperti Vampir pengisap darah, tapi
akhirnya ada cara untuk menegaskan bahwa cengkeraman sang
Modal Besar tak bisa menaklukkan seantero kehidupan. Kapital-
isme tak 100 persen memaksakan komodifikasi semua hal. Kini
Wikipedia, GNU/Linux, dan SETI@Home menunjukkan itu.
Subyek, meskipun dalam kehadirannya yang tak kukuh, tak selu-
ruhnya ditelan hidup-hidup.
Maka para pemikir muram (dan mereka yang mimpi jadi Che
Gue­vara di ruang-ruang akademi) tak boleh mengatakan de-
ngan geraham gemeretak bahwa kapitalisme adalah sistem yang
menelan ”ruang kehidupan”.
Tapi benarkah Benkler? Tidakkah Modal Besar akan punya
kemampuan untuk memanfaatkan hasil ”produksi sosial” itu—
misalnya IBM bisa mendapatkan keuntungan dari jasa merawat
Linux? Bagaimana dengan persaingan?
Barangkali masih terlampau pagi untuk menyimpulkan bah-
wa telah kita temukan alternatif baru. Tapi dunia maya telah
memperkenalkan kemungkinan lahirnya kehidupan yang lebih
http://facebook.com/indonesiapustaka

menarik: kehidupan di mana individu ternyata bisa menjalankan


kebebasan tapi pada saat yang sama memilih untuk berbagi.
Manusia sebenarnya tak terlampau buruk.
Tempo, 21 Juni 2009

Catatan Pinggir 9 419


http://facebook.com/indonesiapustaka

420
Catatan Pinggir 9
DEBAT

S
aya malas berdebat. Tiap debat mengandung unsur ber-
laga, ujian, dan telaah. Memang, dulu ketika Sokrates me­
nanyai seseorang, menggunakan teknik eclenchus, menyo­
al dan meminta jawab dan siap dibantah serta membantah, ia
tak bermaksud mengalahkannya hingga takluk. Ia menggugah
orang untuk berpikir, menilik hidup, terutama hidupnya, dan
men­jadi lebih bijaksana sedikit. Tapi tidak setiap orang seperti
Sokrates. Dan saya cepat lelah dengan berujar lisan.
Pengalaman saya mengajari saya bahwa debat, seperti umum-
nya dialog, acap kali berakhir dengan dua-log: saya dan lawan bi­
cara saya akan seperti dua pesawat televisi yang disetel berhadap-­
hadapan. Dia tak mencoba mengerti saya dan saya tak mencoba­
mengerti dia. Bahasa punya problem. Kata yang kita ucapkan
atau kita tulis tidak jatuh persis di sebelah sana dalam makna
yang seperti ketika ia keluar dari kepala saya.
Pengalaman saya juga membuat saya bertanya: apa tujuan se­
buah perdebatan? Untuk menunjukkan bahwa saya tak kalah­
pin­tar ketimbang lawan itu? ”Kalah pintar” tidak selamanya
mu­dah diputuskan, kalaupun ada juri yang menilai. Atau un-
tuk meyakinkan orang di sebelah sana itu, bahwa pendirian saya
benar, dan bisa dia terima? Saya tak yakin.
Kita tak bisa untuk selalu optimistis, bahwa sebuah diskusi
yang ”rasional” akan menghasilkan sebuah konsensus. Bahkan
Mikhail Bakhtin cenderung menganggap bahwa debat yang ter-
buka dan kritis tidak dengan sendirinya akan membuka pintu ke
http://facebook.com/indonesiapustaka

sebuah ruang di mana orang bisa bertemu dan bersepakat. Jus­


tru sebaliknya: yang akan terjadi adalah makin beragamnya pen­
dapat dan pendirian.
Bagi Bakhtin, orang yang berbeda punya pandangan dunia

Catatan Pinggir 9 421


DEBAT

yang berbeda pula, dan pada saat mereka sadar bahwa intuisi me­
reka tentang realitas berbeda—dan teknik Sokrates akan menim-
bulkan kesadaran itu—mereka akan makin ketat dalam pilihan
posisi mereka. Ada yang selamanya tak terungkap, juga bagi diri
sendiri, dalam kalimat.
Di manakah peran percakapan? Buat apa dialog dilakukan?­
Mungkin jawabnya lebih sederhana dari yang diharapkan se­
orang Sokrates: percakapan punya momen persentuhan yang tak
selamanya bisa dibahasakan—momen ketika tubuh jadi bagian
da­ri keramahan dan redanya rasa gentar.
Tapi orang senang menonton debat, apalagi debat para calon
presiden. Saya tidak tahu apakah setelah menonton itu, orang
akan mengambil keputusan mana yang lebih baik dia pilih. Saya
duga lebih sering yang terjadi adalah pilihan sudah dijatuhkan
sebelum debat mulai—dan orang menonton sebagai pendukung
atau penggembira, seperti orang menonton pertandingan bad­
min­ton atau tinju. Maka saya lebih cenderung menganggap, de-
bat diselenggarakan lebih untuk jam-jam hiburan—dengan se­
ga­la ketegangan yang dirasakan dalam menonton itu. Kita te-
gang, maka kita senang. Juga debat calon presiden. Pendek kata,
debat itu tidak untuk meyakinkan. Debat itu untuk membuat
kita bertepuk.
Tidak mengherankan bila televisi mengambil peran besar da­
lam debat politik. Sementara mereka yang berdebat mempersiap-
kan diri baik-baik dengan mengumpulkan bahan serta memper-
tajam argumen dan juga berlatih menyusun kata, tuan rumah da­
ri acara itu sebenarnya punya tujuan yang tak ada hubungannya
dengan discourse. Sang tuan rumah hanya menginginkan sesuatu
http://facebook.com/indonesiapustaka

untuk ditonton khalayak seperti orang Roma dulu menyelengga-


rakan pertandingan gladiator.
Suka atau tidak suka, politik kini terjebak dalam sebuah are-
na apa yang disebut Milan Kundera sebagai ”imagologi”. Politik

422 Catatan Pinggir 9


DEBAT

telah jadi sebuah tempat bertarung yang dibangun oleh media


massa, di mana wajah, sosok, artikulasi, dan janji diperlakukan
se­bagai komoditas yang ditawarkan ke konsumen yang sebanyak-­
banyaknya. Makin banyak calon pembeli yang dibujuk, makin­
ditemukan titik pertemuan yang paling dangkal. Dan ketika
te­levisi—dengan kebiasaannya untuk gemebyar, dengan ong-
kos mahal—jadi makin komersial, pendangkalan itu makin tak
terelakkan.
Tidak mengherankan bila setelah debat calon presiden, disu-
sul debat para komentator debat—yang umumnya seru, bisa lebih
kasar, lebih tak sabar, dan lebih tak berpikir. Kini para komenta-
tor hampir sudah seperti pesohor: yang terpenting adalah bah-
wa mereka dikenal, atau bisa menarik perhatian. Mengapa harus
digubris adakah pendapat mereka punya dasar yang bisa diper-
tanggungjawabkan? Dan karena air time mahal, jawaban cepat
lebih diperlukan ketimbang jawaban masuk akal. Sokrates dan
eclenchus-nya sudah lama dikuburkan.
Saya malas berdebat. Meskipun seperti banyak orang, saya
tak malas menonton para calon presiden berdebat. Saya tahu apa
yang mereka lakukan di sana itu tak banyak manfaatnya bagi me­
reka sendiri. Tapi setidaknya saya mendapatkan hiburan. Dan
mung­kin juga komodifikasi yang terjadi pada acara yang seolah-­
olah serius itu punya manfaat lain, punya peran lain: proses itu
membuat para calon pemegang jabatan tertinggi Republik itu le­
bih menarik, dan tidak lebih angker, apalagi menakutkan, ke­
timbang komoditas lain yang ditebarkan televisi.
Tampaknya demokrasi bisa juga dibangun dari perdagangan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tempo, 28 Juni 2009

Catatan Pinggir 9 423


http://facebook.com/indonesiapustaka

424
Catatan Pinggir 9
KAMAR

S
ajak itu menghadirkan sebuah kamar. Luasnya cuma
3 m­x 4 m, ”terlalu sempit buat meniup nyawa”. Penghuni­
nya­tujuh. Ruang pun terasa kerdil dan rudin, ketika se-
buah jendela menghubungkannya dengan dunia luar yang begitu
perkasa.
Dalam sajak itu pula Chairil Anwar melukiskan kemurung­
an­dan kelesuan kamar itu dengan sederet imaji yang makin la­
ma makin dramatis. Sang ibu ”tertidur dalam tersedu”. Sang
ba­pak ”terbaring jemu”. Mata lelaki tua itu menatap ke sesuatu
yang mungkin hanya sebuah citra ketidak-berdayaan: gambaran
”orang tersalib di batu”. Cahaya terbatas. Malam itu bulan me­
ngi­­rimkan sinarnya sedikit untuk mengintip, dan tampak ”sudah
li­ma anak bernyawa di sini”.
Suasana represif, seperti sel-sel bui yang padat tapi kehilangan
suara. ”Keramaian penjara sepi selalu”.
Chairil menuliskan baris-baris itu sekitar setengah abad yang
lalu, di Jakarta yang penduduknya belum lagi empat juta. Kini
kota ini—yang baru saja berulangtahun ke-482—dihuni 12 juta
orang, dan membaca sajak itu kita terpekur: apa makna sebuah
ruang (mungkin sebuah rumah) di kota seperti ini? Bagaimana
pu­la kelak, di tahun 2025, ketika diperhitungkan hampir 70%
penduduk Indonesia hidup di kota-kota? Apa yang tengah kita
saksikan: sebuah progresi kepadatan dan ketercekikan?
Kecemasan atas kota-kota yang padat tak hanya terbatas di
Du­nia Ketiga. Di pertengahan abad ke-20, ada sebuah keluhan
http://facebook.com/indonesiapustaka

tentang Paris: ”Di Paris tak ada rumah.” Itu tulis Gaston Bache-
lard, filosof Prancis itu, dalam La poétique de l’espace. ”Penduduk
kota-kota besar tinggal di dalam kotak-kotak yang dipasang-su-
sun”. Akhirnya rumah hanya terbangun horizontal; ia kehilang­

Catatan Pinggir 9 425


KAMAR

an ”kos­misitas”-nya. Tak ada lagi pertautannya dengan yang kos-


mis, sebagaimana ia kehilangan angkasa, terlepas dari misteri ke­
agung­an.
Keluhan Bachelard memang menyiratkan sebuah nostalgia,
kerinduan kembali kepada suasana tempat tinggal yang dengan
nya­man dihuni bertahun-tahun di pedusunan dan kota kecil di
pe­dalaman—sesuatu yang tentu saja tak bisa berlaku dalam latar
sejarah sosial-ekonomi Indonesia.
Di Indonesia, terutama di Jawa, kepadatan penduduk sudah
lama merampas pedusunan dari suasana sejuk-tenteram seperti
yang dulu diidealkan lukisan Dezentjé. Petani miskin tak mampu­
lagi punya rumah yang layak dirindukan. Tanah yang kian sem-
pit diolah dan dimanfaatkan oleh penghuni yang kian lama kian
ba­nyak. Sebuah ”involusi pertanian” (dalam istilah terkenal Clif-
ford Geertz) terjadi: bukan kekayaan dan keluasan yang dibagi-
bagi, melainkan kemelaratan dan kesempitan. Kamar yang dilu­
kiskan Chairil bisa juga berlaku bagi ruang di rumah-rumah du-
sun.
Keadaan memang sedikit berubah sekarang, setelah program
pengendalian pertumbuhan penduduk dua dasawarsa yang lalu
berhasil. Pertumbuhan kini tinggal 1,3%. Tapi jika lihat Jakarta,­
kepadatan tetap sebuah kenyataan yang menyebabkan hubung­
an antara manusia dan tempat tinggalnya demikian tak membe­
kas. Kita mengalami, dan menyaksikan, sejenis neo-nomadisme:
orang berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain; ”rumah” bukan-
lah faktor penting dalam stabilitas.
Orang hidup dari rumah kontrakan satu ke rumah kontrak­
an lain. Orang tak lagi mengenal tempat sebagai dunung, sebuah
http://facebook.com/indonesiapustaka

kata Jawa yang bukan saja menunjukkan sebuah situs fisik, tetapi
juga afeksi, sentuhan perasaan yang positif, ruang yang pas un­
tuk­ku. Tempat telah jadi komoditas. Ia bukan lagi bagian da­ri­
pengalam­anku yang tak bisa dipertukarkan. Ia bukan lagi men­

426 Catatan Pinggir 9


KAMAR

dapatkan wujudnya sesuai dengan wujud diriku; ia tidak lahir


dari proses­ku mengureg (burrow, bahasa Inggrisnya), proses se-
perti ketika ti­kus tanah membuat ruang hidupnya dengan mem-
buat liang yang cocok. Para nomad baru tak membangun liang-
nya; ia masuk ke sebuah geografi yang sudah disiapkan untuk sia-
pa saja. Di sana, ia hanya seorang tamu.
Neo-nomadisme itu juga lahir dari jarak: di Jakarta, rumah
dan tempat kerja sering kali begitu jauh, lalu lintas begitu padat,
hingga lebih lama orang hidup di jalanan ketimbang di kamarnya
sendiri. Ia akan berangkat pukul enam pagi, sampai di rumah
kem­bali pukul tujuh malam, untuk kemudian duduk menonton
televisi tentang dunia jauh, sebelum tidur, mungkin mimpi. Dan
pada pukul lima....
Tapi tetap ada benarnya, bahwa seorang nomad tak pernah
sempurna sebagai seorang nomad. Pada tiap kesempatan, manu-
sia mencoba membentuk dunung-nya. Juga di Jakarta. Ada tem-
pat-tempat yang kita bangun dan tempati dengan betah, juga di
luar apa yang biasa disebut ”rumah”. Ada ruang, sebagiannya ter­
sembunyi dalam hati, yang tak hendak dan tak bisa diperjual-be-
likan: sebuah pojok di taman, sebuah sudut kota yang menyim-
pan kenangan, sebuah pasar yang menambat hati, sebuah kedai,
sebuah stasiun bus, sebuah tempat pertemuan....
Di ruang-ruang yang jadi dunung, ada tenaga yang menarik
kita ke dalam, membentuk setitik pusat, membangun dunia yang
seakan-akan tanah yang kita ureg. Tapi di zaman ini, ada tena-
ga yang juga menarik kita ke luar, karena tempat apa pun pada
akhirnya hanya sebuah ruang transit. Barangkali yang akan tetap
akhirnya hanya nomor HP atau alamat e-mail. Dan kita tak me-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nyebut diri ”tunawisma”.


Hari ini dan mungkin nanti, Jakarta adalah arus di mana
”wis­ma” tak lagi relevan. Yang ada adalah kemah dalam hidup
yang tak bisa mandek. Ada yang hilang dalam kepadatan itu.

Catatan Pinggir 9 427


KAMAR

Tapi manusia berjalan terus, terengah-engah makin tua, menco-


ba bisa hidup walaupun dengan sel-sel sempit yang kehilangan
suara, dalam ”keramaian penjara sepi selalu”.

Tempo, 5 Juli 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

428 Catatan Pinggir 9


MONUMEN

E
NDE, Flores. Beberapa meter dari pohon sukun yang
rin­dang itu ada sebuah patung. Yang hendak dihadirkan
di atas pedestal itu sosok Bung Karno, yang pada 1933
dibuang ke kota ini.
Tak impresif. Warnanya yang menguning karena iklim me-
nambah kesan letih ke seluruh permukaannya. Tubuh itu kurus,­
memanjang ke langit, yang mungkin bisa ditafsirkan sebagai
gam­baran Bung Karno yang menderita tapi bercita-cita.
Foto-foto yang tersimpan di Museum Bung Karno di kota itu
memang memperlihatkan seorang laki-laki yang ramping. Tapi
pa­tung itu tampaknya tak ingin menggambarkan sang pemimpin
yang kurang gizi di pengasingan: bajunya yang khas, bersaku em-
pat, dengan dasi, adalah baju ketika Bung Karno sudah jadi presi­
den. Dan saya lihat di sana Bung Karno memegang tongkat ko-
mando yang berujung kepala burung garuda—meskipun hewan
itu lebih mirip ayam jago yang lemas....
Saya duga sang pematung bukanlah seorang seniman yang
menguasai teknik—jika hal ini bisa disimpulkan dari ketidakmi-
ripan patung itu dengan tokoh yang dipatungkan. Wajah Bung
Kar­no itu bermata besar, berhidung runcing, dan tatapannya se-
perti gamang melihat dunia.
Tapi haruskah sebuah patung mirip dengan wajah orang yang
di­patungkan? Tidakkah sang pematung punya hak interpretasi?
Giacometti mungkin akan selamanya menampilkan sosok yang
se­perti stalagmit kerempeng di gua-gua, meskipun seandainya ia
http://facebook.com/indonesiapustaka

hendak mematungkan Sylvester Stallone. Botero akan selamanya­


membuat tubuh jadi gemuk montok, meskipun seandainya ia
hendak menghadirkan Gwyneth Paltrow.
Monumen selamanya sehimpun tafsir. Patung Bung Karno­

Catatan Pinggir 9 429


MONUMEN

dan Bung Hatta di Taman Proklamasi yang diciptakan G. Si­


dhar­ta tidak persis seperti foto yang kita kenal tentang kedua
prok­lamator itu. Patung karya Sunaryo ke arah Bandara Soekar­
no-Hatta juga akhirnya hanya simbolisasi tentang sang ”dwi-
tunggal”. Manakah yang ”benar”: patung Sudirman di Jalan Su­
dir­­man, Jakarta—tongkrongan yang gagah perkasa itu—atau
pa­tung Sudirman di Jalan Malioboro, Yogya: tubuh dan wajah
yang prihatin dan sedikit lapar?
Monumen memang bukan untuk mengkopi dunia. Mungkin
tak ada yang ditirukan; yang ada hanya yang dijelmakan kembali
dari kesan, atau perasaan, tentang sesuatu.
Sebab tiap monumen mengandung politik ingatan. Tiap mo­
nu­men merupakan hasil pergulatan antara yang dikehendaki ke­
kuasaan di belakang pembuatan monumen itu dan ingatan ko­
lektif: tiap monumen disertai niat membentuk apa yang diingat
orang ramai.
Wajah Gajah Mada yang tembam—yang kita kenal dari buku
sejarah, lambang Polisi Militer dan patung di Markas Besar Ke-
polisian Negara—mungkin bukan diambil dari dokumen ten-
tang tokoh politik Majapahit itu. Tak banyak catatan tentang
sang mahapatih. Ada lelucon bahwa wajah itu ditentukan oleh
Mu­hamad Yamin—tokoh politik yang suka menulis tentang se-
jarah itu—semata-mata karena ia menemukan sebuah topeng di
ma­kam tua yang mirip dengan wajahnya sendiri. Tapi Yamin,
dengan posisinya sebagai ideolog nasionalisme Indonesia, bisa
merebut untuk dirinya otoritas di bidang sejarah. Ia pun berhasil
membuat kesimpulannya jadi sebuah ikon.
Tapi saya tetap merasa, patung Bung Karno di dekat pohon
http://facebook.com/indonesiapustaka

su­kun di Ende itu tak cocok. Mungkin masalahnya bukan mirip


atau tak mirip. Mungkin masalahnya monumen itu gagal dalam
meyakinkan bahwa ia mewakili sebuah tafsir tentang Bung Kar-
no.

430 Catatan Pinggir 9


MONUMEN

Monumen adalah bagian dari seni publik—dan jarak antara


seni publik dan propaganda sangat dekat. Tiap propaganda pu-
nya dua kekuatan: kekuatan dari luar dirinya untuk membujuk,
dan kekuatan dari dalam dirinya untuk mencapai kemampuan
tek­nik yang menyebabkan orang ramai terbujuk dan yakin.
Itulah sebabnya karya-karya propaganda yang kita lihat pada
za­man Stalin di Uni Soviet dan zaman Hitler di Jerman dibuat
de­ngan teknik yang piawai. Kita lihat contohnya pada patung Pe­
ta­­ni Berbedil di Jakarta yang dibuat seorang seniman ”realisme
so­sialis” Rusia. Yang hendak digambarkan adalah ide perang­ge­
ril­­­ya Indonesia sebagai perang kaum petani—dan sebab itu sosok
itu bercaping dan tak berbaju. Kita tahu itu bukan citra umum
ki­­ta tentang para pejuang perang kemerdekaan. Tapi patung
itu dibuat dengan teknik tinggi. Kita tahu penyimpangan (atau
”dus­ta”?) selalu perlu tutup yang gemilang.
Patung Bung Karno di Ende: ia tak punya teknik yang tinggi,
tutup yang gemilang. Sengaja atau tidak, sang pematung justru
me­nunjukkan ia ingin mengagumi Bung Karno dan membuat
Bung Karno mengagumkan—tapi ia tak sanggup.
Tapi begitukah memang niatnya? Jangan-jangan faktor lain
ber­pengaruh. Monumen resmi memerlukan persetujuan pejabat
resmi. Sang pejabat tak peduli apakah yang ditampilkan di sana
ba­gus atau tidak menurut para kritikus patung. Baginya yang
penting adalah proyek itu berdiri, dengan anggaran tertentu—
yang mungkin diselewengkan.
Dengan kata lain: monumen tak hanya dibangun melalui po­
litik ingatan, tapi juga politik pengabaian. Kekuasaan yang ada
di belakang pembuatan sebuah monumen berhasil mengabaikan
http://facebook.com/indonesiapustaka

hal-hal ”estetik”—bahkan juga tujuan membangun monumen


itu. Kita pun tak peduli untuk apa patung kereta perang Arjuna
dan Kresna dibangun di dekat Monumen Nasional di Jakarta.
Ki­­ta hanya melihatnya.

Catatan Pinggir 9 431


MONUMEN

Artinya tiap monumen—juga patung Bung Karno di Ende


itu—punya cerita panjang, lebih ketimbang sepotong wajah.

Tempo, 12 Juli 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

432 Catatan Pinggir 9


TENTANG RAKYAT

T
entang rakyat, apakah yang sebenarnya kita ketahui?
Kata itu, seperti bagian penting dari mantra, punya efek
yang kuat, tapi tak punya arti yang jelas. Seperti bagian
dari mantra, ia diulang untuk membuat orang terkesima, atau
tun­duk, atau bersemangat. Tapi ia (sebagaimana mantra) akan
hi­lang tuahnya apabila diletakkan sebagai sebuah satuan sintakse
yang diurai maknanya. Di hadapan analisis, kata ”rakyat” akan
ja­di sebuah problem.
Artinya (seperti arti kata umumnya) ternyata bergantung pada
bedanya dengan kata lain tempat ia dipasangkan. ”Rakyat” ber­
arti­bagian penduduk yang tak sedang berkuasa dari sebuah nege­
ri, bila kata itu disandingkan dengan ”pemerintah”. Tapi kata
”rak­yat” bisa berarti sebuah kekuatan tersendiri, juga di dalam
pe­merintahan, seperti dalam istilah ”Republik Rakyat Cina”. Ka­
ta itu juga bisa mengandung makna perlawanan terhadap yang
ma­pan. Tapi ”rakyat” juga bisa berarti suara mayoritas yang, seba­
gai­mana lazimnya mayoritas, berkumpul di bagian tengah kurva
lonceng dalam statistik: sebuah tendensi di luar yang ekstrem.
Saya ingat sebuah sajak Hartojo Andangdjaja yang mencoba
mengutarakan apa itu ”rakyat”. Tapi sebagaimana layaknya puisi,
ia tak menawarkan definisi, melainkan imaji:

Rakyat ialah kita


jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
http://facebook.com/indonesiapustaka

jutaan tangan mengayun bersama


membuka hutan-hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di ko­ta
menaikkan layar menebar jala

Catatan Pinggir 9 433


TENTANG RAKYAT

meraba kelam di tambang logam dan batubara


Rakyat ialah tangan yang bekerja

Rakyat ialah kita


otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang siur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka

Rakyat ialah kita


beragam suara di langit tanah tercinta...
Rakyat ialah suara beraneka

Sajak itu—agak terlalu panjang bagi selera saya—saya potong


di bait itu. Tapi saya kira kita bisa menyimpulkan apa yang hen-
dak dikemukakan penyairnya: Rakyat adalah subyek. Tapi sub-
yek itu bukan terbentuk sebagai substansi yang sudah ada dan
akan selalu ada; rakyat bukanlah ”kehadiran” yang tegak sebelum­
dan sesudah ”kemauan” atau ”perbuatan” atau ”keputusan”. Bagi
Hartojo, ”rakyat” lahir dari kerja, berpikir, mencipta. Subyek itu
hanya jadi subyek dalam praksis.
Dalam hal ini kata ”rakyat” sejajar dengan pengertian ”prole-
tariat” dalam pengertian Sartre: kaum proletar ”membentuk diri­
nya sendiri dari aksi hari-ke-hari”. Ia ada hanya melalui aksi. ”Ia
adalah aksi. Kalau ia berhenti beraksi, ia buyar.”
Tentu saja ada beda antara gambaran tentang ”rakyat” dalam
sa­jak Hartojo dan asal-usul ”proletariat” dalam definisi Sartre.
”Rakyat” dalam puisi Hartojo lebih merupakan subyek produksi
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan kreasi ketimbang subyek politik. Rakyat sebagai subyek poli-


tik diasumsikan sebagai sesuatu yang tidak ”buyar” (decomposed),
dengan kata lain: utuh dan tunggal, sedangkan rakyat dalam
ima­ji puisi Hartojo tidak. ”Rakyat adalah suara beraneka.”

434 Catatan Pinggir 9


TENTANG RAKYAT

Dalam sejarah demokrasi, selalu ada pertemuan, perbenturan


dan persilangan antara rakyat sebagai subyek politik dan rakyat
sebagai ”suara beraneka”. Menjelang demokrasi modern lahir dari
rahim Revolusi Prancis, Rousseau mengatakan bahwa apa yang
membuat ”kemauan publik” bukanlah ”jumlah pemilih”, me-
lainkan ”kepentingan bersama yang menyatukan mereka”.
Persoalannya, kemudian, bagaimana ”menyatukan” suara
yang ”beraneka” itu. Robespierre, yang selalu cenderung untuk­
ber­sikap ekstrem, mengambil kesimpulan bahwa ”kita perlu satu
kemauan yang tunggal”, une volonté UNE, seperti ditulisnya da­
lam catatan pribadinya pada tahun 1793. Dari sini kita tahu apa
yang dilakukannya: teror terhadap mereka yang tak dianggap
me­nolak jadi tunggal, pembasmian mereka yang ”bukan-rakyat”.
Dipimpin Robespierre, Revolusi Prancis bisa membebaskan, tapi
juga bisa dengan bengis menghilangkan kebebasan.
Sebab orang seperti Robespierre merasa tahu betul apa yang
di­sebut ”rakyat” dan akhirnya terjebak: ia sendiri dipenggal oleh
me­reka yang juga merasa mewakili ”rakyat”. Ia orang berniat
baik—sebagaimana banyak intelektual dewasa ini—yang kare-
na niat baiknya melihat rakyat sebagai subyek politik yang diberi
status ontologis: rakyat tak lagi sesuatu yang dibentuk oleh prak-
sis, melainkan yang membentuk praksis. Pada gilirannya, ”rak­
yat”­jadi bagian dari sebuah mitologi, atau setidaknya bagian dari
mantra.
Tapi demokrasi kemudian belajar: jika sistem ini bermula seb-
agai ”pemerintahan oleh rakyat”, ia berangsur-angsur menerima
bahwa ”rakyat” adalah sebuah subyek yang tak ”hadir”. Para pen-
dukung demokrasi memang sering terkecoh. Mereka alpa bahwa
http://facebook.com/indonesiapustaka

rakyat adalah subyek yang, sebagai subyek, tak sepenuhnya bisa


diterjemahkan oleh bahasa. Ia bisa berganti-ganti maknanya—
so­sok­nya, suaranya, lakunya.
Maka tak mengherankan bila percakapan dan debat—dengan­

Catatan Pinggir 9 435


TENTANG RAKYAT

si­kap membela rakyat—yang kita ikuti di koran dan televisi sela-


ma ini bisa tiba-tiba dipergoki oleh kenyataan bahwa rakyat tak
mendengarkan hiruk-pikuk itu.
Jika kita bisa belajar, mungkin sejak ini sebaiknya kita selalu
bisa bertanya: tentang rakyat, apa sebenarnya yang kita tahu?

Tempo, 19 Juli 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

436 Catatan Pinggir 9


TEROR ITU

J
ika bom itu tak hanya mengejutkan, tapi membuat kita
ma­rah dan sedih, jika beberapa orang bahkan menangis pagi
itu, ketika dua ledakan membunuh sembilan orang dan me-
lukai entah berapa lagi di Hotel Ritz-Carlton dan JW Marri­
ott di Jakarta, apa sebenarnya yang terjadi? Saya tak tahu persis­
ja­wabnya. Kematian dan luka-luka itu mengerikan, tapi saya de­
ngar­kan percakapan, saya baca pesan di HP, dan saya mungkin
bi­­sa mengatakan bahwa kita marah, sedih, dan menangis ka­­re­
na ti­ba-tiba kita menyadari, betapa terkait kita dengan sebuah ta­
nah air: sebuah negeri yang selama ini seakan-akan bisa di­abai­
kan,­atau hanya disebut dalam paspor—sebuah Indonesia yang
se­­akan-­akan selamanya akan di sana dan utuh tapi kini ter­an­
cam­­—Indonesia yang dulu mungkin hanya menempel dire­kat­­­
kan­ke kepala karena pelajaran kewarganegaraan di sekolah, ka­
re­na pidato di televisi.
Ketika bom itu mengguncang kita, pagi tiba-tiba jadi lain.
Pagi itu kita merasa secara akut jadi bagian dari tubuh imajiner
itu—justru ketika tubuh itu dilukai. Tiba-tiba kita merasa berada
di sebuah perjalanan bersama yang dicegat dengan kasar dan se-
perti hendak direnggutkan dari masa depan yang bisa memberi
kita sedikit rasa bangga. Tiba-tiba kita takut kita akan tak bisa
me­ngatakan, ”Saya datang dari sebuah negeri yang pelan-pelan
membuat saya tidak malu lagi.”
Teror itu akhirnya memusuhi sesuatu yang lebih berarti ke­
timbang apa saja yang semula dimusuhinya—jika yang dimusuhi
http://facebook.com/indonesiapustaka

adalah ”Amerika”, atau ”Barat”, atau ”SBY”, atau ”demokrasi”,


atau ”kehidupan sekuler”, atau apa pun. Ketika kita merasa seper­
ti kehilangan sebuah republik yang dibangun bersama—dengan
segala variasi yang tumbuh dalam bangunan itu—teror itu prak-

Catatan Pinggir 9 437


TEROR ITU

tis memusuhi sebuah cita-cita sekian puluh juta manusia yang be-
bas. Ia memusuhi Indonesia.
Pada momen itu, kita sebenarnya bisa berkata: kita akan mela-
wan. Pada saat itu, kita tahu, teror itu tak akan menang. Memang
sejenak ia bisa bikin gugup, menyebabkan reaksi yang berlebihan,
juga dari seorang presiden yang biasanya tenang. Tapi bom itu,
teror itu, tak akan bisa mendapat lebih dari itu.
Di zaman ini, para teroris memerlukan pentas dan penonton.
Ada panggung untuk mempertunjukkan akrobatik mereka. Ada
penonton yang menyaksikannya dan merasakan dampaknya ke
dalam hidup mereka, sejenak ataupun lama. Kengerian, kebuas­
an, dan kenekatan itu adalah bagian dari spectacle itu, seperti
dalam sirkus. Tapi, apa sesudah itu?
Kita ingat 11 September 2001: sebuah pertunjukan spektaku­
ler­dengan pentas yang kolosal: dua pesawat berpenumpang pe­
nuh ditabrakkan ke dua gedung pencakar langit di Kota New
York, pada sebuah pagi yang cerah. Sekitar 3.000 orang tewas.
Teror adalah sebuah show dan sekaligus statemen. Tapi statemen
itu tidak pernah jadi jelas, juga bagi jutaan penonton. Efeknya
meng­haru biru, tapi ia tak menyebabkan sang musuh (”Ameri-
ka”) ber­tobat atau runtuh. Teror akhirnya bukanlah untuk meng-
gerakkan dukungan yang konsisten untuk perubahan. Teror tak
punya daya transformatif. Teror bukan sebuah revolusi.
Dan ia juga tak bisa mengelak dari ”the law of diminishing re­
turn”. Tiap pertunjukan yang ingin menarik perhatian akan sam-
pai pada suatu titik, di mana ia tidak bisa lagi jadi rutin. Ketika
ia jadi rutin, diulang berkali-kali tanpa hasil yang berarti, kecuali
membunuh sejumlah orang tak bersalah (bahkan ia tak bisa ber-
http://facebook.com/indonesiapustaka

panjang-panjang membuat gentar), ia kehilangan lagi tujuannya.


Bahkan ia bisa kehilangan kejutnya. Dalam film Brazil Terry
Gilliam, horor dan komedi bersatu. Adegan dimulai dengan se-
buah etalase dan iklan televisi yang menawarkan pipa pengha­

438 Catatan Pinggir 9


TEROR ITU

ngat­ ruang. Seorang perempuan lewat dan sejenak, sebelum se-


buah bom meledak. Tapi tak ada jerit. Tak ada sirene. Yang ter-
dengar melodi Aquerela do Brasil dari Ary Barroso yang riang dan
ringan. Teror telah demikian jadi bagian dari hidup sehari-hari
da­ri sebuah kota yang terletak di sebuah zaman entah berantah.
Dalam film tentang kekerasan selama 13 tahun itu (yang disebut
oleh seorang pejabat sebagai ”keberuntungan sang pemula”) kita
tidak tahu lagi apa sebenarnya yang diperjuangkan Archibald
”Harry” Turtle, sang superteroris, yang dalam film cuma muncul
sejenak. Teror telah jadi seperti ”seni untuk seni”.
Kita belum sampai ke tingkat seperti komedi hitam Terry Gil-
liam, di mana yang seram dan yang sehari-hari membentuk se-
buah dunia yang ganjil. Tapi agaknya para teroris akan mulai ter-
bentur pada pertanyaan: apakah yang mereka lakukan sebenar­
nya—sebuah pertunjukan teror untuk teror? Sebuah pameran
kepiawaian menghilangkan jejak, merancang operasi di tengah
kesulitan, dan tak lebih dari itu?
Saya kira tak lebih dari itu. Dan ketika pertunjukan buas yang
kehilangan tujuan itu berhadapan dengan sesuatu yang lebih
berharga—sebuah harapan, sebuah ikhtiar untuk sebuah negeri
yang aman dan demokratis—kita tahu siapa yang akan menang.
Kita. Indonesia.

Tempo, 26 Juli 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 9 439


http://facebook.com/indonesiapustaka

440
Catatan Pinggir 9
POLITESSE

D
I sebuah TPS, pada pukul 9 pagi: para tetangga datang,
saling menyapa, saling senyum, bercakap-cakap agak
li­rih, duduk menunggu dengan tertib, kemudian bergi­
liran masuk ke ruang kotak suara, mencontreng, mencelupkan
ja­ri ke tinta hitam, lalu melangkah ke luar, menyambung senyum
dan percakapan, tentang tetangga yang sudah pindah, tentang
anak yang baru menikah, tentang selokan yang belum diperbaiki,
tentang segala hal—kecuali tentang partai atau tokoh yang telah
dan akan dipilih hari itu.
Politik: apa gerangan ia sebenarnya? Di TPS itu tak ada gelora
yang berapi-api. Para militan dan partisan sedang mengubah diri
ja­di warga RT (jangan lupa, artinya, ”Rukun Tetangga”). Poli-
tik seakan-akan berhenti jika politik, (das Politische, kata Carl
Schmitt) adalah sebuah arena kekuasaan, sengketa, dan antago­
nis­me. Tapi benarkah?
Berhari-hari sebelumnya kampanye memang menderu sega­
nas­ deretan panser dalam perang yang, dengan bendera yang
ang­kuh,­ menembakkan kata-kata yang ingin menghancurkan.
Ta­pi­pada hari itu, di TPS itu, para tetangga yang bertentangan
da­­lam­ menentukan pilihan dengan serta-merta tampak jinak:
orang-­orang yang saling mengucapkan selamat pagi. Mereka se­
per­ti sa­ling­mengerti: pilihanmu adalah pilihanmu, pilihanku pi­
lih­­anku. Nanti, menjelang sore hari, mereka akan dengan tegang
me­nan­ti hasil penghitungan suara, tapi setelah itu....
Beberapa minggu kemudian anggota DPR ditentukan, presi­
http://facebook.com/indonesiapustaka

den dan wakil presiden dilantik. Dan segera setelah itu tak terasa
lagi kemeriahan, gereget, dan semangat.
Ada yang menyambut hilangnya gairah yang berapi-api itu
se­bagai tingkat matang demokrasi sebuah kebajikan. Ada yang

Catatan Pinggir 9 441


POLITESSE

menunjukkan bahwa ajang politik memang bukan medan tem-


pur. Bagi mereka ini, politik berbeda dari polimos atau perang.
Politik, bagi mereka ini, adalah ruang kemerdekaan dan partisi­
pa­si publik. Di sana orang ramai membahas, menimbang, dan
me­­mutuskan nasib bersama. Dengan kata lain, di TPS itu tam-
pak, apa yang ”sosial” dalam hidup manusia ternyata tak dihabisi
oleh ”politik”bahkan sebaliknya.
Tapi ada yang menganggap itu hanya façade. Antagonisme
me­mang bisa ditutup-tutupi oleh proses politik sebagai Politesse.
Dipergunakan oleh Schmitt, istilah itu menyarankan sebuah laga
yang sengit tapi sopan. Tapi bagi Schmitt dan para teoretikus­po­
li­tik­yang sepaham, politik tak sama dengan pertandingan Man-
chester United vs Chelsea. Sebuah masyarakat dan sebuah bangsa
terbentuk dari luar dan dari dalam oleh konflik. ”Saya menegas-
kan, politik dan polimos berjalan bergandengan,” kata Chantal
Mou­­ffe.­
Tapi jangan-jangan tak begitu sebenarnya, dan barangkali
kita di sini bertemu dengan sebuah hiperbol. Dalam pengamatan
se­hari-hari, politik tak hanya bergandengan dengan polimos. Pada
akhirnya Mouffe sendiri mengatakan, berbeda dari Schmitt, ia
meng­­akui perlunya ”pasifikasi”: tujuan demokrasi adalah me-
mungkinkan bentuk-bentuk yang bisa mengekspresikan konflik
tan­pa menghancurkan asosiasi politik.
Di TPS itu, senyum dan percakapan ikut membangun proses
sederhana yang mengelakkan sikap saling menghancurkan. Bah-
kan seakan-akan tempat itu jadi tempat silaturahmi atau bertan-
dang—meskipun kita tahu, dan orang pun akhirnya mengerti,
ada yang tak selamanya tuntas dalam Politesse. Selalu ada residu
http://facebook.com/indonesiapustaka

dari apa yang brutal dalam politik, selalu masih ada amarah yang
tersisa dan dendam yang tersekat di saat para musuh politik ber-
jabat tangan.
Betapapun berlebih-lebihannya gambaran politik sebagai are-

442 Catatan Pinggir 9


POLITESSE

na pertempuran, pengalaman sejarah memang tak pernah meng-


hadirkan sebuah masyarakat yang utuh penuh. Keragaman tak
ha­nya bisa tampak bagai variasi, tapi juga sebagai pertikaian,
bah­kan perpecahan. Manusia bisa rasional, dan itulah dasar yang
membuat orang percaya akan efektifnya demokrasi ”deliberatif”.
Tapi manusia tak hanya—dan tak selama-lamanya—memben-
tuk bangunan sosial-politiknya hanya dengan berembuk.
Apa boleh buat. Krisis gagasan besar kini ada di mana-mana.­
Juga agama tak selamanya bersuara dengan meyakinkan lagi. Ki­
ta hidup di sebuah masa ketika kita dihadapkan pada kesadaran
yang meluas bahwa manusia adalah bermacam-macam kemung-
kinan. Seorang pemikir pernah menyebut zaman ini sebagai ”the
age of contingency”.
Politik pada akhirnya adalah pengakuan akan kontingensi itu.
Kontingensi adalah sebuah lubang besar: tak ada jaminan yang
kekal tentang apa yang baik dan tak baik mengenai masyarakat.
Jaminan itu hanya terjadi bukan setelah (dan bukan sebelum) di-
perjuangkan. Salah satu bentuk perjuangan terjadi sebenarnya
ke­tika kita masuk ke ruang untuk mencontreng. Di situ kita se-
benarnya membangun jaminan dengan harapan yang setengah
yakin bahwa besok apa yang dibangun itu tak akan runtuh.
Di luar TPS itu tak ada jaminan apa-apa. Tapi setidaknya juga
tak ada pisau yang dihunus dan pistol yang dicabut. Yang kalah
akan bersungut-sungut, yang menang akan tersenyum puas, dan
masing-masing akan melanjutkan sikap waspada. Tapi ada satu
faktor yang sering dilupakan dalam politik pada zaman yang ser-
ba-mungkin itu: waktu.
Waktu membuat kita bisa menunggu, menunda, bersiap, ber­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ubah posisi atau mengantar kita ke kematian. Waktu membatasi,


tapi juga membuka pintu. Kita mencoba. Dengan kata lain, kita
mengambil langkah sementara. Dalam ”the age of contingency”,
demokrasi adalah politik dengan kesadaran akan kesementara-

Catatan Pinggir 9 443


POLITESSE

an—seperti hitam tinta yang melumeri kelingking kita di TPS


itu.

Tempo, 2 Agustus 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

444 Catatan Pinggir 9


SI BUNTUNG

J
ANGAN bicara kepada saya tentang jihad. Hari ini saya su-
dah tak tahu lagi apa maksudnya.
Tuan bisa berkata, jihad bukanlah kekerasan. Tapi berba­
reng­dengan itu orang lain berkata jihad itulah yang membe­
narkan bila orang yang dianggap kafir atau murtad dibunuh.
Tiap tafsir bisa dibantah tafsir lain. Kepada siapa saya bisa minta
kata akhir tentang apa sebenarnya yang diperintahkan agama?
Maka jangan bicara kepada saya tentang jihad. Terorisme tak
per­lu dan tak bisa diterangkan dengan sabda atau fatwa. Bom
yang diledakkan untuk membunuh dan bunuh diri itu justru
mungkin akan lebih jelas bila dilihat sebagai sesuatu yang tak da­
pat diutarakan oleh (dan dalam) sabda dan fatwa.
Siapa yang melihat hubungan antara terorisme dan ajaran,
apa­lagi ideologi, melupakan bahwa ada sesuatu yang lebih dahu-
lu, dan lebih bisu, ketimbang ajaran dan ideologi—yaitu luka.
Yang menyedihkan dalam sejarah ialah bahwa luka itu tam-
paknya tak terelakkan. Akan ada selalu orang-orang buntung. Ka­
ta ini tak menunjukkan luka potong yang harfiah; di sini, ”bun­
tung”­adalah lawan kata ”beruntung”. Seorang teman di­Bonn ta­
di­pagi mengirim sebuah tulisan Hans Magnus Enzens­ber­ger dan
di sana saya menemukan apa yang saya maksud. Dalam bahasa
Jer­man Enzensberger menyebut si buntung ”Verlie­rer”; dalam ba-
hasa Inggris ”loser”.
Si buntung—dan ia tak hanya seorang—lahir dari semacam
kecelakaan yang niscaya ketika manusia mengorganisasi dirinya­
http://facebook.com/indonesiapustaka

sendiri. Enzensberger menyebut ”kapitalisme”, ”persaingan”,


”im­perium”, dan ”globalisasi”, tapi kita bisa menambahkan bah-
wa terbentuknya negara-bangsa atau lembaga agama—bahkan
da­lam sejarah kota dan banjar—juga menyebabkan ada orang-

Catatan Pinggir 9 445


SI BUNTUNG

orang yang terbuncang, tertinggal, kalah, bahkan separuh atau


se­­luruhnya hancur. Mereka yang luka. Si buntung.
Sejarah juga mencatat, si buntung bisa memilih untuk mene­
rima nasib. Si korban bisa menuntut pampasan. Si kalah bisa me­
nunggu kesempatan lain. Tapi ada yang oleh Enzensberger dise-
but sebagai ”si buntung radikal”: ia yang mengisolasi diri, menja-
dikan dirinya tak kelihatan, merawat khayal atau phantasma-nya,
menyimpan tenaga, dan menanti sampai saatnya datang.
Tapi saat itu bukanlah saat untuk menebus nasibnya yang pa­
rah. Si buntung radikal, menurut Enzensberger, mengatakan ke-
pada dirinya sendiri: ”Aku buntung, dan tak bisa lain selain bun-
tung.” Ia tak melihat hidupnya berharga, dan tak memandang
hi­dup orang lain berharga pula. Maka ketika saat itu tiba dan ia
meng­gebrak, si buntung siap membinasakan orang lain sekaligus
di­rinya sendiri.
Tapi agak berbeda dari Enzensberger, saya tak menganggap
bah­wa seluruh momen penghancuran itu sebuah pernyataan ke-
beranian yang putus asa. Yang meledak juga bukan hasrat terpen-
dam untuk mengekalkan ke-buntung-an. Bukankah pada saat
itu, seperti dikatakan Enzensberger sendiri, akhirnya si buntung
ra­dikal bisa melihat dirinya jadi ”tuan dari hidup dan kematian”?
Ia jadi seorang militan. Ia jadi subyek. Sejenak ia membebaskan
di­ri dari statusnya yang celaka: untuk memakai kata-kata dalam
sebuah sajak Chairil Anwar, ”sekali berarti, sudah itu mati”.
”Ber-arti”, atau mendapatkan harga dan makna, itulah yang
diberikan oleh ajaran atau ideologi. Tentu saja karena ada keco­
cok­an antara si buntung radikal dan ajaran atau ideologi itu: pe­
tu­a h dan petunjuk itu, tentang jihad atau perang, lahir dari tafsir
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang diutarakan dari sebuah situasi luka.


Enzensberger memaparkan luka itu—dalam sejarah Islam—
sebagaimana yang umumnya sudah diketahui. Jika ”Islam” ada­
lah nama bagi sebuah peradaban, yang terjadi adalah sebuah ri-

446 Catatan Pinggir 9


SI BUNTUNG

wayat panjang tentang arus yang surut. Enzensberger mengutip


sajak penyair muslim kelahiran India, Hussain Hali (1837-1914),
yang menggambarkan bagaimana peradaban yang pernah jaya
pa­da abad ke-8 itu akhirnya ”tak memperoleh penghormatan da­
lam ilmu/tak menonjol dalam kriya dan industri”.
Yang kemudian berlangsung adalah Islam yang hanya memu­
ngut, cuma meminjam, dan tak bisa lagi memperbaharui. Teruta­
ma di dunia Arab, yang pada satu sisi bangga telah jadi sumber­da­
ri sebuah agama yang menakjubkan tapi di sisi lain terus-me­ne­
rus menemukan kekalahan. Enzensberger menulis: ”Bagi setiap
orang Arab yang peduli untuk merenungkannya, tiap benda­yang
kini hampir mutlak dipakai di kehidupan sehari-hari... mewa­
kili­ sebuah penghinaan yang tak diucapkan—tiap kulkas, tiap
pe­sawat telepon, tiap colokan listrik, tiap obeng, apalagi produk
teknologi tinggi”.
Bahkan terorisme—dari gagasan, gaya, serta peralatannya—
datang pada abad ke-20 dari ”Barat” yang mereka haramkan.
Lingkaran setan tak dapat dielakkan lagi. Yang terpuruk jadi
me­rasa tambah terpuruk justru ketika ingin membebaskan diri.
Dalam lingkaran itu kebencian pun berkecamuk—gabungan an-
tara kepada ”mereka” dan juga kepada diri sendiri. Tak meng­
heran­kan, di wilayah ini, si buntung radikal berkelimun.
Akankah ada pembebasan? Mungkinkah pembebasan? Saya
percaya, jadi buntung bukanlah hukuman yang kekal. Tapi un-
tuk itu agaknya diperlukan sebuah lupa. Si buntung perlu tak
mengacuhkan lagi luka sejarah. Ia perlu melihat kekalahannya
se­bagai bagian dari pengalaman dan memandang pengalaman
itu sebagai, seperti kata petuah lama, guru yang baik.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tapi saya sadar, si buntung radikal akan sulit untuk bersikap


demikian. Terutama ketika ia menerima ajaran bahwa lukanya
ada­lah luka di luar sejarah. Maka bom diledakkan, surga yang
ke­kal dijanjikan, jihad ke kematian jadi langkah awal dan akhir.

Catatan Pinggir 9 447


SI BUNTUNG

Dan selebihnya beku.

Tempo, 9 Agustus 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

448 Catatan Pinggir 9


RENDRA, (1935-...)

S
AYA tak bisa mengerti bagaimana Rendra ”pergi selama-
la­manya”, kecuali bahwa jasad itu dimakamkan, 7 Agus-
tus 2009, dalam umur hampir 74. Rendra tak pernah
mati: ia telah memberi kita puisi.

Lalu terdengarlah suara


di balik semak itu
sedang bulan merah mabuk
dan angin dari selatan.

Sajak seperti ini ditulis sekitar setengah abad yang lalu. Tapi
deskripsinya yang bersahaja dan terang tetap menyembunyikan
se­suatu yang seakan-akan baru terungkap secara mendadak buat
pertama kalinya hari ini. Rendra menghadirkan yang tak ter-
hingga. ”Tujuh pasang mata peri/terpejam di pohonan”. Imaji se-
perti itu terus-menerus tak bisa dibekukan oleh tafsir.
Puisi tentu saja bisa beku, juga puisi Rendra. Ini terjadi ketika
apa yang tumbuh dan hidup dari dalamnya—yaitu yang fantas-
tis, yang ganjil, yang misterius—ditiadakan. Ini yang terjadi ke-
tika puisi diambil alih perannya oleh ajaran, dengan niat bisa ber-
guna secara efektif. Dan zaman bisa membutuhkan itu: karena
ke­adaan, kita dengan brutal menuntut puisi untuk mati suri.
Saya tak ingin Rendra, yang sebagai penyair rela mengorban­
kan­banyak hal—termasuk apa yang terbaik dari dirinya—harus
dikorbankan berkali-kali.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sebab itu, ketika kini Rendra hanya diingat sebagai suara kri-
tik dan kearifan sosial yang menggugah, saya ingin mengenang-
nya lebih dari sekadar itu.
***

Catatan Pinggir 9 449


RENDRA, (1935-...)

Di sekolah menengah pertama sekitar tahun 1955, saya terpe­


sona membaca sajak Litani Domba yang Kudus di majalah Kisah.
Sajak Rendra ini melantunkan pengulangan yang berbunyi se-
perti dalam doa, tapi juga seperti permainan anak-anak yang
tang­kas, dengan imaji yang datang dari khazanah yang terasa ak­
rab—yang datang dari latar agama Katolik yang membesarkan
sang penyair. Seperti sebuah sajak lain dari masa ini, yang ditu-
lisnya sekitar hari sakramen pernikahannya dengan Sunarti Su-
wandi:

Di gereja St Josef
tanggal 31 Maret 1959
di pagi yang basah
seorang malaikat telah turun.
Seorang malaikat remaja
dengan rambut keriting
berayun di lidah lonceng.
Maka sambil membuat bahana indah
dinyanyikan masmur
yang mengandung sebuah berita
yang bagus.
Dan kakinya yang putih indah
terjuntai

Suara itu sungguh berbeda dari corak umum puisi tahun


1950-an lain. Puisi Rendra adalah sebuah kecenderungan naratif
yang unik, lincah, cerah, dan acap kali amat manis.
Seorang kritikus, Subagio Sastrowardojo, menunjukkan bah-
http://facebook.com/indonesiapustaka

wa dalam sajak-sajak Rendra terdapat pengaruh kuat puisi pe-


nyair Spanyol Federico Garcia Lorca, yang di Indonesia waktu itu
di­perkenalkan dengan bagus oleh Ramadhan K.H. Tapi orang
ju­ga bisa mengatakan, dalam puisi Rendra masa itu bergema lagu

450 Catatan Pinggir 9


RENDRA, (1935-...)

dolanan anak-anak Jawa. Bagi saya itu menunjukkan, tak seperti


Chairil Anwar dan Rivai Apin yang berseru memilih laut dan
me­ninggalkan daratan, Rendra—seperti Lorca, seperti dolanan
anak-anak dusun—lebih akrab dengan lanskap yang terdiri atas
bukit, jalanan, rumpun, daun, dan burung-burung. Dalam buku
Empat Kumpulan Sajak, ada kutipan sepucuk suratnya kepada sa­
habatnya, D.S. Moeljanto, bertahun 1955, yang menyatakan bah-
wa ia ingin ”tetap bergantung pada daun-daun, dan air sungai”­.
Bagi Chairil, Rivai, dan Asrul Sani—mungkin karena mereka­
datang dari lingkungan yang terbentuk oleh adat merantau—la­
ut adalah kemerdekaan, dengan risiko menghadapi malapetaka
dan kesendirian. ”Apa di sini,” kata Rivai Apin memaki tanah
asal dalam salah satu sajaknya, ”batu semua!”
Puisi Rendra, sebaliknya, tak merayakan laut, tak menggam-
barkan diri sebagai kelasi yang hanya singgah di bandar asing de-
ngan perempuan yang cukup dipeluk untuk beberapa saat.
Pada 1953, dalam sebuah pidato tentang Chairil Anwar di ha-
dapan ”sastrawan-sastrawan muda Surakarta”, ia mengecam para
se­niman yang meniru-niru ”jalang”-nya Chairil Anwar. Para
pem­buntut macam itu, kata Rendra, hanya ”menjalang dengan
otak babinya”.
Rendra tak terbatas mengkritik para epigon Chairil Anwar.
Ter­hadap sikap Chairil sendiri ia menarik garis. ”Konsekuen­
si­dari ajakan melepas nafsu Chairil dalam sajaknya Kepada Ka­
wan,” demikian kata Rendra, ”adalah penghapusan undang-un-
dang, yang berarti lebih dahsyat dari bom atom.”
***
Pandangan itu kemudian berubah; kita memang tak bi­sa
http://facebook.com/indonesiapustaka

berbicara tentang satu Rendra. Ia kemudian mempesona kita ke­


tika­ia berbicara tentang peran soal ”orang urakan”: orang-orang
yang, seperti Ken Arok dalam sejarah, berada di luar ketertiban
hu­kum, bahkan merupakan antitesis dari ketertiban sebagai ide-

Catatan Pinggir 9 451


RENDRA, (1935-....)

ologi yang berkuasa, dan dengan posisi itu, para ”urakan” justru
berperan untuk pembaharuan, transformasi sosial, dan pembe-
basan.
Pada akhirnya, posisi ”urakan” bagi Rendra lebih penting dan
le­bih menarik ketimbang posisi pembela ketertiban. Meskipun ia
tak pernah memaki tanah asal sebagai ”batu semua!” sebagaima-
na Rivai Apin, ia tak pernah tergerak untuk mensakralkan tem-
pat tinggal, rumah, dan negeri asal.
Hubungannya dengan tradisi, dalam hal ini tradisi Jawa, tak
akrab. Baginya kebudayaan Jawa adalah sebuah ”kebudayaan ka-
sur tua”: sebuah tempat mandek yang hanya enak buat tidur nye­
nyak.
Tapi ia melihat tradisi dan masa lalu tak satu. Masa lalu yang
di­kecamnya adalah ”kebudayaan Jawa baru, yang kira-kira di­
mu­lai abad ke-18 atau akhir abad ke-17”. Ada masa lalu lain, yang
menurut Rendra dilupakan orang Jawa sendiri. Dalam ”tem-
bang-tembang kuno,” katanya, ”ada ajaran yang mengajak kita
un­tuk mandiri, untuk berdiri sendiri, untuk mengada.”
Rendra tak menyebut dengan jelas ”tembang kuno” mana
yang mengajarkan demikian. Ia hanya menyebut kisah Dewa Ru­
ci, kisah tentang Bima yang mencari dan kemudian menemukan­
”dirinya sendiri”. Agaknya yang jadi soal bukanlah tradisi itu sen­
diri, tapi kemandekan yang mencekik individu. Dalam kebuda­
ya­an tradisional yang ada, kata Rendra, ”individu belum dike­te­
mukan”.
Pada 1967 ia pergi ke Amerika Serikat, dan hidup di Kota
New York. Dari sana datang beberapa puisinya yang matang dan
memukau, yang terkumpul dalam Blues untuk Bonnie. Dalam se-
http://facebook.com/indonesiapustaka

pucuk surat yang ditulisnya dari sana, bertanggal 29 Mei 1967, ia


mengatakan, ”Perubahan terjadi di dalam saya.... Adapun yang
paling memberikan kesan pada kesadaran saya dewasa ini ialah
ilmu pengetahuan. Saya merasakan ini sebagai imbangan yang

452 Catatan Pinggir 9


RENDRA, (1935-....)

se­hat untuk kesadaran mistik dan seni yang ada dalam diri saya.”
Dari sini ia berbicara untuk melaksanakan ”firman moder­­ni­
sasi”. Ia bersuara tentang agar orang Indonesia ”melawan alam”.
Ini ditandaskannya kembali ketika ia, bersama awak Bengkel
Tea­ter Yogya memperingati Hari Sumpah Pemuda pada 1969. Ia
berpidato dengan teks yang ditulis tangan. Ia berbicara bagaima-
na di Barat kehidupan diatur oleh mesin bikinan manusia, dan
bagaimana di Indonesia individu bagaikan sekrup dan gotri yang
ditentukan perannya oleh semacam mesin lain, yakni alam. Indi-
vidu tak bisa merdeka, katanya, karena seluruh hidupnya hanya
merupakan onderdil yang sudah ditetapkan status dan tugasnya
dalam tradisi. Panggilan zaman yang sekarang adalah melawan-
nya, kata Rendra.
Di sini ada gema yang kembali dari pemikiran yang dibawa­
kan para sastrawan pada 1930-an, terutama oleh S. Takdir Ali­
sjah­bana. Suara itu kemudian dilanjutkan Soedjatmoko keti­ka
menulis pengantar buat majalah Konfrontasi pada 1955: ia men­
jelaskan kenapa harus ada ”konfrontasi” dengan ”faktor-faktor
ke­budayaan” yang tidak mendukung pembangunan bangsa.
Ren­dra meneruskan ”firman modernisasi” itu.
Tapi dunia modern, sebagaimana dicemaskan Sanusi Pane, se­
orang penganut Theosofi yang memuja masa lalu India, punya sisi
gelap. Tak ada yang baru di sini: Max Weber meramalkan bahwa
”akal instrumental” yang memacu dunia modern pada akhirnya
akan membawa manusia ke dalam ”kerangkeng besi”. Mazhab
Frank­furt melihat ”Pencerahan” yang membawa ”firman mo­
dern­isasi” pada akhirnya melahirkan penindasan.
Sanusi Pane memandang sisi gelap itu seraya memegang gam-
http://facebook.com/indonesiapustaka

baran tentang ”Timur” dalam idealisasi kaum Orientalis. Akhir­


nya, sebagai kelanjutan sikap ”anti-Barat”, penyair Madah Kelana
itu memuja semangat Jepang yang fasistis.
Berbeda dari Sanusi, kaum inteligensia Indonesia yang hidup

Catatan Pinggir 9 453


RENDRA, (1935-....)

dalam dasawarsa 1970 dan 1980 punya acuan lain.


Inilah masa ketika Soedjatmoko, yang agaknya terpengaruh
oleh Schumacher, dan Schumacher yang terpengaruh oleh Bu­d­
dhis­me, berbicara tentang perlunya ”teknologi madya”. Ini juga
masa ketika Arief Budiman mengedepankan ”teori dependenzia”
yang mengecam ”ketergantungan” Dunia Ketiga kepada modal.
Ini juga masa ketika Rendra mementaskan Mastodon dan Burung
Kondor serta Perjuangan Suku Naga, yang mengkritik ”pemba­
ngunan­isme” kekuasaan ”Orde Baru”.
Tampak ada perubahan yang tajam dari seruan ”modernisasi”
dan ”melawan alam” yang ditulisnya pada akhir 1960-an. Saya tak
tahu, adakah perubahan itu mendasar sifatnya dan akan mene-
tap. Dunia sedang bergeser lagi. Semangat ”teknologi madya”
yang merupakan ”Gandhisme baru” tampaknya tak bergema la­
gi, mungkin karena dari ide itu tak ada jawaban bagaimana nege­
ri-negeri miskin akan bertahan menghadapi negeri yang mema­
kai teknologi tinggi. Teori ” dependenzia” sudah ditinggalkan pa­
ra teoretikusnya sendiri di Amerika Latin. Pembangunan sosialis­
model RRC zaman Mao digantikan pembangunan ala borjuis
de­ngan gegap-gempita dan mencengangkan dunia.
Rendra belum menjawab pergeseran besar ini. Tapi ia telah
memberi kita sebuah kearifan yang boleh dibilang inti dari ”fir-
man modernisasi” yang sering dilupakan. Kearifan itu tersirat
dari kata-katanya: ”Kreativitas saya adalah kreativitas orang yang
bertanya pada kehidupan.”
***
Puisi bukanlah sebuah pertanyaan, tapi puisi tak ingin men-
jebak kita dengan jawaban. Seorang penyair akan merasakan
http://facebook.com/indonesiapustaka

gundah ketika orang ramai menuntutnya jadi pemberi fatwa.


Rendra—di pentas selalu karismatis, suaranya memukau—
akan dengan gampang berada dalam status itu: seorang penyair
yang jadi intelektual publik karena keadaan yang tertekan me-

454 Catatan Pinggir 9


RENDRA, (1935-....)

maksanya demikian, dan seorang intelektual publik yang kata-


katanya berubah jadi khotbah karena orang ramai—dengan do-
rongan tersendiri—mendesaknya.
Saya kira ada kegundahan itu dalam Khotbah, salah satu sajak
yang akan kekal dalam sejarah kesusastraan mana pun.

Fantastis.
Di satu Minggu siang yang panas
di gereja yang penuh orangnya
seorang padri muda berdiri di mimbar.
Wajahnya molek dan suci
matanya manis seperti mata kelinci
dan ia mengangkat kedua tangannya
yang bersih halus bagai leli
lalu berkata:
”Sekarang kita bubaran
Hari ini khotbah tak ada”.

Tapi orang-orang tak beranjak. Mereka tetap berdesak-desak­


an. Mata mereka menatap bertanya-tanya. Mereka ingin benar
men­dengar. Mereka pun berdesah, barbareng, dengan suara
aneh. Padri itu menyaksikan semua itu dengan cemas:

”Lihatlah aku masih muda.


Biarkan aku menjaga sukmaku.
Silakan bubar.
Ijinkan aku memuliakan kesucian.
Aku akan kembali ke biara
http://facebook.com/indonesiapustaka

Merenungkan keindahan Ilahi.”

Tapi orang banyak itu tak membiarkannya. Mereka tak mau


bu­bar. Mereka akhirnya mendesak, dan dalam sebuah orgi yang

Catatan Pinggir 9 455


RENDRA, (1935-....)

buas dan bernafsu, memperkosa sang padri, mencincang daging-


nya, memakannya, dalam suara gemuruh, ”cha-cha-cha, cha-
cha-cha...”.
Fantastis.

Jakarta, 8 Agustus 2009

Tempo, 16 Agustus 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

456 Catatan Pinggir 9


INDONESIA (2)

K
ADANG-KADANG saya berpikir, apa gerangan yang
ada dalam pikiran bapak saya beberapa saat sebelum ia
ditembak mati. Kadang-kadang saya ingin membayang­
kan, ia menyebut nama ”Indonesia” di bibirnya, atau ”Indonesia
mer­deka”, tapi tentu saja ini satu imajinasi klise, dan sebab itu tiap
kali muncul cepat-cepat saya stop. Bukan mustahil bapak keta­
kut­an di depan regu tembak pasukan pendudukan Belanda itu.
Atau ia pasrah? Yang agaknya pasti, beberapa puluh menit, atau
be­berapa puluh detik kemudian, seluruh ketakutan (atau sikap
pasrah, atau jangan-jangan kecongkakan yang tampil seperti ke-
beranian) pun punah: peluru-peluru menembus batok kepalanya.­
Darah muncrat, ia roboh, tak akan pernah pulang lagi.
Di tengah perkabungan, seluruh keluarga kami ketakutan
dan menangis. Hanya ibu yang teguh: seperti tiang rumah yang
ajaib. Ia menangis tapi ia menenangkan kami semua dan meng­
ambil alih persiapan pemakaman dan perkabungan yang tergesa-
gesa itu.
Kini saya mencoba mengerti kenapa ibu dapat demikian kuat.
Ia mungkin sudah tahu, hidup suaminya akan berakhir seperti
itu, atau sedikit lebih baik ketimbang ditembak mati. Ibu telah
menyaksikan bapak keluar-masuk penjara; ia bahkan menyertai
bapak ke pembuangan nun di Digul, di Papua, yang tak terkira­
kan jauhnya. Adakah ia ikhlas? Ibu tak pernah berbicara tentang
suaminya dengan kekaguman kepada seorang pejuang; ia hanya
sesekali berbicara tentang sikap keras hati laki-laki itu: ada saat-
http://facebook.com/indonesiapustaka

saat ia seperti bertapa buat menetralisasi musuh-musuhnya (yang


tak pernah dijelaskan kepada saya siapa), ada saat-saat ia mening-
galkan rumah untuk sebuah rapat gelap di atas perahu, ada saat-
saat ia tak putus-putusnya mendengarkan radio. Selama itu, ibu

Catatan Pinggir 9 457


INDONESIA (2)

tak pernah berbicara tentang ”Indonesia”.


Barangkali karena bagi generasi aktivis politik masa itu—yang
terlibat langsung dalam pergerakan nasional sejak awal abad ke-
20—”Indonesia” sudah dengan sendirinya hadir dalam pikiran,
sehingga mulut tak perlu mengucapkannya lagi. Atau kata ”Indo­
nesia” dengan sendirinya sebuah perlawanan bagi kata ”Hindia
Belanda”. Karena setiap saat dalam aktivitas politik masa itu ada­
lah perlawanan, kata ”Indonesia” sudah tersirat ketika orang siap
masuk penjara. Atau dibuang. Atau ditembak mati.
Ibu membesarkan sisa anak-anaknya yang belum dewasa­de-
ngan praktis: mereka harus makan dan bersekolah. Hampir ha­
nya­ itu. Dalam percakapan keluarga kami sama sekali tak ada
pe­san untuk cinta tanah air. Tapi saya tumbuh, dan saya kira ju­
ga saudara-saudara sekandung saya, dengan ingatan tentang ba­
pak—dan bersama itu, diam-diam, ”Indonesia” pun menong-
krongi diri kami, melibatkan kami. Artinya jadi sangat berarti.
Setidaknya saya tak bisa membayangkan diri saya hidup tanpa
per­tautan dengan ”Indonesia”.
Saya yakin, saya tak sendirian. Bersama yang lain-lain, saya
tak akan bisa merumuskan dengan fasih apa arti ”Indonesia” bagi
saya. Tapi saya melihat teman-teman saya yang tanpa merumus-
kan apa pun berdiri menyanyikan Padamu Negeri seraya siap un-
tuk melakukan tindakan besar bagi orang banyak di negerinya—
misalnya melawan mereka yang menindas. Saya melihat Upik
dan Udin yang berangkat ke Aceh untuk membantu mereka yang
terhantam tsunami dan memasang bendera merah-putih kecil di
ransel mereka. Saya mengenal Tati dan Toto yang—meskipun
tak menyukai apa saja yang ”politik”—berkaca-kaca matanya ke-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tika mendengar Indonesia Raya dengan musik yang agung.


Apa yang mendorong mereka demikian? Mungkin karena ta-
nah air adalah ingatan dan harapan yang menyangkut tubuh: ha­
rum padi yang terkenang, rasa rempah yang membekas, deras

458 Catatan Pinggir 9


INDONESIA (2)

arus yang tak bisa dilupakan, suara ayah yang memuji, lagu ibu
yang sejuk, batuk kakek, dan cerita-cerita kanak yang mengen­
dap dalam kesadaran. Juga harapan: rumah kelak akan diba­
ngun,­anak-anak akan beres bersekolah, karier akan dicapai. Juga
harapan akan melakukan sesuatu yang berarti.
Tapi tentu saja ada mereka yang menolak itu semua—atau tak
merasa terpaut dengan tanah air yang mana pun. Saya kira, mere­
ka yang bersetia kepada gagasan ”Darul Islam” yang tak berpeta
bumi itu adalah contoh yang baik; mereka berpindah dari satu
wi­layah ke wilayah lain, tanpa bertaut ke masing-masing tempat.
Mereka tak bertanah air, sebab tanah air adalah bagian dari bumi
dan badan, sedang mereka yakin bahwa hukum—yang bagi me­
re­ka adalah segala-galanya—tak terpaut pada bumi dan badan,
ruang dan waktu tertentu. Tak akan mengherankan bila ”Indo-
nesia” bagi mereka tak berarti apa-apa. Geografi mereka seder-
hana: sebuah tempat adalah bagian dari wilayah musuh atau wi­
layah diri. Tak ada yang lain.
Kita tahu mereka siap untuk mati, untuk ditembak mati. Tapi
betapa berbedanya dengan mereka yang merasa terpaut dengan
sebuah tempat hidup dan tempat mati. Mungkin sekali di depan
regu tembak itu bapak saya tak menyebut nama ”Indonesia” de-
ngan tekad utuh. Mungkin sekali ibu saya bekerja dengan tekad
untuk anak-anaknya bukan untuk masa depan negeri ini. Tapi
bagi saya mereka seperti kebanyakan kita: bagian dari sesama,
yang hidup fana, di sebuah masa, di sebuah tempat, dan tak per-
nah bisa ditiadakan dengan hukum dan senjata.

Tempo, 23 Agustus 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 9 459


http://facebook.com/indonesiapustaka

460
Catatan Pinggir 9
PADRI

P
ada bulan puasa tahun 1818, Thomas Stamford Raffles
memasuki pedalaman Minangkabau. Ia ingin menemu-
kan Kerajaan Pagaruyung.
Menurut cerita, kerajaan ini tegak sebelum Islam datang, tapi
sejak orang Portugis mendatanginya pada 1648 ia tak pernah lagi
diketahui orang luar. Pagaruyung hidup bagaikan sebuah keraja-
an dongeng, berlanjut sampai hari ini.
Syahdan, Raffles praktis tak menemukan petilasan apa pun.
Yang dilihatnya cuma seonggok puing yang dibatasi pohon bu­a h
dan nyiur. Tapi, seperti ditulis dengan menarik oleh Jeffrey Had­
ler dalam Muslims and Matriarchs, (NUS Press, 2009), Raffles
mam­pu merekonstruksi sebuah masa lalu dari fantasi hingga jadi
sejarah, mungkin melalui ”a feat of archeological alchemy”. Maka
lahirlah Pagaruyung yang megah tapi tak bersisa. Konon ia tiga
ka­li terbakar dan reruntuhannya terabaikan selama Perang Padri
yang waktu itu baru tiga tahun berlangsung.
Bagi Raffles, (ia masih Letnan-Gubernur Inggris di Bengku­
lu), tema itu penting. Ia seorang Inggris yang tertarik kepada apa
sa­ja yang ”India”, dan ingin membuktikan adanya kekuasaan
Hin­­du-Melayu yang kemudian runtuh karena datangnya Islam.­
Ter­sirat dalam pandangannya, Islam adalah kekuatan pendatang
yang tak membangun apa-apa. Apalagi Islam, bagi Raffles, ada­
lah Islam sebagaimana ditampakkan kaum Padri: sejumlah orang
berjubah putih dan bersorban dalam pelbagai bentuk, berjang­gut
pula, dan jadi variasi lokal dari kaum Wahabi yang keras dan se-
http://facebook.com/indonesiapustaka

wenang-wenang di gurun pasir Arabia.


Pandangannya tentang Islam tak ramah tapi dalam satu hal
Raffles tak sepenuhnya salah. Kaum Wahabi yang menguasai
Me­kah sejak 1806 sampai 1812 mengumandangkan ajaran yang

Catatan Pinggir 9 461


PADRI

menampik tafsir apa pun tentang Quran. Mereka dengan keras


me­nuntut agar kaum muslimin kembali ke teks kitab suci dan
Hadis, (seakan-akan sikap mereka sendiri bukan sebuah tafsir),
dan di Hijaz mereka bakar kitab, mereka hancurkan kubur dan
tempat ziarah, dan mereka habisi orang-orang yang tak sepaham.
Pada masa itulah tiga orang haji dari Minangkabau pulang.
Me­reka tak bisa lagi menerima kebudayaan Minangkabau yang
matriarkat. Penampikan mereka radikal. Haji Miskin, salah se­
orang dari ketiga haji itu, mendirikan desa-desa yang dilingkari­
tembok, dan mencoba menerapkan sejenis budaya Arab di wi­la­
yah pedalaman Sumatera Barat itu.
Sikap radikal itu membuka jalan kekerasan. Dalam buku
Had­ler dikutip laporan bagaimana Tuanku nan Renceh membu­
nuh bibinya sendiri. Jihad pun dimaklumkan terhadap lapisan
so­sial yang matriarkal, rumah-rumah gadang dibumihanguskan
dan para pemimpin adat dibunuh. Pada 1815, dengan pura-pura­
mengundang berunding, kaum Padri membinasakan keluarga
Kerajaan Pagaruyung di dekat Batusangkar.
Baru pada 1821 kekuasaan kolonial Belanda masuk ke kancah
sengketa. Tapi konflik bersenjata itu masih panjang, dan baru ha­
bis setelah 27 tahun. Apa sebenarnya yang didapat?
Kerusakan, tentu, tapi juga satu titik, ketika orang menyadari
bahwa tiap tatanan sosial dibentuk oleh kekurangannya sendiri.
Kaum Padri bisa mengatakan bahwa Islam adalah sebuah jalan
lu­rus. Tapi jalan yang paling lurus sekalipun tetap sebuah jalan:
tem­pat orang datang dari penjuru yang jauh dan dekat, berpapas­
an, tak menetap. Yang menentukan pada akhirnya bukanlah ben-
tuk jalan itu, melainkan orang-orang yang menempuhnya. Islam
http://facebook.com/indonesiapustaka

jalan lurus, tapi Minangkabau akhirnya tak seperti yang dike-


hendaki kaum Padri.
Orang yang cukup arif untuk menerima ketidaksempurnaan
itu adalah Tuanku Imam Bonjol. Muslims and Matriarchs—yang

462 Catatan Pinggir 9


PADRI

dipuji sejarawan Taufik Abdullah sebagai salah satu buku ter-


baik tentang Minangkabau selama dua dasawarsa terakhir—me-
nampilkan segi yang menarik dalam hidup tokoh ini.
Imam Bonjol bukanlah tokoh paling agresif dalam gerakan
Padri. Tapi sudah sejak awal 1800-an ia ikut membentuk sebuah
bentang Padri di Alahan Panjang. Kemudian ia pindah ke Bon­jol,
yang jadi pusat yang kaya karena berhasil mengumpulkan­hasil
jarahan perang. Dari sini ia mengatur pembakaran di Koto Ga­
dang dan peng-Islam-an masyarakat Batak di Tapanuli Selatan.
Imam Bonjol ulung dalam pertempuran, juga ketika menghadapi­
pasukan Belanda, karena ia menguasai sumber padi dan tambang
emas yang menjamin suplai yang tetap bagi pasukannya.
Tapi ia bukan seorang yang membabi buta dalam soal ajaran.­
Memoarnya, Naskah Tuanku Imam Bonjol, menyebutkan ba­gai­
ma­na pada suatu hari ia bimbang: benarkah yang dijalankannya­
sesuai dengan Quran? Selama delapan hari ia merenung dan
akhir­nya ia mengirim empat utusan ke Mekah. Pada 1832 utusan
itu kembali dengan kabar: kaum Wahabi telah jatuh dan ajaran
yang dibawa Haji Miskin dinyatakan tak sahih.
Maka Imam Bonjol pun berubah. Ia mengundang rapat akbar­
para tuanku, hakim, dan penghulu. Ia mengumumkan perda-
maian. Ia kembalikan semua hasil jarahan perang. Ia berjanji tak
akan mengganggu kerja para kepala adat. Sebuah kompromi be-
sar berlaku. Pada 1837, administrator Belanda mencatat bagaima-
na masyarakat luas menerima formula yang lahir dari keputusan
Imam Bonjol itu: ”Adat barsan di Sarak dan Sarak barsan di Adat”.
Akhirnya, syariat Islam ternyata tak bisa berjalan sendiri—
juga seandainya perang Padri diteruskan. Pagaruyung tersisa atau
http://facebook.com/indonesiapustaka

tidak, kerajaan pra-Islam itu hanya mitos atau bukan, tapi ada se­
suatu yang tetap bertahan dari masa lampau—sesuatu yang tak
tertangkap oleh hukum apa pun, sesuatu Entah yang ada bersama
sejarah. Tempo, 30 Agustus 2009

Catatan Pinggir 9 463


http://facebook.com/indonesiapustaka

464
Catatan Pinggir 9
MODERNITAS

D
I kesunyian Pulau Buru, Pramoedya Ananta Toer me-
nonton wayang. Atau ia memperhatikan orang menon-
ton wayang.
Saya bayangkan malam itu. Di koloni tahanan politik itu, di
sepetak lapangan, layar dipasang dan batang pisang dibaringkan.
Deretan wayang kulit tertancap. Sebuah blencong (atau bola lam-
pu 100 watt?) menyala di atasnya.
Orang berkerumun. Juga prajurit yang berjaga. Dalang siap,
tanpa beskap, tanpa keris. Para pangrawit mulai memainkan ga­
me­lan yang seadanya. Dan semua orang tahu, di balik kebersaha-
jaan itu ada ambisi dan proses kerja yang luar biasa: di pengasing­
an itu para tahanan menatah sendiri wayang mereka dari kulit
sa­pi yang mereka ternakkan, dengan pahat kecil yang diraut dari
be­si sisa peralatan. Selebihnya: imajinasi.
Saya tak tahu apa lakonnya. Tapi Pramoedya tak begitu ber­
gembira.
Di catatan di Pulau Buru bertanggal akhir Januari 1973, yang
di­­muat dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu jilid I, ia anggap wa­
yang­—juga gamelan dan tembang—”membawa orang tertelan
oleh dunia ilusi yang menghentikan segala gerak...”.
Bagi Pramoedya, dalam wayang, kahyangan terlampau domi-
nan. Padahal manusia-lah yang harus mengambil peran, bukan
pa­ra dewa:

Jam tujuh pagi baru selesai: tancep kayon. Pukul­an gong peng-
http://facebook.com/indonesiapustaka

habisan. Selesai segala-galanya! Para dewa, brahmana dan satria


kembali masuk ke kam­pus ki dalang. Akal dan perasaan bertam-
bah je­nuh dengan pengalam­an ulang. Dengan bersinarnya mata­
hari kembali terhalau para dewa, brahmana dan satria dalam

Catatan Pinggir 9 465


MODERNITAS

pers­pektif bentuknya sendiri.

Lakon memang tak layak dilanjutkan. Khayal wayang ”me­


mu­kau, mempesonakan, menyihir, mematikan kesadaran, me­
ma­tikan akal, membebalkan”. Dan setelah itu tak ada pembebas­
an.
Seorang buruh tani yang ikut menonton mungkin akan masy­
gul seandainya tahu pandangan sastrawan besar itu. Tapi Pra­
moedya tak sendiri; ia seperti lazimnya cendekiawan Indonesia
yang tumbuh ketika gagasan kemajuan dan emansipasi sosial (de-
ngan Marxisme) bergema keras bersama cita-cita kemerdekaan
nasional.
Pada 1943, Tan Malaka juga mencemooh cerita Sri Rama. Ba­
gi­nya, telah tiba zaman yang mengharuskan bangsanya mema­
suki­dunia ilmu empiris (”Ilmu Bukti”). Tan Malaka menganggap­
kisah anak panah Sri Rama ”yang bisa menjelma jadi Naga” ha­
nya­”menggelikan hati”. Bahkan bisa membuat marah. Sebab,

”... kepercayaan pada kesaktian semacam itu, yang bisa diper­


oleh manusia, pada urat akarnya memadamkan semua hasrat dan
minat terhadap Ilmu Bukti.”

Tan Malaka berseru untuk teknologi. ”Ciptakan teropong


100 inci,” katanya dalam Madilog, ”yang bisa melihat kesemua
pen­juru alam 500.000.000 tahun sinar jauhnya...!”
Kini, 2009, kita bisa sedikit mengejek iman yang begitu kuat
kepada modernitas itu. Pramoedya dan Tan Malaka begitu saja
me­nyamakan imajinasi dengan takhayul yang meremehkan ra-
http://facebook.com/indonesiapustaka

sionalitas. Seakan-akan sejarah tak dibangun juga oleh kerja dan


fantasi penatah wayang, energi dalang yang berkisah, hasrat tu-
buh dan kesepian, yang membuat riwayat manusia dari abad ke
abad tak lurus, tak tunggal, tak konsisten—tapi juga selalu bisa

466 Catatan Pinggir 9


MODERNITAS

tak terduga-duga, tak pernah kering.


Di Indonesia yang ingin meninggalkan ”keterbelakangan”, si-
kap Pramoedya dan Tan Malaka sikap yang lumrah. Mereka tak
mengalami sebuah situasi ketika ”kemajuan” justru tampak seba­
gai gerak yang merusak dan meninggalkan unggunan puing, se-
perti dalam gambaran ”Malaikat Sejarah” Walter Benjamin.
Benjamin, yang bunuh diri di Eropa menjelang Perang Dunia
II, menyaksikan modernitas yang muram: hidup yang melangkah­
dengan blueprint dan perhitungan, akal yang hanya jadi instru-
men untuk menaklukkan alam & dunia kehidupan.
Dengan itu prestasi modernitas memang dahsyat. Tapi orang
bisa juga melihatnya sebagai progresi ke arah hidup yang bak di­
se­kap ”kerangkeng besi”, tunduk kepada kalkulasi dan tuntutan
efisiensi.
Kaum kiri menganggap semua ini akibat kapitalisme. Mere­ka
benar. Tapi kaum Marxis-Leninis kemudian juga ikut pola ”ke­
majuan” itu: mereka ubah waktu jadi ruas-ruas homogen dan ter-
ukur. ”Rencana Lima Tahun” dilaksanakan dengan gemuruh.
Me­reka bentang ruang jadi bidang yang abstrak agar bisa difor-
mat apa saja. Akal ditentukan oleh hasil, bahkan seni dan imaji-
nasi harus ikut rancangan. Masyarakat sosialis dibangun bagai-
kan alam semesta dijadikan dalam Genesis baru—tapi bersama
itu, sebuah ”kerangkeng besi” mengungkung semuanya.
Kritik kepada modernitas berangkat dari sini. Bahkan sejak
dua abad sebelumnya. ”Postmodernisme” hanya memberinya
tenaga baru. Tapi sementara kritik ini dimamah-biak berkali-ka-
li, dengan kutipan dari Benjamin atau Adorno, Derrida atau Fou-
cault, belum ada yang menjawab: bisakah kita mengalahkan do-
http://facebook.com/indonesiapustaka

rongan yang melahirkan modernitas ala Eropa itu—yang men-


janjikan kemajuan yang mempesona, meskipun gawat?
Jangan-jangan riwayat manusia tak bisa mengelakkan itu.
Jangan-jangan yang bisa dilakukan hanya memulihkan kemba-

Catatan Pinggir 9 467


MODERNITAS

li pengalaman sebagai sesuatu yang utuh dan berdegup—seperti


ketika kita membaca puisi—dan menebusnya sejenak dari ceng-
keraman rasionalitas sang penakluk.
Atau kita bekerja tanpa ilusi bisa lepas dari arus keras moder-
nitas, namun terus dengan (dalam kata-kata Benjamin) ”daya
­messi­a­nik yang lemah”, schwache messianische Kraft. Di sana kita
sesekali menemukan harapan pembebasan, dan kita pun ber-
juang kembali, meskipun tak bisa selamanya kukuh....
Dan kita pun pergi menonton wayang, menemui Karna yang
terbelah, Kunti yang tak setia tapi ibu yang teguh, Bisma yang
mem­­buang Amba tapi berbuat sesuatu yang luhur: serpihan ki­
sah penebusan, ketika Messiah tak juga datang. Meskipun Pra­
moe­dya tak menyukainya.

Tempo, 6 September 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

468 Catatan Pinggir 9


YUDISTIRA

P
ada tahun ke-13 masa pembuangan, di suatu hari yang
terik di hutan pekat itu, Yudistira menemukan keempat­
adiknya tewas. Di tepi sebuah danau tergeletak dua sau­
dara kandungnya seibu, Bima dan Arjuna. Lebih ke utara terda­
pat jenazah Nakula. Lalu ia temukan juga mayat Sadewa. Ke­dua­
nya adik yang lain: putra Pandu dari Ibu Madrim.
Yudistira terenyak. Keempat saudaranya mati tanpa bekas
per­tempuran. Apa yang terjadi? Sementara pikirannya galau, ia
de­­ngar suara berat yang tak tampak sumbernya.
Suara itu mengatakan, keempat kesatria itu mati karena me-
langgar larangan: mereka telah diberi tahu untuk tak meminum­
air telaga itu, tapi mereka dengan penuh percaya-diri, bahkan­
ang­kuh melawan pantangan itu. Yudistira sebaiknya tak me­la­
kukan hal yang sama, kata suara gaib itu. Ia harus menjawab le­bih
dulu beberapa pertanyaan sebelum ia boleh mereguk air danau.
Yudistira bersedia. Dalam Mahabharata ada beberapa perta­
nya­an yang dimajukan, tapi di sini saya kutip saja yang terakhir,
yang paling menentukan.

Kata suara gaib: ”Salah satu dari adikmu akan segera kuhidup-
kan kembali. Siapa yang kau kehendaki, Yudistira?”
Yudistira terdiam. Ia pejamkan matanya, dan pilihan-pilih­
an­yang sulit bertabrakan dalam gelap. Akhirnya sahutnya lirih:
”Nakula”.
”Nakula?” suara itu heran. ”Bukan Bima, saudara kandungmu­
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang kau sayangi, yang kekuatannya setara dengan puluhan ga­


jah? Bukan Arjuna, sang pemanah piawai?”
”Bukan,” jawab Yudistira, kata-katanya semakin mantap. ”Se­­
bab­ yang melindungi manusia bukan senjata, bukan kekuat­an.

Catatan Pinggir 9 469


YUDISTIRA

Pe­lindung utama adalah dharma. Nakula aku pilih karena aku,


yang selamat dan hidup, adalah putra Kunti. Sudah sepa­tut­nya
putra Madrim juga harus ada yang hidup seperti diriku.”
Mendengar jawaban itu, suara itu pun raib, dan muncullah
Ba­tara Yama di depan Yudistira. Dewa Maut itu dengan mesra
me­­meluknya. Kahyangan terpesona akan kata-kata putra sulung
Pan­du itu. Tak ayal, keempat jenazah itu tak hanya Nakula dihi­
dupkan kembali.

Ketika saya baca lagi fragmen Mahabharata ini, saya merasa


Yu­distira, seorang penjudi yang gagal, sadar: ketika ia memilih, ia
ibarat melempar dadu. Tiap lemparan adalah pengakuan bahwa
hi­dup adalah kecamuk kebetulan-kebetulan. Tak jelas alasannya.
Tak jelas arahnya. Absurd.
Sebab di tepi telaga itu Yudistira sebenarnya tak tahu, muka
ma­­na dari dadu yang akan muncul dan apa yang menyebabkan-
nya. Kupilih Nakula, tapi aku tak tahu apa yang akan terjadi nan-
ti dengan sisa hidupku di hutan ini. Aku tak tahu, tapi aku tak ta-
kut. Aku siap.
Pada saat itu ia jadi manusia yang mendekati Zarathustra da­
lam puisi Nietzsche: baginya keluasan langit ibarat meja para de­
wa tempat dadu kahyangan dilontarkan. Baginya hidup ibarat
angkasa yang murni: terlepas dari jaring-jaring akal yang mema­
toknya dengan tujuan dan menambatnya ke dalam hubungan
kausalitas. Dalam hidup, yang bergerak adalah ketidak-pastian.
Yudistira menerima itu. Dalam pengertian Deleuze, ia bukan
”pe­­main dadu yang buruk”. Pemain dadu yang buruk masuk ge­
lang­gang dengan bersenjata teori probabilitas. Yudistira tidak.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Itukah sebabnya, 13 tahun yang lalu, ia terima tantangan para


Kurawa untuk bermain dadu, dengan sikap tawakal yang membi­
ngungkan? Itukah sebabnya ia mau menghadapi lawan judi yang
tangguh dan curang, Sengkuni?

470 Catatan Pinggir 9


YUDISTIRA

Mahabharata tak begitu jelas di sini. Yang kita ketahui, Yu­dis­


tira datang ke meja pertaruhan yang fatal itu—yang kelak jadi
be­nih perang besar keluarga Bharata.
Ia tak berhitung dengan kalkulasi kemungkinan. Tak ada
stra­tegi mendapatkan tampilan dadu yang pas dengan yang dite-
baknya. Ia cuma memandang ke langit-langit gelap, merasa tiap
lon­taran tak pernah sama, biarpun berkali-kali. Tiap kali dadu ja­
tuh itu adalah kebetulan yang niscaya tak dapat diperhitungkan.
Teori probabilitas terlampau menyederhanakannya.
Yudistira berani, tapi ia bersalah. Ia jadikan hartanya, keraja­
annya, adik-adiknya, bahkan dirinya, dan akhirnya istrinya, ba-
rang taruhan. Semuanya jatuh ke tangan lawan. Memang ia tam­
pil­dengan askesis yang kukuh: sanggup menerima absurditas se-
raya menghilangkan diri sebagai subyek yang menguasai hal ih­
wal.­Tapi dalam tawakal itu ia tak tergerak oleh liyan, tak terpang­
gil untuk memikirkan sesama yang lain.
Kemudian ia berubah. Dari adegan di tepi telaga itu tampak,
ha­ri itu Yudistira bukan lagi pelontar dadu yang lembek di depan
Seng­kuni. Nasib dan Kelak tak dapat dikuasainya, tapi ia tak pa-
sif. Ia bukan seonggok otomaton. Ia memilih dengan sepenuh ha­
ti: Nakula. Ia korbankan cintanya kepada Bima dan harapannya
ke­pada Arjuna.
Artinya, ia hadir dalam subyektivitas yang kuat. Tapi saat itu
dharma-nya bukanlah aktualisasi ”aku yang teguh”, melainkan
se­suatu yang digerakkan oleh rasa hidup yang tak terhingga, yang
membuatnya ingin dan sanggup memeluk sesama, melalui batas
asal-usul. Ia merasakan kasih ada harapan, justru dalam cemas
dan ketidaklengkapan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Mungkin itu sebabnya dalam Mahabharata, Yudistira adalah


ke­satria yang ganjil. Ia raja yang menganggap diri pendo­sa; be-
gitu banyak manusia dibunuh agar Kerajaan Indraprasta kembali
ke tangan keluarga Pandu. Baginya, perilaku para ke­sat­ria, kasta

Catatan Pinggir 9 471


YUDISTIRA

pen­­dekar perang, mirip tingkah anjing yang memperebutkan sisa


makanan. Ia tahu posisi raja dan panggilan dharma selalu akan
bertentangan—dharma-caryã ca rãjyam nityam eva virudhyate.
Dengan demikian ia memang tak mematuhi aturan kitab suci
tentang manusia, kasta dan perannya. Tapi seperti dikatakannya
kepada suara gaib di tepi danau itu, (saya kutip dari penceritaan
Nyoman S. Pendit), ”orang tak menjadi bijaksana hanya dengan
mempelajari kitab-kitab suci”.

Tempo, 13 September 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

472 Catatan Pinggir 9


KRISIS

I
A hadir tapi ia asing di kantor itu: seorang bekas gerilyawan
di kehidupan yang ditentukan oleh daftar absen. Oleh pukul
8-13. Oleh lajur lurus di permukaan kertas.
Dalam film Lewat Jam Malam, Iskandar (dimainkan dengan
ba­gus oleh A.N. Alcaff) akhirnya hanya duduk: bingung tak tahu
mau apa, malu pada diri sendiri dan nyaris putus asa. Revolusi­su-
dah tak ada lagi, debur jantung menghadapi mati atau hidup, ka­
lah atau menang, menyerah atau berkorban, kini jauh. Yang di­
sak­­sikannya cuma kemenangan yang diborong si culas dan kor­
ban yang jatuh tanpa ada hubungannya dengan usaha kemer­de­
ka­an.
Apa arti hari ini? Film yang dibuat pada 1954 ini agaknya me­
ru­muskan zamannya: si ”bekas pejuang” (kata itu lazim waktu
itu)­makin tampak sebagai bekas, dan arti ”pejuang” makin jadi
ka­­bur. Iskandar pada akhirnya seperti ampas: ia tak melakukan
hal yang berbahaya tapi tertembak mati oleh polisi militer repu­b­
lik­yang ditegakkannya.
Pada 1950-an, republik itu tengah ingin jadi republik yang
”nor­mal”, dan normalisasi memang membasmi yang dianggap
ganjil dan asing. Rasa kecewa pun meluas di antara mereka yang
ter­sisih. Kelesuan berkecamuk. Juga rasa ngilu, lelah, dan pedih,
dengan kenangan tentang sebuah masa yang penuh suspens tapi
telah hilang—perasaan yang oleh Ramadhan K.H. disebut ”ro­
yan”,­mirip yang dialami seorang ibu sehabis melahirkan, seperti
dilukiskannya dalam novelnya Royan Revolusi.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pada suasana itu, ada satu kata yang tak putus-putusnya di­
utarakan: ”krisis”. Koran dan majalah di Jakarta masa itu gemar
menyebutnya—seakan-akan Indonesia seperti tergambar dalam
film Krisis yang dibuat Usmar Ismail pada 1953: ruang hidup

Catatan Pinggir 9 473


KRISIS

yang sesak, hubungan manusia yang getir tapi menggelikan, dan


tak ada jalan keluar.
Para cendekiawan juga bicara. Soedjatmoko menulis dalam
ma­jalah kebudayaan yang baru terbit pada Agustus 1954, Kon­
frontasi, dengan kalimat seperti ini:

Pada hakikatnya krisis politik yang dialami oleh rakyat kita


sekarang ini tidak lain merupakan gambaran dari apa yang ter-
lihat di lapangan kebudayaan dan kesusastraan... gejala-gejala...
kekacauan, kelemahan, kehilangan kepercayaan, dan lenyapnya
nilai-nilai.

Mulanya ia berbicara tentang ”krisis” dalam sastra Indone-


sia, ta­pi keadaan sekitar juga ia lihat gawat tampaknya. Kini kita
tak mu­dah membayangkannya. Seorang cendekiawan lain, Boe­
joeng­ Saleh, tak sepenuhnya menyetujui tulisan di Konfrontasi
itu. Dalam majalah Siasat pada bulan yang sama ia membantah
Soe­­djatmoko. Tapi ia juga bicara tentang ”krisis”.

Untuk memajukan kesusastraan agar lebih mendekati ke­


ingin­an-keinginan kita (yang akan selalu ber­tambah besar), perlu
diadakan krisis ekonomi, politik, dan sosial yang ada saat ini....

Kita bisa melihat, kedua suara itu praktis paralel. Keduanya


ber­sungguh-sungguh. Dengan catatan: dalam banyak hal Boe-
joeng Saleh lebih unggul. Argumennya menunjukkan ia punya
acu­an ke sejarah sosial Indonesia. Pilihan katanya disertai tang-
gung jawab; ia tak cuma latah dengan kata ”krisis”. Bahasa Indo-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nesianya hidup dan lebih segar (ia pakai perumpamaan ”pisang


ber­kubak” dan ia perkenalkan kata ”gawai”). Dan bila Soedjat-
moko bicara tentang ”krisis kesusastraan” tanpa menunjukkan
con­toh, Boejoeng Saleh menangkisnya dengan menyebut sederet

474 Catatan Pinggir 9


KRISIS

judul roman Indonesia mutakhir.


Jalan keluar dari krisis yang ditawarkan Boejoeng Saleh juga
terasa lebih tegas. Ia, seorang pendukung PKI yang piawai, me­
nga­takan perlunya ”mengendalikan revolusi nasional demokratis
kita”. Soedjatmoko, yang tak datang dengan perlengkapan teori
Marxis-Leninis tentang ”dua-tahap-revolusi”, hanya menawar-
kan imbauan normatif yang sudah biasa: ”pengerahan tenaga na­
sio­nal yang bulat”, dengan ”melepaskan diri dari pertengkaran-
per­tengkaran”. Ia terlampau gampang menganggap masyarakat
bisa ”bulat” dan hidup tanpa pertengkaran.
Tapi di sisi lain Boejoeng Saleh punya kelemahan seperti Soe­
djat­moko: kedua cendekiawan tahun 1950-an ini memandang se-
jarah sebagai satu feuilleton. Riwayat manusia mereka lihat seba­
gai sebuah kontinuitas dengan ruas-ruas yang tegas terpisah. Bila
mereka bicara tentang ”krisis”, mereka bicara tentang sebuah ruas
yang buruk dari cerita bersambung yang sama.
Saya kira akan lain analisisnya seandainya mereka memandang­
sejarah sebagai cerita pendek yang berhamburan. Masing-masing­
punya ”krisis”-nya, tapi juga punya yang ”bukan-krisis” dan
”kon­tra-krisis”. Tiap cerita mencoba, dengan sia-sia, menyatukan
multiplisitas yang tak tepermanai itu, tapi ragam yang ada senan-
tiasa tak konsisten.
Mengabaikan ragam itulah yang membuat orang bicara ten-
tang ”krisis”—atau ”keadaan terpuruk”—seraya melihat ”kini”
se­bagai satu totalitas, sambil membandingkannya dengan totali-
tas sebelumnya. Bila mereka mengeluh, keluhan itu diterjemah-
kan sebagai ingatan. Nostalgia berkuasa: jika kita bicara tentang
orang masa lalu (Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, dan seterus-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nya), mereka selalu dikatakan lebih baik ketimbang generasi hari


ini.
Tak aneh jika banyak orang duduk, terenyak, melihat kini bu­
kan sebagai kini, melainkan sebagai masa silam yang cacat. Se­

Catatan Pinggir 9 475


KRISIS

perti Iskandar, mereka tak berbuat apa-apa. Sampai lewat jam


malam yang tak mereka tentukan. Sampai korban jatuh, kadang-
kadang tak sengaja.

Tempo, 20 September 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

476 Catatan Pinggir 9


NAMA ITU

P
ADA pertengahan abad ke-18, seorang yang menjelajah
kepulauan ini—dan melihat penghuninya yang berku-
lit sawo matang seperti orang Polinesia—bertanya kepa-
da di­ri sendiri: apa nama manusia ini? Apa nama kepulauan yang
mereka diami?
Kemudian pengelana Inggris itu, George Samuel Windsor
Earl, memutuskan: ”Indunesia”. Tapi segera ia berubah pikiran.
”Malayanusia” lebih baik, katanya. Ternyata sebutan ini pun tak
lama. Seorang rekannya, James Logan, memilih nama ”Indone-
sia”.
”Indonesia” sejak itu memasuki sejarah. Dalam The Idea of In­
donesia: A History dari R.E. Elson (sebuah buku yang terbit pada
2008 dan membentuk dokumen paling lengkap tentang gagasan
kebangsaan kita), dikisahkanlah bagaimana nama itu hidup de-
ngan saga sendiri.
Nama ternyata tak hanya jadi penanda. Nama bukan hanya
di­buat dan dikonstruksi. Ia juga mengkonstruksi. Nama mengu­
kuhkan sebuah identitas. Tapi nama tak seluruhnya lahir dari
ni­at membuat konsep. Orang tak cuma menyebut ”Indonesia”
de­ngan sebuah definisi. Nama bukan indeks yang abstrak. Ro-
bot dalam film Star Wars diberi label ”R2D2”, tapi akhirnya kita
mengingatnya sebagai si ”Artuditu”. Label itu jadi nama, ketika
yang menyandangnya hidup, bergerak, menampakkan emosi,
ber­perilaku manusia. Nama menyarankan adanya personifikasi,­
seperti gamelan disebut ”Kiai Tunggul”. Ia menghadirkan se-
http://facebook.com/indonesiapustaka

buah imaji di kepala kita, menimbulkan semangat atau rasa gen-


tar, gugup atau harap harap cemas.
Nama ”Indonesia” juga seakan-akan sesosok person. Ia tak
ha­­nya menandai sebuah tempat. Ketika Bung Karno menyebut

Catatan Pinggir 9 477


NAMA ITU

pidato pembelaannya di depan mahkamah kolonial ”Indonesia


menggugat”, nama itu mengacu ke sesuatu yang menderita sakit
ka­rena ketidakadilan, tapi juga mengidamkan sebuah hari esok
yang bebas. Tak begitu jelas batas ”sesuatu” itu, tapi ia mengan­
dung­energi yang dahsyat yang membuat Bung Karno berani ma-
suk sel penjara dan banyak pemuda tak gentar mengorbankan
diri.
”Indonesia” telah jadi sebuah ”penanda kosong” ala Laclau.
Tak ada yang dengan sendirinya mampu secara tuntas dan penuh
mengisikan sebuah makna ke dalamnya. Yang terjadi hanya: ma-
sing-masing orang atau pihak memaknainya, dengan bersaing
atau bersengketa. Buku Elson adalah riwayat pengisian ”penanda
kosong” yang berbunyi ”Indonesia” itu.
Bagi para peneliti antropologi pada abad ke-19, dari Prancis,
Inggris, Jerman, dan Belanda, ”Indonesia” adalah sebuah konsep
praktis buat kerja. Tapi orang Belanda umumnya tak memahami
ini. Salah seorang dari mereka di sidang Volksraad berpendapat,
nama ”Indonesia” lebih cocok untuk merek cerutu.
Sebaliknya bagi para pemuda yang datang dari tanah jajahan­
ke Nederland. Di tanah asing itu tumbuh rasa kebersamaan ter­
sen­diri, baik di kalangan yang datang dari Aceh maupun Am-
bon, yang keturunan Cina atau Jawa. Dari kebersamaan itu, na­
ma ”In­donesia” jadi sederet bunyi yang mempersatukan, dan de-
ngan persatuan itu mereka menuntut kemerdekaan. Mula-mu­la­
mere­ka tak menyetujui membentuk cabang Boedi Oetomo (ka­
re­na ter­batas ”orang Jawa”). Mereka membentuk ”Indische Ve­re­
niging”­(IV). Kemudian jadilah ”Indonesisch Verbond van Stu-
deerende” (IVS).
http://facebook.com/indonesiapustaka

Para politikus kolonial yang konservatif seperti H. Colijn


men­coba menunjukkan bahwa persatuan Indonesia mustahil,
ka­rena perbedaan suku dan ras yang ada. ”Indonesia” bagi orang-
orang ini hanya ilusi. Tapi pandangan ini tak berjejak. Dalam se-

478 Catatan Pinggir 9


NAMA ITU

buah pertemuan IV, pemuda dari Minahasa, G.S.S.J. Ratu La­


ngie,­menegaskan perlunya ”persaudaraan” pelbagai suku dan ras
di ”Indonesia”. Buku Elson juga mencatat, dalam sebuah perte­
muan IVS pada 1920, putra mahkota Kesultanan Yogyakarta
me­nyebut diri sebagai ”seseorang yang dalam batas tertentu me-
wakili orang Jawa, dan dengan demikian juga bagian dari Indo-
nesia”. Lalu ia pun menutup pidatonya dengan seruan, ”Hidup
In­donesia!”
Dari sejarah itu tampak, saya kira, yang paling berhasil meng­
isi makna ”Indonesia” adalah dua tokoh sebuah partai radikal,
In­dische Partij.
Yang pertama Suwardi Suryaningrat, yang kelak jadi Ki Hajar
Dewantara. Dalam majalah Hindia Poetra yang diterbitkan
kembali pada 1919, aktivis itu menyatakan: ”... orang Indonesia
adalah siapa saja yang menganggap Indonesia tanah airnya, tak
peduli apakah ia Indonesia murni ataukah ia punya darah Cina,
Belanda, dan bangsa Eropa lain dalam jasadnya.”
Yang kedua adalah E. Douwes Dekker, yang kemudian dike-
nal sebagai Setiabudi. Aktivis berdarah Eropa ini menulis surat
terbuka ke Ratu Wilhelmina pada April 1913: ”Bukan, Paduka
yang Mulia. Ini bukan tanah air Paduka. Ini tanah air kami....”
Dan ketika dua teman seperjuangannya, Cipto Mangunku-
sumo dan Suwardi, ditangkap dan dibuang oleh pemerintah ko-
lonial, ia menulis, dengan rasa sedih, tapi dengan sikap teguh:
”Kami berdiri, bukan hanya... berdampingan satu sama lain, tapi
juga di dalam satu sama lain.”
Kata-kata Suwardi dan Dekker terbukti jadi kenyataan 100
tahun kemudian, pada hari ini. Indonesia bukan sekadar multi-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kultural, tapi juga inter-kultural: tiap orang jadi Indonesia karena­


memasukkan kebudayaan yang lain ke dalam dirinya. Sebab In-
donesia bukanlah kebhinekaan yang bersekat-sekat seperti dalam
rezim apartheid. Indonesia adalah sebuah proses yang eklektik,

Catatan Pinggir 9 479


NAMA ITU

bercampur, berbaur dengan bebas.


Dengan itu, Indonesia, si ”penanda kosong” ini, mengimbau
siapa saja tak putus-putusnya, menggerakkan ”kami” jadi ”kita”.
Ia tak pernah sempit. Ia hidup dalam ruang dan waktu, tapi ia te­
ra­sa tak berhingga.

Tempo, 27 September 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

480 Catatan Pinggir 9


PERAJAM

I
NI sebuah cerita yang telah lama beredar, sebuah kisah yang
termasyhur dalam Injil, yang dimulai di sebuah pagi di pela-
taran Baitullah, ketika Yesus duduk mengajar.
Orang-orang mendengarkan. Tiba-tiba guru Taurat dan
orang­Farisi datang. Mereka membawa seorang perempuan yang
lang­sung mereka paksa berdiri di tengah orang banyak.
Perempuan itu tertangkap basah berzina, kata mereka. ”Hu-
kum Taurat Musa memerintahkan kita untuk melempari perem-
puan-perempuan yang demikian dengan batu,” kata para pemim­
pin Yahudi itu pula. Mereka tampak mengetahui hukum itu, tapi
toh mereka bertanya: ”Apa yang harus kami lakukan?”
Bagi Yohanes, yang mencatat kejadian ini, guru Taurat dan
orang Farisi itu memang berniat ”menjebak” Yesus. Mereka ingin
agar sosok yang mereka panggil ”Guru” itu (mungkin dengan ce-
mooh?) mengucapkan sesuatu yang salah.
Saya seorang muslim, bukan penafsir Injil. Saya hanya me­ngi­
ra-­ngira latar belakang kejadian ini: para pakar Taurat dan kaum
Farisi agaknya curiga, Yesus telah mengajarkan sikap beragama
yang keliru. Diduga bahwa ia tak mempedulikan hukum yang
ter­cantum di Kitab Suci; bukankah ia berani melanggar larangan
bekerja di ladang di hari Sabbath? Mungkin telah mereka dengar,
bagi Yesus iman tak bisa diatur pakar hukum. Beriman adalah
meng­hayati hidup yang terus-menerus diciptakan Tuhan dan di-
rawat dengan cinta-kasih.
Tapi bagi para pemimpin Yahudi itu sikap meremehkan hu-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kum Taurat tak bisa dibiarkan. Terutama di mata kaum Farisi


yang, di antara kelompok penganut Yudaisme lain, paling gigih
ingin memurnikan hidup sehari-hari dengan menjaga konsistensi
akidah.

Catatan Pinggir 9 481


PERAJAM

Maka pagi itu mereka ingin ”menjebak” Yesus.


Tapi Yesus tak menjawab. Ia hanya membungkuk dan menu­
lis­kan sesuatu dengan jari-jarinya di tanah. Dan ketika ”pemim­
pin Yahudi itu terus-menerus bertanya”, demikian menurut Yo­
ha­nes, Yesus pun berdiri. Ia berkata, ”Barang siapa di antara ka­
mu yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan
ba­tu kepada perempuan itu.” Lalu Yesus membungkuk lagi dan
me­­nulis di tanah.
Suasana mendadak senyap. Tak ada yang bertindak. Tak se­
orang pun siap melemparkan batu, memulai rajam itu. Bahkan
”satu demi satu orang-orang itu pergi, didahului oleh yang tertua”.
Akhirnya di sana tinggal Yesus dan perempuan yang ditu­duh pe-
zina itu, kepada siapa ia berkata: ”Aku pun tak menghukum­eng-
kau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”
Tak ada rajam. Tak ada hukuman. Kejadian pagi itu kemudi­
an jadi teladan: menghukum habis-habisan seorang pendosa tak
akan mengubah apa-apa; sebaliknya empati, uluran hati, dan
peng­­ampunan adalah laku yang transformatif.
Tapi bagi saya yang lebih menarik adalah momen ketika Yesus
membungkuk dan menuliskan sesuatu dengan jarinya ke atas ta-
nah. Apa yang digoreskannya?
Tak ada yang tahu. Saya hanya mengkhayalkan: itu sebuah
isya­rat. Jika dengan jarinya Yesus menuliskan sejumlah huruf pa­
da pasir, ia hendak menunjukkan bahwa pada tiap konstruksi
har­fiah niscaya ada elemen yang tak menetap. Kata-kata—juga
dalam hukum Taurat—tak pernah lepas dari bumi, meskipun
bukan dibentuk oleh bumi. Kata-kata disusun oleh tubuh (”jari-
jari”), meskipun bukan perpanjangan tubuh. Pasir itu akan di­
http://facebook.com/indonesiapustaka

injak­para pejalan: di atas permukaan bumi, memang akan selalu


melintas makna, tapi ada yang niscaya berubah atau hilang dari
makna itu.
Di pelataran Bait itu, Yesus memang tampak tak menampik

482 Catatan Pinggir 9


PERAJAM

ke­tentuan Taurat. Ia tak meniadakan sanksi rajam itu. Tapi se-


cara radikal ia ubah hukum jadi sebuah unsur dalam pengalam­
an, jadi satu bagian dari hidup orang per orang di sebuah saat di
sebuah tempat. Hukum tak lagi dituliskan untuk siapa saja, di
mana saja, kapan saja. Ketika Yesus berbicara ”barang siapa di
antara kamu yang tak berdosa”, hukum serta-merta bersentuhan
dengan ”siapa”, bukan ”apa”—dengan jiwa, hasrat, ingatan tiap
orang yang hadir di pelataran Bait di pagi itu.
Para calon perajam itu bukan lagi mesin pendukung akidah.
Mendadak mereka melihat diri masing-masing. Aku sendiri tak
se­penuhnya cocok dengan hukum Allah. Aku sebuah situasi
kom­pleks yang terbentuk oleh perkalian yang simpang-siur. Ke-
marin apa saja yang kulakukan? Nanti apa pula?
Dan di saat itu juga, si tertuduh bukan lagi hanya satu eksem-
plar dari ”perempuan-perempuan yang demikian”. Ia satu sosok,
wajah, dan riwayat yang singular, tak terbandingkan—dan sebab
itu tak terumuskan. Ia kisah yang kemarin tak ada, besok tak ter-
ulang, dan kini tak sepenuhnya kumengerti. Siapa gerangan na-
manya, kenapa ia sampai didakwa?
Perempuan itu, juga tiap orang yang hadir di pelataran itu,
ada­lah nasib yang datang entah dari mana dan entah akan ke
mana. Chairil Anwar benar: ”Nasib adalah kesunyian masing-
ma­sing”.
Dalam esainya tentang kejadian di pelataran Baitullah itu,
René Girard—yang menganggap mimesis begitu penting dalam
hidup manusia—menunjukkan satu adegan yang menarik: se­
te­lah terenyak mendengar kata-kata Yesus itu, ”satu demi satu
orang-orang itu pergi....” Pada saat itulah, dorongan mimesis—
http://facebook.com/indonesiapustaka

hasrat manusia menirukan yang dilakukan dan diperoleh orang


lain—berhenti sebagai faktor yang menguasai perilaku. Dari
kan­cah orang ramai itu muncul individu, orang seorang. ”Teks
Injil itu,” kata Girard, ”dapat dibaca hampir secara alegoris ten-

Catatan Pinggir 9 483


PERAJAM

tang munculnya ke-person-an yang sejati dari gerombolan yang


primordial.”
Tapi kepada siapakah sebenarnya agama berbicara: kepada­
tiap person dalam kesunyian masing-masing? Atau kepada ”ge­
rom­bolan”? Saya tak tahu. Di pelataran itu Yesus membungkuk,
membisu, hanya mengguratkan jarinya. Ketika ia berdiri, ia ber-
kata ke arah orang banyak. Tapi sepotong kalimat itu tak berte-
riak.

Tempo, 4 Oktober 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

484 Catatan Pinggir 9


KPK

S
emua bermula di Hong Kong, barangkali. Seorang te-
man yang telah menonton film baru sutradara Wong Jing
mengingatkan: film I Corrupt All Cops (produksi 2009)
me­nunjukkan bahwa bentrok antara komisi pemberantasan ko-
rupsi dan pejabat polisi bukan hanya cerita Indonesia.
Tentu saja I Corrupt All Cops bukan cukilan sejarah. Film ini
men­ceritakan pergulatan beberapa petugas Independent Co­m­
mi­­ssion Against Corruption (ICAC) melawan sejumlah perwi­ra­
polisi Hong Kong yang korup. Wong Jin berusaha untuk tak no­
rak,­kata teman itu, tapi filmnya akhirnya hanya menyajikan se-
potong kisah yang disederhanakan.
Sejarah ICAC, yang didirikan pemerintah Hong Kong pada
1974, dan akhirnya jadi sebuah ikhtiar yang berhasil (dan dicon-
toh oleh Indonesia untuk membentuk KPK), memang bukan po-
tongan-potongan cerita yang lurus.
ICAC mencatat prestasi ketika lembaga baru ini memenjara­
kan Peter Fitzroy Godber, perwira tinggi polisi yang tak bisa men­
je­laskan dari mana uang US$ 600 ribu ada di rekening banknya.
Godber melarikan diri ke Inggris dengan bantuan rekan-rekan-
nya. Dengan gigih, ICAC berhasil mengekstradisi sang buaya
kem­bali ke Hong Kong. Ke dalam kurungan.
Tapi dengan segera HKPF, angkatan kepolisian kota itu, me­
rasa terancam. Pada 28 Oktober 1977, beberapa puluh anggota­
nya menyerbu memasuki kantor ICAC. Ketegangan terjadi.
Akhir­nya kepala pemerintahan Hong Kong (dulu disebut ”Go­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ver­nor”) memutuskan untuk memberikan amnesti kepada ham-


pir semua anggota polisi yang korup yang kejahatannya dilaku-
kan sebelum 1977. Wibawa ICAC pun guncang. Pemerintah tak
sepenuhnya mendukungnya.

Catatan Pinggir 9 485


KPK

Tapi kemudian terbukti, kebijakan pemerintah berbuah. Se-


jak amnesti itu, polisi Hong Kong memperbaiki diri. Bahkan
HKPF membiarkan pembersihan besar-besaran dalam dirinya
oleh ICAC di tahun 2008. Dari sini tampak, kekuasaan—apa
pun asal-usulnya—tak pernah berada di sebuah ruang politik
yang konstan.
Kekuasaan ICAC yang luas dan dijamin hukum tak dengan
sen­dirinya lepas dari gugatan hukum. Wewenangnya untuk me-
nyadap pembicaraan telepon tak selamanya direstui peradilan.
April 2005, seorang hakim pengadilan distrik tak mau mengang-
gap rekaman yang dihasilkan ICAC sebagai barang bukti. Alas­
an: tak ada prosedur yang legal yang mengatur penyadapan itu.
Tiga bulan kemudian, seorang wakil hakim pengadilan distrik
meng­anggap ICAC telah melanggar ”secara terang-terangan”
hak empat terdakwa, dengan memberikan tugas kepada seorang
bekas tertuduh merekam percakapan mereka.
ICAC, sebagaimana KPK, tentu bisa mengatakan, dirinya
ada­lah tanda keadaan genting. Ia tak akan ada seandainya polisi,
jaksa, dan pengadilan bekerja penuh, sesuai dengan tugas mere­
ka, seandainya mereka membangun sebuah situasi yang disebut
”nor­mal” dan korupsi tak berkecamuk.
Tapi di Hong Kong sebelum 1980-an, sebagaimana di Indone­
sia sampai sekarang, korupsi menyakiti tubuh masyarakat di tiap
titik. Ada korupsi model Godber, yang mempergunakan kekua-
saannya yang tinggi; ada yang dilakukan pemadam kebakaran
yang memungut uang sebelum bertugas mematikan api; ada pula
pa­ra pelayan rumah sakit yang dari ruang ke ruang baru membe­
ri pertolongan bila pasien memberi uang.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dalam situasi itu, kejahatan terbesar korupsi adalah menghan­


curkan ”modal sosial”—kemampuan dan kemauan masyarakat
yang percaya bahwa orang lain bukanlah buaya. Sinisme berke-
camuk: siapa saja dapat dibeli. Ejekan yang memelesetkan sing-

486 Catatan Pinggir 9


KPK

katan ICAC (jadi ”I can accept cash”, atau ”I corrupt all cops”)
adalah indikasi hancurnya ”modal sosial”. Negeri telah jadi sede-
ret labirin yang membusuk.
Maka ICAC, terlebih lagi KPK, lahir dengan kekuasaan yang
abnormal: ia mekanisme penyembuhan yang juga sebuah perke-
cualian. Kekuasaannya lain dari yang lain. Wewenang KPK
bah­kan lebih besar: di Hong Kong ICAC tak punya wewenang
menuntut. Wewenang itu ada pada kejaksaan. Di sini, KPK me-
megangnya.
KPK bahkan diharapkan bebas dari kekuasaan eksekutif. Di
Hong Kong, ICAC bekerja secara independen namun bertang-
gung jawab kepada ”Chief Executive”, yang dulu disebut ”Gover-
nor”. Di Indonesia, KPK tak bertanggung jawab kepada Presiden
dan mungkin juga tidak kepada DPR.
Keluarbiasaan itu mungkin tak enak diungkit-ungkit kini.
Ta­pi mungkin tak bisa dilupakan: posisi KPK diletakkan (untuk
me­makai kata-kata Agamben) ”daerah tak bertuan antara hu-
kum publik dan fakta politik”. Dengan kata lain, kekuasaan itu
ditopang hukum yang lahir dari satu subyektivitas yang menegas-
kan kedaulatannya untuk membuat perkecualian.
Tapi kedaulatan itu toh akhirnya bertopang pada legitimasi­
yang contingent. Tak ada dasar a priori bagi hak pemegang ke­
kuasaan istimewa itu.
Maka di ”daerah tak bertuan”, kekuasaan itu justru kian bu­
tuh­pembenaran. Apalagi yang diperoleh ICAC dan KPK bersi-
fat derivatif: bukan datang dari pilihan rakyat—sumber mandat
sebuah demokrasi—melainkan dari badan-badan yang dipilih
rakyat. Badan seperti KPK terus-menerus perlu pihak di luar diri­
http://facebook.com/indonesiapustaka

nya. Ia butuh sekutu, dengan segala risikonya. Bahwa tugasnya


yang luhur mengatasi kepentingan sepihak, tak berarti politik
berhenti. Kekuasaan selalu ada bersama resistansi terhadap diri­
nya.

Catatan Pinggir 9 487


KPK

Maka konflik bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Sengke-


ta bahkan bisa lebih panjang ketimbang sebuah cerita film Hong
Kong. Adegannya mungkin kurang brutal, tapi akan ada korban
yang bersalah atau tak bersalah. Sebab, di ”daerah tak bertuan”,
perjuangan melawan korupsi adalah perebutan tiap jengkal ru-
ang strategis yang tersedia. Tiap benteng harus dikuasai, bukan
dikosongkan. Tiap langkah adalah kesetiaan, dengan kegemas­
an, tapi juga dengan organisasi yang dipersiapkan untuk perang
100 tahun.

Tempo, 11 Oktober 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

488 Catatan Pinggir 9


KASTIL

S
EORANG gubernur mengeluh. Saya kebetulan mende­
ngar­nya. Maka tahulah saya ada yang ganjil yang jadi ru-
tin dalam pemerintahan kota yang dipimpinnya, seakan-
akan sang gubernur dan administrasinya muncul dari novel Kaf-
ka, seakan-akan Kafka bukan hidup di Praha di awal abad ke-20
melainkan di Jakarta, mungkin di sekitar Gambir, sejak empat
dasawarsa ini.
Tapi cerita ini bukan buah imajinasi seorang sastrawan: pada
su­atu hari di tahun 1990-an gubernur itu memang mengirim su-
rat dinas ke direktur kebun binatang di Ragunan. Berhari-hari ia
tak menerima jawaban dari bawahannya itu. Kemudian baru ia
ketahui, surat yang ditandatanganinya itu perlu waktu tiga bulan
untuk keluar dari kantor gubernuran. Berminggu-minggu ker-
tas itu diteruskan dari biro satu ke biro lain di dalam kantor yang
sama, sebelum akhirnya dikirim ke alamat yang dimaksud.
Gubernur itu, seorang perwira tinggi angkatan darat yang lu-
rus hati yang diberi jabatan itu baru satu tahun, bertanya seakan-
akan pada dirinya sendiri: ”Kantor macam apa ini?”
Seorang wali kota juga mengeluh. Atau mungkin lebih tepat
terenyak. Ia seorang mantan pengusaha sukses yang dipilih de-
ngan penuh harapan oleh rakyat di kota Jawa Tengah itu. Tapi pa­
da hari pertama ia masuk kantor balai kota, ia lihat ratusan orang
duduk di dalamnya: para pegawai. Sebagian besar baca koran. Se-
bagian lagi main catur. Bahkan ada seorang pegawai perempuan
asyik merajang sayur.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sang wali kota pun pulang ke rumahnya dan termangu di hari


pertama masa jabatannya: ”Kantor macam apa itu?”
Jawabannya sangat mengejutkan: itu adalah kantor yang bi-
asa saja, Pak—kantor pemerintah. Itu adalah kantor di mana me-

Catatan Pinggir 9 489


KASTIL

sin yang disebut birokrasi hadir, nongkrong, seakan-akan untuk


membatalkan tesis Max Weber dan mengukuhkan gambaran
yang absurd dalam karya-karya fiktif Kafka—meskipun cerita
birokrasi Indonesia tak sepenuhnya bisa dijelaskan dengan kemu-
raman Kafka.
Max Weber, kita ingat, mempertautkan birokrasi dengan ke­
niscayaan dunia modern. Berbeda dari kaki-tangan raja-raja di
za­man lampau, yang bekerja berdasarkan perpanjangan karisma
Yang-Dipertuan-Agung, birokrasi merupakan alat sebuah oto-
ritas yang bersifat ”legal-rasional”. Dalam tesis Weber, birokrasi
membawa dalam dirinya aturan dan hierarki yang jelas. Organi­
sasi itu punya arah atau sasaran yang terfokus, dan ia dengan sa-
dar bersifat impersonal. Seluruh bangunan itu punya rasionalitas
yang mantap.
Tapi apa kiranya yang ”rasional” di kantor sang gubernur dan
sang wali kota?
Gubernur kita tak tahu, wali kota kita tak tahu, saya juga tak
ta­hu. Tapi jangan-jangan inilah ”rasionalitas” itu: birokrasi itu
ada­lah sebuah agregat yang lahir dari argumen bahwa ia diperlu-
kan. Birokrat, kata Hannah Arendt dengan sedikit mencemooh,
adalah ”the functionaries of necessity”. Dengan catatan: necessity itu,
keperluan yang tak bisa dielakkan itu, pada awal dan akhirnya di-
tentukan oleh dinamika organisasi itu sendiri. Birokrasi tak perlu
punya sasaran untuk dicapai. Mesin itu berjalan mandiri.
Di sinilah yang absurd berlangsung—sesuatu yang dibuat ale-
gorinya oleh Kafka dalam cerita pendeknya yang termasyhur, Di
Koloni Hukuman.
Di pulau itu, seorang opsir menjelaskan kepada seorang pe­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ngun­jung tentang proses eksekusi yang akan dijalani seorang ter-


hukum. Ia akan diletakkan telungkup di bawah sebuah mesin
yang bekerja seperti sehimpun jarum tato raksasa, mesin yang
akan menusuki si terhukum dan dengan itu akan tertulis sebuah

490 Catatan Pinggir 9


KASTIL

kalimat perintah di tubuhnya. Setelah 12 jam, si terhukum mati.


Yang menarik dari penceritaan Kafka adalah bahwa yang ja­
di fokus bukan si terhukum; orang ini cuma diam saja, bahkan
tak tahu atau peduli apa kesalahannya. Melalui sang Opsir, to-
koh utama yang muncul adalah mesin yang ganjil, brutal, dan ru-
mit itu. Ketika sang Opsir yang mengoperasikan mesin itu tahu
penggunaannya tak akan diizinkan lagi, ia membiarkan dirinya
jadi korban. Mesin ada, dan sebab itu harus didapatkan sasaran-
nya.
Birokrasi juga menyatakan diri perlu, tapi kita tak tahu apa
fungsinya ketika ia hadir, dalam jumlah yang berlebih dan tak
bekerja untuk satu hasil. Dalam aturan yang berlaku, sang wali
kota tak boleh memecat pegawainya—meskipun ia sanggup
bekerja dengan 20% saja dari tenaga yang ada. Bahkan tiap tahun
ia harus menerima 700 pegawai baru.
Memang harus ditambahkan di sini: berbeda dari mesin yang
digambarkan Kafka, aparat pemerintahan di kantor-kantor ne­
ga­­ra tak tampak mengerikan. Bahkan mungkin alegori Di Koloni­
Hukuman tak tepat dipakai. Mereka yang duduk menganggur di
kan­tor wali kota itu tak punya ciri-ciri mesin yang efektif. Jika
kita harus memakai kiasan Kafka—mungkin satu-satunya­ no­­
vel­is yang dengan imajinatif menggambarkan dunia modern
yang harus menanggungkan organisasi—maka birokrasi kita
lebih mirip sebuah kastil.
Dalam novel Das Schloß, (artinya ”kastil” dan juga ”gembok”),
kita dipertemukan dengan sebuah konstruksi yang mendominasi
lanskap desa. Kastil itu menguasai wilayah itu, tapi tak tampak
siapa yang punya. Ketika K datang untuk menghadap, yang dise-
http://facebook.com/indonesiapustaka

but hanya seorang administrator yang bernama Klamm (dalam


bahasa Cek berarti ”ilusi”) yang tak pernah bisa ditemuinya.
Kekuasaan itu tak jelas, tapi terasa, kadang-kadang muncul,
melalui lapisan staf dan telepon yang berdering dan tak disahut.

Catatan Pinggir 9 491


KASTIL

Birokrasi yang impersonal itu pada akhirnya tak menjawab dan


tak jelas kepada siapa ia bertanggung jawab. Di balik bangunan
besar itu, mungkin sebenarnya hanya ada khaos. Gubernur itu
menyerah. Wali kota itu menyerah.

Tempo, 18 Oktober 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

492 Catatan Pinggir 9


DES

D
ES Alwi adalah seonggok sejarah Indonesia dalam mi­
ni­atur yang padat. Juga berwarna-warni. Jika kita lihat­
lelaki ini duduk di bawah pohon ketapang berumur
100 tahun yang menaungi halaman hotelnya di Banda Neira, jika
kita ingat sosok yang tambun tinggi itu (kini dalam umur 83 ta-
hun) sudah ada di tempat itu pada 1936 dan, sebagai anak kecil,
melihat Hatta dan Sjahrir jadi orang buangan yang turun dari
ka­pal dengan paras pucat, kita bisa iri kepadanya: begitu banyak
yang telah dilihatnya, begitu beragam pengalamannya, begitu
pas ia di pulau Maluku itu. Begitu ”Indonesia”.
Des Alwi seperti Banda Neira: elemen yang sering tak diingat,­
tapi saksi penting dari riwayat Indonesia—dalam hal ini Indone-
sia sebagai sebuah perjalanan kemerdekaan. ”Di sini,” kata Rizal
Mallarangeng, yang telah dua kali ke Banda Neira dengan rasa
ka­­gum kepada para perintis kemerdekaan yang dibuang ke pulau
itu, ”bermula apa yang kemudian menjadikan Indonesia.” Dia
be­nar: di sini berawal kolonialisme dan antitesisnya.
Kita bisa baca: di Banda-lah pada 1529 usaha kolonisasi Eropa
dipatahkan; di sini kontingen orang Portugis terus-menerus dise­
rang hingga mereka batal membangun sebuah benteng. Hampir
seabad kemudian, pada 1609, ketika sepasukan Belanda menco-
ba memperkuat Benteng Nassau, para pemimpin Banda, disebut
”orang kaya”, membunuh laksamana asing itu dengan segenap
staf­nya.
Banda mencatat konflik seperti itu sampai ke dalam abad ke-
http://facebook.com/indonesiapustaka

20: para penentang VOC (kemudian Hindia Belanda) diasing­kan­


ke sini silih berganti. Kita tahu sebabnya: pada mulanya ada­lah
rempah-rempah, terutama pala, yang di dunia hanya ditemukan­
di Banda, yang menggerakkan perdagangan internasional paling

Catatan Pinggir 9 493


DES

awal, seperti minyak bumi pada zaman ini. Dan bersama perda-
gangan, datang peradaban. Juga kebiadaban.
Sebelum orang Portugis masuk ke Maluku pada abad ke-16,
le­tak Banda yang kaya rempah itu dirahasiakan para saudagar
Arab (atau ”Mur”) yang membawa barang berharga itu ke Eropa.
Kemudian penakluk dari Semenanjung Iberia masuk, kemudian
Belanda dan Inggris. Perjalanan jauh dan berbahaya, tapi mereka
selalu datang. Untuk laba yang 300 kali lipat dari jual-beli pala,
bahkan yang bengis siap dihadapi dan diberlakukan.
Di Banda Neira ada sebuah monumen kecil. Di Parigi Rante­
itu ada sebuah sumur di sepetak halaman. Di sanalah, 8 Mei
1621, seregu samurai Jepang didatangkan Jan Pieterszoon Coen
(Gubernur Jenderal VOC yang terkenal itu) ke Neira. Mereka di­
sewa untuk menyembelih 40 orang pemuka masyarakat Banda
yang menolak klaim Belanda dalam monopoli niaga pala. Tubuh
ke-40 orang itu dicincang, kepala mereka dipancangkan di deret­
an tiang.
Di dinding di belakang perigi itu juga tertulis sederet nama
orang dari pelbagai penjuru Nusantara yang dibuang ke pulau itu
sejak abad ke-19: dari Pontianak, Yogya, Kutaraja, Cirebon, Se-
rang, Blitar. Pada abad ke-20 ada nama yang kini lebih dikenal:
Cipto Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri, Hatta, Sjahrir.
Tak akan mengherankan bila dari kepulauan ini sejarah tam-
pak berbeda: kita tak akan mengatakan bahwa yang berlangsung
selama lebih dari 350 tahun di Nusantara adalah 350 tahun pen-
jajahan. Dari Banda kita jadi tahu: sejarah Nusantara adalah 500
tahun perlawanan. Dan Des Alwi, yang lahir 7 November 1927
di Neira dan sejak kecil mengenal Cipto, Hatta, dan Sjahrir—
http://facebook.com/indonesiapustaka

orang-orang hukuman yang mengubah hidup Des—mungkin­


saksi terakhir dari rangkaian perjuangan panjang itu. Saya me-
nyadari itu ketika sore itu saya dan beberapa teman duduk di de­
kat­nya, mendengarkan ceritanya, di petak atap Benteng Belgica

494 Catatan Pinggir 9


DES

yang berumur 400 tahun. Seakan-akan pada sore itu, sejumlah


abad bertemu.
Benteng yang menjulang hitam di bukit ini dibangun Belanda
pada 1611. Letaknya dipilih pada posisi yang bisa mengawasi se-
antero selat dan laut. Sejak didirikan, empat menara pengintainya­
menyaksikan armada-armada Eropa datang, meriam-meriam di­
tembakkan, destruksi dan pembunuhan berkecamuk: 200 orang
Belanda dihabisi pasukan Inggris di Pulau Ai pada 1615, ratus­
an­orang Inggris dibantai Belanda sebagai pembalasan. Dari sini
pula tampak kapal-kapal Inggris meninggalkan Pulau Run se­te­
lah pulau itu ditukar-guling dengan Pulau Manhattan milik Be-
landa di New York pada 1667. Tapi seratus tahun lebih kemudian,
pada 1810, marinir Inggris merebut Benteng Belgica.
Abad demi abad, energi dicurahkan, dan uang diperebutkan
de­ngan gigih dan ganas hingga dunia berubah. Kekuasaan pun
tegak dan runtuh, kemerdekaan ditindas atau dilahirkan....
Hari mulai gelap ketika Des berkisah tentang kemerdekaan
yang dicoba digagalkan tapi dilahirkan kembali: Indonesia yang
tak mudah. Des bukan sejarawan, bukan pula pelaku utama,
tapi—dan ini lebih menarik—ia saksi yang terlibat. Jika kita baca
bukunya yang baru, Friends and Exiles, yang diterbitkan Cornell
University, kita dapatkan bukan saja kisah kelahiran Indonesia,
tapi juga kisah seorang yang ”menjadi Indonesia”, sejak darah­dan
dagingnya, sampai dengan ketika ia terlibat, sengaja atau tidak,
dalam peristiwa-peristiwa besar yang mengguncang dan mem-
bentuk tanah airnya.
Des Alwi Baadila—yang orang tuanya berdarah Cina dan
”Mur” (nama ”Baadila” ditemukan di Maroko dan Spanyol),
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang masa kecilnya dibentuk Hatta dan Sjahrir, yang masa mu-
danya ikut bertempur dan terluka di Surabaya 10 November
1945—adalah contoh bahwa Indonesia ”men-jadi” dengan riwa­
yat seperti pantai pulau-pulau Banda: kekerasan bisa meletup, ta­

Catatan Pinggir 9 495


DES

pi inilah negeri yang tak merasa perlu memberi batas mutlak ten-
tang ”luar” dan ”asing”. Kecuali ketika yang ”luar” dan ”asing”
itu­ menegaskan diri dengan senjata dan pemaksaan. Dan kita
me­lawan.

Tempo, 25 Oktober 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

496 Catatan Pinggir 9


ERASMUS

I
ni akhir pekan Erasmus. Saya diminta bicara tentang hu­
man­isme dalam pandangan Indonesia untuk ulang tahun
to­koh humanisme Eropa yang lahir 27 Oktober 1466 itu di
Erasmus Huis, Jakarta. Saya tak tahu banyak tentang humanisme
abad ke-15 Eropa, dan yang pertama kali saya ingat tentang Eras-
mus adalah apa yang dikatakan Luther tentang dia. Bagi Luther,
pemula Protestantisme yang pada akhirnya mengambil posisi
yang tegas keras menghadapi Gereja itu, Erasmus ibarat ”belut”.
Licin, sukar ditangkap.
Erasmus memang tak selamanya mudah masuk kategori, tak
mudah menunjukkan di mana ia berpihak, ketika zaman penuh
empasan pertentangan keyakinan theologis. Pada mulanya ia
mem­bela Luther, ketika pembangkang ini diserang dan diancam,
tapi kemudian ia menentangnya, ketika Luther dianggapnya se-
makin mengganas dalam menyerang Roma. Dalam sepucuk su-
ratnya kepada Paus Adrianus VI, Erasmus sendiri mengatakan,
”Satu kelompok mengatakan hamba bersetuju dengan Luther
ka­rena hamba tak menentangnya; kelompok lain menyalahkan
hamba karena hamba menentangnya....”
Bagi Erasmus, sikapnya menunjukkan apa yang disebut di za-
mannya sebagai civilitas. Dalam kata-kata sejarawan Belanda ter-
kemuka, Huizinga, itulah ”kelembutan, kebaikan hati, dan mo­
de­rasi”.
Perangai tokoh humanisme abad ke-15 ini agaknya seperti so-
sok tubuhnya. Kita hanya bisa melihat wajahnya melalui kanvas­
http://facebook.com/indonesiapustaka

Holbein di Museum Louvre: kurus, pucat, wajah filosof yang me­


ditatif dan sedikit melankolis. Tetapi ia—yang merupakan pe­
nga­rang terlaris di masanya ini (seorang penjual buku di Oxford
pada 1520 mengatakan, sepertiga bukunya yang terjual adalah

Catatan Pinggir 9 497


ERASMUS

karya-karya Erasmus)—juga seorang yang suka dipuji. Dan di


balik sikapnya yang santun, ada kapasitas untuk menulis satire
yang sangat berat sebelah yang menyerang Paus Julius II. Dalam
sa­tire ini, Santo Petrus bertanya kepada Julius di gerbang akhirat:
”Apa ada cara mencopot seorang Paus yang jahat?” Jawab Julius:
”Ab­surd!”
Pada akhirnya memang tak begitu jelas bagaimana ia harus
diperlakukan. Ia meninggal di Basel, Swiss, pada 1536, tanpa di­
ser­tai seorang pastor, tanpa sakramen Gereja. Tapi ia dapat kubur
di katedral kota itu.
Agaknya itu menggambarkan posisinya: seorang yang mera-
gukan banyak hal dalam agama Kristen, tapi setia kepada Gereja.
”Aku menanggungkan Gereja,” katanya, ”sampai pada suatu hari
aku akan menyaksikan Gereja yang jadi lebih baik.”
Mungkin itulah sebabnya yang selalu dikagumi orang ten-
tang pemikir ini adalah seruannya untuk menghadapi perbedaan
pikiran dengan sikap toleran dan mengutamakan perdamaian.
”Tak ada damai, biarpun yang tak adil sekalipun, yang tak lebih
baik ketimbang kebanyakan perang.”
Dari sini agaknya orang berbicara tentang ”humanisme Kris-
ten” bila berbicara tentang Erasmus—atau, dalam perumusan
lain, ”rasionalisme religius”. Dalam jenis ”rasionalisme” ini, skep­
tis­isme dan rasa ingin tahu, curiositas, diolah dengan baik, tapi
pa­da akhirnya tetap dibatasi oleh apa yang ditentukan agama.
Tak mengherankan bila Ralf Dahrendorf menyebut posisi Eras-
mus sebagai ”leise Passion der Vernunft”, gairah yang lembut un-
tuk akal budi.
Dalam hal itu, Erasmus memang tak bisa diharapkan akan
http://facebook.com/indonesiapustaka

mengatasi pikiran yang umum di zamannya—yang tak amat le-


luasa dan luas. Di abad ke-21 sekarang, rasa ingin tahu yang di­
ken­dalikan oleh iman bukanlah sikap ilmiah maupun filsafat. Itu
hanya sikap yang membuat pemikiran buntu.

498 Catatan Pinggir 9


ERASMUS

Dalam kasus lain, Erasmus juga bisa tidak konsisten. Pernah


un­tuk menghadapi kritik pedas Ulrich von Hutten—seorang to-
koh Reformasi Jerman yang teguh tapi sengsara—Erasmus ikut
bersama para tokoh Gereja di Basel untuk mengusir orang itu dari
kota. Dalam kasus lain, Erasmus memang penganjur jalan­ da­
mai­menghadapi Turki, tapi ia tetap memandang ”Turki” seba­gai
yang tak setara dengan Eropa yang Kristen.
Pendek kata, pada diri Erasmus ada nilai-nilai yang menga­
gum­kan dari humanisme, tapi juga ada unsur yang menyebabkan­
humanisme itu dikecam. Humanisme ini sejak mula—dengan
kegairahannya mempelajari khazanah yang tak hanya terbatas
pa­da kitab agama, tapi juga karya-karya Yunani Kuno yang ”ka­
fir”­—yakin bahwa kita, sebagai manusia, dapat menangkap du­
nia obyektif dengan menggunakan akal budi. Di dalamnya ter­
sirat asumsi bahwa (tiap) manusia adalah identitas yang tetap,
atau ”diri” dan ”subyek” yang utuh dan tak berubah. Subyek ini
me­nentukan makna dan kebenaran. Pikiran manusia menang­
kap­dunia sebagaimana adanya dan bahwa bahasa merupakan re­
presentasi dari realitas yang obyektif.
Dalam perkembangannya kemudian, pandangan seperti ini
terbentur kepada apa yang jadi tajam sejak abad ke-19 Eropa. Dan
itu ketika manusia, sebagai subyek yang ulung, jadi penakluk
”yang-lain” di sekitarnya. Ternyata sang subyek tak seluruhnya
bisa dikatakan utuh, tetap, dan rasional. Tak berarti manusia sia-
sia.
Erasmus sendiri menulis sebuah karya satire yang termasyhur,
Encomium Moriae, yang dalam bahasa Inggris terkenal sebagai
The Praise of Folly. Di dalamnya, folly atau laku yang gebleg, yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

tak masuk akal, dipujikan. ”Tak ada masyarakat, tak ada kehi­
dup­an bersama, yang dapat jadi nyaman dan awet tanpa sikap ge­
bleg.” Dengan sikap gebleg itulah manusia mencintai, bertindak
berani, termasuk berani menikah, apalagi cuma sekali, dan de-

Catatan Pinggir 9 499


ERASMUS

ngan sikap yang tak masuk akal pula ia percaya kepada apa yang
diajarkan agama.
Mungkin manusia selalu harus mengakui ada yang lain yang
menyertai satu sisi dari dirinya dan satu bagian dari dunianya.
Yang lain dan yang tak cocok bahkan tak senonoh itu tak dapat
dibungkam—atau manusia hilang dalam kepongahan dan keti-
dakadilan.

Tempo, 1 November 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

500 Catatan Pinggir 9


EUMENIDES

K
ITA kira-kira tahu dari mana datangnya hukum, tapi
tahukah kita dari mana datangnya keadilan?
Hukum memang dimaksudkan sebagai aktualisasi dari
”rasa keadilan”. Kata ”rasa” di sini sebenarnya lebih dekat ke arah
”ke­sadaran”. Dengan catatan: kesadaran akan keadilan itu tak
ha­nya sebuah produk kognitif, hasil proses pengetahuan, melain-
kan juga tumbuh melalui proses penghayatan. Dengan kata lain,
sebagai aktualisasi, hukum adalah ibarat realisasi dari hasrat yang
kita sebut ”rasa keadilan” itu.
Tapi ”rasa keadilan” punya sejarah yang rumit, separuhnya ge­
lap yang mungkin belum juga selesai.
Ada masanya ”keadilan” kurang-lebih sama dengan pembalas­
an simetris, sesuatu yang kita dapatkan dalam cerita silat Hong
Kong abad ke-20 atau riwayat Keris Empu Gandring dari Jawa
abad ke-11: Ken Arok membunuh Tunggul Ametung, dan atas
na­ma keadilan, Ken Arok dibunuh Anusapati, kemudian Anusa-
pati dibunuh Tohjaya. Pendek kata, pelbagai versi lex talionis yang
mengharuskan, untuk memakai rumusan Perjanjian Lama, ”satu
mata dibalas satu mata”.
Tapi jika ”keadilan” yang sama artinya dengan dendam itu kita
temukan dalam cerita, juga dalam Mahabharata, agaknya hanya
sebuah karya Aeschylus di Yunani abad ke-5 sebelum Masehi kita
temukan bagaimana ”keadilan” itu mengalami transformasi.
Dalam lakon Oresteia yang terdiri atas tiga bagian itu, Aga­
mem­non membunuh anaknya yang perempuan, dan sebagai
http://facebook.com/indonesiapustaka

pem­balasan ia dibunuh istrinya sendiri, ibu si gadis. Dalam kisah


berikutnya, si ibu dibunuh oleh Orestes, anak kandungnya. Se­
mua­nya­atas tuntutan keadilan.
Memang kepada sahabatnya, Pylades, ia bertanya: ”Apa yang

Catatan Pinggir 9 501


EUMENIDES

kulakukan? Membunuh ibu sendiri, betapa mengerikan!” Tapi


atas nama hukum Zeus dan Apollo, ia akhirnya melakukan hal
yang mengerikan itu juga.
Tak ayal, para dewi pembalasan yang disebut Ερινυς—yang
dalam bahasa Inggris disebut ”the furies”—mengejarnya. Orestes
harus membayar perbuatannya dengan nyawanya.
Namun trilogi ini berakhir dengan sebuah transformasi yang
radikal: lex talionis digantikan dengan sebuah proses peradil­an.
De­wi Athena datang dan memanggil sebuah dewan juri buat
meng­ambil keputusan dengan pemungutan suara. Athena sen­di­­
ri memberikan suara untuk membebaskan Orestes. Lalu diubah­
nya para peri pembalasan jadi peri budi baik, eumenides. Dalam
ki­sah ini, mereka ditanam di bawah gedung pengadilan untuk se­
lama-lamanya.
Pendek kata, ini adalah lakon lahirnya hukum yang berbeda
sama sekali.
Tapi di situ tampak juga, betapa hukum meringkas dan me­
ring­kus. Hukum yang diletakkan dasarnya oleh Athena memo-
tong ingatan; kejahatan masa lampau tak bisa dikenang terus se­
penuhnya. Tak ada dendam tujuh turunan.
Hukum itu juga meringkus: ia tak mengizinkan perasaan pri­
badi seseorang bergejolak jadi pedoman memutuskan ”pembalas­
an”. Mungkin inilah awal pandangan yang disebut ”positivisme
hukum”: para hakim tak boleh menggunakan perasaan dan nilai-
nilai pribadinya. Mereka hanya harus mengikuti apa yang diga­
ris­kan undang-undang—biarpun itu dirasakan tak adil.
Dalam sebuah lakon terkenal Sophocles di masa sesudah Aes­
chylus, Antigone, positivisme itulah yang jadi prinsip Raja Kreon.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ia melarang salah seorang putra Oedipus yang tewas dikuburkan


di dalam makam Thebes. Pemuda itu mati dalam peperangan
yang melawan tanah airnya sendiri. Ia pengkhianat. Menurut un-
dang-undang yang berlaku, mayatnya harus dibiarkan tergeletak

502 Catatan Pinggir 9


EUMENIDES

dimakan gagak di luar dinding kota.


Bagi Antigone, saudara sekandung pemuda yang mati itu, hal
itu tak bisa diterima. Untuk itu Antigone siap melawan dan me­
ngor­­bankan diri, karena ia percaya ada hukum yang lebih luhur,
yakni hukum dari dewa-dewa, dibandingkan dengan hukum ke­
rajaan. Sebaliknya bagi Kreon, yang baru saja selesai berperang,­
negara tak akan kukuh hukumnya bila ia goyah—meskipun
putra­nya sendiri, tunangan Antigone, membela gadis yang mem-
bangkang itu.
Tapi dari kedua lakon Yunani Kuno itu kita bisa tahu: di dasar
hukum, di awal hukum, ada kekerasan yang disembunyikan. Pa­
ra dewi pembalasan yang tertanam di bawah mahkamah adalah
semacam bawah sadar hukum positif. Dan kita lihat: hukum
Kreon adalah kelanjutan dari peperangan.
Bahkan hukum mengandung kekerasan sejak awal, ketika un-
dang-undang mereduksikan hidup seseorang yang unik dan khas
jadi oknum yang bisa dikenai hukum yang berlaku umum. Derri­
da menyebut reduksi ini ”kekerasan klasifikasi”.
Dengan kekerasan itu, di mana keadilan tanpa darah? Jika ke-
adilan telah diubah jadi sesuatu yang tak lagi pembalasan den-
dam, dari manakah keadilan datang? Antigone berbicara tentang
hukum dewa-dewa yang lebih adil, sebab para dewa tahu bahwa
seorang manusia tak bisa dianggap sebagai sekadar sebuah kasus
legal.
Tapi pada saat yang sama kita tahu para dewa Yunani Kuno
ikut dalam percaturan yang berdarah antara manusia. Rasanya­
tak ada mereka digerakkan oleh rasa keadilan. Dalam agama
Abra­hami, Tuhan disebut maha adil, tapi kita tak paham meng­
http://facebook.com/indonesiapustaka

apa,­dalam Alkitab, Tuhan menyengsarakan Ayub walaupun le-


laki yang baik dan soleh ini tak berbuat aniaya.
Persoalan seperti ini menyebabkan riwayat keadilan tak sela­
ma­nya jelas, dan mungkin memang tak akan jelas. Tapi tiap kali

Catatan Pinggir 9 503


EUMENIDES

kita tahu, ketika rasa keadilan kita terkoyak, kita melihat ke se-
buah arah, sebuah cakrawala, yang mengimbau kita dan mung-
kin mengubah kita jadi seseorang yang berteriak: ”Keadilan, atau
kehancuran!”
Seakan-akan keadilan punya dewi pembalasan yang tak bisa
dibenamkan oleh bangunan mahkamah mana pun. Hukum se-
lamanya sebuah kekurangan.

Tempo, 8 November 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

504 Catatan Pinggir 9


CICAK & BUAYA

... dan metafor pun menang. Mungkin itu tak disadari ketika­ka­
ta ”cicak” melawan ”buaya” dipakai pertama kalinya dalam per­
tentangan yang kini disebut sebagai konflik antara ”KPK” dan
”Polisi”. Saya yakin Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji­ tak­
memperhitungkan betapa ampuhnya perumpamaan yang di­pa­
kainya dalam majalah Tempo, 16 Juni 2009:

”Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya, di situ cicak. Ci­


cak kok me­lawan buaya....”

Dari sana, muncullah dalam gambaran pikiran kita dua pe­la­


ku yang bertentangan—dan tak seimbang.
Yang satu reptil kecil. Ia tak lebih dari 10 sentimeter pan-
jangnya, hidup di celah-celah rumah kita, tak mengganggu, de-
ngan suaranya yang berbisik. Ia bahkan menyenangkan: mang-
sanya nyamuk-nyamuk yang menggigiti jangat kita. Anak-anak
menyanyikan lagu yang riang tentang dia, (”Cicak-cicak di din­
ding­...”) dan pada umumnya ia tak membuat takjub siapa pun,
ke­cuali orang dari Eropa yang tak pernah melihat ”kadal” kecil
da­ri khatulistiwa itu.
Yang seekor lagi reptil besar. Ia bisa sampai 8 meter panjang-
nya. Kulitnya kasar keras, moncongnya menakutkan, dan meski-
pun matanya seakan-akan tertidur, ia mendadak bisa menyerang.
Kecuali ketika diternakkan atau dikurung di kebun binatang,
ha­bitatnya jarang didatangi manusia. Ia pembunuh. Mangsanya
http://facebook.com/indonesiapustaka

he­wan lain, juga kita.


Dalam bahasa Indonesia, ”buaya” umumnya sebuah metafor
untuk sesuatu yang punya sifat tak baik: ”buaya darat”, misalnya.
Ada memang kata ”buaya kroncong”, yang barangkali dipakai­

Catatan Pinggir 9 505


CICAK & BUAYA

un­tuk mengesankan sifat penggemar yang amat doyan jenis mu­


sik itu—dan penggemar itu tak gampang puas.
Maka memang aneh, kenapa justru seorang jenderal polisi
meng­umpamakan dirinya—mungkin juga korpsnya—dengan
seekor reptil yang ganas. Besar kemungkinan ia hanya melihat
da­lam diri buaya faktor kekuatan yang handal. Atau mungkin
ju­ga kepintaran yang agresif. Dalam wawancara yang saya kutip­
tadi, Susno Duadji melihat pihak ”sana”, yakni KPK, sebagai ci­
cak yang ”masih bodoh”. Pihaknya, si buaya, sebenarnya sudah
ber­usaha ”memintarkan”, tapi sang cicak tak kunjung pandai. Si
kecil itu telah diberi kekuasaan, kata Susno Duadji, tapi ”malah
mencari sesuatu yang enggak dapat apa-apa”.
Dari semua itu tampak, metafor Susno—seperti halnya meta-
for pada umumnya—tidak berperan sebagai ornamen. Memang
ada yang menganggap sebuah metafor cuma sebingkai hiasan,
ka­rena selalu mengandung sesuatu yang penuh warna dan rupa
(de­ngan kata lain: sesuatu yang tercerap pancaindra). Tapi orang
yang menganggap bahasa metaforik hanyalah hiasan untuk
mem­perindah sebuah gagasan sebenarnya tak tahu, bahwa baha-
sa tak dimulai dari ide. Bahasa bermula dari tubuh. Bahasa ber-
pangkal dari proses indrawi.
Itu sebabnya acap kali bunyi mendahului pemberian arti. Dan
ini berlaku sejak kata seru seperti ”Wah!” sampai kata benda yang
mengandung bunyi yang menimbulkan imaji dan asosiasi terten-
tu di dalam pikiran kita. Kata ”sulur”, misalnya, mengandung
bu­nyi ”lur” yang kita dapatkan dalam ”julur”, ”salur”, ”balur”:
se­buah bunyi yang menimbulkan imaji tentang sesuatu yang me-
manjang tapi tak meregang.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dari sesuatu yang konkret seperti itulah (bunyi dan imaji),


dan bukan sesuatu yang rasional dan kognitif, metafor dilahirkan
dan dipergunakan. Metafor memang mirip simbol. Baik metafor
maupun simbol memakai sesuatu yang konkret untuk menyam-

506 Catatan Pinggir 9


CICAK & BUAYA

paikan sebuah pengertian. Tapi antara keduanya ada beda yang


fundamental.
Simbol: kita menemukannya dalam pohon beringin yang di-
pilih untuk merumuskan cita-cita Partai Golkar; atau palu-arit
untuk menghadirkan dasar kelas sosial dan ideologi PKI. Tapi bi­
la simbol dipilih dengan rencana yang sadar, metafor lahir lebih­
spontan; ia lebih bergerak ke arah asosiasi ketimbang ke arah kon-
sep. ”Pungguk merindukan bulan” adalah sebuah metafor, bukan
simbol, sebab yang muncul dari kalimat itu adalah imaji se­ekor
burung buruk muka yang hinggap di sebuah dahan ketika­malam
mengagumi purnama. Antara si pungguk dan rembulan­itu ada
kontras yang jelas—juga jarak yang tak akan terjangkau.­Metafor
itu lebih memantulkan situasi yang melankolis ketimbang meng­
ikhtisarkan sebuah ide tentang cinta yang tak sampai.
Juga ketika kata ”cicak” dan ”buaya” dengan spontan dipakai:
sa­ya kira yang berperan bukan sebuah konsep yang dipikirkan.
Bah­kan ada anasir dari bawah sadar yang bekerja.
Dipakai dalam sebuah suasana konflik, kedua kata itu mensu­
ges­tikan bahwa yang terjadi tak berbeda dari perseteruan di alam
bebas, di mana penyelesaiannya bukanlah atas dasar hukum se­
ba­gai aturan bersama, melainkan ditentukan oleh kekuatan. Me-
mang Susno Duadji tak melanjutkan cerita tentang cicak-lawan-
buaya itu dengan cerita bentrokan. Ia mengatakan, sang buaya
tak marah, ”cuma menyesal” karena menurut penilaiannya si ci­
cak masih tetap saja bodoh. Namun dengan mengambil ibarat
dari dunia hewan, kekerasan dan kebuasan jadi demikian tam-
pak penting ketika sebuah pertentangan harus diputuskan.
Mungkinkah itu yang sebenarnya tersimpan di kepala: bah-
http://facebook.com/indonesiapustaka

wa konflik antarlembaga negara hanya selesai karena kekuatan fi­


sik, bukan karena aturan yang sudah ada dan rasionalitas dalam
manajemen pemerintahan? Ataukah metafor yang kini dipakai
secara luas itu memang menunjukkan sebuah pengakuan bahwa

Catatan Pinggir 9 507


CICAK & BUAYA

”hukum” selalu punya dimensi konflik politik? Bahwa pengerti­an


”keadilan” sesungguhnya ditentukan melalui sebuah persaing­an
hegemoni atas bahasa dan makna?
Apa pun jawabnya, sebuah metafor telah menang. Ia bahkan
lepas dari keinginan sang pemakai pemula. Ia ramai-ramai di-
pungut, mungkin karena imaji yang muncul dari dunia hewan
itu mengasyikkan seperti sebuah fabel. Tapi bukankah dongeng
yang kita sukai bisa bercerita tentang hasrat dan cemas kita yang
tersembunyi?

Tempo, 15 November 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

508 Catatan Pinggir 9


WATCHMEN

K
etika polisi tak ada, dan keadilan terasa asing, mun-
cullah Watchmen. Dalam cerita bergambar karya Alan
Moore dan Dave Gibbons ini, sejumlah orang luar biasa
perkasa menyamar sebagai vigilante: penyelamat kota dari kekeji-
an, penyelamat Republik dari musuh, bahkan penyelamat dunia
dari perang besar Armageddon.
Rorschach, salah seorang dari mereka, memulai cerita ini de-
ngan menulis dalam catatan hariannya, 12 Oktober 1985: ”Kota
ini takut kepadaku. Aku telah melihat mukanya yang sebenar­
nya.” Bagi Rorschach, yang menutup wajahnya dengan topeng
pu­tih bebercak-bercak hitam, jalanan kota telah jadi ”selokan
meman­jang” yang ”penuh darah”. Ia merasa unggunan najis ”seks
dan pembunuhan” akan menggenang membusa sampai ping-
gang, dan ”semua cabo dan politikus akan memandang ke atas
dan ber­teriak, ’Selamatkan kami.’”
Rorschach adalah suara yang tajam getir, yang bergetar di atas
garis yang jelas: ”Sebab ada kebaikan dan ada mala, dan mala ha-
rus dihukum. Bahkan sampai di hadapan Armageddon aku tak
akan berkompromi dalam perkara ini.”
Berbeda dari Rorschach adalah Eddie Blake, ”The Comedi-
an”. Ia menertawakan hidup dengan sinisme yang dalam. Ia tahu
masa depan, yang bergerak cepat, tak punya tempat berlindung:
dunia, seraya meneruskan lukanya yang busuk, hidup di bawah
ancaman perang nuklir. ”Blake mengerti,” kata Rorschach ten-
tang kawannya ini. ”Ia melihat wajah abad ke-20... dan memilih
http://facebook.com/indonesiapustaka

untuk jadi sebuah cerminan dan sebuah parodi tentang abad ini.”
Maka Blake adalah kebrutalan. Ia mencoba memerkosa re­
kan­nya sendiri dalam kelompok vigilante The Minutemen. Ia
ikut dalam Perang Vietnam, tapi cepat-cepat meninggalkan Sai-

Catatan Pinggir 9 509


WATCHMEN

gon ketika musuh mulai meringsek; ketika seorang perempuan


se­tempat yang dihamilinya marah karena ia begitu tak bertang-
gung jawab, ditembaknya perempuan itu dari jarak dekat di tem-
pat umum. ”Blake itu menarik,” kata Dr Manhattan. ”Aku be-
lum pernah bertemu dengan orang yang seperti dia: dengan se­
nga­ja tak bermoral.” Di Vietnam, orang macam ini cocok, karena
”kegilaan itu, pembantaian yang seenaknya itu”.
Tak begitu jelas bagi saya, mengapa The Comedian bergabung
dengan tokoh-tokoh bertopeng atau setengah bertopeng yang pe­
nuh niat baik untuk menyelamatkan kota dari kebusukan. Tak
be­gitu jelas apa yang baik dan adil dan apa yang tidak bagi orang
ini. Tapi jika ada yang menyebabkan cerita bergambar Watchmen
punya arti lain adalah justru kemampuannya menampilkan be-
tapa tak murninya kebaikan, sebagaimana betapa tak murninya
ke­jahatan.
Tokoh yang paling berbudi dalam cerita ini adalah Dr Man-
hattan. Seorang ilmuwan muda yang cemerlang, Jon Osterman,
terjebak dalam ruang eksperimen dan kecelakaan dahsyat terja­
di. Ia berubah jadi manusia yang punya daya yang ajaib. Ia bisa
me­ngendalikan struktur atom. Ia mampu menghancurkan tank
dengan mengarahkan energi dari telunjuknya. Ia sanggup mela­
yang­langsung ke Mars. Ia juga dapat memindahkan tubuh ma-
nusia dari jarak jauh. Tapi ia tak berbuat apa-apa ketika di ha-
dapannya, Blake menembak perempuan Vietnam itu. ”Kau bisa
mengubah pistolku jadi uap...,” kata Blake ketika Dr Manhattan
menegurnya. ”Tapi kau tak menggerakkan jarimu sama sekali.”
Adrian Veidt juga istimewa. Orang mengatakan dialah manu­
sia paling cerdas di dunia. Mundur dari kelompok vigilante, ia
http://facebook.com/indonesiapustaka

membangun kekayaan yang tak tanggung-tanggung. Dengan


itu­lah ia membangun sebuah pusat di Kutub Selatan—dan dari
sana, ia membinasakan ribuan orang di Kota New York. Dengan
itu, ia berhasil mengalihkan dua negara superkuat, Amerika Seri-

510 Catatan Pinggir 9


WATCHMEN

kat dan Uni Soviet, dari permusuhan. Keduanya jadi sekutu, ka­
rena merasa ada kekuatan lain dari luar bumi yang mengancam.
Adilkah tindakannya? ”Jon,” katanya kepada Dr Manhattan
menjelang cerita berakhir, ”aku tahu orang menganggap aku tak
punya perasaan lagi.... Apa yang penting adalah bahwa aku tahu
aku telah bergulat menyeberangi tubuh orang-orang tak bersalah
yang terbunuh untuk menyelamatkan umat manusia.... Tapi ha-
rus ada seseorang yang menanggung beban berat kejahatan yang
keji tapi perlu itu.”
Benarkah? Veidt sendiri tak yakin. Ia masih bertanya, ”Jon...
apa yang kulakukan benar, bukan? Semuanya berakhir baik.”
Tapi Osterman hanya menjawab, ”Tak ada yang berakhir, Adri-
an. Tak akan ada yang pernah berakhir.”
Juga keputusan tentang kebaikan dan kekejian tak akan ber­
akhir.­ Rorschach merasa ada konfrontasi yang tegas antara ke­
baik­an dan mala, tapi ia sendiri meletakkan garis itu pada keke­
rasan yang brutal.
Tapi mungkin dengan itu ia ingin memperingatkan bahwa
baik otoritas moral yang diwakili lembaga resmi—polisi, penga-
dilan, hukum—maupun dirinya, seorang vigilante, bermula se­
ba­gai kekerasan. Seperti dialami para tokoh Watchmen, tiap kali
kita bersikap bahwa kebaikan diri kita tak sedikit pun terkonta­
mi­nasi kejahatan, akan terjadi kesewenang-wenangan.
Sebab itu, perlu dekonstruksi. Dekonstruksi adalah keadilan,
kata Derrida: membuka diri kita kepada yang di sana yang berbe­
da dan dibungkam. Termasuk bagian diri sendiri yang cacat.
Itu sebabnya keputusan untuk adil tak bisa bertolak hanya da­
ri hukum yang ada. Keputusan yang adil perlu menggunakan
http://facebook.com/indonesiapustaka

atur­an tapi juga meniadakannya. Tiap kali harus ada peninjauan


kembali. Tiap kali harus ada kerendahan hati.
Apa yang menakutkan dari Watchmen adalah bahwa manu-
sia-manusia itu, yang menyamar, sebenarnya juga setengah me-

Catatan Pinggir 9 511


WATCHMEN

nutup mata. ”Kota ini takut kepadaku,” kata Rorschach. ”Aku


telah melihat mukanya yang sebenarnya.” Tapi bisakah ia melihat
mukanya sendiri yang sebenarnya?

Tempo, 22 November 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

512 Catatan Pinggir 9


CESARE

P
ernah ada sebuah zaman ketika agama, zina, kekuasa­
an, uang, nepotisme, jual-beli jabatan, perang, pembu­
nuh­an, dan moralitas campur baur. Itulah abad ke-16 di
Ita­lia, ketika Paus Aleksander VI naik Takhta Suci.
Ketika Kardinal Rodrigo Borgia dipilih dengan suara bulat­
da­lam pertemuan para uskup tanggal 10 Agustus 1492, Paus baru
ini memilih nama ”Aleksander” tokoh sejarah ”yang tak terka­
lah­kan”, katanya, mengacu ke sebuah nama penakluk yang tak
per­nah mengenal Yesus. Upacara penobatannya meriah. Roma
menyaksikan dengan penuh kegembiraan barisan panjang kuda
putih, 700 pastor dan kardinal berpakaian warna-warni, deretan
kesatria dan pasukan panah, parade permadani dan lukisan. Di
ujung prosesi itu Aleksander kemudian tampak: dalam usia 61 ia
tetap gagah, tubuhnya tinggi, penuh energi, dengan sikap perca­
ya diri yang mengesankan.
Di masa itu, tak banyak yang berkeberatan dengan kemewah-
an itu. Juga tak ada yang mengungkit kehidupan pribadi Sri Paus:
ia naik jenjang karier sampai jadi kardinal dalam usia 25 tahun.
Tentu saja jalur cepat itu karena Paus Calixtus III adalah paman-
nya. Yang tak bisa dilupakan adalah bahwa Kardinal Borgia yang
pandai memimpin Kuria itu, yang unggul dalam administrasi
dan politik, juga ganteng, hangat, bijak bestari, dan memikat hati
para perempuan. Pada umur 29 tahun, sang kardinal punya anak
gelap pertama.
Enam tahun kemudian, seorang perempuan lain jadi ibu dari
http://facebook.com/indonesiapustaka

empat anak yang baru, antara lain Cesare.


Itu memang zaman ketika kehidupan seksual para petinggi­
Gereja berlangsung tanpa diributkan. Itu juga zaman ketika ke­
dudukan kepausan bisa dimanfaatkan untuk mengumpulkan

Catatan Pinggir 9 513


CESARE

da­na dan memberi tempat bagi sanak keluarga. Paus Aleksander


memperoleh 30 ribu dukat uang untuk memberi izin perceraian
seorang raja Hungaria, menerima bayaran 120 ribu dukat dari 12
kardinal yang dipromosikannya. Sebuah sajak satire pernah ditu-
lis tentang itu: ”Aleksander menjual kunci, altar, dan Kristus....”
Sang Paus tak peduli. Ia tak mendengarkan apa yang dika­
ta­­kan orang ramai tentang dirinya. Ia mengukuhkan takhta ke­
paus­an, dan untuk itu segala cara ditempuh. Ia beruntung. Ia
men­­dapatkan bantuan dari putranya, Caesar Borgia, sang penak­
luk yang berhasil memperluas wilayah kepuasan—terutama se­te­
lah anak muda itu, dalam usia 22 tahun, melepaskan jabatannya
sebagai kardinal dan terjun memimpin peperangan.
Cesare, yang tak kalah rupawan ketimbang ayahnya, bertu-
buh jangkung dan berambut pirang, adalah lelaki perkasa yang
ko­non mampu membengkokkan sepatu kuda dengan tangan te­
lanjang. Ia bisa merobohkan seekor banteng dengan sekali tebas.
Ia tak mengenal takut. Ia periang dan cerdik. Perempuan menga­
guminya tapi tahu bahwa mereka hanya akan dipergunakan se-
bentar. Nafsu utama lelaki ini hanya satu: kekuasaan. Ia bisa bru-
tal dan keji, ia bisa cerdik dan culas. Tapi ia bisa menenangkan
rakyat di bawahnya.
Ia hidup menyendiri di Roma, setengah tersembunyi, hingga­
begitu banyak desas-desus beredar bagaimana ia meracun mu­­suh­
politiknya, atau memenjarakan orang penting untuk kemudi­
an dilepaskan setelah membayar ribuan dukat. Tak pernah je­
las­ tercatat dalam sejarah, benarkah semua itu dilakukannya.
Bagaimanapun juga, ia memang penguasa yang tegas dan efek-
tif, dalam menipu, menjebak, dan membinasakan mereka yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

menghambat jalannya. Tapi juga dalam memerintah, ia bisa


meng­ambil hati mereka yang hidup di bawah.
Sejarah kekuasaannya, sebagaimana kekuasaan ayahnya, me-
nimbulkan perdebatan sampai hari ini, dan tak hanya di Italia:

514 Catatan Pinggir 9


CESARE

tak adakah dorongan lain dalam dinamika kekuasaan politik, se-


lain mendapatkan dan menggunakan kekuasaan politik?
Machiavelli, yang menulis Il Principe, menggambarkan­pe­ri­
laku Cesare Borgia dengan penuh pujian: ”Ia dianggap kejam...
tapi kekejamannya bisa menggabungkan kembali Roamagna,
me­nyatukannya, dan memulihkannya ke dalam suasana damai
dan setia....” Cesare bisa menimbulkan rasa takut, tapi juga rasa
cin­ta, dari orang lain. Bagi Machiavelli, seorang penguasa yang
ha­rus memilih antara dicintai atau ditakuti, lebih baik memilih
yang terakhir. Ia harus bisa mengorbankan cinta.
Salahkah Machiavelli? Hegel memuji pemikir politik Italia
da­ri abad ke 16 itu dalam hal ”kesadarannya yang tinggi tentang
hal-hal yang niscaya dalam membentuk sebuah negara”. Semua­
nya­harus bisa diperalat, juga agama. Machiavelli mengambil te-
ladan dari Numa Pompilius yang memimpin Roma: untuk men-
jinakkan sebuah masyarakat yang ganas dengan cara yang damai,­
Numa memakai agama sebagai ”penopang yang paling perlu dan
pasti bagi tiap masyarakat yang beradab”.
Tapi tampak, bagi Machiavelli dorongan pertama bukanlah
dorongan religius, bukan untuk mendekatkan diri kepada Ke­
baik­an yang Kekal, melainkan dorongan politik: berkuasa dan
me­lahirkan ketertiban. Nilai-nilai yang dianjurkan Tuhan tak
penting kecuali untuk itu. Tak mengherankan bila seorang pe­
nga­gumnya menyebut dia irrisor et atheos, ”seorang atheis yang
membawakan satire” dalam filsafatnya tentang kekuasaan.
Machiavelli tak salah: ia membongkar apa yang nyata dalam
ke­hidupan politik, bukan apa yang seharusnya. Sebab apa yang
se­harusnya (yang berdasarkan sesuatu yang transendental) pa­da
http://facebook.com/indonesiapustaka

akhirnya ditentukan tafsirnya oleh siapa yang di dunia ini me­


nang atau ingin menang.
Tapi kita dengan mudah bisa menunjukkan, Machiavelli tak
lengkap. Hidup tak hanya tumbuh dalam ketertiban dan kekua-

Catatan Pinggir 9 515


CESARE

saan. Pengalaman menunjukkan, hidup juga punya momen yang


transendental. Ada yang menggugah entah kenapa dari saat yang
”ethikal”: ketika kita merasa bertanggung jawab untuk adil, ter­
utama­kepada orang lain, terutama kepada yang menderita.

Tempo, 29 November 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

516 Catatan Pinggir 9


MELODRAMA

P
olitik terkadang butuh melodrama. Pada saat-saat ter-
tentu ia sebuah melodrama tersendiri bahkan. Seperti da­
lam sinetron yang silih berganti kita saksikan di TV—la-
kon-lakon yang itu-itu juga, Kitsch yang tanpa malu memperda-
gangkan ajaran budi pekerti yang simplistis—politik sebagai
melodrama bisa juga bicara tentang ”moral” dan pada saat yang
sama, tak meyakinkan.
Melodrama dibangun oleh ”monopati”. Kata ini saya pungut
dari Oliver Marchand yang menulis satu esai yang bagus tentang
po­litik sebagai teater dan teater sebagai politik (Marchand me-
minjamnya dari Robert Heilman). Monopathy adalah ”kesatuan
pe­rasaan yang membuat seseorang merasakan diri utuh”. Tokoh-
tokoh dalam sebuah melodrama ”tak punya konflik yang menda­
sar dalam dirinya”—berbeda dari tokoh-tokoh tragis, yang tero­
bek-robek antara nasib dan kebebasan, antara kewajiban besar
dan gelora hati. Melodrama adalah konflik manusia dengan ma-
nusia lain, sedang tragedi menghadirkan tokoh seperti Hamlet­
dan Oedipus, dan dengan demikian tragedi adalah konflik di da­
lam diri manusia. Maka melodrama bergantung pada permusuh­
an dengan sesuatu yang di luar sana—si jahat atau bakhil, ideo­
logi yang memusuhi atau kekuasaan yang akan menindas, alam
yang destruktif, dan lain-lain. Dalam melodrama, dunia hanya
hi­tam atau putih.
Maka benar juga jika dikatakan, melodrama mirip politik,
tra­gedi mirip agama—kecuali bila agama pun jadi proyek poli-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tik, bukan lagi merupakan ruang persentuhan aku dan Tuhan,


melainkan ruang persaingan atau benturan antara ”kami” dan
”mereka”.
Revolusi adalah model yang bisa jadi acuan jika kita bicara

Catatan Pinggir 9 517


MELODRAMA

ten­tang politik sebagai melodrama. Dramawan Peter Brooks me­


nunjukkan hal ini. Melodrama, katanya, adalah ”genre dan ucap­
an dari moralisme revolusi”. Dalam revolusi pesan moral di­uta­ra­
kan tanpa ambiguitas: di sini kaum revolusioner yang mulia,­di
sana kaum kontrarevolusioner yang keji.
Tiap revolusi menyangka, atau menyatakan diri, membawa
se­suatu yang baru. Revolusi Prancis menyatakan tahun permula­
an kekuasaan baru sebagai ”tahun nol”. Revolusi Rusia meng­
ubah nama-nama kota terkenal (”St. Petersburg” jadi ”Lenin-
grad”), juga Revolusi Indonesia menolak nama ”Batavia” dan
men­jadikannya ”Jakarta”. Bahkan Bung Karno mengubah nama
orang yang mengandung nama ”Belanda”: Lientje Tambayong
jadi ”Rima Melati”, Jack Lemmers jadi ”Jack Lesmana”.
Para sejarawan mungkin tak akan melihat apa yang ”baru” bi­
sa sedemikian absolut. Tarikh baru bisa dimaklumkan, nama ba­
ru bisa diterima umum, tapi senantiasa akan ada endapan dari
ma­sa lampau dalam peristiwa revolusioner yang mana pun. Lagu
Revolusi Oktober yang dinyanyikan dengan menggetarkan oleh
paduan suara Tentara Merah menggunakan melodi yang sama
dengan nyanyian Selamat Tinggal, Slavianka yang digubah pada
1912—yang juga dinyanyikan untuk membangkitkan semangat
pasukan Tsar menjelang perang di Balkan.
Sudah tentu, bagi kaum militan yang muncul menegaskan di­
ri dalam revolusi, apa yang ”baru” itulah yang menyebabkan me­
reka maju dan yakin. Badiou, yang menyebut Revolusi Prancis
dan Rusia sebagai ”kejadian”, l’evénement, mengklaim bahwa ke-
jadian itu adalah sebuah proses ”kebenaran”, dan ”kebenaran”,
(berbeda dari ”pengetahuan”) bersifat ”baru”. Mungkin seperti
http://facebook.com/indonesiapustaka

puisi yang lahir dan—meskipun menggunakan bahasa yang


ada—bisa dihayati sebagai baru sama sekali.
Persoalannya, sebuah revolusi (sebagai ”kejadian” yang dah­
syat­sekalipun) bukan hanya menerobos sebuah ”situasi”, bukan

518 Catatan Pinggir 9


MELODRAMA

sesuatu yang datang dari luar sejarah, melainkan juga datang dari
sebuah ”situasi”, dari sebuah keadaan yang terkadang disebut sta­
tus quo. Saya kira Marx lebih benar ketimbang Badiou: revolusi
bagi Marx tak akan terjadi bila tak ada keadaan obyektif, bila tak
terjadi penguasaan total alat produksi di masyarakat oleh kaum
borjuis dan makin meluasnya mereka yang tak punya apa pun,
kecuali tenaga.
Dengan kata lain, politik dan revolusi sebagai melodrama bu-
kanlah lakon seru yang tak dirundung ambiguitas dalam dirinya.­
Tiap perubahan besar sebuah masyarakat selamanya mengan­
dung­sifat yang tragis: kita bersengketa dengan diri kita sendiri,
gerak terasa mundur dan jadi antiperubahan, tak pastinya proses
yang biasa dibayangkan dalam pidato-pidato ”moralisme revolu-
sioner”.
Politik yang tetap tak ingin melihat diri sebagai melodrama
akan dengan cepat jadi komedi atau bahkan farce. Para pejuang
yang bukan lagi pejuang tapi terus mengklaim kesucian motif
dalam dirinya dan kemurnian semangat dalam kepejuangannya,
akan tampak menggelikan, atau semakin tak meyakinkan para
pe­nonton. Terutama dalam keadaan ketika elan perubahan telah
bercampur dengan rasa kecewa dan hilangnya keyakinan yang
meluas.
Tapi melodrama selalu tersimpan dalam sebuah masyarakat.­
Hidup terkadang terlalu penuh warna abu-abu hingga orang
meng­inginkan gambar yang tegas dan sederhana. Yang tragis me­
nakutkan. Kita pun membuat kisah seperti Ramayana dengan
akhir yang jelas dan bahagia: Sita kembali mendampingi suami­
nya­setelah Dasamuka yang jahat itu mati. Tak ada dalam cerita
http://facebook.com/indonesiapustaka

kita bahwa Sita harus dibakar untuk membuktikan dirinya ”suci”


setelah bertahun-tahun hidup di bawah kuasa lelaki lain.
Melodrama, dalam pentas dan dalam politik, memang meng­
asyikkan, dengan atau tanpa air mata. Tapi memandang politik

Catatan Pinggir 9 519


MELODRAMA

dengan sikap pengarang sinetron akan cenderung menampik ke-


sadaran akan yang tragis dalam sejarah—dan kita hanya akan
jadi anak yang abai dan manja.
Hidup tak bergerak dengan monopati.

Tempo, 6 Desember 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

520 Catatan Pinggir 9


PINTU

M
ereka saling tak kenal, tapi masing-masing mere­ka
berjalan ke sebuah pintu yang jauh. Ada seorang pe­
rempuan tua yang memetik tiga butir biji kopi di per­
kebunan negara. Ada seorang lelaki setengah baya yang mengam-
bil dua batang ketimun di kebun orang. Ada seorang perempuan
yang dituduh memfitnah karena mengeluh di surat kabar sore
kota itu.
Mereka berjalan dari sudut-sudut yang tak dekat. Ketika me­
re­ka tiba di gerbang yang berbeda-beda itu, masing-masing dice-
gat penjaga.
”Mau ke mana?” tanya juru pintu.
”Ketemu Hukum,” sahut mereka, sebuah jawaban yang sama,
dengan logat yang berbeda-beda, di tempat yang berjauhan.
”Belum boleh masuk,” kata sang penjaga.
Sebelum saya lanjutkan, para pembaca tentu tahu, saya se-
dang meminjam dari Kafka untuk cerita ini; maksud saya, saya
akan memakai—dengan diubah di sana-sini—parabelnya yang
ganjil dan muram, Vor dem Gesetz (”Di Depan Hukum”), karena
meskipun ditulis di Praha di awal abad ke-20, kali ini rasanya ia
diceritakan untuk kita.
Di depan Hukum, pintu terbuka, tapi perempuan itu, tak bisa
melangkah masuk. Ia mencoba melihat sedikit ke dalam, tapi
meng­urungkan niatnya, ketika penjaga pintu itu berkata: ”Ka-
lau kamu ingin masuk, meskipun sudah aku larang, silakan saja.
Tapi di balik pintu ini ada pintu lain, dan di baliknya lagi, ada
http://facebook.com/indonesiapustaka

pin­tu lagi, demikian seterusnya. Tiap pintu ada penjaganya, yang


makin lama makin perkasa dan makin angker. Bahkan di pintu
ketiga saja, si penjaga begitu rupa wajahnya hingga aku sendiri
tak berani melihat.”

Catatan Pinggir 9 521


PINTU

Perempuan itu diam. Si penjaga menerima suap, dengan alas­


an: ”Supaya nyonya tak merasa ada yang ketinggalan,” tapi pe­
rem­puan itu memutuskan akan menunggu saja. Ia pun duduk di
depan pintu. Dan ia duduk di sana bertahun-tahun, hingga ia ha-
fal bagaimana gerak tangan penjaga itu menabok nyamuk, mem-
bersihkan kutu. Ia bahkan hafal berapa ekor kutu tiap hari naik
ke topi itu.
Sampai akhirnya perempuan itu tua, rabun, dan mati.
Tapi beberapa saat sebelum mati, ia melihat seberkas cahaya
bersinar dari bagian dalam gerbang. Hanya sebentar. Ketika de-
ngan kupingnya yang besar si juru pintu menangkap bunyi napas
itu melemah, ia pun mendekat. Ia berdiri mengangkangi jasad si
nenek yang tergolek. Pada detik-detik terakhir, masih didengar-
nya bisik itu bertanya: ”Tuan, katakan, kenapa selama bertahun-
tahun ini, tak ada orang lain yang datang kemari? Kecuali saya?”
Penjaga itu melepaskan topinya sebentar, membersihkannya
dari kutu No. 72, dan menjawab: ”Orang lain tak ada yang kema­
ri, karena pintu ini memang dibuat hanya untuk kamu.”
Dan ajal pun menjemput perempuan yang datang dari jauh
beberapa puluh tahun yang lalu itu. Dan pintu itu ditutup.
Siapa penjaga itu gerangan? Adakah ia aparat penghambat un-
tuk membuat Hukum, yang ditulis dengan huruf ”H”, merupa­
kan sesuatu yang melarang dan sekaligus terlarang—semacam
firman suci yang bilang ”jangan” dan seketika itu jadi kata-kata
yang tak boleh disentuh?
Ataukah ia bagian dari façade yang menyembunyikan rahasia
bahwa Hukum sebenarnya tak pernah ada?
Perempuan itu memutuskan tak jadi masuk. Ia hanya me­
http://facebook.com/indonesiapustaka

nung­gu. Menunggu. Entah sabar atau gentar, entah tawakal atau


putus asa. Kita tak tahu sudah pernahkah ia dinyatakan bersalah
sebelum datang ke sana. Kita tak tahu merasakah ia bahwa diri­
nya tak layak, hingga tanpa digertak lebih lanjut, ia patuh. Yang

522 Catatan Pinggir 9


PINTU

kita tahu: dilakukannya itu dengan kemauan sendiri. Tapi mung-


kin ia sebenarnya tak bebas. Menunggu adalah sebuah situasi an-
tara bebas dan tak bebas—terutama menunggu Hukum, yang
ditulis dengan ”H”.
Tapi mungkin juga perempuan itu telah terkecoh. Ia menyang­
ka Hukum adalah Keadilan. Sangkaannya berlangsung sampai
akhir: ia melihat (tapi benarkah ia melihat?) berkas cahaya yang
sejenak itu, dan barangkali merasa diyakinkan bahwa di balik itu
ada Keadilan itu sendiri.
Tapi Hukum tak identik dengan Keadilan.
Hukum bahkan ruang tertutup, dan Keadilan tak selamanya
betah di dalamnya. Dalam novel Kafka, Der Proseß, ada tokoh,
Titorelli namanya, seorang perupa yang aneh, yang menggam-
bar Keadilan dengan sayap pada tumit kaki. Keadilan selamanya­
akan terbang dari satu tempat yang terbatas, terutama ketika hu-
kum merasa jadi Hukum, begitu angkuh, kukuh, dan kaku, bah-
kan akhirnya jadi bagaikan berhala yang membuat manusia jeri.
Berhala: patung bikinan manusia yang disembah manusia—
seakan-akan benda itu bebas dari tangan manusia, seakan-akan
ada roh di dalamnya, atau seakan-akan ia bisa mewakili sang roh
seutuhnya. Padahal mustahil. Sebab itu ada selalu akan datang
para ikonoklas, yang dengan niat baik memperingatkan: berhala
hanyalah berhala. Hukum hanya hukum. Yang transendental tak
ada di sana. Dan para ikonoklas pun akan menetakkan kapak ke
batu atau kayu atau logam itu....
Jika Keadilan adalah sesuatu yang transendental, memang
mustahil ia diwakili oleh hukum yang disusun di ruang para le­
gis­lator, dicoba di depan mahkamah, dan dijaga jaksa dan polisi
http://facebook.com/indonesiapustaka

dengan sel-sel penjara yang sumpek. Sesuatu yang transendental­


bukan produk dari dunia ini, meskipun ia meraga—dari kata
”raga”—di dunia.
Perempuan itu mungkin telah terpengaruh oleh ideologi yang

Catatan Pinggir 9 523


PINTU

bertahun-tahun mengatakan bahwa Hukum justru sesuatu yang


harus angker, mengandung misteri, hingga tak mudah dimasuki.
Atau jangan-jangan karena cerita ini tak berasal dari Indone­
sia, melainkan dari sebuah negeri tempat hukum dibuat oleh Ne­
gara yang dibayangkan Hegel, dengan rasa kagum kepada Repub­
lik Plato: sebuah kesatuan politik, etik, hukum, dan budaya yang
utuh. Tapi bagi kita di Indonesia, apa yang bisa dikatakan ten-
tang ”Negara”, selain sebagai lapisan penjaga pintu yang jangan-
jangan hanya menjaga sesuatu yang praktis kosong, karena tak
jelas? Menjaga ”Hukum”, yaitu ketidakpastian?

Tempo, 13 Desember 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

524 Catatan Pinggir 9


RECEHAN

D
I Jakarta yang macet, jalan menampik alasannya sendi­
ri. Sejak Daendels membentangkan 1.400 km ”La
Gran­de Route” di Jawa di abad ke-18, sampai dengan
ke­tika dinas pekerjaan umum Republik Indonesia membuka ja­
lur-jalur baru di abad ke-21, jalan diasumsikan sebagai ruang un-
tuk mobilitas, peringkas waktu tempuh. Ia bagian dari arah dan
gerak, dari dunia modern yang dinamis dan tak bergantung lang-
sung pada alam. Tapi apa yang kita alami kini? Dengan lekas bisa
Anda jawab: di Jakarta, jalan sama dengan kelambatan dan ham-
batan; jalan adalah bagian kota yang rentan pada gangguan alam.
Jalan adalah lahan banjir.
Ada lagi yang menampik alasannya sendiri: mobil. Kendara-
an ini berkembang biak dengan cepat. Dan dengan cepat pula
mo­bil, sebuah tanda modernitas yang lain—teknologi dengan
di­namika tinggi—telah terbalik posisinya: ia malah jadi simp-
tom kesumpekan. Kita bisa hitung berapa meter persegi wilayah
jalan yang diambil oleh satu mobil, dan berapa jadinya jika ada
500.000 buah jenis kendaraan itu, dibandingkan dengan betapa
kecilnya bagian kota yang tersedia untuk penghuni baru itu. Saya
gemar mengutip Hirsch di dalam soal ini: inilah kongesti, inilah
”batas sosial dari pertumbuhan (ekonomi)”.
Mungkin menarik untuk meneliti atau memperkirakan de-
ngan rada persis bagaimana akibat kongesti ini bagi hidup kejiwa­
an. Berapa banyak orang makin naik tekanan darahnya jika tiap
hari mereka terjebak macet dan harus menempuh jarak lima kilo-
http://facebook.com/indonesiapustaka

meter dalam satu jam, terutama sekitar pukul tujuh malam hari?
Atau jangan-jangan telah berkembang sikap sabar yang tak ter-
hingga?
Bagi saya, macet memang memberi kesempatan tidur lelap

Catatan Pinggir 9 525


RECEHAN

di­jok mobil. Atau menulis sajak. Tapi saya tak tahu bagaimana
orang lain memanfaatkan kemacetan itu—yang mengambil kira-
kira tiga jam dalam hidupnya sehari, atau sekitar 18 jam seming-
gu, atau sekitar tiga hari kerja dalam sebulan. Yang agaknya jelas
ada­lah implikasinya bagi kehidupan bersama. Kongesti itu—
ber­jubelnya mobil di jalan-jalan Jakarta tiap hari itu—adalah se-
buah gejala perpecahan sosial.
Kongesti mendorong orang untuk melihat orang lain yang di
sebelah, di depan, dan mungkin juga di belakangnya sebagai pi-
hak yang tak diinginkan. Kompetisi, bahkan antagonisme, ber-
langsung diam-diam (kadang-kadang dengan teriak: pakai mu-
lut atau klakson). Menutup mata tidur juga bisa jadi sikap tak
mengacuhkan orang yang di luar sana.
Kemacetan lalu lintas lantaran mobil juga akibat dari yang di­
sebut Hirsch, dalam The Social Limits to Growth, sebagai ”the ty­
ran­ny of small decisions”: keputusan individual yang tak bertautan
satu sama lain dalam mengadakan transaksi di pasar. Jika saya
membeli mobil, saya tak memikirkan apa dampaknya bagi kelan-
caran lalu lintas atau bagi bersihnya cuaca—hal-hal yang meru-
pakan bagian kebersamaan.
Itu sebabnya, di jalan-jalan, masyarakat—yang biasa diba­
yang­kan sebagai sebuah bangunan utuh—tak hadir. Polisi lalu
lin­tas—jikapun ada—memperkuat raibnya keutuhan sosial itu,­
ketika ia menggunakan kekuasaannya untuk menarik uang so­
gok. Sebagaimana banyak orang menghayati mobil dan ruas ja-
lan sebagai milik privat, polisi itu juga memberlakukan otoritas-
nya sebagai kekuasaan privat. Saya selalu mengatakan, korupsi
adalah privatisasi kekuasaan yang didapat dari orang banyak.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kita akhirnya melalaikan bahwa manusia selalu perlu barang


dan jasa masyarakat yang, dalam kata-kata Marx, ”dikomunika-
sikan, tapi tak pernah dipertukarkan; diberikan, tapi tak pernah
dijual; didapat, tapi tak pernah dibeli”. Di kemacetan jalan Jakar-

526 Catatan Pinggir 9


RECEHAN

ta, kita tak lagi bertanya, tak lagi peduli, di mana gerangan hu-
kum, kelancaran, dan udara bersih.
Berangsur-angsur, tiap orang pun merasa bisa mengabaikan
public spirit, moralitas, dan semangat untuk kepentingan publik.
Ada ikhtiar untuk menangkal kecenderungan itu dengan me­
ngendalikan kapitalisme dari bahaya ”tirani keputusan-keputus­
an kecil”. Itulah inti dari ”kompromi Keynesian”, cara Keynes un-
tuk menyelamatkan kapitalisme dari fragmentasi yang berkelan-
jutan. ”Kompromi Keynesian” mengakui bahwa tak semua bisa
di­serahkan kepada pasar. Diakui bahwa public spirit selamanya
perlu.
Ketika zaman pasca-neoliberal kini ditinggalkan, ketika
”kom­promi Keynesian” diangkat untuk dijadikan kebijakan lagi,
timbul lagi keyakinan bahwa perilaku pasar tak bisa dijadikan te-
ladan bagi seluruh perilaku sosial. Ada pengakuan bahwa kekuat­
an yang bukan-pasar (Negara dan para teknokratnya) harus—
dan bisa—memiliki ketahanan untuk mengembangkan nilai
yang berbeda, khususnya nilai yang tak membenarkan manusia
memaksimalkan kepentingan diri.
Tapi benarkah asumsi yang tersirat dalam ”kompromi Key­ne­
s­ian” itu, bahwa para pejabat Negara yang jadi pengelola sistem
sosial-politik dan ekonomi niscaya punya nilai tersendiri?
Kenyataannya di Indonesia, institusi yang berkuasa tak de-
ngan sendirinya bebas dari ”tirani keputusan-keputusan kecil”.
Di atas telah saya sebutkan korupsi sebagai privatisasi kekuasaan.
Maka kita pun bertanya dengan murung: masih adakah tempat
bekerjanya apa ”yang-sosial”, apa yang menampik nafsi-nafsi?
Mungkin jawabnya bukan di kantor pemerintah dan pos po­
http://facebook.com/indonesiapustaka

lisi­di pojok perempatan. Mungkin jawabnya bukan di jalan-jalan


yang macet di mana orang saling hendak menyisihkan. Jawabnya
ada di dekat kita sendiri.
Ketika Prita didenda Hakim—yakni petugas Negara yang tak

Catatan Pinggir 9 527


RECEHAN

adil—kita secara spontan berduyun-duyun datang untuk bersa-


ma perempuan yang dizalimi itu. Kita datang dengan uang receh­
an—fragmen dari sebuah kesatuan yang tak tampak—yang jus-
tru menunjukkan sesuatu yang mengagumkan: kita belum me-
nyerah kepada ”tirani keputusan-keputusan kecil”. Kita adalah
bebrayan: sesama yang bisa punya saat bersama. Setidaknya sam-
pai hari ini.

Tempo, 20 Desember 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

528 Catatan Pinggir 9


MACBETH

P
olitik, seperti halnya tragedi, tak akan punya arti tan-
pa kesangsian. Mungkin itulah sebabnya Macbeth, trage-
di Shakespeare, tak mudah dilupakan, juga oleh seorang
presiden.
Pada suatu malam sastra di Gedung Putih, Presiden Clinton
ber­cerita bahwa perkenalan pertamanya dengan puisi berlang-
sung di SMP, ketika gurunya memintanya menghafal baris-baris
solilokui dalam Macbeth. Lalu ditambahkannya, setengah melu-
cu: untuk memasuki kehidupan politik, membaca Macbeth bu-
kanlah awal yang baik.
Ketika acara selesai dan hadirin bergiliran menjabat tangan-
nya, seseorang bertanya masih ingatkah presiden itu baris-baris
Macbeth itu. Di saat itu Clinton pun membacakannya dengan ba-
gus:

... here upon this bank and shoal of time,


We’ d jump the life to come. But in these cases
We still have judgement here, that we but teach
Bloody instructions which, being taught, return
To plague th’ inventor.

Kalimat itu diucapkan Macbeth, ketika tokoh lakon ini sendi­


rian, merenung dalam kebimbangan. Panglima perang itu berni­at
membunuh rajanya, Duncan, meskipun ia tahu baginda menya­
yanginya dan mempercayainya: Duncan telah menghadiahinya
http://facebook.com/indonesiapustaka

wi­layah kekuasaan yang lebih luas dan bersedia datang menginap


di kastilnya. Tapi Macbeth berniat membunuhnya, karena ada
ra­malan tiga nenek sihir bahwa ia akan jadi raja.
Dan tak kalah penting, karena Lady Macbeth, istrinya yang

Catatan Pinggir 9 529


MACBETH

per­kasa, mendesaknya, meyakinkannya.


Malam itu Macbeth pun membunuh raja, ketika tamu agung
itu tengah tidur. Untuk menghapus jejak, ia tuduh dan ia bunuh
para penjaga. Darah yang mengalir tak berhenti di sana....
Tapi sesaat itu, ketika ia sangsi, ketika ia merasa berada ”di te­
bing dan laut waktu”, Macbeth bukan seorang yang keji. Ia mera-
sa ada yang tak patut bila ia jalankan niatnya: ia mengkhianati ra-
janya dan membantai seorang ”lemah lembut” (meek), yang ”ke-
bajikannya akan mengimbau bagaikan malaikat”, hingga akan
jatuh kutuk ketika ia dipaksa meninggalkan dunia.
Memang tak jelas benar apa yang membuat Macbeth bim-
bang: seperangkat nilai-nilai, sebuah tatanan moral, atau hanya
ke­takutan pembalasan. Kita dengar baris yang dibacakan Clin-
ton: siapa yang membawa ajaran berdarah, kata Macbeth, akan
mendapatkan yang sama, yang berbalik, merongrong ia yang me­
mulanya.
Mungkin dalam ambivalensi itu antara bisikan moral dan
dag-dig-dug ketakutan dengan mudah bujukan Lady Macbeth
menjeratnya. Menjerat: sebab Duncan mati, Macbeth jadi raja,
tapi sejak itu yang ada hanya pembunuhan demi pembunuhan.
Macbeth tragis karena kita sebenarnya bisa melihat apa yang baik
dalam dirinya tapi nujum dan nasib tak ditolaknya. Ia jadi keji.
Bukan karena nujum dan nasib itu sebegitu sakti. Macbeth,
dengan kemauannya sendiri, memilih nujum dan nasib dan bu-
kan yang lain. Dia juga yang bolak-balik datang meminta nujum
dari tiga nenek sihir itu, bahkan mencoba mengubah ramalan
yang tak disukainya.
Macbeth tragis, sebab kita menyaksikan bagaimana kekuasa­
http://facebook.com/indonesiapustaka

an meringkus semuanya. Termasuk meringkus saat-saat sangsi di


depan ”tebing dan laut waktu” sebelum seseorang meloncat ke
ma­sa depan saat-saat ketika bisikan yang lain masih bisa terde­
ngar.­

530 Catatan Pinggir 9


MACBETH

Saya tak kunjung takjub apa sebabnya hasrat ke kekuasaan


mampu meringkus semua itu. Apa yang istimewa dalam kekuasa­
an? Mengapa segala cara dikorbankan untuk mendapatkannya?
Akhirnya ada yang lebih destruktif ketimbang pembunuhan—
yakni sejenis nihilisme, yang menegaskan bahwa kita tak perlu
sangsi karena kita tak perlu nilai-nilai. Tak ada dorongan yang
gigih untuk mempertahankan apa yang baik. Seperti kita lihat di
Indonesia kini, uang, jual-beli pengaruh, lewat lobi dan media,
itulah yang akhirnya menentukan apa dan siapa yang salah dan
apa dan siapa yang tidak. Selebihnya: nihil.
Apa lagi gerangan yang dikenang seorang presiden seperti
Clinton setelah membaca Macbeth? Clinton sendiri mungkin
tak perlu merenungkan jauh; ia tak perlu bergulat dengan dilema
yang dahsyat. Ia seorang presiden yang dapat naik dan turun
takhta tanpa melalui pembunuhan.
Maka menarik untuk menyimak apa yang dikatakan Clinton
kepada Stephen Greenblatt yang kemudian menuliskan kesannya
dari malam sastra di Gedung Putih itu dalam The New York Re­
view of Books, 12 April 2007. Karya Shakespeare itu, kata Clinton,
adalah kisah tentang seseorang dengan ambisi yang amat besar
yang ”obyeknya secara ethis tak memadai”.
Ada yang baru di sini: bukan si Macbeth yang ”secara ethis tak
memadai”, melainkan sasarannya: kekuasaan. Mungkin yang di-
maksud Clinton bukan kekuasaan pada umumnya (rasanya ia tak
hendak berpikir demikian tentang kekuasaan seorang Presiden
Amerika), melainkan kekuasaan yang direbut Macbeth. Dalam
la­kon ini, kekuasaan bukan saja tampak tak sah, tapi juga tak ada
tu­juannya. Atau lebih tepat: kekuasaan dipertahankan demi me-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nyembunyikan sifatnya yang tak sah. Macbeth adalah cerita ten-


tang nihilisme dalam bentuknya yang mengerikan dan menye­
dih­kan, karena seorang baik telah mengikuti nujum dan nasib,
dan tenggelam dalam kekejian—seraya menyimpulkan bahwa

Catatan Pinggir 9 531


MACBETH

hidup hanyalah ”kisah yang dibawakan seorang dungu, penuh


amarah dan suara seru, yang tak punya arti apa-apa”.
Suaranya sebenarnya murung. Di saat itu Macbeth justru
menunjukkan: nihilisme tak bisa mutlak. Dengan getir ia sendi­
ri merasakan ada yang hilang di dunia ketika hanya kekuasaan
yang tak menyebabkannya hidup tenteram telah jadi satu-satunya­
perkara yang dipertaruhkan.
Syahdan, di kamarnya yang gelap, setelah pembunuhan ter-
jadi, Lady Macbeth tiba-tiba merasa melihat ada darah di tangan-
nya. Berjam-jam ia coba basuh, tapi tak terhapus juga. Jejak keja-
hatan itu tetap bau. Dan akhirnya ia tahu: ”seluruh parfum dari
Arabia tak akan dapat mengharumkan tangan kecil ini”.

Tempo, 27 Desember 2009


http://facebook.com/indonesiapustaka

532 Catatan Pinggir 9


http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 9
2010

533
http://facebook.com/indonesiapustaka

534
Catatan Pinggir 9
TROWULAN

S
EBUAH kota abad ke-13 yang hilang di pelosok Jawa Ti­
mur mungkin bisa bicara tentang kita.
Sisa-sisanya ditemukan di sebuah tanah lapang di Keca-
matan Trowulan, Mojokerto. Di area seluas 63 x 63 meter persegi
itu, di bawah atap rendah, berderet petak galian, semuanya cu­
ma­sekitar setengah meter dalamnya. Tapi warna gelap bumi se­
akan-­akan melindungi apa yang hanya sedikit terungkap di sana:
bekas-bekas rumah, pola lantai halaman, gerabah yang ha­lus,
tangga, lorong parit, gobang, ribuan artefak....
Rumah, bukan candi, bukan gerbang, bukan tempat ritual ke-
agamaan. Arkeolog Mundardjito, guru besar dari UI yang telah
ber­tahun-tahun bekerja dalam ekskavasi besar ini, menunjukkan
betapa pentingnya yang ditemukan di sana: sebelum Trowulan,
para arkeolog belum pernah menemukan sisa-sisa sebuah kota.
Dengan kata lain, inilah buat pertama kalinya mereka berha-
sil. Inilah sebuah pintu baru ke masa silam!
Tak urung, saya (yang tak pernah berpikir sebelumnya ten-
tang itu) tertular oleh semangat itu dan pergi ke Trowulan—
meng­ikuti Mundardjito berjalan dari situs ke situs, menggali,
me­nelaah, membuat hipotesis. ”Kalau di lapangan, umur saya
bu­kan 73, tapi 37,” katanya, setengah bergurau.
Umur + energi tambahan memang diperlukan untuk kerja be-
sar ini, yang sebenarnya dimulai pada 1924, ketika Bupati Mo-
jokerto, Kromodjojo Adinegoro, bersama Arsitek Henry Mac­
Laine Pont mendirikan Oudheidkundige Vereeneging Majapa-
http://facebook.com/indonesiapustaka

hit (OVM). Mundardjito bersama para arkeolog yang lebih muda


adalah penerus ikhtiar OVM—mungkin dengan gairah dan rasa
ingin tahu yang berbeda.
Masa lalu memang sederet panjang tanda tanya. Di wilayah

Catatan Pinggir 9 535


TROWULAN

sekitar 100 kilometer persegi, di mana lapangan ekskavasi tadi


terletak, sejarah Majapahit terpendam. Tapi kenapa terpendam?
Kenapa Majapahit yang berdiri di abad ke-13 kini tak bersisa, se-
dangkan Cordoba dan masjidnya, yang mulai dibangun kerajaan
Islam di Spanyol di abad ke-8, masih bisa utuh? Kenapa Majapa-
hit, yang kurang-lebih seumur Cambridge University di Inggris,
kini hanya bekas yang terserak dan tersembunyi?
Mungkin perang telah merusak semuanya, hingga kota itu di­
tinggalkan dan pelan-pelan rubuh. Mungkin iklim merapuhkan­
bahan-bahan yang membentuknya. Mungkin gempa atau wabah.
Tidak atau belum ada penjelasan. Tapi bahwa ia tak mampu ber-
tahan terus (sebuah kronologi Jawa menyebutnya ”sirna ilang”)
menunjukkan sebuah kelemahan dasar: di kota itu tampaknya
tak ada kekayaan sosial—dalam bentuk harta dan pemikiran—
yang secara kontinu bisa merawat, merenovasi, dan merekon­
struksi diri.
Bila sebuah catatan dari Cina abad ke-15 menggambarkan­
Ma­japahit, yang dicatatnya adalah istana: bersih dan terawat, di­
kelilingi tembok bata merah setinggi lebih dari 10 meter. Dalam
kompleks istana, bangunan bertiang kayu yang besar setinggi 10-
13 meter. Atap bangunan terbuat dari sirap. Atap rumah rakyat
dari ijuk atau jerami.
Itu semua memang bahan yang tak tahan lama, tapi akan bisa
diperbaharui terus-menerus seandainya kekuasaan dan struktur
masyarakatnya punya basis ekonomi yang luas, bila mereka tak
cuma tergantung kepada satu poros.
Tapi mungkin Majapahit benar-benar cuma tergantung ke-
pada satu poros. Mungkin Majapahit satu contoh yang disebut
http://facebook.com/indonesiapustaka

Marx sebagai ”despotisme timur”: sang baginda punya kuasa


yang absolut; ia tak mengizinkan kekuatan sosial-ekonomi di luar
dirinya. Dalam despotisme ini, tak boleh ada satu lapisan elite
yang kurang-lebih mandiri.

536 Catatan Pinggir 9


TROWULAN

Aceh, di bawah Sultan Iskandar Muda di abad ke-17, adalah


sebuah kerajaan yang dahsyat. Sultan yang perkasa ini—yang de-
ngan kekuatan militernya mengalahkan sebuah armada Portugis
dan menaklukkan pelbagai kerajaan di Semenanjung—meme-
gang dengan ketat monopoli perdagangan. Dengan itu ia buat
”orang kaya”, satu lapisan elite yang sedang tumbuh, tergantung
kepada belas kasihnya.
Di Mataram abad ke-17, Amangkurat I bertindak mirip: ia
me­nampik saran seorang tamu Belanda agar baginda membuat
rak­yatnya kaya. Jika mereka berharta, kata raja Mataram yang
bengis itu, ”mereka bisa melawanku”.
Tapi dengan demikian kekuasaan para sultan seakan-akan
berdiri di atas pedestal yang tinggi tapi sendiri. Ketika takhta
guncang, ketika para raja kehabisan sumber kekayaan dan gagas­
an, tak ada penyangga sosial lain. Tak ada kelompok masyarakat
yang mandiri seperti halnya kaum burger dalam sejarah kota-ko-
ta Eropa. Dari kalangan ini—yang kemudian disebut bourgeoi­
sie—lahir kekuatan yang memperkukuh kota.
Tak aneh bila di Eropa, kota dilambangkan sebagai ”tembok”.
Kata tuin dalam bahasa Belanda lama juga berarti pagar. Tapi
saya tak tahu tepatkah kiasan itu berlaku untuk ibu kota Majapa­
hit. Kitab Negarakertagama yang ditulis di masa itu hanya me-
nyebut ”kuwu”: unit permukiman yang dikelilingi tembok. Tapi
tak jelas, adakah dengan demikian kota pun lahir sebagai sebuah
wilayah yang merdeka. Atau ia hanya sebuah tempat ”di mana
kita tak usah berjalan melalui sawah”. Artinya tak ada batas yang
tegas antara ”kota” dan ”di luarnya”.
Jangan-jangan itulah yang terjadi—yang secara tak sadar ber-
http://facebook.com/indonesiapustaka

lanjut hingga kini: orang berpindah dari luar ke dalam kota tan-
pa membuat hidupnya berubah. Perilaku dan nilai-nilai ”udik”
merembes ke kehidupan urban—dan begitu juga sebaliknya.
Yang ”udik” menyebabkan gerak jadi lamban, karena harmoni

Catatan Pinggir 9 537


TROWULAN

ha­rus dijaga dan orang saling menunggu. Sebaliknya yang ”udik”


membuat hidup lebih santai dan bisa berbagi. Walhasil, harmoni
bisa memperkuat sebuah kota, tapi juga bisa memperlemahnya.
Itukah barangkali riwayat kota yang hilang di Trowulan itu:
dirawat tumbuh dengan harmoni + serasi, dan tak siap untuk hi­
dup­tanpa harmoni + tak serasi?

Tempo, 3 Januari 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

538 Catatan Pinggir 9


USINARA

A
LKISAH, seekor burung deruk yang luka terbang, pa­
nik,­ ketakutan, dan putus asa. Di belakangnya seekor
lang memburu. Terdesak, deruk itu pun menerobos ma-
suk lewat sebuah tingkap, dan terjatuh di sebuah bilik yang le­
ngang.­
Di ruang puri itu, Raja Usinara sedang duduk, membaca,
hanya ditemani dua orang abdi.
Burung malang yang terlontar di kaki baginda itu berkata,
”To­longlah saya!” Suaranya lamat-lamat.
Usinara melihat tubuh unggas itu berdarah. Burung itu pun
diangkatnya, dan disuruhnya salah satu abdi membawa air dan
obat. Ketika ia bersihkan luka itu dengan hati-hati, tiba-tiba ter-
dengar suara yang membentak, berat dan gelap, dari arah jendela:
”Kembalikan ia kepadaku!”
Di bendul jendela itu dilihatnya seekor lang besar dengan pan-
dang yang liar. ”Deruk itu milikku!” lang itu berkata. ”Aku telah
berhasil menggigitnya: itulah tanda ia mangsaku. Hukum perbu-
ruan menentukan demikian. Berikan kembali ia kepadaku. Li-
hat, aku gemetar. Aku lapar. Sudah sepekan aku tak memangsa
apa-apa.”
Untuk beberapa saat Usinara yang terkejut itu kehilangan ka­
ta-kata. Tapi akhirnya raja yang lembut hati itu—yang juga me­
lihat bagaimana lang itu memang gemetar karena lapar—me­
nawarkan sebuah jalan lain: ia akan memberikan daging apa saja
yang diminta burung buas itu asal deruk itu dibebaskan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Kau bilang daging apa saja?”


”Ya, apa saja yang kau minta.”
Tak terduga-duga, lang itu berkata, ”Kau gantikan daging de-
ruk itu dengan dagingmu sendiri.”

Catatan Pinggir 9 539


USINARA

Usinara terenyak. Ia sadar ia terjebak janji yang sulit. Tapi ia


tak hendak ingkar. ”Berapa banyak?” tanyanya.
”Seberat tubuh deruk itu saja,” jawab si lang.
Maka dacin pun disiapkan dan belati yang tajam dihunus. Bu-
rung kecil itu pun ditimbang, juga kemudian daging dari tubuh
Usinara yang dikerat. Dalam jumlah kati yang sama daging segar
itu disajikan ke depan si lang, yang memakannya dengan lahap.
Tapi begitu serpihan daging terakhir lenyap di paruhnya yang
menakutkan, burung buas itu berkata, ”Aku masih lapar.” Dan ia
menuduh Usinara ingkar janji. ”Kau berdusta. Daging yang kau
berikan pasti masih kurang dibanding dengan berat badan deruk
mangsaku. Ia harus ditimbang lagi!”
Mendengar itu, Usinara pun menyuruh tubuh deruk itu dile­
takkan di dacin kembali. Ternyata benar: badan unggas itu jauh
lebih berat dari semula. Bahkan hampir seberat tubuh sang raja.
Meski terkejut dan pucat, Usinara mengambil belati dan me-
renggutkan jangatnya sendiri, sepotong demi sepotong. Darah
membasah di ruang itu. Tampak baginda menahan sakit, tubuh-
nya kian lama kian lemah, dan akhirnya rubuh....
Dalam kisah yang terselip di antara ribuan seloka Mahabhara­
ta ini (yang saya ceritakan kembali dengan variasi saya sendiri),
Usinara tidak mati. Lang pemangsa dan mangsanya yang luka
itu sebenarnya dewa-dewa; mereka datang untuk menguji amal
sang raja....
Tapi bagi saya, kehadiran para dewa justru tak penting dalam
kisah ini. Yang membuat kita terpukau ialah bahwa Usinara tak
tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya. Ia masuk ke dalam si­
tuasi itu begitu saja semata-mata untuk menyelamatkan seekor
http://facebook.com/indonesiapustaka

bu­rung yang tak berdaya. Kisah Usinara adalah kisah pengorban­


an diri yang radikal.
Dalam Mahabharata, tokoh Bisma juga sebuah teladan pe­
ngor­banan: putra mahkota itu berjanji tak akan naik takhta, juga

540 Catatan Pinggir 9


USINARA

tak akan kawin dan punya anak, demi kebahagiaan ayahnya.­


Tapi Bisma telah meniadakan masa depannya untuk seorang
yang sedarah. Usinara sebaliknya: ia berikan raga dan nyawanya
un­tuk keselamatan makhluk lain yang tak ia kenal. Ia melakukan
yang tak berhingga. Ia kerelaan tak berbatas.
Maka kita terpana—juga karena yang dilakukan Usinara se­
su­atu yang sama sekali baru. Keputusannya tak dianjurkan adat
dan tak diatur hukum. Justru ia melampaui hukum, melebihi
mo­ralitas—dan mencapai dasar yang ”ethikal”, yakni semacam
ke­baikan budi, atau cinta kasih, yang memberikan segalanya,
menanggungkan segalanya, demi liyan: bagi yang bukan bagian
diriku, bukan kaumku, melainkan ia yang terpuruk di luar pin-
tuku, yang tak kukenal—yang tak akan memberikan apa pun ke-
padaku, tapi terancam, ketakutan, tertindas, menderita.
Dan Usinara memberikan dirinya bukan karena patuh ke-
pada aturan atau taat kepada Tuhan. Usinara tak dikendalikan
pam­rih, tak menuruti kalkulasi dosa & pahala yang sering dila­
ku­kan orang beragama dalam tata buku moral mereka. Lakunya
adalah laku kemerdekaan.
Apa gerangan yang mendorongnya? Adakah imbauan dari
yang ”ethikal” hanya terjadi pada tokoh dongeng? Mungkinkah
kebaikan budi itu menggerakkan hati orang pada umumnya?
Tak setiap orang Usinara, tentu. Tapi dalam pengalaman ma-
nusia ada perbuatan yang, meskipun tak dramatis, paralel dengan­
yang dilakukan raja itu: satu hal yang menyebabkan kita berpi­
kir, mengikuti postulat Kant, bahwa dalam diri manusia ada
yang menyebabkan dirinya—dengan otonomi penuh, dengan
ke­­­mau­an bebas—menghormati dan mematuhi panggilan ”hu-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kum moral”: diam-diam seorang wartawan menampik bayaran


uang untuk menulis fitnah, menolak juga godaan untuk jadi pah­
lawan. Diam-diam seorang pejabat memilih diberhentikan ke­
timbang mematuhi perintah atasan yang melanggar hukum....

Catatan Pinggir 9 541


USINARA

Tapi apa itu sebenarnya, dari mana datangnya das Faktum der
Vernunft itu? Tak bisa dijelaskan. Faktum itu tak mungkin ditun-
jukkan di dunia empiris. Kita, kata Kant, hanya ”mengerti keti-
dakmungkinannya untuk dimengerti”.
Mungkin justru sebab itu kita takjub: Usinara tak bertolak se-
bagai ”aku” yang telah merumuskan apa itu kebaikan budi. Ia bu-
kan ”aku” di pusat situasi. Kita takjub karena ia mengatasi keter-
batasan dirinya justru ketika ia merasa, di saat yang konkret itu,
imbauan makhluk yang terancam itu adalah segala-galanya.
Selebihnya, juga dirinya sendiri, hanya turahan.

Tempo, 10 Januari 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

542 Catatan Pinggir 9


GUS DUR

K
etika Mahatma Gandhi wafat, ia—yang selama hi­
dup­nya antikekerasan dimakamkan dengan upacara
mi­liter. Ironis, mungkin juga menyedihkan: bahkan se­
orang Gandhi tak bisa mengelak dari protokol kebesaran yang
tak dikehendakinya.
Seorang tokoh besar yang wafat meninggalkan bekas yang
pan­jang, seperti gajah meninggalkan gading. Kadang-kadang ia
hadir sebagai ikon: sebuah tanda yang memberikan makna yang
menggugah hati karena melebihi kehendak kita sendiri. Kadang-
kadang sebagai simbol: sebuah tanda yang maknanya kita tentu-
kan, tak perlu menggugah hati lagi, namun berguna untuk tuju­
an kita yang jelas.
Sebuah ikon adalah sebuah puisi. Sebuah simbol: alat. Kedua­
nya saling menyilang tak henti-hentinya.
”Pahlawan mati hanya satu kali,” kata orang hukuman dalam
lakon Hanya Satu Kali, yang disebutkan sebagai terjemahan se-
buah karya John Galsworthy tapi yang tak pernah saya ketahui
yang mana.
Gus Dur bisa disebut seorang pahlawan: ia tak akan mening-
galkan kita lagi, begitu jenazahnya dikuburkan. Terutama ketika
yang hidup tak akan meninggalkan apa yang baik yang dilaku-
kannya.
Tapi dalam arti lain pahlawan mati hanya satu kali karena ia
tak lagi bagian dari kefanaan. Tak lagi bagian dari kedaifan. Tak
lagi bagian dari pergulatan untuk menjadi baik atau bebas—yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

membuat sejarah manusia berarti.


Hanya dalam pergulatan itu, Gus Dur tampak sebagai yang
tak sempurna, tapi melakukan tindakan yang sesederhana dan
se­menakjubkan manusia: dari situasinya yang terbatas ia men-

Catatan Pinggir 9 543


GUS DUR

jangkau mereka yang bukan kaumnya, melintasi gerbang dan pa­


gar, jadi tak berhingga, untuk menjabat mereka yang di luar itu.
Terutama mereka yang disingkirkan, dicurigai, atau bahkan di-
aniaya: bekas-bekas PKI, minoritas Tionghoa, umat Ahmadiyah.
Kita tahu ia melakukan itu dengan nekat tapi prinsipiil—kebera-
nian yang hampir tak terdapat pada orang lain.
”Saya dan Romo Mangun berbeda agama, tapi satu iman,” ka­
ta Gus Dur suatu kali.
Iman bagi Gus Dur bukanlah sebuah benteng: sebuah kon­
struksi di sebuah wilayah. Benteng kukuh dan tertutup, bahkan
dilengkapi senjata, untuk menangkis apa saja yang lain yang di-
waspadai. Bangunan itu berdiri karena sebuah asumsi, juga ke-
cemasan: akan ada musuh yang menyerbu atau pecundang yang
menyusup.
Iman bagi Gus Dur bukanlah sebuah benteng, melainkan se-
buah obor. Sang mukmin membawanya dalam perjalanan menje-
lajah, menerangi lekuk yang gelap dan tak dikenal. Iman sebagai
suluh adalah iman seorang yang tak takut menemui yang berbeda
dan tak terduga. Terkadang nyala obor itu redup atau bergoyang,
tapi ia tak pernah padam. Bila padam, ia menandai perjalanan
yang telah berhenti.
Saya membayangkan Gus Dur tak pernah berhenti.
Ada sebuah nyanyian Fairouz yang digemari Gus Dur, diku-
tipkan oleh Mohammad Guntur-Romly, bersama liriknya. Pe­
tilan­nya, saya coba terjemahkan:

Pernahkah kau terima hutan seperti aku terima hutan,


sebagai rumah tinggal,
http://facebook.com/indonesiapustaka

bukan istana

Pernahkah kau buat rumput jadi ranjang dan


berselimutkan luasnya ruang,

544 Catatan Pinggir 9


GUS DUR

merasa daif di hadapan yang kelak,


dan lupa akan waktu silam yang hilang

Sering saya berpikir kenapa Gus Dur dengan tanpa ragu tak
ikut mengutuk novel Salman Rushdie, The Satanic Verses.
Saya duga karena ia menemukan dalam novel itu empat un-
sur yang tak terpisahkan: kenakalan, kecerdasan, provokasi, dan
humor.
Gus Dur tak keberatan dengan keempat unsur itu karena ia
ya­kin Tuhan tak sama dengan mereka yang terusik oleh kenakal­
an dan humor. Saya kira Tuhan bagi Gus Dur bukanlah Tuhan
yang terbayang dalam Perjanjian Lama, Tuhan yang menggeli­
sahkan puisi Amir Hamzah: Tuhan yang ”ganas” dan ”cembu­ru”.
Yang ganas dan cemburu akan menampik kenakalan dan hu-
mor. Tuhan yang antihumor itulah yang diyakini Jorge, kepala
biara dalam novel Umberto Eco, Il nome della Rosa. Di biara Italia
abad ke-14 itu beberapa rahib ditemukan tewas. Kemudian dike-
tahui bahwa mereka telah terkena racun ketika membuka sebuah
buku terlarang di dalam perpustakaan; sebuah buku tentang ter-
tawa.
Satu paragraf yang tak terlupakan: ”Mungkin misi mereka­
yang mencintai umat manusia adalah untuk membuat orang me­
ner­tawakan kebenaran, untuk membuat kebenaran tertawa, se-
bab satu-satunya kebenaran terletak dalam belajar membebaskan
diri kita dari kegandrungan gila-gilaan kepada kebenaran”.
Saya lebih bangga punya seorang Gus Dur yang bukan presi­
den, ketimbang seorang Gus Dur di atas takhta.
Betapapun keinginannya, ia tak pernah cocok di sana. Sebab
http://facebook.com/indonesiapustaka

ia bagian yang wajar dari sesuatu yang bagi saya sangat berhar­
ga­—ketidakmauan untuk tunduk kepada yang kuasa dan yang
beku— semacam anarkisme yang jinak dan jenaka.
Seorang intelektual publik terkadang yakin bahwa memasuki

Catatan Pinggir 9 545


GUS DUR

kehidupan politik (dan memperoleh kekuasaan) itu perlu. Yang


sering dilupakan ialah bahwa ”yang perlu” belum tentu ”yang nis-
caya”, dan bahwa politik, sebagai panggilan, sebenarnya sebuah
panggilan yang muram, sedih.
Dalam kesedihan itu kita seharusnya bertugas.

Tempo, 17 Januari 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

546 Catatan Pinggir 9


JANUARI

T
iap generasi ingin punya revolusinya sendiri. Di bulan
Januari.
15 Januari 1974. Jakarta guncang, tegang, dan suasana
me­nakutkan. Ribuan orang berdemonstrasi, menyusuri jalan,
mem­bakar puluhan mobil dan ratusan sepeda motor, membumi­
hanguskan pusat belanja di kawasan Senen (yang waktu itu ter-
masuk megah), dan merusak apa saja yang memakai logo per­
usaha­an Jepang. Sudah beberapa lama sebelumnya—pada masa
ketika pers belum dijerat ketat oleh penguasa—para aktivis ma-
hasiswa dan intelektual menyuarakan kecaman mereka kepada
modal Jepang. Dan hari itu aksi massa meledak.
Revolusi? Mungkin itulah yang dibayangkan para pelakunya.
Tapi, bagi saya, hari itu yang terjadi sebuah laku tanpa ide. Ter-
biasa membaca Lenin, saya cenderung melihat ”revolusi” sebagai
langkah untuk perubahan radikal yang bukan hanya disertai aksi
massa, tapi juga berkait dengan sebuah ”teori” atau gagasan yang
tak cuma datang dari batok kepala, melainkan dari benturan de-
ngan keadaan.
Revolusi Lenin bahkan bertolak dari telaah tentang keadaan
sosial dan ekonomi. Dari telaah itu disusun ”program umum”
dan ”program khusus”. Dalam strategi dan taktik itu perebutan
ke­kuasaan politik jadi soal penting. Jelas juga pihak yang akan
memimpin, jelas pula sistem politik & ekonomi yang akan dite­
rap­kan. Revolusi Oktober 1917 di Rusia jadi teladan.
Revolusi Prancis memang tak tampak berangkat dari ”prog­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ram” apa pun, tapi, seperti dikatakan Lenin, itu juga sebuah re­vo­
lu­si besar: dengan itu dasar baru masyarakat diletakkan dan tak
bisa diubah lagi. Perebutan kekuasaan—sang raja dipenggal—
bahkan jadi tanda zaman baru: tak ada lagi yang kekal di takhta

Catatan Pinggir 9 547


JANUARI

itu.
Revolusi Prancis juga tak hanya meletus dari konflik sosial,
dan sebab itu melibatkan orang ramai. Ia sambungan cita-cita
yang lahir dari konflik sosial itu, yang dirumuskan oleh para pe-
mikir dan disaripatikan dalam semboyan liberté, egalité, frater­
nité.
Dengan sedikit penyesuaian, kita bisa mengatakan, yang ter-
jadi di tahun 1945 di Indonesia (dan 17 Agustus hanya salah satu
pe­nanda waktu yang penting) juga sebuah ”revolusi”. Sebab sejak
itu, sejak kekuasaan berpindah tangan dari Hindia Belanda dan
Jepang, Indonesia tak bisa ditarik kembali ke kerangkeng kolo-
nialisme. Bertahun-tahun sebelumnya, gagasan tentang sebuah
bangsa dicanangkan dan sejak 1945 bangsa itu bersedia mati un­
tuk merdeka. Dari kancah mereka yang bersedia mati itu Pra­
moedya Ananta Toer, dalam Di Tepi Kali Bekasi, bersaksi tentang
sebuah ”epos revolusi jiwa”. Revolusi: awal transformasi yang tak
dapat dibalikkan.
Januari 1966. Saya tak tahu bagaimana keadaan waktu itu.
Sa­ya tak ada di Indonesia. Dari sebuah kota kecil di Eropa saya
ha­nya dapat kabar secara sporadis (antara lain dari surat-surat al-
marhum Soe Hok Gie, salah satu aktivis yang militan masa itu)
tentang aksi mahasiswa yang tak henti-hentinya.
Sekembali di Tanah Air, saya kemudian tahu bahwa ada kerja­
sama para mahasiswa itu dengan militer; ada pembantaian de-
ngan korban para anggota PKI atau yang dicurigai jadi pendu-
kung. Ya, ada hal-hal yang mengerikan dan busuk. Pelan-pelan
tampak bahwa militer mengambil-alih gerak perubahan politik
yang dipelopori mahasiswa ke arah sebuah rezim baru yang anti-
http://facebook.com/indonesiapustaka

demokrasi. Tapi membaca surat kabar waktu itu, terutama Kom­


pas dan Harian Kami, saya bisa tahu, ada hasrat demokratisasi
yang kuat di tahun 1966, ketika para aktivis merobohan sistem
”demokrasi terpimpin” Bung Karno. Suara untuk mengukuhkan

548 Catatan Pinggir 9


JANUARI

hak-hak asasi manusia terdengar nyaring, usaha menegakkan ke-


merdekaan pers dan rule of law serius.
Apa yang dicita-citakan itu kemudian memang dikhianati.
Na­mun yang terjadi bukan hanya kemarahan. Juga bukan hanya
rencana perubahan kekuasaan. Yang terjadi adalah gerakan un-
tuk gagasan yang datang dari mulut yang tercekik, perut yang
tak tenang. Setelah 1966, demokrasi memang dibalikkan jadi ke­
diktatoran, tapi ada yang sejak itu tak dapat dibalikkan lagi: sis­
tem ”ekonomi terpimpin” ditinggalkan—30 tahun lebih sebelum
Cina dan Vietnam meninggalkan sistem ”ekonomi sosialis”.
Revolusi? Mungkin ya, mungkin bukan. Kata itu barangkali
tak disebut. Tapi ia punya pukaunya sendiri: dalam historiografi
populer Indonesia, ”revolusi” dikaitkan dengan sepatah kata yang
ganjil tapi mempesona: ”angkatan”. Kata ini tak jelas asal-usulnya
dan sebetulnya membingungkan maknanya. Namun ia dipakai
terus. Ia berarti ”generasi”, tapi ia mengandung juga kesan ”per-
juangan” dan ”kekuatan” yang gagah (yang juga kita temukan
da­lam ”angkatan bersenjata”). Maka ”Angkatan ’45” disebut, dan
orang pun latah: ”Angkatan ’66” menyusul.
Untung, setelah 15 Januari 1974, tak ada lagi yang ditahbiskan­
dengan sebutan ”angkatan”. Peristiwa yang disebut ”Malari” itu
tak punya dampak sosial yang berlanjut. Bahkan bisa disebut,
amuk hari itu hanya bagian sebuah operasi intelijen, selapis tabir
untuk menutupi konflik antara para jenderal pendukung Soehar-
to, lengkap dengan dusta dan propagandanya—sebuah fragmen
sejarah yang kelak perlu lebih jelas diungkapkan.
Tapi bahwa itu terjadi, di sebuah Januari, menunjukkan be-
tapa mudahnya revolusi ditiru. Meskipun harus dicatat: revolusi
http://facebook.com/indonesiapustaka

seperti puisi: sekali dilahirkan, ia tak bisa diulang. Amarah yang


meledakkannya dan gairah yang menyertainya tak bisa cuma
repetisi. Tiap usaha mengulangnya akan tampak sok-pahlawan
dan absurd. Saya teringat kalimat Marx dalam Brumaire Ke-18

Catatan Pinggir 9 549


JANUARI

Louis Bonaparte—dan di sini saya ubah sedikit: ”Kejadian be-


sar dalam sejarah bisa diulangi; kali pertama berupa tragedi, kali
kedua berupa banyolan.”

Tempo, 24 Januari 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

550 Catatan Pinggir 9


KATA

Jika bedil sudah disimpan...


—Chairil Anwar, ”Catetan Th. 1946”

P
ERANG (atau kekerasan) punya batas. Ia akan berakhir,
betapapun panjang rentang waktunya. Kalaupun berlan-
jut, ia tak bisa menjawab segala soal. Jika bedil sudah di-
simpan, dan hancur-menghancurkan telah jadi kenangan yang
berdebu, kita akan melihat bahwa masyarakat manusia juga me­
ngan­dung benih-benih perkawanan. Tak cuma antagonisme.
Sebab itu, ”Kita memburu arti...,” kata Chairil Anwar dalam
sajak yang saya kutip di pembuka tulisan ini.
Memburu ”arti” dalam hal ini mencoba mencari makna dan
ni­lai dari luka dan rasa terhina, dari pengalaman brutal dan getir
yang telah terjadi. Perbuatan baik atau burukkah yang telah kita
lakukan? Untuk sesuatu yang berhargakah ia atau cuma sia-sia?
Berharga buat apa, buat siapa?
Kita pun bergulat untuk menjawab deretan pertanyaan itu.
Ke­kerasan dalam bentuk pengalaman pra-diskursif kita ganti de-
ngan wacana.
Discourse, atau wacana, yang menggunakan kata-kata, meru-
pakan pilihan yang lebih sedikit ongkosnya ketimbang mesin ke­
kuasaan dan senjata. Orang tak bisa selamanya dan sepenuhnya
akur dengan orang lain hanya karena ia tunduk kepada aura se-
buah otoritas. Atau ia tunduk karena takut dibinasakan. Setelah
bedil disimpan, orang hanya bisa setuju karena pada saling bicara.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dalam sajaknya di atas Chairil berseru kepada zaman pasca-


perang:

... jangan mengerdip, tatap dan penamu asah,

Catatan Pinggir 9 551


KATA

Tulis...!

Tapi benarkah saling bicara, dengan tatapan mata yang lurus


dan dengan pena yang baru diasah itu, bisa menjawab problem
da­sar politik—”politik” dalam arti proses penyelenggaraan kehi­
dupan manusia sebagai makhluk sosial?
Dalam catatan sejarah, komunikasi memang bagian dari kela-
hiran demokrasi. Ketika para penghulu agama dan raja bukan
la­gi otoritas yang menguasai wacana, di tempat yang kosong itu
yang berperan adalah percaturan pendapat. Muncul kelompok-
kelompok yang kian leluasa mengajukan pikiran alternatif, de-
ngan media massa jadi perantaranya. Ini terutama terjadi di Ero-
pa, tapi juga kita mengalaminya: ketika pemegang monopoli ke-
benaran runtuh, orang ”memburu”, dan bukan hanya ”meneri-
ma”, arti.
Tapi betapa tak mudah. Demokrasi adalah sistem yang mem-
buat mereka yang pegang kekuasaan dan hegemoni menyadari
bah­wa status mereka tergantung-gantung dalam kontingensi.
Da­lam keadaan yang tak permanen itu, bagaimana ”arti” yang
tetap dapat ditegakkan, dan bagaimana ”arti” itu dirumuskan se-
bagai kaidah?
Dalam ketiadaan tempat berpegang itu orang umumnya me­
nunjuk kepada ”kebenaran”. Veritas non auctoritas facit legem.
”Ke­benaran”, bukan auctoritas, itulah yang membuat kaidah.
Tapi tak dengan sendirinya itu gampang. Persoalan klasik­kita,
bagaimana sanggup ”kebenaran” jadi kaidah, bila ”kebenaran”
itu sendiri jangan-jangan dibentuk oleh kekuasaan? Bagaimana
menetapkan kebenaran itu, bila ibarat kata pepatah, ”kepala sa­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ma berbulu, pendapat berlainan”?


Ada yang percaya, mengikuti Habermas, aksi komunikatif
akan mencapai konsensus. Ada yang percaya, terdapat hubung­
an yang lempang antara rasionalitas, rembukan—sebagai proses

552 Catatan Pinggir 9


KATA

pertimbangan—dengan ”kebenaran”.
Pandangan ini optimistis sekali. Katakanlah ini optimisme
epistemik: ia berpegang pada satu premis bahwa ada sesuatu da­
lam bahasa manusia yang menyebabkan sebuah argumen dapat
berpengaruh tanpa dipaksakan. Itulah daya komunikatif. Haber-
mas mengibaratkan daya komunikatif sebagai sebuah kekuatan
yang mengepung, bukan mengambil alih: daya itu hanya mempe­
ngaruhi sekeliling arena tempat berlangsungnya penilaian dan
keputusan politik dan bukan menaklukkan arena itu. Daya aksi
ko­munikatif yang sejati menang tanpa ngasoraké. Bahkan kata
”me­nang” itu tak pas untuk dipakai, sebab tak ada yang dikalah-
kan. Konsensus bukanlah kekalahan.
Saya tak seoptimistis itu. Tentu saja saya mengakui, konsensus
bukan sesuatu yang mustahil di akhir sebuah proses politik. De-
mokrasi ”deliberatif”—yang membuka diri pada rembukan dan
saling mempertimbangkan—dengan prosedur yang benar akan
bisa mencapai mufakat. Setidaknya mufakat dalam pengertian
Übereinstimmung yang dipakai Habermas: bukan sepaham, tapi
mencapai titik pertemuan yang cocok.
Tapi saya tak yakin—seraya mengasah pena dan menulis, se-
raya menggunakan bahasa—dengan sendirinya kita melakukan
aksi komunikatif ke titik pertemuan itu. Kita tak bisa jadi peng­
arah. Justru kata dan bahasa itulah yang mempergunakan kita,
bukan sebaliknya. Seperti dikatakan sebuah sajak Subagio Sas­
tro­wardojo:

Kita takut kepada momok karena kata


Kita cinta kepada bumi karena kata
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kita percaya kepada Tuhan karena kata


Nasib terperangkap dalam kata
Dengan kata lain, dalam bahasa, kita terbelah.

Catatan Pinggir 9 553


KATA

Kita hanya mengulang—termasuk mengulang sebutan dari


pra­duga masa lalu, ide yang sudah lama atau bahkan mati, acuan
yang telah lewat. Tapi pada saat itu pula, dalam berkomunikasi­
kita ingin semua signatum yang sudah ada mengutarakan apa
yang sedang ada pada saat ini. Makna pun berubah tiap kali. Tak
ada yang siap.
Sebab itu aksi komunikatif bukanlah untuk menyampaikan
makna, melainkan untuk membentuknya. Rasionalitas yang ko-
munikatif sekalipun ikut ”terperangkap dalam kata”.
Maka berbahaya bila politik dalam demokrasi dikerahkan un-
tuk merumuskan ”kebenaran” dan dengan ”kebenaran” itu disu­
sun­akidah. Politik dalam demokrasi pada akhirnya harus meng­
akui bahwa aksi komunikatif yang terbaik bukanlah dengan ba-
hasa yang sudah terang-benderang, tapi bahasa yang terbentuk
karena krisis, konflik, kekurangan, dalam kehidupan.
Sebaris lagi dari Chairil: ”Tulis karena kertas gersang dan teng­
gorokan sedikit mau basah.”

Tempo, 31 Januari 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

554 Catatan Pinggir 9


ATTICUS

P
ENDUDUK kota kecil itu, Maycomb, bukan orang yang
keji, tapi ada sesuatu yang menakutkan di pengadilan itu.
Tom Robinson tak terbukti bersalah, tapi hampir seluruh
penduduk bersepakat dengan diam-diam atau berteriak: Tom
harus dihukum mati.
Dan para juri memutuskan ia memang telah memperkosa
Mayella Ewell. Dan vonis itu dibacakan hakim. Dan Tom dima-
sukkan ke sel penjara, menunggu, tapi putus asa, mencoba me­
lari­kan diri, dan ditembak mati.
Novel terkenal To Kill a Mockingbird, ditulis oleh Harper Lee
dan terbit pada 1960, mungkin akan selalu mengingatkan kita
bahwa ketidakadilan dapat dilakukan atas nama keadilan bagi
orang banyak. Orang banyak itu penduduk kulit putih yang tak
ingin dipermalukan seorang buruh kulit hitam, justru karena si
negro tak bersalah dan dengan demikian ayah dan ibu si gadis
yang bersalah, berdusta—dan bukan cuma itu, sebab dari penga-
dilan itu tampak bahwa Mayella itu yang mencoba merayu Tom,
bukan sebaliknya.
Pengacara yang lurus hati itu, Atticus Finch, telah ikut mem-
permalukan mereka. Ia, duda yang senantiasa berpakaian leng-
kap itu, seharusnya di pihak orang ramai, kaumnya, sebab ia ju­
ga berkulit putih. Tapi tidak. Atticus Finch memutuskan untuk
mem­bela Tom Robinson. Tanpa dibayar. Tanpa ragu meskipun
ia harus menghadapi para tetangganya, bahkan disesali kakak
kan­dungnya sendiri. Dan meskipun ia tahu ia tak boleh banyak
http://facebook.com/indonesiapustaka

berharap, dari sebuah mahkamah di kota di pedalaman selatan


Amerika, untuk melihat seorang hitam sebagai sesama manusia.
”Kasus ini,” kata Atticus Finch kepada anaknya, ”kasus Tom
Robinson ini, sesuatu yang merasuk ke hati nurani, Scout. Aku

Catatan Pinggir 9 555


ATTICUS

tak akan sanggup pergi ke gereja dan menyembah Tuhan jika aku
tak menolong orang itu.”
Apa sebenarnya yang disebut ”hati nurani”, kita tak tahu. Tapi
ada dorongan untuk kurang-lebih tak palsu. Atticus Finch mung-
kin bukan seorang yang tiap kali membaca Injil, tetapi ia merasa
harus ada hakim yang terakhir, sebuah kekuatan yang tahu per-
sis kebenaran dan keadilan, ketika manusia begitu galau, tak tahu
persis apa yang terjadi, tapi ikut berteriak-teriak, ”Salibkan dia!”
Atticus dimusuhi tetangganya. Di luar gedung pengadilan,
se­seorang datang, dan meludahi mukanya. Orang itu Ewell, ayah
Mayella, pemabuk yang suka memukuli anaknya sendiri.
Dan Atticus berkata, ”Nah, kalau meludahi mukaku dan
meng­ancam-ancamku dapat menyelamatkan Mayella dari pu­
kul­an tambahan, aku dengan senang hati menerima diludahi.”
Di kota kecil Maycomb yang sedang menanggungkan depresi
ekonomi, ketika orang dirundung cemas, Atticus Finch berdiri: ia
jadi merasa kuat, justru ketika ia merasa bahwa yang ditanggung­
kannya bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Mayella yang
dipukuli dan Tom yang difitnah dan dizalimi oleh kekuasaan
yang seharusnya melindunginya.

Tempo, 7 Februari 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

556 Catatan Pinggir 9


CAP

K
ADANG-KADANG orang menjepit orang lain dengan
kata, menjerat diri dengan kata. Sejarah politik Indone-
sia modern bisa ditulis sebagai sejarah bekerjanya jepit
dan jerat kata dari masa ke masa.
Pada tahun 1960-an, di bawah ”demokrasi terpimpin”, jepit
dan jerat itu misalnya terbentuk dalam kata ”kontra-revolusioner”.­
Kata ini, bila dikenakan kepada seseorang, satu kelompok, atau
satu pola sikap, dapat membuat yang dikenai seakan-akan ter-
tangkap. Dalam posisi itu, ia berubah jadi sasaran untuk diserang
atau—dalam kata yang dominan waktu itu—”diganyang”. Kata
”kontra-revolusioner” sama artinya dengan ”musuh” Republik,
peng­k hianat tanah air, penentang ”Revolusi”, dan segala usaha
yang sedang digerakkan oleh sang Pemimpin Besar Revolusi
yang tak bisa dibantah.
Dalam varian ”kontra-revolusioner” ini ada kata ”PSI” dan
”Masyumi”—dua partai politik yang dibubarkan Bung Karno,
Pemimpin Besar Revolusi. Kedua partai itu juga dimusuhi oleh
dua kekuatan pendukung, PKI dan ABRI. Para pemimpin PSI
dan Masyumi dipenjarakan. Surat kabar mereka ditutup. Dan
melalui serangan verbal lewat media massa, ”PSI” dan ”Masyu-
mi” (kemudian juga ”Manikebu”) segera jadi kata yang menjepit
dan menjerat siapa saja yang dianggap musuh politik. Buat dige-
buk.
Pada tahun 1970-an, di bawah ”Orde Baru”, kata yang dengan
lebih buas menjepit dan menjerat adalah ”PKI” dan ”G30S” atau
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Gestapu”. Dengan kata itu, orang langsung tak dapat bergerak


dan tak mungkin bicara. Acap kali mereka dipenjarakan dan di-
bunuh, tanpa bekas.
Seperti pada masa sebelumnya, daya jerat dan jepit kata ”PKI”

Catatan Pinggir 9 557


CAP

dan lain-lain itu juga dilahirkan oleh kampanye media massa,


yang dikobarkan dengan penuh kebencian. Dengan teror dan ke­
ta­kutan. Demikianlah sepatah kata menjadi stigma.
Stigma adalah cap. Kata ini berasal dari bahasa Yunani untuk­
menyebut semacam tanda yang diterakan dengan luka bakar
atau tato ke kulit seorang hukuman, pelaku kriminal, budak,
atau pengkhianat. Dengan cap yang melekat di jangat itu, stigma
akan menandai orang yang tak diinginkan. Stigmatisasi terjadi
ber­sama penyingkiran.
Pada zaman komunikasi kata-kata ini, cap itu tak melekat di
ja­ngat. Ia hanya jadi metafor. Ia berbentuk bunyi, penanda yang
dikumandangkan ke dalam bahasa. Sebagai bagian dari bahasa,
ia masuk ke kepala dan hati orang ramai, membentuk persepsi
dan bahkan sikap dan laku mereka. Kata sebagai stigma berkem-
bang dalam pusaran kesadaran kita bagaikan racun. Racun ini
ke­mudian bisa disemburkan ke tiap sosok yang jadi sasaran.
Sebagai racun, ia bergabung dengan racun jiwa yang lain: pur-
basangka dan paranoia. Maka dengan mudah ia bisa diperguna­
kan­untuk menyebarkan permusuhan. Yang menakjubkan, stig-
ma bisa bertahan lama.
Setelah ”demokrasi terpimpin” runtuh, kata ”PSI” dan ”Ma-
syumi” masih merupakan stigma yang berlanjut. Ketika pada Ja­
nuari 1974 terjadi gerakan yang membakar dan merusak mobil,
motor, dan gedung di jalan-jalan Jakarta, pihak penguasa meng-
gunakan media untuk menuduh bahwa yang jadi dalang keke­
rasan itu ”PSI” dan ”Masyumi”. Sejumlah orang yang sering di-
beri label ”PSI” dan ”Masyumi” dipenjarakan. Banyak di antara­
nya tanpa diadili. Segera sesudah itu, sebuah buku propaganda
http://facebook.com/indonesiapustaka

di­terbitkan dalam bentuk mewah, ditulis oleh seorang wartawan,


Marzuki Arifin. Dakwaan terhadap ”PSI” dan ”Masyumi”, dua
partai yang sudah dibubarkan 14 tahun sebelumnya, dikuman-
dangkan lagi.

558 Catatan Pinggir 9


CAP

Bahasa membentuk endapannya sendiri. Kata-kata ikut ber-


campur dengan bawah-sadar, dan diubah-ubah maknanya oleh
apa yang bergolak dalam percampuran itu. Oleh hasrat dan da­
lam hasrat. Oleh kengerian dan dalam kengerian. Makna tak lagi
jelas dan transparan. Dan tak ingin untuk demikian.
Apa arti ”PSI”? ”Masyumi”? ”Manikebu”? ”PKI”? ”Ges­
tapu”? Tak penting lagi dikaji apa sebenarnya arti kata-kata itu.
Orang tak peduli lagi apa yang terkandung dan tak terkandung
di dalamnya. Sebagai salah satu perumus ”Manifes Kebudayaan”
(yang diubah jadi ”Manikebu”, sebagai langkah awal stigmatisa-
si), saya sering takjub: sampai hari ini manifesto yang diganyang
ha­bis-habisan pada tahun 1960-an itu masih dianggap mendu-
kung paham ”seni untuk seni”.
Endapan racun itu memang berumur panjang. Tak menghe­
rankan jika paranoia masih mencengkam ketika orang dengar ka­
ta ”komunis” dan ”Marxis”, juga 20 tahun setelah Partai Komu­
nis terbesar di dunia jatuh.
Agaknya kini pun orang sedang memproduksi dan meng­
awetkan stigma sendiri: ”neoliberal”, ”liberal”, ”sekuler”, ”funda­
men­talis”—dan dengan itu pertukaran pendapat tak bisa lagi jer­
nih, bahkan jadi mustahil. Akhir-akhir ini, dalam kasus Bank
Cen­tury, bahkan meningkat suasana yang mempermudah stig-
matisasi itu: orang bicara, dan racun bertaburan di antara tiap
bu­nyi, tiap rangkaian huruf, tiap penanda.
Stabilitas yang dikukuhkan pada stigma seperti itu berbareng
dengan berlanjutnya politik sebagai ajang kebencian dan intole­
ran­­si. Bahasa adalah arus yang tak henti-hentinya memelesetkan
makna, dan orang memerlukan apa yang disebut psikoanalisis
http://facebook.com/indonesiapustaka

Lacan point de capiton agar ada pegangan, biarpun sementara, un-


tuk mematok makna kata. Tapi point de capiton itu bisa menjepit
dan menjerat—bukan hanya musuh kita, tapi juga kita sendiri.
Pada saat itulah bermula kecurigaan jadi rumus, kebencian ja­

Catatan Pinggir 9 559


CAP

di doktrin. Kita hanya bisa membebaskan diri dari jerat dan jepit
itu bila kita ingat bahwa pada tiap stigma ada racun yang melum-
puhkan semuanya.

Tempo, 14 Februari 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

560 Catatan Pinggir 9


BENDA-BENDA

Dengan beras kasar yang kumakan, dengan air yang kuminum, seraya le­
nganku bertelekan ke sebuah bantal—masih kurasakan sukacita pada benda-
benda ini.
—Konghucu

B
enda-benda makin lama makin membuat jarak dari
kita. Beras, air minum, dan bantal itu kita konsumsi dan
kita pakai setiap hari—mungkin kita nikmati—tapi di
manakah kita?
Hari ini kita pergi ke sebuah mall di Jakarta. Di deretan etala­
se yang gilang-gemilang itu benda-benda diletakkan dengan ja­
rak tertentu. Kalau bukan jarak fisik, ia jarak dari keseharian kita.
Mereka tampak mengimbau karena mereka, seperti satu adegan
film Avatar, bukan bagian dari malam dan siang kita yang lazim.
Dan ketika kita ketahui harga mereka yang tak dapat diraih ke-
banyakan orang, makin jelas bagaimana benda-benda itu telah
ber­ubah.
Marx pernah berbicara tentang ”festishisme komoditas”: ke-
tika komoditas jadi jimat, benda yang dianggap punya kesaktian,
atau, dalam bahasa Portugis, feitiço.
Pada waktu ia menulis itu, dalam jilid pertama Kapital, Marx
belum melihat gaun Max Mara, tas Louis Vuitton, stoking Pierre
Mantoux, jaket Gucci, yang dipamerkan dengan iklan besar atau
dipasang di tubuh manekin langsing. Marx baru berbicara ten-
tang beberapa potong kayu yang dijadikan meja, dan meja yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

di­jual di pasar. Syahdan, meja itu kemudian terlepas dari tangan


sang pembuat yang berkeringat. Si meja kini seakan-akan berja-
lan sendiri, tampil untuk dipertukarkan dengan benda lain yang
juga lepas dari tenaga sang produsen. Pada saat itu, hubungan

Catatan Pinggir 9 561


BENDA-BENDA

yang terjadi praktis bukan lagi hubungan antara manusia. Manu­


sia di luarnya.
Di depan etalase Emiglio Zegna, yang memajang kemeja dan
pan­talon yang necis, kita tak tahu siapa Emiglio Zegna. Kita tak
pe­duli apakah itu nama sang desainer atau nama seorang aktor
yang dipinjam untuk jadi merek. Kita mungkin kagum kepada
desainnya, tapi tak peduli siapa yang merancang. Kita bahkan tak
me­rasa perlu tahu siapa yang punya toko. Di pikiran kita hanya
se­deret pantalon, sederat jas, sederet hem. Apa yang dikatakan
Marx tepat di sini: benda-benda itu kini menampilkan ”sifat
metafisik yang halus” dan ”kesantunan theologis”.
Tapi ada yang tak disebut Marx: kita datang ke mall itu bukan­
dengan kepala kosong. Kita bukan tabula rasa. Kita memilih per-
gi ke sana dan tertarik karena kita hidup di antara fantasi, mimpi,
hasrat, yang sudah mengisi diri kita, bertaut dengan hal-hal yang
te­lah membentuk impian sosial. Antara aku dan benda dalam
eta­lase itu ada satu proses perantaraan, terutama oleh media—
majalah Dewi, Esquire, Kosmopolitan, film ala Hollywood, sine-
tron ala Raam Punjabi, dan entah apa lagi—yang membentuk
pelbagai markah: merek, gaya, potongan bentuk, bahkan mall
itu seluruhnya menandai ”kecantikan” atau ”kegantengan” atau
”kepatutan”.
Berangsur-angsur, markah-markah itu jadi bagian dari ke­sa­
dar­an kita. Merekalah wakil atau representasi dari hal-hal yang
sebenarnya tak akan dapat dihadirkan (bagaimana kita bisa
meng­hadirkan ”kecantikan”?), tapi terus-menerus kita hendak
men­jangkau. Dengan kata lain, markah-markah itu jadi penanda­
yang tak dihadiri oleh yang ditandai. Tapi mereka begitu kuat
http://facebook.com/indonesiapustaka

hing­ga kita ingin menyatukan diri dengan mereka. Penyatuan itu


terjadi dalam ”milik”: kita ingin memiliki mereka, sementara kita
juga dimiliki mereka.
Artinya, kita bukan dalam situasi Konghucu. Beras, air mi-

562 Catatan Pinggir 9


BENDA-BENDA

num, dan bantal itu sudah berubah. ”Apa yang dulu dialami da­
lam hidup secara langsung kini telah hanya jadi representasi,” tu-
lis Guy Debord, seorang Marxis yang masygul. Baginya, sejarah
kehidupan sosial adalah sejarah merosotnya ”ada” jadi ”milik”
dan ”milik” jadi ”penampilan”. Kita hidup, kita ada, tetapi dalam
ke­nyataannya kita dibentuk oleh ”penampilan” yang mendorong
kita memiliki.
Kita hidup dalam ”masyarakat tontonan”, la socièté du specta­
cle. ”Tontonan”, yang punya akar pada kata Jawa ”ton”, menemu-
kan contohnya pada mall itu. Tontonan, tulis Debord, ”bukan-
lah sebuah himpunan imaji, melainkan persesuaian sosial antara
orang-orang, yang diperantarai oleh imaji-imaji”.
Debord, seperti saya singgung tadi, menilai keadaan ini seba­
gai kemerosotan. Bukunya, La socièté du spectacle, adalah tafsir
yang lebih jauh atas sinyalemen Marx bahwa di bawah kapital-
isme, manusia sebenarnya hidup dalam ”alienasi”, dalam ”keter-
asingan”: aku terasing dari tenaga kerjaku sendiri ketika tenaga
kerja itu jadi komoditas yang tak aku kuasai; aku terasing dari
ben­da yang aku hasilkan, ketika benda itu diperjualbelikan; aku
terasing dari orang lain yang akan membeli dan menggunakan
ben­da itu.
Dalam analisis Debord, keterasingan manusia, sebagai penon­
ton, ada dalam posisi yang agak berbeda: ketika sang penonton
(alias sang konsumen) makin meletakkan diri dalam dominasi­
markah-markah yang menandai kebutuhan, ia akan makin ku­
rang ada bersama eksistensinya sendiri. Ia minum kopi, baca ko-
ran, mengunyah kue, pergi main golf, pergi ke mall: tontonan itu
ada di mana-mana. Dan sang penonton? Ia bersama mereka, di
http://facebook.com/indonesiapustaka

mana-mana. Ia tak berumah.


Tapi saya tak bisa mengatakan ia tak bersukacita. Mungkin
tak seperti Konghucu. Mungkin itu kebahagiaan hidup yang pal-
su. Tapi adakah yang asli yang bisa kita temui tanpa representasi?

Catatan Pinggir 9 563


BENDA-BENDA

Terutama ketika kapitalisme membangun markah terus-menerus


untuk menunjukkan tentang apa yang kita butuhkan?
Kita boleh berharap kapitalisme akan runtuh kelak. Tapi ha-
rus diakui, harapan itu makin tipis. Maka apa yang harus dilaku-
kan? Mungkin bersahaja: kita harus ingat, kita punya subyektivi-
tas yang cukup untuk mencoba merebut kembali ”ada” dari ”mi-
lik” dan ”penampilan”.
Kita sesekali perlu sejenak jadi Konghucu.

Tempo, 21 Februari 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

564 Catatan Pinggir 9


ÉMILE

B
agaimana cara menodai agama?
11 Juni 1762, di halaman Gedung Mahkamah Pengadil­
an, Paris, sebuah buku dibakar. Karya itu berbentuk no­
vel, tapi sebenarnya ditulis untuk membahas soal pendidikan
anak. Dengan Émile itu Jean-Jacques Rousseau dinilai telah ber-
salah karena ”menganggap semua agama sama-sama baik”.
Seorang pejabat berpidato di depan Parlemen untuk melontar­
kan tuduhan itu; dalam buku, ujarnya, Rousseau telah ”berani
men­coba menghancurkan kebenaran Kitab Suci dan nubuatnya”.
Ia ”mengejek dan menghujat agama Kristen...”.
Maka Parlemen memutuskan agar bukan saja buku itu diro­
bek dan dibakar, tapi juga Rousseau ditangkap.
Sang pengarang melarikan diri ke Swiss. Dua hari sebelum
bu­kunya dibakar, Rousseau sudah meninggalkan Prancis dengan
bantuan teman-temannya. Setiba di wilayah Bern ia turun dari
ke­reta, bersujud dan mencium tanah: ”Yang Maha Tinggi, pelin­
dung kebajikan, terpujilah tuan; hamba menyentuh sebuah nege­
ri kebebasan!”
Tapi betapa cepatnya ia berharap. Ia menetap sebulan lamanya­
di rumah seorang teman di wilayah Bern itu. Ia berpikir untuk
pin­dah ke Jenewa. Tapi di kota yang dikuasai 25 aristokrat ad-
ministrator itu disebut ”Dewan yang Dua Puluh Lima”—karya
Rousseau juga dinyatakan dilarang. Émile dan Du contrat social
dianggap ”penuh dengan hujatan dan cercaan terhadap agama”.
Dan sebagaimana Parlemen Paris yang menyuarakan kuasa
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ka­tolik mengutuknya, di Jenewa penguasa kota yang Protestan


Calvinis itu juga memerintahkan agar buah pikiran Rousseau itu
dibasmi. Pengarangnya, yang sesungguhnya seorang warga Jene­
wa, harus ditangkap.

Catatan Pinggir 9 565


Émile

Rousseau pun tetap tinggal di wilayah Bern. Tapi tak lama.


Se­bulan kemudian Senat wilayah itu memerintahkannya untuk
per­gi. Rousseau pun pindah ke sebuah dusun di gunung-gunung
Swiss, Môtiers-Travers.
Ia ingin hidup damai di sini, tak hendak menulis apa-apa la­gi
kecuali surat-menyurat. Ia bahkan masuk ke dalam jemaat Pro­
tes­tan setempat. Ia menyambung hidupnya dengan jadi penyalin
partitur musik dan menyulam. Seraya demikian ia tampil tak bi-
asa: ia memilih berpakaian Armenia, juga ketika ke gereja.
Tak jelas apakah orang percaya betul kepada Rousseau sebagai
se­orang Kristen yang alim. Suatu hari ia mengunjungi seorang
aris­tokrat. Tuan rumahnya menyambutnya dengan ucapan, ”As­
sa­lamualaikum.” Para pastor Calvinis di ibu kota daerah itu telah
memaklumkan pengarang Émile sebagai ”orang murtad”.
Di saat itu pun gereja Protestan dan Katolik bertemu mengha-
dapinya. Agustus 1762, Uskup Agung Paris menulis 29 halaman
kutukan terhadap Émile.
Tapi benarkah buku itu menodai agama?
Dalam prakatanya, Rousseau mengatakan, tujuan Émile ada­
lah untuk menawarkan sebuah sistem pendidikan, buat jadi per-
timbangan para aulia, bukan untuk para ayah dan ibu. Seperti
Pla­to, Rousseau ingin memisahkan anak dari pengaruh orang tua
yang datang dari generasi yang salah didik. Tapi pendekatannya
tak radikal. Seraya meyakini—seperti kalimatnya yang termasy­
hur dalam Du contrat social—bahwa ”manusia dilahirkan merde-
ka dan di mana-mana ia terikat rantai”dalam Émile Rousseau
me­nunjukkan jalan agar manusia bisa menerima ikatan sosial de-
ngan bebas.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Di situlah peran agama. Ketika si Émile, tokoh anak yang ja­di


pusat cerita ini, berumur 18, ia baru mulai bisa diberi pendidik­an
agama. Rousseau mengecam atheisme. Dalam novel ini ada se­
orang padri dusun, vicaire savoyard, dari Pegunungan Alpen, Ita-

566 Catatan Pinggir 9


Émile

lia, yang sebenarnya meragukan wahyu para nabi dan mukjizat


pa­ra santo.
Tapi padri dusun itu tak mau menuturkan keraguannya kepa­
da jemaat. Dengan taat ia jalani ritual Gereja Roma. Sementara
itu, ia terus berbuat yang sebaik-baiknya kepada orang lain. Ia
me­nolak doa yang meminta-minta; doa baginya adalah lagu puja
bagi Tuhan dan ekspresi kita yang merunduk pada iradat-Nya.
Sang padri tahu, meskipun agama melahirkan kekejaman dan re­
presi, manfaatnya lebih besar. Agama adalah sebuah karunia.
Tapi justru sebab itu tak perlu kita risau melihat perpecahan
da­lam agama Kristen. Semua agama baik sepanjang ia memper-
baiki fiil manusia dan merawat harapan. Sungguh menggelikan
un­tuk menganggap iman, sesembahan, dan kitab suci yang ber-
beda dari agama kita sebagai hal yang ”terkutuk”. Kata sang pad­
ri: ”Seandainya hanya ada satu agama saja di muka bumi, dan se­
mua yang di luar pengaruhnya akan dijatuhi hukuman abadi ma­
ka Tuhan dari agama itu akan merupakan Tuhan yang paling ke­
jam dan tak adil.”
Di sini kita temukan kembali, dalam ekspresi yang lebih lu-
nak, pandangannya dalam Du contrat social.
Dalam uraiannya tentang negara imajiner yang diidamkan-
nya, Rousseau menyatakan diri yakin akan kepercayaan dasar
Kris­ten—dan ia tak berkeberatan bila ada agama yang jadi ”dog-
ma positif” bagi masyarakat. Tapi ia hanya akan mentolerir agama
yang menunjukkan toleransi kepada agama lain. Bagi Rousseau,
siapa yang mengatakan ”di luar Gereja tak ada penyelamatan”
siapa yang mempersetankan agama lain—harus dibuang ke luar
dari negerinya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dibaca di abad ke-21, apa yang dicita-citakan Rousseau tak


me­ngejutkan lagi; kini makin tampak bagaimana tak adilnya
(dan juga tak mudahnya) manusia membersihkan sebuah negeri
dari perbedaan iman dan tafsir. Di abad ke-18, ketika ia hidup se-

Catatan Pinggir 9 567


Émile

bagai orang yang terusir dari kota ke kota, pendirian Rousseau


me­mang sebuah pengganggu bagi mereka yang bertopang pada
iman sebagai kekuasaan.
Tapi berangsur-angsur sang pengganggu itu makin tampak
tak bisa lagi dibantah. Makin tampak pula bukan dia yang meno-
dai agama, melainkan lawan-lawannya.

Tempo, 28 Februari 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

568 Catatan Pinggir 9


SANG MILITAN

K
ita dengar mereka berdebat di dalam dan di luar parle­
men. Kita tahu demokrasi sedang marak. Kita ikuti pa­
ra politikus mengatakan, ”kami sedang mencari ke­be­­
naran”. Tapi saya kira semua itu hanya salah sangka. Atau sebuah
lagak. Sebab ambisi sebuah demokrasi bukanlah, atau tak mung-
kin, ”kebenaran”.
Jika kita memandangnya sebagai sebuah sistem dan prosedur
bagaimana keputusan politik diambil, kita akan melihat bahwa
demokrasi bertolak dan berakhir dalam keadaan yang tak pernah
utuh. Situasi yang dihadapi adalah situasi serba tergantung, serba
mungkin. Di sini, yang membentuknya sering bukan ”kebenar­
an”, melainkan ”kebetulan”. Castoriadis benar ketika ia menga­
ta­kan, demokrasi adalah sebuah ”rezim yang tragis”.
Demokrasi bermula dari pengakuan bahwa nun di atas yang
paling atas di dunia ini, dan juga nun di dasar paling dasar dari
ke­hidupan, yang ada adalah sebuah growongan tanpa penghuni,
tanpa isi. Sang otoritas yang dulu dianggap punya hak yang aba-
di, yang didesain Allah, telah terbukti bisa disingkirkan. Fondasi
yang semula dianggap kekal telah ditiadakan.
Sejarah revolusi-revolusi menunjukkan itu. Siapa pun yang ke-
mudian mengisi liang kosong itu akan tahu, ia tak identik dengan
growongan itu. Ia memegang otoritas, tapi ia tak bisa menyatakan
diri dialah sang penentu sepenuhnya. Posisi itu tak sama dan se-
bangun dengan dirinya. Kehidupan beragam dan berubah, tak
mungkin itu-itu-saja, mustahil untuk jadi tunggal. Otoritas yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

ada bisa (bahkan dengan sendirinya) goyah. Atau, seperti Ayatul-


lah Khomeini, sang otoritas tetap seorang manusia yang usianya
terbatas.
Dengan demikian memang pada akhirnya harus dikatakan,

Catatan Pinggir 9 569


SANG MILITAN

de­mokrasi adalah kekurangan yang juga keniscayaan. Tak ada al-


ternatif yang lebih pas untuk ketidaksempurnaan riwayat manu-
sia. Dalam hubungan itulah demokrasi bertolak dari asas bahwa­
me­reka, demos, yang berada di luar pemegang otoritas, itulah
yang menentukan.
Tapi demos pun sebuah ketakpastian. Hanya sebagai pengerti­
an yang abstrak demos itu bisa dianggap tunggal dan kekal. Da­
lam pengalaman konkret, cuma sesekali ”rakyat” bisa dihitung
se­bagai ”satu”.
Agaknya sebab itu pertanyaan para pemikir politik sejak
Hobbes hingga Habermas adalah bagaimana tersusunnya sebuah
tata, bagaimana terbangunnya sebuah tertib? Bagaimana manu-
sia dalam sebuah negeri bisa akur, hingga kehidupan bisa berjalan
rapi dan nyaman?
Ada yang menjawab—terutama yang memandang manusia
dengan muka muram—bahwa tata dan tertib hanya bisa terba­
ngun­jika ada Leviathan, sebuah kekuasaan besar yang memaksa­
kannya. Ada yang lebih optimistis: mereka yakin bahwa manusia
adalah makhluk yang tak hidup dengan subyektivitasnya sendi­ri,
melainkan dengan ”inter-subyektivitas”. Dan ”inter-subyektivi­
tas” itu sudah sejak mula dikukuhkan dalam bahasa. Kita tak bi­
sa mengelak dari bahasa, kita dibentuk oleh bahasa, dan bahasa
bu­kanlah sebuah produk monolog.
Apalagi jika ditambahkan keyakinan: ada rasionalitas yang
mem­buat manusia bisa mencapai mufakat.
Tapi mufakat tak dengan sendirinya sama dengan ”kebenar­
an”. Dalam bentuknya yang terbaik, mufakat hanyalah jejak-je-
jak yang menandai ada kebenaran, tapi kebenaran yang tak kun-
http://facebook.com/indonesiapustaka

jung hadir. Demokrasi sebenarnya hanya mendapatkan jejak itu,


yang lahir dari proses tawar-menawar dan kompromi. Proses itu,
apa boleh buat, bergantung kepada keadaan saat itu: perimbang­
an kekuatan, kehendak masing-masing pihak, dan informasi

570 Catatan Pinggir 9


SANG MILITAN

yang tersedia.
Itu sebabnya, mufakat tak akan mewakili kebenaran yang
uni­versal.
Demokrasi adalah sebuah rezim yang tragis, karena ia terpak-
sa harus bekerja dengan dasar-dasar yang tak kuat, yang tak ber-
laku selama-lamanya dan diterima di mana saja. ”Kebenaran”,
jika hasil konsensus bisa disebut demikian, hanya buah pertim-
bangan praktis. Kita sepakat karena kita tak bisa terus-menerus
ber­tengkar untuk menentukan bahwa A adalah A. Besok kita ha-
rus bekerja untuk hidup, dan untuk itu harus ada stabilitas ter-
tentu.
Ketika kita berkompromi, sering kita tak 100% puas dan tak
100% yakin akan benarnya kesimpulan yang dimufakati. Apala-
gi tak jarang kompromi itu merupakan hasil kemenangan si kuat
yang disamarkan.
Demokrasi yang seperti itulah yang kini dijalankan, juga di
Indonesia. Dengan gaya yang berbeda-beda, dalam demokrasi ini
yang diharapkan adalah prosedur bertukar-pikiran yang sehat,
ber­tolak dari rasionalitas yang praktis.
Tapi jika demikian, di mana gerangan ada kebenaran yang di-
yakini? Di mana kita temukan makna yang sangat berarti bagi hi­
dup kita, yang akan kita pertahankan mati-matian? Bagaimana­
akan ada semangat yang militan untuk meneguhkan A adalah
be­nar-benar A? Bagaimana bila semua nilai jadi nisbi dan kita ha­
nya bekerja separuh hati untuk hidup yang lebih baik, sebab yang
”lebih baik” itu juga tak amat meyakinkan?
Sang militan akan mati. Atau ia harus jadi seorang yang meli-
hat politik seraya melupakan sifat tragis demokrasi. Ia bisa meng­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ikuti­semangat Badiou, yang tergugah penuh oleh kebenaran se-


bagai sesuatu yang mengimbau tak terhingga, tak hanya dibatasi
oleh jejaknya sendiri. Sebab militansi hanya bisa bangkit oleh se­
su­atu yang diakui luhur oleh semua orang selamanya.

Catatan Pinggir 9 571


SANG MILITAN

Tapi sang militan bisa jadi sang fanatik. Kecuali bila ia berse-
dia melihat kebenaran bagaikan energi dari petir: gelegar dan ca-
hayanya menggetarkan tapi tak akan pernah menetap.
Di situlah demokrasi, tanpa ambisi mencapai yang ”benar”,
te­tap penting. Sistem ini memberikan peluang bagi kerendahan
ha­ti. Atau kearifan: dalam meraih kebenaran, kita tahu hidup ter-
diri atas kesementaraan dan pelbagai kebetulan.

Tempo, 7 Maret 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

572 Catatan Pinggir 9


PERCAKAPAN

D
ua orang duduk berdekatan. Dalam lakon Menunggu
Godot Samuel Beckett ini, di babak ke-7, mereka berbi-
cara:

Gogo: Lalu apa?


Didi: Ah! Kita akan bercakap-cakap! (mereka pun saling men­
dekat, sampai sekitar 10 kaki). Yah, kurang pelan, mungkin. Begi-
tulah jalannya.
Gogo: Memangnya jalan?
Didi: Ya. Harus.

Percakapan memang terjadi, dan seperti kata Didi, harus ”ja-


lan”. Tapi buat apa? Menunggu Godot menjawab dengan kering:
kata-kata yang bersahut-sahutan itu bagian dari laku menunggu
yang tak berkesudahan.
Di sebuah adegan lain, Estrogen bertanya: ”Do we need a po­
int?”­Apa kita memang perlu ada ide atau pikiran yang ingin di­
ke­mukakan jika kita masuk ke dalam sebuah percakapan? Ja-
wab Damvlad: ”Sebagian orang mungkin perlu itu.” Estrogen:
”Meskipun tak ada?”
Menunggu Godot adalah teater yang mengabarkan bahwa ”ka-
bar” selamanya akan ”kabur”. Ini memang sebuah teater, dan di
atas pentas diharapkan ada dialog. Tapi justru dalam teater ini di-
alog dan percakapan sendiri perlu diragukan. Itu sebabnya Gogo
skeptis: ”Memangnya jalan?”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Syahdan, sejarah mencatat hubungan antarmanusia yang pu-


tus, perang dan kekerasan tak henti-hentinya terjadi. Orang sa-
dar, percakapan ”harus jalan”. Tapi juga orang sadar, bahasa ada­
lah himpunan prisma yang berkabut, terkena uap mulut para

Catatan Pinggir 9 573


PERCAKAPAN

pem­bicara (lengkap dengan pelbagai baunya yang aneka ragam),


sementara yang terpancar dari sana adalah dispersi makna yang
bersinar ke arah mana saja.
Beckett melukiskan ambruknya komunikasi manusia dengan
menggelikan tapi juga murung. Kita seakan-akan dibawa untuk
menyaksikan sebuah dunia di mana permufakatan tak akan per-
nah terjadi....
Tapi benarkah tak akan terjadi? Belum tentu. Dari lakon Beck-
ett itu kita juga bisa dapat kesan, orang-orang yang ”menunggu
Godot” itu akhirnya diam-diam sepakat: mereka harus di sana
ber­sama-sama. Ketika dalam kebersamaan itu kata hanya bunyi,­
tak lebih dan tak kurang, pertengkaran (sebagaimana persetuju­
an) tak terjadi. Kita bahkan bisa menyimpulkan: ajaib, dalam su­
a­sana negatif itu, ternyata masih ada sesuatu yang bisa diterima
orang yang berbeda-beda. Semacam konsensus tercapai, walau-
pun bahasa tak punya arah.
Mungkin dari sini ada harapan: dalam kebersamaan manusia,­
kalaupun tak ada sesuatu yang universal, toh masih ada yang da­
pat ditumbuhkan jadi universal, yang tak ditampik pihak-pihak
yang punya mulut dan abab berbeda-beda.
Itulah harapan politik. Yang saya maksudkan dengan ”poli-
tik” di sini sedikit kuno: ikhtiar untuk merawat pertalian sosial.­
Tak jarang ikhtiar itu melalui persaingan, konflik, dan adu keku­
at­an, tapi tak hanya itu. Politik bukan pembasmian. Bila antago­
nisme saja yang jadi dasarnya, pertalian sosial selamanya akan
men­cemaskan; tak akan ada sebuah masyarakat yang mampu
terus-menerus menanggungkan itu. Politik bukan hanya ”kami”
meng­hadapi ”mereka”, tapi juga (atau justru) ”kami” yang ber­
http://facebook.com/indonesiapustaka

usaha­terus-menerus membentuk ”kita”.


Tapi selama ini, orang bingung. Apa landasan yang membuat
”kita” tak mustahil? Dari mana datangnya ”yang universal” yang
me­mungkinkan ”kami” dan ”mereka” bisa jadi ”kita”?

574 Catatan Pinggir 9


PERCAKAPAN

Zaman ini memang menolak mengakui bahwa nilai-nilai


yang universal datang dari luar sejarah manusia, dari sesuatu yang
transenden, misalnya agama yang diwahyukan Tuhan. Bahkan
Habermas, seraya percaya akan kemungkinan konsensus, berbi-
cara tentang perlunya ”de-transendentalisasi”.
Para pemikir yang menolak yang transenden, dan meneguh-
kan ”imanensi”, sejak Marx sampai Deleuze, mencoba menjelas-
kan bahwa nilai-nilai ”universal” mengikuti riwayat manusia de-
ngan tubuh dan kehidupan sosialnya: berubah-ubah. Para pemi­
kir ”post-modern” malah menunjukkan, yang ”universal” hanya
ke­dok bagi asumsi dunia modern yang memegang dominasi.
Tapi bila begitu, harapan politik untuk membentuk ”kita”
akan selalu kandas, atau hanya berhasil karena kekuatan senjata,
orang ramai, dan kekayaan. Politik, seperti yang akhir-akhir ini
te­rasa di Indonesia, akan hidup dengan defisit ethis. Tak adakah
kemungkinan lain?
Barangkali. Sebab tanpa bersandar pada apa yang transenden,
kita toh bisa lihat (mengikuti Karl-Otto Apel) ada yang ”transen-
dental” dalam hidup kita—sesuatu yang tumbuh dari satu tem-
pat dan satu masa, tapi juga mengatasi tempat dan masa itu. Yang
”tak adil” memang bisa berbeda-beda dinyatakan dan dirasakan,
tapi kehendak melawan kekejaman tumbuh di mana-mana.
Apel berbicara tentang ”ethika wacana”, Diskursethik: ia tak
menganggap penilaian moral semata-mata subyektif, dan segala­
hal jadi nisbi. Tapi ia tak bertolak dari dasar yang dirumuskan
Descartes, ”aku berpikir”—yang akhirnya hanya berkutat de-
ngan ”aku”. Apel mengajukan alternatif: ”aku berargumen”. De-
ngan kata lain, ”aku” menggunakan bahasa, walaupun patah-pa-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tah, dan ada subyek lain yang diajaknya bicara.


Dalam proses itu mau tak mau ada asumsi bahwa yang diajak
bicara akan menerima sesuatu yang bisa ditumbuhkan jadi nilai
bersama: sebuah prinsip ”universalisasi”. Percakapan, betapapun

Catatan Pinggir 9 575


PERCAKAPAN

sulitnya, bukan untuk saling membunuh. Kita tak tahu bagaima-


na bentuk dan akhir percakapan itu—kita tak tahu bagaimana
sang Godot—tapi kita tetap melakukannya. Sebuah pragmatis­
me sehari-hari.
Do we need a point?
Kita memang perlu sesuatu yang jangan-jangan tak ada—
tuju­an yang tunggal, tafsir kata-kata yang bersepakat—tapi kita
tetap saja saling bicara. Dalam suasana muram Menunggu Godot,
kita tak melihat sebuah politik yang dengan sinis ingin menying-
kirkan, atau membeli, orang lain.

Tempo, 14 Maret 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

576 Catatan Pinggir 9


SOPIR

K
husus di pagi itu W melihat ke luar jendela, ke arah
la­ngit yang masih belum terang penuh, dan bertanya,
atau berdoa, atau berharap-harap cemas: ”Tuhan selu-
ruh alam, akan bebaskah kita hari ini dari kebencian?”—sambil
tak sadar ia pakai kata ”kita” di kalimat itu. Seakan-akan ”Tu-
han” termasuk subyek yang ikut bertanya. Mungkin karena ia tak
tahu di mana Tuhan—jangan-jangan Tuhan akrab merasuk ke
da­lam dirinya—atau mungkin karena ia makin merasa, di du-
nia yang berhari-hari dipanasi politik dan maki-maki dan suara
bising di TV, Tuhan juga perlu teman untuk melawan kebencian
dan kebisingan.
W, perempuan berumur 43 tahun itu, menyukai hening, bu-
kan karena hening punya makna religius yang dalam, tapi karena­
hening, di kota besar ini, semacam ruang yang bisa bebas dari
kolonisasi suara yang menjerit-jerit: dominasi enam pengeras sua­
ra sehabis subuh dan knalpot ribuan sepeda motor yang melintas­
tak jauh dari rumahnya. Hening itu sebentar, tapi begitu berharga­
dan mengejutkan—seperti anggrek putih yang sendirian di ke-
bun di sebelah kamarnya itu, kebun dengan tiga batang pohon
dan 3 x 3 meter persegi petak rumput. Anggrek itu di sana tam-
pak yang paling beda, sebuah selingan, sebuah surprise.
Kalau hidup tanpa surprise, apa jadinya dengan Penciptaan?
W bertanya pada diri sendiri. Ia ingat seseorang mengutip Kant:
”Die Schopfung ist niemals vollendet”. Penciptaan tak pernah usai.
Pagi bukanlah serangkaian repetisi.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ia memang merasa bisa bersyukur, pagi ini yang ia dapatkan­


adalah sejuk yang baru. Mungkin karena setelah beberapa malam
yang gerah dan pengap, kebun itu memberinya oksigen yang se­
akan-akan datang buat pertama kali. Atau mungkin karena bu-

Catatan Pinggir 9 577


SOPIR

rung-burung. Tanpa mengenal mana yang prenjak dan mana


yang kutilang, ia dengarkan kicau sehabis gelap itu seperti harap­
an yang kembali. Ternyata tak semua bisa digusur gedung-gedung
kota yang mengalahkan pepohonan tempat beberapa makhluk
hinggap dan hidup. Seperti halnya tak semua dibinasakan oleh
bi­sing. Biarpun cuma beberapa menit. Kata akhir mengenai ke-
hidupan ini belum bisa diucapkan.
Tapi benarkah? Benarkah selingan dan surprise ringkas itu pu-
nya makna yang lebih besar dalam hidup—terutama hidup di
kota yang luas tapi berjubel itu? Bisakah ia masih berharap dari
manusia, bukan dari burung dan kembang?
Pengantar koran datang. Ia malas membaca halaman perta-
ma: terlalu banyak kabar dan statemen buruk. Ia malas membaca
halaman opini: terlalu banyak tulisan yang tak memberinya ja-
wab terhadap yang diucapkannya tadi tentang kebencian. Ia ha­
nya­membaca halaman iklan, kemudian melupakannya.
Setelah sarapan kecil, ia putuskan untuk pergi lebih pagi ke
kan­tor. Ia tinggalkan secarik kertas dengan pesan kepada suami­
nya yang baru akan pulang siang nanti dari Yogya, menengok T,
anak mereka yang bersekolah di sana: ”Makanan sudah aku siap-
kan di kulkas.”
Lalu ia berjalan ke ujung gang, menunggu taksi.
Sopir taksi itu mengenal betul jalan ke arah kantornya di Ke-
mang Timur. Sambil duduk di jok belakang, W mencoba mengi­
rim beberapa pesan pendek lewat telepon genggamnya ke asisten-
nya. Tapi tiba-tiba matanya tertarik ke sebuah foto keluarga yang
tak lazim tertempel di dasbor: sepasang suami-istri dan seorang
anak perempuan. Pasti sopir itu dan keluarganya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Ini anak saya, Bu,” tiba-tiba sopir itu berkata, tahu bahwa pe­
numpang di belakangnya memperhatikan foto itu.
”Dia besok akan dioperasi otaknya,” katanya lagi.
”Kenapa, Pak?”

578 Catatan Pinggir 9


SOPIR

”Dia sering pingsan. Dia sudah SMA, anaknya pinter, ra­por­


nya­bagus. Tapi dia sering pingsan dan harus berhenti bersekolah.­
Kata dokter, ada cairan dalam otaknya yang mengganggu.
Mung­­kin karena sering jatuh dulu waktu kecil.”
”Dia anak kami satu-satunya, Bu. Saya bikin apa saja supaya
dia bisa sembuh. Saya orang miskin. Tapi dia harus selamat.”
”Pasti mahal sekali biayanya, Pak?”
”Saya berusaha dapat surat keterangan tanda miskin, Bu.
Aduh, bukan main susahnya. Saya datang bolak-balik ke kantor
Kecamatan Balaraja—kami tinggal di Tangerang—dan selalu
di­tolak. Malah nggak dilayani. Delapan kali, Bu. Delapan kali
sa­ya ke sana, menghadap. Membawa surat lengkap dari RT, RW,
kelurahan....”
”Sampai sekarang belum dapat surat itu?”
”Akhirnya saya marah, Bu. Saya meledak, begitulah. Saya bi-
lang pada ibu-ibu petugas yang menerima surat-surat itu, ’Apa
ibu-ibu nggak pernah punya anak, nggak pernah anaknya sakit?’
Saya bilang, ’Baca, nih, Bu, baca: apa yang tertulis di surat dari lu-
rah saya....’”
”Akhirnya mereka baca....”
”Lalu?” tanya W.
”Ternyata ibu-ibu itu masih punya hati, Bu. Mereka nangis se­
telah membaca. Mereka kasih saya surat keterangan itu. Jadi al-
hamdulillah, saya bisa bawa anak saya ke dokter untuk dioperasi
tanpa bayar....”
”Syukurlah, Pak, saya ikut senang,” sahut W.
Tiba-tiba nada suara sopir itu berubah. ”Tapi saya nyesel, Bu,
saya jadi sedih banget.”
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Saya sedih banget kok saya sampai marah-marah kepada para


petugas di kecamatan itu. Itu kurang patut, kan, Bu. Sewenang-
wenang, namanya....”
W terdiam.

Catatan Pinggir 9 579


SOPIR

Ia ingat sejuk tadi pagi, setelah malam yang gerah. Ia ingat


bu­rung. Ia ingat kembang anggrek. Ia merasakan sesuatu yang
meng­guncangkan hatinya. Ia bersyukur berjumpa dengan se­
orang yang seperti jadi jawab untuk doanya tadi pagi. Tapi senga­
ja­kah Tuhan membuat keadaan begitu muram hingga selingan
seperti kisah sopir itu jadi sangat berarti? Bila demikian apa ke-
hendak-Nya?
W turun dari taksi. Sopir itu berkata: ”Doakan, ya Bu, anak
sa­ya supaya selamat.”
Di kantor, di mejanya, ia berdoa. Untuk seorang anak perem-
puan yang tak dikenalnya. Tapi ia makin tahu Tuhan tak bisa di-
duga. Mungkin Ia pertama-tama adalah pengguncang hati. Sele-
bihnya Penciptaan berjalan. Belum selesai.

Tempo, 21 Maret 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

580 Catatan Pinggir 9


PERSIS

P
ENDETA Hale datang jauh-jauh ke Kota Salem di akhir­
abad ke-17 itu dengan keyakinan ia akan mengha­lau­
kejahatan dari muka bumi. Ia diundang ke kota di Te­
luk Massachusetts itu untuk memeriksa satu kasus santet: ada
seorang anak gadis yang pingsan terjatuh di hutan, dan ada se­
orang budak hitam dari Barbados yang dituduh jadi dukun setan
yang menyebarkan bid’ah dan malapetaka.
Dalam lakon The Crucible Arthur Miller ini Pendeta Hale
tam­pil sebagai seorang yang ingin mendekati persoalan dengan
logis dan ilmiah. Ia berbeda dari orang-orang udik itu. Ia tak
ingin­ terlibat dalam takhayul. ”We cannot look to superstition in
this. The Devil is precise.”
Tapi ia tak merasa ada kontradiksi dalam kata-kata itu. Ia me-
nolak takhayul, tapi baginya Setan bukanlah sesuatu yang ambi­
gu. Setan itu hadir secara pasti dan akurat. Hale membedakan
de­ngan jelas antara keyakinannya yang berdasarkan Alkitab dan
takhayul; baginya, iman dapat ditunjang dengan sikap ilmiah.
Ta­pi pada saat yang sama ia tak menggunakan dasar paling mula
da­ri sikap ilmiah. Ia tak hendak mempertanyakan dan menguji
ti­ap hipotesis; ia tak bertekad mendapatkan pembuktian secara
em­piris. Hale, yang hidup di zaman sebelum empirisisme John
Locke terdengar, datang ke kota udik itu dengan buku-buku te-
bal. ”Ilmiah” baginya rasional, tapi itu saja: tak bertolak dari
peng­amatan, tak berangkat dari pengalaman dalam ruang dan
waktu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Maka, ”The Devil is precise,” kata Hale. Demikian pula keya­


kin­an tentang Tuhan. Itu sebabnya ia menganggap theologi seba­
gai sebuah ”benteng” yang tak bisa retak, biarpun kecil. Ia tak
mem­beri kemungkinan ada seorang, justru dalam kecenderung­

Catatan Pinggir 9 581


PERSIS

annya yang religius, untuk bisa ragu sedikit pun.


Dalam lakon The Crucible, Hale pada akhirnya guncang juga:
sejumlah orang dihukum mati, meskipun mereka sebenarnya
tak bisa diputuskan dengan persis telah bersalah terlibat dalam
bid’ah. Manusia—lengkap dengan perasaannya yang kalut dan
dorongan hatinya yang tersembunyi—senantiasa mrucut untuk
ditangkap untuk disimpulkan. Tentang hidup dan matinya, ten-
tang Tuhan dan Iblisnya, ragu adalah sesuatu yang tak terelak-
kan.
Sebab manusia hanyalah sebatang galah yang berpikir, un ro­
seau pensant, sebagaimana kata Blaise Pascal yang terkenal, keti-
ka ia mencoba menunjukkan sekaligus kedahsyatan manusia dan
kerapuhannya.
Pascal sendiri (lahir 1623 dan meninggal pada usia 40) dah-
syat dan rapuh. Sebelum berumur 16 ia menulis sebuah risalah sa­
tu theorem yang mengejutkan Descartes, filosof itu. Pada umur
19 ia menemukan satu mesin hitung yang sebagiannya ki­ni ter-
simpan di Conservatoire des Arts et Métiers, Paris. Pada umur
25, ia mengadakan eksperimen dengan satu tabung berisi mer­
kuri yang kemudian jadi prinsip barometer. Bersama Fermat ia
di­kenal­ se­ba­gai ilmuwan yang mengembangkan penghitungan
pro­babilitas.
Tapi dengan otak yang demikian cemerlang, Pascal hidup
sakit-sakitan; sejak umur 18 sarafnya rusak, dan kemudian tak
bi­sa bergerak tanpa tongkat penyangga. Meskipun demikian, bu-
kan hanya sakit itu yang mengubah hidupnya.
Pada Senin, 23 November 1645, ia naik sebuah kereta berkuda
melintasi Pont de Neuilly. Tiba-tiba kedua ekor kuda itu terkejut
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan terlontar ke Sungai Seine. Kereta itu hampir ikut terjungkal,


tapi untung kendali putus dan badan kendaraan itu tergantung-
gan­tung di tebing. Pascal pingsan. Ketika ia siuman, ia merasa ba­
ru mengalami sesuatu yang luar biasa: Tuhan datang kepadanya.­

582 Catatan Pinggir 9


PERSIS

Pengalaman itu digoreskannya pada sebuah catatan yang ia jahit


ke dalam lipatan jas panjangnya untuk dibawa ke mana saja.

”Tuhan Ibrahim, Tuhan Isak, Tuhan Yakub, bukan tuhan para


filosof dan ilmuwan. Kepastian, kepastian. Rasa, sukacita, damai,
Tuhan Yesus Kristus....”

Sejak itu, ia tak hanya akan dikenal sebagai ilmuwan. Ca­tat­


an-catatan pendek yang merekam pikirannya, dan ia guratkan
da­lam keadaan tubuh yang kian sakit, diketemukan terserak-se­
rak.­ Baru pada 1670, sewindu setelah ia meninggal, coretan itu
dihimpun dan sebuah buku terbit dengan judul Pensées de M. Pas­
cal sur la réligion, et autre sujets.
Pensées tak kalah termasyhur dengan dalil yang dirumuskan
Pas­cal dalam Fisika: serangkai percikan yang meneguhkan pilih­
annya untuk beriman, sebab iman bukanlah dalil. Pilihan itu se-
buah ”taruhan”—sebuah langkah yang melibatkan seluruh hi­
dup,­ dengan segala risikonya. Tak mungkin Tuhan dibuktikan
se­cara ilmiah. Iman harus mengambil jalan yang tak bisa pasti.­
Tapi Pascal sudah memutuskan. Ia membuat sebuah insinye de-
ngan tulisan, Scio cui credidi (”Aku tahu siapa yang aku telah
imani”).
Tapi juga dengan pilihan itu pun, ia tak bisa berhenti untuk
re­sah. ”Alam tak menawarkan apa pun yang tak membuat ragu
dan cemas,” tulisnya. ”Jika tak kulihat tanda keilahian, aku akan
te­tap dalam pengingkaran. Jika kulihat di mana-mana jejak-jejak
satu Pencipta, aku akan istirah damai dalam iman. Tapi aku da­
lam keadaan nestapa: melihat begitu banyak, hingga aku tak bisa
http://facebook.com/indonesiapustaka

mengingkari-Nya, dan melihat begitu sedikit hingga aku tak ya-


kin. Seratus kali aku ingin: jika ada seorang Tuhan yang mendu-
kung alam ini, akan ditampakkan Ia tanpa ambiguitas.”
Keinginannya adalah keinginan yang religius secara men-

Catatan Pinggir 9 583


PERSIS

dalam. Namun bahkan sang ilmuwan tak bicara tentang Tuhan


yang persis. Ia bicara tentang Tuhan yang hanya bisa ia rumuskan
dengan kata-kata yang menyentuh, terasa sakit kadang-kadang,
tapi dengan hasrat yang tak terlarai.

Tempo, 28 Maret 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

584 Catatan Pinggir 9


DI YERUSALEM

D
I Yerusalem, justru di Yerusalem, percayakah orang
bah­wa manusia itu diciptakan dari Ruh yang satu? Bah­
wa agama-agama dengan Tuhan-Yang-Tunggal, yang
menegaskan jejak mereka yang cemas dan keras beratus-ratus­ta-
hun di kota itu, sungguh-sungguh yakin bahwa manusia—yang
diharapkan menyembah Khalik yang sama—dianggap bisa ber-
bagi keluhan tentang ketidakadilan?
Memang agak ganjil dan mungkin menyedihkan, bahwa di
Ye­rusalem, justru di Yerusalem, kita bertanya bisakah manusia
ber­sepakat menolak kesewenang-wenangan—dan bisakah kita
berbicara tentang manusia sebagai ”sesama”.
Hari-hari ini, Israel membangun permukiman untuk warga­
Israel yang Yahudi di Yerusalem Timur, merebut hak orang Pales­
tina dan melanggar kesepakatan yang diakui dunia. Hari-hari
ini, di Yerusalem tampaknya tak berlaku pertanyaan apa pun
yang membuat ragu—dan pintu ditutup bagi gugatan dari luar
ger­bang. Hampir seluruh negeri di dunia, termasuk Amerika Se­
ri­kat, menganggap tindakan itu sewenang-wenang, tapi tampak-
nya bagi para pemimpin Israel, apa yang sewenang-wenang bagi
orang lain tak berlaku buat mereka. ”Kami adalah kami—apa
mau dikata.”
Perang agaknya telah demikian membekas dalam pemikiran
seperti itu—perang yang menghendaki pihak ”sana” hancur atau
bisu. Israel, merasa terkepung dan terancam sejak lahir, menye­
rang dan menduduki wilayah orang sejak mula, dan bersikap
http://facebook.com/indonesiapustaka

bah­wa perdamaian harus dicapai dengan kemenangan posisi, te­


lah jadi sesuatu yang bukan hanya sebuah negeri. Israel adalah se-
buah pasukan tempur. Ia siaga terus-menerus—dan umumnya
tak pernah kalah.

Catatan Pinggir 9 585


DI YERUSALEM

Tapi bagi sikap yang demikian, antagonisme dan perbedaan


ada­lah awal dan akhir dalam kehidupan. Manusia tak dianggap
satu, tak pernah dan tak akan ada ”sesama”. Jika ada percakapan,
yang terjadi monolog yang berganti-ganti atau bertabrakan. Tak
di­perlukan kesepakatan. Sebab tak ada nilai-nilai yang dihayati­
bersama. Yang diperlukan hanyalah persetujuan—dan itu diper­
oleh dengan memaksa dan membungkam pihak yang lain.
Pola perhubungan internasional seperti inikah yang akan me-
nentukan selamanya?
Pernah abad ke-20 dibentuk oleh perpecahan yang seakan-
akan kekal, setelah dua perang besar meletus dan perang dunia
ke­tiga yang lebih mengerikan mengancam. Tapi pernah abad ke-
20 juga menyaksikan perdamaian-perdamaian besar, terutama­
setelah ”Perang Dingin” berakhir tanpa diumumkan. Pernah pa­
ra pemikir menganggap hidup adalah perbedaan. Tapi pernah
me­reka mulai menganggap bahwa optimisme Hegel benar.
Dalam optimisme ini, putik akan digantikan kembang, kem-
bang akan digantikan buah—seakan-akan yang pertama ditam­
pik yang kedua, dan seakan-akan yang kedua (bunga dan kemu-
dian buah) tampil sebagai wakil paling benar dari sang tanaman.
Namun, kata Hegel dalam kalimat yang terkenal, sifat mereka
yang cair akan menjadikan mereka hanya sekadar momen-mo-
men dari ”sebuah kesatuan organis”. Mereka berkonflik, tapi yang
satu merupakan keniscayaan yang lain, dan keduanya bersa­ma-
sama membentuk hidup keseluruhan.
Demikianlah Hegel berbicara tentang dialektik: putik sebagai
tesis akan mendapatkan bunga sebagai antitesis, dan dari oposisi
itu akan ada buah, sebagai hasil ”tempuk-junjung” (Aufhebung).
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dengan kata lain, dalam sejarah ada saat-saat yang bersengketa,


tapi kemudian akan ada rekonsiliasi. Bahkan antara sang Paduka­
yang menaklukkan dan sang Takluk yang kalah, hubungan tak
putus: pada akhirnya hanya ketika sang Takluk menyatakan ke-

586 Catatan Pinggir 9


DI YERUSALEM

sadaran dirinya, sang Paduka akan mendapatkan pengakuan.


Pembebasan terjadi ketika pembebasan itu tak hanya untuk diri
sendiri.
Tapi Hegel hidup di abad ke-19, sebelum Marx, dan jauh se-
belum konflik Timur Tengah berjangkit berpuluh tahun tanpa
di­susul sesuatu yang positif. Di abad ke-21, optimisme Hegelian
berhenti. Justru di Yerusalem.
Mungkin kita memang tak boleh percaya kepada cara meman­
dang sejarah seakan-akan membaca riwayat hidup tumbuh-tum-
buhan. Sejarah terdiri atas yang tak bisa diperhitungkan. Dialek-
tika terlalu sederhana untuk menafsirkannya.
Maka di zaman pasca-Hegel, keyakinan akan terjadinya
”tem­puk-junjung”—konflik yang kemudian melahirkan sesuatu
yang lebih terjunjung—digantikan dengan perspektif lain: bah-
wa dalam hidup, perbedaan tak akan berhenti.
Tapi dengan ”doktrin” itu orang bisa menghalalkan perang,
pe­nindasan, dan kesewenang-wenangan dengan mengatakan:
”Ka­­mi adalah kami, apa mau dikata.”
Walhasil, tak ada titik Archmides yang bisa dipergunakan se-
bagai titik bertolak untuk menilai. Orang-orang Palestina berte-
riak, sakit dan terhina. Sebentar lagi kekerasan akan meletus, na-
mun yang memilih pihak tak tahu lagi bagaimana menjelaskan
pilihan itu kepada orang lain yang berbeda.
Saya ingat, ketika Hitler menyerbu Polandia, 1 September
1939,­W.H. Auden menulis sajak yang mencatat rasa cemasnya:
harapan habis di hari-hari ketika apa yang adil dan tak adil hanya
bisa dipecahkan dengan dusta atau perang.
Kini rasanya dunia merasakan kecemasan yang mirip. Justru
http://facebook.com/indonesiapustaka

karena Yerusalem:

As the clever hopes expire


Of a low dishonest decade:

Catatan Pinggir 9 587


DI YERUSALEM

Waves of anger and fear


Circulate over the bright
And darkened lands of the earth....

Tempo, 4 April 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

588 Catatan Pinggir 9


PASKAH

S
etelah Maria menemukan makam itu kosong dan ke-
mudian ia melihat Yesus berdiri di belakangnya dan ia ber-
seru, ”Rabuni!”, dan sejak Sang Guru menampakkan diri
di depan beberapa murid yang berkumpul di ruang tertutup, dan
kemudian menampakkan diri lagi beberapa kali, agama Kristen­
merayakan Paskah sebagai hari kebangkitan kembali: tubuh
yang telah mati disalib itu bangkit dari kubur. Ia kekal.
Orang-orang Arab Kristen di Nazareth terkadang menyebut
Paskah sebagai, ’Íd al-Qiyãmah, ”Perayaan Kebangkitan Kemba-
li”.
Tapi Yesus yang bangkit kembali itu tak berada di bumi untuk­
seterusnya. Ia telah berpamit kepada Maria: ”sekarang Aku akan
pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allah­
mu”. Dalam salah satu kitab disebut, 40 hari setelah penampak-
an pertama itu, tubuh Yesus naik ke surga. Palestina pun senyap.
Saya bayangkan para murid yang tak banyak itu hidup dengan
harapan-harapan yang tak jarang guncang.
Namun sebenarnya di situ pula akhir tak terjadi. Hegel pernah
mengatakan bahwa ”kebangkitan kembali adalah universalisa­
si dari penyaliban”. Jika sakit dan kematian di Golgotha itu di­
tafsirkan sebagai teladan dari pengorbanan diri secara habis-
ha­bisan untuk orang lain yang dekat dan jauh, untuk siapa saja
yang dikenal dan tak dikenal, jika penyaliban itu dianggap con-
toh bahwa sengsara dan kematian mampu untuk ditanggungkan
tanpa benci dan dendam (meskipun dengan kepedihan dan kesu-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nyian yang menusuk), maka penyaliban itu sendiri sudah meru-


pakan kebangkitan kembali. Itu juga momen yang universal:
sang korban bisa menggugah bahkan mereka yang tak berada di
sekitar kejadian itu, berabad-abad kemudian, termasuk mereka

Catatan Pinggir 9 589


PASKAH

yang bukan Kristen.


Mungkin itu sebabnya, disebutkan dalam kisah dan seja­
rah,­pa­ra murid tetap setia, dan pengikut bertambah meluas. Ke­
yakin­an yang dilahirkan dari ajaran baru yang kemudian mem-
bedakan diri dari doktrin Yahudi itu—ajaran justru yang pada
dasarnya berdasar hampir sepenuhnya pada kata dan laku Yesus,­
bukan pada hukum yang tersusun lengkap—malah semakin ku­
at ketika Yesus tak ada lagi.
Agaknya itulah sebabnya, yang terjadi di hari Paskah, ketika
pa­ra murid melihat Sang Guru bangkit dari kematian, bukanlah
cuma sebuah kejadian penghibur buat yang berkabung.
Ada satu bagian yang menarik dalam The Monstrosity of
Christ: sebuah tukar pikiran antara John Millbank dan Slavoj Zi­
zek. Zizek, yang mengambil posisi sebagai seorang atheis yang
menawarkan sebuah ”theologi materialis”, menunjukkan bahwa
ke­bangkitan kembali Kristus tak terjadi dengan lenyapnya tubuh
dari makam. ”Tubuhnya yang disiksa tetap selamanya sebagai
peng­ingat yang bersifat zat,” kata Zizek. Tapi sementara jasadnya
demikian, Kristus ”bangkit kembali dalam kebersamaan orang-
orang yang mukmin”, the collective of believers.
Zizek mengambil contoh lain. Ada sebuah lagu dari tahun
1925 tentang Joe Hill, seorang aktivis buruh Amerika yang mati
dibunuh. Penyanyi Joan Baez pernah melagukannya:

I dreamed I saw Joe Hill last night


Alive as you and or me.
Says I, ”But Joe, you’re ten years dead”
”I never died,” says he.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”The copper bosses killed you, Joe.


They shot you, Joe,” says I.
”Takes more than guns to kill a man.”

590 Catatan Pinggir 9


PASKAH

Says Joe, ”I didn’t die.”

And standing there as big as life,


And smiling with his eyes.
Joe says, ”What they forgot to kill
Went on to organize.”

”Joe Hill ain’t dead,” he says to me,


”Joe Hill ain’t never died.
Where working men are out on strike,
Joe Hill is at their side.”

Joe Hill tak pernah mati, tapi bukan sebagai sosok yang ada
di luar ruang dan waktu para buruh itu. ”Ia hidup di sini, persis­
dalam jiwa para pekerja yang mengingatnya dan melanjutkan
per­juangannya,” kata Zizek.
Dengan kata lain, ”pahlawan tak mati-mati”, seperti kata
H.R. Bandaharo—tapi bukan sebagai patung yang dipuja kapan
saja di mana saja, melainkan sebagai yang hadir dalam laku yang
konkret. Bagi Zizek, kesalahan para pengikut Kristus ialah keti-
ka mereka terjatuh ke dalam ”reifikasi” (katakanlah: pemberhala­
an) dan melupakan kata-kata Yesus yang terkenal: ”Jika akan ada
kasih di antara kalian berdua, aku akan ada di sana.”
Kasih, dalam konteks ini, adalah laku yang menempuh hidup
de­ngan tubuh yang lemah, yang kadang-kadang kesakitan atau
ter­goda, tapi tiap kali bisa mengatasi diri karena laku itu tak ha­
nya­untuk diri sendiri. Di situlah kebangkitan kembali akan sela­
lu berupa kebangkitan, bukan pengulangan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tempo, 11 April 2010

Catatan Pinggir 9 591


http://facebook.com/indonesiapustaka

592
Catatan Pinggir 9
SAN-DEK

L
OL!
Saya bingung.
Dengan telepon genggam, sebuah teks berisi lelucon di­
kirim. Sebagai jawaban, tiga huruf itu yang muncul.
LOL? Baru kemudian seorang teman menjelaskan bahwa hu­
ruf-­huruf itu berarti ”laugh out loud”. Artinya: si pengirim pesan
ke­tawa terpingkal-pingkal.
Pelan-pelan saya belajar. Begitu banyak singkatan. Begitu ba­
nyak penanda yang direduksi dan lambang yang ganjil. Dengan
se­tengah gagap saya memasuki samudra ”short messages services”,
SMS, atau, dalam bahasa Indonesia, ”san-dek” (ringkasan dari
kata ”pesan pendek”). Artinya saya jadi salah seorang dari tiga
mi­liar manusia yang mengirim lebih dari satu triliun san-dek tiap
tahun, dengan bahasa tersendiri.
Sekitar dua tahun lalu ada sebuah buku yang ditulis David
Crys­tal, Texting: The Gr8 Db8. Ia mencoba menjawab kenapa
orang gemar mengirim san-dek, yang sebenarnya tak lebih ring-
kas ketimbang tanda morse (yang mengganti huruf ”s” dengan
tiga pijitan tombol saja). Menurut Crystal, orang mengirim san-
dek sebagai sukan, game. Orang mengirim SMS sebagaimana
orang membuat gurindam: dalam sebuah bentuk yang ringkas—
tak boleh lebih dari 140 bytes atau 160 huruf—harus disampai-
kan sebuah isi yang kena. Ini tantangan keterampilan yang me-
mikat.
Mungkin itu sebabnya san-dek jadi kaya dengan singkatan
http://facebook.com/indonesiapustaka

atau inisial. ”LOL” hanya salah satunya. Ada ”GBU” (God bless
you) atau ”OMG” (Oh, my God). Ada juga ”IMHO”: in my hum­
ble opinion. Lebih pintar lagi piktogram, dan tak boleh dilupakan:­
”emotikon”, gambar-gambar yang menandai perasaan tertentu.

Catatan Pinggir 9 593


SAN-DEK

Tentu, seperti kata Crystal pula, menggunakan singkatan bu-


kan hanya gejala zaman telepon genggam. Dalam surat resmi
pun­ dari dulu sudah ada inisial ”A.S.A.P.” (sesegera mungkin),
”R.S.V.P.” (mohon jawaban), atau ”cc” (tembusan). Dan dalam
ka­ta-kata bersuku banyak, peringkasan sering terjadi—sebuah
ge­jala yang sulit dielakkan dalam bahasa Indonesia yang silabel-
nya berenteng itu: ”se-a-kan-a-kan”, ”ter-go-poh-go-poh”....
Tapi berbeda dari zaman lampau, inilah zaman bermain-main
kata dengan cara agak saksama dan dalam tempo yang sesingkat-
singkatnya. Hanya dalam beberapa detik orang bisa saling menu-
lis dan sampai serentak ke lima benua.
Dalam hal kecepatan ini bahasa Inggris memang punya kele-
bihan: rata-rata kata Inggris cuma terdiri atas empat huruf. Baha­
sa Indonesia lebih dari itu. Tapi seperti bahasa Inggris, bahasa ki­ta
punya keuntungan: hampir tak memakai tanda diakritik seper­
ti misalnya bahasa Prancis, Portugis, atau, paling repot, bahasa
Cek. Bahasa Cek hampir mustahil ditulis di SMS dengan telepon
genggam yang kita kenal.
Tapi tiap bahasa punya ringkasannya, demi kecepatan. Dalam
bahasa Cek, ”hosipa” berarti ”Hovno si pamatuju” atau ”aku tak
ingat apa pun”. Dalam bahasa Prancis, ”ght2v1” berarti ”J’ai ache­
té du vin”, ”aku sudah beli anggurnya”.
Yang menarik kita dengar dari Crystal—ia seorang linguis
pro­fesional yang telah menulis sekitar 100 judul buku—ialah
bah­wa ia tak cemas. Ia tak waswas bahwa akan terjadi perubahan
bahasa yang merasa harus makin pendek dan tergesa-gesa. Sebab,
kata Crystal, satu triliun pesan pendek ”tak lebih dari beberapa
percik buih dalam samudra bahasa”. Lagi pula, manusia bermain-
http://facebook.com/indonesiapustaka

main dengan bahasa sejak dulu, di era pra-HP, dan sampai seka-
rang kita masih saling bicara dengan enak.
Yang bagi saya tak kalah penting adalah kembalinya kesadar­
an dan keterampilan akan bahasa tulis dalam masa surat elektro­

594 Catatan Pinggir 9


SAN-DEK

nik dan san-dek ini. Generasi kini hidup dikepung oleh gambar
dan suara (dan di Indonesia, sembilan dari 10 rumah mempunyai­
pesawat TV) dan diberondong khotbah di rumah, di tempat
iba­dah, atau di televisi. Bahasa lisan menguasai ruang. Tapi un-
tunglah tak selama-lamanya. Kini, seraya memegang erat telepon
genggam yang dimiliki berjuta-juta orang Indonesia dari pelba­
gai kelas sosial, rakyat di seluruh penjuru tanah air melatih kete­
rampilan menulis tiap jam, mungkin tiap menit. Lebih dahsyat
ke­timbang kursus pemberantasan buta huruf. Insya Allah, ke-
mampuan baca-tulis, biarpun sangat sederhana, akan meningkat
di negeri ini.
Meskipun dalam san-dek, bahasa lisan praktis berbaur dengan­
bahasa tulis, masih ada ruang tempat kita mampu bersikap lebih
analitis biarpun sejenak. Dengan tradisi bahasa tulis yang kuat,
orang seakan-akan bisa meletakkan bahasa di atas meja, mencer-
matinya, dan mengurainya.
Bahkan sejak seseorang membubuhkan kata-katanya dalam
hu­ruf dan angka, ia harus cukup teliti. Satu hal yang agaknya di­
lupakan ialah bahwa di tengah kekacauan ejaan dalam bahasa­
ki­ta, anak-anak muda memperkenalkan bahasa tulis yang justru­
mengharuskan mereka memperhatikan baik-baik tiap huruf; me­
reka menyebutnya ”bahasa Alay”. Bahasa ini juga ibarat sebuah
su­kan. Dari main-main ini kreativitas berkembang ke mana-ma-
na. Bahkan di Internet saya temukan ada yang mampu menyusun­
program penyalin teks ke dalam ”bahasa” yang mirip huruf paku
itu: gabungan antara huruf dan angka yang harus pas. Agaknya
ada konsensus: di kalangan Alay, salah eja bikin bengong. 54l4h
3j4, b1kin b3n60n6.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Setidaknya, bahasa tulis yang hidup dari pertukaran kata de-


ngan tangkas dan cepat itu punya semacam dorongan demokrati-
sasi dalam berkomunikasi. Saling berhubungan tanpa saling ha-
dir, tiap ”aku” hanya muncul di layar karena satu atau beberapa

Catatan Pinggir 9 595


SAN-DEK

”kamu” juga muncul di layar yang sama. Tiap ”aku” tak bisa men-
dorongkan dirinya sebagai pemberi makna yang tunggal. Tak
ada pusat yang akan berdiri lebih dari beberapa jam.
Yang ada hanya teks yang berseliweran, mengalir, bercampur,
tak permanen. D4l4m k34n3ka-r464m4n.

Tempo, 18 April 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

596 Catatan Pinggir 9


DIRI

D
I hari ketika Aimee Dawis meluncurkan buku Orang
Indonesia Tionghoa-Mencari Identitas pekan lalu di Ja-
karta, saya berada di Singapura.
Tuan rumah saya, seorang pebisnis, berbicara tak henti-henti.­
Saya diam dengan sopan. Akhirnya pada menit ke-40 ia minta­
pen­dapat saya. Dengan catatan: ”Anda ini orang Jawa, tentu An­
da akan mengatakannya tak terus terang....”
Saya ketawa masam. Jawab saya: ”Saya tak tahu apakah saya
orang Jawa, atau bukan orang Jawa.”
Dia bingung. Tapi saya mengerti kenapa dia bingung. Berada
di Singapura (atau Malaysia) saya sering sekali menemui perca­
kap­an macam itu: orang akan secara tersirat atau tersurat menye-
but seseorang dan mengaitkannya dengan ”bangsa Cina” atau
”bangsa Melayu” atau ”bangsa” apa saja—dengan suatu sifat
yang mereka anggap khas pada ”bangsa” itu.
Berada di dua negeri ini, di mana etnisitas menguasai kebi-
jakan politik dan kehidupan sehari-hari, tendensi itu tampak su-
dah jadi bagian bahasa yang otomatis. Tak mengherankan bila di
sana saya selalu dipandang dan diletakkan dalam satu kotak iden-
titas. Khususnya yang terkait dengan ”perkauman”. Kalau saya
ber­gerak dari kotak itu, orang hilang akal. Seperti halnya tuan
rumah saya malam itu.
Di Indonesia agak lain soalnya. Bagi saya, yang mengganggu
di sini adalah bagaimana identitas diterjemahkan dengan istilah
yang seakan-akan keramat, yakni ”jati diri”. Saya selalu berkebe­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ratan tentang ini, karena tak ada yang keramat di dalamnya. Bah-
kan ketika orang mengatakan telah menemukan ”jati diri”, orang
sebenarnya tak tahu bahwa ”diri” yang ”(se)-jati” mustahil dida­
pat.

Catatan Pinggir 9 597


DIRI

”Diri” atau ”aku” lahir selamanya tak pas, bahkan terbelah.


Pen­dekar psikoanalisis Prancis, Lacan, menemukan bahwa kesa­
daran akan ”aku” dimulai ketika seorang bocah berada dalam
”ta­hap cermin”. Si bocah melihat bayangannya di cermin, dan ia
di­beri tahu bahwa itulah dirinya: utuh, rata, stabil. Padahal, pada
ketika itu juga, dan untuk seterusnya, ada yang tak tampak pada
cermin: bawah-sadarnya, gejolak biologisnya, kedalaman impian
dan traumanya.
Cermin mengeliminasi itu semua. Sebuah kesatuan atau Ges­
talt pun muncul. Itulah yang, kata Lacan, ”melambangkan posisi
per­manen dari ’aku’”. Ketika kemudian si bocah diberi nama oleh
si ayah—bapak yang menguasai bahasa—identitas pun diku­
kuh­kan.
Tapi dengan itu identitas sebenarnya tak pernah datang sendi­
ri. Ia dirumuskan oleh nama dan bahasa—sebuah bangunan
simbol­yang disusun masyarakat. Identitas tampak sebagai perbe­
daan, dan perbedaan tampak karena perbandingan. Perbanding­
an selamanya mirip mata rantai yang tak putus-putusnya antara
X dan lain-lain di dunia.
Di sini, saya selalu ingat James Baldwin. Pengarang dari New
York ini—ia hitam, gay, dan melarat—meninggalkan Amerika
dan hidup selama 10 tahun di Eropa. Kemudian tulisnya: ”Aku
bertemu dengan banyak sekali orang selama di Eropa. Aku bah-
kan berjumpa dengan diriku sendiri.”
Kesadaran akan diri sendiri itu sekaligus kesadaran akan
orang lain. Bahkan sifatnya mengandung antagonisme. ”Identitas­
ditanya hanya ketika ia terancam,” kata Baldwin, ”... atau ketika si
orang asing datang memasuki gerbang.”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dalam Mein Kampf, ada satu cerita Hitler. Ketika ia masih


mu­da, pada suatu malam ia berjalan di pusat kota Wina. Di sana
ia bertemu dengan sesosok bayangan berkafan hitam dan beram-
but hitam dikepang. ”Yahudikah ini?” Hitler bertanya pada diri

598 Catatan Pinggir 9


DIRI

sendiri. Setelah ia amati lebih jauh, ia bertanya kembali dalam ha­


ti: ”Orang Jermankah ini?”
Hitler tak bertanya apakah si bayangan itu seorang seniman
atau seorang profesor. Ia mempersoalkan identitas etnisnya ka­re­
na baginya itulah yang terpenting. Tapi dengan itu ia menganggap­
identitas adalah sesuatu yang dibawa dari lahir karena anta­go­nis­
me yang diyakininya adalah sesuatu yang permanen.
Baldwin, yang terlunta-lunta, orang yang dipojokkan dalam
ke­rangkeng identitas (hitam, gay, asing), menampik itu. Baginya
iden­titas lebih mirip ”garmen yang menutupi ketelanjangan diri”.
Baginya, lebih baik garmen itu dikenakan dengan agak longgar,
seperti pakaian di padang pasir: akan tampak, atau akan dapat di­
perkirakan, diri yang telanjang yang terbungkus di sana. Bahkan
bagi Baldwin, orang harus punya ”kekuatan untuk menggan­ti
jubahnya”.
”Anda orang Jawa...,” kata tuan rumah saya, dan saya terse­
nyum­masam. Saya seperti Baldwin: bagi saya, yang penting bu-
kanlah identitas, yang menyetrap saya dalam sebuah kotak dan
se­perangkat baju resmi. Bagi saya, yang penting adalah manusia
sebagai agency, pelaku.
Politik identitas sejak 1970-an punya peran dalam pembebas­
an orang hitam dan perempuan dan mungkin minoritas lain yang
tak diakui. Tapi politik identitas selamanya mengacaukan ke­nya­
taan bahwa identitas itu sesekali perlu (ketika ia ”terancam”)­tapi
tak pernah benar-benar hadir.
Ia konstruksi atas multiplisitas yang inkonsisten, yang serabut­
an. Untuk meminjam kata-kata Alain Badiou dalam konteks la­
in, identitas adalah hasil ”compter-pour-un”, ”menghitung buat ja­
http://facebook.com/indonesiapustaka

di satu”. Dengan kata lain, dengan meneguhkan identitas, aku


me­letakkan diri sebagai pemersatu dari segala yang carut-marut
dan tak terduga dalam diriku.
Maka aku pun jadi Sang Tunggal: di luarku, terkadang terasa­

Catatan Pinggir 9 599


DIRI

mengancam, bergelombang perbedaan-perbedaan yang mem-


bentuk hidup nun di sana dan hidup dalam hidupku. Dan identi-
tas itu adalah bagian dari paranoiaku.

Tempo, 25 April 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

600 Catatan Pinggir 9


BUKU

—untuk Hari Buku, 2010

B
uku bisa bertaut dengan trauma, setidaknya dalam peng­
alaman saya.
Ketika saya berumur hampir enam, tentara penduduk­
an­Belanda menangkap ayah dan menggeledah seisi rumah. Di
hari itu, setelah bapak diikat tangannya dan dinaikkan ke atas
truk, ka­mi sekeluarga duduk ketakutan. Satu kejadian masih saya
ingat:­dua orang serdadu mengangkut sejumlah buku dari kamar
kerja ayah dan melemparkan jilid-jilid itu ke dalam sumur.
Saya tak tahu buku apa yang dibuang, dan kenapa. Yang pen­
ting­bagi saya hanya ini: seorang serdadu mematahkan bedil kayu
mainan saya dan membuangnya juga ke dalam sumur.
Buku dan senapan mainan: tanda permusuhan? Beberapa pu-
luh tahun kemudian seorang kakak saya yang dekat dengan ayah
(saya agak jauh dari beliau) ingat bahwa di perpustakaan bapak
ada buku dengan sampul bergambar Karl Marx. Mungkin kitab
macam itu yang harus ditiadakan. Juga senjata, serius ataupun ti-
dak.
Sebab ada beberapa buku yang tak disentuh. Di antaranya se-
buah kamus Webster terbitan 1939 bersampul hitam (di halaman
pertama ada tanda tangan bapak dengan pena celup) dan sebuah
buku sejarah Inggris.
Dari kamus tebal itu saya temukan sebuah ilustrasi: empat
orang mengangkat sebuah kotak. Karena saya tak mengerti apa
http://facebook.com/indonesiapustaka

fungsi sebuah kamus, saya duga di sana digambarkan orang yang


ha­rus mengangkat mayat. Kelak saya tahu, gambar itu hendak
memperjelas arti kata palanquin.
Buku yang satu lagi bersampul hijau daun. Di dalamnya ba­

Catatan Pinggir 9 601


BUKU

nyak­gambar berwarna. Saya tak pernah lupa dua di antaranya.


Pertama, ilustrasi yang teliti mirip foto, yang menggambarkan
seorang lelaki tertidur dengan pakaian lengkap, sementara dua le-
laki bermantel merah berdiri menatap wajahnya yang pulas.
Waktu itu saya menafsirkannya sebagai gambar seorang lelap
yang dikunjungi dua hantu. Setelah saya bisa membaca bahasa
Inggris, saya tahu, itu adalah adegan dari sejarah Inggris abad ke-
17: Raja Charles I semalam sebelum dibawa ke Menara London
untuk dipenggal. Salah satu ”hantu” dalam gambar itu mungkin
kepala penjara.
Gambar kedua: seorang lelaki tergeletak di sebuah medan
yang sunyi. Seorang perempuan duduk di sampingnya; tangan-
nya yang satu menahan darah keluar dari luka lelaki yang telen-
tang itu, tangannya yang lain mengepalkan tinju kemarahan.
Ber­cak darah merah tampak. Kemudian saya tahu, itu adalah
lukisan pembantaian orang Skot oleh pasukan Inggris di wilayah
Glen Coe pada 13 Februari 1692. Wanita itu meneriakkan den-
dam.
Pembantaian, amarah, orang yang didatangi hantu, empat
peng­­­usung mayat, buku-buku yang dibuang ke sumur sementara
ayah diikat.... Saya tak tahu sedalam apa trauma itu membekas.
Mungkin ia memperoleh ekspresi lain: rasa gairah saya kepada
bu­ku dengan sampul tebal.
Saya dan kakak juga menemukan buku-buku bersampul ku-
kuh karya Karl May tentang Winnetou. Kami tak tahu milik sia-
pa, sebab ayah agaknya lebih suka Karl Marx ketimbang Karl
May. Di dalamnya ada ilustrasi tokoh Apache itu di tengah rimba
yang magis dan idyllic.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tergerak oleh bentuk buku yang mengesankan tapi tak bisa


kami nikmati isinya itulah kami mulai memesan Winnetou Gu­
gur dan Suku Mohawk Tumpas (yang terakhir ini terjemahan atas
karya James Fennimore Cooper, The Last of the Mohicans) dari

602 Catatan Pinggir 9


BUKU

Noord­hoff Kolff di Jakarta, cabang dari penerbit yang berkantor


di Groningen, Belanda.
Hari datangnya buku pesanan lewat pos selalu hari yang di-
tunggu dengan tegang: kami hampir selalu berebut siapa yang
akan membaca lebih dulu.
Seperti halnya pada anak lain, pada saya buku adalah pesawat
ajaib: tinggal di kota kecil tanpa gedung bioskop, hanya dengan
bu­ku saya memasuki dunia lain yang sebenarnya tak pernah ter-
tembus. Tiap kali, dunia itu berubah, berbeda, berkembang, tapi
selalu terasa akrab.
Saya tak pernah bisa sepenuhnya membayangkan sosok Win-
netou, tapi saya menangis ketika menjelang pertempuran ter­
akhir,­ia tahu ia akan ”pergi ke ladang perburuan yang kekal”. Sa­
ya menangis untuk si Jamin dan si Johan yang teraniaya di sebuah
sudut Batavia yang jauh. Air mata saya keluar untuk Sampek dan
Engtay yang mati dalam cerita yang saya ikut dengarkan keti-
ka beberapa buruh pabrik rokok di rumah sebelah membaca­nya
dalam bahasa Jawa bergiliran dari sebuah buku tulis.
Setelah saya dewasa, saya bisa mengaitkan trauma masa lalu
itu dengan pengalaman selanjutnya dengan buku. Saya bisa me-
nyimpulkan: buku mati karena ia dihentikan di perjalanan ke da­
lam hidup kita, seperti ketika ia hilang dilemparkan ke dalam su­
mur.
Sejak 1958, Presiden Sukarno mengubah Indonesia jadi ”de-
mokrasi terpimpin” dan ”ekonomi terpimpin”. Atas nama ”Revo­
lusi” (kata yang memukau itu), Negara mengambil alih dunia
pe­­­nerbitan. Apalagi yang terkait dengan modal asing. Oktober
1962 penerbit seperti Noordhoff Kolff dihentikan; ia digantikan­
http://facebook.com/indonesiapustaka

per­­­usahaan negara yang disebut ”Noor Komala”. Yang memim­


pin­­ se­­orang birokrat. Balai Pustaka, yang bisa ber­saing dengan
ba­gus­ menghadapi penerbit milik asing, sejak itu dikendali­kan
se­orang jenderal. Ketika kertas, percetakan, transportasi, dan

Catatan Pinggir 9 603


BUKU

ham­pir seluruh kehidupan ekonomi jadi ”terpimpin”, banyak­hal


ma­cet. Usa­ha penerbitan dalam negeri yang terkemuka, seperti
Djam­­­bat­an,­­ yang menerbitkan sebuah atlas yang monumental,
ter­jerem­bap dan tak pernah bisa pulih lagi sejak itu.
Arus buku berantakan. Tak ada lagi buku yang sampulnya
terasa hangat dan bau dan kertasnya berwibawa tapi ra­mah.­Je­
nis­nya kian kehilangan ragam. ”Demokrasi Terpimpin” juga
memulai sejarah kekuasaan yang dengan sekali gebrak melarang
sederet buku—sejarah yang berlanjut hingga kini.
Waktu itu, satu-satunya penghibur ada­lah karya berjilid tebal
terbitan Uni Soviet yang dijual murah di to­ko buku milik PKI.
Masih ada Dostoyevsky, Turgenev, dan Tolstoy—dalam terje­
mah­an Inggris dan diterbitkan oleh Moscow Foreign Publish­ing
House—tapi tak lengkap. Tak saya dapatkan The Brothers­Kara­
mas­ov atau Fathers and Sons. Moskow punya sensornya sendiri.
Saya teringat pagi di tahun 1947 itu: dua tentara pendudukan
mem­buang sejumlah jilid ke sumur. Tapi saya juga tak bisa melu­
pa­kan para buruh rokok yang membaca cerita bergiliran dari se-
buah buku tulis. Buku mati, tapi tak bisa mati semuanya. Ia pu-
nya trauma dan nostalgianya sendiri. Ia punya cerita yang selalu
muncul kembali.

Tempo, 2 Mei 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

604 Catatan Pinggir 9


PROLETARIAT

—Hari Buruh, 2010

P
ADA suatu hari di tahun 2010, seorang perempuan dari
Utara membayar lebih dari satu juta dolar untuk membeli
beberapa ekor anjing.
Dan kita tercengang: Cina bukan lagi Mao. Saya tak tahu ma-
sih adakah orang di sana yang ingat Mao Zedong yang pernah
berbicara berapi-api tentang ”proletariat”, ”proletariat gelandang­
an”, dan ”semi-proletariat”, kelompok miskin yang akan membe-
baskan Cina dari ”keadaan setengah feodal dan setengah kolo-
nial”.
Tampaknya kini yang membebaskan—atau yang menjerat?­—
adalah uang dan hasrat, dan dengan itu banyak batas diterobos.
Pe­rempuan dari Utara itu, seperti ditulis China Daily, pada hari
itu­ mengirimkan 30 mobil Mercedes-Benz ke bandara untuk
men­jemput hewan yang dipesannya.
Ia pasti salah seorang dari 835.000 orang miliarwan yang ada
di Republik Rakyat yang berpenduduk sekitar 1.330.000.000
ini. Ia pasti bagian dari 0,06 persen warga yang hidup berkelim-
pahan dan tak merasa berdosa atau rikuh di negeri yang setengah
abad yang lalu diguncang ”Revolusi Kebudayaan Proletar” itu.
Setengah abad yang lalu itu para pengikut Mao yang militan
bahkan siap membunuh seekor babi yang dimiliki tetangga de-
ngan granat; babi itu tanda kelas ”borjuis”. Pada awal abad ke-21
sekarang orang berduit membayar dengan harga mahal anjing je-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nis Mastiff Tibet.


Walhasil, kita tak pernah paham benar bahwa Cina masih
meng­anggap diri ”komunis” tapi hidup dengan ketimpangan so-
sial yang demikian tajam.

Catatan Pinggir 9 605


PROLETARIAT

Tentu harus dicatat, indeks Gini, yang menunjukkan ketim­


pangan itu, di Cina sudah mulai menurun. Kini angkanya sekitar­
40,8. Tetapi dibandingkan dengan itu, Indonesia sedikit lebih­
baik: 39,4. Tak meratanya pembagian kekayaan di Cina bahkan­
kurang-lebih sama dengan keadaan di negeri kapitalis yang pa­
ling­timpang, yakni Amerika Serikat, dan jauh lebih buruk ke­
timbang Inggris, yang mencatat koefisien Gini 36.
Agaknya bayang-bayang Marx tak pernah berkelibat lagi di
Mau­soleum Mao di Beijing. Marx menganggap milik privat (an-
jing Mastiff, mobil Mercedes-Benz, babi kurus, atau sepetak ta­
nah)­ sebagai sumber keterasingan manusia dari proses kerja. Ia
per­nah mengumandangkan bahwa justru kaum buruh—yang
tak punya apa-apa, kecuali ”rantai yang membelenggunya”—
yang akan jadi pelopor penggerak ke masa depan yang bebas dari
keterasingan. Tapi di Cina kini Marxisme telah jadi benda mu­
seum­ prasejarah. Dan kita tak tahu lagi di mana pula mereka,
proletariat.
Sejak mula sebenarnya ”proletariat” memang sebuah kelas so-
sial yang ganjil di Cina. Dalam sebuah tulisan pada 1926, ”Anali­
sis Kelas dalam Masyarakat Cina”, Mao mengakui, proletariat
ha­nya berjumlah dua juta. Buruh industri itu terutama bekerja­di
kereta api, pertambangan, pengangkutan laut, tekstil, dan pem­
buatan kapal, ”dan sejumlah yang sangat besar di antaranya­di-
perbudak dalam perusahaan modal asing”. Tapi, sebagaimana­
layaknya seorang Marxis sejati, Mao percaya, kelas buruh ini
”yang paling progresif” pantas jadi ”kekuatan memimpin dalam
gerakan revolusioner”.
Sebab, berbeda dengan kalangan lain, buruh industri tinggal
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan bekerja memusat, di sekitar lokasi yang sama. Lebih penting


lagi, tulis Mao, ”mereka telah kehilangan alat produksinya, ting-
gal punya dua tangan saja...”.
Tapi persoalan yang timbul segera setelah itu: bagaimana ke-

606 Catatan Pinggir 9


PROLETARIAT

las buruh, dalam posisi bukan mayoritas, dapat menggunakan


ca­ra pandang mereka yang menurut Marxisme bersifat istimewa,
untuk jadi standar masyarakat umumnya?
Kita tahu, Mao—setelah Lenin—menganggap penting bu-
kan hanya buruh, tapi juga peran petani untuk menggerakkan
Re­volusi. Mao tak akan mengatakan orang-orang pedalaman itu
bagian dari apa yang disebut Marx sebagai ”kedunguan dusun”.
Tapi para petani, juga yang paling tak berpunya, selalu ingin pu-
nya tanah. Mereka bagaimanapun tak ingin merayakan heroisme
kaum yang tak punya apa-apa.
Hasrat itu, ”borjuis” sifatnya, pada akhirnya memang tak te-
redam. Kita tak bisa mengatakan bahwa kodrat manusia adalah
ingin empunya dan makin rakus, tapi Marx punya kesalahan ke-
tika ia menganggap milik pribadi dengan sendirinya penyebab
alienasi manusia, ketika manusia mengutamakan apa yang jadi
miliknya dan tak lagi jadi tuan dari benda dan kerja.
Dalam perkembangan politik Cina, alienasi justru berlang-
sung ketika manusia merunduk di hadapan buah tangannya sen­
diri yang lain—kali ini bukan milik diri sendiri, melainkan jus-
tru sesuatu yang hampir sepenuhnya sosial: tata simbolik—kata,
slogan, dan doktrin. Juga organisasi, baik dalam bentuk kontrol
kehidupan sehari-hari dari unit tetangga maupun, lebih agung
lagi, Partai Komunis.
Di Cina, kediktatoran proletariat berbeda dari yang dibayang-
kan Marx. Ketika ia menyusun teori sejarahnya, Marx memper-
hitungkan bahwa pada suatu tahap perkembangan kapitalisme,
proletariat akan jadi golongan yang melimpah. Borjuis kecil akan
dicaplok borjuis besar dan, seperti kaum buruh, akhirnya tak pu-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nya apa-apa lagi. Yang papa jadi mayoritas.


Tapi, dengan jumlah kaum buruh industri yang begitu kecil
di tengah kaum yang lain, yang terjadi adalah kediktatoran yang
cemas. Ia harus defensif dan ofensif sekaligus. Ia harus meyakin­

Catatan Pinggir 9 607


PROLETARIAT

kan.­Ia harus ketat, dalam manajemen tubuh dan pikiran orang


ramai.
Akhirnya ia jebol juga. Partai boleh tetap berkuasa, tetapi etos
proletariatnya telah dihapus. Pembebasan ternyata bukan datang
dari mereka yang tak punya apa-apa, tapi dari punya dan keingin­
an untuk punya.
Bersama itu, segala yang ganjil dan gila-gilaan pun bisa ter-
jadi, juga sebuah alienasi lain: 30 mobil Mercedes-Benz untuk
menjemput anjing....
Mungkin sesekali kita perlu bertanya, bagaimana dengan mi-
lik dan bukan-milik manusia bisa bebas.

Tempo, 9 Mei 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

608 Catatan Pinggir 9


CUL-DE-SAC

P
OLITIK jadi sebuah cul-de-sac ketika ia selamanya diten-
tukan oleh penghitungan kekuatan. Ia hanya jalan bolak-
balik di tempat yang sama, di gang buntu itu, ketika ia
kehilangan panggilan untuk melintasi langkahnya sendiri yang
diukur. Para pelakunya jadi penunggang yang pada dasarnya an-
teng di komidi kuda-putar: mereka menerima kenyataan bahwa­
politik adalah persaingan bukan untuk memperoleh hal-hal yang
muluk dan rumit, melainkan untuk mendapatkan apa yang
mungkin saja.
Persoalannya, memang, adakah sesuatu yang lain—katakan-
lah yang muluk dan rumit—yang bisa menyeru dan memukau di
luar cul-de-sac itu? Adakah sebuah cakrawala yang ingin diraih,
bu­kan berupa kekuasaan yang lebih besar, melainkan apa yang
”baik” bagi kehidupan bersama, sesuatu yang membuat manusia
bukan sekadar elemen pasif dari sebuah situasi?
Bahwa kini pertanyaan itu timbul, itu karena zaman makin­la­
ma makin dibentuk oleh skeptisisme. Bahkan mungkin sinisme.
Hidup sepenuhnya dianggap percaturan kekuasaan; tak ada yang
di luar itu. Juga ketentuan mana yang ”baik” dan ”buruk” diang-
gap sebagai nilai-nilai yang dibuat dan ditentukan oleh adu ke-
pentingan dan daya pengaruh; bukan oleh sesuatu yang transen-
dental.
Apa boleh buat. Sejarah memang banyak mendatangkan
”buk­ti” bahwa yang transendental itu hanya ada sebagai hasil
fantasi. Tuhan disebut tiap hari, tapi pada saat yang sama diper-
http://facebook.com/indonesiapustaka

lakukan sebagai berhala besar yang berdiri di belakang para ven­


triloquist. Orang-orang ini berpura-pura menghadirkan suara
yang da­tang dari langit, ya, dari berhala itu, tapi berangsur-ang-
sur orang tahu bahwa yang bicara adalah perut manusia juga.

Catatan Pinggir 9 609


CUL-DE-SAC

Manusia lebih dewasa, tapi juga lebih tak gampang berilusi.


Zaman modern adalah zaman yang menggugat. Di zaman ini-
lah terjadi apa yang bisa disebut sebagai ”transisi dari sukma ke ji­
wa”, a transition from the soul to the psyche, sebagaimana kata Ter-
ry Eagle­ton dalam bukunya yang terbaru, On Evil (Yale Univer­
si­t y Press, 2010). Dengan kata lain, manusia tak lagi mencari pen­­
je­las­an pada theologi, tetapi pada psikoanalisis.
Dan itu bukan transisi yang sulit. Sebab, tulis Eagleton pula,
kedua-duanya adalah ”kisah hasrat manusia”, ”narratives of hu­
man desire”. Kedua-duanya menganggap manusia dilahirkan ca­
cat. Agama Kristen menyebutnya ”dosa asal”, sedang kaum psi­
ko­­analis, dimulai oleh Freud, menyebutnya sebagai ”neurosis”.
Kedua-duanya punya janji penyembuhan. Baik agama maupun
psi­koanalisis menganggap manusia yang cacat itu masih bisa dise-
lamatkan. Bagi agama, penyelamatan itu tersedia dengan cara
ma­­suk Kristen atau agama yang lain; bagi psikoanalisis, orang
bisa selamat dengan mengurai dan mengarahkan traumanya.
Dengan transisi dari theologi ke psikoanalisis itu—ketika
suk­ma manusia tak lagi diakui, dan yang diakui hanya jiwa—
orang diam-diam makin tak percaya bahwa ada hal-hal yang bisa
disebut ”transendental”. ”Sukma” berhubungan dengan yang
”ilahi”; ”jiwa” berhubungan dengan hasrat badani.
Dalam ketidak-percayaan itu, nilai-nilai jadi tergantung kepa­
da apa yang dialami badan di dunia, dengan ruang dan waktu
ter­tentu. Tak ada yang bisa mengatasi ruang dan waktu itu. Maka
yang ”baik” bagi orang Kristen dianggap lahir dari pengalaman
ma­nusia Kristen di sebuah zaman dan sebuah tempat; artinya tak
berarti ”baik” bagi orang Islam di sebuah masa dan negeri yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

ber­beda. Transendensi tak meyakinkan lagi. Yang ada imanensi.


Tapi benarkah kehidupan hanya bersifat imanen? Yang mena­
rik­ialah bahwa Eagleton, seorang Marxis, tak melihat transen­
den­­si sepenuhnya bisa dinafikan. Banyak hal, tulisnya, misalnya

610 Catatan Pinggir 9


CUL-DE-SAC

seni dan bahasa, yang bukan sekadar respons dan pantulan ke-
adaan sosialnya. Meskipun itu tak berarti hal-hal itu ”jatuh dari
langit”.
Sebab manusia bukanlah cuma cerita badan dan tanah. Da­
lam pengalaman kita, tak ada konflik antara hal-hal yang lahir
da­ri sejarah (”the historical”) dan hal-hal yang melampaui sejarah
(”the transcendental”). Ini karena sejarah justru ”merupakan se-
buah proses transendensi-diri”. Manusia sebagai ”makhluk seja­
rah” adalah makhluk yang mampu mengatasi dirinya sendiri.
Se­orang Marxis, berbeda dengan seorang penganut materialisme
Fuerbach, percaya bahwa zat bukan yang menentukan; selalu ada
dialektik.
Maka transendensi bukan omong-kosong. Eagleton menyebut­
ada transendensi yang ”vertikal” dan yang ”horizontal”. Yang
per­tama dianggap hal yang diturunkan dari luar sejarah, dari Tu-
han, misalnya. Yang kedua merupakan bagian dan sekaligus lon-
catan melampaui batas-batas sejarah.
Saya kira, di situlah kita bisa kembali percaya bahwa ada ni-
lai-nilai yang tak hanya merupakan hasil konstruksi hubungan-
hubungan sosial di suatu masa di suatu tempat. Di situlah kita bi­sa
percaya bahwa politik sebenarnya mampu bergerak meloncat me­
lampaui pusarannya sendiri. Politik bisa jadi gerak yang terpang-
gil untuk menjangkau sesuatu yang transendental, meskipun­tak
membawa-bawa Tuhan. Politik cukup sah untuk merasa diseru­
bu­at melakukan yang ”baik” bagi semua orang meskipun itu usa­
ha perjuangan sekelompok orang.
Artinya, kita tak usah menyerah dengan mudah kepada poli-
tik dengan sinisme. Kita masih bisa percaya bahwa ada nilai-nilai
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang menggugah manusia di luar cul-de-sac itu. Kita tak usah se­
la­lu menghalalkan bahwa politik adalah perhitungan kekuatan,
tak lebih dan tak kurang. Kita masih bisa menampik pandangan
”sia­pa yang kuat akan dapat” dan ”yang lemah tak akan pernah

Catatan Pinggir 9 611


CUL-DE-SAC

be­nar”.
Maka kita bisa, dan kita perlu, kembali ke politik yang tergoda­
oleh cakrawala, ke dalam apa yang dikatakan Eagleton sebagai a
process of self-transcendence. Tanpa itu, kita hanya jadi bidak catur­
yang merasa menggerakkan langkahnya sendiri mengikuti siasat.­
Padahal, kita tiap kali harus jadi manusia, tiap kali bisa jadi
ma­nusia.

Tempo, 16 Mei 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

612 Catatan Pinggir 9


GELAP

S
iang itu saya lihat seorang perempuan berjilbab duduk
tekun di depan sebuah mikroskop di sebuah lab. Saya ter-
ingat Kartini.
Dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902, Kartini mencan-
tumkan seuntai kwatrin:

Door nacht tot licht


Door storm tot rust
Door strijd tot eer
Door leed tot lust

Banyak orang meleset dari sajak pendek ini. Buku kumpulan


surat Kartini yang pertama terbit pada 1911 berjudul Door Duis­
ternis Tot Licht. Kalimat itu agaknya dipilih J.H. Abendanon, pe-
jabat pemerintahan Hindia Belanda yang bersemangat mendu-
kung putri Bupati Jepara itu. Abendanon pula yang menyeleksi
surat-surat gadis itu dan menerbitkannya. Penyair Armijn Pane
ke­mudian menerjemahkan buku itu jadi Habis Gelap Terbitlah
Terang.
Dengan judul itu agaknya orang menemukan sebuah metafor­
untuk menggambarkan pergulatan Kartini membebaskan diri
dari dunia adat yang kuno, kolot, dan mengekang. ”Terang”
(licht)­adalah kiasan untuk pencerahan sikap dan pikiran: tanda
emansipasi dari yang mengekang itu.
Joost Coté termasuk yang berpikir demikian. Peneliti yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

me­nerjemahkan surat-surat Kartini yang lebih lengkap dan me­


nerbitkannya dalam sebuah buku (diterbitkan oleh Monash Asia
Institute of Monash University tahun 1992) itu menulis bahwa
”dari gelap terbitlah terang” diambil dari sajak dalam surat Karti-

Catatan Pinggir 9 613


GELAP

ni, yang mencerminkan ”kesadaran dirinya tentang perjuangan-


nya yang bersejarah”.
Tapi saya kira tak demikian. Jika kita baca surat yang memuat
sajak itu (mungkin karya Kartini sendiri), kita akan tahu bahwa­
ka­ta ”terang” itu mengacu ke sesuatu yang sama sekali lain: ”te­
rang” adalah saat Kartini menemukan identitasnya sebagai se­
orang muslimah. Ia mendapatkan ”terang” itu berkat bimbingan
ibu kandungnya, yang datang dari keluarga santri, bukan seorang
wanita berpendidikan Barat, tapi ”seorang perempuan tua... dari
mana aku memperoleh pelbagai kembang yang terbit dari hati”.
Bahwa Abendanon tak mengaitkan kalimat yang dipilihnya
itu dengan apa yang sebenarnya terjadi, itu mengungkapkan se-
buah perspektif yang tipikal seorang Eropa terpelajar di awal abad
ke-20: baginya, perjuangan Kartini adalah teladan modernisasi.
Mo­dernisasi adalah jalan ke Aufklärung, ”pencerahan”. Dan itu
pas­ti bukan jalan ke agama, apalagi Islam. ”Pencerahan” adalah
da­tangnya cahaya yang menggantikan kegelapan tua: irasionali-
tas, takhayul, dan taklid.
Bagi Abendanon, juga bagi para pemikir modernisasi Indone­
sia (Takdir Alisjahbana, Sjahrir, Tan Malaka, Sukarno), ruang­
dan waktu Kartini adalah miniatur sejarah ketika rasionalitas­
meng­gedor pintu sebuah masyarakat yang ”terkebelakang”. Ma­
ka mereka menyebut Kartini (seperti dalam lagu yang kita hafal)­
”pendekar”, khususnya ”pendekar kaumnya untuk merdeka”:
mer­deka dari adat yang mengekang dan dari kepercayaan yang
membekukan pikir.
Tapi bagi Kartini, perkaranya lebih kompleks. Ia hidup di
tengah-tengah derap maju rasionalitas itu, namun dan pada saat
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang sama ia tahu bahwa agama—yang umumnya dilihat sebagai


deretan dogma yang beku—tak terusir ke masa silam.
Mungkin itu sebabnya, perempuan berjilbab dengan mikros-
kop itu mengingatkan saya kepada Kartini: agama dan rasionali-

614 Catatan Pinggir 9


GELAP

tas bukanlah dua kubu yang bertentangan.


Ada suatu masa, terutama di Eropa, ketika rasionalitas me-
nampik iman. Ilmu pengetahuan pun meninggalkan agama,
atau­ keduanya hidup terpisah, sementara rasio menguasai kehi­
dupan. Tapi dengan kemenangan itu, sesuatu terjadi pada rasio.
Seusai pertempuran rasio dengan agama, kata Hegel, agama me-
mang terpuruk, tapi ”rasio... [berubah] hanya jadi intelek semata-
mata”.
Dalam Revolusi Prancis, rasio dirayakan, agama diusir. Sejak
itu iman hidup dalam batin, bukan dalam kehidupan sosial dan
tu­buh lembaga seperti Gereja. Agama mundur dari arena, tapi
iman menemukan ruang hidupnya yang baru, di dunia privat.
Rasio tak merasa perlu mengusirnya—dan ia tak juga mampu
menjelaskannya. Maka rasio lebih baik menyibukkan diri dalam
soal lain: jadi intelek, atau jadi akal semata (dari mana kata ”meng­
akali” berasal). Dengan alat itulah manusia mengakali­alam dan
mengendalikannya. Ia jadi Tuan. Ia menghasilkan sesuatu yang
dulu tak ada.
Dulu rasio tak berhenti tergugah akan ketakjuban dunia; de-
ngan itulah filsafat serta ilmu lahir. Tapi pada akhirnya rasio, se-
bagai akal, ikut membuat hilangnya pesona dunia—dan, dalam
pandangan muram Max Weber, pelan-pelan manusia pun terdo-
rong ke dalam ”kerangkeng besi”.
Maka kisah kemenangan rasio juga kisah kekalahannya. Akal
budi lupa bahwa ia sebenarnya hanya hadir sebagai ”terang” kare-
na ada ”gelap”. ”Gelap” bukanlah sebuah keadaan defisit dari te­
rang, tapi justru yang membuat terang jadi terang. Ketika gelap
di­tolak dan dicampakkan, tak ada lagi yang berharga yang ting-
http://facebook.com/indonesiapustaka

gal.
Tapi pada saat itulah—dalam mencampakkan gelap—agama
dan akal sering bertemu. Saya teringat perempuan berjilbab di
depan mikroskop itu: saya teringat Kartini. Jangan-jangan Kar-

Catatan Pinggir 9 615


GELAP

tini termasuk orang yang meninggalkan ”malam” (keadaan gelap


yang sementara), karena baginya agama dan rasio menghendaki­
demikian. Bukankah agama dan dunia modern menolak segi
yang kacau dan tak terungkapkan dari manusia—misalnya du-
nia bawah-sadarnya?
Tapi jika demikian, saya takut ia akan buntu: ia akan berhenti
me­mahami hidup. Saya ingat kata-kata Chesterton tentang mis-
tisisme: ”manusia dapat memahami semuanya karena ia dibantu
oleh apa yang tak dapat dipahaminya”. Dengan kata lain, manu-
sia memahami hidup karena ia mengakui dan menemui misteri.
Tapi mungkin saja mikroskop di tangan itu lain. Mungkin
ia bagian dari ketakjuban yang sedang bangkit lagi—bukan alat
akal untuk menaklukkan hidup, tak mengakui gelap.

Tempo, 23 Mei 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

616 Catatan Pinggir 9


TERTIB

S
aya tak tahu benarkah Tuhan hanya menghendaki dunia
yang tertib.
Ada sebuah cerita detektif yang ganjil yang ditulis G.K.
Chesterton, The Man Who Was Thursday. Buku ini lain dari ceri-
ta detektif biasa: ujungnya mirip sebuah renungan tentang Tu-
han—bermula dari ketegangan antara anarkisme dan ketertiban,
dengan tokoh seorang agen Scotland Yard yang menyamar seba­
gai penyair.
Cerita dibuka dengan senja di Saffon Park, sebuah wilayah di
tepi Kota London. Di lingkungan rumah-rumah berbatu bata
war­na terang itu hidup sebuah ”dukuh artistik”, artistic colony.
Bu­ku ini tak menyebutnya ”dukuh seniman”, sebab tempat itu
tak pernah memproduksi karya seni apa pun. Keistimewaannya:
enak dipandang.
Tapi kita diantar untuk tak menyukai suasana di sana. Ter­
utama­karena penghuninya. Ada orang bertampang penyair yang
semenarik syair, tapi ia sendiri bukan penyair. Atau si Fulan yang
berlagak filosof tapi sebenarnya sosok yang bisa membuat filosof
merenung. Para wanitanya menyatakan diri bebas, tapi suka me­
mu­ji para lelaki dengan berlebihan. Orang yang memasuki at­
mos­fer sosial tempat itu akan merasa seperti ”memasuki sebuah
ko­medi yang telah ditulis”.
Tokoh sentral di sini bernama Lucien Gregory. Ia seorang pe-
nyair berambut merah yang dibelah tengah, dengan keriting ke-
cil bak rambut perawan dalam lukisan Eropa kuno. Chesterton
http://facebook.com/indonesiapustaka

menggambarkan parasnya ”lebar dan brutal” dengan dagu yang


menjorok ke depan dan dengan perilaku seperti ”sebuah cam-
puran malaikat dengan monyet”.
Gregory seorang anarkis dengan suara keras. Ia gemar meng­

Catatan Pinggir 9 617


TERTIB

ulang kecek lamanya tentang seni sebagai kehidupan yang tak


mengakui hukum dan tentang seni (atau kiat) untuk tak mema-
tuhi hukum, ”the lawlessness of art and the art of lawlessness”. Bagi­
nya, seorang seniman identik dengan seorang anarkis: ia melawan­
kekuasaan negara dan lembaga lain, ia bahkan bebas dari aturan
seni sendiri.
Gregory selalu didengar; tak seorang pun di dukuh itu yang
membantahnya.
Tapi senja di Saffon Park itu berubah ketika ke sana datang
Gabriel Syme, seorang berambut sedikit kuning berkulit pucat
langsat, dan digambarkan sebagai sosok yang menebarkan ”bau
kembang leli di sekitarnya”.
Bertentangan dengan Gregory, Syme menyebut diri ”seorang
penyair hukum, seorang penyair ketertiban”. Syahdan, kedua pe-
nyair yang berbeda sikap itu pun berdebat.
Bagi Gregory, dunia akan mandul dan membosankan bila ter-
tata seperti jaringan kereta api di bawah tanah. Rel dan stasiun-
stasiun itu tampak murung, tak ada yang asyik, tak ada kejutan:
semuanya sudah diperhitungkan, persis + tepat.
Bagi Syme, justru ketepatan itu puisi. Lihat, katanya, betapa
menakjubkan (”epical”, katanya) seorang pemanah burung ter-
bang yang mengenai sasarannya. ”Khaos itu membosankan,”
kata Syme. ”Tiap kali kereta api masuk, saya merasa ia telah mene­
rabas­deretan para pengepung, dan manusia telah memenangkan
satu pertempuran melawan khaos.”
Dari sini, kisah Syme kian aneh. Untuk menunjukkan bahwa
dirinya seorang anarkis yang serius, Gregory membawa Syme ke
sebuah tempat pertemuan rahasia para tokoh anarkisme. Seba-
http://facebook.com/indonesiapustaka

liknya, Syme mengaku, ia sebenarnya anggota dinas rahasia Scot-


land Yard. Ia dapat perintah khusus dari seorang bos yang super-
rahasia, pemegang peran paling penting dalam cerita ini: seorang
yang yakin bahwa dunia seni dan ilmu ”diam-diam bergabung

618 Catatan Pinggir 9


TERTIB

dalam perang suci melawan Keluarga dan Negara”.


Bahkan bagi sang bos, ancaman juga datang dari para filosof.
Baginya, ”penjahat paling berbahaya sekarang adalah filosof mo­
dern yang sama sekali tak mengakui hukum”. Dibandingkan de-
ngan para filosof, para maling malah manusia bermoral. Sementa-
ra para filosof tak mengakui hak milik, para maling menghargai­
nya; hanya milik itu harus diambil jadi kepunyaan mereka. Para
pembunuh juga lebih baik, karena sebenarnya mereka secara tak
langsung menghargai hidup. Sebaliknya para filosof benci hidup
itu sendiri.
Dengan pandangan macam itu, para detektif spesial dikerah-
kan. Mereka harus datang ke pertemuan seni, ”guna mendeteksi­
para pesimis”. Mereka juga harus bisa melihat dari buku-buku
sajak bahwa kejahatan akan dilakukan. ”Kita mesti menelusuri
asal-usul pikiran yang mengerikan itu, yang setidak-tidaknya
men­dorong orang ke arah fanatisme intelektual dan kejahatan in-
telektual.”
Demikianlah Syme berangkat bertugas. Dan setelah ia dibawa
Gregory ke tempat pertemuan rahasia para anarkis hari itu, ia de-
ngan cepat menyusup. Ia diangkat jadi salah satu anggota Central
Anarchist Council, organisasi rahasia yang akan menghancurkan
peradaban. Untuk menjaga kerahasiaan, tiap anggota disebut de-
ngan nama hari. Syme jadi ”Thursday”, Kamis. Pemimpin dewan
itu disebut ”Sunday”, Ahad.
Kisah ini jadi tambah ajaib ketika akhirnya diketahui, tiap
ang­gota dewan kaum anarkis itu ternyata detektif dari kantor
yang sama—dan bahwa Ahad adalah sang bos yang memerintah­
kan mereka. Dan klimaks yang paling mengejutkan: Ahad itu se­
http://facebook.com/indonesiapustaka

sungguhnya Tuhan.
The Man Who Was Thursday lebih rumit dan kaya ketimbang
yang saya ringkaskan. Tapi tanpa lebih jauh kita sudah didorong
menjawab: benarkah Tuhan berpihak kepada ketertiban? Benar­

Catatan Pinggir 9 619


TERTIB

kah dunia seni, ilmu, dan filsafat—yang menerabas batas—se-


buah ancaman, bagian dari khaos?
Di Saffon Park, Syme berbicara tentang pemanah yang berha-
sil membidik burung. Baginya keakuratan itu ”epikal”. Tapi tida-
kkah ia melihat: sejak saat anak panah lepas dari busur, khaos me-
nyertainya? Senjata itu punya sasaran, tapi angin bisa menyebab­
kannya gawal. Khaos menegaskan manusia sebagai makhluk
yang dengan dan dalam cemas membangun sejarah. Tak ada­
nya garis lurus antara arah dan akhir adalah bagian dari kemer­
dekaannya. Itu nasib Adam di luar surga.

Tempo, 30 Mei 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

620 Catatan Pinggir 9


Waiçak

B
ayi yang kemudian jadi Buddha itu lahir ketika sang ibu
memegangi sebatang dahan pohon Sal di Kebun Lum-
bini.
Adakah ini lambang pertautan antara bayi yang suci itu de-
ngan kehidupan yang bersambung ke ranting dan daun—dari
mana oksigen menyebar dan di mana burung pengembara mene­
mukan tempat jeda?
Saya tak tahu. Orang besar yang lahir lebih dari 2.500 tahun
yang lalu akan selalu tumbuh dengan legenda, dan tiap legenda
punya pertanyaan yang tak pernah putus. Tapi beberapa ”data”
dari kehidupan Buddha agaknya bisa jadi bahan percakapan—
setidaknya antara saya, yang bukan Buddhis, dan para pembaca,
yang mungkin di antaranya Buddhis.
Sang Buddha, seperti kita tahu, lahir sebagai Pangeran Si­d­
dhar­ta. Ayahnya, Suddhodhana, adalah Raja Kapilavastu, wi­la­
yah­di kaki Himalaya. Keluarga ini bagian dari klan Gautama,
yang termasuk wangsa Shakya. Dari kitab Jataka kita dapat se-
dikit cerita tentang kehidupan para aristokrat itu.
Siddharta hidup di tiga istana, terlindung dari dunia luar yang
tak secantik dan setenteram Keraton Kapilavastu. Ada 40.000
penari untuk menghiburnya. Ketika ia dewasa, 5.000 wanita di­
ki­rim ke hadapannya untuk dipilih. Dan Siddharta pun meni-
kah. Ia jadi ayah yang hidup mewah dan nyaman.
Tapi kemudian ada kisah yang termasyhur itu: dalam sebuah
perjalanan di luar istana, sang pangeran melihat dunia yang sela-
http://facebook.com/indonesiapustaka

ma ini tertutup dari dirinya: seorang tua, seorang yang sakit, dan
se­orang yang mati. Siddharta terkejut, ia tersadar: ternyata­ ma­
nusia, juga dirinya, akan jadi tua, bisa sakit, dan akan mening­gal.
”Semua keriangan masa mudaku tiba-tiba raib,” tutur sang pa­

Catatan Pinggir 9 621


Waiçak

nge­­ran kemudian. Sejak itu ia pun mencari jawab tentang kodrat


”usia tua, sakit, kesedihan, dan ketakmurnian”—keadaan yang
tak akan bisa dielakkan siapa pun yang lahir di dunia. Ia pun me­
rasa perlu ”menemukan yang tak dilahirkan”. Dan itu adalah
”pun­cak kedamaian Nirwana”.
Cerita itu begitu terkenal hingga kita lupa untuk bertanya: pa­
da saat itu, di manakah agama yang bisa menjawab kegelisahan
Si­ddharta?
Mungkin tak ada. Di bawah Pegunungan Himalaya, sekitar
400 tahun sebelum Masehi, tampaknya orang tak mendengar-
kan kitab suci lagi. Upanishad digugat, para pendeta dicemooh.
Dalam salah satu jilid The Story of Civilization, Will Durant
me­ngutip Chandogya Upanishad, yang menyamakan para Brah-
mana ortodoks dengan barisan anjing: masing-masing meme-
gang ekor anjing sebelumnya. Swasanved Upanishad bahkan me-
nyatakan tak ada tuhan (dewa), tak ada surga, neraka, dan re-
inkarnasi. Kitab-kitab Veda dianggap cuma karangan orang-
orang geblek yang congkak; khalayak ramai patuh karena dibuai
kata yang berbunga-bunga untuk menopang dewa, kuil, dan
orang ”suci”.
Saat itu, para penghujat dewa dan pendeta beredar di mana-
mana: para Nastik, kaum nihilis, para Sangaya. Satu kelompok
besar Paribhajaka (”Pengembara”) berjalan dari kota ke kota, du-
sun ke dusun, mencari murid atau lawan filsafat. Mereka meng­
ajar­kan logika sebagai kiat membuktikan pendapat, atau menun-
jukkan bahwa Tuhan tak pernah ada. Di samping mereka, ada
kaum Charvaka, atau kaum ”materialis”, yang menertawakan ke-
percayaan bahwa Veda itu ilham para dewa. Bagi mereka, yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

bisa diyakini ada hanya yang dapat diketahui lewat pancaindra.


Materi adalah satu-satunya. Realitas. Tak ada keabadian. Tak
ada kelahiran kembali. Tujuan hidup adalah hidup itu sendiri.
Agama hanya pengisi rasa kekosongan.

622 Catatan Pinggir 9


Waiçak

Mereka inilah yang pelan-pelan menguras sudut-sudut India


dari pengaruh kitab-kitab suci. Sekaligus melumpuhkan penga-
ruh kasta Brahmana di masyarakat. Dari sini pula tumbuh keya-
kinan baru, dimulai oleh kasta lain, para kesatria, yang tak ber-
sandar pada struktur kependetaan dengan teologi yang berpusat
pada adanya Yang Maha Pencipta. Bagi keyakinan baru ini, ada
atau tak adanya Tuhan bukan persoalan penting.
Ketika Siddharta berangkat dewasa, suasana pasca-Veda itu-
lah yang berkembang. Tak mengherankan bila ia tak mengandal­
kan kitab apa pun untuk menjawab kegundahannya. Dan tak
mengherankan pula bahwa ketika ia mendapat ”pencerahan” dan
jadi Buddha, ajarannya bergema cepat.
Para pengikut datang mungkin juga karena sang Buddha bisa
menunjukkan jalan bagi sebuah masyarakat di mana samsara
bu­kan saja sebuah konsep filsafat. Kesadaran tentang itu berto-
lak dari hidup sehari-hari. Di India, apalagi pada masa itu, lahir,
sakit, tua, dan mati bukanlah peristiwa asing di jalan-jalan.
Tapi itu bukanlah akhir cerita. Buddhisme bukan seluruhnya­
se­buah negasi agung. Sang Guru mengumandangkan sesuatu
yang mampu melampaui tema kesedihan pasca-kelahiran itu: da­
lam ajarannya tak ada patah-arang yang radikal terhadap hidup.
Buddha tak menganjurkan sikap asketis yang ekstrem; ia meno-
lak bunuh diri sebagai pilihan.
Dalam arti tertentu, ia masih melihat hidup mengandung ha­
rap­an—justru ketika manusia bebas dari pengharapan.
Saya bukan seorang Buddhis. Bagi saya harapan yang tanpa
pengharapan itu terletak dalam kemungkinan kita menerima du-
nia dan segala isinya—yang menderita—sebagai apa yang dalam
http://facebook.com/indonesiapustaka

bahasa Jawa disebut bebrayan, ”pertalian kebersamaan”. Ketika


ki­ta menghayati hidup sebagai keadaan yang bisa sakit, tua, dan
ma­ti, kita pun akan lebih peka terhadap rapuh dan rentannya sia-
pa saja yang ada dalam keadaan itu. Semacam perasaan senasib

Catatan Pinggir 9 623


Waiçak

tumbuh.
Dengan kata lain, nasib bukanlah ”kesunyian masing-ma-
sing” seperti dikatakan Chairil Anwar. Hidup meletakkan ma-
sing-masing sebagai bagian dari sebuah keseluruhan—seperti
akar, kulit, dahan, ranting, dan daun pohon Sal. Bahkan pohon­
itu juga bagian dari perjalanan burung-burung dan peserta dalam
lingkungan ke mana selalu ia embuskan oksigen pada hari terik.
Untuk siapa saja.
Harapan, dengan kata lain, ialah karena kita tak bersendiri.

Tempo, 6 Juni 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

624 Catatan Pinggir 9


UNTUK RACHEL CORRIE

S
alah satu dari flotilla enam kapal yang mencoba menem­
bus blokade Israel di Gaza itu, dan diserang marinir Israel
hingga sekitar sembilan korban tewas, diberi nama ”Rachel
Corrie”.
Tulisan ini dimuat kembali untuk mengenang pengorbanan me­
reka, orang-orang asing, dari pelbagai agama dan tanah air, yang
mati untuk rakyat Palestina.
***
Rachel Corrie yang ada di surga, selalu kembalilah nama-
mu. Semoga selalu kembali ingatan kepada seseorang yang berse-
dia mati untuk orang lain dalam umur 23 tahun, seseorang yang
memang kemudian terbunuh, seakan-akan siap diabaikan di satu
Ahad yang telah terbiasa dengan kematian.
Hari itu 16 Maret yang tak tercatat. Hari selalu tak tercatat
da­lam kehidupan orang Palestina, orang-orang yang tahu benar,
dengan ujung saraf di tungkai kaki mereka, apa artinya ”semen-
tara”.
Juga di Kota Rafah itu, di dekat perbatasan Mesir, tempat hi­
dup­ 140 ribu penghuni—yang 60 persennya pengungsi—juga
pengungsi yang terusir berulang kali dari tempat ke tempat. Pe-
kan itu tentara Israel datang, seperti pekan lalu, ketika 150 laki-
laki dikumpulkan dan dikurung di sebuah tempat di luar permu­
kiman. Tembakan dilepaskan di atas kepala mereka, sementara
tank dan buldoser menghancurkan 25 rumah kaca yang telah
me­reka olah bertahun-tahun dan jadi sumber penghidupan 300
http://facebook.com/indonesiapustaka

orang—orang-orang yang sejak dulu tak punya banyak pilihan.


Tentara itu mencari ”teroris”, katanya, dan orang-orang kam-
pung itu mencoba melawan, mungkin untuk melindungi satu-
dua gerilyawan, mungkin untuk mempertahankan rumah dan

Catatan Pinggir 9 625


UNTUK RACHEL CORRIE

tanah dari mana mereka mustahil pergi, karena tak ada lagi tem-
pat untuk pergi.
Saya bayangkan kini Rachel Corrie di surga, sebab hari itu ia,
se­orang perempuan muda dari sebuah kota yang tenang di timur
laut Amerika Serikat, memilih nasibnya di antara orang-orang
di Rafah itu: mereka yang terancam, tergusur, tergusur lagi, dan
teng­gelam. Hari itu ia melihat sebuah buldoser tentara Israel
men­deru. Sebuah rumah keluarga Palestina hendak dihancur-
kan. Dengan serta-merta ia pun berlutut di lumpur. Ia mencoba
menghalangi.
Tapi jaket jingga terang yang ia kenakan hari itu tak menyebab­
kan serdadu di mobil perusak itu memperhatikannya. Prajurit di
belakang setir itu juga tak mengacuhkan orang-orang yang ber-
teriak-teriak lewat megafon, mencoba menyetopnya. Buldoser itu
terus. Tubuh itu dilindas. Tengkorak itu retak. Saya bayangkan
Rachel Corrie di surga setelah itu; ia meninggal di Rumah Sakit
Najar.
***
Rachel yang di surga, selalu kembalilah namamu. Korban
dan kematian di hari ini menjadikan kita sebaya rasanya. Kau ter­
bu­nuh di sebuah masa ketika tragedi dibentuk oleh berita pagi,
dan makna kematian disusun oleh liputan yang datang dan pergi
de­ngan sebuah kekuasaan yang bernama CNN. Tahukah kau, di
se­antero Amerika Serikat, tanah airmu, tak terdengar gemuruh
suara protes yang mengikuti jenazahmu?
Tentu kita maklum, bukan singkat ingatan semata-mata yang
menyebabkan sikap acuh tak acuh setelah kematianmu di hari
itu. Bayangkanlah betapa akan sengitnya amarah orang dari Sea­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ttle sampai dengan Miami, dari Gurun Mojave sampai dengan


Bukit Capitol, seandainya kau, seorang warga negara Amerika,
tewas di tangan seorang Palestina yang melempar batu.
Tapi kau tewas di bawah buldoser tentara Israel; kau berada

626 Catatan Pinggir 9


UNTUK RACHEL CORRIE

di pihak yang keliru, anakku. Itulah memang yang diutarakan


beberapa orang di negerimu ketika mereka menulis surat ke The
New York Times. Mereka menyalahkanmu. Sebab kau datang,
ber­sama tujuh orang Inggris dan Amerika lain, untuk menjadi­
kan tubuhmu sebuah perisai bagi keluarga-keluarga Palestina
yang menghadapi kekuatan besar pasukan Israel di kampung ha­
laman mereka.
Kau melindungi teroris, kata mereka. Meskipun sebenarnya
kau datang dari Olympia, di dekat Teluk Selatan Negara Bagian
Washington, bergabung dengan International Solidarity Move-
ment, untuk mengatakan: ”Ini harus berhenti.”
Kau salah, Rachel, kata mereka. Tapi kenapa? Dalam sepucuk
e-mail bertanggal 27 Februari 2003 yang kemudian diterbitkan
di surat kabar The Guardian, kau menulis, ”Kusaksikan pemban-
taian yang tak kunjung putus dan pelan-pelan menghancurkan
ini, dan aku benar-benar takut.... Kini kupertanyakan keyakin­
anku sendiri yang mendasar kepada kebaikan kodrat manusia.
Ini harus berhenti.”
Saya bayangkan Rachel di surga, saya bayangkan ia agak se­
dih. Ia dalam umur yang sebenarnya masih pingin pergi dansa,
pu­nya pacar, dan menggambar komik lagi untuk teman-teman
sekerjanya. Tapi di sini, di Rafah, ada yang ingin ia stop; bersalah-
kah dia? Beberapa kalimat dalam surat kepada ibunya menggam-
barkan perasaannya yang intens: ”Ngeri dan tak percaya, itulah
yang kurasakan. Kecewa.”
Ia kecewa melihat ”realitas yang tak bermutu dari dunia kita”.
Ia kecewa bahwa dirinya ikut serta di kancah realitas itu. ”Sama
sekali bukan ini yang aku minta ketika aku datang ke dunia ini,”
http://facebook.com/indonesiapustaka

tulisnya. ”Bukan ini dunia yang Mama dan Papa inginkan buat
diriku ketika kalian memutuskan untuk melahirkanku.”
Apa yang mereka inginkan, Rachel, dan apa yang kau minta?
Berangsur-angsur kau pun tahu: kau tak menghendaki sebuah

Catatan Pinggir 9 627


UNTUK RACHEL CORRIE

rumah yang begitu nyaman, begitu ”Amerika”, hingga si penghu-


ni tak menyadari sama sekali bahwa ia sebenarnya berpartisipasi
secara tak langsung dalam sesuatu yang keji, yakni ”dalam pem-
bantaian”.
***
Itulah sebabnya kau berangkat ke Palestina. ”Datang ke
sini adalah salah satu hal yang lebih baik yang pernah kulaku-
kan,” be­gitu kau tulis pada 27 Februari 2003. ”Maka jika aku ter-
dengar seperti gila, atau bila militer Israel meninggalkan kecende­
rungan rasialisnya untuk tak melukai orang kulit putih, tolong,
cantumkanlah alasan itu tepat pada kenyataan bahwa aku berada
di te­ngah­ pembantaian yang juga aku dukung secara tak lang-
sung, dan yang pemerintahku sangat ikut bertanggung jawab.”
Ia menuduh dirinya sendiri ikut bersalah. Tapi ia meletakkan
kesalahan yang lebih besar pada pemerintahnya.
Rasanya ia betul. Saya kira ia bahkan bisa juga menggugat ju­
ta­an orang Amerika lain yang senantiasa membenarkan apa yang
dilakukan Ariel Sharon—hingga dalam keadaan perang dengan
Irak sekalipun, dari Washington, DC, datang tawaran satu trili-
un dolar untuk bantuan militer langsung kepada Israel, di celah-
celah berita tentang orang Palestina yang ditembak dan dihalau,
di antara kabar tentang anak-anak Palestina yang tewas. Bukan
main—cuma beberapa hari setelah seorang Amerika tewas ditab­
rak buldoser di Kota Rafah!
Jika ada kepedihan hati di sana, kau pasti mengetahuinya lebih­
intim, Rachel. Dari lumpur Kota Rafah itu kau pasti mengerti
apa yang jarang dimengerti orang Amerika: kekerasan bisa mun-
cul di puing-puing itu, sebagai bagian dari usaha untuk, seperti
http://facebook.com/indonesiapustaka

kau katakan dalam suratmu, ”melindungi fragmen apa pun yang


tersisa”.
Kau akan bisa menunjukkan bahwa Usamah bin Ladin dan
Saddam Hussein, dengan wajah mereka yang setengah gelap,

628 Catatan Pinggir 9


UNTUK RACHEL CORRIE

menjadi penting karena mereka bisa bertaut dengan gaung Pales-


tina di mana segalanya telah direnggutkan. Sampai hari ini, yang
terdengar sebenarnya adalah sebuah gema dari geram bertahun-
tahun yang terkadang kacau, terkadang keras, dan senantiasa ka-
lah.
Senantiasa kalah—di Yerusalem, di Kabul, di Bagdad.
Tapi adakah kalah segala-galanya? Tidak, kau pasti akan bi-
lang, semoga tidak. Dalam suratmu bertanggal 28 Februari,
kau ceritakan kepada ibumu sesuatu yang menyebabkan engkau­
merasa lebih mantap sedikit, di antara perasaan pahitmu menyak-
sikan hidup yang dibangun oleh ketidakadilan. Tak semuanya
ternyata hanya ngeri, tak percaya, dan kecewa. Di celah-celah lu­
ka yang merundung penghuni Palestina yang kau kenal di Ra-
fah, kau menemukan sesuatu yang tidak pernah kau lihat dalam
hidupmu sebelumnya: ”... satu derajat kekuatan dan kemampuan
dasar manusia untuk tetap menjadi manusia”. Dan kau punya
sepatah kata untuk itu: dignity.
Tapi apa kiranya yang bisa didapat dari dignity, dari harga
diri, yang menyebabkan manusia tak melata di atas debu sebelum
menggadaikan segala-galanya? Tak banyak, juga sangat banyak.
Yang lemah akan tetap roboh. Tapi di depan tubuh yang ter­
ge­letak di lumpur, tubuh yang terjerembap dan menuding keti-
dakadilan, kemenangan sang superkuat sekalipun akan terhenti:
ia hanya ibarat sebuah buldoser yang sekadar menghancurkan.
Geng­gaman itu kosong. Penaklukan itu ilusi.
Ya, Rachel yang ada di surga, semoga namamu selalu akan
kembali. Kini memang saya bimbang. Tapi masih ingin saya per-
caya bahwa tak mustahil akan ada sebuah ruang di mana yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

lemah tak terusir, dan yang lain bisa sewaktu-waktu berteriak


”Stop kau!”—dan sebab itu merdeka.
Tempo, 13 Juni 2010
Tulisan ini pernah dimuat di Tempo edisi 30 Maret 2003.

Catatan Pinggir 9 629


http://facebook.com/indonesiapustaka

630
Catatan Pinggir 9
JUNI

J
uni adalah bulan Bung Karno—kesempatan kita menge­
nang yang kecil dan yang besar dari tokoh ini. Ada satu keja­
dian dalam riwayat yang direkam Cindy Adams: ketika
Bung Karno pertama kali menikah, ketika ia jadi mempelai
ba­gi Utari.
Utari adalah putri H.O.S. Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat
Islam, yang menampung Sukarno sewaktu anak kepala sekolah­
dari Blitar itu berumur 14 tahun dan datang ke Surabaya untuk­
masuk HBS, sekolah menengah Belanda. Hubungan antara Su­
karno dan Tjokroaminoto makin lama makin erat. Pemuda ini
prak­tis jadi kadernya dalam pergerakan. Ia tinggal di rumah ke­
luar­ga itu sampai 1920, sampai ia lulus dari HBS dan melanjut-
kan ke Technische Hooge School di Bandung.
Tapi, sebelum itu, Nyonya Tjokroaminoto wafat. Kesedihan
me­rundung suaminya, yang ditinggal dengan beberapa anak
yang masih remaja. Mereka dan anak-anak yang indekos, terma-
suk Sukarno, pun pindah ke rumah lain. Tapi Tjokroaminoto tak
terlipur penuh. Untuk meringankan hati orang tua itu, Su­kar­­
no­ memutuskan untuk menikahi Utari—meskipun masih me­
ru­pakan ”perkawinan gantung”, sebab Utari masih 16 tahun dan
Sukarno sendiri baru 20.
Yang menarik kisah Bung Karno tentang hari pernikahan itu.
Sang mempelai—seorang yang suka berdandan—datang de­
ngan mengenakan jas, pantalon, dan dasi. Melihat itu, penghu­
lu berkeberatan. ”Anak muda,” katanya, ”dasi adalah pakaian
http://facebook.com/indonesiapustaka

orang yang beragama Kristen... tidak sesuai dengan kebiasaan


kita dalam agama Islam.”
Sukarno membela diri. Cara berpakaian kini ”sudah diperba­
harui”.

Catatan Pinggir 9 631


JUNI

Sang penghulu membentak, pembaharuan itu hanya terbatas


pada pantalon dan jas buka, katanya.
Menghadapi suara keras itu, Sukarno membalas. Ia tak sudi.
Tuturnya: biar ”Nabi sendiri sekalipun tak kan sanggup menyu­
ruh­ku untuk menanggalkan dasi”. Maka ia bangkit dari kursi
dan mengancam membatalkan akad nikah, jika ia harus menco­
pot dasi. Ketika penghulu tak mau mundur, mempelai yang kelak
jadi tokoh utama pergerakan politik untuk kemerdekaan itu ber-
kata: ”Persetan, tuan-tuan semua. Saya pemberontak dan saya
akan selalu memberontak. Saya tak mau didikte orang di hari
per­­kawinan saya.”
Suasana tegang. Tapi akhirnya akad nikah dilakukan bukan
oleh si penghulu, melainkan oleh seorang alim yang ada di antara
tamu....
Insiden ini bukan hanya menunjukkan watak Bung Karno,
me­lainkan juga problem Indonesia zaman itu: bagaimana mem-
bebaskan diri dari penjajahan dan sekaligus dari apa yang disebut
Bung Karno ”pendirian yang kolot”.
Orang ada yang melawan para penjajah Eropa dengan ambil
posisi kembali ke akar yang tertanam di masa lalu. Tapi pemuda
Sukarno tak begitu. Juga Hatta, Tan Malaka, dan sebelumnya
Tjipto Mangunkusumo dan Soewardi Soerjaningrat. Pergerakan
menentang kolonialisme Belanda telah melahirkan sebuah nasio­
nalisme yang lain: melihat ke depan. Nasionalisme itu berkait de-
ngan agenda modernitas.
Bung Karno, dengan prosanya yang penuh api, pernah mence­
mooh para ”oude-cultuur maniak” yang ”pikiran dan angan-
angan­nya hanya merindui candi-candi, Negarakertagama, Empu
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tantular dan Panuluh, dan lain-lain barang kuno”.


Tan Malaka menegaskan bahwa pendapatnya yang dirumus-
kan sebagai ”Madilog” (Materialisme, Dialektika, Logika) ber-
lawanan dengan segala yang berhubungan dengan mistik dan

632 Catatan Pinggir 9


JUNI

ke­gaiban. Tan Malaka, seorang Marxis yang bertahun-tahun


mengembara di Eropa, menyebut semua yang ditentangnya itu
”ketimuran”.
Bagi Hatta, sebagaimana dikatakannya pada 1924 di Belanda,­
Indonesia yang muda harus memutuskan semua hubungan de-
ngan masa lampau ”untuk membangun kehidupan nasional baru
yang sesuai dengan tuntutan peradaban modern”.
Sebuah konfrontasi tak bisa dielakkan. Nasionalisme itu tak
hanya memutuskan kaitan dengan masa silam yang setengah feo-
dal, yang sering disebut ”kebudayaan daerah” atau segala yang
di­kibarkan sebagai bendera identitas lokal. Nasionalisme itu juga
ingin melepaskan diri dari adat yang mengikat kebebasan, lem-
baga lama yang menindas perempuan, keyakinan yang tak mem-
buat orang mencari informasi baru. Bagi nasionalisme ini, kolo-
nialisme harus dihadapi dengan cara yang jadi sumber kekuatan
”Barat”. Para perintis kemerdekaan Indonesia melihat Jepang se-
bagai teladan dan Turki baru sebagai inspirasi. Dalam sebuah tu-
lisan panjang tentang Turki pada 1940, Bung Karno mengutip
sebagai pembuka: ”Kita datang dari Timur. Kita berjalan menuju
Barat.”
Syahdan, pada 1939 ada sebuah berita tentang Bung Karno:
ia meninggalkan sebuah rapat Muhammadiyah sebagai protes.
Bung Karno tak setuju karena ada tabir yang dipasang di sana un-
tuk membatasi tempat perempuan dengan tempat laki-laki.
Maka koresponden Antara pun mewawancarainya. Bung Kar­
no menegaskan: tabir tampaknya ”soal kecil, soal kain yang re-
meh”. Tapi sebenarnya ”soal mahabesar dan mahapenting”, sebab
me­nyangkut posisi sosial perempuan. ”Saya ulangi: tabir adalah
http://facebook.com/indonesiapustaka

simbol dari perbudakan kaum perempuan!”


Bagi Bung Karno, tabir adalah aturan agama yang lahir dalam
sejarah sosial. Seperti halnya kolonialisme, ”perbudakan” seperti
itu bukan hasil dari sabda yang kekal. Ia akan berubah. Ia bisa di-

Catatan Pinggir 9 633


JUNI

ubah.
Itu sebabnya nasionalisme Indonesia mengandung optimis­
me. Hatta, misalnya, percaya kepada dialektika sejarah yang ber­
akar pada Marxisme: tiap keadaan ”menimbulkan syarat yang
mesti mengubah keadaan itu sendiri”.
Tentu, optimisme semacam ini tak selamanya terbukti benar.
Tapi sejak awal abad ke-20 zaman terasa bergerak. Entah ke ma­
na, tapi banyak hal yang tak tumbuh jadi membatu, jadi benda
antik atau ditinggalkan.

Tempo, 20 Juni 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

634 Catatan Pinggir 9


PEMIMPIN

... dia menebarkan ketakutan di benak para musuh kami, dia memberi
ke­kuatan yang lebih hebat ketimbang 1.000 bek dan 10.000.000 kiper.”
—Ri Myong-guk, penjaga gawang Korea Utara, menjelang pertan­
ding­an di Piala Dunia.

T
uhan dan Kim Jong-il tak datang ke Afrika Sela­tan.
Tapi tiap kesebelasan yang bertanding di Sokkerstad
yang mirip belanga Afrika itu harus mengerahkan ke­
kuatan apa saja, termasuk yang gaib, untuk menang. Bagi kiper
Korea Utara, Ri Myong-guk, yang gaib adalah kepala negaranya,
Kim Jong-il. ”Dia pemain terpenting kami,” katanya tentang to-
koh sakit-sakitan yang malam itu mungkin sedang terbaring di
Istana Presiden di Pyongyang, 12.447 kilometer jauhnya dari Jo-
hannesburg.
Syahdan, pada malam dingin menggigit itu, Ri dan 10 kawan-
nya berjuang. Ratusan juta penonton di seluruh dunia menyaksi-
kan bagaimana tim Korea Utara bermain gigih, rapi, efektif.
Tapi mereka melawan Brasil, juara dunia lima kali. Mereka­ka-
lah: 2-1—meskipun kalah dengan bangga, karena mereka telah
menunjukkan permainan yang mengesankan. Dunga, manajer
tim Brasil, mengakui, ”Sangat berat menghadapi lawan yang be-
gitu gigih dan begitu defensif.” Kata Ri, yang memimpin lini be-
lakang, ”Saat menjaga gawang rasanya seperti menjaga gerbang
tanah airku.”
Kalimat itu hiperbolik, memang. Kita tak tahu, tuluskah Ri
http://facebook.com/indonesiapustaka

atau tidak. Sepak bola di Piala Dunia punya daya yang ganjil.
Ia bisa membuat orang (pemain atau penonton) merasa bagian
dari sebuah puak besar yang berapi-api, dari rambut sampai kuku
kaki, mendukung sebuah tim nasional. Ketika sebelum pertan­

Catatan Pinggir 9 635


PEMIMPIN

ding­an Aegukka, lagu kebangsaan Korea Utara, dinyanyikan,


(”Te­kad yang teguh, dipertaut Kebenaran, akan maju tegap ke du­
nia.”), Jong Tae-se, pemain nomor 8, menangis.
Antara tulus dan tak tulus, antara ekspresi yang berlebihan
dan tidak, tampaknya tak ada garis yang jelas di Korea Utara.
Korea Utara bukan lagi sebuah bangsa; ia sebuah umat. Marx-
isme-Leninisme sudah bertransformasi jadi agama. Sebagaimana­
agama, ia membentuk struktur yang direkatkan oleh doktrin.
Aga­ma juga butuh batu-sangga yang menopang dan memperta­
utkan bagian-bagian bangunan itu. Bagi agama pada umumnya,­
batu-sangga itu Tuhan; bagi ajaran juche sebagai ideologi Korea
Utara, batu itu Kim Il-sung. Setelah Kim tua wafat dan putranya,
Kim Jong-il, menggantikan peran itu.
Maka sejak masa kanak, rakyat Korea dibentuk untuk memuja­
Kim. Sebuah studi yang dikutip The Christian Science Monitor
menunjukkan besarnya dana untuk itu. Sementara pada 1990 bi-
aya untuk pemujaan sang pemimpin meliputi 19 persen anggaran
nasional, pada 2004 naik jadi 38,5 persen. Pada masa krisis, ke-
tika alokasi buat pertahanan dan kesejahteraan rakyat diperkecil,
dana untuk sekolah ideologi justru naik. Biaya itu meliputi pera­
watan 30.000 monumen Kim, festival olahraga, film, buku, bill­
board, mural, dan seterusnya.
Belum lagi buat pendidikan sekolah. Di sini, indoktrinasi un-
tuk memuja sang Ketua sangat intensif: antara 304 dan 567 jam
pelajaran. Para murid SD harus mempelajari sejarah masa kecil
Kim Il-sung 152 jam dan Kim Jong-il juga demikian. Di Univer-
sitas Kim Il-sung di Pyongyang ada enam fakultas yang khusus
mengajarkan riwayat dan pemikiran kedua Kim Bapak dan Kim
http://facebook.com/indonesiapustaka

Putra.
Dalam sejarah pemerintahan partai komunis, ini melebihi ta­
karan. Tapi sesuatu yang sebelumnya hanya terdapat pada zaman­
Nazi Hitler dan Fasisme Mussolini ternyata bisa terjadi di kubu

636 Catatan Pinggir 9


PEMIMPIN

sosialis. Di Uni Soviet, muncul fenomena Stalin, yang memimpin


Uni Soviet sejak 1922 sampai wafat pada 1953. Di Cina: Mao Ze-
dong, yang jadi Ketua Partai sejak 1943 hingga 1976.
Tentang Stalin, seorang penyair menulis, dengan hiperbol
lain:

Wahai, Stalin yang agung


Tuan-lah yang menyuburkan tanah
Tuan-lah yang memulihkan abad
Tuan-lah yang mengembangkan bunga di Musim Semi

Tentang Mao, seorang prajurit yang diangkat jadi manusia te­


ladan oleh Partai, Li Feng, menulis catatan hariannya yang terdiri
atas 200.000 kata. Hampir semuanya penuh pujaan:

”Bagiku, karya Ketua Mao ibarat makanan, senjata, dan kemu­


di. Kita harus makan dan dalam berperang kita harus bersenjata.­
Tanpa kemudi, kita tak dapat mengendarai mobil, dan tanpa mem­
pelajari karya Mao Zedong orang tak dapat menempuh karier revo­
lusioner.”

Barangkali manusia selalu butuh pujaan—Tuhan, Nabi, atau


sang Pemimpin. Mungkin juga kultus itu merupakan respons
dari suasana cemas akan terjadinya disintegrasi, yang pada 1960-
an tampak juga di Indonesia, dengan Bung Karno sebagai Pe-
mimpin Besar Revolusi.
Tapi ada kombinasi yang ampuh yang menyebabkan kultus
sang pemimpin berkembang: paduan antara kekuasaan politik
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan kata-kata yang mendukungnya.


Namun ada batas dan bahaya. Ketika untuk meneguhkan se-
buah kekuasaan sederet kata jadi doktrin, dan doktrin jadi slo-
gan, dan slogan jadi mantra, manusia hidup terasing dari proses

Catatan Pinggir 9 637


PEMIMPIN

bahasa. Ia hanya menghafal. Ia makin tak pasti dengan makna


kata yang diucapkannya. Ia juga makin kurang yakin akan tafsir
yang datang dari dirinya sendiri, karena makna ditentukan para
penguasa. Pada gilirannya, para penguasa (elite Partai, misalnya)
juga mengalami keterasingan, karena dalam keseragaman slogan,
mereka tak tahu di mana kata-kata sendiri.
Walhasil, akhirnya perlu satu Kata: apa yang disabdakan sang
Pemimpin.
Dan lahirlah hiperbol: sindrom rasa cemas kepada makna, ka­
rena makna tak dikuasai lagi. Dengan kalimat yang berlebihan,
seseorang mencoba meyakinkan diri dan pendengarnya bahwa
bahasa harus diberi tenaga ekstra, agar sedikit kembali berarti.
Demikianlah Kim Jong-il muncul di kepala dan mulut Ri
Myong­-guk. Ia Tuhan yang mencemaskan. Ia juga Tuhan yang
menenangkan.

Tempo, 27 Juni 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

638 Catatan Pinggir 9


RUMAH

D
I ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, se-
buah dusun di Flores Barat mencoba mengingat.
Di Desa Wae Rebo itu, orang membangun kembali­ru­
mah adat mereka yang berbentuk kerucut—setelah entah berapa
lama hanya empat yang tertinggal dari tujuh yang pernah berdiri,
setelah pohon kayu worok tak mudah lagi didapat untuk bahan
tiang utama, setelah sawah ladang tak cukup bisa membuat sur-
plus. Generasi silih berganti selama 1.000 tahun; mereka mem-
bentuk sejarah, dibentuk sejarah. Kebutuhan baru datang, dan
desa didefinisikan oleh kekurangan yang dulu tak ada. Pada abad
ke-21, ingatan tak lagi berwibawa: hanya sebuah gudang berisi-
kan hal-hal yang aus.
Waktu memang bukan teman untuk Wae Rebo—sebagai
na­ma yang dicoba disimpan dalam ingatan dan dilambangkan
oleh rumah adat. Waktu bukan teman bagi banyak dusun tua
lai­n di Indonesia, di mana rumah pernah memiliki ”kosmisitas”,
di mana (jika saya tafsirkan pengertian Bachelard ini) orang bisa
merasakan getar dari tiang yang menjulang, seakan-akan tiap sa­
at bumi menjangkau yang kosmis.
Kita, hidup di kota yang makin padat, mungkin bahkan tak
la­gi sempat mempedulikan yang kosmis nun di atas. Yang verti-
kal di tempat tinggal dan tempat kerja kini dilambangkan oleh
ba­ngunan bertingkat yang tiap lantai bisa didatangi dengan lift.
Ia jadi sesuatu yang horizontal. Tubuh kita tak mendaki.
Berbeda dengan nenek moyang orang Wae Rebo, kita tak ber-
http://facebook.com/indonesiapustaka

teman dengan ruang. Penghuni Wae Rebo yang hidup di antara­


gunung itu menyadari mereka bagian dari tamasya yang lebih lu­
as ketimbang dusun. Sementara itu, di Jakarta, para pembangun
rumah susun memaksa ruang atau dipaksa ruang; konstruksi

Catatan Pinggir 9 639


RUMAH

mereka lahir dari impuls geometris.


Impuls ini—”geometrisme”, kata Bachelard—menggariskan
batas yang lurus-kaku, dan dengan itu memisahkan apa yang di
luar dan di dalam. Di hampir semua segi kehidupan, ruang terbu-
ka dianggap serasa ancaman, karena akan datang yang ajaib dan
tak dapat dikalkulasi. Manusia tak takut klaustrofobia; mereka
menanggungkan agorafobia.
Tapi barangkali akan berlebihan bila kita terus-menerus me­
nge­luhkan kota-kota zaman ini dan menyesali modernitas. Mo-
dernitas, yang memacu dan dipacu waktu, mendorong X, Y, Z ke
masa lalu, dan kemudian mengubah semua itu jadi nostalgia. Na-
mun nostalgia justru menunjukkan bahwa kita terpaut pada masa
kini: kita memandang X, Y, Z dari posisi manusia masa seka­rang
yang sedang takut kepada lupa.
Maka nostalgia adalah ingatan yang memperindah ingatan.
Sebab itu kita tak perlu mencemoohnya: ia bagian yang memper­
kaya hidup kita sekarang, karena mengakui ada dari masa silam
yang begitu penting, begitu bagus, dan kita ingin tahu.
Maka jika sejumlah arsitek muda dari Jakarta pada suatu ha­ri
di tahun 2009 berjalan berjam-jam mendaki ke Dusun Wae Re­
bo,­dan di sana mengagumi konstruksi rumah adat itu, jika mere­
ka kemudian membentuk sebuah yayasan buat menghidupkan
lagi kepiawaian arsitektural di pelosok-pelosok Indonesia, jika ke-
mudian ada dermawan yang membiayai usaha untuk mensyukuri­
tanah air dengan cara yang kreatif itu—itu semua menunjukkan
bahwa nostalgia itu adalah bagian dari pencarian hal-hal yang
baru dan berbeda. Buku yang kemudian mereka terbitkan, Pesan
dari Wae Rebo (editor Yori Antar, terbitan Gramedia Pustaka Uta-
http://facebook.com/indonesiapustaka

ma, 2010) adalah rekaman semua itu.


Rasa ingin tahu itu sebenarnya mengandung kritik. Di situ ia
sebenarnya bagian dari modernitas, yang tak mau hanya meneri-
ma apa yang ada. Dan modernitas bergerak karena kritik itu juga

640 Catatan Pinggir 9


RUMAH

tak jarang ia tujukan ke dalam dirinya sendiri.


Salah satu otokritik yang terkenal menunjuk kepada ketak-
mampuan kita untuk merasakan tempat kita tinggal sebagai ba-
gian dari Hidup yang tiap kali membuat takjub. Kini kita kehi­
langan pesona dunia: harum kembang, suara burung, warna fa­
jar,­ telah jadi ”pengetahuan”. Rumah telah jadi kamar persegi
pan­jang.
Heidegger, yang dengan suara berat melakukan otokritik ke-
pada abad ke-20, mengingatkan kita akan makna kata bauen.
Baginya, makna kata itu bukan saja mengacu kepada ”memba­
ngun”,­ tapi juga hidup di bawah langit, hidup di antara semua
yang fana, tapi juga bagian dari apa yang tumbuh—baik karena
benih sendiri atau diolah jadi kebudayaan.
Tapi di mana kini kita bisa bicara seperti itu?
Ini abad ke-21. Otokritik itu juga perlu kritik. Manusia tak la­gi,
untuk menggunakan kalimat penyair Hölderlin di Jerman­abad
ke-18, ”berdiam secara puitis” (dichterisch wohnet der Mensch).­Di
kota-kota Indonesia yang padat, manusia berhubung­an dengan
ruang hidupnya sebagai prosa dengan angka-angka di akta tanah.
Tapi tak hanya itu. ”Berdiam secara puitis” agaknya hanya bi­
sa diutarakan oleh mereka yang punya rumah yang sejuk dan te­
nang,­ mungkin bahkan dengan hutan dan sungai di dekatnya.
Tak semua orang punya privilese itu. Kuli bangunan yang meng­
inap­dari tempat ke tempat, para pemulung yang membuat kere-
ta-kotak jadi kamar tinggal mereka yang bisa diparkir di mana
saja, punya pengertian lain tentang ”rumah”.
Pada akhirnya, rumah adalah respons kepada kebutuhan tu-
buh, yang berkembang jadi rencana dan imajinasi. Ingatan ten-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tang rumah masa lalu hanya penting jika ia bagian dari respons
itu. Di situlah rumah adat dan rumah darurat punya titik temu-
nya. Bukan dalam bentuk, tapi dalam kreativitas: kemampuan
me­nemukan cara yang pas, di suatu masa, di suatu tempat, di se-

Catatan Pinggir 9 641


RUMAH

buah kondisi berkelebihan dan berkekurangan.


Maka kita akan dapat sesuatu yang berharga jika dari Desa
Wae Rebo kita temukan sesuatu yang baru di dalam bentuk fisik
yang tampak lama. Kita mengingat, tapi kita tak mengulangi.
Sejarah tak bisa diulangi. Sejarah berubah. Antara lain melalui
kreasi.

Tempo, 4 Juli 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

642 Catatan Pinggir 9


REPETISI

P
ada suatu hari saya berjalan dalam sebuah mall, di se­
panjang deretan etalase. Seakan-akan melangkah di atas
ruas jalan yang telah dipindahkan dari tengah kota ke se-
buah interior, saya tertegun. Beberapa detik lamanya, saya tak
tahu saya sedang di mana.
Di saat itu saya sadar, sebuah mall bukanlah sebuah titik da­lam
peta bumi. Ia bukan sebuah lokasi; berada jauh dari langit dan ta-
nah, ia seakan-akan tak tersentuh waktu + unsur alam. Di mana
pun letaknya, ia sesuatu yang generik: sebuah atau serangkai­an­
bangunan besar yang berisi pelbagai toko dan restoran. Untuk­
nya, konteks tak diperlukan.
Mungkin karena mall adalah sebuah pengulangan. Saya bisa
ber­pindah dari yang satu ke yang lain dan mengalami hal yang
sa­­ma. Toko-toko itu memajang merek yang sama pula dari satu
ba­­ngunan ke bangunan lain. Baik di Orchard Road, Singapura,­
maupun di Senayan, Jakarta; baik di Brunswick, Melbourne,
maupun di Queensway, Hong Kong, model-model yang ditam­
pil­kan di pelbagai tempat itu praktis serupa—setidaknya dengan
potongan tubuh dan gaya yang tak berbeda—dengan kaca-kaca
etalase yang bermiripan.
Repetisi tampaknya punya peran tersendiri di sini. Ia perpan-
jangan dari sifat fashion. Fashion, atau mode, tiap kali memang
memperbarui diri, tetapi sebenarnya ia merupakan cerminan
peng­­ulangan. Ia hidup dengan membuat keinginan datang ber­
ulang­kali untuk memperoleh merek favorit itu lagi, lagi, dan lagi.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ia juga perlu mengulang-ulang kehadirannya karena ia adalah


penanda yang ingin diingat. Sebagai keseluruhan, etalase-etalase
dengan manekin dan poster yang itu-itu juga ingin meninggal-
kan bekas di bawah sadar kita, agar mereka (Zara, Prada, Giorgio­

Catatan Pinggir 9 643


REPETISI

Armani, Versace...) terkait secara permanen sebagai penanda ke-


molekan, ketampanan, kemutakhiran, yang makin memenuhi
angan-angan kita.
Di dalam etalase mall itulah agaknya pelbagai komoditas, di-
wakili manekin berdandan dan poster wajah + tubuh yang memi­
kat, ”seakan-akan sosok-sosok yang otonom” yang hadir ”dengan
kehidupan mereka sendiri”, seperti dikatakan Marx ketika ia ber-
bicara tentang ”fetisisme komoditas” dalam Das Kapital. Benda-
benda itu bukan lagi seperti produk dan kreasi orang. Mereka
berhubungan dengan sesama mereka, selain dengan umat manu-
sia.
Demikianlah di kaca-kaca yang tak kunjung habis itu mereka
bersaing, tapi semua melihat ke arah kita, mengajak kita masuk
ke dalam dunia di mana mereka jadi pusat. Kaca itu seakan-akan
menyediakan diri sebagai cermin. Dan sebagaimana layaknya
cermin, ia menyajikan ilusi tentang diri yang utuh. Ia juga men-
dorong kita untuk melihat diri sendiri silih berganti antara ”tam-
pan” dan ”kurang tampan”.
Dalam peralihan itu, lahirlah hasrat. Hasrat adalah tanda ma-
nusia sebagai kekurangan. ”Menghasratkan,” kata Gabriel Mar-
cel, yang menulis sebuah telaah fenomenologis yang terkenal ten-
tang ”punya” (l’avoir), ”adalah punya tanpa mempunyai.”
”Punya” mengandung ketegangan, antara yang empunya dan
yang dipunyai, antara qui dan quid. Di satu pihak, sesuatu yang
dipunyai, quid, adalah sesuatu yang di luar aku yang empunya,
qui. Tapi di lain pihak, ia bagian dari diriku. Itu sebabnya, kata
Mar­cel, ”Ada semacam penderitaan atau perasaan terbakar yang
me­rupakan satu bagian hakiki dari hasrat”—satu kesimpulan
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang berabad-abad sebelumnya telah disebutkan Sang Buddha


dalam kata dukha.
Termasuk dalam penderitaan, ketakseimbangan, keterasing­
an itu adalah convoitise, sebuah sikap yang dalam bahasa Jawa

644 Catatan Pinggir 9


REPETISI

disebut mélik. Dalam Baoesastra Djawa yang dihimpun W.J.S.


Poerwadarminta (1939), kata itu berarti ”hasrat atau keinginan
untuk mengambil, memiliki”.
Salah satu sifat mélik: ia tak punya obyek tertentu. Keinginan
itu lebih merupakan keinginan mempunyai tanpa sasaran yang
su­dah dipilih sebelumnya. Ada unsur rasa cemburu dan gelora
ha­ti di dalamnya yang berbau busuk. Sebuah kata-kata mutiara
Jawa yang terkenal memperingatkan bahaya itu: mélik nggén­
dhong­lali—hasrat dan kecemburuan untuk memiliki membawa
dalam dirinya sikap melupakan perilaku yang baik.
Tapi mall demi mall, etalase demi etalase, pada akhirnya ada­
lah kuil-kuil di mana fetisisme komoditas jadi ritual, dan mélik
jadi ketaatan. Tentu, tak semua menyebabkan lahirnya perilaku
bu­ruk. Kapitalisme, yang melembagakan hasrat dan iri hati, pa­
da akhirnya menggerakkan dunia. Bahkan Marx sendiri menga­
takan bahwa manusia, sebagai makhluk yang dibentuk dari tu-
buh yang melihat, menghidu, menyentuh, mencicip, dan mende­
ngar, yang haus dan lapar, adalah makhluk yang menderita (lei­
dendes Wesen) dan sebab itu, dengan gairah, dengan semangat, ia
men­dapatkan kekuatan menggapai obyeknya.
Tapi saya ingat sebuah lukisan kaca dari Jawa Tengah: Petruk
(seperti mengacu ke parodi wayang terkenal, Petruk Jadi Raja) du­
duk di kursi, memangku seorang perempuan, salah satu tangan­
nya­memegang botol minuman. Ruangan besar, ada tanda-tanda
kekayaan yang untuk ukuran sang pelukis rakyat sangat mewah.­
Di gambar itu tertulis huruf-huruf Jawa: mélik nggéndhong lali.
Hasrat dan convoitise pada akhirnya bukan saja melahirkan nafsu­
tubuh, tapi juga hilangnya batas pengertian milik. Milik yang se-
http://facebook.com/indonesiapustaka

lalu berarti privat, bergerak ke luar. Dari sinilah akumulasi ter-


jadi: menghimpun modal jadi kekuasaan, menguasai puluhan
ru­mah secara sah dan tak sah, menyimpan harta dari penyalah-
gunaan milik publik.

Catatan Pinggir 9 645


REPETISI

Tapi di mana akhirnya? Mall demi mall, etalase demi etalase,


akan selalu mengulangi ritualnya. Manusia hanya bisa bebas jika
ia melintasi obsesi ini: milikku, milikku, milikku....

Tempo, 11 Juli 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

646 Catatan Pinggir 9


ATHEIS (2)

B
eberapa menit sebelum ia roboh tertembak, Hasan
ma­­sih membandingkan dirinya dengan ”Hamlet si Tu-
kang Sangsi”.
Kita ingat Hasan. Ia tokoh utama Atheis—sebuah novel yang
tak bisa dilupakan sejak terbit pada 1949. Penulisnya, Achdiat K.
Mihardja, meninggal pekan lalu di Canberra, Australia. Penga­
rang kelahiran Garut ini mencapai usia 99. Tapi, seperti nasib
tiap sastrawan yang punya karya yang berarti, usia sepanjang itu
masih akan kalah lanjut ketimbang apa yang ditulisnya.
Terutama karena Atheis, lebih dari 60 tahun setelah pertama
ka­li beredar, pantas jadi sebuah klasik. Prosa Achdiat masih terasa­
segar, cara berceritanya sama sekali tak aus, frase-frasenya masih­
bisa mengejutkan. Di samping itu, Hasan ”si Tukang Sangsi” te­
tap­tokoh yang tak ada duanya dalam sastra Indonesia. Lebih lagi:
ia bisa melintasi zamannya sendiri.
Mungkin karena apa yang ada dalam zaman itu, masa akhir
1930-an, belum juga mati pada hari ini: perubahan besar dalam
se­jarah modern yang terkadang tak tertanggungkan guncangan-
nya, baik bagi seorang yang sederhana maupun pada hal-hal yang
luhur dan sakral.
Hasan seorang sederhana. Di akhir cerita, ia ditembak pa­su­
kan­Jepang, tapi ia bukan seorang pelawan. Pada jam malam di
Ban­dung itu ia lari dari hotel tempatnya menginap karena ia ka-
lap, galau, marah, dan cemburu, ketika mengetahui istrinya per-
nah menginap di hotel itu bersama temannya, Anwar.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ia lari. Lari terus. Di sekitarnya jalan sepi. Orang sudah dipe­


rin­tahkan menyingkir dan lampu-lampu dipadamkan. Ia tak pe­
du­li. Teriak hatinya bersilang selisih dengan teriak peringatan pe­
tugas keamanan.

Catatan Pinggir 9 647


ATHEIS (2)

Akhirnya tembakan dilepaskan. Paha kirinya tembus. Ia ter-


guling. Ia ditangkap, karena disangka mata-mata. Tubuhnya
yang TBC itu disiksa Kenpetai. Di suatu hari pada 1945 itu ia ma­
ti di tangan pasukan pendudukan yang sudah kalah perang. Bu-
kan sebagai pelawan.
Hasan terlampau rapuh untuk jadi pelawan. Ia seorang yang
ter­­gerus oleh, tapi juga terasing dari, proses yang membentuk di­
ri­­nya. Apa mau dikata: proses itu selalu diduduki pihak lain.
Pada waktu ia muda, orang tua, Tuhan, dan horor menghuni­
se­luruh dirinya. Putra ménak bergelar raden dari sebuah kampung­
di Garut itu pada usia remaja memutuskan untuk mengikuti jejak
ayahnya: ”menganut ilmu mistik”. Mungkin karena ia terpenga-
ruh ayahnya yang alim. Tapi terutama karena ia takut.
”Sebagai anak kecil aku sudah dihinggapi perasaan takut ke-
pada neraka,” tuturnya. Dari para pembantu rumah tangga kelu-
arga itu ia dapatkan cerita-cerita siksa Tuhan yang tak alang ke-
palang. Maka, katanya pula, ”Aku sangat taat menjalankan pe­
rin­tah Ayah dan Ibu tentang agama.”
Ia pernah berpuasa tujuh hari tujuh malam, mandi di Kali Ci-
kapundung 40 kali dalam semalam, mengunci diri di kamar se-
lama tiga hari tanpa makan, tidur, dan bicara. Tapi semua bukan
tumbuh dari kerinduan kepada Yang Maha Mempesona, tapi da­
ri kengerian kepada Yang Maha Ngeri.
Kengerian itu merundungnya sampai saat-saat akhir. Ia teng-
gelam dalam tata simbolik yang diwakili ”Ayah” (dan ”Tuhan”)
yang membentuk fiilnya dengan deretan kata ”tidak boleh”.
Iman dan Islam-nya adalah rasa waswas. Agama jadi garis demar-
kasi. Ia memproteksi diri, dan sebagai akibatnya ia terjepit dalam
http://facebook.com/indonesiapustaka

liang­perlindungannya sendiri. Apa yang tinggal dari dirinya bu-


kan lagi sebuah subyek yang bebas, melainkan obyek yang ter-
sisih, terasing, dari hidup.
Itu sebabnya ia tak mudah tegak. Ia rentan ketika berhubung­

648 Catatan Pinggir 9


ATHEIS (2)

an dengan dunia di luar garis itu.


Bekerja di jawatan air minum kota praja Bandung, pada suatu
hari ia bertemu dengan Rusli, sahabatnya di masa kecil. Dari
Rus­li ia berkenalan dengan Kartini, perempuan 20 tahun yang
meng­ubah hidupnya. Atau lebih tepat, karena ia jatuh cinta kepa­
da­gadis itu, ia masuk ke sebuah kancah yang mengguncangkan
hidupnya.
Rusli. Kemudian Anwar, seorang seniman anarkis. Kemudian­
Parta, seorang aktivis politik sayap kiri. Merekalah orang yang
me­rasa mewakili sebuah masa depan: modernitas yang yakin, se-
perti diucapkan Parta, bahwa ”tekniklah Tuhan kita”. Bagi mere­
ka, tentu saja mengutip Marx, agama adalah ”madat” yang dibu-
tuhkan orang banyak karena kondisi kehidupan yang nestapa.
Hasan tak mampu menghadapi atau menangkis argumen se-
perti itu—karena ia memang tak pernah bergulat dengan perta­
nya­an dan keraguan tentang iman dan agamanya. Karena ia me­
ra­sa tak kuasa. Karena ia sudah jadi obyek, bukan subyek, agama.
Tak terbiasa jadi diri yang merdeka dalam hati dan pikiran, ia
akhirnya mengikut saja pandangan Rusli yang menyatakan diri
”atheis”. Tapi pergeseran pandangannya lebih didorong oleh rasa
ter­tariknya kepada Kartini ketimbang keyakinan yang timbul—
keyakinan sebagai hasil renungan yang digeluti dan menggeluti­
nya.
Maka, sampai akhir ceritanya, ia terombang-ambing antara­
me­milih untuk mengingkari Tuhan dan kembali ke ajaran tare­
kat­nya. Ia sendiri tahu ia bahkan lebih pengecut ketimbang
Ham­let dalam lakon Shakespeare. Ia tetap kecut disebut ”atheis”
bukan karena ia tak bisa hidup tanpa Tuhan, tapi karena, sekali
http://facebook.com/indonesiapustaka

la­gi, ia takut siksa neraka.


Hasan sebagai tokoh novel unik, tapi ia agaknya bukan satu
per­kecualian. Saya kira Marx keliru jika ia hanya menganggap
agama sebagai ”suara keluh (der Seufzer) dari orang-orang yang

Catatan Pinggir 9 649


ATHEIS (2)

tertindas”. Yang tak dialami banyak orang seperti Hasan adalah


agama yang mengekspresikan suara yang terpesona, gentar, dan
bersyukur—atau agama sebagai pengakuan bahwa kita ada, da­
lam kemerdekaan yang bersahaja, bersama dengan yang tak kekal
namun tak terhingga.
Sumbangan novel Atheis kepada zaman ini adalah mengisah-
kan tragisnya sebuah iman yang sebenarnya sebuah ketakutan.

Tempo, 18 Juli 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

650 Catatan Pinggir 9


14 JULI 1789

T
ak ada apa-apa hari itu. Dan Louis XVI pun mencatat
dalam buku hariannya: ”rien”.
14 Juli 1789. Di Istana Tuileries yang ia diami sejak ia di­
desak meninggalkan Versailles dan pindah ke Paris, Raja Prancis
itu tak tahu yang terjadi beberapa belas kilometer dari kursinya.
Menjelang senja yang panjang hari itu, Penjara Bastille direbut
rak­yat.
Tembak-menembak berlangsung sejak lewat tengah hari. Se-
belumnya, di depan halaman luar penjara itu, sekitar 900 warga­
Paris berhimpun: tukang kayu, pembikin gembok, penjahit,
pem­buat topi, pedagang anggur, pengusaha cabaret, pemilik pa­
brik bir, dan tentara yang diam-diam meninggalkan induk pasu-
kan.
Sebenarnya mereka cemas.
Sebagaimana dikisahkan kembali oleh Simon Schama dalam
Ci­tizens, kecemasan itu berjangkit sejak malam sebelumnya. Ada
desas-desus, pasukan disiapkan untuk memadamkan para pem-
bangkang yang menentang Raja. Keadaan genting. Orang marah
di mana-mana. Harga roti mencekik. Di Lyon terbit kerusuhan.
Di Paris beberapa kali kantor cukai diserbu. Tentara disiagakan
un­tuk mengawal pasar penjualan gandum atau konvoi yang
meng­angkut tepung.
Awal Juli juga mencekam penduduk miskin, sebab itulah ma­
sa ketika segala utang & sewa harus dibayar. Sehari sebelum tang-
gal 7, ketika terme tiba, tampak keluarga-keluarga meninggalkan­
http://facebook.com/indonesiapustaka

tempat sewaan, membawa kain yang biasa mereka sambung-sam­


bung untuk turun dari jendela kamar mereka semula. Mere­ka­
ber­jalan di sepanjang kota dalam eksodus yang tak jelas.
Akhirnya orang pun mencari biang keladi. Dugaan beredar

Catatan Pinggir 9 651


14 JULI 1789

bahwa di balik semua itu ada siasat kaum aristokrat. Para bang-
sawan ini membuat rakyat lapar karena ingin menyingkirkan
Jacques Necker, menteri keuangan, seorang bankir asal Swiss
yang dianggap mampu menyelamatkan Prancis dari kebangkrut­
an. Dugaan itu tak benar, tapi Necker memang dimusuhi kelas
atas itu. Dalam catatan sejarah, ia cakap dan jujur. Ia bahkan siap
mengorbankan hartanya untuk jadi jaminan impor pangan dari
Amsterdam. Tapi semuanya terlambat. Prancis menanggungkan
musim dingin yang ganas. Selain transportasi yang rusak, perang
Turki-Rusia dan konflik politik di Baltik membuat suplai pangan
tak mudah.
Ibu kota makin rusuh. Ketakpuasan menjalar ke kalangan mi­
liter yang lebih memihak le troisieme état, penduduk yang bukan
da­ri kalangan aristokrat ataupun Gereja. Sementara itu, milisia
yang dibentuk untuk menertibkan kerusuhan, gardes françaises,­
yang terdiri atas anak-anak muda dari pedesaan, ikut tak setia.
Ber­sama penduduk, mereka akhirnya jadi bagian dari ”penakluk
Bastille”.
Penjara ini sebenarnya sudah tak berfungsi penuh lagi. Peme­
rin­tah sedang merencanakan akan merobohkan gedung nomor
232 di rue Saint-Antoine itu. Dibangun pada akhir abad ke-14 se-
bagai benteng, bangunan 4½ lantai itu diubah jadi penjara pada
abad ke-17. Di sanalah dikurung anak nakal yang diminta keluar-
ganya agar disekap, atau para penulis yang dianggap menghasut
atau cabul. Voltaire sudah dua kali dikurung sebentar. Marquis
de Sade termasuk penghuni terakhir.
14 Juli itu, hanya tinggal tujuh yang di dalam. Empat orang
ada­lah penipu. Seorang bangsawan nakal yang dimasukkan atas
http://facebook.com/indonesiapustaka

permintaan keluarga sendiri. Dua yang lain orang gila. Tak ada
la­gi pembangkang.
Kondisi penjara itu juga tak buruk amat. Marquis de Sade (dari
mana kata ”sadisme” berasal, dan sebab itu ia disekap) diperbo­

652 Catatan Pinggir 9


14 JULI 1789

leh­­kan membawa berjenis-jenis pakaian, sarung beledu buat ban-


tal, tiga macam pewangi, dan 133 buku. Ia bahkan memanfaat-
kan kesempatan yang unik: ia naik ke jalur menara, dan dengan
me­makai pengeras suara yang dibuat dari ketopong logam pena-
dah kencing, ia berpidato ke arah jalan raya tentang kekejaman
yang dialaminya. Ia tak diapa-apakan. Ia bahkan bebas seminggu
sebelum 14 Juli. Tapi Bastille tak bisa mengelakkan diri dari kon-
flik dan ketegangan yang akhirnya meledak hari itu.
Gubernur penjara, De Launay, cemas akan keadaan yang ma-
kin rusuh di Paris, memperlengkapi Bastille dengan 250 barel
amu­nisi dan 15 kanon di delapan menara setinggi 20 meter itu.
Ada tiga pucuk lagi yang terarah ke gerbang. Lebih dari 12 senjata
api lain, yang bisa menembakkan peluru setengah kilogram, di-
siapkan di tembok.
Orang ramai yang datang hari itu sebenarnya cuma hendak­
mengambil amunisi dan kanon itu. Mereka takut semua itu akan
dipakai untuk membungkam mereka. Tapi perundingan ber­
lang­sung alot. Akhirnya bentrokan tak terelakkan. Para penjaga
Bastille tak bisa bertahan.
De Launay ditangkap. Tapi ia tak menyerah. Ia berteriak,
”Biar­kan aku mati!” dan menendang orang sekitarnya. Ia segera
tewas oleh pelbagai senjata tajam. Seseorang memotong lehernya
dengan pisau saku. Kepalanya diarak.
Apa yang terjadi sebenarnya? Raja bertanya kepada orang
yang melaporkan kejadian hari itu: ”Pemberontakan?”Sang pela­
por menjawab, ”Bukan, Paduka, revolusi.”
Tak jelas sebenarnya apa bedanya. Meskipun banyak yang di­
lebih-lebihkan dalam kisah perebutan Bastille, kata ”revolusi”
http://facebook.com/indonesiapustaka

men­dapatkan auranya tersendiri. Sebuah événement telah mene­


mukan nama yang menggugah. Sejak itu orang tak berpaling
dari apa yang mengimbau dari aura itu. ”Revolusi” disebut sam-
pai abad-abad berikutnya, jadi penanda hasrat untuk menghadir­

Catatan Pinggir 9 653


14 JULI 1789

kan apa yang diserukan di Prancis hari-hari itu: kemerdekaan,


kesetaraan, dan persaudaraan bagi siapa saja dan kapan saja—se­
su­atu yang menjangkau yang tak terhingga.
Mungkin sebab itu 14 Juli itu penting: yang tak terhingga itu
lahir dari sejarah, bukan dari ketiadaan, ex nihilo, bukan pula
dari titah Tuhan.

Tempo, 25 Juli 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

654 Catatan Pinggir 9


ANAK

H
AMPIR tiap hari kita menyaksikan anak-anak yang di-
hilangkan. Orang-orang dewasa telah menguasai me­
re­ka. Di layar televisi, mereka dibikin menyanyi seperti
para biduan komersial menyanyi, berkhotbah seperti para kiai
berkhotbah, bersaing seperti para pecundang dewasa bersaing.
Mereka dicetak. Model mereka bukan datang dari imajinasi
sendiri. Mereka dikepung. Di rumah, di sekolah, di tempat iba-
dah, anak-anak harus mengikuti apa yang dipetuahkan. Si bocah
mesti menuruti tatanan simbol yang dijadikan sendi kehidupan
ibu-bapak.
Tentu, masih ada dunia fantasi mereka sendiri. Tapi ini pun se­
bagian besar sudah dibentuk oleh selera orang-orang yang punya­
pe­ngaruh: pemilik taman hiburan, entrepreneur baju dan sepatu,
industri mainan, produser acara TV, pengelola jasa iklan, peng­
arah­kindergarten dan sekolah dasar.
Lewat itu semua, tiap hari anak-anak sedang hendak dihilang­
kan.
Mungkin ini tanda-tanda dua masa yang cemas.
Yang pertama masa ketika kita cemas kalau-kalau sebuah­ge­­
ne­rasi baru akan meninggalkan tradisi—sisa simptom ma­sya­ra­
kat­­petani yang berubah. Dalam masyarakat agraris, ketika per­
ubah­an teknik dan nilai-nilai hampir tak terasa, orang bisa berta­
han dengan ingatan dan masa lalu kolektif. Mereka gentar kepa­
da yang baru, malah mungkin tak merasa butuh dengan yang
baru.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tapi masa ini juga masa ketika modal, persaingan, perbedaan,


dan perubahan mendesak. Merasa dilecut, orang-orang tua de-
ngan agak gugup dan tak sabar mempersiapkan anak mereka un-
tuk masuk ke dunia yang baru—yang sebenarnya bukan dunia

Catatan Pinggir 9 655


ANAK

anak-anak.
Di tengah kecemasan itu, acap kali anak hanya diberi, tapi de-
ngan sikap yang mendua. Sang pem­beri, si orang tua, merasa diri
berkorban, dan dengan pengorban­an itu memposisikan diri lebih
mulia. Saya kira ambivalensi itulah yang tecermin dalam satu sa-
jak Amir Hamzah yang ditulis pada tahun 1930-an:

Anak lasak mengisak panjang


Menyabak merunta mengguling diri
Kasihan ibu berhancur hati
Lemah jiwa karena cinta

Sajak itu mencerminkan pandangan orang tua: si bocah di­


nilai­ lasak dan manja, dan orang tua dinyatakan penuh ikhlas­
me­layani. Tapi tak ada peluang si anak untuk menampilkan su­
dut pandangnya. Amir Hamzah, seperti banyak sastrawan Indo­
nesia lain, tak menghadirkan karya dengan perspektif anak-anak
yang menggugat kearifan orang dewasa—satu hal yang kita te­
mu­kan dalam Pangeran Kecil Antoine de Saint-Exupèry.
Maka bukan hal yang mengherankan anak-anak disisihkan
tiap hari.
Tapi agaknya bukan hanya Indonesia yang menyaksikan ke­
ter­sisihan itu. Di awal abad ke-20, ketika kapitalisme industri ma­
kin kukuh, Eropa merasakan hilangnya saat-saat anak—hilang-
nya suasana ketika kita bisa, (dalam kata-kata Tagore), ”duduk di
atas debu, bermain dengan ranting patah sepanjang pagi”.
Kian lama kehidupan kian ditentukan oleh ”hasil”, ”guna”,
”per­hitungan”, ”efisiensi”, dan aturan-aturan yang pakem. Orang
http://facebook.com/indonesiapustaka

ingin terus-menerus menguasai ruang dan waktu. Maka, yang se­


mula hidup dibuat beku. Cara pun jadi formula, alam jadi proyek,
ibadah jadi ritual, yang disembah jadi berhala, kesenian jadi klise,
dan benda yang akrab ke dalam hatiku cuma jadi benda yang tiap

656 Catatan Pinggir 9


ANAK

saat bisa dipertukarkan dengan benda lain. Mungkin inilah yang


disebut Hegel sebagai ”kehidupan yang bergerak sendiri tapi se-
benarnya tersusun dari bentuk-bentuk yang mati”, ein sich in sich
selbst bewegende Leben des Todes.
Pada saat itulah kalkulasi jadi paradigma. ”Orang dewasa,”­
kata sang Pangeran Kecil dalam karya De Saint-Exupéry itu,
”me­nyukai angka-angka.” Orang dewasa (sebuah kiasan untuk
”orang modern” atau lebih tepat ”borjuis”) hanya mampu melihat
se­tangkai mawar sebagai eksemplar dari mawar yang lain. De­
ngan­ kata lain, ”mawar” telah jadi konsep yang abstrak, bukan
ke­hadiran yang singular dan tak terbandingkan.
Pangeran Kecil sebenarnya sebuah penyesalan. De Saint-Exu-
péry menyesali hilangnya sebuah dunia di mana imajinasi bebas
jadi paradigma.
Imajinasi bebas itu, bagi para penyair, diteladankan oleh ke­
asyik­an anak-anak. Sebelum Tagore dan De Saint-Exupéry, Ril­
ke­sudah mengemukakan hal itu, di tahun 1901: hanya anak, bu-
kan orang dewasa, yang dapat menemukan keindahan ”dalam
sekuntum bunga, dalam sekerat batu, dalam kulit kayu, atau di
se­helai daun birka”. Orang dewasa tak mungkin merayakan ben-
da-benda sepele itu. Mereka, tulis sang penyair, hanya ”berkisar
dalam urusan dan kecemasan, seraya menyiksa diri sendiri de-
ngan sega­la detail.
Tapi Rilke juga menyadari: pada gilirannya anak-anak ber­
ubah. Kita telah mengubah mereka. Kita telah menggantikan
pan­dang mereka yang intuitif dengan pandang yang rasional.
Me­reka kita dorong memandang bunga, batu, daun sebagai ben-
da mati yang bisa dimanfaatkan. Maka hadirlah kebekuan. Rilke
http://facebook.com/indonesiapustaka

mengungkapkannya dalam Elegi ke-8 dari seri Elegi Duino yang


terkenal itu:

... sebab telah kita balikkan arah anak-anak memandang

Catatan Pinggir 9 657


ANAK

Hingga ia menatap ke belakang, ke arah apa yang mapan


Bukan ke sana yang terbuka, yang tersembunyi
Dalam tatapan hewan: bebas dari kematian.

Dan hampir tiap hari kita menyaksikan anak-anak yang dihi­


langkan.

Tempo, 1 Agustus 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

658 Catatan Pinggir 9


AHMADIYAH

P
ada suatu hari di bulan November 1936, Bung Karno­
menerima sepucuk pos. Di zaman ketika komunikasi­
ma­­sih sangat terbatas, surat itu dikirim seseorang dari
Ban­dung dengan kapal biasa ke Kupang, di Pulau Timor bagian
barat; dari sana ia diterbangkan sebagai vliegpost (pos udara) ke
Ende, tempat Bung Karno waktu itu hidup sebagai orang buang­
an.
Surat itu ditulis seorang teman. Ia bercerita bahwa harian Pe­
mandangan memuat satu informasi kecil: Bung Karno telah men­
dirikan cabang Ahmadiyah dan ”menjadi propagandis Ahmadi-
yah” wilayah Sulawesi.
Saya tak tahu kaget atau tidakkah Bung Karno mendengar ce­
rita fiktif tentang dirinya itu. Mungkin tidak. Ia sudah siap men-
dengar tuduhan yang bermacam-ragam, termasuk ”anti-Islam”,
karena pandangannya yang kritis tentang perilaku umat Islam di
Indonesia. Meskipun demikian, Bung Karno membantah. De-
ngan tenang sekali.
”Saya bukan anggota Ahmadiyah,” demikian ditulisnya da­
lam suratnya bertanggal 25 November tahun itu, yang bisa kita
te­mukan dalam buku Dibawah Bendera Revolusi. Karena ia bu-
kan anggota, kata Bung Karno pula, ”Mustahil saya mendirikan
cabang Ahmadiyah atau menjadi propagandisnya.” Apalagi un-
tuk wilayah Sulawesi: ia tak akan sampai ke sana. Sebagai orang
yang diasingkan dan diawasi pemerintah kolonial Belanda, Bung
Karno bahkan tak akan diizinkan untuk ”pelesir ke sebuah pulau
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang jauhnya hanya beberapa mil sahaja dari Ende”.


Tapi dari peristiwa ini tampak: Islam di Indonesia punya prob-
lem yang tiap kali seperti didaur ulang. Tahun 1936, seperti 2010:
ada kecurigaan kepada orang yang mengemukakan pendapat

Catatan Pinggir 9 659


AHMADIYAH

lain tentang Islam. Tahun 1936, seperti 2010: ada sikap berseteru
ter­hadap gerakan dan keyakinan Ahmadiyah.
Di tahun surat Bung Karno ditulis itu, permusuhan terhadap
Ahmadiyah sudah sekitar tujuh tahun umurnya. Meskipun mu-
la-mula tak ada gejolak apa pun. Pada awalnya sekitar 20 pemuda
Islam dari Sumatera Barat datang ke India untuk belajar agama di
Qadian. Tahun 1925: mubalig pertama Ahmadiyah Qadian sam-
pai ke Tapaktuan, Aceh. Ia kemudian ke Sumatera Barat. Pada
1926, organisasi Jemaat Ahmadiyah berdiri.
Sampai di sini, belum ada konflik yang tercatat, meskipun ka-
langan Ahmadiyah Qadian percaya bahwa Mirza Ghulam Ah-
mad seorang pembaharu dan sekaligus ”nabi” tapi nabi yang tak
mem­bawa syariat baru.
Konflik pertama justru terbuka di Yogya, dan ini berhubung­
an­ dengan Ahmadiyah Lahore, yang tak menganggap Mirza­
Ghu­­lam Ahmad seorang nabi, melainkan seorang mujaddid
(pem­baharu).
Awalnya sebuah ukhuwah. Tahun 1924, dua pendakwah ge­
rak­an ini, Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad, datang
ke Yogya. Djojosugito, sekretaris Muhammadiyah, mengundang
mereka untuk berpidato di muktamar, dan menyebut Ahmadi-
yah sebagai ”organisasi saudara Muhammadiyah”. Tapi, setelah
sebuah perdebatan, Muhammadiyah melarang paham Ahmadi.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-18 di Solo, pada 1929, di­
nya­takan bahwa ”orang yang percaya akan Nabi setelah Muham-
mad SAW adalah kafir”. Djojosugito dipecat. Ia mendirikan Ge­
rak­an Ahmadiyah Indonesia, 4 April 1930.
Takutkah Bung Karno dikaitkan dengan paham ini? Dari
http://facebook.com/indonesiapustaka

na­da suratnya, tidak. ”Saya tidak percaya bahwa Mirza Ghulam


Ahmad seorang nabi dan belum percaya ia seorang mujaddid,”
kata­nya. Tapi Bung Karno memuji pelbagai buku dan tulisan da­
ri kalangan Ahmadi. ”Saya dapat banyak faedah daripadanya.”

660 Catatan Pinggir 9


AHMADIYAH

Salah satunya, yang dalam bahasa Belanda disebut Het Evangelie


van den daad, oleh Bung Karno disebut ”brilliant, berfaedah bagi
semua orang Islam”.
Apalagi Bung Karno melihat ada tenaga yang positif dari ka-
langan Ahmadiyah:

”... pada umumnya ada mereka punya ’ features’ yang saya setu-
jui: mereka punya rationalisme, mereka punya kelebaran pengli-
hatan (broadmindedness), mereka punya modernisme, mereka pu-
nya hati-hati terhadap hadits, mereka punya streven Qur’an sahaja
dulu, mereka punya systematische aannemelijk making van den Is­
lam.”

Bung Karno bukannya menyetujui semua. Ia menolak ”pe­


nge­­ramatan” Mirza Ghulam Ahmad dan ”kecintaan” kalangan
Ahmadi ”kepada imperialisme Inggris”. Tapi, tulis Bung Karno
pu­la, ia ”merasa wajib berterima kasih” kepada pandangan yang
ter­maktub dalam karya-karya mereka.
Di masa itu, seperti tampak dari Surat-surat Islam dari Endeh,­
(ko­respondensinya dengan T.A. Hassan, tokoh ”Persatuan Is-
lam” di Bandung), Bung Karno memang sudah menunjukkan
ke­­ingin­an­nya. Ia hendak mendorong umat Islam ke masa depan,
bu­kan berbalik ke masa lalu. ”Kenapa kita mesti kembali ke za-
man ’kebesaran Islam’ yang dulu-dulu? Hukum Syariat?” tulis
Bung Karno dalam surat bertanggal 22 Februari 1936. ”Islam itu
kemajuan!”
Maka tak mengherankan bila ”kemajuan” itu yang ia lihat
pa­da gerakan Ahmadiyah. Tapi, lebih dari itu, Bung Karno tak
http://facebook.com/indonesiapustaka

mungkin mengabaikan apa yang dibawa sejarah: benturan dan


pertemuan pelbagai buah pengalaman.
Dalam kaitan itu, Bung Karno melihat ”cacat” ”Persatuan Is-
lam” yang dipimpin T.A. Hassan, yaitu ”sektarisme”: hanya pa-

Catatan Pinggir 9 661


AHMADIYAH

ham sendiri yang dianggap benar; gagasan lain dimusuhi.


Padahal, dengan ”membuka semua pintu budi akal kita bagi
se­mua pikiran”, kata Bung Karno di akhir suratnya, akan lahir
Islam yang ”tiada kolot dan mesum”, yang bukan ”hadramaut­
isme”. Akan lahir Islam yang ”cinta kemajuan dan kecerdasan”.
Mengapa saya ingat Bung Karno, Ahmadiyah, tahun 1936?
Memang aneh bahwa saya harus mengutip surat tua itu untuk
berbicara tentang ”kemajuan dan kecerdasan” bagi umat Islam di
Indonesia. Mungkin justru karena kedua hal itu makin dibiarkan
terjerumus ke dalam ”sektarisme”. Hari-hari ini, ”sektarisme” itu
bahkan ditegaskan dengan kekerasan.

Tempo, 8 Agustus 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

662 Catatan Pinggir 9


MANIFES

D
I bulan Agustus 1963, sebuah dokumen ditulis dan di-
umumkan: ”Manifes Kebudayaan”. Ia dengan segera
menimbulkan kontroversi yang heboh. Isinya dianggap
”kontrarevolusioner” oleh Lekra dan organisasi-organisasi kebu-
dayaan dan politik yang diakui pemerintah waktu itu. Kemudian
juga oleh Presiden Sukarno.
Pada 8 Mei 1964, dokumen itu—kemudian disebut dengan
ejekan ”Manikebu”—dinyatakan ”terlarang”. Para penanda ta­
ngan­nya, umumnya sastrawan, tak boleh menerbitkan karya
mere­ka di mana saja. Di masa ”demokrasi terpimpin”, yang sudah
mem­bredel sejumlah surat kabar dan majalah dan memenjara-
kan sejumlah orang, misalnya Mochtar Lubis, larangan itu punya
efek yang tak main-main.
Jika hari ini saya menulis tentang dokumen itu, bukan untuk
mengungkapkan lagi represi yang terjadi masa itu. Saya menulis-
nya karena sebentar lagi 17 Agustus.
Inilah tanggal ketika kita umumnya mengingat apa yang di-
harapkan dari kemerdekaan yang direbut dan republik yang di­
dirikan. Hampir tiap tahun, Agustus adalah bulan ketika kita de­
ngar suara kekecewaan yang berulang-ulang seperti sebuah lita­
ni: ”Indonesia merdeka tapi rakyat masih sengsara”, ”tak ada lagi
semangat bersama”, ”terpuruk” (kata ini paling sering disebut),
dan bahkan ”gagal”.
Kita jarang bertanya: tidakkah kita punya harapan yang ber-
lebihan dari sejarah, dan sebab itu berlebihan pula kecewa kepada
http://facebook.com/indonesiapustaka

zaman?
Saya ikut merumuskan ”Manifes Kebudayaan”. Dalam umur
22 tahun itu saya, ketika para mahasiswa dan lain-lain harus bela­
jar Marxisme, saya menemukan kalimat Marx ini: ”Manusia

Catatan Pinggir 9 663


MANIFES

mem­buat sejarah, tapi bukan membuatnya semau mereka.” Ke-


adaan yang kita temui, ketika kita bergerak mengubah dunia, bu-
kanlah keadaan yang kita pilih sendiri. Ia ada sebelum kita ada.
Kita harus bernegosiasi dengan apa yang datang dari generasi
yang telah mati yang, menurut Marx, memberat di pikiran gene­
rasi yang masih hidup bagaikan ”mimpi buruk”.
”Manifes” agaknya sebuah dokumen pemikiran pertama yang
waktu itu mengakui keterbatasan manusia dalam mengubah se-
jarah itu. Teks itu menampik utopianisme. Bagi para penanda
­tangannya, masyarakat yang sempurna tak akan pernah ada:

”Kami tidak mungkin menerima setiap bentuk utopia karena


kami menyadari bahwa dunia ini bukan sorga. Karena berfikir se-
cara dialektik, maka kami mengakui kenyataan-kenyataan bah-
wa lingkungan sosial kami senantiasa mengandung masalah-ma-
salah, dan setiap tantangan yang kami jawab akan menimbulkan
tantangan-tantangan baru.”

Dengan menyebut ”kami berfikir secara dialektik”, ”Mani-


fes” ingin menegaskan bahwa dialektik tak akan berhenti dalam
satu tujuan tertentu. Dengan demikian, sejarah adalah sebuah
pro­ses yang terbuka. Sejarah tak pernah terbentuk sebagai ling-
karan totalitas, karena tak akan ada sebuah kekuasaan yang bisa
menguasai masa lalu, masa kini, dan masa depan sepenuhnya.
”Kebudayaan dari suatu periode adalah senantiasa kebudayaan
dari kelas yang berkuasa,” kata ”Manifes”, mengutip Marx. Tapi
sejarah juga mengajarkan: ”Justru karena tidak termasuk dalam
kelas yang berkuasa, maka orang berhasil membentuk kekuatan
http://facebook.com/indonesiapustaka

baru.”
Kekuasaan selalu terbatas. Hegemoni kebudayaan tak akan
bisa penuh. Ada gema pemikiran Gramsci, pemikir Marxis Italia
itu, dalam teks ”Manifes”: ia sebenarnya berbicara tentang kenis-

664 Catatan Pinggir 9


MANIFES

cayaan munculnya ”kontrahegemoni”.


Di sana, ada dua wajah dalam gerak kehidupan politik yang
mengisi ruang ”hegemoni” dan ”kontrahegemoni” itu. Di satu
si­si, antagonisme politik menarik garis antara kawan dan lawan.
Namun di sisi lain, gerak politik juga mengandung acuan ke sesu­
atu yang universal.
”Manifes” dikecam karena di dalamnya termaktub kata ”hu-
manisme universal”. Dalam suasana politik yang mengagungkan­
konfrontasi yang militan—ketika sikap memihak adalah mes­
ti—pe­ngertian ”universal” dianggap mengaburkan sasaran per­
lawan­an.­Tapi saya kira ada salah paham di sini. Semangat untuk
yang ”uni­versal” justru bisa bertaut erat dengan semangat untuk
memihak.
Jauh setelah ”Manifes Kebudayaan”, pemikir yang pernah ja­
di aktivis buruh Argentina, Ernesto Laclau, mengambil contoh
seorang pejuang revolusioner yang militan: jika aku ikut dalam
aksi menduduki pabrik dengan tujuan memperjuangkan kenaik­
an gaji, hari libur tambahan, dan yang semacam itu, keterlibat­
anku akan berakhir bila tuntutan setempat itu terpenuhi.
Sebaliknya jika partisipasiku dalam aksi-aksi itu dilihat lebih­
luas: sebagai bagian dari perjuangan revolusioner yang hendak
mencapai cita-cita yang universal. Di situ aku mungkin tak akan
terpaut penuh dengan tuntutan kenaikan gaji dan tambahan hari
libur, tapi justru sebab itu aku akan lebih militan: perjuanganku
adalah untuk sesuatu yang lebih luas—masyarakat sosialis, mi­
sal­nya—yang akan dinikmati siapa saja, di mana saja.
Di mana saja, siapa saja: kita ingat, 17 Agustus 1945 tak bisa
dipisahkan dari kalimat terkenal ini: ”bahwa sesungguhnya ke-
http://facebook.com/indonesiapustaka

merdekaan adalah hak semua bangsa...”.


Tapi senantiasa, perjuangan untuk sesuatu yang universal ha­
nya bisa terlaksana dalam kondisi yang terbatas. Kemerdekaan
yang harus diisi untuk siapa saja dan di mana saja akhirnya hanya­

Catatan Pinggir 9 665


MANIFES

diisi oleh (dan untuk) manusia-manusia di ruang dan waktu ter-


tentu. Itu agaknya bulan Agustus adalah bulan ketika orang
mengeluh—seraya mungkin tahu, atau tak tahu, bahwa tiap ke-
luhan sebenarnya menyembunyikan harapan.
Sejarah adalah dialektika antara keluhan dan harapan, sebab,
seperti tertulis dalam ”Manifes Kebudayaan”, dunia ini ”bukan
sorga”.

Tempo, 15 Agustus 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

666 Catatan Pinggir 9


DAGING

P
uasa: perut yang harus dibiarkan lapar, tenggorokan
yang menahan haus selama 12 jam, alat kelamin yang tak
tersentuh syahwat. Demikianlah yang jasmani dikenda-
likan: daging harus dituntun oleh roh. Kalau tidak: dosa.
Maka dari waktu ke waktu, seraya menolak yang jasmani, kita
dianjurkan hanya menerima yang ”rohani”. Sejak pukul 4 diniha­
ri, masjid dan surau penuh suara orang menyebut Tuhan, meng­
anjurkan ibadat, meneguhkan iman, menjalankan syariat.... Kita
dilengkapi dengan banyak penangkal: kita harus bisa menolak
ga­do-gado, soto, video porno.
Tapi bisakah daging diasingkan? Bisakah tubuh dilihat terpi­
sah? Tampaknya ada yang luput dilihat di sini. Justru di bulan
Ra­­madan, yang jasmani diam-diam menyiapkan resistensi.
Mari datang ke pusat-pusat perbelanjaan mewah dan ang-
kringan sederhana di kaki lima. Kita akan lihat semarak pelba­gai
penganan lezat yang tak lazim sehari-hari. Ramadan telah ja­di se­
buah paradoks: ketika orang diharuskan menahan nafsu,­krea­ti­
vi­tas menyiapkan hidangan justru meningkat; omzet perdagang­
an makanan naik sampai 60%. Orang ramai berbelanja untuk
membuat meriah meja berbuka puasa dan sahur mereka.
Ramadan agaknya telah jadi sebuah periode ketika orang ber­­­
usaha memperoleh kompensasi istimewa. Tampaknya kuat ang-
gapan bahwa pengekangan atas tubuh kita selama 30 hari itu
adalah sebuah deprivasi, sebuah perenggutan dari hidup yang
nor­mal, dan kita, yang merasa harus menangungkan itu, meng-
http://facebook.com/indonesiapustaka

inginkan imbalan yang memuaskan.


Di atas semua itu, setidaknya di Indonesia, orang-orang yang
menganggap puasa sebagai deprivasi yang berat akan bersikap se­
akan-akan anak manja atau si korban yang dendam: mereka min-

Catatan Pinggir 9 667


DAGING

ta diperlakukan sebagai kelas tersendiri. ”Hormatilah orang yang


berpuasa!”, seru pengumuman di mana-mana. Maksudnya: ”ja­
ngan­menggoda atau merayu orang yang berpuasa untuk batal”.
Barangkali berpuasa telah berubah: menahan haus dan lapar
tidak lagi ditandai tekad melawan godaan, tapi sikap ketakutan
akan godaan. Di bulan ini orang-orang yang mengatakan bahwa
niat mereka berpuasa adalah untuk Allah (dengan kata lain: ikh-
las) ternyata juga orang-orang yang merasa berhak mengklaim
proteksi dari kekuatan di luar diri mereka: Negara.
Maka rumah-rumah hiburan malam pun diharuskan tutup
se­panjang bulan. Bahkan panti pijat yang biasanya dipergunakan­
keluarga (termasuk anak-anak) tak boleh buka. Tak urung, para
juru pijat, umumnya ibu-ibu yang bekerja untuk menambah naf­
kah keluarga, berkurang pendapatan. Di Bekasi, para pemilik
dan buruh industri entertainment kecil atau menengah mengeluh­
(ya, mereka akhirnya berani mengeluh) bahwa setiap tahun naf­
kah mereka putus selama 30 hari. Padahal mereka juga harus ikut
mengumpulkan pendapatan lebih untuk bersenang-senang di
hari Lebaran.
Dengan kata lain, puasa telah jadi semacam privilese. Orang-
orang yang berpuasa bukan saja harus dihormati secara istimewa,
tapi juga orang lain harus bersedia berkorban untuk mereka.
Persoalannya akan berbeda jika kita menganggap berpuasa
de­ngan sikap lain: puasa bukan sebagai deprivasi, melainkan se-
bagai ikhtiar kita untuk mengurangi apa yang dirasakan berlebih
dan berlebihan dalam diri. Dengan kata lain, inilah puasa sebagai
pilihan laku yang menangkis keserakahan. Bahkan inilah puasa
sebagai reduksi agresifitas menghadapi dunia—agresivitas yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

meringkus dunia jadi milik dan bagian dari sasaran konsumsi.


Dalam puasa reduktif itu, kita sebenarnya melanjutkan pesan
Nabi untuk berhenti makan sebelum kita kenyang dan juga pesan
Gandhi untuk menyadari betapa dunia terbatas: bumi cukup un-

668 Catatan Pinggir 9


DAGING

tuk kebutuhan tiap orang, namun tak akan cukup untuk keta-
makan tiap orang.
Puasa yang macam itu tentu saja tak akan diakhiri dengan ke-
menangan yang dirayakan dengan Idul Fitri yang pongah. Puasa
yang menampik keserakahan dan agresivitas tak akan meneriak-
kan kemenangan, terutama kemenangan diriku sebagai subyek
yang perkasa yang telah mengalahkan tubuh sendiri. Bahkan
dalam puasa yang seperti itu, ”aku”, seperti dikatakan Chairil
Anwar di pintu Tuhan, ”hilang bentuk, remuk”.
Tak berarti ”hilang bentuk, remuk” itu menunjukkan wajah
manusia yang tertindas dan jadi asing bagi dirinya sendiri.
Marx memang pernah menganggap, dalam agama (sebagai
bentuk alienasi), wujud manusia hilang: ”semakin banyak yang
dicurahkan manusia ke Tuhan, semakin sedikit yang ia sisakan
bagi dirinya sendiri...”. Tapi di situ Marx salah. Di abad ini yang
kita saksikan justru sebaliknya: semakin banyak yang dicurah-
kan manusia ke Tuhan, semakin menggelembung ia jadi subyek
yang penuh dan perkasa. Dan agresif.
Mungkin itu sebabnya mereka yang berpuasa juga tampak
se­perti orang yang ingin berkuasa. Kecuali jika puasa membuat
kita sadar, kita tak pernah bisa utuh sendiri: aku selalu bersama
ke­kuranganku. Kita, roh yang juga daging, terbentuk oleh zat-
zat yang sama dengan zat-zat dunia. Kita yang merasakan lapar
dan haus adalah kita yang seperti makhluk umumnya: terpaut
pada ”yang-lain”, bukan cuma kesadaran kita. Kita terpaut pada
pencernaan, arus darah, trauma, dan nostalgia kita. Juga pada cu­
aca, flora, fauna, benda-benda sekitar kita. Kita ada di bumi, di
bawah langit, di antara makhluk lain yang fana, di hadapan Tu-
http://facebook.com/indonesiapustaka

han—sebuah variasi dari das Geviert Heidegger. Dalam posisi


itu, aku bisa rasakan bumi, langit, sesama makhluk, dan rahmat
Tuhan mengasuhku. Dan aku bisa damai menghilangkan keta-
makan dan agresivitasku.

Catatan Pinggir 9 669


DAGING

Di situ, puasa tak akan disertai hasrat mendapatkan kompen-


sasi yang memuaskan buat tubuh yang merasa tertindas dan ter-
asing oleh Ramadan. Di situ, puasa tak dimulai dengan merasa
telah direnggutkan, hanya karena mulut tak boleh menelan, lidah
tak boleh mencicip. Di situ, puasa adalah pertemuan kembali de-
ngan tubuh yang sebenarnya lumrah dan patut disyukuri. Bukan
tubuh yang dikurung untuk diwaspadai.

Tempo, 22 Agustus 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

670 Catatan Pinggir 9


MAJENUN

D
I sana-sini, dunia perlu orang majenun. Atau penyair.
Atau kedua-duanya.

”Kenapa kalian, para penyair, begitu terpesona kepada


orang gila?”
”Kami punya banyak kesamaan.”

Dialog ini, dalam film Man from La Mancha, berlangsung da­


lam­sebuah penjara bawah tanah di Spanyol abad ke-17. Si penya­ir
yang menjawab pertanyaan itu adalah Miguel de Cervan­tes. Da­
lam catatan sejarah dialah penulis El ingenioso hidalgo don Quijote
de la Mancha yang lebih dikenal sebagai Don Quixote: dua jilid
pan­jang yang berkisah tentang seorang majenun. Dalam film ini,
diproduksi di tahun 1972, kisah itu diadaptasi dengan pendekat­
an yang ingin berbicara untuk zaman kita—zaman yang tak mau
menerima kegilaan.
Adapun bagian pertama novel ini terbit di tahun 1605 di Ma-
drid. Ia sebuah satire: Don Quixote tampil sebagai tokoh yang di­­­
tertawakan. Tapi berangsur-angsur dalam Cervantes terasa­tum­­
buh rasa sayang kepada si majenun ciptaannya. Jika dibaca­ de­
ngan jilid keduanya yang terbit di tahun 1615, ada yang sayu da­
lam ke­gilaan itu: Alonso Quijana, seorang tua yang terlalu­banyak
membaca buku tentang kesatria, tiba-tiba meninggalkan rumah­
nya,­­berkeliling naik kuda dan menganggap dirinya seorang ca­
balerro. Seakan-akan Spanyol masih di zaman dongeng lama ke-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tika para ke­satria ber­tempur untuk hal-hal yang luhur. Alonso


Quijana menyebut diri ”Don Quixote de la Mancha”.
Film Man from La Mancha merupakan adaptasi musikal atas
ki­sah yang sudah beredar 300 tahun itu. Saya tak pernah menyu-

Catatan Pinggir 9 671


MAJENUN

kai musikal, tapi karya sutradara Arthur Hiller dengan skenario


Dale Wasserman ini bagi saya sebuah perkecualian yang tak ter-
lupakan. Terutama karena Peter O’Toole bermain dengan cemer-
lang sebagai Cervantes dan sekaligus Don Quixote—dan teruta­
ma karena mise-en-scène yang bisa menggabungkan teater gaya
Brecht dengan layar putih ala Hollywood.
Syahdan, adegan dimulai dengan Miguel de Cervantes, pe-
nyair, pemungut pajak, dan prajurit, yang ditangkap bersama
bu­­jangnya yang setia. Jawatan Inkuisisi, lembaga Gereja Katolik
Spa­nyol yang dengan tangan besi menjaga keutuhan umat dan
iman, menjebloskan mereka ke dalam kurungan di bawah tanah.
Tak ayal, dalam calabozo yang seram itu mereka dikerubuti para
tahanan lain: semua milik yang mereka bawa harus diserahkan.
Cervantes mencoba mempertahankan satu naskah dan satu
pe­ti yang dibawanya. Ia siap membela diri di depan mahkamah
ku­rungan itu. Ia minta diizinkan menyajikan satu lakon.
Pemimpin para tahanan itu setuju. Dengan cepat, sang pe-
nyair membuka petinya. Ia kenakan kostum dan tata rias, dan
muncul sebagai Alonso Quijana, pak tua yang terkena delusi be-
rat dan membayangkan diri sebagai Don Quixote.
Ruang sempit yang pengap itu jadi pentas. Ksatria imajiner
itu, dengan diiringi pelayannya, kini disebut Sancho Panza, naik
kuda imajiner. Pada detik-detik berikutnya, kamera memindah-
kan adegan itu ke alam luas: kedua orang itu tampak menempuh
plateau sunyi La Mancha. Don Quixote tegak di atas pelana di
punggung Rocinante.
Perjalanan mereka tentu saja tak sepanjang yang dikisahkan
novel. Teks Wasserman (penulis lakon yang juga membuat adap-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tasi karya Brecht, Die Dreigroschenoper) hanya menampilkan be-


berapa bab yang penting dari narasi Cervantes.
Yang paling penting: pertemuan Don Quixote dengan Pela-
cur Aldonza, di sebuah losmen. Kita ingat sang majenun mem-

672 Catatan Pinggir 9


MAJENUN

bayangkan losmen buruk itu sebuah kastil dan si pelacur sebagai


Dulcenia—seorang putri bangsawan kepada siapa ia akan mem-
persembahkan hidup dan cintanya.
Di sini kisah Don Quixote berhenti sebagai cemooh. Ia jadi
sebuah alegori. Kita menyaksikan wajah kegilaan yang luhur dan
sosok bloon yang baik hati. Dalam kemajenunannya, orang dari
La Mancha itu ingin menyelamatkan dunia dari putus asa dan
sinisme. ”I hope to add some measure of grace to the world,” katanya­
agak malu-malu, sambil memandang Aldonza dengan lembut,
mes­ra, tapi dengan sinar mata seorang gila.
Aldonza (diperankan Sophia Loren) tak mengerti semua itu.
Ia selama itu jadi obyek nafsu lelaki. Ia merasa nista dan tak per-
nah punya keyakinan bahwa berkah serta kelembutan bisa tum-
buh dari hidup. ”Dunia adalah seonggok tahi sapi,” katanya ketus
dan pahit, ”dan kita belatung yang merayap di atasnya.”
Don Quixote dengan halus membantah. ”Dalam hati, tuan
putri tahu bahwa tak begitu sebenarnya”.
Aldonza meludah. Baginya, Don Quixote manusia sia-sia
yang akan dihajar nasib. Tapi laki-laki tua yang kurus dan ling­
lung itu menjawab: ”Akan kalah atau menangkah hamba, itu tak
penting.”
Apa yang penting? Yang penting adalah perjuangan itu sendi­
ri, bukan hasilnya: perjuangan untuk membubuhkan yang mulia
di dunia yang bobrok. Itu berharga. Sebab, bagi seorang kesatria,
itu sebuah privilese.

To dream the impossible dream,


To fight the unbeatable foe,
http://facebook.com/indonesiapustaka

To bear with unbearable sorrow


To run where the brave dare not go
To right the unrightable wrong

Catatan Pinggir 9 673


MAJENUN

Dengan itu, berbeda dari novel Cervantes, Man from La Man­


cha menampilkan Don Quixote sebagai seorang yang tulus dan
militan—yang tergetar oleh sesuatu yang tak terhingga, tampak
sebagai seorang majenun yang tak punya kalkulasi praktis, seper­
ti halnya seorang penyair yang masuk menemui malam entah un-
tuk apa.
Gila, tentu. Tapi seperti diucapkan tokoh Cervantes dalam
film ini, justru ”yang terlalu praktis, itulah kegilaan”. Barangkali
justru terlalu kuatnya akal sehat—yang melepaskan mimpi—itu-
lah kegilaan.
Sebaliknya berjuang dengan setia dalam mimpi—dengan
niat memberikan yang baik bagi dunia, meskipun mustahil—
bisa memberi harga kepada manusia. Bahkan seorang Aldonza
akan bisa melihat, ada yang luhur dalam hidup. Ia akan bisa ter-
bebas dari jepitan akal praktis dari zaman yang hanya mau meng-
hitung laba-rugi. Dan ia akan bisa tahu, ia bukan belatung di atas
onggokan tahi.

Tempo, 29 Agustus 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

674 Catatan Pinggir 9


AMPUN

T
AHUN 1815. Dari penjara Bagne de Toulon, setelah 19
ta­hun dikurung, terpidana dengan No. 24601 itu dibe-
baskan. Tak punya lagi tempat kembali, ia berjalan tanpa
arah, lama dan sendirian.
Ia sebenarnya belum bebas. Hukum mengharuskannya mem-
bawa paspor kuning, tanda ia bekas orang rantai. Tapi sebab itu
ia tak diterima menginap di losmen mana pun. Maka putus asa,
bromocorah itu hanya bisa membaringkan tubuhnya di tepi ja-
lan. Dengan rasa marah dan pahit.
Tapi ini bukan kisah seorang yang marah dan pahit. Les Mi­
sérables yang termasyhur itu oleh Victor Hugo dirangkai jadi ceri-
ta kehidupan Jean Valjean, si No. 24601 yang berubah.
Kita ingat bagaimana kejadiannya: tiba di Digne, kota kecil di
Prancis Selatan, Valjean ditampung menginap oleh Uskup My­
riel.­ Ia diberi makan malam dan tempat tidur—dan dibiarkan
bersendiri.
Malam itu, tanpa ada orang yang mengawasinya, Valjean
men­­dapatkan kesempatan. Ia ambil pisau, sendok, garpu, dan
alat-­alat perak buat jamuan yang ada di kamar itu. Ia pun melari-
kan diri.
Tapi tak bisa jauh. Polisi menggeledah bekas terpidana yang
berjalan mencurigakan di dinihari itu. Pada bromocorah itu me­
re­ka temukan benda-benda milik keuskupan.
Valjean pun dibawa menghadap Uskup Myriel. Saya bayang-
kan bagaimana ketakutan dan putus asanya Valjean. Ia tahu, kini
http://facebook.com/indonesiapustaka

ia akan dikurung seumur hidup. Dulu, di kota kecil kelahiran-


nya, Faverolles, di musim dingin tahun 1795 ia mencuri roti dari
sebuah kedai karena kelaparan. Tapi hanya karena itu ia dipenja­
rakan lima tahun. Hukuman itu diperpanjang sampai 19 tahun

Catatan Pinggir 9 675


AMPUN

karena Valjean beberapa kali tertangkap mau melarikan diri.


Kini nasib lebih buruk menantinya.
Tapi sesuatu yang tak terduga terjadi. Kepada polisi, Uskup
Myriel mengatakan bahwa Valjean tak mencuri apa pun. Barang-
barang perak itu diberikan kepada tamunya yang kelaparan un-
tuk bekal, kata Uskup. Bahkan pagi itu, di hadapan polisi, padri
yang baik hati itu menyerahkan lagi sebatang penyangga kandil
dari perak, seraya mengingatkan Valjean akan janjinya—meski-
pun laki-laki itu tak pernah berjanji apa-apa—bahwa ia akan jadi
orang baik.
Valjean pun bebas. Kejadian itu mengguncang hatinya. Tapi
tak hanya itu. Hari itu ia—seorang lelaki perkasa—merampas
uang 50 sous dari seorang anak. Tapi kali ini ia menyesal. Ia cari
anak itu di seantero kota, untuk mengembalikan uang itu. Tapi
tak ketemu....
Kisah Jean Valjean adalah kisah pertobatan. Sejak hari itu ia
jadi orang baik yang penolong. Tapi yang luar biasa di sini ialah
bahwa sebenarnya Uskup Myriel tak mengharapkan itu. ”Janji”
yang disebutnya pagi itu hanya fiktif: sang Uskup berbohong agar
Valjean bebas dari hukuman.
Katakanlah dengan itu ia juga memaafkan, tapi maafnya bu-
kan sejenis barter. Dalam barter, X memberi sesuatu kepada Y ka­
rena ia mengharap Y memberikan sesuatu sebagai imbalan. Maaf
sang Uskup adalah maaf yang ikhlas, tanpa syarat.
Tapi keikhlasan adalah perkara yang pelik. Memberi maaf
tan­pa syarat juga bisa menyembunyikan sebuah supremasi: aku
memberi kau sebagai isyarat bahwa aku lebih dari kau. Bila de­mi­
kian halnya, maaf itu bukanlah berarti hilang atau dilupa­kan­nya
http://facebook.com/indonesiapustaka

sebuah perbuatan yang membuat sang pelaku nista. Ma­lah maaf


itu menegaskan nista itu.
Maaf tanpa syarat, maaf tanpa supremasi, mungkin lebih pas
disebut pengampunan yang murni. Tapi akhirnya, bila kita ikuti

676 Catatan Pinggir 9


AMPUN

Derrida, ”pengampunan”, dalam arti semurni-murninya, adalah


”mengampuni hanya apa yang tak dapat diampuni”, le pardon
par­donne seulement l’ impardonnable.
Dalam acuan seperti itu, bahkan maaf yang tanpa syarat dari
Uskup Myriel kepada Jean Valjean bukanlah pengampunan yang
dibayangkan Derrida, sebab kejahatan yang terjadi pada dasarnya
bisa diampuni: pelakunya seorang yang takut mati kelaparan.
Persoalannya: adakah kekejian yang demikian rupa hingga
sama sekali tak dapat diampuni, hingga pengampunan kepada­
nya­sebuah perbuatan yang benar-benar tanpa pamrih? Adakah
”radical evil” dalam pengertian Hannah Arendt, yang ”menum-
bangkan semua ukuran yang kita kenal”?
Jawabannya tak gampang. Ukuran kita bergantung kepada
siapa kita. Memang ada kekejian dalam kamp konsentrasi Nazi
di Auschwitz dan Dachau, atau dalam ”kepulauan gulag” yang
dibangun Stalin, atau yang dilakukan sejumlah Maois fanatik
semasa Revolusi Kebudayaan di Cina, atau pembunuhan dan pe-
nyiksaan yang dilakukan terhadap orang-orang kiri oleh Orde
Baru di Indonesia.
Kekejaman itu belum tentu keji menurut ukuran yang univer-
sal, tapi mungkin yang dimaksud dengan radical evil ditentukan
oleh intensitas perasaan para korban di suatu masa, di suatu tem-
pat. Sebagai konsekuensinya, pengampunan yang ikhlas terha-
dap perbuatan itu hanya bisa ditentukan oleh mereka yang jadi
korban di suatu masa, di suatu tempat.
Tapi, tidakkah, seperti tersirat dalam ungkapan Derrida sen­
di­ri, pengampunan murni itu mustahil?
Memang mustahil, dan bisa malah melanggar apa yang dike-
http://facebook.com/indonesiapustaka

hendaki hidup yang adil. Tapi mungkin kita dapat menerimanya­


sebagai imbauan ke dalam diri—untuk menggugat sejauh ma­na­
kah kita mengubah diri kita sendiri waktu memaafkan.
Tak jarang aku, sang korban, merasa lebih agung ketimbang

Catatan Pinggir 9 677


AMPUN

yang bukan korban, apalagi ketimbang sang pelaku kejahatan.


Kadang-kadang pula kita lupa, dalam memaafkan ada godaan
keangkuhan, sebagaimana si kaya yang memberi derma untuk
me­nunjukkan kekayaannya.
Sebab itu pengampunan yang murni jangan-jangan tak di-
maksudkan sebagai pengampunan. Tindakan Uskup Myriel
mengharukan karena ia bukan mengampuni, tapi membebaskan
seseorang dari siksaan—dan membebaskannya pula dari kepasti­
an nasib yang ditentukan masa lalu. Valjean, seorang bromoco-
rah yang ke mana-mana harus membawa paspor kuning, tak se-
terusnya harus nista.

Tempo, 5 September 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

678 Catatan Pinggir 9


NAMA, ATAU MENGAPA JULIET SALAH

S
ebuah klise: What is in a name?
Sejak lakon Romeo and Juliet dipentaskan di tahun 1597,
kata-kata itu diulang dalam berjuta-juta percakapan. Tiap
ka­li orang kerepotan karena soal nama, dikutiplah Juliet (atau
per­sisnya Shakespeare) di adegan itu: nama bukan soal penting.­
Juliet Capulet dan Romeo Montague bisa saling mencintai, mes­
ki­pun Capulet dan Montague lain bermusuhan.

What’s Montague? It is nor hand, nor foot,


Nor arm, nor face, nor any other part
Belonging to a man.

Nama, buat Juliet, hanya tempelan. Nama bukan tangan, ka­­


ki, lengan, atau wajah. ”Romeo, doff thy name!” katanya kepada­
sang­ pacar agar menanggalkan tempelan itu. Juliet sedang ma­
buk­­­ke­pa­yang. Baginya cintanya tak akan buyar kalaupun Romeo­
Montague menamakan diri ”Johny Puyol.”
Tapi klise terjadi karena repetisi dan, dalam hal ini, repetisi­
terjadi karena ternyata orang berkali-kali dibikin repot oleh na­
ma. Romeo and Juliet jadi sebuah tragedi (yang dikenang terus se-
lama hampir 500 tahun) justru karena Juliet salah berteori; ia tak
tahu ada banyak hal yang terdapat dalam sebuah nama.
Terutama di Indonesia. Di negeri ini, pemberian nama adalah
sebuah kehebohan. Di masa kecil, Bung Karno diganti namanya­
dari ”Kusno” jadi ”Sukarno”. Ayahnya berharap anak laki-laki itu
http://facebook.com/indonesiapustaka

tak akan sakit-sakitan lagi. Malah dengan nama baru itu ia di­
harapkan akan seperti Karna, tokoh cerita wayang itu. Menurut
penuturan Bung Karno sendiri, ayahnya menganggap Karna se­
orang patriot; semangatnya mudah-mudahan akan diteruskan si

Catatan Pinggir 9 679


NAMA, ATAU MENGAPA JULIET SALAH

anak.
Keputusan sang ayah menunjukkan bahwa nama bukan seka-
dar tempelan. Nama punya daya performatif.
Ya, Juliet salah.
Bung Karno, seperti Pak Sukemi, ayahnya, juga tak semba-
rangan memberi nama anaknya. Yang laki-laki: ”Guntur”, ”Gu-
ruh”, Taufan”—kata-kata yang punya daya sugestif tentang ke-
dahsyatan alam. Yang perempuan: ”Mega” dan ”Sukma”. Kedua­
kata itu menimbulkan asosiasi kepada apa yang halus dan lembut.­
Tentu saja selain makna dan daya asosiatif, faktor bunyi pen­
ting:­”Guntur” dan ”guruh” dipilih karena lebih bagus terdengar­
ketimbang ”gledek”. Bung Karno & segenap bangsa Indonesia
akan malu seandainya di Istana Merdeka ada seorang anak berna-
ma ”Gledek Sukarnoputra”.
Tapi tampak, nama seorang anak lebih mencerminkan hasrat
(dan sifat) orang tua ketimbang nasib si anak. ”Guntur”, ”guruh”,
”taufan”, ”mega” menunjukkan kesukaan Bung Karno akan hal-
hal­yang sublim, yang tak statis, dan terkait dengan langit.
Pelukis Djoko Pekik—seorang perupa Lekra yang datang da­
ri sebuah desa Jawa Tengah yang miskin—melihat ke arah lain.
Nama anak + cucunya dipinjamnya dari benda sehari-hari yang
tak dipedulikan orang, mungkin bahkan disisihkan: Pakuril
(”pa­ku rel kereta api”), Lugut (”miang pada bambu”), Drejeg La­
lang­(”umbi alang-alang”). Sastrawan Bur Rasuanto lain lagi. Sa-
dar posisinya sebagai sastrawan, untuk anaknya ia memodulasi
nama dari bentuk-bentuk sastra: Legendariya dan Mitologenta.
Anak-anak memang tak memilih namanya sendiri. Mungkin
ini bagian dari kolonisasi orang tua. Maka tak jarang ketika jadi
http://facebook.com/indonesiapustaka

dewasa dan mandiri, seorang anak Indonesia mengubah nama­


nya­yang ia rasakan tak cocok lagi buat dirinya: Yapi Panda Ab-
diel Tambajong jadi ”Remy Silado”, sastrawan tenar. Almarhum
war­tawan Budiman S. Hartojo lahir sebagai Munawir. Apalagi

680 Catatan Pinggir 9


NAMA, ATAU MENGAPA JULIET SALAH

di Jawa Tengah: orang lazim meninggalkan nama muda dan me-


makai jeneng tuwa: Harjowiryo, dulu Sukidi.
Nama, dengan demikian, sebuah pengukuhan diri dan pe­
nan­da transisi.
Tapi yang ditandai tak hanya transisi pribadi. Indonesia per-
nah menyaksikan politik penamaan bergerak dalam skala besar
—satu bukti bahwa bahasa, yang punya kekuasaan atas diri kita,
juga terlibat dengan benturan kekuasaan di masyarakat luas. Un-
tuk memperkuat ke-Indonesia-an, elite politik mendesak orang
Indonesia keturunan Cina mengubah namanya agar tak terasa
”Cina” lagi. Peng-Indonesia-an juga ditujukan ke yang lain. Bung
Karno memberi nama baru kepada bintang film Lientje Tamba­
yong­—karena bunyi ”tje” itu adalah warisan Belanda—dan jadi-
lah ”Rima Melati.”
Politik penamaan bisa dilakukan berbeda. Di Jawa, nama me­
nunjukkan kelas: ”Suryo Sumirat” nama khas bangsawan; ”Pai-
din,” ”Kromo” umumnya petani. Sebagai satu sikap politik, para
tokoh PKI menyebut diri seperti kaum bawah itu: Njoto, Njono,
Rewang. Njoto dan Njono tak memakai sebutan ”Su-,” karena
sering yang pakai ”Su” di awal namanya adalah priayi.
Tapi akan salah untuk menyimpulkan bahwa kita selalu
mem­beri bobot politik pada sebuah nama. Orang Tapanuli tak
ja­rang memberi nama anak dengan hal yang tak luar biasa: ”Ra-
dio”, ”Kantor”, ”Sutradara”, misalnya. Di Jawa Barat, ada ayah
yang memberi nama mirip merek mobil: ”Fia Fiati” atau ”Honda
Impalawati.”
Nama juga dipakai untuk pengingat-ingat. Seorang pelukis
Bali menamai anaknya ”I Made Waikiki”, diambil dari nama
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pantai Waikiki, Honolulu. Anak peremuan itu lahir ketika sang


ayah berpameran di Hawaii. Ada yang bernama ”Amagapa”: un-
tuk mengingat kapal Amagapa yang membawa ayah-ibu ke Ma-
nado. Ada ”Delanov”: ia lahir 8 November. Ada ”Ampeno Herli-

Catatan Pinggir 9 681


NAMA, ATAU MENGAPA JULIET SALAH

no”. Artinya, ”Ampek Nopember Hari Lahirnyo” (dia orang Mi­


nang).
Jika kita amati, sumber yang dipakai untuk menemukan na­
ma di Indonesia tak terbatas ragamnya. Bisa pangkat militer:
”Kap­ten”, ”Letnan”, atau tokoh sejarah: ”Gandhi”, ”Kennedy”,
”Mussolini”.
Ada juga judul buku. Saya beri nama anak saya pertama ”Hi-
dayat Jati”. Seorang teman di Amerika bertanya apa maksud kata-­
kata itu. Saya jawab, saya tak tahu; saya cuma mengambilnya dari
judul buku Ronggowarsito, sastrawan Jawa abad ke-19. Teman
saya terbelalak: ”Kamu sampai hati menamai anakmu seperti ju­
dul buku?” (Dia pasti tak akan memberi nama anaknya ”Gone
With the Wind”).
Tapi orang Indonesia tak mudah terbelalak dalam soal ini. S.
Prinka almarhum, desainer grafis majalah Tempo, mendapatkan
na­manya dari akronim: ”Prinka” adalah ”Perjuangan Republik
Indonesia Merdeka”; maklumlah, ayahnya seorang perwira polisi
di masa revolusi. Teman saya, Choki Sapta Wanusi, hasil akronim
yang lain: ”Sapta” berarti ”tujuh”, dan ”Wanusi” dari ”Pahlawan
Revolusi”. Bisa diperkirakan ia lahir kapan.
Begitu beragamnya sumber yang dipakai, hingga terkadang
su­lit kita melacak ”etimologi” sebuah nama Indonesia. Ada se­
orang yang punya nama ”Marmorita-rita stell taurantia gutata”.­
Sa­ya tak tahu apa artinya dan kenapa dipilih. Tampaknya ada se­
macam anggapan, dahsyatnya nama tergantung dari panjang-
nya. Misalnya (ini benar-benar ada): ”Buyung Abdurahman
Nanda Aria Megat Sambat Elang di Laut.” Orang tak perlu cemas
bagaimana memanggilnya. Toh akhirnya si anak cuma dipang-
http://facebook.com/indonesiapustaka

gil dengan cara yang sesingkat-singkatnya. Si Marmorita-rita stell


taurantia gutata, misalnya, dipanggil ”Muning”.
Tapi nama juga bisa dipilih tanpa mau terdengar dahsyat, bah-
kan tanpa ornamen. Ada anak yang dinamai ”Disiplin Pribadi”

682 Catatan Pinggir 9


NAMA, ATAU MENGAPA JULIET SALAH

(di­panggil ”Ipin”). Penyanyi Melly Goeslaw dan suaminya Anto


Hoed punya anak yang mereka beri nama yang lugas: ”Anakku
Lelaki”.
Lucu? Bagi saya, charming. Dalam hal menciptakan nama, sa­
ya kira bangsa Indonesia paling inovatif, dan paling bebas, di du-
nia. Dan dalam suasana jengkel kepada Malaysia kini, saya bi­
sa menghibur Anda bahwa kita lebih kaya dalam perkara ini. Di
Malaysia, variasi nama Melayu tak jauh beranjak dari Anwar,
Badawi, Harun, Muhammad, Musa....
Sebenarnya Malaysia tak aneh. Di Amerika, Eropa, dan dunia
selebihnya, yang ada hanya varian nama baptis yang itu-itu juga:
John, Paul, Tom, James, William. Di Amerika bisa disusun buku
pedoman memberi nama bayi. Di Indonesia itu mustahil.
Maka bagi orang Amerika & Eropa, nama-nama Indonesia­
mem­bingungkan. Ada satu pasangan Jerman yang memberi na­
ma bayinya ”Lilian Ayu”. Ketika didaftarkan untuk administrasi
penduduk, si petugas tak mau menerima; ”ayu” itu bukan nama,
ka­tanya. Tak menyerah, si ayah pun membeli novel Saman, de-
ngan foto Ayu Utami di sampul. Buku itu ditunjukkan ke sang
bi­rokrat. Baru ia tahu, ”Ayu” bukan sayur-mayur.
Kebingungan yang lebih terkenal menyangkut apa yang dise-
but surname. Umumnya di Indonesia orang tak memakai ” fami­
ly name”—atau tak ada ketentuan yang pasti tentang itu. Ketika­
Ahmad Sahal mendaftarkan anaknya, Sri Mulyani, ke sebuah
sekolah di Inggris, ia dipanggil ”Mr. Mulyani”. Orang Inggris tak
tahu, di Indonesia, orang tak selalu mengikuti nama suami atau
ayah.
Kita sering repot tentang itu, tapi sebenarnya kita bisa bangga.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sebab diam-diam di sini tersirat pengakuan bahwa tiap orang tak


mesti tergantung identitasnya dari kepala rumah tangga.
Qori Sandioriva, misalnya. Ia muncul sebagai dirinya, Miss
In­donesia Universe 2010, bukan sebagai anggota sebuah keluar­

Catatan Pinggir 9 683


NAMA, ATAU MENGAPA JULIET SALAH

ga; ”Sandioriva” itu ”Qori”. Bukan wakil sebuah puak. Dari na­
ma itu, tak tampak dari ”suku” apa atau dari agama apa dia. Ia
wakil Indonesia.
Sebagaimana Rima Melati. Bung Karno telah meneladani ke-
Indonesia-an dengan memilih nama itu, sebagaimana ia membe­
ri nama putrinya ”Megawati”, bukan ”Waljinah”. Bung Karno
meng­hindari nama yang tipikal Jawa (atau kelompok suku dan
etnis lain), dan dengan demikian menunjukkan: tanah air ini bu-
kan hanya multi-kultural, melainkan ”inter-kultural”.
Jika di Malaysia atau Singapura ada garis yang jelas antara­
”Harun” dan ”Stephen”, di Indonesia kita bisa bersua dengan
”Stephen Harun” dalam diri satu orang. Jika di Semenanjung
Mu­hammad Ali pasti orang yang masuk dalam kategori Melayu,
di sini belum tentu. Tiga puluh tahun yang lalu seorang teman
pu­nya kenalan bernama Muhammad Islam. Agamanya Kristen.
Juliet salah, tapi ada bagusnya dia bertanya. What is in a name?
Sebab ternyata banyak cerita dalam sepotong nama. Terutama­
­jika kita tak anggap nama sebagai tanda identitas yang mengung-
kung, melainkan sebagai tanda bahwa manusia adalah pribadi-
pribadi. Merdeka. Bukan sebuah eksemplar dari sebuah himpun­
an. Bukan sebuah angka.

Tempo, 12 September 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

684 Catatan Pinggir 9


”ROH”, ”API”, KATA BUNG KARNO

B
ung Karno mungkin kesepian. Di Ende, diasingkan
oleh pemerintah kolonial sejak Februari 1934, hanya sa-
tu-dua orang yang berani mengunjunginya. Tentu saja
tak ada rapat umum tempat ia bisa berpidato, dielu-elukan orang
ramai, didengarkan dengan kagum.
Seorang penulis biografi politiknya, Bernard Dahm, menye-
butkan, dalam kesendirian itu Bung Karno ”berpaling mencari
lindungan ke dalam Islam”. Di Ende, Bung Karno memang ba­
nyak­bicara soal Islam, tapi saya tak yakin tepatkah kata ”lindung­
an” (dalam versi Inggris ”refuge”) di situ.
Sejak Desember tahun itu, ia memulai serangkaian kores­
pon­densi dengan T.A. Hassan, tokoh ”Persatuan Islam” yang
ber­alamat di Bandung. Surat-surat itu, kemudian terkenal seba­
gai ”Surat-Surat Islam dari Endeh”, terkumpul dalam Dibawah
Ben­dera Revolusi, sebuah buku monumental yang menghimpun
hampir semua risalah yang ditulis Bung Karno di masa pergerak­
an nasional. Mula-mula ia meminta kepada ”saudara-saudara” di
Bandung itu agar dikirimi buku-buku. Kemudian surat-surat itu
jadi sederet diskusi tentang keadaan umat Islam di Indonesia dan
dunia.
Saya belum pernah membaca bagaimana T.A. Hassan mem-
balas. Tapi dari ke-12 surat Bung Karno, tak tampak ada rasa gen-
tar untuk mengecam keadaan Islam waktu itu dengan kata-kata
tajam. Artinya, ia tak mencari ”lindungan” dalam Islam. Apalagi­
Islam yang ia saksikan adalah Islam yang dirundung takhayul
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan ”taqlidisme” dan dihambat ”hadramautisme yang jumud-


maha-jumud”.
Islam yang demikian itu menampik perubahan. Pada 18
Agustus 1936, Bung Karno menulis: ”Kita royal sekali dengan

Catatan Pinggir 9 685


”ROH”, ”API”, KATA BUNG KARNO

per­kataan ’kafir’, kita gemar sekali mencap segala barang yang


baru dengan cap ’kafir’.” Maka yang disebut ”Islam” akhirnya ha­
nya,

... dupa dan korma dan jubah dan celak-mata! Siapa yang mata­
nya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa yang mata­
nya­dicelak dan jubahnya panjang dan menggenggam tasbih yang se­
lalu berputar—dia, dialah yang kita namakan Islam.

”Astagfirullah!” seru Bung Karno.


Saya tak tahu apa yang akan terjadi terhadap Bung Karno se-
andainya ia hidup di hari ini dengan kata-kata setajam itu. Tapi
tampaknya masa lalu belum beringas. Memang di tahun 1928-
29, di Pekalongan, Jawa Tengah, ada orang yang menganggap
nya­wa Bung Karno ”halal” untuk dihabisi, karena bicara banyak­
tentang nasionalisme. Tapi kesan saya, tahun 1930-an adalah ma­
sa­yang punya ruang luas untuk berpolemik tentang Islam, tanpa
hendak saling membungkam. Tulisan tajam Bung Karno dimuat
dalam majalah Pandji Islam, yang terbit pada 1935; juga bantah-
an terhadapnya. Hasilnya: satu mutu perdebatan yang sampai
sekarang belum tertandingi.
Hassan bukan orang yang sepaham. Khususnya dalam hal ke-
bangsaan. Buku Luthfi Assyaukanie, Islam and the Secular State
in Indonesia, menyebut Hassan sebagai orang yang menganggap­
tindakan ”mengundang dan mengajak orang ke dalam kebang-
saan” satu hal yang ”dilarang oleh Islam”. Sebaliknya Bung Karno­
menilai ”Persatuan Islam”, organisasi Hassan, cenderung kepada
”sektarisme”. Tapi benturan pendapat kedua orang itu—apa pun
http://facebook.com/indonesiapustaka

jawaban Hassan dalam korespondensi bersejarah itu—tak sam-


pai merusak percakapan mereka.
Tentu harus dicatat: seandainya Bung Karno bukan seorang
pe­mimpin pergerakan nasional yang diikuti ribuan orang, mung-

686 Catatan Pinggir 9


”ROH”, ”API”, KATA BUNG KARNO

kin ia tak akan didengar dengan rasa segan. Ada satu hal lain:
dalam kritiknya kepada keadaan dunia Islam ia meletakkan diri
sebagai orang-dalam: ia memakai kata ”kita”, bukan ”kalian”.
Tapi ada faktor yang lebih penting. Indonesia sedang berada
dalam kejutan perubahan-perubahan besar sejarah. Kolonialisme­
memperkenalkan dunia modern yang tak terkalahkan. Tradisi­
dan adat mulai digugat, modernitas melecut. Masyarakat la­ma
re­tak. Berdirinya Sarekat Islam (tahun 1912) adalah jawaban
atas keretakan itu. Organisasi ini meninggalkan Islam yang di­
ce­mooh Bung Karno sebagai celak-kurma-jubah-dupa semata.
Lebih jelas lagi Muhammadiyah. Ia lahir dengan tekad menying­
kirkan Islam dari ”takhayul”, dengan keberanian menghalalkan
orang Islam mengenakan pakaian Barat dan niat mendirikan se­
kolah dan rumah sakit seperti dilakukan orang Kristen.
Maka ketika Bung Karno menyebut adanya dynamical laws
of progress, tak ada yang membantahnya. Menjelang pertengah-
an abad ke-20 itu, orang umumnya yakin kemajuan adalah ”hu-
kum” sejarah, juga buat umat Islam. ”Panta rei, kata Heraclitus—
segala hal mengalir, segala hal selalu berubah, segala hal memer-
lukan pembaharuan,” tulis Bung Karno dalam ”Me-’muda’-kan
Pengertian Islam”.
Tapi jika kemajuan tak bisa dielakkan, tak berarti umat Is­
lam­tak jadi subyek yang aktif menggerakkannya. Bung Karno,
seorang Marxis yang paham dialektika, akan menjawab bahwa­
sejarah, juga kemajuan, tak hanya terjadi karena ia niscaya. Kema-
juan terjadi karena ada kesadaran manusia untuk bertindak.
Maka Bung Karno berkali-kali bicara perlunya umat Islam
menghidupkan ”Roh Islam yang berkobar-kobar”, ”api Islam
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang menyala-nyala”, ”dari ujung zaman yang satu ke ujung za-


man yang lain”.
Dua buah metafor yang memukau—tapi juga dua kiasan yang
keliru. Bung Karno tampaknya percaya ada ”api” yang kekal, ada

Catatan Pinggir 9 687


”ROH”, ”API”, KATA BUNG KARNO

”Roh Islam yang sejati”. Dengan kata lain, keduanya tak tersen-
tuh oleh sejarah yang bergerak, bebas dari panta rei. Di sini Bung
Karno melenceng dari pandangan Marxistisnya sendiri. Dalam
pandangan ini ”Roh Islam yang sejati” tak akan pernah ada. Yang
ada: tafsir orang, di suatu masa, di suatu tempat tentang apa yang
”sejati” dan yang bukan.
Dan tentang ”Roh”....
Barangkali kita tak perlu istilah yang melambung. ”Roh” itu
sebenarnya hal yang biasa saja: hasrat manusia untuk tak tengge­
lam. ”Api” itu bukan datang dari luar sejarah, ”Roh” itu bukan ja­
tuh dari langit. Keduanya terbit dari dalam pengalaman manusia
di atas bumi di dalam kekurangannya.
Itu sebabnya hasrat itu senantiasa ada. Bung Karno, yang ter-
kadang seakan-akan menyamakan ”Api” dan ”Roh” itu dengan
”ra­sio”, mengatakan bahwa ada sebuah masa—tak kurang dari
1.000 tahun—ketika sejarah Islam hanya terdiri atas ”abu” dan
”de­bu”. Itu adalah masa gelap yang panjang ketika ”akal menjadi
terkutuk” di ingatan umat.
Tapi benarkah semudah itu gelap menimpa?
Bung Karno termasuk orang yang berasumsi, kebekuan itu
bermula dengan berkuasanya pemikiran Abu’l Hasan al-Ash’ari.
Sejak berkembangnya Ash’arisme, dan itu berarti di abad ke-9,
”Islam bukan lagi satu agama yang boleh difikirkan secara merde-
ka, tetapi menjadi monopolinya kaum faqih dan tarikat.”
Di sini saya kira Bung Karno alpa. Ia tak menjelaskan ba­
gai­mana sebuah ”haluan” pemikiran dapat demikian berkuasa,
hing­ga ”akal, fikiran, rede, reason, dienyahkan”. Bung Karno—
seorang Marxis yang menafsirkan sejarah—seharusnya tak per-
http://facebook.com/indonesiapustaka

caya bahwa Ash’arisme dengan begitu saja telah menghentikan


”rasionalisme” berkembang di dunia Islam, hingga akal ”hampir
seribu tahun dikungkung”. Ia tak seharusnya percaya bahwa satu
”haluan” dapat menciptakan sebuah kondisi yang bertahan lama.

688 Catatan Pinggir 9


”ROH”, ”API”, KATA BUNG KARNO

Apalagi sejarah mencatat, keadaan ”terkungkung” itu tak ber-


langsung ”hampir seribu tahun”. Juga tak pernah secara mutlak.­
Dunia Islam terus melanjutkan vitalitasnya di abad ke-12 di Spa­
nyol. Di abad ke-15 Turki Usmani meluaskan kekuasaannya ke
Balkan dan merebut Konstantinopel, bahkan mengepung Wina
untuk kedua kalinya di abad ke-17. Di India, raja-raja Moghul
menghasilkan sastra, teater, dan arsitektur yang dikagumi sampai­
sekarang, misalnya Taj Mahal. Di Iran, filosof Mulla Sadra mem-
bangun Mazhab Ishfahan.
Walhasil, ada yang tak kunjung padam. Bukan ”Api” yang ke­
kal, bukan ”Roh” yang datang dari luar sejarah, melainkan praxis,­
atau laku, yang mencoba mengatasi kemandekan, yang mencoba
melepaskan diri dari kekurangan. Dalam laku itulah kaidah yang
mencengkeram ditabrak, dibengkokkan, atau dibuat elastis. Kata
Bung Karno:

Islam tidak akan bisa meninggalkan suasananya abad pertama,­


tatkala manusia tak kenal lain kendaraan melainkan onta dan ku­
da, tak kenal lain senjata melainkan pedang dan panah... kalau hu­
kum-hukumnya tidak seperti ’ karet’. Zaman beredar, kebutuhan
ma­­nusia berobah—panta rei!—maka pengertian manusia tentang
hukum-hukum itu adalah berobah pula.

Kata ”karet” kini punya konotasi yang kurang baik (Bung


Kar­no menerjemahkannya dari kata elastic), tapi agaknya gam-
baran yang hendak dipaparkan adalah keniscayaan sikap yang lu-
wes, sikap pragmatis: pada mulanya bukan logos yang, seperti di-
dalilkan rasionalisme, tak tersentuh oleh pengalaman di dunia.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pada mulanya adalah laku, ”Im Anfang war die Tat,” seperti ujar
Faust dalam karya Goethe.
Dalam laku, kesadaran lahir. Melalui laku, pengetahuan
tum­buh. Pengalamanlah yang menentukan tafsir manusia ten-

Catatan Pinggir 9 689


”ROH”, ”API”, KATA BUNG KARNO

tang kaidah dan hukum yang datang dari Kitab Suci.


Manusia keliru bila menolak peran pengalaman. Maka meski-
pun mengagumi kebangkitan kerajaan Ibnu Saud dari padang
pasir Arab, Bung Karno melihat jalan buntu dalam semangat
”pe­murnian” agama di zaman Raja itu.
Jasa Wahabisme yang terbesar, menurut Bung Karno, adalah
”ke­murnian”-nya: ”Kembali kepada kemurnian, tatkala Islam
be­­­lum dihinggapi kekotorannya seribu-satu takhayul dan seribu-
satu bid’ah.” Tapi ketika ”kemurnian” disamakan dengan ”keasli­
an”, pemurnian jadi sesuatu yang menampik sejarah. Wahabisme
mencurigai ”tiap-tiap kemodernan”; ia seakan-akan pantulan pa­
dang pasir yang tak kenal tiupan hawa sejuk dari ”lapisan udara
negeri lain”. Di tahun 1920-an, telepon dan radio diharamkan
ma­suk ke Mekah. Akibatnya, pemurnian berakhir dengan kega­
gal­­an. Raja Ibnu Saud akhirnya bertindak mengatasi para ulama­
nya. Negeri Wahabi itu sedikit berubah.
Sampai di mana batas perubahan itu? Tidakkah, seperti sering
ditakutkan, sikap pragmatis, yang begitu luwes terhadap per­
ubah­an dalam sejarah, akan mengakhiri kepastian ajaran yang
dianggap kekal dan mutlak?
Bung Karno belum menjawab itu. Tapi siapa yang akan bisa
men­jawab itu, kecuali dengan kata-kata?

Tempo, 19 September 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

690 Catatan Pinggir 9


SI AYAM

A
da seorang laki-laki yang merasa dirinya sebutir beras.
Bila ini kurang aneh, masih ada tambahannya: ia merasa
diri sebagai sebutir beras dan membayangkan ada seekor
ayam besar yang membuntutinya, untuk mematuknya.
Siang dan malam ia cemas dan curiga. Tiap kali ia mengunci
pintu dan jendelanya. Ia tak ingin tahu apa yang terjadi di jalan
di sebelah rumah. Ia menutup kupingnya bila ia dengar ayam me­
ngais­­dan berkotek.
Setelah berbulan-bulan ia merasakan itu, istrinya membawa-
nya ke seorang psikiater. Selama 10 minggu lelaki itu diterapi,
hingga akhirnya ia dapat diyakinkan bahwa ia memang bukan
sebutir beras.
Tapi tak semuanya beres. Sang psikiater bingung, sebab laki-
laki itu tetap saja ketakutan bahwa ia akan dipatuk si ayam besar.
”Kenapa masih ketakutan? Kan tuan sudah tahu, tuan bukan
beras?”
”Benar. Aku bukan beras. Tapi si ayam mungkin masih meng­
anggap begitu.”
Ini cerita fiktif tentang paranoia—tapi lebih dari itu, ceri-
ta bagaimana orang percaya kepada hal yang paling aneh kare-
na ia memang mau percaya. Dunia di luar dirinya adalah dunia
yang dibentuk menurut kecemasannya. Informasi cuma penting
sepanjang cocok dengan kepercayaannya bahwa si ayam memang
ada.
Tentu, kepercayaan itu jadi teror bagi dirinya. Tapi dengan itu
http://facebook.com/indonesiapustaka

ia dapat alasan kenapa hidupnya tak menyenangkan. Ia bisa me­


nge­luh terus-menerus tentang keadaan tanpa melihat dirinya me-
mang patut menjalani hidup yang celaka.
Lagi pula, bayangan tentang si ayam memberinya kepastian.

Catatan Pinggir 9 691


SI AYAM

Hewan khayali itu satu bentuk yang lebih bisa ia ”pegang”, dan
itu menenteramkan. Ia gentar menghadapi gerak hidup yang tak
berbentuk, yang acak, yang inkonsisten. Ia takut menghadapi
khaos.
Dewasa ini kita berkali-kali menemukan sindrom beras &
ayam itu, terutama dalam diri orang-orang yang ”beriman”. Aga­
ma tampaknya memberi peluang. Saya kira itu juga yang terjadi
pada Terry Jones, seorang pendeta dari gereja fundamentalis di
Gainesville, Florida, AS, yang berencana membakar Quran tiap
hari.
Meskipun ia menulis buku Islam is of the Devil, ia mengakui ia
tak tahu sedikit pun tentang hukum Islam. Bahkan, seperti ter-
dapat dalam rekaman yang transkripnya diperoleh CBS News, se­
panj­ang umurnya yang 51 tahun itu ia tak pernah bertemu de-
ngan seorang muslim pun.
Baginya, informasi tak penting. Apalagi jika bertentangan de-
ngan apa yang diyakininya. Dan yang diyakininya adalah bahwa
hidup terdiri atas beras yang akan dipatuk dan ayam yang akan
mematuk beras. Si ayam, atau si Setan, ada di mana-mana. Dari
transkrip bertanggal 10 Agustus 2010:

T: Dan Anda percaya bahwa apa yang tak datang dari Tuhan
ber­arti datang dari Setan? Benarkah?
J: Yah, saya kira begitu. Tapi ya itu bergantung pada apa yang
Anda maksud. Saya tak percaya bahwa baseball itu berasal dari Se­
tan hanya karena tak berasal dari Tuhan. Tapi, maksud saya, pada
da­sarnya, umumnya, jika sesuatu tak datang dari Tuhan, itu dari
Setan. Benar.
http://facebook.com/indonesiapustaka

T: Apakah agama Hindu dari Setan?


J: Ya, tentu.
T: Agama Buddha?
J: Ya.

692 Catatan Pinggir 9


SI AYAM

T: Bagaimana tentang agama Yahudi?


J: Ya.

Jones dan jemaatnya yang cuma 50 keluarga memusuhi siapa


saja yang berbeda dari dirinya. Sang pendeta selalu membawa se-
pucuk pistol ke mana-mana. Pada Agustus 2009, dua anak dari
jemaat Jones pergi ke sekolah dengan mengenakan T-shirt ber-
tuliskan ”Islam is of the Devil”—hingga mereka dilarang masuk
kelas karena ”melanggar aturan berpakaian”.
Ia mengakui mengikuti Yesus, tapi kita tak tahu Yesus yang
ba­gaimana. Ia pernah tinggal di Jerman dan mendirikan sebuah
kongregasi di Kota Köln, Christliche Gemeinde Köln (CGK),
dari 1981 sampai 2008. Ia didenda pengadilan kota itu karena
memakai gelar ”Doktor”. Jones hanya pernah dua tahun belajar
di universitas negeri di Missouri dan tak pernah dapat gelar apa
pun di bidang teologi. Seorang pemimpin gereja di Kota Köln
me­ngatakan, pendeta Amerika itu ”tak memancarkan nilai-nilai
Injil dan Kristiani”, dan hanya membuat dirinya jadi ”pusat sega­
la-galanya”.
Menjadikan diri pusat, itu juga gejala seorang yang menyangka­
dirinya akan dihabisi Musuh Besar. Dengan membayangkan
ada­nya musuh sedahsyat itu, ia menjadikan dirinya istimewa. Di
sini tampak, imajinasi diri sebagai sebutir beras (si lemah yang
terancam) dan si ayam (si kuat yang mengancam) sebenarnya ber-
taut sejak semula dalam pandangan orang macam Terry Jones.
Para bigot, Kristen atau Islam, begitu cemas bahwa kepercayaan
dan nilai-nilai mereka akan dihancurkan—dan sebab itu meng-
gelembungkan kekuatan diri dalam rasa benci.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Iman mereka kepada Tuhan adalah iman yang tertutup. Iman


yang takut menemui orang lain, dunia lain, karena cemas­ diri
mereka akan jadi cair. Sebab itu agama mereka adalah agama
yang defensif. Terry Jones membawa Injil dan pistol, Taliban dan

Catatan Pinggir 9 693


SI AYAM

pelbagai variasinya di Indonesia membawa Quran dan golok.


Ke luar, mereka galak. Ke dalam, mereka represif. Mereka­terus-­
menerus ingin mengukuhkan persatuan, sebab itu anti-perbe­
daan di kaum sendiri. Mereka gemar melarang dan berseru
”awas”.
Tak mudah meyakinkan mereka bahwa iman yang tertutup­
itu akhirnya akan diterobos perubahan. Seperti ditunjukkan to­
koh KH Ahmad Dahlan dalam film Sang Pencerah, ”agama itu
proses”. Benda-benda yang dianggap ”kafir”—biola, pakaian
Barat, meja dan bangku sekolah, dan juga kereta api—tak dapat
ditolak selama-lamanya. Yang semula ”kafir” pun jadi bagian dari
”Islam”, bukan karena si kafir menyerah, tapi karena yang Islam
bu­kan jadi benteng, yang tertutup, tapi jadi bahtera yang meng­
arungi­ lautan baru. Di dalamnya manusia bukan cuma sebutir
beras yang ketakutan dan bukan juga seekor ayam yang ganas.

Tempo, 26 September 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

694 Catatan Pinggir 9


GUNA

A
PA guna Tuhan? Kita mungkin tak pernah bertanya.
Kita mungkin takut bertanya. Tapi Tuhan dimanfaat-
kan manusia tiap hari: Ia jadi tumpuan untuk mendapat-
kan yang dihasratkan. Ia disebut Sang Maha Pemurah: Ia sumber
perkenan. Dengan perkenan-Nya si sakit dibuat sembuh, si zalim
jatuh, perkawinan selamat, bulu tangkis menang, dan bisnis­ber­
untung. Pernah ada seorang pengusaha yang merayakan ulang­
ta­hunnya dengan disertai seorang pendeta yang membaca­kan
”doa mencegah bangkrut”.
Mungkin hanya orang macam Meister Eckhart, mistikus Jer-
man yang hidup di abad ke-14 itu, yang bisa mengatakan: ”Ka-
laupun satu-satunya doa yang kamu bisa ucapkan adalah ’terima
kasih’, itu sudah akan cukup.”
Memang ada beda antara Tuhan seorang mistikus dan Tuhan
orang ramai. Bagi orang ramai, Tuhan itu bermanfaat. Kalaupun
bukan untuk jadi sang penolong, Ia jadi fondasi terakhir dari apa
yang mereka ketahui dan perbuat. Dunia tak kekal dan tak tung-
gal, bergerak acak dan tanpa kepastian. Tanah dan laut menyim­
pan bekas gerakan yang tak semuanya tampak, bencana yang tak
bisa diprediksi. Mengalami itu, manusia akan jadi gila seandai­
nya­ tak menemukan sesuatu yang stabil dan abadi. Dengan itu
yang acak dijelaskan, yang kacau pun ditata.
Maka Tuhan pun hadir dan disembah.
Tapi tak hanya karena itu. Tuhan tak hanya bermanfaat dalam
keadaan manusia goyah. Ada sesuatu dalam diri manusia yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

tak mudah dijelaskan. Kant adalah pemikir pertama yang men-


deteksi hal itu; ia menyebutnya ”hukum moral”.
Kita tahu manusia terdiri atas tubuh yang tak bisa lepas dari
hu­kum di dunia fisik: jasad itu akhirnya akan aus, atau tak bisa

Catatan Pinggir 9 695


GUNA

me­lawan gravitasi, atau bertambah volume bila diisi. Jasmani itu


tunduk pada hubungan yang deterministis. Tapi di samping yang
fisik itu, ada yang lain. Ternyata pada manusia ada sesuatu yang,
untuk mudahnya, oleh Kant disebut ”noumenal”: rasio yang
mem­buatnya otonom dari alam. Pada manusia ada ”hukum mo­
ral”.­
Kesadaran akan hukum moral ini sering konflik dengan has-
rat badan kita, tapi kita mengakuinya sebagai sesuatu yang lebih­
tinggi ketimbang dorongan tubuh kita mengejar kenikmatan.
”Hukum moral” itu, dalam pemikiran Kant, tak lahir dari peng­
alaman. Ia inheren dalam struktur kejiwaan kita. Ia semacam
mahkamah yang sudah tertanam sejak kita jadi manusia. Ia me­
nuntut kita mematuhinya secara mutlak. Dan kita mematuhinya
bukan karena kita hendak mendapatkan hadiah atau pahala. Kita
mematuhinya tanpa syarat, tanpa pamrih, tanpa perkecualian.
Dalam bahasa Kant, kita mematuhinya sebagai ”kategorischen
Imperativ”, kewajiban kategoris—yang harus kita patuhi sebagai
sesuatu yang universal berlaku, tanpa standar ganda, dengan me-
lihat manusia bukan sebagai alat, melainkan sebagai tujuan.
Dari mana datangnya? Kant tak bisa menjawab. Kata-katanya­
yang termasyhur: ”Dua hal yang memenuhi pikiran dan ma-
kin lama makin mengagumkan dan membuat kita terkesima...
malam yang penuh bermiliar bintang di angkasa dan hukum
moral di dalam diri manusia.”
Kita tahu Kant hidup lebih dari satu abad sebelum Sigmund
Freud. Ia belum baca penjelasan bahwa ada nafsu di bawah sadar­
yang mendasari semua perilaku manusia. Tapi seperti Freud, Kant
tak mencari penjelasan tentang ”hukum moral” dari agama. Tin-
http://facebook.com/indonesiapustaka

dakan moral, kata Kant, bukanlah jadi sesuatu yang kita anggap
wajib karena itu perintah Tuhan. Tapi kita harus menganggap­nya
sebagai titah Tuhan karena kita punya ”kewajiban batin” kepada
tindakan moral itu.

696 Catatan Pinggir 9


GUNA

Dengan kata lain, peran dan kehadiran Tuhan disimpulkan


dari deduksi. Tuhan harus diasumsikan ada, karena ada kesadar­
an moral pada manusia. Sebuah agama yang bertolak dari akal
budi, menurut Kant, tak didasarkan kepada wahyu ilahi, melain-
kan kepada rasa tanggung jawab yang ditafsirkan sebagai unsur
ilahiah dalam diri manusia.
Tampak ada ambivalensi dalam pandangan Kant tentang Tu-
han. Ia berangkat dari tesis bahwa manusia adalah makhluk yang
otonom. Tapi ia menyimpulkan manusia memerlukan fondasi.
Kant punya pengaruh yang kuat dalam teologi Kristen, tapi se-
benarnya ia tak bisa dikatakan sebagai pemikir yang memandang
Tuhan dengan sangat hormat. Bukunya, Die Religion innerhalb
der Grenzen der blosten Vernunft (Agama dalam Batas-batas Akal
Semata) dilarang beredar oleh Frederick William II. Sensor telah
mencium ada yang murtad dalam risalah filosof dari Könisberg
yang terpencil itu.
Kant tak melawan. Tapi dalam catatannya yang ditemukan
setelah ia meninggal, yang dihimpun dalam Opus postumum (dari
1882-84), ada satu kalimat yang bisa merisaukan orang-orang
ber­iman: ”Tuhan bukanlah satu substansi yang ada di luar diri-
ku, tapi hanya satu hubungan moral dalam diriku”. Akal budi
punya daya untuk memerintah dengan wibawa, dan ”menyamar
sebagai satu person ilahiah”. Maka ”Sang Ens Summum [Wujud
yang Maha Luhur] adalah sebuah ens rationis [sebuah kreasi akal
budi]....”
Demikianlah Tuhan berguna. Ia jadi sumber kesatupaduan.
Ia, bersama agama yang dibangun atas nama-Nya, berfungsi se­
ba­gai penata kehidupan sosial. Ia bisa dipakai untuk menente­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ram­­kan hati kita ketika tak ada poros bagi nilai-nilai yang ber­
ubah dan berbeda.
Tapi begitukah kita bicara tentang Tuhan? Cukupkah Tuhan
hanya dimengerti sebagai Fondasi yang stabil dan statis, bukan

Catatan Pinggir 9 697


GUNA

Tuhan dalam ketidakterdugaan hingga kita tak mampu menang-


kap-Nya untuk digunakan?
Meister Eckhart mengutip seorang Guru: ”Andai kata aku pu-
nya Tuhan yang dapat kumengerti, aku tak akan menganggap-
nya Tuhan.” Mungkin juga: Andai kata aku punya Tuhan yang
dapat kugunakan, aku tak akan menganggapnya Tuhan.

Tempo, 3 Oktober 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

698 Catatan Pinggir 9


BAIK

S
ebelum Sokrates dihukum mati dengan meminum ra-
cun, ia sudah dibayangkan hampir tewas. Dalam sebuah
lakon yang dipentaskan di tahun 423 sebelum Masehi,
Aristophanes mengkhayalkan Sokrates sebagai pendidik yang
dibenci orang: sekolahnya, yang disebut ”Toko Pikiran”, dibakar
ramai-ramai. Sokrates melarikan diri.
Aristophanes punya alasan untuk menulis komedi itu: ia me-
musuhi guru filsafat yang dikagumi para pemuda itu. Aristopha­
nes seorang konservatif. Ia tak percaya kepada sikap skeptis yang
diajarkan pada filosof. Ia anggap diakuinya hak-hak politik indi­
vidu akan memperlemah Negara. Ia curigai sosialisme sebagai
peng­hasut para budak. Dan ia menganggap agama sangat pen­
ting­bagi kehidupan bersama.
Dengan pandangan hidup yang seperti itu, baginya Sokrates
se­buah sumber kekacauan. Sokrates telah menyesatkan anak-
anak­ muda, hingga mereka doyan bertanya terus-menerus ten­
tang­apa saja, juga tentang dewa-dewa.
Dalam lakon yang ditulisnya itu, Mendung, Aristophanes
membuat sebuah satire yang tajam.
Syahdan, Pak Strepsiades datang ke Sokrates di sekolah ”Toko
Pikiran”. Dilihatnya tuan guru sedang berada dalam sebuah ke­
ran­jang yang tergantung-gantung dari loteng. Di bawahnya be-
berapa murid menungging dengan pantat mencuat ke langit dan
hidung menyentuh tanah. Ada yang menduga, dalam adegan itu
Aristophanes hendak menyindir Sokrates, seorang homoseksual,
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang gemar memburu anak-anak muda. Tapi sang dramawan tak


cuma menyinggung hal itu.
Di pentas, tokoh Sokrates digambarkan berkata dengan ang-
kuh. Kutipan dialognya:

Catatan Pinggir 9 699


BAIK

Sokrates: ”Kamu bersumpah demi dewa yang mana? Sebab di


sini­dewa-dewa tak laku. (Menunjuk ke Mendung): itu dia dewa-
dewa yang nyata.
Strepsiades: ”Tapi mosok nggak ada Zeus?”
Sokrates: ”Tak ada Zeus.”
Strepsiades: ”Lalu siapa yang bikin hujan, dong?”
Sokrates: ”Mendung itu. Kan kamu tak pernah melihat hujan
tanpa mendung?”

Aristophanes menganggap Sokrates tak punya Tuhan. Dan


itu berbahaya.
Dalam bagian berikutnya, satire itu mengisahkan putra Strep­
siades yang bernama Pheidippides bersua dengan sepasang makh-
luk yang bernama Argumen Adil dan Argumen Tak-adil. Si Adil
menganjurkannya untuk meniru kebajikan orang-orang dari
Ma­ra­thon. Si Tak-adil sebaliknya mengajarkan moralitas baru:
apa untungnya mencapai kebajikan? Tiap satu orang jujur yang
suk­ses akan ditandingi dengan 10 orang tanpa kejujuran yang ju­
ga sukses. Coba lihat para dewa sendiri, kata si Tak-adil. Mereka
bohong, mencuri, membunuh-dan tetap disembah oleh seluruh
orang Yunani.
Pheidippides jadi murid yang patuh. Pada suatu hari, ia pukul
ayahnya sendiri. Alasan: ia cukup kuat dan merasa nikmat me­
lakukan itu. Lagi pula, katanya kepada sang ayah, Strepsiades:
”Bu­kankah engkau memukuliku ketika aku masih anak-anak?”
Strepsiades mengaduh dan minta belas kasih Zeus. Tapi anak
mu­da yang memukulnya itu memberi tahu: Zeus tidak ada. Yang
ada, seperti kata Sokrates, hanya Pusaran. Pusaran itu yang me-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nyebabkan air jadi hujan dan kembali jadi air.


Mendengar itu, Strepsiades berteriak marah. Ia berseru kepada­
seluruh warga kota yang baik agar menghancurkan filosofi ba­ru
itu. ”Toko Pikiran” dibakar. Sokrates nyaris tertangkap....

700 Catatan Pinggir 9


BAIK

Pendirian Aristophanes: moralitas akan berantakan jika tak


ada agama yang mengusung dewa-dewa. Sokrates, yang memper-
tanyakan segalanya pada dasarnya meragukan segalanya. Pada
akhirnya ia tak beriman kepada apa pun. ”Tentang dewa-dewa,
aku tak tahu apa-apa,” kata guru itu. Pandangan agnostiknya
ada­lah teladan yang mengandung tuba.
Memang, Sokrates tak menggunakan dewa-dewa sebagai
sum­ber apa yang baik. Sebagaimana dikutip dalam Euthyphro,
yang baik itu baik bukan karena dewa-dewa membenarkannya,
me­lainkan para dewa membenarkannya karena hal itu baik. De-
ngan kata lain: manusia otonom, sebenarnya. Ia bisa menentukan
sendiri.
Dalam pengalaman manusia sepanjang sejarah, memang yang
ada di ”atas” sana tak bisa diketahui. Manusia membaca Tuhan­
(atau para dewa) sebagaimana ia menebak orakel: ia menafsirkan.
Ia tak bisa lain. Ia hanya berpegang pada interpretasi. Dan in-
terpretasi itu tentu dipengaruhi oleh wataknya, pengalamannya,
acuan­nya. Jika si manusia itu bersifat penuh kasih sayang, maka
dewa atau Tuhan yang dibacanya akan tampil sebagai Tuhan yang
penuh kasih sayang. Jika si manusia itu jahat, cemburu, dan pen-
dendam, maka dewa atau Tuhan yang sampai kepada imannya
adalah Tuhan yang cemburu dan pendendam. Walhasil, bukan
agama yang membentuk manusia, melainkan sebaliknya. Ma­ka
memang benar ketika orang mengatakan, bukan agama­nya­yang
jahat, melainkan manusianya. Tersirat di sini pengakuan tentang
terbatasnya pengaruh agama bagi perilaku manusia umumnya.
Yang tak pernah kita dengar ialah ketika pernyata­an itu dibalik:
bukan agamanya yang mulia, tetapi manusianya....
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dan Sokrates pun dihukum mati. Ia harus minum racun. Ba­


nyak­cerita dan ada beberapa tafsir kenapa ia dianggap bersalah
kepada negeri yang ia pernah bela. Tapi konon Sokrates menye-
but bahwa pelbagai dakwaan kepadanya semata-mata berdasar-

Catatan Pinggir 9 701


BAIK

kan citra tentang dirinya yang disebarkan Aristophanes.


Yang patut dicatat ialah bahwa tak ada nada dendam dalam
kata-kata akhirnya.

Tempo, 10 Oktober 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

702 Catatan Pinggir 9


YANG-LAIN

B
eberapa saat sebelum ia tewas, Karna tahu ia akan ka-
lah. Dan ia akan kalah dengan kesadaran yang pahit: ia
akhirnya memang bukan apa-apa. Ia merasa diri telah
bertempur dengan keberanian seorang pendekar perang, tapi
si­apakah dia sebenarnya? Bukan seorang dari keluarga Kurawa
yang dibelanya. Bukan seorang kesatria seperti para pangeran di
pertempuran di Kurusetra itu. Ia hanya seorang yang, ketika ter-
pojok, tak bisa membaca lengkap mantra yang mungkin akan
me­nyelamatkannya dari panah Arjuna.
Saat terlalu sempit untuk memaki atau menangisi nasib. Tapi
ia ingat: mantra yang lengkap itu tak diberikan kepadanya oleh
gu­runya, Rama Bargawa. Sang guru membatalkan memberinya­
versi yang penuh, karena ia dianggap telah berdusta: ketika ia da­
tang berguru, Karna tak mengaku ia datang dari kasta kesatria—
kasta yang bagi Rama Bargawa, yang berasal dari kaum brahma­
na dan punya dendam khusus kepada para kesatria, harus dimus­
nahkan.
”Tapi hamba memang bukan dari kasta itu,” Karna ingin
mem­protes ketika sang guru membongkar ”kepalsuan” dirinya.
Ta­pi protes itu, seperti air matanya, harus ia tahan. Ia segera kem-
bali ke asrama, mengemasi pakaian dan busur serta panahnya,
lalu pergi seperti dikehendaki: seorang murid yang diusir.
Tidak, Rama Bargawa tak akan mempertimbangkannya kem­­
bali. Guru ini merasa tahu bagaimana dengan tepat meletakkan­
orang lain. Baginya tak ada yang tak terduga: manusia sela­lu ada
http://facebook.com/indonesiapustaka

dalam kategori tertentu. Kasta. Asal-usul. Agama. Katego­ri itu


memberinya kekuatan, juga kekuasaan, untuk mengerti dan me­
nguasai benda-benda dan apa saja yang di luar dirinya. Anak mu­
da tampan dan cerdas yang dulu datang kepadanya untuk bergu-

Catatan Pinggir 9 703


YANG-LAIN

ru itu harus seorang kesatria, apabila ia bukan brahmana. Identi­


tas itu kukuh, dan harus ditegakkan. Bagi Rama Bargawa, tak
ada yang tak dapat digolongkan.
Yang tak diketahui Bargawa ialah bahwa Karna justru tak da­­­
pat digolongkan. Kisah hidupnya kita kenal: seorang bayi ha­nyut­
di sungai, dalam sebuah kotak kulit, tak tahu dibuang dari ma­
na­dan oleh siapa. Orang hanya bisa menduga: kotak itu, dan se­
li­mut yang menutupi tubuh bayi itu, menunjukkan orok itu bu­
kan­berasal dari kaum kebanyakan. Tapi ia akhirnya harus berna-
sib la­in. Seorang perempuan, istri seorang sais kereta, menemu-
kannya, menyelamatkannya, dan akhirnya mengadopsinya. Kar-
na tum­buh sebagai anak hingga remaja sebagai bagian dari kasta
pa­­ra sais. Tapi benarkah? Ia mencintai ayah-ibu angkatnya, tapi
orang-orang selalu mengatakan bahwa ia anak dapat, ia tak sama
de­ngan orang-orang di dusun itu. Ia berbeda.
Tapi siapa dia? Apa dia?
Dalam kisah Karna, Mahabharata menampilkan sebuah sisip­
an tragedi: seorang telah dengan sia-sia, meskipun heroik, men-
coba melawan takdir yang tak adil. Di Kurusetra, di perang tan­
ding­dengan Arjuna itu, Karna tahu: ia kalah, ia mati, karena ia
lahir dengan identitas yang tak bisa dirumuskan, tapi oleh bahasa
sang Guru, ia ditunjuk dengan pasti dan benci-dan mantra sakti
itu bukan untuknya.
Di sini yang kejam bukan hanya nasib. Yang kejam adalah im-
perialisme pikiran ala Bargawa yang selalu ingin menaklukkan,
bahkan mematikan, ”non-identitas”. Atau selalu ingin meringkus
hal-hal yang tak bisa dikategorikan, dengan mengidentifikasikan
unsur-unsur yang sama dalam benda-benda. Dalam penyusun­
http://facebook.com/indonesiapustaka

an kategori, ”yang-lain” harus ditiadakan. ”Yang-lain” harus di-


transformasikan ke dalam desainku yang satu. ”Yang-lain” harus
diubah sebagai, atau ke dalam, sesuatu yang sama.
Dalam imperialisme pikiran itu, Rama Bargawa tak sendiri.

704 Catatan Pinggir 9


YANG-LAIN

”Tiap kesadaran,” kata Hegel, ”memburu kematian yang-lain.”


Kata-kata itu mungkin terlalu berlebihan, tapi dalam kenyataan,­
”yang-lain”, ”yang-beda”, selamanya tak diakui, atau diringkus.
Dan Karna mati. Ia adalah ”yang-lain”, yang di luar kasta dan ka­
um. Ia bukan kesatria, bukan pula brahmana atau sudra; ia bukan­
Kurawa, bukan pula Pandawa. Memang pernah, ia diangkat­jadi
adipati dalam wilayah kekuasaan Kurawa. Memang pernah,­
Kun­ti, ibu para Pandawa, mengaku bahwa Karna adalah anak­
nya­yang dulu ia buang karena ia tak berani hidup dengan bayi
yang ayah­nya tak jelas. Tapi nasib sudah mencengkeram: ia, Kar-
na, se­nantiasa berada di luar, sejak lahir sampai dengan mati.
Tapi Mahabharata tak menghukumnya. Para dalang tak melu­
kiskan Karna sebagai tokoh yang sial. Dalam sebuah cerita yang
membuka keragaman yang demikian besar, Karna bisa membuat
kita lebih mengerti tentang manusia. Kita bisa mengerti bahwa
orang lain tak pernah bisa kita rumuskan—kecuali dengan ke-
bencian dan dendam. Orang lain adalah lain, berbeda, tapi ia tak
mutlak berbeda. Sesuatu yang mutlak berbeda tak dapat disebut
berbeda, karena tak dapat dibandingkan. Terapung-apung antara­
”beda” dan ”sama” itulah yang membuat manusia bisa merasakan
apa yang ditanggungkan liyan: orang lain yang juga bisa disebut
”sesama”.
Maka kita pun ikut berkabung untuk Karna.

Tempo, 17 Oktober 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 9 705


http://facebook.com/indonesiapustaka

706
Catatan Pinggir 9
ASTERIX

T
IAP jagoan perlu ironi. Tiap kali seorang tokoh ditampil-
kan demikian perkasa, penting untuk ambil jarak. Jarak
untuk berpikir lagi, dengan sedikit lelucon. Jarak untuk
lebih arif.
Ironi membuka pintu ke kearifan itu. Ironi, kata Anatole
Fran­­ce, adalah la gaiet de la rflexion et la joie de la sagesse. Bersama
iro­ni ki­ta bisa merenung kembali dengan hati ringan tentang hal
ih­wal yang ber­lebihan—dan jadi sedikit bijaksana seraya riang.
Agaknya itulah yang membuat kita, pada usia di atas 40—
yang sudah menyaksikan sejumlah omong kosong di dunia—tak
berhenti menyukai komik Asterix. Kita hanya sesekali menengok
kembali Superman atau Batman yang kita gemari pada usia di
bawah 20.
Asterix diciptakan Ren Goscinny dan Albert Uderzo. Umur
ko­mik ini lebih panjang ketimbang Goscinny sendiri, yang me-
ninggal pada 1977, setelah ulang tahunnya yang ke-51. Uderzo
me­neruskan karya bersama itu. Cerita bergambar yang kocak itu
kini sudah mencapai sekitar 34 jilid, sejak pertama kali terbit di
majalah Pilote pada 29 Oktober 1959.
Sebagaimana tiap penggemarnya tahu, Asterix dikisahkan
tinggal di sebuah desa bernama Armorica di wilayah Gaul, atau
Gallia, atau Prancis kuno, sekitar tahun 50 sebelum Masehi. Di
masa itu, daerah yang luasnya meliputi peta Prancis modern itu
(plus Belgia, Luksemburg, dan Swiss) dikuasai imperium Roma­
wi di bawah Julius Caesar. Goscinny menciptakan Desa Armori-
http://facebook.com/indonesiapustaka

ca yang bebas untuk menunjukkan bahwa tak semua bangsa Gal­


lia­takluk. Dengan cara yang kacau-balau, tapi dengan bantuan­
ramuan jamu dukun mereka, Asterix dan orang-orang sekam-
pungnya selalu bisa mengalahkan tentara Romawi yang perkasa.

Catatan Pinggir 9 707


ASTERIX

Ramuan jamu itu bisa membuat tubuh mereka mahakuat, seperti


Popeye sang Kelasi setelah menyantap bayam.
Tapi Asterix dan kawan-kawannya yang mencoba mengelak
da­­ri penjajahan Romawi berbeda dari si Popeye yang melawan
Blu­to yang merebut sang kekasih, Olive Oyl. Karya E.C. Segar,
kar­­tunis yang hidup pada awal abad ke-20 di kota kecil Chester­
di Illinois, Amerika Serikat, itu praktis tak bicara apa pun yang
ter­kait dengan politik. Popeye sebuah lelucon cepat yang bisa­di­
ulangi­lagi, cocok buat anak-anak. Sebaliknya, Asterix me­ngan­
dung­ percakapan tentang kekuasaan dan tentang apa yang bisa
disebut sebagai patriotisme.
Patriotisme selalu punya masa lalu pilihan, dan dalam kasus­
Prancis—sebagaimana tersirat dari lelucon Goscinny dan Uder­
zo—pilihan itu jatuh ke sebuah sejarah dua milenium lebih­ di
ma­sa silam. Tokohnya Vercingetorix, yang bunyi ”ix”-nya meng­
ilhami Goscinny dan Uderzo untuk dipelesetkan.
Vercingetorix menolak kolonisasi Romawi. Orang Gallia ini
berontak. Ia berhasil menghimpun kembali para pemimpin lokal
yang saling bersaing. Ia jadi raja mereka dengan dukungan petani
miskin. Ia tak main-main. Ia pernah mengalahkan Julius Caesar,
dan hampir berhasil ketika ia mengepung pasukan Romawi de-
ngan 30.000 tentara di Alesia. Tapi Caesar lebih berpengalaman.
Dibangunnya dua dinding konsentris sebagai penangkis. Vercin-
getorix gagal. Pemimpin Gallia ini akhirnya menyerah pada ta-
hun 52 sebelum Masehi, dirantai ke Roma dan mati.
Jika kita lihat patung setinggi tujuh meter yang didirikan Na-
poleon III untuk mengenang Vercingetorix, kita praktis tak akan
teringat Asterix atau siapa pun dari tangan Goscinny dan Uderzo.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sosok patriot besar Gallia itu tinggi tegap. Rambutnya ikal me­
manjang. Sebaliknya Asterix kontet, apalagi bila disandingkan
dengan sahabatnya yang gendut gempal, Obelix. Wajahnya tua,
tapi tanpa wibawa.

708 Catatan Pinggir 9


ASTERIX

Pada awalnya sebenarnya Uderzo ingin menggambar seorang


tokoh yang gagah berotot untuk melukiskan seorang pendekar
Gallia. Tapi Goscinny punya ide lain, dan jadilah Asterix. De-
ngan itulah kedua penggambar itu menyelamatkan patriotisme
bu­kan saja dari lambang yang membosankan (lelaki berotot, ta­
tap­an mata yang berani), tapi juga dari kemungkinan jadi emosi
yang konyol. Patriotisme jadi konyol ketika gairah mencintai se-
buah tanah air meluap-luap sedemikian rupa hingga tak ada ru-
ang untuk melihat apa pun yang lain, apalagi untuk kesadaran
akan ironi.
Asterix menyegarkan, mungkin karena ia lahir setelah dua
pe­­rang­besar yang hampir menghancurkan Eropa—dua perang­
yang dipicu oleh patriotisme yang berkembang jadi nasionalisme
yang ganas. Mungkin bukan kebetulan bahwa Goscinny dan
Uder­zo bukan orang Prancis ”asli”, kalaupun kata ”asli” ini je­
las. Goscinny, yang pernah masuk tentara Prancis pada masa Pe­
rang­Dunia II (sebagai pembuat poster), berdarah Yahudi Polan-
dia; meskipun lahir di Paris, ia dibesarkan di Buenos Aires dan
per­nah tinggal di New York. Uderzo keturunan Italia. Nama ke­
luar­ga itu berasal dari Dusun Oderzo di Italia, sekitar 70 kilo-
meter arah timur laut dari Venesia. Ketika karya mereka terbit,
dan disu­kai tak hanya oleh orang Prancis, tampaklah bahwa Ero-
pa tak bisa menganggap nasionalisme lama dengan tanpa humor.
Asterix lahir dan tumbuh ketika sikap naif dan sempit tentang
pahlawan tanah air—juga tentang heroisme umumnya—sudah
di­tinggalkan.
Dalam hal itu, Asterix berbeda dari para superhero produk
Amerika. Superman, Batman, apalagi Captain America, adalah
http://facebook.com/indonesiapustaka

pendekar yang terlampau serius dengan kepahlawanan mereka­


sendiri. Para penciptanya mengkhayalkan manusia yang serba­
dahsyat—seperti para penggambar itu belum pernah kecewa da­
lam mempercayai sesuatu dan memuja sesuatu.

Catatan Pinggir 9 709


ASTERIX

Syahdan, Presiden Sarkozy menghadiahkan komik Asterix


ke­pada anak Presiden Obama. Saya tak tahu apa pesannya. Tapi
mungkin ini: di dunia ini, Nak, humor dan ironi lebih menye­la­
matkan kita ketimbang impian tentang kekuasaan dan keagung­
an....

Tempo, 24 Oktober 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

710 Catatan Pinggir 9


TEATER

T
ak cuma menafsirkan kenyataan, tapi juga mengubah­
nya....­
Marx mengemukakan ini—meskipun tak persis begi-
tu—ketika ia berbicara tentang filsafat. Statemennya dapat juga
di­terapkan untuk ideologi dan agenda politik. Tapi di sini saya
ingin­ mengemukakan hal yang sama untuk sesuatu yang lebih
ber­sahaja: produksi kesenian. Terutama teater.
Teater tak cuma sebuah tafsir atas kenyataan. Bekerja dalam
tea­ter mengajarkan kepada saya bahwa pada mulanya memang
bu­­kan teks—satu kesimpulan yang juga berlaku untuk hal-hal
lain dalam hidup. Ketika saya menulis libretto untuk Opera Tan
Malaka, saya menyusun sebuah teks yang agak rinci. Saya sudah
me­rancang bagaimana adegan diaktualisasikan dalam pentas,
un­sur apa saja yang harus hadir di sana, bagaimana para pemeran
ber­gerak. Tapi dalam proses produksi, banyak hal berubah.
Pertama-tama perlu disebutkan, opera ini tak dimaksudkan
un­tuk jadi sebuah narasi biografis. Saya tak ingin berkisah ten-
tang riwayat orang yang pernah disebut sebagai ”Bapak Republik­
Indonesia” ini bagian demi bagian. Saya asumsikan cerita perju­
angan­nya bisa dibaca di tempat lain. Dengan sebuah libretto saya
ingin mengatakan sesuatu yang lain.
Dalam pertemuan awal Tony Prabowo menyebut yang di­li­
hat­nya di Lincoln Center Festival tahun 2005: Shadowtime, se-
buah opera tentang pemikiran dan pengalaman Walter Benja-
min, yang diciptakan komponis Brian Ferneyhough dan libretis
http://facebook.com/indonesiapustaka

Charles Bernstein. Ini ”opera pikiran”. Kami pun sepakat: yang


akan saya tulis adalah sebuah ”opera-esai”.
Tentu saja ini akan berbeda dari opera dalam pengertian yang
lazim. Saya tak pernah menyukai opera macam itu, di mana

Catatan Pinggir 9 711


TEATER

tiap ucapan dinyanyikan para pemegang peran. Tony Prabowo


sependapat dengan saya. Walhasil, kami berniat untuk membuat
sebuah opera yang setengah-hati.
Saya menemukan satu model yang pas: teater epik dan jejak-je­
jak Brecht. Teater ini bergema keras di awal abad ke-20 di Jerman­
ketika semangat revolusi Marxis, yang mengilhami Tan Malaka,
bertaut dengan energi pembebasan dalam seni. Orang lupa, sebe-
lum di pertengahan tahun 1930-an Stalin mengurung sastra dan
seni dalam kerangkeng yang ia sebut ”realisme sosialis”, Revo­lusi
Oktober 1917 di Rusia seakan-akan membuka bendungan kreati-
vitas yang sebelumnya tertekan kekuasaan Tsar. Gerakan avant-
garde dan lain-lain lahir. Lebih mengesankan lagi Konstruktivi­
sio­nis dalam seni rupa dan arsitektur.
Brecht, pemikir dan pelaku teater sayap kiri yang terbesar
dalam sejarah, melanjutkan elan itu. Ia menerobos ”adat” yang
mem­bentuk teater Eropa. Zaman makin mengungkapkan ironi­
dan kontradiksi, ketika dunia borjuasi kian ditunjukkan keretak­
an dan disparitasnya. Dari kondisi itu sebuah jenis teater lain pun
dibutuhkan—teater yang tak lagi menampilkan dunia kenyataan
yang koheren.
Brecht pun melahirkan teater yang hidup dari montase: ba-
gian-bagian yang terpisah, yang sekaligus hadir. Tak ada lagi to­
tal­itas yang merangkum dan menguasai. Tiap tesis menemukan
antitesisnya. Ada aktor yang berbicara. Ada poster. Film. Nyanyi.
Gerak tari atau semacam tari. Tak ada pusat. Para penonton dili-
batkan, sebab batas antara ”luar” dan ”dalam” praktis tak lagi
te­­tap. Mereka diharapkan aktif memilih segi pandang mereka­
sendiri, dan siap memindahkannya. Mereka tak diharapkan ha­
http://facebook.com/indonesiapustaka

nyut terbuai oleh alur cerita. Tak ada alur cerita. Yang ada hanya
entakan-entakan untuk berpikir.
Sebuah opera tentang Tan Malaka tentunya cocok dengan en-
takan kontradiksi itu. Itulah yang kemudian terwujud. Di pen-

712 Catatan Pinggir 9


TEATER

tas, imaji penjara diperkuat (kita ingat Dari Penjara ke Penjara),


tapi pada saat yang sama juga imaji revolusi: barisan pelba­gai pa-
sukan revolusioner di tengah sayup-sayup suara radio dengan
lagu ”Internasionale”. Juga aksentuasi kepada keinginan pembe-
basan: ”Aku tulis namamu, kemerdekaan”, seperti kata sajak Paul
Eluard, penyair komunis Prancis itu.
Panggung ala Konstruktivisionis Rusia dalam opera ini me­
nge­sankan sebuah pabrik tempat buruh ditindas, tapi juga kapal
yang membawa orang meninggalkan dunia lama ke laut bebas,
seperti Sinbad. Apa yang maskulin, serebral, abstrak, dan kekal
dalam discourse politik (”menulis, dan menulis”) langsung diser-
tai laku menyuratkan sesuatu di bumi yang tak kekal, oleh ta­
ngan­seorang perempuan yang bergegas.
Paduan suara seakan-akan berada di atas kejadian-kejadian,
ta­pi pada saat yang sama menyuarakan kata hati. Sementara sang
”na­rator” mengambil jarak dari sejarah Tan Malaka, sang ”to­
koh”­ dalam sel justru terlibat dengan sejarah itu. Penyanyi aria
per­tama adalah kontras bagi penyanyi kedua. Kata-kata bertaut­
dan bertarung dengan musik, makna dengan suara. Gaya realis­
da­lam penampilan kedua aktor ditingkahi dengan cetusan-ce­
tus­­­­an­ima­jistis: deretan buruh yang lelah, hamburan rakyat mis­
kin­ yang tergusur di bawah hujan, pasukan Nazi yang perkasa
dan represif. Waktu, dalam opera tentang sosok sejarah ini, diha­
dir­kan justru dalam potongan-potongan yang tanpa kronologi.
Suasana lokal—rombongan orang melarat itu, suara Bung Karno
membacakan proklamasi, kostum penyanyi aria—dipasang ber-
sama suasana yang melintasi lokalitas.
Saya ingat Brecht. Teater kami, katanya, adalah untuk me­
http://facebook.com/indonesiapustaka

rang­sang hasrat mengetahui dan keasyikan (Spaß ) mengubah re-


alitas. Saya baru teringat kalimat itu kembali setelah proses mem-
persiapkan opera ini hampir selesai. Keasyikan itu terutama kare-
na ada pertemuan dengan kemungkinan baru, juga pergulatan

Catatan Pinggir 9 713


TEATER

dengan kesalahan sendiri—karena pada mulanya bukanlah teks.


Pada mulanya adalah perbuatan, seperti kata Tokoh dalam opera
ini, dan itu berarti ketidakpastian.
Hidup mau tak mau berlangsung, dan dirayakan, dari situ.

Tempo, 31 Oktober 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

714 Catatan Pinggir 9


KANVAS

D
I Istana Bogor, patung perempuan di mana-mana. Te­
lanjang. Tubuh dengan lekuk yang jelas. Badan dengan
proporsi yang rapi. Tampilan jangat yang kencang tapi
halus. Paras dengan raut yang tanpa cela....
Bung Karno telah merias kediaman resmi itu dengan selera­
nya,­selama ia tinggal di sana sebagai presiden pertama sekitar 10
tahun. Para penggantinya dengan satu dan lain cara masih meng-
hormatinya. Pajangan koleksi itu tak dihancurkan. Bahkan tam-
pak dirawat.
Tapi Bung Karno telah pergi lebih dari 40 tahun yang lalu. Za­
man berubah, pemimpin berganti. Di masa yang kian konserva­
tif kini, orang tetap menghormati tinggalan itu, tapi agaknya tak
mu­dah menerimanya. Oktober 2009 saya mengunjungi Istana
itu dengan beberapa sastrawan dalam dan luar negeri; para tamu
ter­tawa geli. Mereka lihat tiap patung itu ditutupi selembar kain
yang dibelitkan. Sensor atau bukan, efeknya justru membuat kar­
ya-karya tiga dimensi itu—yang semula bertaut dengan ruang—
seakan-akan melepaskan diri dari latar belakang. Mereka lebih
hadir. Ketelanjangan itu justru menarik perhatian: penutup itu
mengalahkan dirinya sendiri.
Tapi juga keindahan bisa mengalahkan dirinya sendiri—jika
keindahan diartikan seperti yang tampak di deretan patung di
Istana Bogor itu. Bentuk-bentuk itu dimaksudkan sebagai karya
artistik. Tapi ketika yang artistik hanya berarti cantik, yang ”in-
dah” pun jadi sesuatu yang tunggal. Kecantikan, kerapian, dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

keapikan akan menguasai total bentuk-bentuk, dan apa yang tak


cantik, tak rapi, dan tak apik adalah sesuatu yang ”lain”—yang
ha­rus dilenyapkan.
Agaknya itu sebabnya selalu ada pemberontakan terhadap ke­

Catatan Pinggir 9 715


KANVAS

indahan yang seperti itu. Pernah ada masa ketika seni rupa Indo-
nesia didominasi oleh kanvas-kanvas yang menyajikan gunung
yang biru, sawah yang menguning, sungai yang tenang, petani-
petani yang tenteram.
Awalnya bisa ditarik ke masa kolonial, ke awal abad ke-19.
Dalam Cultivated Tastes: Colonial Art, Nature and Landscape in
the Netherlands Indies (sebuah disertasi yang layak dibaca para pe­
nelaah sejarah seni rupa Indonesia), Susie Protschky menyebut­
na­ma seorang pelukis amatir, Abraham Salm (1801-1876), yang
hi­dup makmur dari perkebunan tembakau di Malang. Dialah­
yang praktis mengedepankan lukisan panorama. Suku kata ”pan”­
dalam kata itu (”pan” + ”horama”, kombinasi dua kata Yuna­ni
yang berarti pandangan yang menangkap semua) menunjukkan
ke­hendak untuk mencapai satu totalitas dalam satu kanvas. Ada
hasrat penguasaan terhadap apa yang tampak di luar sana. Dan
dalam hal panorama Salm, penguasaan itu dikukuhkan oleh
gam­bar lanskap yang elok, damai, tertib, sejahtera. Bagi sang pe-
lukis, yang juga pemilik perkebunan, keindahan hanya punya
tempat bagi rust (ketertiban), dan tidak bagi onrust (kekacauan).
Kecenderungan panorama ini tak terbatas pada Salm. Dalam
kanvas, keindahan praktis diwakili karya Willem Bleckmann
(1853-1952), Leo Eland (1884-1952), Ernest Dezentjé (1885-
1972), Abdullah Suriosubroto (1878-1941), Mas Pirngadie (1865-
1936), dan Wakidi (1889-1980). Di sebuah masyarakat yang pa­
sar­an seni bergerak terbatas di antara pejabat kolonial dan peng­
usaha yang ingin ketenteraman, karya para pelukis itulah yang
dikenal di dinding dan di penerbitan masa itu.
Begitu dominan kecenderungan itu hingga ia tak berhenti di
http://facebook.com/indonesiapustaka

masa silam. Bung Karno menggemari Dezentjé, sebagaimana­ia


menggemari patung perempuan yang bertubuh harmonis, ber-
wajah siap pasrah, tak menunjukkan pembangkangan-apalagi­
ke­kacauan. Juga sebagaimana ia menggemari karya Basuki Ab­

716 Catatan Pinggir 9


KANVAS

dullah.
Terhadap keindahan yang menampik onrust itulah sejak 1930-
an perupa S. Sudjojono berontak. Ia mencemooh panorama ala
Dezentjé sebagai lukisan ”Mooie Indie”, Hindia Molek. Dalam
buku yang baru saja terbit, Sang Ahli Gambar: Sketsa, Gambar
& Pemikiran S. Sudjojono oleh Aminudin T.H. Siregar, disebut-
kan bagaimana pelukis itu memandang kanvas Basuki Abdullah.
Lukisan Basuki, kata Sudjojono, cenderung mengutamakan ”ar­
tistieke plekken”, lokasi dan tempat yang memang sudah bagus.
Yang demikian bukanlah ”Indonesia”. Sebab Indonesia, menurut
Sudjojono, berarti ”bersatu, bangun, bekerja, jatuh, berkorban,
dan berjuang terus-menerus”.
Sudjojono, tentu saja, bukan seorang penyusun teori yang si­
ap. Cetusan pikirannya tak sistematis, sering tanpa argumen yang
kukuh. Tapi agaknya bisa diduga, ia menghendaki sebuah kan­vas
yang tak cuma berisi panorama dan paras yang elok karena­ter­
ken­dali. Kata-kata ”bangun, bekerja, jatuh, berkorban, berjuang”
mengarah ke pengertian sesuatu yang dinamis, terkadang sakit
dan tak menyenangkan, dan tak seluruhnya dapat dipastikan,
karena selamanya ada perubahan, ada perbedaan.
Kreativitas, yang menciptakan sesuatu yang esthetis, dengan
de­mikian mengandung sesuatu yang lebih dalam ketimbang ha­
nya ”indah”, jika makna ”indah” cuma berarti picturesque. Da­
lam sesuatu yang esthetis selamanya tersirat sesuatu yang-tak me-
nyenangkan, yang lain, yang beda, dan sebab itu bisa mengejut-
kan. Dalam apa yang esthetis bisa terdapat apa yang grotesque,
mungkin mengerikan, rusuh, ganjil, bahkan menjijikkan: dan
itu­lah sebabnya karya Picasso atau Frida Kahlo, karya Bacon atau
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bosch, karya Affandi atau Masriadi, karya Edi Hara atau Heri
Dono—untuk menyebut beberapa saja di ruang sempit ini—ti-
dak saja memukau, tapi juga mengandung sesuatu yang ethis: ke­
sediaan menampung apa yang tak lazim, yang diabaikan, bahkan

Catatan Pinggir 9 717


KANVAS

ditolak.
Itu sebabnya saya tak begitu berminat menikmati patung-pa-
tung molek di Istana Bogor. Diberi baju atau tidak.

Tempo, 7 November 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

718 Catatan Pinggir 9


MARIDJAN

M
bah Maridjan: sebuah pertanyaan. Ia tewas di tem-
patnya bertugas di Gunung Merapi, karena ia sejak la­
ma menolak turun menghindar dari letusan yang te­lah
berkali-kali menelan korban itu. Kesetiaannya mengagumkan,­
tapi apa arti tugas itu sebenarnya?
Ia, meninggal dalam usia 83, mungkin sebagai pelanjut dari
alam pikiran yang dikukuhkan Kerajaan Mataram sejak abad ke-
17. Ia pernah bercerita, Merapi adalah tempat terkuburnya Empu
Ra­ma dan Permadi, dua pembuat keris yang ditimbuni Gunung
Jamurdipa karena telah mengalahkan dewa-dewa. Kedua orang
itu tak mati. Mereka hidup, menghuni gunung yang kemudian
di­sebut Merapi itu—yang jadi semacam keraton para arwah. Dan
ke sanalah Raja Mataram (Islam) pertama, Panembahan Senapati
(1575-1601), mengirim juru tamannya yang berubah jadi raksa­sa.
Si raksasa diangkat sebagai ”Patih Keraton Merapi”, dijuluki­Kiai
Sapujagat. Dengan itu, Panembahan Senapati, yang dikisah­kan
mempersunting Ratu Laut Selatan, menunjukkan bahwa kuasa­
nya juga membentang ke arah utara. Dan di situlah pelanjut Ke­
ra­j­aan Mataram, atau Yogyakarta sejak abad ke-19, mengangkat
orang untuk jadi kuncen Merapi.
Maridjan, yang biasa dipanggil ”Mbah”, sejak 1982 diangkat
Hamengku Buwono IX untuk tugas itu. Betapa penting kehor-
matan itu bagi si jelata yang lahir di Dukuh Kinahrejo di kaki
Me­rapi itu. Ia menyandang gelar kebangsawanan ”Raden”; nama
resminya Surakso Hargo.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tapi ia tak tunduk kepada raja yang sekarang, Hamengku Bu-


wono X. Dalam majalah National Geographic yang terbit Januari
2008, (”Living with Volcanoes”, tulisan Andrew Marshall), dise-
butkan bagaimana Maridjan menganggap HB X membiarkan­

Catatan Pinggir 9 719


MARIDJAN

pa­ra pengusaha mencopoti jutaan meter kubik batu dan pasir da­
ri tubuh Merapi. Juga dikatakan Sri Sultan enggan ikut dalam
upa­­cara nyadran ke Kiai Sapujagat, ketika makanan, kembang,
ka­in, dan potongan rambut serta kuku raja dipersembahkan un-
tuk melestarikan hubungannya dengan Keraton Merapi.
Agaknya Maridjan tak mengerti, HB X ada di alam pikiran
yang berbeda. Sri Sultan, yang dalam National Geographic digam-
barkan mengisap lisong Davidoff dan suka setelan Armani, me­
nga­takan: ”Sebuah bangsa yang besar tak dapat dibangun di atas
mithos yang pesimistis.”
Modernitas memang berangkat dengan optimisme. Ia berto-
lak dari keyakinan manusia bisa melepaskan diri dari alam seki-
tarnya. Dengan jarak itu, ia sanggup mengendalikan dunia. Fisi-
ka, geografi, ilmu kimia, dan juga teknologi bertumbuh terus da­
ri kesanggupan menaklukkan bumi. Kesadaran modern meng­
anggap alam sebagai materi yang mati. Tak ada peri menghuni
sa­mudra, tak ada raksasa menjaga Merapi.
Di abad ke-18, di Jerman, penyair Schiller menyebut arus mo­
dern ini sebagai die Entgötterung der Natur, ”lepasnya dewa-dewa
dari alam”.
Tapi tak hanya di Jerman di zaman Schiller dan Goethe tum-
buh kesadaran hilangnya sifat yang magis dari alam. Animisme,
yang menganggap benda-benda sekitar punya sukma, tergusur di
Yu­nani sejak Sokrates dan Plato. Sejak abad ke-5 sebelum Mase-
hi, rasionalitas disambut. Sokrates tak menyukai mereka yang
be­kerja hanya berdasarkan ”naluri”. Plato tak menghendaki pe-
nyair yang memandang alam sebagai sesuatu yang senyawa de-
ngan manusia.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tak dapat dilupakan: alam jadi mati, sebagaimana animisme


terusir, sejak monotheisme ditegakkan. Pada mulanya adalah
aga­ma Yahudi. Yahwe adalah Tuhan yang ”cemburu”, demikian­
disebut dalam Perjanjian Lama. ”Janganlah ada padamu allah­la­

720 Catatan Pinggir 9


MARIDJAN

in di hadapan-Ku,” begitu sabda-Nya. Maka sebagaimana orang-


orang penyembah patung lembu dibinasakan, segala sikap yang
menganggap benda apa pun sebagai sesuatu yang punya anima
dianggap menyembah berhala.
Monotheisme yang mengharamkan animisme itu berlanjut
da­lam agama Kristen dan Islam. Pada satu titik, agama Ibrahim
ini bertemu dengan semangat modern: saat ”lepasnya dewa-de­wa­
dari alam”. Tak mengherankan bila tendensi anti-takhayul tum­
buh misalnya di kalangan Muhammadiyah, yang lazim disebut­
se­bagai pembawa modernitas dalam Islam di Indonesia. Tak
meng­herankan bila orang Muhammadiyah (seperti halnya HB
X)­cenderung menampik adat nyadran di Merapi dan di mana sa­
ja. Nyadran adalah pemberhalaan.
Tapi ada yang sebenarnya hilang ketika adat itu disingkirkan.
Max Weber, sosiolog itu, telah termasyhur dengan telaahnya ten-
tang proses hilangnya yang ”magis” dari dunia, yang terjadi sejak­
modernitas berkembang biak. Manusia sejak itu hanya menggu-
nakan ”akal instrumental”, memperlakukan alam sebagai sesu­
atu yang bisa diperalat, dengan hasil yang bisa diarahkan. Dunia
modern dan kerusakan ekologi cepat bertaut.
Yang tak disebutkan Weber: agama-agama pun kehilangan
ke­pekaannya kepada yang sesungguhnya mendasari iman-kepe-
kaan kepada yang menggetarkan dari kehadiran Yang Suci, yang
dalam kata-kata Rudolf Otto yang terkenal disebut sebagai mys­
terium, tremendum, et fascinans. Yang Suci membangkitkan pada
diri kita rasa gentar dan takjub karena misterinya yang dahsyat.
Tapi ketika alam dipisahkan dari Yang Suci (karena tak boleh di-
”sekutu”-kan), Tuhan pun berjarak. Ia tak membuat kita luruh.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ki­ta hanya berhubungan dengan-Nya lewat hukum. Tuhan pun


mudah ditebak. Hukuman dan pahalanya dapat dikalkulasi.
Maka ketika gunung meletus dan tsunami menggebuk, mere­
ka yang merasa bisa memperhitungkan maksud Tuhan dengan

Catatan Pinggir 9 721


MARIDJAN

ce­pat bisa menjelaskan: bencana itu azab, ia terjadi untuk tujuan


tertentu. Dalam hal ini agama mirip dengan ilmu-ilmu yang
merasa bisa menjelaskan & menguasai alam-dan membuat ma-
nusia bersujud kepada Tuhan yang sebenarnya tak akrab.
Saya kira Mbah Maridjan meninggal dengan bersujud kepa-
da Tuhan yang sama. Tapi Tuhan itu masih membuatnya gentar,
takjub, dan bertanya.

Tempo, 14 November 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

722 Catatan Pinggir 9


DES

D
ES Alwi adalah seonggok sejarah Indonesia dalam mi­
ni­atur yang padat. Juga berwarna-warni. Jika kita lihat­
lelaki ini duduk di bawah pohon ketapang berumur
100 tahun yang menaungi halaman hotelnya di Banda Neira, jika
kita ingat sosok yang tambun tinggi itu sudah ada di tempat itu
pa­da 1936 dan, sebagai anak kecil, melihat Hatta dan Sjahrir jadi
orang buangan yang turun dari kapal dengan paras pucat, kita bi­
sa iri kepadanya: begitu banyak yang telah dilihatnya, begitu be­
ragam pengalamannya, begitu pas ia di Pulau Maluku itu. Begitu
”Indonesia”.
Des Alwi seperti Banda Neira: elemen yang sering tak diingat,­
ta­pi saksi penting dari riwayat Indonesia—dalam hal ini Indone-
sia sebagai sebuah perjalanan kemerdekaan. ”Di sini,” kata Rizal
Mallarangeng, yang telah dua kali ke Banda Neira dengan rasa
ka­gum kepada para perintis kemerdekaan yang dibuang ke pulau
itu, ”bermula apa yang kemudian menjadikan Indonesia.” Dia
be­nar: di sini berawal kolonialisme dan antitesisnya.
Kita bisa baca: di Banda-lah pada 1529 usaha kolonisasi Eropa
dipatahkan; di sini kontingen orang Portugis terus-menerus dise­
rang hingga mereka batal membangun sebuah benteng. Hampir
seabad kemudian, pada 1609, ketika sepasukan Belanda menco-
ba memperkuat Benteng Nassau, para pemimpin Banda, disebut
”orang kaya”, membunuh laksamana asing itu dengan segenap
staf­nya.
Banda mencatat konflik seperti itu sampai ke dalam abad ke-
http://facebook.com/indonesiapustaka

20: para penentang VOC (kemudian Hindia Belanda) diasing­


kan ke sini silih berganti. Kita tahu sebabnya: pada mulanya ada­
lah rempah-rempah, terutama pala, yang di dunia hanya ditemu-
kan di Banda, yang menggerakkan perdagangan internasional­

Catatan Pinggir 9 723


DES

pa­­ling awal, seperti minyak bumi di zaman ini. Dan bersama per­
da­gangan, datang peradaban. Juga kebiadaban.
Sebelum orang Portugis masuk ke Maluku di abad ke-16, le-
tak Banda yang kaya rempah itu dirahasiakan para saudagar Arab
(atau ”Mur”) yang membawa barang berharga itu ke Eropa. Ke-
mudian penakluk dari Semenanjung Iberia masuk, kemudian
Belanda dan Inggris. Perjalanan jauh dan berbahaya, tapi mereka
selalu datang. Untuk laba yang 300 kali lipat dari jual-beli pala,
bahkan yang bengis siap dihadapi dan diberlakukan.
Di Banda Neira ada sebuah monumen kecil. Di Parigi Rante­
itu ada sebuah sumur di sepetak halaman. Di sanalah, 8 Mei
1621, seregu samurai Jepang didatangkan Jan Pieterszoon Coen
(Gubernur Jenderal VOC yang terkenal itu) ke Neira. Mereka di­
se­wa untuk menyembelih 40 orang pemuka masyarakat Banda
yang menolak klaim Belanda dalam monopoli niaga pala. Tubuh
ke-40 orang itu dicincang, kepala mereka dipancangkan di deret­
an tiang.
Di dinding di belakang perigi itu juga tertulis sederet nama
orang dari pelbagai penjuru Nusantara yang dibuang ke pulau
itu sejak abad ke-19: dari Pontianak, Yogya, Kutaraja, Cirebon,
Serang, Blitar. Di abad ke-20 ada nama yang kini lebih dikenal:
Cipto Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri, Hatta, Sjahrir.
Tak akan mengherankan bila dari kepulauan ini sejarah tam-
pak berbeda: kita tak akan mengatakan bahwa yang berlangsung
selama lebih dari 350 tahun di Nusantara adalah 350 tahun pen-
jajahan. Dari Banda kita jadi tahu: sejarah Nusantara adalah 500
tahun perlawanan. Dan Des Alwi, yang lahir 7 November 1927
di Neira dan sejak kecil mengenal Cipto, Hatta, dan Sjahrir—
http://facebook.com/indonesiapustaka

orang-orang hukuman yang mengubah hidup Des—mungkin­


saksi terakhir dari rangkaian perjuangan panjang itu. Saya me-
nyadari itu ketika sore itu saya dan beberapa teman duduk di de­
kat­nya, mendengarkan ceritanya, di petak atap Benteng Belgica

724 Catatan Pinggir 9


DES

yang berumur 400 tahun. Seakan-akan di sore itu, sejumlah abad


bertemu.
Benteng yang menjulang hitam di bukit ini dibangun Belanda
pada 1611. Letaknya dipilih pada posisi yang bisa mengawasi se-
antero selat dan laut. Sejak didirikan, empat menara pengintainya­
menyaksikan armada-armada Eropa datang, meriam-meriam di­
tembakkan, destruksi dan pembunuhan berkecamuk: 200 orang
Belanda dihabisi pasukan Inggris di Pulau Ai pada 1615, ratus­
an­orang Inggris dibantai Belanda sebagai pembalasan. Dari si­ni
pula tampak kapal-kapal Inggris meninggalkan Pulau Run se­te­
lah pulau itu ditukar-guling dengan Pulau Manhattan milik Be-
landa di New York pada 1667. Tapi seratus tahun lebih kemudian,
pada 1810, marinir Inggris merebut Benteng Belgica.
Abad demi abad, energi dicurahkan, dan uang diperebutkan
de­ngan gigih dan ganas hingga dunia berubah. Kekuasaan pun
tegak dan runtuh, kemerdekaan ditindas atau dilahirkan....
Hari mulai gelap ketika Des berkisah tentang kemerdekaan
yang dicoba digagalkan tapi dilahirkan kembali: Indonesia yang
tak mudah. Des bukan sejarawan, bukan pula pelaku utama, ta­
pi—dan ini lebih menarik—ia saksi yang terlibat. Jika kita baca
bu­kunya yang baru, Friends and Exiles, yang diterbitkan Cornell
University, kita dapatkan bukan saja kisah kelahiran Indonesia,
tapi juga kisah seorang yang ”menjadi Indonesia”, sejak dari darah­
dan dagingnya, sampai dengan ketika ia terlibat, sengaja atau ti­
dak,­ dalam peristiwa-peristiwa besar yang mengguncang dan
mem­bentuk tanah airnya.
Des Alwi Baadila—yang orang tuanya berdarah Cina dan
”Mur” (nama ”Baadila” ditemukan di Maroko dan Spanyol),
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang masa kecilnya dibentuk Hatta dan Sjahrir, yang masa mu-
danya ikut bertempur dan terluka di Surabaya 10 November
1945—adalah contoh bahwa Indonesia ”men-jadi” dengan riwa­
yat­seperti pantai pulau-pulau Banda: kekerasan bisa meletup, ta­

Catatan Pinggir 9 725


DES

pi inilah negeri yang tak merasa perlu memberi batas mutlak ten-
tang ”luar” dan ”asing”. Kecuali ketika yang ”luar” dan ”asing”
itu­ menegaskan diri dengan senjata dan pemaksaan. Dan kita
me­­lawan.

Tempo, 21 November 2010

Tulisan ini pernah dimuat pada majalah Tempo, 19 Oktober 2009.


Diterbitkan ulang untuk mengenang Des Alwi.
http://facebook.com/indonesiapustaka

726 Catatan Pinggir 9


IBRAHIM

M
enyembelih seorang anak yang tak berdosa, me-
nyembelih anak sendiri yang tak bersalah, sanggupkah­
engkau? Ibrahim telah mendengar suara itu. Ia yakin
itu titah Tuhan, agar itulah yang harus dikerjakannya. Ia sedang
diuji, sedekat manakah dirinya dengan Tuhan yang harus ditaati.
Ia berangkat.
Seandainya saya yang diberi perintah, mungkin sekali saya
akan menolak. Dengan takzim dan takut. Saya akan katakan,
biar­lah saya masuk neraka. Biarlah saya dikutuk, asal anak itu se­
la­mat. Belas kasih kepada bocah yang tak berdaya itu lebih meng-
guncang diri saya ketimbang kehendak Yang Maha Kuasa.
Tapi saya bukan Ibrahim. Saya bukan tokoh Kitab Suci. Da­
lam Frygt og Baeven (Gentar dan Gementar) yang terbit tahun
1843, Kierkegaard, pemikir Denmark itu, menggambarkan iman
Ibrahim sebagai sesuatu yang mengatasi nilai ”kebaikan” yang
uni­versal, yang berlaku buat siapa saja, di mana saja, kapan­saja.
Ibrahim bukan siapa saja. Ia unik, tersendiri, bersendiri. Tindak­
an­nya di Bukit Muria itu tak dapat dibenarkan oleh nilai dan hu­
kum apa pun. Tindakan itu hanya bisa dilakukan karena Ibra-
him menaruh kepercayaan kepada ”kekuatan dari sesuatu yang
ab­surd”. Kierkegaard menyebutnya bukan tokoh tragis. Ibra­him­
bukan seperti Kaisar Brutus yang dengan sedih harus membu­
nuh anaknya demi hukum Romawi yang harus ditegakkannya—
hukum untuk siapa saja, di mana saja, kapan saja. Ibrahim, bagi
Kierkegaard, seorang ”kesatria iman”.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tapi tetap saja tak mudah membayangkan seorang ”kesatria


iman” harus memotong leher anaknya sendiri. Mungkinkah ia
sam­pai hati benar?
Agaknya sebab itu Quran menggambarkan Ibrahim meletak-

Catatan Pinggir 9 727


IBRAHIM

kan anaknya dengan muka yang menelungkup. Dalam tafsir Al-


Tabari disebutkan bahwa si bocah (Quran tak menyebutkan na-
manya, Ismail atau Ishak) berkata kepada ayahnya: ”Bila ayah ba­
ringkan aku untuk jadi kurban, telungkupkan wajahku, jangan
ayah letakkan miring ke samping; sebab aku khawatir, bila ayah
melihat wajahku, rasa belas akan merasuki diri ayah, dan ayah
akan batal melaksanakan perintah Allah.”
Ada sebuah lukisan Rembrandt, perupa Belanda yang ter­
masy­­hur itu, yang bertahun 1635. Judulnya ”Pengurbanan Is­
hak”.­­Saya pernah melihatnya di Museum Hermitage di St Peters­
burg. Saya masih ingat: di kanvas itu tampak Ibrahim me­nu­tup­
wajah anaknya seraya ia menghunus pisaunya. Ia tak akan tega
melihat mata si bocah dalam kesakitan.
Tapi yang menarik, Rembrandt tak melukiskan rasa gentar­
dan gementar Ibrahim sebagaimana diuraikan Kierkegaard. Da­
lam mengutip kisah Kitab Suci itu, sang pemikir Kristen Den-
mark itu lebih memilih fokus pada perintah Tuhan yang pertama:­
Ibrahim, atau Abraham, harus menyembelih anaknya. Kierke­
gaard­tak melanjutkan bacaannya ke perintah Tuhan yang ke­dua.­
Rembrandt, sebaliknya, justru menangkap momen itu. Seba­gai­
mana ditulis dalam Kitab Kejadian:

22:10 Sesudah itu Abraham mengulurkan tangannya, lalu


meng­ambil pisau untuk menyembelih anaknya.
22:11 Tetapi berserulah Malaikat TUHAN dari langit kepa­da­
nya: ”Abraham, Abraham.” Sahutnya: ”Ya, Tuhan.”
22:12 Lalu Ia berfirman: ”Jangan bunuh anak itu dan jangan
kauapa-apakan dia.”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dalam kanvas itu, tampak tangan kanan Ibrahim dipegangi


dan dicegah oleh tangan malaikat. Pisau itu terjatuh. Tangan ki­
ri­nya masih menutupi wajah si bocah. Matanya menatap ke arah

728 Catatan Pinggir 9


IBRAHIM

sang malaikat yang lembut: biji matanya yang hitam itu tampak
sebagai bagian dari senyum yang belum merekah.
Menurut catatan, Rembrandt melukis adegan itu ketika ia,
da­lam usia 29, baru saja kematian anaknya yang masih bayi.
Agak­nya ini membuat lukisannya lebih peka kepada kepedihan
atas hilangnya nyawa seorang anak yang direnggutkan tanpa do­
sa, tanpa sebab. Ibrahim-nya bukan yang sedang mematuhi titah
pertama Tuhan.
Rembrandt mungkin akan lebih suka membaca tafsir Emma­
nuel Levinas. Filosof Prancis yang erat dengan tradisi Yahudi itu
mengkritik pengutaraan Kierkegaard tentang Ibrahim. Dalam
esainya, ”A propos Kierkegaard Vivant”, ia menulis, ”bahwa Abra-
ham mematuhi suara yang pertama—itu menakjubkan: bahwa ia
punya cukup jarak dengan kepatuhan itu hingga bisa mendengar
suara kedua-itu esensial”.
Sebab, di saat itulah ia melihat kembali wajah nyaris seorang
kur­ban. Wajah bocah. Wajah manusia. Wajah yang tak teperma-
nai. Yang tak bisa jadi obyek. Wajah yang menyebabkan perintah
Tuhan punya makna: ”Jangan engkau membunuh.”
Dan bagi Levinas, sebagaimana halnya bagi kita, tiap wajah
me­ngetuk diri kita. Kita pun memberi respons, bertanggung ja-
wab, tak mudah sewenang-wenang. Kita ingat Ibrahim di saat
itu. Ia jadi berarti karena itu.

Tempo, 28 November 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 9 729


http://facebook.com/indonesiapustaka

730
Catatan Pinggir 9
ORAKEL

S
YAHDAN, dewa-dewa berhenti bicara, sekitar abad per-
tama tarikh Masehi. Yang saya maksud adalah dewa-de-
wa Yunani, yang berabad-abad sebelumnya dipercaya me-
nyampaikan pesannya kepada manusia melalui orakel. Mereka
seakan-akan telah pergi.
Apa sebabnya?
Pada mulanya, takjub, gentar, dan merasa tak berdaya melihat­
angkasa yang tak terbatas, orang Yunani Kuno merunduk. Mere­
ka menegakkan satu sesembahan, yakni langit itu sendiri. Seperti
di mana pun, dulu dan sekarang, mereka percaya bahwa alam se-
mesta—yang tak selamanya bisa ditebak itu—mengandung ke­
kuatan supernatural yang bebas dari daya manusia.
Tapi kemudian yang disembah terasa begitu jauh, begitu ab­
strak, begitu susah dipahami. Maka ia dibayangkan punya sosok­
seperti manusia: mula-mula disebut Uranus, kemudian Zeus.
Dan dari sini mithologi berkembang. Politheisme lahir dengan
banyak sekali dewa. ”Nama-nama mereka semua,” kata Hesiodos,­
penyair dan pencerita lisan yang hidup antara abad ke-8 dan ke-7
sebelum Masehi, ”akan merepotkan manusia yang fana bila harus
mengisahkannya.”
Di Olimpus, nun di puncak itu, sejumlah besar dewa pun
ting­­­gal,­hidup bersama, bersengketa, saling dendam, saling mem­­­
ban­tu.­Di bawah, di bumi, sang dewi Gaea. Di sampingnya, ri­­bu­
an dewa-dewi yang ku­rang penting menghuni dan menjaga air,
udara, laut, hutan, dan angin.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tampaknya itulah cara orang Yunani Kuno menafsir Ada—


atau lebih tepat: misteri Ada. Mereka menyadari, mungkin de-
ngan terkesima, bahwa langit, laut, darat, dan segala isinya itu
”ada”—satu keadaan yang jadi penting (dan memukau) karena di

Catatan Pinggir 9 731


ORAKEL

sisi lain, manusia juga mengenal keadaan ”tidak ada”. Kelahiran,


ke­matian. Saya tak tahu kapan monotheisme lahir pertama kali­
nya,­dan apakah itu tak pernah terjadi dalam alam pikiran Yuna­
ni.
Saya tak tahu apakah dalam menafsirkan Ada itu orang-orang
Yunani Kuno ada yang bertemu dengan satu pengalaman religius
yang dialami orang di masa lain, di tempat lain. Ataukah mereka
mendapat wahyu. Yang kita tahu, Yunani Kuno tak sepi dewa-
dewa.
Saya kira, politheisme itu berkembang dari suatu sikap yang­
pan­theis­tik—tapi kemudian menampiknya. Sikap yang pan­the­
is­­­tik menganggap segala sesuatu yang ada sebenarnya Satu, ta­
pi Sa­tu yang memanifestasikan diri-Nya dalam segala ben­da.
Mis­teri Ada meruap di mana-mana. Manusia tak henti-hen­ti­nya
bertanya­dari mana dan kenapa ia datang, ke mana dan ke­­­napa ia
pergi. Tak mudah menjawab. Manusia terpukau.
Mungkin itu sebabnya pantheisme menyamakan Yang Satu
dengan Yang Suci, atau ”yang ilahi”.
Tapi dari sini politheisme kemudian berkembang lain. Bagi si­
kap pantheistis, Yang Suci itu tak bisa diwujudkan dalam sosok­
sesembahan yang personal—apalagi mirip manusia, dengan ge­
rak,­ kehendak, kecemburuan, dan kemarahannya. Politheisme
se­baliknya. Zeus beristri dan beranak, berhasrat dan beremosi.
Saya ingat satu sajak Amir Hamzah, ketika berdoa di depan
Tuhan yang tak mudah dimengertinya: ”Aku manusia, rindu ra­
sa, rindu rupa”. Politheisme seperti yang terdapat di Yunani Kuno
menyatakan kerinduan itu dalam nama, upacara, patung, dan
kisah-kisah.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tapi tetap saja: jarak antara dewa-dewa dan manusia tak mu-
dah terjembatani. Maka dibutuhkan orakel.
Orang-orang yang dianggap bisa jadi perantara dengan apa
yang diniatkan penghuni Olimpus hadir di mana-mana dalam

732 Catatan Pinggir 9


ORAKEL

kehidupan zaman itu. Ada sejumlah perempuan yang disebut


Sibyl (”Kehendak Dewa”). Mereka memaklumkan orakel yang
dipercayai luas.
Yang termasyhur di Delphi. Di situ, dewa yang diajak bicara
ada­lah Apollo. Tiga perempuan tua yang tanpa cela dalam hidup­
dianggap jadi perantaranya. Yang paling utama, disebut Pythia,
akan duduk di sebuah tripod tinggi di tepi sebuah lubang besar
da­ri mana keluar gas yang ganjil. Seraya mengunyah daun-daun
yang memabukkan, sang Pythia akan menghirup gas itu, dan
akhirnya ia mengigau. Kata-katanya itulah yang dianggap jawab­
an Apollo kepada manusia.
Tapi kalimat yang tak jelas itu harus ditafsirkan oleh para pen-
deta. Interpretasi bisa bertentangan. Maka si penanya sendiri
yang sebenarnya memilih jawaban.
Pada akhirnya, manusia itulah yang memilih.
Mungkin itulah kemudian yang menyebabkan dewa-dewa
ber­henti bicara. Di abad pertama Masehi, dari sebuah diskusi di
Delphi, Plutarch, pemikir dan tokoh publik yang terkemuka itu,
menulis buku yang dalam terjemahan Latinnya disebut De De­
fectu Oraculorum. Di sana, bersama beberapa tamunya, Plutarch
mengemukakan problem: mengapa orakel mulai kehilangan da­
ya­nya: tak terasa lagi sebagai wahyu para dewa.
Tak ada jawaban yang final. Hanya Plutarch menunjukkan
sa­tu indikasi, ada tanda-tanda kematian para dewa—sekian ra-
tus tahun sebelum Nietzsche mengumumkan, Tuhan telah mati.
Mungkin karena orang makin sadar, orakel sebenarnya dibentuk
oleh tafsir yang tak pasti dan bahasa yang terbatas.
Tapi ada dua sikap yang sebenarnya bisa tumbuh dari sini.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Yang pertama, manusia makin merasa penting. Misteri ten-


tang Ada makin tak menggetarkan dan memukau lagi. Hanya
orang yang percaya takhayul yang meneruskan itu. Dan oleh Plu-
tarch mereka yang percaya takhayul diejek sebagai ”takut akan

Catatan Pinggir 9 733


ORAKEL

dewa-dewa, lari berlindung kepada mereka, dan marah kepada


mereka, menjilat mereka, bersumpah kepada mereka...”.
Yang kedua, manusia seharusnya makin sadar, betapa besar
pe­ran bahasa yang terbatas yang dipakai untuk menafsirkan mis-
teri dari Ada. Dengan demikian semakin sadar pula ia seharus-
nya, bahwa tuhan atau para dewa tak dapat ditemui tanpa meng-
hayati bahwa dunia dan isinya menyimpan apa yang ilahi, apa
yang suci, apa yang transenden.
Katakanlah itu takhayul. Tapi siapa tahu ada sesuatu yang
berharga di dalamnya.

Tempo, 5 Desember 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

734 Catatan Pinggir 9


PENCERAHAN

A
gama tak mati-mati. Tapi juga sekularisasi. Jangan-ja­
ngan karena keduanya sebenarnya tak bertentangan.
Pernah ada suatu zaman ketika orang-orang pintar me­
ngira bahwa agama (”candu bagi orang banyak”, kata Marx) akan
terhapus dari kehidupan.
Dari Eropa, suara seperti ini menyebut diri suara ”Pencerah-
an”. Mereka gambarkan manusia melangkah dari gelap ke cerah.
”Gelap” berarti kondisi ketika manusia berpikir dan memandang
dunia dalam bimbingan doktrin dan dogma. ”Cerah” berarti hi­
lang­nya dua hal itu. Dengan ”Pencerahan”, manusia bebas dari
ke­tergantungan kepada kepercayaan yang mengikat pikirannya.
Kita ingat perumusan Kant yang termasyhur itu: ”Pencerahan”
berarti keluar dari Unmündigkeit, ketidakdewasaan atau keter-
gantungan kepada bimbingan orang lain—sebuah keadaan yang
sebenarnya dibikin si manusia sendiri, selbst verschuldeten.
Itu 1784. Itu zaman resah. Tahun 1789: Revolusi Prancis.
Orang-­orang atheis menyingkirkan keyakinan dan lembaga
aga­­­ma dari kehidupan publik. Revolusi ini punya dampak yang
mendalam dan panjang pada proses sekularisasi, sampai di Pran-
cis (dan Eropa) hari ini. Tapi tak berarti agama lenyap.
Mula-mula beberapa tokoh revolusi menegakkan ”pemujaan
ke­pada akal budi”, Culte de la Raison. Kultus ini tak mengenal
se­sembahan. Dekristenisasi berlangsung, Tuhan dimakzulkan.
Tapi itu tak bertahan lama. Tahun 1794, ketika ia jadi pemimpin
Revolusi, Robespierre menghukum pancung para pelopor anti-
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tu­han. Ia pun menegakkan Culte de l’Être suprême, pemujaan


ke­pada Wujud Yang Maha Luhur. Ia percaya manusia perlu Tu-
han, setidaknya untuk meneguhkan keadilan sosial. ”Andai Tu-
han tak ada,” tulis Voltaire di tahun 1770, ”ia harus diciptakan.”

Catatan Pinggir 9 735


PENCERAHAN

Kant kurang-lebih berpikiran sama.


Memandang Tuhan sebagai yang berguna—Tuhan yang ins­
tru­mental itu—tak berhenti dengan gagalnya proyek Robespie­
rre. Bah­­kan sebenarnya tak bermula dari sana. Ketika manusia
berpi­kir, sejak masa Aristoteles, bahwa makhluk di dunia ini pasti­
ada penyebab pertamanya (causa sui, penyebab yang tak disebab-
kan apa pun), konsep ”Tuhan” ditemukan. Konsep itu diletak-
kan sebagai dasar argumen. Kemudian, di zaman ketika manu-
sia memakai Tuhan untuk memperkuat posisi politik dan me-
nambah kekayaan, atau sekadar menenteramkan hati yang takut,
Tuhan juga ada untuk berguna. ”God is a concept to measure our
pain,” kata John Lennon.
Dengan demikian, Tuhan tak lagi sakral. Ia jadi sesuatu yang
pro­fan. Posisinya tak jauh beda dari ”instrumen” lain. Di situ se­
kularisasi terjadi tapi tak atas nama sekularisme. Agama berkelin­
dan semangat profan, dan sebaliknya, agenda yang profan (ala
Ro­bespierre atau ala George W. Bush) dengan alim memakai ba­
ju agama. Dalam keadaan itu manusia sebenarnya cerdik dan
berkuasa. Ia lebih mandiri ketimbang yang dibayangkan Kant.
Kant memang tak mengemukakan sesuatu yang baru. Pen­
cerahan terjadi sejak manusia punya kehendak dan memperalat
apa saja yang di luar dirinya untuk mencapai kehendak itu. De-
ngan kata lain: sejak manusia berani berpikir. Sapere aude! sem-
boyan yang dipungut Kant sebagai moto Pencerahan: ”Beranilah
un­tuk bijak”, atau ”Beranilah untuk berpikir”. Tapi tekad yang
le­bih gagah juga pernah dinyatakan satu abad sebelumnya.
Pada awal abad ke-17, Francis Bacon di Inggris menulis satu
pro­yek yang ambisius, The Great Renewal. Pemikir, pejabat, nega­
http://facebook.com/indonesiapustaka

rawan, dan ilmuwan itu ingin memperbaharui gerak kemajuan


pengetahuan. Halaman awal bukunya bergambar sebuah perahu
yang melintasi ”Pilar-pilar Heraklaitos” menuju ke Lautan Atlan-
tik. Di zaman dahulu, tulisan yang termaktub di antara kedua pi­lar

736 Catatan Pinggir 9


PENCERAHAN

itu berbunyi, ”Ne plus ultra” (Jangan pergi lebih dari sini). Di buku
Bacon, motonya, ”Multi pertransibunt, et augebitter scientia” (Ban-
yak yang akan melintas, dan ilmu pengetahuan akan ber­tam­bah).
Bacon meninggal di tahun 1626, karena kedinginan dalam
sal­ju. Ilmu pengetahuan bertambah, juga keberanian manusia
un­tuk menembus batas. Tapi Bacon tak segera diikuti. Eropa, ju­ga
Inggris, tak tertarik untuk ilmu. Benua itu terlibat dalam pe­rang­
antara Protestan dan Katolik yang tak henti-hentinya. Bacon per-
nah memperkirakan, konflik antar-iman ini akan menum­buh­
kan atheisme. Tentu ia salah. Fanatisme malah berkobar. Meski-
pun, dan ini yang sering dilupakan, ketika itu sebenarnya Tuhan
telah direduksikan jadi pendukung kubu yang saling menghan-
curkan. Tuhan telah jadi bagian dari teknologi politik.
Maka tak benar apa yang dikatakan Marx: agama adalah can-
du bagi orang banyak. Candu menidurkan. Tapi di zaman itu,
ju­ga di zaman kini, agama bagian dari energi untuk satu tujuan:
mengalahkan apa yang di luar itu: dunia yang dianggap tak beres;
manusia yang dianggap mencong; alam yang dianggap mubazir.
Dari dalamnya lahir manusia sang penakluk.
Ini tak hanya berlaku di dunia Kristen. Di dunia Islam, abad
ke-20, dari Maududi sampai dengan Qutb, citra manusia yang
se­penuhnya dibentuk oleh tujuan—dan sanggup mengubah du-
nia—membayang di mana-mana. Manusia yang di pusat semes-
ta itu juga pandangan yang dianut Iqbal. Setidaknya dalam sajak
ini, ketika ia berbicara dengan Tuhan:

Paduka buat malam, aku buat sinar


Paduka buat lempung, aku buat poci tembikar
http://facebook.com/indonesiapustaka

Itu suara khas semangat modern: angkuh, yakin. Ketika itu


yang suci sebenarnya tak teramat menggetarkan dan tak teramat
berarti lagi. Tempo, 12 Desember 2010

Catatan Pinggir 9 737


http://facebook.com/indonesiapustaka

738
Catatan Pinggir 9
PRIMORDIALISME

T
EMAN itu berkata dengan tersenyum mengasihani:
”Ka­mu orang pesisir. Kamu tak mengerti Jawa.” Waktu
itu, sekitar 20 tahun yang lalu, saya baru menonton se-
buah tarian dari Keraton X. Saya tak menyukainya.
Saya tak tahu benarkah itu karena saya ”tak mengerti Jawa”,
dan apakah ”tak mengerti Jawa” itu ada hubungannya dengan
fak­ta bahwa saya ”orang pesisir”.
Saya memang dilahirkan di sebuah kota di pantai utara Jawa.
Bagi para literati yang hidup di lingkungan Keraton Yogya dan
Su­rakarta, pesisir adalah wilayah (atau lebih tepat: perilaku, pi­
lih­an-pilihan artistik, dan bahasa) yang berbeda dari yang di-
dapatkan di sekitar keraton. ”Berbeda” dalam arti lebih ”kasar”,
lebih ”tak pantas”, dan ”kurang Jawa”.
Maka mungkin teman itu benar: saya ”tak mengerti Jawa”.
Tapi siapa yang mengerti Jawa? Apa itu ”Jawa”?
Kata itu, ”Jawa”, tentu saja sebuah nama, untuk menyebut se­
su­a­tu yang dikemukakan sebagai sebuah ”kesatuan”. Tapi apa
yang dianggap sebagai satu itu, sebuah himpunan, sebenarnya
tak­­satu. Sebab itu tiap nama mengukuhkan sesuatu yang sebe­
nar­nya genting.
Jauh sebelum unsur-unsur yang kemudian jadi himpunan itu
terbentuk, yang ada adalah kemajemukan atau multiplisitas mur-
ni, yang tak berpola, tak konsisten. Kemajemukan yang seperti
itu­ibarat chaos yang tak akan terjangkau pikiran. Tapi manusia
berpikiran. Dan berpikir selamanya berangkat bersama proses
http://facebook.com/indonesiapustaka

meng­identifikasi. Syahdan, yang tak konsisten itu pun tersatu-


kan,­compter-pour-un, kata Badiou.
Demikianlah ”Jawa” disebut. ”Jawa” sebuah Gestalt, sebuah
so­­sok keseluruhan yang lebih dari sekadar pelbagai ”anggota”-

Catatan Pinggir 9 739


PRIMORDIALISME

nya.­Ia bukan sekadar himpunan yang menyatukan Yogya, Sala,


keraton, priayi, luar keraton, abdi dalem, petani.
Tapi ia tak selesai hanya di situ. Banyak sekali hal bisa dima­
sukkan di dalam ”Jawa”: Sala utara, selatan, keraton tahun 1930,
keraton sekarang, petani tebu, petani tebu yang tak punya la­
dang, demikian seterusnya sampai tak tepermanai, tak terhitung.
”Jawa” adalah kata sebagai perekat, dan juga indeks, untuk pelba­
gai hal yang di-satu-kan itu.
Telah kita lihat, begitu banyak yang bisa ia cakup. Seperti sa­ya
katakan tadi, nama sebenarnya mengukuhkan sesuatu yang gen­
ting, yang labil. Maka dalam tiap nama ada jejak kekuasaan agar
yang labil tak cepat kacau. Nama adalah hasil kesepakatan sosial.
Kesepakatan ini berlangsung dalam proses panjang dan tiap kali
ada pemegang hegemoni yang menentukan.
”Jawa” pada akhirnya merupakan konsep yang dibentuk
oleh yang berkuasa atau berwibawa, bagian dari ”metastruktur”:­
Mangkunegara IV yang mengambil teladan moral cerita wayang­
untuk merumuskan ”jati diri” di depan kekuasaan asing,­atau pe­
merintahan Hindia Belanda yang ingin mengontrol ke­ra­gaman
yang rumit itu, atau juga pemerintahan setelah kemer­dekaan, un­
tuk alasan yang mirip atau beda. ”Orde Baru”, misalnya, selain
menyajikan citra Jawa dengan bangunan rumah joglo di Taman
Mini Indonesia Indah, mendukung studi ”Javanologi” yang ber-
pusat di Sala. ”Jawa” pun jadi bagian dari pengetahuan, dan de­
ngan segera pula jadi bagian dari informasi yang mandek di da­
lam ensiklopedia.
Sementara itu, nama juga bukan cuma deskriptif. Ia mengan­
dung tuntutan, atau harapan, bahwa sesuatu yang membawa na­ma
http://facebook.com/indonesiapustaka

itu seharusnya seperti yang selama ini dibayangkan. Nama ”Ja­wa”


mengandung syarat-syarat. Sifat ”halus”, misalnya, sering di­sebut
sebagai salah satunya. Sebab itu ada ucapan ”durung Ja­wa” (belum
Jawa) atau ”njawani” (berperilaku seperti seharusnya orang Jawa).

740 Catatan Pinggir 9


PRIMORDIALISME

Dengan demikian, ”Jawa” merupakan, untuk memakai istilah­


matematika, sebuah ”himpunan”, khususnya ”himpunan inten­
si­onal”, sesuatu yang diniatkan dari atas.
Persoalannya ialah bahwa selalu ada yang tak tercakup dalam
niat itu. Di dalam wilayah ”Jawa” ternyata ada orang-orang yang
tak bisa atau tak peduli dengan harapan ala Mangkunegara dan
Ta­man Mini. Ada juga orang-orang yang disisihkan. Penyebutan
”pesisir” adalah akibat dari itu semua. Pesisir adalah nama untuk
”me­reka” yang bagian dari ”kita” tapi jauh di luar sana. ”Meta-
struktur” tak mencakupnya. Sebab itu tak menjinakkannya.
Maka dari mereka yang tak tercakup itulah, yang tak jelas an-
tara di luar dan di dalam itu, sebuah definisi dan identitas akan
guyah. Kitab ensiklopedia yang telah baku akan terterobos. Tapi
dengan itu sebenarnya sebuah komunitas akan terselamatkan: ia
tak akan mengeras tertutup dalam primordialisme—dalam se-
mangat untuk menegaskan diri dengan mengibarkan apa yang
dianggap melekat sejak dulu dalam identitas diri. Primordialisme
hanya mengejar bayangan: apa yang ”melekat sejak dulu” itu jus-
tru sesuatu yang sebenarnya tak pernah utuh. Primordialisme
adalah hasil ingatan yang tebang pilih.
Memang, primordialisme kadang-kadang dinyatakan sebagai
pernyataan agar perbedaan dihormati; agar keanekaragaman
(”ke­arifan lokal”) dirawat, dengan atau tanpa nostalgia. Tapi ke­
anekaragaman tak sama dengan primordialisme. Bhinneka tak­
hanya terdiri atas ”himpunan intensional”. Ia dinamika da­ri ba­
wah, yang tak diatur oleh desain yang dikehendaki para pen­diri
Taman Mini, sang pemegang hegemoni.
Dengan kata lain, keanekaragaman adalah bayang-bayang
http://facebook.com/indonesiapustaka

chaos yang mencari bentuk. Bila primordialisme bersifat defensif,


keanekaragaman bersifat dinamis—dan itulah yang selama ini
membuat Indonesia merupakan tanah air dari semua pesisir yang
selalu bergerak. Tempo, 19 Desember 2010

Catatan Pinggir 9 741


http://facebook.com/indonesiapustaka

742
Catatan Pinggir 9
DARI SUATU HARI YANG PENDEK
DI YOGYAKARTA

Y
ogyakarta, 17 Desember 1949.
Bung Karno mengenakan satu setel pakaian yang mung-
kin didesainnya sendiri. Kerah itu memanjang ke atas,
me­nutupi seluruh leher. Jas dengan sederet kancing itu tanpa da­si.
Di bahunya ada epaulet tipis seperti tanda pangkat seorang mar­
sekal. Pici hitamnya tampak lebih tinggi dari biasa, satu kontras
yang necis buat seluruh kostum yang putih sampai warna sepatu.
Dengan sosoknya yang lebih jangkung dari orang-orang di se­
kitarnya, dengan tubuh yang ramping dan paras tampan, ia sadar
ia bintang utama dalam prosesi itu.
Mereka berjalan melewati gerbang Keraton, menuju balairung
Si­tihinggil. Di depan: Fatmawati Sukarno, cantik di bawah keru-
dungnya yang berenda, bersama Rahmi Hatta, rupawan dengan
ram­butnya yang hitam pekat. Bung Karno di saf berikutnya ber-
jalan didampingi Mohammad Roem. Di belakangnya: Bung
Hatta,­berjas warna terang.
Sejumlah opsir tentara, berdasi yang diselipkan ke baju sera­
gam­khaki, berjalan menyusul. Kemudian tampak sebarisan pe­
rem­puan, memakai gaun, dengan wajah santai dan riang, mung-
kin pegawai kementerian atau aktivis politik.
Lalu acara resmi pun dimulai di ruang yang lazim dipakai un-
tuk menghadap raja-raja Yogya itu: upacara pengambilan sumpah­
Presiden Republik Indonesia Serikat.
Sesudah pembacaan doa, Bung Karno berdiri maju, di balik
http://facebook.com/indonesiapustaka

se­buah kursi besar dengan ukiran bintang di atas sandarannya.


Di belakangnya seorang ulama mengangkat Quran. Di depan-
nya Ketua Mahkamah Agung. Tak jauh di belakang Bung Kar-
no, Bung Hatta berdampingan dengan Hamengku Buwono IX,

Catatan Pinggir 9 743


DARI SUATU HARI YANG PENDEK DI YOGYAKARTA

yang mengenakan seragam militer: pici perwira warna hitam,


uniform khaki dengan dasi warna gelap.
Lalu, mengikuti kalimat demi kalimat Ketua Mahkamah
Agung, Bung Karno mengucapkan sumpah: ”Saya berjanji­ se­
kuat tenaga, akan menunjukkan kesejahteraan Republik Indone-
sia Serikat... [dan] akan melindungi segala kebebasan dan hak-
hak umum dan khusus sekalian penduduk Negara....”
Demikianlah, di pagi itu, sebuah adegan yang impresif dari
se­buah republik muda yang bangga akan kemerdekaannya. Tapi
mungkin kebanggaan itu pula yang membuat Republik Indone-
sia Serikat (RIS) yang dijanjikan hari itu tak berumur panjang. 17
Agustus 1950, RIS dibubarkan. Yang menggantikan Negara fe­
de­ral itu adalah apa yang lahir di tahun 1945: negara kesatuan In-
donesia kembali.
Dan federalisme pun cuma sebuah selingan yang pendek da­
lam­sejarah kita. Kejadiannya ringkas, tapi anehnya kata ”federal”­
ber­­lan­jut. Ia jadi stigma sampai dengan awal abad ke-21.
***
Dimulai dengan Van Mook. Orang kelahiran Semarang­
dan menamatkan sekolah menengahnya di HBS Surabaya­ ini
sering dianggap sebagai antagonis busuk dalam sejarah kemer­
dekaan ne­geri kelahirannya. Seluruh karier Hubertus Johannes
me­mang praktis jadi pendukung pemerintahan di koloni Keraja­
an Belanda ini.
Tapi ia bukannya tanpa warna lain. Dalam buku Menjadi In­
donesia Parakitri Tahi Simbolon, sebuah karya sejarah yang layak­
dibaca berkali-kali, nama Van Mook termasuk di antara maha­
siswa yang mendirikan dan jadi sekretaris IVS, Indonesisch Ver-
http://facebook.com/indonesiapustaka

bond van Studeerenden (Serikat Pelajar Indonesia), 12 Januari


1918. Waktu itu umurnya 24. Ia belajar ”Indologie” di Leiden se­
te­lah kuliah teknik di Delft. Tampaknya ia akrab dengan para
mahasiswa dari Hindia Belanda yang progresif. Ia termasuk salah

744 Catatan Pinggir 9


DARI SUATU HARI YANG PENDEK DI YOGYAKARTA

satu dari sedikit undangan (yang diseleksi ketat) yang ikut makan
malam di Hotel Paulenz, Den Haag, di awal musim semi 1917—
sebuah pertemuan di mana nama ”Indonesia” untuk pertama ka-
linya dipakai oleh seorang peserta.
Dari pelbagai pertemuan dan kongres masa itu, sudah kelihat­
an pandangan Van Mook: Indonesia adalah bhineka. Negeri ini
terbangun dari pelbagai etnisitas dan budaya, dan tentu saja tak
se­muanya ”pribumi”. Ia sendiri, meskipun keturunan Belanda,
ju­ga merasa bagian dari Indonesia. Tapi ia tentu berbeda dari
Dou­wes Dekker, yang juga bukan ”pribumi”. Bersama Soewardi
Soerjaningrat dan Tjipto Mangoenkoesoemo, Douwes Dekker
mendirikan Indische Partij (IP) dengan tujuan yang tegas: ”India
bebas dari Nederland”.
Bagi Van Mook, yang kemudian jadi Letnan Gubernur Jen-
deral Belanda di Indonesia, Indonesia tak boleh lepas.
Tapi nasibnya tak beruntung. Ia menjabat tugas itu sampai­
1942. Jepang datang, Van Mook tak bisa melawan. Ia mengungsi
ke Australia. Kemudian Jepang kalah Perang Pasifik dan Indo­ne­
sia menyatakan dirinya merdeka—satu hal yang tentu tak mudah
diterima oleh petinggi terakhir Hindia Belanda itu, atau siapa­
pun­pemerintah yang bertakhta di Den Haag.
Namun dengan susah-payah, akhirnya Kerajaan Belanda sen­
diri, juga Van Mook, sadar: kemerdekaan Indonesia tak bisa di­
tolak. Tapi Van Mook, begitu ia kembali berkantor di Jakarta,
setelah pemerintahan Republik Indonesia menyingkir ke Yogya,
menyiapkan agendanya sendiri.
Pertengahan Juli 1946, ia menyelenggarakan sebuah konferen­
si untuk mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT), di Kota
http://facebook.com/indonesiapustaka

Malino, sebuah kota peristirahatan di Sulawesi Selatan. Konfe-


rensi dihadiri oleh utusan-utusan dari beberapa daerah yang ada
di Indonesia sebelah timur. Pada pidato penutupan, Van Mook
mengemukakan bahwa konferensi Malino ini ”meletakkan dasar

Catatan Pinggir 9 745


DARI SUATU HARI YANG PENDEK DI YOGYAKARTA

bagi Indonesia baru”.


Dalam agenda Malino, Indonesia yang akan berdiri adalah se­
buah negara federal, yang akan bekerja sama dengan Belanda de­
ngan masa peralihan 5 hingga 10 tahun. Lagu Indonesia Raya di­
terima sebagai lagu kebangsaan, tapi dalam rencana Van Mook,
yang akan bekerja adalah Voorlopige Federale Regering (VFR),
Pe­merintah Federal Sementara.
Kalangan politik yang lebih radikal, kaum ”republikein”,
meng­anggap para peserta Malino ”boneka” Van Mook buat me­
ngembalikan struktur kolonial. Tapi retorika revolusi tak menge-
nal nuansa. Mereka yang mendukung pertemuan Malino tak de-
ngan sendirinya bersama Van Mook. Anak Agung Gde Agung,
bangsawan Bali itu, bukan seorang radikal, tapi ia menentang ren-
cana VFR. Dan ketika ia makin berperan di BFO (Bijeenkomst­
voor Federale Overleg) atau Majelis Permusyawaratan Federal
yang dibentuk di Bandung Mei 1948, Anak Agung makin terbu-
ka untuk bertaut dengan kalangan ”republikein”. Ketika Desem-
ber 1948 Belanda menyerbu Yogya, ia mengundurkan diri dari ja-
batan Perdana Menteri Negara Indonesia Timur, sebagai protes.
Di bawah pengaruhnya pula, BFO berperan untuk sebuah ja-
lan tengah, antara kaum ”republikein” dan kaum kolonialis.
Di tahun 1949 itu, sebuah kompromi besar tercapai. Di Den
Haag, sebuah Konferensi Meja Bundar (terkenal sebagai KMB)
di­selenggarakan antara Indonesia, BFO, dan Belanda; perwa­kil­
an PBB ikut hadir. Kemerdekaan Indonesia diakui, tapi negara
In­donesia akan jadi sebuah negara federal.
RIS pun dibentuk. Itulah yang diresmikan di Keraton Yogya-
karta hari itu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dalam derajat tertentu, dengan RIS, desain Van Mook gol.


Ne­gara federal ini dibangun dengan 16 negara bagian dan tiga
daerah kekuasaan. Yang mencolok: Republik Indonesia (dengan
presiden Mr Assaat) ada di antara, misalnya, Negara Pasundan

746 Catatan Pinggir 9


DARI SUATU HARI YANG PENDEK DI YOGYAKARTA

dan Negara Jawa Timur dan Negara Madura.


Artinya sebuah Indonesia yang berbeda telah lahir—lain dari
yang ada dalam gagasan para bapak dan ibu pendiri Republik.
Dalam pertemuan untuk mempersiapkan kemerdekaan sebelum
Agustus 1945, hanya Bung Hatta dan Johannes Latuharhary dari
Maluku yang setuju dengan ide federalisme. Dan mereka tak bi­
ca­ra banyak. Penentang utama: Muh. Yamin, cendekiawan asal
Sa­wahlunto pengagum Kerajaan Majapahit itu. Bagi Yamin, se-
perti bagi kaum nasionalis waktu itu, federalisme akan merapuh-
kan persatuan bangsa.
Tapi Van Mook, pejabat kolonial lulusan ”Indologie” itu, me­
nge­tahui Indonesia sebagai bangunan etnografis dan administra-
tif. Sementara itu, para penggerak kemerdekaan 17 Agustus 1945
yang militan mengalami Indonesia. Bagi mereka Indonesia se-
buah panggilan kebenaran.
***
Bogor, 16 November 1947: Raden Soeria Kartalegawa,
man­tan Bupati Garut, mendeklarasikan berdirinya PRS, Partai­
Rakyat Pasundan. Pandji Rakjat, mingguan yang diterbitkan
oleh Dinas Penerangan Belanda (RVD), menyiarkannya dengan
antusias. Enam bulan kemudian, sekitar 5.000 orang hadir ketika­
Kartalegawa memproklamasikan berdirinya ”Negara Pasundan”.
Wartawan harian Merdeka Rosihan Anwar, yang meliput per-
temuan Malino dan kemudian menulis di harian Pikiran Rak­
yat­ 12 Desember 2006, tentang deklarasi PRS itu. Catatannya
ten­tang Kartalegawa: ”Dia tidak suka dengan perjuangan kemer­
dekaan. Dia ingin kembali ke zaman feodal, tatkala kaum ménak­
punya kedudukan istimewa dan seorang regent (bupati) dilayani
http://facebook.com/indonesiapustaka

oleh rakyat selaku abdi setia.” Menurut Rosihan, Kartalegawa


per­caya, orang Sunda ”tidak mau diperintah oleh seorang Guber-
nur Republik”.
Van Mook tak merestui pilihan Kartalegawa. Orang ini ko­

Catatan Pinggir 9 747


DARI SUATU HARI YANG PENDEK DI YOGYAKARTA

rup,­ kata para pejabat Belanda. Tapi Negara Pasundan tetap—


dan seorang aristokrat lain yang jadi ”wali negara”: Wiranataku-
sumah yang dilantik setahun kemudian.
Persoalannya: Siapakah yang bisa bicara untuk mereka yang
tinggal di wilayah yang disebut ”Pasundan”? Tak lama setelah RIS
berdiri, di beberapa tempat di Jawa Barat (Indramayu dan Tasik-
malaya, misalnya) muncul gerakan menolak Negara Pasundan.­
Suara ini kemudian bergema di Parlemen Pasundan sendiri.
Di Makassar batas-batas juga tak bisa lagi dipastikan dari atas.
Oposisi terhadap Negara Indonesia Timur (NIT) berkeca­muk
sejak awal 1950. April tahun itu, di Polombangkeng, di sela­tan
Makassar, mereka yang menolak federalisme menyatakan memi­
sah­kan diri dari NIT dan bergabung dengan Republik Indonesia
yang berpusat di Yogya. Sebuah poster dipasang dengan gambar
Presiden NIT, Sukawati, dengan tulisan ”Sukawati ingin naik
ku­da, tetapi rakyat yang menderita”.
Seperti tampak di Jawa Barat dan tempat-tempat lain, federal­
isme yang didirikan Van Mook (dan KMB) ditentang dari dalam
negara-negara bagian itu sendiri. Kesan yang dikemukakan Rosi­
han Anwar kuat: federalisme ini akhirnya pertautan antara apa
yang disebut sebagai ”feodalisme” dan ”kolonialisme”. Keba­
nyak­­an pemimpin negara bagian adalah elite lama, umumnya
ka­um aristokrat, karena Van Mook berasumsi rakyat Indonesia
masih merasa satu dengan kepala-kepala adat dan raja-raja mere­
ka.
Kata ”federal” jadi sebuah kata kotor yang dihindari—satu
hal yang terbawa terus sampai dengan jatuhnya Orde Baru. Partai­
Amanat Nasional (PAN) berdiri di bawah pimpinan Amien Rais
http://facebook.com/indonesiapustaka

dengan platform ingin mendirikan Indonesia yang federalistis.


Agenda ini dapat oposisi keras, dan tak disebut-sebut lagi. Kaum
nasionalis di PDIP dan tentara segera mengukuhkan apa yang di-
anggap sebagai terusan 1945. NKRI.

748 Catatan Pinggir 9


DARI SUATU HARI YANG PENDEK DI YOGYAKARTA

Sejarah tak pernah searah. Dari hari yang pendek di Yogya,


17 Desember 1949 sampai dengan hari ini, Desember 2010, ada
yang berubah, tapi ada kecemasan yang menetap, bahkan ada
yang mundur ke zaman yang lalu.

Tempo, 26 Desember 2010


http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 9 749


http://facebook.com/indonesiapustaka

750
Catatan Pinggir 9
Indeks

A
Abacha, Sani, 255
Abdullah, Basuki, 716
Abdullah, Taufik, 152, 463
Abendanon, J.H., 613, 614
Abubakar, Dahaltu, 256
Adam, nabi, 121
Adams, Cindy, 631
Adams, Henry, 368, 369
Adinegoro, Kromodjojo, 535
Adorno, 91, 467
Adrianus VI, paus, 497
Aeschylus, 501
Affandi, 717
Agamben, 68, 69, 231, 312, 313, 487
Agamemnon, 395, 397, 398, 501
Agung, Anak Agung Gde, 746
Agung, sultan, 348
Agustin, Ucu, 302, 303
Ahmad, Maulana, 660
Ahmad, Mirza Ghulam, 660, 661
Ahmed, 294
Aiken, Conrad, 173
Al Gore, 88, 95
Al Masih, 135
http://facebook.com/indonesiapustaka

Al-Ash’ari, Abu’l Hasan, 688


Alcaff, A.N., 473
Aleksander VI, paus, 513, 514
Al-Ghazali, Muhammad, 141

Catatan Pinggir 9 751


INDEKS

Ali bin Abi Thalib, 143


Ali, Hassan, 33, 34
Ali, Mohammad, 137
Ali, Tariq, 106
Alisjahbana, Sutan Takdir, 63, 66, 149, 159, 359, 453, 614
Alley, Rewi, 253
Al-Nabhani, Taqiuddin, 29
Al-Saffah, 143
Al-Thabari, 142
Alwi, Des, 356, 493-495, 723-726
Amangkurat I, 537
Amba, 468
Ametung, Tunggul, 501
Andangdjaja, Hartojo, 433, 434
Anderson, Margaret, 263-266
Anderson, Benedict, 225, 279
Antar, Yori, 640
Antigone, 503
Anusapati, 501
Anwar, 649
Anwar, Chairil, 110, 169-172, 226, 234, 315, 318, 359, 425, 426,
446, 451, 483, 551, 624, 669
Anwar, Rosihan, 335, 747, 748
Apel, Karl-Otto, 575
Apin, Rivai, 152, 451, 452
Apollo, dewa, 502, 733
Arendt, Hannah, 298, 490, 677
Arif, Andi, 375, 377
http://facebook.com/indonesiapustaka

Arifin, Marzuki, 558


Aristophanes, 699-702
Aristoteles, 244, 736
Arjuna, 71, 72, 128, 431, 469, 703, 704

752 Catatan Pinggir 9


INDEKS

Armstrong, Eugene, 163


Armstrong, Karen, 15
Arok, Ken, 451, 501
Asa, Syu’bah, 336
Assaat, mr, 746
Assyaukanie, Luthfi, 686
Aswarudi, Herdy, 371
Atahualpa, 305, 306
Athena, dewi, 506
Auden, W. H., 587
Aung San Suu Kyi, 51-53
Aung Way, 51, 52
Ayub, nabi, 348, 503
B
Ba’asyir, Abu Bakar, 201, 202, 204
Baadilla, 356
Bacalov, Luis, 383
Bachelard, Gaston, 425, 426, 639, 640
Bachrul, Meity, 341
Bachtiar, Toto Sudarto, 417, 418
Bacon, Francis, 717, 736, 737
Badiou, Alain, 129, 131, 160, 223, 227, 244, 316, 414, 518, 519,
571, 599, 739
Baez, Joan, 590
Baig, Mirza Wali Ahmad, 660
Bakhtin, Mikhail, 373, 421
Baldwin, James, 598, 599
Bandaharo, H.R., 66, 378, 591
http://facebook.com/indonesiapustaka

Banquo, 387-389
Bargawa, Rama, 703, 704
Barroso, Ary, 439
Basudewa, raja, 72

Catatan Pinggir 9 753


INDEKS

Bataille, George, 102


Baudelaire, 193, 349
Bayat, Asef, 76
Beach, Sylvia, 265, 266
Beckett, Samuel , 573, 574
Benda, Julien, 413, 414
Benediktus XVI, paus, 5, 6
Benjamin, Walter, 68, 303, 467, 468, 711
Benkler, Yochai, 419
Bergman, Ingmar, 17-19
Bergson, 6, 7
Bernstein, Charles, 711
Bhabha, Homi, 186
Bharata, 471
Bhutto, Benazir, 105, 106
Bhutto, Fatima, 105
Bhutto, Zulfikar Ali, 105
Bima, 452, 469
Bisma, 276, 468, 540
Blake, Eddie, 509, 510
Bleckmann, Willem, 716
Block, Antonius, 18, 19
Bloom, Leopold, 265
Boediono, 399, 403, 404, 409
Boma, raja, 71-74
Bonaparte, Louis, 75
Boneff, Marcel, 271
Bonjol, Imam, 463
http://facebook.com/indonesiapustaka

Borgia, Cesare, 513-515


Borgia, Rodrigo, kardinal, 513
Bosch, 717
Botero, 429

754 Catatan Pinggir 9


INDEKS

Botti, Chris, 269


Boulez, 111
Brecht, Bertolt, 712
Breton, André, 264
Brooks, Peter, 518
Brown, Graham K., 150
Brutus, kaisar, 727
Buber, Martin, 182
Budiman, Arief, 37
Bush, George Walter, 40, 41, 146, 147, 229, 230, 736
Buwono IX, Hamengku, 271
Buwono VII, Hamengku, 719
Buwono X, Hamengku, 409, 720, 721
Byron, lord, 268, 269
C
Caesar, Julius, 707
Calixtus III, paus, 513
Campbell, 199
Camus, Albert, 319, 320, 407
Capulet, Juliet, 315, 316, 679
Carey, George, 6
Castoriadis, 569
Ceauşescu, 83, 84
Certeau, Michel de, 196
Cervantes, Miguel de, 1, 671, 672, 674
Char, René, 87-89
Charles I, raja, 602
Cheney, Dick, 40-42, 146
http://facebook.com/indonesiapustaka

Chesterton, G.K., 616, 617


Claudio, 384
Clinton, Bill, 529-531
Clinton, Hillary , 145, 146, 148

Catatan Pinggir 9 755


INDEKS

Cocteau, Jean, 264


Coelho, Paulo, 267
Coen, Jan Pieterszoon, 494, 724
Cokroaminoto, H.O.S., 631
Cokroaminoto, ny, 631
Colijn, H., 478
Corrie, Rachel, 625, 626-629
Coté, Joost, 613
Critchley, Simon, 215, 216, 244, 276
Cruise, Tom, 121
Crystal, David, 593, 594
D
D’Abbraccio, Milly, 243
Daedalus, Stephen, 265
Daendels, 75, 525
Dahlan, Ahmad, kiai haji, 694
Dahm, Bernard, 685
Dahrendorf, Ralf, 498
Darwin, 343-345
Darwish, Mahmoud, 239-242
Dasamuka, 519
Daud, Amir, 337
Dawis, Aimee, 597
Dawkins, Richard, 13
De Launay, 653
Debord, Guy, 563
Dekker, Douwes, 209, 210, 479, 745
Deleuze, 111, 112, 470, 575
http://facebook.com/indonesiapustaka

Derrida, Jacques, 467, 511, 677


Descartes, 575, 582
Desirée, 275
Dezentjé, Ernest, 426, 716, 717

756 Catatan Pinggir 9


INDEKS

Diah, B.M., 335


Dionysius, 360
Djalinus, Yusril, 335-342
Djojopuspito, Suwarsih, 159
Djojosugito, 660
Dono, Heri, 717
Dostoyevsky, Fyodor, 29, 123, 604
Douglas, Michael, 259
Duadji, Susno, 505-507
Dubos, René, 89
Ducroo, 158
Duncan, 388, 529
Dunham, Ann, 138
Durant, Will, 622
Duryudana, 125
E
Eagleton, Terry, 610-612
Eckhart, Meister, 695, 698
Eco, Umberto, 545
Edison, Thomas Alva, 268
Effendi, Shemsi, 32
Eisenhower, Dwight D., 247, 249
Ekalaya, Bambang, 377
Eland, Leo, 716
Eliot, T.S., 264
Elson, R. E., 477-479
Eluard, Paul, 713
Engtay, 603
http://facebook.com/indonesiapustaka

Enzensberger, Hans Magnus, 445-447


Epelbaum, Renee, 383, 384
Ericsson, Tomas, 20
Espinoza, Baruch de, 113-115

Catatan Pinggir 9 757


INDEKS

Etheridge, Melissa, 95
F
Fairouz, 544
Fennimore Cooper, James, 602
Ferneyhough, Brian, 711
Finch, Atticus, 555, 556
Fitzroy Godber, Peter, 485, 486
Foster, E.M., 290
Foster, Stephen, 281
Foucault, Michel, 36, 37, 467
Fouda, Farag, 141-144
France, Anatole, 706
Freud, Sigmund , 178, 276, 610, 696
Friedman, Milton, 260, 363
Fukuyama, Francis, 291
G
Gaea, dewi, 731
Galsworthy, John, 543
Gandhi, Mahatma, 184, 199, 543
Gandring, empu, 501
Gautama, Siddharta, 621, 623
Geert, Clifford, 426
Gekko, 261
Georges, baron, 193
Gerung, Rocky, 380
Gesel, Silvio, 101
Ghata, Yasmine, 165, 166
Ghazali, Abd. Moqsith, 351
http://facebook.com/indonesiapustaka

Giacometti, 429
Gibbons, Dave, 509
Gilliam, Terry, 438, 439
Ginanjar, Ging, 376

758 Catatan Pinggir 9


INDEKS

Girard, René, 483


Goeslaw, Melly, 683
Goethe, 689, 720
Gogh, Theo van, 161
Gorky, Maxim, 177-179
Goscinny, Ren, 707, 709
Gramsci, 664
Greenblatt, Stephen, 531
Gregory, Lucien, 617-619
Guevara, Che, 419
Gundono, Slamet, 347-349
Guntur-Romly, Mohammad, 544
H
Habermas, 49, 219, 552, 553, 570
Hadad, Ismid, 38
Hadad, Toriq, 335
Hadler, Jeffrey, 461,462
Hale, 581, 582
Hali, Hussain, 447
Halintar, Bambang, 341
Hamlet, 53, 111, 297-299, 517
Hamzah, Amir, 69, 149-152, 545, 656, 732
Hara, Edi, 717
Harjowiryo (Sukidi), 681
Harmoko, 153, 154, 341
Harris, Sam, 13, 14
Hartojo, Budiman S., 680
Harymurti, Bambang, 335
http://facebook.com/indonesiapustaka

Hasan, 648-650
Hašek, Jaroslav, 55-57
Hassan, T.A., 661, 685
Hatta, Mohammad (Bung Hatta), 26, 129, 355,356,359,430,447

Catatan Pinggir 9 759


INDEKS

493, 494, 632-634, 723-725, 745


Hatta, Rahmi, 743
Haussman, Eugène, 193
Hawa, Siti, 121
Hayek, Friedrich von, 290
Heap, Jane, 264-266
Hegel, Georg Wilhelm Friedrich, 211, 515, 524, 586, 589, 656,
705
Heidegger, Martin, 641, 669
Heilman, Robert, 517
Hektor, 397
Hemingway, 264
Hendarwan, Herman, 375, 377, 378
Heraclitus, 686
Hesiodos, 731
Hidayah, Nur, 301-304
Hill, Joe, 590, 591
Hirschman, Albert, 365, 525
Hitchens, Christopher, 13-15
Hitler, Adolf, 321, 407, 431, 587, 598
Hobbes, Thomas, 570
Hoed, Anto, 683
Holbein, 497
Hölderlin, 324, 325, 643
Holiday, Billie, 283, 284
Homeros, 264, 398
Horatio , 111, 299
Hsu-Chih Mo, 171, 172
http://facebook.com/indonesiapustaka

Huber, Wolfgang, 5
Hughes, George, 283
Hugo, Victor, 294, 349, 675
Huis, Erasmus, 497-499

760 Catatan Pinggir 9


INDEKS

Huizinga, 497
Husen, Ida Sundari, 166
Hussein, Saddam, 628
Hutten, Ulrich von, 498
Hythloday, Raphael, 30
I
Ibnu Saud, raja, 690
Ibrahim, nabi, 99, 101, 727-729
Iesus, Dominus, 5
Ilyas, Karni, 338
Inandiak, Elizabeth D., 349
Iqbal, Mohammad, 106, 107
Iskan, Dahlan, 338
Ismail, Usmar, 473
Ismaya, Badri, 327-330
Ithaca, raja, 395
J
Jackson, Jesse, 137
Jackson, Mahalia, 139
Jassin, H.B., 171
Jati, Hidayat, 682
Jati, Parang, 352
Jati, Waluyo, 377
Joad, Tom, 292
Johannes, Hubertus, 744
Jones, Terry, 692, 693
Jorge, 545
Josef Švejk, 55
http://facebook.com/indonesiapustaka

Joyce, James, 264, 265


Judt, Tony, 248
Jufri, Fikri, 37, 335, 336
Julius II, paus, 498

Catatan Pinggir 9 761


INDEKS

Jung, 100
K
Kabayan, 276
Kafka, 232, 489, 491, 523
Kahlo, Frida, 717
Kant, Immanuel, 298, 321, 541, 542, 577, 695-697, 736
Kardinah, 173, 174
Karna, 704
Kartalegawa, raden Soeria, 747
Kartini, 173-175, 613-615
Kemal, Mustafa, 31-34
Kerry, John, 248
Keynes, 527
Keys, Alicia, 95
Khan, Liaquat Ali, 105
Khomeini, ayatullah, 569
Kierkegaard, 298, 728
Kim Il-sung, 636
Kim Jong-il, 636
King, Alexander, 199
Kinross, 32
Klee, Paul, 132
Kreon, raja, 506
Kresna, 71, 72, 431
Krugman, Paul, 364
Kumbakarna, 276
Kundera, Milan, 422
Kunt, Rikkat, 165-167
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kunti, 468, 470, 705


Kurami, Aminah Lawal, 256, 257
Kusumasumantri, Iwa, 356, 494, 724
Kusumo, Sardono W., 348

762 Catatan Pinggir 9


INDEKS

L
Lacan, Jacques, 559, 598
Laclau, Ernesto, 49, 85, 478, 665
Laherrere, 199
Lal, Vijay, 295
Langie, G.S.S.J. Ratu, 479
Latuharhary, Johannes, 747
Laura Stoler, Ann, 210
Lazaro, 11
Lee, Harper, 555
Lefort, Claude, 23, 24, 29
Leibnitz, 115, 116
Leksmana, 92
Lelono, Heru, 251
Lenin, 547
Lennox, Annie, 95
Leonard, 290
Lesmana, Jack, 518
Levinas, 729
Levy, Leon, 273
Lewis, Sinclair, 197
Lietaer, Bernard, 100, 101
Locke, John, 581
Logan, James, 477
Lorca, Federico Garcia, 87, 450
Loren, Sophia, 673
Louis XVI, raja, 651
Lowell, Amy, 264
http://facebook.com/indonesiapustaka

Lubis, A.B., 236


Lubis, Mochtar, 335, 663
Lubis, Zulkifly, 341
Lukács, György, 237

Catatan Pinggir 9 763


INDEKS

Luther, Martin, 139, 497


Lysenko, 252, 253
M
Mac, Freddie, 259, 260
Macbeth, 387-389, 529-532
Macbeth, lady, 529, 532
MacCarthy, Mary, 290
Macduff, 389
Machiavelli, 515
Mada, Gajah, 430
Madoff, 367-370
Madrim, 469, 470
Mae, Fannie, 259, 260
Mahtum, M., 341
Makarim, Nono Anwar, 37
Malaka, Tan, 233-238, 359, 466, 467, 614, 632, 633, 712, 713
Malraux, André, 158
Mandayun, Rustam, 340
Mandela, Nelson, 40, 41, 414, 415
Mangkunegara IV, 411,740
Mangun, romo, 544
Mangunkusumo, Cipto, 186, 210, 356, 479, 494, 632, 745, 724
Manhattan, dr, 510, 511
Manuel, Don, 11, 12
Mao Zedong, 252, 253, 605-607, 637
Marcel, Gabriel, 644
Marchand, Oliver, 517
Maria, Bunda, 135, 177
http://facebook.com/indonesiapustaka

Maridjan, mbah , 719, 720, 722


Marion, Jean-Luc, 136
Márquez, Felipe Gonzáles, 230
Marshall, Andrew, 719

764 Catatan Pinggir 9


INDEKS

Marx, Karl, 73, 211, 244, 261, 369, 406, 408, 519, 526, 536, 549,
561-563, 575, 587, 601, 606, 607, 644, 645, 649, 663, 664, 669,
735, 737
Maselli, Domenico, 5
Masriadi, 717
Mauss, Marcel, 99
May, Karl, 602
Maya, Umar, 410
Maycomb, 555, 556
Mayella Ewell, 555, 556
Maynard Keynes, John, 229, 287-291, 392
McCain, John, 230, 248
Megawati, 227, 684
Mehta, 295
Melati, Rima, 518, 681, 684
Messiah, 468
Methwold, William, 294
Michelangelo, 134, 135
Mihardja, Achdiat K., 647
Millbank, John, 590
Minogue, Kyle, 95
Miskin, haji, 462, 463
Moeljanto, D.S., 451
Mohamad, Goenawan, 335
Montague, Romeo, 315, 316, 679
Moore, Alan, 509
More, Thomas, 27
Morrison, Toni, 281
http://facebook.com/indonesiapustaka

Mortaro, kardinal, 135


Mouffe, Chantal, 221, 442
Mrazek, Rudolf, 361
Muda, Iskandar, sultan, 537

Catatan Pinggir 9 765


INDEKS

Mugianto, 377
Muhammad III, 28
Muhammad SAW, nabi, 162, 351
Muljam, Ibnu, 143
Mulyasari, Prita, 413, 527
Mundardjito, 535
Munir, 413
Murad III, 28
Murad IV, 28
Murtaza, 105
Musa, nabi, 134, 351
Musawa, Harun, 337, 338
Myriel, uskup, 675-678
N
Nakula, 469, 470
Napoleon III, 708
Nawi, Ezra, 184
Necker, Jacques , 652
Neumann, Louisa Margaretha, 210
Niebuhr, Reinhold, 413
Niel, Robert van, 186
Nietzsche, 263, 357-359, 470, 733
Nilovna, Pelagedia, 177
Nitisastro, Widjojo, 198
Njono, 681
Njoto, 681
Nolde, Emil, 135
Nova, 301-303
http://facebook.com/indonesiapustaka

Nusseibeh, Sari, 183


O
O’Toole, Peter, 672
Obama, Barack H., 137-139, 145-147, 229-231, 285, 371, 710

766 Catatan Pinggir 9


INDEKS

Odysseus, 396, 397


Oedipus, 502, 517
Onghokham, 35-38, 349
Orestes, 501, 502
Orosco, 283, 284
Orwell, 60, 61
Osterman, 511
Otto, Rudolf, 721
P
Pachauri, Rajendra, 95, 98
Pakubuwono, sultan, 411
Paley, William, 343, 344
Paltrow, Gwyneth, 429
Pamuk, Orhan, 76, 77
Pandu, 469, 471
Pane, Armijn, 613
Pane, Sanusi, 149, 453
Panggabean, Samsu Rizal, 142
Panza, Sancho, 1-4
Pascal, Blaise, 582
Pasolini, Pier Paolo, 227
Patria, Nezar, 377
Paulson, Hank, 259
Paulus, 313
Paus, sri, 134
Pavel, 177-179
Peccei, Aurelio, 199
Pekik, Djoko, 680
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pemberton, John, 410, 411


Pendit, Nyoman S., 472
Pergolesi, 384
Perron, Edgar du, 157-159

Catatan Pinggir 9 767


INDEKS

Persik, Dewi, 173


Petruk, 276
Petrus, Bimo, 377
Petrus, santo, 498
Pheidippides, 700
Pia, Pascal, 158
Picabia, Francis, 264
Picasso, Pablo, 717
Pirngadie, 716
Pizarro, Francisco, 305-307
Plainview, Daniel, 197, 198
Plato, 298, 333, 524, 566, 720
Poerwadarminta, W.J.S., 645
Polydamas, 397
Pompilius, Numa, 515
Pont, Henry MacLaine, 535
Potter, Harry, 367, 368
Prabangsa, 413
Prabowo, Tony, 711, 712
Prasetya, Stanley Adi, 376
Prinka, S., 682
Protschky, Susie, 716
Punjabi, Raam, 562
Pylades, 501
Q
Quijana, Alonso, 671, 672
Quixote, Don, 1-3, 671-674
R
http://facebook.com/indonesiapustaka

Rabelais, Gargantua, 349


Raffles, Stamford Thomas, 461
Rais, Amien, 748
Raison, Culte de la, 735

768 Catatan Pinggir 9


INDEKS

Rama, 92, 466


Ramadhan K.H., 130, 450, 473
Rancière, 218-220, 396
Rasuanto, Bur, 336, 680
Ratzinger, Joseph, kardinal, 5
Reagan, Ronald, 291
Reich, Robert B., 97
Rembrandt, 728, 729
Renan, 280
Renceh, tuanku nan, 462
Rendra, 67, 449-454
Rentjoko, Antyo, 418
Revathi, 9, 10
Rewang, 681
Reza, Faisol, 377
Ri Myong-guk, 635
Ricoeur, Paul, 82
Rilke, 657, 753
Robespierre, 435, 735, 736
Robinson, Tom, 555
Robson, S.O., 71
Roem, Mohammad, 743
Romulus, 56
Romus, 56
Ronggowarsito, 72, 682
Rorschach, 509-512
Rorty, Richard, 48, 49
Rousseau, Jean-Jacques, 434, 565-568
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ruci, dewa, 452


Rudd, Kevin, 391
Rumsfeld, 41
Rusdianto, Aan, 377

Catatan Pinggir 9 769


INDEKS

Rushdie, Salman, 293, 296, 545


Rusli, 649
S
Sa’ad, Ibnu, 142
Sade, Marquis de, 652
Sadewa, 469
Sadikin, Ali, 189-191
Sadra, Mulla, 689
Sahal, Ahmad, 683
Said, Salim, 38
Saint-Exupéry, Antoine de, 656, 657
Saleem, 293, 294
Saleh, Boejoeng, 474, 475
Salm, Abraham, 716
Salma, Happy, 121
Samba, 71
Sampek, 603
Samuel, 385
Samuel Windsor Earl, George, 477
Sandburg, 264
Sandioriva, Qori, 683
Sani, Asrul, 451
Saptono, Irawan, 375
Sara, 385
Sarkozy, 710
Sartre, 434
Sastrowardojo, Subagio, 120, 311-313, 450
Satish, 295
http://facebook.com/indonesiapustaka

Schama, Simon, 651


Schiller, 358, 720
Schmitt, Carl, 107, 441, 442
Schneider, Laurel C., 352

770 Catatan Pinggir 9


INDEKS

Schumacher, 454
Segar, E.C., 708
Semar, 329
Sen, Amartya, 364, 365
Sengkuni, 471
Sforza, Ludovico, 135
Shakarov, Andrei, 252
Shakespeare, William, 275, 297-299, 387, 529, 531, 649, 679
Shanawaz, 105
Shapiro, Carl, 368-370
Sharon, Ariel, 240, 241, 628
Shihab, Rizieq, 201
Shulman, David, 183
Silado, Remy, 680
Simanjuntak, Cornel, 111
Simbolon, Parakitri Tahi, 744
Sinai, Amina, 294
Siompo, Jacko, 91
Siregar, Aminudin T.H., 717
Siregar, Merari, 189
Situmorang, Sitor, 64-66
Sjahrir, 25, 235-238, 355-360, 475, 493,494, 614, 723-725
Slamet, 116-119
Sloterdijk, Peter, 223
Smith, Adam, 101, 288, 289, 364
Sokrates, 421, 422, 699, 701, 720
Soe Hok Gie, 212, 214, 548
Soedjatmoko, 199, 453, 454, 474, 475
http://facebook.com/indonesiapustaka

Soeharto, 25, 75, 117, 119, 129, 153, 154, 191, 340, 375-377, 381,
385
Sondheim, Stephen, 275
Sophocles, 502

Catatan Pinggir 9 771


INDEKS

Soros, George, 364


Souss, Ibrahim, 319, 320
Soyinka, Wole, 255, 257
Spacey, Kevin, 96
Srihadi, 191
Stalin, Joseph, 252, 289, 431, 637
Stallman, Richard, 418
Stallone, Sylvester, 429
Stein, Gertrude, 264
Steinbeck, John, 294
Stewart, Matthew, 115
Stone, Oliver, 259
Strepsiades, 699, 700
Subianto, Prabowo, 341
Suddhodhana, 621
Sudirman, 430
Sudirohusodo, Wahidin, 185-188, 405
Sudjatmiko, Budiman, 376, 688-690, 716, 743, 744
Sudjojono, S., 717
Suggs, Baby, 281
Sukarno (Bung Karno), 21-25, 129, 189-191, 195, 214, 225, 226,
234-237, 203, 204, 399-401, 409, 429-432,475-478, 518, 548,
604, 610, 631-633, 659-663, 679, 681, 684-687
Sukarno, Fatmawati, 743
Sukawati, 748
Sukemi, 680
Sukito, Wiratmo, 37
Sunaryo, 430
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sunil, 295
Suriosubroto, Abdullah, 716
Suryaningrat, Suwardi, (Ki Hajar Dewantara) 83, 187, 188, 210,
632, 745

772 Catatan Pinggir 9


INDEKS

Suryomentaram, ki ageng, 271-274


Sutoro, 138
Sutowo, Ibnu, 198
Sutrisno, 301
Suwati, 348
Suyat, 377
Swastika, Dewa K.S., 118
Sydow, Max von, 18
Syme, Gabriel, 618, 619
T
Tae-se, Jong, 636
Tagore, 357
Tajudin, Yudi Ahmad, 195
Tas, Sal, 358
Tedjobayu, 376
Teeuw, A., 71
Terazi, Rima, 321
Thatcher, Margareth, 291
Theo Goldberg, David, 92
Thersites, 395-397
Thomas Anderson, Paul, 197
Thukul, Wiji, 381
Thurman, Uma, 96
Toer, Pramoedya Ananta, 129, 177, 244-235, 409, 465-468, 548
Tohjaya, 501
Tolleng, Rahman, 211, 214, 215, 380
Tolstoy, Leo, 604
Trisnadi, Harjoko, 341
http://facebook.com/indonesiapustaka

Trotsky, 236
Turgenev, Ivan, 604
Turtle, Archibald ”Harry”, 439
Twain, Mark, 368

Catatan Pinggir 9 773


INDEKS

U
U Po Kyin, 59-61
Uddawa, 74
Uderzo, Albert, 707, 709
Uranus, 731
Usamah bin Ladin, 335, 628
Usinara, raja, 539, 540
Usman bin Affan, 142, 143
Usmani, khilafah, 33
Utami, Ayu, 353, 683
Utari, 631
Utopus, raja, 27, 29
V
Valjean, Jean, 675-678
Van der Veur, Paul W., 210, 211
Van Mook, 744-748
Veidt, Adrian, 511
Veraswami, 61
Vicente, frater, 305, 306
Vinci, Leonardo da, 133, 135
Voldemort, lord, 368
Voltaire, 652
W
Wahid, Abdurrahman (Gus Dur), 227, 543-545
Waikiki, I Made, 681
Wakidi, 716
Waljinah, 684
Wanusi, Choki Sapta, 682
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ward, Barbara, 89
Wasserman, 672
Watchmen, 509, 510
Weber, Max, 453, 490, 615, 721

774 Catatan Pinggir 9


INDEKS

Wibisono, Christianto, 336


Wiesel, Elie, 368
Wijaya, Putu, 335
Wilders, Geert, 161-163
Wilhelmina, ratu, 479
William II, Frederick, 697
Williams, Walter, 272
Wilson, 375
Wiranatakusumah, 748
Wisnu, 72, 73
Wonder, Stevie, 137
Wong Jing, 485
Woolf, Virginia, 290
Woolsey, John M., 266
Y
Yahwe, 720
Yamin, Muhammad, 430
Yap Thiam Hien, 131
Yeats, 344
Yesus, 123, 135, 177, 305, 306, 481-484, 513,589-591
Yohanes, 481,482
Yudhoyono, Susilo Bambang, 399, 409
Yudistira, 469, 470
Z
Zagana, 52
Zaini, 111
Zalomova, Anna, 177
Zarathustra, 470
http://facebook.com/indonesiapustaka

Zegna, Emiglio, 562


Zeus, 319, 320, 502, 700, 731, 732
Zia ul-Haq, 105
Zizek, Slavoj, 84, 244, 590

Catatan Pinggir 9 775


INDEKS

Zubaidah, 31, 32
http://facebook.com/indonesiapustaka

776 Catatan Pinggir 9


SELEPAS jadi pemimpin redaksi majalah Tempo
dua periode (1971-1993 dan 1998-1999), Goe­
na­wan nyaris jadi apa yang ia pernah tulis da­
lam sebuah esainya: transit lounger. Seorang
yang berkeliling dari satu ne­ga­ra ke negara
lain: mengajar, berceramah, menulis. Seorang
yang berpindah dari satu tempat penantian ke
tempat penantian berikutnya, tapi akhirnya ha­
nya punya sebuah Indonesia. Seperti ditulisnya
da­lam sebuah sajaknya: ”Barangkali memang ada sebuah negeri yang ingin kita
lepaskan tapi tak kunjung hilang.
Dalam perjalanan itu lahir sejumlah karya. Bersama musisi Tony Prabowo dan
Jarrad­Powel ia membuat libretto untuk opera Kali (dimulai 1996, tapi dalam revisi­
sampai 2003) dan dengan Tony, The King’s Witch (1997-2000). Yang pertama di-
pentaskan di Seattle (2000), yang kedua di New York. Di tahun 2006, Pastoral, se-
buah konser Tony Prabowo dengan puisi Goenawan, dimainkan di Tokyo, 2006.
Di tahun ini juga ia mengerjakan teks untuk drama-tari Kali-Yuga bersama koreo-
grafer Wayan Dibya dan penari Ketut Rina beserta Gamelan Sekar Jaya di Berke-
ley, California. Tapi ia juga ikut dalam seni pertunjukan di dalam negeri. Dalam
ba­­hasa Indonesia dan Jawa, Goenawan menulis teks untuk wa­yang­kulit yang di-
mainkan dalang Sudjiwo Tedjo, Wisanggeni, (1995) dan dalang Slamet Gundono,
Alap-alapan Surtikanti (2002), dan drama-tari Panji Sepuh koreografi Sulistio Tirto-
sudarmo. Ia menulis dan menyutradarai opera Tan Malaka pada 2010 dan 2011.
Kumpulan esainya berturut-turut: Potret Seorang Penyair Muda sebagai si
Ma­­­lin Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita (1980), Kesusastraan dan Kekuasaan
(1993), Se­telah Revo­lusi Tak Ada Lagi (2001), Kata, Waktu (2001), Eksotopi (2002).
Sajak-sajaknya dibukukan dalam Parikesit (1971), Interlude (1973), Asmaradana
(1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998), dan Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 (2001).
Terjemahan sajak-sajak pilihannya ke dalam bahasa Inggris, oleh Laksmi Pamun­
tjak,­terbit dengan judul Goenawan Mohamad: Selected Poems (2004).
http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir, esai pendeknya tiap minggu untuk majalah Tempo, di antara­
nya terbit dalam terjemahan bahasa Inggris oleh Jennifer Lindsay, dalam Sidelines
(1994) dan Conversations with Difference (2002). Kritiknya diwarnai keyakinan Goe­
nawan bah­wa tak pernah ada yang final dalam manusia. Kritik yang, meminjam­
satu bait dalam sajaknya, ”dengan raung yang tak terserap karang”.

ii Catatan Pinggir 6

Anda mungkin juga menyukai