Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman
mycobacterium tuberculosis. TB paru mencakup 80% dari keseluruhan kejadian penyakit TB,
sedangkan 20% selebihnya merupakan TB ekstrapulmonar. Diperkirakan bahwa sepertiga
penduduk dunia pernah terinfeksi kuman M. Tuberculosi(1).
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia
ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis
sebagai Global Emergency. Tuberkulosis diperkirakan masih menyerang 9,6 juta orang dan
menyebabkan 1,2 juta kematian pada tahun 2014. India, Indonesia dan China merupakan
negara dengan penderita
tuberkulosis terbanyak yaitu berturut-turut 23%, 10% dan 10% dari seluruh penderita di
dunia. Angka prevalensi TB pada tahun 2014 menjadi sebesar 647/100.000 penduduk
meningkat dari 272/100.000 penduduk pada tahun sebelumnya, angka insidensi tahun 2014
sebesar 399/100.000 penduduk dari sebelumnya sebesar 183/100.000 penduduk pada tahun
2013, demikian juga dengan angka mortalitas pada tahun 2014 sebesar 41/100.000 penduduk,
dari 25/100.000 penduduk pada tahun 2013. Sebagian besar kasus yang diperkirakan pada
2014 terjadi di Asia (58%) dan afrika (28%); empat proporsi kasus terkecil terjadi di kawasan
timur mediterania (8%), kawasan Eropa (3%) dan kawasan Amerika (3%). Enam negara
dengan kasus TB yang menonjol dengan jumlah kasus yang besar pada tahun 2014 adalah
India, Indonesia, China, Nigeria, Pakistan dan Afrika Selatan, negara-negara ini dan empat
negara lainnya (Bangladesh, Philippines, DR Congo, dan Ethiopoia) yang menjadi sepuluh
negara teratas dengan penyakit TB. India, Indonesia, dan hina sendiri sudah bertanggung
jawab atas 43% dari kasus global pada tahun 2014. (2)
Di Indonesia Hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2013 menunjukkan prevalensi
penduduk Indonesia yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan tahun 2013 adalah 0,4
persen, tidak berbeda dengan 2007. Lima provinsi dengan TB paru tertinggi adalah Jawa
Barat (0,7%), Papua (0,6%), DKI Jakarta (0,6%),Gorontalo (0,5%), Banten (0,4%) dan Papua
Barat (0,4%). Proporsi penduduk dengan gejala TB paru batuk ≥2 minggu sebesar 3,9 persen
dan batuk darah 2,8 persen. Berdasarkan karakteristik penduduk, prevalensi TB paru
cenderung meningkat dengan bertambahnya umur, pada pendidikan rendah, tidak bekerja.
Prevalensi TB paru terendah pada kuintil teratas. Dari seluruh penduduk yang didiagnosis TB
paru oleh tenaga kesehatan, hanya 44,4% diobati dengan obat program. Lima provinsi
terbanyak yang mengobati TB dengan obat program adalah DKI Jakarta (68,9%). DI

1
Yogyakarta (67,3%), Jawa Barat (56,2%), Sulawesi Barat (54,2%) dan Jawa Tengah
(50.4%)(3). Di Sumatera Utara prevalensi pasien yang terdiagnosis TB paru oleh tenaga
kesehatan pada tahun 2013 adalah sebesar 0,2 persen, sedangkan proporsi penduduk
Sumatera Utara dengan gejala TB paru batuk ≥2 minggu sebesar 3,8 persen dan batuk darah
sebesar 2,7 persen.(3)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI TUBERKULOSIS

World Health Oraganizatin (WHO) [2013], mendefinisikan pulmonary tuberculosis


merupakan kasus TB yang terdiagnosa secara klinis maupun bakteriologi yang melibatkan
parenkim paru maupun saluran trakeobrankia. Milliary Tuberculosis diklasifiasi sebagai TB
paru dikarenakan lesinya di paru.(13)
Penyakit Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi kronik yang menyerang hampir
semua organ tubuh manusia dan yang terbanyak adalah paruparu.(11) Menurut Alsagaff dan
Mukty Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis,
yakni kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru atau di berbagai organ tubuh lainnya
yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi.(4)

2.2 EPIDEMIOLOGI TB-PARU

Pada tahun 2015 ditemukan jumlah kasus tuberkulosis sebanyak 330.910 kasus. Kasus
meningkat bila dibandingkan semua kasus tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2014
yang sebesar 324.539 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi
dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kasus
tuberkulosis di tiga provinsi tersebut sebesar 38% dari jumlah seluruh kasus baru di
Indonesia.(5)
Menurut kelompok jenis kelamin, jumlah kasus pada laki-laki lebih tinggi daripada
perempuan yaitu 1,5 kali dibandingkan pada perempuan. Pada masing-masing provinsi di
seluruh Indonesia kasus lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Menurut kelompok umur, kasus tuberkulosis pada tahun 2015 paling banyak ditemukan pada
kelompok umur 25-34 tahun yaitu sebesar 18,65% diikuti kelompok umur 45-54 tahun
sebesar 17,33% dan pada kelompok umur 35-44 tahun sebesar 17,18%.(5)

Gambar 2.1 prevalensi TB Paru menurut provinsi di Indonesia 2007 dan 2013

3
2.3 ETIOLOGI TB-PARU
Penyebab dari penyakit adalah bakteri Mycobacterium tuberculois. Ukuran dari bakteri
cukup kecil yaitu 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron dan bentuk dari bakteri ini yaitu batang,
tipis, lurus atau agak bengkok, bergranul, tidak mempunyai selubung tetapi kuman ini
mempunyai lapisan luar yang tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Sifat dari
bakteri ini sedikit istimewa, karena bakteri ini dapat tertahan terhadap pencucian warna
dengan asam dan alcohol sehingga sering disebut dengan bakteri tahan asam (BTA). Selain
itu bakteri ini juga tahan terhadap suasana kering dan dingin. Bakteri ini dapat bertahan pada
kondisi rumah atau lingkungan yang lembab dan gelap bisa sampai berbulan-bulan namun
bakteri ini tidak tahan atau dapat mati apabila terkena sinar, matahari atau aliran udara.(6)
2.4 FAKTOR RESIKO TB-PARU
a. Dari Pajanan Hingga Infeksi
M. tuberculosis paling sering ditularkan dari pasien TB paru infeksius ke orang lain
melalui percikan dahak yang tersebar di udara akibat batuk, bersin, atau berbicara. Berbutir-
butir percikan yang kecil tersebut dengan cepat mengering, yang terkecil (berdiamer < 5-10
μm) dapat tetap berada di udara selama beberapa jam dan dapat mencapai saluran napas
terminal jika dihirup. Mungkin terdapat sebanyak 3000 droplet infeksius per kali batuk.
Faktor penentu risiko penularan TB antara lain probabilitas kontak dengan pengidap TB
infeksius, kedekatan dan lama kontak tersebut, daya tular kasus, dan lingkungan tempat
terjadinya kontak. Beberapa studi mengenai situasi kontak-erat telah jelas memperlihatkan
bahwa pasien TB dengan sputum mengandung BTA pada pemeriksaan mikroskopis
merupakan kasus yang paling infeksius. Pasien yang paling infeksius adalah yang memiliki
kavitas paru di atau, yang lebih jarang lagi, TB laring dan memproduksi sputum yang
mengandung hingga 105-107 BTA/mL.(7)
Jadi risiko infeksi terinfeksi M. Tuberkulosis di tentukan terutama oleh faktor eksogen.
Karena keterlambatan berobat dan penegakan diagnosis, secara umum diperkirakan bahwa, di
daerah dengan prevalensi tinggi, satu pengidap BTA positif dapat menularkan hingga 20
orang sehat sebelum pengidap tersebut didiagnosis memiliki TB.(7)
b. Dari Infeksi Hingga Penyakit
Berbeda dengan risiko terinfeksi, risiko seorang untuk sakit TB setelah bergantung
terinfeksi bergantung terutama pada faktor endogen. Penyakit klinis yang berlangsung timbul
setelah infeksi diklasifikasikan sebagai TB primer dan sering terjadi pada anak-anak dalam
beberapa tahun pertama tahun pertama kehidupan serta di antara pengidap
immunocompromised. TB primer umumnya tidak dikaitkan dengan penularan tingkat tinggi.

4
Jika infeksi didapatkan pada usia lebih tua, kemampuan sistem imun untuk mengendalikan
infeksi tersebut, paling tidak secara temporer, akan meningkat. Akan tetapi, basil yang
dorman dapat menetap bertahun-tahun sampai mengalami reaktivitasi dan menjadi TB
sekunder (pasca primer) yang lebih menular dibanding TB primer karena sering terbentuk
kavitasi. Secara keseluruhan, diperkirakan bahwa 10% orang yang mengalami TB aktif, dan
separuh dari mereka mengalami dalam satu tahun pertama setelah infeksi. Risiko jauh lebih
besar pada orang dengan HIV.(7)
Kasus-kasus reinfeksi pada orang yang sebelumnya terinfeksi, yang sering terjadi di
daerah dengan angka penularan TB yang tinggi, juga mempermudah timbulnya penyakit.
Usia adalah faktor risiko penting terhadap timbulnya penyakit setelah terinfeksi. Untuk satu
alasan yang belum jelas, diketahui bahwa insidens TB paling tinggi di usia remaja akhir dan
dewasa muda. Insidens pada wanita memuncak pada usia 25-34 tahun. Pada kelompok usia
ini, angka kejadian pada wanita mungkin lebih tinggi dari pada pria, dan sebaliknya pada usia
lanjut. Risiko meningkat pada usia lanjut dan mungkin disebabkan oleh penurunan imunitas
dan komorbiditas.(7)
Sejumlah penyakit dan kondisi tertentu mempermudah timbulnya TB paru aktif. Faktor
risiko yang paling poten untuk TB tentunya adalah koinfeksi dengan HIV, yang menekan
imunitas seluler. Besarnya risiko bahwa infeksi laten M. tuberculosis akan berkembang
menjadi penyakit aktif ditentukan oleh derajat imunosupresi pasien. Dalam sebuah penelitian
yang melibatkan pengidap HIV dengan tes tuberkulin (tuberculin skin test) TST positif, risiko
tersebut bervariasi dari 2,6 hingga 13,3 kasus per 100 orang-tahun dan meningkat seiring
dengan penurunan sel T CD4.(7)
c. Perjalanan Penyakit
Studi-studi yang dilakukan di lakukan di berbagai negara sebelum penemuan
kemoterapi memperlihatkan bahwa TB yang tidak diobati sering mematikan. Sekitar
sepertiga orang meninggal dalam 1 tahun setelah diagnosis, dan lebih dari 50% meninggal
dalam 5 tahun. Angka kematian 5 tahun pada kasus dengan pulasan sputum BTA positif
adalah 65%. Dari orang yang bertahan hidup setelah 5 tahun, setelah 60% mengalami remisi
spontan, sementara sisanya terus mengeluarkan basil tuberkel. Dengan kemoterapi yang
efektif, tepat waktu, dan sesuai, pasien memiliki peluang untuk sembuh yang sangat tinggi.
Namun, penggunaan obat anti-TB yang tepat, di samping mengurangi angka kematian, juga
dapat menyebabkan peningkatan jumlah kasus infeksi kronis, yang sering diserati dengan
basil resistan-obat.(7)

5
2.5 CARA PENULARAN TB-PARU
Penyakit tuberkulosis yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis dapat
ditularkan melalui udara (droplet nuclei). Penularan dapat terjadi saat seorang pasien TB
batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebutterhirup oleh orang lain. Bila
penderita batuk, bersin atau berbicara saat berhadapan dengan orang lain, basil tuberkulosis
dapat menyembur keluar dan masuk ke dalam paru orang yang sehat.(6)
Pasien TB dengan BTA negatif masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit
TB, karena hasil pemeriksaan BTA negatif bukan berarti tidak mengandung kuman dalam
dahaknya Hal tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam
contoh uji ≤ 5.000 kuman/cc dahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis
langsung. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif
dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan
foto toraks positif adalah 17%.(10) M. tuberculosis yang masuk melalui saluran nafas
manusia dapat menyebar ke bagian tubuh lainnya secara hematogen, limfogen atau secara
langsung di organ terdekatnya.(6)
Tabel 2.1 Faktor Resiko Terjadinya Tuberkulosis Aktif Pada Orang Dengan Infeksi Basil
Tuberkel 7

(Sumber: Raviglione, Mario C., O’Brien Richard J. 2016. Tuberkulosis. In:Loscalzo, Joseph. Harrison
Pulmonologi dan Penyakit Kritis Edisi 2. Jakarta: EGC. 112-34).

2.6 PATOGENESIS TB-PARU


a. Infeksi Primer
Interaksi M. tuberculosis dengan tubuh manusia dimulai ketika butiran percikan ludah
yang mengandung mikroorganisme dari pasien infeksius terhirup. Meskipun sebagian besar
basil yang terhirup terperangkap di saluran nafas atas dan dikeluarkan oleh sel-sel mukosa
bersilia, sebagian kecil (biasanya ≤10%) mencapai alveolus.(7)

6
Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5 mikrometer. Kuman akan
dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel
akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama
gerakan silia dengan sekretnya.(11)
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma makrofag
maka kuman yang bersarang di jaringan paru akan membentuk sarang tuberkulosis
pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer atau sarang Ghon. Sarang primer
ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka
terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan
limfe, orofaring, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri M. tuberculosis masuk ke
dalam vena dan dapat menyebar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila
masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB
milier.(11)
Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di
hilus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal bersama-sama dengan
limfadenitis regional disebut kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-
8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi:
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum) Ini
yang banyak terjadi.
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garisfibrotik,kalsifikasi di
hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5 mm dan ± 10% di
antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.
3. Berkomplikasi dan menyebar dengan cara :
 Perkontinuitatum, yaitu menyebar kesekitarnya.
 Penyebaran secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru
disebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga
menyebar ke usus.
 Penyebaran secara hematogen ke organ tubuh lainnya.
 Penyebaran secara limfogen ke organ tubuh lainnya.(11)

7
b. Infeksi Post Primer
Mycobacterium tuberculosis yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-
tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post
primer = TB pasca primer= TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis
sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti pada penderita malnutrisi, diabetes, dan
HIV/AIDS. Penyakit ini biasanya terbatas di segmen apeks atau posterior lobus atas yang
umumnya memiliki tekanan oksigen rerata lebih tinggi (dibandingkan zona bawah) dan
mendukung pertumbuhan mikobakteri. Segmen superior lobus-lobus bawah juga lebih sering
terkena. Luasnya keterlibatan parenkim paru sangat bervariasi, dari terbentuknya infiltrat
kecil hingga kavitas ekstensif.(7)
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10
minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel Histiosit
dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit
dan berbagai jaringan ikat.(11)
TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda menjadi TB
usia tua (elderly tuberculosis). Tergantung dari jumlah kuman, virulensi-nya dan imunitas
pasien, sarang dini ini dapat menjadi:
− Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
− Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan
jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan
perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang
menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami
nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan
keluar akan terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama
dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblast dalam jumlah besar,
sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik).
Di sini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak. Kavitas dapat:
− Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas ini
masuk dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB milier. Dapat juga
masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk lambung dan selanjutnya ke usus
jadi TB usus. Sarang ini selanjutnya mengikuti perjalanan seperti yang disebutkan
terdahulu.

8
− Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma ini
dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan jadi
kavitas lagi.
− Bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity. Dapat juga menyembuh
dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang berakhir sebagai kavitas
yang terbungkus, menciut dan berbentuk seperti bintang disebut stellate shaped(11)

2.7 KLASIFIKASI TUBERKULOSIS


a. Letak Anatomi Penyakit
Tuberkulosis paru adalah kasus TB yang mengenai parenkim paru. Tuberkulosis milier
diklasifikasikan sebagai TB paru karena lesinya terletak dalam paru.(2)
TB ekstraparu adalah kasus TB yang mengenai organ lain selain paru seperti paru
pleura, kelenjar getah bening (termasuk media stenum dan/atau hilus), abdomen, traktus
genitourinarius, kulit, sendi, tulang dan selaput otak.(2)

b. Hasil Pemeriksaan Dahak atau Bakteriologi


- Tuberkulosis paru BTA positif, apabila:
Minimal satu dari sekurang-kurangnya dua kali pemeriksaan dahak menunjukkan
hasil positif pada laboratorium yang memenuhi syarat quality external
assurance(EQA). Sebaiknya satu kali pemeriksaan dahak tersebut berasal dari
dahak pagi hari. Saat ini Indonesia sudah memiliki beberapa laboratorium yang
memenuhi syarat (EQA).

- Pada negara atau daerah yang belum memiliki laboratorium dengan syarat EQA,
maka TB paru BTA positf adalah:
1. Dua atau lebih hasil pemeriksaan pemeriksaan dahak BTA positif
atau
2. Satu hasil pemerikssaan dahak BTA positif dan didukung hasil pemeriksaan foto
toraks sesuai dengan gambaran TB yang diterapkan oleh klinisi atau
3. Satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif ditambah hasil kultur M.tuberculosis
positif.

- Tuberkulosis paru BTA negatif, apabila;


1. Sedikitnya dua hasil pemeriksaan dahak BTA negatif pada laboratorium yang
memenihi syarat EQA

9
2. Dianjurkan pemeriksaan kultur pada hasil pemeriksaan dahak BTA negatif untuk
memastikan diagnosis terutama pada daerah dengan prevalens HIV > 1 % atau pasien
TB dengan kehamilan ³ 5%
3. Jika hasil pemeriksaan dahak BTA dua kali negatif di daerah yang belum memiliki
fasilitas kulturM.tuberculosis.
4. Memenuhi kriteria sebagai berikut: Hasil foto toraks sesuai dengan gambaran TB
aktif dan disertai salah satu dibawah ini: Hasil pemeriksaan HIV positif atau secara
laboratorium sesuai HIV, atau jika HIV negatif (atau status HIV tidak diketahui atau
prevalens HIV rendah), tidak menunjukkan perbaikan setelah pemerian antibiotik
spektrum luas (kecuali antibiotik yang mempunyai efek anti TB seperti
fluorokuinolon aminoglikosida)
- Kasus bekas TB:
1. Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) Negatif dan
gambaran radiologik paru menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pegobatan
OAT yang adekuat akan lebih mendukung.
2. Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif,
namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada
perubahan gambaran radiologi.(2)
c. Riwayat Pengobatan Sebelumnya
Riwayat pengobatan sangat penting diketahui untuk melihat risiko resistensi obat atau
MDR. Pada kelompok ini perlu dilakukan pemeriksaan kultur dan uji kepekaan OAT.
Tipe pasien berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu:
a. Pasien baru adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah mendapatkan OAT kurang dari satu bulan. Pasien
dengan hasil dahak BTA positif atau negatif dengan lokasi anatomi penyakit di
manapun
b. Pasien denganriwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang sudah pernah
mendapatkan pengobatan TB sebelumnya minimal satu bulan, dengan hasik dahak
BTA positif atau negatif dengan lokasi anatomi penyakit di manapun. (2)
d. Status HIV Pasien
Status HIV pasien merupakan hal yang penting untuk keputusan pengobatan. Akan
dibahas lebih lanjut pada pembahasan TB-HIV.(11)

10
2.8 DIAGNOSA TB-PARU
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan radiologi, pemeriksaan bakteriologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya.(8)
a. Anamnesis
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Batuk
dapat diikuti oleh gejala tambahan yaitu berupa dahak yang bercampur dengan darah, batuk
darah, malaise, sesak nafas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, berkeringat di
malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Mengingat pravelensi
TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang mengeluhkan gejala tersebut
dianggap sebagai seorang terduga TB.(5)
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pameriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang
terlibat.(2) Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan
kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah
apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada
pemriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas
melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastenum.(2)
Pada pleuritis TB, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari baiknya cairan di rongga
pleura. Pada perkusi ditemukan redup atau pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah
sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.(2)
Pada limfadenitis TB, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah
leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor),kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran
kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess(2)
c. Pemeriksaan Penunjang
Dalam menegakkan diagnosis TB paru sangat penting untuk dilakukan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan penunjang tersebut mencakup:

- Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman TB mempunyai arti yang sangat
penting dalam menegakkan diagnosis penyakit TB. Bahan untuk pemeriksaan ini dapat
berasal dari sputum, cairan pleura, liquor cerebrospinal, dan jaringan biopsy (termasuk
biopsy jarum halus/BJH). Pada anak dapat dilakukan pemeriksaan dari cairan lambung. Bila

11
pasien tidak dapat mengeluarkan sputum maka dapat diberikan aerosol, terutama larutan
garam, yakni dengan cara aerasi (PDPI, 2011 ; Rab, 2010).
Dapat juga dengan memberikan tambahan obat-obat mukolitik ekspektoran. Bila
masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi diambil dengan brushing atau
bronchial
washing atau BAL (broncho alveolar lavage).(11)
Pemeriksaan dahak untuk menegakkan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3
contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak
sewaktupagi- sewaktu (SPS), yaitu saat berkunjung pertama kali, pagi hari di hari kedua, dan
saat berkunjung ke fasyankes di hari kedua.(5)

- Darah
Pemeriksaan darah tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosa tuberkulosis
paru, karena hasil pemeriksaan darah tidak menunjukan gambaran yang khas. Gambaran
darah kadang-kadang dapat membantu menentukan aktivitas penyakit. Laju endap darah
(LED) sering meningkat pada proses aktif tetapi laju endap darah yang normal tidak dapat
mengesampingkan proses tuberkulosis aktif.(4)
Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif) akan didapatkan
jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri dan jumlah
limfosit yang masih di bawah normal. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali
normal sedangkan jumlah limfosit masih tinggi. Hasil pemeriksaan darah lain yaitu
ditemukannya anemia derajat ringan dengan gambaran normokrom dan normositer yang
biasanya terjadi pada tuberkulosis yang berat dan sering disebabkan oleh defisiensi besi(11)
Uji serologis juga dapat dilakukan untuk mendeteksi infeksi M. tuberculosis.
Pemeriksaan serologis yang pernah dipakai adalah Peroksidase Anti Peroksida (PAP-TB) dan
uji Mycodot. Tetapi alat bantu diagnostik ini tidak begitu bermanfaat karena sensitivitasnya
yang rendah (Amin dan Bahar, 2014; Raviglione dan O’Brien, 2015).

- Uji Tuberkulin
Perkembangan hipersensitivitas tipe lambat (HTL) pada basil tuberkel membuat uji
dengan tuberkulin menjadi sarana untuk diagnostik TB. Tes tuberkulin hanya menyatakan
apakah seseorang pernah atau sedang mengalami infeksi M. tuberculosis, M. bovis, vaksinasi
BCG, dan Mycobacteria pathogen lainnya. Pada penularan dengan kuman patogen yang
virulen ataupun tidak (Mycobacterium tuberculosae atau BCG) tubuh manusia akan
mengadakan reaksi imunologi pada tes tuberkulin. (11)

12
Uji tuberkulin mantoux adalah yang sering digunakan. Uji mantoux yaitu dengan
injeksi intradermal 0,1 cc yang mengandung 5 unit tuberkulin (TU) derivat protein yang
dimurnikan (purified protein derivative/PPD). Selain dari tes dengan 5 TU masih terdapat tes
dengan 250 TU dan 1 TU, akan tetapi bukan merupakan suatu standar klinis.(8)
Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi
kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibody
seluler dengan antigen tuberkulin dimana banyak sedikitnya reaksi dipengaruhi oleh antibodi
humoral. Makin besar pengaruh antibody humoral, makin kecil indurasi yang ditimbulkan.(11)

- Pemeriksaan radiologi
TB laten biasanya memberikan gambaran nodul kalsifikasi disekeliling paru-paru.
Reaktivitasi TB paru biasanya mencerminkan karakter aerobik dari organisme dan
menempati zona atas paru yang memiliki tekanan oksigen tinggi namun sekitar 10% kasus
TB postprimer juga dapat bermanifestasi di lobus bagian bawah.(14)
Pemeriksaan standar radiologi adalah foto toraks PA. TB dapat memberi gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran yang dicurigai sebagai lesi TB aktif
adalah:
1. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang) Gambaran radiologi yang
dicurigai lesi TB inaktif yaitu fibrotik, kalsifikasi, schwarte atau penebalan pleura. Pada
gambaran radiologi juga terdapat istilah luluh paru (destroyed lung). Luluh paru adalah
gambaran yang menunjukan kerusakan jaringan paru yang berat. Gambaran yang
terlihat terdiri dari atelektasis, ektasis/multikavitas dan fibrosis parenkim paru.(2)

13
Gambar 2.1 Gambaran Foto Toraks Pada Pasien TB paru

Gambar 2.2 Bagian Alur Diagnosa TB Paru Pada Pasiem Dewaasa

14
2.9 PENATALAKSANAAN TB-PARU
Obat antituberkulosis (OAT) merupakan komponen yang penting pada pengobatan
TB.Pengobatan TB yang adekuat harus mengandung minimal 4 macam OAT untuk
mencegah terjadinya resistensi. Tahapan pengobatan TB harus meliputi pengobatan tahap
awal dan tahap lanjutan.(15)

a. Obat Anti-Tuberkulosis
Tabel 2.1 Obat Anti-Tuberkulosis

Tabel 2.2 Jenis, Sifat dan Dosis OAT Lini Pertama

(Sumber: Subuh, Mohammad, Sigit Priohutomo, Christina Widaningrum, Triya Novita Dinihari, dan Vanda
Siagian. 2014. “Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis”. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. 15)

Terdapat 2 macam sifat/ aktifitas obat terhadap tuberkulosis:


1. Aktifitas bakterisid
Disini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang sedang tumbuh (metabolismenya masih
aktif) aktifitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat tersebut membunuh atau
melenyapkan kuman sehingga pada pembiaan akan didapatkan hasil yang negatif. (2 bulan
dari permulaan pengobatan).

15
2. Aktivitas sterilisasi
Di sini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat
(metabolism kurang aktif). Aktivitas sterilisasi di ukur dari angka kekambuhan setelah
pengobatan dihentikan
Dari hasil percobaan pada binatang dan pengobatan manusia ternyata:
- Hampir semua obat antituberkulosis mempunyai sifat bakterisid kecuali
etambutoldan tiasetazon yang hanya bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat.
- Rimfampisin dan pirazinamid mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan
INH dan streptomisin menempati urutan yang lebih bawah. Dalam aktivitas
bakterisid:
Rimfapisin dan INH disebut bakterisid yang lengkap (complete bacterial
drug) oleh karena kedua obat ini tidak dapat termasuk ke suluruh populasi kuman.
Kedua obat ini masingmasing mendapat nilai satu.
Pirazunamid dan streptomisin masing-masing hanya mendapat nilai setengah,
karena pirazinamid hanya bekerja dalam lingkungan asam sedangkan strepsomisin
dalam lingkungan basa.
Etambutol dan tiasetazon tidak mendapat nilai.(11)

Tabel 2.3 OAT Lini dua

Obat-obattan yang belum jelas efikasinya: makrolid, amoksisilin+as.klavulanat,


linezolid,clofazimin, Thioacetazone, Imipenem/Cilastatin, Clarithromycin, dll.
Obat lini kedua hanya digunakan untuk kasus resisten obat, terutama TB multidrug
resistant (MDR).(2)
b. Tujuan dan Prinsip Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah
kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman
terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip
– prinsip sebagai berikut:
− OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
− Dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap
(OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

16
− Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
− Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif)
− Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
− Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
− Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2
bulan.
Tahap Lanjutan
− Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama
− Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
- Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di
Indonesia:
▪ Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3.
▪ Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
- Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau
4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.
Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini
disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek
samping OAT KDT.(10)
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan
untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan kontinuitas) pengobatan
sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.(10)
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:

17
- Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat
dan mengurangi efek samping.
- Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi
obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep Jumlah tablet yang ditelan jauh
lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan
pasien.(10)
2.10 PENCEGAHAN
Prinsip untuk kontrol TB adalah deteksi kasus dan penyediaan kemoterapi TB jangka
pendek. Orang berisiko tinggi dengan TST positif perlu diterapi untuk infeksi laten.
Tindakan-tindakan untuk membatasi penularan mencakup isolasi respiratorik penderita TB
sampai mereka terbukti noninfeksius (minimal pemeriksaan BTA sputum negatif), ventilasi
yang baik di ruangan tempat pasien TB infeksius, pemakaian iradiasi ultraviolet ditempat-
tempat yang berisiko tinggi menyebarkan TB. Eliminasi TB juga termasuk mengurangi
berbagai faktor risiko TB seperti merokok dan diabetes dan faktor sosial ekonomi seperi
kemiskinan ekstrem, perumahan yang buruk, alkoholisme, dan malnutrisi.(7)
a. Vaksinasi BCG
Kemampuan BCG dalam memberikan efek protektif pada penyakit TB berbeda-beda
yaitu 0-80%. Meskipun tidak memberikan perlindungan yang maksimal namun vaksin
BCG dapat memberikan perlindungan dari bentuk-bentuk TB yang lebih serius seperti
meningitis TB dan TB miliar.(7)
c.
Kemoprofilaksis Pada prinsipnya kemoprofilaksis diberikan kepada pasien
yang berhubungan lama dengan pasien tuberkulosis baik yang hasil
tuberkulinnya positif ataupun negatif atau pasien yang pada foto toraksnya
terdapat gambaran lesi yang telah mengalami pengobatan sempurna. Lama
profilaksis yang optimal masih belum diketahui, tetapi banyak penelitian
menganjurkan waktu 6-12 bulan terhadap tersangka dengan hasil uji tuberkulin
yang diameternya lebih dari 5-10 mm. Bagi yang kontak dengan pasien
tuberkulosis sebaiknya diberikan 6 bulan dan bagi pasien HIV positif serta
terdapat kelainan paru sebaiknya mendapat profilaksis TB selama 12 bulan.
Obat yang diberikan adalah isoniazid ataupun rifampisin.(7,11)

18
2.11 KOMPLIKASI
Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi tersebut dikelompokan dalam:

- Komplikasi Dini
Pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, poncet’s arthropathy.

- Komplikasi Lanjut
SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat, fibrosis
paru, kor pulmonal, amilodosis, karsinoma paru, sindrom gagal nafas dewasa
(ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.(11)
2.12 PROGNOSIS
Sebelum ditemukan anti tuberkulosis, penyakit TB memiliki prognosis yang buruk. Jika
tidak diobati, angka kematian akibat TB dalam 5 tahun sejak terdiagnosis dengan sputum
BTA positif adalah 65%. Sejak ditemukan obat antituberkulosis, prognosis TB semakin baik.
Kecuali penderita yang telah mengalami relaps (kekambuhan), atau terdapat penyulit pada
organ paru dan organ lain di dalam rongga dada, maka penderita-penderita demikian banyak
yang jatuh ke dalam kor pulmonal. Bila terbentuk kaverne yang cukup besar, kemungkinan
batuk darah hebat dapat terjadi dan keadaan ini sering menimbulkan kematian. Untuk
diabetes mellitus yang sulit dilakukan regulasi, dapat menyebabkan penyembuhan penderita
tuberkulosis menjadi lama, walaupun telah memakai regimen yang adekuat.(4)

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Djojodibroto, Darmanto. 2012. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC.


151-68
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:PDPI.
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 2013.
Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 223-7
4. Alsagaff, Hood, dan H. Abdul Mukty. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya: Airlangga University Press
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. “Profil Kesehatan Indonesia
Tahun 2015”. http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-
kesehatanindonesia/ profil-kesehatan-Indonesia-2015.pdf (Diakses: 12 Agustus 2017)
6. Widoyono. 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, & Pemberantasannya.
Jakarta: EMS. 13-21
7. Raviglione, Mario C., O’Brien Richard J. 2016. Tuberkulosis. In: Loscalzo, Joseph.
Harrison Pulmonologi dan Penyakit Kritis Edisi 2. Jakarta: EGC. 112- 34.
8. Rab, Tabrani. 2013. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: CV. Trans Info Media
9. Patel, Pradip R. 2010. Lecture Notes Radiology Third Edition. UK: Blackwell
Publishing. 38-9
10. Subuh, Mohammad, Sigit Priohutomo, Christina Widaningrum, Triya Novita
Dinihari, dan Vanda Siagian. 2014. “Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis”.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 15
11. Bahar, Asril, dan Zulkifli Amin. 2014. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. In: Setiati,
Siti, Idrus Alwi, Aru W. Sudoyo, Marcellus Simandibrata K, Bambang Setiyohadi,
dan Ari Fahrial Syam. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI. Jakarta:
Interna Publishing.
12. World Health Organization (WHO). 2015. “Global Tuberculosis Report 2015”.
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/191102/1/9789241565059_eng.pdf (Diakses:
12 Desember 2018)
13. WHO. 2014. Definitions and Reporting Framework for Tuberculosis-2013 revision.
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/79199/1/9789241505345_eng.pdf? ua=1
(Diakses: 12 Desember 2017)
14. Ringel, E., 2012. Tuberkulosis. In : Kedokteran Paru. Jakarta Barat: PT Indeks. 220-
227.
15. Kemenkes RI., 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Available :
www.tbindonesia.or.id/opendir/buku/bpn-p-tb_2014.pdf&ved

20

Anda mungkin juga menyukai