Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebagian besar bayi baru lahir yang terlahir dari ibu yang bermasalah dalam
arti menderita suatu penyakit, tidak menunjukkan gejala sakit pada saat dilahirkan
atau beberapa waktu setelah lahir. Bukan berarti bayi baru lahir tersebut aman dari
gangguan akibat dari penyakit yang diderita ibu. Hal tersebut dapat menimbulkan
akibat yang merugikan bagi bayi baru lahir (BBL), dan dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas bayi. Ibu bermasalah disini diartikan sebagai ibu yang
menderita sakit, sebelum, selama hamil, atau pada saat menghadapi proses
persalinan.1
Dari State of the World’s Newborn, Save The Children 2001, terdapat angka
lebih dari 7 juta bayi meninggal setiap tahun antara lahir hingga umur 12 bulan,
hampir dua pertiga bayi yang meninggal, terjadi pada bulan pertama; dari yang
meninggal tersebut, dua pertiga meninggal pada umur satu minggu, dan dua pertiga
diantaranya meninggal pada dua puluh empat jam pertama kehidupannya. Disini
sangat jelas bahwa masalah kesehatan neonatal tidak dapat dilepaskan dari masalah
kesehatan perinatal dimana proses kehamilan, dan persalinan memegang faktor yang
amat penting. 1
Strategi Penanggulangan AIDS Nasional 2007-2010 menegaskan bahwa
pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan sebuah program prioritas,
sehingga penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah (PMTCT: Prevention Mother
to Child Transmission). Dewasa ini semakin maju upaya intervensi untuk mengurangi
resiko penularan HIV ke bayi dari ibu yang diketahui HIV positif. Kemajuan ini
membawa harapan, tetapi untuk mencegah bayi agar tidak terinfeksi HIV, sebaiknya
dilakukan strategi untuk mencegah perempuan tidak terinfeksi HIV, ataupun strategi
mengurangi resiko penularan HIV ke bayi jika terdapat perempuan yang tidak
mengetahui dirinya terinfeksi HIV.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang


sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang
salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah
putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau
penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4
dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit
yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia.
Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500.
Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang
yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada
beberapa kasus bisa sampai1,2
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang
berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang
disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk
melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS
melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya
berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain.2
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel
atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi
AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan
adanya berbagai infeksi baik akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan
infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik.2

2
Sejarah HIV di Indonesia

Latar Belakang Ibu Dengan HIV


Kasus AIDS pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1987 pada
seorang WNA di Bali. Sejak itu HIV/AIDS di Indonesia telah dilaporkan hampir di
semua provinsi kecuali Sulawesi Tenggara. Setelah selama 13 tahun sejak
dilaporkannya kasus pertama, Indonesia masih tercatat sebagai negara dengan
prevalensi infeksi HIV rendah akan tetapi dalam 4 tahun terakhir ini Indonesia
dinyatakan berada dalam keadaan epidemi terkonsentrasi (Concentrated level
epidemic) karena HIV/AIDS telah terjadi pada lapisan masyarakat tertentu dalam
tingkat prevalensi yang cukup tinggi terutama di provinsi Papua, DKI Jaya, Riau,
Jawa Barat, Jawa Timur dan Bali. Pada ibu HIV atau daerah dimana prevalensi HIV
tinggi, maka proses kelahiran disarankan dengan operasi sesar, dengan tujuan
membiarkan lapisan amnion tetap intak selama mungkin agar penularan HIV
perinatal terhindar.1
Transmisi HIV pada populasi risiko tinggi di Indonesia bersifat dinamis, dan
epidemi yang terjadi tidak terpisah diantara populasi dengan faktor risiko yang
berbeda. Sebagian besar epidemi HIV disebabkan oleh HIV-1. Ada kemungkinan
bahwa pengguna narkotika suntik merupakan episentrum penularan HIV-1 di Bali dan
beberapa daerah di Indonesia dan menyebar ke populasi umum melalui perilaku
1,2
seksual risiko tinggi dari kelompok heteroseksual, yaitu PSK dan yang tertular.

3
Jumlah kasus AIDS secara kumulatif di Indonesia 2000-2009

Jumlah kasus AIDS yang dilaporkan setiap tahunnya sangat meningkat secara
signifikan. Angka penderita AIDS/HIV mulai meningkat tahun 2004 dan jumlah
tertinggi pada tahun 2008. Jumlah kumulatif pada tahun 2000-2009 mencapai 16964
kasus.1,2
Etiologi
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk
sferis yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. Strukturnya tersusun atas
beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang
melekat pada glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap
molekul CD4 pada permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau makrofag.
Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh
protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase
reverse (reverse transcriptase enzyme)1,4.
Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup
mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang
cepat mengalami mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak
menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1(2)
Struktur HIV.2,4
Bagian luar HIV dilipuit oleh selubung yang disebut ‘envelope’ dan di bagian
dalam terdapat sebuah inti (CORE).3
1. Envelope : HIV bergaris tengah 1/10.000 mm dan mempunyai bentuk bulat
seperti bola. Lapisan paling luar disebut ENVELOPE, terdiri dari dua
lapisan molekul lemak yang disebut lipids. Lapisan ini diambil dari sel
manusia ketika partikel virus yang baru terbentuk dengan membentuk
tonjolan dan lepas dari sel tersebut.

Selubung virus terisi oleh protein yang berasal dari sel induk, termasuk 72
turunan (rata-rata) protein HIV komplek yang menonjol dari permukaan

4
selubung. Protein ini disebut env, terdiri atas sebuah tutup (cap)terbuat dari
3-4 molekul GLYCOPROTEIN (gp) 120 dan sebuah batang yang terdiri atas
3-4 molekul gp 41 sebagai rangka struktur dalam envelope virus. (3)
2. Inti/ CORE : dalam envelope partikel HIV yang sudah matang terdapat inti
yang berbentuk peluruyang disebut CAPSID, terbentuk dari 2000 turunan
protein virus lainnya, P 24. Capsid mengelilingi 2 helaian tunggal RNA
HIV, yang masing-masing memiliki 9 gen dari virus. 3 diantaranya gag, pol
dan env, mengandung informasi yang diperlukan untuk membuat protein
terstruktur untuk partikel virus baru. Gen env, misalnya mengkode protein
gp 160 yang dipecah oleh enzim virus untuk membentuk gp 120 dan gp 41,
yang merupakan komponen env.3 buah gen pengatur, tat, rev dan nef dan 3
gen tambahan, vif, vpr, dan vpu mengandung informasi yang diperlukan
untuk memproduksi protein yang mengatur kemampuan HIV menginfeksi
suatu sel, membuat turunan virus baru atau menimbulkan penyakit. Protein
yang dikode oleh nef misalnya menyebabkan virus dapat melakukan
replikasi secara efisien sacara efisien dan protein yang dikode oleh vpu
berpengaruh terhadap pelepasan partikel virus baru dari sel yang diinfeksi.
Inti HIV juga mencakup sebuah protein yang disebut P7, yaitu protein
nucleocapsid HIV, dan 3 buah enzim yang berperan dalam langkah
berikutnya dalam siklus hidup virus, yaitu : REVERSE, TRANSCRIPTASE,
INTEGRASE dan PROTASE. Protein HIV lainnya adalah P17 atau matriks
HIV, terletak antara inti dan envelope(4)

5
Struktur virus HIV

Batasan Bayi Baru Lahir Dari Ibu Pengidap HIV


Batasan bayi baru lahir dari ibu pengidap HIV adalah bayi baru lahir dari Ibu
yang diketahui mengidap HIV selama kehamilannya. Ibu sudah diskrining
menggunakan pemeriksaan serologis. Untuk selanjutnya bayi disebut BIHA (bayi
dari ibu dengan HIV/AIDS). Terminologi BIHA dipakai sebagai tanda pengenal dan
kode bagi semua petugas administrasi, medis, paramedik, pekarya, diberi tanda stiker
merah pada catatan medik, alat suntik, obat dan sebagainya yang ada hubungannya
dengan penderita. Tim BIHA adalah tim yang ditunjuk kepala bagian Anak untuk
membuat dan merancang petunjuk pelaksanaan hal yang berhubungan dengan BIHA.3
KLINTidak ada tanda-tanda spesifik HIV yang dapat ditemukan pada saat lahir. Bila
terinfeksi pada saat peripartum, tanda klinis dapat ditemukan pada umur 2-6 minggu
setelah lahir. Tetapi tes antibodi baru dapat dideteksi pada umur 18 bulan untuk
menentukan status HIV bayi.1,4
Semua bayi yang terlahir dari Ibu resiko HIV termasuk ibu yang berasal dari
daerah tinggi kejadian HIV, pengguna obat terlarang, pasangan biseksual, adalah
termasuk bayi beresiko terjangkit HIV. Beberapa mekanisme masuknya virus ke bayi
termasuk beratnya penyakit ibu, paparan dengan cairan tubuh yang terkena infeksi,

6
kekebalan ibu yang berkurang, dan ASI. Resiko transmisi virus ke bayi besar apabila
penyakit ibu berlanjut, atau jumlah CD4+ rendah, viral load tinggi (antigenemia),
atau kultur darah HIV positif. Infeksi melalui plasenta dibuktikan dengan adanya
biakan yang positip HIV pada darah talipusat dan jaringan janin lahir mati pada
trimester awal. Sedangkan infeksi secara vertikal dihubungkan adanya ketuban pecah
dini empat jam sebelum lahir secara spontan, tindakan invasif, dan adanya
chorioamnionitis. Transmisi dapat secara seksual, parenteral dan kongenital,
perinatal. Resiko tercemar HIV pada Transfusi darah adalah 1 : 225.000 unit
transfusi. Skrining saat ini condong kurang dilakukan,padahal penderita baru walau
mengalami viremia, menunjukkan sero negatif untuk 2 sampai 4 bulan atau 5-15%.2

Patogenesis HIV
Infeksi HIV terutama berpengaruh pada sel CD4+ dan sel monosit atau sel
makrofag. Setelah sel terkena infeksi, maka RNA virus sampul terlepas, dan
membentuk DNA transkrip rangkap dua, yang ditransfer ke sel DNA host, dan
terjadilah perusakan system imunologi baik humoral ataupun selular. Kemudian
bersama dengan cytokin yang dipengaruhi akan mempengaruhi fungsi makrofag, B
limfosit dan T Limfosit. Sedangkan hipergamaglobulinemia yang terdeteksi pada saat
kehamilan, disebabkan karena aktivasi poliklonal B sel akibat pengaruh HIV.
Perusakan sel B, mengakibatkan pembentukan antibodi sekunder lemah, dan respons
terhadap vaksinasi buruk. Defek sel mediated juga terjadi, sehingga mudah terjadi
infeksi oportunis seperti jamur, Pneumonia Carinii Pneumositis (PCP), dan diare
kronik.1,4
Mekanisme utama infeksi HIV adalah melalui perlekatan selubung
glikoprotein virus gp 120 pada molekul CD4. Molekul ini merupakan reseptor dengan
afinitas paling tinggi terhadap protein selubung virus. Partikel HIV yang berikatan
dengan molekul CD4 kemudian masuk ke dalam sel hospes melalui fusi antara
membran virus dengan membran sel hospes dengan bantuan gp 41 yang terdapat pada
permukaan membran virus.4,5

7
Proses pengikatan HIV dengan reseptor sel T

HIV menggunakan CD4 untuk masuk ke dalam host sel T dengan cara
mengikat gp120 pada CD4. Keterikatan menciptakan pergeseran dalam konformasi
gp120 HIV yang memungkinkan untuk mengikat ke co-reseptor untuk diekspresikan
pada sel inang. HIV menyisipkan peptida fusi ke dalam sel host yang memungkinkan
membran luar virus untuk berfusi dengan membran sel.4,5

Sekali virion HIV masuk ke dalam sel, maka enzim yang terdapat dalam
nukleoprotein menjadi aktif dan memulai siklus reproduksi virus. Nukleoprotein inti
virus menjadi rusak dan genom RNA virus akan ditranskripsi menjadi DNA untai
ganda oleh enzim reverse transcriptase dan kemudian masuk ke nukleus. Enzim
integrase akan mengkatalisa integrasi antara DNA virus dengan DNA genom dari sel
hospes. Bentuk DNA integrasi dari HIV disebut provirus, yang mampu bertahan
dalam bentuk inaktif selama beberapa bulan atau beberapa tahun tanpa memproduksi
virion baru. 4,5

8
Partikel virus yang infeksius akan terbentuk pada saat sel limfosit T
teraktivasi. Aktivasi sel T CD4+ yang telah terinfeksi HIV akan mengakibatkan
aktivasi provirus juga. Aktivasi ini diawali dengan transkripsi gen struktural menjadi
mRNA kemudian ditranslasikan menjadi protein virus. Karena protein virus dibentuk
dalam sel hospes, maka membran plasma sel hospes akan disisipi oleh glikoprotein
virus yaitu gp 41 dan gp 120. RNA virus dan protein core kemudian akan membentuk
membran dan menggunakan membran plasma sel hospes yang telah dimodifikasi
dengan glikoprotein virus, membentuk selubung virus dalam proses yang dikenal
sebagai budding. Pada beberapa kasus aktivasi provirus HIV dan pembentukan
partikel virus baru dapat menyebabkan lisisnya sel yang terinfeksi.4

Gambar 3. Patogenesis HIV.


Virion terikat dengan dengan bagian luar sel dan bergabung dengan sel
kemudian protein inti dan dua benang RNA virus masuk ke sel. DNA doublestranded
(provirus) termigrasi ke inti sel melepas sampulnya berintegrasi dengan DNA sel .
Provirus selanjutnya menjadi (7A) laten. Proses dapat berlangsung perlahan (7B) atau
secara cepat sehingga terjadi lisis atau ruptur dari sel (7C).4

9
Pada saat limfosit yang terinfeksi HIV menjadi aktif, misalnya infeksi yang
berulang, maka terjadilah apoptosis dan lisis dari sel-sel host. Karena CD4+ limfosit
merupakan respon imun yang penting terhadap keadaan zat-zat patogen, maka apabila
jumlah CD4+ dibawah 200/mm3 rentan terhadap infeksi oportunis ataupun
keganasan. Pada permulaan infeksi, virus menyerang sel dendritik, dan terjadi
viremia, kemudian sel limfosit terseeded. Imun respons dari host terangsang, viremia
menghilang, dan 80% penderita mengalami infeksi asimtomatik, dan 20% mengalami
penyakit yang progresif. Pada penderita yang asimtomatik, proses berkisar 10 tahun,
kemudian dengan adanya infeksi oportunis, kematian terjadi dalam 5 tahun.5

Patogenesis HIV

Mekanisme penularan HIV dari ibu ke bayi

Penularan HIV dari ibu ke bayimemiliki resiko sebesar 15-35%. Terendah


dilaporkan di Eropa dan tertinggi di Afrika.Sebuah lembaga International
telahmengembangkan standard metodeperhitungan rerata angka penularan secara
vertical berdasarkan studi prenatal,prosedur pemantauan, criteria diagnosis

10
dandefinisi kasus. Hal-hal tersebut lebih mempengaruhi terjadinya penularan di
banding area geografi yang telah dilaporkan. Angka penularan kemungkinan lebih
mencerminkan faktor resiko dari ibu ke bayi pada beberapa kelompok dan dapat
berubah dengan waktu.1

A. Faktor virus

1. Karakteristik virus.
Penularan infeksi HIV dari ibu ke bayi dipengaruhi oleh banyak faktor.
Faktorutama yang penting adalah jumlah virus (viral load). Adanya faktor antigen
p24 secara konsisten mempunyai hubungan terhadap meningkatnya penularan
(meningkat 2-3 kali dibanding wanita tidak hamil ). Beberapa studi berdasarkan data
bayi yang terinfeksi dari ibunya menunjukkan tingginya jumlah kuman (viral load)
yang dihitung dengan teknik kultur kuantitatif, dan menganalisa plasma RNA dengan
polymerase chain reaction (PCR) atau berdasarkan nomer kode DNA, semuanya
berhubungan dengan tingginya penularan. Plasma jumlah virus seorang ibu dengan
HIV merupakan prediktor yang kuat sebagai sumber penularan. Peningkatan jumlah
penularan pada wanita dengan infeksi HIV primer muncul ketika plasma jumlah virus
yang aktif berada pada titik tertinggi (peak). Sedikitnya penularan terjadi pada plasma
HIV dengan viral load < 1000 copi/mL, tanpa memperhatikan apakah ibu tersebut
sedang atau belum mendapatkan ARV Zidovudine.1,6

2. Antibodi Neutralizing
Tingginya kadar antibody neutralizing pada loop V3 menunjukkan hubungan
menurunnya resiko penularan, tapi Tidak ada studi yang membandingkan dengan
kelompok control. Variabilitas ikatan antara peptide V3-loop dan antibodi V3, dimana
ikatan yang kuat terhadap antibody V3-loop akan bereaksi melawan epitop secara
luas sebagai proteksi melawan penularan.1,6

11
Karakteristik penularan dari Human Immunodeficiency Virus Type 1 (HIV-1)
adalah kemahiran “berpura-pura” bersifat homogen. Yang terpenting adalah mengerti
tentang mekanisme potensial proteksi penularan secara selektif, memberikan
informasi terhadap perkembangan vaksin HIV-1 dan penggunaan mekanisme
pertahanan kedepan dengan regimen antibody monoclonal. Sejak antibody dari ibu
melewati plasenta hingga masuk ke aliran darah janin, penularan infeksi HIV
perinatal memberikan kesempatan yang unik untuk mempelajari efek profilaksis yang
potensial dari an autologous neutralizing antibody (aNAB) yang dijumpai pada kedua
donor ibu dan bayinya. An autologous neutralizing antibody (aNAB) ibu memiliki
sifat pertahanan dan efek selektif pada uterus terutama pada 18 minggu pertama masa
kehamilan dan intrapartum, serta kedepan dapat menjadi kerangka pikiran untuk
pembuatan vaksin HIV dengan mengevaluasi antibody-mediator imun.6
3. Infektivitas virus
Perbedaan secara biologi dari retrovirus menghantar perbedaan pada
kemungkinan terjadinya penularan. Human Immunodeficiency virus type 2 (HIV-2)
jarang menyebabkan penularan dari ibu ke bayinya, lebih sering HIV-1. Pada studi
kecil mengatakan wanita dengan multipatner lebih dari 3 kecenderungan untuk
menularkan ke bayinya selam masa kehamilan lebih besar dibanding wanita yang
dengan satu pasangan terinfeksi HIV, ini terkait dengan potensi tertular oleh karena
peningkatan viral load pada vagina atau potensial jenis viral fetotropik dapatan7
Fenotipe, perbedaan strain pada replikasi in vitro, selular tropism dan induksi
sinsitium. Terdapat evidence bahwa strain sinsitium inducing meningkatkan virulensi.
Macrophagespecifik tropism telah diteliti pada beberapa strain, belum diketahui
secara pasti apakah lebih sering diketemukan pada sekresi cairan genital, air susu ibu
atau plasenta. 1,7

B. Faktor Bayi
1. Prematuritas

12
Beberapa pusat penelitian telah memaparkan tentang hubungan prematuritas
terhadap infeksi HIV. Sebagai contoh status HIV maternal menjembatani prematuritas
kehamilan. Ryder dan teman-teman pada tahun 1989 di Zaire, menggaris bawahi
tentang prematuritas sebesar 13% pada wanita + HIV dan 3% pada kelompok control.
Pengamatan tersebut tidak konsisten pada Negara berkembang, bayi yang lahir
premature lebih beresiko terinfeksi HIV dibanding bayi yang lahir dari ibu yang
terinfeksi HIV.7,8
2. Nutrisi Fetus
Terlepas dari status infeksi HIV, nutrisi prenatal yang buruk dapat
menyebabkan retardasi pertumbuhan janin dalam rahim atau intrauterine growth
retandation (IUGR) dengan perbandingan pertumbuhan yang tidak sesuai dengan
umur kehamilan. Semua akan menyebabkan menurunnya imunitas selular dengan
jumlah sel T yang rendah, respon proliferatif yang buruk, pertumbuhan thymus yang
terganggu, meningkatkan kecenderungan terserang infeksi, dan menetap selama 5
tahun masa pertumbuhan yang akan terganggu. Direkomendasikan untuk asupan
vitamin A, untuk mencegah perburukan gejala diare yang ada baik pada ibu maupun
bayinya.8

3. Fungsi Pencernaan
Fungsi pencernaan pada neonatus memegang peranan penting dalam
penularan HIV. Infeksi HIV diperkirakan masuk melalui pencernaan saat kelahiran,
oleh karena terpapar darah yang terinfeksi, sekresi vagina, cairan amnion dan air susu
ibu. sistem pencernaan bayi memiliki keasaman lambung yang rendah, aktifitas
enzim pencernaan yang rendah, produksi cairan mukosa yang rendah dan sedikit
sekresi dari immunoglobulin A (Ig A) yang merupakan sistem kekebalan pada
pencernaan untuk melawan kuman yang masuk. Pada infeksi sekunder akan terjadi
diare, pertumbuhan yang terganggu, dan menunjukkan perkembangan perjalanan
penyakitnya.7,8

4. Respon imun neonatus

13
Sistem kekebalan tubuh bayi yang baru lahir secara anatomi memiliki
defisiensi fungsional, belum terpapar oleh antigen dari luar dan sering mengalami
ketidakmampuan dalam mengkopi agen mayor infeksi. Merupakan perkembangan
immunologi termasuk dalam menghadapi berbagai virus seperti cytomegalovirus,
hepatitis B dan virus herpes simplek. Ketiga infeksi tersebut bersifat kronik, menjadi
karier dalam tubuh dan dapat menyebabkan penyakit neonatus yang fatal. Pada saat
sistem kekebalan tubuh neonatus belum matang, akan menyebabkan limfosit T tidak
berfungsi dengan baik terutama terhadap infeksi HIV, peranan antibody dan system
makrofag rendah. Sistem antibody pada janin bersifat dorman, digantikan oleh
system kekebalan tubuh dari Ig G ibu melalui transplasenta dan sekresi IgA dari air
susu ibu. Rendahnya kadar IgG dan IgA dari ibu dengan kehamilan cenderung
melahirkan premature danjuga antibody neutralizing yang rendah. Yang paling utama
adalah defek limfosit T sehingga berpengaruh pada fungsi nya sebagain produksi
sitokin. T-helper-1 (TH-1) berperan terhadap respon imun selular, bila terjadi
defisiensi akan terjadi pula defisiensi dari interferon (IFN-y) .7

C. Faktor ibu, kehamilan dan prosespersalinan.


1. Transmisi selama kehamilan
Infeksi transplasental telah dilaporkan dan tampaknya menjadi jalan utama
transmisi namun mekanisme yang pasti tetap belum diketahui. HIV telah secara
langsung diisolasi dari plasenta, cairan amnion dan produk awal konsepsi. Pasase
transplasenta HIV muncul pada 30% kehamilan yang dipengaruhi, dipertinggi
oleh jumlah limfosit T helper (kurang dari 400/mm3) atau kesakitan maternal yang
lanjut. Penentuan kejadian infeksi vertikal dikomplikasi oleh sulitnya membuat
diagnosis neonatal karena antobodi IgG maternal terhadap HIV secara pasif
melewati plasenta. Semua bayi lahir dengan ibu HIV antibodi positif akan
memiliki antibodi positif saat lahir. Antibodi maternal dapat tetap terdeteksi pada
sirkulasi bayi hingga 15 sampai 18 bulan.8

14
Sampai saat ini prediksi traSnsmisi transplasenta pada kasus-kasus
individual belum memungkinkan. Banyak faktor yang mempengaruhi transmisi.
Termasuk tingkat penyakit lanjut, perkembangan menjadi AIDS selama
kehamilan, infeksi aktif, hasil kultur positif, dan penurunan jumlah CD4+. Faktor-
faktor lain yang penting meningkatkan risiko transmisi maternal ke fetus
termasuk jumlah virus yang tinggi, virus yang bereplikasi dengan cepat dan
kondisi yang dapat mengganggu integritas plasenta seperti penyakit menular
seksual yang lain dan korioamnionitis. Walau banyak faktor terus dipelajari
sebagai penentu penting pada transmisi vertikal HIV prediktor terbaik untuk
risiko transmisi perinatal diantara wanita hamil dan keturunannya yang diobati
dengan ZDV adalah jumlah virus.8

2. Transmisi selama persalinan


Kebanyakan kejadian dari infeksi kongenital HIV timbul selama
periode intrapartum, mungkin berhubungan dengan terpaparnya bayi terhadap
darah ibu yang terinfeksi dan sekret serviks atau vagina, sebagaimana
mikrotransfusi darah ibu-anak muncul selama kontraksi uterus. Transmisi
intrapartum virus mendukung kenyataan bahwa 50-70% anak terinfeksi
memiliki tes virologi negatif pada saat lahir, menjadi positif pada saat usia 3
bulan. Ditunjukkan bahwa anak yang lahir pertama dari kembar dua berada
pada risiko lebih tinggi mengalami infeksi dibanding yang lahir kedua,
mungkin karena lebih lamanya paparan terhadap sekresi mukosa
servikovaginal. Peningkatan risiko transmisi telah digambarkan selama
persalinan yang memanjang, pecah ketuban yang lama, perdarahan plasenta
dan adanya cairan amnion yang mengandung darah.7,8

3. Transmisi setelah melahirakan (Air Susu Ibu)


HIV ditemukan pada air susu ibu dan menyusui telah dilaporkan
sebagai jalan infeksi pada perinatal lanjut. Infeksi HIV dari ibu ke bayi juga
dapat timbul melalui minum air susu ibu yang terkontaminasi. Transmisi HIV

15
selama menyususi dapat sebanyak sepertiga sampai duapertiga dari semua
transmisi HIV dan tambahan risiko dari menyusui untuk transmisi HIV telah
ditentukan bervariasi antara 14-26%. 1,8
Banyak faktor mungkin mempengaruhi transmisi virus melalui
menyusui. Imaturitas traktus gastrointestinal bayi baru lahir dapat
memungkinkan penetrasi mukosa intestinal oleh virus. Tapi transmisi juga
dapat muncul pada bayi yang memulai susu ibu jauh sesudah periode
perinatal. Pengenalan dini pada makanan lain dapat juga memegang peranan
dengan merusak intestinal.1,8

Pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi


Menurut WHO terdapat 4 (empat) upaya yang perlu untuk mencegah
terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi yang termasuk dalam prevention mother to
child transmission (PMTCT), meliputi9:
1. Mencegah terjadinya penularan HIVpada perempuan usia reproduksi
2. Mencegah kehamilan yang tidakdirencanakan pada ibu HIV positif
3. Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang
dikandungnya. Bentuk intervensi berupa:
 Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif
 Layanan konseling dan tes HIV secara sukarela (VCT)
 Pemberian obat antiretrovirus (ARV)
Untuk pencegahan transmisi vertikal dari ibu HIV positiv ke
bayi maka ibu hamil terinfeksi HIV harus mendapat pengobatan atau
profilaksis antiretrovirus (ARV). Tujuan pemberian ARV pada ibu
hamil, di samping untuk mengobati ibu, juga untuk mengurangi risiko
penularan perinatal kepada janin atau neonatus.19,30 Ternyata ibu
dengan jumlah virus sedikit di dalam plasma (<1000 salinan RNA/ml),
akan menularkan HIV ke bayi hanya 22%, sedangkan ibu dengan
jumlah muatan virus banyak menularkan infeksi HIV pada bayi

16
sebanyak 60%. Jumlah virus dalam plasma ibu masih merupakan
faktor prediktor bebas yang paling kuat terjadinya penularan
perinatal.18,31 Karena itu, semua wanita hamil yang terinfeksi HIV
harus diberi pengobatan antiretrovirus (ARV) untuk mengurangi
jumlah muatan virus9,10
Pemilihan antiretrovirus untuk ibu hamil terinfeksi HIV sama
dengan ibu yang tidak hamil. Yang harus diketahui dari ibu hamil
terinfeksi HIV adalah status penyakit HIV (beratnya penyakit AIDS
ditentukan berdasarkan hitung sel T CD4+, perkembangan infeksi
ditentukan berdasarkan jumlah muatan virus, antigen p24 atau
RNA/DNA HIV di dalam plasma), riwayat pengobatan antiretrovirus
saat ini dan sebelumnya, usia kehamilan, dan perawatan penunjang
yang diperlukan seperti perawatan psikiater, nutrisi, aktivitas seksual
harus memakai kondom, dan lain-lain. ARV cukup aman diberikan
kepada ibu hamil. Obat ini tidak bersifat teratogenik pada manusia,
dan tidak bersifat lebih toksik pada ibu hamil dibandingkan dengan ibu
tidak hamil. Konseling tentang HIV dan makanan bayi, serta
pemberian makanan bayi Persalinan yang aman.9,10

Stadium Bila tidak tersedia tes CD4 Bila tersedia tes CD4
klinis
menurut
WHO

1 Tidak diobati untuk kepentingan ibu Obati jika hitung sel CD 4


saat ini(rekomendasi tingkat A-III) < 200 sel/mm3
2 Tidak diobati (rekomendasi tingkat (rekomendasi tingkat A-
A-III III)
3 Obati (rekomendasi tingkat A-III) Obati jika hitung sel CD
4< 350 sel/mm3
(rekomendasi tingkat A-
III)

17
4 Obati (rekomendasi tingkat (A-III) Obati tanpa
memperhatikan hitung CD
4 (rekomendasi tingkat A-
III)
Rekomendasi untuk memulai Terapi ARV pada perempuaN
hamil menurut stadium klinis danketersediaan penanda imunologis
(menurut WHO 2006)

Jenis obat Dosis Saaat pemberian Cara pemberian


Untuk ibu 100 mg 5 kali/hari Masa gestasi Peroral
zidovidine Masa gestasi 14 14 minggu
minggu sampai sampai
menjelang Per oral menjelang
Melahirkan Per oral
melahirkan
Intravena
2 mg/kg Dilanjutkan Dilanjutkan
pada saat pada saat
melahirkan selama melahirkan
1 jam. selama 1 intravena
jam.
1mg/kg/jam
Dilanjutkan sampai Dilanjutkan
lahir Intravena sampai lahir
Untuk 2 mg/kgbb/dosis, 4 kali Dimulai pada Peroral
neonatus sehari usia 8 jam
Zidovudine sampai
(masa
gestasi >
35
minggu)

Zidovudine 2mg/kg/dosis,2 Dimulai pada Peroral


(masa kali/hari 2 minggu usia 8 jam
gestasi 30-pertama, sampai 6 minggu
35 selanjutnya
minggu) diberikan 2
mg/kg/dosis, 3
Zidovudine kali/hari Dimulai pada peroral
(masa usia 8 jam
gestasi < sampai 6 minggu
35 2mg/kg/dosis, 2

18
minggu) kali/hari 4 minggu
pertama,
selanjutnya
diberikan 2
mg/kg/dosis, 3
kali/hari

 Persalinan yang aman


Tujuan persalinan yang aman bagi ibu dengan HIV adalah7,8 :
Tidak terjadi penularan HIV :
o ke janin/bayi
o o ke tim penolong (medis dan non medis)
o ke pasien lainnya
Kondisi ibu baik sesudah melahirkan
Efektif dan efisien
Persalinan dengan seksio sesarea berencana (elective) sebelum saat
persalinan tiba merupakan pilihan pada Odha. Pada saat persalinan
pervaginam, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Bayi mungkin
juga terinfeksi karena menelan darah atau lendir jalan lahir tersebut (secara
tidak sengaja pada saat resusitasi). Beberapa hasil penelitian menyimpulkan
bahwa seksio sesarea akan mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi
sebesar 50-66% .
Apabila seksio sesarea tidak bisa dilaksanakan, maka dianjurkan
untuk tidak melakukan tindakan invasif yang memungkinkan perlukaan pada
bayi (pemakaian elektrode pada kepala janin, ekstraksi forseps, ekstraksi
vakum) dan perlukaan pada ibu (episiotomi).7,8
Sebagian besar penularan HIV dari ibu ke bayi terjadi pada saat
persalinan. Hal ini terjadi akibat 7,8,9:

19
o Tekanan pada plasenta meningkat menyebabkan terjadinya
sedikit percampuran antara darah ibu dan darah bayi.
o Lebih sering terjadi jika plasenta meradang atau terinfeksi.
o Bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir.
4. Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV
positif beserta bayi dan keluarganya.
Menentukan Status HIV Bayi.
Kelainan atau gejala yang muncul biasanya tampak pada umur 1 tahun (23 %)
sampai dengan 4 tahun (40 %). Beberapa gejala klinik yang muncul seperti BBLR,
infeksi saluran nafas berulang, PCP (Pneumocystis carinii Pneumonia), sinusitis,
sepsis, moniliasis berulang, hepatosplenomegali, febris yang tidak diketahui
penyebabnya, encefalopati (50%-90%) gejala ini terjadi sebelum obat anti Retrovirus
dipergunakan.1
Jika pada tes konfirmasi antibodi HIV positif, maka pemeriksaan HIV PCR
DNA pada bayi harus dilakukan. Jika HIV PCR DNA pada bayi positif, profilaksis
ARV harus dihentikan dan bayi segera dirujuk ke spesialis HIV pediatrik untuk
konfirmasi diagnosis dan pengobatan infeksi HIV dengan terapi kombinasi standar
antiretroviral. Bayi yang terinfeksi HIV juga harus menerima kemoprofilaksis
terhadap PCP dengan trimetoprim-sulfametoksazol (TMP) oral dimulai pada usia 4-6
minggu.1,4

Penegakan Diagnosis
1,4
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
1. Dugaan infeksi HIV, gejala
klinik, resiko penularan di daerah yang banyak ditemukan.
2. Tes serologi darah HIV

20
3. Pembuktian virus HIV dalam
darah, karena pada bayi masih terdapat antibodi HIV ibu yang menetap
sampai 18 bulan.

Klasifikasi Infeksi HIV Pada Anak Berdasarkan Kategori Klinis1


1. Kategori N (tanpa gejala)
Tidak terdapat tanda dan gejala klinis akibat infeksi HIV, atau hanya
terdapat satu gejala kategori A
2. Kategori A (gejala klinis ringan)
Terdapat dua atau lebih berikut tanpa gejala kategori B dan C
a) Limfadenopati (= 0,5 cm lebih dari satu tempat, bilateral dianggap 1
tempat)
b) Hepatomegali
c) Splenomegali
d) Dermatitis
e) Parotitis
f) Infeksi saluran napas atas, sinusitis, atau otitis media berulang atau
menetap
3. Kategori B (gejala klinis sedang)
Terdapat gejala klinis lain selain gejala kategori A atau C
a) g. Anemia (<8 g/dl), neutropenia (<1000/mm3), atau trombositopenia
(<100.000/mm3) menetap = 30 hari
b) Meningitis bacterial, pneumonia, atau sepsis (episode tunggal)
c) Kandidiasis orofarings menetap >2 bulan pada anak usia >6 bulan
d) Kardiomiopati
e) Infeksi sitomegalovirus dengan onset < usia 1 bulan
f) Diare berulang atau kronik
g) Hepatitis

21
h) Stomatitis herpes simpleks (HSV) berulang (>2 episode dalam
setahun)
i) Bronkitis, pneumonitis, atau esofagitis HSV dengan onset usia
<1tahun
j) Herpes zoster pada paling sedikit dua episode berbeda atau >1
dermatom
k) Leiomiosarkoma
l) Pneumonitis interstisial limfoid atau kompleks hyperplasia limfoid
paru
m) Nefropati
n) Nokardiosis
o) Demam>1 bulan
p) Toksoplasmosis dengan onset usia <1 bulan
q) Varisela diseminata (cacar air dengan komplikasi)
2. Kategori C (gejala klinis berat)
Semua anak yang memenuhi kriteria AIDS, kecuali untuk pneumonitis
interstisial limfoid yang masuk dalam kategori B

Tes Diagnostik Untuk Infeksi HIV Pada Bayi: 1,9

1. HIV Antibodi pada anak umur > 18 bulan dilakukan dengan metode
ELISA IgG anti HIV Ab, dapat ditransfer melalui plasenta pada Trimester
III. Bila hasil positif sebelum umur 18 bulan, mungkin antibodi dari
ibunya.
2. VIRUS : HIV PCR DNA dari darah perifer pada waktu lahir, dan umur 3-
4 bulan. Bila umur 4 bulan hasil negatif bayi bebas HIV, bila HIV PCV
RNA positif BIHA positif terkena HIV. Pengujian virologi pada awal
kelahiran dapat dipertimbangkan untuk bayi yang baru lahir beresiko
tinggi infeksi HIV, contohnya seperti bayi yang lahir dari ibu yang

22
terinfeksi HIV yang tidak menerima perawatan prenatal, ART prenatal,
atau yang memiliki viral load HIV> 1.000 copies / mL mendekati ke
waktu kelahiran. Sebanyak 30% -40% dari bayi yang terinfeksi HIV dapat
diidentifikasi dari usia 48 jam. Sampel darah dari tali pusar tidak boleh
digunakan untuk evaluasi diagnostik karena kontaminasi dengan darah
ibu. Definisi yang pasti telah diusulkan untuk membedakan didapatkannya
infeksi HIV selama periode intrauterin atau dari periode intrapartum. Bayi
yang memiliki tes virologi positif pada atau sebelum usia 48 jam dianggap
memiliki infeksi awal (yaitu, intrauterin), sedangkan bayi yang memiliki
tes virologi negatif selama minggu pertama kehidupan dan tes positif
berikutnya dianggap memiliki infeksi setelahnya (yaitu, intrapartum).9
3. CD4 count rendah (normal 2500-3500/ml pada anak, Dewasa 700-
1000/ml).

Tabel Klasifikasi Infeksi HIV Pada Anak Menurut Kategori Status


Imunosupresi dan rekomendasi pengobatan antiretrovirus pada anak

4. P24 Antigen test sudah kurang dipakai untuk diagnostik, karena dipandang
kurang sensitif terutama untuk bayi. Knuchel dkk membandingkan
sensitivitas tes tersebut antara DBS ( dried blood spot ) dan plasma.
Mereka menemukan bahwa tes tersebut mempunyai spesifisitas 100% dan
tidak ada perbedaan hasil secara kuantitatif antara DBS dan plasma.
Mereka juga membandingkan hasil tes antigen p24 dengan viral load HIV
dan menemukan korelasi yang positif, tetapi koefisien korelasi tersebut
rendah (r = 0,67). Sensitivitas tes HIV p24 dibandingkan dengan tes viral

23
load HIV adalah kurang lebih 90%. Hal ini berarti bahwa tes untuk
menskrining bayi yang terpajan HIV akan menghasilkan hampir 10% bayi
yang salah didiagnosis sebagai tidak terinfeksi. Penggunaan PCR HIV
DNA-RNA memiliki sensitiitas 100% pada plasma.

Manajemen Bayi dengan Ibu HIV

Manajemen Umum9,10
1. Bayi yang dilahirkan ibu dengan HIV positif maka :
a. Hormati kerahasiaan ibu dan keluarganya, dan lakukan konseling
pada keluarga;
b. Rawat bayi seperti bayi yang lain, dan perhatian khususnya pada
pencegahan infeksi;
c. Bayi tetap diberi imunisasi rutin, ada senter yang tidak langsung
memberi BCG;
d. Bila terdapat tanda klinis defisiensi imun yang berat, jangan diberi
vaksin hidup (BCG, OPV, Campak, MMR). Pada waktu pulang,
periksa DL, hitung Lymphosit T, serologi anti HIV, PCR DNA/RNA
HIV.
2. Beri dukungan mental pada orang tuanya
3. Anjurkan suaminya memakai kondom, untuk pencegahan penularan
infeksi

Manajemen Khusus 9,10

Bayi dengan infeksi HIV mempunyai jumlah virus yang tinggi dan
akan menurun seiring dengan meningkatnya imunologinya. Saran dari
beberapa senter di AS, terapi pada satu tahun pertama untuk anak yang
dicurigai HIV, diharapkan tumbuh imunologi secara normal, karena bila terapi
menunggu umur lebih dari satu tahun berdasarkan jumlah CD4+ dan Load

24
Virus maka hal ini dikatakan kurang spesifik. Pengobatan harus dimulai pada
bayi yang menunjukkan gejala simtomatis atau yang menunjukkan jumlah sel
CD4+ yang rendah, tanpa melihat umur.2

Pemberian Minum
Penularan HIV-1 dapat terjadi dari konsumsi susu ASI dari
perempuan yang terinfeksi HIV. Di Amerika Serikat dan Kanada, di mana
formula bayi aman dan tersedia, seorang yang ibu terinfeksi harus
disarankan untuk tidak menyusui bahkan jika dia menerima ART (terapi
anti Retrovirus). Menghindari secara total untuk menyusui (dan susu
sumbangan) oleh perempuan yang terinfeksi HIV tetap menjadi satu-
satunya mekanisme dimana pencegahan penularan HIV melalui ASI dapat
dipastikan.9,10
Salah satu rekomendasi Konsesus Genewa pada Oktober 2006
adalah “Ibu terinfeksi HIV dianjurkan menyusui eksklusif selama 6 bulan
kecuali jika pengganti ASI memenuhi AFASS sebelumnya, Bila pengganti
ASI mencapai AFASS, dianjurkan untuk tidak memberikan ASI” yang
mana hal ini menjadi Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dan
ibu ke bayi.9,10
AFASS merupakan kepanjangan dari:
A : ACCEPTABLE : mudah diterima
F : FEASIBLE : mudah dilakukan
A : AFFORDABLE : terjangkau
S : SUSTAINABLE : berkelanjutan
S : SAFE : aman penggunaannya
Mudah diterima berarti, tidak ada hambatan sosial budaya bagi ibu
untuk memberikan susu formula pada bayinya. Mudah dilakukan Ibu dan
keluarga, mereka mempunyai cukup waktu, pengetahuan, dan ketrampilan
yang memadai untuk menyiapkan dan memberikan susu formula kepada

25
bayi . Harganya terjangkau Ibu dan keluarga sehingga mereka mampu
membeli susu formula. Susu formula harus diberikan setiap hari dan
malam selama usia bayi dan diberikan dalam bentuk segar, serta suplai
dan distribusi susu formula dijamin keberadaannya artinya keberadaan
susu formula tersebut berkelanjutan. Juga tidak kalah penting Susu
formula harus disimpan secara benar, higienis dan kadar nutrisi cukup,
disuapkan dengan tangan dan peralatan bersih, serta tidak berdampak
peningkatan penggunaan susu formula pada masyarakat (SPILL OVER)
yang berarti Save atau Aman.9,10
Ibu dengan HIV positif dihadapkan pada dua pilihan sulit, menyusui
dengan belum mengerti tehnik menyusuinya sehingga ternjadi MTCT
(mother-to-child transmission), tidak menyusui dan tidak AFASS sehingga
bayi menjadi kurang gizi, diare, atau pneumonia. Konseling pemberian
makan bayi pada ibu HIV dapat membantu ibu HIV menentukan pilihan
yang terbaik untuk bayinya. 9,10

Tabel Faktor Risiko Potensial untuk Transmisi HIV-1 melalui ASI

Kategori Faktor risiko


Durasi menyusui Durasi yang lebih lama
Karakteristik Ibu Umur muda
Paritas tinggi
CD4+ yang rendah
Viral load darah perifer yang tinggi
Abnormalitas payudara
(abses payudara, mastitis, nipple lesions)
Karakteristik bayi Candidiasis oral
Karakteristik ASI /human Viral load yang tinggi
milk Konsentrasi substansi antiviral yang rendah

26
(contoh: lactoferin, lysozyme, SLPI, epidermal
growth factor)
Konsentrasi limfosit T spesifik-virus sitotoksik
Sekkresi IgA yang rendah
IgM yang rendah
Mixed breastfeeding
ASI eksklusif
Dikarenakan penularan HIV-1 melalui proses menyusui selalu ada
terjadi, dan karena menghindari proses menyusui adalah sulit dilakukan
dalam banyak situasi tertentu, maka penting untuk mengidentifikasi faktor
risiko guna merancang rencana intervensi untuk mencegah transmisi
sesuai dengan faktor risiko.9,10
Lakukan konseling pada ibu tentang pilihan pemberian minum
kepada bayinya.2
a. Hargai dan dukunglah apapun pilihan ibu. Ijinkan ibu untuk membuat
pernyataan sendiri tentang pilihan yang terbaik untuk bayinya.
b. Terangkan kepada ibu bahwa menyusui dapat berisiko menularkan
infeksi HIV. Meskipun demikian, pemberian susu formula dapat
meningkatkan risiko kesakitan dan kematian, khususnya bila
pemberian susu formula tidak diberikan secara aman karena
keterbatasan fasilitas air untuk mempersiapkan atau karena tidak
terjamin ketersediaannya oleh keluarga.
c. Terangkan pada Ibu tentang untung dan rugi pilihan cara pemberian
minum susu formula. Susu dapat diberikan bila mudah didapat, dapat
dijaga kebersihannya dan selalu dapat tersedia.
d. Dalam beberapa situasi, kemungkinan lain adalah untung dan rugi
pilihan cara pemberian minum ASI :
- Memeras ASI dan menghangatkannya waktu akan diberikan;

27
- Pemberian ASI oleh ibu susuan (”Wet Nursing”) yang jelas HIV
negatif;
- Memberi ASI peras dari Ibu dengan HIV negatif.
e. Bantu ibu menilai kondisinya dan putuskan mana pilihan yang terbaik,
dan dukunglah pilihannya.
- Bila ibu memilih untuk memberikan susu formula atau menyusui,
berikan petunjuk khusus (lihat bawah). Untuk Pemberian susu
formula :
 Ajari ibu cara mempersiapkan dan memberikan susu formula
dengan menggunakan salah satu alternatif cara pemberian
minum.
 Anjurkan ibu untuk memberi susu formula 8 kali sehari, dan
beri lagi apabila bayi menginginkan.
 Beri ibu petunjuk secara tertulis cara mempersiapkan susu
formula.
 Jelaskan mengenai risiko memberi susu formula dan cara
menghindarinya.
- ASI Eksklusif dapat segera dihentikan bila susu formula sudah
dapat disediakan. Hentikan ASI pada saat memberikan susu
formula;
- Rekomendasi yang biasa diberikan adalah memberikan ASI
eksklusif selama 6 bulan, kemudian dilanjutkan ASI ditambah
makanan padat setelah umur 6 bulan.
- Bayi akan diare apabila tangan ibu, air atau alat-alat yang
digunakan tidak bersih dan steril, atau bila susu yang disediakan
terlalu lama tidak diminumkan;
- Bayi tidak akan tumbuh baik apabila :
 Jumlah tiap kali minum terlalu sedikit;

28
 Frekuensi pemberiannya terlalu sedikit;
 Susu formula terlalu encer;
 Bayi mengalami diare.
f. Nasihati ibu untuk mengamati apakah terdapat tanda bahaya pada
bayinya, seperti :
- Minum kurang dari 6 kali dalam sehari atau minum hanya sedikit;
- Diare;
- Berat badan sulit naik.
g. Nasihati ibu untuk melakukan kunjungan tindak lanjut :
- Kunjungan rutin untuk memonitor pertumbuhan;
- Memberi dukungan cara-cara menyiapkan formula yang aman;
- Nasihati ibu untuk membawa bayinya bila sewaktu-waktu
ditemukan tanda bahaya
h. Apapun pilihan ibu, berilah petunjuk khusus :
- Apabila memberikan susu formula, jelaskan bahwa selama 2 tahun
ibu harus menyediakannya termasuk makanan pendamping ASI;
- Bila tidak dapat menyediakan susu formula, sebagai alternatif
diberikan ASI secara eklusif dan segera dihentikan setelah tersedia
susu formula;
- Semua bayi yang mendapatkan susu formula, perlu dilakukan
tindak lanjut dan beri dukungan kepada ibu cara menyediakan susu
formula dengan benar.
- Jangan memberikan minuman kombinasi (misal selang-seling
antara susu hewani, bubur buatan, susu formula, disamping
pemberian ASI), karena risiko terjadinya infeksi lebih tinggi dari
pada bayi yang mendapatkan ASI eksklusif.

Tatalaksana Di Ruang Perawatan Dan Setelah Pulang

29
Pemeriksaan darah PCR DNA/RNA dilakukan pada umur 1, 2, 4, 6 dan 18
bulan. Diagnosis HIV ditegakkan apabila pemeriksaan PCR DNA/RNA HIV
POSITIP dua kali berturut selang satu bulan, bila keadaan demikian ditemukan, mulai
diberikan pengobatan Antiretrovirus. Koordinasi petugas Kesehatan Rumah Sakit
dengan petugas setempat, karena bayi-bayi tersebut rawan untuk terjadinya infeksi.10

a. Setelah lahir hari 1


1.) Tidak diberi ASI, berikan susu formula biasa.
2.) Pengobatan profilaksis
(a.) Bila ibu mendapat pengobatan antiretrovirus
(ARV) semasa hamil dan intrapartum, AZT diberikan untuk bayi mulai
usia 12 jam selama 6 minggu.
(b.) Bila ibu mendapat pengobatan ARV intrapartum
saja, atau tidak mendapat ARV, selain AZT untuk bayi diberi juga
nevirapin (NVP) dosis tunggal dalam masa usia 48-72 jam.
(c.) Dosis ARV untuk bayi sesuaikan dengan Tabel 2.
(d.) Lapor tim BIHA IKA

Tabel Dosis obat Antiretrovirus

30
Menurut laporan studi yang dilakukan Connor dkk, pada wanita hamil
dengan penyakit HIV bergejala ringan dan tidak ada pengobatan sebelumnya
dengan obat antiretroviral selama kehamilan, pemberian obat yang terdiri dari
AZT yang diberikan ante partum dan intra partum pada ibu dan bayi baru
lahir selama enam minggu mengurangi risiko penularan HIV ibu-bayi dengan
sekitar dua pertiga.10

b. Sebelum bayi dipulangkan


1.) Pemeriksaan laboratorium darah tepi lengkap (Hb,
leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit)
2.) Imunisasi rutin kecuali BCG, bila terdapat tanda klinis
defisiensi imun berat tidak diberikan vaksin polio hidup

c. Usia = 4 minggu

31
1.) Pemeriksaan laboratorium
(a.) Enzim fungsi hati : SGOT/SGPT
(b.) PCR DNA/RNA HIV pertama, bila hasil positif
langsung konfirmasi dengan PCR RNA
2.) Profilaksis AZT dihentikan setelah pemberian 6 minggu
bila hasil PCR DNA HIV negatif.
3.) Bila PCR RNA positif berarti infeksi HIV, diberi terapi
ZDV, 3TC dan NVP
4.) Pengobatan profilaksis Pneumocytis carinii dengan
kotrimoksazol diberikan setelah usia 5 minggu sampai dinyatakan infeksi HIV
(-). Dosis lihat tabel
5.) Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun
berat tidak diberi vaksin polio hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA

d. Usia 2-4 bulan


1.) Pemeriksaan fisis 1 x per bulan
(a.) Keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan organ
sistemik, tumbuh kembang
(b.) Bila ada kelainan klinis infeksi HIV, rujuk ke Tim
BIHA
(c.) Pemeriksaan laboratorium sesuai klinis
2.) Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun
berat tidak diberi vaksin hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA.

e. Usia = 4 bulan
1.) Pemeriksaan laboratorium
PCR DNA kedua bila sebelumnya PCR DNA negatif. Bila negatif berarti
tidak terinfeksi HIV, bila positif, langsung dikonfirmasi dengan PCR RNA.

32
Bila PCR RNA konfirmasi positif, berarti terinfeksi HIV, diberikan terapi
AZT, 3TC dan NVP. Pemeriksaan lain sesuai indikasi
2.) Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun
berat tidak diberi vaksin polio hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA

f. Usia 6 bulan
1.) Pemeriksaan fisis
(a.) Keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan organ
sistemik, tumbuh kembang
(b.) Bila ada kelainan klinis, rujuk ke Tim BIHA
2.) Pemeriksaan laboratorium
(a.) Darah tepi : Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis
leukosit
(b.) Faal hati : SGOT/SGPT
(c.) PCR RNA HIV untuk konfirmasi bila pemeriksaan
PCR RNA sebelumnya negatif
3.) Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun
berat tidak diberi vaksin polio hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA
4.) Bila sebelumnya tidak dilakukan pemeriksaan PCR
RNA, periksa serologi HIV dengan 3 reagen yang berbeda.
5.) Bila hasil serologi HIV positif, diulang 1 bulan
kemudian untuk konfirmasi. Bila keduanya negatif, maka tidak terinfeksi HIV
6.) Profilaksi kotrimoksasol dihentikan bila 2 kali
pemeriksaan PCR negatif, bila salah satu hasil PCR positif, profilaksis
diberikan sampai usia 12 bulan

g. Usia 12 bulan

33
1.) Pemeriksaan fisis
(a.) Keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan organ
sistematik, tumbuh kembang
(b.) Bila ada kelainan klinis, rujuk ke Tim BIHA
2.) Pemeriksaan laboratorium
(a.) Darah tepi : Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis
leukosit
(b.) Serologi antiHIV
3.) Bila serologi antiHIV (-) dan klinis baik: dapat dianggap
bukan infeksi HIV. Rencana pemeriksaan serologi anti HIV umur 18 bulan
untuk konfirmasi.
4.) Bila serologi HIV (+) dan klinis baik, ulangi serologi
pada usia 18 bulan
5.) Bila serologi HIV (+) dan terdapat kelainan klinis, rujuk
ke Tim BIHA untuk evaluasi.
6.) Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun
berat tidak diberi vaksin polio hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA.

h. Usia 18 bulan
1.) Pemeriksaan fisis
(a.) Keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan organ
sistematik, tumbuh kembang
(b.) Bila ada kelainan klinis, rujuk ke Tim BIHA
2.) Pemeriksaan laboratorium
(a.) Darah tepi : Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis
leukosit
(b.) Serologi anti HIV
3.) Serologi antiHIV (-) : konfirmasi bukan infeksi HIV

34
4.) Serologi antiHIV (+) : dianggap infeksi HIV, rujuk ke
Tim BIHA untuk pengobatan ARV
5.) Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun
berat tidak diberi vaksin polio hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA.

Algoritma uji HIV berdasarkan PCR DNA pada bayi dari ibu HIV+.

Terapi Anti Retrovirus


Tanpa pemberian Antiretrovirus, 25% bayi dengan ibu HIV positif akan
tertular sebelum dilahirkan atau pada waktu lahir, dan 15% tertular melalui ASI :10
a. Tentukan apakah ibu sedang mendapat pengobatan Antiretrovirus untuk
HIV, atau mendapatkan pengobatan antiretroviral untuk mencegah
transmisi dari ibu ke bayinya. Tujuan pemberian Antiretroviral terapi

35
adalah untuk menekan HIV viral load sampai tidak terdeteksi dan
mempertahankan jumlah CD4+ sel sampai mencapai lebih dari 25%.
b. Kelola bayi dan ibu sesuai dengan protokol dan kebijakan yang ada,
tujuannya untuk Profilaksis :10
- Bila ibu sudah mendapat ARV(Antiretrovirus) atau Zidovudine
(AZT) 4 minggu sebelum melahirkan, maka setelah lahir bayi
diberi AZT 2 mg/kg berat badan per oral tiap 6 jam selama 6
minggu, dimulai sejak bayi umur 12 jam. Hal ini dapat mengurangi
resiko terjadinya HIV dari 25% menjadi 8%.
- Bila ibu sudah mendapat Nevirapine (NVP) dosis tunggal selama
proses persalinan dan bayi masih berumur kurang dari 3 hari,
segera beri bayi Nevirapine dalam suspensi 2 mg/kg berat badan
secara oral masa usia 48-72 jam dosis tunggal.
- Untuk mencegah PCP, berikan TMP 2,5 mg/kgBB 2x sehari,
pemberian 3 kali seminggu, diberikan sejak bayi umur 6 minggu
sampai diagnosis HIV dapat disangkal, karena peak onset PCP
adalah pada umur 3-9 bulan.
- Jadwalkan pemeriksaan tindak lanjut dalam 2 minggu untuk
menilai masalah pemberian minum dan pertumbuhan bayi (lihat
Pemeriksaan Tindak Lanjut).

Indikasi pengobatan antiretrovirus pada anak: 9.10


1.) Diagnosis infeksi HIV (+)
2.) Gejala klinis kategori A, B, C
3.) Imunosupresi kategori 2 atau 3
4.) Semua bayi dengan diagnosis HIV (+) usia <12 bulan
5.) Usia = 1 tahun tanpa gejala klinis (asimtomatik) dan
status imun normal
a) opsi 1) beri terapi antiretrovirus

36
b) opsi 2) terapi antiretrovirus bila risiko progresivitas
klinis tinggi, bila risiko progresivitas rendah lebih baik antiretrovirus
ditunda sambil memonitor status klinis, imunitas, dan virology untuk
melihat perubahan risiko progresivitas klinis

Faktor yang harus dipertimbangkan untuk memulai terapi ARV


Pada anak dengan diagnosis infeksi HIV asimtomatik dan status imun normal harus
dipertimbangkan :9,10
1.) Jumlah kopi RNA HIV tinggi atau
meningkat
2.) Jumlah atau rasio CD4 cepat menurun
3.) Perkembangan gejala klinis cepat
Rekomendasi utama antiretrovirus inisial pada anak
1.) Satu inhibitor protease sangat aktif
nelfinavir (NFV, Viracept®), atau ritonavir (RTV,Novir®) + dua NRTI
2.) NNRTI efavirenz (EFV, Sustiva TM) + dua
NRTI, untuk anak > 3 tahun
3.) Dua NRTI + Nevirapin (NVP)

Pemberian Profilaksis Pneumocystis Carinii Pneumonia

Pneumocystis jiroveci pneumonia (PCP) (dulu disebut Carinii) merupakan


infeksi oportunistik serius yang paling sering terjadi pada anak dengan angka
kematian yang sangat tinggi, dan sering dipakai sebagai indikator terjadinya infeksi
perinatal HIV. PCP paling banyak terjadi pada bayai usia 3-6 bulan. PCP pada anak
yang terinfeksi HIV dapat terjadi pada usia di bawah 1 tahun, dan tidak tergantung
dari hasil hitung sel T CD4+ (tidak seperti kasus HIV pada orang dewasa). Profilaksis
terhadap PCP dimulai sesudah selesai pemberian profilaksis zidovudine selama 6
minggu. Profilaksis ini tidak disarankan pada bayi yang berusia kurang dari 6

37
minggu, karena penyakit ini sangat jarang terjadi pada neonatus.Profilaksis dapat
dihentikan bila hasil tes PCR DNA HIV negatif dua kali (satu sampel pada usia 1
bulan dan yang lain pada usia 4 bulan). Bila ternyata bayi terinfeksi HIV, maka
profilaksis harus diteruskan sampai bayi berusia 12 bulan dan pemberiannya tidak
bergantung pada jumlah sel limfosit CD4+. Sesudah bayi berusia 12 bulan profilaksis
tergantung dari jumlah limfosit CD4+ atau dapat diteruskan selama anak menderita
HIV.9,10
Obat yang digunakan untuk profilaksis adalah trimethoprim-
sulfamethoxazole. Efek samping trimetoprim-sulfametoksazol dapat memperberat
anemia yang disebabkan oleh zidovudine dan juga dapat mengganggu metabolisme
bilirubin yang belum matang pada bayi baru lahir. Sebagai alternatif dapat digunakan
dapsonatau atovakuon (Mepron). Untuk mendeteksi efek samping, maka harus
dilakukan pemeriksaan darah lengkap sebelum memberikan profilaksis, selanjutnya
pemeriksaan laboratorium dilakukan setiap bulan. 9,10

38
DAFTAR PUSTAKA

1. CDC, 2007. Mother-to-Child (Perinatal) HIV Transmission and Prevention.


In English.

2. Depkes RI. 2008. Modul Pelatihan Pencegahan Penularan dari Ibu ke BayI
3. Depkes RI. In: Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral, dengan panduan tatalaksana
klinis infeksi HIV pada orang dewasa dan remaja, 2009. ed II
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter anak
Indonesia. Jilid 2. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2010; hal.
241-57
5. Indarso, Fatimah, 2006. Penatalaksanaan Bayi Baru Lahir dari Ibu yang
Bermasalah. FK UNAIR. Surabaya.
6. Pitkin, Joan dkk. 2003. Obstetrics and Gynaecology.Ilustration Colour
Text.CHURCHILL LIVINGSTONE.
7. Ruth E. Dickover, Eileen M., et al. Perinatal Transmission of Major, Minor,
and Multiple Maternal Human Immunodeficiency Virus Type 1 Variants In
Utero and Intrapartum. Journal of Virology, 2001;75(5):2194-203
8. Rajesh Ramakrishnan, Roshni Mehta, et al. Characterization of HIV-1
envelope gp41 genetic diversity and functional domains following perinatal
transmission. Journal of Retrovirology, 2006;3:42
9. WHO. In: Antiretroviral Drugs for Treating Pregnant Women and Preventing
HIV Infection in Infants, Rekomendations for a public health approach, 2010

39
10. WHO. In: HIV AND INFANT FEEDING, Principles and recommendations for infant
feeding in the context of HIV and a summary of evidence,2010

40

Anda mungkin juga menyukai