Anda di halaman 1dari 3

Lagi.

Bau tanah selalu menguat pada pagi hari. Saat para pelari acuh dengan headset mereka tertempel
pada telinga melewati orang-orang yang pulang terseok-seok setelah di usir karena pub yang sudah
tutup. Bau segar yang disenangi oleh segelintir masyarakat yang menyambut mentari dengan
senyum dan optimisme pagi, karena mereka tidak berkawan dengan heningnya dini hari; saat kota
yang ramai menjadi sedikit lebih tenang. Mereka lebih memilih pindah dari ranjang kusut karena
badan yang gelisah ke alam mimpi. Tempat dimana khayal seram, absurd dan indah memintal padu
menjadi suatu film abstrak.

Namun bukan itu bau tanahku, karena sahabatku adalah malam-malam sunyi dengan jam berdetik
kencang; mengejek mataku yang tak kunjung lelap. Tak bisa bukan tak mau, balasku bersungut-
sungut saat jarum jam ikut merundungku dengan menggerakkan lengannya ke arah 12, lengan
pendeknya bertengger mantap sejajar dengan angka dua. Mengapa pula orang mencintai sinar
mentari pagi yang lembut itu? Tak pernahkah mereka menenggelamkan wajah pada bantal yang
masih hangat dan melanjut menutup mata, memilih ketidakpedulian akan sibuknya orang-orang
yang tergesa menuju ke tempat tujuan mereka? Secuil surga pasti dijahitkan pada bantal dan
kasurku. Entah oleh siapa, tapi aku berterima kasih.

Bau tanahku adalah aroma yang menguar dari tanah kering kemarau, butir debu yang terhantam
pasukan keroyokan yang diturunkan oleh awan abu-abu murung yang berat. Saat mereka menyerbu
dan menggerakkan massa, membuat orang-orang kocar-kacir. Memojokkan manusia pada sudut-
sudut terhangat rumah mereka, dengan selimut dan jemari yang memeluk gelas berisi teh atau
coklat hangat; atau untuk yang lebih berani, terguyur pasukan air dingin yang tidak meninggalkan
pakaian apapun. Kuyup mereka disergap dari atas; dan samping kalau kau berdiri di tepi kubangan di
jalan. Dasar pengecut, datang saja berbarengan. Coba kalau pasukan itu berbanjar rapi dalam satu
barisan, hilang kekuatan penggerak massa mereka.

Mungkin kau mengira, aku akan menyukai hujan karena bau tanahku yang dibawa olehnya. Bau yang
mengisyaratkan datangnya sumber kehidupan, akhir dari kering dan panasnya hari, awal dari sendu
yang manis. Jutaan benang perak yang mengelus bumi, membasahi jalanan, dinding rumah, wajah
anak-anak. Mengisi tong tadah hujan dan kubangan. Mengaliri got yang tadinya macet karena
sedikitnya air. Deru langkah mereka lembut, seperti tepukan halus yang bersatu mejadi raung
syahdu. Menenggelamkan suara klakson dan teriakan orang-orang. Pagi, siang, sore, malam, tidak
berbeda. Hanya kadang sahabatnya, angin, membawa beberapa umpatan dari orang yang
payungnya terbalik dan terbang.

Persetan.

Hujan yang menampar pipiku kali ini terasa kasar. Memerah wajahku pada diriku yang mematung.
Bukan berani menantang pasukan hujan, hanya mataku yang bak logam termagnetisasi pada
punggung yang bergerak jauh. Jubah hitammu kering dibawah naungan payung hitam besar, hanya
ujungnya lembab karena percikan air yang memantul balik dari kerasnya jalanan. Payung yang
tadinya kubawa untuk menjemputmu dari bandara, setelah tiga minggu melobi sana-sini tanpa
kabar.
Kupikir kau akan pulang dan kembali menjadi keras kepala, menjadi guru bangsat yang urakan dan
sering meludahi televisi yang berisi politikus rakus. Meludahi wajah temanmu yang entah bagaimana
berhasil memotong dana penelitianmu menjadi kurus dan kurang nutrisi. Membuat pipimu menjadi
tirus. Kau berkawan dengan makanan cepat saji murah yang bahkan hanya bisa kau beli sehari sekali.
Perawakanmu meneriakan bahwa kau menyerah tapi alis dan matamu masih mengumpati nasib.
Menolak untuk berhenti bahkan sebentar saja. Jam-jam malam yang kau habiskan di laboratorium
memastikan orang mengira kau sudah tak punya apartemen lagi. Bagaimana kau mencuri tidur pada
dini hari untuk kembali pada penelitianmu dan mandi hanya dua hari sekali di kamar mandi umum
milik asrama mahasiswa, dan kau yang selalu menyuruhku untuk membelikan mi instan pada
gelapnya malam.

Bila sekarang aku masih juga tak bisa memejamkan mata karena bertahun-tahun mengikuti jadwal
hidupmu yang beratakan; ya, aku menyalahkanmu sepenuhnya. Bila sekarang jadwal hidupku adalah
duplikat darimu; ya, aku masih berkata kasar pada bayanganmu yang tampaknya selalu meneriakiku
dari bayangan pada otakku. Kau yang sepertinya bercokol pada sudut-sudut gelap rumahku untuk
nanti menunggu pukul satu malam dan mulai berbicara tanpa henti akan teori-teori yang belum
pasti dan hipotesis gila yang sangat mungkin terbukti. Namun orasimu yang lantang saat mendapat
penghargaan internasional membuat mundurnya langkahku dari menjadi asisten tetapmu terhenti.
Terpaku aku pada lantai marmer, memegang champagne dingin yang tidak aku minum karena
agamaku berkata tidak untuknya. Saat tatapan menantangmu berubah lembut saat menatapku,
satu-satunya murid yang telah kehilangan kepalanya dan memutuskan untuk mengikutimu.
Membututimu. Mengamatimu hingga puncak pengakuan dunia. Dua detik pandangan bangga itu
seakan menggantikan tahun-tahun dimana aku bahkan tidak yakin aku memiliki orang tua. Maafkan
mata ini yang menangis dengan tidak sopan saat kau memperkenalkanku pada media sebagai satu-
satunya penerus ilmumu dan anak perempuan yang sangat kau banggakan. Jelek sekali pasti wajah
sesenggukanku saat itu. Kau hanya tertawa dan menepuk punggungku dengan terlalu kencang.
Berharap lelucon fisikmu itu membuatku berhenti menangis.

Lalu kekasihmu datang lagi. Saat semua mata dunia sedang menyorotimu dalam cahaya mulia, laki-
laki yang dulu kau tinggalkan saat ia mengajakmu berjuang bersama mendobrak pintu depanmu,
melempar cincin pernikahan yang kau kirimkan balik padanya setelah beberapa tahun kau
menghilang dari peradaban bumi; terkubur berjuta halaman laporan dan catatan yang hanya bisa
dibaca olehmu dan kadang olehku.

Dia, yang sudah memutih rambutnya, tersenyum seakan seorang malaikat baru saja memberinya
tiket vip untuk pergi ke surga. Garis matanya mendalam saat ia tersenyum, mata birunya
mengalirkan air mata. Kalimatnya tersekat pada tenggorokan yang tidak kooperatif setelah kau
menuliskan cintamu padanya secara publik, di halaman awal penelitianmu yang dibukukan dan
dielu-elukan. Cinta kalian yang dulunya dihujat dan membuatnya kehilangan pekerjaan sebagai guru
sebuah SMP ternama. Cinta kalian yang dengan tanganmu sendiri kau cekik hingga mati dan tak
berkutat, tenggelam dalam tangismu yang sama marahnya dengan orang yang kau tinggalkan.
Sebagian orang akan berkata bahwa cinta selalu menemukan jalan. Namun kurasa kesedihan yang
menendangmu untuk yang kedua kalinya saat Mr. Milles akhirnya mengabarkan penyakitnya
padamu seharusnya tidak adil. Tangan yang sudah begitu lama ingin menggenggam tanganmu
akhirnya melemah dan menyatakan selamat tinggal.
Pemakaman ayah angkatku jauh lebih menyakitkan daripada saat ibuku sendiri berpaling dan
menutup pintu panti asuhan yang kutinggali selama bertahun-tahun kemudian. Aku tidak tahu siapa
yang menangis lebih lama, aku yang kehilangan salah satu orang tua yang akhirnya kudapat, atau
kau yang kehilangan hati yang akhirnya dapat kau kasihi tanpa ancaman mati dari seluruh negara.
Tidak terlihat semua murung saat wajah kami diguyur bukan hanya oleh kesedihan, tapi juga hujan
yang sepertinya merengkuh kami dalam pelukan dingin.

Matamu mulai mengikuti perawakanmu sekarang. Kedipnya melambat, seakan tak kuat melihat
dunia yang masih penuh dengan politik culas yang tidak adil pada ilmu pengetahuan. Akan rekan
kerja yang masih percaya bahwa orientasi seksualmu membuatmu tidak pantas.
Maafkan aku yang membuatmu repot saat pulang dari kampus babak belur, menjotos dosen tua
yang ternyata cukup kuat untuk memukul balik. Skorsingku yang membuatmu kewalahan sendiri
hanya karena aku yang tidak mau mendengar namamu diinjak-injak sedemikian rupa oleh bigot
dengan homofobi yang parah. Kupikir tindakanku heroik, tapi potongan dana yang kau dapat
membuatku tidak bisa menatap mata coklatmu. Mata tegas yang sebenarnya mirip mata rusa yang
cantik.

Hingga akhirnya betul-betul terhenti semuanya. Malam-malam kita, siang-siang kita yang habis
dengan tidur; membayar hutang kesadaran yang dipaksa hadir selama seminggu. Berhenti.
Aku tidak tahu siapa yang kau hadapi diluar sana, tapi api matamu benar padam saat kau melangkah
keluar dari pesawat sore itu. Rintik hujan yang biasanya kau sambut dengan telapak tangan
tengadah tidak kau hiraukan. Kesenanganmu akan merasakan bulir bulir dingin yang jatuh dari ujung
payung seakan terlupakan. Kau kibas semua air yang dulunya kau sapa dengan "Halo" yang ceria.
Jubahmu rapat menutup tubuhmu. Kupikir aneh, bagaimana aku dapat melihat garis keletihan pada
wajahmu yang biasanya tegas dan disiplin. Hingga akhirnya kau bicara,

"Aku berhenti dari semua kegilaan ini. Penelitian genetik tidak berarti apa-apa dimata orang-orang
berpikiran sempit yang suka main hakim sendiri. Aku berhenti."

Wajah datarku mungkin menjadi sinyal bagimu bahwa aku sedang menolak kenyataan, menolak apa
yang baru saja kau katakan. Membuatmu terpaksa memperjelas makna.

"Kau bukan lagi asisten tetapku, Ellenore. Pergilah. Persetan dengan dunia ini."

Aku tak akan pernah terbiasa dengan pelukan dingin dari hujan, tapi mungkin aku harus mulai
membiasakannya. Seperti saat dulu aku membiasakan kehilangan kasih sayang dengan tidak berani
menyentuhnya sama sekali. Membiasakan kesendirian konstan.

Lagi.

Anda mungkin juga menyukai