Anda di halaman 1dari 81

http://inzomnia.wapka.

mobi

Abdullah Harahap
Misteri Putri Peneluh

Edit & Convert Jar, Txt, Pdf: inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

SATU

PEMUDA itu merapatkan tubuh ke dinding pondok. Hujan badai telah


berhenti. Tetapi ia masih diliputi ketakutan yang belum pernah ia alami
sebelum ini. Liar matanya menatap ke luar pintu pondok, mengawasi
kegelapan malam yang seolah mengurung dan menjebak pemuda itu agar
tidak sempat meloloskan diri dari perangkap dosa-dosa yang bertaburan
di sekelilingnya. Kabut tipis datang bergulung gulung dari segala arah.
Bentuk dan datangnya merupakan suatu fantasi yang mengerikan,
berdesah-desah, terkadang mengaum penuh misteri.
Di dalam pondok kering. Tetapi kabut membuat sekujur tubuh dan
sekitar balai balai bambu tem patnya meringkuk, lembab basah. Dingin
terus-
menerjang dari luar, disertai kehampaan malam yang semakin pekat.
Sekelompok domba bergerak gelisah di dalam pondok sempit itu. Berdiri
dempet satu sama lain untuk saling menghangatkan. Sekelompok kecil
lainnya, terikat di luar pondok, mulai mengembik liar. Satu dua ekor
malah menendang-nendangkan kaki ke dinding pondok, menimbulkan
bunyi asing di tengah desau angin malam. Pemuda itu menggigil.
Gigi bergemeletukan, biar ia telah semakin rapat di pojok balai-balai
dan berusaha menjepit tubuh seekor domba gemuk dengan ke dua
pahanya yang terjuntai ke tanah. Tiap sebentar ia mendongak lewat
dinding pondok yang rendah. Meninjau ke bawah tebing di mana pondok
itu terletak. Jalan lintas perkebunan di bawah pondok, hampir tidak

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

terlihat oleh mata telanjang. Kabut seakan telah mengambil jalan itu
dan membuangnya jauh-jauh, sehingga si pemuda semakin tersudut.
" ... mana kendaraan itu ?", ia bersungut sendirian.
Gumam yang keluar dari mulut, menumbuhkan semangatnya. Tidak
banyak, namun cukup untuk mengatasi rasa sepi. Takut-takut, ia
keraskan suara. Berkata pada diri sendiri : " Mereka cuma terhalang
badai. Percayalah. Mereka akan datang sebentar lagi !"
Ya. Pemuda itu berusaha meyakinkan diri sendiri, bahwa teman-
temannya bukan melarikan diri. Mereka cuma terhalang di perjalanan.
Mungkin karena jembatan rusak. Atau mobil mogok karena mesinnya
dimasuki air. Tetapi semuanya akan beres. Tak lama lagi mereka akan
datang, ia dan semua domba yang ada di dalam maupun di luar pondok,
akan diangkut segera. Dijauhkan dari perangkap kabut yang menakutkan
itu, lalu kemudian kembali berkumpul dengan keluarga, api tungku yang
hangat, kopi kental yang nikmat, dan mungkin saja juga si Painah yang
manis mau menemuinya, begitu mendengar kabar dia sudah punya uang.
Empat ekor domba tercecer di tengah jalan ketika hujan badai mulai
turun. Pemuda itu bersama salah seorang teman yang menggiringnya dari
sebuah desa, tak punya waktu untuk mencari Mereka berdua menggiring
domba lain menjauhi desa selekas mungkin karena hujan badai telah
membangunkan seorang dua penduduk. Masih ada dua belas, paling tidak
sepuluh ekor domba yang berhasil mereka giring. Kemudian temannya
pergi, karena setiba di pondok yang sudah ditentukan, kendaraan yang
akan mengangkut mereka ternyata belum muncul.
"Akan kususul", kata temannya.
Dan, temannya pun tidak muncul muncul, selama hujan badai yang
menakutkan itu, dan selama malam semakin merangkak dan kini udara
dinihari yang berbau kabut itu semakin menebal.
"Apakah ia tersesat ?", pemuda itu bergumam lagi.
Domba mengembik liar di sekitar pondok, begitu tiba-tiba sehingga
pemuda itu terlonjak kaget. Apakah binatang-binatang itu mendengar
bunyi mesin kendaraan ? Atau ada penduduk salah satu desa mengendap
endap di luar pondok untuk menyergapnya ?

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Tak mungkin !", pemuda itu menjawab sendiri. "Tak ada yang memergoki
kami ! Tak ada yang tahu !", dan memang itulah yang sebenarnya.
Temannya punya ilmu sirep. Butir-butir pasir ditaburkan ke atap rumah
penduduk yang kandang dombanya akan mereka satroni. Kemudian
binatang-binatang itu juga mereka sirep. Diberi rumput segar
bercampur irisan bawang merah yang dicelupkan ke minyak kesturi. Tak
seekor pun domba-domba itu membuat ulah bahkan mengembik waktu
mereka keluarkan dari kandang masing-masing.
Lalu hujan badai itu turun.
Pengaruh sirep tertawar sedikit, dan binatang-binatang itu mulai ribut.
Empat hilang lenyap ka-
renanya. Berarti empat puluh ribu rupiah tidak akan dibayarkan tukang
tadah di kota. Apa boleh buat. Masih tersisa, tarohlah sepuluh ekor,
jadi seratus ribu rupiah masih mereka peroleh untuk dibagi-bagikan.
Dia akan memperoleh bagian sekitar tiga puluh ribu, mungkin kurang
sedikit. Dari jumlah itu, ia masih harus membayar utang di warung bi
Minah sebesar lima ribu. Jadi, Painah masih akan mendapat sekitar dua
puluh ribu, paling sedikit. Janda itu akan tertawa riang, membuatkan dia
kopi kental, mengajaknya tidur dan minggu berikutnya akan resmi jadi
isterinya. Keluarganya mungkin akan marah besar. Tetapi tak seorang
pun berhak melarang dia. ia sudah membuntingi Painah, dan ia mencintai
janda itu setengah mati. Terbayang mata Painah yang redup
mengundang, tawanya yang sendu merayu, dan gerak pahanya yang
menantang gairah.
Pemuda itu tersenyum.
Sebentar cuma. Kemudian senyumnya hilang, waktu samar-samar ia
dengar suara bergemuruh. Bunyi mesin kendaraankah ? Atau sungai yang
airnya tengah meluap. Ah, sungai jauh di sebelah utara. Sedang
kendaraan bunyinya tidak bergemuruh seperti itu. Domba-domba yang
berkelompok di luar apalagi di dalam pondok, bergerak liar dan
mengembik riuh rendah. Aji sirep itu telah semakin tawar, dan kini
domba-domba itu rupanya telah sadar kalau mereka tidak sedang ada di
kandang yang semestinya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Si pemuda menyingkirkan domba yang menghalangi jalannya, lalu


melangkah ke luar pondok. Jalan di bawah masih gelap, berselimut
kabut. Tetapi kabut itu kian menipis jua, dan satu dua sinar bintang di
langit biru mulai menerawang dari celah-celah pucuk pepohonan yang
menjulang. Diam sebentar mendengarkan, barulah pemuda itu
mengetahui mengapa domba pada ribut dan apa kiranya yang tadi
menimbulkan suara bergemuruh.
Tanah di bawah kakinya, bergerak !
Dinding pondok bergoyang perlahan. Atapnya kemudian rubuh tiba-tiba,
diterjang angin keras yang meluncur dari atas bukit. Bersama kelompok
domba itu, si pemuda lari menghindar. Serabutan. Sambil menghindar
masih sempat ia raih salah satu ujung tali induk dan menyeret sekitar
empat atau lima domba bersamanya. Namun sebatang pohon besar yang
ia manfaatkan sebagai perlindungan, mulai pula bergerak.
Pemuda itu panik.
Tanah basah bercampur pasir menerjang mukanya, ia mengelak, dan
jatuh terguling ke bawah. Sebuah batu besar menahan tubuhnya jatuh
lebih
jauh, namun toh punggungnya terasa berderak. Mungkin ada tulangnya
yang patah. Matanya sampai berair, menahan perih yang alang kepalang.
Dan ketika matanya ia buka, toh ia masih bersyukur.
Pondok tempatnya berlindung, hilang lenyap sudah.
Tanah datar tempat pondok itu terletak, sudah longsor seluruhnya,
jatuh ke jalan di bawah tebing. Begitu pula pohon-pohon di sekitarnya,
rubuh bertumbangan tak tentu arah. Suara hiruk pikuk yang
beberapa saat sebelumnya melemahkan jantung, perlahan-lahan lenyap.
Nyalinya yang ciut, mekar sedikit demi sedikit.
"Cilaka !", ia kemudian memaki, lesu, manakala ia sadari kelompok domba
itu sudah tak kelihatan lagi. Mungkin terseret lalu tertimbun tanah
longsor, mungkin pula ada yang melarikan diri. ia tidak berniat
mengejarnya lagi. ia lebih mengutamakan keselamatan diri sendiri.
Painah akan marah karena ia tak membawa uang, tetapi Painah pasti
mengerti apabila mengetahui ada tulang puntungnya yang patah.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

ia mencoba duduk.
Sakit bukan main. Matanya berkunang kunang. Menunggu sebentar,
mengatur nafas, lalu bangkit berdiri. Tubuhnya sempoyongan. Punggung
perih
,dan toh ia kembali harus bersyukur, ia mampu berjalan, meski lambat
dan tertatih-tatih, serta siksaan di punggungnya kian reda. Jadi, tak
ada tulang yang patah !
Seekor domba mengembik lemah.
Binatang itu sedang sekarat, tertimpa batang pohon. Ususnya terburai.
Gemetar dan pucat, pemuda itu menyingkir jauh-jauh. ia merangkak
sepanjang tebing, mencari jalan turun ke bawah. Tak jauh dari bekas
pondok itu sebelumnya berdiri, ia mendadak tertegun.
Tanah longsor itu meninggalkan suatu bidang lebar yang terbuka di
bawah langit kelam. Di antara rubuhan pohon, batu-batuan dan rumput
ilalang yang hampir tenggelam ditelan gundukan tanah yang berserakan,
tampak benda-benda putih yang samar. Rembulan mulai muncul, dan
kabut kemudian terbang menjauh. Si pemuda mendekat, ragu-ragu.
Membungkuk sedikit, memperhatikan. Lantas, berteriak kaget dan
mundur beberapa tindak dengan wajah semakin pucat pasi.
Apa yang ia saksikan dengan mata kepalanya, adalah beberapa potong
tulang belulang manusia yang bersembulan dari dalam tanah. Sebuah
tengkorak kepala terhantar di dekat sebatang pohon besar, dengan
liang-liang mata menatap kosong ke arah si pemuda. Yang lebih
mengerikan ialah.
tulang-belulang itu bergerak-gerak !
Terangkat dari tanah, seakan melayang sebentar kemudian bergerak
mengambang ke tempat datar terbuka di depannya. Waktu ia simak
dengan sepasang mata melotot lebar, barulah ia ketahui apa sebabnya
tulang belulang itu bergerak begitu aneh. Beberapa ekor tikus beramai-
ramai menggigit tulang lalu menggotongnya. Tikus-tikus berwarna co-
klat, hitam, dan besarnya luar biasa. Kucing yang paling galak pun akan
berlari menghindar bila bertemu. Tikus-tikus itu besarnya melebihi
kucing biasa, tetapi tak lebih besar dari anak domba yang baru lahir.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Makhluk-makhluk pengerat itu bekerja teratur, acuh tak acuh.


Si pemuda yang terkesima, hanya tegak mematung. Menatap ta'jub
campur ngeri. Kengerian itu kian menjadi-jadi, tatkala ia lihat lebih
banyak ti kus yang muncul, besar kecil, semua menggotong tulang-tulang,
besar kecil pula, dan paling akhir menyeret tengkorak dekat batang
pohon ymy tumbang tadi.
Hanya dalam beberapa kejap mata, makhluk-makhluk itu telah
menyelesaikan tugasnya. Kerangka manusia itu telah lengkap, dan
tersusun menurut aturan yang semestinya. Tulang belulang besar, tulang
belulang kecil, dan tengkorak. Kerangka itu
seperti rebah dengan damai bersiram cahaya rembulan. Namun letak
tengkorak kepalanya, dibuat sedemikian rupa - atau memang harus
begitu ! -, sehingga menatap lurus ke mata si pemuda.
Ingin rasanya ia menyebut nama Tuhan.
Malang, yang ke luar dari mulut si pemuda, hanyalah seruan seram : "Ya,
ampun - Apa ... apa yang..."
Kerangka itu berbaring diam.
Tengkorak itu, menatap diam.
Ternyata, pekerjaan belum rampung seluruhnya. Hal itu baru diketahui
si pemuda, ketika dengan ketakutan yang amat sangat ia bergerak
mundur dengan niat lari terbirit-birit, menjauhkan diri. Niat, hanya niat
belaka. Karena, ia tidak dapat lari sekarang.
Baru saja ia memutar tubuh, desis dan suara mencicit yang bergaung
seram telah memenuhi udara di sekitarnya. Bau busuk tercium sangit,
dan makhluk-makhluk coklat dan hitam telah mengerubung dirinya.
Belasan, puluhan, mungkin ratusan. Dan ratusan pasang mata kecil
berwarna kemerah-merahan, berkilat tajam menatapnya. Ratusan
taring-taring runcing, mengancam di antara misai-mi-sai yang
bergoyang.
"Hei. Mau apa - kalian ?", pemuda itu bersungut.
Kerubungan makhluk-makhluk itu bukannya kabur, malah semakin
merapat setengah lingkaran, memaksa si pemuda bergerak mundur ...
langsung ke arah kerangka itu terletak.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Dia mulai berteriak, takut : "Pergi ! Pergi ! Entah kalian ! Enyah - aku
bukan - aku - !"
Kakinya menendang, ia jatuh. Tangannya mencakar, memukul, meninju.
Beberapa ekor maklhuk itu terhenyak, mati. etapi lebih banyak yang
datang mengurung, mengerat, menggerogoti, mencakar dengan kuku-
kuku yang tajam dan berbau busuk. Darah merah mem-bercik kian
kemari. Kemudian sesuatu terasa menusuk ke dalam dada, ke dalam
lambung, ke dalam lambung, ke dalam rongga matanya.
Pemuda itu memekik.
Angin malam berdesah, garang.
Kecuali bunyi angin, segala sesuatunya menyepi. Diam. Bahkan makhluk-
makhluk berwujut tikus-tikus besar kecil itu, pada termangu, begitu
kelejot-an dan peki si pemuda kian lemah lalu hilang, yang sudah menjadi
mayat.
Mata tengkorak, menatap.
Lalu tiupan angin menggerakkannya sedikit. Gerakan yang mirip
anggukan menyetujui, atau memberi tanda. Lalu makhluk-makhluk itu
bergerak pula, serempak. Mereka tinggalkan mayat si pemuda yang
sudah tercabik-cabik, lantas bergerak mendekati kerangka,
mengitarinya sejenak dengan mata memerah saga dan kuku serta taring
memerah darah. Tikus yang terbesar kemudian merangkaki kerangka
itu, menjatuhkan serpihan-serpihan jantung, paru-paru, ginjal dan darah
yang menetes-netes di lambung serta dada kerangka. Gerakan ini diikuti
puluhan ekor tikus lainnya. Tampaknya mereka akan menggerogoti
kerangka diikuti puluhan ekor tikus lainnya. Tampaknya mereka akan
menggerogoti kerangka di sana-sini, nyatanya tidak. Mkhluk-makhluk itu
justru mengolesi setiap potong tulang kerangka dengan darah segar
yang terus menetes melalui moncong, taring dan misai mereka
Suatu saat, ketika rembulan semakin bersinar, dan ketika bintang
gumintang pada berloncatan di langit biru kelam, makhluk-makhluk itu
menjauhi kerangka, berbaring diam. Menunggu. Angin dingin bertiup
perlahan, berdesah bersama suara-suara roh dari alam gaib.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Perlahan tetapi pasti, wujut kerangka itu mengalami proses perubahan.


Dari tulang belulang dan tengkorak yang terlantar, berubah jadi sesosok
tubuh manusia. Betisnya ramping, pahanya bulat mulus, pinggang meliuk
indah, dada membukit dengan putik-putik merah segar, leher jenjang,
wajah cantik dengan rambut tebal hitam berkilauan.
Sisa-sisa kabut kemudian menari di sekitar tubuhnya, membentuk suatu
wujut seperti gaun putih indah.
Lalu payudara bulat merangsang itu, bergerak naik turun.
Kelopak mata, mengerjap.
Terbuka. Menatap kehidupan, yang suatu saat berakhir dan suatu saat
bangkit.
Hidup dan kehidupan, yang sampai kapan pun akan tetap merupakan
misteri alam yang sukar diungkapkan.

DUA

JALAN itu lengang. Bulan yang redup di langit seakan enggan


meneranginya, sehingga Margono dan teman-temannya, sesekali
terpaksa menyalakan lampu senter untuk tidak sampai menginjak
kubangan yang penuh lumpur bekas-bekas roda pedati yang lewat di
jalan itu sepanjang hari. Sesekali butir-butir air jatuh dari atas.
Margono tengadah. Hanya tampak dedaunan yang rimbun. Hitam dan
gelap. Entah mengapa, ia menggigil. "Dingin !", sungut Margono. "He-eh
!", sambut seorang temannya. Yang lain cuma diam. Lalu sepi lagi. Bunyi
cengkerik yang tadi bersahut-sahutan, perlahan-lahan berhenti ke
mudian senyap sama sekali, ketika mereka sampai di dekat kali.
" ... banjir lagi", seseorang menggerutu. Yang lain mendehem. Dan
serentak, seperti dikomando menoleh ke samping. Lewat batang dan
rimbunan bambu, tampak aliran air sungai yang samar-samar. Deras
sekali. Dan sedikit menderu.
"Tak ada yang hanyut hari ini ?", sungut Margono.
"Kambing Uwa Enoh. Tiga ekor sekaligus", sahut teman di sebelahnya.
"Kalau begitu kambingnya tinggal dua", sungut Margono lagi.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Satu", ralat temannya pula. Dan yang lain menambahkan : "Kan dua hari
yang lalu kambing Wa Enoh yang terbesar dicuri orang".
"Hem", yang jalan paling belakang mendehem. "Lihay pencuri itu. Sudah
beberapa kali ia beroperasi tanpa pernah kita pergoki. Rasanya aku
sudah bosan begini. Meronda sampai subuh. Kehujanan. Kedinginan.
Belum lagi perut keroncongan karena belum sempat makan ketika
meninggalkan rumah."
"Kita ke Posko saja", kata yang terdepan." Di sana kita masak kopi. Pak
Haji tadi mengirimkan sebaskom ubi rebus !".
Langkah-langkah mereka kian bergegas. Dan : "Aku mau ke kali dulu !",
kata Margono.
"Ngapain ?", yang terdepan bertanya tanpa me noleh.
"Ngosongin perut dulu, agar ada persediaan untuk ubi rebus", ia ingat
betul, tempat paling dekat di mana ia akan buang hajat biasanya dipakai
perempuan-perempuan kampung mereka untuk mandi dan mencuci.
Lalu ia melangkah tepi air yang menjilati tebing, melompati sebuah batu
besar dan siap untuk ber-jongkok di atasnya. Pada saat itulah ia
menangkap sebuah bayangan tak jauh di depan. Bayangan itu agak
sedikit di tepi kali, dan ketika Margono melihatnya bayang-bayang
berwarna putih itu menghilang di balik sebuah pohon besar.
Jantung Margono berhenti berdenyut. "Pencuri-kah ?", bisiknya dengan
hati menggeletar, ia kan-cingkan kembali celananya. Dengan satu
loncatan panjang, ia telah berada di atas tebing kali. ia tegak aebentar.
Memperlihatkan. Tetapi bayangan itu tak muncul lagi. Debur jantung
Margono perlahan mereda. Tetapi ia belum yakin. Siapa tahu bayangan
itu masih bersembunyi di balik pohon. Itu bukan ilusi, ia tahu betul.
Begitu jelas tadi ia melihat bayangan putih itu meloncat lalu menghilang
di balik pohon kira-kira tiga meter di depannya. "Siapa di situ ?",
Margono memberanikan diri.
Tak ada sahutan. Margono melangkah. Satu. Dua. Tiga. Perasaannya
mulai waswas. Entah mengapa.
Karena itu ia membuka mulut lagi : "Siapa di situ ?".
Tetap tak ada sahutan.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Keluarlah cepat ! Biar aku tahu !", kata Margono penuh ketakutan.
Margono mencoba mengancam . "Kalau tak menjawab, aku akan
berteriak. Biar teman-teman yang lain datang".
Perlahan-lahan terdengar suara : " ... aku".
Denyut jantung Margono mengencang lagi. Begitu halus suara itu. Mirip-
mirip bisikan. "Aku siapa ?".
"Aku ! ".
"Keluarlah ! Biarlah aku tahu !".
"Kang Gono dong yang ke sini !"
Suara perempuan ! Margono menjilat bibirnya yang terasa kering. Siapa
perempuan itu ? Dan ngapain dia malam-malam begini ada di pinggir kali
? Rumah yang terdekat letaknya lebih dari seratus meter dari tempat
itu. Tadi ia tidak melihat obor. Atau melihat orang menuju tepi kali. Tak
mungkin si perempuan jalan sendirian dalam gelap. Apalagi berada di
dekat kali yang airnya tengah meluap.
"Apa kerjamu di sini ?", Margono belum yakin. Takut dijebak.
"Mau buang air". "Hem, lalu ?"
"Akang datang. Aku malu, lalu sembunyi".
"Sekarang keluarlah. Tak perlu lagi malu. Kelu arlah, biar kutemani kau.
Kau Marniah, bukan ?".
Angin dingin berhembus menyapu wajah Margono ketika bayangan putih
itu muncul perlahan-lahan dari balik pohon. Begitu perlahan, sehingga
gerakannya seperti asap. Denyut jantung .Margono benar-benar sudah
tidak teratur, ketika di hadapannya berdiri seorang gadis bertubuh
semampai, berpakaian putih polos yang menutupi seluruh tubuh dari
batas leher sampai ... ah, sampai ke tanah.
Margono heran. Baju perempuan itu tidak kotor walau menyapu tanah
berlumpur. Dan lebih heran lagi, setelah melihat wajah yang putih
kemilau dan tampak jelas di udara subuh yang remang remang itu.
Perempuan itu bukan Marniah, anak pak Haji. Tetapi seorang perempuan
yang tampak asing, na-mun seolah-olah ia kenal :
"Akang lupa padaku ?", tanya si perempuan se-raya mendekati.
Hampir kaku seluruh tubuh Margono. Kaku kedinginan.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Eh ... eh, yyyaaa...", jawabnya gagap.


"Ah, masa !", Perempuan itu tersenyum. Manis
sekali. Bibirnya tampak merah merekah. Lembu mempesona.
"Sss ... sung ... ggguh !".
"Ingat-ingat dong, kang Gono !".
"Sssiii ... ssiaappa ?". "Aku Teratai. Teratai Pu tih !".
Dalam kekalutan pikiran dan keheranannya Margono mencoba
mengingat-ingat. Memang ia pernah mendengar nama itu. Seolah dekat
sekali dengan dirinya. Dekat sekali dengan hatinya. Bagai kan nama itu
pernah menjadi kekasihnya. Ataukah gadis idamannya ?
Sementara itu, si gadis sudah berada hanya di depan tubuhnya. Uap
nafas gadis itu terasa hangat Wajah Margono kembali bersemu merah,
dialir darah. Dijelalatinya wajah gadis itu sepuasnya Matanya bersih dan
besar. Bersinar tajam, tetapi tampak menggairahkan. Jantung Margono
sudah tak bisa ia kendalikan lagi. Lebih-lebih ketika tangan si
perempuan terangkat, perlahan-lahan mem belai pipi Margono.
"Kau tampan sekali, kang Gono", bisik si perem puan.
"Ah hanya itu yang terucap di mulut Margono.
"Yah. Kau tampan. Gadis-gadis seluruh kam
pung ini pun mengatakan bahwa kau jantan".
"Ah lagi Margono mendesah.
"Tetapi kau jahat, kang !".
Sepasang mata Margono menyipit. Apa maksud si perempuan ?
Ditelitinya wajah gadis itu. Tidak ada gambaran apa-apa untuk
menguatkan kata-kata yang terucap dari bibirnya yang merah merekah.
Malah wajah itu demikian lembut, hangat dan mempesona. Sehingga
kejantanan Margono seperti diumbang-ambingkan, digoda dan dipanas-
panasi.
"Apa maksudmu T', keberaniannya muncul kembali.
"Kau jahat. Karena itu aku datang menemuimu malam ini".
"Mau apa kau T', suara Margono melemah. Betapa tidak. Jari jemari
gadis itu telah melepas kancing-kancing kemejanya. Dan perlahan lahan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

menggelitik dada Margono yang berbulu. Margono jadi gemas. Si gadis


memekik halus, kemudian meronta-ronta.
"Kang, jangan !"
Tetapi suara membantah itu bertolak belakang dengan tatap mata dan
senyum di bibir. Margono semakin menjadi nekad. Si perempuan
menggeliat, dan perlahan-lahan membaringkan tubuhnya di atas
rerumputan. Margono memandang dari atas,
dengan mata nyalang dan lutut menggeletar.
"Kang Gono ... ", si perempuan memelas. Margono tidak perduli lagi. Tak
perduli siapa perempuan itu, mengapa ia berada di tempat itu, mengapa
begitu mudah jatuh dalam pelukannya meski memang selama ini di
kampung mereka Margono dikenal sebagai seorang petualang
perempuan, ia tidak perduli mengapa baju si perempuan yang putih
bersih tetap tidak kotor setelah berbaring di atas tanah berlumpur.
Yang diperdulikan Margono cuma dorongan dalam dirinya saja.
ORANG-ORANG yang tengah menyantap kopi panas dan ubi rebus di
Posko HANSIP, tersentak ketika mendengar suara jerit yang menyayat
di kejauhan. Laki-laki yang bertubuh paling besar dan selalu berada di
depan sepanjang malam itu, serentak berdiri.
"Kalian dengar itu ?", bisiknya. Yang lain tak menjawab. Diam
mendengarkan.
Lalu jeritan itu menggema lagi. Mirip raungan. Raungan yang tengah
menghadapi kematian. Lalu seorang di antara yang duduk melemparkan
ubi rebus di tangannya, berdiri dan berlari keluar.
"Itu suara si Gono ! ", serunya.
"Margono !", gerutu si lelaki bertubuh tinggi kekar yang pertama-tama
berdiri. "Celaka. Boleh jadi pencuri itu ia pergoki dan
Mereka semua membayangkan kemungkinan itu. Selagi mereka berlari
dahulu mendahului ke arah sungai di mana Margono tadi mereka
tinggalkan, benak mereka seolah-olah memadu dalam suatu bayangan.
Margono memergoki si pencuri yang sering mengganggu keamanan
kampung mereka belakangan ini, Margono tidak bersenjata. Dan si

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

pencuri mungkin punya golok. Atau pisau. Atau bambu runcing. Atau apa
saja. Yang bisa meng-
hantam margono.
"Cepat !", yang paling depan berseru. "Cepat ! Cepat !", yang lainnya
dikomando, Ajaib, mereka mengucapkan kata-kata yang sama, dan
mereka terus berlari dan berlari. Mereka sudah kecapaian, tetapi
tempat yang mereka tuju tak juga sampai-sampai. Mereka sadar mereka
terus berlari, tetapi betapa lamanya. Dan betapa jauhnya terasa.
Tempat yang tadi mereka tinggalkan jarak nya cuma sepuluh menit jalan
kaki dari arah Posko, Tetapi dengan berlari, justru semakin lambat dan
jauh. Sementara itu jerit dan raung itu menggema dan menggema terus.
Jerit kesakitan, raung kema tian.
"Celaka V', sungut orang yang bertubuh tinggi besar ketika raungan
menggema di kesenyapan su buh itu perlahan-lahan mereda kemudian
lenyap sama sekali. "Pencuri itu telah membunuhnya" !
Lalu dengan tiba-tiba, kekuatan mereka kembali pulih. Begitu jerit itu
lenyap, begitu mereka mera sakan langkah-langkah kaki mereka kian
cepat dan hanya dalam beberapa detik mereka telah sampai di tempat
di mana tadi Margono mereka tinggal kan.
"Gono ! Margono !", mereka ganti berganti me manggil. Tidak ada
sahutan. Yang ada hanyalal deru dedaunan bambu gemersik ditiup angin,
lalu
deru air yang mengalir ke hilir. Sorot lampu senter melonjak-lonjak ke
sana kemari. Dari balik dedaunan bambu, ke batang-batang bambu. Dari
tebing, kepermukaan air. Dari batu-batu di tengah kali, sampai tanah
berlumpur di pinggiran. Dan seseorang tiba-tiba berteriak : "Itu dia !".
Yang lain menoleh. Dan sorot lampu senter seperti dikomando, bersatu
padu ke arah sesosok tubuh yang menggeletak di bawah sebuah pohon
bakau, di antara akar-akar raksasa yang bergantungan, menjuntai di
atas tanah dan di permukaan air.
Nafas-nafas mereka mendadak berhenti ketika mereka kenali tubuh itu.
"Margono !", seseorang berbisik. Sendu, dan mengerikan.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

TUBUH itu polos. Pakaiannya bertaburan di sana sini. Ketika sorot-sorot


lampu senter disertai pe-kik-pekik tertahan memenuhi tempat itu,
sesuatu berwarna putih tiba-tiba meloncat dari arah pangkal paha
Margono yang sudah diam tak berkutik. Tiba di tanah berlumpur,
bayangan putih itu berhenti sejenak, ia menantang sorot lampu senter
yang diarahkan padanya dengan mulut menyeringai. Tampak noda-noda
darah di antara misai-misainya yang halus.
"Tikus putih" !", seru orang yang menyenter benda itu. Dan sebelum ia
serta kawan-kawannya ingat untuk berbuat sesuatu, tikus putih sebesar
betis itu telah meluncur masuk dalam gelap, menghilang di antara akar-
akar bakau seraya mencicit-cicit nyaring. Bergidik bulu roma peronda-
peronda malam yang hadir di situ..
"Lihat !" petugas ronda yang bertubuh kekar menyorotkan lampu
senternya ke arah dari mana tadi tikus putih itu bersembunyi sebelum
loncat untuk menghilang. Semua mata tertuju ke arah paha Margono.
Pekik-pekik tertahan sahut bersahut lagi. Hampir semua memejamkan
mata sejenak, untuk dengan enggan membukakannya lagi dan melihat
bahwa apa yang berada di depan biji mata mereka bukanlah impian
buruk. Hampir se-
luruh bagian alat vital Margono sebagai seorang lelaki, hancur.
Keempat orang peronda malam itu berjongkok serentak. Denyut nadi di
tangan Margono diperiksa. Juga jantung Margono itu'ah, ia tiba-tiba
mencium bau anyir. Matanya terbeliak waktu ia sadari bahwa mulutnya
mencercah pada darah yang mele-lehi dada Margono. Darah itu berasal
dari lehernya. Waktu orang itu menyorotkan lampu senter di tangan, ia
merasakan seluruh tubuhnya dingin dan kaku. Tenggorokan Margono
terbelah dengan kasar bagaikan dicabik-cabik oleh gigi-gigi yang runcing
dan tajam-tajam.
Beberapa detik berlalu dengan kebisuan yang mencengkam dan
mendirikan bulu kuduk. Hanya deru aliran sungai saja yang terdengar,
diselingi oleh semilirnya angin yang menggeseki batang-batang dan
dedaunan bambu sehingga menimbulkan bunyi yang tidak mengenakkan
hati maupun telinga.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Mari kita angkut ia ke rumahnya", perlahan-lahan peronda yang paling


besar tubuhnya membuka suara. Getaran suaranya terdengar jelas.
Juga ketika yang lain menggumam, tanda setuju. Gu-maman-gumaman itu
menggletar, seakan-akan tertahan di kerongkongan. Lutut dan tangan-
ta-
ngan mereka pun terasa goyah waktu mereka sama-sama berjongkok
kemudian ramai-ramai mengangkat tubuh Margono yang telah menjadi
mayat. Da lam samar-samar cahaya subuh, hati mereka agak menciut
melihat sepasang mata Margono yang terpentang lebar, seakan-akan
melihat dan merasakan sesuatu yang mengerikan serta membuatnya
amat menderita.
Mereka berjalan dengan suara membisu menuju rumah keluarga
Margono. Meskipun begitu, semakin dekat ke rumah korban, semakin
banyak juga orang yang mengiringi rombongan. Rupanya jerit dan raung
Margono telah membangunkan beberapa penduduk yang memberanikan
diri keluar untuk mengetahui apa yang terjadi. Ada belasan orang yang
mengiringi mayat itu sampai dibaringkan di ruangan tengah rumah
keluarganya.
"Panggilkan pak Lurah !" seseorang berseru.
Bersamaan dengan terdengarnya kokok ayam yang kian ramai bersahut-
sahutan, maka di dalam rumah keluarga Margono pun sahut bersahut
pulalah suara jerit dan tangis yang pilu menyayat hati. Seluruh kampung
gempar dengan tiba-tiba. Semua pintu dan jendela terbuka. Jalan-jalan
desa menjadi ramai. Orang-orang berhamburan dan mengerumuni rumah
dan halaman di mana jerit dan tangis
kematian itu menggema berkepanjangan. Dan ketika pagi tiba,
kerumunan itu mulai menipis dan tinggallah keluarga Margono serta
anak-anaknya yang ada, termasuk keempat petugas ronda malam itu dan
Pak Lurah yang khusus dipanggil untuk nenyelidiki sebab-sebab kematian
Margono yang demikian menyeramkan.
Setelah memeriksa luka-luka di bagian kelelakian serta tenggorokan
Margono yang sama-sama han-cur, orang tua yang jenggotan dan ubanan
itu me-ngeluh;

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"ia bukan dibunuh orang !" Tertegak leher empat petugas ronda
didekatnya. "Bukan dibunuh ?". "Memang dibunuh. Tetapi bukan oleh
manusia biasa !".
Wajah-wajah yang ada di sekitar orang tua itu yang tadinya telah pucat,
semakin pucat dan lesu. Satu dua orang menggelengkan kepala, mencoba
menghilangkan bayangan buruk yang munghuntui kepala mereka.
Sementara itu sedu sedan «nak dan isteri Margono semakin berderai
mendengar kete-rangan si orang tua. Berapa menit pula lewat dalam
ketegangan yang mencekik, sampai peronda bertubuh kekar itu
membuka mulutnya lagi.
"Pak Mirta bisa cari makhluk apa yang kira-kira membunuhnya ?"
" ... sebentar", sungut lurah yang dipanggil Pak Mirta itu.
ia sesaat taffakur, kumat kamit membaca se suatu lalu membelalakkan
mata. Sorot matanya yang tajam ditujukan pada telapak tangan kanan
Margono yang sejak dibawa ke rumah ini tetap mengepal dan tak bisa
dibuka. Tubuh Pak Mirta bergidik sejenak, kemudian matanya terpejam
lagi. Beberapa helaan nafas setelah itu ia menjadi biasa lagi. Sambil
tersenyum penuh kemenangan, ia me-raba pergelangan tangan kanan
Margono. Dengari mengangkatnya sedikit, kepalan tangan kanan
Margono telah berada di depan mulutnya.
"Cuih !", ia meludah.
Semburan ludah itu membasahi jari jemari Mar gono yang telah
memutih kebiruan. Kemudian te lapak tangan Pak Mirta yang satunya
lagi diangkat melebar dan diputar-putarkan di atas kepalan ta ngan
Margono. Lalu, perlahan-lahan ia membuka satu per satu jari jemari
yang mengatup keras itu hanya dalam waktu yang singkat dan sangat
mudah kelihatannya, dibuka oleh Pak Mirta. ia membuka jari jemari
Margono seperti mengupas kulit pisang
Begitu telapak tangan Margono mengembang terbuka, semua mata yang
hadir terbelalak Tangani yang tadinya diduga berisi sesuatu yang
berhasil di-

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

enggut oleh Margono dari pembunuhnya sebelum ia menghembuskan


nafas, ternyata memang berisi sesuatu. Bukan baju atau sesuatu yang
menunjuk-
an benda itu sebagai milik pembunuh Margono yang diduga oleh peronda-
peronda sebagai pencuri yang akhir-akhir ini mengganas di kampung
mereka; melainkan sebuah benda yang tidak mereka du-
ga sama sekali.
"... kuntum bunga !", sungut laki-laki bertubuh
kekar, yang mencondongkan wajahnya ke depan
begitu tangan Margono mengembang terbuka. "Teratai putih", sahut Pak
Mirta menambahkan . Dan masih segar dan baru. Margono tidak
merenggutkan ini dari pembunuhnya. Tetapi ia menerimanya secara
baik-baik, lalu ia genggam ku-at-kuat seakan tak mau melepaskannya lagi
orang tua itu terdiam sejenak. Berpikir. Seperti ti-dak percaya pada
diri sendiri kemudian ia melan-jutkan : "Yah ... seseorang memberi
kuntum teratai putih ini pada Margono, sebelum ia melaksanakan niat
jahatnya".
"Seseorang ! Pencuri itukah ?".
Pak Mirta geleng-geleng kepala. "Luka luka di tubuh Margono adalah
bekas-bekas gigitan. Dan gigi-gigi manusia tak mungkin membentuk
cabikan-cabikan yang sedemikian rupa. Mestinya ini gigitan
seekor binatang
"Binatang !", sungut peronda bertubuh kekar. " Tetapi Pak Mirta bilang
Gono dibunuh oleh seseorang
"Seseorang yang kemudian berubah jadi binatang", sungut Pak Mirta."
Tetapi aku belum yakin benar. Ini cuma dugaanku saja".
Terdengar seruan-seruan tertahan. Keluarga-keluarga almarhum yang
tadinya bertangis-tangisan telah hilang sedu sedannya. Rupanya mereka
pun mendengarkan pembicaraan itu, dan menjadi asyik karenanya. Lupa
bahwa salah seorang anggota keluarga baru saja meninggalkan mereka,
dalam keadaan yang sangat mengerikan dan memilukan. Berpasang-
pasang mata yang terbuka lebar seperti mulut-mulut mereka yang
melongo pertanda ta'jub dan ketidakpercayaan yang saling bercampur,

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

tertuju ke arah Pak Mirta yang memandangi para peronda didekatnya


satu per satu. Yang dipandang menjadi gugup. Namun sinar mata pak
Mirta tidak menuduh. Melainkan memancarkan pertanyaan, yang
kemudian dikuatkan oleh kata-kata yang keluar dari mulutnya yang
keriput: " ... kalian tak melihat binatang apa yang ada di tempat kalian
menemukan tubuh Margono ?".
Sepi sejenak. Lalu : "Tikus !", keluar suara
serempak.
"Tikus putih !", kata orang yang pertama-tama melihat makhluk yang
meloncat dari arah paha Margono ketika mereka temukan mayatnya.
Dan dengan bernafsu ia meneruskan : "Tikus itu sempat menyeringai.
Misai, tepi bibir dan gigi-giginya yang runcing, bergelimang warna
merah. Warna darah".
"Darah Margono !", sungut pak Mirta. Mendengar itu, meledak pulalah
tangis isteri, kemudian anak dan ditambah lagi oleh tangis perempuan-
perempuan lain yang hadir di ruangan itu. Semakin lama semakin tinggi
lengking dan tangis itu, sehingga pak Mirta dan para laki-laki lain cuma
diam menunduk dengan wajah-wajah tubuh besar berbisik agak keras di
dekat telinga pak Mirta:
"Apakah tikus itu yang membunuh Margono ?"
Pak Mirta mengangguk.
"Tetapi ... bagaimana mungkin ? Mestinya Margono melawan. Dan ...
mengapa ia bertelanjang bulat ? Hanya si pencuri yang mungkin dapat
melakukan hal serupa itu
Orang tua itu memandangi peronda itu, juga yang lain-lainnya. Setelah
menarik nafas panjang ia bergumam. Lesu : "Pembunuh itu bukan
pencuri. Karena yang membunuh Margono adalah seorang yang gemar
pada bunga..."
"Perempuan ?", mata si peronda menyipit. "Coba lihat keadaan Margono
ketika kalian temukan. Keadaan bajunya yang bertaburan dan tubuh
Margono yang kalian katakan basah oleh butir-butir keringat di antara
darah-darahnya
"Maksud bapak ... Margono meniduri perempuan itu, lantas

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Lantas selagi korbannya terlena, perempuan itu merubah wujudnya jadi


tikus kemudian ... ah, sudahlah. Mengapa tidak kita cari saja sarang
tikus itu sebelum ia menjatuhkan korban lebih banyak?"
TETAPI yang tinggal di pinggir kali tempat mayat Margono
diketemukan, hanya sobekan-sobekan pakaian Margono. Darah-darah
yang berasal dari lu ka-luka gigitan di tenggorokan dan kelelakian cepat
meski matahari baru saja muncul di ufuk timur. Yang anehnya, gumpalan
darah yang telah membeku itu, warnanya hitam kebiruan.
" ... warna berlumur dosa !", berbisik pak Mirta.
Empat orang laki-laki peronda tadi malam yang ikut bersamanya, saling
berpandangan.
"Tetapi sudahlah !", lanjut pak Mirta.
"Toh Gono sudah mati !".
Sementara laki laki yang lain mencari kalau ada jejak-jejak manusia atau
pertanda-pertanda lain yang mencurigakan dan merupakan petunjuk apa
atau siapa membunuh Margono, maka laki-
laki tua bertubuh kurus ceking dengan jenggotnya yang melambai-lambai
ditiup angin, memperhatikan sebuah lubang kecil di bawah sebuah akar
bakau.
"Ada yang bawa parang ?", tanyanya. Hampir berupa bisikan. Karena
yang lain-lain berpencar dan tekun dengan usaha masing-masing,
pertanyaan itu tidak terjawab. Pak Mirta mengulangi lagi, lebih keras :
"Parang ! Ada yang bawa parang ! ?".
Barulah orang-orang yang berada di situ mem-perhatikan. Seseorang
maju, menyerahkan sebuah golok panjang. Tetapi ditolak oleh Pak Mirta.
Sam-bil tak melepaskan pandangannya dari bawah akari bakau, ia
menggerutu :
"Potong akar itu !".
Orang yang memegang parang, dengan heran menurutkan arah jari
telunjuk pak Mirta. Di depan lubang menganga yang ia temui, sesaat ia
coba meneliti ke dalam. Ularkah di dalam ? Atau kedua-duanya ?"
"Potong !", teriak pak Mirta.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Bret !", sekali tebas, akar bakau yang menjuntai itu jatuh
menggelinding di tanah. Terdengar suara berisik, lalu lubang yang
menganga itu membentuk warna yang lebih hitam. Sebelum si pemegang
parang sadar apa yang ia lihat, pak Mirta berseru lagi :
"Menghindar !"
Tetapi terlambat. Dari lubang yang menganga semakin lebar setelah
akar bakau yang menutupinya jatuh, meloncat keluar beberapa benda
hitami sebesar paha manusia. Orang yang memegang parang itu menjerit
kaget dan ketakutan. Parang di, tangan bukannya ia pergunakan,
melainkan ia lem-barkan. Kedua lengan ia pergunakan menutup
mukanya yang dihinggapi oleh benda-benda hitam yang tak lain dari
tikus besar dan mengerikan. Orang itu melolong dan meraung, ditolak
oleh Pak Mirta. Tetapi tikus-tikus itu semakin gencar menyerang tidak
saja muka, tetapi tangan, bahu, dada dan lehernya. Teman-temannya
segera datang memban tu. Tetapi mereka justru jadi sasaran serangan
tikus-tikus yang luar biasa besar dengan gigi-gigi yang tajam serta
runcing bagaikan gergaji pemotong kayu. Jerit dan lolong kesakitan
segera menggema di sepanjang tepi sungai pagi hari itu ..."

TIGA

PAK MIRTA cepat-cepat bersimpuh sementara keempat laki-laki lainnya


panik dan kelabakan menghadapi serangan tikus-tikus besar yang
seolah-olah semakin banyak keluar dari lubang. Sementara jerit dan
lolong kesakitan serta raung amarah orang-orang itu memecah kesepian
di pinggir sungai, pak Mirta malah kumat kamit sambil sebentar-
sebentar meludah ke kiri dan ke kanan, ia meludah terus dan terus,
sampai kerongkongannya seperti sudah kering kerontang dan tenaga
tuanya semakin menciut. Keringat membanjir di tiap pori-pori tubuhnya.
Lalu tiba-tiba, ya, tiba-tiba sekali : "Musnah !", ia berteriak melengking.
Suara mencicit yang riuh rendah dari tikus
tikus itu, mendadak lenyap dan berganti dengan keheningan yang
mencekam.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Angin pagi silir semilir dengan suara tenang. Gesekan bambu-bambu


yang tertiup menimbulkan bunyi lembut. Deru air mengalir menggema
perlahan. Lalu dedaunan yang entah dari mana munculnya yang
bertebaran di sekitar keempat laki-laki yang kepayahan itu, satu per
satu melayang dan jatuh ke bumi. Darah-darah berceceran di sana sini.
" ... bukalah mata kalian !", suara pak Mirta lembut.
Keempat lelaki yang semenjak mendapat serangan itu menutup mata
takut digigit, perlahan-lahan membuka mata masing-masing. Samar-
samar mereka melihat bayangan dedaunan bakau yang besar-besar
jatuh bergelimpangan di tanah. Banyak di antaranya yang terpotong-
potong dan tersobek-so-bek.
... ke mana tikus-tikus keparat itu ?", peronda yang terbesar tubuhnya
bersungut-sungut sambil memegangi lengannya yang luka berdarah.
Seluruh bajunya sobek dan hancur. Dari dadanya mengucur darah.
Tampak luka-luka memanjang di sekitar dada yang bidang berbulu itu.
"Tikus ?", pak Mirta tersenyum halus. "Tidak ada seekor tikus pun !"
Peronda-peronda itu saling berpandangan lagi. Benar-benar tidak
percaya pada apa yang mereka dengar. Sampai seorang di antaranya
berteriak marah : "Lalu luka-luka di tubuh kami ini T', sambil menampar
pipi yang menunjukkan tanda-tanda yang ia katakan.
"Kalian mencakar diri kalian sendiri !"
"Mustahil !".
"Perhatikanlah kuku jari-jari tangan kalian".
Sesaat keempat lelaki yang berpakaian compang camping karena robek-
robek itu tertegun. Berpanjangan lagi, kemudian saling mengembangkan
tangan memperhatikan kuku masing-masing. Mereka terpekik serempak.
"Lalu ... tikus-tikus itu ... aku ingat aku ada menghancurkan beberapa
ekor di antaranya bersungut-sungut laki-laki peronda yang bertubuh
kekar itu.
"Kalian cuma menghancurkan dedaunan", kata pak Mirta seraya
menunjuk pada daun-daun bakau yang bertumpuk-tumpuk
bergelimpangan di sekitar mereka. "Dedaunan yang. dibayang-bayangi

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

oleh kekuatan sihir. Aku yakin kini. Semua ini pekerjaan seorang tukang
teluh !".
ia kemudian berdiri. Mengambil parang yang tergeletak di tanah dan
dengan langkah yang tegap
ia berjalan ke dekat lubang. Di sana ia meludah lagi. Ke kiri sekali, ke
kanan sekali, dan ke dalam lubang dua kali.
"Kalian galilah lubang ini dulu", perintahnya.
Orang-orang yang mengerubunginya mundur setapak.
"Jangan takut", senyum pak Mirta. "Tak akan ada tikus-tikus. Tadi
sebelum akar itu terpotong, aku melihat bayangan putih. Kukira tikus
yang kalian lihat subuh-tadi. Tetapi ternyata tidak. Galilah".
Lubang itu ternyata tidak dalam. Tidak pula memanjang. Tiada ular.
Ataupun tikus. Lubang itu tampaknya dibuat oleh manusia. Dan ketika
tanah di sekitarnya telah terbongkar dengan mudah yang tampak
hanyalah beberapa kuntum bunga teratai yang masih segar segar dan
baru dipetik.
"Seseorang meletakkannya di situ. Orang itulah yang membunuh
Margono" berbisik pak Mirta.
Keempat laki laki lainnya memandang orang tua itu dengan penuh
perhatian. Tak seorang pun yang berani membuka mulut Mereka sadar
kini, bahwa mereka berada di tengah-tengah alam nyata dan alam gaib.
Mereka merasa sekujur tubuh mereka kesakitan. Rasa takut dan ngeri
perlahan sudah hi-lang, namun belum semuanya. Karena itu mereka
cuma diam dan pasrah kepada pak Mirta, yang bersikap tenang dan hati-
hati dalam melakukan segala tindakan.
"Teratai putih", kembali suara pak Mirta terde
gar halus sekali, ia berpikir-pikir. Matanya terpejam lama.
Menggelengkan kepala berulang-ulang. Meludah sekali. Lalu membuka
matanya. Bertanya:
Ingatkah kalian ?".
"Ap-paaa ?, empat mulut lain serempak membu-ka.
"Si Teratai Putih !".
Mereka menggelengkan kepala.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Ah, orang-orang muda sekarang memang lekas pelupa. Tetapi yah ...
seingatku, memang tidak seorang pun di antara kalian yang ikut terlibat
dalam pembunuhan terhadap keluarga Teratai Putih." Pak Mirta sesaat
menghela napas. "Tetapi Margono ikut. Dan kini ia mati di tangan
Teratai Putih, apakah si gadis cucu peneluh itu, mulai membalaskan
dendam keluarganya ?"
Semua yang ada di situ tahu peneluh mana yang dimaksud pak Mirta.
Semua yang mendengar pada bergidik. Pucat. Hal itu tampak pula di
wajah sang lurah, namun ia dapat menyembunyikan perasaan dengan
tidak berkeluh kesah Jauh di sanubari, ebenarnya ia merasa kuatir.
"Aku pun terlibat" ia merintih.
Tak lama.
Wajahnya berubah cerah lagi, ketika ia teringat sesuatu. "Masih ada
harapan", pikirnya. "Aku harus menemui dia sekarang juga !'
Lantas setelah mereka pulang ke rumah masing-masing dengan janji ia
akan mengobati luka-luka mereka, ia berlalu.
Dengan kepala menekur.
Dalam.
SEBENARNYA Mayangsari baru menginjak usia 36 tahun, seminggu
sebelum mayat Margono ditemukan. Tetapi tekanan bathin dan hati yang
sudah lama terluka, menyebabkan perempuan itu tampak lebih tua
sepuluh tahun. Tubuhnya kurus, dan gurat-gurat di beberapa sudut
wajahnya menggaris semakin nyata dari tahun ke tahun. Namun begitu,
di wajah dan potongan tubuhnya masih tertinggal sisa-sisa kecantikan
yang pernah ia banggakan karena sempat membuat beberapa orang
lelaki tergila-gila, ada yang sampai cerai dengan isterinya dan ada pula
yang bersumpah untuk tidak menikah seumur hidup - kecuali perempuan
yang ia tikahi, Mayangsari.
Laki-laki itulah yang siang hari ini mengetuk pintu rumah Mayangsari di
ujung desa. Suatu kehormatan dikunjungi orang paling mulia di desa
mereka, namun toh Mayangsari menyambut pak Mirta dengan sikap
biasa, malah setengah tak acuh. Sebagai warga yang baik, ia

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

mempersilahkan tamu nya masuk dan kemudian pergi ke dapur untuk


membuatkan teh.
" ... kau baik-baik saja, Mayang ?", bertanya lurah desa, setelah mereka
kemudian duduk berhadap-hadapan.
"Biasa saja, pak".
"Kudengar kau sakit ".
"Dari dulu juga aku sudah sakit-sakitan, pak Mirta", perempuan itu
mencoba tersenyum. Hanya keinginan untuk tidak mati sia-sia membuat
ia tetap bertahan hidup, demikian yang tersirat di balik sinar mata
Mayangsari.
Pak Mirta menghela nafas panjang. Berkata, lirih : "Kau menyiksa diri
sendiri, Mayang. Dari tahun ke tahun, kau tak pernah berubah. Selalu
melamunkan orang-orang yang sudah meninggal, padahal kau masih
tinggal bersama mereka yang masih tetap hidup ..."
"Apa bedanya ? Mereka yang masih hidup, toh tidak pernah memandang
sebelah mata pun padaku. Dibiarkan sendirian, aku sudah berterima
kasih. Ini ... kau tahu sendiri bukan, pak Mirta ?"
Yang ditanya, mau tak mau terdiam.
Ke mana pun perempuan ini pergi, orang tetap berbisik-bisik : "Itu dia si
Mayang, anak tukang teluh !". Lebih menyakitkan lagi : "Tahu tidak.
Anaknya, si Teratai Putih, hilang rahib ! Tentu saja : anak itu lahir dari
kekuatan sihir !"
Hanya berkat pengaruh pak Mirta sebagai lurah di desa itu, Mayangsari
tidak diusir. Sebagai kepala desa, dia pulalah yang paling gigih menolak
keinginan penduduk untuk membakar saja si Mayang
Terkutuk, agar pengaruh sihir tak bersisa lagi di daerah mereka. "Dia
sudah ditinggal mati suami, anak dan ayahnya. Kalian tahu sendiri, dia
tidak pernah pula ikut ikutan ayahnya bertapa di gunung, ia bersih, aku
jamin kalian semua. Jadi biarkan dia. Jangan sudah jatuh, kalian timpa
pula dengan tangga". Dan kalau masih ada penduduk yang bersikeras,
pak Mirta dengan halus mengancam : "Kalian berani ? Silahkan.
Akibatnya, tanggung sendiri. Jangan lupa, ayah Mayang seorang tukang
sihir. Jadi siapa tahu, dia punya ilmu juga".

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Lalu semua penduduk mengucilkan Mayangsari. Setiap orang


membencinya, tetapi sekaligus takut kepadanya. Kecuali pedagang-
pedagang dari kota. Tengkulak-tengkulak itu dengan rajin mendatangi
rumah Mayangsari, membuka kolam-kolam ikan milik perempuan itu dan
memboyong isinya ke kota. Kebetulan pula kolam-kolam ikan milik
Mayangsari termasuk subur, ikan-ikannya gemuk dan cepat besar, ia
rajin mengurusnya, itu sebabnya. Tetapi penduduk bilang, kolam ikan itu
berisi makhluk jadi-jadian. Paling kurang, diberi makanan oleh roh-roh
jahat. Para tengkulak tak perduli. Mereka cuma bilang : "Ikan ya ikan.
Makin baik, makin laku dijual".
" ... terkadang", suara Mayangsari mengejutkan
pak Mirta. "Terkadang, ingin aku menyingkir. Ke mana saja. Pokoknya, ke
tempat di mana aku tidak dikenal orang, dan diperlakukan sebagaimana
me-reka memperlakukan warga desa yang lain. Tetapi aku lahir di sini,
besar dan ingin mati di sini. Aku tidak ingin berpisah dengan ayahku,
suamiku, anakku".
"Mereka sudah lama mati, Mayang".
"Jasad mereka, ya. Rohnya, tidak".
"Uh. Apa pula itu ? Jangan membuatku percaya apa yang digunjingkan
orang selama ini tentang dirimu, Mayang."
Si perempuan diam saja.
Wajahnya tidak menggambarkan kecewa, marah, sakit hati. Apalagi
kegembiraan. Agak lama, baru ia membuka mulut kembali : " ... kau tahu
apa yang kumaksud, pak Mirta".
Ya. Pak Mirta tahu : Mayang tidak mau jauh dari kuburan suami dan ayah
kandungnya. Dan seperti apa yang juga berulang kali diucapkan
Mayangsari, perempuan itu masih tetap penasaran. Ingin tahu di mana
anaknya terkubur, ia yakin anaknya sudah meninggal, tetapi ia baru puas
kalau sudah melihat sendiri kuburan Teratai Putih, dan bahwa Teratai
Putih dimakamkan secara wajar.
Pak Mirta seketika teringat akan tujuannya berkunjung.
" ... salah seorang warga kita, telah meninggal", katanya, berusaha
mencari kalimat yang paling halus diungkapkan. "Namanya Margono. ia

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Sudah kudengar", ujar Mayangsari, dingin.


"Oh ya ?"
"Ada beberapa orang lewat di depan rumahku, tadi. Mereka menuding-
nuding. Bahkan ada yang berteriak ...".
"Berteriak ?"
"Ya"
"Apa yang mereka teriakkan ?"
"Bahwa aku seorang pembunuh !", wajah Mayangsari muram. Terluka.
"Aku dituduh membu-nuh si Margono
"Jadah ! Tuduhan itu tidak benar !", pak Mirta blingsatan sendiri.
"Memang tidak. Sepanjang malam aku tidak ke-luar dari rumahku.
Setelah pedagang-pedagang itu pergi, satu minggu ini aku sibuk
mengurusi kolam-kolam di belakang rumah. Aku letih, tertidur dan .. Ah,
ah. Mengapa pula harus kuceritakan padamu, pak Mirta ? Toh tidak ada
yang tahu, tidak ada yang melihat bahwa aku sungguh-sungguh tak ke
"Aku percaya padamu, Mayang", bisik lurah desa, renyuh. "Aku percaya.
Dan entah bagaimana caranya, akan kupertahankan kepercayaanku ini
bila ada warga yang mendesak".
"Jangan melibatkan diri, pak".
"Mengapa tidak ? Aku seorang lurah. Sudah tanggung jawabku untuk
membela setiap warga yang tidak bersalah
"Dari mana kau tahu aku tidak bersalah, pak Mirta ?"
"Naluriku yang mengatakan
Mayangsari diam. Matanya menatap lurus ke mata pak Mirta. Yang
dipandang tidak mengelak, ia balas menatap. Lembut, berperasaan.
Cuping telinganya mesti merah padam, apabila ia masih berusia remaja.
Di usianya yang sekarang, cuping telinganya cuma bergeming sedikit.
Semuanya wajar, semuanya tampak biasa saja.
ia melanjutkan lagi : "Kau tahu, Mayang ? Setelah mayat Margono
ditemukan dan aku memeriksa segala sesuatunya, naluriku mengatakan
pula. Teratai Putih sudah kembali !"
Beberapa saat lamanya, Mayangsari menegang, kaku.
Kemudian ia tertawa. Parau. Katanya : " ... mustahil !"

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Pak Mirta angkat bahu. Mengeluh : "Kau tak pernah ikut-ikutan dengan
ayahmu, Mayang. Tetapi si Teratai, tak pernah lekang dari dia. Mereka
berdua saling sayang menyayangi, saling pengaruh mempengaruhi. Aku
tahu benar, apa yang ada dalam pikiran almarhum ayahmu. Kau tidak
mewarisi darahnya. Darah keturunan, ya. Tetapi darah pembawa bakat
ilmu yang dimiliki ayahmu, tidak. Si Teratai memilikinya -".
"Maksudmu Mayangsari menggigil. Dingin sekujur tubuhnya. "Anakku
telah kembali - dalam wujut yang lain ?"
Pak Mirta membasahi bibirnya yang kering. La- -lu, menjawab segan :
"Benar".
"Wujut bagaimana ?"
"ia telah kembali. Hanya itu yang dapat kukatakan padamu. Selebihnya,
kau percayakan saja pa daku, Mayang. Dan jangan mendesak aku, karena
aku tidak ingin menambah luka di hatimu ... ".
"Punya rencana, pak Mirta ?"
Yang ditanya, diam sesaat. Kemudian : "Tidak". Itu jelas bukan jawaban
yang jujur. Tetapi bagaimana ia mungkin menjelaskannya ?
Mempersatukan darahnya dengan darah Mayangsari, untuk melawan
kekuatan darah Teratai Putih. Melawan kekuatan anak kandung
perempuan itu sendiri, ia
tahu, Mayangsari seorang perempuan baik-baik. Namun sebaliknya, dia
juga tahu, diam-diam Mayangsari menyimpan kepenasaran : ingin tahu
siapa pembunuh ayahnya dan puterinya. Ingin melihat pembunuh-
pembunuh itu mati tersiksa.
Menarik nafas panjang sebentar, pak Mirta berkata lagi : "Maksudku,
untuk sementara ini aku belum punya rencana apa-apa. Entah lain kali.."
ia kemudian bangkit. Berjalan ke pintu. Di situ, ia membalik dan menatap
Mayangsari yang masih terhenyak di kursinya. Bimbang, dia bertanya :
"Kapan kau berhenti melamunkan orang yang sudah meninggal, Mayang
?"
Mayangsari diam saja.
Pak Mirta tidak putus asa. ia tersenyum manis, berkata lebih manis lagi :
"Aku masih tetap dengan tekadku, Mayang. Kapan kau mulai berpikir

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

mengenai mereka yang masih hidup, kuharap akulah orangnya yang


pertama-tama kau beritahu".
Mayangsari tetap saja diam.
ia menunggu sampai lurah desa itu lenyap dari pandangan matanya.
Kemudian berjalan ke jendela. Menatap salah satu kolam di luar. Kolam
yang tak pernah ditaburi benih ikan. Kolam itu tempat mandi si Teratai.
Kolam kesayangan puterinya, yang dengan tekun dan asyik merawat
bunga-bunga
teratai yang tumbuh di tengah kolam. Ada suatu kebiasaan anaknya yang
membuat Mayangsari merasa heran. Anaknya akan menyingkirkan bunga
atau bibit teratai yang berwarna merah, biru, ku ning malah Jingga yang
begitu indah. Sebaliknya, anaknya tetap membiarkan teratai putih
tumbuh subur dengan memberi alasan, putih teratai, adalah putih
hatinya.
Dan, dia telah kembali - kata pak Mirta.
Mustahil untuk dipercaya. Namun, jauh di sanubarinya Mayangsari
meragukan kepercayaan-nya sendiri. Si Teratai datang menemuinya tadi
ma lam. Gadis itu mengenakan gaun putih yang aneh dan belum pernah
dilihat Mayangsari. Gaun yang seolah terbuat dari asap - ataukah kabut
? Gaun yang menambah kecantikan wajah dan keindahan tubuh anaknya,
membuat si Teratai tampak lebih mekar, lebih dewasa.
"Boleh kupetik bunga-bungaku, mak ?", bertanya gadis itu, tersenyum
penuh harap.
"Ambillah. Itu punyamu, nak", jawab Mayangsari. Lalu anaknya
menghilang, lenyap seperti asap, seperti kabut. Mayangsari terbangun
dari tidur, me-rasa ia telah bermimpi. Tadi pagi ia membuka jen-dela
dan melihat ke kolam bekas anaknya sering bermain. ia tercengang
menyaksikan apa yang ter-
jadi. Sekarang, tidak lagi. Sekarang, ia dengan pasti berdiri di belakang
jendela. Menatap ke tengah kolam.
Di sana, tumbuh berkelompok-kelompok bunga teratai putih.
Itu tidak aneh, Yang aneh, bunga-bunga warna merah, kuning, biru dan
Jingga yang ia biarkan tumbuh subur semenjak anaknya menghilang

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

sekian tahun, tidak tampak lagi menghiasi permukaan air kolam yang
bening jernih. Daun, batang, akar dan bunga-bunga teratai warna warni
itu tampak berhamburan di pinggir kolam, seolah dising-kirkan dengan
perasaan jijik.
Yang tinggal hanya kelompok teratai putih.
Dan beberapa kuntum di antaranya, telah hilang dipetik.

EPISODE 2

EMPAT

SUASANA di pekuburan desa hening di saat jenasah Margono


diturunkan ke liang lahat. Seseorang kemudian bangkit untuk
membacakan do'a, dan tiga laki-laki bertubuh kekar hitam terbakar
matahari bersama-sama menimbunkan tanah ke dalam liang. Seorang
anggota keluarga ikut membantu, sementara dua orang gadis mendekat
dengan baskom yang penuh berisi air serta bunga rampai warna warni.
" ... itulah semuanya", pak Mirta mendesah, lirih.
Dudung yang berdiri di dekatnya, sengaja men jauh dari kelompok
pengiring jenasah di sekitar liang kubur, tampak sedikit pucat, ia
menjilati bibirnya yang semakin kering selama mendengar-
kan penjelasan lurah desa mereka, yang juga adalah uwanya itu. Hampir
tak kentara tampak tubuh Dudung gemetar. Peluh dingin membuat
ketiaknya terasa lembab. "Kalau bukan Uwa sendiri yang mengatakan,
aku akan tertawa", ia berkata pelan. "Si Teratai bangkit dari kubur. Ya
Tuhan !"
"Sayang", tembal Uwanya, suram." Kita pernah melupakan Tuhan".
Dudung kembali membasahi bibir yang semakin kering.
Pak Mirta benar. Mereka pernah melupakan Tuhan. Emosi dan nafsu
menguasai diri, kehormatan dan nama baik tanpa sadar diinjak-injak.
Semua itu gara-gara ia mencintai Teratai Putih yang tumbuh pesat
dalam usianya yang baru menginjak 12 tahun. Umur 7 tahun, dada

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Teratai Putih telah mengambang subur dan pada umur 12, betapa gatal
tangan yang melihat untuk menjamah, gemas pingin meremas.
Ayahnya yang waktu itu menjabat kepala desa, sempat dibuat bingung
oleh polah Dudung yang uring-uringan. Tidak mau melanjutkan sekolah.
Enggan pula bekerja di sawah. Kerjanya berkelahi. Siapa saja yang
mendekati bahkan melirikkan mata ke arah Teratai, Dudung langsung
naik pitam, ia seorang pesilat yang tangguh. Kalaupun lawannya
tidak jatuh oleh sepak terjangnya, maka kedudukan ayahnya sebagai
kepala desa merupakan jurus terakhir tetapi sangat ampuh.
"Ingat, nak. Teratai masih bocah ingusan", per nah ayahnya
memperingatkan. "Lagipula, kita semua tahu kakeknya itu seorang bekas
pertapa. Memang banyak orang sakit atau terlantar yang telah ia tolong.
Tetapi ada pula kita dengar, kakek Teratai dengan mudah akan
menciderai seseorang atas permintaan dengan bayaran tinggi. Si Teratai
pun konon sudah menerima ilmu yang sama dari kakeknya. Dia bukan
gadis yang sepadan untukmu, nak. Masih banyak yang lain. Anak keluarga
baik-baik. Si Saerah, anak Haji Suleh. Si Ningrum, anak bekas Camat.
Kalau kau masih kurang puas, aku dekat dengan Bupati. Puteri bungsu
Bupati sedang meningkat dewasa, dan kalau dikait-kaitkan kita masih
ada pertalian keluarga dari nenek sepupumu, ia juga tak kalah cantik
dengan cucu pertapa itu..."
Dudung tidak tertarik.
ia makin liar, makin tidak dapat dikendalikan. Sebelum keluarga dibuat
malu, mau tidak mau ayahnya yang kepala desa terpaksa menemui
keluarga Teratai Putih. Ayahnya disertai pula oleh uwa-nya, pak Mirta
dan beberapa orang sanak fami-
li yang pintar ngomong. Siapa nyana, salah seorang! pengiring ayah
Dudung kehadirannya membuat rusak suasana.
"Dia itu", kakek Teratai menuding orang dimaksud. " ... dulu paling
bersikeras mengatakan me nantuku mati karena kujadikan tumbal. Dia
berko-ar kian kemari mengatakan aku menempuh jalan sesat - memuja
setan, menyembah roh jahat penghuni lereng gunung tempatku sering
bersema-dhi mensucikan diri."

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Pengiring keluarga itu bermerah muka karena malu.


Ayah Dudung menyesal membawanya, tetapi salah seorang pengiring lain
dengan cepat mengete-ngahi. Katanya : "ia dipengaruhi orang. Terlalu
cepat menangkap kabar burung. Padahal kita se mua tahu, menantu
bapak memang meninggal, karena dipatuk ular. Suatu musibah yang
setiap orang pun dapat saja terkena, bukankah begitu?", si pembicara
menatap orang-orang yang datang bersamanya. Semua mengangguk
menyetujui.
Kemarahan kakek Teratai Putih mencair, apalagi setelah pengiring
keluarga yang ulahnya pernah membuat malu itu, dengan tulus ikhlas
memohon maaf dan lain kali akan menjaga telinga, mata dan mulutnya.
Namun itu belum berarti niat mereka
tercapai.
" ... cucu kami masih terlalu muda untuk kawin", kakek Teratai Putih
tetap menolak lamaran yang diajukan. "Coba. ia masih 12 tahun.
Member-sihkan ingus pun masih perlu dibantu. Apalagi mengurus suami,
wah ...!"
"ia dapat belajar", si pembicara keluarga Dudung belum menyerah. "Lagi
pula, bukankah banyak gadis-gadis lain seumur Teratai yang telah
berumah tangga ?"
"Memang benar. Tetapi banyak di antara mereka ang kemudian hidup
menjanda, ya tidak ?"
"Kita tidak mengharap, pak. Dan kalaupun pada akhirnya itu terjadi,
nyatanya janda-janda yang kita kenal cepat dapat jodoh kembali",
pembicara keluarga Dudung kemudian mencoba berseloroh : Mereka
laku keras, ketimbang yang masih perawan ..."
Seorang dua tersenyum, tetapi tidak kakek Te-atai Putih.
"Cucuku boleh saja menikah. Tetapi kami tidak ngin suatu ketika ia
menjanda seumur hidup seperti ibunya ..."
"Itu karena ibu Teratai terlalu mencintai almar-hum suaminya", pak
Mirta ikut buka suara, sekali-gus melirik ke balik pintu ruang tengah,
dari ma-

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

na sesekali ia lihat bayangan tubuh Mayangsari yang diam-diam


menguping pembicaraan. Dalam hati, entah apa yang tersirat. Dudung
tahu benar kalau Uwanya menaruh hati pada ibu Teratai Pu-tih, tetapi
kalah cepat dengan almarhum suami Mayangsari.
Celaka dua belas.
Ucapan pak Mirta yang tidak dipikir panjang lebar itu, segera ditanggapi
kakek Teratai Putih. Dingin dan tajam menyengat, orangtua itu
bergumam : " Apakah maksud kalian Teratai Putih kawin dengan Dudung,
tanpa Teratai harus mencintai suaminya ?"
Pak Mirta terdiam. Ayah Dudung, apalagi. Para pengiring sudah mandi
keringat, toh tidak ada hasil apa-apa yang dicapai, kecuali salah seorang
dari me reka diterima permohonan maafnya. Betapa me malukan. Sudah
harus meminta maaf, lamaran pun masih ditolak. Padahal itu lamaran
seorang kepala desa yang punya pengaruh sampai ke kantor Bu pati.
Suatu kehormatan buat penduduk yang ber untung memperolehnya.
Rombongan pelamar itu akhirnya mengundur kan diri dengan perasaan
malu. Lama kelamaan semua penduduk desa mengetahuinya. Aib semakin
tercoreng di muka. Hubungan antara keluarga Du
dung dengan keluarga Teratai Putih dengan sendirinya semakin retak.
Dari mulai tidak saling kunjung mengunjungi, sampai akhirnya tidak
saling menyapa Bertemu di jalan pun dielakkan. Bila kepergok,
memalingkan muka. Soal-soal kecil meledakkan perang mulut, merembet
pada perkelahian pisik dengan menjadikan soal batas tanah dan
pengairan di sawah sebagai biang keladi.
Semua keluarga telah ikut campur, karena Du-dung bertambah kurus
dan suka ngomong sendirian setelah tahu lamarannya ditolak. Entah
siapa yang memulai, kabar burung mulai tersiar. Dudung yang makin
kurus dan suka berceloteh sendiri, dikatakan kena teluh. Siapa lagi
peneluhnya, kalau bukan ka-kek Teratai.
Semua keluarga kemudian berembuk.
Hasilnya sudah dapat dibayangkan; sebagaimana biasa, seorang tukang
teluh harus dibunuh. Bebera-

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

pa orang telah ditunjuk untuk melaksanakan tugas yang dianggap


terhormat itu. Akan tetapi ayah Dudung bukan orang sembarangan
ketika dipilih jadi kepala desa. ia mencegah niat keluarga Itu.
berkata bahwa Dudung begitu hanya karena patah hati. Mungkin saja
kakek Teratai tukang teluh, tetapi ia tidak boleh dihukum untuk suatu
perbuat-annya yang belum terbukti nyata.
"Jangan kita sampai malu dua kali", katanya, memutuskan.
Rencana batal dengan sendirinya. Tetapi ber kembang kembali, tatkala
suatu ketika timbul ben-jolan-benjolan merah yang tidak saja gatal
tetapi juga menyakitkan di sekujur tubuh ayah Dudung. Segala macam
obat telah diusahakan, tetapi benjol- an itu makin banyak, makin
menyiksa. Suatu malam, ayah Dudung berkelejotan di tempat tidur,
menjerit-jerit penuh sengsara, ia kemudian menghembuskan nafas
dengan mata terbelalak dan mulut menyeringai menahan sakit yang tiada
terperi.
Menteri kesehatan yang memeriksa mayatnya, mengatakan ayah Dudung
meninggal karena serangan tumor. Sebagian kecil keluarga, percaya. Te-
tapi lebih banyak yang tidak. Kelompok yang menolak kematian ayah
Dudung diakibatkan tumor, lantas saja menuduh kepala desa itu mati
kena teluh.
Keluarga kembali berkumpul untuk rembukan.
Hasilnya sama seperti dulu : peneluh itu harus dibunuh, sebelum jatuh
korban yang lain. Hanya bedanya, kali ini tidak ada yang mau ditunjuk
mengemban tugas yang jelas tidak gampang itu. Setelah melihat cara
kematian ayah Dudung, hati mereka menjadi ciut. Apalagi ada yang
menga-
takan, seorang tukang sihir yang dibunuh, hanya jasadnya saja yang
mati. Rohnya tetap hidup untuk mengejar dan melakukan pembalasan
kejam terhadap orang-orang yang mencelakakannya. Dudung kecewa.
ia hampir gila karena pikiran ayahnya diteluh, cintanya ditolak dan
semua keluarga bernyali kecil. Dudung lantas membujuk orang lain untuk
melaksanakan sakit hatinya. Hanya dua orang yang bersedia. Margono,
kepala keamanan desa yang diam-diam juga ada hati sama Teratai Putih

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

tetapi pernah mukanya diludahi si gadis waktu dadanya dijamah


Margono. Lalu Ajat, tukang pukul yang senantiasa lengket bagaikan
lintah ke mana saja Dudung pergi; karena butuh uang dan pengaruh,
selain itu dia pulalah guru silat Dudung.
Berbagai rencana mereka susun bertiga.
Semuanya terbentur pada satu hal : kakek Teratai harus dilumpuhkan
sebelum sempat mempe-cundangi mereka. Untuk itu, kelemahan-
kelemahan orang tua itu harus diketahui lebih dulu. Baik Dudung,
Margono maupun Ajat, tidak tahu apa kelemahan tukang teluh itu.
Yang tahu, hanya pak Mirta.
" ... aku tak melihat Ajat !"
Dudung terbangun dari lamunannya. Kerumunan orang di sekitar
pekuburan menggaungkan suara "amin", mengikuti do'a yang dibacakan
salah seorang pembicara. Sebagai kepala desa, Uwanya akan tampil
sebagai pembicara terakhir. Pak Mirta masih berdiri di dekatnya, dan
mengulangi ucapannya tadi : " Aku tak melihat Ajat".
Dudung menarik nafas. " ia ke kota", katanya.
"Kapan ia pulang ?"
"Katanya, sore ini juga. Mungkin terhalang di jalan, atau urusannya di
kota belum rampung. Mengapa rupanya, uwa ?"
"Kita harus memberitahukan hal ini kepadanya. Supaya ia juga berjaga-
jaga".
"Bagaimana ?"
"Nantilah aku ke rumahmu. Tetapi dengar nasihatku, nak. Mulai malam
ini, jangan keluar rumah sampai matahari terbit. Beritahu juga anak
isteri-mu. Kunci pintu dan jendela rapat-rapat."
"Tetapi, uwa. Roh jahat tidak akan terhalang pintu yang terkunci."
"Itulah. Nanti aku ke rumahmu untuk mempersiapkan segala sesuatunya.
Kalau kau bertemu Ajat, beritahu pula ia supaya datang. Jadi aku tidak
perlu bersusah-susah untuk mencarinya ..."
Pembicara tadi selesai membacakan pidato dan do'a.
Kepala desa, giliran berikutnya. Pak Mirta maju ke depan. Dudung tak
beranjak. Pikirannya menerawang, jauh. Jauh ke berapa tahun berselang

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

ketika ia dan dua temannya mendapat persetujuan dari pak Mirta


supaya bersedia membantu. Setelah Mayangsari kematian suami, boleh
dikata tidak ada halangan apa-apa bagi pak Mirta melamar Mayangsari.
Kecuali bekas gurunya, ayah Mayangsari yang jelas akan menolak
bermenantukan pak Mirta. Dia pernah jadi murid kakek Teratai Putih
tetapi kemudian mereka berpisah setelah ketahuan pak Mirta
memperdalam ilmu yang tidak disukai gurunya.
"Aku akan membantumu", kata pak Mirta kepada ponakannya. "Tetapi
kuminta kau dan teman-temanmu berjanji agar menjaga rahasia. Tidak
seorang pun boleh tahu bahwa kitalah yang membunuh kakek Teratai.
Lebih-lebih, Mayangsari".
Dengan janji itu, mereka kemudian berangkat.
Kakek tua itu sedang mencangkul di sawah ditemani oleh cucu gadisnya,
Teratai Putih yang meskipun baru berusia 12 tahun, sudah tampak
kejelitaan wajah dan kemontokan tubuhnya. Sesaat, mereka tertegun
memandangi gadis cilik yang tengah menyiapkan makan siang kakeknya di
dalam dangau. Dudung menggerutu tidak menentu. Margono tersenyum
kecut, sementara pak Mirta buru-buru menarik tangan kedua laki-laki
muda itu untuk segera menuju ke tengah sawah di mana si kakek
membersihkan tubuh untuk segera naik ke dangau. Ajat tetapi tinggal di
dangau, menjaga Teratai Putih.
Matahari tepat di atas kepala ketika kakek tua yang bertubuh kekar
dan sehat itu samar-samar melihat tiga orang lelaki berdiri di tegalan.
Ketiganya berkacak pinggang. Ketiganya dengan mata terpentang.
Mengenali siapa orang-orang yang ada di hadapannya, si kakek mencoba
tersenyum.
"Tumben. Perlu apakah kiranya saudara-saudaraku kemari ?", sapanya
dengan ramah.
"Cuih !", Dudung meludah.
Si Kakek terdiam sesaat. Kemudian mendekat. Agak tergetar Dudung
dan Margono. Lain dengan pak Mirta. ia kumat kamit membaca mantera,
kemudian meludah ke kiri dan ke kanan. Menyadari
gerakan orang yang pernah jadi muridnya itu, si kakek menjadi hati-hati.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Apakah kalian bersedia makan siang bersamaku T', ia berusaha


menahan diri.
"Cuih, Kami tak mau makan racun !, sungut Dudung. Lalu, dengan satu
teriakan ia mencabut golok dari pinggang, meloncat ke depan disertai
pekikan :
"Ini untuk ayahku !".
Bacokan itu mengenai pundak si kakek. Pundak kakek itu menganga
lebar. Sekalipun terluka, si kakek tidak jatuh, ia mencoba tersenyum.
Dudung menyerang lagi. Dibantu oleh Margono dengan jurus-jurus silat
yang ia miliki. Kakek Teratai Putih terumbang ambing ke sana ke mari,
sementara bekas muridnya, terus menerus membaca mantera sambil tak
henti-hentinya meludah, ia baru berhenti meludah ketika kakek Sumirta
terkapar dan terbenam dalam lumpur. Pak Mirta tertegun sejenak.
Berbisik pada dirinya sendiri,
"Orang itu tak melawan, ia tak mengeluarkan ajian-nya".
Kemudian ia berdiri. Lesu. Meninggalkan tempat itu. ia tertatih-tatih
menuju desa, sementara kedua anak muda yang sedang kalap itu
berjalan menuju dangau. Jerit dan tangis gadis kecil menggema dari
dalam dangau, di bawah terik mentari yangkian panas memanggang bumi.

LIMA

AJAT memacu sepeda motornya pulang ke desa.


Urusannya di kota rampung sekitar pukul dua siang. Tetapi saking
gembira ia memperoleh surat pengangkatan resmi sebagai guru olahraga
di SMA kota itu Ajat mengajak beberapa teman dekat makan minum di
sebuah restoran. Kemudian mengunjungi seorang keluarga untuk
memberitahu kabar gembira itu. Karena sudah maghrib, ia mengambil
jalan pintas lewat perkebunan. Memang jalannya jelek tetapi bisa
menghemat waktu hampir satu jam.
Toh ia terhambat juga.
Di tengah jalan perkebunan itu beberapa orang kuli tengah sibuk
membersihkan bongkahan batu.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

tanah bercampur lumpur yang longsor dari tebing di atas. Salah seorang
kuli itu mengenali Ajat, dan menanyakan apakah ia punya rokok.
Sambil merokok, Ajat dan kuli-kuli itu ngobrol.
" ... belum pernah separah ini", kata yang satu.
"Ada mayat lagi", tambah yang lain.
"Mayat ?", Ajat lantas tertarik.
"Ya. Wajah dan tubuhnya sedemikian rusak, sehingga sukar dikenali.
Tampaknya ia itu maling domba yang sudah sering membongkar kandang
ternak beberapa desa di sekitar perkebunan ini. Binatang binatang itu
kami temukan berceceran di beberapa tempat. Sebagian sudah jadi
bangkai. Yang aneh, kami juga menemukan sejumlah bangkai tikus..."
Ajat tidak tertarik pada bangkai tikus, ia lebih tertarik pada penemuan
mayat itu, siapa tahu salah seorang penduduk desanya. Sayang, kata
kuli-kuli tadi mayat maling domba itu sudah dibawa ke kota siang tadi,
setelah polisi dilapori. Tak ada kartu pengenal di pakaian mayat itu,
kecuali beberapa lembar uang dan sepucuk surat yang belum selesai
ditulis dan ditujukan kepada seorang perempuan bernama Painah
Siapapun orang itu, polisi menduga bukan mati tertimpa atau terseret
longsor.
"Kuat dugaan, ia dibunuh", kata kuli yang ke-
nalan Ajat.
"Wah. Siapa pula pembunuhnya ?"
"Mengapa harus diributkan siapa ? Pokoknya, ia dibunuh. Maling
semacam dia itu sudah sepantas nya menerima hukuman demikian. Kalau
cuma di tangkap lalu diserahkan ke polisi, masuk bui satu dua bulan.
Taruhlah setahun, lalu kemudian bebas. Mencuri lagi. Makin pintar pula,
berkat didikan orang-orang hukuman yang berpengalaman, selama di bui.
Memang ada juga yang ..."
"Aku tetap dengan pendapatku", menukas salah seorang kuli." Orang itu
dibunuh bukan oleh manusia. Melainkan oleh tikus-tikus itu".
"Tikus lagi", Ajat nyeletuk, bosan.
"He-eh. Tikus-tikus, yang bukan main besarnya. Melihat keadaan di
sekitar tempat mayatnya ditemukan, besar kemungkinan orang itu telah

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

berju ang mati-matian untuk melawan serbuan gerombolan tikus yang


mengeroyoknya".
Ajat tertawa. Katanya : "Kau sepertinya mau mengatakan, tempat ini
dikuasai kerajaan tikus".
"Mengapa tidak ? Menejer perkebunan sudah kewalahan menghadapi
tebing tebing di sini. Apa saja yang ditanam, tak pernah jadi. Pernah
kuli-kuli dikerahkan untuk pembantaian besar-besaran terhadap tikus-
tikus. Toh tiap tahun, makhluk-makh-
luk menjijikkan itu muncul semakin banyak. Tidak sedikit lubang-lubang
gelap atau rongga-rongga gu ha tempat mereka dapat berkembang biak
dengan subur. Satu dua dapat ditutup. Diratakan. Lainnya tetap
dibiarkan penuh misteri. Jangankan masuk, Dekat pun, orang tidak
berani. Konon dihuni nyak binatang berbisa. Malah belakangan ada desas
desus mengatakan lubang atau guha di sini, dihuni pula oleh roh
gentayangan yang suka mengganggu orang-orang yang lewat malam
hari..."
Mayat. Lubang-lubang gelap. Tikus-tikus.
Meneruskan perjalanan pulang ke desa, terus pu-ia pikiran Ajat
menerawang. Mayat, lubang-lubang gelap, tikus-tikus, ia tidak berani
bertanya, apakah
mereka temukan juga tulang-belulang manusia, tulang belulang yang
sudah lama terpendam. Per-tanyaan itu akan membuat mereka curiga.
Dan, Banyak lubang. Banyak rongga guha. Ajat sendiri lupa-lupa ingat,
yang mana tempat gadis itu dulu terperosok jatuh.
Terbayang di mata Ajat peristiwa hari itu.
ia menunggu di luar dangau di tengah sawah yang sunyi sepi, sementara
Margono dan Dudung sibuk di dalam, ia mendengar jerit tangis Teratai
putih yang memilukan, ia juga mendengar suara tertawa, ucapan-ucapan
kotor dan dengus-dengus nafas kuda dari mulut kedua temannya.
Sesekali ia mengintip ke dalam dangau. Melihat Margono dan Dudung
bergantian menggagahi gadis itu. ia lihat paha yang putih mulus, ia lihat
putik susu yang

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

merah segar. Mau tak mau, dari ingin melerai, ma-lah terbit nafsu
birahinya.
Ajat tertawa senang ketika akhirnya Margono dan Dudung selesai, dan
mereka pulang ke desa dengan perasaan puas. Dudung berkata padanya :
bereskan anak itu, Jat. Terserah, mau kau apakan.
Pendeknya ia tidak boleh buka mulut !"
Ajat sengaja menunggu gadis itu benar-benar sa dar dari shock-nya.
Membiarkan dengan sengaja gadis itu lari ke luar pondok. Setelah agak
jauh barulah Ajat mengejar. Sedapat mungkin ia ber usaha
menyudutkan Teratai Putih supaya lari ke arah yang diharapkan Ajat.
Menjauhi desa, menjauhi tempat-tempat di mana mereka mungkin keper
gok penduduk. Tiap kali ia pergoki, tiap kali ia bu at Teratai Putih
terkejut dan semakin takut. Sede mikian rupa sehingga gadis itu putus
asa. Ke mana pun Teratai Putih lari, ke sana Ajat mengejar. Ke mana
Teratai Putih bersembunyi, ke sana Ajat me nyelinap. Memegang kaki
gadis itu diam-diam sampai Teratai Putih terpekik. Melepaskan kaki itu
sehingga mampu lagi berlari. Di lain tempat, mem bentak dari balik
pohon.
Semakin takut Teratai Putih, semakin terbang kit nafsu bejat Ajat.
Tetapi belum juga gadis itu ti ba pada saat-saat yang ia harapkan. Ajat
memba yangkan pesta pora sex sepihak, ia gagahi gadis itu dalam
pingsannya. Dan Teratai Putih tetap bangkit tetap saja berlari. Sampai
mereka tiba di perkebun an. Teratai Putih tersandung batu yang
menyembul di bawah semak belukar. Gadis itu terguling jatuh Kemudian
berhenti tidak bergerak-gerak. Ajat me
nyangka Teratai Putih sudah pingsan.
Dengan gembira ia mendekat. Seraya melepaskan kancing baju, menarik
ke luar tali pinggang itu. Namun mendadak Teratai Putih bangkit, ia
meng-gengam batu besar dengan kedua tangannya. "Babi. Kau babi busuk
!", jerit si gadis, lantas melemparkan batu itu ke arah Ajat. Sebagai
pesilat, mudah saja buat Ajat berkelit. Batu itu melayang lewat sisi
kepalanya. Namun toh ia sempat terjatuh, dan kesempatan itu
dipergunakan Teratai Putih untuk kabur kembali.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Jadah !", Ajat memaki. "Anak haram jadah. Tahu rasa kau nanti !", ia
berteriak-teriak sambil bangkit mengejar si gadis. "Akan kubiarkan kau
tetap sadar. Akan kubiarkan matamu melotot keluar, sementara kau
kukerjai !'
Niat Ajat tidak tercapai.
Teratai Putih lari ke pinggir tebing, berharap ada orang lewat di jalan
sepi di bawah, ia tegak di sebuah batu besar, melonjak-lonjak liar ketika
mengetahui tak ada orang lain di sekitar tempat itu, dan mengetahui
selain tali pinggang, Ajat kini mengacung-acungkan sebilah golok di
tangannya. Gerakan gadis itu membuat batu yang letaknya memang
sudah kritis, terangkat dari dalam tanah, bergeser lalu jatuh ke bawah
membawa serta tubuh si
gadis.
Ajat lekas memburu.
Percuma. Tubuh Teratai Putih lenyap di tengah rimbunan semak liar.
Ketika Ajat turun memeriksa, ternyata ada lubang besar di bawah
rimbunan semak liar itu. Ke dalam lubang itulah tubuh Teratai Putih
jatuh bersama batu tempatnya berpijak. Dari atas tebing, semakin
banyak batu dan tanah yang ikut jatuh sampai akhirnya menutupi
setengah isi lubang dan tubuh si gadis lenyap tak berbekas.
Dengan bersenjata golok dan batu serta potongan kayu, Ajat kemudian
meruntuhkan bagian tebing-tebing yang kritis di beberapa tempat,
sehingga tampak seperti longsor. Semakin banyak batu dan tanah ia
timbunkan ke lubang tempat gadis itu menghilang. Beberapa hari
kemudian ia sengaja lewat di jalan pintas itu. Dan melihat kuli-kuli
perkebunan telah meratakan bekas longsoran tebing. Tak lama
setelannya, ada orang yang baik hati membangun sebuah pondok tempat
berteduh orang lewat.
Ajat tiba di desa.
Keadaannya sunyi sepi. Padahal malam belum begitu larut. Bunyi mesin
sepeda motornya membuat seorang dua tetangga melongok lalu hilang
lagi.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

" ... kata mereka pondok itu rubuh", gumam Ajat sendirian, membelokkan
sepeda motor memasuki halaman rumah. "Rasa-rasanya, bekas lubang tu
ada di sekitar pondok. Tetapi mengapa tulang belulangnya tidak
ditemukan ?". ia mematikan mesin sepeda motor. Berpikir lagi, lebih
lega: Barangkali lubang lain. Atau kalaupun lubang yang sama, longsornya
tidak dalam. Sudahlah. Mengapa harus diributkan ? Telah lama berlalu.
Sekarang, masuk. Temui Ida, beri dia surprise !"
Seekor tikus lari terbirit birit ketika Ajat membuka pagar. Gerakan
tikus itu tertangkap lampu depan sepeda motor. Seekor yang lain
menyelinap depan teras rumah, bersembunyi di antara rimbunan bambu.
Tikus yang ini tertangkap cahaya lampu minyak dekat pintu depan.
"Tikus lagi. Tikus lagi !"., Ajat memberengut. "Memang salahku. Sudah
lama membiarkan pekarangan terlantar. Dan Ida pemalas pula. Mana
suka bergunjing di rumah tetangga. Hem !". Ya, hem. Untungnya, Ida
punya selera yang sama dengan Ajat. Ajat suka menyakiti, Ida suka
disakiti. Sekali dua mereka buat variasi, saling menakut-nakuti sebelum
naik ranjang.
Malam ini pun Ida rupanya ingin melakukannya.
Terbukti ketika Ajat melangkah ke teras, pintu
yang tadinya tertutup mendadak terbuka. Tetapi entah bagaimana
caranya, Ida tidak menampakkan diri. Lampu petromak ruang tamu tidak
dinyalakan. Hanya ada cahaya temaram lampu dinding di ruang tengah.
Ajat menutup pintu.
Menguncinya sekaligus, sementara matanya menatap seisi rumah.
Mengapa sunyi benar ? Ah-ah. Tidak sesunyi yang ia sangka. Ada suara
bergemeretak di dapur. Lalu suara geresak-geresek di para-para.
Pertunjukan apa pula yang dipersiapkan Ida untuk menakut-nakuti Ajat
? Suara-suara aneh, lalu topeng mainan digambari tengkorak menempel
di muka, sambil muncul tiba-tiba dari kegelapan ? Sudah dua kali Ida
melakukannya. Yang pertama, Ajat memang kaget setengah mati. Yang
kedua, Ajat cuma tertawa.
Lantas, mengapa Ida mengulangnya kembali ? Mestinya sesuatu yang
lain. Pintu kamar dibuka Ajat, dan tahu-tahu menemukan tubuh Ida

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

meng-ambang di permukaan lantai. Tergantung di langit-langit. Pura-


pura bunuh diri, tentu. Atau supaya lebih sip, yang tergantung itu
boneka buatan se-besar tubuh Ida, mengenakan pakaian tidur yang
biasa dipakai Ida. Lalu sementara Ajat terpana, dari belakangnya Ida
berteriak nyaring. Dan besok
pagi, tetangga sebelah akan menggerutu : "Permainan apa pula, tadi
malam ?"
Suara bergemeretak lagi. Keresak-keresek, kali ini tidak di para. Tetapi
di laci-laci rak yang tertutup. Lampu dinding tergantung miring di
tempatnya. Nyala apinya kecil. Rupanya sumbu sengaja diturunkan, atau
memang minyaknya sudah hampir habis. Namun dalam jilatan lampu
minyak yang bersinar suram itu, sempat juga ia lihat seekor tikus lagi
ngacir ke arah dapur.
"Ini sudah keterlaluan !", Ajat bersungut-sungut.
ia bergegas membuka pintu kamar. Lampu di dalam juga tidak
dinyalakan. Samar-samar ia lihat bayangan tubuh terbaring di ranjang,
membelakangi pintu. Ajat menggeram, marah : "Apa-apaan kau, Ida ?
Sengaja memancing tikus-tikus untuk membuatku jijik dan marah ?
Mengapa tidak ular saja sekalian ? Atau hantu gentayangan ?"
Tubuh itu menggeliat sedikit. Namun tetap memunggungi.
Ajat mendekat. Lalu menepuk pundak perempuan di ranjang. Ah, dia
sudah berhasil pula, pikir Ajat kesal. Jadi Ida ingin permainan yang
melelahkan itu. Remas, cakar, jambak, tindih sekuat-kuatnya. "Baik",
katanya. "Boleh saja. Aku kebetulan
sedang senang hati hari ini. Tak lama lagi aku akan terima rapel gaji,
tahu engga ?"
Lalu Ajat menanggalkan pakaian yang melekat di tubuhnya.
Sebelum naik ke tempat tidur, ia berseru : "Ye-aaaan !", lalu sebuah
pukulan dengan sisi tangan mendarat di punggung perempuan itu. Tidak
telak, namun pasti menyakitkan. Yeaaa ! pukulan kedua dengan kaki.
Tetapi sebelum mengenai sasaran, perempuan itu menggeliat
menghindar. Sambil lalui menangkap pergelangan kaki Ajat, membuatnya
jatuh terhempas di lantai. Untung cuma lantai tanah, kalau tidak, wah.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Namun begitu, toh kepala Ajat berdenging-denging dan matanya


berkunang-kunang.
"Apa-apaan ini, Ida ? Kau yang menyakiti aku. Bukan ?"
"Ayolah, sayang. Naik sekarang", terdengar suara merdu, merangsang.
"Tidak mau !"
"Tunggu apalagi Jat ? Aku - sudah - tak tahan ..."
"Begitu cepat ?", Ajat bangkit sempoyongan." Rupanya kau ingin
dicambuki ya ? Baik. Baik. Sebentar kuambilkan dulu !"
Ajat melangkah ke lemari. Lemari itu tegak
menghadap pintu. Jadi cahaya lampu minyak di ruang tengah,
menyinarinya sedikit. Dengan kesal dan birahi yang memang sudah
terbangkit, Ajat merenggut daun pintu lemari sekaligus. Tangannya siap
menggapai ke dalam, untuk mengambilkan alat yang dimaksud. Tetapi
tangan itu seketika terdiam kaku, berhenti setengah jalan.
Setelah terbiasa dengan gelap kamar, dibantu sinar redup lampu minyak
dari ruang tengah, Ajat melihat sesosok tubuh perempuan berdiri tegak
di sebelah dalam lemari. Sebuah metoda baru dari Ida sempat ia
berpikir, sebentar cuma. Karena sosok tubuh di lemari itu, begitu rusak
mengerikan. Tubuh hancur tercabik-cabik, gaun tidur penuh bersimbah
darah dan sebagian isi perut terburai ke luar. Wajahnya tetap utuh,
sehingga Ajat dapat mengenali wajah yang pucat membiru itu, mengenali
mata yang melotot lebar dan mulut yang ternganga mengerikan di depan
matanya.
"I - Ida !", bisik Ajat, kelu.
Lalu tubuh siapa yang tadi di tempat tidur. Yang mana boneka, yang
mana Ida yang sebenarnya ? Hanya ada satu Ida. Dan Ida yang
sesungguhnya, memang yang tegak di sebelah dalam lemari, dan pelan-
pelan mulai doyong ke depan lalu jatuh menerpa tubuh Ajat yang
berteriak saking kaget dan
ngeri, ia dapat merasakan dengan tangannya da ging-daging mentah,
usus yang basah, kulit yang hancur, dan mencium bau amisnya darah,
sebenar-benarnya darah.
Terdengar tawa renyai dari tempat tidur.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Hebat bukan, Jat ?"


Ajat menggelupur, meronta-ronta dan menjauhkan diri dari
cengkeraman mayat isterinya, berlari ke pintu dengan semua bulu di
tubuh merinding! seram.
Suara itu bergema lagi, tajam menusuk : "Benar-benar hebat. Lebih
hebat dari caramu menakut-nakuti aku di perkebunan itu."
Ajat mundur ke ruang tengah, dengan lutut bergemetaran.
Dan bayangan tubuh di ranjang, turun dengan santai dan mengikuti Ajat
masuk ke ruang tengah, memperlihatkan tubuhnya yang bugil, bersih dan
mulus. Ajat menjilati bibir sejenak, lantas berseru tertahan : "Teratai,
kau ...!"
"Hem. Kau mengenaliku seketika, ya ? Bagus. Tidak seperti si Gono yang
keranjingan perempuan itu. Terlalu banyak yang sudah ia tiduri,
sehingga ia lupa padaku. Aku senang mendengarnya, Jat. Jadi kupikir,
tak perlu aku menyiksamu berlama-lama. Cukuplah terror yang kau alami
setelah melihat
Ida-mu ke luar dari persembunyiannya di dalam lemari, ia mengira kau
yang datang, ingin membuat kejutan - Tetapi - sedikit ekstra, tak apa
bukan ?"
Tikus. Tikus-tikus yang bukan main besar itu, tahu-tahu saja sudah
bermunculan mengurung Ajat. Makhluk-makhluk mengerikan itu
bergerombol-gerombol di ruang tengah, di kamar tidur, di dapur, di
ruang tamu. Bermunculan dari dalam tanah, dari pintu dan jendela yang
digerogoti.
Waktu para tetangga berdatangan dengan bersenjatakan apa saja di
tangan, sebagian rumah Ajat sudah roboh. Karena amukannya sendiri,
dan karena serbuan tikus-tikus itu. Bangkai binatang itu berhamburan di
sana sini. Mereka yang berdatangan kemudian lari serabutan ketika
gerombolan tikus yang luar biasa banyaknya itu berhamburan untuk
meloloskan diri, sambil menggigit dan mencakar ke kiri kanan. Satu dua
orang bertahan dengan senjata golok atau pentungan berupa kayu,
tangkai sapu bahkan ada yang membawa linggis.
Seekor tikus putih menyelinap lewat pintu belakang.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Tak seorang pun yang melihatnya. Mereka terlalu kaget dan ngeri oleh
binatang yang mereka hadapi, juga oleh suasana rumah dan pekarangan
mi-
lik Ajat yang porak poranda. Di antara dinding yang rebah, pintu yang
terhumbalang dan atap yang beruntuhan, terkapar mati puluhan ekor
bangkai tikus. Mayat Ida ditemukan tergencet lemari pakaian yang
tumbang. Di ruang depan rumah, hanya tinggal sedikit kulit dan daging
yang masih tersisa di mayat yang mereka kenali sebagai Ajat, guru silat
terkenal di desa itu.
Hari itu, semua penduduk desa boleh dikata berjuang keras untuk
bangun dari mimpi paling buruk yang belum pernah mereka alami.

ENAM

LUKA cakar di tubuh petugas-petugas ronda malam yang ketiban sial di


tempat mayat Mar gono ditemukan, tidaklah seberapa berbahaya. Luka
itu diakibatkan polah mereka, mencakari tubuh sendiri dalam usaha
melawan serbuan daun-daun yang mereka sangka serbuan tikus. Pak
Mirta menyerahkan perawatan mereka sepenuhnya kepa da manteri
kesehatan Puskesmas.
Beda halnya dengan lima orang laki-laki pemberani, warga desa yang
bermaksud menolorg begitu terdengar huru-hara di rumah Ajat. Luka
cakar maupun gigitan yang mereka derita, benar-benar akibat serbuan
tikus. Kuku serta taring binatang binatang itu tidak saja mengandung
racun. Tetapi juga mengandung pengaruh jahat roh yang mengua-
sai tikus tikus itu.
Pak Mirta terpaksa menangani sendirian kelima orang korban yang
malang itu. ia mengerahkan segenap kemampuannya mengobati mereka
satu per satu. Tiap kali menyentuh luka yang seorang, sekujur tubuh pak
Mirta panas berapi, seakan terbakar sampai ke ubun-ubun. Dari
kepalanya sampai ke luar uap tebal yang membuat orang yang melihat,
pada mundur dengan perasaan kuatir. Kemudian ia terkulai, letih sampai
ke jiwa-jiwanya.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Kini ia terbaring sendirian di rumah. Sakit.


Nining, salah seorang ponakannya yang datang untuk mengantarkan
makan siang yang dimasakkan isteri Dudung, baru saja ia paksa untuk
pergi ke sekolah. Jangan ikut-ikutan bolos karena gempar yang melanda
desa setelah mayat Ajat dan isterinya dikuburkan pagi hari itu juga.
Dudung sempat pula menjaganya sebentar. Mereka berdua bicara
panjang lebar. Kemudian Dudung ia suruh pulang, dengan dibekali sebilah
golok milik uwa-nya untuk dipakai berjaga jaga apabila terjadi sesuatu.
Dari jendela, menerobos masuk cahaya matahari senja.
Malam tak lama lagi akan jatuh. Tetapi lurah desa itu tidak merasa
cemas akan dirinya sendiri, ia sudah memagari sekitar rumahnya dengan
ajian
yang ia percaya sangat ampuh melawan serbuan roh jahat, ia hanya
mengkuatirkan Dudung dan anak isteri serta keponakannya Nining yang
tinggal satu rumah dengan Dudung. Ajian yang sama telah ia taburkan
pula di sekitar rumah ponakannya itu. Namun ia belum merasa puas.
Diam-diam ia merasa, ada sesuatu yang kurang. Tetapi tidak tahu apa
yang kurang itu.
Selagi ia berpikir, pintu diketuk orang dari luar.
Pak Mirta meluncur dari tempat tidur. Berjalan tersuruk-suruk ke ruang
depan dan terkejut setelah a membuka pintu.
"Boleh masuk, pak Mirta ?"
"Ah. Mayang. Mengapa tidak ?", perasaan letih dan sakit di sekujur
tubuh pak Mirta, mendadak sontak hilang begitu melihat kehadiran
orang yang sudah lama ia impikan. "Tumben, berkunjung. Duduklah ya.
Kubuatkan minuman sebentar ..."
"Tak usah repot-repot, pak".
Melihat wajah Mayangsari yang pucat dan sinar matanya yang getir, pak
Mirta kemudian duduk dengan perasaan waswas di hadapan perempuan
itu. Bertanya lembut : "Aku gembira kau muncul di rumahku. Tetapi
biarlah, lupakan saja ke-aku- anku. Lebih baik kita bicara tentang kau,
Mayang. Ada sesuatu yang kau takutkan. Benar ?"
Mayangsari menatap lurus ke mata tuan rumah

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Kau pernah bilang", katanya, lirih. "Si Teratai sudah kembali".


Dingin sekujur tubuh pak Mirta. Terbayang d matanya kematian
Margono. Ajat. Ida. Dan korbar lain yang terluka. Lama, baru ia
menjawab : "Ya Kenapa rupanya, Mayang ?"
"Katakanlah terus terang. Seperti apa wujut anakku, pak Mirta ?"
"Mayang. Sudah kukatakan aku tidak ingin ..."
"Hatiku tidak saja terluka, pak Mirta. Tak usah mencemaskannya.
Hatiku kukira malah sudah mu lai membusuk. Membusuk oleh hasrat
menggebu karena ingin tahu siapa pembunuh ayah dan anak ku, dan di
mana jasad anakku terkubur. Mungkin pula sudah bernanah, oleh
keinginan untuk menyaksikan mereka itu mati. Biar bukan oleh ta nganku
sendiri".
"Mayang !", jantung pak Mirta berdetak. Apa yang diucapkan perempuan
itu, sudah lama ia duga akan terlontar juga. Namun ketika sekarang
akhirnya ucapan itu terlontar, pak Mirta benar-benar terpukul. Sangat
terpukul. Semakin sirna harapannya untuk dapat melamar Mayangsari
jadi isteri-nya.
"Kau terkejut bukan, pak ?"
"Aku ..."
"Karena itu, lupakanlah perasaanku pula. Mari kita berbicara mengenai
apa yang semestinya harus kita bicarakan Mayangsari menelan ludah, wa
jahnya tampak keruh. "Tadi aku ke warung. Biasa, belanja kebutuhan
dapur. Biasanya mereka memperlakukan aku dengan kasar. Mereka
membenciku, tetapi mereka tidak mungkin membenci uangku. Dan tadi ...
Mereka tidak lagi berlaku kasar. Mereka sangat ramah. Malah tampak
ketakutan ..."
"Mengapa ?"
"Mana aku tahu. Aku sendiri heran. Tidak tahu apa maksud permintaan
mereka."
"Ha ! Apa pula yang mereka minta padamu, Mayang ?"
"Supaya aku mau turun tangan".
"Terhadap ?'

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Roh jahat yang kata mereka bergentayangan di desa kita. Roh jahat
yang kata mereka muncul berupa gerombolan tikus yang datang dari
segala arah, menghancurkan, membunuh dengan keji, disertai kekuatan
sihir !"
"Astaga !", pak Mirta terkejut. "Kurang ajar. Lancang benar mereka
mengatakan !"
"Apa salahnya, pak ? Aku telah lama jadi kambing hitam. Sekarang
mungkin lebih hina lagi :
kambing congek. Dan kambing congek inilah yarg mereka harapkan dapat
menolong mereka lepas da-ri kesulitan yang membuat mereka semua
tidak dapat tidur Mayangsari terpejam, kecewa dan marah. Namun
masih juga ia mampu tersenyum ke-tika ia melanjutkan : "Tahu, pak
Mirta ? Mereka bilang, aku telah mempergunakan kekuatan sihir untuk
memaksa semua tikus keluar dari lubangnya, dan memaksa orang-orang
yang malang mencakari diri sendiri..."
"Itu sudah keterlaluan !", pak Mirta terlonjak
dari kursinya. "Aku akan mendatangi mereka.
Memperingatkan supaya lain kali tidak berlaku
sembrono, apalagi tanpa seijin dan sepengetahuan-
ku. Aku ..."
"Mereka menyebut-nyebut Teratai Putih, pak Mirta", potong
Mayangsari, tenang. Lurah desa itu terengah.
Lantas kembali duduk. Terhenyak. Berkeringat.
Katanya : " ... aku hanya ingin menolongmu. Mayang. Meringankan beban
penderitaanmu. Tak kubiarkan mereka mengganggumu, menolak uangmu
apalagi menjamah keselamatan jiwamu. Kau tahu mengapa, bukan ?"
"Aku tahu, pak Mirta", mata Mayangsari sesaat bersinar, lantas redup
lagi dalam sekejap. "Karena
itu, mengapa tanggung-tanggung menolong ? Kepalang basah !"
Pak Mirta bangkit, berjalan mundar-mandir. Semua yang terjadi hari-
hari belakangan ini, bahkan di tahun-tahun yang telah lama silam,
membuatnya resah gelisah. Kemudian ia memutuskan: Baiklah. Akan
kuberitahu padamu. Kuharap kau tidak semakin terluka, setelah

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

mengetahui bagaimana perwujudan anakmu ketika kembali setelah


sekian tahun menghilang. Namun sebelumnya, bicaralah terus terang.
Kau tentunya datang menemuiku, karena kau punya alasan yang kuat".
"Ya".
"Apa itu ?"
"Kolam tempat bermain anakku. Banyak teratai yang telah disingkirkan.
Yang merah, yang biru, yang kuning, yang Jingga. Pokoknya yang
berwarna apa saja, kecuali yang berwarna putih. Hanya anakku yang
pernah melakukan hal serupa itu. Ke tika ia masih hidup. Dan - setelah ia
datang dalam mimpiku".
"ia apa ?"
"Datang dalam mimpiku". "Jadi, kau tentu sudah tahu perwujutannya".
"Cuma mimpi. Tetapi Margono, Ajat dan Ida bukan mimpi belaka. Begitu
pula teratai teratai
yang ditemukan tergenggam di tangan mereka masing-masing. Pemilik
warung yang menceritakan Aneh, bukan ? Ada yang memetik kuntum-
kuntum teratai yang masih baru dari kolam bermain anakku. Lalu
kuntum-kuntum teratai itu ditemukan sudah tergenggam di tangan
orang lain. Tangan mayat-mayat itu".
"Mungkin mereka sendiri yang mencurinya"
"Tak usah mengelak lagi, pak Mirta", keluh Mayangsari, tak sabar. "Kau
pun tahu sudah sekian tahun lamanya tidak seorang pun berani
mendekati rumahku malam-malam. Kata mereka, takut terke na kutuk.
Ya Tuhan, aku tidak menyalahkan ayahku pernah jadi pertapa sehingga
kami tertimpa kutuk. Aku hanya menyalahkan diriku sendiri mengapa
membiarkan ia menurunkan ilmunya ke pada anakku, sehingga kutuk itu
terus berkepan jangan kelopak mata Mayangsari berlinang bu tir-butir
air bening. Katanya, terdesu-sedan : "Kini dia ... kembali. Bangkit ... dari
kuburnya. Kau sen diri yang pernah mengatakan. Jadi, ceritakanlah pak
Mirta. Apakah anakku terdapat di antara salah seekor tikus-tikus itu ?"
Terhenyak lagi lurah desa, hilang akal.
"Bodoh", makinya.
"Ya pak ?"

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Bodoh. Aku bodoh, menceritakan itu padamu. Hanya karena ... karena
aku ingin menolak bala ... ", ia kemudian mengangkat muka. Berkata
tegar: "Ya. Anakmu terdapat di antara tikus-tikus itu. Namun aku belum
pasti benar. Seperti apa rupanya. Seperti tikus, atau seperti apa ia dulu
adanya. Ini baru dugaanku saja : anakmu tampil dalam wu-jut kedua-
duanya ..."
Dari menangis, Mayangsari malah tersenyum. "Syukurlah. Jadi aku tidak
lagi bertanya-tanya".
"Aneh. Kau kok tampak gembira", tanya pak Mirta, heran.
"Aku tidak gembira. Aku cuma pasrah".
"Dan membiarkan korban mungkin akan jatuh lebih banyak ?"
"Apa maksud pak Mirta ?", balas Mayangsari bertanya.
"Kau pula yang sekarang menghindar", keluh pak Mirta, kecewa, ia sapu
wajah dengan telapak tangan, seolah ingin membuang jauh-jauh
perasaan enggan untuk berterus terang. Lalu : "Aku sudah lima puluh
tahun lebih sekarang ini. Mayang. Sedang kau masih muda. Hanya karena
menyiksa diri, kau tampak lebih tua. Puluhan tahun aku membujang.
Belasan tahun pula kau tetap hidup menjanda. Kukira - kau pun sudah
lama tahu apa yang
tersimpan di sanubariku", lurah menatap tamunya, sungkan. Kemudian
tersenyum. Lanjutnya : "Aku tak akan mengutarakan kalimat yang selalu
diutara-kan orang-orang yang jauh lebih muda dari kita, Mayang. Aku
hanya ingin memberitahumu menge-nai ini : kau dan aku hidup sendirian.
Tak lama lagi kita pun akan menyusul orang-orang yang telah le-bih
dahulu pergi dari kita. Nah ...", pak Mirta me-nelan ludah. Puas, telah
mampu mengungkapkan apa yang selama ini tidak berani ia ungkapkan.
Maka, ia melancarkan serangan terakhir: "Mengapa kita tidak
menjalaninya bersama sama? Supaya kelak, bila salah seorang
mendahului yang lain, ada yang mendampingi di saat-saat terakhir?"
Wajah Mayangsari bersemu merah.
ia tersenyum.
Tetapi mulutnya tetap bungkam.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Kita sudah sama-sama lanjut usia, Mayang", kata pak Mirta, sabar.
"Jadi bukan masanya lagi mengutarakan sesuatu dengan lambang.
Ucapkan-lah, dengan kata-kata", dan dalam hati, andai ma-sih muda
kalimat itu akan berbunyi : katakanlah, dengan bunga.
Bunga !
Dan bunga yang ada, ternyata begitu menakut-kan : teratai putih.
Pak Mirta tercenung lagi. Menanti, penuh harap. Sampai akhirnya
Mayangsari membuka mulut : Bukannya tidak mau, pak Mirta. Tetapi ..."
"Jadi kau tidak mau !", tukas pak Mirta, menge luh. Meski sudah tua, toh
hatinya hancur luluh. Pecah, berkeping-keping.
"Dengarkan dulu", Mayangsari membujuk. 'Aku pernah menyukaimu ...
Hanya sayang, dulu kau terlambat melamarku".
Wajah pak Mirta berseri-seri kembali. Katanya, bernafsu : "Tidak ada
istilah terlambat untuk melangsungkan niat terpuji, Mayang !"
"Justru itulah sebabnya", wajah Mayangsari kembali murung. "Sekali
terlambat, tetap saja terlambat. Aku tahu, kau kemudian kecewa dan
mulai bertingkah yang tidak disenangi keluargaku. Ayahku kemudian
marah karena kau memperdalam ilmu sesat ... jangan tersinggung, pak
Mirta. Memang itulah yang terjadi di masa lampau, bukan ? Beberapa
dari pasien ayahku, diam-diam kau temui. Diam-diam pula kau
pergunakan pengaruhmu supaya mereka menyetujui cara pengobatan
yang kau lakukan. Kau sengaja membangkit-bangkit siapa musuh-musuh
mereka, lalu dengan bantuanmu, mereka mencelakakan musuh-musuh itu.
Dan ayahku yang disalahkan".
"Kau pun masih tetap marah padaku", pak Mir ta merajuk.
"Tidak. Dari dulu aku tidak marah. Karena aku sadar, semua itu kau
lakukan karena hati yang pa tah. Karena aku menerima lamaran suamiku,
mes ki tahu diam-diam kau juga mencintaiku."
"Aku tak melihat perbedaannya, Mayang".
"Tidak ? Lupakah kau ayahku sedemikian ma rah sehingga tidak mau lagi
mengakuimu jadi mu ridnya ? Dan kemudian bersumpah, keturunannya
tidak ia relakan dipersuami atau diperisteri oleh keturunanmu. Maka,
setelah suamiku meninggal pernah aku berpikir untuk menerima

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

lamaranmu kapan saja kau datang menemuiku. Tahun demi tahun kulalui
dengan menyakitkan, pak Mirta Kuingin kita bersatu, sebaliknya kubenci
diriku sendiri dan terpaksa berjanji untuk tetap mengabdi pada ayahku.
Kau lihat sekarang perbedaannya! bukan ?"
Lurah gemetar.
Menggigil hebat. Kursi yang ia duduki sampai terguncang. Lalu, getaran
tubuhnya perlahan mere da. Wajahnya yang pucat pasi, kembali
memerah Tegar, ia mengeluh, pasrah : "Sudah kubilang. Aku ini bodoh !"
"Boleh aku pergi sekarang ?", suara Mayangsari
terdengar enggan. Jarang ia bercakap-cakap dengan orang lain selama
ini, dan lebih-lebih lagi dengan orang yang pernah sangat ia sukai, meski
tidak sangat ia cintai.
Pak Mirta terkejut. "Tunggu", cegahnya.
Mayangsari duduk diam. Menunggu.
"Baiklah. Aku tidak ingin kau melanggar sumpah ayahmu. Sebaliknya, aku
sekarang mendesakmu, bukan semata-mata karena hasrat bathin dan
jasmani sebagai laki-laki ..."
"Tak usah ragu. Katakanlah".
"Telah banyak korban yang jatuh. Mungkin akan jatuh lagi yang lain.
Karena itu, mengapa kau tidak mau berkorban barang sedikit ? Marilah
kita berharap, roh ayahmu bersedia menarik sumpahnya, karena tahu
kau ingin melakukan sesuatu yang terpuji".
"Aku mengerti", desah Mayangsari, getir. "Kita tetap menikah. Karena
itulah salah satu saratnya. Aku tidak mewarisi ilmu yang dimiliki ayahku.
Namun aku mewarisi darahnya. Darah turunannya. Yang kalau disatukan
dengan darah orang yang juga punya ilmu, apalagi ilmu yang pernah
diajarkan ayahku, maka akan tercipta kekuatan dahsyat untuk
menggempur kedurjaan roh roh jahat..."
"Syukur, kau memahami", pak Mirta terse-
nyum.
Mayangsari tidak tersenyum. Hambar, ia berkata : "Sayangnya, kau lupa
orang yang akan digempur itu, anakku sendiri !"
Senyum pak Mirta, sirna seketika.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku bukan manusia yang sempurna, pak Mirta. Betapa sukar untuk
hidup sebagai perempuan suci. Apalagi di tengah lingkungan masyarakat
yang mengucilkannya, memperhinakannya Mayangsari bergidik. " Jadi,
sebagai manusia yang tidak sempurna, akupun tidak pernah lepas dari
keinginan terkutuk itu, pak Mirta. Keinginan untuk mengetahui siapa-
siapa pembunuh anak dan ayahku. Keinginan untuk menyaksikan dengan
mata kepala sendiri, bagaimana mereka kemudian mati tersiksa, untuk
menebus dosa-dosanya". Seketika, meluaplah kemarahan tuan rumah.
"Kau tega ! Membiarkan mayat-mayat terus bergelimpangan !"
"Tebusan dosa", sahut Mayangsari, angkat pun-dak lalu bangkit dari
tempat duduknya. Berjalan ke pintu. "Sekarang aku tahu, si Margono
dan si Ajat terlibat. Siapa, berikutnya, aku sudah tak sabar menanti".
Mayangsari kemudian pergi.
Tanpa pamit.
Meninggalkan pak Mirta tegak termangu mangu, gundah. Gelisah.
Berpikir ketakutan : "Tahukah dia ? Tahukah dia ?"
ia jatuh terduduk.
Mengeluh : "Tidak. Tidak mungkin".
Mengapa tidak mungkin ? Taruhlah tidak ada yang membuka mulut.
Tetapi Mayangsari bagaimanapun keturunan seorang guru ilmu
kebathinan. Dan sebagai perempuan yang lama hidup menyendiri dengan
pikiran-pikiran serta lamunannya, Mayangsari punya naluri. Dan nalurinya
itu telah lama membisikkan ke telinga Mayangsari, bahwa Mirta terlibat.
Ya. ia telah terlibat. Dalam, sangat dalam malah. Membantu anak-anak
muda itu membunuh ayah Mayangsari, membiarkan mereka menggagahi
pu-terinya yang mayatnya dibuang entah ke mana. Lebih dalam lagi ia
terlibat. Membantu pasien-pasien ayah Mayangsari melampiaskan iri
hati dengan mengirim ilmu hitam ke musuh-musuh mereka. Dia tidak
pernah tahu, salah seorang musuh pasien itu justru adiknya sendiri,
ayah si Dudung. ia baru tahu, setelah segala sesuatunya terlambat.
Kalau ilmu hitam yang ia kirim ke tubuh adiknya ia tarik kembali, maka
ilmu itu akan berubah jadi senjata makan tuan.
Mirta telah membunuh adik kandungnya sendiri.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

ia telah membunuh ayah Mayangsari. Secara' tak langsung ia ikut pula


membunuh orang lain nya : si Teratai. Margono. Ajat. Ida. Dan mungkin
pula Dudung serta anak isterinya.
"Aku harus menemui si Dudung !", jeritnya dalam hati, ketakutan.
Tetapi baru saja ia mau bangkit, tubuhnya sudah limbung. Jatuh ke
lantai. Semua siksaan yang terjadi ketika ia mengobati warga desanya
akibat serbuan tikus-tikus berkekuatan gaib itu, kembali muncul.
Semakin parah. Semakin menyakitkan. Karena kini ditambah pula oleh
kenyataan: Ma-yangsari menolak lamarannya !
Sekujur tubuhnya panas lagi.
Membara seperti semula. Kulit bagai melepuh, tulang bagai merapuh.
Dengan susah payah, ia kemudian merangkak ke kamarnya. Naik ke tem-
pat tidur. Kemudian rebah dengan jasmani yang lu-luh lantak.
"Aku harus memusatkan pikiran", gumamnya.
Lalu ia membuang segala sesuatu dari benaknya. Dari hatinya. Dari
jiwanya. Benak, hati dan jiwa itu harus bening, jernih. Mungkin
bercampur hitamnya jelaga, karena dosa-dosanya di masa lalu. Tetapi,
benak, hati dan jiwa itu harus kosong. Hampa. Supaya pengaruh jahat
itu hilang.
Dengan begitu, kekuatannya akan pulih.
Dan ia kembali siap.

EPISODE 3

TUJUH

SUDAH lewat tengah malam, Dudung tak juga bisa tertidur, ia


berbaring dengan gelisah. Meskipun udara malam itu dingin sekali,
sekujur tubuhnya ia rasakan banjir peluh. Bebunyian ceng-kerik dan
pungguk menyambut renyai-renyai hujan di luar, benar-benar
mendatangkan perasaan tidak enak. Biarpun bebunyian itu sudah
merupakan musik abadi di desa mereka malah seperti peninabobo yang
mengasyikkan bila malam mulai turut menyapu bumi.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Tak usah dipikirkan, Dung !", ia ingat pesan uwanya beberapa hari yang
lalu. "Aku sudah me-manterai seluruh rumahmu. Yang pokok, jangan kau
keluar sendirian dari rumah".
Dudung percaya pada ucapan uwanya bahwa ru-
mah mereka akan aman dari gangguan Teratai Putih. Tetapi mengapa
ketika berkata-kata itu, sang uwa kelihatan pucat dan suaranya gemetar
? Mata pak Mirta membayangkan rasa cemas. Seolah-olah bukan
ditujukan pada Dudung seorang.
Diam-diam, Dudung merasa khawatir kalau uwanya itu juga dihinggapi
perasaan waswas. Setidak-tidaknya karena ia turut campur dalam usaha
pembunuhan kakek Teratai Putih, dan uwanya itulah yang paling getol
menuduh kakek Teratai Putih sebagai tukang teluh.
"Krontang ... !!"
Dudung tercekat bangkit dari baringannya. Dengan wajah pucat ia diam
mendengarkan. Tetapi suara berisik dari arah dapur itu tak terdengar
lagi. ia menghela nafas. "Mengapa aku begitu takut ?", tanyanya dalam
hati. "Uwa telah memberikan mantera-mantera. Teratai Putih tak akan
berani. Ya, hantu penasaran itu tidak akan berani menggangguku".
Selintas teringat olehnya cara kematian Ajat dan isterinya.
Lalu dengan takut takut ia coba berbaring kembali.
"Krrraaaak !"
Terpentang lebar mata Dudung. Keringat mem-
basahi jidatnya.
"Krrraaaak, ciuttt... byeaaarrrr... !"
Jendela ! Itu suara jendela dibukakan orang, su ngut Dudung dalam hati.
Teratai Putihkah itu atau ... hai. Itu mungkin si pencuri yang beberapa
bulan terakhir suka menggerayangi ternak dan rumah penduduk. Pasti !
Pasti ! Pencuri itu tengah mencongkel jendela !"
"Awas kau !", bisik Dudung dengan muka tegang. Kemudian ia meluncur
turun dari ranjang. Diam-diam, tanpa menimbulkan suara. Sekilas ia
menoleh pada Mira, isterinya. Perempuan itu lelap sekali tidurnya.
Sepanjang hari tadi ia demikian capek mengatur pekerjaan dan makan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

penduduk yang membantu menanam bibit baru di sawah-sawah mereka.


Ah, biarlah ia tak usah diganggu, pikir Dudung.
Lalu ia mengenakan piyama yang ia gantungkan pada paku di dinding
kamar sebelum naik ke atas ranjang bersama Mira. Dari dekat
gantungan pakai an itu ia sambar sebuah golok. Gagang golok itu terbuat
dari akar rotan, berukir naga. Golok itu senjata keramat pemberian pak
Mirta. Terngiang kata-kata uwanya itu beberapa hari yang lalu :
"Kalaupun misalnya Teratai berhasil menjebol rumahmu, tunjukkan
parang ini ke mukanya.
Ingat, tikus paling takut pada ular !"
"Hem", sungut Dudung perlahan. "Tidak ke Teratai, apa salahnya
kupergunakan golok ini menghadapi pencuri itu. Biar dia kapok !".
ia membuka pintu kamar dengan hati-hati. Ruangan tengah rumahnya
gelap. Memang Nining sudah mematikan lampu sebelum naik tidur. Hanya
ada sedikit cahaya lembut dari bawah pintu kamar anak-anak mereka.
Dudung membiasakan matanya dalam gelap. Kemudian berjingkat ke
pintu kamar anak-anak itu, karena jendela-jendela ruangan tengah
tampaknya tidak diganggu. Dengan mendorongnya sedikit, pintu kamar
terbuka. Dodo, anak mereka yang berumur tiga tahun tampak mering
kuk memeluk bantal guling, sementara adiknya Lina yang setahun lebih
muda, celentang dengan mulut terbuka. Dudung kurang tau siapa di
antara dua anak itu yang sedang mendengkur dengari kerasnya.
"Mungkin Lina salah tidur", pikirnya seraya tersenyum dan menutupkan
pintu kamar kembali Lalu ia berjingkat-jingkat ke kamar makan. Lampu
teplok di sana masih menyala. Tetapi kelap kelip nya telah semakin kecil.
Ah, ia lupa mengisikan minyak tanah tadi sore untuk lampu itu. Diintip
nya lewat kain tirai.
Pintu kamar makan menuju dapur tertutup rapat. Juga jendela samping.
Dengan hati-hati, ia melangkah mendekati jendela itu. Merabanya.
Terkunci. Dari situ ia menuju pintu ke arah dapur. Mungkin pencuri itu
masuk dari sana. Sebab tadi ada bunyi kerontang, entah tersepak kuali
siorang sial itu.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Tanpa menimbulkan bunyi, ia buka pintu dapur. Gelap. Gelap sekali.


Tetapi ia segera terbiasa dengan bayangan gelap itu. Golok di pinggang
ia pegang gagangnya, ia elus-elus, kemudian dicengkam dengan kuat. Siap
untuk sesewaktu ia layangkan, kalau si pencuri bermaksud menyerang.
Tetapi tidak ada gerakan di dapur. Juga tidak ada bayangan yang
mencurigakan. Tak ada suara-suara. Kecuali cengkerik dan pungguh di
luar rumah yang tiba-tiba menghentikan nyanyian-nyanyian mereka.
Diganti oleh desah nafasnya sendiri yang kencang.
"Bau apa itu ?", ia berbisik. Dilebarkannya lubang hidung. "Bau wangi",
bisiknya, ia berjingkat-jingkat ke tengah dapur. "Bukan. Bukan di sini.
Tetapi di kamar mandi".
Dudung menjadi penasaran. Dengan sekali sentak, pintu kamar mandi
terbuka. Bau wewangian itu menerobos keluar lebih semerbak. Lalu
muncul bayangan putih. Mula-mula seperti asap. Datang-
nya dari arah lubang pembuangan air. Asap memutih itu kian banyak dan
banyak, perlahan-lahan membentuk sebuah wujud sementara Dudung
berdiri dengan tubuh kaku dan gemetar saking terke jut dan takut. Rasa
terkejut dan takut itu tiba-tiba sekali menyerang dirinya sehingga ia
tidak kuasa untuk bergerak, bahkan untuk mengatupkan mulutnya yang
menganga ataupun matanya yang ter-pelotot memperhatikan keajaiban
yang terjadi di dekatnya.
Hanya dalam sekejap, bayangan putih itu telah membentuk wujud
seorang manusia berjenis perempuan. Wajahnya cantik dan menawan,
rambut-nya panjang tergerai sampai di pinggul, dan pakaian tipisnya
seperti terbuat dari sutera putih tanpa jahitan, yang menyelubungi
seluruh tubuh sampai ke lantai, sehingga kakinya pun tidak tampak.
" ... heran, Dung ?".
Suara itu seperti dari jauh. Sayup-sayup sampai.
"He, Dudung !", ulang suara itu lebih keras.
Napas Dudung terlempar keluar. Keringat dingin telah membanjiri
tubuhnya. Tangannya yang memegang bendul pintu kakus, ingin ia
lepaskan untuk bisa menyambar golok di pinggang. Tetapi aneh, seluruh
tubuh dan persendiannya seperti lumpuh.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Siapa ... kau ?", bisiknya dengan gemetar. "Ah, masa lupa ... ?" "Siapa ?"
"Yang dulu. Yang di dalam dangau. Bukankah kau yang pertama-tama
meniduri aku, sebelum temanmu Margono ?"
Rasakan copot jantung Dudung.
"Tid ... daakkk!".
"Tidak apanya ?".
"Kau bukan si ... si Teratai".
"Lalu siapa ? Tidak ingatkah kau bahwa setelah kalian perkosa dan cekik
leherku, jasadku kemudian menghilang ? Sekarang, inilah aku.
Inilah aku. Tak usah kau tau, ini jasad atau rohku, bukan ? Tetapi aku
kini lebih cantik Dung. Lebih mempesona. Lebih menggairahkan.
Maafkan, bukan aku memuji diri sendiri. Tetapi karena aku ingin kau
rayu. Bertahun-tahun aku menginginkan agar kau kembali meniduriku.
Terserah padamu. Secara kasar seperti dulu, ataukah dengan lembut
seperti yang kau lakukan pada isterimu Ina itu Teratai Putih tersenyum.
Begitulah. Dengan tiba-tiba sekali, perasaan Dudung tergoncang. Rasa
takut dan ta'jubnya lenyap dengan mendadak, ia tidak mengerti
mengapa, tetapi kemudian ia malah tidak perduli. ia kini dapat
berdiri tenang, mencoba memperlihatkan kejantanannya sebagai laki-
laki. Dan memang, kelelakian-nya telah tergoncang begitu melihat
keseluruhan wujud dan tantangan yang mesra dari perempuan yang
cantik jelita itu.
" ... bagaimana kau masuk ke sini ?", tanyanya lebih berani.
"Ah, gampang".
"Tetapi ... uwa telah meludahi seluruh penjuru rumah".
Teratai Putih tertawa, ia mengelus pipi Dudung, sehingga jantung lelaki
itu berdegup tidak teratur. "Ah. Uwa-mu lupa meludahi lubang air ini".
Sesaat, Dudung teringat pada golok di pinggangnya.
"Jangan !", sungut si perempuan. "Jangan sentuh itu. Kau tak
memerlukan golok itu untuk bisa meniduriku, bukan ?"
Dengan lemah, Dudung mengangguk. Tatapan mata perempuan itu benar-
benar membuatnya tidak berdaya untuk membantah. Golok itu ia cabut,
lalu ia lemparkan persis jatuh ke dekat mulut lubang air itu. Dudung

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

tersenyum tipis. Katanya: "Kau tak akan bisa pergi lagi, Teratai Putih.
Lubang tempatmu muncul telah tertutup".
Teratai Putih balas tersenyum." ... aku akan per-
gi dari mana dan kapan saja aku suka, Dung. Sekali wujudku telah
berubah, maka tidak ada kekuatan apapun yang bisa melawanku. Juga
tidak semburan ludah uwamu yang menjijikkan itu. Dari lubang itu aku
masuk berbentuk tikus, dan di depanmu aku kini muncul sebagai manusia
Tercekat kerongkongan Dudung. "Tetapi ... tetapi ia berkata dengan
gagap.
"Mengapa tak kau rayu aku, Dung ? Mengapa?", si perempuan
menyeringai.
Sekilas, Dudung menangkap bayangan gigi-gigi taring Teratai Putih.
Panjang dan runcing-runcing. Semakin lebar Teratai Putih menyeringai,
semakin panjang serta semakin runcing gigi taringnya.
"Mengapa, Dung ? Atau ... kau mau memperko-saku ?", sungut Teratai
Putih, kemudian ia tertawa. Mengekeh. Mengekeh dan mengekeh,
semakin lama semakin lebar sehingga tampaklah lidahnya yang merah
bagaikan darah. Darah Dudung berhenti mengalir. Seluruh tubuhnya
kembali kaku dan lumpuh. Hanya mulutnya yang bergerak-gerak
mengeluarkan kata-kata menceracau ...
"Tidak ... ttitidak ... tidak !".
"Ayolah !", maki si perempuan. Kini wajahnya berubah ganas. Matanya
bersinar-sinar. "Ayolah. Lakukan seperti apa yang kau lakukan dulu pada
diriku. Lakukan ! Lakukan ! Mana keberanian-mu ?"
Lalu perempuan itu menjambak kerah baju Dudung. Laki-laki itu
terkesiap. Tenaganya tiba-tiba muncul, ia mulai meronta. Tetapi dengan
ganas, Teratai Putih menyobek-nyobek seluruh baju yang dipakai
Dudung, mencabik-cabiknya dengan kuku dan gigi taring. Dudung
mencoba berteriak meminta tolong, tetapi tenggorokannya bagaikan
tersumbat. Licinnya lantai kamar mandi menyebabkan tubuhnya goyah.
Tiba-tiba ia jatuh terjerembab, diikuti oleh si perempuan.
Bunyi tubuh Dudung bergedebuk keras, sementara tubuh si perempuan
yang ikut jatuh tidak menimbulkan suara apa-apa. Dengan mata melotot

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

ketakutan, Dudung memperhatikan Teratai Putih yang mendekatkan


wajahnya ke wajah Dudung. Perempuan itu mulai mencium seluruh wajah
Dudung, tetapi si lelaki sudah demikian ketakutan sehingga tidak
terangsang sama sekali. Lebih-lebih ketika tenggorokannya mulai
dijelajahi oleh lidah Teratai Putih, ia mencoba memekik, tetapi taring-
taring yang runcing telah menghunjam dalam, dalam sekali.
"Aaaaaaaaghhhhhhkkkkkk !", barulah Dudung bisa menjerit. Kedua
kakinya meronta-ronta, menendang-nendang ke sana ke mari
menimbulkan
bunyi ribut-ribut karena menyambar daun pintu kamar mandi yang
terbuat dari seng. Dengan mata terbeliak, Dudung melihat bagaimana
wujud perempuan itu berubah jadi bulat memanjang menggembung di
tengah dan ... tangannya yang tadi meraba lengan berselaput kain
sutera, seakan-akan memegang kaki-kaki kurus yang berbulu ...
Dudung memekik lebih keras dengan sisa-sisa suaranya. Dan dari dalam
rumah terdengar bunyi ribut, lalu pekikan perempuan memanggil-manggil
nama Dudung, langkah-langkah berlari dan ketika tiba di ambang pintu
kamar mandi, perempuan itu mengeluarkan jerit lengking mengerikan.
SUARA jeritan di belakangnya, membuat tikus putih besar yang sedang
menggerogoti bagian tubuh Dudung yang paling vital itu, terdongak, ia
kemudian meloncat. Demikian cepat dan tepat. Dalam satu loncatan saja,
tikus putih yang besar mengerikan itu telah hinggap pada Mira. Satu
cakaran telah cukup membuat Mira jatuh lunglai, pingsan karena kaget,
sekalipun lukanya berupa goresan kecil saja.
Tikus putih itu meloncat dari Mira, menjauh dengan tenang, ia berdiri di
atas kedua kaki belakangnya. Lehernya mengembung, kemudian cicitnya
yang keras dan nyaring menggema di kamar mandi dan seluruh rumah.
Dari loteng, dari lemari, dari dapur, dari tiap sudut bermunculan tikus-
tikus biasa berwarna hitam legam. Mereka semua berkumpul di ambang
pintu kamar mandi. Tikus-tikus itulah yang menimbulkan bunyi ribut di
dapur rumah Dudung, dan tikus-tikus itulah yang kemudian dengan diam
dan patuh mendengarkan cicit tikus putih yang besar di hadapan
mereka.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Dudung yang masih berjuang untuk dapat tetap hidup, melihat dengan
mata terbeliak bagaimana tikus-tikus itu kemudian beramai-ramai
menuju lubang kakus. Tikus-tikus itu kemudian perlahan-lahan
menggotong golok yang tadi terlempar.
Sedikit demi sedikit, golok itu ditarik ke luar, kemudian mereka seret
beramai-ramai dan saling berebut, sehingga hanya tampak sekilas ujung
golok yang berbuat dari besi campuran baja. Tikus-tikus itu menarik
golok itu terus ke dapur, dan satu cicitan yang keras dan nyaring
menimbulkan bunyi riuh lagi di dapur. Bunyi barang-barang bertubruk,
bunyi cicit tikus saling bersahut-sahutan, dan kemudian tiada bunyi apa-
apa lagi. Semua sepi, sepi dan sepi....
Tersentak jantung Dudung ketika sebuah benda hinggap di dadanya. Tak
lain dari tikus putih itu. Dudung coba menggerakkan tangan untuk
menghantam, tetapi sang tikus cuma menyeringai. Dudung benar-benar
kehilangan tenaga, dan hanya bisa melihat bagaimana tikus itu berubah
wujud perlahan-lahan menjadi Teratai Putih kembali. Teratai duduk
bersimpuh di dekat kepala Dudung.
" ... aku tahu kau masih hidup", bisik Teratai Putih di telinga Dudung.
"Tapi kau akan segera mati. Mati, setelah kau sampaikan pesanku pada
uwa-mu. Si Mirta terkutuk itu !"
Dudung tak bisa berkata-kata.
"Bilang pada uwa mu, padanya supaya datang ke perkebunan. Ada longsor
di sana dan ... Ah, sudah-
lah! kutunggu dia di malam bulan purnama. kalau
uwa-mu tak memenuhi permintaanku, itu tandanya ia pengecut. Dan aku
akan mengerahkan seluruh tikus tikus yang ada di daerah ini untuk
menyebar hama penyakit dan memusnahkan padi dan tanaman apa saja
yang bisa dimakan penduduk !"
Sehabis berkata demikian. Teratai Putih tersenyum. Lembut dan manis
sekali. Wujudnya yang menakutkan tidak terlihat sedikitpun. ia tampak
demikian cantik; mempesona dan menyenangkan hati. Tangannya yang
halus bergerak ke belakang kepalanya. Ketika turun kembali, telah
menggenggam beberapa kuntum bunga teratai berwarna putih. Kuntum

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

bunga itu ia genggamkan pada telapak tangan Dudung. Lalu, ia tersenyum


kembali. Manis dan mempesona.
"Hanya inilah yang bisa kuberikan sebagai tanda dariku", bisiknya
dengan lembut. Kemudian perlahan-lahan ia menghilang, meninggalkan
asap-asap putih yang menggulung ke arah lubang pembuang an air.
Di saat berikutnya terdengar suara tikus menci-cit nyaring, lalu kecipak
air di dalam lubang yang semakin lama semakin menjauh. Setelah itu
sepi. Sepi sekali. Dan bunyi cengkerik dan pungguk di luar sana,
perlahan-lahan kembali menggema me-musiki kesenyapan subuh. Makin
lama makin ra-
mai. Kokok ayam pun ikut memeriahkan suasana, lalu matahari pagi yang
kemudian muncul menyi nari bumi... .
Dudung merayap ke pintu.

DELAPAN

SEPANJANG malam Mayangsari tidak tidur, ia hanya duduk di sebuah


kursi. Matanya tidak mau mengantuk. Tidak pula ada kemau-annya untuk
berbaring, ia lebih suka berjaga, sambil menunggu. Siapa tahu Teratai
Putih muncul lagi, dan bukan hanya sekedar dalam mimpi, ia ingin melihat
anaknya. Memeluk dan menciuminya dengan penuh kasih sayang, apapun
bentuk perwujudannya.
ia juga akan bertanya kepada anaknya : siapa korban berikut ? Supaya
aku ikut menyaksikan ! Setelah aku tahu, barulah aku puas. Lalu aku rela
menyusulmu. Menyusul ayahmu. Menyusul kakekmu. Lalu kita akan
berkumpul lagi seperti biasa. Akan kita cari suatu tempat, di mana lebih
ba-
nyak teratai dan aku akan menyingkirkanan bunga-bunga yang warnanya
tidak kau sukai.
Untuk itulah selama ini Mayangsari mampu ber tahan supaya tetap
hidup, ia ingin melihat siapa siapa mereka itu. Ingin menyaksikan,
mereka me nebus dosa. Tetapi malam ini, setelah ia berbincang-bincang
panjang lebar dengan pak Mirta, timbul kebimbangan dalam hati

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Mayangsari. Benar, ia tidak mampu jadi perempuan suci. ia bukan


seorang manusia yang sempurna, ia juga tak lepas dari dosa.
"Kau tega ! Membiarkan mayat-mayat terus bergelimpangan !"
Terngiang ucapan pak Mirta.
Itu juga adalah dosa. Membiarkan korban jatuh semakin banyak.
Terhadap pembunuh-pembunuh anaknya, ia tidak begitu acuh. Tetapi
mereka yang lain, yang Mayangsari yakin tidak ikut terlibat toh akhirnya
terpaksa jatuh jadi korban. Ida. Dan beberapa orang lain yang luka luka.
Salah seorang ia dengan gagal diobati pak Mirta, dan mungkin malam ini
sudah menghembuskan nafas. Padahal orang itu punya sembilan anak
yang masih membutuhkan kasih sayang, tiga di antaranya masih terlalu
kecil untuk dapat memahami apa itu dosa.
Tetapi menyatukan darah dan bathin dengan
pak Mirta, wahai.
Ayah Mayangsari pasti menggeliat resah di kuburnya.
Terngiang lagi ucapan laki-laki itu : "Kita harap saja roh ayahmu
bersedia menarik sumpahnya. Karena tahu kau ingin melakukan sesuatu
perbuatan yang terpuji."
Menghentikan terror dan pembunuhan itu memang perbuatan terpuji.
Tetapi itu berarti sekaligus ia mencegah anaknya melakukan pembalasan
dendam. Pembalasan yang dilandasi nama baik keluar ga. Nama baik ?
Apa pula itu nama baik ? Tak le bih dari selembar kertas basah. Satu
sentuhan kecil saja, nama baik itu pun hancur.
Mayangsari terpejam.
Bimbang lagi.
Lalu mendadak, kelopak matanya terbuka lebar, ia telengkan kepala.
Diam, mendengarkan. Bunyi apakah itu ? Seperti suara sesuatu tercebur
ke dalam air.
Mayangsari bangkit dari duduknya. Berjingkat-jingkat ke jendela ia
buka hati-hati. Gelap di luar rumah. Hanya diterangi sinar rembulan
yang terlindung oleh bayangan pepohonan. Bayangan itu jatuh
memanjang ke arah kolam kecil, tempat anaknya semasa hidup senang
bermain.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Permukaan kolam beriak.


Mayangsari menajamkan pandangan matanya, lalu melihat benda-benda
kehitam-hitaman berenang dari tengah kolam, menyeret setangkai
besar rumpun teratai. Tiba di tepi, benda-benda itu naik. Barulah ia
mengetahui, benda-benda itu berupa tikus tikus sebesar kucing, yang
dengan taring-taringnya memetiki kuntum teratai putih yang masih
baru.
Tercekat Mayangsari, karena perasaan bergalau. "Yang manakah anakku
?"
Tanpa berpikir panjang lagi, ia membuka jendela lebar lebar dan
berseru perlahan karena suaranya sedemikian gemetar : "Hei, nak ... !"
Beberapa ekor tikus yang tadi menggotong rumpun teratai, sama
terkejut. Satu dua mendongak ke arah jendela. Yang lain menggigit
tangkai kuntum teratai yang sudah dipetik lantas ngacir me-larikan diri,
diikuti tikus tikus yang lainnya.
"Tunggu !", teriak Mayangsari, lalu ia berlari ke pintu, membukanya dan
berlari lagi ke tepi kolam. Tak seekor pun tikus itu yang tampak
sekarang. Tinggal rumpun teratai yang kuntumnya baru dipetik. Rumpun
itu dibawa riak air, merayap kembali ke tengah kolam. Liar, mata
Mayangsari mencari-cari. Namun tak seekor pun makhluk tadi
kelihatan.
"Jangan pergi !", hampir menangis perempuan itu, saking kecewa. "Aku
ingin melihatnya. Melihat anakku ..."
Lalu seperti orang linglung ia berkeliaran sekitar rumah, menyebut-
nyebut nama anaknya, menyatakan keinginannya untuk bersua,
menjeritkan rin dunya yang lama tersiksa. Dari rumahnya ia pergi ke
jalan. Mencari-cari di sekitar rumah tetangga. Terus saja ia mencari,
dari satu rumah ke lain rumah, melihat-lihat ke kolong, ke belakang
kandang mengibas-ngibaskan rerumputan ilalang, berlari-larian dari satu
pohon ke pohon lain. Mulutnya terus kumat-kamit menyebut-nyebut
nama anaknya, dengan air mata yang mulai terurai.
Seluruh desa, hening. Lengang.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Kematian yang susul-menyusul membuat semua penduduk sejak sore hari


sudah pada mengunci diri. Tak ada yang mau meronda. Bahkar, ternak-
ternak ikut bersembunyi, enggan melihat wajah maut yang mengintai
dari tengah kegelapan malam. Di beberapa rumah korban perbuatan
Teratai, ia dengar isak tangis. Tetapi jendela dan pintu rumah-rumah itu
juga tertutup rapat. Lampu-lampu minyak dengan susah payah berusaha
melawan pengaruh kegelapan yang demikian dahsyat. Mayangsari
terus saja mencari. Mencari dan mencari.
"Teratai, anakku. Teratai, anakku. Di mana kau, nak ?"
Teratai. Teratai. Sekuntum teratai putih telah pula dipetik. Mungkinkah
itu berarti akan ada kor ban pula malam ini ? Tetapi siapa ? Ya Tuhan,
coba andaikata Mayangsari tahu. ia menyesali pikiran pendeknya, buru-
buru memanggil. Mestinya ia turun diam-diam dari rumah lalu mengikuti
ke arah mana tikus-tikus itu pergi membawa kuntum teratai.
Sambil menyesali diri, otak Mayangsari terus berjalan.
Margono sudah jatuh jadi korban. Kemudian Ajat. Siapa yang berikutnya
? Bukan. Bukan begitu bunyi pertanyaan yang harus dipikirkan. Coba ini:
siapa orang yang kira-kira masih atau pernah satu komplotan dengan
Margono dan Ajat ?
Kakinya terus pula melangkah.
Dengan mata jelalatan.
Akhirnya ia melihat sesosok bayangan menyeli-nap ke luar dan salah
satu rumah. Mayangsari bergegas memburu. Bayangan tadi bergegas
pula berlari ke rumah yang terdekat. Terdengar suara pintu digedor-
gedor, lalu suara anak perempuan
yang berteriak-teriak histeris, "Tolonglah, Tolong
lah ! Tikus tikus itu menyerbu rumah kami. Ya Tuhan, tolonglah. Kang
Dudung ..."
Tak ada yang berani membuka pintu.
Setiap orang di dalam rumah yang digedor itu masih ingat bagaimana
keadaan mayat Margono, lalu Ida dan Ajat apalagi. Kemudian orang-
orang lain yang bermaksud menolong. Mereka juga ingat kepada pak

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Mirta. Seorang kepala desa, seorang yang punya ilmu, tetapi toh
kewalahan mengobati mereka. Bahkan ikut jatuh sakit.
Tidak. Tidak ada yang berani membuka pintu.
Penghuni rumah malah semakin rapat berpeluk an satu sama lain.
Bayangan di luar rumah, seorang gadis tanggung, menangis terisak-isak
dan dengan panik berlarian ke rumah yang lain untuk meminta tolong.
Gadis tanggung itu bentrok dengan Mayangsari, yang berlari
menyongsong.
"Ada apa, nak ? Kau Nining, bukan ?"
"Ya. Bu. Saya suara tangis Nining mendadak sontak hilang lenyap.
ia melihat ketakutan ke arah Mayangsari. Mundur dengan muka pucat
dan mata ngeri. "Jangan ... Jangan sentuh aku. Kumohon, jangan ... !"
"Nak, aku justru mau membantu", entah mengapa Mayangsri dapat
berkata demikian. Membantu mereka, mengusir roh jahat si Teratai,
anak kan-
dung kesayangannya sendiri. "Mari kita pergi sama-sama ke rumahmu".
"Tidak. Kau tak boleh masuk !"
"Aduh, nak. Aku tidak sejahat yang kau pikirkan. Kau ingin menolong
saudaramu, bukan ? Ayolah lantas tanpa menunggu jawaban Mayangsari
berlari-larian masuk ke rumah Dudung. Setelah ragu sebentar, Nining
kemudian mengikut di belakangnya.
Dudung tergeletak di ruang tengah.
Wajah dan lehernya penuh luka-luka menganga. Darah membanjiri lantai.
Seorang yang lain, Mira isteri Dudung tengah ditarik-tarik dua anak
mereka yang masih kecil-kecil ke kamar tidur. Anak-anak itu terus
menangis lalu lari serabutan menyembunyikan diri begitu melihat
Mayangsari masuk. Baru setelah Nining ikut masuk, kedua orang bocah
itu keluar dari persembunyiannya dan merangkul bibi mereka dengan
wajah pucat ketakutan.
"Apa yang terjadi ?", tanya Mayangsari sambil berjongkok untuk
memperhatikan luka di leher Dudung, kemudian juga selangkangannya.
Mayangsari terpejam ngeri memandangi leher yang tercabik-cabik dan

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

kemaluan Dudung yang tinggal sepotong, ia hampir muntah. Mundur


beberapa tindak." Tuhanku !", desahnya, lirih. Baru sekarang-
lah ia menyaksikan sendiri hasil perbuatan roh jahat yang mereka
katakan perwujutan anaknya, si Teratai Putih. Selama ini ia cuma
mendengar. Dan mendengar, tidak seberapa akibatnya dibandingkan
dengan menyaksikan dengan mata kepala sendiri.
Pelan-pelan, Dudung membuka matanya.
Nining tak berani mendekat, ia bergerak ke pojok ruangan, berusaha
supaya ponakan-ponakannya yang bocah itu tidak melihat ayah mereka
bergerak sekarat. Takut-takut, Mayangsari mendekat.
"Mau mengatakan sesuatu, Dung ?"
Pandangan Dudung kabur, ia tidak dapat mengenali perempuan itu.
"Siapa kau ?"
Mulanya Mayangsari mau memberitahu. Kemudian ia ingat ketakutan di
wajah Nining waktu mereka kepergok di luar rumah, ia ingat pula
kebencian yang selama ini ditujukan penduduk ke alamat dirinya. Dengan
menahan hati, Mayangsari mencoba tersenyum. Katanya : "Berbaring
sajalah. Akan kupanggilkan seseorang untuk mengobati luka-lukamu".
" ... pak Mir - taaa", ujar Dudung, terputus-putus.
"Ya. Ya. Memang dia yang mau kupanggil..." "Jangan !"
"Tetapi..."
"Aku tak kuat lagi. Rasanya begitu panas. Aku yang berteriak-teriak
histeris : "Tolonglah. Tolong-leherku sudah putus ?"
Kalau putus, tentulah dia tak dapat bersuara.
Tetapi itu bukan jawaban yang pantas. Mayangsari mengatakan yang
lebih pantas : "Hanya luka sedikit".
"Sedikit ? Kok sakitnya ia menggeliat-geliat, berusaha mengangkat
tangannya, tetapi tidak mampu. "Oh ... oh ... aku merasa lumpuh seluruh
badan. Aku akan mati... matiDudung mulai menangis, tersedu-sedu.
Nining cepat-cepat menarik kedua orang ponakannya, pergi menjauh ke
dapur. Tetapi ia berusaha sedapat mungkin untuk dapat mengintai ke
ruang tengah. Kalau-kalau perempuan sihir itu berbuat sesuatu terhadap
saudaranya ... !

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Dengarkan !", Dudung menggapai tangan Mayangsari. "Temuilah pak


Mirta. Katakan ... katakan ... si Teratai yang membunuhku. Dia ... dia ...
Tikus busuk ! Tikus haram jadah itu juga melukai Mira. Mira ... mana
Mira ? Miraaaa".
Mayangsari melongok lewat pintu kamar.
Mira menggeliat, kemudian diam. Mudah-mudahan cuma pingsan, do'a
Mayangsari dengan tulus.
Ya Tuhan, jangan ambil nyawa mereka yang tidak bersalah ! "Isterimu
baik baik saja", katanya, ter bata-bata. "Kau tadi menyebut nama pak
Mirta. Apakah dia ... "
"Dia, menunggunya !"
"Dia siapa ? Menunggu siapa ?"
"Si Teratai".
"Di mana ?", merinding bulu punduk Mayangsari, membayangkan ia akan
bertemu dengan anaknya. "Katakanlah, di mana ?"
"Setelah purnama ... ", Dudung semakin lemah suaranya. Terpaksa
Mayangsari mendekatkan kuping ke mulut Dudung, dan mendengar apa
yang dipesankan oleh Teratai Putih kepada pak Mirta. "Bunuh ... ",
rungut Dudung, geram. "Bunuh gadis terkutuk itu untukku ... !"'. Lalu
kepalanya terku lai.
Dudung telah menyusul Margono. Menyusul Ajat.
Mayangsari terdiam sejenak. Lalu bangkit terhuyung-huyung. Tubuh
setengah telanjang yang mengerikan itu, terlalu seram untuk terus ia
lihat. Mayangsari berpaling. Dan matanya bertemu dengan mata Nining.
Anak tanggung itu mungkin sudah berusia lima belas. Lebih tua beberapa
tahun dari Teratai Putih. Tetapi mata Nining, tak ubah-
nya mata Teratai Putih yang memandang ketakutan campur permohonan,
bila si Teratai dihardik Mayangsari karena berbuat kekeliruan.
ia kemudian juga melihat mata Dodo dan Lina yang masih bocah. Mata
bening, polos tak berdosa.
Mayangsari berpaling lagi.
Kali ini matanya beradu dengan tubuh Mira yang masih terkulai di lantai.
Mayangsari melangkah masuk ke kamar tidur. Diam-diam Nining

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

menyusul. Diam-diam pula Nining membantu Mayangsari mengangkat


tubuh Mira ke tempat tidur. Membaringkannya, kemudian
menyelimutinya baik-baik. Tubuh perempuan itu panas, tetapi luka di
lehernya tampak cuma goresan kecil belaka. Mungkin ia akan tertolong,
apabila secepatnya didatangkan bala bantuan.
"Kalian tunggu di sini", kata Mayangsari kepada Nining. Gadis tanggung
itu menatapnya dengan mulut bungkam. "Akan kupanggil pak Mirta untuk
mengobati Mira."
Mayangsari melangkah ke pintu depan.
Lalu berhenti, ketika mendengar suara Nining : "Bu Mayang".
"Ya, nak ?"
"Bukan kau yang mengerahkan tikus-tikus mengerikan itu. Benarkah, bu
Mayang ?"
Mayangsari tersenyum ke arah Nining.
Gadis itu tidak tersenyum. Namun sinar matanya menunjukkan
persahabatan. Mayangsari sampai terenyuh, dan menyeka matanya
ketika meninggalkan rumah Dudung, memaki-maki marah tiap kali
melewati tetangga yang terus ngumpet di dalam rumah masing-masing.
Kemudian, langkahnya ditujukan ke rumah kepala desa. Tangannya
menggenggam golok yang tadi dipegang oleh Dudung selagi sekarat.
Mayangsari tahu betul kalau golok itu milik pak Mirta. ia mengambilnya
tadi dari tangan Dudung, tanpa sadar mengapa ia harus melakukannya.
Jadi, Mirta terlibat !
Mayangsari gemetar memikirkannya. Hatinya beku, dingin. Sebeku dan
sedingin malam berbau kabut, berbau kematian. Mirta yang dulunya
pemalu. Mirta yang jatuh cinta untuk pertama kali setelah ia berusia
tiga puluh tahun, dan gadis yang dia cintai justru baru mencapai
setengah usia Mirta sendiri. Mirta yang sadar, bahwa ia dan keluarganya
cuma anak penggarap sawah dengan upah yang tak seberapa. Mirta yang
terpaksa mundur teratur, setelah anak majikannya bergerak lebih
cepat, melamar Mayangsari.
ia teringat ketika suatu hari berjumpa di kali.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Mayangsari baru habis mencuci, dan Mirta baru pulang dari sawah.
Tubuh dan pakaiannya kotor, wajahnya tampak menyimpan malu.
"Baru pulang, pak ?", tanya Mayangsari.
Itulah selalu yang membuat Mirta menyimpan isi hati. Karena
Mayangsari selalu memanggilnya dengan sebutan "bapak". Mengapa tidak
? Usia mereka berbeda jauh dan Mirta yang sudah terbiasa hidup
sebagai buruh, penampilannya tampak lebih tua.
"Ya, Mayang".
"Ayo. Sama-sama ".
Mirta pergi menjauh, bersembunyi di balik re rumputan untuk melepas
pakaian kemudian terjun ke air. ia mandi tergesa-gesa. Naik lagi
tergesa-gesa ke tepian, bersalin pakaian. Begitu ia selesai, Mayangsari
sudah tak ada di tempat semula. Mayangsari sudah jauh di atas bukit,
dan memandang padanya seraya tertawa-tawa.
Mirta memang orang yang sabaran, dulunya
Pernah ia memergoki Mayangsari dan kekasihnya sedang bercumbu di
sebuah dangau. Mirta yang tak keburu mengelak, terpaksa menyapa :
"Maaf. Aku kebetulan lewat".
Mayangsari tersipu malu.
Kekasihnya, ayah si Teratai di kemudian hari, tertawa bergelak. "Mau
ngintip, ya harus lewat di mana ada tempat ngintip", katanya. "Tetapi
lain kali, bilang-bilang dong".
Mirta tidak bermaksud mengintip, Mayangsari tahu benar.
Tetapi ia tidak marah, ia tetap saja tersenyum manis, sopan. Balas pula
ia menyindir : "Kalau begitu, Aden beritahu pulalah pada saya, kapan
akan bercumbu !"
Mayangsari melempar laki-laki itu dengan sandal.
Tentu saja senda gurau belaka. Herannya. Mirta tidak mengelak, ia
biarkan sandal itu melayang ke
wajahnya, dan ia malah tampak senang. Lain hari mereka bertemu lagi
dan Mayangsari meminta maaf atas perbuatannya yang lancang.
"Aku tak sengaja", berkata Mayangsari.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Biarlah. Disengaja atau tidak, aku tetap menerimanya dengan senang


hati..."
"Nanti kulempar lagi !", Mayangsari mengancam.
"Boleh. Tetapi dengan hati".
Dan mereka tertawa. Tanpa Mayangsari tahu, Mirta berkata sungguh-
sungguh dan tawanya begitu terdengar bahagia.
Suatu malam, Mayangsari terlambat pulang, ia rupanya habis kencan
dengan calon ayah Teratai Putih dan karena si kekasih habis bertengkar
dengan calon mertua, tidak berani mengantar Mayangsari sampai ke
rumah. Kebetulan mereka bertemu Mirta yang sudah diangkat murid
oleh ayah Mayangsari.
"Dari mana saja kalian ?", sang ayah langsung menyenggak.
Sebelum Mayangsari sempat menjawab, Mirta sudah berkata :
"Maafkan, pak. Saya membawa Mayang nonton reog di desa Banjarsari.
Maksudnya mau pulang sore-sore. Eh, tahunya ketemu beberapa teman
yang ingin jadi murid bapak. Lalu kami
ngobrol. Mereka banyak bertanya tentang perguruan kita. Terutama
kepada Mayang. Habis ngobrol, eh, sudah gelap ..."
"Aku tak bermaksud cari murid tambahan. Dan aku tidak pernah
membentuk perguruan. Ini bukan tempat bela diri. Tetapi tempat
membersihkan jiwa yang kotor. Dan kau telah mengotori jiwamu,
membawa anakku tanpa bilang-bilang. Untuk itu kau perlu dihukum".
Mirta benar-benar dihukum.
Berendam sepanjang malam sampai matahari terbit esok harinya, di
tengah sungai tempat kerbau biasanya berkubang. Seminggu lamanya
Mirta jatuh sakit karena demam dan penyakit gatal-gatal pada kulitnya.
Mayangsari sering mengunjungi, merawat dan memberinya makan, sambil
tak henti-hentinya menyesali diri, meminta maaf. Mirta hanya tertawa.
"Anggap saja pengalaman", katanya. Dan setelah ia sembuh, ia
mendatangi ayah Mayangsari. Berjanji, tidak akan membawa Mayangsari
lain kali, tanpa seijin keluarga.
Dan itu benar. Mirta tak mungkin mengajak Mayangsari pergi ke
tempat-tempat pertunjukan atau ke mana saja tanpa ditemani orang-

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

orang ain. Karena Mayangsari sudah keburu dilamar orang, dan setahun
kemudian lahirlah Teratai Pu-
tih.
Mirta mulai menjauhkan diri.
Tak pernah bercampur gaul dengan gadis-gadis lain, atau janda-janda
muda yang beberapa di antaranya menaruh hati juga pada laki-laki yang
malang itu. Mirta tak menikah. Tetap membujang, sampai akhirnya
Mayangsari tahu Mirta jadi bujang tua karena hanya pernah jatuh cinta
pada satu perempuan saja, sebagaimana halnya Mayangsari hanya jatuh
cinta pada satu laki-laki saja.
Saudara Mirta, ayah si Dudung kemudian diangkat jadi kepala desa.
Mirta diberi kedudukan sebagai pengurus tanah carik desa. Punya rumah
sendiri, punya penghasilan yang memadai. Namun tetap saja, ia
membujang, sampai ayah Teratai Putih meninggal dan Mirta menunggu
masa berkabung selesai. Baru berkata terus terang pada Mayangsari :
"Kalau kau berhenti menangis, aku akan berhenti membujang".
Kesedihan ditinggal suami mulai hilang.
Mayangsari berhenti menangis. Dan bertanya kepada Mirta : "Katanya
mau berhenti membujang".
"Kau mau menghentikan aku ?", balas Mirta.
Mayangsari terkejut, karena nada suara Mirta yang sungguh-sungguh.
Tanpa sadar, ia tertawa Lalu berkata : "Bapak ini berseloro. Lucu !"
Mirta ternyata bisa juga marah.
ia melarikan diri ke gunung, dan ketika kembali empat puluh hari
berikutnya, ia mendatangi ayah Mayangsari dan berkata : "Pernah aku
kau marahi padahal bukan karena kesalahanku !" Kasar suaranya, kasar
sikapnya. Ayah Mayangsari terkejut alang kepalang.
"Ada apa dengan kau, Mirta ?"
"Aku ingin membalas sakit hatiku".
"Membalas ?"
"Ya. Dengan ini", lalu : cuih ! Mirta meludah. Kena tangan ayah
Mayangsari tangan yang terkena ludah itu berubah merah, kemudian
hitam, lalu melepuh. Ayah Mayangsari tak pernah mampu mengobati

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

sendiri luka bakar di tangannya. Sampai ayah Mayangsari mati, luka itu
tetap meninggalkan bekas hitam terbakar. Ayah Mayangsari
mengeluarkan sumpahnya. Mayangsari yang mendengarnya kemudian,
terkejut, ia lalu berterus terang mence-ritakan mengapa Mirta sakit
hati pada ayahnya.
"Anak bodoh", bentak ayah Mayangsari. "Coba kau beritahu aku dari
dulu-dulu. Sekarang terlambat sudah. Sumpah telah terucap !"
Dan Mirta telah dipecat sebagai murid.
Peristiwa-peristiwa memalukan pun datang susul menyusul. Ayah
Mayangsari kambing hitamnya.
Seperti, tahun-tahun terakhir ini Mayangsari mendapatkan cap yang
sama.
Sambil terus menuju ke rumah kepala desa itu, Mayangsari berusaha
menahan kebencian yang tiba-tiba muncul. Kemudian ia sadari, ia turut
berperan atas kelakuan Mirta. ia juga mempunyai dosa-dosa. Terbayang
mata Nining. Mata bocah Dono dan Lina.
Mayangsari mengeluh.
Dia juga harus menebus dosa, sebelum mata bocah-bocah tak bersalah
itu semakin banyak ber-linangkan butir butir penderitaan. Dudung sudah
mati. Tetapi bocah-bocah itu masih mempunyai ibu. Dan hanya Mirta
yang dapat menolong.
Mayangsari tertegun.
Tahu-tahu saja, Mirta telah tegak di depannya.
BEBERAPA saat lamanya, mereka berdua cuma saling menatap di bawah
siraman rembulan. Kemudian pak Mirta melihat apa yang dipegang
Mayang sari. Lurah itu terkejut. Pucat. Cepat pikirannya bekerja.
"Apakah Dudung sudah
ia tidak berani melanjutkan kata-katanya.
Terlalu lemas memikirkan apa yang terbayang di kepalanya. Adiknya
telah mati. Kini, keponakannya. Dan dia yang jadi gara-gara !
"Pak Mirta ..."
Lurah itu tersentak. Mulutnya terbuka mau mengutarakan sesuatu,
tetapi tidak mampu. Hatinya hancur luluh. Hampir tidak ia dengar sama

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

sekali ketika Mayangsari berkata : "Kau ingin aku melakukan perbuatan


terpuji, bukan ?"
Pak Mirta diam.
Belum dapat menangkap makna kata-kata Mayangsari.
"Dudung berpesan ... ", Mayangsari kemudian meneruskan pesan yang
dimaksud. "Isterinya masih terbaring di sana. Sakit. Dan anak-anaknya
Mayangsari gemetar. "Anak-anak itu harus diselamatkan".
"Juga anak-anak lain", pak Mirta mulai mengerti.
"Ya. Juga anak-anak lain", Mayangsari menye-
tujui.
"Dan kau mau. Padahal, kau sudah tahu betapa jahat dan bejatnya
moralku ..."
Mayangsari mencoba tersenyum. Ujarnya : "Pertalian bathin dan darah,
tidak selamanya melalui perkawinan, pak Mirta. Ada banyak cara yang
bisa ditempuh. Yang paling tepat, ini !"
Gaung suara Mayangsari belum hilang, tetapi golok yang terpegang di
tangannya sudah terhunjam sampai ke gagang, tenggelam ke dalam
lambungnya yang perlahan-lahan mengucurkan darah.
Pak Mirta terkejut.
ia melompat ke depan, memeluk Mayangsari dan berusaha menarik
keluar golok itu dari lambung si perempuan. Tetapi Mayangsari
mencegahnya. Dengan mata setengah terkatup menahan sengsara,
Mayangsari berkata terputus-putus "Manterailah, pak Mirta.
Manterailah darah yang mengalir dari dari jantungku membasahi
golokmu. Aku ... aku merindukan Teratai. Ingin bertemu ... dengannya.
Tadinya ... kukira, kami akan .... Tetapi, dengan cara ini..."
Tubuh Mayangsari terkulai diam.
Betapa lamanya waktu berlalu. Betapa lamanya hasrat pak Mirta untuk
memeluk Mayangsari, tetap terpendam sia-sia. Dan ketika kini
keberuntungan
itu benar-benar ia peroleh, nyatanya ia hanya ber hak memeluk jasadnya
saja.
Jasad yang sudah mati begitu tiba tiba.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Maut memang seringkali datang tanpa pemberitahuan lebih dulu.

PENUTUP

BULAN purnama mengintip dari sela-sela dedaunan pohon-pohon karet,


ketika bayangan memanjang itu tertatih-tatih mendekati sebuah makam
besar di antara sejumlah makam-makam lainnya yang jauh lebih kecil.
Remang-remang rembulan menimpa permukaan makam sehingga
gundukan makam tampak semakin mengembung. Bayangan kurus
memanjang itu terhenti sejenak di kepala makam. Lalu, tiba-tiba :
"Cuih ! Cuih !", ia meludah. Sekali ke kiri, sekali ke kanan. "Ini aku,
Mirta, datang memenuhi panggilanmu". ia diam mendengarkan. Tidak ada
sahutan. "Cuih ! Cuih !", meludah lagi pak Mirta. "Ataukah kau tidak mau
menepati janjimu ?". Tiba-tiba angin bersilir di sebelah kanan pak
Mirta. Seketika ia tertegun.
"Aku di sini, murid yang tak membalas budi !"
Pak Mirta menoleh. Seseorang gadis semampai yang cantik jelita,
berdiri tak jauh di sebelah kanannya, ia memakai sutera putih yang
menjuntai sampai di tanah, kontras sekali dengan kepekatan malam yang
remang-remang dijilat rembulan.
" ... Teratai Putih !, membisik pak Mirta.
"Kau juga ingat padaku, pak Mirta".
"Karena kau yang mengundangku datang".
"Kau tidak takut ?".
Pak Mirta sejenak terdiam. Mencoba tersenyum. Kemudian meludah. "Ah
... ah ... ".
Teratai Putih menjauh. "Bau ludahmu tidak enak".
"Kau yang kini takut ya ?", sungut pak Mirta dengan suara keras.
Si gadis tersenyum. "Tidak" ! katanya. "Karena aku sudah diberitahu
kakek tentang keampuhanmu itu sebelum beliau menghembuskan nafas
terakhir. Ingatkah ketika jasadku tidak ditemukan orang di dalam
dangau, lima tahun yang lampau ?"
"Hem", pak Mirta bersungut-sungut.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Kau memasuki tubuh kakekmu, begitukah yang mau kau katakan ?"
Si gadis tertawa.
" ... jasadku tetap di dalam dangau itu, pak Mirta. Tetapi tidak ada yang
bisa melihatnya, Tidak, dengan mata biasa. Ternyata kau juga tidak,
bukan ? Karena kakekku lebih tahu bagaimana membutakan matamu dan
mematikan keampuhan air liurmu, ia memanggilku ikut bersama-sama
dengannya, sampai ke liang kubur, pak Mirta".
Laki-laki tua itu manggut-manggut. "Pantas", gumamnya.
"Pantas apanya ?"
"Pantas waktu dimakamkan, kuburan kakekmu tidak bisa seukuran
dengan makam biasa. Karena yang dimuatkan ke dalam makam, ternyata
dua orang. Meski tak seorang pun melihat orang kedua itu ikut
dimakamkan".
"Kau pintar, pak Mirta. Mengapa kepintaranmu itu tidak kau pergunakan
untuk menjelaskan pada keluarga kepala desa, bahwa kakekku bukan
seorang tukang teluh ? Bahwa kakekku tidak tahu apa-apa tentang
kematian kepala desa ? Karena memang orang itu mati karena perbuatan
..."
"Diam !", Pak Mirta membentak. Tetarai Putih menyeringai. " ... tentu
saja tidak. Karena kau mengharapkan kehormatan lebih besar dan
penghasilan yang lebih banyak, dengan mengenyahkan satu-satunya
sainganmu di desa dan sepuluh desa
sekitar. Celakanya, justru orang itu adalah kakekku. Orang yang pernah
mengajarkan ilmu-ilmu karuhun padamu, untuk mengabdi pada orang-
orang sakit yang membutuhkan pengobatan.
Laki-laki itu mengangkat wajah.
"Apa perdulimu ?", katanya tersinggung.
"Ah, aku tak perduli apa-apa pada harta milik yang kau peroleh dengan
rakus itu. Aku cuma mau menuntut, mengapa kau menuduh dan kemudian
ikut terlibat dalam pembunuhan kakek".
"Aku tak ikut", pak Mirta membantah.
"Secara langsung memang tidak. Tetapi kau membacakan mantera-
mantera".

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

"Kakekmu harusnya bisa membunuh mantera manteraku. Salahnya


sendiri, mengapa ia tidak melawan".
Teratai Putih tersenyum. Perih. "Kakek tak mau membunuh muridnya
sendiri, pak Mirta. Dan ia tidak mau menjatuhkan tangan kepada orang-
orang yang tidak bersalah, tetapi tersesat karena bujuk-anmu itu. Dan
ia merasa pernah berdoa padamu ..."
"Lalu mengapa kau membunuh begitu banyak orang ?"
"Untuk kedurjanaan mereka terhadap diriku". Pak Mirta manggut-
manggut. "Aku mengerti",
katanya. "Tetapi tentunya kau mengundangku kemari, tidak dengan
maksud untuk mengatakan hal sepele itu saja, bukan ?"
Si gadis tersenyum, ia mendekat beberapa langkah.
... aku terlanjur bersumpah pada kakekku, pak Mirta. Untuk membalas
dendam pada orang-orang yang telah membunuh kakek dan memper-
kosaku. Seperti kakek, akupun tidak bermaksud menciderai orang yang
tidak bersalah. Tetapi bagiku, kau tetap bersalah. Kakek amat marah
padamu, tetapi ia telah mati. ia tidak mungkin membalaskan dendamnya.
Karena itu, selama lima tahun lebih aku - rohku dan roh kakekku saling
menguji diri. Menguji keampuhan masing-masing. Dan ketika waktunya
kami kira sudah tiba, atas kehendak alam kuburanku pun terbuka ..."
Kedua kaki pak Mirta menjejak kuat-kuat ke tanah, hingga tanah di
bawahnya merekah. Lututnya gemetar, tetapi bukan pertanda takut
Karena dari wajah dan matanya terpancar amarah yang luar biasa. "Kau
menganggapku remeh, neng !", sungutnya. Lalu meludah ke kiri dan ke
kanan terus ke muka dan ke belakang.
"Cobalah dekati diriku !"
Si gadis tersenyum. "Kau lupa aku jijik dengan
bau ludahmu. Tetapi mereka tidak, pak Mirta", teriak si gadis, ia
bergerak ke makam besar itu, mencabut nisan di kepala makam dengan
sigap. Dari bekas nisan itu terlihat sebuah lubang besar, semakin besar
dan kemudian berpuluh-puluh malah mungkin beratus ratus ekor tikus
berloncatan ke luar.
Pak Mirta terkejut.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

ia mengeluarkan goloknya. Tetapi tikus-tikus itu tidak menjadi takut


karenanya, malah semakin mendekat juga kepadanya, ia meludah
berulang-ulang. Tikus-tikus itu tetap menyerang.
"Itu semua tikus-tikus biasa, pak Mirta. Tak guna kau perlihatkan
ajianmu. Itu bukan daun-daun yang pernah menyerang teman-temanmu
di pinggir sungai beberapa hari yang lalu. Tikus biasa, pak Mirta. Tikus
biasa. Lawanlah mereka".
Orang tua itu tidak sempat mendengarkan semua itu. Sementara si
gadis tertawa nyaring dan lengking, tikus-tikus itu telah meloncati
tubuh pak Mirta. Mereka mencakar dengan kuku dan menggigit dengan
gigi di tempat-tempat tikus itu hinggap. Beberapa ekor di antaranya
tertebas oleh golok pak Mirta, jatuh bergulingan di tanah dengan
meninggalkan bunyi mencicit yang menyayat tulang. Te-
tapi tikus-tikus yang keluar dari lubang makam Itu semakin banyak juga.
Orang tua itu mulai kewalahan, dan keluar dari lingkungan di mana ia
tadi meludah, ia sadar bahwa bila ia keluar dari lingkungan semburan
ludah nya, kekuatannya akan punah, tetapi tikus-tikus itu semakin
banyak sehingga ia tidak kuasa melawan dorongan mereka, ia mundur,
terus mundur. Dan suatu saat ia mengangakan mulut, berteriak:
"Ular-ular itu ! Ular-ular itu !"
Dari balik pepohonan, tiba-tiba muncul banyak bayangan. Kemudian obor
menerangi kompleks pemakaman yang remang-remang itu. Beberapa
penduduk berkeluaran dari persembunyiannya, masing-masing berteriak
mengucapkan kata-kata :
"Musnahkanlah, roh jahat ! Musnahlah roh jahat !"
Lau keranjang bambu di tangan beberapa orang di antara rombongan
penduduk yang muncul bagai air bah itu, dilemparkan ke tanah. Tutupnya
terbuka. Dari dalamnya keluar ular berbagai macam yang atas petunjuk
pak Mirta telah ditangkapi penduduk sementara menunggu waktu
pertemuannya dengan Teratai Putih. Mula-mula ular-ular itu diam tak
bergerak. Mungkin karena kaku, terkejut. Kemudian perlahan-lahan
mulai merayap. Merayap

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

berkeliling, meliuk-liuk seram. Penduduk menjauhi tempat itu, meski


ular-ular tadi lebih tertarik pada bau tikus. Binatang melata itu terus
saja merayap ke arah pak Mirta yang sedang berjuang membebaskan
diri dari keroyokan tikus-tikus.
Tikus-tikus itu rupanya melihat gelagat tak baik. Suara mencicit riuh
rendah memenuhi jalan lintas perkebunan yang sunyi sepi itu. Lari
serabutan. Namun ular-ular yang telah mengerung di sekitar mendadak
berubah ganas lalu meliuk semakin cepat memburu mangsa. Pak Mirta
cepat-cepat menghindar, ia menggoyang-goyangkan kepala untuk
menghindari rasa sakit dan perih. Samar-samar ia lihat puluhan ekor
ular memperoleh santapan ratusan ekor tikus-tikus besar dan gemuk-
gemuk. Sebagian masih mampu melawan. Beberapa ular itu tercabik,
mati. Namun naluri seekor tikus tetap saja naluri tikus. Meski lebih
banyak dari penyerangnya, sebagian besar binatang-binatang pengerat
itu telah lari menyelamatkan diri.
"Terkutuk. Akal bulus terkutuk !", terdengar suara mengumpat.
Pak Mirta menoleh. Tetapi ia tidak melihat Teratai Putih, ia hanya
melihat bayangan putih samar-samar yang semula tinggi, kemudian
merendah dan merendah hampir rata ke tanah.
"Tikus putih", bisik pak Mirta, terpana. Dan ketika ia lihat tikus putih
itu lari menyelinap di antara semak belukar, pak Mirta berteriak :
"Kepung. Ayo, kepung. Jangan biarkan makhluk terkutuk itu kembali ke
desa untuk mengambil nyawa anak isteri kalian ... !"
Penduduk yang mendengar perintah itu, meski takut-takut toh berlari
larian mematuhi perintah lurah mereka. Lagipula jumlah mereka sangat
banyak, mengapa tidak berani ? Musuh pun tampaknya sudah kalang
kabut. Tinggal satu. Satu, tetapi yang paling berbahaya !
Sambil berpegangan tangan dan berdiri berkelompok-kelompok mereka
mengurung arah hilang nya tikus putih itu. Bila terlihat bayangannya,
mereka datang merapat dan memaksanya lari ke tempat terbuka.
Makhluk itu melompat kian kemari sambil mengeluarkan suara merintih,
menggeram, menjerit-jerit ribut. Bukan mencicit. Tetapi menjerit-jerit
ribut sebagaimana anak perempuan yang terperangkap di sarang

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

harimau yang kelaparan. Yang aneh, makhluk itu tidak berusaha


menyerang para pengepungnya. ia baru menggeram-geram marah kalau
melihat pak Mirta, berusaha melepaskan diri dari kepungan agar dapat
mendekati lurah desa itu.
Sebaliknya, pak Mirta yang datang dengan dipapah beberapa orang priya
bertubuh besar kuat, dengan caranya sendiri senantiasa berusaha agar
terlindung di balik tubuh orang-orang yang memapahnya. Suatu
perbuatan pengecut, tetapi ia selamat dan para penolongnya tidak
menyadari kepenge-cutan lurah mereka.
Dengan jeritan putus asa, akhirnya tikus putih itu melakukan lompatan
panjang melalui kepala orang-orang yang mengepungnya. Terus kabur
menaiki tebing, menuju daerah bekas longsor di mana masih terdapat
lubang-lubang dan rongga-rongga guha untuk bersembunyi.
"Golokku. Ke sinikan golokku pak Mirta berteriak.
ia menyapu wajahnya yang penuh cakaran berlumur darah, menerima
golok yang diulurkan oleh seseorang. Lalu membathin : "Darahmu masih
melekat di mata golokku, Mayang. Bantulah aku. Berikan aku kekuatan
untuk menebus dosaku".
Lagi, suatu sikap pengecut.
Meminta bantuan Mayangsari untuk membunuh anak Mayangsari sendiri.
Pak Mirta merasa malu. Tetapi kepalang basah, ia terus saja membaca
mantera. Sekali sekali ia berseru memerintahkan orang yang
memapahnya agar mengangkat ia ke sa-
na, ke sini, mengikuti getaran golok dan bayangan tikus putih hilang
menyelinap.
Suatu ketika, ujung golok itu terpaku diam di mulut salah satu liang yang
gelap. Pak Mirta merasakan telapak tangannya panas, terbakar. Matanya
terpejam menahan azab, lalu bergumam : "Biarlah ibumu yang
menjemputmu, Teratai Putih", lalu ia meludah sekitar mulut lubang dan
sekaligus melemparkan goloknya jatuh melayang-layang dalam kegelapan
lubang.
Sesaat sepi. Menyentak.

Koleksi ebook inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Kemudian terdengar suara jerit lengking memilukan. Lolongan panjang


yang mendirikan bulu roma.
semua yang ada di tempat itu, terpaku kaget dan ngeri.
Malah ada yang sampai terkencing di celana. "Di sini si cantik Teratai
Putih mati dan bermukim keluh pak Mirta pelan, begitu suara lolongan
itu tinggal gaung lemah nun jauh entah di mana. Orang tua itu
menengadah, menatap warga desanya yang terheran-heran mendengar
apa yang ia utarakan "Aku berdosa pada gadis kecil itu. Pada kakeknya.
Dan ibunya. Masih banyak dosa-dosa besar yang kuperbuat! Terlalu
besar untuk ditebus ..."
Tak ada seorang pun yang mengangkat suara.
Dan lebih banyak mereka yang tidak memahami apa yang dimaksud lurah
mereka. Tetapi tak ada bedanya. Tak ada. Karena, serbuan tikus-tikus
itu telah mencabik hampir sekujur tubuh pak Mirta. Racun dari kuku
serta taring makhluk-makhluk itu telah menjalar di sekujur persendian,
mengalir di semua pembuluh darah dan kemudian mende kam di
jantungnya.
Ketika orang-orang yang memapah orang tua itu memperhatikan di
bawah sinar obor, barulah me reka terkejut melihat kulit tubuh pak
Mirta telah berubah hitam pekat kebiru-biruan. Orang tua itu telah
meninggal dalam keadaan sama mengerikan dengan kematian Margono,
Dudung maupun Ajat.
Salah satu obor yang menerangi wajah pak Mir ta, jatuh ke tanah.
Berkelip sebentar.
Lalu padam.
Pagi datang. Dan dari dalam lubang, mereka me ngeluarkan selain golok
juga seonggok tulang be lulang.
"Teratai Putih", seseorang berbisik. Matahari tersentak di balik bukit.

TAMAT

Edit & Convert Jar, Txt, Pdf: inzomnia


http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Anda mungkin juga menyukai