Anda di halaman 1dari 9

PENGARUH POLITIK TERHADAP

KENAIKAN HARGA TIKET PESAWAT


DOMESTIK DI INDONESIA

DOSEN PEMBIMBING:

Dr. Warjio, SS.,MA.

Disusun Oleh :
Jessica Narulita Marbun
(160501085)

Jurusan Ekonomi Pembangunan


Fakultas Ekonomi Dan Bisnis
Univesitas Sumatera Utara
Kenaikan harga tiket domestik ini dianggap bertolak belakang dengan maraknya
promo tiket penerbangan ke luar negri, sehinggga membuat masyarakat Indonesia lebih
memilih berlibur ke luar negeri. Hingga masyarakat membuat petisi ya telah ditandatangani
oleh 211 ribu orang.

Ramainya isu kenaikan harga tiket pesawat ini juga menjadi sorotan ketika beberapa
media nasional memuat fenomena meningkatnya permintaan pembuatan paspor di Aceh yang
faktanya berhubungan dengan kenaikan harga tiket pesawat tersebut.Diketahui bahwa sejak
Januari 2019, Kantor Imigrasi Banda Aceh yang semulanya melayani 100 permohonan
formulir pembuatan paspor, mengalami peningkatan jumlah permohonan menjadi 200
formulir per hari.

Faktor Penyebab Harga Tiket Pesawat Rute Domestik Mahal

1. Harga tiket pesawat rute domestik dikenakan PPN 10%, sedangkan rute internasional
tidak ada pajak. Hal itu sesuai dengan PP No.28/1988 dan Kepmenkeu
1334/KMK.04/1988).
2. Harga avtur domestik lebih mahal karena kena PPN 10%, sedangkan harga avtur di
luar negeri lebih rumah karena tidak kena pajak pertambahan nilai.
3. Rute domestik tertentu frekuensinya jarang dan minim persaingan, sedangkan rute
luar negeri frekuensinya padat sehingga persaingan tinggi.
4. Maskapai rute domestik masih menjual tiket melalui agen sehingga ada beban komisi
agen, sedangkan rute internasional semua dijual langsung via internet.
5. Rute domestik memiliki regulasi tarif penerbangan batas atas dan bawah, sedangkan
rute internasional tidak ada kebijakan tersebut.
6. Rute domestik menggunakan pesawat berbadan sedang sampai kecil seperti, Boeing
737, A320, dan ATR72. Rute internasional menggunakan pesawat berbadan lebar
seperti, Boeing 777 dan Airbus 330.

Lebih lanjut adanya penilaian mengenai pasar penerbangan di Indonesia sudah


memasuki fase oligopoli yang ketat. Oligopoli merupakan keadaan pasar dengan produsen
berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat memengaruhi harga.
Padahal, jika mengacu pasal 4 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, oligopoli merupakan praktik usaha
yang dilarang.

Indikasi oligopoli, terlihat dari minimnya maskapai penerbangan yang melayani rute-
rute tertentu. Rute-rute tertentu yang dimaksud, khususnya rute di luar Jawa, yang hanya
digarap oleh segelintir maskapai penerbangan. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
terus melakukan pemeriksaan mendalam terhadap maskapai penerbangan terkait adanya
dugaan kartel pada kenaikan tarif pesawat yang diterapkan pihak maskapai beberapa waktu
lalu. Naiknya harga tiket salah satunya disebabkan oleh kenaikan biaya operasional, seperti
bahan bakar avtur.

Sebelumnya, mahalnya harga avtur domestik yang lebih tinggi 20% dibandingkan
harga internasional, disebut sebagai biang keladi naiknya tarif tiket pesawat beberapa waktu
lalu. Namun, tingginya harga avtur juga bukan tanpa sebab. PT Pertamina (Persero) diduga
melakukan monopoli terhadap penjualan avtur kepada pihak maskapai penerbangan.

Selain itu, mahalnya tiket pesawat juga dipicu oleh Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
yang harus ditanggung penerbangan domestik. Dan diduga adanya kartel juga menguat, dan
hal tersebut bisa tercium dari beberapa indikasi seperti;

 Pertama, kebijakan kenaikan dan penurunan tarif pesawat yang dilakukan secara
bersama-sama oleh para maskapai.
 Kedua, penurunan harga yang dilakukan segera.
 Ketiga, struktur industri yang tidak sehat. Indikasi ini tercium dari kebijakan kenaikan
harga tiket pesawat kemarin.
 Keempat, jumlah pemain di industri penerbangan yang hanya dikuasai oleh dua grup
besar, yaitu Garuda Indonesia Group dan Lion Air Group.

Adanya juga dugaan munculnya pasar duopoli memunculkan kerentanan persaingan


harga yang tidak sehat dalam suatu industri. Sebab, ketika pemain A melakukan kenaikan
harga, maka pemain B tidak serta merta akan mempertahankan harga. Justru, pemain B bisa
saja melakukan kenaikan harga juga, meski tidak setinggi pemain A. Hal ini lantaran pemain
B melihat ada peluang untuk tetap mendapat keuntungan dalam persaingan yang pasarnya
dikuasai oleh dua pemain saja.
Kembali ditekankan bahwa langkah intervensi dari pemerintah perlu. Apalagi,
langkah ini sejatinya tidak melanggar aturan. Hal ini lantaran pemerintah melalui
Kementerian Perhubungan memang memiliki wewenang kontrol terhadap tarif batas atas dan
tarif batas bawah yang selanjutnya mempengaruhi tarif tiket pesawat yang dijual maskapai.

Selain itu, penurunan tarif tiket pesawat diperlukan karena kenaikannya disebabkan
oleh persaingan yang tidak sehat di industri penerbangan. Hal ini tercermin dengan perang
tarif yang dilakukan masing-masing maskapai. tingginya harga tiket pesawat menjadi
perhatian kementeriannya saat itu karena memberi dampak pada indikator makro. Kenaikan
harga tiket pesawat membuat inflasi membengkak dalam beberapa bulan. Indonesia National
Air Carrier Association (INACA) mengakui rata-rata kenaikan harga tiket pesawat sebesar
40 persen sampai 120 persen beberapa waktu terakhir.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal


menilai dugaan persaingan yang tak sehat juga terlihat dari waktu maskapai memutuskan
mengerek tarif. Kemarin, kenaikan tarif justru dilakukan pada musim rendah permintaan (low
season). Padahal, hukum pasar biasanya momen kenaikan harga tiket dilakukan pada saat
permintaan tinggi (peak season), misalnya beberapa waktu sebelum liburan akhir tahun atau
jelang libur lebaran."Artinya, memang ada indikasi kompetisi di industri yang tidak berjalan
sempurna dan tidak sehat karena tidak elastis terhadap perubahan biaya produksi dan siklus
permintaan pasar," jelasnya.

Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kurnia Toha pun mengamini
dugaan ini. Kesepakatan naik turun tarif pesawat oleh beberapa maskapai sekaligus,
dianggapnya cukup memberikan indikasi kartel. Meskipun, kenaikan tarif pesawat
sebenarnya tidak melanggar Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 126 Tahun
2015 tentang Mekanisme Formulasi Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas dan Batas
Bawah Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam
Negeri.

Namun, bila naik turun ini benar mengarah ke kartel, maka perlu ditindaklanjuti.
Sebab, kartel tidak dibenarkan oleh Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Meskipun harga tiket
domestik sudah dinormalkan kembali, nyatanya hingga kini masih terkendala pemerataan
himbauan penurunan. Diketahui dari sejumlah harga tiket penerbangan yang masih
terhitung tinggi. Demikian pula dengan sejumlah situs online penjualan tiket pesawat,
yang belum secara merata melakukan penyesuaian harga tiket, berkenaan dengan
penurunan harga tiket yang sudah disebarluaskan ke masyarakat. Harga tiket yang dijual
masih tinggi seperti halnya penerbangan domestik ke Pekanbaru, Padang, dan Denpasar
masih melambung di atas Rp 1 juta untuk sekali jalan

Contoh lainnya dari harga tiket penerbangan domestik yang naik, seperti dari
Banda Aceh ke Surabaya pun sebelum naik adalah sekitar Rp 2.4 juta per orang, setelah
ada kenaikan menjadi Rp 4 juta per orang. Sama halnya seperti rute dari Jakarta ke
Pontianak harga sebelum naik sekitar Rp 300 – Rp 400 ribu, setelah ada kenaikan menjadi
sekitar Rp 800 ribu. Atau pun sebagai gambaran lainnya, dimana harga tiket pesawat yang
rata-rata belum turun itu, sempat melonjak naik hingga Rp 1 jutaan dari sebelumnya
hanya sekitar Rp 800 ribu – 900 ribu.

Dampak dari pro kontra harga tiket pesawat domestik, masih dirasakan hingga
kini. Lantaran memang harus ada penyesuaian harga tiket pesawat agar operasional
industri penerbangan tetap berjalan dengan baik. karena kalau harga tiket pesawat tetap
murah, dampaknya industri penerbangan akan lesu. Sebaliknya kalau pun memang ada
kenaikan, seharusnya bisa dilakukan secara bertahap dan tidak sesignifikan .

Kendati memperoleh respon yang berbeda dari emiten penerbangan, penurunan


harga tiket pesawat domestik pun tidak berjalan mulus sesuai harapan. Lantaran ternyata
penurunan harga tiket domestik tersebut, tidak serta merta mempengaruhi harga avtur
yang menjadi bahan bakar bagi pesawat. Meskipun Pertamina menjadi salah satu anggota
stakeholder, yang ikut menyetujui penurunan biaya kebandaraan dan navigasi pada 11
Januari 2019. Nampaknya hingga kini Pertamina belum memberikan tanda-tanda akan
menurunkan harga avtur pesawat, berkenaan dengan harga avtur yang dijual oleh
Pertamina belum juga turun hingga kini.

Dampak dari kenaikan harga tiket pesawat ini, Berdasarkan informasi yang
diterima, tingginya harga tiket telah membuat biaya perjalanan bisnis membengkak. Jika
perusahaan telah mematok harga tertentu, konsumen akhirnya harus menutupi dengan
kantong sendiri. Kenaikan tarif kargo pesawat juga membuat biaya pengiriman barang
semakin mahal.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Tallatof
mengungkapkan dampak kenaikan harga tiket pesawat berpotensi menyeret pertumbuhan
ekonomi kuartal I 2019. Pasalnya, kenaikan harga tiket pesawat akan berpengaruh pada
sejumlah sektor ekonomi mulai dari pariwisata, transportasi, logistik, hingga ritel.

Di sektor pariwisata, kenaikan harga tiket pesawat akan menekan jumlah wisatawan
domestik. Kondisi ini akan berpengaruh pada bisnis perhotelan dan penjualan oleh-oleh
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di destinasi pariwisata. Di sektor logistik, pelaku
mengeluh karena biaya pengiriman barang semakin mahal. Biaya tersebut pada akhirnya akan
dibebankan kepada konsumen.

Pemerintah telah meminta seluruh maskapai berbiaya murah untuk menyampaikan


usulan tarif pesawat murah pada pekan depan. Usulan itu meliputi rute dan besaran tarif yang
dapat diturunkan. Selain meminta maskapai untuk menurunkan harga tiket pesawat LCC ,
pemerintah menyatakan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) industri penerbangan
sepakat untuk menurunkan komponen biaya operasional yang masih memiliki peluang untuk
dipangkas.

Stakeholder itu meliputi pihak maskapai sendiri, pengelola bandar udara (bandara),
dan PT Pertamina (Persero) sebagai penyediaan avtur pesawat. Pemerintah juga bakal
membebaskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas jasa sewa pesawat yang datang dari luar
negeri. Seluruh upaya itu ditempuh untuk memberikan harga tiket pesawat murah kepada
masyarakat.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo, menyebut keputusan


pemerintah memangkas Tarif Batas Atas sebesar 12% hingga 16%, agar dianggap "berbuat
sesuatu untuk merespon mahalnya harga tiket".Padahal menurut YLKI, kebijakan itu sama
sekali tak efektif menurunkan harga tiket dalam jangka pendek maupun panjang. Ia
mengatakan justru yang terlihat, penurunan ini terkesan politis karena tak ada penjelasan
secara hitung-hitungan ekonomi apa yang menyebabkan Tarif Batas Atas bisa turun.

Solusi lainnya, pemerintah membuka pintu bagi maskapai penerbangan baru di


Indonesia agar tidak dimonopoli oleh dua perusahaan besar saat ini yaitu Lion Air Group dan
Garuda Group. Dengan begitu, harga tiket akan lebih kompetitif.
Pemerintah meminta maskapai untuk menurunkan harga tiket pesawat berbiaya murah
(Low Cost Carrier/LCC) menjadi sebesar 50 persen dari Tarif Batas Atas (TBA)
untuk penerbangan pada jam-jam tertentu.
DAFTAR PUSTAKA

Andhi Pahlevi Amin. 2013. Analisis Pengaruh Tarif Penerbangan, Jumlah


PenerbanganDan Pendapatan Perkapita Dalam Meningkatkan Jumlah
Penumpang. Jurnal Bisnis Strategi. 22(1).

Balance Economics. 2008. Bussiness. Management And Accounting Journal.1693-


9352

Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikroekonomi, 2002, Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada

Fahmi, Andi dkk, Hukum Persaingan Usaha, Agustus, 2017, Jakarta : Komisi
Pengawas persaingan Usaha (KPPU)

Adi Nugroho, Susanti, 2014, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia Dalam Teori
dan Praktik Serta Penerapan Hukumnya, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai