mobi
Abdullah Harahap
Misteri Putri Peneluh
SATU
terlihat oleh mata telanjang. Kabut seakan telah mengambil jalan itu
dan membuangnya jauh-jauh, sehingga si pemuda semakin tersudut.
" ... mana kendaraan itu ?", ia bersungut sendirian.
Gumam yang keluar dari mulut, menumbuhkan semangatnya. Tidak
banyak, namun cukup untuk mengatasi rasa sepi. Takut-takut, ia
keraskan suara. Berkata pada diri sendiri : " Mereka cuma terhalang
badai. Percayalah. Mereka akan datang sebentar lagi !"
Ya. Pemuda itu berusaha meyakinkan diri sendiri, bahwa teman-
temannya bukan melarikan diri. Mereka cuma terhalang di perjalanan.
Mungkin karena jembatan rusak. Atau mobil mogok karena mesinnya
dimasuki air. Tetapi semuanya akan beres. Tak lama lagi mereka akan
datang, ia dan semua domba yang ada di dalam maupun di luar pondok,
akan diangkut segera. Dijauhkan dari perangkap kabut yang menakutkan
itu, lalu kemudian kembali berkumpul dengan keluarga, api tungku yang
hangat, kopi kental yang nikmat, dan mungkin saja juga si Painah yang
manis mau menemuinya, begitu mendengar kabar dia sudah punya uang.
Empat ekor domba tercecer di tengah jalan ketika hujan badai mulai
turun. Pemuda itu bersama salah seorang teman yang menggiringnya dari
sebuah desa, tak punya waktu untuk mencari Mereka berdua menggiring
domba lain menjauhi desa selekas mungkin karena hujan badai telah
membangunkan seorang dua penduduk. Masih ada dua belas, paling tidak
sepuluh ekor domba yang berhasil mereka giring. Kemudian temannya
pergi, karena setiba di pondok yang sudah ditentukan, kendaraan yang
akan mengangkut mereka ternyata belum muncul.
"Akan kususul", kata temannya.
Dan, temannya pun tidak muncul muncul, selama hujan badai yang
menakutkan itu, dan selama malam semakin merangkak dan kini udara
dinihari yang berbau kabut itu semakin menebal.
"Apakah ia tersesat ?", pemuda itu bergumam lagi.
Domba mengembik liar di sekitar pondok, begitu tiba-tiba sehingga
pemuda itu terlonjak kaget. Apakah binatang-binatang itu mendengar
bunyi mesin kendaraan ? Atau ada penduduk salah satu desa mengendap
endap di luar pondok untuk menyergapnya ?
"Tak mungkin !", pemuda itu menjawab sendiri. "Tak ada yang memergoki
kami ! Tak ada yang tahu !", dan memang itulah yang sebenarnya.
Temannya punya ilmu sirep. Butir-butir pasir ditaburkan ke atap rumah
penduduk yang kandang dombanya akan mereka satroni. Kemudian
binatang-binatang itu juga mereka sirep. Diberi rumput segar
bercampur irisan bawang merah yang dicelupkan ke minyak kesturi. Tak
seekor pun domba-domba itu membuat ulah bahkan mengembik waktu
mereka keluarkan dari kandang masing-masing.
Lalu hujan badai itu turun.
Pengaruh sirep tertawar sedikit, dan binatang-binatang itu mulai ribut.
Empat hilang lenyap ka-
renanya. Berarti empat puluh ribu rupiah tidak akan dibayarkan tukang
tadah di kota. Apa boleh buat. Masih tersisa, tarohlah sepuluh ekor,
jadi seratus ribu rupiah masih mereka peroleh untuk dibagi-bagikan.
Dia akan memperoleh bagian sekitar tiga puluh ribu, mungkin kurang
sedikit. Dari jumlah itu, ia masih harus membayar utang di warung bi
Minah sebesar lima ribu. Jadi, Painah masih akan mendapat sekitar dua
puluh ribu, paling sedikit. Janda itu akan tertawa riang, membuatkan dia
kopi kental, mengajaknya tidur dan minggu berikutnya akan resmi jadi
isterinya. Keluarganya mungkin akan marah besar. Tetapi tak seorang
pun berhak melarang dia. ia sudah membuntingi Painah, dan ia mencintai
janda itu setengah mati. Terbayang mata Painah yang redup
mengundang, tawanya yang sendu merayu, dan gerak pahanya yang
menantang gairah.
Pemuda itu tersenyum.
Sebentar cuma. Kemudian senyumnya hilang, waktu samar-samar ia
dengar suara bergemuruh. Bunyi mesin kendaraankah ? Atau sungai yang
airnya tengah meluap. Ah, sungai jauh di sebelah utara. Sedang
kendaraan bunyinya tidak bergemuruh seperti itu. Domba-domba yang
berkelompok di luar apalagi di dalam pondok, bergerak liar dan
mengembik riuh rendah. Aji sirep itu telah semakin tawar, dan kini
domba-domba itu rupanya telah sadar kalau mereka tidak sedang ada di
kandang yang semestinya.
ia mencoba duduk.
Sakit bukan main. Matanya berkunang kunang. Menunggu sebentar,
mengatur nafas, lalu bangkit berdiri. Tubuhnya sempoyongan. Punggung
perih
,dan toh ia kembali harus bersyukur, ia mampu berjalan, meski lambat
dan tertatih-tatih, serta siksaan di punggungnya kian reda. Jadi, tak
ada tulang yang patah !
Seekor domba mengembik lemah.
Binatang itu sedang sekarat, tertimpa batang pohon. Ususnya terburai.
Gemetar dan pucat, pemuda itu menyingkir jauh-jauh. ia merangkak
sepanjang tebing, mencari jalan turun ke bawah. Tak jauh dari bekas
pondok itu sebelumnya berdiri, ia mendadak tertegun.
Tanah longsor itu meninggalkan suatu bidang lebar yang terbuka di
bawah langit kelam. Di antara rubuhan pohon, batu-batuan dan rumput
ilalang yang hampir tenggelam ditelan gundukan tanah yang berserakan,
tampak benda-benda putih yang samar. Rembulan mulai muncul, dan
kabut kemudian terbang menjauh. Si pemuda mendekat, ragu-ragu.
Membungkuk sedikit, memperhatikan. Lantas, berteriak kaget dan
mundur beberapa tindak dengan wajah semakin pucat pasi.
Apa yang ia saksikan dengan mata kepalanya, adalah beberapa potong
tulang belulang manusia yang bersembulan dari dalam tanah. Sebuah
tengkorak kepala terhantar di dekat sebatang pohon besar, dengan
liang-liang mata menatap kosong ke arah si pemuda. Yang lebih
mengerikan ialah.
tulang-belulang itu bergerak-gerak !
Terangkat dari tanah, seakan melayang sebentar kemudian bergerak
mengambang ke tempat datar terbuka di depannya. Waktu ia simak
dengan sepasang mata melotot lebar, barulah ia ketahui apa sebabnya
tulang belulang itu bergerak begitu aneh. Beberapa ekor tikus beramai-
ramai menggigit tulang lalu menggotongnya. Tikus-tikus berwarna co-
klat, hitam, dan besarnya luar biasa. Kucing yang paling galak pun akan
berlari menghindar bila bertemu. Tikus-tikus itu besarnya melebihi
kucing biasa, tetapi tak lebih besar dari anak domba yang baru lahir.
Dia mulai berteriak, takut : "Pergi ! Pergi ! Entah kalian ! Enyah - aku
bukan - aku - !"
Kakinya menendang, ia jatuh. Tangannya mencakar, memukul, meninju.
Beberapa ekor maklhuk itu terhenyak, mati. etapi lebih banyak yang
datang mengurung, mengerat, menggerogoti, mencakar dengan kuku-
kuku yang tajam dan berbau busuk. Darah merah mem-bercik kian
kemari. Kemudian sesuatu terasa menusuk ke dalam dada, ke dalam
lambung, ke dalam lambung, ke dalam rongga matanya.
Pemuda itu memekik.
Angin malam berdesah, garang.
Kecuali bunyi angin, segala sesuatunya menyepi. Diam. Bahkan makhluk-
makhluk berwujut tikus-tikus besar kecil itu, pada termangu, begitu
kelejot-an dan peki si pemuda kian lemah lalu hilang, yang sudah menjadi
mayat.
Mata tengkorak, menatap.
Lalu tiupan angin menggerakkannya sedikit. Gerakan yang mirip
anggukan menyetujui, atau memberi tanda. Lalu makhluk-makhluk itu
bergerak pula, serempak. Mereka tinggalkan mayat si pemuda yang
sudah tercabik-cabik, lantas bergerak mendekati kerangka,
mengitarinya sejenak dengan mata memerah saga dan kuku serta taring
memerah darah. Tikus yang terbesar kemudian merangkaki kerangka
itu, menjatuhkan serpihan-serpihan jantung, paru-paru, ginjal dan darah
yang menetes-netes di lambung serta dada kerangka. Gerakan ini diikuti
puluhan ekor tikus lainnya. Tampaknya mereka akan menggerogoti
kerangka diikuti puluhan ekor tikus lainnya. Tampaknya mereka akan
menggerogoti kerangka di sana-sini, nyatanya tidak. Mkhluk-makhluk itu
justru mengolesi setiap potong tulang kerangka dengan darah segar
yang terus menetes melalui moncong, taring dan misai mereka
Suatu saat, ketika rembulan semakin bersinar, dan ketika bintang
gumintang pada berloncatan di langit biru kelam, makhluk-makhluk itu
menjauhi kerangka, berbaring diam. Menunggu. Angin dingin bertiup
perlahan, berdesah bersama suara-suara roh dari alam gaib.
DUA
"Satu", ralat temannya pula. Dan yang lain menambahkan : "Kan dua hari
yang lalu kambing Wa Enoh yang terbesar dicuri orang".
"Hem", yang jalan paling belakang mendehem. "Lihay pencuri itu. Sudah
beberapa kali ia beroperasi tanpa pernah kita pergoki. Rasanya aku
sudah bosan begini. Meronda sampai subuh. Kehujanan. Kedinginan.
Belum lagi perut keroncongan karena belum sempat makan ketika
meninggalkan rumah."
"Kita ke Posko saja", kata yang terdepan." Di sana kita masak kopi. Pak
Haji tadi mengirimkan sebaskom ubi rebus !".
Langkah-langkah mereka kian bergegas. Dan : "Aku mau ke kali dulu !",
kata Margono.
"Ngapain ?", yang terdepan bertanya tanpa me noleh.
"Ngosongin perut dulu, agar ada persediaan untuk ubi rebus", ia ingat
betul, tempat paling dekat di mana ia akan buang hajat biasanya dipakai
perempuan-perempuan kampung mereka untuk mandi dan mencuci.
Lalu ia melangkah tepi air yang menjilati tebing, melompati sebuah batu
besar dan siap untuk ber-jongkok di atasnya. Pada saat itulah ia
menangkap sebuah bayangan tak jauh di depan. Bayangan itu agak
sedikit di tepi kali, dan ketika Margono melihatnya bayang-bayang
berwarna putih itu menghilang di balik sebuah pohon besar.
Jantung Margono berhenti berdenyut. "Pencuri-kah ?", bisiknya dengan
hati menggeletar, ia kan-cingkan kembali celananya. Dengan satu
loncatan panjang, ia telah berada di atas tebing kali. ia tegak aebentar.
Memperlihatkan. Tetapi bayangan itu tak muncul lagi. Debur jantung
Margono perlahan mereda. Tetapi ia belum yakin. Siapa tahu bayangan
itu masih bersembunyi di balik pohon. Itu bukan ilusi, ia tahu betul.
Begitu jelas tadi ia melihat bayangan putih itu meloncat lalu menghilang
di balik pohon kira-kira tiga meter di depannya. "Siapa di situ ?",
Margono memberanikan diri.
Tak ada sahutan. Margono melangkah. Satu. Dua. Tiga. Perasaannya
mulai waswas. Entah mengapa.
Karena itu ia membuka mulut lagi : "Siapa di situ ?".
Tetap tak ada sahutan.
"Keluarlah cepat ! Biar aku tahu !", kata Margono penuh ketakutan.
Margono mencoba mengancam . "Kalau tak menjawab, aku akan
berteriak. Biar teman-teman yang lain datang".
Perlahan-lahan terdengar suara : " ... aku".
Denyut jantung Margono mengencang lagi. Begitu halus suara itu. Mirip-
mirip bisikan. "Aku siapa ?".
"Aku ! ".
"Keluarlah ! Biarlah aku tahu !".
"Kang Gono dong yang ke sini !"
Suara perempuan ! Margono menjilat bibirnya yang terasa kering. Siapa
perempuan itu ? Dan ngapain dia malam-malam begini ada di pinggir kali
? Rumah yang terdekat letaknya lebih dari seratus meter dari tempat
itu. Tadi ia tidak melihat obor. Atau melihat orang menuju tepi kali. Tak
mungkin si perempuan jalan sendirian dalam gelap. Apalagi berada di
dekat kali yang airnya tengah meluap.
"Apa kerjamu di sini ?", Margono belum yakin. Takut dijebak.
"Mau buang air". "Hem, lalu ?"
"Akang datang. Aku malu, lalu sembunyi".
"Sekarang keluarlah. Tak perlu lagi malu. Kelu arlah, biar kutemani kau.
Kau Marniah, bukan ?".
Angin dingin berhembus menyapu wajah Margono ketika bayangan putih
itu muncul perlahan-lahan dari balik pohon. Begitu perlahan, sehingga
gerakannya seperti asap. Denyut jantung .Margono benar-benar sudah
tidak teratur, ketika di hadapannya berdiri seorang gadis bertubuh
semampai, berpakaian putih polos yang menutupi seluruh tubuh dari
batas leher sampai ... ah, sampai ke tanah.
Margono heran. Baju perempuan itu tidak kotor walau menyapu tanah
berlumpur. Dan lebih heran lagi, setelah melihat wajah yang putih
kemilau dan tampak jelas di udara subuh yang remang remang itu.
Perempuan itu bukan Marniah, anak pak Haji. Tetapi seorang perempuan
yang tampak asing, na-mun seolah-olah ia kenal :
"Akang lupa padaku ?", tanya si perempuan se-raya mendekati.
Hampir kaku seluruh tubuh Margono. Kaku kedinginan.
pencuri mungkin punya golok. Atau pisau. Atau bambu runcing. Atau apa
saja. Yang bisa meng-
hantam margono.
"Cepat !", yang paling depan berseru. "Cepat ! Cepat !", yang lainnya
dikomando, Ajaib, mereka mengucapkan kata-kata yang sama, dan
mereka terus berlari dan berlari. Mereka sudah kecapaian, tetapi
tempat yang mereka tuju tak juga sampai-sampai. Mereka sadar mereka
terus berlari, tetapi betapa lamanya. Dan betapa jauhnya terasa.
Tempat yang tadi mereka tinggalkan jarak nya cuma sepuluh menit jalan
kaki dari arah Posko, Tetapi dengan berlari, justru semakin lambat dan
jauh. Sementara itu jerit dan raung itu menggema dan menggema terus.
Jerit kesakitan, raung kema tian.
"Celaka V', sungut orang yang bertubuh tinggi besar ketika raungan
menggema di kesenyapan su buh itu perlahan-lahan mereda kemudian
lenyap sama sekali. "Pencuri itu telah membunuhnya" !
Lalu dengan tiba-tiba, kekuatan mereka kembali pulih. Begitu jerit itu
lenyap, begitu mereka mera sakan langkah-langkah kaki mereka kian
cepat dan hanya dalam beberapa detik mereka telah sampai di tempat
di mana tadi Margono mereka tinggal kan.
"Gono ! Margono !", mereka ganti berganti me manggil. Tidak ada
sahutan. Yang ada hanyalal deru dedaunan bambu gemersik ditiup angin,
lalu
deru air yang mengalir ke hilir. Sorot lampu senter melonjak-lonjak ke
sana kemari. Dari balik dedaunan bambu, ke batang-batang bambu. Dari
tebing, kepermukaan air. Dari batu-batu di tengah kali, sampai tanah
berlumpur di pinggiran. Dan seseorang tiba-tiba berteriak : "Itu dia !".
Yang lain menoleh. Dan sorot lampu senter seperti dikomando, bersatu
padu ke arah sesosok tubuh yang menggeletak di bawah sebuah pohon
bakau, di antara akar-akar raksasa yang bergantungan, menjuntai di
atas tanah dan di permukaan air.
Nafas-nafas mereka mendadak berhenti ketika mereka kenali tubuh itu.
"Margono !", seseorang berbisik. Sendu, dan mengerikan.
"ia bukan dibunuh orang !" Tertegak leher empat petugas ronda
didekatnya. "Bukan dibunuh ?". "Memang dibunuh. Tetapi bukan oleh
manusia biasa !".
Wajah-wajah yang ada di sekitar orang tua itu yang tadinya telah pucat,
semakin pucat dan lesu. Satu dua orang menggelengkan kepala, mencoba
menghilangkan bayangan buruk yang munghuntui kepala mereka.
Sementara itu sedu sedan «nak dan isteri Margono semakin berderai
mendengar kete-rangan si orang tua. Berapa menit pula lewat dalam
ketegangan yang mencekik, sampai peronda bertubuh kekar itu
membuka mulutnya lagi.
"Pak Mirta bisa cari makhluk apa yang kira-kira membunuhnya ?"
" ... sebentar", sungut lurah yang dipanggil Pak Mirta itu.
ia sesaat taffakur, kumat kamit membaca se suatu lalu membelalakkan
mata. Sorot matanya yang tajam ditujukan pada telapak tangan kanan
Margono yang sejak dibawa ke rumah ini tetap mengepal dan tak bisa
dibuka. Tubuh Pak Mirta bergidik sejenak, kemudian matanya terpejam
lagi. Beberapa helaan nafas setelah itu ia menjadi biasa lagi. Sambil
tersenyum penuh kemenangan, ia me-raba pergelangan tangan kanan
Margono. Dengari mengangkatnya sedikit, kepalan tangan kanan
Margono telah berada di depan mulutnya.
"Cuih !", ia meludah.
Semburan ludah itu membasahi jari jemari Mar gono yang telah
memutih kebiruan. Kemudian te lapak tangan Pak Mirta yang satunya
lagi diangkat melebar dan diputar-putarkan di atas kepalan ta ngan
Margono. Lalu, perlahan-lahan ia membuka satu per satu jari jemari
yang mengatup keras itu hanya dalam waktu yang singkat dan sangat
mudah kelihatannya, dibuka oleh Pak Mirta. ia membuka jari jemari
Margono seperti mengupas kulit pisang
Begitu telapak tangan Margono mengembang terbuka, semua mata yang
hadir terbelalak Tangani yang tadinya diduga berisi sesuatu yang
berhasil di-
"Bret !", sekali tebas, akar bakau yang menjuntai itu jatuh
menggelinding di tanah. Terdengar suara berisik, lalu lubang yang
menganga itu membentuk warna yang lebih hitam. Sebelum si pemegang
parang sadar apa yang ia lihat, pak Mirta berseru lagi :
"Menghindar !"
Tetapi terlambat. Dari lubang yang menganga semakin lebar setelah
akar bakau yang menutupinya jatuh, meloncat keluar beberapa benda
hitami sebesar paha manusia. Orang yang memegang parang itu menjerit
kaget dan ketakutan. Parang di, tangan bukannya ia pergunakan,
melainkan ia lem-barkan. Kedua lengan ia pergunakan menutup
mukanya yang dihinggapi oleh benda-benda hitam yang tak lain dari
tikus besar dan mengerikan. Orang itu melolong dan meraung, ditolak
oleh Pak Mirta. Tetapi tikus-tikus itu semakin gencar menyerang tidak
saja muka, tetapi tangan, bahu, dada dan lehernya. Teman-temannya
segera datang memban tu. Tetapi mereka justru jadi sasaran serangan
tikus-tikus yang luar biasa besar dengan gigi-gigi yang tajam serta
runcing bagaikan gergaji pemotong kayu. Jerit dan lolong kesakitan
segera menggema di sepanjang tepi sungai pagi hari itu ..."
TIGA
oleh kekuatan sihir. Aku yakin kini. Semua ini pekerjaan seorang tukang
teluh !".
ia kemudian berdiri. Mengambil parang yang tergeletak di tanah dan
dengan langkah yang tegap
ia berjalan ke dekat lubang. Di sana ia meludah lagi. Ke kiri sekali, ke
kanan sekali, dan ke dalam lubang dua kali.
"Kalian galilah lubang ini dulu", perintahnya.
Orang-orang yang mengerubunginya mundur setapak.
"Jangan takut", senyum pak Mirta. "Tak akan ada tikus-tikus. Tadi
sebelum akar itu terpotong, aku melihat bayangan putih. Kukira tikus
yang kalian lihat subuh-tadi. Tetapi ternyata tidak. Galilah".
Lubang itu ternyata tidak dalam. Tidak pula memanjang. Tiada ular.
Ataupun tikus. Lubang itu tampaknya dibuat oleh manusia. Dan ketika
tanah di sekitarnya telah terbongkar dengan mudah yang tampak
hanyalah beberapa kuntum bunga teratai yang masih segar segar dan
baru dipetik.
"Seseorang meletakkannya di situ. Orang itulah yang membunuh
Margono" berbisik pak Mirta.
Keempat laki laki lainnya memandang orang tua itu dengan penuh
perhatian. Tak seorang pun yang berani membuka mulut Mereka sadar
kini, bahwa mereka berada di tengah-tengah alam nyata dan alam gaib.
Mereka merasa sekujur tubuh mereka kesakitan. Rasa takut dan ngeri
perlahan sudah hi-lang, namun belum semuanya. Karena itu mereka
cuma diam dan pasrah kepada pak Mirta, yang bersikap tenang dan hati-
hati dalam melakukan segala tindakan.
"Teratai putih", kembali suara pak Mirta terde
gar halus sekali, ia berpikir-pikir. Matanya terpejam lama.
Menggelengkan kepala berulang-ulang. Meludah sekali. Lalu membuka
matanya. Bertanya:
Ingatkah kalian ?".
"Ap-paaa ?, empat mulut lain serempak membu-ka.
"Si Teratai Putih !".
Mereka menggelengkan kepala.
"Ah, orang-orang muda sekarang memang lekas pelupa. Tetapi yah ...
seingatku, memang tidak seorang pun di antara kalian yang ikut terlibat
dalam pembunuhan terhadap keluarga Teratai Putih." Pak Mirta sesaat
menghela napas. "Tetapi Margono ikut. Dan kini ia mati di tangan
Teratai Putih, apakah si gadis cucu peneluh itu, mulai membalaskan
dendam keluarganya ?"
Semua yang ada di situ tahu peneluh mana yang dimaksud pak Mirta.
Semua yang mendengar pada bergidik. Pucat. Hal itu tampak pula di
wajah sang lurah, namun ia dapat menyembunyikan perasaan dengan
tidak berkeluh kesah Jauh di sanubari, ebenarnya ia merasa kuatir.
"Aku pun terlibat" ia merintih.
Tak lama.
Wajahnya berubah cerah lagi, ketika ia teringat sesuatu. "Masih ada
harapan", pikirnya. "Aku harus menemui dia sekarang juga !'
Lantas setelah mereka pulang ke rumah masing-masing dengan janji ia
akan mengobati luka-luka mereka, ia berlalu.
Dengan kepala menekur.
Dalam.
SEBENARNYA Mayangsari baru menginjak usia 36 tahun, seminggu
sebelum mayat Margono ditemukan. Tetapi tekanan bathin dan hati yang
sudah lama terluka, menyebabkan perempuan itu tampak lebih tua
sepuluh tahun. Tubuhnya kurus, dan gurat-gurat di beberapa sudut
wajahnya menggaris semakin nyata dari tahun ke tahun. Namun begitu,
di wajah dan potongan tubuhnya masih tertinggal sisa-sisa kecantikan
yang pernah ia banggakan karena sempat membuat beberapa orang
lelaki tergila-gila, ada yang sampai cerai dengan isterinya dan ada pula
yang bersumpah untuk tidak menikah seumur hidup - kecuali perempuan
yang ia tikahi, Mayangsari.
Laki-laki itulah yang siang hari ini mengetuk pintu rumah Mayangsari di
ujung desa. Suatu kehormatan dikunjungi orang paling mulia di desa
mereka, namun toh Mayangsari menyambut pak Mirta dengan sikap
biasa, malah setengah tak acuh. Sebagai warga yang baik, ia
Pak Mirta angkat bahu. Mengeluh : "Kau tak pernah ikut-ikutan dengan
ayahmu, Mayang. Tetapi si Teratai, tak pernah lekang dari dia. Mereka
berdua saling sayang menyayangi, saling pengaruh mempengaruhi. Aku
tahu benar, apa yang ada dalam pikiran almarhum ayahmu. Kau tidak
mewarisi darahnya. Darah keturunan, ya. Tetapi darah pembawa bakat
ilmu yang dimiliki ayahmu, tidak. Si Teratai memilikinya -".
"Maksudmu Mayangsari menggigil. Dingin sekujur tubuhnya. "Anakku
telah kembali - dalam wujut yang lain ?"
Pak Mirta membasahi bibirnya yang kering. La- -lu, menjawab segan :
"Benar".
"Wujut bagaimana ?"
"ia telah kembali. Hanya itu yang dapat kukatakan padamu. Selebihnya,
kau percayakan saja pa daku, Mayang. Dan jangan mendesak aku, karena
aku tidak ingin menambah luka di hatimu ... ".
"Punya rencana, pak Mirta ?"
Yang ditanya, diam sesaat. Kemudian : "Tidak". Itu jelas bukan jawaban
yang jujur. Tetapi bagaimana ia mungkin menjelaskannya ?
Mempersatukan darahnya dengan darah Mayangsari, untuk melawan
kekuatan darah Teratai Putih. Melawan kekuatan anak kandung
perempuan itu sendiri, ia
tahu, Mayangsari seorang perempuan baik-baik. Namun sebaliknya, dia
juga tahu, diam-diam Mayangsari menyimpan kepenasaran : ingin tahu
siapa pembunuh ayahnya dan puterinya. Ingin melihat pembunuh-
pembunuh itu mati tersiksa.
Menarik nafas panjang sebentar, pak Mirta berkata lagi : "Maksudku,
untuk sementara ini aku belum punya rencana apa-apa. Entah lain kali.."
ia kemudian bangkit. Berjalan ke pintu. Di situ, ia membalik dan menatap
Mayangsari yang masih terhenyak di kursinya. Bimbang, dia bertanya :
"Kapan kau berhenti melamunkan orang yang sudah meninggal, Mayang
?"
Mayangsari diam saja.
Pak Mirta tidak putus asa. ia tersenyum manis, berkata lebih manis lagi :
"Aku masih tetap dengan tekadku, Mayang. Kapan kau mulai berpikir
sekian tahun, tidak tampak lagi menghiasi permukaan air kolam yang
bening jernih. Daun, batang, akar dan bunga-bunga teratai warna warni
itu tampak berhamburan di pinggir kolam, seolah dising-kirkan dengan
perasaan jijik.
Yang tinggal hanya kelompok teratai putih.
Dan beberapa kuntum di antaranya, telah hilang dipetik.
EPISODE 2
EMPAT
Teratai Putih telah mengambang subur dan pada umur 12, betapa gatal
tangan yang melihat untuk menjamah, gemas pingin meremas.
Ayahnya yang waktu itu menjabat kepala desa, sempat dibuat bingung
oleh polah Dudung yang uring-uringan. Tidak mau melanjutkan sekolah.
Enggan pula bekerja di sawah. Kerjanya berkelahi. Siapa saja yang
mendekati bahkan melirikkan mata ke arah Teratai, Dudung langsung
naik pitam, ia seorang pesilat yang tangguh. Kalaupun lawannya
tidak jatuh oleh sepak terjangnya, maka kedudukan ayahnya sebagai
kepala desa merupakan jurus terakhir tetapi sangat ampuh.
"Ingat, nak. Teratai masih bocah ingusan", per nah ayahnya
memperingatkan. "Lagipula, kita semua tahu kakeknya itu seorang bekas
pertapa. Memang banyak orang sakit atau terlantar yang telah ia tolong.
Tetapi ada pula kita dengar, kakek Teratai dengan mudah akan
menciderai seseorang atas permintaan dengan bayaran tinggi. Si Teratai
pun konon sudah menerima ilmu yang sama dari kakeknya. Dia bukan
gadis yang sepadan untukmu, nak. Masih banyak yang lain. Anak keluarga
baik-baik. Si Saerah, anak Haji Suleh. Si Ningrum, anak bekas Camat.
Kalau kau masih kurang puas, aku dekat dengan Bupati. Puteri bungsu
Bupati sedang meningkat dewasa, dan kalau dikait-kaitkan kita masih
ada pertalian keluarga dari nenek sepupumu, ia juga tak kalah cantik
dengan cucu pertapa itu..."
Dudung tidak tertarik.
ia makin liar, makin tidak dapat dikendalikan. Sebelum keluarga dibuat
malu, mau tidak mau ayahnya yang kepala desa terpaksa menemui
keluarga Teratai Putih. Ayahnya disertai pula oleh uwa-nya, pak Mirta
dan beberapa orang sanak fami-
li yang pintar ngomong. Siapa nyana, salah seorang! pengiring ayah
Dudung kehadirannya membuat rusak suasana.
"Dia itu", kakek Teratai menuding orang dimaksud. " ... dulu paling
bersikeras mengatakan me nantuku mati karena kujadikan tumbal. Dia
berko-ar kian kemari mengatakan aku menempuh jalan sesat - memuja
setan, menyembah roh jahat penghuni lereng gunung tempatku sering
bersema-dhi mensucikan diri."
LIMA
tanah bercampur lumpur yang longsor dari tebing di atas. Salah seorang
kuli itu mengenali Ajat, dan menanyakan apakah ia punya rokok.
Sambil merokok, Ajat dan kuli-kuli itu ngobrol.
" ... belum pernah separah ini", kata yang satu.
"Ada mayat lagi", tambah yang lain.
"Mayat ?", Ajat lantas tertarik.
"Ya. Wajah dan tubuhnya sedemikian rusak, sehingga sukar dikenali.
Tampaknya ia itu maling domba yang sudah sering membongkar kandang
ternak beberapa desa di sekitar perkebunan ini. Binatang binatang itu
kami temukan berceceran di beberapa tempat. Sebagian sudah jadi
bangkai. Yang aneh, kami juga menemukan sejumlah bangkai tikus..."
Ajat tidak tertarik pada bangkai tikus, ia lebih tertarik pada penemuan
mayat itu, siapa tahu salah seorang penduduk desanya. Sayang, kata
kuli-kuli tadi mayat maling domba itu sudah dibawa ke kota siang tadi,
setelah polisi dilapori. Tak ada kartu pengenal di pakaian mayat itu,
kecuali beberapa lembar uang dan sepucuk surat yang belum selesai
ditulis dan ditujukan kepada seorang perempuan bernama Painah
Siapapun orang itu, polisi menduga bukan mati tertimpa atau terseret
longsor.
"Kuat dugaan, ia dibunuh", kata kuli yang ke-
nalan Ajat.
"Wah. Siapa pula pembunuhnya ?"
"Mengapa harus diributkan siapa ? Pokoknya, ia dibunuh. Maling
semacam dia itu sudah sepantas nya menerima hukuman demikian. Kalau
cuma di tangkap lalu diserahkan ke polisi, masuk bui satu dua bulan.
Taruhlah setahun, lalu kemudian bebas. Mencuri lagi. Makin pintar pula,
berkat didikan orang-orang hukuman yang berpengalaman, selama di bui.
Memang ada juga yang ..."
"Aku tetap dengan pendapatku", menukas salah seorang kuli." Orang itu
dibunuh bukan oleh manusia. Melainkan oleh tikus-tikus itu".
"Tikus lagi", Ajat nyeletuk, bosan.
"He-eh. Tikus-tikus, yang bukan main besarnya. Melihat keadaan di
sekitar tempat mayatnya ditemukan, besar kemungkinan orang itu telah
merah segar. Mau tak mau, dari ingin melerai, ma-lah terbit nafsu
birahinya.
Ajat tertawa senang ketika akhirnya Margono dan Dudung selesai, dan
mereka pulang ke desa dengan perasaan puas. Dudung berkata padanya :
bereskan anak itu, Jat. Terserah, mau kau apakan.
Pendeknya ia tidak boleh buka mulut !"
Ajat sengaja menunggu gadis itu benar-benar sa dar dari shock-nya.
Membiarkan dengan sengaja gadis itu lari ke luar pondok. Setelah agak
jauh barulah Ajat mengejar. Sedapat mungkin ia ber usaha
menyudutkan Teratai Putih supaya lari ke arah yang diharapkan Ajat.
Menjauhi desa, menjauhi tempat-tempat di mana mereka mungkin keper
gok penduduk. Tiap kali ia pergoki, tiap kali ia bu at Teratai Putih
terkejut dan semakin takut. Sede mikian rupa sehingga gadis itu putus
asa. Ke mana pun Teratai Putih lari, ke sana Ajat mengejar. Ke mana
Teratai Putih bersembunyi, ke sana Ajat me nyelinap. Memegang kaki
gadis itu diam-diam sampai Teratai Putih terpekik. Melepaskan kaki itu
sehingga mampu lagi berlari. Di lain tempat, mem bentak dari balik
pohon.
Semakin takut Teratai Putih, semakin terbang kit nafsu bejat Ajat.
Tetapi belum juga gadis itu ti ba pada saat-saat yang ia harapkan. Ajat
memba yangkan pesta pora sex sepihak, ia gagahi gadis itu dalam
pingsannya. Dan Teratai Putih tetap bangkit tetap saja berlari. Sampai
mereka tiba di perkebun an. Teratai Putih tersandung batu yang
menyembul di bawah semak belukar. Gadis itu terguling jatuh Kemudian
berhenti tidak bergerak-gerak. Ajat me
nyangka Teratai Putih sudah pingsan.
Dengan gembira ia mendekat. Seraya melepaskan kancing baju, menarik
ke luar tali pinggang itu. Namun mendadak Teratai Putih bangkit, ia
meng-gengam batu besar dengan kedua tangannya. "Babi. Kau babi busuk
!", jerit si gadis, lantas melemparkan batu itu ke arah Ajat. Sebagai
pesilat, mudah saja buat Ajat berkelit. Batu itu melayang lewat sisi
kepalanya. Namun toh ia sempat terjatuh, dan kesempatan itu
dipergunakan Teratai Putih untuk kabur kembali.
"Jadah !", Ajat memaki. "Anak haram jadah. Tahu rasa kau nanti !", ia
berteriak-teriak sambil bangkit mengejar si gadis. "Akan kubiarkan kau
tetap sadar. Akan kubiarkan matamu melotot keluar, sementara kau
kukerjai !'
Niat Ajat tidak tercapai.
Teratai Putih lari ke pinggir tebing, berharap ada orang lewat di jalan
sepi di bawah, ia tegak di sebuah batu besar, melonjak-lonjak liar ketika
mengetahui tak ada orang lain di sekitar tempat itu, dan mengetahui
selain tali pinggang, Ajat kini mengacung-acungkan sebilah golok di
tangannya. Gerakan gadis itu membuat batu yang letaknya memang
sudah kritis, terangkat dari dalam tanah, bergeser lalu jatuh ke bawah
membawa serta tubuh si
gadis.
Ajat lekas memburu.
Percuma. Tubuh Teratai Putih lenyap di tengah rimbunan semak liar.
Ketika Ajat turun memeriksa, ternyata ada lubang besar di bawah
rimbunan semak liar itu. Ke dalam lubang itulah tubuh Teratai Putih
jatuh bersama batu tempatnya berpijak. Dari atas tebing, semakin
banyak batu dan tanah yang ikut jatuh sampai akhirnya menutupi
setengah isi lubang dan tubuh si gadis lenyap tak berbekas.
Dengan bersenjata golok dan batu serta potongan kayu, Ajat kemudian
meruntuhkan bagian tebing-tebing yang kritis di beberapa tempat,
sehingga tampak seperti longsor. Semakin banyak batu dan tanah ia
timbunkan ke lubang tempat gadis itu menghilang. Beberapa hari
kemudian ia sengaja lewat di jalan pintas itu. Dan melihat kuli-kuli
perkebunan telah meratakan bekas longsoran tebing. Tak lama
setelannya, ada orang yang baik hati membangun sebuah pondok tempat
berteduh orang lewat.
Ajat tiba di desa.
Keadaannya sunyi sepi. Padahal malam belum begitu larut. Bunyi mesin
sepeda motornya membuat seorang dua tetangga melongok lalu hilang
lagi.
" ... kata mereka pondok itu rubuh", gumam Ajat sendirian, membelokkan
sepeda motor memasuki halaman rumah. "Rasa-rasanya, bekas lubang tu
ada di sekitar pondok. Tetapi mengapa tulang belulangnya tidak
ditemukan ?". ia mematikan mesin sepeda motor. Berpikir lagi, lebih
lega: Barangkali lubang lain. Atau kalaupun lubang yang sama, longsornya
tidak dalam. Sudahlah. Mengapa harus diributkan ? Telah lama berlalu.
Sekarang, masuk. Temui Ida, beri dia surprise !"
Seekor tikus lari terbirit birit ketika Ajat membuka pagar. Gerakan
tikus itu tertangkap lampu depan sepeda motor. Seekor yang lain
menyelinap depan teras rumah, bersembunyi di antara rimbunan bambu.
Tikus yang ini tertangkap cahaya lampu minyak dekat pintu depan.
"Tikus lagi. Tikus lagi !"., Ajat memberengut. "Memang salahku. Sudah
lama membiarkan pekarangan terlantar. Dan Ida pemalas pula. Mana
suka bergunjing di rumah tetangga. Hem !". Ya, hem. Untungnya, Ida
punya selera yang sama dengan Ajat. Ajat suka menyakiti, Ida suka
disakiti. Sekali dua mereka buat variasi, saling menakut-nakuti sebelum
naik ranjang.
Malam ini pun Ida rupanya ingin melakukannya.
Terbukti ketika Ajat melangkah ke teras, pintu
yang tadinya tertutup mendadak terbuka. Tetapi entah bagaimana
caranya, Ida tidak menampakkan diri. Lampu petromak ruang tamu tidak
dinyalakan. Hanya ada cahaya temaram lampu dinding di ruang tengah.
Ajat menutup pintu.
Menguncinya sekaligus, sementara matanya menatap seisi rumah.
Mengapa sunyi benar ? Ah-ah. Tidak sesunyi yang ia sangka. Ada suara
bergemeretak di dapur. Lalu suara geresak-geresek di para-para.
Pertunjukan apa pula yang dipersiapkan Ida untuk menakut-nakuti Ajat
? Suara-suara aneh, lalu topeng mainan digambari tengkorak menempel
di muka, sambil muncul tiba-tiba dari kegelapan ? Sudah dua kali Ida
melakukannya. Yang pertama, Ajat memang kaget setengah mati. Yang
kedua, Ajat cuma tertawa.
Lantas, mengapa Ida mengulangnya kembali ? Mestinya sesuatu yang
lain. Pintu kamar dibuka Ajat, dan tahu-tahu menemukan tubuh Ida
Tak seorang pun yang melihatnya. Mereka terlalu kaget dan ngeri oleh
binatang yang mereka hadapi, juga oleh suasana rumah dan pekarangan
mi-
lik Ajat yang porak poranda. Di antara dinding yang rebah, pintu yang
terhumbalang dan atap yang beruntuhan, terkapar mati puluhan ekor
bangkai tikus. Mayat Ida ditemukan tergencet lemari pakaian yang
tumbang. Di ruang depan rumah, hanya tinggal sedikit kulit dan daging
yang masih tersisa di mayat yang mereka kenali sebagai Ajat, guru silat
terkenal di desa itu.
Hari itu, semua penduduk desa boleh dikata berjuang keras untuk
bangun dari mimpi paling buruk yang belum pernah mereka alami.
ENAM
"Roh jahat yang kata mereka bergentayangan di desa kita. Roh jahat
yang kata mereka muncul berupa gerombolan tikus yang datang dari
segala arah, menghancurkan, membunuh dengan keji, disertai kekuatan
sihir !"
"Astaga !", pak Mirta terkejut. "Kurang ajar. Lancang benar mereka
mengatakan !"
"Apa salahnya, pak ? Aku telah lama jadi kambing hitam. Sekarang
mungkin lebih hina lagi :
kambing congek. Dan kambing congek inilah yarg mereka harapkan dapat
menolong mereka lepas da-ri kesulitan yang membuat mereka semua
tidak dapat tidur Mayangsari terpejam, kecewa dan marah. Namun
masih juga ia mampu tersenyum ke-tika ia melanjutkan : "Tahu, pak
Mirta ? Mereka bilang, aku telah mempergunakan kekuatan sihir untuk
memaksa semua tikus keluar dari lubangnya, dan memaksa orang-orang
yang malang mencakari diri sendiri..."
"Itu sudah keterlaluan !", pak Mirta terlonjak
dari kursinya. "Aku akan mendatangi mereka.
Memperingatkan supaya lain kali tidak berlaku
sembrono, apalagi tanpa seijin dan sepengetahuan-
ku. Aku ..."
"Mereka menyebut-nyebut Teratai Putih, pak Mirta", potong
Mayangsari, tenang. Lurah desa itu terengah.
Lantas kembali duduk. Terhenyak. Berkeringat.
Katanya : " ... aku hanya ingin menolongmu. Mayang. Meringankan beban
penderitaanmu. Tak kubiarkan mereka mengganggumu, menolak uangmu
apalagi menjamah keselamatan jiwamu. Kau tahu mengapa, bukan ?"
"Aku tahu, pak Mirta", mata Mayangsari sesaat bersinar, lantas redup
lagi dalam sekejap. "Karena
itu, mengapa tanggung-tanggung menolong ? Kepalang basah !"
Pak Mirta bangkit, berjalan mundar-mandir. Semua yang terjadi hari-
hari belakangan ini, bahkan di tahun-tahun yang telah lama silam,
membuatnya resah gelisah. Kemudian ia memutuskan: Baiklah. Akan
kuberitahu padamu. Kuharap kau tidak semakin terluka, setelah
"Bodoh. Aku bodoh, menceritakan itu padamu. Hanya karena ... karena
aku ingin menolak bala ... ", ia kemudian mengangkat muka. Berkata
tegar: "Ya. Anakmu terdapat di antara tikus-tikus itu. Namun aku belum
pasti benar. Seperti apa rupanya. Seperti tikus, atau seperti apa ia dulu
adanya. Ini baru dugaanku saja : anakmu tampil dalam wu-jut kedua-
duanya ..."
Dari menangis, Mayangsari malah tersenyum. "Syukurlah. Jadi aku tidak
lagi bertanya-tanya".
"Aneh. Kau kok tampak gembira", tanya pak Mirta, heran.
"Aku tidak gembira. Aku cuma pasrah".
"Dan membiarkan korban mungkin akan jatuh lebih banyak ?"
"Apa maksud pak Mirta ?", balas Mayangsari bertanya.
"Kau pula yang sekarang menghindar", keluh pak Mirta, kecewa, ia sapu
wajah dengan telapak tangan, seolah ingin membuang jauh-jauh
perasaan enggan untuk berterus terang. Lalu : "Aku sudah lima puluh
tahun lebih sekarang ini. Mayang. Sedang kau masih muda. Hanya karena
menyiksa diri, kau tampak lebih tua. Puluhan tahun aku membujang.
Belasan tahun pula kau tetap hidup menjanda. Kukira - kau pun sudah
lama tahu apa yang
tersimpan di sanubariku", lurah menatap tamunya, sungkan. Kemudian
tersenyum. Lanjutnya : "Aku tak akan mengutarakan kalimat yang selalu
diutara-kan orang-orang yang jauh lebih muda dari kita, Mayang. Aku
hanya ingin memberitahumu menge-nai ini : kau dan aku hidup sendirian.
Tak lama lagi kita pun akan menyusul orang-orang yang telah le-bih
dahulu pergi dari kita. Nah ...", pak Mirta me-nelan ludah. Puas, telah
mampu mengungkapkan apa yang selama ini tidak berani ia ungkapkan.
Maka, ia melancarkan serangan terakhir: "Mengapa kita tidak
menjalaninya bersama sama? Supaya kelak, bila salah seorang
mendahului yang lain, ada yang mendampingi di saat-saat terakhir?"
Wajah Mayangsari bersemu merah.
ia tersenyum.
Tetapi mulutnya tetap bungkam.
"Kita sudah sama-sama lanjut usia, Mayang", kata pak Mirta, sabar.
"Jadi bukan masanya lagi mengutarakan sesuatu dengan lambang.
Ucapkan-lah, dengan kata-kata", dan dalam hati, andai ma-sih muda
kalimat itu akan berbunyi : katakanlah, dengan bunga.
Bunga !
Dan bunga yang ada, ternyata begitu menakut-kan : teratai putih.
Pak Mirta tercenung lagi. Menanti, penuh harap. Sampai akhirnya
Mayangsari membuka mulut : Bukannya tidak mau, pak Mirta. Tetapi ..."
"Jadi kau tidak mau !", tukas pak Mirta, menge luh. Meski sudah tua, toh
hatinya hancur luluh. Pecah, berkeping-keping.
"Dengarkan dulu", Mayangsari membujuk. 'Aku pernah menyukaimu ...
Hanya sayang, dulu kau terlambat melamarku".
Wajah pak Mirta berseri-seri kembali. Katanya, bernafsu : "Tidak ada
istilah terlambat untuk melangsungkan niat terpuji, Mayang !"
"Justru itulah sebabnya", wajah Mayangsari kembali murung. "Sekali
terlambat, tetap saja terlambat. Aku tahu, kau kemudian kecewa dan
mulai bertingkah yang tidak disenangi keluargaku. Ayahku kemudian
marah karena kau memperdalam ilmu sesat ... jangan tersinggung, pak
Mirta. Memang itulah yang terjadi di masa lampau, bukan ? Beberapa
dari pasien ayahku, diam-diam kau temui. Diam-diam pula kau
pergunakan pengaruhmu supaya mereka menyetujui cara pengobatan
yang kau lakukan. Kau sengaja membangkit-bangkit siapa musuh-musuh
mereka, lalu dengan bantuanmu, mereka mencelakakan musuh-musuh itu.
Dan ayahku yang disalahkan".
"Kau pun masih tetap marah padaku", pak Mir ta merajuk.
"Tidak. Dari dulu aku tidak marah. Karena aku sadar, semua itu kau
lakukan karena hati yang pa tah. Karena aku menerima lamaran suamiku,
mes ki tahu diam-diam kau juga mencintaiku."
"Aku tak melihat perbedaannya, Mayang".
"Tidak ? Lupakah kau ayahku sedemikian ma rah sehingga tidak mau lagi
mengakuimu jadi mu ridnya ? Dan kemudian bersumpah, keturunannya
tidak ia relakan dipersuami atau diperisteri oleh keturunanmu. Maka,
setelah suamiku meninggal pernah aku berpikir untuk menerima
lamaranmu kapan saja kau datang menemuiku. Tahun demi tahun kulalui
dengan menyakitkan, pak Mirta Kuingin kita bersatu, sebaliknya kubenci
diriku sendiri dan terpaksa berjanji untuk tetap mengabdi pada ayahku.
Kau lihat sekarang perbedaannya! bukan ?"
Lurah gemetar.
Menggigil hebat. Kursi yang ia duduki sampai terguncang. Lalu, getaran
tubuhnya perlahan mere da. Wajahnya yang pucat pasi, kembali
memerah Tegar, ia mengeluh, pasrah : "Sudah kubilang. Aku ini bodoh !"
"Boleh aku pergi sekarang ?", suara Mayangsari
terdengar enggan. Jarang ia bercakap-cakap dengan orang lain selama
ini, dan lebih-lebih lagi dengan orang yang pernah sangat ia sukai, meski
tidak sangat ia cintai.
Pak Mirta terkejut. "Tunggu", cegahnya.
Mayangsari duduk diam. Menunggu.
"Baiklah. Aku tidak ingin kau melanggar sumpah ayahmu. Sebaliknya, aku
sekarang mendesakmu, bukan semata-mata karena hasrat bathin dan
jasmani sebagai laki-laki ..."
"Tak usah ragu. Katakanlah".
"Telah banyak korban yang jatuh. Mungkin akan jatuh lagi yang lain.
Karena itu, mengapa kau tidak mau berkorban barang sedikit ? Marilah
kita berharap, roh ayahmu bersedia menarik sumpahnya, karena tahu
kau ingin melakukan sesuatu yang terpuji".
"Aku mengerti", desah Mayangsari, getir. "Kita tetap menikah. Karena
itulah salah satu saratnya. Aku tidak mewarisi ilmu yang dimiliki ayahku.
Namun aku mewarisi darahnya. Darah turunannya. Yang kalau disatukan
dengan darah orang yang juga punya ilmu, apalagi ilmu yang pernah
diajarkan ayahku, maka akan tercipta kekuatan dahsyat untuk
menggempur kedurjaan roh roh jahat..."
"Syukur, kau memahami", pak Mirta terse-
nyum.
Mayangsari tidak tersenyum. Hambar, ia berkata : "Sayangnya, kau lupa
orang yang akan digempur itu, anakku sendiri !"
Senyum pak Mirta, sirna seketika.
"Aku bukan manusia yang sempurna, pak Mirta. Betapa sukar untuk
hidup sebagai perempuan suci. Apalagi di tengah lingkungan masyarakat
yang mengucilkannya, memperhinakannya Mayangsari bergidik. " Jadi,
sebagai manusia yang tidak sempurna, akupun tidak pernah lepas dari
keinginan terkutuk itu, pak Mirta. Keinginan untuk mengetahui siapa-
siapa pembunuh anak dan ayahku. Keinginan untuk menyaksikan dengan
mata kepala sendiri, bagaimana mereka kemudian mati tersiksa, untuk
menebus dosa-dosanya". Seketika, meluaplah kemarahan tuan rumah.
"Kau tega ! Membiarkan mayat-mayat terus bergelimpangan !"
"Tebusan dosa", sahut Mayangsari, angkat pun-dak lalu bangkit dari
tempat duduknya. Berjalan ke pintu. "Sekarang aku tahu, si Margono
dan si Ajat terlibat. Siapa, berikutnya, aku sudah tak sabar menanti".
Mayangsari kemudian pergi.
Tanpa pamit.
Meninggalkan pak Mirta tegak termangu mangu, gundah. Gelisah.
Berpikir ketakutan : "Tahukah dia ? Tahukah dia ?"
ia jatuh terduduk.
Mengeluh : "Tidak. Tidak mungkin".
Mengapa tidak mungkin ? Taruhlah tidak ada yang membuka mulut.
Tetapi Mayangsari bagaimanapun keturunan seorang guru ilmu
kebathinan. Dan sebagai perempuan yang lama hidup menyendiri dengan
pikiran-pikiran serta lamunannya, Mayangsari punya naluri. Dan nalurinya
itu telah lama membisikkan ke telinga Mayangsari, bahwa Mirta terlibat.
Ya. ia telah terlibat. Dalam, sangat dalam malah. Membantu anak-anak
muda itu membunuh ayah Mayangsari, membiarkan mereka menggagahi
pu-terinya yang mayatnya dibuang entah ke mana. Lebih dalam lagi ia
terlibat. Membantu pasien-pasien ayah Mayangsari melampiaskan iri
hati dengan mengirim ilmu hitam ke musuh-musuh mereka. Dia tidak
pernah tahu, salah seorang musuh pasien itu justru adiknya sendiri,
ayah si Dudung. ia baru tahu, setelah segala sesuatunya terlambat.
Kalau ilmu hitam yang ia kirim ke tubuh adiknya ia tarik kembali, maka
ilmu itu akan berubah jadi senjata makan tuan.
Mirta telah membunuh adik kandungnya sendiri.
EPISODE 3
TUJUH
"Tak usah dipikirkan, Dung !", ia ingat pesan uwanya beberapa hari yang
lalu. "Aku sudah me-manterai seluruh rumahmu. Yang pokok, jangan kau
keluar sendirian dari rumah".
Dudung percaya pada ucapan uwanya bahwa ru-
mah mereka akan aman dari gangguan Teratai Putih. Tetapi mengapa
ketika berkata-kata itu, sang uwa kelihatan pucat dan suaranya gemetar
? Mata pak Mirta membayangkan rasa cemas. Seolah-olah bukan
ditujukan pada Dudung seorang.
Diam-diam, Dudung merasa khawatir kalau uwanya itu juga dihinggapi
perasaan waswas. Setidak-tidaknya karena ia turut campur dalam usaha
pembunuhan kakek Teratai Putih, dan uwanya itulah yang paling getol
menuduh kakek Teratai Putih sebagai tukang teluh.
"Krontang ... !!"
Dudung tercekat bangkit dari baringannya. Dengan wajah pucat ia diam
mendengarkan. Tetapi suara berisik dari arah dapur itu tak terdengar
lagi. ia menghela nafas. "Mengapa aku begitu takut ?", tanyanya dalam
hati. "Uwa telah memberikan mantera-mantera. Teratai Putih tak akan
berani. Ya, hantu penasaran itu tidak akan berani menggangguku".
Selintas teringat olehnya cara kematian Ajat dan isterinya.
Lalu dengan takut takut ia coba berbaring kembali.
"Krrraaaak !"
Terpentang lebar mata Dudung. Keringat mem-
basahi jidatnya.
"Krrraaaak, ciuttt... byeaaarrrr... !"
Jendela ! Itu suara jendela dibukakan orang, su ngut Dudung dalam hati.
Teratai Putihkah itu atau ... hai. Itu mungkin si pencuri yang beberapa
bulan terakhir suka menggerayangi ternak dan rumah penduduk. Pasti !
Pasti ! Pencuri itu tengah mencongkel jendela !"
"Awas kau !", bisik Dudung dengan muka tegang. Kemudian ia meluncur
turun dari ranjang. Diam-diam, tanpa menimbulkan suara. Sekilas ia
menoleh pada Mira, isterinya. Perempuan itu lelap sekali tidurnya.
Sepanjang hari tadi ia demikian capek mengatur pekerjaan dan makan
"Siapa ... kau ?", bisiknya dengan gemetar. "Ah, masa lupa ... ?" "Siapa ?"
"Yang dulu. Yang di dalam dangau. Bukankah kau yang pertama-tama
meniduri aku, sebelum temanmu Margono ?"
Rasakan copot jantung Dudung.
"Tid ... daakkk!".
"Tidak apanya ?".
"Kau bukan si ... si Teratai".
"Lalu siapa ? Tidak ingatkah kau bahwa setelah kalian perkosa dan cekik
leherku, jasadku kemudian menghilang ? Sekarang, inilah aku.
Inilah aku. Tak usah kau tau, ini jasad atau rohku, bukan ? Tetapi aku
kini lebih cantik Dung. Lebih mempesona. Lebih menggairahkan.
Maafkan, bukan aku memuji diri sendiri. Tetapi karena aku ingin kau
rayu. Bertahun-tahun aku menginginkan agar kau kembali meniduriku.
Terserah padamu. Secara kasar seperti dulu, ataukah dengan lembut
seperti yang kau lakukan pada isterimu Ina itu Teratai Putih tersenyum.
Begitulah. Dengan tiba-tiba sekali, perasaan Dudung tergoncang. Rasa
takut dan ta'jubnya lenyap dengan mendadak, ia tidak mengerti
mengapa, tetapi kemudian ia malah tidak perduli. ia kini dapat
berdiri tenang, mencoba memperlihatkan kejantanannya sebagai laki-
laki. Dan memang, kelelakian-nya telah tergoncang begitu melihat
keseluruhan wujud dan tantangan yang mesra dari perempuan yang
cantik jelita itu.
" ... bagaimana kau masuk ke sini ?", tanyanya lebih berani.
"Ah, gampang".
"Tetapi ... uwa telah meludahi seluruh penjuru rumah".
Teratai Putih tertawa, ia mengelus pipi Dudung, sehingga jantung lelaki
itu berdegup tidak teratur. "Ah. Uwa-mu lupa meludahi lubang air ini".
Sesaat, Dudung teringat pada golok di pinggangnya.
"Jangan !", sungut si perempuan. "Jangan sentuh itu. Kau tak
memerlukan golok itu untuk bisa meniduriku, bukan ?"
Dengan lemah, Dudung mengangguk. Tatapan mata perempuan itu benar-
benar membuatnya tidak berdaya untuk membantah. Golok itu ia cabut,
lalu ia lemparkan persis jatuh ke dekat mulut lubang air itu. Dudung
tersenyum tipis. Katanya: "Kau tak akan bisa pergi lagi, Teratai Putih.
Lubang tempatmu muncul telah tertutup".
Teratai Putih balas tersenyum." ... aku akan per-
gi dari mana dan kapan saja aku suka, Dung. Sekali wujudku telah
berubah, maka tidak ada kekuatan apapun yang bisa melawanku. Juga
tidak semburan ludah uwamu yang menjijikkan itu. Dari lubang itu aku
masuk berbentuk tikus, dan di depanmu aku kini muncul sebagai manusia
Tercekat kerongkongan Dudung. "Tetapi ... tetapi ia berkata dengan
gagap.
"Mengapa tak kau rayu aku, Dung ? Mengapa?", si perempuan
menyeringai.
Sekilas, Dudung menangkap bayangan gigi-gigi taring Teratai Putih.
Panjang dan runcing-runcing. Semakin lebar Teratai Putih menyeringai,
semakin panjang serta semakin runcing gigi taringnya.
"Mengapa, Dung ? Atau ... kau mau memperko-saku ?", sungut Teratai
Putih, kemudian ia tertawa. Mengekeh. Mengekeh dan mengekeh,
semakin lama semakin lebar sehingga tampaklah lidahnya yang merah
bagaikan darah. Darah Dudung berhenti mengalir. Seluruh tubuhnya
kembali kaku dan lumpuh. Hanya mulutnya yang bergerak-gerak
mengeluarkan kata-kata menceracau ...
"Tidak ... ttitidak ... tidak !".
"Ayolah !", maki si perempuan. Kini wajahnya berubah ganas. Matanya
bersinar-sinar. "Ayolah. Lakukan seperti apa yang kau lakukan dulu pada
diriku. Lakukan ! Lakukan ! Mana keberanian-mu ?"
Lalu perempuan itu menjambak kerah baju Dudung. Laki-laki itu
terkesiap. Tenaganya tiba-tiba muncul, ia mulai meronta. Tetapi dengan
ganas, Teratai Putih menyobek-nyobek seluruh baju yang dipakai
Dudung, mencabik-cabiknya dengan kuku dan gigi taring. Dudung
mencoba berteriak meminta tolong, tetapi tenggorokannya bagaikan
tersumbat. Licinnya lantai kamar mandi menyebabkan tubuhnya goyah.
Tiba-tiba ia jatuh terjerembab, diikuti oleh si perempuan.
Bunyi tubuh Dudung bergedebuk keras, sementara tubuh si perempuan
yang ikut jatuh tidak menimbulkan suara apa-apa. Dengan mata melotot
Dudung yang masih berjuang untuk dapat tetap hidup, melihat dengan
mata terbeliak bagaimana tikus-tikus itu kemudian beramai-ramai
menuju lubang kakus. Tikus-tikus itu kemudian perlahan-lahan
menggotong golok yang tadi terlempar.
Sedikit demi sedikit, golok itu ditarik ke luar, kemudian mereka seret
beramai-ramai dan saling berebut, sehingga hanya tampak sekilas ujung
golok yang berbuat dari besi campuran baja. Tikus-tikus itu menarik
golok itu terus ke dapur, dan satu cicitan yang keras dan nyaring
menimbulkan bunyi riuh lagi di dapur. Bunyi barang-barang bertubruk,
bunyi cicit tikus saling bersahut-sahutan, dan kemudian tiada bunyi apa-
apa lagi. Semua sepi, sepi dan sepi....
Tersentak jantung Dudung ketika sebuah benda hinggap di dadanya. Tak
lain dari tikus putih itu. Dudung coba menggerakkan tangan untuk
menghantam, tetapi sang tikus cuma menyeringai. Dudung benar-benar
kehilangan tenaga, dan hanya bisa melihat bagaimana tikus itu berubah
wujud perlahan-lahan menjadi Teratai Putih kembali. Teratai duduk
bersimpuh di dekat kepala Dudung.
" ... aku tahu kau masih hidup", bisik Teratai Putih di telinga Dudung.
"Tapi kau akan segera mati. Mati, setelah kau sampaikan pesanku pada
uwa-mu. Si Mirta terkutuk itu !"
Dudung tak bisa berkata-kata.
"Bilang pada uwa mu, padanya supaya datang ke perkebunan. Ada longsor
di sana dan ... Ah, sudah-
lah! kutunggu dia di malam bulan purnama. kalau
uwa-mu tak memenuhi permintaanku, itu tandanya ia pengecut. Dan aku
akan mengerahkan seluruh tikus tikus yang ada di daerah ini untuk
menyebar hama penyakit dan memusnahkan padi dan tanaman apa saja
yang bisa dimakan penduduk !"
Sehabis berkata demikian. Teratai Putih tersenyum. Lembut dan manis
sekali. Wujudnya yang menakutkan tidak terlihat sedikitpun. ia tampak
demikian cantik; mempesona dan menyenangkan hati. Tangannya yang
halus bergerak ke belakang kepalanya. Ketika turun kembali, telah
menggenggam beberapa kuntum bunga teratai berwarna putih. Kuntum
DELAPAN
Mirta. Seorang kepala desa, seorang yang punya ilmu, tetapi toh
kewalahan mengobati mereka. Bahkan ikut jatuh sakit.
Tidak. Tidak ada yang berani membuka pintu.
Penghuni rumah malah semakin rapat berpeluk an satu sama lain.
Bayangan di luar rumah, seorang gadis tanggung, menangis terisak-isak
dan dengan panik berlarian ke rumah yang lain untuk meminta tolong.
Gadis tanggung itu bentrok dengan Mayangsari, yang berlari
menyongsong.
"Ada apa, nak ? Kau Nining, bukan ?"
"Ya. Bu. Saya suara tangis Nining mendadak sontak hilang lenyap.
ia melihat ketakutan ke arah Mayangsari. Mundur dengan muka pucat
dan mata ngeri. "Jangan ... Jangan sentuh aku. Kumohon, jangan ... !"
"Nak, aku justru mau membantu", entah mengapa Mayangsri dapat
berkata demikian. Membantu mereka, mengusir roh jahat si Teratai,
anak kan-
dung kesayangannya sendiri. "Mari kita pergi sama-sama ke rumahmu".
"Tidak. Kau tak boleh masuk !"
"Aduh, nak. Aku tidak sejahat yang kau pikirkan. Kau ingin menolong
saudaramu, bukan ? Ayolah lantas tanpa menunggu jawaban Mayangsari
berlari-larian masuk ke rumah Dudung. Setelah ragu sebentar, Nining
kemudian mengikut di belakangnya.
Dudung tergeletak di ruang tengah.
Wajah dan lehernya penuh luka-luka menganga. Darah membanjiri lantai.
Seorang yang lain, Mira isteri Dudung tengah ditarik-tarik dua anak
mereka yang masih kecil-kecil ke kamar tidur. Anak-anak itu terus
menangis lalu lari serabutan menyembunyikan diri begitu melihat
Mayangsari masuk. Baru setelah Nining ikut masuk, kedua orang bocah
itu keluar dari persembunyiannya dan merangkul bibi mereka dengan
wajah pucat ketakutan.
"Apa yang terjadi ?", tanya Mayangsari sambil berjongkok untuk
memperhatikan luka di leher Dudung, kemudian juga selangkangannya.
Mayangsari terpejam ngeri memandangi leher yang tercabik-cabik dan
Mayangsari baru habis mencuci, dan Mirta baru pulang dari sawah.
Tubuh dan pakaiannya kotor, wajahnya tampak menyimpan malu.
"Baru pulang, pak ?", tanya Mayangsari.
Itulah selalu yang membuat Mirta menyimpan isi hati. Karena
Mayangsari selalu memanggilnya dengan sebutan "bapak". Mengapa tidak
? Usia mereka berbeda jauh dan Mirta yang sudah terbiasa hidup
sebagai buruh, penampilannya tampak lebih tua.
"Ya, Mayang".
"Ayo. Sama-sama ".
Mirta pergi menjauh, bersembunyi di balik re rumputan untuk melepas
pakaian kemudian terjun ke air. ia mandi tergesa-gesa. Naik lagi
tergesa-gesa ke tepian, bersalin pakaian. Begitu ia selesai, Mayangsari
sudah tak ada di tempat semula. Mayangsari sudah jauh di atas bukit,
dan memandang padanya seraya tertawa-tawa.
Mirta memang orang yang sabaran, dulunya
Pernah ia memergoki Mayangsari dan kekasihnya sedang bercumbu di
sebuah dangau. Mirta yang tak keburu mengelak, terpaksa menyapa :
"Maaf. Aku kebetulan lewat".
Mayangsari tersipu malu.
Kekasihnya, ayah si Teratai di kemudian hari, tertawa bergelak. "Mau
ngintip, ya harus lewat di mana ada tempat ngintip", katanya. "Tetapi
lain kali, bilang-bilang dong".
Mirta tidak bermaksud mengintip, Mayangsari tahu benar.
Tetapi ia tidak marah, ia tetap saja tersenyum manis, sopan. Balas pula
ia menyindir : "Kalau begitu, Aden beritahu pulalah pada saya, kapan
akan bercumbu !"
Mayangsari melempar laki-laki itu dengan sandal.
Tentu saja senda gurau belaka. Herannya. Mirta tidak mengelak, ia
biarkan sandal itu melayang ke
wajahnya, dan ia malah tampak senang. Lain hari mereka bertemu lagi
dan Mayangsari meminta maaf atas perbuatannya yang lancang.
"Aku tak sengaja", berkata Mayangsari.
orang ain. Karena Mayangsari sudah keburu dilamar orang, dan setahun
kemudian lahirlah Teratai Pu-
tih.
Mirta mulai menjauhkan diri.
Tak pernah bercampur gaul dengan gadis-gadis lain, atau janda-janda
muda yang beberapa di antaranya menaruh hati juga pada laki-laki yang
malang itu. Mirta tak menikah. Tetap membujang, sampai akhirnya
Mayangsari tahu Mirta jadi bujang tua karena hanya pernah jatuh cinta
pada satu perempuan saja, sebagaimana halnya Mayangsari hanya jatuh
cinta pada satu laki-laki saja.
Saudara Mirta, ayah si Dudung kemudian diangkat jadi kepala desa.
Mirta diberi kedudukan sebagai pengurus tanah carik desa. Punya rumah
sendiri, punya penghasilan yang memadai. Namun tetap saja, ia
membujang, sampai ayah Teratai Putih meninggal dan Mirta menunggu
masa berkabung selesai. Baru berkata terus terang pada Mayangsari :
"Kalau kau berhenti menangis, aku akan berhenti membujang".
Kesedihan ditinggal suami mulai hilang.
Mayangsari berhenti menangis. Dan bertanya kepada Mirta : "Katanya
mau berhenti membujang".
"Kau mau menghentikan aku ?", balas Mirta.
Mayangsari terkejut, karena nada suara Mirta yang sungguh-sungguh.
Tanpa sadar, ia tertawa Lalu berkata : "Bapak ini berseloro. Lucu !"
Mirta ternyata bisa juga marah.
ia melarikan diri ke gunung, dan ketika kembali empat puluh hari
berikutnya, ia mendatangi ayah Mayangsari dan berkata : "Pernah aku
kau marahi padahal bukan karena kesalahanku !" Kasar suaranya, kasar
sikapnya. Ayah Mayangsari terkejut alang kepalang.
"Ada apa dengan kau, Mirta ?"
"Aku ingin membalas sakit hatiku".
"Membalas ?"
"Ya. Dengan ini", lalu : cuih ! Mirta meludah. Kena tangan ayah
Mayangsari tangan yang terkena ludah itu berubah merah, kemudian
hitam, lalu melepuh. Ayah Mayangsari tak pernah mampu mengobati
sendiri luka bakar di tangannya. Sampai ayah Mayangsari mati, luka itu
tetap meninggalkan bekas hitam terbakar. Ayah Mayangsari
mengeluarkan sumpahnya. Mayangsari yang mendengarnya kemudian,
terkejut, ia lalu berterus terang mence-ritakan mengapa Mirta sakit
hati pada ayahnya.
"Anak bodoh", bentak ayah Mayangsari. "Coba kau beritahu aku dari
dulu-dulu. Sekarang terlambat sudah. Sumpah telah terucap !"
Dan Mirta telah dipecat sebagai murid.
Peristiwa-peristiwa memalukan pun datang susul menyusul. Ayah
Mayangsari kambing hitamnya.
Seperti, tahun-tahun terakhir ini Mayangsari mendapatkan cap yang
sama.
Sambil terus menuju ke rumah kepala desa itu, Mayangsari berusaha
menahan kebencian yang tiba-tiba muncul. Kemudian ia sadari, ia turut
berperan atas kelakuan Mirta. ia juga mempunyai dosa-dosa. Terbayang
mata Nining. Mata bocah Dono dan Lina.
Mayangsari mengeluh.
Dia juga harus menebus dosa, sebelum mata bocah-bocah tak bersalah
itu semakin banyak ber-linangkan butir butir penderitaan. Dudung sudah
mati. Tetapi bocah-bocah itu masih mempunyai ibu. Dan hanya Mirta
yang dapat menolong.
Mayangsari tertegun.
Tahu-tahu saja, Mirta telah tegak di depannya.
BEBERAPA saat lamanya, mereka berdua cuma saling menatap di bawah
siraman rembulan. Kemudian pak Mirta melihat apa yang dipegang
Mayang sari. Lurah itu terkejut. Pucat. Cepat pikirannya bekerja.
"Apakah Dudung sudah
ia tidak berani melanjutkan kata-katanya.
Terlalu lemas memikirkan apa yang terbayang di kepalanya. Adiknya
telah mati. Kini, keponakannya. Dan dia yang jadi gara-gara !
"Pak Mirta ..."
Lurah itu tersentak. Mulutnya terbuka mau mengutarakan sesuatu,
tetapi tidak mampu. Hatinya hancur luluh. Hampir tidak ia dengar sama
PENUTUP
"Kau memasuki tubuh kakekmu, begitukah yang mau kau katakan ?"
Si gadis tertawa.
" ... jasadku tetap di dalam dangau itu, pak Mirta. Tetapi tidak ada yang
bisa melihatnya, Tidak, dengan mata biasa. Ternyata kau juga tidak,
bukan ? Karena kakekku lebih tahu bagaimana membutakan matamu dan
mematikan keampuhan air liurmu, ia memanggilku ikut bersama-sama
dengannya, sampai ke liang kubur, pak Mirta".
Laki-laki tua itu manggut-manggut. "Pantas", gumamnya.
"Pantas apanya ?"
"Pantas waktu dimakamkan, kuburan kakekmu tidak bisa seukuran
dengan makam biasa. Karena yang dimuatkan ke dalam makam, ternyata
dua orang. Meski tak seorang pun melihat orang kedua itu ikut
dimakamkan".
"Kau pintar, pak Mirta. Mengapa kepintaranmu itu tidak kau pergunakan
untuk menjelaskan pada keluarga kepala desa, bahwa kakekku bukan
seorang tukang teluh ? Bahwa kakekku tidak tahu apa-apa tentang
kematian kepala desa ? Karena memang orang itu mati karena perbuatan
..."
"Diam !", Pak Mirta membentak. Tetarai Putih menyeringai. " ... tentu
saja tidak. Karena kau mengharapkan kehormatan lebih besar dan
penghasilan yang lebih banyak, dengan mengenyahkan satu-satunya
sainganmu di desa dan sepuluh desa
sekitar. Celakanya, justru orang itu adalah kakekku. Orang yang pernah
mengajarkan ilmu-ilmu karuhun padamu, untuk mengabdi pada orang-
orang sakit yang membutuhkan pengobatan.
Laki-laki itu mengangkat wajah.
"Apa perdulimu ?", katanya tersinggung.
"Ah, aku tak perduli apa-apa pada harta milik yang kau peroleh dengan
rakus itu. Aku cuma mau menuntut, mengapa kau menuduh dan kemudian
ikut terlibat dalam pembunuhan kakek".
"Aku tak ikut", pak Mirta membantah.
"Secara langsung memang tidak. Tetapi kau membacakan mantera-
mantera".
TAMAT