Anda di halaman 1dari 50

BAB 1

PENDAHULUAN

Penyakit AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu


syndrome/kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Retrovirus yang menyerang sistem
kekebalan atau pertahanan tubuh. Dengan rusaknya sistem kekebalan tubuh, maka orang yang
terinfeksi mudah diserang penyakit-penyakit lain yang berakibat fatal, yang dikenal dengan infeksi
oportunistik. Kasus AIDS pertama kali ditemukan oleh Gottlieb di Amerika Serikat pada tahun 1981
dan virusnya ditemukan oleh Luc Montagnier pada tahun 1983.
Kasus pertama di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen Kesehatan pada tahun
1987, yaitu pada seorang warga Negara Belanda yang sedang berlibur ke Bali. Sebenarnya sebelum
itu, yaitu pada tahun 1985 telah ditemukan kasus yang gejalanya sangat sesuai dengan HIV/AIDS
dan hasil tes ELISA tiga kali diulang dinyatakan positif. Tetapi tes Western Blot hasilnya negative,
sehinga tidak dilaporkan. Kasus kedua ditemukan pada bulan Maret 1986 di RS Cipto
Mangunkusumo, pada pasien hemofilia.

Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak Negara di
seluruh dunia. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang terbebas dari HIV

Menurut UNAIDS di tahun 2009 jumlah odha mencapai 33,3 juta, dengan kasus baru
sebanyak 2,6 juta,dan per hari lebih dari 7000 orang telah terinfeksi HIV, 97 % dari Negara
berpenghasilan rendah dan menengah. Penderitanya sebagian besar adalah wanita sekitar 51 %, usia
produktif 41% ( 15-24 th) dan anak-anak ( WHO, 2010). HIV dan AIDS menyebabkan krisis secara
bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan Negara, krisis ekonomi, pendidikan,
dan juga krisis kemanusiaan. (Djoerban Z dkk, 2006

Di Indonesia sendiri, jumlah odha terus meningkat. Data terakhir pada tahun 2008
menunjukkan bahwa jumlah odha di Indonesia telah mencapai 22.664 orang. (Depkes RI, 2008).
Menurut UNAIDS, Indonesia merupakan Negara dengan pertunbuhan epidemic tercepat di Asia. Pada
tahun 2007 menempati urutan ke-99 di dunia, namun karena pemahaman dari gejala penyakit dan
stigmata social masyarakat, hanya 5-10 % yang terdiagnosa dan dilakukan pengobatan.

Pada era sebelumnya upaya penanggulangan HIV/AIDS diprioritaskan pada upaya


pencegahan. Dengan semakin meningkatnya pengidap HIV dan kasus AIDS yang memerlukan terapi
ARV, maka strstegi penanggulangan HIV/AIDS dilaksanakan dengan memadukan upaya pencegahan
dengan upaya perawatan, dukungan serta pengobatan. Dalam memberikan kontribusi 3 by 5 initiative
global yang direncanakan oleh WHO di UNAIDS, Indonesis secara nasional telah memulai terapi

[Type text] Page 1


antiretroviral (ART) pada tahun 2004. Hal ini dapat menurunkan risiko infeksi oportunistik (IO) yang
apabila berat dapat menimbulkan kematian pada odha. Pada akhirnya, diharapkan kualitas hidup odha
akan meningkat. .

[Type text] Page 2


BAB II

HIV AIDS

Definisi

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan
tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih
yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4
sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya
nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang
seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan
sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan
sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama
akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol(1))

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti kumpulan
gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh
manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan
penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya
berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media
hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa
pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat virus,
bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik

Epidemiologi

Pada tahun 2005, jumlah ODHA di seluruh dunia diperkirakan sekitar 40,3 juta orang dan yang
terinfeksi HIV sebesar 4,9 juta orang. Jumlah ini terus bertambah dengan kecepatan 15.000 pasien per
hari. Jumlah pasien di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara sendiri diperkirakan berjumlah
sekitar 7,4 juta pada tahun 2005. Menurut catatan Departemen Kesehatan, pada tahun 2005 terdapat
4.186 kasus AIDS dengan 305 di antaranya berasal dari Jawa Barat. Saat ini, dilaporkan adanya
pertambahan kasus baru setiap 2 jam, dan setiap hari minimal 1 pasien meninggal karena AIDS di
Rumah Sakit Ketergantungan Obat dan di Rumah Tahanan. Dan di setiap propinsi ditemukan adanya
ibu hamil dengan HIV dan anak yang HIV atau AIDS.

[Type text] Page 3


Grafik ODHA di Indonesia 5 tahun terakhir
6000
4000
Jumlah orang
2000 dengan HIV AIDS
0 di Indonesia
Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun
2006 2007 2008 2009 2010

Etiologi

AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang
termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan
terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41. Selubung
glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan T-helper lymphosit dan
monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk
oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse
transcriptase enzyme)(1,2).

Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi
berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara
kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia
adalah grup HIV-1(2)

Struktur HIV :

Bagian luar HIV dilipuit oleh selubung yang disebut ‘envelope’ dan di bagian dalam terdapat
sebuah inti (CORE).

1. Envelope : HIV bergaris tengah 1/10.000 mm dan mempunyai bentuk bulat seperti bola.
Lapisan paling luar disebut ENVELOPE, terdiri dari dua lapisan molekul lemak yang
disebut lipids. Lapisan ini diambil dari sel manusia ketika partikel virus yang baru
terbentuk dengan membentuk tonjolan dan lepas dari sel tersebut.
Selubung virus terisi oleh protein yang berasal dari sel induk, termasuk 72 turunan (rata-
rata) protein HIV komplek yang menonjol dari permukaan selubung. Protein ini disebut
env, terdiri atas sebuah tutup (cap)terbuat dari 3-4 molekul GLYCOPROTEIN (gp) 120 dan

[Type text] Page 4


sebuah batang yang terdiri atas 3-4 molekul gp 41 sebagai rangka struktur dalam envelope
virus. (3)
2. Inti/ CORE : dalam envelope partikel HIV yang sudah matang terdapat inti yang berbentuk
peluruyang disebut CAPSID, terbentuk dari 2000 turunan protein virus lainnya, P 24.
Capsid mengelilingi 2 helaian tunggal RNA HIV, yang masing-masing memiliki 9 gen dari
virus. 3 diantaranya gag, pol dan env, mengandung informasi yang diperlukan untuk
membuat protein terstruktur untuk partikel virus baru. Gen env, misalnya mengkode protein
gp 160 yang dipecah oleh enzim virus untuk membentuk gp 120 dan gp 41, yang
merupakan komponen env.3 buah gen pengatur, tat, rev dan nef dan 3 gen tambahan, vif,
vpr, dan vpu mengandung informasi yang diperlukan untuk memproduksi protein yang
mengatur kemampuan HIV menginfeksi suatu sel, membuat turunan virus baru atau
menimbulkan penyakit. Protein yang dikode oleh nef misalnya menyebabkan virus dapat
melakukan replikasi secara efisien sacara efisien dan protein yang dikode oleh vpu
berpengaruh terhadap pelepasan partikel virus baru dari sel yang diinfeksi. Inti HIV juga
mencakup sebuah protein yang disebut P7, yaitu protein nucleocapsid HIV, dan 3 buah
enzim yang berperan dalam langkah berikutnya dalam siklus hidup virus, yaitu :
REVERSE, TRANSCRIPTASE, INTEGRASE dan PROTASE. Protein HIV lainnya adalah
P17 atau matriks HIV, terletak antara inti dan envelope(4)

Gambar 1: struktur virus HIV-1

[Type text] Page 5


Cara penularan

Transmisi Seksual Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun


Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini
berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap
pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada
pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Orang yang sering
berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko
tinggi terinfeksi virus HIV.

1.1. Homoseksual

Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual menderita
AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial.

Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi
penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari
seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan
mudah sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara anogenital.

1.2. Heteroseksual

Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual pada
promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun
wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.

2. Transmisi Non Seksual

2.1 Transmisi Parenral


2.1.1. Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah
terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum
suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum
suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko
tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%.

2.1.2. Darah/Produk Darah


Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat
sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat

[Type text] Page 6


jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular
infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%.
2.2. Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar
50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan
melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.

Faktor Resiko AIDS

Heteroseksual/HeterosexuaL 12717

Homo-Biseksual/Homo-Bisexual 724

Transfusi Darah/Blood Transfusion 48

Transmisi Perinatal/Perinatal Trans. 628

Tak Diketahui/Unknown 772

TABEL 1. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia dikaitkan dengan

faktor resiko dilapor s/d Desember 2010

Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi baik melalui
ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja pada pekerja kesehatan. Selain itu air liur
terdapat inhibitor terhadap aktivitas HIV
Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak dapat ditularkan antara lain:
1. Kontak fisik
Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS, bernapas dengan udara
yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu ruangan dengan pasien tidak akan tertular.
Bersalaman, berpelukan maupun mencium pipi, tangan dan kening penderita HIV/AIDS tidak akan
menyebabkan seseorang tertular.
2. Memakai milik penderita
Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan makan maupun peralatan kerja
penderita HIV/AIDS tidak akan menular.
3. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.
4. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.

[Type text] Page 7


Patofisiologi

HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalu berbagai cara yaitu secara vertical, horizontal dan
transeksual. Jadi HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung dengan diperantarai benda
tajam yang mampu menembus dinding pembuluh darah atau secara tidak langsung melalui kulit dan
mukosa yang intak seperti yang terjadi pada kontak seksual. Begitu mencapai atau berada dalam
sirkulasi sistemik, 4-11 hari sejak paparan pertama, HIV dapat dideteksi di dalam darah. Selama
dalam sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda infeksi virus akut seperti
panas tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual, muntah, sulit tidur, batuk-batuk,
dan lain-lain. Keadaan ini disebut sindrom retroviral akut. Pada vase ini terjadi penurunan CD 4 dan
peningkatan HIV-RNA Viral load. Viral load akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi,
kemudian turun sampai pada suatu titik tertentu. Dengan semakin berlanjutnya infeksi, viral load
secara perlahan cenderung terus meningkat. Keadaan tersebut akan diikuti penurunan hitung CD 4
secara perlahan dalam waktu beberapa tahun dengan laju penurunan CD 4 yang lebih cepat pada
kurun waktu 1,5-2,5 tahun sebelum akhirnya jatuh ke stadium AIDS(4).

Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel yang menjadi target HIV
adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4. Untuk bisa masuk ke sel target, gp 120 HIV
perlu berikatan dengan reseptor CD4. Reseptor CD 4 ini terdapat pada permukaan limfosit T, monosit,
makrofag, Langerhan’s, sel dendrit, astrosit, microglia. Selain itu, untuk masuk ke sel HIV
memerlukan chemokine reseptor yaitu CXCR4 dan ccr5, beberapa reseptor lain yang memiliki peran
adalah CCR2b dan CCR3. Selanjutnya akan diikuti fase fusi membran HIV dengan membran sel
target atas peran gp41 HIV. Dengan terjadinya fusi kedua membran, seluruh isi sitoplasma HIV
termasuk enzim reverse transkriptase dan inti masuk ke dalam sitoplasma sel target. Setelah masuk
dalam sel target, HIV melepaskan single strand RNS (ssRNA). Enzim reverse transcriptase akan
menggunakan RNA sebagai template untuk mensisntesis DNA. Kemudian RNA dipindahkan oleh
ribonuklease dan enzim reverse transcriptase untuk mensintesis DNA lagi menjadi double stran
DNA yang disebut sebagai provirus. Provirus masuk ke dalam inti sel, menyatu dengan kromosom
host dengan perantara enzim integrase. Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif
untuk melakukan transkripsi dan translasi. Kondisi provirus yang tidak aktif ini disebut sebagai
keadaan laten. Untuk mengaktifkan provirus ini memrlukan aktivasi dari sel host. Bila sel host
teraktivasi oleh inductor seperti antigen, sitokin atau factor lain maka sel akan memicu nuclear factor
sehingga menjadi aktif dan berikatan dengan 5 LTR (Long terminal repeats) yang mengapit gen-gen
tersebut. LTR berisi berbagai elemen pengatur yang terlibat pada ekspresi gen, NF menginduksi
replikasi DNA. Induktor NF cepat memicu replikasi HIV dengan cara intervensi dari mikroorganisme

[Type text] Page 8


lain., misalnya bakteri, jamur, protozoa, ataupun virus. Dari keempat golongan tersebut, yang paling
cepat menginduksi replikasi HIV adalah virus non HIV, terutama virus DNA.

Enzim polymerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara stuktur berfungsi
sebagai RNA genomic dan mRNA. RNA keluar dari nucleus, mRNA mengalami translasi
menghasilkan polipeptida. Polipeptida akan bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru. Inti
beserta perangkat lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada permukaan sel host, kemudian
polipeptida dipecah oleh enzim protease menjadi protein dan enzim fungsioal. Inti virus baru
dilengkapi oleh kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host, sehingga terbentuk virus baru yang
lengkap dan matang. Virus ini akan keluar dari sel, dan akan menginfeksi sel target berikutnya. Dalam
satu hari HIV mampu melakukan replikasi hingga mencapai 109-1011 virus baru.

Secara perlahan tapi pasti,, limfosit T penderita akan tertekan dan semakin menurun dari
waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan jumlah Limfosit T-CD4 melalui
beberapa mekanisme(4) :

1. Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran plasma akibat adanya
penonjolan dan perobekan oleh virion. Akumulasi DNA virus yang tidak terintegritasi dengan
nucleus akan menggangu sintesis makromolekul.
2. Syncytia formation, yaitu terjadiya fusi antarmembran sel yang terinfeksi HIV dengan limfosit
T-CD4 yang tidak terinfeksi
3. Respon imun humoral dan seluler yang ikut berperan, tapi respon ini dapat menyebabkan
disfungsi imun akibat eliminasi sel yang terinfeksi dan sel normal sekitarnya.
4. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibody yang berperan untuk mengeliminasi
sel yang terinfeksi(4).
5. Kematian sel yang terprogram (apoptosis). Pengikatan antara gp120 dengan reseptor CD4
Limfosit T merupakan sinyal pertama untuk menyampaikan pesan kematian sel melalui
apoptosis.
Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah limfosit T-CD4
secara dramatis dari normal yang berkisar 600-1200/mm3 menjadi 200/mm3 atau lebih rendah
lagi. Semua mekanisme tersebut menyebabkan penurunan system imun, sehingga pertahanan
individu terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan resiko terjadinya
infeksi sekunder sehingga masuk ke stadium AIDS. Masuknya infeksi sekunder menyebabkan
munculnya keluhan dan gejala klinis sesuai

[Type text] Page 9


jenis infeksi sekundernya.

Patogenesis infeksi HIV

[Type text] Page 10


Respon Imun Terhadap Infeksi HIV

Segera setelah terpajan HIV, individu akan melakukan perlawanan imun yang intensif. Sel-sel
B menghasilkan antibodi-antibodi spesifik terhadap berbagai protein virus. Ditemukan antibodi
netralisasi terhadap regio-regio di gp120 selubung virus dan bagian eksternal gp41. Deteksi anti bodi
adalah dasar bagi berbagai uji HIV (misalnya, enzime-linked immunosorbent assay [ELISA]). Di
dalam darah dijumpai kelas antibodi imunoglobulin G (IgG) maupun imunoglobulin M (IgM), tetapi
seiring dengan menurunnya titer IgM, titer IgG (pada sebagian besar kasus) tetap tinggi sepanjang
infeksi. Antibodi IgG adalah antibodi utama yang digunakan dalam uji HIV. Antibodi terhadap HIV
dapat muncul dalam 1 bulan setelah infeksi awal dan pada sebagian besar orang yang terinfeksi HIV
dalam 6 bulan setelah pajanan. Namun, antibodi HIV tidak menetralisasikan HIV atau menimbulkan
perlindungan terhadap infeksi lebih lanjut.

Produksi imunoglobulin diatur oleh limfosit T CD4+, limposit T CD+ diaktifkan oleh sel
penyaji antigen (APC) untuk menghasilkan berbagai sitokin seperti interleukin-2 (IL-2), yang
membantu merangsang sel B untuk membelah dan berdiferensiasi menjadi sel plasma. Sel-sel plasma
ini kemudian menghasilkan imunoglobuin yang spesifik untuk antigen yang merangsangnya. Sitokin
IL-2 hanyalah salah satu dari banyak sitokin yang memengaruhi respons imun baik humoral maupun
selular. Walaupun tingkat kontrol, ekspresi, dan potensi fungsi sitokin dalam infeksi HIV masih terus
diteliti, namun sitokin jelas penting dalam aktivitas intrasel. Sebagai contoh, penambahan sitokin IL-
12 (faktor stimulasi sel NK) tampaknya melawan penurunan aktivitas dan fungsi sel NK seperti yang
terjadi pada infeksi HIV. Sel-sel NK adalah sel yang penting karena dalam keadaan normal sel-sel
inilah yang mengenali dan menghancurkan sel yang terinfeksi oleh virus dengan mengeluarkan
perforin yang serupa dengan yang dihasilkan oleh sel CD8.

Peran sitotoksik sel CD8 adalah mengikat sel yang terinfeksi oleh virus dan mengeluarkan
perforin, yang menyebabkan kematian sel. Aktivitas sitotosik sel CD8 sangat hebat pada awal infeksi
HIV. Sel CD8 juga dapat menekan replikasi HIV di dalam limfosit CD4+. Penekanan ini terbukti
bervariasi tidak saja di antara orang yang berbeda tetapi juga pada orang yang sama seiring dengan
perkembangan penyakit. Aktivitas antivirus sel CD8 menurun seiring dengan perkembangannya
penyakit. Dengan semakin beratnya penyakit, jumlah limfosit CD4+ juga berkurang. Berbagai
hipotesis tentang penyebab penurunan bertahap tersebut akan dibahas berikut ini(5) :

Fungsi regulator esensial limfosit CD4+ dalam imunitas selular tidak terbantahkan. Limfosit
CD4+ mengeluarkan berbagai sitokin yang memperlancar proses-proses misalnya produksi
imunoglobulin dan pengaktivan sel T tambahan dan makrofag. Dua sitokin spesifik yang dihasilkan
oleh limfosit CD4+-IL-2 dan interferon gama berperan penting dalam imunitas selular. Pada kondisi
normal, limfosit CD4+ mengeluarkan interferon gama yang menarik makrofag dan mengintensifkan

[Type text] Page 11


reaksi imun terhadap antigen. Namun, apabila limfosit CD4+ tidak berfungsi dengan benar maka
produksi interferon gama akan menurun. IL-2 penting untuk memfasilitasi tidak saja produksi sel
plasma tetapi juga pertumbuhan dan aktivitas antivirus sel CD8 dan replikasi-diri populasi limfosit
CD4+.

Walaupun mekanisme pasti sitopatogenisitas limfosit CD4+ belum diketahui, namun dapat
diajukan argumen-argumen untuk berbagai hipotesis seperti apoptosis, anergi, pembentukan
sinsitium, dan lisis sel. Antibodi-dependent, complement-mediated cytotoxicity (ADCC, sitotoksisitas
yang dependen antibodi dan diperantarai oleh komplemen) mungkin salah satu efek imun humoral
yang membantu menyingkirkan limfosit CD4+ yang terinfeksi oleh HIV. Antibodi terhadap dua
glikoprotein, gp120 dan gp41, menginduksi ADCC. Sel-sel seperti sel NK kemudian bertindak untuk
mematikan sel yang terinfeksi.

Apoptosis adalah salah satu dari beberapa teori yang diajukan untuk menjelaskan
berkurangnya secara mencolok limfosit CD4+ dalam darah sepanjang perjalanan penyakit HIV.
Banyak limfosit CD4+ tampaknya melakukan ‘bunuh diri’ saat dirangsang oleh suatu bahan pengaktif
atau oleh gangguan pada sinyal pengaktif (Gougeon, Montagnier, 1993). Limfosit CD4+ juga
mungkin tidak mampu membelah diri sehingga timbul fenomena yang disebut anergi. Teori lain
menyatakan adanya peran pembentukan sinsitium. Pada pembentukan sinsitium terinfeksi berfusi
dengan sel-sel yang terinfeksi “the bystander effect” (“efek peluru nyasar”; Weiss, 1993) sehingga
mengeliminasi banyak sel yang tidak terinfeksi. Akhirnya, menurunnya jumlah limfosit CD4+
mungkin disebabkan oleh terbentuknya virus-virus baru melalui proses pembentukan tunas; virus-
virus tersebut menyebabkan rupturnya membran limfosit CD4+, yang secara efektif mematikan sel
tersebut.

Perkembangan klinis

AIDS adalah stadium akhir dalam suatu kelainan imunologik dan klinis kontinum yang
dikenal sebagai “spektrum infeksi HIV”. Perjalanan penyakit dimulai saat terjadi penularan dan
pasien terinfeksi. Tidak semua orang yang terpajan akan terinfeksi (misalnya, homozigot dengan gen
CCR5 mutan). Mungkin terdapat kofaktor lain dalam akuisisi yang perlu diidentifikasi lebih lanjut.
Setelah infeksi awal oleh HUV, pasien mungkin tetap seronegatif selama beberapa bulan. Namun,
pasien ini bersifat menular selama periode ini dan dapat memindahkan virus ke orang lain. Fase ini
disebut “window period” (“masa jendela”). Manifestasi klinis pada orang yang terinfeksi dapat timbul
sedini 1 sampai 4 minggu setelah pajanan.

Infeksi akut tejadi pada tahap serokonversi dari status antibodi negatif menjadi positif.
Sebagian orang mengalami sakit mirip penyakit virus atau mirip mononukleosis infeksiosa yang

[Type text] Page 12


berlangsung beberapa hari. Gejala mungkin berupa malaise, demam, diare, limfadenopati, dan ruam
makulopapular. Beberapa orang mengalami gejala yang lebih akut, seperti meningitis dan
pneumonitis. Selama periode ini, dapat terdeteksi HIV dengan kadar tinggi di darah perifer. Kadar
limfosit CD4+ turun dan kemudian kembali ke kadar sedikit di bawah kadar semula untuk pasien
yang bersangkutan.

Dalam beberapa minggu setelah fase infeksi akut, pasien masuk ke fase asimtomatik. Pada
awal fase ini, kadar limfosit CD4+ umumnya sudah kembali mendekati normal. Namun, kadar
limfosit CD4+ menurun secar bertahap seiring dengan waktu. Selama fase infeksi ini, baik virus
maupun antibodi virus ditemukan di dalam darah. Seperti dibahas sebelumnya, replikasi virus
berlangsung di jaringan limfoid. Virus itu sendiri tidak pernah masuk ke dalam periode laten
walaupun fase infeksi klinisnya mungkin laten(5).

Pada fase simtomatik dari perjalanan penyakit, hitung sel CD4+ pasien biasanya telah turun di
bawah 300 sel /µ. Dijumpai gejala-gejala yang menunjukkan imunosupresi dan gejala ini berlanjut
sampai pasien memperlihatkan penyakit-penyakit terkait AIDS . CDC telah mendefinisikan penyakit-
penyakit simtoatik untuk kategori klinis ini

[Type text] Page 13


[Type text] Page 14
Manifestasi klinis
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal antara lain tumor dan
infeksi oportunistik :
1. Manifestadi tumor diantaranya;
a. Sarkoma kaposi ; kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Frekuensi kejadiannya 36-
50% biasanya terjadi pada kelompok homoseksual, dan jarang terjadi pada heteroseksual
serta jarang menjadi sebab kematian primer.
b. Limfoma ganas ; terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf, dan bertahan kurang
lebih 1 tahun.
2. Manifestasi Oportunistik diantaranya
2.1. Manifestasi pada Paru-paru
2.1.1. Pneumonia Pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru-paru
PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam.
2.1.2. Cytomegalo Virus (CMV)
Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-paru tetapi dapat
menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan penyebab kematian pada 30%
penderita AIDS.
2.1.3. Mycobacterium Avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan.
2.1.4. Mycobacterium Tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar ke
organ lain diluar paru.
2.2. Manifestasi pada Gastroitestinal
Tidak ada nafsu makan, diare khronis, berat badan turun lebih 10% per bulan.
3. Manifestasi Neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS nenunjukkan manifestasi Neurologis, yang biasanya timbul pada fase akhir
penyakit. Kelainan syaraf yang umum adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati dan
neuropari perifer.

Diagnosis HIV

Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat kunjungan pertama kali ke sarana
kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai
pemeriksaan fisik dan laboratorium, memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk
menentukan tata laksana selanjutnya.

[Type text] Page 15


Dari Anamnesis, perlu digali factor resiko HIV AIDS, Berikut ini mencantumkan, daftar tilik riwayat
penyakit pasien dengan tersangaka ODHA (table 3 dan table 4).

Faktor risiko infeksi HIV

- Penjaja seks laki-laki atau perempuan

- Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)

- Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan transgender (waria)

- Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial

- Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)

- Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah

- Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.

Daftar tilik riwayat pasien

[Type text] Page 16


Seorang dewasa dianggap menderita AIDS bila menunjukkan tes HIV positif dengan
strategi pemeriksaan yang sesuai dan sekurang-kurangnya didapatkan dua gejala mayor yang
berkaitan dengan 1 gejala minor, dan gejala-gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan-
keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV, atau ditemukan sarcoma Kaposi atau
pneumonia yang mengancam jiwa yang berulang(5).

Gejala Mayor :

1. Berat badan turun lebih dari 10 % dalam 1 bulan


2. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan
3. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bukan
4. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologi
5. Demensia / ensefalopati HIV
Gejala Minor :

1. Batuk menetap lebih dari 1 bulan


2. Dermatitis generalisata yang gatal
3. Herpes Zooster berulang
4. Kandidiosis Orofaring
5. Herpes Simpleks kronis progresif
6. Limfadenopati generalisata
7. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
Pemeriksaan fisik

[Type text] Page 17


Pemeriksaan khusus untuk HIV :

1. Tes Antibody HIV


Tes ini berfungsi untuk mendeteksi antibody terhadap HIV. Tes ini dapat dilakukan dengan
menggunakan tiga cara, yaitu ELISA (Enzyme Link Immunobinding Assay), Aglutinasi, dan
juga dot blot. Bahan yang digunakan adalah serum, cairan plasma, darah, dan juga liur.
Metode yang paling sering digunakan adalah ELISA. Tetapi ada beberapa hal yang harus
diperhatikan bila menggunakan tes Ab ini, karena pada infeksi HIV, terdapat masa jendela
atau window period. Masa jendela adalah keadaan dimana jumlah Ab yang terbentuk belum
cukup untuk dapat terdeteksi di dalam darah, padahal virus telah masuk di dalam tubuh, oleh

[Type text] Page 18


karena itu hasilnya akan menunjukkan negatif, Biasanya antibody dapat terdeteksi kurang
lebih 4-8 minggu setelah infeksi. Apabila tingkat kecuringaan terhadap pasien tinggi, tes ini
harus diulang 3 bulan lagi. (5)

2. Deteksi Antigen
Deteksi antigen ini dapat berfungsi untuk :
 Deteksi dini pada neonatus ( 18 bulan )
 Untuk pasien dengan seronegatif tetapi dengan riwayat terpapar terhadap HIV
Deteksi Antigen hanya dapat dilakukan dan terdeteksi saat pasien :

 Jumlah Ag > Ab : pada stadium dini


: pada stadium lanjut dimana Ab tidak terbentuk lagi.

Penilaian Klinis

Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan meliputi penentuan
stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang berhubungan dengan HIV di masa lalu,
mengidentifikasi penyakit yang terkait dengan HIV saat ini yang membutuhkan pengobatan,
mengidentifikasi kebutuhan terapi ARV dan infeksi oportunistik, serta mengidentifikasi pengobatan
lain yang sedang dijalani yang dapat mempengaruhi pemilihan terapi.

[Type text] Page 19


Stadium Klinis

WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I (asimtomatik),
stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV (sakit berat atau AIDS), dalam
tabel 9. Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan
sebagai panduan untuk memulai terapi profilaksis infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah
terapi ARV.

Penilaian Imunologi

Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam menilai status imunitas
odha dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan dalam memberikan pengobatan ARV. Tes
CD4 ini juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV. Namun yang penting diingat bahwa
meski tes CD4 dianjurkan, bilamana tidak tersedia, hal ini tidak boleh menjadi penghalang atau
menunda pemberian terapi ARV. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV.
Pemeriksaan jumlah limfosit total (Total Lymphocyte Count – TLC) dapat digunakan sebagai
indikator fungsi imunitas jika tes CD4 tidak tersedia namun TLC tidak dianjurkan untuk menilai
respon terapi ARV atau sebagai dasar menentukan kegagalan terapi ARV.

Tabel 9. Stadium klinis HIV

Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium 2 Sakit ringan


Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku

Stadium 3 Sakit sedang

[Type text] Page 20


Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis (<50.000/ml)

Stadium 4 Sakit berat (AIDS)


Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas

PENATALAKSANAAN

HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun data
selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa pegobatan dengan
menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk menurunkan morbiditas dan
mortalitas dini akibat infeksi HIV. . (Djoerban Z dkk,2006)

Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:

a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi
HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma kaposi,
limfoma, kanker serviks.

[Type text] Page 21


c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan
pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta juga
tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap
tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi
oportunistik amat berkurang.

Terapi Antiretroviral (ARV)


Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakn (Djauzi S dkk,2002):

 Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti: zidovudin, zalsitabin,


stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir
 Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti evafirens dan
nevirapin
 Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir, amprenavir.

No Nama Golongan Fungsi

1 NRTI (nucleoside reverse- penghambat kuat enzim reversetranscriptase dari


transcriptase inhibitor ) RNA menjadi DNA yang terjadi sebelum
penggabungan DNA virus dengan kromosom sel
inang.

2 NNRTI (non-nucleoside menghambat aktivitas enzim reverse-transcriptase


reverse-transcriptase inhibitor dengan mengikat secara langsung tempat yang aktif
(NNRTI) pada enzim tanpa aktivasi sebelumnya.

3 PI (Protease Inhibitor ) menghambat enzim protease HIV yang dibutuhkan


untuk memecah prekursor poliprotein virus dan
membangkitkan fungsi protein virus.

Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat antiretroviral
akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi ARV meliputi penilaian terhadap
kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan pemahaman tentang tanggung jawab selanjutnya
(terapi seumur hidup, adherence, toksisitas). Jangkauan pada dukungan gizi dan psikososial,
dukungan keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting yang tidak boleh dilupakan ketika membuat
keputusan untuk memulai terapi ARV. ( Depkes RI, 2007)

[Type text] Page 22


Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus memulai terapi
ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara seksama, setidaknya setiap 3 bulan
sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau manakala timbul gejala atau tanda klinis yang
baru.Adapun terapi HIV-AIDS berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel 10. (Depkes RI, 2007)

Terapi pada ODHA dewasa


Stadium Jika tidak tersedia
Bila tersedia pemeriksaan CD4
Klinis pemeriksaan CD4
1 Terapi ARV tidak diberikan
Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 <200 Bila jumlah total limfosit
2
<1200
Jumlah CD4 200 – 350/mm3, pertimbangkan terapi
sebelum CD4 <200/mm3.
Pada kehamilan atau TB:
Terapi ARV dimulai tanpa
 Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil dengan
3 memandang jumlah limfosit
CD4 350
total
 Mulai terapi ARV pada semua ODHA dengan
CD4 <350 dengan TB paru atau infeksi bakterial
berat
4 Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah CD4

1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh, TB paru dapat
muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang menyerupai penyakit yang
bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam berkepanjangan)(6).
2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai belum dapat
ditentukan.
3. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan CD4 tidak
dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium II atau III). Hal ini
tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada pemeriksaan CD4,
ODHA asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat ini belum ada petanda lain
yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.

Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV adalah
sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembangan penyakit akan lebih cepat
apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di
atas jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai sebelum

[Type text] Page 23


CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum untuk memulai terapi ARV pada tingkat
CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui, dan pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu
pemantauan teratur secara klinis maupun imunologis. Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB
paru atau infeksi bakterial berat dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis manapun
dengan CD4 < 350 / mm3. Keputusan untuk memulai terapi ARV pada ODHA dewasa danremaja
didasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis. Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian
klinis saja dapat memandu keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral
load) tidak dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi. (Depkes RI, 2007)
Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi oportunistik yang aktif.
Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.
Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain perbaikan fungsi
kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya diberikan sesegera mungkin (AIII).
Contohnya pada kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan lainnya, misal
pada infeksi M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi TB
dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan juga untuk mencegah atau
meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS.

Panduan Kombinasi Obat ARV


Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV yang dianjurkan oleh
WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral Therapy atau HAART. Kombinasi ini
dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi HIV. Semula, terapi HIV menggunakan monoterapi
dengan AZT dan duo (AZT dan 3TC) namun hanya memberikan manfaat sementara yang akan segera
diikuti oleh resistensi.

WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa kombinasi 2 NRTI dan
1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang termasuk NRTI adalah AZT, lamivudin (3TC)
dan stavudin (d4T). Sedangkan yang termasuk NNRTI adalah nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFZ).

Terapi ARV

[Type text] Page 24


Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT + 3TC + NVP.
Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena dapat menimbulkan anemia. Pada
kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa digunakan adalah d4T + 3TC + NVP. Namun AZT lebih
disukai daripada stavudin (d4T) oleh karena adanya efek toksik d4T seperti lipodistrofi, asidosis
laktat, dan neuropati perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat digunakan bila NVP tidak dapat
digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil karena EFZ tidak boleh diberikan
Pemilihan ARV golongan NRTI tentunya dengan mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan
masing-masing obat. Adapun kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan:

[Type text] Page 25


Pilihan obat ARV golongan NR

[Type text] Page 26


Tabel 13 : Kombinasi ARV

PI tidak direkomendasikan sebagai paduan lini pertama karena penggunaa PI pada awal terapi
akan menghilangkan kesempatan pilihan lini kedua di Indoneesia di mana sumber dayanya masih
sangat terbatas. PI hanya dapat digunakan sebagai paduan lini pertama (bersama kombinasi standar 2
NRTI) pada terapi infeksi HIV-2, pada perempuan dengan CD4>250/ mm3 yang mendapat ART dan
tidak bisa menerima EFV, atau pasien dengan intoleransi NNRTI.

Sindrom Pemulihan Imunitas (immun reconstitution syndrome = IRIS)


Kumpulan tanda dan gejala akibat dari pulihnya system kekebalan tubuh selama terapi ARV.
Merupakan reaksi paradoksal dalam melawan antigen asing (hidup atau mati) dari pasien yang baru
memulai terapi ARV dan mengalami pemulihan respon imun terhadap antigen tersebut.M. tuberkulosi
merupakan sepertiga dari seluruh kasus IRIS. Frekuensinya 10% dari seluruh pasien yang mulai terapi

[Type text] Page 27


ARV dan 25% dari pasien yang mulai terapi ARV dengan CD4 <50 / mm3. Berikut table pedoman
tatalaksana IRIS di Indonesia, seperti pada tabel 14.

Tabel 14: pedoman tatalaksana IRIS

[Type text] Page 28


BAB III

INFEKSI OPORTUNISTIK

Infeksi oportunistik adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh. Infeksi
ini dapat timbul akibat mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal dari luar tubuh maupun yang
telah ada dalam tubuh manusia. Namun dalam keadaan normal terkendali oleh kekekbalan tubuh

Infeksi oportunistik dapat dihubungkan dengan tingkat kekebalan tubuh yang ditandai
dengan jumlah CD4 dan dapat terjadi pada jumlah CD4 < 200 sel/ L ataupun > 200 sel/ L.
Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati namun apabila kekebalan tubuh tetap rendah
maka infeksi oportunistik mudah kambuh kembali atau juga dapat timbul oportunistik yang lain.
Pada umumnya kematian pada odha disebabkan oleh infeksi oportunistik sehingga infeksi ini
perlu dikenal dan diobati. Dengan penggunaan ARV peningkatan kekebalan tubuh ( CD4 ) dapat
dicapai sehingga risiko infeksi oportunistik dapat dikurangi. Terdapat banyak penyakit yang
digolongkan infeksi oportunistik seperti terlihat pada table 15.
Tabel 15. Infeksi Oportunistik/ Kondisi yang Sesuai dengan Kriteria Diagnosis AIDS
Cytomegalovirus (CMV) selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening
CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan)
Ensefalopati HIV a
Herpes simpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronchitis, pneumonitis, atau esofagitis
Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu
Isosporiasis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru
Kandidiasis esophagus
Kanker serviks invasif
Koksidioidomikosis, diseminata, atau ekstraparu
Kriptokokosis, ekstraparu
Kriptokosporidiosis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Leukoensefalopati multifocal progresif
Limfoma Burkitt
Limfoma imunoblastik
Limfoma primer pada otak
Mycobacterium avium complex atau M. kansasii, diseminata atau ekstraparu
Mycobacteriumi tuberculosis, di paru atau ekstraparu
Mycobacteriumi spesies lain atau tak teridentifikasi, di paru atau ekstraparu
Pneumonia Pneumocystis carinii
Pneumonia rekuren b
Sarkoma Kaposi
Septikemia Salmonella rekuren
Toksoplasmosis otak
Wasting syndrome c
a
Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang mengganggu
kerja atau aktivitas sehari-hari, tanpa dapat dijelaskan oleh penyebab lain selain
infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit lain dilakukan pemeriksaan lumbal
pungsi dan pemeriksaan pencitraan otak (CT scan atau MRI)
b
Berulang lebih dari satu episode dalam 1 tahun

[Type text] Page 29


c
Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronik (minimal 2
kali selama > 30 hari), atau kelemahan kronik dan demam lama (>30 hari,
intermiten, atau konstan) tanpa dapat dijelaskan oleh penyakit/ kondisi lain (missal
kanker, tuberkulosis, enteritis spesifik) selain HIV.

1. TUBERKULOSIS

TB paru disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis yang merupakan batang aerobic


tahan asam yang tumbuh lambat dan sensitive terhadap panas dan sinar UV. Bakteri yang jarang
sebagai penyebab, tetapi pernah terjadi adalah M. Bovis dan M. Avium.

Mycobacterium tuberculosis

HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB.
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity),
sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan
akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV
meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat
akan meningkat pula.

[Type text] Page 30


SKEMA 1. Faktor resiko TB dengan HIV (+)

Dampak infeksi hiv terhadap paru

Makrofag dan limfosit alveoler yang terdapat di permukaan epitel alveoli adalah sel
defender utama parenkim paru.2 Terinfeksinya makrofag dan limfosit alveoler oleh HIV
(paparan endogen) merupakan proses krusial pada patogenesis penyakit paru pada AIDS.
Molekul CD4 pada permukaan sel merupakan receptor untuk masuknya HIV dan untuk
masuknya virus ke dalam sel diperlukan kerjasama dengan ko-reseptor kemokin. CCR5
adalah ko-reseptor yang digunakan untuk menginfeksi makrofag oleh strain monoscytetropic
(M-tropic), namun tidak untuk menginfeksi limfosit dan sebaliknya CXCR4 atau fusin untuk
strain lymphocyte-tropic (L-tropic) Makrofag alveoler merupakan reservoir HIV yang utama.
Hal ini dibuktikan dengan terdeteksinya HIV reverse transcriptase dari hasil Bronchoalveolar
Lavage (BAL). Pada paru, CD4 ini terdapat pada permukaan makrofag alveoler dan ko-
reseptor yang paling berperan adalah CCR5 walaupun terdapat pula ekspresi CXCR4.Infeksi
oleh strain M-tropic dapat diblokir oleh CC chemokines RANTES, macrophage inflammatory
protein- 1_dan _ yang berperan sebagai ligand CCR5. Seiring dengan perkembangan infeksi
HIV, maka peran strain M-tropic digantikan oleh T-tropic, disertai penurunan yang cepat
status imunologik penderita. Sebagai reaksi defensif lokal paru terhadap masuknya virus:
dengan bantuan limfosit CD4 (T-helper), maka limfosit CD8 yang merupakan efektor system
imunitas seluler, membunuh sel yang terinfeksi HIV melalui cytotoxic T-cell lymphocyte

[Type text] Page 31


(CTL) CD8. Sel limfosit sitotoksik CD8 ini akan aktif dan berproliferasi sebagai respon
terhadap adanya epitope virus HIV, sehingga menekan replikasi virus secara langsung
Walaupun telah ada mekanisme penekanan ini, namun replikasi virus tetap berlangsung
(mekanismenya masih belum jelas) sehingga terjadi destruksi dan penurunan jumlah dan
kualitas CD4, selanjutnya menyebabkan respon CTL CD8 menjadi suboptimal (secara in
vitro, tidak dapat melakukan lisis sel target dengan baik) CD4/CD8 pada paru lebih kecil
dibandingkan darah perifer. Pada beberapa penderita menunjukkan symptom pulmonologis
sebagai akibat influks limfosit CD8 ke sel paru (lymphoid interstitial pneumonitis), dimana
hal ini berkorelasi dengan tingginya viral load. Namun pada tahap lanjut jumlah limfosit CD8
ini juga mengalami penurunan7.
didapatkan bahwa abnormalitas sel B terjadi pada masa-masa awal infeksi sebelum
terpengaruhnya fungsi sel T) dengan gangguan pembentukan antibodi sebagai respon
terhadap mitogen dan gangguan inisiasi sistesis antibodi secara normal sebagai respon
terhadap antigen. Penurunan konsentrasi IgG pada paru kemungkinan akibat gangguan
kemampuan makrofag alveoler dalam merangsang sekresi IgG dari sel B.14 Mekanisme
defensif lainnya adalah surfaktan paru (disekresi oleh sel epitel alveolar tipe II) yang secara
fisiologis berguna untuk menurunkan tegangan permukaan sehingga memudahkan reinflasi
pada setiap akhir ekspirasi. Surfaktan tersusun atas kompleks fosfolipid dan protein spesifik,
sel-sel bronkoalveoler juga terdapat didalamnya.Surfaktan menekan proses oksidatif dan
produksi beberapa jenis sitokin seperti IL-1, IL-6 dan TNF-_ (sitokin-sitokin yang
merangsang replikasi virus HIV), menghambat aktivasi limfosit sehingga menghambat
replikasi virus HIV. Paparan terhadap infeksi mikroorganisme tertentu akan merangsang
produksi TNF oleh makrofag alveoler, berikutnya TNF akan mengaktifkan replikasi virus
HIV sekaligus mengganggu sistesis protein surfaktan, dan akhirnya terjadi deplesi natural
antiviral factor pada paru

Patofisiologi TBC
Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui inhalasi. Setelah
masuk, bakteri tersebut akan membuat sarang pneumoni di jaringan paru, yang disebut sarang
primer / afek primer. Di dalam tubuh manusia tersebut akan terjadi limfangitis local yang
nantinya akan diikuti limfadenitis regional. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian
jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura dapat menyebabkan efusi pleura. Kuman juga
dapat masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadilah
limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ
seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis terjadi penjalaran ke seluruh
bagian paru menjadi TB Milier.

[Type text] Page 32


Selanjutnya kompleks primer memiliki 3 nasib :

1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali


2. Sembuh meninggalkan sedikit bekas (antara lain fokus ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di
hilus). Keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya >5 mm dan kurang lebih 10 %
diantaranya dapat reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.
3. Menyebar dengan 3 cara:
a.Perkontinuitatum atau ke jaringan sekitarnya

b.Bronkogen (ke paru-paru dank ke paru sebelahnya)

c.Hematogen dan Limfogen

SKEMA 3. Perjalanan TB Primer

Kuman yang dormant pada tuberculosis primer akan muncul kembali selama kurang lebih
bertahun-tahun, kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberculosis dewasa. Tuberculosis
sekunder atau post-primer terjadi karena imunitas menurun (sering pada penyakit HIV-AIDS), orang
dengan malnutrisi, pecandu alcohol, penyakit maligna, diabetes, dan gagal ginjal. TB post primer
dimulai dengan sarang dini yang umumnya terlekat di segmen apikal lobus superior maupun lobus
inferior. Sarang dini ini selanjutnya akan menjadi sarang pneumonia, yang akan mengikuti salah satu
jalan sebagai berikut:

1. Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat


2. Sarang akan meluas dan terjadi proses penyembuhan dengan jaringan fibrosis dan selanjutnya
akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat

[Type text] Page 33


menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan
keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan kaseosa. Kaviti akan muncul dengan
dibatukkannya jaringan keju keluar. Dimana awal kaviti berdinding tipis dan akan jadi
tebal(kaviti sklerotik), dan kaviti ini akan menjadi:
a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru
b. Memadat dan membungkus diri(enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma
dapat mengapur dan menyembuh, tapi juga dapat aktif kembali
c. Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity

SKEMA 4. Tuberculosis Post-Primer

Manifestasi klinis

TB paru merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan muncul pada infeksi HIV awal
dengan jumlah median CD4 > 300 sel/ L sedangkan TB ekstraparu atau diseminata dijumpai pada
odha dengan jumlah CD4 yang lebih rendah. (Yunihastuti E dkk, 2002)
Gejala TB paru yang paling sering adalah batuk kronik lebih dari 3 minggu, demam, penurunan berat
badan, penurunan nafsu makan, rasa letih, berkeringat pada waktu malam, nyeri dada, dan batuk
darah. Sedangkan pada TB ekstra paru yang tersering adalah limfadenopati asimetris, perikarditis,
efusi pleura dan osteomielitis. Sayangnya, gambaran klinis TB pada odha seringkali tidak khas dan
sangat bervariasi sehingga menegakkan diagnosis menjadi lebih sulit.

[Type text] Page 34


PEMERIKSAAN

Cara penegakan diagnosis TB pada odha tidak berbeda dengan yang bukan odha. Namun,
sensitivitas untuk pemeriksaan sputum BTA pada odha sekitar 50% dan tes tuberkulin hanya positif
pada 30-50% odha. Pada foto toraks, gambaran TB paru pada odha dengan CD4>200 sel/µL tidak
berbeda dengan non – HIV(8)

berupa infiltrat pada lobus atas, kavitas, atau efusi pleura. Pada ODHA dengan CD < 200 sel/µL,
gambaran yang lebih sering tampak adalah limfadenopati mediastinum dan infiltrat di lobus bawah.
Diagnosis definitif TB pada odha adalah dengan ditemukannya M.tuberculosis pada kultur jaringan
atau specimen sedangkan diagnosis presumtifnya berdasarkan ditemukannya BTA pada specimen
dengan gejala sesuai TB atau perbaikan gejala setelah terapi kombinasi OAT.

Pemeriksaan dahak mikroskopis

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan


dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan
berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).

 S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada
saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari
kedua.
 P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot
dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas .
 S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

Pemeriksaan Biakan

Peran biakan dan identifikasi M.tuberkulosis pada penanggulangan TB khususnya untuk


mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang digunakan. Selama
fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat
dimanfaatkan dalam beberapa situasi:
1. Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis
2. Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak.
3. Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda.

Pemeriksaan Tes Resistensi

[Type text] Page 35


Tes resistensi tersebut hanya bisa dilakukan di laboratorium yang mampu melaksanakan
biakan, identifikasi kuman serta tes resistensi sesuai standar internasional, dan telah mendapatkan
pemantapan mutu (Quality Assurance) oleh laboratorium supranasional TB. Hal ini bertujuan agar
hasil pemeriksaan tersebut memberikan simpulan yang benar sehinggga kemungkinan kesalahan
dalam pengobatan MDR dapat dicegah.

DIAGNOSIS TB

Diagnosis TB paru

 Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi -
sewaktu (SPS).
 Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA).
Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji
kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
 Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto
toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi
overdiagnosis.
 Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.

Diagnosis TB ekstra paru.

Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB,
nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB
dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB, nyeri perut di semua regio pada
Peritonitis TB dan lain-lainnya.

Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan
berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit
lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan
alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.

[Type text] Page 36


KLASIFIKASI TB

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan suatu ““definisi kasus”” yang
meliputi empat hal , yaitu:

1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit : paru atau ekstraparu


2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif
atau BTA negatif;
3. Tingkat keparahan penyakit : ringan atau berat.
4. Riwayat pengobatanTB sebelumnya : baru atau sudah pernah diobati

[Type text] Page 37


Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah :

1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai

2. Registrasi kasus secara benar

3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif

4. Analisis kohort hasil pengobatan

Beberapa istilah dalam definisi kasus:

1. Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau


didiagnosis oleh dokter.
2. Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk Mycobacterium tuberculosis
atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang- kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.

Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan untuk:

1. Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga


mencegah timbulnya resistensi,
2. Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga
meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective)
3. Mengurangi efek samping.

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:

1. Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang


menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput
paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh
lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

[Type text] Page 38


Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis,

yaitu pada TB Paru:

1) Tuberkulosis paru BTA positif.

 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.


 Spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran
tuberkulosis.
 Spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
atau spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan
sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non
OAT(9).

2) Tuberkulosis paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA
negatif harus meliputi:

 Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative


 Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
 Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika nonOAT.
 Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.

1. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat


keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks
memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan
atau keadaan umum pasien buruk.
2. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
 TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis
eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan
Kelenjar adrenal.
 TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,
peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih
dan alat kelamin.

Catatan: Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka untuk kepentingan

[Type text] Page 39


pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru. Bila seorang pasien dengan TB
ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya
paling berat.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:

1) Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari
satu bulan (4 minggu).

2) Kasus kambuh (Relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau
kultur).

3) Kasus setelah putus berobat (Default )

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

4) Kasus setelah gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan
kelima atau lebih selama pengobatan.

5) Kasus Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) yang memiliki register TB
lain untuk melanjutkan pengobatannya.

PENATALAKSANAAN

Pasien HIV-AIDS dengan TB ekstrapulmo, maka harus perhatikan dahulu, apakah pasien
sudah diberikan terapi ARV (Antiretroviral Virus) atau belum, dan apakah pasien sudah
mengkonsumsi AOT (Obat Anti TB) atau belum. Masalah koinfeksi Tuberkulosis dengan HIV
merupakan masalah yang sering dihadapi di Indonesia. Pada prinsipnya, pemberian OAT pada ODHA
tidak berbeda dengan pasien HIV negatif. Interaksi antar OAT dan ARV terutama dengan

[Type text] Page 40


hepatotoksiknya. Pada ODHA yang belum mendapat terapi ARV, waktu pemberian OAT harus
disesuaikan dengan kondisinya.

Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti pasien
TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai
HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB.
Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar
WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus memperhatikan Prinsip-prinsip Universal Precaution
(Kewaspadaan Keamanan Universal). Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu
dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing = Konsul sukarela dengan test HIV).

Klasifikasi Regimen Obat


Kasus TB baru 2HRZE / 6 HE (DOTS)
TB kambuh/ pengobatan ulang 2SHRZE / HRZE / 5H3R3E3 (DOTS)

Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB-HIV


CD4 Paduan yang dianjurkan Keterangan
CD4 <200/ Mulai terapi TB. Mulai terapi ARV Saat mulai ART pada 2 – 8
mm3 segera setelah terapi TB dapat ditoleransi minggu setelah OAT
(antara 2 minggu hingga 2 bulan)
Paduan yang mengandung EFV (AZT
atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau 800
mg/hari).
Setelah OAT selesai maka bila perlu
EFV dapat diganti dengan NVP.
Bila NVP terpaksa harus digunakan
disamping OAT, maka dapat dilakukan
dengan melakukan pemantauan fungsi
hati (SGOT/SGPT) secara ketat
CD4 200-350/ Mulai terapi TB Setelah 8 minggu terapi TB
mm3
CD4 >350/ Mulai terapi TB Tunda terapi ARV , evaluai
mm3 kembali pada saat minggu ke
8 terapi TB dan setelah terapi
TB lengkap

[Type text] Page 41


CD4 tidak Mulai terapi TB Pertimbangkan terapi ARV
mungkin mulai 2 – 8 minggu setelah
diperiksa terapi TB dimulai

2. DIARE

Diare adalah bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari biasanya (> 3 kali da- lam 24 jam)
disertai perubahan konsistensi tinja dengan / tanpa darah dan/ atau lendir. Berdasarkan lamanya diare
dibedakan menjadi dua yaitu diare akut dan kronik. Diare akut (acute watery diarrhoea) didefinisikan
sebagai buang air besar (defekasi) > 3 kali dalam 24 jam dengan konsistensi cair dan berlangsung < 1
minggu. Dapat terjadi pada anak dengan infeksi HIV simtomatik. Diare akut umumnya
disebabkan oleh infeksi virus (40-60%), hanya 10% disebabkan oleh infeksi bakteri yang rentan
terhadap antibiotika. Penyebab lain adalah infeksi parenteral, salah makan, malabsorbsi, kadang oleh
faktor kejiwaan.
Diare kronik adalah diare yang berlangsung > 14 hari. Umumnya terjadi pada anak terinfeksi
HIV.
Virus Bakteri Protozoa
Salmonella Rotavirus Criptosporidium
Staphylococcus aureus Norovirus Escherichia coli
Cyclospora Aeromonas Microsporidium
Giardia lamblia Clostridium
Bacillus cereus Isospora
Vibrio cholera Entamoeba hystolitica
Campylobacter
Shigella
Clostridium difficile
Yersinia
Vibrio parahaemolyticus
Enteroinvasive E.coli
Plesiomonas shigelloides
Klebsiella oxytica

3. TOXOPLASMOSIS

 Definisi
Toxoplasmosis adalah penyakit infeksi oleh parasit yang disebabkan oleh
Toxoplasma gondii yang dapat menimbulkan radang pada kulit, kelenjar getah
bening, jantung, paru, ,mata, otak, dan selaput otak. Infeksi paling umum didapat dari
kontak dengan kucing-kucing dan feces mereka atau daging mentah atau daging yang
kurang masak. Pada pasien dengan HIV AIDS manifestasi toxoplasmosis terbanyak
adalah ENCEFALITIS TOXOPLASMOSIS.(10)

[Type text] Page 42


 Klasifikasi
Terdapat 2 macam bentuk dari Toxoplasma yaitu bentuk intraseluler dan
bentuk ekstraseluler bulat atau lonjong, sedang bentuk ekstraseluler seperti bulan
sabit yang langsing, dengan ujung yang satu runcing sedang lainnya tumpul. Ukuran
parasit micron 4-6 mikron, dengan inti terletak di ujung yang tumpul.
Jumlah parasit dalam darah akan menurun dengan terbentuknya antibodi
namun kista Toxoplasma yang ada dalam jaringan tetap msih hidup. Kista jaringan ini
akan reaktif jika terjadi penurunan kekebalan. Infeksi yang terjadi pada orang dengan
kekebalan rendah baik infeksi primer maupun infeksi reaktivasi akan menyebabkan
terjadinya Cerebritis, Chorioretinitis, pneumonia, terserangnya seluruh jaringan otot,
myocarditis, ruam makulopapuler dan atau dengan kematian. Toxoplasmosis yang
menyerang otak sering terjadi pada penderita AIDS.
 Etiologi toxoplasmosis
Toxoplasma gondii adalah parasit intraseluler pada momocyte dan sel sel
endothelial pada berbagai organ tubuh. Toxoplasma ini biasanya berbentuk bulat atau
oval, jarang ditemukan dalam darah perifer, tetapi sering ditemukan dalam jumlah
besar pada organ-organ tubuh seperti pada jaringan hati, limpa, sumsum tulang, otak,
ginjal, urat daging, jantung dan urat daging licin lainnya.

 Daur hidup toxoplasma

Toxoplasma gondii hidup dalam 3 bentuk: thachyzoite, tissue cyst (yang


mengandung bradyzoites) dan oocyst ( yang mengandung sporozoites). Bentuk akhir
dari parasit diproduksi selama siklus seksual pada usus halus dari kucing. Kucing
merupakan pejamu definitif dari T gondii. Siklus hidup aseksual terjadi pada
pejamu perantara, (termasuk manusia ). Dimulai dengan tertelannya tissue cyst atau
oocyst diikuti oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh bradyzoites atau
sporozoites secara berturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites,
organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah atau limfatik. Parasit
ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan perifer. Bentuk ini
dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan berpredileksi untuk menetap pada otak,
myocardium, paru, otot skeletal dan retina. Tissue cyst ada dalam daging, tapi dapat
dirusak dengan pemanasan sampai 67oC, didinginkan sampai –20oC atau oleh iradiasi
gamma. Siklus seksual entero-epithelial dengan bentuk oocyst hidup pada kucing
yang akan menjadi infeksius setelah tertelan daging yang mengandung tissue cyst.
Ekskresi oocysts berakhir selama 7-20 hari dan jarang berulang. Oocyst menjadi

[Type text] Page 43


infeksius setelah diekskresikan dan terjadi sporulasi. Lamanya proses ini tergantung
dari kondisi lingkungan, tapi biasanya 2-3 hari setelah diekskresi. Oocysts menjadi
infeksius di lingkungan selama lebih dari 1 tahun. 4,7
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila makan daging babi atau domba
yang mentah yang mengandung oocyst. Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau
kontak langsung dengan feces kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat
transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu
yang imunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh
yang rendah seperti HIV AIDS dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. yang akan
mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan predileksi di otak. Tissue cyst
menjadi ruptur dan melepaskan invasive tropozoit (takizoit). Takisoit ini akan
menghancurkan sel dan menyebabkan focus nekrosis. 4,7,8

Pathogenesis toxoplasmosis pada HIV

Jika kista yang tertelan bradizoit atau ookista yang mengandung sporozoit tertelan oleh
pejamu maka parasit akan terbebas dari dari kista oleh proses pencernaan. Bradizoit resisten terhadap
efek pepsin dan menginvasi traktus gastrointestinal pejami. Didalam eritosit parasit mengalami
transformasi morfologi akibatnya jumlah takizoit invasive meningkat, takizoit mencetuskan respon
IgA sekretorik spesifik parasit. Dari traktus gastrointesyinal parasit kemudian menyebar ke berbagai
organ terutama otak jaringan limfatik, otot lurik miokardium, retina dan SSP. Dirempat tersebutparasit
menginfeksi sel pejamu, bereplikasi dan menginvasi sel yang berdekatan. Terjadilah proses yang khas
yaitu kematian sel dan nekrosis fokal yang dikelilingi respon inflamasi akut.

[Type text] Page 44


Pada pejamu imunokompromise baik imunitas humoral maupun imunitas seluler mngontrol
infeksi. Respon imun terhadap takizoit bermacam-macam termasuk induksi antibody parasit, aktivasi
makrofag dengan perantara radikal bebas, produksi interferon gama dan stimulasi limfosit T
sitotoksik. Limfosit spesifik antigen ini mampu menbubh baik parasit ekstraseluler maupun sel target
yang terinfeksi parasit. Selagi takizoit dibersihkandari pejamu yang mengalami infeksi akut kista
jaringan yang mengandung bradizoit mulai muncul biasanya di SSPdan diretina. Pada pejamu
imunokompromise factor imun yang dibutuhkan untuk mengontrol penyebaran penyakit rendah.
Akibatnya takizoit menetap dan penghancuran progresif berlangsung menyebabkan kegagalan
organ.(necrotizing encephalitis, pneumonia, dan miokarditis)
Infeksi menetap dengan kista yang mengandung bradizoit biasa ditemukan pada pasien
imunokompeten. Infeksi biasanya menetap subklinis. ,meski bradizoit mengalami fase metabolic
lambat, kista tidak mengalami degenerasi dan rupture pada SSP. proses ini bersamaan dengan
bersamaan dengan perkembangankista baru yang mengandung bradizoit yang merupakan sumber
infeksi bagiindividu imunokompromise dan merupakan stimulus untuk menetapnya titer antibody
pada pejamu
Pada pasien HIV AIDS imunokompromise terjadi suatu keadaan adanya defisiensi imun
yang disebabkan oleh d efisiensi kuantitatif dan kualitatif yang progresif dari . dari subset limfosit T
yaitu T helper. Subset T ini menggambarkan secara fenotip oleh eksprsi pada permukaan sel molekul
CD4 yang bekerja sebagai reseptor primer terhadap HIV setelah beberapa tahun CD4 akan turun
dibawah <200 dan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik.
Ensefalitis toxolasma biasanya terjadi pada penderita yang terinfeksi virus HIV dengan CD4
T sel < 100/mL. Ensefalitis toxoplasma ditandai dengan onset yang subakut. Manifestasi klinis yang
timbul dapat berupa defisit neurologis fokal (69%), nyeri kepala (55%), bingung / kacau (52%), dan
kejang (29%)9. Pada suatu studi didapatkan adanya tanda ensefalitis global dengan perubahan status
mental pada 75 % kasus, adanya defisit neurologis pada 70% kasus, Nyeri kepala pada 50 % kasus,
demam pada 45 % kasus dan kejang pada 30 % kasus.5 Defisit neurologis yang biasanya terjadi
adalah kelemahan motorik dan gangguan bicara. Bisa juga terdapat abnormalitas saraf otak, gangguan
penglihatan, gangguan sensorik, disfungsi serebelum, meningismus, movement disorders dan
menifestasi neuropsikiatri.7
Tanda dan gejala
Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak respon terhadap
pengobatan,lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan yang meningkat, masalah
penglihatan,pusing, masalah berbicara dan berjalan, muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua
pasien menunjukkan tanda infeksi. Nyeri kepala dan rasa bingung dapat menunjukkan adanya
perkembangan ensefalitis fokal dan terbentuknya abses sebagai akibat dari terjadinya infeksi
toksoplasma. Keadaan ini hampir selalumerupakan suatu kekambuhan akibat hilangnya kekebalan
pada penderita-penderita yang semasa mudanya telah berhubungan dengan parasit ini. Gejala-gejala

[Type text] Page 45


fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan mengalami kejang dan penurunan
kesadaran.

Diagnosa

 Pemeriksaan Serologi :didapatkan seropositif dari anti-T.gondii IgG sedangkan IgM biasanya
negative pada encephalitis toxoplasmosis. Deteksi juga dapat dilakukan denganindirect
fluorescent antibody (IFA), aglutinasi, atau enzyme linked immunosorbent assay
(ELISA).Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah terinfeksi kemudian bertahan
seumur hidup.
 Pemeriksaan cairan serebrospinal: menunjukkan adanya pleositosis ringan dari
mononuklear predominan dan elevasi protein.
 Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) : m endeteksi DNA T.gondii. PCR untuk
T.gondii dapat juga positif pada cairan bronkoalveolar dancairan vitreus atau aquos humor
dari penderita toksoplasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCRyang positif pada jaringan
otak tidak berarti terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapat bertahanlama berada di otak
setelah infeksi akut.
 CT scan : menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens multiple disertai dan
biasanyaditemukan lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen dan disertai edema
vasogenik padajaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma jarang muncul dengan lesi
tunggal atau tanpa lesi.

[Type text] Page 46


Penatalaksanaan

Fase akut(3-6 minggu) rumatan


Pilihan pertama Pirimetamin oral 200 mg hari Pirimetamin oral 25-50
pertama, selanjutnya 50-75 mg/hari + leukovarin oral 10-
mg/hari + leukovarin oral 10- 20 mg/hari + sulfadiazine oral
20 mg/hari + sulfadiazine oral 500-1000 mg/hari

[Type text] Page 47


1000-1500 mg/hari

Pilihan kedua Pirimetamin + leukovarin Pirimetamin + leukovarin


(dosis diatas) + klindamisin (dosis diatas) + klindamisin
oral atau i.v 4 x 600 mg oral 4x 300-450 mg

Pilihan ket Pirimetamin + leukovarin Pirimetamin + leukovorin


(dosis di atas) + salah satu : (dosis di atas) + salah satu
atovaquone oral 2 x 1500 mg, antibiotic tersebut dosis sama
azitromisin oral 1x900-
1200mg, klaritromisin oral 2x
500 mg, dapson oral 1x 100
mg, minosiklin oral 2 x 150-
200 mg

• Terapi dapat dihentikan bila terjadi perbaikan system imun yaitu bila nilai CD4 > 200 sel/µl
selama lebih dari 6 bulan.
• Terapi profilaksis diberikan kembali jika CD4 turun < 200 sel/µl.

Bila CD4 < 100 sel/µl:profilaksis dengan trimetoprim-sulfametoksazole (960 mg) 1x1 tab namun
bila pasien alergi :
• Dapson oral + pirimetamin
• Dapson oral +pirimetamin + leukovorin
• Atovaquone oral +pirimatamin +leukovorin

[Type text] Page 48


BAB IV
KESIMPULAN

Acuired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah suatu penyakit retrovirus yang ditandai
oleh imunosupresi berat yang menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik. AIDS disebabkan
terutama oleh retrovirus RNA HIV-1 tetapi HIV-2 juga dapat menyebabkan AIDS dan terutama
dijumpai di Afrika Barat. Target utama virus HIV adalah reseptor CD4++ yang terdapat di membran
sel T penolong, serta pada makrofag dan sel dendritik folikel yang terdapat di system saraf dan
jaringan limfoid. Penularan HIV terjadi melaui hubungan seksual (homoseks, heteroseks), transfusi
darah yang mengandung HIV, penyalahgunaan obat terlarang IV, dan secara vertical dari ibu kepada
bayi melalui plasenta atau ASI. Untuk penapisan standart untuk infeksi HIV adalah enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA), dan uji konfirmasi yang tersering adalah western blot. Uji-uji lain
mencakup biakan virus, serta pengukuran antigen p24 dan RNA atau DNA HIV dengan reaksi
berantai polymerase (PCR). Tanda utama infeksi HIV adalah deplesi progresif sel-sel CD4+,
termasuk sel T penolong dan makrofag. Pada system imun yang masih utuh, jumlah normal set T
CD4+ berkisar dari 600-1200/ml atau mm3. Terdapat empat fase infeksi HIV, yaitu infeksi akut
primer (serokonversi), fase asimptomatik, fase asimptomatik dini, fase asimptomatik lanjut. Setelah
fase awal infeksi HIV, individu mungkin tetap seronegatif selama beberapa bulan (masa jendela /
window periode ), tetapi dapat menularkan kepada orang lain.
Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita
HIV/AIDS,akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi disebabkan oleh
virus, bakteri,protozoa dan jamur dan juga mudah terkena penyakit keganasan.Pengobatan untuk
infeksi oportunistik bergantung pada penyakit infeksi yang ditimbulkan.Pengobatan status kekebalan
tubuh dengan menggunakan immune restoring agents, diharapkan dapatmemperbaiki fungsi sel
limfosit, dan menambah jumlah limfosit. Penatalaksanaan HIV/AIDS bersifat menyeluruh terdiri dari
pengobatan, perawatan/rehabilitasidan edukasi. Pengobatan pada pengidap HIV/penderita AIDS
ditujukan terhadap: virus HIV (obat ART),infeksi opportunistik, kanker sekunder, status kekebalan
tubuh, simptomatis dan suportif

[Type text] Page 49


BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006

2. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan dasar. Jakarta:


Balai Penerbit FKUI 2002.

3. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and related disorders.
In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause SL, Jameson JL. editors.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-
Hill

4. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z, editors.
Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2005.

5. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 [cited 2009 March 10]. Available at url:
http://www.aidsindonesia.or.id

6. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006

7. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib AA, Munasir Z,
Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV infection in infants and children in
Indonesia: current challenges in management. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI-RSCM 2009

8. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada
orang Dewasa dan Remaja” edisi ke-2, Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2007

9. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010: executive summary.


Geneva. 2010.

10. Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2009 April 8]; Available from:
http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040

[Type text] Page 50

Anda mungkin juga menyukai