Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan jiwa merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama

di negara. Negara maju, meskipun masalah kesehatan jiwa tidak dianggap sebagai

gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung, namun gangguan

tersebut dapat menimbulkan ketidakmampuan individu dalam berprilaku yang

dapat menghambat pembangunan karena mereka tidak produktif (Hawari, 2009)

Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan keperawataan sesuai dengan

program nasional, perawat mempunyai bagian setiap penderita penyakit jiwa

sangat besar artinya, sebab dengan adanya perawat yang diatur dengan baik

disetiap kerja sama yang baik antara dokter dan perawat serta dengan keluarga

penderita dapat cepat penyembuhan penderita (Alaskus, Brown, et all,2011).

Pelayanan keperawatan mempunyai peran penting dalam menentukan

kebersihan pelayanan kesehatan serta kesulitannya, termasuk pelayanan kesehatan

jiwa. Namun sangat disayangkan bahwa pelayanan keperawatan jiwa masih jauh

dari yang diharapkan. Hal ini disebabkan keterbatasan kemampuan profesional

yang dimulai perawat itu sendiri (Department of Veteran Affairs, 2011).

Hubungan saling percaya antara perawat dan klien merupakan dasar utama

dalam melakukan Asuhan Keperawatn Gangguan Jiwa. Hal ini penting karena

bagi perawat adanya asuhan keperawatan gangguan jiwa adalah membantu klien

untuk dapat menyelesaikan masalah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki

klien dengan masalah skizoprenia paranoid yang mempunyai gejala utama

penurunan persepsi sensori : Halusinasi. Jenis halusinasi yang umum terjadi

adalah halusinasi pendengaran dan penglihatan. Gangguan halusinasi ini


umumnya mengarah pada prilaku yang membahayakan orang lain, klien sendiri

dan lingkunganya(Depkes RI,2005).

Halusinasi pendengaran paling sering terdapat pada klien skizoprenia,

kecenderungan meningkatnya angka gangguan mental psikiatrik dikalangan

masyarakat saat ini dan yang akan datang akan terus menjadi masalah sekaligus

tantangan bagi tenaga kesehatan khususnya komunitas profesi

keperawatan(Wahyuni, Sri. 2009).

Sebagai gambaran menurut WHO jika prevalensi gangguan jiwa diatas

100 jiwa per 1.000 penduduk dunia, maka berarti di Indonesia mencapai 264 per

1.000 penduduk yang merupakan anggota keluarga, data hasil survey kesehatan

rumah tangga (SKRT) tahun 1995,artinya lebih tinggi dari ketentuan WHO

(WHO, 2006).

Hasil riset WHO dan Ward Bank menyimpulkan bahwa gangguan jiwa

dapat mengakibatkan penurunan produktivitas sampai dengan 8,5%. Saat ini

gangguan jiwa menempati urutan kedua setelah penyakit infeksi.

Kecenderungan gangguan mental psikiatrik akan semakin meningkat

sering dengan terus berubahnya sesuatu ekonomi dan politik ke arah tidak

menentu. Prevalensinya bukan saja pada kalangan menengah ke bawah. Sebagai

dampak langsung dari kesulitan ekonomi tetapi juga kalangan menengah keatas

sebagai dampak langsung atau tidak langsung. Ketidakmampuan individu dalam

menyesuaikan diri terhadap perubahan sosial yang terus berubah (Depkes RI.

2008).
Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk mengetahui lebih

lanjut gambaran asuhan keperawatanjiwa pada klien Tn.M diruang Sipiso-piso

dengan Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran.

1.2 Ruang Lingkup

Mengingat luasnya masalah dan terbatasnya waktu dalam penulisan makalah

asuhan keperawatan jiwa ini maka penulis membatasi ruang lingkup yaitu terbatas

pada satu kasus yaitu:Asuhan KeperawatanJiwa Pada Klien Tn. M Dengan

Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran Di Ruang Sipiso-Piso

Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara Medan.

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran nyata tentang Asuhan Keperawatan Jiwa Pada

Klien Tn.,M Dengan Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran

Di Ruang Sipiso-piso Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem

Provinsi Sumatera Utara Medan.


1.3.2 Tujuan Khusus
- Dapat melaksanakan pengkajian terhadap klien Tn. M dengan Asuhan

Keperawatan Gangguan Jiwa Dengan Gangguan Persepsi Sensori :

Halusinasi Pendengaran Di Ruang Sipiso-piso Rumah Sakit Jiwa Prof.

Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara Medan.


- Dapat menegakan diagnosa keperawatan terhadap klien Tn. M dengan

Asuhan Keperawatan Gangguan Jiwa Dengan Gangguan Persepsi

Sensori : Halusinasi Pendengaran Di Ruang Sipiso-piso Rumah Sakit

Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara Medan.


- Dapat membuat rencana tindakankeperawatan terhadap klien Tn. M

dengan Asuhan Keperawatan Gangguan Jiwa Dengan Gangguan


Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran Di Ruang Sipiso-piso Rumah

Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara Medan.
- Dapat melaksanakan tindakan keperawatan terhadap klien Tn.M dengan

Asuhan Keperawatan Gangguan Jiwa Dengan Gangguan Persepsi

Sensori : Halusinasi Pendengaran Di Ruang Sipiso-piso Rumah Sakit

Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara Medan.


- Dapat mengevaluasi hasil asuhan keperawatan terhadap klien Tn.M

dengan Asuhan Keperawatan Gangguan Jiwa Dengan Gangguan

Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran Di Ruang Sipiso-piso Rumah

Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara Medan.

1.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dalam pembuatan Asuhan Keperawatan Gangguan Jiwa

Pada Klien Tn. M Dengan Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran

Di Ruang Sipiso-piso Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi

Sumatera Utara Medan. Yaitu, bagi :

1.4.1 Bagi Mahasiswa


- Mahasiswa/i dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat dari institusi

pada saat pelaksanaan pembelajaran praktik keperawatan jiwa di

lapangan.
- Mahasiswa/I dapat secara nyata mengetahui, memahami dan

mengaplikasikan serta mengembangkan asuhan keperawatan jiwa

ditempat ia praktik.
1.4.2 Bagi Rumah Sakit
- Sebagai sumber referensi bagi rumah sakit dalam melakukan Asuhan

Keperawatan Gangguan Jiwa Dengan Gangguan Persepsi Sensori :

Halusinasi Pendengaran.
- Sebagai tambahan ilmu dan temuan baru bagi rumah sakit dalam

melaksanakan dan mengaplikasikan Asuhan Keperawatan Gangguan

Jiwa Dengan Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran.


1.4.3 Bagi Institusi Pendidikan

Untuk menambah pengetahuan dan bahan bacaan bagi Mahasiswa/I Stikes

Haji tentang Asuhan KeperawatanGangguan Jiwa Dengan Gangguan Persepsi

Sensori : Halusinasi Pendengaran, dan untuk menghasilkan mahasiswa/I yang

akan menjadi perawat professional yang mampu berkarya dalam konteks

pelayanan keperawatan jiwa di lingkugan rumah sakit maupun langsung terjun di

masyarakat.

1.5 Metode Penulisan

Dalam penulisan laporan kasus ini, penulis menggunakan metode

deskripsi yaitu dengan prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan

menggambarkan subjektif dan objektif berdasarkan fakta yang ada, dengan

tehnik-tehnik pengumpulan data sebagai berikut :

a.Metode Kepustakaan

Yaitu dengan membaca buku-buku dan karya tulis ilmiah sebagai sumber yang

relevan untuk memperoleh informasi teoritis yang berkaitan dengan laporan

kasus.

b. Studi kasus dengan menggunakan tekhnik:


1. Metode Wawancara

Dengan mengadakan tanya jawab lansung dengan klien dan keluarga

pasien untuk mengetahui / mendapatkan data yang diperlukan.

2. Metode Observasi

Dengan mengadakan pengamatan secara langsung selama pasien berada

Di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera

UtaraMedan.

3. Metode Dokumentasi

Mempelajari data tentang pasien dan keluarga pasien, catatan rekam

medik, perawat dan hasil pemeriksaan penunjang.

1.6 Sasaran

Pasien Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan, khususnya pada pasien

dengan gangguan persepsi sensori halusiansi pendengaran untuk dilakukan

penelitian dalam asuhan keperawatan jiwa ini yaitu, kepada Tn. M yang sedang

dirawat diruang Sipiso-piso.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Konsep Dasar Medis


2.1.1 Defenisi
Halusinasi pendengaran merupakan suatu tanda mayor dari gangguan

schizoprenia dan satu syarat diagnostik minor untuk metankolia involusi, psikosa

mania depresif dan syndroma otak organik(Digitized, 2004).

Halusinasi adalah persepsi yang salah atau palsu tetapi tidak ada

rangsangan yang menimbulkannya (tidak ada objeknya). Halusinasi muncul

sebagai suatu proses panjang yang berkaitan dengan kepribadian seseorang.

Karena itu, halusinasi dipengaruhi oleh pengalaman psikologis seseorang

(Baihaqi, 2007).

Halusinasi pendengaran merupakan suatu tanda mayor dari gangguan

schizoprenia dan satu syarat diagnostik minor untuk metankolia involusi, psikosa

mania depresif dan syndroma otak organik (Digitized, 2004).

Dari beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli mengenai

halusinasi diatas, maka penelitian dapat mengambil kesimpulan bahwa halusinasi

adalah persepsi klien melalui panca indra terhadap lingkungan tanpa ada stimulus

atau rangsangan yang nyata. Sedangkan halusinasi pendengaran adalah kondisi

dimana pasien mendengar suara, terutama suara-suara orang yang membicarakan

apa yang sedang diperkirakan dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.

(Harnawati, 2008).

2.1.2 Etiologi

Adapun penyebab dari halusinasi pendengaran menurut (Yosep 2009) adalah:

1. Faktor Predisposisi
a. Faktor Perkembangan.
Tugas perkembangan pasien yang terganggu misalnya rendahnya control

dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak

kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stres

(Yosep, 2009).
b. Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi

(unwanted child) akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada

lingkungannya (Yosep, 2009).


c. Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stres

yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan suatu

zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan

Dimetytranferase (DMP). Akibat stress berkepanjangan menyebabkan

teraktivasinya neurotransmitter otak. Misalnya terjadi ketidakseimbangan

acetylcholine dan dopamine (Yosep, 2009).


d. Faktor Psikolgis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus

pada ketidakmampuan pasien dalam mengambil keputusan yang tepat demi

masa depannya. Pasien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dalam alam

nyata menuju alam khayal (Yosep, 2009).


e. Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang

skizofrenia akan mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa

faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada

penyakit ini (Yosep, 2009).

2. Faktor PresipitasiPerilaku

Respon pasien terhadap halusinasi dapat berupa respons curiga, ketakutan,

perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, perilaku merusak diri, kurang
perhatian, tidak mampu mengambilkeputusan serta tidak dapat membedakan

keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan Heacock (1993) unsur-

unsur bio-psiko-sosio-spiritual dari halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi,

yaitu:
1) Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti

kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga

delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang

lama.
2) Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat

diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi.Isi dari halusinasi dapat

berupa perintah memaksa dan menakutkan. Pasien tidak sanggup lagi

menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut pasien

berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.

3) Dimensi Intelektual
Dalam dimensi ini, menerangkan bahwa individu dengan halusinasi

akan memeperlihatkan adanya fungsi ego. Pada awalnya halusinasi

merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan,

namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat

mengambil seluruh perhatian pasien dan tak jarang akan mengontrol

semua perilaku pasien.


4) Dimensi Sosial
Pasien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan

comforting, pasien menganggap bahwa hidup besosialisasi di alam nyata

merupakan sangat membahayakan. Pasien asyik dengan halusinasinya,

seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan

interaksi sosial, control diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam
dunianyata. Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol oleh individu tersebut

sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain

individu cenderung untuk itu. Oleh karena itu, aspek penting dalam

melaksanakan intervensi keperawatan pasien dengan mengupayakan suatu

proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang

memuaskan, serta mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien

selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak

berlangsung.

5) Dimensi Spiritual
Secara spiritual, pasien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup,

rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya

secara spiritual untuk menyucikan diri. Irama sirkadiannya terganggu,

karena ia saring tidur larut malam dan bangun sangat siang. Saat terbangun

merasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya. Ia sering memaki takdir

tetapi lemah dalam upaya menjemput rejeki, menyalahkan lingkungan dan

orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk (Yosep, 2009).

2.1.3 Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik dari halusinasi dengar (Auditory-hearing voices or

sounds) meliputi beberapa fase, yaitu :

1. Fase I: Sleep Disorder

Fase awal seseorang sebelum muncul halusinasi. Pasien merasa banyak

masalah, ingin menghindar dari lingkungan, takut diketahui orang lain bahwa

dirinya banyak masalah. Masalah makin terasa sulit karena berbagai stressor

terakumulasi, misalnya kekasih hamil, terlibat narkoba, dihiananti kekasih,


masalah dikampus, drop out dsb. Masalah terasa menekan karena terakumulasi,

sedangkan support system kurang dan persepsi terhadap masalah sangat

buruk.Sulit tidur berlangsung terus menerus, sehingga biasa menghayal.Pasien

menanggap lamunan-lamunan awal tersebut terhadap pemecahan masalah (Keliat,

2009).

2. Fase II: Comforting Moderate level of anxiety

Halusinasi secara umum ia terima sebagai sesuatu yang alami. Pasien yang

emosi secara berlanjut seperti adanya perasaan cemas, kesepian, perasaan berdosa,

ketakutan dan mencoba memusatkan pemikiran pada timbulnya kecemasan.Ia

beranggapan bahwa pengalaman pikiran dan sensorinya dapat ia kontrol bila

kecemasannya diatur, dalam tahap ini ada kecenderungan pasien merasa nyaman

dengan halusinasinya (Keliat, 2009).

3. Fase III: Condemning Severe level of anxiety

Secara umum halusinasi sering mendatangi pasien.Pengalaman sensori

pasien menjadi sering datang dan mengalami bias. Pasien merasa tidak mampu

lagi mengontrolnya dan mulai berupaya menjaga jarak antara dirinya dengan

objek yang dipersepsikan pasien mulai menarik diri dari orang lain dengan

intensitas waktu yang lama (Keliat, 2009).

4. Fase IV: Controlling Severe level of anxiety

Fungsi sensori menjadi tidak relevan dengan kenyataan.Pasien mencoba

melawan suara-suara atau sensory abnormal yang datang.Pasien dapat merasakan

kesepian bila halusinasinya berakhir.Dari sinilah dimulai fase gangguan Psychotic

(Keliat, 2009).

5. Fase V: Conquering Panic level of anxiety


Pasien mengalami gangguan dalam menilai lingkungannya. Pengalaman

sensorinya terganggu, pasien mulai merasa terancam dengan datangnya suara-

suara terutama bila pasien tidak dapat menuruti ancaman atau perintah yang ia

dengar dari halusinasinya. Halusinasi dapat berlangsung selama minimal 4 jam

atau seharian bila klien tidak mendapatkan komunikasi terapeutik. Terjadi

gangguan psikotik berat (Keliat, 2009).

Selain fase pada halusinasi, terdapat manifestasi klinik lain dalam bentuk tahap,

yaitu :

1. Tahap I:Halusinasi bersifat tidak menyenangkan

Gejala Klinis :

a. Menyeringai/tertawa tidak sesuai

b. Menggerakkan bibir tanpa bicara

c. Gerakan mata cepat

d. Bicara lambat

e. Diam dan pikiran dipenuhi sesuatu yang mengasikkan.

2. Tahap II :HalusinasiBersifat Menjijikan

Gejala klinis :

a. Cemas

b. Konsentrasi menurun

c. Ketidakmampuan membedakan nyata dan tidak nyata (Keliat,2009).

3. Tahap III :HalusinasiBersifat Mengendalikan

Gejala klinis :
a. Cenderung mengikuti halusinasi

b. Kesulitan berhubungan dengan orang lain

c. Perhatian atau konsentrasi menurun dan cepat berubah

d. Kecemasan berat (berkeringat, gemetar, tidak mampu mengikutipetunjuk).

4. Tahap IV :HalusinasiBersifat Menaklukkan

Gejala klinis :

a. Pasien mengikuti halusinasi

b. Tidak mampu mengendalikan diri

c. Tidak mampu mengikuti perintah nyata

d. Beresiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan (Keliat, 2009).

2.1.4 Klasifikasi Halusinasi

Gangguan sensori persepsi merupakan gejala umum dari skizoperenia

terhadap dua jenis utama masalah perseptual yaitu halusinasi dan ilusi yang

didefenisikan sebagai pengalaman atau kesan sensori yang salah terhadap

stimulus sensori halusinasi dapat terjadi pada kelima indra sensori utama yaitu :

a. Halusinasi pendengaran : karakteristik ditandai dengan mendengar suara,

terutama suara-suara orang, biasanya klien mendengar suara orang yang

sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan

memerintahkan untuk melakukan sesuatu.


b. Halusinasi penglihatan : karakteristik dengan adanya stimulus

penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambaran geometrik, gambar

kartun dan / atau panorama yang luas dan kompleks. Penglihatan bisa

menyenangkan atau menakutkan.


c. Halusinasi penciuman : karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk,

amis dan bau yang menjijikan seperti : darah, urine atau feses. Kadang-

kadang tercium bau harum. Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor,

kejang dan dementia.


d. Halusinasi peraba : karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau

tidak enak tanpa stimulus yang terlihat. Contoh : merasakan sensasi

listrik datang dari tanah, benda mati atau orang lain .


e. Halusinasi pengecap : karakteristik di tandai dengan merasakan sesuatu

yang busuk, amis dan menjijikan.


f. Halusinasi sinestetik : karakteristik di tandai dengan merasakan fungsi

tubuh seperti darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan di cerna

atau pembentukan urine.

2.1.5 Rentang Respon Halusinasi

Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individual yang

terdapat dalam rentang respon neurobiologi. Jika pasien yang sehat presepsinya

akurat, mampu mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan

informasi yang diterima melalui panca indra. Diantara kedua respon tersebut

adalah respon individu yang karena suatu hal mengalami kelainanan persensif

yaitu salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya, yang disebut sebagai ilusi

(Stuart, 2009).
Pasien mengalami jika interpertasi yang dilakukan terhadap stimulus

panca indra tidak sesuai stimulus yang diterimanya, rentang respon tersebut

sebagai berikut :

Adaptif Maladaptif

Respon logis - Distorsi Fikiran - Gejala fikiran


1. Respon akurat - Pikiran menyimpang - Delusi halusinasi
2. Perilaku sesuai - Perilaku aneh/ - Perilaku disorganisasi
3. Hubungan sosial tidak sesuai - Sulit berespon dengan
4. Menarik diri pengalaman.

Skema 2.1.Rentang respon halusinasi (Stuart, 2009).

a). Respon Adaptif

1. Pikiran logis

Pendapat atau pertimbangan yang dapat diterima oleh akal.

2. Respon akurat

Pandangan dari seseorang tentang suatu peristiwa secara cermat.

3. Perilaku sesuai

Kegiatan individu atau sesuatu yang berkaitan dengan individu tersebut

diwujudkan dalam bentuk gerak atau ucapan yang tidak bertentangan

dengan moral.

4. Hubungan sosial

Hubungan seseorang dengan orang lain dalam pergaulan ditengah –

tengah masyarakat (Stuart, 2009).

b). Respon Transisi

1. Distorsi fikiran
Kegagalan dalam mengabstrakan dan mengambil keputusan.

2. Ilusi

Persepsi atau respon yang salah terhadap stimulasi sensori.

3. Reaksi emosi berlebihan atau berkurang

Emosi yang diekspresikan dengan sikap yang tidak sesuai.

4. Perilaku aneh dan atau tidak sesuai

Perilaku aneh yang tidak enak dipandang, membingungkan, kesukaran

mengolah dan tidak kenal orang lain.

5. Menarik Diri

Perilaku menghindar dari orang lain (Stuart, 2009).

c). Respon Maladaptif

1. Gangguan pikiran atau delusi

Keyakinan yang salah yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak

diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan realita social

2. Halusinasi

Persepsi yang salah terhadap ranngsangan.

3. Sulit berespon emosi

Ketidakmampuan atau menurunnya kemampuan untuk mengalami

kesenangan, kebahagiaan, keakraban dan kedekatan.

4. Perilaku disorganisasi

Ketidakselarasan antara perilaku dan gerakan yang dirimbulkan.

5. Isolasi sosial

Suatu keadaan kesepian yang dialami seseorang karena orang lain

menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (Stuart, 2009).


2.1.6 Penatalaksanaan
a) Tindakan kolaborasi dengan pemberian obat – obatan
Dalam obat – obatan tidak lazim digunakan pada pasien dengan gejala

halusinasi pendengaran yang merupakan gejala psikosis pada klien

skizofrenia paranoid adalah obat – obatan anti psikosis. Adapun kelompok

yang umumnya digunakan pada sebagai berikut :

Kelas kimia Nama generik ( dagang ) Dosis harian


Fenotiazin Ansetofenazin ( tidal ) 60 - 120 mg
Klorpomaazin ( thorazin ) 30 – 800 mg
Flufenazine ( prolixine ) 1 – 40 mg
Mesoridazine ( serentil ) 30 – 400 mg
Perfenazine ( trilafon ) 12 – 64 mg
Proklirperazine (compazine) 15 – 150 mg
Promazine ( sparine ) 40 – 1200 mg
Tioridazine (mellaril ) 150 – 800 mg
Trifluoperazine ( stelazine ) 2 – 40 mg
Trefluopromazine (vesprin ) 60 – 150 mg

Tioksanten Kloraprotiksen ( taractan ) 75 – 600 mg


Tiotiksen ( navane ) 8 – 30 mg
Butirofenon Haloperidal ( haldol ) 1 – 100 mg
Dibenzonkasazepin Klozapine ( clorazil ) 300 – 900 mg
Loksapin ( loxitane ) 20 – 150 mg
Dihidroindilon Molindone

b) Terapi kejang listrik / elektro convulsive therapy ( ECT )


c) Terapi aktifitas kelompok ( TAK )

2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


2.2.1 Pengkajian
a. Faktor Prediposisi
Pada tahap ini perawat mengenali faktor – faktor yang ada di bawah

ini. Faktor predisposisi yang terdiri dari :


1. Faktor perkembangan terlambat
a. Usia bayi, tidak terpenuhi kebutuhan makanan, minuman dan

rasa aman.
b. Usia balita, tidak terpenuhi kebutuhan otonon.
c. Usia sekolah mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan
2. Faktor komunikasi dalam keluarga
a. Komunikasi peran ganda
b. Tidak ada komunikasi
c. Tidak ada kehangatan
d. Komunikasi dengan emosi berlebihan
e. Komunikasi tertutup
f. Orang tua yang membandingkan anak – anaknya, orang tua

yang otorotas dan konflik orang tua.


3. Faktor sosial budaya
Isolasi sosial yang usia lanjut, cacat sakit kronis, tuntutan

lingkungan yang terlalu.

4. Faktor psikologis
Mudah kecewa, mudah putus asa, kecemasan tinggi, menutup diri,

ideal diri tinggi, harga diri rendah, identitas diri tidak jelas, krisis

peran, gambaran diri negatif dan koping destruktif.


5. Faktor biologis
Adanya kejadian terhadap fisik, berupa : atropi otak, pembesaran

ventrikel, perubahan besar dan bentuk sel konteks dan limbikal.


6. Faktor genetik
Adanya pengaruh herediter ( keturunan ) berupa anggota keluarga

terdahulu yang mengalami skizofrenia paranoid dan kembar

monozigot.
b. Perilaku
Bibir komat kamit, tertawa sendiri, bicara sendiri, kepala

mengangguk – angguk seperti mendengar sesuatu, tiba – tiba

menutup telinga, gelisah bergerak seperti mengambil atau


membuang sesuatu, tiba – tiba marah dan menyerang duduk

terpaku, memandang satu arah dan menarik diri.


c. Fisik
1. ADL ( activity daily living )
Nutrisi tidak adekuat bila halusinasi memerintah untuk tidak makn,

tidur terganggu karena ketakutan, kurang kebersihan diri atau tidak

mandi sama sekali, tidak mampu berpartisipasi dalam kegitan

aktivitas fisik yang berlebihan , agitasi gerakan atau kegitan ganjil.

2. Kebiasaan
Berhenti dari minuman keras, penggunaan obat – obatan dan zat

halusinogen dan tingkah laku merusak diri


3. Riwayat kesehatan
Skizofrenia, delirium berhubungan dengan riwayat demam dan

penyalagunaan obat.
4. Riwayat skizoprenia dalam keluarga
5. Fungsi system tubuh
a. Perubahan BB, hipertemia ( demam )
b. Neurological perubahan mood, disorentasi
c. Ketidak efektifan endokrin oleh peningkatan temperatur.
d. Situasi emosi : afek tidak sesuai, perasaan bersalah atau malu,

sikap negatif dan bermusuhan, kecemasan berat atau panik dan

suka berkelahi.
e. Status intelektual : gagguan persepsi, penglihatan,

pendengaran, penciuman dan perabaan, isi pikir tidak logis dan

suka diikuti atau kaku, karena kurang motivasi, koping tegreasi

dan denial serta sedikit bicara.


f. Status sosial : putus asa dan menurunkan kualitas hidup,

ketidakmampuan menghadapi stressor dan kekerasan.


2.2.2 Diagnosa Keperawatan
1. Ganggauan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran
2. Isolasi Sosial : Menarik Diri
3. Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA Tn. M DENGAN


GANGGUAN PERSEPSI SENSORI :”HALUSINASI PENDENGARAN”
DI RUMAH SAKIT JIWA PROF.Dr M.ILDREM
PROVINSI SUMATERA UTARA
TA. 2018/2019
PEMBIMBING : NURHAIDAH, S.Pd,S.Kep,Ns
DI SUSUN OLEH :
1. Juliyani Cahyawati 7. Nuraisah
2. Khairina siswanty 8. Sri Astuti
3. Leni Marlina Manik 9. Sri Rezeki Handayani
4. Meida Putri 10. Sri Harti Imelda
5. Pita Maharani 11. Siti Masjuita
6. Khairatul Laila 12. Walida Ulfa

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN RUMAH SAKIT HAJI
MEDAN
2019

Anda mungkin juga menyukai