PENDAHULUAN
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak Negara di
seluruh dunia. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang terbebas dari HIV
Menurut UNAIDS di tahun 2009 jumlah odha mencapai 33,3 juta, dengan kasus baru
sebanyak 2,6 juta,dan per hari lebih dari 7000 orang telah terinfeksi HIV, 97 % dari Negara
berpenghasilan rendah dan menengah. Penderitanya sebagian besar adalah wanita sekitar 51 %, usia
produktif 41% ( 15-24 th) dan anak-anak ( WHO, 2010). HIV dan AIDS menyebabkan krisis secara
bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan Negara, krisis ekonomi, pendidikan,
dan juga krisis kemanusiaan. (Djoerban Z dkk, 2006
Di Indonesia sendiri, jumlah odha terus meningkat. Data terakhir pada tahun 2008
menunjukkan bahwa jumlah odha di Indonesia telah mencapai 22.664 orang. (Depkes RI, 2008).
Menurut UNAIDS, Indonesia merupakan Negara dengan pertunbuhan epidemic tercepat di Asia. Pada
tahun 2007 menempati urutan ke-99 di dunia, namun karena pemahaman dari gejala penyakit dan
stigmata social masyarakat, hanya 5-10 % yang terdiagnosa dan dilakukan pengobatan.
HIV AIDS
Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan
tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih
yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4
sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya
nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang
seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan
sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan
sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama
akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol(1))
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti kumpulan
gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh
manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan
penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya
berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media
hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa
pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat virus,
bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik
Epidemiologi
Pada tahun 2005, jumlah ODHA di seluruh dunia diperkirakan sekitar 40,3 juta orang dan yang
terinfeksi HIV sebesar 4,9 juta orang. Jumlah ini terus bertambah dengan kecepatan 15.000 pasien per
hari. Jumlah pasien di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara sendiri diperkirakan berjumlah
sekitar 7,4 juta pada tahun 2005. Menurut catatan Departemen Kesehatan, pada tahun 2005 terdapat
4.186 kasus AIDS dengan 305 di antaranya berasal dari Jawa Barat. Saat ini, dilaporkan adanya
pertambahan kasus baru setiap 2 jam, dan setiap hari minimal 1 pasien meninggal karena AIDS di
Rumah Sakit Ketergantungan Obat dan di Rumah Tahanan. Dan di setiap propinsi ditemukan adanya
ibu hamil dengan HIV dan anak yang HIV atau AIDS.
Etiologi
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang
termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan
terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41. Selubung
glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan T-helper lymphosit dan
monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk
oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse
transcriptase enzyme)(1,2).
Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi
berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara
kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia
adalah grup HIV-1(2)
Struktur HIV :
Bagian luar HIV dilipuit oleh selubung yang disebut ‘envelope’ dan di bagian dalam terdapat
sebuah inti (CORE).
1. Envelope : HIV bergaris tengah 1/10.000 mm dan mempunyai bentuk bulat seperti bola.
Lapisan paling luar disebut ENVELOPE, terdiri dari dua lapisan molekul lemak yang
disebut lipids. Lapisan ini diambil dari sel manusia ketika partikel virus yang baru
terbentuk dengan membentuk tonjolan dan lepas dari sel tersebut.
Selubung virus terisi oleh protein yang berasal dari sel induk, termasuk 72 turunan (rata-
rata) protein HIV komplek yang menonjol dari permukaan selubung. Protein ini disebut
env, terdiri atas sebuah tutup (cap)terbuat dari 3-4 molekul GLYCOPROTEIN (gp) 120 dan
1.1. Homoseksual
Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual menderita
AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial.
Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi
penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari
seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan
mudah sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara anogenital.
1.2. Heteroseksual
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual pada
promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun
wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.
Heteroseksual/HeterosexuaL 12717
Homo-Biseksual/Homo-Bisexual 724
Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi baik melalui
ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja pada pekerja kesehatan. Selain itu air liur
terdapat inhibitor terhadap aktivitas HIV
Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak dapat ditularkan antara lain:
1. Kontak fisik
Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS, bernapas dengan udara
yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu ruangan dengan pasien tidak akan tertular.
Bersalaman, berpelukan maupun mencium pipi, tangan dan kening penderita HIV/AIDS tidak akan
menyebabkan seseorang tertular.
2. Memakai milik penderita
Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan makan maupun peralatan kerja
penderita HIV/AIDS tidak akan menular.
3. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.
4. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.
HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalu berbagai cara yaitu secara vertical, horizontal dan
transeksual. Jadi HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung dengan diperantarai benda
tajam yang mampu menembus dinding pembuluh darah atau secara tidak langsung melalui kulit dan
mukosa yang intak seperti yang terjadi pada kontak seksual. Begitu mencapai atau berada dalam
sirkulasi sistemik, 4-11 hari sejak paparan pertama, HIV dapat dideteksi di dalam darah. Selama
dalam sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda infeksi virus akut seperti
panas tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual, muntah, sulit tidur, batuk-batuk,
dan lain-lain. Keadaan ini disebut sindrom retroviral akut. Pada vase ini terjadi penurunan CD 4 dan
peningkatan HIV-RNA Viral load. Viral load akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi,
kemudian turun sampai pada suatu titik tertentu. Dengan semakin berlanjutnya infeksi, viral load
secara perlahan cenderung terus meningkat. Keadaan tersebut akan diikuti penurunan hitung CD 4
secara perlahan dalam waktu beberapa tahun dengan laju penurunan CD 4 yang lebih cepat pada
kurun waktu 1,5-2,5 tahun sebelum akhirnya jatuh ke stadium AIDS(4).
Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel yang menjadi target HIV
adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4. Untuk bisa masuk ke sel target, gp 120 HIV
perlu berikatan dengan reseptor CD4. Reseptor CD 4 ini terdapat pada permukaan limfosit T, monosit,
makrofag, Langerhan’s, sel dendrit, astrosit, microglia. Selain itu, untuk masuk ke sel HIV
memerlukan chemokine reseptor yaitu CXCR4 dan ccr5, beberapa reseptor lain yang memiliki peran
adalah CCR2b dan CCR3. Selanjutnya akan diikuti fase fusi membran HIV dengan membran sel
target atas peran gp41 HIV. Dengan terjadinya fusi kedua membran, seluruh isi sitoplasma HIV
termasuk enzim reverse transkriptase dan inti masuk ke dalam sitoplasma sel target. Setelah masuk
dalam sel target, HIV melepaskan single strand RNS (ssRNA). Enzim reverse transcriptase akan
menggunakan RNA sebagai template untuk mensisntesis DNA. Kemudian RNA dipindahkan oleh
ribonuklease dan enzim reverse transcriptase untuk mensintesis DNA lagi menjadi double stran
DNA yang disebut sebagai provirus. Provirus masuk ke dalam inti sel, menyatu dengan kromosom
host dengan perantara enzim integrase. Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif
untuk melakukan transkripsi dan translasi. Kondisi provirus yang tidak aktif ini disebut sebagai
keadaan laten. Untuk mengaktifkan provirus ini memrlukan aktivasi dari sel host. Bila sel host
teraktivasi oleh inductor seperti antigen, sitokin atau factor lain maka sel akan memicu nuclear factor
sehingga menjadi aktif dan berikatan dengan 5 LTR (Long terminal repeats) yang mengapit gen-gen
tersebut. LTR berisi berbagai elemen pengatur yang terlibat pada ekspresi gen, NF menginduksi
replikasi DNA. Induktor NF cepat memicu replikasi HIV dengan cara intervensi dari mikroorganisme
Enzim polymerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara stuktur berfungsi
sebagai RNA genomic dan mRNA. RNA keluar dari nucleus, mRNA mengalami translasi
menghasilkan polipeptida. Polipeptida akan bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru. Inti
beserta perangkat lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada permukaan sel host, kemudian
polipeptida dipecah oleh enzim protease menjadi protein dan enzim fungsioal. Inti virus baru
dilengkapi oleh kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host, sehingga terbentuk virus baru yang
lengkap dan matang. Virus ini akan keluar dari sel, dan akan menginfeksi sel target berikutnya. Dalam
satu hari HIV mampu melakukan replikasi hingga mencapai 109-1011 virus baru.
Secara perlahan tapi pasti,, limfosit T penderita akan tertekan dan semakin menurun dari
waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan jumlah Limfosit T-CD4 melalui
beberapa mekanisme(4) :
1. Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran plasma akibat adanya
penonjolan dan perobekan oleh virion. Akumulasi DNA virus yang tidak terintegritasi dengan
nucleus akan menggangu sintesis makromolekul.
2. Syncytia formation, yaitu terjadiya fusi antarmembran sel yang terinfeksi HIV dengan limfosit
T-CD4 yang tidak terinfeksi
3. Respon imun humoral dan seluler yang ikut berperan, tapi respon ini dapat menyebabkan
disfungsi imun akibat eliminasi sel yang terinfeksi dan sel normal sekitarnya.
4. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibody yang berperan untuk mengeliminasi
sel yang terinfeksi(4).
5. Kematian sel yang terprogram (apoptosis). Pengikatan antara gp120 dengan reseptor CD4
Limfosit T merupakan sinyal pertama untuk menyampaikan pesan kematian sel melalui
apoptosis.
Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah limfosit T-CD4
secara dramatis dari normal yang berkisar 600-1200/mm3 menjadi 200/mm3 atau lebih rendah
lagi. Semua mekanisme tersebut menyebabkan penurunan system imun, sehingga pertahanan
individu terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan resiko terjadinya
infeksi sekunder sehingga masuk ke stadium AIDS. Masuknya infeksi sekunder menyebabkan
munculnya keluhan dan gejala klinis sesuai
Segera setelah terpajan HIV, individu akan melakukan perlawanan imun yang intensif. Sel-sel
B menghasilkan antibodi-antibodi spesifik terhadap berbagai protein virus. Ditemukan antibodi
netralisasi terhadap regio-regio di gp120 selubung virus dan bagian eksternal gp41. Deteksi anti bodi
adalah dasar bagi berbagai uji HIV (misalnya, enzime-linked immunosorbent assay [ELISA]). Di
dalam darah dijumpai kelas antibodi imunoglobulin G (IgG) maupun imunoglobulin M (IgM), tetapi
seiring dengan menurunnya titer IgM, titer IgG (pada sebagian besar kasus) tetap tinggi sepanjang
infeksi. Antibodi IgG adalah antibodi utama yang digunakan dalam uji HIV. Antibodi terhadap HIV
dapat muncul dalam 1 bulan setelah infeksi awal dan pada sebagian besar orang yang terinfeksi HIV
dalam 6 bulan setelah pajanan. Namun, antibodi HIV tidak menetralisasikan HIV atau menimbulkan
perlindungan terhadap infeksi lebih lanjut.
Produksi imunoglobulin diatur oleh limfosit T CD4+, limposit T CD+ diaktifkan oleh sel
penyaji antigen (APC) untuk menghasilkan berbagai sitokin seperti interleukin-2 (IL-2), yang
membantu merangsang sel B untuk membelah dan berdiferensiasi menjadi sel plasma. Sel-sel plasma
ini kemudian menghasilkan imunoglobuin yang spesifik untuk antigen yang merangsangnya. Sitokin
IL-2 hanyalah salah satu dari banyak sitokin yang memengaruhi respons imun baik humoral maupun
selular. Walaupun tingkat kontrol, ekspresi, dan potensi fungsi sitokin dalam infeksi HIV masih terus
diteliti, namun sitokin jelas penting dalam aktivitas intrasel. Sebagai contoh, penambahan sitokin IL-
12 (faktor stimulasi sel NK) tampaknya melawan penurunan aktivitas dan fungsi sel NK seperti yang
terjadi pada infeksi HIV. Sel-sel NK adalah sel yang penting karena dalam keadaan normal sel-sel
inilah yang mengenali dan menghancurkan sel yang terinfeksi oleh virus dengan mengeluarkan
perforin yang serupa dengan yang dihasilkan oleh sel CD8.
Peran sitotoksik sel CD8 adalah mengikat sel yang terinfeksi oleh virus dan mengeluarkan
perforin, yang menyebabkan kematian sel. Aktivitas sitotosik sel CD8 sangat hebat pada awal infeksi
HIV. Sel CD8 juga dapat menekan replikasi HIV di dalam limfosit CD4+. Penekanan ini terbukti
bervariasi tidak saja di antara orang yang berbeda tetapi juga pada orang yang sama seiring dengan
perkembangan penyakit. Aktivitas antivirus sel CD8 menurun seiring dengan perkembangannya
penyakit. Dengan semakin beratnya penyakit, jumlah limfosit CD4+ juga berkurang. Berbagai
hipotesis tentang penyebab penurunan bertahap tersebut akan dibahas berikut ini(5) :
Fungsi regulator esensial limfosit CD4+ dalam imunitas selular tidak terbantahkan. Limfosit
CD4+ mengeluarkan berbagai sitokin yang memperlancar proses-proses misalnya produksi
imunoglobulin dan pengaktivan sel T tambahan dan makrofag. Dua sitokin spesifik yang dihasilkan
oleh limfosit CD4+-IL-2 dan interferon gama berperan penting dalam imunitas selular. Pada kondisi
normal, limfosit CD4+ mengeluarkan interferon gama yang menarik makrofag dan mengintensifkan
Walaupun mekanisme pasti sitopatogenisitas limfosit CD4+ belum diketahui, namun dapat
diajukan argumen-argumen untuk berbagai hipotesis seperti apoptosis, anergi, pembentukan
sinsitium, dan lisis sel. Antibodi-dependent, complement-mediated cytotoxicity (ADCC, sitotoksisitas
yang dependen antibodi dan diperantarai oleh komplemen) mungkin salah satu efek imun humoral
yang membantu menyingkirkan limfosit CD4+ yang terinfeksi oleh HIV. Antibodi terhadap dua
glikoprotein, gp120 dan gp41, menginduksi ADCC. Sel-sel seperti sel NK kemudian bertindak untuk
mematikan sel yang terinfeksi.
Apoptosis adalah salah satu dari beberapa teori yang diajukan untuk menjelaskan
berkurangnya secara mencolok limfosit CD4+ dalam darah sepanjang perjalanan penyakit HIV.
Banyak limfosit CD4+ tampaknya melakukan ‘bunuh diri’ saat dirangsang oleh suatu bahan pengaktif
atau oleh gangguan pada sinyal pengaktif (Gougeon, Montagnier, 1993). Limfosit CD4+ juga
mungkin tidak mampu membelah diri sehingga timbul fenomena yang disebut anergi. Teori lain
menyatakan adanya peran pembentukan sinsitium. Pada pembentukan sinsitium terinfeksi berfusi
dengan sel-sel yang terinfeksi “the bystander effect” (“efek peluru nyasar”; Weiss, 1993) sehingga
mengeliminasi banyak sel yang tidak terinfeksi. Akhirnya, menurunnya jumlah limfosit CD4+
mungkin disebabkan oleh terbentuknya virus-virus baru melalui proses pembentukan tunas; virus-
virus tersebut menyebabkan rupturnya membran limfosit CD4+, yang secara efektif mematikan sel
tersebut.
Perkembangan klinis
AIDS adalah stadium akhir dalam suatu kelainan imunologik dan klinis kontinum yang
dikenal sebagai “spektrum infeksi HIV”. Perjalanan penyakit dimulai saat terjadi penularan dan
pasien terinfeksi. Tidak semua orang yang terpajan akan terinfeksi (misalnya, homozigot dengan gen
CCR5 mutan). Mungkin terdapat kofaktor lain dalam akuisisi yang perlu diidentifikasi lebih lanjut.
Setelah infeksi awal oleh HUV, pasien mungkin tetap seronegatif selama beberapa bulan. Namun,
pasien ini bersifat menular selama periode ini dan dapat memindahkan virus ke orang lain. Fase ini
disebut “window period” (“masa jendela”). Manifestasi klinis pada orang yang terinfeksi dapat timbul
sedini 1 sampai 4 minggu setelah pajanan.
Infeksi akut tejadi pada tahap serokonversi dari status antibodi negatif menjadi positif.
Sebagian orang mengalami sakit mirip penyakit virus atau mirip mononukleosis infeksiosa yang
Dalam beberapa minggu setelah fase infeksi akut, pasien masuk ke fase asimtomatik. Pada
awal fase ini, kadar limfosit CD4+ umumnya sudah kembali mendekati normal. Namun, kadar
limfosit CD4+ menurun secar bertahap seiring dengan waktu. Selama fase infeksi ini, baik virus
maupun antibodi virus ditemukan di dalam darah. Seperti dibahas sebelumnya, replikasi virus
berlangsung di jaringan limfoid. Virus itu sendiri tidak pernah masuk ke dalam periode laten
walaupun fase infeksi klinisnya mungkin laten(5).
Pada fase simtomatik dari perjalanan penyakit, hitung sel CD4+ pasien biasanya telah turun di
bawah 300 sel /µ. Dijumpai gejala-gejala yang menunjukkan imunosupresi dan gejala ini berlanjut
sampai pasien memperlihatkan penyakit-penyakit terkait AIDS . CDC telah mendefinisikan penyakit-
penyakit simtoatik untuk kategori klinis ini
Diagnosis HIV
Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat kunjungan pertama kali ke sarana
kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai
pemeriksaan fisik dan laboratorium, memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk
menentukan tata laksana selanjutnya.
- Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan transgender (waria)
Gejala Mayor :
2. Deteksi Antigen
Deteksi antigen ini dapat berfungsi untuk :
Deteksi dini pada neonatus ( 18 bulan )
Untuk pasien dengan seronegatif tetapi dengan riwayat terpapar terhadap HIV
Deteksi Antigen hanya dapat dilakukan dan terdeteksi saat pasien :
Penilaian Klinis
Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan meliputi penentuan
stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang berhubungan dengan HIV di masa lalu,
mengidentifikasi penyakit yang terkait dengan HIV saat ini yang membutuhkan pengobatan,
mengidentifikasi kebutuhan terapi ARV dan infeksi oportunistik, serta mengidentifikasi pengobatan
lain yang sedang dijalani yang dapat mempengaruhi pemilihan terapi.
WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I (asimtomatik),
stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV (sakit berat atau AIDS), dalam
tabel 9. Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan
sebagai panduan untuk memulai terapi profilaksis infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah
terapi ARV.
Penilaian Imunologi
Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam menilai status imunitas
odha dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan dalam memberikan pengobatan ARV. Tes
CD4 ini juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV. Namun yang penting diingat bahwa
meski tes CD4 dianjurkan, bilamana tidak tersedia, hal ini tidak boleh menjadi penghalang atau
menunda pemberian terapi ARV. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV.
Pemeriksaan jumlah limfosit total (Total Lymphocyte Count – TLC) dapat digunakan sebagai
indikator fungsi imunitas jika tes CD4 tidak tersedia namun TLC tidak dianjurkan untuk menilai
respon terapi ARV atau sebagai dasar menentukan kegagalan terapi ARV.
Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
PENATALAKSANAAN
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun data
selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa pegobatan dengan
menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk menurunkan morbiditas dan
mortalitas dini akibat infeksi HIV. . (Djoerban Z dkk,2006)
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi
HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma kaposi,
limfoma, kanker serviks.
Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat antiretroviral
akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi ARV meliputi penilaian terhadap
kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan pemahaman tentang tanggung jawab selanjutnya
(terapi seumur hidup, adherence, toksisitas). Jangkauan pada dukungan gizi dan psikososial,
dukungan keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting yang tidak boleh dilupakan ketika membuat
keputusan untuk memulai terapi ARV. ( Depkes RI, 2007)
1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh, TB paru dapat
muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang menyerupai penyakit yang
bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam berkepanjangan)(6).
2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai belum dapat
ditentukan.
3. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan CD4 tidak
dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium II atau III). Hal ini
tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada pemeriksaan CD4,
ODHA asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat ini belum ada petanda lain
yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.
Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV adalah
sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembangan penyakit akan lebih cepat
apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di
atas jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai sebelum
WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa kombinasi 2 NRTI dan
1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang termasuk NRTI adalah AZT, lamivudin (3TC)
dan stavudin (d4T). Sedangkan yang termasuk NNRTI adalah nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFZ).
Terapi ARV
PI tidak direkomendasikan sebagai paduan lini pertama karena penggunaa PI pada awal terapi
akan menghilangkan kesempatan pilihan lini kedua di Indoneesia di mana sumber dayanya masih
sangat terbatas. PI hanya dapat digunakan sebagai paduan lini pertama (bersama kombinasi standar 2
NRTI) pada terapi infeksi HIV-2, pada perempuan dengan CD4>250/ mm3 yang mendapat ART dan
tidak bisa menerima EFV, atau pasien dengan intoleransi NNRTI.
INFEKSI OPORTUNISTIK
Infeksi oportunistik adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh. Infeksi
ini dapat timbul akibat mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal dari luar tubuh maupun yang
telah ada dalam tubuh manusia. Namun dalam keadaan normal terkendali oleh kekekbalan tubuh
Infeksi oportunistik dapat dihubungkan dengan tingkat kekebalan tubuh yang ditandai
dengan jumlah CD4 dan dapat terjadi pada jumlah CD4 < 200 sel/ L ataupun > 200 sel/ L.
Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati namun apabila kekebalan tubuh tetap rendah
maka infeksi oportunistik mudah kambuh kembali atau juga dapat timbul oportunistik yang lain.
Pada umumnya kematian pada odha disebabkan oleh infeksi oportunistik sehingga infeksi ini
perlu dikenal dan diobati. Dengan penggunaan ARV peningkatan kekebalan tubuh ( CD4 ) dapat
dicapai sehingga risiko infeksi oportunistik dapat dikurangi. Terdapat banyak penyakit yang
digolongkan infeksi oportunistik seperti terlihat pada table 15.
Tabel 15. Infeksi Oportunistik/ Kondisi yang Sesuai dengan Kriteria Diagnosis AIDS
Cytomegalovirus (CMV) selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening
CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan)
Ensefalopati HIV a
Herpes simpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronchitis, pneumonitis, atau esofagitis
Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu
Isosporiasis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru
Kandidiasis esophagus
Kanker serviks invasif
Koksidioidomikosis, diseminata, atau ekstraparu
Kriptokokosis, ekstraparu
Kriptokosporidiosis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Leukoensefalopati multifocal progresif
Limfoma Burkitt
Limfoma imunoblastik
Limfoma primer pada otak
Mycobacterium avium complex atau M. kansasii, diseminata atau ekstraparu
Mycobacteriumi tuberculosis, di paru atau ekstraparu
Mycobacteriumi spesies lain atau tak teridentifikasi, di paru atau ekstraparu
Pneumonia Pneumocystis carinii
Pneumonia rekuren b
Sarkoma Kaposi
Septikemia Salmonella rekuren
Toksoplasmosis otak
Wasting syndrome c
a
Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang mengganggu
kerja atau aktivitas sehari-hari, tanpa dapat dijelaskan oleh penyebab lain selain
infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit lain dilakukan pemeriksaan lumbal
pungsi dan pemeriksaan pencitraan otak (CT scan atau MRI)
b
Berulang lebih dari satu episode dalam 1 tahun
1. TUBERKULOSIS
Mycobacterium tuberculosis
HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB.
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity),
sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan
akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV
meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat
akan meningkat pula.
Makrofag dan limfosit alveoler yang terdapat di permukaan epitel alveoli adalah sel
defender utama parenkim paru.2 Terinfeksinya makrofag dan limfosit alveoler oleh HIV
(paparan endogen) merupakan proses krusial pada patogenesis penyakit paru pada AIDS.
Molekul CD4 pada permukaan sel merupakan receptor untuk masuknya HIV dan untuk
masuknya virus ke dalam sel diperlukan kerjasama dengan ko-reseptor kemokin. CCR5
adalah ko-reseptor yang digunakan untuk menginfeksi makrofag oleh strain monoscytetropic
(M-tropic), namun tidak untuk menginfeksi limfosit dan sebaliknya CXCR4 atau fusin untuk
strain lymphocyte-tropic (L-tropic) Makrofag alveoler merupakan reservoir HIV yang utama.
Hal ini dibuktikan dengan terdeteksinya HIV reverse transcriptase dari hasil Bronchoalveolar
Lavage (BAL). Pada paru, CD4 ini terdapat pada permukaan makrofag alveoler dan ko-
reseptor yang paling berperan adalah CCR5 walaupun terdapat pula ekspresi CXCR4.Infeksi
oleh strain M-tropic dapat diblokir oleh CC chemokines RANTES, macrophage inflammatory
protein- 1_dan _ yang berperan sebagai ligand CCR5. Seiring dengan perkembangan infeksi
HIV, maka peran strain M-tropic digantikan oleh T-tropic, disertai penurunan yang cepat
status imunologik penderita. Sebagai reaksi defensif lokal paru terhadap masuknya virus:
dengan bantuan limfosit CD4 (T-helper), maka limfosit CD8 yang merupakan efektor system
imunitas seluler, membunuh sel yang terinfeksi HIV melalui cytotoxic T-cell lymphocyte
Patofisiologi TBC
Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui inhalasi. Setelah
masuk, bakteri tersebut akan membuat sarang pneumoni di jaringan paru, yang disebut sarang
primer / afek primer. Di dalam tubuh manusia tersebut akan terjadi limfangitis local yang
nantinya akan diikuti limfadenitis regional. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian
jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura dapat menyebabkan efusi pleura. Kuman juga
dapat masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadilah
limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ
seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis terjadi penjalaran ke seluruh
bagian paru menjadi TB Milier.
Kuman yang dormant pada tuberculosis primer akan muncul kembali selama kurang lebih
bertahun-tahun, kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberculosis dewasa. Tuberculosis
sekunder atau post-primer terjadi karena imunitas menurun (sering pada penyakit HIV-AIDS), orang
dengan malnutrisi, pecandu alcohol, penyakit maligna, diabetes, dan gagal ginjal. TB post primer
dimulai dengan sarang dini yang umumnya terlekat di segmen apikal lobus superior maupun lobus
inferior. Sarang dini ini selanjutnya akan menjadi sarang pneumonia, yang akan mengikuti salah satu
jalan sebagai berikut:
Manifestasi klinis
TB paru merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan muncul pada infeksi HIV awal
dengan jumlah median CD4 > 300 sel/ L sedangkan TB ekstraparu atau diseminata dijumpai pada
odha dengan jumlah CD4 yang lebih rendah. (Yunihastuti E dkk, 2002)
Gejala TB paru yang paling sering adalah batuk kronik lebih dari 3 minggu, demam, penurunan berat
badan, penurunan nafsu makan, rasa letih, berkeringat pada waktu malam, nyeri dada, dan batuk
darah. Sedangkan pada TB ekstra paru yang tersering adalah limfadenopati asimetris, perikarditis,
efusi pleura dan osteomielitis. Sayangnya, gambaran klinis TB pada odha seringkali tidak khas dan
sangat bervariasi sehingga menegakkan diagnosis menjadi lebih sulit.
Cara penegakan diagnosis TB pada odha tidak berbeda dengan yang bukan odha. Namun,
sensitivitas untuk pemeriksaan sputum BTA pada odha sekitar 50% dan tes tuberkulin hanya positif
pada 30-50% odha. Pada foto toraks, gambaran TB paru pada odha dengan CD4>200 sel/µL tidak
berbeda dengan non – HIV(8)
berupa infiltrat pada lobus atas, kavitas, atau efusi pleura. Pada ODHA dengan CD < 200 sel/µL,
gambaran yang lebih sering tampak adalah limfadenopati mediastinum dan infiltrat di lobus bawah.
Diagnosis definitif TB pada odha adalah dengan ditemukannya M.tuberculosis pada kultur jaringan
atau specimen sedangkan diagnosis presumtifnya berdasarkan ditemukannya BTA pada specimen
dengan gejala sesuai TB atau perbaikan gejala setelah terapi kombinasi OAT.
S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada
saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari
kedua.
P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot
dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas .
S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.
Pemeriksaan Biakan
DIAGNOSIS TB
Diagnosis TB paru
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi -
sewaktu (SPS).
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA).
Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji
kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto
toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi
overdiagnosis.
Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB,
nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB
dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB, nyeri perut di semua regio pada
Peritonitis TB dan lain-lainnya.
Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan
berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit
lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan
alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan suatu ““definisi kasus”” yang
meliputi empat hal , yaitu:
Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan untuk:
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA
negatif harus meliputi:
Catatan: Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka untuk kepentingan
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:
1) Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari
satu bulan (4 minggu).
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau
kultur).
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan
kelima atau lebih selama pengobatan.
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) yang memiliki register TB
lain untuk melanjutkan pengobatannya.
PENATALAKSANAAN
Pasien HIV-AIDS dengan TB ekstrapulmo, maka harus perhatikan dahulu, apakah pasien
sudah diberikan terapi ARV (Antiretroviral Virus) atau belum, dan apakah pasien sudah
mengkonsumsi AOT (Obat Anti TB) atau belum. Masalah koinfeksi Tuberkulosis dengan HIV
merupakan masalah yang sering dihadapi di Indonesia. Pada prinsipnya, pemberian OAT pada ODHA
tidak berbeda dengan pasien HIV negatif. Interaksi antar OAT dan ARV terutama dengan
Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti pasien
TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai
HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB.
Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar
WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus memperhatikan Prinsip-prinsip Universal Precaution
(Kewaspadaan Keamanan Universal). Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu
dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing = Konsul sukarela dengan test HIV).
2. DIARE
Diare adalah bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari biasanya (> 3 kali da- lam 24 jam)
disertai perubahan konsistensi tinja dengan / tanpa darah dan/ atau lendir. Berdasarkan lamanya diare
dibedakan menjadi dua yaitu diare akut dan kronik. Diare akut (acute watery diarrhoea) didefinisikan
sebagai buang air besar (defekasi) > 3 kali dalam 24 jam dengan konsistensi cair dan berlangsung < 1
minggu. Dapat terjadi pada anak dengan infeksi HIV simtomatik. Diare akut umumnya
disebabkan oleh infeksi virus (40-60%), hanya 10% disebabkan oleh infeksi bakteri yang rentan
terhadap antibiotika. Penyebab lain adalah infeksi parenteral, salah makan, malabsorbsi, kadang oleh
faktor kejiwaan.
Diare kronik adalah diare yang berlangsung > 14 hari. Umumnya terjadi pada anak terinfeksi
HIV.
Virus Bakteri Protozoa
Salmonella Rotavirus Criptosporidium
Staphylococcus aureus Norovirus Escherichia coli
Cyclospora Aeromonas Microsporidium
Giardia lamblia Clostridium
Bacillus cereus Isospora
Vibrio cholera Entamoeba hystolitica
Campylobacter
Shigella
Clostridium difficile
Yersinia
Vibrio parahaemolyticus
Enteroinvasive E.coli
Plesiomonas shigelloides
Klebsiella oxytica
3. TOXOPLASMOSIS
Definisi
Toxoplasmosis adalah penyakit infeksi oleh parasit yang disebabkan oleh
Toxoplasma gondii yang dapat menimbulkan radang pada kulit, kelenjar getah
bening, jantung, paru, ,mata, otak, dan selaput otak. Infeksi paling umum didapat dari
kontak dengan kucing-kucing dan feces mereka atau daging mentah atau daging yang
kurang masak. Pada pasien dengan HIV AIDS manifestasi toxoplasmosis terbanyak
adalah ENCEFALITIS TOXOPLASMOSIS.(10)
Jika kista yang tertelan bradizoit atau ookista yang mengandung sporozoit tertelan oleh
pejamu maka parasit akan terbebas dari dari kista oleh proses pencernaan. Bradizoit resisten terhadap
efek pepsin dan menginvasi traktus gastrointestinal pejami. Didalam eritosit parasit mengalami
transformasi morfologi akibatnya jumlah takizoit invasive meningkat, takizoit mencetuskan respon
IgA sekretorik spesifik parasit. Dari traktus gastrointesyinal parasit kemudian menyebar ke berbagai
organ terutama otak jaringan limfatik, otot lurik miokardium, retina dan SSP. Dirempat tersebutparasit
menginfeksi sel pejamu, bereplikasi dan menginvasi sel yang berdekatan. Terjadilah proses yang khas
yaitu kematian sel dan nekrosis fokal yang dikelilingi respon inflamasi akut.
Diagnosa
Pemeriksaan Serologi :didapatkan seropositif dari anti-T.gondii IgG sedangkan IgM biasanya
negative pada encephalitis toxoplasmosis. Deteksi juga dapat dilakukan denganindirect
fluorescent antibody (IFA), aglutinasi, atau enzyme linked immunosorbent assay
(ELISA).Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah terinfeksi kemudian bertahan
seumur hidup.
Pemeriksaan cairan serebrospinal: menunjukkan adanya pleositosis ringan dari
mononuklear predominan dan elevasi protein.
Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) : m endeteksi DNA T.gondii. PCR untuk
T.gondii dapat juga positif pada cairan bronkoalveolar dancairan vitreus atau aquos humor
dari penderita toksoplasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCRyang positif pada jaringan
otak tidak berarti terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapat bertahanlama berada di otak
setelah infeksi akut.
CT scan : menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens multiple disertai dan
biasanyaditemukan lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen dan disertai edema
vasogenik padajaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma jarang muncul dengan lesi
tunggal atau tanpa lesi.
• Terapi dapat dihentikan bila terjadi perbaikan system imun yaitu bila nilai CD4 > 200 sel/µl
selama lebih dari 6 bulan.
• Terapi profilaksis diberikan kembali jika CD4 turun < 200 sel/µl.
Bila CD4 < 100 sel/µl:profilaksis dengan trimetoprim-sulfametoksazole (960 mg) 1x1 tab namun
bila pasien alergi :
• Dapson oral + pirimetamin
• Dapson oral +pirimetamin + leukovorin
• Atovaquone oral +pirimatamin +leukovorin
Acuired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah suatu penyakit retrovirus yang ditandai
oleh imunosupresi berat yang menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik. AIDS disebabkan
terutama oleh retrovirus RNA HIV-1 tetapi HIV-2 juga dapat menyebabkan AIDS dan terutama
dijumpai di Afrika Barat. Target utama virus HIV adalah reseptor CD4++ yang terdapat di membran
sel T penolong, serta pada makrofag dan sel dendritik folikel yang terdapat di system saraf dan
jaringan limfoid. Penularan HIV terjadi melaui hubungan seksual (homoseks, heteroseks), transfusi
darah yang mengandung HIV, penyalahgunaan obat terlarang IV, dan secara vertical dari ibu kepada
bayi melalui plasenta atau ASI. Untuk penapisan standart untuk infeksi HIV adalah enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA), dan uji konfirmasi yang tersering adalah western blot. Uji-uji lain
mencakup biakan virus, serta pengukuran antigen p24 dan RNA atau DNA HIV dengan reaksi
berantai polymerase (PCR). Tanda utama infeksi HIV adalah deplesi progresif sel-sel CD4+,
termasuk sel T penolong dan makrofag. Pada system imun yang masih utuh, jumlah normal set T
CD4+ berkisar dari 600-1200/ml atau mm3. Terdapat empat fase infeksi HIV, yaitu infeksi akut
primer (serokonversi), fase asimptomatik, fase asimptomatik dini, fase asimptomatik lanjut. Setelah
fase awal infeksi HIV, individu mungkin tetap seronegatif selama beberapa bulan (masa jendela /
window periode ), tetapi dapat menularkan kepada orang lain.
Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita
HIV/AIDS,akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi disebabkan oleh
virus, bakteri,protozoa dan jamur dan juga mudah terkena penyakit keganasan.Pengobatan untuk
infeksi oportunistik bergantung pada penyakit infeksi yang ditimbulkan.Pengobatan status kekebalan
tubuh dengan menggunakan immune restoring agents, diharapkan dapatmemperbaiki fungsi sel
limfosit, dan menambah jumlah limfosit. Penatalaksanaan HIV/AIDS bersifat menyeluruh terdiri dari
pengobatan, perawatan/rehabilitasidan edukasi. Pengobatan pada pengidap HIV/penderita AIDS
ditujukan terhadap: virus HIV (obat ART),infeksi opportunistik, kanker sekunder, status kekebalan
tubuh, simptomatis dan suportif
3. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and related disorders.
In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause SL, Jameson JL. editors.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-
Hill
4. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z, editors.
Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2005.
5. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 [cited 2009 March 10]. Available at url:
http://www.aidsindonesia.or.id
6. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
7. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib AA, Munasir Z,
Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV infection in infants and children in
Indonesia: current challenges in management. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI-RSCM 2009
8. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada
orang Dewasa dan Remaja” edisi ke-2, Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2007
10. Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2009 April 8]; Available from:
http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040