DI RUANG PERINATOLOGI
DEPARTEMEN PEDIATRIK
Oleh:
MIRA WAHYU KUSUMAWATI
NIM: 170070301111038
1
LEMBAR PERSETUJUAN
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA BY.
NY. W I USIA 2 0HARI DENGAN SEPSIS NEONATORUM
DisusunOleh :
MIRA WAHYU KUSUMAWATI
NIM. 170070301111038
( ) ( )
NIP. NIP.
Mengetahui
Kepala Ruang Perinatologi
( )
NIP.
2
LAPORAN PENDAHULUAN
SEPSIS NEONATORUM
A. Definisi
Sepsis neonatorum adalah infeksi bakteri pada aliran darah neonatus
selama bulan pertama kehidupan (Stoll, 2007). Sepsis bakterial pada
neonatus adalah sindrom klinis dengan gejala infeksi sistemik dan diikuti
dengan bakteremia pada bulan pertama kehidupan (usia 0 sampai 28 hari).
Terdapat beberapa perkembangan baru mengenai definisi sepsis dalam
sepuluh tahun terakhir. Menurut The International Sepsis Definition
Conferences (ISDC, 2001), sepsis adalah sindrom klinis dengan adanya
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan infeksi.
Pasien dikatakan SIRS jika memiliki dua atau lebih kriteria (Nguyen
et al., 2006), meliputi: denyut jantung yang meningkat (tachycardia) >90
detak per menit waktu istirahat, temperatur tubuh tinggi (>100.4°F atau 38°C)
atau rendah (<96.8°F atau 36°C), kecepatan pernapasan yang meningkat
dari >20 napas per menit atau PaCO 2 (tekanan parsial dari karbondioksida
dalam arteri darah) <32 mm Hg, dan jumlah sel darah putih yang abnormal
(>12000 sel/µL atau <4000 sel/µL atau >10% bands (tipe yang belum matang
dari sel darah putih). Sepsis merupakan suatu proses berkelanjutan mulai
dari infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/ syok septik, disfungsi
multiorgan, dan akhirnya kematian (Depkes, 2007).
B. Klasifikasi
Berdasarkan umur dan onset / waktu timbulnya gejala-gejala, sepsis
neonatorum dibagi menjadi dua:
1. Early onset sepsis neonatal / sepsis awitan awal merupakan infeksi
perinatal yang terjadi segera dalam periode postnatal (kurang dari 72 jam)
dan diperoleh pada saat proses kelahiran atau in utero dengan ciri-ciri,
meliputi:
- Umur saat onset mulai lahir sampai 7 hari
- Penyebab organisme dari saluran genital ibu. Organisme grup B
Streptococcus, Escherichia coli, Listeria non-typik, Haemophilus
influezae dan enterococcus.
- Gejala klinis yang timbul melibatkan multisistem organ (resiko tinggi
terjadi pneumoni).
- Angka mortalitas tinggi (15-45%).
3
2. Late onset sepsis neonatal / sepsis awitan lanjut merupakan infeksi
postnatal (lebih dari 72 jam) yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau
rumah sakit (infeksi nosokomial). Proses infeksi ini disebut juga infeksi
dengan transmisi horizontal dengan ciri-ciri, meliputi:
- Umur saat onset 7 hari sampai 30 hari.
- Penyebab selain dari saluran genital ibu atau peralatan. Umumnya
organisme yang menjadi penyebab sepsis late onset Staphylococcus
coagulase-negatif, Staphylococcus aureus, Pseudomonas, Grup B
Streptococcus, Escherichia coli, dan Listeria.
- Gejala klinis yang muncul biasanya melibatkan organ lokal/fokal
(resiko tinggi terjadi meningitis).
- Angka mortalitas rendah ( 10-20%).(Depkes, 2007).
C. Etiologi
Faktor- factor yang mempengaruhi kemungkinan infeksi secara umum
berasal dari tiga kelompok, yaitu :
1. Faktor Maternal
a. Status sosial-ekonomi ibu, ras, dan latar belakang. Mempengaruhi
kecenderungan terjadinya infeksi dengan alasan yang tidak diketahui
sepenuhnya. Ibu yang berstatus sosio- ekonomi rendah mungkin
nutrisinya buruk dan tempat tinggalnya padat dan tidak higienis. Bayi
kulit hitam lebih banyak mengalami infeksi dari pada bayi berkulit
putih.
b. Status paritas (wanita multipara atau gravida lebih dari 3) dan umur
ibu (kurang dari 20 tahun atau lebih dari 30 tahun
c. Kurangnya perawatan prenatal.
d. Ketuban pecah dini (KPD)
e. Prosedur selama persalinan.
f. Persalinan prematur
Bayi prematur yaitu bayi yang lahir pada usia kehamilan
kurang dari 37 minggu. Berkaitan dengan hal tersebut, bayi dapat
dikelompokkan berdasarkan berat lahirnya, sebagai berikut:
Bayi berat lahir rendah (BBLR), yaitu berat lahir -- < 2500 gram.
Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR), yaitu berat lahir 1000- <
1500 gram.
4
Bayi berat lahir amat sangat rendah (BBLASR), yaitu berat lahir <
1000 gram.
2. Faktor Neonatatal
a. Prematurius ( berat badan bayi kurang dari 1500 gram), merupakan
faktor resiko utama untuk sepsis neonatal. Umumnya imunitas bayi
kurang bulan lebih rendah dari pada bayi cukup bulan. Transpor
imunuglobulin melalui plasenta terutama terjadi pada paruh terakhir
trimester ketiga. Setelah lahir, konsentrasi imunoglobulin serum terus
menurun, menyebabkan hipigamaglobulinemia berat. Imaturitas kulit
juga melemahkan pertahanan kulit.
b. Defisiensi imun. Neonatus bisa mengalami kekurangan IgG spesifik,
khususnya terhadap streptokokus atau Haemophilus influenza. IgG
dan IgA tidak melewati plasenta dan hampir tidak terdeteksi dalam
darah tali pusat. Dengan adanya hal tersebut, aktifitas lintasan
5
komplemen terlambat, dan C3 serta faktor B tidak diproduksi sebagai
respon terhadap lipopolisakarida. Kombinasi antara defisiensi imun
dan penurunan antibodi total dan spesifik, bersama dengan
penurunan fibronektin, menyebabkan sebagian besar penurunan
aktivitas opsonisasi.
c. Laki-laki dan kehamilan kembar. Insidens sepsis pada bayi laki- laki
empat kali lebih besar dari pada bayi perempuan.
3. Faktor diluar ibu dan neonatal
a. Penggunaan kateter vena/ arteri maupun kateter nutrisi parenteral
merupakan tempat masuk bagi mikroorganisme pada kulit yang luka.
Bayi juga mungkin terinfeksi akibat alat yang terkontaminasi.
b. Paparan terhadap obat-obat tertentu, seperti steroid, bisa
menimbulkan resiko pada neonatus yang melebihi resiko
penggunaan antibiotik spektrum luas, sehingga menyebabkan
kolonisasi spektrum luas, sehingga menyebabkan resisten berlipat
ganda.
c. Kadang- kadang di ruang perawatan terhadap epidemi penyebaran
mikroorganisme yang berasal dari petugas ( infeksi nosokomial),
paling sering akibat kontak tangan.
d. Pada bayi yang minum ASI, spesies Lactbacillus dan E.colli
ditemukan dalam tinjanya, sedangkan bayi yang minum susu formula
hanya didominasi oleh E.colli
D. Patofisiologi
Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman
karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput
amnion, khorion, dan beberapa faktor anti infeksi dari cairan amnion. Infeksi
pada neonatus dapat terjadi antenatal, intranatal dan pascanatal. Lintas
infeksi perinatal dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Infeksi Antenatal.
6
tranplasenta biasanya selain skrining untuk sifilis, juga dilakukan skrining
terhadap TORCH (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes).
2. Infeksi Intranatal
Infeksi intranatal pada umumnya merupakan infeksi asendens
yaitu infeksi yang berasal dari vagina dan serviks. Karena ketuban pecah
dini maka kuman dari serviks dan vagina menjalar ke atas menyebabkan
korionitis dan amnionitis. Akibat korionitis, maka infeksi menjalar terus
melalui umbilikus dan akhirnya ke bayi. Selain itu korionitis menyebabkan
amnionitis dan liquor amnion yang terinfeksi ini masuk ke traktus
respiratorius dan traktus digestivus janin sehingga menyebabkan infeksi
disana.
Infeksi lintas jalan lahir ialah infeksi yang terjadi pada janin pada
saat melewati jalan lahir melalui kulit bayi atau tempat masuk lain. Pada
umumnya infeksi ini adalah akibat kuman Gram negatif yaitu bakteri yang
menghasilkan warna merah pada pewarnaan Gram dan kandida. Menurut
Centers for Diseases Control and Prevention (CDC) Amerika, paling tidak
terdapat bakteria pada vagina atau rektum pada satu dari setiap lima
wanita hamil, yang dapat mengkontaminasi bayi selama melahirkan.
3. Infeksi Pascanatal
Infeksi pascanatal pada umumnya akibat infeksi nosokomial yang
diperoleh bayi dari lingkungannya di luar rahim ibu, seperti kontaminasi
oleh alat-alat, sarana perawatan dan oleh yang merawatnya. Kuman
penyebabnya terutama bakteri, yang sebagian besar adalah bakteri Gram
negatif. Infeksi oleh karena kuman Gram negatif umumnya terjadi pada
saat perinatal yaitu intranatal dan pascanatal.
Bila paparan kuman ini berlanjut dan memasuki aliran darah, akan
terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari
tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula
bermacam gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung dari
perjalanan penyakit, gambaran klinis yang terlihat akan berbeda. Oleh
karena itu, pada penatalaksanaan selain pemberian antibiotika, harus
memperhatikan pula gangguan fungsi organ yang timbul akibat beratnya
penyakit.
E. Manifestasi Klinis
7
Gejala klinik infeksi sistemik pada neonatus tidak spesifik dan
seringkali sama dengan gejala klinik gangguan metabolik, hematologik dan
susunan saraf pusat. Peningkatan suhu tubuh jarang terjadi dan bila ada
umumnya terdapat pada bayi cukup bulan. Hipotermia lebih sering ditemukan
daripada hipertermia. Leukosit pada neonatus mempunyai rentang yang luas
yaitu 4000 sampai 3-.000 per mm3.
Gejala klinik sepsis neonatorum pada stadium dini sangat sulit
ditemukan karena tidak spesifik, tidak jelas dan seringkali tidak terobservasi.
Karena itu, dibutuhkan suatu dugaan keras terhadap kemungkinan ini agar
diagnosa dapat ditegakkan. Gejala klinik sepsis pada neonatus menurut Arief
(2008) dapat digolongkan sebagai:
1. Gejala umum: bayi tidak kelihatan sehat (not doing well), tidak mau
minum, kenaikan suhu tubuh, penurunan suhu tubuh dan sclerema.
2. Gejala gastrointestinal: muntah, diare, hepatomegali dan perut kembung
3. Gejala saluran pernafasan: dispnea, takipne dan sianosis.
4. Gejala sistem kardiovaskuler: takikardia, edema, dan dehidrasi.
5. Gejala susunan saraf pusat: letargi, irritable, dan kejang.
6. Gejala hematologik: ikterus, splenomegali, petekie, dan perdarahan lain.
Menurut Surasmi (2003), tanda dan gejala sepsis neonatorum
biasanya tidak jelas dan non spesifik. Tanda dan gejala dari sepsis
neonatorum berupa tanda dan gejala umum seperti hipertermia atau
hipotermi bahkan normal, aktivitas lemah atau tidak tampak sakit, berat
badan menurun tiba-tiba, terdapatnya tanda dan gejala gangguan saluran
pernapasan seperti dispnea, takipnea, apnea, tampak tarikan otot
pernapasan, merintih, mengorok, dan pernapasan cuping hidung. Neonatus
memiliki risiko sepsis bila memenuhi dua kriteria risiko mayor atau satu
kriteria risiko mayor ditambah dua kriteria minor. Faktor risiko mayor yaitu
ketuban pecah dini>18 jam, demam intrapatum >38 °C, korioamnionitis,
ketuban berbau, denyut jantung janin >160x/menit. Faktor risiko minor yaitu
ketuban pecah dini>12 jam, demam intrapartum >37°C, skor APGAR rendah,
BBLSR, usia kehamilan <37 minggu, gemeli / kembar, keputihan dan infeksi
saluran kencing (Wilar, 2010).
Bayi didiagnosis sepsis berdasarkan adanya gejala klinik seperti
letargi, reflek hisap menurun, merintih, iritabel, kejang, terdapat gangguan
kardiovaskuler, gangguan hematolitik, gangguan gastrointestinal, gangguan
respirasi waktu pengosongan lambung memanjang dan pemeriksaan
laboratorium seperti CRP>10mg/L, IT ratio≥0,25, leukosit <5000/µL
atau>30.000/ µL dengan atau tanpa biakan darah positip (Wilar, 2010).
8
Gangguan pernafasan juga merupakan salah satu manifestasi dari
kondisi bayi dengan sepsis. Sindrom gangguan napas ataupun sering disebut
sindrom gawat napas (Respiratory Distress Syndrome/RDS) adalah istilah
yang digunakan untuk disfungsi pernapasan pada neonatus. Gangguan ini
merupakan penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan
perkembangan maturitas paru (Whalley dan Wong, 1995). Gangguan ini
biasanya juga dikenal dengan nama Hyaline membrane disease (HMD) atau
penyakit membran hialin, karena pada penyakit ini selalu ditemukan
membran hialin yang melapisi alveoli.
Sindrom gangguan pernapasan adalah kumpulan gejala yang terdiri
dari dispnea atau hiperapnea dengan frekuensi pernapasan lebih dari 60
kali/menit, sianosis, rintihan pada ekspirasi dan kelainan otot-otot pernapasan
pada inspirasi. RDS sering ditemukan pada bayi prematur. Insidens
berbanding terbalik dengan usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin
muda usia kehamilan ibu, semakin tinggi kejadian RDS pada bayi tersebut.
Sebaliknya semakin tua usia kehamilan, semakin rendah pula kejadian RDS
atau sindrome gangguan napas.
Persentase kejadian menurut usia kehamilan adalah 60-80% terjadi
pada bayi yang lahir dengan usia kehamilan kurang dari 28 minggu, 15-30%
pada bayi antara 32-36 minggu dan jarang sekali ditemukan pada bayi cukup
bulan (matur). Insidens pada bayi premature kulit putih lebih tinggi dari pada
bayi kulit hitam dan sering lebih terjadi pada bayi laki-laki daripada bayi
perempuan (Nelson, 1999). Selain itu, kenaikan frekuensi juga ditemukan
pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita gangguan perfusi darah uterus
selama kehamilan, misalnya : Ibu penderita diabetes, hipertensi, hipotensi,
seksio serta perdarahan antepartum.
Sindrom gawat napas biasanya terjadi jika tidak cukup terdapat suatu
substansi dalam paru-paru yang disebut surfaktan. Surfaktan adalah suatu
substansi molekul yang aktif dipermukaan alveolus paru dan diproduksi oleh
sel-sel tipe II paru-paru. Surfaktan berguna untuk menurunkan tahanan
permukaan paru. Surfaktan terbentuk mulai pada usia kehamilan 24 minggu
dan dapat ditemukan pada cairan ketuban. Pada usia kehamilan 35 minggu,
sebagian besar bayi telah memiliki jumlah surfaktan yang cukup.
9
- Kelainan di luar paru (pneumotoraks, hernia diafragmatika)
10
3. ≥ 6 = gangguan nafas berat menggunakan ventilator
Pemeriksaan Penunjang
G. Penatalaksaaan Sepsis
a. Pencegahan Sepsis Neonatorum
- Pada masa Antenatal
Perawatan antenatal meliputi pemeriksaan kesehatan ibu secara
berkala, imunisasi, pengobatan terhadap penyakit infeksi yang diderita
ibu, asupan gizi yang memadai, penanganan segera terhadap
keadaan yang dapat menurunkan kesehatan ibu dan janin. Rujuk ke
pusat kesehatan bila diperlukan.
- Pada masa Persalinan
Perawatan ibu selama persalinan dilakukan secara aseptik.
- Pada masa pasca Persalinan
Rawat gabung bila bayi normal, pemberian ASI secepatnya, jaga
lingkungan dan peralatan tetap bersih, perawatan luka umbilikus
secara steril.
11
darah, cairan serebrospinal, urine dan feses (atas indikasi), pungsi lumbal
dengan analisa cairan serebrospinal (jumlah sel, kimia, pengecatan
Gram), foto polos dada, pemeriksaan CRP kuantitatif).Pemeriksaan lain
tergantung indikasi seperti pemeriksaan bilirubin, gula darah, analisa gas
darah, foto abdomen, USG kepala dan lain-lain.
H. Komplikasi Sepsis
1. Dehidrasi
2. Asidosis metabolic
3. Hipoglikemia
4. Anemia
5. Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia ialah terjadinya peningkatan kadar bilirubin dalam
darah, baik oleh faktor fisiologik maupun non-fisiologik, yang secara klinis
ditandai dengan ikterus. Bilirubin diproduksi dalam sistem
retikuloendotelial sebagai produk akhir dari katabolisme heme dan
terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Karena sifat hidrofobiknya,
bilirubin tak terkonjugasi diangkut dalam plasma, terikat erat pada
albumin. Ketika mencapai hati, bilirubin diangkut ke dalam hepatosit,
terikat dengan ligandin. Setelah diekskresikan ke dalam usus melalui
12
empedu, bilirubin direduksi menjadi tetrapirol tak berwarna oleh mikroba
di usus besar. Bilirubin tak terkonjugasi ini dapat diserap kembali ke
dalam sirkulasi, sehingga meningkatkan bilirubin plasma total.
Pengobatan pada kasus hiperbilirubinemia dapat berupa fototerapi,
intravena immunoglobulin (IVIG), transfusi pengganti, penghentian ASI
sementara, dan terapi medikamentosa.
6. Meningitis
13
hangat kering, pucat, lembab, burik (vasokonstriksi) atau barcahaya
(vasodilatasi)
h. Eliminasi : Diare
i. Makanan & Cairan : Anorexia, mual dan muntah, penurunan bebrat
badan, penurunan massa otot, penurunan haluaran, konsentrasi urin,
perkembangan kearah oliguria dan anuria
j. Neurosensori : Gelisah, penurunan tingkat kesdaran
k. Ketidaknyamanan : Kejang abdominal, urtikaria
l. Pernapasan : Takipnu dengan penurunan kedalaman
pernapasan, suhu umumnya meningkat, (37,95o C atau lebih),
menggigil.
m. Pemeriksaan Spesifik: Apgar Score,
- Refleks moro: tidak ada, asimetris/hiperaktif,
- Refleks menghisap : kuat, lemah,
- Refleks menjejak : baik, buruk, Koordinasi refleks menghisap dan
menelan
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
kapiler-alveoli.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan 1x24 jam pasien menunjukkan
tanda-tanda pertukaran gas yang adekuat.
Kriteria hasil : frekuensi pernafasan regular dan dalam batas normal
(RR neonatus = 30-60x/menit),nilai gas darah dalam batas normal
(pH=7,35-7,45, pCO2 35-45, P02=80-100, HCO3 21-28, BE {-3} –
{+3}, Sa02 97-100%)
Intervensi Rasional
1. Kaji frekuensi 1. Peningkatan pernapasan terjadi
pernapasan, kedalaman sebagai respon terhadap efek
dan kualitas. Perhatikan langsung dari endotoksin pada
dispnea berat pusat pernapasan didalam
2. Kaji kulit terhadap
otak, dan juga perkembangan
perubahan warna, suhu
hipoksia dan demam
dan kelembaban 2. Penurunan curah jantung dan
Kolaborasi vasokonstriksi perifer salah
3. Berkan cairan parenteral satu tanda status syok
4. Pantau pemeriksaan 3. Mempertahankan perfusi
laboratorium misalnya jaringan, sejumlah besar cairan
GDA, kadar laktat mungkin dibutuhkan untuk
14
5. Berikan tambahan mendukung volume sirkulasi
4. Perkembangan asidosis
oksigen
respiratorik/ metabolic
merefleksikan kehilangan
mekanisme kompensasi
misalnya penurnan sekresi
ginjal
5. Memaksimalkan masukan
oksigen yang tersedia untuk
masukan seluler
15
b. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme,
dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus,
perubahan pada regulasi temperature
Tujuan : setelah dilakukan tindakan 1x24 pasien menunjukkan suhu
adekuat
Kriteria Hasil : Suhu tubuh berada dalam batas normal (Suhu
aksila:36,5o-37,5o C), Nadi dan frekuensi napas dalam batas normal
(Nadi neonatus normal 120-160 x/menit, frekuensi napas neonatus
normal 30-60x/menit)
Intervensi Rasional
1. Pantau suhu pasien 1. Suhu 38,9 – 41,1 o C menunjukkan
(derajat dan pola); proses infeksi akut. Pola demam
perhatikan menggigil dan dapat membantu dalam diagnosis
diaphoresis misalnya demam lanjut berakhir
2. Pantau suhu lingkungan,
lebih dari 24 jam menunjukkan
batasi/tambahkan linen
pneumonia peneumokokkal
tempat tidur 2. Suhu ruangan berpengaruh
3. Berikan kompres hangat;
terhadap peningkatan maupun
hindari penggunaan
penurunan suhu tubuh penderita
alcohol 3. Menurunkan suhu tubuh melalui
Kolaborasi proses konduksi. Alcohol dapat
4. Berikan antipiretik misalnya mengeringkan kulit
4. Menghambat pengeluaran
asetaminofen
prostaglandin dan meningkatkan
autodestruksi dari sel-sel yang
terinfeksi
Intervensi Evaluasi
1. Pantau frekuensi 1. Bila terjadi takikardia mengacu pada
16
dan irama jantung sirkulais sekunder system saraf simpatis
2. Perhatikan
untuk menekankan respon untuk
kualitas/kekuatan
menggantikan kerusakan pada
dari denyut perifer
hipovolemia relative
3. Catat haluaran
2. Penurunan curah jantung dan
urin setiap jam
vasokonstriksi perifer salah satu tanda
dan berat
status syok
jenisnya 3. Penurunan haluaran urin
4. Berkan cairan
mengindikasikan penurunan perfusi
parenteral
ginjal yang dihubungkan dengan
perpindahan cairan dan vasokonstriksi
selektif
4. Mempertahankan perfusi jaringan,
sejumlah besar cairan mungkin
dibutuhkan untuk mendukung volume
sirkulasi
Intervensi Rasional
Mandiri 1. Mengurangi risiko kemungkinan
1. Isolasi dan batasi infeksi dan pembatasan
pengunjung pengunjung diperlukan untuk
2. Cuci tangan sebelum dan
melindungi pasien imunosupresi
sesudah melakukan 2. Mengurangi kontaminasi silang
3. Mengurangi jumlah lokasi yang
aktifitas walaupun
yang dapat menjadi tempat
menggunakan sarung
masuknya mikroorganisme
tangan steril
4. Mencegah masuknya bakteri dan
3. Batasi penggunaan alat/
mengurangi risiko infeksi
prosedur invasive setiap
nosokomial
hari
5. Demam (38,5o C – 40 o C)
17
4. Gunakan teknik steril disebabkan oleh efek dari
pada waktu penggantian endotoksin pada hipotalamus
balutan/penghisapan. dan endomorfin yang
Misalnya jalur invasive melepaskan pirogen.
6. Hipotermia (<36 o C)adalah
dan kateter urinarius
5. Pantau kecenderungan tanda genting yang
suhu merefleksikan perkembangan
6. Amati adanya mengigil
status syok/penurunan perfusi
dan diaforesis
jaringan.
Kolaborasi 7. Menggigil sering mendahului
7. Dapatkan specimen urin, memuncaknya suhu papa infeksi
8. Indetifikasi terhadap portal entry
darah, sputum sesuai
dan organisme penyebab
petunjuk untuk
septicemia adalah penting bagi
pewarnaan
8. Berikan obat anti infeksi pengobatan
9. Dapat membasmi/memberikan
seperti antibiotic
imunitas sementara untuk infeksi
spectrum luas misalnya
umum atau infeksi khusus
gentamisin atau
sefalosporin
Edukasi
9. Berikon informasi yang
adekuat tentang proses
penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
18
Prawirohardjo, Sarwono. 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara. 2012. Gambaran Pola Resistensi Bakteri di Unit Perawatan Neonatus
Volume 13 :3-5.
Negara, Naufal Sastra, dkk. 2009. Ketuban Pecah Dini dan Demam Intrapartum
Sebagai Faktor Risiko Sepsis Neonatorum Onset Dini. Volume 10: 351-356
Effendi, Sjarif Hidajat, Andri Firdaus. 2010. Diagnosis dan Penatalaksanaan
Nafas Pada Neonatus. Bandung. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran RSU Pusat Hasan Sadikin Bandung.
Stevry MAthiandas, Rocy Wiliar, Andrey Wahani. 2013. Hiperbilirubinemia Pada
Neonatus. Manado: Jurnal Biomedik, Volume 5, Nomor 1, Suplemen, Maret
2013, hlm. S4-10
19