Anda di halaman 1dari 18

III.

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil
3.1.1 Kelangsungan Hidup
Kelangsungan hidup benih ikan patin diamati selama 30 hari masa
pemeliharaan. Data hasil kelangsungan hidup benih ikan patin dapat dilihat pada
Gambar 1 berikut.

100 100a 100a 100a 100a


Kelangsungan Hidup (%)

80

60

40

20

0
K A B C
Perlakuan
Keterangan: Huruf superscript yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05).
Gambar 1. Kelangsungan hidup benih ikan patin selama perlakuan sinbiotik;
K.kontrol; A. sinbiotik 0,5 dosis; B. sinbiotik 1 dosis; C. sinbiotik 2
dosis.

Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada Gambar 1 dan uji statistik pada
Lampiran 2, diketahui bahwa tingkat kelangsungan hidup pada semua perlakuan
tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata dimana semua perlakuan
memiliki tingkat kelangsungan hidup sebesar 100%.

3.1.2 Laju Pertumbuhan Harian


Pengaruh pemberian sinbiotik dengan dosis yang berbeda pada pakan
menghasilkan nilai laju pertumbuhan harian yang berbeda pula. Perbedaan nilai
laju pertumbuhan harian pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 2
berikut.

11
5

Laju Pertumbuhan Harian (%)


3.56b
4
3.14b
2.63a
3 2.24a

0
K A B C
Perlakuan
Keterangan: Huruf superscript yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P>0,05).
Gambar 2. Laju pertumbuhan harian benih ikan patin selama perlakuan sinbiotik;
K. kontrol; A. sinbiotik 0,5 dosis; B. sinbiotik 1 dosis; C. sinbiotik 2
dosis.

Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada Gambar 2 di atas, dapat dilihat


bahwa nilai laju pertumbuhan harian tertinggi diperoleh pada perlakuan B yaitu
sebesar 3,56%. Sedangkan nilai yang terendah terdapat pada perlakuan C yaitu
sebesar 2,24% . Pada kontrol, nilai laju pertumbuhan harian sebesar 2,63% dan
pada perlakuan A sebesar 3,14%. Hasil uji statistik pada Lampiran 3 menunjukkan
bahwa nilai laju pertumbuhan harian perlakuan A dan B berbeda nyata dengan
kontrol dan perlakuan C. Namun perlakuan A tidak berbeda nyata dengan
perlakuan B, sedangkan kontrol tidak berbeda nyata dengan perlakuan C.

3.1.3 Pertumbuhan Panjang


Perbedaan panjang awal dan akhir benih ikan patin selama 30 hari
pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Rata-rata panjang awal dan akhir benih ikan patin


Perlakuan Rata-rata panjang awal (Lo) (cm) Rata-rata panjang akhir (Lt) (cm)
K 3,52 7,40
A 3,62 7,92
B 3,48 8,02
C 3,62 7,24
Keterangan:
K. kontrol; A. sinbiotik 0,5 dosis; B. sinbiotik 1 dosis; C. sinbiotik 2 dosis.

12
Pengaruh pemberian sinbiotik dengan dosis berbeda terhadap pertumbuhan
panjang yang dihasilkan oleh masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar
3 di bawah ini.

5 4.31c 4.54c
4.5 3.89b

Pertumbuhan panjang (cm)


3.62a
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
K A B C
Perlakuan
Keterangan: Huruf superscript yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P>0,05).
Gambar 3. Pertumbuhan panjang benih ikan patin selama perlakuan sinbiotik; K.
kontrol; A. sinbiotik 0,5 dosis; B. sinbiotik 1 dosis; C. sinbiotik 2
dosis.

Nilai dari pertumbuhan panjang yang dihasilkan masing-masing perlakuan


mengalami perbedaan, dimana nilai tertinggi terdapat pada perlakuan B yaitu
sebesar 4,54 cm. Nilai pertumbuhan panjang terendah terdapat pada perlakuan C
yaitu sebesar 3,62 cm. Sedangkan nilai pertumbuhan panjang pada kontrol dan
perlakuan A secara berturut-turut adalah sebesar 3,89 cm dan 4,31 cm.
Berdasarkan hasil uji statistik pada Lampiran 4, didapatkan bahwa perlakuan A
dan B tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata. Namun kedua perlakuan
ini menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata dengan perlakuan yang lainya.

3.1.4 Konversi Pakan


Nilai konversi pakan yang dihasilkan dari pemberian pakan sinbiotik
dengan dosis berbeda dapat dilihat pada Gambar 4 berikut.

13
1.6 1.46c
1.40c
1.4 1.28b
1.07a

Konversi Pakan
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
K A B C
Perlakuan

Keterangan: Huruf superscript yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P>0,05).
Gambar 4. Konversi pakan benih ikan patin selama perlakuan sinbiotik; K.
kontrol; A. sinbiotik 0,5 dosis; B. sinbiotik 1 dosis; C. sinbiotik 2
dosis.

Berdasarkan Gambar 4 di atas, diketahui bahawa nilai konversi pakan


tertinggi selama pemeliharaan benih ikan patin terdapat pada perlakuan C yaitu
sebesar1,46. Konversi pakan yang terendah terdapat pada perlakuan B dengan
nilai 1,07. Sedangkan nilai konversi pakan pada kontrol dan perlakuan A secara
berturut-turut adalah sebesar 1,40 dan 1,28. Setelah diuji statistik, didapatkan
pengaruh yang tidak berbeda nyata antara kontrol dengan perlakuan C, namun
kedua perlakuan tersebut berbeda nyata dengan perlakuan A dan B (Lampiran 5).

3.1.5 Hematologi Ikan


3.1.5.1 Total Eritrosit
Hasil pengukuran rata-rata jumlah sel darah merah (106 sel/mm3) pada
masing-masing perlakuan pada akhir pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 5
berikut.

14
3

Total Eritrosit (106 sel/mm3)


2 1.74
1.27
1.09
1
0.53

0
K A B C
Perlakuan

Gambar 5. Total eritrosit benih ikan patin selama perlakuan sinbiotik; K. kontrol;
A. sinbiotik 0,5 dosis; B. sinbiotik 1 dosis; C. sinbiotik 2 dosis.

Total eritrosit benih ikan patin pada akhir pemeliharaan menunjukkan hasil
yang berbeda-beda. Total eritrosit dengan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan B
yaitu sebesar 1,74 x 106 sel/mm3. Nilai terendah total eritrosit terdapat pada
perlakuan C dengan nilai 0,53 x 106 sel/mm3. Sedangkan total eritrosit pada
kontrol adalah sebesar 1,09 x 106 sel/mm3 dan pada perlakuan A sebesar 1,27 x
10 6 sel/mm3.

3.1.5.2 Total Leukosit


Rata-rata total leukosit (105 sel/mm3) masing-masing perlakuan yang
diamati pada akhir pemeliharaan ditunjukkan pada Gambar 6 berikut.
Total Leukosit (105 sel/mm3)

14
12 10.29
10 8.9
8 6.78 6.96
6
4
2
0
K A B C
Perlakuan

Gambar 6. Total leukosit benih ikan patin selama perlakuan sinbiotik; K. kontrol;
A. sinbiotik 0,5 dosis; B. sinbiotik 1 dosis; C. sinbiotik 2 dosis.

15
Berdasarkan data yang disajikan pada Gambar 6 diatas, diketahui bahwa
total leukosit pada kontrol adalah sebesar 10,29 x 105 sel/mm3. Berikutnya pada
perlakuan A sebesar 8,9 x 105 sel/mm3, perlakuan B sebesar 6,78 x 105 sel/mm3,
dan perlakuan C sebesar 6,96 x 10 5 sel/mm3. Dari data tersebut diketahui bahwa
nilai rata-rata total leukosit tertinggi terdapat pada kontrol, sedangkan yang
terendah terdapat pada perlakuan B.

3.1.5.3 Kadar Hemoglobin


Kadar hemoglobin (gram%) yang diamati pada masing-masing perlakuan
disajikan pada Gambar 7 berikut.
10
Hemoglobin (gram%)

8 6.8
6.4
6 5.4

4 3.4

0
K A B C
Perlakuan

Gambar 7. Kadar hemoglobin benih ikan patin selama pemeliharaan perlakuan


sinbiotik; K. kontrol; A. sinbiotik 0,5 dosis; B. sinbiotik 1 dosis; C.
sinbiotik 2 dosis.

Kadar hemoglobin yang didapat pada masing-masing perlakuan


menunjukkan korelasi yang positif terhadap total eritrosit, dimana nilai tertinggi
terdapat pada perlakuan B dan yang terendah terdapat pada perlakuan C. Adapun
nilai kadar hemoglobin pada masing-masing perlakuan adalah kontrol sebesar 5,4
gram%, perlakuan A sebesar 6,4 gram%, perlakuan B sebesar 6,8 gram%, dan
perlakuan C sebesar 3,4 gram%.

3.1.5.4 Kadar Hematokrit


Kadar hematokrit (%) yang terukur dari masing-masing perlakuan pada
akhir pemeliharaan disajikan pada Gambar 8 berikut.

16
30

Kadar Hematokrit (%)


25 22.5
20 17.95

15 12.5 12.5
10
5
0
K A B C
Perlakuan

Gambar 8. Kadar hematokrit benih ikan patin selama perlakuan sinbiotik; K.


kontrol; A. sinbiotik 0,5 dosis; B. sinbiotik 1 dosis; C. sinbiotik 2
dosis.

Sama halnya dengan nilai dari kadar hemoglobin, kadar hematokrit juga
memiliki hasil yang berkorelasi positif dengan total eritrosit. Namun nilai
terendah dari kadar hematokrit terdapat pada kontrol dan perlakuan C yaitu
sebesar 12,5%. Sedangkan kadar hematokrit pada perlakuan B dengan nilai
tertinggi adalah sebesar 22,5% dan nilai kadar hematokrit pada perlakuan A
adalah sebesar 17,95%.

3.1.5.5 Diferensial Leukosit


Pengamatan diferensial leukosit pada benih ikan patin terdiri dari jumlah
limfosit, monosit, trombosit dan neutrofil yang ditunjukkan pada Gambar 9
berikut.

L
M

T
N

Gambar 9. Diferensial leukosit; L. limfosit; M. monosit; T. trombosit; N.


neutrofil.

17
3.1.5.5.1 Jumlah Limfosit
Rata-rata jumlah limfosit (%) benih ikan patin pada akhir perlakuan
ditunjukkan pada Gambar 10 berikut.

80
71
70 64
60
Jumlah Limfosit (%)
54
49
50
40
30
20
10
0
K A B C
Perlakuan

Gambar 10. Jumlah limfosit benih ikan patin selama perlakuan sinbiotik; K.
kontrol; A. sinbiotik 0,5 dosis; B. sinbiotik 1 dosis; C. sinbiotik 2
dosis.

Data dari Gambar 10 di atas terlihat bahwa jumlah limfosit pada masing-
masing perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda. Jumlah limfosit terbanyak
terdapat pada perlakuan B yaitu sebesar 71%, dan yang paling sedikit terdapat
pada kontrol dengan nilai 49%. Sedangkan jumlah limfosit pada perlakuan A dan
C secara berturut-turut adalah sebanyak 64% dan 54%.

3.1.5.5.2 Jumlah Monosit


Perbedaan rata-rata jumlah monosit benih ikan patin yang diamati pada
akhir perlakuan disajikan pada Gambar 11 berikut.

18
30
26
25 22

Jumlah Monosit (%)


20
16
15 12
10
5
0
K A B C
Perlakuan

Gambar 11. Jumlah monosit benih ikan patin selama perlakuan sinbiotik; K.
kontrol; A. sinbiotik 0,5 dosis; B. sinbiotik 1 dosis; C. sinbiotik 2
dosis.

Berdasarkan data yang ditunjukkan oleh Gambar 11 di atas, diketahui


bahwa rata-rata jumlah monosit benih ikan patin tertinggi terdapat pada kontrol
dengan nilai sebesar 26%. Nilai terendah dari jumlah monosit terdapat pada
perlakuan B yaitu sebesar 12%. Sedangkan jumlah monosit pada perlakuan A
adalah sebesar 16% dan pada perlakuan C adalah sebesar 22%.

3.1.5.5.3 Jumlah Trombosit


Rata-rata jumlah trombosit (%) yang berbeda-beda dari masing-masing
perlakuan pada akhir pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 12 berikut.

15
13
Jumlah Trombosit (%)

11 10
9
9
7 6
5 3
3
1
-1
K A B C

Perlakuan

Gambar 12. Jumlah trombosit benih ikan patin selama perlakuan sinbiotik; K.
kontrol; A. sinbiotik 0,5 dosis; B. sinbiotik 1 dosis; C. sinbiotik 2
dosis.

19
Seperti halnya dengan jumlah limfosit dan jumlah monosit, jumlah
trombosit pada setiap perlakuan memiliki nilai yang berbeda. Nilai tertinggi dari
jumlah trombosit terdapat pada kontrol yaitu sebesar 10%. Nilai terendah terdapat
pada perlakuan B yaitu sebesar 3%. Sedangkan pada perlakuan A sebesar 6% dan
pada perlakuan C sebesar 9%.

3.1.5.5.4 Jumlah Neutrofil


Rata-rata jumlah neutrofil (%) yang terhitung dari masing-masing
perlakuan pada akhir pemeliharaan disajikan pada Gambar 13 berikut.

20
18
15 15
Jumlah Neutrofil (%)

16 14 14
14
12
10
8
6
4
2
0
K A B C
Perlakuan

Gambar 13. Jumlah neutrofil benih ikan patin selama perlakuan sinbiotik; K.
kontrol; A. sinbiotik 0,5 dosis; B. sinbiotik 1 dosis; C. sinbiotik 2
dosis.

Data pada Gambar 13 di atas menunjukkan bahwa rata-rata jumlah neutrofil


pada beberapa perlakuan menghasilkan nilai yang relatif sama. Jumlah neutrofil
pada kontrol dan perlakuan C sebesar 15%, sedangkan pada perlakuan A dan B
sebesar 14%.

3.1.5.6 Aktivitas fagositosis


Persentase aktivitas fagositosis yang dihasilkan oleh masing-masing
perlakuan dapat dilihat pada Gambar 14 berikut.

20
40 37
35

Aktivitas Fagositosis (%)


29 30
30
25
20 16
15
10
5
0
K A B C
Perlakuan

Gambar 14. Aktivitas fagositosis benih ikan patin selama perlakuan sinbiotik; K.
kontrol; A. sinbiotik 0,5 dosis; B. sinbiotik 1 dosis; C. sinbiotik 2
dosis.

Persentase aktivitas fagositosis yang dihasilkan oleh masing-masing


perlakuan menunjukkan nilai yang berbeda. Nilai persentase tertinggi terdapat
pada perlakuan B yaitu sebesar 37%. Persentase terendah terdapat pada kontrol
dengan nilai 16%. Sedangkan persentase aktivitas fagositosis pada perlakuan A
dan C adalah sebesar 29% dan 30%.

3.1.6 Kualitas Air


Parameter kualitas air yang diamati pada penelitian ini terdiri dari suhu,
DO, pH, dan TAN. Adapun kisaran dari parameter kualitas air tersebut dapat
dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Kualitas air selama perlakuan sinbiotik
Perlakuan Referensi (SNI
Parameter
K A B C 2000)

Suhu (˚C) 24 – 30 24 – 30 24,5 – 30 24 – 30 24 – 30


DO (ppm) 5,3 – 7,5 5,8 – 7,5 5,5 – 7,5 6,2 – 7,5 >4
pH 6,70 – 7,49 6,63 – 7,49 6,68 – 7,49 7,18 – 7,49 6,5 – 7,5
TAN (ppm) 0,05 – 0,60 0,05 – 0,09 0,05 – 0,51 0,05 – 0,94 <1
Keterangan:
K. kontrol; A. sinbiotik 0,5 dosis; B. sinbiotik 1 dosis; C. sinbiotik 2 dosis.

21
Berdasarkan data yang ditunjukkan pada Tabel 3, kisaran suhu, DO, pH,
dan TAN air selama pemeliharaan masih berada pada batas toleransi benih ikan
patin.

3.2 Pembahasan
Penggunaan probiotik dalam kegiatan akuakultur saat ini mulai banyak
diterapkan untuk meningkatkan produksi. Ada beberapa fungsi probiotik dalam
akuakultur seperti meningkatkan nilai nutrisi pakan, meningkatkan sistem imun,
dan memperbaiki kualitas air media pemeliharaan. Dari beberapa keuntungan
tersebut, fungsi probiotik yang paling diandalkan saat ini adalah potensinya untuk
meningkatkan sistem imun pada ikan (Nayak 2010). Sedangkan prebiotik
merupakan salah satu bahan penyusun makanan yang tidak dicerna oleh saluran
pencernaan dan dapat menstimulasi pertumbuhan serta aktivitas bakteri flora
normal di dalam saluran pencernaan hewan inang (Ringo et al. 2010). Kerjasama
antara penggunaan probiotik dan prebiotik biasa disebut dengan sinbiotik.
Penggunaan sinbiotik dalam dosis yang tepat mampu meningkatkan pertumbuhan
serta sistem imun pada ikan.
Kelangsungan hidup ikan dalam penelitian ini adalah sebesar 100% pada
semua perlakuan. Hal ini menandakan bahwa semua ikan dalam keadaan sehat.
Namun dilihat dari pertumbuhan dan sistem imun ikan dari masing-masing
perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda. Dimana dapat dikatakan bahwa
terdapat pengaruh pemberian sinbiotik dengan dosis berbeda melalui pakan
terhadap kinerja pertumbuhan dan sistem imun pada benih ikan patin.
Pertumbuhan merupakan pertambahan ukuran baik bobot maupun panjang
dalam suatu periode atau waktu tertentu. Pertumbuhan ikan dapat dipengaruhi
oleh faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam meliputi keturunan, umur dan
penyakit ikan sedangkan faktor luar meliputi pakan, padat penebaran dan
lingkungan (Effendie 1997). Penggunaan sinbiotik pada pakan dengan dosis
berbeda menghasilkan kinerja pertumbuhan benih ikan patin yang berbeda pula.
Berdasarkan hasil yang didapat, laju pertumbuhan harian benih ikan patin
tertinggi terdapat pada perlakuan B (sinbiotik 1 dosis) yaitu sebesar 3,56% dan
yang terendah terdapat pada perlakuan C (sinbiotik 2 dosis) yaitu sebesar 2,24%.

22
Selain itu, pertumbuhan panjang benih ikan patin yang paling tinggi juga didapat
pada perlakuan B yaitu sebesar 4,54 cm. Sedangkan nilai terendah juga terdapat
pada perlakuan C yaitu sebesar 3,62 cm. Hasil yang didapat tersebut menunjukkan
bahwa dosis optimal pemberian sinbiotik untuk meningkatkan pertumbuhan benih
ikan patin adalah 1 dosis (1% probiotik dan 2% prebiotik). Semakin tinggi
pemberian dosis sinbiotik menyebabkan semakin menurunnya kinerja
pertumbuhan pada benih patin bahkan menghasilkan pertumbuhan yang lebih
kecil dibandingkan kontrol. Hasil penelitian Li et al. (2009) menyebutkan bahwa
pengaruh optimal pemberian sinbiotik pada udang vaname terdapat pada dosis
0,2% isomaltooligosaccharides (IMO) yang ditambahkan 108 CFU/gram pakan
bakteri Bacillus OJ (PB). Selanjutnya, efek positif tersebut menurun secara
signifikan ketika dosis pemberian PB ditingkatkan menjadi 10 10 CFU/gram pakan.
Dalam penelitian ini, pada perlakuan B diduga dosis sinbiotik yang diberikan
merupakan dosis yang paling efektif untuk meningkatkan kinerja pertumbuhan
pada benih ikan patin. Pada perlakuan ini, diduga bahwa pemberian sinbiotik
mampu meningkatkan kecernaan pakan yang mampu meningkatkan laju
pertumbuhan. Menurut Putra (2010), gabungan pemberian bakteri NP5 sebagai
probiotik dan oligosakarida dari ekstrak ubi jalar sebagai prebiotik menunjukkan
pemanfaatan karbohidrat sebagai sumber energi cukup baik, sehingga protein
digunakan secara optimal untuk proses pertumbuhan.
Konversi pakan atau feed conversion ratio (FCR) merupakan suatu ukuran
yang menyatakan rasio jumlah pakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan
daging ikan kultur (Effendi, 2004). Menurut Mahyuddin (2008), konversi pakan
(FCR) dapat digunakan untuk mengetahui kualitas pakan yang diberikan terhadap
pertumbuhan ikan. Apabila nilai konversi pakan rendah, kualitas pakan yang
diberikan baik (analog dengan pertumbuhan ikan baik). Namun jika konversi
pakannya tinggi, berarti kualitas pakannya kurang baik atau jumlah pakan yang
diberikan tidak efektif untuk pertumbuhan berat badan ikan. Berdasarkan hasil
yang didapat, nilai konversi pakan terendah terdapat pada perlakuan B, sedangkan
yang tertinggi terdapat pada perlakuan C. Hasil ini juga menunjukkan bahwa
semakin tinggi pemberian dosis sinbiotik, semakin tidak efisien pemanfaatan
pakan yang diberikan. Hasil penelitian Son et al. (2009) menyatakan bahwa

23
pemberian probiotik Lactobacillus plantarum dengan dosis 108 CFU/kg pakan
pada ikan kerapu lumpur Epinephelus coioides menunjukkan hasil terbaik
dibandingkan dosis 10 6 dan 10 10 CFU/kg pakan terhadap peningkatan nilai
efisiensi pakan. Pada perlakuan B, terlihat bahwa pemanfaatan pakan yang
diberikan menunjukkan hasil yang paling efisien dibandingkan perlakuan lainnya.
Hal ini diduga karena adanya peningkatan aktivitas enzim amilase dan enzim
protease yang mampu meningkatkan kecernaan karbohidrat dan protein pada
pakan sehingga pemanfaatan pakan menjadi lebih efektif. Hasil penelitian Putra
(2010) menunjukkan pada perlakuan sinbiotik terjadi peningkatan aktivitas enzim
amilase dan enzim protease dalam pencernaan ikan nila yang kemudian mampu
meningkatkan nilai kecernaan karbohidrat dan protein dalam pakan. Dengan
demikian protein dan energi nutrien pakan yang diserap oleh usus untuk
dimanfaatkan tubuh menjadi lebih tinggi, sehingga pemanfaatan pakan menjadi
lebih optimal.
Darah ikan tersusun atas cairan plasma dan sel-sel darah yang terdiri dari
sel-sel darah merah (eritrosit), sel-sel darah putih (leukosit), dan keping-keping
darah (Randal 1970 dalam Affandi dan Tang 2002). Darah ikan berfungsi utuk
mengedarkan nutrien yang berasal dari pencernaan makanan ke sel-sel tubuh,
membawa oksigen ke sel-sel tubuh (jaringan), serta membawa hormon dan enzim
ke organ tubuh yang memerlukannya (Lagler et al. 1977).
Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada Gambar 5, jumlah sel darah
merah yang paling tinggi terdapat pada perlakuan B yaitu sebesar 1,74 x 106
sel/mm3, dan terendah pada perlakuan C dengan nilai 0,53 x 106 sel/mm3.
Tingginya nilai sel darah merah pada perlakuan B diduga karena fungsi ginjal
pada ikan dalam keadaan baik, sehingga jumlah sel darah merah yang diproduksi
pun dalam jumlah yang baik untuk keadaan ikan yang sehat. Sedangkan
rendahnya total eritrosit pada perlakuan C menunjukkan bahwa semakin tinggi
dosis pemberian sinbiotik tidak memberikan pengaruh yang baik terhadap respon
imun benih ikan patin. Li et al. (2009) menyatakan bahwa pengaruh peningkatan
dosis bakteri probiotik tidak selalu berimplikasi positif terhadap peningkatan
respon imun. Pemberian dengan dosis tinggi mungkin tidak mampu meningkatkan
respon imun, bahkan mungkin dapat menghambat respon imun. Hasil penelitian

24
Li et al. (2009) menunjukkan bahwa pada perlakuan sinbiotik dengan dosis
prebiotik IMO 0,2%, menghasilkan penurunan nilai aktivitas fagositosis dan
phenoloxidase ketika dosis probiotik PB ditingkatkan dari 108 menjadi 1010
CFU/gram pakan.
Menurut Chinabut et al. (1991) leukosit terdiri atas dua bagian yaitu
agranulosit dan granulosit. Agranulosit terdiri dari limfosit, trombosit, dan
monosit. Sedangkan granulosit terdiri dari neutrofil, eosinofil, dan basofil. Jumlah
leukosit pada benih ikan patin di akhir pemeliharaan menunjukkan nilai yang
berbeda-beda. Nilai leukosit terendah terdapat pada perlakuan B yaitu sebesar
6,78 x 105 sel/mm3, sedangkan nilai tertinggi terdapat pada kontrol yaitu sebesar
10,29 x 105 sel/mm3. Rendahnya nilai leukosit pada perlakuan B ini dapat
disebabkan karena kondisi ikan yang sehat. Menurut Angka et al. (1985), ikan
yang sehat memiliki jumlah sel darah putih yang lebih rendah dibandingkan
dengan ikan yang sakit. Sedangkan tingginya nilai sel darah putih pada kontrol
diduga karena pada kontrol tidak diberikan perlakuan sinbiotik yang mampu
membentuk sistem kekebalan tubuh pada ikan, sehingga menyebabkan ikan
kontrol memiliki kondisi yang rentan terhadap serangan penyakit akibat tidak
adanya respon imun yang terbentuk untuk mengatasi serangan penyakit. Marthen
(2005) menyatakan bahwa peningkatan jumlah leukosit mengindikasikan adanya
respon dari tubuh ikan terhadap infeksi bakteri atau stres.
Kadar hemoglobin dan hematokrit memiliki kaitan yang erat terhadap sel
darah merah (Fujaya 2004). Menurut Lagler et al. (1977), hemoglobin merupakan
protein dalam eritrosit yang tersusun atas protein globin tidak berwarna dan
pigmen heme. Hemoglobin berfungsi untuk mengikat oksigen kemudian
digunakan dalam proses katabolisme untuk menghasilkan energi. Kemampuan
darah untuk mengangkut oksigen bergantung pada kadar hemoglobin dalam
darah. Kadar hemoglobin tertinggi pada akhir perlakuan terdapat pada perlakuan
B dengan nilai 6,8 gram%, dan yang terendah terdapat perlakuan C sebesar 3,4
gram%. Tingginya kadar hemoglobin pada perlakuan B menunjukkan hasil yang
berkorelasi positif terhadap jumlah sel darah merah. Rendahnya kadar hemoglobin
yang terjadi pada perlakuan C juga menandakan korelasi yang positif terhadap
jumlah sel darah merah. Hemoglobin merupakan indikator anemia atau dengan

25
kata lain penurunan kadar hemoglobin adalah indikator ikan terserang anemia
(Blaxhall 1971).
Hematokrit merupakan perbandingan antara sel darah merah dan plasma
darah, serta berpengaruh terhadap pengaturan sel darah merah (Hesser 1960
dalam Marthen 2005). Hal ini dapat diartikan bahwa kadar hematokrit memiliki
korelasi positif terhadap jumlah sel darah merah. Berdasarkan hasil yang
ditunjukkan pada Gambar 8, terlihat bahwa kadar hematokrit terendah terdapat
pada kontrol dan perlakuan C dengan nilai 12,5%. Sedangkan kadar hematokrit
tertinggi terdapat pada perlakuan B dengan nilai 22,5%. Tanbiyaskur (2011)
menyatakan bahwa pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik pada ikan nila
memberikan pengaruh yang baik terhadap kadar hematokrit darah. Tingginya
kadar hematokrit pada perlakuan B diduga karena pakan perlakuan B memiliki
kandungan nutrisi yang paling baik dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini
diduga karena adanya peningkatan aktifitas enzim amilase dan enzim protease
akibat pemberian sinbiotik yang mampu meningkatkan kecernaan karbohidrat dan
protein di dalam pakan. Sedangkan rendahnya kadar hematokrit pada kontrol dan
perlakuan C diduga karena nilai nutrisi pakan kedua perlakuan masih belum
cukup optimal bagi ikan patin. Pada kontrol, rendahnya nilai nutrisi pakan ini
diduga karena tidak adanya penambahan sinbiotik yang mampu meningkatkan
nilai nutrisi pakan. Menurunnya kadar hematokrit dapat dijadikan petunjuk
mengenai rendahnya kandungan protein pakan, defisiensi vitamin atau ikan
mendapat infeksi sehingga nafsu makan menurun (Wedemeyer dan Yasutake
1977).
Sel limfosit mampu menerobos jaringan organ lunak dan mempunyai
peranan dalam pembentukan antibodi (Dellmann dan Brown 1989). Jumlah
limfosit yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan menunjukkan presentase
yang paling banyak dibandingkan dengan jenis-jenis leukosit lainnya.
Berdasarkan hasil yang didapat, persentase jumlah limfosit terbanyak terdapat
pada perlakuan B yaitu sebesar 71%. Sedangkan persentase jumlah limfosit
terendah terdapat pada kontrol dengan nilai 49%. Tingginya persentase jumlah
limfosit pada perlakuan B diduga karena pemberian sinbiotik mampu merangsang
organ pembentuk limfosit untuk menghasilkan limfosit dalam jumlah yang lebih

26
banyak sebagai respon adanya peningkatan respon imun. Menurut Moyle dan
Cech (1988), limfosit berfungsi sebagai penghasil antibodi untuk kekebalan tubuh
dari gangguan penyakit. Fujaya (2004) menyatakan bahwa limfosit yang
bersirkulasi dalam darah dan jaringan berasal dari timus dan organ limfoid perifer
seperti ginjal dan limpa. Apabila terjadi kerusakan pada organ penghasil ini maka
dapat menghambat pembentukkan limfosit. Kekurangan limfosit dapat
menurunkan konsentrasi antibodi dan dapat meningkatkan serangan penyakit.
Monosit berfungsi sebagai fagosit terhadap benda-benda asing termasuk
agen penyakit (Moyle dan Cech 1988). Berdasarkan hasil penelitian, presentase
jumlah monosit yang paling tinggi terdapat pada kontrol dengan nilai 26%,
sedangkan yang paling rendah terdapat pada perlakuan B dengan nilai 12%.
Menurut Hurriyani (2011), rendahnya jumlah monosit pada larva patin yang diberi
imunostimulan tanpa diuji tantang disebabkan karena kondisi larva yang baik,
sehingga monosit akan menembus dinding kapiler, masuk ke jaringan dan
berdiferensiasi menjadi sel makrofag yang terikat pada jaringan dan menjadi
ekstravaskuler.
Nabib dan Pasaribu (1989) menyatakan bahwa trombosit berperan penting
dalam proses pembekuan darah dan juga berfungsi mencegah kehilangan cairan
tubuh pada kerusakan-kerusakan di permukaan. Berdasarkan hasil penelitian,
persentase nilai trombosit masing-masing perlakuan menunjukkan hasil yang
cukup rendah. Persentase nilai trombosit paling rendah terdapat pada perlakuan B
yaitu sebesar 3%. Rendahya nilai trombosit ini diduga karena semua ikan dalam
keadaan sehat dengan tingkat kelangsungan hidup 100%. Angka et al. (2004)
menyatakan bahwa trombosit diproduksi agar darah membeku untuk mencegah
terjadinya lebih banyak pendarahan. Menurut Fujaya (2004), trombosit tidak
umum terdapat dalam darah pada kondisi normal. Tetapi apabila terjadi sesuatu
yang mengejutkan, jumlah trombosit dapat meningkat tajam.
Neutrofil adalah sel darah putih yang mengandung vakuola yang berisi
lisozim untuk menghancurkan organisme yang dimakannya (Chinabut et al.
1991). Hasil penelitian menunjukkan persentase nilai neutrofil yang hampir sama.
Nilai neutrofil yang didapat dari masing-masing perlakuan berkisar 14-15%.
Keseragaman nilai neutrofil pada semua perlakuan diduga karena tidak adanya

27
serangan bakteri pada semua perlakuan. Hal ini menyebabkan tidak adanya
perbedaan signifikan dari jumlah neutrofil dari masing-masing perlakuan.
Dellman dan Brown (1989) menyatakan bahwa pada saat terjadi infeksi bakteri
biasanya jumlah neutrofil dalam darah akan meningkat, hal ini disebabkan karena
limfoid perlu melepas leukosit untuk melawan infeksi.
Fagositosis merupakan pertahanan pertama dari respon selular yang
dilakukan oleh monosit (makrofag) dan granulosit (netrofil) (Tizard 1988).
Menurut Secombes (1996), proses fagositosis terjadi dalam beberapa tahap yang
terdiri dari pergerakkan (kemotaksis), pelekatan partikel (antigen) pada
permukaan sel, penelanan yang kemudian terjadi pembentukan fagosom,
pemusnahan dan pencernaan. Berdasarkan hasil yang ditunjukan pada Gambar 14,
nilai aktivitas fagositosis yang paling tinggi terjadi pada pelakuan B yaitu sebesar
37%, sedangkan yang paling rendah terdapat pada kontrol yaitu sebesar 16%.
Rendahnya nilai aktivitas fagositosis pada kontrol diduga karena kontrol tidak
diberikan pakan sinbiotik yang mampu membentuk sistem kekebalan tubuh pada
benih ikan patin. Menurut Pirarat et al. (2006), pemberian bakteri probiotik
Lactobacillus rhamnosus selama 2 minggu dalam pakan mampu meningkatkan
nilai aktivitas fagositosis pada ikan nila. Carver (1994) menyatakan bahwa
peningkatan kekebalan tubuh dapat diketahui dari peningkatan aktivitas sel
fagositik.
Parameter kualitas air yang diamati selama penelitian meliputi suhu, DO,
pH, dan TAN. Berdasarkan data yang ditunjukkan pada Tabel 3, kisaran suhu,
DO, pH, dan TAN air selama pemeliharaan masih berada pada batas toleransi
benih ikan patin. Hal ini juga dapat menjadi salah satu penyebab tidak adanya
kematian ikan selama proses pemeliharaan.

28

Anda mungkin juga menyukai