Anda di halaman 1dari 19

RISALAH

ISRA’ MI’RAJ

MUHAMMAD IQBAL JALIL


RISALAH
ISRA’ MI’RAJ
RISALAH ISRA’ MI’RAJ
Oleh : Muhammad Iqbal Jalil

Israk merupakan perjalanan agung yang dialami oleh


Rasulullah Saw dari Mesjidil Haram ke Mesjidil Aqsha, sedangkan
Mikraj merupakan perjalanan dari Mesjidil Aqsha melewati
seluruh lapisan langit hingga sampai ke Sidratul Muntaha.
Peristiwa Israk diabadikan oleh Allah dalam Surat Al-Isra' :

‫حرَامِ ِإلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى‬


َ ْ‫سُبْحَانَ الَّذِي َأ ْسرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ ال‬
ُ‫الَّذِي بَارَكْنَا حَ ْولَهُ لُِنرِيَ ُه مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِي‬
"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada
suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah
Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya
sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia
adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS Al-Isra':
1)

RISALAH ISRA’ MI’RAJ - 1


A. Maqam Ubudiyyah

Para Ulama sepakat bahwa kata ’abdi (hamba) dalam


ayat ini adalah Nabi Muhammad Saw. Dipanggilnya Nabi dalam
ayat ini dengan panggilan hamba menjadi isyarat akan tingginya
sifat ‘ubudiyyah (penghambaan diri) ketika hal itu ditujukan
kepada Allah SWT. Dan tidak ada sifat lain bagi seorang mukmin
yang lebih sempurna dan lebih mulia dibandingkan sifat hamba.
Maka karena itulah Allah selalu memanggil Nabi dengan
panggilan hamba pada maqam mulia seperti ayat tentang wahyu
dan dakwah. Dalam konteks Wahyu, Allah berfirman:

‫فَأَوْحَى ِإلَى عَبْدِ ِه مَا أَوْحَى‬


“Lalu disampaikannya wahyu kepada hamba-Nya (Muhammad)
apa yang telah diwahyukan Allah.” (Q.S. an-Najm: 10).

Dan dalam maqam dakwah, Allah ta’ala berfirman,

ُ‫وَأَنََّهُ لَمََّا قَامَ عَبْدُ اهللِ يَدْعُوْه‬


“Dan sesungguhnya ketika hamba Allah (Muhammad) berdiri
menyembah-Nya (melaksanakan shalat).” (Q.S. al-Jinn: 19)

Sifat ‘abdi ini menjadi sifat yang paling mulia dikarenakan


lawan dari sifat ‘ubudiyyah (penghambaan) adalah sifat
uluhiyyah (ketuhanan). Ini bermakna seseorang baru benar-
benar menuhankan Allah ketika ia sadar bahwa ia merupakan
hamba Allah. Semakin besar bentuk penghambaan diri kepada

RISALAH ISRA’ MI’RAJ - 2


Allah maka semakin besar pula bentuk pengagungannya
terhadap kebesaran Allah. Inilah makna dari ungkapan:

‫من عرف نفسه عرف ربه‬


“Barangsiapa yang mengenal dirinya, Ia mengenal Tuhannya”.

ِ‫ مَعْنَاهُ مَنْ َعرَفَ نَفْسَهُ بِالضَّعْفِ وَالِافْتِقَارِ ِإلَى اللَّه‬:ِ‫قَالَ النووي فِي فَتَاوِيه‬
‫وَالْعُبُودِيَّةِ لَهُ َعرَفَ رَبَّهُ بِالْقُوَّةِ وَالرُّبُوبِيَّةِ وَالْكَمَالِ الْمُطْلَقِ وَالصِّفَاتِ الْعُلَى‬
“Imam Nawawi menyampaikan dalam Fatawinya bahwa maksud
dari ungkapan itu adalah barangsiapa yang mengenal dirinya
sebagai makhluk yang lemah, berhajat kepada Allah serta
memperhambakan diri kepadanya, maka ia akan mengenal
Tuhannya sebagai zat yang kuasa, yang berhak disembah,
sempurna dalam segala hal dan memiliki segala sifat yang
tinggi.”

Dan melihat kepada peristiwa yang dialami oleh


Rasulullah Saw sebelum terjadinya Israk Mikraj juga dapat
dipahami bahwa salah satu sebab Rasulullah Saw dimuliakan
oleh Allah lewat perjalanan Israk dan Mikraj adalah adalah beliau
begitu sempurna merendah diri sebagai bentuk penghambaan
kepada Allah tatkala menghadapi ujian yang bertubi-tubi.

RISALAH ISRA’ MI’RAJ - 3


Sebagaimana dimaklumi bahwa setelah wafat Isteri
tercinta Siti Khadijah dan meninggal Pamannya Abu Thalib,
tindakan kaum Musyrikin Mekkah dalam menzalimi Rasulullah
tak ada lagi yang menghalangi. Dalam kondisi tertekan,
Rasulullah Saw berinisiatif untuk hijrah ke Thaif dengan maksud
mencari perlindungan dan menghindari kezaliman Kaum
Musyrikin Mekkah. Namun bukannya perlindungan yang beliau
dapatkan, Rasulullah Saw justeru dihinakan dengan diutus anak-
anak dan orang gila untuk melempari beliau. Dalam kondisi yang
tidak berdaya Rasulullah Saw mengadu kepada Allah:

‫ يا‬، ‫ وهواين على الناس‬، ‫ وقلة حيليت‬، ‫اللهم إىن أشكو إليك ضعف قويت‬
‫ إىل من تكلين ؟إىل عدو‬، ‫ وأنت ريب‬، ‫ أنت رب املستضعفني‬، ‫أرحم الرامحني‬
‫ أم إىل غريب ملكته أمري ؟ إن مل يكن بك غضب عليّ فال أبايل‬، ‫يتجهمين‬
‫ أعوذ بنور وجهك الذي أشرقت له الظلمات‬، ‫ ولكن عافيتك هي أوسع يل‬،
‫ أو تُحل يب‬، ‫ من أن تُنزل يب غضبك‬، ‫ وصلح عليه أمر الدنيا واآلخرة‬،
.‫ وال حول وال قوة إال بك‬، ‫ لك العُتىب حىت ترضى‬، ‫سُخْطك‬
"Ya Allah, sesungguhnya aku adukan kepada-Mu kelemahan
diriku, sedikitnya usahaku, dan kehinaanku di hadapan manusia.
Wahai Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Engkaulah
Rabb orang-orang lemah, dan Engkaulah Rabbku. Kepada
siapakah engkau serahkan aku? Kepada musuh yang bermuka
masam kepadaku, atau kepada orang asing yang Engkau berikan

RISALAH ISRA’ MI’RAJ - 4


kepadanya urusanku? Selama Engkau tidak murka kepadaku
maka aku tidak akan merisaukanku. Keselamatan dari-Mu terasa
luas bagiku. Aku berlindung dengan cahaya zat-Mu yang telah
menerangi kegelapan, memperbaiki urusan dunia dan akhirat,
dari turunnya murka-Mu atas diriku, atau kebencian-Mu
menimpaku. Hanya milik-Mu keridhaan sehingga Engkau
meridhai. Tiada usaha dan kekuatan kecuali dengan-Mu."

Dalam situasi itulah Jibril datang membawa pesan dari


Allah swt kepada Rasulullah seraya berkata: “Sesungguhnya
Allah menyuruhku mengikuti permintaanmu terhadap kaum
yang telah memperlakukanmu”. Rasulullah saw menjawab:

‫اللهم اهد قومي فإهنم اليعلمون‬


"Ya Allah tunjukilah kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak
mengetahui”

Dengan sikap tawadhu’ seraya mengadu nasibnya kepada


Allah, merasakan diri sebagai makhluk yang lemah dan tidak
berdaya tanpa pertolongan Allah, serta sikap kelembutan kepada
kaum yang menzaliminya, Rasulullah Saw tidak lama kemudian
dimuliakan oleh Allah lewat Israk dan Mikraj. Ini menjadi
pelajaran bahwa seseorang yang ingin dimuliakan oleh Allah
harus benar-benar menunjukkan sikap penghambaan diri kepada
Allah, bukan hamba kepada harta, tahta atau wanita. Sikap
penghambaan diri kepada Allah dibuktikan dengan
mengutamakan perintah Allah di atas segalanya.

RISALAH ISRA’ MI’RAJ - 5


B. Dengan Ruh dan Jasad

Para Ulama sepakat bahwa peristiwa Israk dan Mikraj


terjadi setelah bi'tsah, yaitu setelah diangkatnya Nabi Saw
sebagai Nabi dan Rasul. Hanya saja, ada perbedaan pendapat
mengenai waktu yang pasti kapan peristiwa itu terjadi. Ada yang
mengatakan satu tahun sebelum Hijrah dan ada juga yang
berpendapat 5 tahun sebelum Hijrah. Menurut pendapat yang
masyhur peristiwa Israk terjadi pada bulan Rajab, namun ada
pendapat lain yang menyatakan terjadi pada bulan Ramadhan
dan bulan Rabiul Awwal. Peristiwa Israk Mikraj terjadi pada
malam Senin. Ini menunjukkan hari Senin memiliki keistimewaan
tersendiri karena menjadi hari lahirnya Nabi, hari wafatnya Nabi,
hari diangkatnya sebagai Nabi dan Rasul (bi’tsah) dan juga hari
terjadinya peristiwa Israk dan Mikraj.

Para Ulama juga sepakat bahwa peristiwa Israk Mikraj


yang dialami oleh Rasulullah Saw adalah dengan ruh dan jasad
secara bersamaan dalam kondisi sadar (terjaga) bukan dalam
keadaan tidur. Dalilnya adalah zahir dari ayat Alquran dan hadist
Nabi. Di samping itu, Israk Mikraj dengan ruh dan jasad sekalian
dalam kondisi terjaga mungkin secara hukum akal karena qudrah
ilahiyyah (kekuasaan yang dibangsakan kepada Tuhan) patut
untuk itu.

Diantara dalilnya adalah kata ‘abdi pada ayat 1 surat al-


Isra’ makna hakikat lafaznya mencakupi ruh dan jasad. Dalil

RISALAH ISRA’ MI’RAJ - 6


lainnya juga dapat dilihat dari surat an-Najm. Allah Swt
berfirman:

‫طغَى‬ َ َ‫غ ْالب‬


َ ‫ص ُر َو َما‬ َ ‫َما زَ ا‬

"Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang


dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. (Q.S. an-Najm: 17).

Disandarkan urusan kepada bashar (mata) menunjukkan


bahwa peristiwa itu tidak lain melainkan terjadi dalam kondisi
terjaga. Di samping itu, andaikan peristiwa ini terjadi bukan
dalam kondisi terjaga, tidak mungkin timbul pengingkaran dari
kaum Musyrikin, tidak akan ada anggapan dusta dari mereka dan
tidak menyebabkan murtad sebagian kaum Muslimin yang lemah
imannya. Timbulnya pengingkaran itu menjadi bukti yang kuat
mereka memahami dari Rasulullah Saw bahwa beliau
mengabarkan kepada mereka telah melakukan perjalanan yang
sesungguhnya dalam keadaan terjaga dengan menempuh jarak
yang jauh dalam waktu yang sangat singkat.Dilihat dari rekam
jejak perjalanannya dalam menuntut ilmu, metode belajar yang
dijalani oleh Abon dikenal dengan metode rihlah, yakni belajar
dari satu guru ke guru yang lain, dari satu dayah ke dayah yang
lain. Metode belajar seperti ini dalam dunia Islam sudah menjadi
suatu tradisi dan telah berkembang sejak masa-masa awal
perkembangan agama Islam.

RISALAH ISRA’ MI’RAJ - 7


C. Operasi Pembelahan Dada

Perjalanan Israk berawal dari Mesjidil Haram dimana


sebelumnya Malaikat Jibril menjemput Rasulullah Saw dari
rumah Ummi Hani', kemudian dibawa ke Mesjid, menuju Hijir,
menjalani operasi pembelahan dada dan kemudian dilanjutkan
dengan perjalanan dengan mengendarai buraq. Perjalanan Israk
ini terjadi secara tiba-tiba dengan tanpa pemberitahuan dan
persiapan sebelumnya. Hal ini dipahami dari salah satu hadis
Rasulullah Saw tentang Israk dengan kalimat ‫ بينما أنا‬yang artinya
"tiba-tiba aku...". Kata-kata ini menunjukkan bahwa perjalanan
Israk tidak diawali oleh pemberitahuan sebelumnya. Hal ini
berbeda dengan munaajah Nabi Musa yang diawali dengan
adanya perjanjian sebelumnya sebagaimana yang diceritakan
dalam Surat Al-A'raf ayat 142.

Operasi pembelahan dada dilakukan oleh Malaikat Jibril


sebelum Rasulullah Saw melakukan perjalanan. Malaikat Jibril
membersihkan hati Rasulullah Saw tiga kali dengan
menggunakan air zamzam dengan dibantu oleh Malaikat Mikail.
Operasi pembelahan dada seperti ini dialami oleh Rasulullah Saw
sebanyak 4 kali, yaitu:

a. Saat masih kecil ketika bersama Halimatus Sa'diyyah.

b. Ketika berumur 10 tahun.

c. Ketika diangkat menjadi Rasul.

d. Saat melakukan perjalanan Israk dan Mikraj.

RISALAH ISRA’ MI’RAJ - 8


Operasi pembelahan dada ini memang operasi yang
sebenarnya dan tidak sah diartikan dalam arti yang maknawi.
Ketika membelah dada Nabi, Malaikat Jibril mengambil
gumpalan hitam dan berkata, "Ini bagian syaithan pada dirimu".
Syekh Dardir menyampaikan maksudnya adalah kalau Syaithan
ingin mendatangkan was was kepada Nabi adalah lewat bagian
itu. Karena perlu dipahami meskipun Nabi ma'shum (terpelihara)
dari terpengaruh was-was syaithan, tetapi tidak ma'shum dari
datangnya was-was itu. Karena itu lah Nabi juga diperintahkan
oleh Allah untuk ber-isti'azah dari syaithan.

Salah satu hikmah dan maksud dari pembelahan dada itu


adalah untuk memastikan kesucian batin Rasulullah Saw
sebagaimana kesucian zahirnya. Di samping itu, hati Rasulullah
Saw diliputi oleh Rahmat, bahkan gudang dan asasnya Rahmat.
Pembelahan dada itu dimaksudkan agar siapa saja yang
dikehendaki oleh Allah celaka tidak mendapat rahmat tersebut.
Syaithan termasuk golongan yang dikehendaki oleh Allah tidak
mendapatkan rahmat, maka dikeluarkan bahagian syaithan dari
dadanya Rasulullah Saw.

D. Pentingnya Ziarah Shalihin

Dalam perjalanan dengan mengendarai buraq dari


Mesjidil Haram ke Mesjidil Aqsha, Rasulullah Saw singgah di
beberapa tempat. Di tengah perjalanan dan melewati tempat
yang terdapat pohon kurma, Malaikat Jibril berkata, "turunlah
dan shalatlah di sini!". Maka Rasulullah Saw turun dan

RISALAH ISRA’ MI’RAJ - 9


melaksanakan shalat. Shalat yang dimaksud bisa saja mengikuti
tatacara Nabi terdahulu karena shalat dengan kaifiyat umat
Muhammad belum disyariatkan. Setelah itu Rasulullah
mengendarai buraq dan melanjutkan perjalanan. Malaikat Jibril
bertanya, "Taukah dimana Engkau shalat tadi?". Rasul
menjawab, "tidak". Malaikat Jibril berkata itu adalah Taibah
(Madinah), tempat dimana nantinya Engkau akan berhijrah.

Kemudian saat buraq yang dikendarai Rasulullah Saw tiba


di Madyan, tepatnya di sebuah pohon tempat berteduhnya Nabi
Musa saat keluar dari Mesir, Malaikat Jibril berkata, "Turunlah
dan shalatlah di sini!". Maka Rasulullah turun dan melaksanakan
shalat. Kemudian Rasulullah tiba di bukit Tursina, tempat Nabi
Musa berbicara dengan Allah Swt, dan di sana Rasulullah juga
turun dan melaksanakan shalat. Rasulullah juga singgah di
tempat dimana Nabi Isa dilahirkan.

Singgahnya Rasulullah Saw di beberapa tempat penting


tersebut menjadi dalil diikatkannya agama sebelumnya dengan
Islam dan agama Islam menjadi agama penutup sekaligus
penyempurna bagi syariat para Nabi sebelumnya. Selain itu
singgahnya Rasulullah Saw di beberapa tempat Nabi terdahulu
menunjukkan betapa pentingnya menziarahi para pendahulu,
menziarahi para aulia dan orang-orang shaleh. Ini juga
menunjukkan pentingnya mengagungkan peninggalan-
peninggalan (atsar) yang ada kaitannya dengan agama dan
orang-orang mulia. Hal ini membantah anggapan sebagian

RISALAH ISRA’ MI’RAJ - 10


golongan yang menyepelekan ziarah, apalagi sampai
menyesatkan dan membid'ahkannya.

E. Antara Usaha dan Tawakkal

Saat tiba di Baitul Maqdis, Rasulullah Saw turun dari


buraq dan mengikatnya di pintu Mesjid dengan ikatan yang
pernah digunakan para Nabi sebelumnya. Hikmah diikatnya
buraq adalah untuk mengajarkan kita bahwa antara usaha dan
tawakkal tidak kontradiktif. Di satu sisi secara zahir Nabi
menempuh asbab untuk selamatnya buraq yaitu dengan
mengikatnya. Namun secara batin hati Rasulullah ber-tawakkal
(menyerah diri) kepada Allah seraya meyakini bahwa Allah
berhak menyelamatkan apa yang Ia kehendaki dan melenyapkan
apa yang Ia kehendaki.

Demikianlah dalam kehidupan ini. Kita tidak dilarang


secara zahiriyah berobat ketika sakit, namun batin kita harus
meyakini bahwa yang menyembuhkan adalah Allah. Allah yang
mengenyangkan, bukan makanan. Allah yang memulihkan
dahaga, bukan air. Silahkan berusaha asalkan secara batin ber-
tawakkal. Silahkan menempuh asbab untuk sampai pada suatu
maksud asalkan tidak lupa pada Musabbibul Asbab, Allah Swt.
Memang Allah menciptakan asbab-asbab untuk memudahkan
manusia. Tetapi karena jahilnya manusia banyak yang sibuk dan
terikat dengan asbab, lalu ia lupa pada Musabbibul Asbab.

Setelah mengikat buraq, Rasulullah Saw memasuki


Mesjidil Aqsha bersama Malaikat Jibril dan melaksanakan shalat

RISALAH ISRA’ MI’RAJ - 11


masing-masing 2 rakaat. Setelah itu Mesjid sudah dipenuhi oleh
Jamaah dan Nabi mengenali para Nabi terdahulu di antara
mereka yang ruku' dan sujud. Setelah itu mereka melakukan
shalat secara berjamaah yang diimami oleh Nabi Muhammad
Saw. Hikmah dari kejadian ini adalah untuk menunjukkan
kelebihan Nabi Muhammad dibandingkan dengan Nabi
sebelumnya. Meskipun Baitul Maqdis adalah tempatnya para
Nabi terdahulu, tetapi saat Nabi Muhammad ada di situ, beliau
lah yang menjadi imamnya.

F. Berjumpa Dengan Nabi Terdahulu

Setelah keluar dari Mesjidil Aqsha, Rasulullah kemudian


melanjutkan perjalanan ke langit. Setiap tiba di pintu langit
Malaikat Jibril selalu ditanya, "Ini Siapa?". Maka beliau
menjawab, "Jibril". Lalu ditanya lagi, "Siapa bersamamu?". Beliau
menjawab Muhammad. Ditanya lagi, “Adakah Nabi Muhammad
sudah diusus ke sini?”. Malaikat Jibril mengiyakannya. Lalu
Malaikat penghuni langit pun bergembira seraya menyambut
dengan ucapan Marhaban wa Ahla. Demikian terjadi di setiap
pintu langit.

Di langit pertama Rasulullah berjumpa dengan Nabi


Adam, bapaknya seluruh manusia. Di langit kedua Rasulullah Saw
berjumpa dengan Nabi Isa dan Nabi Yahya. Di langit ketiga
berjumpa dengan Nabi Yusuf. Di langit ke empat berjumpa
dengan Nabi Idris. Di langit ke lima berjumpa dengan Nabi
Harun. Di langit ke enam berjumpa dengan Nabi Musa. Dan di

RISALAH ISRA’ MI’RAJ - 12


langit ketujuh berjumpa dengan Nabi Ibrahim, 'alaihim wa 'ala
Nabiyyina afdhalus shalat wassalam. Lalu kemudian Rasulullah
Saw melanjutkan perjalanan ke Sidratul Muntaha untuk
menerima persyariatan shalat dari awalnya 50 waktu hingga
akhirnya berkurang menjadi 5 waktu dalam sehari semalam.

Ada satu pertanyaan yang muncul, kenapa saat


Rasulullah Saw turun ke langit ketujuh dan berjumpa dengan
Nabi Ibrahim, Nabi Ibrahim tidak menyanggah apa-apa terhadap
apa yang disyariatkan oleh Allah. Barulah kemudian ketika
sampai di langit yang ke enam, Nabi Musa banyak berargumen
dengan meminta Rasulullah kembali kepada Allah dan meminta
keringanan. Bukankah Nabi Ibrahim yang lebih berhak
memberikan usulan mengingat beliau yang lebih dulu dijumpai?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu memahami


bahwa Allah menjadikan para Nabinya dalam status dan karakter
yang berbeda. Nabi Ibrahim tidak menyanggah apa-apa
merupakan bukti bahwa Beliau dijadikan oleh Allah sebagai
Khalilullah atau Khalilurrahman. Sifat Khalil adalah tunduk patuh
apa adanya dan tidak ada basi basi. Apapun yang diperintahkan
oleh Allah selalu ditaati tanpa bertanya kenapa itu
diperintahkan. Bukti Nabi Ibrahim sebagai Khalil juga dapat
dilihat pada peristiwa qurban, dimana Nabi Ibrahim sepenuh hati
patuh terhadap perintah Allah meski harus menyembelih anak
satu-satunya yang sudah lama dinanti. Tetapi sebagai Khalil tidak
ada halangan sedikit pun untuk menunaikan perintah Allah
walaupun kemudian Allah menggantinya dengan seekor kibas.

RISALAH ISRA’ MI’RAJ - 13


Adapun Nabi Musa banyak memberikan komentar karena
memang Nabi Musa dijadikan oleh Allah sebagai Kalimullah,
seseorang yang diajak berbicara oleh Allah. Walau yang
menyampaikan Nabi, tapi hakikatnya apa yang disampaikan
adalah kalam Allah. Nabi Musa sebagai Kalimullah layak
berkomentar dan Nabi Musa memang rindu untuk berlama-lama
berbicara dengan Allah.

Bukti Nabi Musa sebagai Kalimullah juga dapat dilihat


dari jawaban Nabi Musa tatkala Allah menanyakan apa yang ada
di tangan kananmu wahai Musa. Maka Nabi Musa menjawab
dengan panjang lebar untuk merasakan lezatnya dan nikmatnya
berlama-lama berbicara dengan Allah. Dalam surat Thaha Allah
berfirman:

‫ ) قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا‬17( ٰ‫وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُو َسى‬
(18) ٰ‫عََلىٰ غَنَمِي َوِليَ فِيهَا مَآرِبُ أُ ْخرَى‬

"Apakah itu yang ada di tangan kananmu, wahai Musa? Nabi


Musa berkata: "Ini adalah tongkatku, tempat aku bertumpu
padanya, dan aku merontokkan (daun) dengannya untuk
(makanan) kambingku, dan bagiku masih ada lagi manfaat yang
lain". (QS. Thaha, 17-18)

RISALAH ISRA’ MI’RAJ - 14


Dalam ayat ini yang ditanya apa yang ada di tanganmu,
maka jawaban yang perlu dijawab hanyalah tongkat. Apalagi
yang bertanya adalah Allah, yang maha tau segalanya. Namun
Nabi Musa menjawab panjang lebar karena ingin merasakan
nikmatnya berlama-lama berbicara dengan Allah. Ayat ini
menjadi bukti bahwa Nabi Musa dijadikan oleh Allah sebagai
Kalimullah.

Dan di antara hikmah Nabi Muhammad Saw dijadikan


bolak balik untuk berjumpa dengan Allah dalam meminta
keringanan shalat adalah untuk menunjukkan Nabi Muhammad
Saw dijadikan oleh Allah sebagai Habibullah, sang kekasih Allah.
Seseorang yang dikasihi tentu akan dirindukan untuk banyak
berjumpa dengannya.

G. Hikmah Dinaikkan ke Langit

Setelah melewati berbagai lapisan langit, Rasulullah Saw


dinaikkan oleh Allah ke Sidratul Muntaha, tempat yang istimewa
dimana hanya Rasulullah yang sampai ke sana. Dinaikkan
Rasulullah Saw ke langit hingga sampai ke Sidratul Muntaha
bukan karena Allah bertempat di langit, melainkan itu bertujuan
untuk memuliakan Rasulullah agar berhimpun padanya dua
kemuliaan baik dari sisi hissi (indrawi) maupun dari sisi ma'ani.
Rasulullah Saw merasakan kemuliaan maknawi dengan
perjalanan yang agung ini serta perjumpaan dengan Allah Swt,
dan juga ketinggian secara hissi karena berada pada tempat yang
tinggi dan tempat yang istimewa.

RISALAH ISRA’ MI’RAJ - 15


Perlu dipahami bahwa Allah qadim, ada tanpa diawali
oleh ketiadaan. Allah ada sebelum langit itu ada. Sebelum
adanya langit dan adanya tempat, Allah wujud dengan tidak
bertempat. Maka setelah adanya tempat, wujud Allah tetap
tidak bertempat. Namun, barangkali ada sebagian orang yang
tidak percaya atau logikanya tidak menerima adanya wujud
tanpa bertempat, karena semua perkara maujud yang dilihatnya
bertempat. Orang seperti ini telah menjadikan makhluk sebagai
tolak ukur untuk menilai Sang Khaliq. Padahal diantara sifat Allah
adalah mukhalafatuhu lil hawadis (berbeda bagi segala hal yang
baharu). Maka sangat tidak layak apa yang terdapat pada
hawadis dianalogikan kepada zat yang qadim. Ia menolak aqidah
Allah tidak bertempat karena semua yang sudah dilihat
wujudnya bertempat.

Hal ini sama saja dengan orang yang hidup zaman dulu
yang mungkin akan menertawakan bila ada yang mengatakan
besi bisa terbang seperti pesawat yang ada di zaman ini. Mereka
juga akan menertawakan bila ada yang mengatakan baru saja
berbicara dengan orang yang jaraknya jauh karena pada waktu
itu belum ditemukan telepon. Nah demikianlah orang yang tidak
mempercayai adanya wujud yang tidak bertempat karena yang
ada dalam pikirannya adalah wujud makhluk. Lalu dengan
kebodohannya ia mengingkari wujudnya Allah yang tidak
bertempat layaknya orang yang mengingkari adanya matahari di
siang bolong karena matanya sakit.

RISALAH ISRA’ MI’RAJ - 16


Orang yang tidak mempercayai wujud tidak bertempat
dikhawatirkan akan membawaki kepada pengingkaran Allah
bersifat qadim, yaitu mengingkari adanya Allah sebelum tempat
itu ada. Kemungkinan lainnya adalah membawaki kepada
mensyarikatkan Allah dengan sesuatu yang lain dimana ia
meyakini yang qadim tidak hanya Allah, tetapi juga tempat bagi
Allah. Keyakinan seperti ini sangat membahayakan dan bisa
membawa kepada kemurtadan. Oleh karena itu salah satu asas
dalam i'tikad Ahlussunnah Waljamaah adalah meyakini adanya
Allah tanpa bertempat. Dan karena itu dapat disimpulkan bahwa
perjalanan Nabi Saw ke langit untuk berjumpa dengan Allah,
bukan bermakna Allah bertempat di langit.

Hikmah lainnya dinaikkan Rasulullah Saw ke langit adalah


untuk menunjukkan betapa tingginya kedudukan shalat hingga
diberikan di tempat yang istimewa secara langsung tanpa
perantaraan malaikat Jibril. Kita memaklumi bahwa yang
namanya hadiah yang istimewa tidak akan diwakilkan, bahkan
tak jarang diadakan acara seremonial untuk penyerahan
langsung. Nah seperti inilah shalat. Shalat adalah ibadah yang
paling istimewa bahkan ibadah yang pertama yang akan dihisab.
Peristiwa Israk Mikraj sejatinya menjadi renungan bagi kita untuk
menyadari betapa jauhnya perjalanan Rasulullah Saw dan begitu
istimewanya beliau dalam menerima persyariatan shalat, namun
terkadang begitu mudahnya kita meninggalkan shalat.

RISALAH ISRA’ MI’RAJ - 17


Semoga kita dapat mengambil berbagai pelajaran di balik
peristiwa Israk dan Mikraj Rasulullah Saw, khususnya menambah
keyakinan di dalam menunaikan ibadah shalat yang secara
khusus disyariatkan oleh Allah dalam peristiwa yang agung ini.
Amiin!

RISALAH ISRA’ MI’RAJ - 18

Anda mungkin juga menyukai