Anda di halaman 1dari 17

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) MULTIKULTURAL

(Upaya Deradikalisasi Agama)1


oleh Suyitman2

A. Pengantar
Duka kembali melanda bumi pertiwi. Tagar #RIPIntan dan Lukisan Intan
Olivia, korban bom Samarinda menjadi viral di Medsos. Bagaimana tidak?
Intan Olivia Marbun, balita 2,5 tahun ini menjadi korban pengeboman Gereja
Oikumene, Samarinda, Minggu 13 November 2016 lalu. Balita tak berdosa ini
meninggal dunia Senin, dini hari setelah mendapat perawatan di RSDU AW
Syahranie. Selain Intan, Triniti Hutahaya (4) masih menjalani perawatan
intensif di ruang PICU.3
Sehari setelah pengeboman gereja, Senin, 14 November 2016, Vihara
Budi Dharma di Singkawang juga dilempari bom molotov.4 Pembakaran
terhadap 8 Vihara juga pernah terjadi pada 17 Juli 2016 di Tanjung Balai,
Kalimantan Selatan. 5 Setahun sebelumnya, tepatnya 17 Juli 2015 sebuah
masjid di Tolikara, Papua di bakar massa saat umat Islam akan melaksanakan
shalat „Idul Fitri.6 Empat bulan setelah pembakaran masjid, tepatnya Selasa,
13 Oktober 2015 sebuah gereja di Singkil, Aceh dibakar massa. 7 Daftar
radikalisme antar pemeluk agama akan bertambah panjang jika
menambahkan dengan tragedi Ambon, Poso, dan Situbondo.
Bukan hanya konflik dan radikalisme antar umat beragama, internal umat
Islam sendiri tak luput dari tindak kekerasan. Tahun 2012 lalu konflik Sunni-

1
Artikel disusun guna memenuhi Persyaratan Peserta Simposium Guru dan Tenaga
Kependidikan Tingkat Nasional Tahun 2016 di Jakarta, 23-25 November 2016.
2
Guru Pendidikan Agama Islam (Akidah Akhlak) MTs Negeri Kebumen 1.
3
http://bangka.tribunnews.com/2016/11/14/kabar-duka-intan-olivia-bocah-dua-tahun-korban-
bom-gereja-di-samarinda-meninggal, download Selasa, 15 November 2016.
4
http://news.okezone.com/read/2016/11/14/340/1541141/vihara-di-singkawang-dilempar-
bom- molotov, download Selasa, 15 November 2016.
5
http://news.okezone.com/read/2016/07/30/340/1450703/kronologi-perusakan-tempat-iba -
dah-di-tanjung-balai, download Selasa, 15 November 2016..
6
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/07/17/nrmprs-ini-kronologi-
pembakar an-masjid-di-tolikara, download Selasa, 15 November 2016.
7
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/10/13/058709149/gereja-dibakar-di-aceh-singkil-
bukan-kasus-pertama, download Selasa, 15 November 2016.

1
2

Syiah terjadi di Sampang, Madura antara Tajul Muluk (Syiah) dengan


masyarakat sekitar yang berpaham Sunni. 8 Nasib yang menyedihkan juga di
alami oleh pengikut Ahmadiyah di Bangka yang diusir oleh pemerintah
setempat untuk meninggalkan kediamannya.9 Begitu juga dengan para
pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang dibakar pemukimannya
oleh massa.10
Meskipun radikalisme agama telah mengorbankan ratusan nyawa sia-sia,
tetapi indikasi munculnya kedamaian belum terlihat. Potensi konflik justeru
semakin meningkat. Dengan memanfaatkan isu agama, bangsa Indonesia
yang terkenal dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”, akan diadu domba.
Radikalisme atas nama agama telah melunturkan nilai-nilai kebangsaan dan
kebhinekaan, mengancam cita-cita pendiri bangsa. Apa jadinya bangsa
Indonesia 10 atau 20 tahun ke depan jika ide dan paham radikal dibiarkan
berkembang bebas, mungkin NKRI hanya tinggal cerita, mungkin Bhineka
Tunggal Ika tidak lagi diingat oleh generasi penerus bangsa karena Indonesia
telah menyusul Uni Soviet.
B. Masalah
Radikalisme agama tidak hadir dari ruang hampa. Banyak faktor yang
turut membidani kelahirannya, baik ekonomi, sosial, hukum, politik dan juga
lembaga pendidikan. Terkait dengan pendidikan, John Bowker dalam The
Oxford Dictionary of Religions sebagaimana dikutip oleh M. Amin Abdullah
mengatakan bahwa masyarakat beragama yang tidak agresif (moderat)
dikondisikan oleh corak dan model pendidikan agama (learning system) yang
ditawarkan oleh para pemimpin agama, masyarakat, atau kelompok agama
11
yang santun secara sosial. Begitu juga sebaliknya, sikap beragama yang
agresif (radikal) juga dihasilkan dari sistem pendidikan, pemimpin agama yang
radikal pula.

8
http://nasional.sindonews.com/read/667841/18/konflik-sunni-syiah-di-madura-1346103220,
Selasa, 15 November 2016.
9
https://m.tempo.co/read/news/2016/02/09/058743223/ini-kronologi-pengusiran-jemaat-
ahmadiyah- di-bangka, Selasa, 15 November 2016.
10
http://news.liputan6.com/read/2415932/ribuan-warga-bakar-permukiman-gafatar-di-
kaliman-tan-barat, Selasa, 15 November 2016.
11
M. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius Cet. I, (Jakarta: PSAP,
2005), hlm. 18-19.
3

Mungkin banyak pihak tidak percaya. Lembaga pendidikan yang


seharusnya menumbuhkembangkan sikap kebangsaan malah berbailk
menggerogoti nilai-nilai kebangsaan dan kebhinekaan. Sedikit atau banyak
lembaga pendidikan turut andil dalam menyebarkan paham radikalisme.
Bahkan beberapa sekolah justru terlihat mendorong dan memfasilitasi
tumbuhnya radikalisme dengan menanamkan sikap intoleran terhadap
perbedaan, diskriminatif, menolak demokrasi, dan anti-HAM.12 Pelaku Bom
Bali, Abdul Aziz atau yang lebih dikenal dengan Imam Samudra merupakan
alumni MAN Cikulir Serang.13 Sedangkan Zefrizal Nanda Wardani merupakan
alumni dari SMAN 1 Trenggalek. Zefrizal yang pernah meraih juara Olimpiade
Astronomi tingkat dunia bergabung dengan ISIS ketika dirinya menjadi
mahasiswa kedokteran UNAIR. 14
Maraknya radikalisme membuat beberapa pihak mempertanyakan peran
lembaga pendidikan. Sekolah belum mencerminkan multikultur dan
multiagama. Sedangkan madrasah, semua peserta didiknya beragama Islam.
Kenyataan ini menjadi permasalahan tersendiri dalam menerapkan pendidikan
multikultura. Selain itu, Pendidikan Agama Islam (PAI) juga tidak luput dari
kritikan. Selama ini pembelajaran PAI cenderung bersifat mempertahankan
truth claim (klaim kebenaran) bagi agama Islam, tanpa mentolerir kebenaran
kepada agama lain. Pengajaran PAI menganggap agamanya sebagai satu-
satunya jalan keselamatan (salvation and truth claim) serta menganggap
agama orang lain keliru dan menganggapnya tidak akan selamat.15
PAI yang menjadi pelajaran bagi peserta didik dari jenjang SD hingga
perguruan tinggi masih jauh dari nilai-nilai multikultural. Jangankan
mengajarkan tentang multikultural dan multiagama, penjelasan tentang
perbedaan aliran dalam agamanya sendiri juga tidak dilakukan. PAI
cenderung mengajarkan madzhab tertentu, tanpa mengenalkan madzhab lain

12
Muh. Abdullah Darraz, “Radikalisme dan Lemahnya Peran Pendidikan Kewarganegaraan”,
Jurnal Maarif: Arus Pemikiran Islam dan Sosial, Vol. 8, No. 1-Juli 2013, hlm. 157.
13
Abdul Aziz, Aku Melawan Teroris, Solo: Jazera, 2004.
14
http://news.okezone.com/read/2016/07/26/519/1447538/mahasiswa-unair-yang-diduga-
gabung-isis-pernah-juara-olimpiade-astronomi, Selasa, 15 November 2016.
15
Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, (Jakarta: Erlangga,
2005), hlm. 31
4

yang berbeda. Padahal dalam Islam sendiri terdapat banyak perbedaan


pendapat yang perlu diketahui umatnya. Akibatnya ketika terjadi perbedaan
pendapat, masyarakat mudah sekali menuduh dengan label “bid‟ah”, “sesat”,
bahkan “murtad”.
Oleh karena itulah, di era multireligius-multikultural diperlukan reorientasi
dalam pembelajaran PAI baik di sekolah dan madrasah. YB Mangunwijaya
sebagaimana dikutip oleh Ngainun Naim dan Achmad Sauqi menjelaskan
bahwa pendidikan agama perlu memasukkan kemajemukan agama sebagai
bagian dari proses dalam memperkaya pengalaman beragama. Kemajemukan
merupakan realitas yang tidak dapat terbantahkan. Pendidikan agama perlu
bersikap proaktif dengan cara mengembangkan rasa kesamaan dan saling
mengerti, bukan sekadar berdampingan secara damai, tetapi tidak saling
mengerti.16
Ungkapan “tak kenal, maka tak sayang” dapat menjadi cerminan dalam
mewujudkan kerukunan intern dan antaragama. Bagaimana mungkin akan
tercipta sikap saling menghormati, kalau kita tidak saling kenal? PAI
Multikultural berupaya memperkenalkan multiagama dan perbedaan pendapat
dengan perspektif agama Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. PAI
Multikultural menjadi ujung tombak untuk mempersiapkan generasi Islam yang
toleran, menghargai perbedaan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan.
Lalu, bagaimanakan implementasi PAI Multikultural dalam pembelajaran?
C. Pembahasan dan solusi
1. Pendidikan Agama Islam (PAI) Multikultural
Pendidikan Agama Islam adalah salah satu mata pelajaran yang wajib
diikuti oleh peserta didik yang beragama Islam. 17 Hal senada juga
disampaikan oleh Muhaimin. Menurutnya, PAI merupakan nama kegiatan
mendidikkan agama Islam.18 Sedangkan akar kata multikultural adalah
budaya. Multikultural sendiri berasal dari kata multi yang berarti banyak,

16
Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm. 180.
17
Republik Indonesia, Undang-undang No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Pasal 37 ayat 1.
18
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan
Perguruan Tinggi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 6.
5

kultur artinya budaya, dan isme berarti aliran atau paham. 19 Dalam kata
tersebut terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam
komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik.20
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa PAI
Multikultural adalah mata pelajaran agama Islam yang wajib diikuti oleh
peserta didik beragama Islam yang dilaksanakan dengan menghormati
dan menghargai perbedaan budaya masing-masing peserta didik. Selain
menghargai perbedaan budaya, PAI juga dilaksanakan dengan
menghargai pluralitas agama dan aliran agama yang dianut peserta didik.
PAI Multikultural berusaha menampilkan keragaman agama dan budaya
ke dalam kegiatan belajar mengajar.
Islam sebagai sebuah agama telah memiliki pondasi yang kuat untuk
menanamkan sikap menghormati keberagaman agama dan budaya
masyarakat. Keragaman agama dan budaya merupakan sunnatullah
sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Hujurat/49: 13.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang


laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling muliah diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
takwa diantara kamu.....”

Sedangkan penghargaan Islam terhadap keberagaman agama seperti


dijelaskan dalam Q.S. Yunus/10: 99.

“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang


yang dimuka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak)
memaksaka manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang
beriman semuanya?”

Berdasarkan ayat-ayat di atas tentu sikap radikal merupakan perilaku


yang bertentangan dengan ajaran Islam. Keragaman kehidupan manusia
dalam berbagai warna kulit, suku bangsa, budaya dan agama merupakan
sebagian dari tanda-tanda kebesaran Allah yang ditujukan melalui
makhluk-Nya. Penghargaan akan pluralitas agama dan multikultural

19
Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, Cet. V, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011),
hlm. 75.
20
Ibid.
6

merupakan bentuk pengakuan keterbatasan diri dan menafikan


keragaman merupakan sikap mengingkari sunnatullah.
2. Deradikalisasi Agama
Deradikalisasi merupakan kebalikan dari radikalisasi. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, radikal diartikan sebagai “hilang sampai ke
akarnya. Radikal juga diartikan sebagai haluan politik yang amat keras
menuntut perubahan undang-undang, ketatanegaraan, dan sebagainya.” 21
Radikal merupakan paham keagamaan yang ingin melakukan perubahan
dengan cara keras dan drastis. Selain itu, radikalisme agama juga dapat
diartikan dengan sikap fanatik, ekstrim, dan kaku. Radikalisme tidak
identik dengan tindak kekerasan dan teroris, meskipun beberapa
kelompok radikal melakukan tindakan kekerasan dan terorisme.
Radikalisme merupakan gerakan pemahaman fundamental akan
interpretasi agama yang menjadikan islam sebagai agama dan ideologi.
Dengan demikian deradikalisasi merupakan paham yang
menginginkan perubahan dengan cara halus dan bertahap. Deradikalisasi
agama berarti paham keagamaan yang menginginkan perubahan dengan
cara halus, bertahap, ramah, dan menghargai perbedaan. Dengan kata
lain, deradikalisasi agama Islam dapat diartikan dengan upaya
menampilkan agama Islam yang rahmah li al-„alamin, yaitu Islam yang
membawa pesan-pesan perdamaian, kesejahteraan, kerukunan, dan
persatuan.22
3. Format PAI Multikultural
a. Materi PAI
PAI sebagai ujung tombak pendidikan agama multikultural perlu
memasukkan nilai-nilai multikultural ke dalam pembelajaran. Sebagai
sebuah mata pelajaran, implementasi PAI di sekolah dan madrasah
terdapat perbedaan. Di sekolah, PAI merupakan nama untuk satu
mata pelajaran, sedangkan di madrasah PAI dijabarkan dalam 4 mata

21
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III,
Cet. IV, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 935.
22
Kementerian Agama RI, Islam Rahmatan Lil „Alamin, (Jakarta: tp, 2011), hlm. 5.
7

pelajaran yaitu al-Qur‟an Hadis, Akidah Akhlak, Fikih, dan Sejarah


Kebudayaan Islam (SKI).
Ruang lingkup PAI Multikultural bukan hanya menjelaskan tentang
pluralisme agama dan budaya, tetapi juga perlu memasukkan
perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam Islam. Hal ini diperlukan
agar peserta didik tidak gagap ketika menghadapi kenyataan di
masyarakat bahwa agama Islam terbagi dalam beberapa kelompok
dan aliran. Untuk lebih jelasnya, materi PAI Multikultural adalah
sebagai berikut:
1) Al-Qur‟an Hadis
Selain berisi ayat-ayat al-Qur‟an dan hadis tentang
keimanan, juga perlu ditambahkan dengan ayat dan hadis yang
memberikan pemahaman tentang penghargaan terhadap
pluralitas agama dan multikultural. Ayat-ayat ini diberikan agar
peserta didik memiliki sikap toleran dan inklusif dalam
menghadapi perbedaan. Adapun ayat-ayat pilihan tersebut antara
lain, Q.S. Al-Baqarah/2: 148) (pengakuan al-Qur‟an akan adanya
pluralitas dan berlomba dalam kebaikan), Q.S. al-Baqarah/2: 256
(tidak ada paksaan dalam beragama), Q.S. Ali Imran/3: 159 dan
Q.S. an-Nahl/16: 25 (hikmah dan lemah lembut), Q.S. An-Nisa‟/4:
135 (keadilan dan persamaan), Q.S. Al-Mumtahanah/60: 8-9
(pengakuan koeksistensi damai dalam hubungan antar umat
beragama), Q.S. ar-Rum/30:2 (perbedaan warna kulit), juga Q.S.
al-Kafirun/109 (tentang toleransi).
2) Akidah Akhlak
Akidah merupakan materi yang berkaitan dengan
kepercayaan dalam Islam. Penanaman akidah Islam dapat
ditekankan kepada pengakuan terhadap entitas agama lain
dengan memberikan akidah Islam yang inklusif, bukan eksklusif.
Pembahasan dalam akidah meliputi 6 rukun Iman, yaitu Iman
kepada Allah, Iman kepada Malaikat, Iman kepada Kitab, Iman
kepada Rasul, dan Iman kepada hari akhir, dan Iman kepada
8

Takdir. Nilai-nilai multiagama dan multikultural dapat dilakukan


dengan beberapa cara misalnya:

No Materi Nilai-nilai Multiagama


1. Iman kepada Allah Materi dapat dikaitkan dengan nama
“Allah” yang digunakan oleh umat
Kristen untuk menyebut Tuhannya.
Allah yang Esa memiliki banyak nama
sesuai dengan agama dan
kepercayaan seseorang.
2. Iman kepada Keimanan kepada malaikat bukan
Malaikat hanya dimiliki oleh umat Islam, tetapi
juga oleh agama lain.
3. Iman kepada Kitab Kitab Injil dapat dijadikan sebagai
salah satu sumber belajar sehingga
peserta didik dapat mengetahui
beberapa persamaan dan perbedaan
yang ada pada masing-masing kitab
suci.
4. Iman kepada Rasul Agama Islam, Yahudi, dan Nasrani
merupakan agama yang berasal dari
Nabi Ibrahim. Oleh karena itu, ketiga
agama ini masih saudara sehingga
tidak perlu saling bermusuhan. Q.S.
Yunus/10: 47 juga diberikan agar
peserta didik memahami bahwa setiap
umat memiliki rasul.
5. Iman kepada Hari Pembicaraan tentang hari akhir bukan
Akhir hanya ada dalam Islam, tetapi agama
lain juga mengajarkannya. Surga-
neraka, Dajjal, Ya‟juj Ma‟juz
merupakan ajaran yang ada dalam
Yahudi, Kristen, dan Islam.
6. Iman kepada takdir Menjadi muslim atau tidak merupakan
bagian dari takdir. Bayi yang lahir akan
mengikuti agama orang tuanya.
Persoalan pindah agama (murtad)
merupakan kasus yang terjadi pada
setiap agama.

Sedangkan materi Akhlak meliputi akhlak terpuji dan akhlak


tercela, baik pada diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah.
Materi akhlak dapat dijadikan sebagai dasar-dasar menanamkan
rasa kebangsaan dan sikap toleran. Kelangsungan suatu bangsa
tergantung pada akhlak, bila suatu bangsa meremehkan akhlak,
9

punahlah bangsa itu. Agar pendidikan agama bernuansa


multikultural bisa lebih efektif materi akhlak perlu ditekankan,
misalnya hadis tentang Nabi Muhammad diutus untuk
memperbaiki akhlak, terhadap orang-orang yang berakhlak tercela
yang ada di Q.S. al-Hujurat/49:12 yang melarang orang berburuk
sangka dan menggunjing (tajassus).
3) Fikih
Pelajaran fikih berkaitan dengan tata cara beribadah mulai
dari thaharah (bersuci), shalat, puasa, zakat, dan haji. Dalam
Islam terdapat beberapa madzhab yang satu sama lain memiliki
perbedaan. Dalam tharahah misalnya, ulama berbeda pendapat
dalam menentukan batasan air mutlak, yaitu air yang suci dan
mensucikan. Perbedaan semakin panjang apabila materi fikih
menyampaikan membicarakan tentang shalat. Mulai dari niat,
sampai salam, ulama selalu berbeda pendapat. Melalui pelajaran
fikih inilah peserta didik dilatih untuk menghargai pendapat tanpa
merasa dirinya paling benar.
Pembelajaran fikih dapat dilakukan dengan model pesantren
yang menggunakan kitab kuning. Dalam kitab tersebut selalu
menampilkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Selain itu,
pesantren juga mengadakan kegiatan bahtsul masail, yakni
kegiatan pembahasan berbagai problem actual yang berkembang
di masyarakat. Dengan kegiatan tersebut santri tidak lagi “kaget”
dengan perbedaan pendapat.
4) Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)
Materi Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) menceritakan
sejarah Islam sejak zaman prakenabian hingga Islam di Indonesia.
Melalui pelajaran SKI, peserta didik dapat diajarkan tentang
interaksi antara umat Islam dan non muslim, baik dalam
pemerintahan maupun sosial. Peserta didik diarahkan untuk
memahami konsep-konsep pemerintahan yang dicontohkan oleh
Nabi Muhammad, sahabat, dan para khalifah. Nabi Muhammad
mengelola dan memimpin masyarakat Madinah yang multietnis,
10

multikultur, dan multiagama. Keadaan masyarakat Madinah pada


masa itu tidak jauh beda dengan masyarakat Indonesia, yang juga
multietnis, multikultur, dan multiagama.
Sejarah juga dapat ditekankan kepada sikap penghormatan
kepada umat lain seperti yang dilakukan Umar ibn Khattab ketika
menaklukan Palestina. Umar ibn Khattab tidak mau shalat di
gereja, bukan karena adanya larangan, tetapi Umar ibn Khattab
dia shalat di gereja, maka suatu saat nanti gereja dapat berubah
menjadi masjid. Untuk lebih menumbuhkan sikap toleran, peserta
didik juga diberikan materi tentang sisi gelap sejarah Islam seperti
perang antara Ali ibn Abi Thalib dengan Aisah (Perang Jamal),
juga tragedi Karbala, saat Husein cucu Nabi Muhammad di bunuh
secara keji oleh Pasukan Umayyah.
Adapun pemberian materi PAI Multikultural perlu dilakukan
dengan mempertimbangkan tingkat pendidikan dan kematangan
berpikir peserta didik. Pemberian materi PAI Multikultural dijelaskan
dalam gambar di bawah ini!

Gambar 1
Materi PAI Multikultural sesuai Jenjang Pendidikan

Mahasiswa mendapatkan
Perguruan materi tentang perbandingan
Tinggi
agama sehingga dapat
mengenal lebih jauh tentang
agama lain.

SLTP/SLTA
Peserta didik mendapatkan
materi tentang perbedaan
madzhab (aliran) dalam
agamanya dan dikenalkan
dengan agama lain.

SD Pemahaman dasar-dasar
agama sesuai dengan
pemahaman orang tua dan
lingkungan
11

Berdasarkan gambar di atas, maka materi PAI Multikultural diberikan


secara gradual, sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik.
a. SD/MI
Pada jenjang SD/MI peserta didik fokus belajar sesuai dengan
pemahaman agamanya. Menurut Piaget Usia SD/MI (usia 7-11 tahun)
peserta didik berada pada fase konkret-operasional. Anak sudah
memiliki kemampuan berpikir yang disebut system operation (satuan
langkah berpikir).23 Pada tahap ini peserta didik disiapkan untuk
menguasai dasar-dasar agamanya dan pelaksanaan ibadah sehari-
hari.
b. SLTP/SLTA
Peserta didik SLTP/SLTA berada pada tahap formal-operasional
(usia 11-15 tahun dan seterusnya). Pada tahap ini peserta didik
memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara simultan maupun
berurutan dua ragam kemampuan berpikir, yakni kapasitas
menggunakan hipotesis dan menggunakan prinsip-prinsip abstrak.24
Pada jenjang SLTP/SLTA peserta didik sudah mulai diperkenalkan
dengan perbedaan madzhab atau aliran yang terdapat dalam Islam dan
juga mendapatkan pengetahuan tentang agama-agama lain.
c. Perguruan Tinggi
Pada jenjang perguruan tinggi, selain memahami agamanya
sendiri, mahasiswa juga diberi pengetahuan tentang perbandingan
agama. Materi ini diberikan agar mahasiswa mampu memahami dan
menghormati pemeluk agama lain. Pada materi perbandingan agama,
mahasiswa juga diajak untuk berdiskusi tentang isu-isu global yang
menjadi tantangan umat beragama. Mahasiswa sudah diajarkan untuk
membedakan agama sebagai sebuah ajaran normatif dan historis yang
tidak terlepas dari konteks sosial masyarakat.
Agama tidak hanya dapat dilihat dari sisi normativitas ajaran
wahyu saja tetapi juga dapat dilihat dari sisi historisitas pemahaman
dan interpretasi manusia terhadap norma agama dan praktek

23
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Cet. I., (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 29.
24
Ibid., hlm. 32.
12

keagamaan pemeluknya. Sebagai normativitas yang baku agama


ditelaah lewat pendekatan doktrinal-teologis. Sedangkan historisitas
keberagamaan ditelaah lewat berbagai sudut pendekatan keilmuan
sosial-keagamaan yang bersifat multi dan inter-disipliner.25
4. Pelaksanaan Pembelajaran
a. Pendekatan Saintifik
Pembelajaran dengan pendekatan saintifik dalam Kurikulum 2013
merupakan momentum yang baik untuk mengimplementasikan PAI
Multikultural. Kegiatan mengamat sebagai langkah awal pembelajaran
dapat memicu timbulnya pertanyaan-pertanyaan. Pada tahap inilah,
pendidik dituntut untuk mampu menyajikan pengamatan yang membuat
peserta didik bertanya. Pendidik dapat menampilkan video yang
menimbulkan pro-kontra dan tidak lazim, misalnya umat Islam yang
bersembahyang di Sinagog atau umat Islam yang melakukan
pengamanan natal di gereja-gereja.
Sedangkan pada tahap “menanya” peserta didik diberi kebebasan
untuk bertanya. Pada tahap inilah diharapkan muncul permasalahan
keseharian yang dihadapi peserta didik. Tentunya, peserta didik
memiliki latar belakang yang berbeda satu sama lainnya. Bisa jadi ada
peserta didik yang memiliki tetangga atau bahkan saudara yang
berbeda agama.
Pada tahap mengumpulkan informasi peserta didik juga diberi
kebebasan untuk mencari informasi dari berbagai sumber. Semakin
banyak sumber, semakin baik. Apalagi kalau beberapa sumber tersebut
menampilkan perbedaan pendapat. Begitu juga pada tahapan asosiasi
yang menuntut peserta didik merumuskan sebuah jawaban dari
permasalahan yang diangkat.
Peran guru lebih banyak terlihat pada kegiatan komunikasi dengan
meluruskan pemahaman atau jawaban peserta didik yang belum tepat.
Pada tahap komunikasi ini guru juga dapat memberikan penyadaran
terhadap pentingnya memilih sumber informasi yang valid dan kredibel.

25
M. Amin Abdullah, Studi Agama Normatovitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011), hlm. v-vi.
13

Hal ini sekaligus sebagai upaya agar peserta didik tidak terjerumus
dalam penyebaran informasi hoax yang disampaikan oleh pihak tidak
bertanggung jawab.
b. Berbagi Pengalaman
Tahun 2012 untuk pertama kalinya penulis membawa Kitab Injil ke
dalam kelas ketika pembelajaran berkait dengan materi “Beriman
kepada Kitab-kitab Allah.” Awalnya peserta didik kaget. Bahkan ketika
Kitab Injil saya letakkan di atas meja salah seorang peserta didik, ia
langsung menjauhkan badannya. Ekspresinya seperti ketakutan. Kitab
Injil seperti sesuatu yang “najis” sehingga tidak boleh disentuh.
Lalu, saya pun memulai dengan sebuah pertanyaan. Bolehkah kita
menyentuh injil? Bolehkah kita membaca injil? Peserta didik terdiam,
tak ada yang menjawab. Mereka tampak kebingungan dengan
pertanyaan yang saya sampaikan. Pertanyaan pun berlanjut, bukankah
Injil merupakan salah satu kitab yang harus diimani umat Islam?
Respon dan komentar guru tidak jauh berbeda ketika penulis
mengadakan peringatan Maulid Nabi Muhammad saw di kelas dengan
menggelar diskusi “Pro-Kontra Peringatan Maulid Nabi.” Kegiatan telah
disetting dengan menghadirkan pembicara dari siswa yang terbagi
dalam dua kelompok, yaitu kelompok Pro dan Kelompok Kontra.
Selain membawa hal tabu dan Pro-Kontra ke dalam kelas, penulis
juga melakukan refleksi “If I were you”. Peserta didik perlu diajak untuk
merefleksikan dirinya dengan pertanyaan: “Jika kita tidak terlahir
sebagai muslim, apakah kita akan memeluk Islam?” Pertanyaan
diberikan agar peserta didik memahami bahwa sebuah agama adalaah
keyakinan merupakan warisan dari orang tua kita. Keyakinan yang
tumbuh sejak kecil tidak akan mudah untuk berpindah kepada
keyakinan yang lain. Agar suasana kelas lebih menarik, penulis juga
memanfaatkan trending topik di media sosial. Sebagai contoh ketika
terjadi pro-kontra hukum mengucapkan selamat hari natal. Media sosial
khususnya facebook ramai membicarakannya, baik yang mengatakan
halal (boleh) maupun yang mengharamkannya. Diskusi di kelas
menjadi ramai dan peserta didik menjadi antusias untuk belajar.
14

Penulis belum mengadakan penelitian khusus mengenai dampak


pembelajaran PAI multikultural terhadap sikap beragama peserta didik.
Walaupun demikian dua kisah dua alumni membuat penulis merasa
yakin bahwa pembelajaran PAI multikultural telah mempengaruhi sikap
beragama peserta didik. Hal ini dapat dilihat dari kisah dua alumni MTs
Negeri Kebumen 1.
Suatu ketika salah satu alumni (DH, Kelas 2 Aliyah) disuruh oleh
orang tuanya untuk mondok di suatu pesantren yang sesuai dengan
paham orang tuanya atau melanjutkan di sekolah umum, tetapi harus
menggunakan cadar. Sebelum mengambil keputusan, dia berkonsultasi
dengan penulis sambil menangis. Sebagai pendidik, penulis
menyarankan agar anak tersebut mengikuti kemauan orang tuanya.
Bagaimanapun juga, selagi anak masih menjadi beban orang tua, maka
dia harus taat kepada orang tua.
Kisah yang hampir sama juga dialami oleh alumni lainnya (NB,
Kelas 1 SMA) di tahun yang berbeda. Setelah lulus, dia mengikuti
kemauan orang tuanya untuk belajar di pesantren yang
direkomendasikan bapaknya. Setelah setahun berjalan, dia memilih
keluar dari pesantren dan belajar di sekolah umum. Meski, alumni ini
tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan penulis untuk mengambil
keputusan, tetapi pindahnya dia dari pondok ke sekolah umum menjadi
indikasi bahwa proses pembelajaran yang dilakukan penulis
mempengaruhi sikap dan pilihan beragama mereka.
D. Kesimpulan dan Harapan Penulis
1. Kesimpulan
PAI Multikultural adalah mata pelajaran agama Islam yang wajib
diikuti oleh peserta didik yang beragama Islam yang dalam
pelaksanaannya dilakukan dengan menghormati dan menghargai
perbedaan aliran dan multiagama. Materi PAI Multikultural bukan sekadar
berisi materi tentang ajaran agama peserta didik tetapi juga diberikan
materi yang berkaitan dengan perbedaan-perbedaan aliran (madzhab)
dan perbedaan agama sebagai sunnatullah.
15

Pemberian materi PAI Multikultural diberikan secara berjenjang mulai


dari SD, SLTP/SLTA, dan Perguruan Tinggi. Pada jenjang SD peserta
didik dibina agar memahami dasar-dasar agama yang ia anut dan tata
cara ibadah harian. Pada jenjang SLTP/SLTA peserta didik sudah
diperkenalkan dengan perbedaan madzhab dan multiagama. Sedangkan
pada jenjang perguruan tinggi, mahasiswa sudah diberi wacana tentang
perbandingan agama. Dalam pelaksanaan pembelajaran, pendidik dapat
memanfaatkan isu-isu pro-kontra yang berkembang di masyarakat ke
dalam pembelajaran. Pendidik juga dapat menggunakan trending topik
media sosial sebagai bahan diskusi dalam pembelajaran.
2. Harapan
a. Hadirnya Islam yang ramah, Islam yang bukan hanya toleran terhadap
umat lain, tetapi juga menghargai berbagai aliran yang terdapat dalam
Islam. Hadirnya Islam yang ramah tentu akan lebih toleran terhadap
perbedaan suku, bahasa, warna kulit, dan budaya.
b. Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama merumuskan
kurikulum PAI Multikultural agar menjadi pedoman pendidik dalam
melaksanakan pembelajaran di sekolah/madrasah.
c. Kementerian Pendidikan dan Kementerian agama bersinergi untuk
mengadakan workshop dan pembinaan kepada guru PAI baik di
sekolah dan madrasah terkait PAI Multikultural sebagai upaya
deradikalisasi agama Islam.
16

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius. Cet. I.


Jakarta: PSAP, 2005.
______, Studi Agama Normatovitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011.
Aziz, Abdul. Aku Melawan Teroris, Solo: Jazera, 2004.
Baidhawy, Zakiyuddin. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta:
Erlangga, 2005.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Edisi III. Cet. IV. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Kementerian Agama RI. Islam Rahmatan Lil „Alamin. Jakarta: tp, 2011.
Mahfud , Choirul. Pendidikan Multikultural. Cet. V. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011.
Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah,
Madrasah, dan Perguruan Tinggi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.
Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
Republik Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003,
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Syah, Muhibbin. Psikologi Belajar. Cet. I. Jakarta: Logos, 1999.

Jurnal

Darraz , Muh. Abdullah. “Radikalisme dan Lemahnya Peran Pendidikan


Kewarganegaraan”, Jurnal Maarif: Arus Pemikiran Islam dan Sosial. Vol. 8.
No. 1-Juli 2013.

Internet
http://bangka.tribunnews.com/2016/11/14/kabar-duka-intan-olivia-bocah-dua-
tahun-korban-bom-gereja-di-samarinda-meninggal, download Selasa, 15
November 2016.
http://news.okezone.com/read/2016/11/14/340/1541141/vihara-di-singkawang-
dilempar-bom- molotov, download Selasa, 15 November 2016.
http://news.okezone.com/read/2016/07/30/340/1450703/kronologi-perusakan-
tempat-iba -dah-di-tanjung-balai, download Selasa, 15 November 2016..
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/07/17/nrmprs-ini-
kronologi-pembakar an-masjid-di-tolikara, download Selasa, 15 November
2016.
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/10/13/058709149/gereja-dibakar-di-
aceh-singkil-bukan-kasus-pertama, download Selasa, 15 November 2016.
17

Anda mungkin juga menyukai