Anda di halaman 1dari 20

BAB I.

PENDAHULUAN

Pada bab ini akan dipaparkan (1) latar belakang yang berisi isu-isu terkait
dengan Permukiman Sulaa, (2) rumusan dan batasan masalah, (3) tujuan penelitian,
(4) manfaat penelitian, (5) keaslian penelitian, dan (6) lingkup penelitian.

1.1. Latar Belakang

1.1.1. Kota Baubau Sebagai Kota Pantai


Kota Baubau dahulu merupakan pusat Kerajaan/ Kesultanan Buton (Wolio)
yang berdiri pada awal abad ke-15 (1401–1499). Kota ini pada awalnya terpusat
di kompleks keraton, terletak di wilayah kekuasaan Kesultanan Buton yang
dikenal sebagai penguasa hampir seluruh wilayah Sulawesi Tenggara. Seluruh
kota-kota pantai yang berkembang di daerah itu berada di bawah wilayah
kekuasaannya. Keraton sebagai pusat kekuasaan menjadi peletak dasar struktur
kekuasaan yang kuat dan mendorong terbentuknya permukiman penduduk yang
menetap di sekitar keraton. Dalam Kakawin Negarakartagama (1365) disebutkan
nama Buton, yang disebut bergandengan dengan Banggawi yang sudah memiliki
tatanan sosial dan politik. Selain Buton, nama Wolio juga dilekatkan pada nama
kerajaan yang sama. Wolio adalah nama yang berkaitan dalam kerangka
pembentukan permukiman. Dikisahkan tentang migrasi kelompok orang yang
datang dari Johor. Kelompok pendatang yang dipimpin oleh empat orang (mia
patamiana, berarti ‘si empat orang’) segera membuka lahan untuk permukiman
dengan ‘menebang kayu’ yang disebut welia. Dari kata itulah muncul sebutan
Wolio (Rabani, 2010: 51; Anceaux dalam Zuhdi, 2010: 35-36).
Ditinjau dari kedudukan geografi, wilayah Buton merupakan mata rantai
pelayaran yang menghubungkan antara kawasan Timur dan Barat Nusantara.
Kedudukannya tepat di kawasan Laut Banda. Kawasan ini termasuk jalur
pelayaran ramai yang dilayari oleh kapal-kapal dagang dari kepulauan rempah-
rempah di sebelah Timur menuju ke kota-kota pelabuhan bagian Barat Nusantara

1
dan Mancanegara. Sejak mulai dikenalnya hasil rempah-rempah dari Maluku
diperdagangkan di Bandar Malaka, Tumasik, Johor, Pasai dan lain-lain pada masa
Kerajaan Sriwijaya sekitar abad ke-13, mulailah berdatangan gelombang
pendatang ke Buton. Keadaan ini terjadi sejalan dengan ramainya perairan pulau
Buton dilintasi pelayar-pelayar dari dan ke Maluku. Pulau Buton menjadi tempat
persinggahan untuk mencari tambahan perbekalan atau untuk memperbaiki perahu
yang mengalami kerusakan. Menurut beberapa informasi penduduk yang menetap
di daratan Buton sejak menjadi pulau persinggahan berasal dari pelayar-pelayar
yang mengalami kerusakan perahu yang sulit diperbaiki lagi atau karena
perahunya hancur akibat hantaman ombak. Dalam riwayat lama dituturkan bahwa
sebelum berdirinya Kerajaan Wolio di tahun 30-an abad ke-14, di daratan pulau
Buton telah berdiri kerajaan-kerajaan kecil antara lain, yaitu: Batauga, Wawoangi,
dan Lapandewa di kawasan Selatan; Batukara, Tobetobe, dan Kaesabu di kawasan
Barat; Tondanga, Tumada, dan Lambelu di kawasan Utara; serta Kamaru,
Wolowa, Kumbewaha (Ambuau), dan Kumbowa di kawasan Timur (Hamid,
2010: 80-81; Abubakar, 1999: 33).
Lahirnya Kesultanan Buton tidak dapat dipisahkan dari perkembangan
pelayaran dan perdagangan di Asia Tenggara dan port polity. Pemusatan
pelabuhan dan pintu gerbang (entreport) dan pemerintahan (polity) merupakan
gejala yang terjadi menyeluruh di Asia Tenggara kepulauan. Kalau pun port dan
polity terletak terpisah, sesungguhnya keduanya berkaitan, seperti Funan dan Oc-
eo, Majapahit dan pelabuhan sungai Canggu, Pegu, dan Syriam atau Ayuthaya
dan pantai Bangkok. Dalam gambaran di atas posisi Buton bukanlah sebagai
tempat persinggahan semata-mata, melainkan juga sebagai tempat lalu lintas
perdagangan sebagaimana terungkap dalam catatan Speelman, ketika
menggambarkan peranan Makassar sebagai Bandar Transito. Bila dikaji lebih
lanjut, jauh sebelum ramainya perdagangan rempah-rempah abad ke-17-18,
daerah ini telah terintegrasi ke dalam zona perdagangan maritim Asia Tenggara.
Sejak paruh pertama abad ke-14, Tiongkok di masa Dinasti Ming telah menjalin
hubungan dagang dengan Asia Tenggara. Dari ahli geografi Cina, Wang Ta-yuan,
diperoleh informasi bahwa perahu-perahu Cina secara teratur mengunjungi

2
Maluku pada 1340-an untuk mengangkut cengkeh. Informasi tersebut
berhubungan dengan apa yang diceritakan oleh orang-orang Ternate dan Tidore
kepada Portugis bahwa nenek moyang mereka pertama kali mengetahui nilai
cengkeh dari orang Cina yang perahunya datang dari Utara. Oleh karena cengkeh,
pala, dan bunga pala (fuli) hanya terdapat di bagian Timur Nusantara, maka
banyak kapal-kapal yang berlayar dan sampai ke Eropa melewati jalur
perdagangan dari Kepulauan Maluku sampai ke Laut Tengah (Kathirithamby-
Wells, 1992: 2 dalam Zuhdi, 2010: 63-64; Reid, 1993: 2-4 dalam Hamid, 2010:
81).
Perkembangan kota-kota pantai di Sulawesi Tenggara dapat dibagi dalam
lima fase. Fase pertama, berlangsung antara abad ke-14 sampai abad ke-17. Pada
fase ini, secara politik masih di bawah kontrol pemerintahan setempat, khususnya
Kerajaan Buton yang pada periode itu menguasai hampir seluruh Sulawesi
Tenggara. Pusat permukiman masyarakat berada di sekitar keraton, sehingga
perkembangan fisik kota hanya berlangsung di dalam kompleks keraton, seperti
pendirian benteng sebagai pertahanan. Administrasi, pendidikan (tradisional), dan
kebijakan politik juga dijalankan di dalam keraton. Wilayah luar keraton pada
periode ini hanya dianggap sebagai wilayah pendukung dari segi politik dan
ekonomi. Fase kedua, berlangsung pasca penandatanganan Perjanjian Bungaya I
(1667) sampai 1824. Dalam periode ini perkembangan politik lebih dominan,
konflik antar kerajaan di Sulawesi (Kerajaan Gowa dan Bone) yang melibatkan
Kerajaan Buton makin meningkat. Dampaknya bagi perkembangan kota adalah
perpindahan penduduk dalam arti migrasi masuk dan migrasi keluar. Penduduk
melakukan perpindahan mencari daerah yang aman, salah satunya adalah
Sulawesi Tenggara. Hal itu terbukti dari banyaknya suku Bajo, Bugis, Makassar,
dan Toraja yang membuka permukiman baru dan tinggal di sekitar pantai yang
berdampak pada perkembangan ekonomi berupa perdagangan. Fase ketiga,
berlangsung 1824-1906, fase ini masih diwarnai oleh perkembangan politik
dengan sasaran kepentingan ekonomi yang dominan. Tekanan pemerintah Hindia
Belanda dan kerajaan setempat pada penduduk diikuti oleh tekanan secara
ekonomi. Pemerintah Hindia Belanda membuka sejumlah jalur untuk

3
memperlancar mobilitas ekonominya, sehingga masyarakat mulai memadati
daerah-daerah sekitar pantai sebagai basis aktivitas ekonomi perdagangan dan
pelayaran. Fase keempat, berlangsung pada tahun 1806-1920, pemerintah Hindia
Belanda memaksa penguasa Sulawesi Tenggara untuk menerima modernisasi
yang mendukung aktivitas ekonominya. Perluasan permukiman cenderung ke arah
pantai. Pasar dan kantor syahbandar didirikan di sekitar pantai yang dekat dengan
pelabuhan. Fase kelima, berlangsung pada tahun 1920-1942 ditandai dengan
pesatnya pembangunan infrastruktur dan perluasan pembukaan beberapa
perkebunan dan eksploitasi hasil hutan dan tambang di Sulawesi Tenggara
(Rabani, 2010: 107-113).
Baubau merupakan salah satu kota pantai yang ada di wilayah kepulauan
Buton dengan panjang garis pantai sekitar 42 km, wilayah daratan seluas 221,00
km2, dan luas laut mencapai 30 km2. Baubau merupakan kawasan yang potensial
untuk pengembangan sarana dan prasarana transportasi laut. Kota Baubau terdiri
dari 13 kelurahan pesisir, yaitu: Sukanayo, Liwoto, Sulaa, Katobengke, Bone-
Bone, Wameo, Kaobula, Wale, Kadolomoko, Waruruma, Kolese, Kalia-lia, dan
Palabusa. Dengan kondisi tersebut, maka Kota Baubau memiliki potensi perairan
laut dan sebagai salah satu daerah penghasil rumput laut selain Kabupaten Muna,
Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, dan Kabupaten Bombana. Secara fisik
Kota Baubau memiliki dua karakteristik pantai yaitu pertama, kawasan pantai
dengan batas pantai yang curam dengan sudut lereng >20%, berupa tebing
sehingga tidak memiliki wilayah peralihan. Kawasan ini terdapat di garis pantai
sepanjang pantai kelurahan Katobengke, Kadolokatapi, dan Kalia-lia. Kedua,
berupa kawasan pantai yang landai dengan sudut lerengnya <20%, sehingga
memiliki wilayah peralihan daratan ke lautan yang khas. Zona ini sebagian
ditumbuhi berbagai vegetasi peralihan, yaitu berbagai spesies Mangrove dari jenis
Nypah, Avicenea, maupun Rhyzophora. Kawasan pantai yang landai antara lain
tersebar di beberapa titik di Kelurahan Palabusa, Kolese, Lowu-Lowu, Wameo,
Bone-Bone, Katobengke, Sulaa, dan Pulau Makassar. Pemanfaatan ruang di
wilayah pesisir Kota Baubau cukup tinggi mengingat daerah ini merupakan
daerah pantai sejak lama, bahkan daerah ini merupakan bekas lokasi salah satu

4
kerajaan/kesultanan di Nusantara yang wilayahnya didominasi oleh lautan.
Wilayah pesisir Baubau dimanfaatkan untuk permukiman, perikanan, pariwisata
(diving, snorkling, olah raga pantai, berjemur dan rekreasi), jasa pergudangan,
pelabuhan (penumpang, cargo, rakyat, khusus), public space, perdagangan dan
jasa-jasa. Inilah yang memperkuat konsep Kota Baubau sebagai Kota Pantai
(seafront city).

1.1.2. Perkembangan Fisik dan Non Fisik Permukiman Sulaa


Permukiman Sulaa terletak di Kelurahan Sulaa yang merupakan salah satu
kelurahan pesisir di bagian Barat Kota Baubau. Sebelum terjadi pemekaran,
Permukiman Sulaa masuk dalam wilayah Kelurahan Katobengke dan lebih
dikenal sebagai kampung nelayan dengan nama Kampung Topa. Secara historis,
nama Topa diambil dari nama sumber mata air tawar yang ada di wilayah perairan
pantai Sulaa. Nama Topa diberikan oleh orang dari Binongko Kepulauan Tukang
Besi saat berlabuh di sana. Keberadaan mata air Topa sebagai sumber kehidupan
utama masyarakat Sulaa dan masyarakat di sekitarnya, merupakan salah satu
faktor yang mendorong tumbuhnya Permukiman Sulaa di wilayah pesisir Buton.
Sumber mata air Topa terletak menyatu dengan perairan pantai Sulaa. Sumber air
tawar keluar dari sela-sela batu sepanjang dua ratus meter di perairan pantai dan
merupakan fenomena alam yang unik, karena memiliki tiga rasa, yaitu: tawar pada
musim Timur, manis pada musim peralihan dan rasa asin bila musim Barat. Air
dari sumber mata air tersebut dapat diminum langsung tanpa dimasak terlebih
dahulu dan diyakini dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Sebagaimana telah dijelaskan, keberadaan Kerajaan/Kesultanan Buton tidak
dapat dipisahkan dari perkembangan pelayaran dan perdagangan di Asia Tenggara
dan posisi Buton sebagai tempat persinggahan dan lalu lintas pelayaran dan
perdagangan dari Barat ke Timur. Berdasarkan kondisi wilayah tersebut, maka
perairan laut Buton sangat rentan terhadap gangguan keamanan laut yang
dilakukan oleh para bajak laut dari kepulauan lain. Oleh sebab itu, setelah
ditinggal pergi oleh kelompok masyarakat Tobetobe pada sekitar tahun 1890,
Kampung Topa menjadi basis pertahanan keamanan laut sebagaimana mandat

5
yang diberikan oleh Sultan kepada dua orang yang dipercaya dan menjadi cikal
bakal tumbuhnya Permukiman Sulaa. Dengan posisi tersebut, maka wilayah Sulaa
menjadi kawasan penting dan strategis dalam perencanaan wilayah Kota Baubau
secara keseluruhan. Kelurahan Sulaa merupakan salah satu titik simpul yang
menghubungkan antara Kota Baubau dengan pulau-pulau yang ada di sekitarnya.
Permukiman Sulaa dapat dicapai dengan empat akses utama, yaitu tiga akses jalan
penghubung dari jalan kolektor dan satu jalan penghubung dari pantai Lakeba.

.Lokus
Penelitian

Kel. Labalawa

Selat Kadatua

Gambar 1. Letak lokus penelitian Permukiman Sulaa


Sumber: Dinas Tata Kota Baubau, 2014; Data SRTM 2009;
Citra satelit world view-2 tahun 2012, resolusi spasial 50 cm.

Permukiman Sulaa terkonsentrasi di wilayah lembah pesisir yang diapit oleh


perbukitan batu di bagian Timur dengan kemiringan rata-rata 35o-45o, di bagian
Barat dan Selatan kawasan terdiri dari perairan laut Selat Kadatua dengan
gelombang air laut yang cukup tinggi pada musim tertentu, yang mengakibatkan
terjadinya abrasi pantai di setiap tahun (lihat Gambar 1). Dengan kondisi fisik
tersebut, masyarakat di Permukiman Sulaa mengalami permasalahan ruang, yaitu

6
keterbatasan lahan permukiman yang terindikasi pada fenomena warga dalam
menyiasati ruang permukiman dan mengatasi abrasi pantai dengan cara-cara
mereka sendiri. Untuk mengatasi abrasi pantai, pemerintah daerah melakukan
reklamasi pantai di sepanjang permukiman dengan membangun talud dan
menimbun pantai serta membangun akses jalan penghubung sebagai pembatas
ruang permukiman dengan pantai. Kegiatan reklamasi pantai Sulaa dimulai pada
awal bulan Agustus 2011 secara bertahap hingga bulan Januari 2014.
Pembangunan meliputi pembuatan badan jalan beserta elemen-elemen pembentuk
ruang seperti trotoar, drainase, lampu jalan dan fasilitas tempat duduk. Kegiatan
reklamasi pantai yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan abrasi, justru
memunculkan permasalahan baru bagi masyarakat Sulaa yang mayoritas bekerja
sebagai nelayan.
Permukiman Sulaa dihuni oleh kelompok masyarakat pendatang dari
daratan dan kepulauan yang ada di sekitar pulau Buton. Mereka berasal dari
beberapa kelompok sub-etnis yang pada dasarnya adalah masyarakat dengan etnis
Buton. Kelompok sub-etnis mayoritas di Sulaa ada dua, yaitu kelompok sub-etnis
dari pulau Siompu Kadatua dan kelompok sub-etnis dari Keraton Wolio. Hal ini
merujuk kepada kedatangan dua kelompok pertama, yaitu kelompok La Ode
Murdin dari Keraton Wolio dan kelompok La Bawea dari Pulau Siompu. Dalam
perkembangannya, Permukiman Sulaa kemudian diisi oleh kelompok sub-etnis
lainnya dari wilayah daratan dan kepulauan di sekitar Pulau Buton. Kelompok
sub-etnis yang ada di Permukiman Sulaa, pada dasarnya mempunyai latar
belakang budaya yang sama, karena mereka berasal dari wilayah bekas Kerajaan/
Kesultanan Buton. Keragaman sub-etnis yang ada dicirikan oleh perbedaan
bahasa yang digunakan sehari-hari, misalnya kelompok masyarakat Kadatua
menggunakan bahasa Kadatua yang banyak dipengaruhi oleh bahasa Muna.
Begitu pula dengan kelompok masyarakat yang berasal dari keraton menggunakan
bahasa Wolio. Untuk berinteraksi dan berkomunikasi sehari-hari, mereka
menggunakan bahasa Wolio sebagai bahasa persatuan mereka. Seluruh kelompok
sub-etnis Buton dapat memahami bahasa Wolio sebagai bahasa resmi pada masa
Kerajaan/Kesultanan Buton. Kehadiran beberapa suku bangsa lain seperti Sunda,

7
Jawa, Bugis dan Flores, umumnya melalui jalur pernikahan dengan masyarakat
lokal Sulaa atau membeli lahan masyarakat.
Masyarakat Sulaa sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan
tradisional (pekabua) dan telah ada sejak tumbuhnya Kampung Topa di wilayah
pesisir. Permukiman Sulaa menjadi salah satu pusat tenunan tradisional khas
Buton yang ada di wilayah Kota Baubau. Kegiatan tenun mewarnai aktivitas
sehari-hari kaum perempuan dewasa di ruang-ruang permukiman dengan pola
penggunaan ruang yang beragam. Secara umum, kegiatan tenun dan kerajinan
lainnya ditemukan di beberapa tempat di wilayah Kota Baubau, antara lain:
kerajinan besi di Kelurahan Baadia, kerajinan kuningan di Kelurahan Lamangga,
kerajinan perak di Kelurahan Melai, kerajinan gerabah di Kelurahan Katobengke
dan kerajinan tenunan tradisional di Kelurahan Sulaa, Tarafu, Melai dan
Bonebone. Kerajinan tenunan tradisional paling banyak ditemukan di wilayah
pesisir Sulaa. Kerajinan tenun merupakan salah satu mata pencaharian yang
menopang kehidupan masyarakat Sulaa selain sebagai nelayan, wiraswasta dan
pegawai negeri sipil. Selain warisan budaya tenunan tradisional Buton yang masih
bertahan hingga saat ini, masyarakat Sulaa juga dikenal sebagai masyarakat
pesisir yang teguh memegang tradisi adat Buton, terindikasi pada pemahaman dan
perilaku keruangan masyarakat pada setiap pelaksanaan kegiatan tradisi adat
Buton maupun tradisi hari-hari besar Islam.
Rumah tinggal warga sebagian besar masih bertahan dengan bangunan
rumah panggung banuatada dengan ciri arsitektur tradisional Buton. Di antara
bangunan rumah panggung, juga terdapat bangunan rumah non panggung yang
merupakan hasil proses transformasi bangunan rumah seiring dengan
perkembangan fisik ruang permukiman. Bentuk dan ornamen bangunan rumah
masih dipertahankan dengan segala maknanya, namun ada pula yang mengalami
perubahan. Perubahan bentuk fisik bangunan rumah juga diikuti dengan
pergeseran fungsi dan nilai ruang di dalam rumah. Rumah dan tampa (lahan)
dapat diwariskan kepada ahli waris berdasarkan pola dan sistem waris yang ada di
Permukiman Sulaa.

8
1.1.3. Perilaku Keruangan Masyarakat di Permukiman Sulaa
Dari hasil pengamatan lapangan yang dilaksanakan di Kampung Topa,
Kelurahan Sulaa, Kecamatan Betoambari, Kota Baubau, dalam kurun waktu
2011-2014 dengan pendekatan participatory observation, terdapat beberapa
fenomena perilaku keruangan yang ditunjukkan oleh pelaku ruang dalam
melakukan aktivitas di ruang-ruang permukiman, baik yang bersifat rutin sehari-
hari maupun temporer, antara lain:
a. Saling berbagi ruang
Dengan segala keterbatasan ruang yang dimiliki, mereka masih dapat saling
berbagi ruang dengan warga lainnya. Fenomena perilaku saling berbagi ruang
terjadi di lingkungan rumah tinggal maupun di ruang publik, terindikasi pada pola
kegiatan bersama di dalam rumah dan di halaman rumah seperti: kegiatan tenun
bersama, mengaji bersama, berkumpul, menyimpan dan memperbaiki peralatan,
berbagi pekerjaan, dan berbagi kebutuhan sehari-hari. Dalam penggunaan ruang di
luar rumah, perilaku saling berbagi ruang terindikasi pada penggunaan batas
tampa untuk membangun fasilitas sosial dan ekonomi masyarakat, seperti MCK,
jalan setapak, posyandu, dan bangsal tenun. Begitu pula dengan kebutuhan ruang
untuk menjemur pakaian, menjemur rumput laut, menyimpan perahu dan
menyimpan peralatan nelayan. Kapeo (ruang bawah rumah) dan halaman rumah
digunakan bersama untuk mewadahi ruang aktivitas warga sekitar. Fenomena
saling berbagi ruang juga terindikasi pada penggunaan ruang publik di sisi jalan
lingkungan dan jalan setapak dengan membangun godegode (tempat duduk)
sebagai ruang untuk berbagai kegiatan bersama, seperti kegiatan tenun bersama,
berkumpul, berjualan dan sebagainya.
Fenomena saling berbagi ruang juga terindikasi pada aktivitas bersama
dalam meggunakan sumber mata air sebagai sumber kehidupan, seperti
mengambil air minum, mandi dan mencuci pakaian. Begitu pula dengan kegiatan
ritual tahunan dan temporal yang dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat
di mata air. Fenomena saling berbagi ruang juga ditemukan pada kelompok
komunitas yang menggunakan ruang taman bersama dan dermaga Sulaa sebagai
ruang bersama, yaitu kegiatan komunitas pemuda dan remaja berolah raga pada

9
sore hari, komunitas ina-ina dan pedagang kaki lima, komunitas ojek motor,
komunitas ojek laut, komunitas nelayan dan komunitas warga memancing ikan.
Fenomena perilaku saling berbagi ruang juga terindikasi pada beberapa
kasus rumah tinggal dari kedua kelompok keluarga, yaitu menghuni rumah
warisan yang dibangun di atas tampa milik kerabat atau kelompok masyarakat
lainnya. Fenomena saling meminjam rumah dan lahan telah menjadi bagian dari
kebiasaan (tradisi) masyarakat Sulaa, kedua kelompok keluarga besar saling
mengisi lahan-lahan yang masih kosong untuk digunakan sementara membangun
rumah atau dikelola sebagai tempat usaha. Di lingkungan keluarga, fenomena
perilaku saling memberi ruang terindikasi pada penggunaan ruang bersama lahan
warisan yang telah dibeli oleh salah seorang dari saudara mereka untuk
membangun rumah dengan jangka waktu yang tidak ditentukan. Selain untuk
membangun rumah, ada pula yang menggunakan tampa saudara untuk
membangun tempat usaha seperti: kios jualan, warung makan, gudang
penampungan ikan, pertukangan kayu, kios depot bahan bakar dan sebagainya.
Fenomena saling berbagi ruang dalam kelompok masyarakat juga terindikasi pada
keluarga yang memiliki ruang yang cukup, secara ikhlas meminjamkan ruang
tampa mereka kepada keluarga yang mengalami keterbatasan ruang untuk
digunakan membangun godegode atau membangun tempat usaha.
Begitu pula di ruang-ruang strategis, seperti kantong-kantong aktivitas di
sisi jalan lingkungan, warga membangun godegode secara bersama-sama untuk
digunakan bersama, antara lain tempat pertemuan rutin warga setiap minggu,
tempat pelayanan posyandu, tempat menjajakan dagangan, dan tempat menenun.
Fenomena perilaku saling berbagi ruang juga terjadi antara masyarakat Sulaa
dengan masyarakat pendatang, yaitu apabila tampa (lahan) atau rumah milik
warga tidak digunakan, untuk sementara waktu boleh digunakan oleh warga
pendatang sebagai hunian atau dikelola untuk berbagai kegiatan usaha.

b. Kebersamaan dan saling membantu


Fenomena bekerja bersama-sama ditemukan dalam proses pembangunan
rumah tinggal masyarakat, khususnya pembangunan rumah panggung banuatada.

10
Pembangunan rumah dikerjakan oleh warga masyarakat secara bersama-sama
mulai dari tahap persiapan meliputi penentuan arah orientasi bangunan dan
pemilihan bahan bangunan, tahap pelubangan tiang rumah, tahap pendirian
rumah, dan tahap pendirian tiang tutumbu kap atap rumah. Keterlibatan warga
masyarakat dalam pembangunan rumah non panggung, terbatas pada saat upacara
peletakan batu pertama pondasi dan upacara mendirikan tiang kap atap rumah.
Fenomena saling membantu juga ditemukan pada pembangunan fasilitas bersama
di ruang publik. Pembangunan godegode dilakukan secara bersama-sama dengan
melibatkan partisipasi warga dalam proses pengerjaan maupun pendanaannya.
Sikap empati dan kebersamaan warga ditunjukkan saat terjadi peristiwa
kapaleyi (kedukaan) dengan ikut membantu prosesi kegiatan di rumah duka dan
tidak melakukan kegiatan rutin lainnya di ruang-ruang permukiman hingga waktu
pemakaman selesai dilaksanakan. Kebersamaan warga di mata air dengan saling
membantu pekerjaan dan saling memberi ruang. Kebersamaan warga di kapeo dan
tampa rumah saling memberi ruang, saling membantu dengan berbagi pekerjaan
dan berbagi modal. Kebersamaan ina-ina/PKL saling membantu menjaga jualan
dan menjualkan dagangan. Dalam aktivitas tradisi budaya ditunjukkan dengan
kebersamaan untuk saling membantu pada setiap acara haroa di rumah, masjid,
mata air, dan Kasulaa Natombi.
Fenomena perkembangan fisik dan non fisik yang terjadi di Permukiman
Sulaa sebagai permukiman dengan masyarakat yang relatif homogen (mono-
culture) yang terdiri dari beberapa sub-etnis suku bangsa Buton dan beberapa
suku bangsa lainnya, dengan asumsi awal memiliki esensi kesadaran nilai yang
kuat dalam berkeruangan. Hal ini terindikasi pada fenomena pola perilaku
meruang yang ditunjukkan oleh masyarakat Sulaa dalam beraktivitas di ruang-
ruang permukiman, baik aktivitas yang bersifat rutin maupun temporer, di tengah-
tengah terjadinya proses transformasi fisik ruang permukiman dan dinamika sosial
yang kompleks serta permasalahan keruangan yang dihadapi oleh masyarakatnya.
Dalam upaya memahami kondisi tersebut, penelitian dengan pendekatan sosial-
budaya-spasial di Permukiman Sulaa menjadi penting dilakukan.

11
1.2. Rumusan dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, ada beberapa


pertimbangan yang diperhatikan ketika menentukan Permukiman Sulaa sebagai
lokus penelitian. Pertama, bentuk Permukiman Sulaa yang unik dan terkonsentrasi
di wilayah pesisir yang diapit oleh perbukitan batu dan perairan Selat Kadatua
dengan gelombang air laut yang cukup tinggi pada musim-musim tertentu.
Kondisi tersebut berdampak pada permasalahan ruang dan abrasi pantai yang
terjadi di setiap tahun. Reklamasi pantai yang dilakukan pemerintah daerah untuk
menangani permasalahan abrasi pantai justru mengindikasikan adanya dinamika
baru bagi masyarakat dan berimplikasi terhadap pertumbuhan sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat Sulaa. Kedua, keunikan mata air Topa yang menjadi sumber
kehidupan utama masyarakat Sulaa dan masyarakat di sekitarnya dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan kegiatan ritual budaya masyarakatnya.
Ketiga, warga yang bermukim di wilayah pesisir Sulaa merupakan kelompok
masyarakat pendatang dari daratan Buton maupun dari pulau-pulau yang ada di
sekitar Buton. Mereka berasal dari beberapa kelompok sub-etnis yang pada
dasarnya adalah masyarakat etnis Buton. Kelompok sub-etnis mayoritas ada dua,
yaitu kelompok masyarakat dari pulau Siompu Kadatua dan kelompok masyarakat
dari keraton Wolio. Kehadiran beberapa suku bangsa seperti Sunda, Jawa, Bugis
dan Flores, umumnya melalui proses pernikahan dan membeli lahan masyarakat.
Keempat, Permukiman Sulaa merupakan salah satu pusat kerajinan tenunan
tradisional khas Buton yang ada di wilayah Kota Baubau, di mana kegiatan tenun
mewarnai kegiatan sehari-hari kaum perempuan dewasa dengan pola penggunaan
ruang yang beragam. Kelima, masyarakat Sulaa dikenal sebagai masyarakat yang
religius dan taat menjalankan ibadah sesuai syariat agama Islam, namun di sisi
lain mereka juga masih percaya kepada tempat-tempat keramat yang terkait
dengan kegiatan ritual tradisi budaya Buton yang tetap dipertahankan dan
dilaksanakan dalam konteks kekinian. Keenam, keunikan pola perilaku keruangan
masyarakat dalam penciptaan dan penggunaan ruang permukimannya.

12
Penelitian difokuskan pada eksplorasi makna ruang Permukiman Sulaa
berdasarkan perilaku pelaku ruangnya, sehingga diperoleh gambaran tentang
makna ruang permukiman secara utuh dan mendalam, serta pola penciptaan dan
penggunaan ruang yang dapat dipahami dalam keterkaitannya dengan konteks
latar belakang sosial dan budaya pelaku ruangnya. Merujuk kepada substansi
konteks penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini memiliki
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apa makna ruang di balik fenomena keruangan yang tampak di Permukiman
Sulaa?
2. Adakah pengetahuan teoritis lokal yang dapat digali untuk menjelaskan
makna ruang Permukiman Sulaa?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian ini, maka


penelitian ini bertujuan untuk menemukan makna transendental ruang
permukiman dan membangun teori lokal Permukiman Sulaa.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat dua sisi, yaitu sisi teoritis dan sisi praksis, namun
menitikberatkan kepada manfaat teoritis. Dari sisi manfaat teoritis, hasil penelitian
ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa pengetahuan lokal tentang
ruang permukiman dalam kaitannya dengan pemahaman makna ruang
permukiman, dan memperkaya khazanah teori arsitektur permukiman berbasis
fenomenologi yang telah terbangun sebelumnya. Sumbangan pengetahuan dan
teori lokal terutama berupa pengetahuan tentang nilai-nilai lokal yang menjadi
rujukan bagi proses pengembangan permukiman, khususnya permukiman pesisir.
Dari sisi praksis, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
masukan bagi penentu kebijakan dalam upaya pengembangan ruang permukiman
pesisir Sulaa menurut sudut pandang subjeknya.

13
1.5. Keaslian Penelitian

Fokus penelitian ini adalah makna ruang Permukiman Sulaa berdasarkan


perilaku pelaku ruangnya, sehingga diperoleh gambaran tentang makna ruang
permukiman secara utuh dan mendalam. Konsep ruang dikonstruksikan melalui
pendekatan sosial-budaya-spasial. Penelitian ini merupakan penelitian tentang
fenomena yang tampak saat ini dan berusaha menemukan makna yang ditemui
saat ini. Obyek yang menjadi lokus penelitian adalah Permukiman Sulaa yang
terletak di Kelurahan Sulaa Kecamatan Betoambari Kota Baubau Provinsi
Sulawesi Tenggara. Penelitian fenomenologi berupaya memahami fenomena saat
ini dalam kaitan dengan fenomena-fenomena yang menjadi konteks
kebermaknaannya. Beberapa hasil penelitian terkait daerah pesisir dan
permukiman nelayan yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
Kurniasari (2005), judul Keberlanjutan Permukiman Nelayan Muara Angke
Penjaringan Jakarta. Fokus penelitian pada teori rumah, model metabolism
permukiman. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Unit analisisnya
adalah tiga kasus rumah yang berbeda, yaitu rumah, rumah panggung dan rumah
susun. Analisis dilakukan secara deskriptif tentang keadaan rumah-rumah nelayan
tersebut. Temuan penelitian menunjukkan bahwa kondisi rumah, rumah panggung
dan rumah susun lebih memberikan pengaruh negatif dibanding pengaruh positif
terhadap kualitas Permukiman Nelayan Muara Angke. Perubahan permukiman
nelayan cenderung berpotensi menurunkan kualitas lingkungan, sehingga dapat
dikatakan bahwa permukiman nelayan Muara Angke tidak berkelanjutan. Kondisi
ketidakberlanjutan terjadi karena upaya peningkatan kualitas sosial budaya
penghuni diiringi dengan penurunan kualitas lingkungan. Sifat penelitian ini lebih
pada evaluasi yaitu membandingkan tujuan awal dari permukiman kembali
(resettlement) masyarakat nelayan dibandingkan dengan keadaan saat penelitian.
Sudaryono (2008), judul Production of settlements on the basis of a
spiritual space. A case of Parangtritis Settlement of Yogyakarta. Fokus penelitian
pada produksi ruang. Penelitian ini menggunakan qualitative exploratory method.
Penelitian dimulai dengan melakukan grand tour untuk menggali topik atau

14
fenomena yang diindikasikan dan keterkaitannya dengan ruang dan nilai. Temuan
pada tahap ini, disusun dalam bentuk topik-topik utama yang dilanjutkan pada
tahap mini tour untuk menggali tema-tema dalam tiap topik. Analisis dalam
penelitian ini, menggunakan metode induktif. Kesamaan makna atau keterkaitan
informasi dikategorisasikan untuk memproduksi tema-tema dan kesamaan tema
dikategorisasikan untuk menghasilkan konsep. Konsep-konsep yang terbentuk
dijadikan sebagai temuan utama riset. Sebagai langkah akhir, dilakukan diskusi
teoritik untuk membawa temuan riset pada teori production of space sebagai state
of the arts. Dalam temuan penelitian ini dijelaskan tahap produk ruang, yaitu (1)
produksi ruang abstrak (spiritual space). Konsep ini hadir dan diturunkan dari
generasi ke generasi melalui ritual keagamaan dari masyarakat lokal dan
pendatang. Mereka percaya Parangtritis adalah tempat utama gerbang Ratu Laut
Selatan berada. (2) Produksi ruang kultural, pengunjung datang berkelompok
secara reguler ke Parangtritis untuk melakukan kegiatan kultural. Pola spasial
kultural aktivitas adalah (a) mulai dari Watu gilang berakhir di Parangtritis, (b)
mulai dari Parangtritis berakhir di Watu gilang, (c) kegiatan hanya dilakukan di
Watu gilang, (d) kegiatan hanya dilakukan di Parangtritis. (3) Produksi ruang
absolut (residential spaces), ditemukan dalam bentuk area hunian, fasilitas publik,
warung, jalan dan lorong, home stay, kios. Daerah hunian dikelompokkan dalam
dua tipe, yaitu magersari dan non magersari. (4) Produksi ruang absolut
(commercial space). Kelompok permukiman non magersari sebagai kelompok
ilegal, mengambil sebagai barang komersial untuk diperjualbelikan kepada
penduduk pendatang. Diskusi teoritik menggunakan Production of Space dari
Lefebvre (1991). Menurut Sudaryono (2008), ruang abstrak adalah suatu ruang
nyata, juga ruang konkrit. Sebagai kesimpulan dari penelitian ini, fenomena dari
Parangtritis sejalan dengan filsafat Lefebvre tentang “underpinning”, “initial
basis” dan “foundation of space”. Lefebvre mengajar kita bahwa eksistensi ruang
atau produksi ruang bekerja di bawah sistem interconnected-relations.
Waani (2010), judul Basudara dalam Permukiman Titiwungen Selatan
Pasca Reklamasi Pantai Manado. Fokus penelitian pada makna dan perilaku
manusia dalam permukiman pasca reklamasi pantai. Penelitian ini menggunakan

15
metode Fenomenologi Husserl. Cara penelitian ini dilakukan dengan grand tour
dan kemudian diikuti dengan mini tour. Pengumpulan data dilakukan dengan
wawancara dan observasi lapangan. Data terkumpul, kemudian dianalisis dengan
menggunakan analisis induktif. Tahapan analisis induktif dimulai dari unit
informasi, tema, kemudian membentuk konsep. Selanjutnya konsep-konsep
tersebut membentuk teori. Hasil penelitian menunjukkan adanya strategi
keruangan masyarakat pasca reklamasi pantai yang berkaitan dengan perilaku
meruang dalam usaha untuk menyesuaikan, mempertahankan, menandai dan
melegitimasi ruang. Nilai Basudara menjadi dasar tindakan masyarakat dalam
permukiman. Penelitian Waani mengungkap tata nilai masyarakat yang mendasari
praktik keruangan pada masa pasca reklamasi Pantai Manado. Masyarakat di
Titiwungen Selatan mempunyai heterogenitas budaya dan agama. Namun pasca
reklamasi Pantai Manado, masyarakat dari beragam latar budaya ini merespon
ruang di kawasan itu dengan nilai persaudaraan yang kuat. Konsep basudara
ditemukan oleh Waani (2007) sebagai dasar praktik keruangan di kawasan ini.
Penelitian-penelitian fenomenologis lainnya yang menggali makna ruang
permukiman dengan menggunakan kampung kota dan sekitarnya sebagai kasus,
Santoso (2007) melakukan penelitian yang mengungkap nilai lokal yang
mendasari praktik keruangan di kawasan permukiman padat. Dalam penelitian ini,
Santoso (2007) mengambil lokus di Kampung Pajeksan dan Kampung
Jogonegaran yang terletak di pusat Kota Yogyakarta. Keunikan toleransi
keruangan di kawasan berkepadatan tinggi dengan heterogenitas latar belakang
budaya ini berhasil menjaga kelangsungan kehidupan masyarakat di kawasan
yang sekaligus berkembang sebagai kawasan komersial. Beberapa pembahasan
yang dilakukan peneliti lain belum secara spesifik mengungkap konsep
pengembangan ruang kegiatan ekonomi. Purwanto (2007) dalam penelitiannya
tentang konsep pengembangan ruang, telah mengaitkannya dengan kegiatan
ekonomi sebagai salah satu titik masuk penelitian. Penelitian ini mengambil kasus
ruang ekonomi dengan skala kota, yaitu kawasan Jl. Malioboro, Yogyakarta, yang
juga berfungsi sebagai ruang publik. Dalam penelitian ini ditemukan konsep
rukun kota yang mempengaruhi penggunaan ruang tersebut. Berbeda dengan

16
Supriharjo (2004) yang menemukan kentalnya pengaruh religi dan sejarah pada
pembentukan ruang di Kawasan Ampel, Surabaya. Kasus ini dieksplorasi dengan
pertimbangan keberlanjutannya di era modern yang sarat dengan dinamika sosial.
Nilai ruang di Kawasan Ampel diturunkan dari latar belakang religi dan
penghormatan masyarakat terhadap kesejarahan lingkungan.
Penelitian yang mengungkap keterkaitan antara ruang dan budaya
masyarakat, antara lain dilakukan oleh Waani (2000) di kawasan permukiman
Kampung Jawa Tondano Sulawesi Utara. Waani (2000) menemukan bahwa
akulturasi budaya masyarakat Jawa pada lingkungan masyarakat setempat telah
mempengaruhi pengembangan ruang kegiatan bermukim masyarakat setempat.
Begitu pula dengan Zaenal (2000) yang mengeksplorasi konsep pengembangan
ruang kegiatan bermukim masyarakat transmigran di Desa Tolai Kabupaten
Donggala Sulawesi Tengah. Budaya asal mereka Bali mempengaruhi tata ruang
desa terutama keberadaan pura yang menjadi ciri visual secara fisik. Namun di
balik itu, tata nilai dan budaya setempat ternyata masih tetap menjadi panutan
dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya Bahri (2014) melakukan penelitian
tentang nilai ruang bermukim Suku Muna di Kawasan Gunung Jati Kota Kendari.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas yang homogen memiliki cara dan
strategi untuk membangun semangat solidaritas dan rasa kepedulian sosial.
Komunitas yang homogen dengan latar belakang sejarah, ekonomi, sosial, budaya
dan pola hubungan sosial yang sama akan mampu mempertahankan Kawasan
Gunung Jati sebagai sumber kehidupannya.
Penelitian tentang makna dan perilaku manusia dalam struktur masyarakat
yang relatif homogen (mono-culture) di wilayah permukiman pesisir, khususnya
di wilayah Sulaa Baubau belum pernah di lakukan. Penelitian ini memfokuskan
pada perilaku keruangan masyarakat dalam ruang permukiman, dihubungkan
dengan makna ruang dalam penciptaan dan penggunaan ruang di Permukiman
Sulaa Kecamatan Betoambari Kota Baubau Sulawesi Tenggara. Beberapa hasil
penelitian sebelumnya yang terkait dengan lokus penelitian dan hasil penelitian
tentang keruangan pada permukiman masyarakat, dirangkum pada Tabel 1.

17
Tabel 1. Rangkuman hasil penelitian terkait yang pernah dilakukan sebelumnya
Judul Tema Fokus Lokus Metode
Mulyati, Ahda, 2015 (Disertasi)
Sama di Lao’ Sebagai Konsep Spasial dan Permukiman Fenomenologi
Dasar Pembentuk ruang makna Suku Bajo di Analisis
Arsitektur Permukiman permukiman permukiman Pulau Induktif
Suku Bajo Pulau kabalutan
Kabalutan Sulawesi Sulawesi
Tengah Tengah
Bahri, Alim, 2014 (Tesis)
Nilai Ruang Bermukim Konsep nilai Nilai ruang Kawasan Fenomenologi
Suku Muna: Kawasan ruang bermukim Gunung Jati analisis
Gunung Jati Kota Kendari Kota Kendari induksi
Rejeki, VG, Sri, 2012 (Disertasi)
Tata Permukiman Berbasis Tata Tata Desa kapencar Fenomenologi
Punden Desa kapencar permukiman permukiman Lereng
Lereng Gunung Sindoro dipengaruhi Gunung
Kabupaten Wonosobo oleh unsur Sindoro
punden Kabupaten
Wonosobo
Radja, A. Mufti, 2012 (Disertasi)
A Study on Use of Balebale Konsep Perilaku ruang Permukiman Kualitatif
for Shared Place in High ruang Laelae Naturalistik
Density Island Makassar
Waani, Judy O., 2010 (Disertasi)
Basudara Dalam Konsep Perilaku ruang Permukiman Fenomenologi
Permukiman Titiwungen ruang Titiwungen Analisis
Selatan Pasca Reklamasi permukiman Selatan induktif
Pantai Manado Manado
Sudaryono, 2008 (Jurnal)
Production of Settlements Konsep Produksi Parangtritis, Qualitative
on The Basis of a Spiritual ruang Ruang Yogyakarta Exploratory
space. A Case of Analisis
Parangtritis Settlement of Induktif
Yogyakarta, Indonesia
Purwanto, Edi, 2007 (Disertasi)
Rukun Kota: Ruang Makna Persepsi ruang Poros Tugu Fenomenologi
Perkotaan Berbasis ruang Pal Putih- Analisis
Budaya Guyub, Poros perkotaan Alun-alun induktif
Tugu Pal Putih-Alun-alun Utara Kota
Utara Kota Yogyakarta Yogyakarta
Asriany, Sherly, 2007 (proceedings Meeting and Confrence)
Spatial Change of Pola spasial Perubahan Kelurahan Descriptive
Fishermen Settlement in permukiman pola spasial Cambaya, Qualitative
The Context of Makassar Method
Urbanization of Cambaya
Village in Makassar
Santoso, Dermawati D, 2007 (Disertasi)
Toleransi Keruangan Toleransi Konsep Kampung Fenomenologi
Dalam Permukiman Padat keruangan keruangan Pajekesan dan Analisis
Kampung induktif
Jogonegaran,
Yogyakarta
(Bersambung)

18
Tabel 1. Lanjutan
Judul Tema Fokus Lokus Metode
Wallin, Paul, and Hellena Martinsson-Wallin, 2007 (Jurnal Internasional)
Settlement Patterns- Karakteristik Karakteristik Samoa Correspondence
Social and Ritual Space in permukiman permukiman Analysis
Prehistoric Samoa pesisir dan
pedalaman
Kurniasari, Indah, 2005 (Tesis)
Keberlanjutan Konsep Teori rumah, Permukiman Studi Kasus,
Permukiman Nelayan rumah model Nelayan wawancara,
Muara Angke Penjaringan metabolism Muara Angke observasi
Jakarta Utara permukiman
Tisnawati, Endah, 2005 (Tesis)
Perubahan Spasial Perubahan Perubahan Kampung Naturalistik
Permukiman di Kampung spasial spasial dan Karangmalang fenomenologi
Karangmalang kawasan sistem nilai Yogyakarta
Yogyakarta permukiman mendasarinya
Supriharjo, Rimadewi, 2004 (Disertasi)
Nilai Ruang di Kawasan Konsep nilai Aktivitas dan Kawasan Fenomenologi
Ampel Surabaya ruang penggunaan Ampel Analisis
ruang (religi, Surabaya eksplorasi
histori, sosial kualitatif-
dan ekonomi) induktif
Runa, I Wayan, 2004 (Disertasi)
Sistem Spasial Desa Sistem Sistem spasial Bali Fenomenologi
Pegunungan di Bali Spasial dalam Induktif-
Dalam Perspektif Sosial Desa perspektif Kualitatif
Budaya Sosial budaya
Purnomo, MDE., 2003 (Tesis)
Makna dan Fungsi Ruang Aktivitas Makna ruang Dukuh Cetho, Fenomenologi
Rumah Pedesaan di menghuni dan respon Karanganyar,
Dukuh Cetho perilaku Jawa Tengah
Karanganyar Jawa
Tengah
Ramadan, S., 2003 (Tesis)
Kesultanan dan Aparatnya Konsep Makna Baubau Kualitatif
dalam Rumah Bangsawan rumah simbolik rumah Kabupaten Rasionalistik
Buton Buton
Garib, TW., 2002 (Tesis)
Bentuk Permukiman Aktivitas Bentuk Tepian Sungai Rasionalistik
Tepian Sungai Ditinjau bermukim permukiman Kahayan, eksploratif
dari Eelemen Fisik Palangkaraya
Kawasan dan Faktor
Pengaruhnya
Hasan, Raziq, Prabowo, Hendro, 2002 (Proceedings International Symposium)
Perubahan Bentuk dan Konsep Perubahan Kawasan Metode
Fungsi Arsitektur rumah bentuk dan Pesisir Kamal Kualitatif
Tradisional Bugis di fungsi Rumah Muara,
Kawasan Pesisir Kamal Jakarta Utara
Muara, Jakarta Utara
(Bersambung)

19
Tabel 1. Lanjutan
Judul Tema Fokus Lokus Metode
Kadir, Ishak, 2000 (Tesis)
Kesinambungan dan Konsep Kesinambungan Kawasan Kualitatif
Perubahan Pada rumah dan perubahan Benteng Rasionalistik
Perkembangan Rumah Kraton Buton
Tradisional Buton di Kabupaten
Benteng Kraton Buton Buton
Kabupaten Buton Sulawesi
Sulawesi Tenggara Tenggara
Waani, Judy O., 2000 (Tesis)
Sistem Setting Akulturasi Aktivitas dan Kampung Kualitatif
Masyarakat Kampung budaya dan setting Jawa Tondano Rasionalistik
Jawa Tondano arsitektur permukiman Minahasa,
Sulawesi
Tengah
Asniawaty, 2000 (Tesis)
Pola Spasial Permukiman Pola spasial Pola Desa Pantai Rasionalistik
Desa Pantai Galesong permukiman permukiman Galesong Kualitatif
dan faktor Makassar
pembentuknya
Adiputra, IGNT, 1999 (Tesis)
Rumah Tinggal Aktivitas Sistem sosial Desa Adat Rasionalistik
Tradisional dan bermukim budaya dan Pengotan
Lingkungannya di Desa arsitektur Bangli, Bali
Adat Pengotan, Bangli

1.6. Lingkup Penelitian

Lingkup penelitian ini mencakup arsitektur permukiman yang berfokus pada


makna ruang Permukiman Sulaa berdasarkan perilaku pelaku ruangnya, sehingga
diperoleh gambaran tentang makna ruang permukiman secara utuh dan mendalam
pada penciptaan dan penggunaan ruang di Permukiman Sulaa. Konsep ruang
dikonstruksikan melalui pendekatan sosial-budaya-spasial. Penelitian ini
menggunakan metode fenomenologi Husserl dengan analisis induktif.
Lingkup dan batasan wilayah penelitian meliputi seluruh kawasan
permukiman Sulaa yang terkonsentrasi di wilayah pesisir Sulaa, Kelurahan Sulaa,
Kecamatan Betoambari, Kota Baubau. Kawasan permukiman pesisir Sulaa
merupakan penduduk terpadat di wilayah Kelurahan Sulaa, meliputi RW2 terdiri
dari 2 RT dan sebagian RW1 terdiri dari 2 RT.

20

Anda mungkin juga menyukai