Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kabupaten Tanjung Jabung Barat merupakan salah satu kabupaten di Provinsi

Jambi yang memiliki ekosistem mangrove karena terletak di kawasan pesisir pantai

timur utara. Kabupaten ini terletak antara 0̊ 53‘ – 01̊ 41‘ Lintang selatan dan antara 103̊

23‘ – 104̊ 21‘ bujur timur dengan luas wilayah 5.503,5 km2, dan sebagian besar dari

daerah Tanjung Jabung Barat adalah daerah mangrove (Pemkab Tanjabbar, 2013:1).

Kabupaten Tanjung Jabung Barat khususnya di Kecamatan Tungkal Ilir memiliki

kawasan hutan mangrove yang cukup luas, keseluruhan diperkirakan 17.863 ha

(Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2007:33). Wilayah ini ditetapkan sebagai salah

satu kawasan konservasi laut daerah (KKLD) dengan luas areal 1.558,3 ha dan kawasan

suaka perikanan (KSP) yang meliputi 3 kawasan pantai yaitu kawasan konservasi

Kerang Darah, kawasan Pangkal Babu dan kawasan Sungai Dualap (Dinas Kelautan

dan Perikanan, 2007:3).

Berdasarkan laporan kelompok kerja pengelolahan mangrove, sebagian besar

mangrove di Kabupaten Tanjung Jabung Barat telah rusak berdasarkan isu strategis

yang telah dianalisis pada tahun 2008 dan 2009 (Berman, 2012:1). Salah satu penyebab

kerusakan ekosistem mangrove di Tanjung Jabung barat adalah pembangunan yang

kurang berwawasan lingkungan seperti yang terjadi di Kecamatan Tungkal ilir. Mega

proyek pembangunan pelabuhan Roll On Roll Off (RORO) yang berada di Kecamatan

Tungkal Ilir sekarang tersendat-sendat, terhampar di atas tanah yang dulunya menjadi

1
2

hamparan hutan yang identik dengan daerah pesisir. Padahal ekosistem mangrove di

kawasan tersebut tumbuh dengan baik. Tinggi mangrove di sana sekitar bisa mencapai

lima sampai delapan meter (Azhari, 2014:1).

Di sisi lain hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem yang mempunyai

peranan penting dalam upaya pemanfataan berkelanjutan sumberdaya pesisir dan laut.

Hutan mangrove memiliki fungsi penting sebagai penyambung ekologi darat dan laut,

serta gejala alam yang ditimbulkan oleh perairan, seperti abrasi, gelombang dan badai.

Disamping itu hutan mangrove merupakan penyangga kehidupan sumberdaya ikan,

karena ekosistem mangrove merupakan daerah pemijahan (spawning ground), daerah

asuhan (nursery ground) dan daerah mencari makan (feeding ground) (Nontji,

2007:59).

Hutan mangrove merupakan komunitas paling produktif di dunia. Sebagian besar

biomassa mangrove dihasilkan dari guguran daun (± 90%), yang selanjutnya disimpan

dalam sedimen (± 10%), terdekomposisi (± 40%), atau terbawa ke ekosisten lain (±

30%). Biomassa ini merupakan makanan bagi organisme detritus yang hidup pada

ekosistem mangrove dan pantai di sekitarnya (Setyawan dkk, 2003:133). Selanjutnya

detritus menjadi bahan makanan bagi cacing, udang-udang kecil dan selanjutnya hewan

tersebut akan menjadi makanan larva ikan, kepiting dan hewan yang tinggal dalam

ekosistem tersebut termasuk ikan gelodok (Nontji, 2007:278).

Ikan gelodok termasuk kelompok ikan yang disebut “Mudskipper”, karena selain

hidup di air, ikan gelodok dapat hidup di permukaan lumpur sekitar mangrove. Ikan

gelodok juga merupakan satu satunya jenis ikan yang lebih banyak menghabiskan

waktu di luar air (Hutomo dan Naamin, 1982: 243). Hal tersebut didukung dengan
3

perubahan fisiologi yang menyerupai amfibi, salah satunya adalah pernapasan

kutaneous khas amfibi dan juga perubahan perilaku ikan gelodok yang membentuk

perilaku ikan seperti amfibi.

Ikan gelodok memegang peran kunci dalam konservasi lahan basah. Sensitivitas

ikan gelodok terhadap perubahan lingkungan dapat digunakan sebagai bioindikator

terhadap perubahan habitat perairan pantai (Ming-chih, 2013:37). Penelitian Thomas

dan Bu-Olayan (2008:218) menunjukkan ikan gelodok dari jenis Periophthalmus

waltoni memiliki kemampuan untuk menyerap logam berat kemudian

mendegradasikannya menjadi bahan yang ramah lingkungan (Bioakumulator).

Penelitian mengenai ikan gelodok di Indonesia sendiri telah dilakukan, misalnya

penelitian yang dilakukan di pantai Dumai Provinsi Riau (Naibaho dkk, 2013:5)

ditemukan 3 jenis yang berbeda dari dua subfamili, Apocrypteinae (Boleophthalmus

boddarti) dan Periophthalminae (Periophthalmus variabilis, Periophthalmodon

schlosseri). Penelitian lainnya berupa pengamatan perilaku ikan gelodok oleh Hutomo

dan Naamin (1982:243-249) yang menjelaskan perilaku bersarang, territorial,

pengembaraan dan perilaku harian ikan gelodok.

Ikan gelodok belum banyak mendapatkan perhatian karena kurangnya

pengetahuan mengenai peran ekologis dan manfaat ikan gelodok. Di sisi lain

meningkatnya aktivitas manusia di kawasan mangrove tentu akan menjadi ancaman

bagi keanekaragaman jenis ikan gelodok. Sejauh ini masih perlu dilakukan kajian

ilmiah mengenai keanekaragaman jenis ikan gelodok di Kecamatan Tungkal Ilir.

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian dengan judul


4

“Keanekaragaman Ikan Gelodok (Famili: Gobiidae) Di Kecamatan Tungkal Ilir

Kabupaten Tanjung jabung Barat”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan maka yang menjadi rumusan

masalah bagaimanakah keanekaragaman ikan gelodok (Famili: Gobiidae) yang berada

di Kecamatan Tungkal Ilir Tanjung Jabung Barat?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman ikan gelodok

(Famili: Gobiidae) yang berada di Kecamatan Tungkal Ilir Tanjung Jabung Barat.

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah:

1. Sebagai sumber informasi Ilmiah mengenai Keanekaragaman ikan gelodok (Famili:

Gobiidae) di Kecamatan Tungkal Ilir Tanjung Jabung Barat.

2. Sebagai bahan untuk mengembangkan materi pembelajaran biologi SMA materi

Keanekaragaman Hayati.

3. Sebagai tambahan referensi materi mata kuliah Taksonomi Hewan.


5

1.5 Ruang Lingkup Penelitian dan Keterbatasan Penelitian

1.5.1 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian yaitu:

1. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Tungkal Ilir Tanjung Jabung Barat yang

merupakan salah satu habitat ikan gelodok

2. Subjek penelitian adalah ikan gelodok dari Famili Gobiidae.

3. Identifikasi ikan gelodok dilakukan dengan pengamatan morfologi.

4. Pengamatan keanekaragaman gelodok tidak membedakan antara jantan dan betina.

5. Aspek yang dianalisis meliputi keanekaragaman jenis, indeks keanekaragaman

dan indeks dominansi jenis.

1.5.2 Keterbatasan penelitian

Keterbatasan dari penelitian ini adalah:

1. Habitat dalam penelitian ini adalah habitat asli yang banyak ditemukan ikan

gelodok seperti di pinggir pantai, hutan mangrove, ataupun di bawah rumah

penduduk.

2. Ikan gelodok yang didapat hanya yang berada di Kecamatan Tungkal Ilir,

Kabupaten Tanjung Jabung Barat.


6

1.6 Definisi operasional

1. Ikan gelodok adalah sebutan yang digunakan untuk Famili Gobiidae yang hidup di

kawasan berlumpur, memiliki ciri khas seperti tingkah laku dan adaptasi yang

menyerupai amfibi dan mata yang menonjol keluar.

2. Ciri ciri morfologi yang dimaksud adalah bentuk luar dari tubuh ikan yang dapat

diamati secara kasat mata seperti: bentuk mulut, baris gigi, bentuk kepala, bentuk

mata, warna tubuh, ukuran tubuh, warna sirip, dan bentuk sirip.

3. Data lingkungan adalah data kondisi di lingkungan pada saat penelitian yang

meliputi suhu substrat, pH substrat, jenis substrat, dan salinitas.


7

Anda mungkin juga menyukai