Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb


Puji dan syukur kehadirat TUHAN YME, yang mana atas berkat rahmat dan
karunia-Nya kami telah di bimbing dalam menuntaskan penulisan Makalah
“Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Urine” yang kami susun untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Dasar I.
Kami mengakui dalam makalah yang sederhana ini mungkin banyak sekali
terjadi kekurangan sehingga hasilnya jauh dari kata kesempurnaan. Kami sangat
berharap kepada semua pihak untuk kiranya memberikan kritik dan saran yang
bersifat membangun.
Besar harapan kami dengan terselesaikannya makalah ini dapat di ambil
manfaatnya oleh semua pihak yang membaca makalah ini. Ucapan terimakasih
kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini sehingga makalah ini terselesaikan.
“Tidak ada gading yang tak retak”, dengan ini kami memohon maaf yang
sebesar-besarnya karena masih begitu banyak kekurangan disana-sini dalam
penyusunan makalah ini.

Terima Kasih

Makassar , 2 Maret 2018

Kelompok 10
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Urine adalah zat sisa metabolisme yang diekskresi oleh ginjal yang kemudian
akan dikeluarkan dari dalam tubuh. Eliminasi urine tergantung pada fungsi ginjal,
ureter, kandung kemih (vesica urinaria) dan uretra. Ginjal menyaring produk
buangan dari darah untuk membentuk urine. Ureter mentranspor urine dari ginjal
ke kandung kemih. Kandung kemih menyimpan urine sampai timbul keinginan
untuk berkemih. Urine keluar dari tubuh melalui uretra. Semua organ sistem
perkemihan harus utuh dan berfungsi supaya urine berhasil dikeluarkan dengan
baik.

Pembuangan normal urine merupakan suatu fungsi dasar yang sering


dianggap enteng oleh kebanyakan orang. Apabila sistem perkemihan tidak dapat
berfungsi dengan baik, maka semua organ pada akhirnya akan terpengaruh atau
terganggu. Klien yang mengalami perubahan eliminasi urine juga dapat menderita
secara emosional akibat perubahan citra tubuhnya. Perawat berusaha memahami
dan menunjukkan sikap yang peka terhadap kebutuhan klien. Perawat harus
memahami alasan terjadinya masalah dan berupaya mencari penyelesaian yang
dapat diterima.

1.1 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah fisiologi eliminasi urine ?
2. Bagaimanakah perubahan dalam eliminasi urine ?
3. Bagaimanakah perawatan akut pada eliminasi urine ?
1.2 Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui fisiologi eliminasi urine.
2. Untuk mengetahui perubahan dalam eliminasi urine.
3. Untuk mengetahui perawatan akut pada eliminasi urine.

BAB II

PEMBAHASAN

3.1 Fisiologi Eliminasi Urine


a. Ginjal

Ginjal merupakan sepasang organ berbentuk seperti kacang buncis, berwarna


cokelat agak kemerahan yang terdapat di kedua sisi komna vertebral posterior
terhadap peritoneum dan terletak pada otot punggung bagian dalam. Ginjal
terbentang dari vertebra torakalis kedua belas sampai vertebra lumbalis ketiga.
Dalam kondisi normal, ginjal kiri lebih tinggi 1,5 sampai 2 cm dari ginjal kanan
karena posisi anatomi hati. Produk buangan (limbah) dari hasil metabolisme yang
terkumpul di dalam darah difiltrasi di ginjal. Darah sampai ke setiap ginjal melalui
arteri renalis yang merupakan percabangan dari aorta abdominalis. Arteri renalis
memasuki ginjal melalui hilum. Setiap ginjal berisi 1 juta nefron. Nefron
merupakan unit fungsional ginjal yang membentuk urine. Nefron tersusun atas
glomerulus, kapsula bowman, tubulus kontortus proksimal, lengkung henle,
tubulus distal dan duktus pengumpul.

Darah masuk ke nefron melalu arteriole aferen. Sekelompok pembuluh darah


ini membentuk jaringan kapiler glomerulus, yang merupakan tempat terjadinya
filtrasi darah dan tempat awal pembentukan urine. Kapiler glomerulus memiliki
pori-pori sehingga dapat memfiltrasi air dan substansi, seperti glukosa, asam
amino, urea, kreatinin dan elektrolit-elektrolit utama ke dalam kapsula bowman.
Dalam kondisi normal, protein yang berukuran besar dan sel-sel darah tidak
difiltrasi melalui glomerulus. Apabila dalam urine terdapat protein berukuran
besar (proteinuria), maka hal ini merupakan tanda adanya cedera pada glomerulus.
Tidak semua filtrate glomerulus diekskresi sebagaiburine. Setelah filtrat
meninggalkan glomerulus, filtrate masuk ke sistem tubulus dan duktus pengumpul
yang merupakan tempat air dan substansi, seperti glukosa, asam amino, asam urat
dan ion-ion natrium serta kalium direabsorpsi kembali ke dalam plasma secara
selektif. Substansi yang lain seperti ion hidrogen, kalium (disertai aldosteron) dan
ammonia disekresikan kembali ke tubulus, tempat hilangnya substansi tersebut di
dalam urine. Haluaran urine normal orang dewasa dalam 24 jam adalah sekitar
1500 sampai 1600 ml. haluaran urine sebanyak 60 ml per jam umumnya adalah
normal. Haluaran urine kurang dari 30 ml per jam dapat mengindikasikan adanya
perubahan pada ginjal.

b. Ureter

Urine meninggalkan tubulus dan memasuki duktus pengumpul yang akan


mentranspor urine ke pelvis renalis. Sebuah ureter bergabung dengan setiap pelvis
renalis sebagai rute keluar pertama pembuangan urine. Ureter merupakan struktur
tubular yang memiliki panjang 25 sampai 30 cm dan berdiameter 1,25 cm pada
orang dewasa. Ureter membentang pada posis retroperitoneum untuk memasuki
kandung kemih di dalam rongga panggul (pelvis) pada sambungan
ureterovesikalis. Urine yang keluar dari ureter ke kandung kemih umumnya steril.
Gerakan peristaltis menyebabkan urine masuk ke dalam kandung kemih dalam
bentuk semburan, bukan dalam bentuk aliran yang tetap. Ureter masuk ke dalam
dinding posterior kandung kemih dengan posisi miring. Pengaturan ini dalam
kondisi normal mencegah refluks urine dari kandung kemih ke dalam ureter
selama mikturisi (proses berkemih) dengan menekan ureter pada sambungan
ureterovesikalis (sambungan ureter dengan kandung kemih). Adanya obstruksi di
dalam salah satu ureter, seperti batu ginjal (kalkulus renalis), menimbulkan
gerakan peristaltis yang kuat dan yang mencoba mendorong obstruksi ke dalam
kandung kemih.
c. Kandung Kemih

Kandung kemih merupakan suatu organ cekung yang dapat berdistensi dan
tersusun atas jaringan otot serta merupakan wadah tempat urine dan merupakan
organ ekskresi. Apabila kosong, kandung kemih berada di dalam rongga panggul
di belakang simfisis pubis. Pada pria, kandung kemih terletak pada rectum bagian
posterior dan pada wanita kandung kemih terletak pada dinding anterior uterus
dan vagina. Kandung kemih akan mengembang saat terisi urine. Kandung kemih
dapat menampung sekitar 600 ml urine, walaupun pengeluaran urine normal
sekitar 300 ml. Dalam keadaan penuh, kandung kemih membesar dan
membentang sampai ke atas simfisis pubis. Kandung kemih yang mengalami
distensi maksimal dapat mencapai umbilikus.

d. Uretra

Urine keluar dari kandung kemih melalui uretra dan keluar dari tubuh melalui
meatus uretra. Dalam kondisi normal, aliran urine yang mengalami turbulansi
membuat urine bebas dari bakteri. Membran mukosa melapisi uretra dan kelenjar
uretra mensekresi lendir ke dalam saluran uretra. Lendir dianggap bersifat
bakeriostatis dan membentuk plak mukosa yang mencegah masuknya bakteri.
Lapisan otot polos yang tebal mengelilingi uretra. Uretra pada wanita memiliki
panjang sekitar 4 sampai 6,5 cm. Sfingter uretra eksterna yang terletak di sekitar
setengah bagian bawah uretra, memungkinkan aliran volunter urine. Panjang
uretra yang pendek pada wanita menjadi faktor predisposisi untuk mengalami
infeksi. Bakteri dapat dengan mudah masuk ke dalam uretra dari daerah perineum.
Uretra pada pria, yang merupakan saluran perkemihan dan jalan keluar sel serta
ekskresi dari organ reproduksi, memiliki panjang 20 cm. Uretra pada pria ini
terdiri dari tiga bagian, yaitu: uretra prostatik, uretra membranosa dan uretra penil
atau uretra kavernosa. Pada wanita, meatus urinarius (lubang) terletak di antara
labia minora, di atas vagina dan di bawah klitoris. Pada pria, meatus terletak pada
ujung distal penis.

e. Kerja Perkemihan

Secara bersama-sama, struktur otak yang meliputi korteks serebral, thalamus,


hipotalamus dan batang otak menekan kontraksi otot detrusor kandung kemih
sampai individu ingin berkemih atau buang air. Dua pusat di pons yang mengatur
mikturisi atau berkemih yaitu; pusat M mengaktifkan reflex otot detrusor dan
pusat L mengkoordinasikan tonus otot pada dasar panggul. Pada saat berkemih,
respons yang terjadi ialah kontraksi kandung kemih dan relaksasi otot pada dasar
pangul yang terkoordinasi.

Kandung kemih dalam kondisi normal dapat menampung 600 ml urine.


Namun, keinginan untuk berkemih dapat dirasakan pada saat kandung kemih terisi
urine dalam jumlah yang lebih kecil. seiring dengan peningkatan volume urine,
dinding kandung kemih meregang, mengirim impuls-impuls sensorik ke pusat
mikturisi di medulla spinalis pars sakralis, impuls saraf parasimpatis dari pusat
mikturisi menstimulasi otot detrusor untuk berkontraksi secara teratur. Sfingter
uretra interna juga berelaksasi sehingga urine dapat masuk ke dalam uretra,
walaupun berkemih belum terjadi. Saat kandung kemih berkontraksi, impuls saraf
naik ke medulla spinalis sampai ke pons dan korteks serebral. Kemudian individu
akan menyadari keinginannya untuk berkemih. Remaja dan orang dewasa dapat
berespons terhadap dorogan berkemih ini atau malah mengabaikannya sehingga
berkemih berada di bawah kontrol volunteer. Apabila individu memilih untuk
tidak berkemih, sfingter urinarius eksterna dalam keadaan berkontraksi dan reflex
mikturisi dihambat. Namun pada saat individu siap berkemih, sfingfer eksterna
berelaksasi, refleks mikturisi dihambat. Namun pada saat individu siap berkemih,
sfingter eksterna berelaksasi, refleks mikturisi menstimulasi otot detrusor untuk
berkontraksi sehingga terjadilah pengosongan kandung kemih yang efisien.
Apabila keinginan untuk berkemih diabaikan berulang kali, daya tampung
kandung kemih dapat menjadi maksimal dan menimbulkan tekanan pada sfingter
sehingga dapat membuat control volunteer tidak mungkin lagi dilanjutkan.
Kerusakan pada medulla spinalis di atas daerah sekralis menyebabkan hilangnya
control volunteer berkemih, tetapi jalur refleks berkemih dapat tetap utuh
sehingga memungkinkan terjadinya berkemih secara refleks. Kondisi ini disebut
refleks kandung kemih.

3.2 Perubahan dalam Eliminasi Urine

Klien yang memiliki masalah perkemihan paling sering mengalami ganguan


dalam aktivitas berkemihnya. Ganguan ini diakibatkan oleh kerusakan fungsi
kandung kemih, adanya obstruksi pada aliran urine yang mengalir keluar, atau
ketidakmampuan mengontrol berkemih secara volunter. Beberapa klien dapat
mengalami perubahan sementara tau permanen dalam jalur normal ekskresi urine.
Berikut ini beberapa perubahan eliminasi urine :

a) Retensi Urine

Retensi urine adalah akumulasi urine yang nyata di dalam kandung kemih
akibat ketidakmampuan mengosongkan kandung kemih. Urine terus berkumpul di
kandung kemih, meregangkan dindingnya sehingga timbul perasaan tegang, tidak
nyaman, nyeri tekan pada simfisis pubis, gelisah dan terjadi diaforesia
(berkeringat). Pada kondisi normal, produksi urine mengisi kandung kemih
dengan perlahan dan mencegah aktivasi reseptor tegangan sampai distensi
kandung kemih meregang pada level tertentu. Refleks berkemih terjadi dan
kandung kemih menjadi kosong. Dalam kondisi retensi urine, kandung kemih
tidak mampu berespons terhadap refleks berkemih sehingga tidak mampu untuk
mengosongkan diri.

Seiring dengan berlanjutnya retensi urine, retensi tersebut dapat


menyebabkan overflow retensi. Tekanan dalam kandung kemih meningkat sampai
suatu titik di mana sfingter uretra eksterna tidak mampu lagi menahan urine.
Sfingter untuk sementara terbuka sehingga memungkinkan sejumlah kecil urine
(25 sampai 60 ml) keluar. Setelah urine keluar, tekanan kandung kemih cukup
menurun sehingga sfingter memperoleh kembali kontrolnya dan menutup. Seiring
dengan overflow retensi, klien mengeluarkan sejumlah kecil urine dua atau tiga
kali sejam tanpa adanya penurunan distensi atau rasa nyaman yang jelas. Perawat
harus mengetahui volume urine dan frekuensi berkemih supaya dapat mengkaji
kondisi ini pada klien. Spasme kandung kemih dapat timbul ketika klien
berkemih.

b) Infeksi Saluran Kemih (ISK)

Pada individu sehat yang memiliki fungsi kandung kemih normal,


organism dibuang keluar selama berkemih. Namun, distensi kandung kemih
mengurangi aliran darah ke lapisan mukosa dan submukosa sehingga jaringan
menjadi lebih rentan terhadap bakteri. Urine yang tersisa di dalam kandung kemih
menjadi lebih basa sehingga kandung kemih merupakan tempat yang ideal untuk
pertumbuhan organisme. Mikroorganisme paling sering masuk ke dalam saluran
kemih melalui rute uretra asenden. Bakteri menempati uretra distal, genitalia
eksterna, dan vagina pada wanita. Organism masuk ke dalam meatus uretra
dengan mudah dan naik ke lapisan mukosa bagian dalam menuju kandung kemih.
Wanita lebih rentan terhadap infeksi karena kedekatan jarak anus dengan meatus
uretra dank arena uretranya pendek. Lansia dan klien yang menderita penyakit
utama yang bersifat progresif atau mengalami penurunan imunitas juga beresiko
tinggi. Pada pria, sekresi prostat yang mengandung substansi antibakteri dan
panjangnya uretra mengurangi kerentanan terhadap ISK. Diperkirakan 20%
sampai 30% lansia yang dirawat di rumah sakit memiliki bakteriuria yang
signifikan (Yoshikawa, 1993).

Penyebab paling sering infeksi ini ialah dimasukkannya suatu alat ke


dalam saluran perkemihan. Misalnya, pemasukan kateter melalui uretra akan
menyediakan rute langsung masuknya mikroorganisme. Pada orang dewasa, satu
kateterisasi yang dipasang dan sebentar membawa masuk kesempatan infeksi
sebesar 1%, sementara prosedur yang sama memiliki resiko infeksi 20% pada
lansia (Yoshikawa, 1993).

Klien yang mengalami ISK bagian bawah mengalami nyeri atau rasa
terbakar selama berkemih (disuria) ketika urine mengalir melalui jaringan yang
meradang. Demam, menggigil, muntah, serta kelemahan terjadi ketika infeksi
memburuk. Kandung kemih yang teriritasi menyebabkan timbulnya sensasi ingin
berkemih yang mendesak dan sering. Iritasi pada kandung kemih dan mukosa
uretra menyebabkan darah bercampur dalam urine (hematuria). Urine tampak
pekat dan keruh karena adanya sel darah putih atau bakteri. Gejala yang sering
timbul apabila infeksi menyebar ke saluran perkemihan bagian atas
(pielonefritis-ginjal) adalah nyeri panggul, nyeri tekan, demam dan menggigil.

c) Inkontinensia Urine

Inkontinensi urine adalah kehilangan kontrol berkemih. Inkontinensia


dapat bersifat sementara atau menetap. Klien tidak lagi dapat mengontrol sfingter
uretra eksterna. Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus atau
sedikit-sedikit. Terdapat 5 tipe inkontinensia, yaitu sebagai berikut :

∙ Inkontinensia fungsional :

Involunter, jalan keluar urine tidak dapat diperkirakan pada klien yang sistem
saraf perkemihannya tidak utuh.

Penyebab : perubahan lingkungan; deficit sensorik, kognitif, atau mobilitas

Gejala : mendesaknya keinginan untuk berkemih menyebabkan urine keluar


sebelum mencapai tempat yang sesuai. Klien yang mengalami perubahan
kognitif mungkintelah lupa mengenai apa yang harus ia lakukan.
∙ Inkontinensia overflow (refleks) :

Keluarnya urine secara involunter, terjadi pada jarak waktu tertentu yang telah
diperkirakan. Jumlah urine dapat banyak atau sedikit.

Penyebab : terhambatnya berkemih akibat efek anestesi atau obat-obatan,


disfungsi medulla spinalis (baik gangguan pada kesadaran serebral atau
kerusakan arkus refleks)

Gejala : tidak menyadari bahwa kandung kemihnya sudah terisi, kurangnya


urgensi untuk berkemih, kontraksi spasme kandung kemih yang tidak dicegah.

∙ Inkontinensia stres :

Peningkatan tekanan intraabdomen yang menyebabkan merembesnya sejumlah


kecil urine.

Penyebab : batuk, tertawa, muntah atau mengangkat sesuatu saat kandung


kemih penuh; obesitas, uterus yang penuh pada trisemester ketiga; jalan keluar
pada kandung kemih yang tidak kompeten; lemahnya otot panggul.

Gejala : keluarnya urine pada saat tekanan intraabdomen meningkat; urgensi


dan seringnya berkemih.

∙ Inkontinensia urge :

Pengeluaran urine yang tidak disadari setelah merasakan adanya urgensi yang
kuat untuk berkemih.

Penyebab : daya tampung kandung kemih menurun; iritasi pada reseptor


peregang kandung kemih; konsumsi alcohol atau kafein; peningkatan asupan
cairan, infeksi.

Gejala : urgensi berkemih, sering disertai oleh tingginya frekuensi berkemih


(lebih sering dari dua jam sekali); spasme kandung kemih atau kontraktur;
berkemih dalam jumlah kecil (kurang dari 100 ml) atau dalam jumlah besar
(lebih dari 500 ml)

∙ Inkontinensia total :

Keluarnya urine total yang tidak terkontrol dan yang berkelanjutan.

Penyebab : neuropati saraf sensorik; trauma atau penyakit pada saraf spinalis
atau sfingter uretra; fistula yang berada di antara kandung kemih dan vagina.

Gejala : urine tetap mengalir pada waktu-waktu yang tidak dapat diperkirakan;
nokturia, tidak menyadari bahwa kandung kemihnya terisi atau inkontinensia.

Inkontinensia tidak harus selalu dikaitkan dengan lansia. Inkontinensia


dapat dialami setiap individu pada usia berapapun, walaupun kondisi ini lebih
umum dialami oleh lansia. Diperkirakan bahwa 37% wanita berusia 60 tahun atau
lebih mengalami beberapa tingkatan inkontinensia (Brooks, 1993). Inkontinensia
dapat emrusak citra tubuh. Pakaian yang dapat menjadi basah oleh urine dan bau
yang menyertainya dapat menambah rasa malu. Akibatnya, klien yang mengalami
masalah ini sering menghindari aktivitas sosial.

d) Diversi Urinarius

Diversi urinarius adalah stoma urinarius untuk mengalihkan aliran urin


dari ginjal secara langsung ke permukaan abdomen dilakukan karena beberapa
alasan. Diversi urinarius dapat bersifat sementara atau menetap. Lengkung atau
conduit ileum (salah satu cara pendekatan tindakan diversi urinarius yang umum
dilakukan) melibatkan pemisahan sebuah lengkung usus halus bagian ileum,
lengkap dengan pembuluh darahnya yang utuh. Ahli bedah mengimplantasikan
ureter ke dalam segmen ileum yang dipisahkan , yang kemudian menjadi jalan
keluar urine. Sisa ileum yang telah terpotong tersebut disambungkan kembali ke
saluran cerna yang tersisa. Segmen ileum kemudian hanya dapat digunakan
sebagai conduit dan urine akan keluar secara terus-menerus atau segmen tersebut
dapat dibentuk menjadi sebuah reservoar (Moore, et al, 1993). Perkembangan
terbaru dalam rekonstruksi bedah usus sejauh ini telah menghasilkan suatu teknik
perkembangan untuk membangun suatu reservoir kontinen (reservoar yang
mampu menahan urine), yang dibangun baik oleh usus besar atau usus kecil.
sebuah kantung, yang dibentuk dari ileum, memungkinkan urine mengalir ke
dalam sebuah reservoar tanpa menyebabkan refluks. Bagian ileum yang
dihubungkan dengan dinding abdomen bekerja sebagai katup yang mampu
menahan urine, sehingga perlu dipasang kateter intermiten untuk setiap kali
pengosongan. Kerugian dari conduit ileum atau reservoar ialah bahwa apabila
aliran urine yang keluar terhambat sebagai akibat sekunder dari infeksi kronis atau
hidronefrosis, kerusakan yang ireversibel pada ginjal dapat terjadi. Klien yang
memiliki diversi urinarius inkontinen harus mengenakan kantong stoma secara
berkelanjutan karena tidak terdapat control sfingter untuk mengatur keluarnya
aliran urine. Apabila urine mengenai kulit dalam jangka waktu lama maka dapat
menimbulkan iritasi setempat dan kerusakan kulit.

3.3 Perawatan Akut pada Eliminasi Urine


a) Mempertahankan kebiasaan eliminasi

Klien biasanya memerlukan waktu untuk berkemih. Meminta klien berkemih


dengan cepat, tidak membuat klien menjadi rileks dan menjalani kebiasaan
berkemih dengan normal. Klien harus diberi waktu sekurang-kurangnya 30 menit
untuk menyiapkan spesimen. Perawat mempelajari waktu saat klien kembali
berkemih normal dan kemudian menawarkan kesempatan kepada pasien untuk
menggunakan fasilitas toilet. Kebutuhan untuk berespons terhadap keinginan
berkemih klien juga merupakan hal yang penting. Penundaaan dalam membantu
klien ke kamar mandi dapat mengganggu proses berkemih normal dan
menyebabkan inkontinensia. Privasi sangat penting untuk berkemih normal.
Apabila klien tidak dapat mencapai toilet, perawat memastikan bahwa daerah di
samping tempat tidur ditutup oleh gorden. Beberapa klien merasa malu jika suara
berkemihnya terdengar. Air yang mengalir atau upaya membilas toilet dapat
menutupi suara tersebut. Anak kecil seringkali tidak mampu berkemih apabila ada
orang lain selain orang tua mereka.

b) Obat-obatan

Terapi obat-obatan yang diberikan secara tersendiri atau bersamaan


dengan terapi lain dapat membantu mengatasi masalah inkontinensia dan retensi.
Terdapat 3 tipe obat-obatan. Satu obat merelaksasi kandung kemih yang
emngalami ketegangan/spasme sehingga meningkatkan kapasitas kandung kemih;
satu obat untuk menstimulasi kontraksi kandung kemih sehingga meningkatkan
pengosongan kandung kemih; dan satu obat lainnya menyebabkan relaksasi otot
polos prostat, mengurangi obstruksi pada aliran uretra.

Obat-obatan yang menekan neurotransmitter asetilkolin, yang fungsinya


menstimulasi kandung kemih, mengurangi inkontinensia yang disebabkan oleh
iritasi kandung kemih. Contoh obat-obatan antikolinergik ini meliputi propantelin
(Pro-Banthine) dan oksibutinin klorida (Ditropan). Antikolinergik dapat
menyebabkan disritmia jantung dan harus digunakan dengan hati-hati pada klien
yang menderita penyakit jantung dan juga dapat menyeabkan konstipasi dan
kekeringan pada mulut. Obat-obatan kolinergik meningkatkan kontraksi kandung
kemih dan pengosongannya. Betanekol (Urecholine) menstimulasi saraf
parasimpatis untuk meningkatkan kontraksi dinding kandung kemih dan
merelaksasi sfingter. Salah satu efek samping obat-obatan kolinergik adalah
menyebabkan diare. Inkontinensia overflow atau berupa teteasn urine, yang
dialami oleh pria yang menderita pembesaran prostat, dapat diobati dengan
menggunakan penyekat adrenergic alfa-1, seperti terasozin (Hytin). Terazosin
diberikan per oral dan merelaksasi otot polos prostat, sehingga meredakan gejala
obstruksi. Obat ini dapat menyebakan hipotensi dan juga digunakan dalam terapi
hipertensi.
c) Kateterisasi

Kateterisasi kandung kemih dilakukan dengan memasukkan selang plastik


atau karet melalui uretra ke dalam kandung kemih. Kateter memungkinkan
mengalirnya urine yang berkelanjutan pada klien yang tidak mampu mengontrol
perkemihan atau klien yang mengalami obstruksi. Kateter juga menjadi alat untuk
mengkaji haluaran urine per jam pada klien yang status hemodinamiknya tidak
stabil. Karena kateterisasi kandung kemih membawa resiko ISK dan trauma pada
uretra, maka untuk mengumpulkan spesimen maupun menangani inkontinensia,
lebih dipilih tindakan yang lain.

Prosedur pemasangan kateter :

a. Persiapan Alat

· ​Steril

1. Kateter yang akan dipasang sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan satu
(1) buah disisipkan dalam bak steril.
2. Pinset anatomis 1 buah
3. Sarung tangan 1 pasang
4. Spuit 10 -20 cc 1 buah
5. Kain kasa 2 lembar
6. Kapas sublimate dalam tempatnya
7. Aquabidest / NaCl 0,9 % secukupnya
8. Xyloxain Jelly2 % atau sejenisnya
9. Urobag

· ​Tidak Steril

1. Bengkok 1 buah

2. Alas bokong 1 buah

3. Lampu sorot bila perlu


4. Sampiran 1 buah

5. Selimut mandi

6. Botol kecil steril untuk bahan pemeriksaan steril

a. Persiapan Klien
1. Beri penjelasan klien tentang prosedur dan tujuan pemasangan kateter urin.
2. Atur posisi pasien (dorsal recumbent, sim), posisi tergantung prinsip dapat
memberikan perasaan nyaman bagi klien dan perawat saat melakukan
tindakan kateterisasi urin.
a. Persiapan Perawat
1. Mencuci tangan meliputi :

· melepaskan semua benda yang ada di tangan

· menggunakan sabun

· lama mencuci tangan 30 menit

· membilas dengan air bersih

· mengeringkan dengan handuk / lap kering

· dilakukan selama dan sesudah melakukan tindakan kateterisasi urin

1. Memakai sarung tangan


2. Menjelaskan prosedur tindakan kepada klien
a. Pelaksanaan
1. Pasang sampiran dan pintu ditutup
2. Perlak dan alasnya dipasang dibawah gluteus
3. Letakkan 2 bengkok diantara kedua tungkai klien
4. Cuci tangan
5. Pada klien ​pria

klien terbaring, perawat berada di sebelah klien, meatus uretra dan glandula
penis didesinfeksi dengan cairan antiseptic, pasang doek bolong dan perawat
memakai handscoen steril, selang kateter diberi jelly secukupnya pada
permukaan yang akan dimasukkan pada uretra, penis ditegakkan lurus keatas
dan kateter dimasukkan perlahan-lahan ke dalam buli-buli, anjurkan klien
untuk menarik nafas panjang.

1. Pada klien ​wanita

Labia mayor dibuka dengan ibu jari dan telunjuk tangan perawat dibungkus
dengan kapas savlon, bersihkan vulva sekurang-kurangnya tiga kali, perawat
memakai sarung tangan dengan menggunakan kasa steril dan bethadin 10 %
desinfeksi labia mayor dan lipat paha, pasang doek bolong steril , kateter urin
dimasukkan perlahan-lahan yang sebelumnya telah diberi jelly dan klien
dianjurkan menarik nafas dalam.

1. Urin yang keluar ditampung dalam urin bag


2. Isi balon kateter urin dengan aquabidest / nacl 0,9 % = 10 cc sesuai dengan
petunjuk yang tertera pada pembungkus kateter urin.
3. Fiksasi kateter urin didaerah pangkal paha.
4. Letakkan urin bag lebih rendah daripada kandung kemih atau gantung urin
bag di bed.
5. Desinfeksi sambungan urin bag dengan kateter urin
6. Rapikan klien, bersihkan alat
7. Perawat cuci tangan
8. Memberi penjelasan kembali tentang prosedur tindakan pada klien

d) Pencegahan infeksi saat kateterisasi

Klien yang dikateterisasi dapat mengalami infeksi melalui berbagai cara.


Mempertahankan sistem drainase urine tertutup merupakan tindakan yang penting
untuk mengontrol infeksi. Sistem yang rusak dapat menyebabkan masuknya
mikroorganisme. Daerah yang memiliki resiko ini adalah insersi kateter, kantung
drainase, sambungan selang, klep, dan sambungan antara selang dengan kantung.
Selain itu, perawat memantau kepatenan sistem untuk mencegah terkumpulnya
urine di dalam selang. Urine di dalam kantung drainase merupakan medium yang
sangat baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Bakteri dapat berjalan menaiki
selang drainase untuk berkembang di tempat berkumpulnya urine. Apabila urine
ini kembali mengalir ke dalam kandung kemih klien, kemungkinan akan terjadi
infeksi. Yoshikawa (1993) telah mendemonstrasikan bahwa hampir 100% klien
yang terpasang kateter berada dalam status bakteriuria setelah 3 sampai 4 minggu.
Tips untuk mencegah infeksi pada klien yang menjalani kateterisasi, sebagai
berikut :

∙ Lakukan teknik mencuci tangan yang benar.


∙ Upayakan supaya klep pada sistem drainase tidak menyentuh permukaan yang
terkontaminasi.
∙ Jangan membuka titik-titik penghubung pada sistem drainase untuk mengambil
spesimen urine.
∙ Apabila sambungan selang drainase terputus, jangan menyentuh bagian ujung
kateter atau selang. Bersihkan ujung selang dan kateter dengan larutan
antimikroba sebelum menyambungnya kembali.
∙ Pastikan bahwa setiap klien memiliki wadah terpisah untuk mengukur urine
guna mencegah kontaminasi silang.
∙ Cegah pengumpulan urine di dalam selang dan refluks urine ke dalam kandung
kemih.
∙ Hindari meninggikan kantung drainase melebihi ketinggian kandung kemih
klien.
∙ Apabila perlu meninggikan kantung selama memindahkan klien ke tempat
tidur atau ke sebuah kursi roda, mula-mula klem selang atau kosongkan isi
selang ke
∙ Kosongkan kantung drainase sekurang-kurangnya setiap 8 jam. Apabila dalam
kantung drainase.
∙ Hindari lekukan selang yang besar, terbentang di atas tempat tidur.
∙ Alirkan drainase urine dari selang ke kantung.
∙ Sebelum melakukan latihan atau ambulasi, keluarkan semua urine dari selang
ke dalam kantung drainase.
∙ Hindari menekuk atau mengklem selang dalam jangka waktu lama.
∙ tercatat bahwa haluaran urine banyak, kosongkan kantung dengan lebih sering.
∙ Lepaskan kateter segera setelah kondisi medis memungkinkan.
∙ Plester atau fiksasai kateter dengan benar untuk klien
∙ Lakukan praktik hygiene rutin berdasarkan kebijakan lembaga dan setelah
defekasi atau inkontinensia urine.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Urine merupakan sisa metabolisme yang diekskresi oleh ginjal. Ginjal


menyaring produk limbah dari darah untuk membentuk urine. Klien yang
memiliki masalah perkemihan paling sering mengalami gangguan dalam aktivitas
berkemihnya yang mengakibatkan perubahan dalam eliminasi urine. Perubahan
dalam eliminasi urine diantaranya adalah retensi urine, ISK, inkontinensia urine,
dan diversi urinarius. Oleh karena itu, perlu yang namanya pemenuhan kebutuhan
eliminasi urine pada klien yang mengalami gangguan dalam aktivitas berkemih.
Salah satu cara dalam pemenuhan kebutuhan eliminasi urine adalah dengan
pemasangan kateter.

3.2 Saran

Diharapkan mahasiswa dapat memahami konsep mekanika gaya dan gerak .


mahasiswa menerapkan ilmu tersebut dalam praktek keperawatan. Bagi
parapembaca diharapkan dapat memanfaatkan makalah ini dengan makalah ini
sebagai penambah ilmu pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA

Potter, P.A, Perry, A.G. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses, Dan Praktik, edisi 4, Volume 2. Jakarta: EGC. Alih Bahasa: Renata,
dkk.
Brooks MJ: Urinary incontinence assessment, treatment and reimbursement,
Home Health Care Nurse​ 11 (4):41, 1993.

Yoshikawa TT: Chronic urinary tract infection in elderly patients, ​Hasp Pract
28(6): 103, 1993.

http://fales.co/blog/prosedur-pemasangan-kateter-urin.html

Anda mungkin juga menyukai