Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH FARMAKOTERAPI 1

STUDI KASUS KANKER


“ACUTE
ACUTE LYMPHOCYTIC
LYMPHOCYTIC LEUKEMI A ”

Oleh :

Made Gede Praditya Putra 0908505029

Nyoman Adi Budiman 0908505043

Desak Gede Pradnyaniti 0908505066

Ni Made Asih Wiradewi 0908505068

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2012
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kanker adalah suatu penyakit yang ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak terkontrol,
invasi jaringan lokal, dan metastase yang panjang. Di negara yang telah maju yang telah berhasil
membasmi penyakit infeksi, kanker merupakan penyebab kematian kedua setelah penyakit
kardiovaskular. Di Amerika, kanker merupakan penyebab utama kematian pada wanita antara
30-54 tahun dan anak-anak antara 3-14 tahun. Dengan metode pengobatan saat ini, 1/3 jumlah
 pasien tertolong melalui pembedahan dan terapi radiasi. Kesembuhan hampir seluruhnya terjadi
 pada pasien yang penyakitnya belum menyebar pada saat pembedahan. Diagnosis lebih dini
makin meningkatkan penyembuhan ((Dipiro et al, 2008; Gunawan, 2011)
Salah satu jenis kanker adalah kanker darah atau yang sering disebut dengan leukemia.
Leukemia adalah keganasan hematologi heterogen yang ditandai dengan proliferasi tidak teratur
dari pembentukan sel darah di sumsum tulang. Leukimia yang paling banyak terjadi pada anak-
anak adalah Acute
adalah Acute Lymphocytic Leukemia (Dipiro
Leukemia (Dipiro et al, 2008; Mary, 2005). Acute
2005).  Acute Lymphocytic
 Leukemia (ALL)
 Leukemia (ALL) merupakan salah satu penyakit keganasan sel darah putih yang ditandai dengan
 banyaknya jumlah limfoblas atau sel limfosit yang masih muda. Limfoblas diproduksi di
sumsum tulang belakang dan pada ALL limfoblas berproliferasi dan akhirnya menyebar ke
 berbagai organ di dalam tubuh. Limfoblas tidak berfungsi untuk melawan infeksi sebelum
menjadi limfosit yang dewasa, oleh karena itu seseorang yang terkena ALL akan mudah terkena
 berbagai infeksi dan demam karena limfoblas tidak berdiferensiasi menjadi limfosit yang
mempunyai fungsi untuk melawan infeksi (Fauci et al.,
al., 2008)
Pengobatan ALL sama dengan jenis kanker lain yaitu menggunakan antikanker. Terapi
yang digunakan dalam kanker yaitu kemoterapi dengan sinar dan penggunaan obat sitostatika.
Terapi utama pada ALL adalah kemoterapi, Terapi lain seperti pembedahan dan terapi radiasi
dapat digunakan pada keadaan tertentu ( American Society, 2012). Antikanker merupakan
 American Cancer Society,
obat yang indeks terapinya sempit, dapat menyebabkan efek toksik berat yang mungkin dapat
menyebabkan kematian secara langsung maupun tidak langsung. Antikanker memiliki banyak
efek samping, seperti mual, muntah, rambut rontok , imunosupresi, nefrotoksik, bahkan dapat
mengakibatkan kanker pada waktu jangka panjang. Umumnya pengobatan kanker memerlukan
lebih dari satu obat atau kombinasi obat yang cukup banyak (Tjay dan Rahardja, 2007;
Gunawan, 2011). Obat sitostatika merupakan yang digunakan dalam kemoterapi dimana
merupakan terapi sistematik untuk menghambat pertumbuhan kanker atau untuk membunuh sel-
sel kanker (Perwitasari, 2006).
Banyaknya obat yang diberikan dan efek sampingnya terhadap pasien, sehingga perlu
ditelusuri fungsi dari setiap obat dalam terapi dan interaksi yang mungkin terjadi. Maka penulis
 pada makalah ini akan mencoba membahas kasus tentang seorang pasien yang mendapatkan
terapi untuk pengobatan acute lymphocytic leukemia, sehingga nantinya dapat dipahami dengan
 baik farmakoterapi pada penyakit ALL.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Mengapa pasien mengalami mual muntah selama terapi dan apakah perlu terapi
tambahan untuk kondisi tersebut?
1.2.2 Apa fungsi dari masing-masing obat yang diterima oleh pasien dan KIE apa yang
diberikan?
1.2.3 Apa yang harus diamati sehubungan dengan pemberian vincristine dan methotrexate
intrathecal secara bersama?
1.2.4 Apa tujuan terapi dan hasil yang diharapkan kepada pasien setelah terapi?

1.3 Tujuan
1.3.1 Dapat mengetahui penyebab pasien mengalami mual muntah dan diperlukan terapi
atau tidak untuk menangani kondisi tersebut.
1.3.2 Mengetahui fungsi dari masing-masing obat yang diterima oleh pasien dan dapat
memberikan KIE untuk meningkatkan efektifitas obat.
1.3.3 Mengetahui hubungan pemberian vincristine dan methorexate intrathecal secara
 bersamaan.
1.3.4 Dapat mengetahui tujuan dari terapi yang diberikan dan hasil yang diharapkan dari
 pengobatan yang diperoleh pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KANKER
Kanker adalah salah satu jenis penyakit degeneratif yang disebabkan adanya
 pertumbuhan yang tidak normal dari sel-sel jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker,
selanjutnya sel kanker ini dapat menyebar ke bagian tubuh lainnya sehingga bisa menyebabkan
kematian (Irawan, 2001).
Salah satu sifat terpenting kanker adalah kemampuan untuk tumbuh infiltratif ke dalam
 jaringan sekitarnya. Karena kemampuan ini, sel-sel kanker dapat menembus atau ke dalam
saluran limfe atau ke dalam saluran darah dan dibawa ke organ-organ lain. Pertumbuhan dalam
kelenjar limfe dan organ-organ yang berjarak dinamakan pembentukan metastasis. Kemampuan
 pertumbuhan infiltratif dapat juga menyebabkan pertumbuhan ke dalam organ yang ada di
dekatnya atau ke dalam rongga tubuh dan di dalam bagian tubuh itu dapat juga timbul metastasis.
Pembentukan metastasis klinis merupakan sifat terpenting dari pertumbuhan kanker karena
metastasis ini biasanya tidak dapat ditangani dan menentukan prognosis (Wagener et al., 1996).

2.2 LEUKEMIA
2.2.1 Definisi
Leukemia adalah keganasan hematologi heterogen yang ditandai dengan proliferasi tidak
teratur dari pembentukan sel darah di sumsum tulang. Sel-sel leukemia yang belum dewasa
(blast) ini secara fisik “berkumpul” atau menghambat pematangan sel normal di sumsum tulang
yang mengakibatkan anemia, neutropenia, dan trombositopenia. Kurangnya sel darah putih
matur ini meningkatkan resiko infeksi, trombisitopenia meningkatkan resiko perdarahan dan
anemia juga merupakan ciri leukemia. Blast leukemia juga dapat menyusupi berbagai jaringan
seperti kelenjar getah bening, kulit, hati, limpa, ginjal, testis, dan sistem saraf pusat. Berdasarkan
 jenis sel dan perjalanan penyakitnya, leukemia dibedakan menjadi leukemia limfoblastik (atau
limfositik) akut (LLA), leukemia myeloid akut (LMA), leukemia limfositik kronis dan leukemia
myeloid kronis. Secara umum, ada 2 jenis leukemia yaitu leukemia kronis dan leukemia
(Brooker, 2005; Dipiro et al , 2008).
2.2.2 Etiologi

Etiologi leukimia sampai sekarang belum dapat dijelaskan secara keseluruhan. Banyak
 para ahli menduga bahwa faktor infeksi sangat berperan dalam etiologi leukimia. Infeksi terjadi
oleh suatu bahan yang menyebabkan reaksi seperti infeksi oleh suatu virus. Mereka membuat
suatu postulat bahwa kelainan pada leukimia bukan merupakan penyakit primer akan tetapi
merupakan suatu bagian dari respon pertahanan sekunder dari tubuh terhadap infeksi tersebut.
Respon defensif tubuh berbeda pada berbagai tingkat usia oleh karena itu maka kita lihat bahwa
leukimia limfoblastik akut terdapat banyak pada anak-anak, leukimia mieoblastik akut pada usia
dewasa muda, leukimia granulositik kronik pada dewasa muda dan orang tua dan leukimia
limfositik kronik dapat dijumpai pada semua umur (Supandiman, 1997).
Terjadi peningkatan insiden leukimia pada orang-orang yang terkena radiasi sinar rontgen
(terkena radiasi ledakan bom, mendapat terapi radiologis dan para dokter ahli radiologis). Diduga
 peningkatan insiden ini karena akibat radiasi terhadap bahan penyebab leukimia tersebut. Selain
faktor diatas ada beberapa faktor yang menjadi penyebab leukimia akut yaitu faktor genetika,
lingkungan dan sosial ekonomi, racun, status imunologi, serta kemungkinan paparan virus
(Supandiman, 1997).
Obat yang dapat memicu terjadinya leukimia akut salah satunya yaitu agen pengalkilasi.
Kondisi genetik yang memicu leukimia akut yaitu down sindrom  dan bloom sydrom. Bahan
kimia pemicu leukimia yaitu benzen sedangkan kebiasaan hidup yang memicu leukimia yaitu
merokok dan minum alkohol (Dipiro, et al , 2005).

2.2.3 Patofisiologi
Leukimia dapat berkembang pada setiap tahap pembentukan sel. Sel induk majemuk dapat
 berpotensi untuk mengalami diferensiasi, poliferasi dan maturasi untuk membentuk sel-sel darah
matang. Sel induk myeloid menimbulkan enam jenis sel darah (eritrosit, trombosit, monosit,
 basofil, neutrofil, eusinofil). Sedangkan sel induk limfoid dibedakan untuk membentuk sirkulasi
limfosit T dan B. Dua hal yang umumnya terjadi pada acute lymphocytic  atau  lymphoblastic
leukemia (ALL) dan acute myeloid leukemia (AML). Pertama, keduanya muncul dari sebuah sel
leukimia tunggal yang mengembang dan memperoleh mutasi tambahan, yang berpuncak pada
 populasi sel leukimia monoklonal. Kedua, adanya kegagalan untuk menjaga keseimbangan
relatif antara proliferasi dan diferensiasi, sehingga sel-sel tidak bisa membedakan melewati tahap
tertentu sel yang hematopoiesis sehingga Sel (lymphoblast   atau myeloblast ) kemudian
 berkembang tak terkendali (Dipiro, et al , 2005).

2.2.4 Gejala Dan Persentasi Klinik


untuk dapat mendiagnosis leukimia diperlukan presentasi klinis, tes laboratorium dan
evaluasi patologi. Tes yang paling penting adalah biopsi sumsum tulang yang disampaikan
kepada hematopathology  untuk berbagai evaluasi. Pewarnaan cytochemical sangat membantu
untuk menentukan apakah leukimia akut adalah keturunan myeloid atau limfoid.
Umum:
Biasanya terjadi 1-3 bulan dengan gejala yang tidak jelas seperti kelelahan, kurangnya toleransi
latihan, nyeri dada dan perasaan yang tidak enak.
Gejala:
Penurunan berat badan, malaise, kelelahan, dan dyspnea saat beraktivitas. Gajala lain yang dapat
muncul yaitu demam, menggigil, memar (perdarahan vagina yang berlebihan, epistaksis,
ekimosis dan petechiae), nyeri tulang, kejang, sakit kepala, dan diplopia.
Pemerikasaan Laboratorium :
Dengan memeriksa sel darah merah, biasanya terjadi anemia normokromik dan normositik
(tanpa peningkatan kompensasi dalam retikulosit). Trombositopenia (berat, kurang dari
3
50.000/mm   trombosit) sekitar 50% kasus. Leukopenia/leukositosis kira-kira 20% dari pasien
dengan jumlah sel darah putih yang tinggi. Asam urat dari pasien meningkat pada 50%.
Peningkatan elektrolit seperti kalium dan fosfat. Koagulasi, dimana waktu prothrombin dan
waktu tromboplastin meningkat.
Diagnostik Tes lainnya :
Biopsi sumsum tulang untuk pemeriksaan morfologi dan pewarnaan cytochemical,
imunofenotipe, dan sitogenita analisis.
(Dipiro et al., 2005)

2.2.5 Klasifikasi Leukimia


Secara umum leukemia dibagi menjadi dua, yaitu leukemia akut dan kronis.
Penggolongan utama dibagi menjadi empat tipe yaitu leukimia akut dan kronik, yang lebih lanjut
lagi dibagi menjadi limfoid atau mieloid. Leukimia akut biasanya bersifat agresif dengan
transformasi ganas yang menyebabkan terjadinya akumulasi progenitor hemopoietik sumsung
tulang dini, disebut sel blast. Gambaran klinis dominan penyakit ini biasanya adalah kegagalan
sumsum tulang disebabkan akumulasi sel blast walaupun juga terjadi infiltrasi jaringan
(Hoffbrand et al ., 2005).
2.2.5.1 Leukimia Akut
Leukimia akut didefinisikan sebagai adanya lebih dari 30% sel blast dalam sumsum
tulang pada saat manifestasi klinis. Leukimia akut dibagi menjadi Akut Mieloid Leukimia (AML)
dan Akut Leukimia Limfoblastik   (ALL). Berdasarkan sel blastnya dibagi sebagai mieloblas atau
limfoblas (Hoffbrand et al ., 2005).
a.  Akut Limfoblastik Leukemia (ALL)
Penyakit ini disebabkan oleh akumulasi limfoblas dan merupakan penyakit keganasan
masa anak yang paling banyak ditemukan. Leukemia limfoblastik akut paling lazim dijumpai
 pada anak-anak dengan insidensi tertinggi terdapat pada usia 3-7 tahun, dan menurun pada
usia 10 tahun (Hoffbrand, 2005). LLA merupakan jenis leukemia dengan karakteristik
adanya proliferasi dan akumulasi sel-sel patologis dari sistem limfopoetik yang
mengakibatkan organomegali (pembesaran alat-alat dalam) dan kegagalan organ.
Berdasarkan morfologinya, leukemia limfoblastik akut dibedakan menjadi:
1. Tipe L1, memperlihatkan adanya sel blas kecil yang seragam dengan sitoplasma yang
sedikit.
2. Tipe L2, memperlihatkan sel blas yang berukuran lebih besar dengan anak inti dan
sitoplasma yang lebih jelas dan lebih heterogen.
3. Tipe L3, memperlihatkan sel blas yang besar dengan anak inti yang jelas, sitoplasma yang
sangat basofilik, dan vakuol sitoplasma.
(Hoffbrand et al ., 2005)
 b.  Akut Mieloblastik Leukemia (AML)
Leukemia mieloblastik akut merupakan leukemia yang mengenai sel stem hematopoetik
yang akan berdiferensiasi ke semua sel mieloid. Leukemia mieloblastik akut lebih sering
ditemukan pada orang dewasa (85%) dibandingkan anak-anak (15%). Permulaannya
mendadak dan progresif dalam masa 1 sampai 3 bulan dengan durasi gejala yang singkat
(Hoffbrand et al ., 2005).
2.2.5.2 Leukemia Kronik

Leukemia kronik merupakan suatu penyakit yang ditandai proliferasi neoplastik dari
salah satu sel yang berlangsung atau terjadi karena keganasan hematologi. Leukemia kronik
dibagi menjadi kronik limfoblastik leukemia  (KLL) dan kronik mieloblastik leukemia  (KML)
(Hoffbrand et al ., 2005).
a.  Kronik Limfoblastik Leukemia (KLL)
Leukemia limfoblastik kronik merupakan keganasan klonal limfosit B. Perjalanan
 penyakit ini biasanya perlahan, dengan akumulasi progresif yang berjalan lambat. Leukemia
limfoblastik kronik cenderung dikenal sebagai kelainan ringan yang menyerang individu
yang berusia 50 sampai 70 tahun (Hoffbrand et al ., 2005).
 b.  Leukemia mieloblastik kronik  (KML)
Leukemia mieloblastik kronik merupakan gangguan mieloproliferatif yang ditandai
dengan produksi berlebihan sel mieloid (seri granulosit) yang relatif matang. Leukemia
mieloblastik kronik mencakup 20% leukemia dan paling sering dijumpai pada orang dewasa
usia pertengahan (40-50 tahun) (Hoffbrand et al ., 2005).

2.2.6 Tatalaksana Terapi


2.2.6.1 Terapi umum
ALL bukan merupakan sebuah  single disease, tapi merupakan suatu penyakit kompleks
dimana pada subtype dari ALL akan memberikan respon berbeda dari tiap terapi yang dilakukan.
Terapi pada ALL biasanya berlangsung selama 2 tahun dan berlangsung secara intens terutama
 pada bulan pertama pada terapi. Terapi utama pada ALL adalah kemoterapi. Terapi lain seperti
 pembedahan dan terapi radiasi dapat digunakan pada keadaan tertentu  American
( Cancer
Society, 2012).
 Kemoterapi pada acute lymphocytic leukemia
Kemoterapi digunakan sebagai obat dalam terapi kanker. Obat yang digunakan
diinjeksikan pada pembuluh darah, otot, dibawah kulit atau secara peroral. Obat terdistribusi
 pada pembuluh darah hingga mencapai sel kanker diseluruh tubuh. Hal ini mengakibatkan
kemoterapi sangat berguna pada kanker seperti leukemia yang menyebar pada tubuh.
Kebanyakan kemoterapi tidak mencapai area disekitar otak dan  spinal cord   dengan baik,
sehingga dibutuhkan injeksi kedalam cairan cerebrospinal untuk membunuh sel kanker.
Kemoterapi biasanya diberikan pada siklus tertentu dengan masing-masing periode terapi yang
diselingi dengan periode istirahat. Karena kemoterapi memiliki efek samping yang cukup
 potensial, kemoterapi kadangkala tidak direkomendasikan pada pasien yang memiliki tingkat
kesehatan yang rendah ( American Cancer Society, 2012).
Kemoterapi untuk akut limphositic leukemia menggunakan kombinasi dari obat anti
kanker. Obat tersebut diberikan pada 3 fase. Obat-obat yang biasa digunakan antara lain:
vincristine, daunorubicin atau doxorubicin, cytarabine, L-asparaginase atau PEG-L-asparaginase,
etoposide, teniposide, 6-mercaptopurine, methotrexate, cyclophosphamide, prednisone,
dexamethasone, liposomal vincristine ( American Cancer Society, 2012).
 Pembedahan untuk acute lymphocytic leukemia 
Pembedahan merupakan hal yang jarang dilakukan pada terapi ALL. Karena sel leukemia
tersebar meluas pada sumsum tulang belakang dan organ lain yang dilewati oleh darah. Hal ini
mengakibatkan tidak memungkinkan mengobati ALL melalui pembedahan saja  (American
Cancer Society, 2012).
 Terapi radiasi untuk acute lymphocytic leukemia
Terapi radiasi biasanya menggunakan radiasi energi tinggi untuk membunuh sel kanker.
Terapi ini bukan merupakan terapi utama pada pasien dengan ALL, tetapi digunakan pada
 beberapa situasi seperti:
- Radiasi digunakan untuk mengobati leukemia yang telah menyebar pada otak dan cairan
 pinal
- Radiasi pada seluruh tubuh merupakan terapi yang cukup penting sebelum dilakukan
transplantasi sumsum tulang belakang.
- Radiasi bias digunakan untuk meredakan nyeri pada area tulang yang dinvasi oleh sel
leukemia, apabila kemoterapi tidak membantu.
( American Cancer Society, 2012)

Tujuan utama dari terapi pada leukemia akut yaitu untuk mempercepat perbaikan klinis
dan hematologic. CR didefinisikan sebagai hilangnya tanda fisik dan sumsum tulang belakang
(normal sel dengan <5% blasts) dari leukemia, dengan restorasi normal hematopoesin (neutrofil
≥ 1.500 sel/mm3 dan platelet > 100.000 sel/mm3). Setelah CR tercapai, tujuan terapi berikutnya
yaitu mempertahankan nilai CR pasien secara kontinyu. Secara umum, seorang anak dapat
dikatakan sembuh apabila memiliki nilai CR yang kontinyu selama 5-10 tahun (Dipiro et al ,
2008).

2.2.6.2 Terapi Farmakologi


Obat-obat yang banyak digunakan dalam pengobatan leukimia :

Obat Mekanisme Kerja Efek samping khusus


Antimetabolit
- Metotreksat Menghambat sintesis o Ulkus mulut, toksisitas usus
- 6-Merkaptopurint  purin atau pirimidin o ikterus
- 6-Thioguanint atau penggabungan ke o Toksisitas usus
- Sitosin-arabinosida dalam DNA o CNS, terutama toksisitas
serebelum dan konjungtivis pada
dosis tinggi
o Pigmentasi, distrofil kuku, ulserasi
- Hidroksiurea kulit
Agen Pengalkil
- siklofosfamid Ikatan silang DNA, Sistis hemoragik, kardio-miopati,
mengganggu rambut rontok
- Klorambusik  pembentukan RNA Aplasia sumsum, toksisitas hati,
dermatitis
- Busulfan (Myleran) Aplasia sumsum, fibrosis paru,
hiperpigmentasi
- Nitrosourea BCNU, Toksisitas ginjal dan paru
CCNU
Pengikat DNA
- Antrasiklin, misal Berikatan dengan DNA Toksisitas jantung, rambut rontok
Daunorubisin dan mengganggu
Hidroksodaunorubisin mitosis
(adriamisin)
Mitoksantron Memecah DNA Fibrosis paru, pigmentasi kulit
Idarubisin
Bleomisin
Penghambat Mitosis
- Vinkristin (Oncovin) Kerusakan spindel,  Neuropati (perifer atau kandung
- Vinblastin tidak ada metafase kemih atau usus), rambut rontok
- Vindesin
Analog Purin
-Fludarabin Menghambat adenosin Penekan imun (hitung CD4 rendah);
- 2-klorodeksiadenosin deaminase atau jalur anemia hemolitik autoimun;
- Deoksikoformisin  purin lain toksisitas ginjal dan saraf (pada dosis
tinggi)
Lain-lain
-Kortikosteroid Lisis limfoblas Ulkus peptik, obesitas, diabetes,
osteoporosis, psikosis, hipertensi

Membuat sel
- L-asparaginase kekurangan asparagin Hipersensitivitas, kadar albumin dan
Penghambatan mitosis faktor koagulasi rendah, pankreatitis
Rambut rontok, ulkus mulut
- Epipodolifilotoksin Aktivasi RNAase dan
(etoposid, VP-16) aktivitas pembunuh
alami
- α-interferon Menginduksi Gejala mirip flu, trombositopenia,
diferensiasi leukopenia, penurunan berat badan
Disfungsi hati, hiperkeratosis kulit,
leukositosis dan hiperviskositas, efusi
- Asam transretinoat  pleura atau perikardial

(Hoffbrand et al ., 2005)


Pengobatan ALL dibagi menjadi pengobatan suportif dan spesifik. Pengobatan suportif
 berdasarkan prinsip yang sama dengan ALL. Masalah yang unik pada AML mencakup sindrom
 perdarahan yang dikaitkan dengan varian AML M3. Penyakit ini dapat bermanifestasi sebagai
 perdarahan yang sangat berat atau keadaan ini dapat timbul dalam beberapa hari pertama
 pengobatan. Keadaan ini diobati dengan seperti pada pengobatan DIC dengan penggantian faktor
 pembekuan menjadi FFP dan transfusi trombosit berulang. Selain itu terapi all-trans-retinoic acid
(ATRA) diberikan bersama dengan kemoterapi. Sedangkan terapi spesifik AML biasanya
dengan penggunaan kemoterapi yang intensif. Terapi ini biasanya diberikan dalam empat atu
lima blok masing-masing sekitar 1 minggu dan obat-obatan yang paling umum digunakan antara
lain sitosin arabinosida, daunorubicin, idarubicin, 6-thio-guanin, mitoksantron, atau etoposid
(Hoffbrand et al ., 2005).
1. Pemasangan kateter vena sentral. Pemasangan kateter vena sentral (misal Hickman) bisa
dilakukan melalui saluran kulit dari dada ke vena cava superior untuk memudahkan akses
memberikan kemoterapi, produk darah, antibiotik, makanan intravena, dll, dan untuk
 pengambilan darah bagi pemeriksaan laboratorium.
2. Pencegahan muntah. Obat yang digunakan untuk mengobati emesis yang diinduksi oleh
obat adalah metoklopramid, fenotiazin (misalnya klorpromazin atau prokloperazin),
antagonis reseptor 5-hidroksitriptamin tipe 3 (5-HT3) selektif (misalnya ondansetron,
granisetron, atau tropisetron), steroid (misal dexametason), benzodiasepin (misal
lorazepam) atau kanabinoid (misal nabilon).
3. Dukungan produk darah dengan transfusi eritrosit dan trombosit. Plasma beku segar  (fresh
 frozen plasma, FFP) mungkin perlu diberikan untuk mengatasi koagulopati.
4. Alupurinol dan cairan intravena, kadang-kadang dengan alkalinisasi urin, untuk mencegah
terjadinya sindrom lisis tumor.
5. Profilaksis dan pengobatan infeksi. Terjadinya infeksi sangat berbahaya dalam pengobatan
leukimia akut.
(Hoffbrand et al ., 2005)
Alur regimen pengobatan ALL yang lazim digunakan:

Induksi
Misalnya vinkristin, asparaginase, prednisolon (atau dexamethason) ± daunarubion

Konsolidasi
Misalnya daunorobicin, sitosin, arabinosida, vinkristin, etoposid, thioguanin atau
merkaptopurin, siklofosfamid dalam satu sampai empat tahap

Profilaksis kranial
Misalnya radiasi kranial (1800-2400 rad) + metrotreksat intratekal atau metrotreksat sistemik
dosis tinggi +metrotreksat (sitosin dan arabinosida) intratekal multiple atau metrotreksat
intratekal multiple

Terapi rumatan
Misalnya merkaptopurin, metrotreksat, vinkristin, prednisolon (atau deksametason)

Intensifikasi lanjut
(seperti konsolidasi)

Terapi Rumatan
Seperti diatas (2-3 tahun)
(Hoffbrand et al ., 2005)
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kasus
Seorang pasien dengan diagnosis acute lyphocytic leukemia menerima terapi sebagai berikut :
Hari pertama memperoleh :
 1 Unit filtered platelet
 1 Unit PRBC
 Dekstrosa 5% dalam NaCl 0,2% IV + 30 mEq NaHCO3/L pada 2000 mol/M2/hari
 Alopurinol 50 mg, p.o, tid
Hari kedua memperoleh :
 Vincristine 1 mg IV (pada hari ke 1, 8, 15, dan 22)
 Dexamethasone 2 mg p.o pagi, 1,5 mg p.o malam selama 28 hari
 PEG Asparaginase 1500 units IM pada kemoterapi hari ke-3
 Methotrexate intrathecal therapy 12 mg pada hari ke-1 dan 15

3.2 Pertanyaan
1. Pasien mengalami mual muntah selama terapi. Jelaskan penyebabnya? Perlukan terapi
tambahan untuk kondisi ini?
2. Jelaskan fungsi dari masing-masing obat yang diterima pasien dan bagaimana KIE yang
diberikan kepada pasien mengenai terapi yang diperoleh?
3. Jelaskan apa yang harus diamati sehubungan dengan pemberian vincristine dan
methotrexat IT secara bersama?
4. Jelaskan tujuan terapi dan hasil/ capaian yang diharapkan kepada pasien?

3.3 Penyelesaian :
1. Pada kasus di atas pasien mengalami mual muntah selama terapi disebabkan oleh efek
samping dari penggunaan kemoterapi kanker, seperti pada penggunaan Vincristine, PEG
asparaginase dan Methotrexat yang memiliki potensi emetic (Andersons, 2002). Menurut
Anderson et al,  vincristine dan methotrexate memiliki efek samping berupa potensi
emetik lemah, pada penggunaan vincristine efek samping mual muntah yang dirasakan
 pasien didiagnosa karena teriritasinya mukosa usus sehingga akan merangsang saraf-saraf
tertentu yang akan mengaktivasi vomiting center dan chemoreseptor trigger zone di otak.
Sedangkan, efek samping dari kerja methotrexate adalah terbentuknya ulkus pada
gangguan saluran cerna. Selain vincristine dan methotrexate, Asparginase juga
merupakan agen neoplastic yang digunakan pada kasus ini yang memiliki Adverse Drug
Reaction yang sering muncul yaitu mual dan muntah. Pasien tidak perlu diberikan terapi
tambahan lagi karena dalam terapi yang diberikan tersebut sudah terdapat
Dexamethasone per-oral yang berfungsi untuk mencegah mual dan muntah yang terjadi
selama kemoterapi kanker (Sweetman, 2009).
2. Fungsi dari masing-masing obat yang diterima pasien:
Hari pertama memperoleh :
 1 Unit filtered platelet
Berfungsi sebagai terapi untuk menambah jumlah platelet dalam tubuh pasien
(Schull, 2009).
 1 Unit PRBC
Tujuan terapi PRBC pada LLA adalah untuk mencapai keadaan remisi yaitu keadaan
darah perifer normal, selularitas sumsum tulang normoseluler, dan jumlah limfoblas
kurang dari 5%. Untuk mencapai remisi sempurna kemoterapi harus bisa menurunkan
 jumlah 99% total sel leukemik. Pemakaian beberapa obat selain dapat meningkatkan
durasi remisi, namun juga dapat menimbulkan banyak komplikasi karena
mielosupresi. Mielosupresi pada LLA disebabkan oleh invasi sel ganas pada sumsum
tulang maupun karena pemberian kemoterapi yang intensif. Hal ini akan
menyebabkan kondisi anemia dan trombositopenia. Kehilangan darah akibat
trombositopeni juga akan memperberat kondisi anemia dan tidak jarang berakhir pada
kematian, sehingga terapi suportif dengan PRBC sangat diperlukan. Penggunaan
terapi tersebut akan sangat bermakna menurunkan angka perdarahan (Nency, 2011).
 Dekstrosa 5% dalam NaCl 0,2% IV + 30 mEq NaHCO3/L pada 2000 mol/M2/hari
Berfungsi untuk menjaga sekaligus menjadi tambahan cairan tubuh. Penggunaan
infuse dextrose ini sekaligus mendukung keberhasilan terapi menggunakan
allopurinol, karena menurut (Sweetman,2009) terapi kanker dengan menggunakan
allopurinol harus dibarengi dengan terapi cairan.
 Alopurinol 50 mg, p.o, tid
Berfungsi sebagai terapi Hyperuricaemia secondary pada tumor lisis (Sweetman,
2009), dimana dilaporkan ada obat-obat cytostatika yang menyebabkan penumpukan
kristal urea pada sendi dan tulang. Dimana mekanisme kerja dari Allopurinol adalah
Bekerja secara kompetitif menghambat xantin oksidase, yang akan berakibat
 berkurangnya kadar asam urat di serum dan urin dengan cara menghalangi konversi
hipoksantin dan xantin ke asam urat dan penurunan sintesis urin.
Hari kedua memperoleh :
 Vincristine 1 mg IV (pada hari ke 1, 8, 15, dan 22)
Berfungsi untuk menghindari pembelahan sel pada metafase, menghalangi
 pembelahan inti dengan jalan mengganggu pembelahan kromosom, sehingga
mencegah masuknya belahan kromosom itu ke dalam anak inti (Tjay dan Rahardja,
2007). Obat ini juga mampu membunuh sebagian besar sel-sel leukemia di dalam
darah dan sumsum tulang, mengeliminasi sel leukemia residual untuk mencegah
relaps dan juga timbulnya sel yang resisten terhadap obat.
 Dexamethasone 2 mg p.o pagi, 1,5 mg p.o malam selama 28 hari
Berfungsi sebagai antiemetik pada pengobatan kemoterapi yang biasanya diberikan
secara peroral atau intravena biasanya dikombinasikan dengan antiemetik lainnya.
Dexamethasone dapat diberikan 10-20 mg segera sebelum terapi kemoterapi, hingga
40 mg yang diberikan setelah terapi kemoterapi untuk mengurangi resiko terjadinya
mual dan muntah yang akan menghambat proses penyembuhan serta memberi
 perasaan tidak nyaman pada pasien (Sweetman, 2009).
 PEG Asparaginase 1500 units IM pada kemoterapi hari ke-3
Enzim ini yang diperoleh dari pembiakan bakteri E.coli mengkatalisir perombakan
hidrolisa levo-asparagin menjadi aspartat dan amoniak. Dengan demikian sel-sel
tumor tidak mendapati lagi asam amino asparagin yang esensiil bagi sintesa
 proteinnya dan terhenti perkembangannya (Tjay dan Rahardja, 2007). Juga untuk
menginduksi remisi pada kemoterapi kanker lymphoblastic leukemia akut
(Sweetman, 2009). Obat ini juga mampu membunuh sebagian besar sel-sel leukemia
di dalam darah dan sumsum tulang.
 Methotrexate intrathecal therapy 12 mg pada hari ke-1 dan 15
Metotreksat merupakan derivat pteridin yang berfungsi menghambat reduksi dari
asam folat menjadi tetrahybrofolic acid (THFA) yang penting sekali bagi sintesa
DNA dan pembelahan sel (Tjay dan Rahardja, 2007). Digunakan untuk menginduksi
remisi yang bekerja pada terapi pemeliharaan (Sweetman, 2009). Obat ini juga
mampu mencegah invasi sel leukemia ke otak.

KIE yang perlu diberikan kepada pasien mengenai terapinya adalah sebagai berikut:
a. Indikasi obat
 b. Regimen dosis
c. Berapa lama obat diberikan
d. Jelaskan pentingnya mematuhi terapi
e. Jelaskan efek samping yang berpotensi muncul dan upaya pencegahan atau
manajemennya bila terjadi efek samping.
f. Jelaskan hal-hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan obat tersebut. Contoh
monitoring fungsi hati dan ginjal serta jantung
g. Menanyakan riwayat obat yang digunakan atau yang sedang digunakan untuk
mencegah interaksi obat yang tidak dikehendaki
Contohnya pada penggunaan :
 Alopurinol
a) Hindari mengemudi atau aktivitas lain yang memerlukan kesiagaan mental atau yang
 berpotensi membahayakan hingga respon terhadap obat diketahui.
 b) Batasi asupan makanan dengan kandungan purin tinggi (hati atau daging organ lain,
salmon, dan sarden).
c) Minumlah banyak air (10-12 gelas perhari).
d) Tidak dianjurkan meminum vitamin C dalam jumlah banyak.
e) Hindari alkohol dan depresan saraf pusat lainnya seperti analgesik opiate dan sedative
(contoh diazepam) ketika meminum alopurinol.
f) Jangan makan garam iron selama meminum alopurinol.
g) Batasi asupan kafein dan alkohol (Ehrenpreis dan Ehrenpreis, 2001).
 Vinkristin
Obat antineoplastik berefek kuat, dan beberapa efek samping bisa muncul selama
 penggunaannya. Pastikan pasien mengerti manfaat dan resiko dari obat sebelum memulai
terapi. Obat ini dapat menurunkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi, maka
 pasien diharapkan melaporkan tanda-tanda infeksi seperti demam, menggigil, radang
tenggorokan dengan segera. Juga laporkan pendarahan tak normal, pemendekan nafas,
atau rasa sakit atau panas saat berkemih. Hindari pemakaian produk mengandung aspirin,
dan hindari alkohol. Mual, muntah dan kerontokan rambut kadang-kadang muncul
selama pemakaian obat. Keparahan efek samping ini tergantung pada individu, dosis, dan
obat lain yang mungkin diberikan bersamaan. Obat ini dapat menimbulkan infertilitas
sementara atau terkadang permanen pada pria dan wanita (Anderson et al , 2002).
 Dexamethasone
Obat ini dapat diminum bersamaan dengan makanan, susu, atau antasida untuk
mengurangi ketidaknyamanan pada perut. Minumlah dosis tunggal sehari atau dosis
alternative pada pagi hari sebelum jam 09.00 pagi. Minumlah dosis ganda dengan jeda
interval sepanjang hari. Laporkan apabila terjadi kenaikan berat badan yang tidak wajar,
kelelahan otot, muntah darah, pembengkakan wajah, pembengkakan anggota tubuh
 bagian bawah, radang tenggorokan berkepanjangan, demam, flu, infeksi, cedera serius,
kelelahan, anoreksia, mual, muntah, diare, kehilangan berat badan, pusing, atau gula
darah rendah. Konsultasikan dengan dokter selama periode peningkatan stress. Jika
 pasien menderita diabetes, pasien mungkin memerlukan peningkatan dosis insulin atau
hipoglikemik oral. Jangan menghentikan terapi tanpa persetujuan medis, beritahukan
 petugas kesehatan bahwa anda mengonsumsi kortikosteroid. Hindari imunisasi dengan
vaksin hidup (Anderson et al , 2002).
 PEG asparaginase
Asparaginase sering menimbulkan reaksi alergi yang dapat mengancam jiwa. Obat ini
 juga mempengaruhi kadar glukosa darah dan dapat memperparah diabetes mellitus.
Pasien diharapkan melaporkan jika terjadi nyeri abdominal (nyeri perut) sesegera
mungkin karena hal ini dapat menjadi tanda terjadinya pancreatitis (Anderson et al ,
2002).
 Methotrexate
Sama seperti vinkristin, Methotrexate adalah obat antineoplastik berefek kuat, dan
 beberapa efek samping bisa muncul selama penggunaannya. Pastikan pasien mengerti
manfaat dan resiko dari obat sebelum memulai terapi. Obat ini dapat menurunkan
kemampuan tubuh untuk melawan infeksi, maka pasien diharapkan melaporkan tanda-
tanda infeksi seperti demam, menggigil, radang tenggorokan dengan segera. Juga
laporkan pendarahan tak normal, pemendekan nafas, atau rasa sakit atau panas saat
 berkemih. Hindari pemakaian produk mengandung aspirin, dan hindari alkohol. Mual,
muntah dan kerontokan rambut kadang-kadang muncul selama pemakaian obat.
Keparahan efek samping ini tergantung pada individu, dosis, dan obat lain yang mungkin
diberikan bersamaan. Obat ini dapat menimbulkan infertilitas sementara atau terkadang
 permanen pada pria dan wanita. Informasikan dengan segera pada dokter apabila muncul
gejala batuk kering, diare parah, atau luka (ulcer) pada mulut (Anderson et al , 2002).

3. Yang harus diamati sehubungan dengan pemberian vincristine dan methotrexat IT secara
 bersama adalah dosis masing-masing obat, dimana Vincristin diberikan untuk pasien
dengan leukemia limfoblastik akut sebagai terapi penunjang jika dikombinasikan dengan
metotreksat. Obat ini bersifat iritatif sehingga harus dijaga tidak terjadi ekstravasasi.
Dianjurkan obat ini diberikan dalam dosis tunggal perminggu (Ganiswarna, 1995). Dosis
2
untuk anak dapat diberikan 1-2 mg/m  dengan pengulangan seminggu sekali selama 3-6
minggu (McEvoy, 2002). Remisi dapat dipertahankan dengan pemberian metotreksat.
Dosis harus ditetapkan secara individual karena batas keamanannya sempit. Jika timbul
gejala neuropati perifer berupa kelemahan otot tungkai pengobatan harus dihentikan
(Ganiswarna, 1995). Metotreksat pada leukemia limfoblastik akut pada anak diberikan
dengan dosis 12 mg seminggu sekali selama 2 minggu, kemudian satu bulan sekali untuk
terapi berikutnya. Metotreksat efektif untuk mempertahankan remisi, dan untuk terapi
 pemeliharaan dengan menginduksi remisi, dapat dikombinasi dengan vincristin sulfat
(McEvoy, 2002). Pengobatan dengan metotreksat harus dihentikan bila stomatitis dan
diare muncul karena anteritis hemoragik dan perforasi dapat terjadi. Obat boleh diberikan
lagi setelah gejalanya hilang (Ganiswarna, 1995).
Selain itu juga perlu diperhatikan pemberian Vincristine intravena tidak boleh
 bersamaan dengan sediaan yang diberikan secara intratekal dan tidak boleh bersamaan
dengan sediaan yang dimaksudkan untuk sistem saraf pusat (lacy et al , 2011). Vincristine
 bekerja secara spesifik dengan tubulin, komponen protein mikrotubulus, spindle mitotic,
dan memblok polimerisasinya. Akibatnya terjadi disolusi mikrotubulus, sehingga sel
terhenti dalam metaphase. Sedangkan Metrotexate memiliki efek penghambatan terhadap
sintesis RNA dan protein, metotreksat menghambat sel memasuki fase S, sehingga
 bersifat swabatas (self limiting) terhadap efek sitotoksiknya (Sweetman, 2009).

4. Tujuan terapi dan capaian yang diharapkan kepada pasien:


Tujuan dan capaian yang diharapkan dari terapi LLA yang dilakukan tersebut
adalah untuk mencapai keadaan remisi yaitu keadaan darah perifer normal, selularitas
sumsum tulang normoseluler, dan jumlah limfoblas kurang dari 5%, mencegah terjadinya
kekurangan cairan tubuh, mencegah Hyperuricaemia secondary pada tumor lisis, mampu
membunuh sebagian besar sel-sel leukemia di dalam darah dan sumsum tulang,
mengeliminasi sel leukemia residual untuk mencegah relaps dan juga timbulnya sel yang
resisten terhadap obat, serta mampu mencegah invasi sel leukemia ke otak (Sweetman,
2009) yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup pasien, dan mampu
menghasilkan pemulihan jangka panjang pada leukemia lymphositic akut.
BAB IV
KESIMPULAN

Dari makalah dengan kasus acute lyphocytic leukemia (ALL) dapat disimpulkan bahwa :
1. Mual muntah selama terapi disebabkan karena pengaruh efek samping obat yang pasien
terima selama menjalani terapi. Untuk penambahan terapi antiemetik, dirasa tidak perlu
karena pada terapi yang diterima pasien telah diresepkan pula pemberian Dexamethasone.
2. Fungsi dari obat-obat yang digunakan dalam terapi adalah untuk mencapai keadaan remisi
yaitu keadaan darah perifer normal, selularitas sumsum tulang normoseluler, dan jumlah
limfoblas kurang dari 5%, mencegah terjadinya kekurangan cairan tubuh, mencegah
Hyperuricaemia secondary pada tumor lisis, mampu membunuh sebagian besar sel-sel
leukemia di dalam darah dan sumsum tulang, mengeliminasi sel leukemia residual untuk
mencegah relaps dan juga timbulnya sel yang resisten terhadap obat, serta mampu mencegah
invasi sel leukemia ke otak.
3. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemberian kemoterapi kombinasi adalah adanya
interaksi antara kedua obat dimana Vincristine intravena tidak boleh bersamaan dengan
sediaan yang diberikan secara intratekal dan tidak boleh bersamaan dengan sediaan yang
dimaksudkan untuk sistem saraf pusat.
4. Tujuan terapi dari pengobatan kanker tersebut adalah pada akhirnya dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien, dan mampu menghasilkan pemulihan jangka panjang pada leukemia
lymphositic akut.
DAFTAR PUSTAKA

American Cancer Society. 2012. Leukimia  –   Acute Limphocytic (Adult).  Availableat:
www.cancer.org. Cited on 2 November 2012.

Anderson, P.O., Knoben, J.E., dan William G. Troutman.  Handbook of Clinical Drug Data :
Tenth Edition. America : McGraw-Hills.

Brooker, Chris. 2005. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Ehrenpreis, Seymour and E. D. Ehrenpreis . 2001. Clinical’s Handbook of Prescription Drugs.


USA: The McGraw-Hill Companies Inc.

Dipiro, Joseph T; Robert L. Talbert; Gary C. Yee; Gary R. Matzke; Barbara G. Wells; and L.
Michael Posey. 2005. Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach Sixth Edition. New
York: The McGraw Hill Companies.

Dipiro, J.T., R.L. Talbert, G.C. Yee, G.R. Matzke, B.G. Wells, L.M. Posey. 2008.
th
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach 7  Edition. New York: Mc. Graw Hill.

Ehrenpreis, Seymour dan E. D. Ehrenpreis. 2001. Clinician’s Handbook Of Prescription Drugs.


 New York : The McGraw-Hill Companies Inc.

Fauci, Anthony S. et al, 2008.  Harrison’s Principles of Internal Medicine.  New York: The
McGraw-Hill Companies, Inc.
Ganiswarna, Sulistia G. 1995.  Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Gunawan, Sulistia Gan. 2011. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: UI Press.

Hoffbrand, A.V, J.E. Pettit, P.A.H. Moss. 2005.  Kapita Selekta Hematologi Edisi 4. Jakarta :
EGC.

Irawan, A. 2009. Waspada Kanker dan Tumor . Bandung : Carya Remaja.

Lacy, Charles F., Amstrong, Lora L., Goldman, Morton P., Lance Leonard L., 2011.  Drug
th
 Information Handbook 20 . Lexicomp’s: United States.

Mary, E Muscari. 2005. Panduan Belajar: Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.

McEvoy, Gerald K. 2002. AHFS Grud Information Book 3. American Society of Health-System


Pharmacists.

Wagener, D. J. Th., et. al.1996. Onkologi. Yogyakarta : Panitia Kanker RSUP DR Sardjito.
Perwitasari, D. A. 2006.  Kajian Penggunaan Antiemetika pada Pasien Kanker dengan Terapi
Sitostatika di Rumah Sakit di Yogyakarta. Majalah Farmasi Indonesia 17 (2), 91-97.

Schull, Patricia Dwyer. 2009. I.V. Drug Handbook . Mc Graw Hills : United States

Supandirman, Iman. 1997. Hemtalogi Klinik Edisi Revisi. Bandung : PT. Alumni.

Sweetman, S.C. 2009.  Martindale Thirty Sixth Edition, The Complete Drug Reference. London :
Pharmaceutical Press.
Tjay, T.H. dan K. Rahardja. 2007. Obat-obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek
Sampingnya Edisi Keenam. Jakarta: Elex Media Komputindo.
LAMPIRAN STUDI KASUS OSTEOPOROSIS

KASUS 1 OSTEOPOROSIS
Seorang wanita 77 tahun. Terjatuh pada lantai licin dan diagnosa fraktura pinggul.
Kondisi umum sehat dan tidak meminum obat sebelumnya. Tinggi 157 cm, berat 49 kg. Tinggal
sendiri, tidak minum alkohol, merokok. Untuk nyeri fraktura diberikan parasetamol sehari 4 x
1000 mg dan codein 4 x 30 mg. Keluhan : nyeri masih terasa.

PERTANYAAN:
1. Rekomendasi untuk nyeri yang masih dirasakan?
2. Jelaskan kontraindikasi dan peringatan untuk analgesik yang anda rekomendasikan!
3. Terapi adjuvan apa yang anda sarankan pada dokter untuk diberikan bersama analgesik
tersebut
4. Parameter apa yang harus dimonitor?
5. Setelah operasi tulang pinggul, wanita ini ternyata didiagnosis osteoporosis, apa yang
dimaksud osteoporosis?
6. Obat apa saja yang dapat menginduksi osteoporosis?
7. Jelaskan faktor risiko osteoporosis dan apa faktor risiko pasien ini?
8. Berikan saran anda untuk terapi nonfarmakologi!
9. Jelaskan pilihan terapi untuk osteoporosis

JAWABAN:
1. Pasien mendapat terapi parasetamol sehari 4 x 1000 mg dan codein 4 x 30 mg untuk
nyeri fraktura yang dialami namun nyeri masih terasa. Untuk mengatasi nyeri yang masih
terasa tersebut direkomendasikan dengan mengganti parasetamol dengan obat analgesik
golongan NSAID yaitu ibuprofen dengan dosis 1,2 gr perhari atau 4 x 300 mg per hari
(Martin, 2007).
2. Kontraindikasi dan perhatian untuk ibuprofen: NSAID harus digunakan dengan hati-hati
 pada orang tua, pada pasien dengan riwayat hipersensitivitas terhadap aspirin atau
 NSAID lain-yang meliputi orang-orang yang terserang asma, angioedema, urtikaria atau
rhinitis yang telah dipicu oleh aspirin atau NSAID lainnya), selama kehamilan dan
menyusui. Pada pasien dengan kerusakan ginjal, jantung, atau hati, pasien dengan gagal
 jantung parah, dan pasien dengan ulkus peptikum sebelumnya (Martin, 2007).
3. Terapi adjuvant yang disarankan kepada dokter untuk diberikan bersama dengan
ibuprofen adalah dengan pemberian golongan proton pump inhibitor   yaitu omeprazole 1
x 20 mg/hari untuk pencegahan ulkus sebagai efek samping dari penggunaan ibuprofen
(NSAID) (Martin, 2007).
4. Monitoring terapi
a. Monitoring Subjektif
Apakah pasien masih sering mengalami nyeri pada pinggang atau tidak.
 b. Monitoring Objektif
Pemeriksaan ulang massa tulang.
c. Monitoring ESO (Efek Samping Obat)
Efek samping Ibuprofen : Gastric distress, kehilangan darah, diare, muntah,
 pusing, ruam kulit dan kadang-kadang terjadi; ulserasi GI (Burns, 2008).
Efek samping Codein : insomnia (susah tidur), vertigo, sakit kepala, mual, muntah,
sembelit dengan dosis berulang, sedasi, dan palpitasi. Tidak dianjurkan untuk pasien
dengan hipersensitivitas dengan narkotika (Ehrenpreis, 2001).
5. Osteoporosis merupakan gangguan tulang yang ditandai dengan penurunan masa tulang
dan kerusakan jaringan tulang sehingga dapat menyebabkan kerapuhan tulang dan
meningkatkan risiko patah tulang ( Wells , et al , 2009)
6. Obat-obat yang dapat menginduksi terjadinya osteoporosis adalah pemberian
kortikosteroid oral (prednisone dengan dosis lebih besar dari 7,5 mg/hari), pengganti
hormone tiroid, beberapa obat antiepilepsi (seperti fenitoin, fenobarbital), dan
 penggunaan heparin dalam jangka panjang (lebih besar dari 15.000 samapai 30.000 unit
setiap hari selama lebih dari 3 sampai 6 bulan) (Burns, 2008).
7. Faktor resiko dari osteoporosis meliputi:
a) Factor genetik termasuk etnis KauKasia atau Asia, riwayat keluarga osteoporosis atau
 patah tulang, dan kerangka tubuh kecil (tinggi, kurus, indeks massa tubuh yang
rendah)
 b) Gaya hidup atau faktor makanan termasuk gaya hidup dengan dengan berolahraga
minimal, merokok, konsumsi alkohol yang berlebihan, paparan sinar matahari sedikit,
asupan kalsium yang rendah, intoleransi laktosa, asupan kafein yang tinggi, asupan
fosfor tinggi, asupan hewani yang tinggi, penurunan berat badan lebis besar daripada
10% setelah usia 50, dan anoreksia nervosa.
c) Factor ginekologi termasuk menarche akhir, operasi atau menepouse alami dini,
oophorectomy tanpa terapi pengganti estrogen, nulliparity, dan amenore.
d) Penyakit kronis yang dapat meningkatkan risiko sindrom termasuk hipertiroidisme,
cushing , kanker tulang, dan diabetes mellitus tipe I.
e) Obat-obat yang dapat meningkatkan risiko osteoporosis termasuk kortikosteroid,
suplemen tiroid, terapi heparin pada dosis tinggi dalam jangka panjang, dan
antikonvulsan.
(Burns, 2008)
Faktor resiko osteoporosis dari pasien adalah pasien merokok, pasien telah berusia 77
tahun dimana telah memasuki masa  postmenepouse, pasien pernah terjatuh dan
mengalami fraktur.
8. Terapi nonfarmakologi yang disarankan adalah pasien disarankan untuk berhenti
merokok, karena merokok dapat menyebabkan kehilangan massa tulang dan
meningkatkan terjadinya fraktur dengan berbagai mekanisme. Mengurangi konsumsi
kopi atau tidak lebih dari 2 cangkir kopi. Diet yang seimbang dengan asupan kalsium
dan vitamin D yang dapat diperoleh dari berbagai sumber makanan seperti susu rendah
lemak, yogurt, es krim, keju, susu kedelai, tahu, bayam, tuna, dan lain-lain.
Mengkonsumsi suplemen vitamin D dan kalsium untuk mencapai intake yang memadai.
Mencegah resiko jatuh dapat dengan menggunakan peralatan bantu seperti tongkat untuk
 berjalan (Burns, 2008).
9. Pilihan terapi untuk osteoporosis
Dalam pemilihan terapi untuk osteoporosis, pilihan pertama adalah dengan terapi
 pencegahan secara nonfarmakologi yaitu dengan asupan nutrisi yang tepat (mineral dan
elektrolit, vitamin, protein dan karbohidrat, mengkonsumsi suplemen kalsium dan
vitamin D untuk mencapai intake yang memadai, aktivitas fisik yang optimal (seperti
aerobic, melatih keseimbangan, melatih otot), gaya hidup sehat dengan tidak merokok,
meminimalkan alcohol, dan kafein, mencegah jatuh dan trauma.
Menurut Dipiro (2005), dibagi algoritma terapi dapat di b agi menjadi dua yaitu:
1. Pengobatan tanpa pengukuran BMD (Bone Mineral Density)
Pertimbangan terapi tanpa pengukuran BMD :
 Pria dan wanita dengan peningkatan risiko kerapuhan tulang
 Pria dan wanita yang menggunakan glukokortikoid dalam jangka waktu lama
Terapi dapat dilakukan dengan Biphosphonate, jika intolerance dengan
Biphosphonate pilihan terapi obat lainnya adalah Raloxifene, kalsitonin nasal,
teriparatide, bifosfonat parenteral. Jika kerapuhan tetap berlanjut setelah pemakaian
Biphosphonate, maka pilihan terapi lainnya adalah teriparatide

2. Pengobatan dengan pengukuran BMD (Bone Mineral Density)


Populasi yang perlu pengukuran BMD :
 Untuk wanita dengan usia ≥ 65 tahun.
 Untuk wanita usia 60-64 tahun postmenopause dengan peningkatan risiko
osteoporotis.
 Pria dengan 70 tahun atau yang risiko tinggi.
Dari hasil pengukuran BMD, jika T-score >-1, maka nilai BMD termasuk
normal, tetapi tetap diperlukan monitoring DXA setiap 1-5 tahun. Dan jika
diperlukan pengobatan, maka pilihan pengobatannya adalah Biphosponate,
Raloxifene, Calcitonin (Dipiro et.al , 2005).
Jika T-score -1 s/d -2,5, maka termasuk dalam osteopenia. Dapat
dilakukan monitoring DXA setiap 1-5 tahun. Dan jika diperlukan pengobatan, maka
 pilihan pengobatannya adalah Biphosponate, Raloxifene, Calcitonin
Jika T-score <-2,0 dilakukan pemeriksaan lanjut untuk osteoporosis
sekunder, yaitu dengan pengukuran PTH, TSH, 25-OH vitamin D, CBC, panel
kimia, tes kondisi spesifik. Kemudian dilakukan terapi berdasarkan penyebab, bila
ada, yaitu dengan Biphosphonate, jika intoleransi dengan Biphosphonate maka
 pilihan pengobatannya adalah Biphosphonate parenteral, Teriparatide, Raloxifene
dan Calcitonin.
Dari hasil pengukuran Osteoporosis dengan skor T < -2,5, terapi dapat
dilakukan dengan Biphosphonate, jika intolerance dengan Biphosphonate pilihan
terapi obat lainnya adalah Raloxifene, kalsitonin nasal, teriparatide, bifosfonat
 parenteral. Jika kerapuhan tetap berlanjut setelah pemakaian Biphosphonate, maka
 pilihan terapi lainnya adalah teriparatide.
Berikut adalah algoritma terapi osteoporosis (Dipiro et al , 2005).

LANJUTAN KASUS 1 OSTEOPOROSIS


Untuk terapi osteoporosis diberikan : alendronate seminggu 1 x 70 mg, kalsium dan
vitamin D, sehari 2 x 1 tablet.

PERTANYAAN:
1. Jelaskan mekanisme kerja alendronate!
2. Jelaskan efek samping alendronate!
3. Jelaskan interaksi alendronate dengan obat lainnya dan makanan!
4. Apa saran anda untuk aturan pakai obat2 tersebut?
5. Saran apa yang berkaitan dengan pemberian alendronat?
6. Pasien meminta informasi mengenai teripatide dan meminta saran anda tentang
kemungkinan pilihan tersebut. Berikan saran anda!
JAWABAN:
1. Mekanisme Kerja Alendronate
Alendronate merupakan obat golongan  Bisphosphonates yang merupakan  first
line therapy dalam mencegah patah tulang pinggul dan tulang belakang. Obat ini juga
 paling sering diresepkan untuk terapi osteoporosis. Alendronate menurunkan resorpsi
tulang dengan mengikat matriks tulang dan menghambat aktivitas osteoklas. Obat ini
tetap dalam tulang dalam waktu lama dan dilepaskan sangat lambat. Hal ini
menyebabkan terjadinya peningkatan densitas mineral tulang, yang merupakan penanda
 penting dari efek pengobatan. Penggunaan allendronate untuk osteoporosis juga terkait
dengan manfaat yang ditemukan dalam percobaan, yang menunjukkan penurunan resiko
fraktur yang lebih besar (Burns, 2008).
2. Efek Samping Alendronate
Efek samping yang di timbulkan oleh alendronat antara lain:
 Pada saluran pencernaan : nyeri perut, dispepsia, diare atau sembelit adalah efek
samping yang paling sering. Kondisi esofagus yang parah seperti esofagitis, erosi,
ulserasi, pernah dilaporkan. Ulser peptik juga telah dilaporkan.. Pasien harus
disarankan untuk berhenti minum obat dan menghubungi dokter apabila tdan mencari
 bantuan medis jika timbul gejala seperti disfagia, nyeri yang semakin memburuk,
nyeri saat menelan. Oleh karena itu pasien dengan gangguan esophagus tidak
disarankan untuk pemberian obat ini, dan juga untuk pasien yang mengalami
gangguan pada saluran pencernaan atas.
 Pada mata, seperti pembengkakak konjungtiva, pembengkakan pada kelopak mata
 pernah dilaporkan.
 Pada jantung, seperti aritmia, dan atrial fibrillation  pernah dilaporkan. Mekanisme
aritmia yang terjadi belum jelas, kemungkinan karena ko nsentrasi kalsium serum.
 Pada hati, seperti hepatitis dan kerusakan hepatoselular dan peningkatan enzim hati.
 Pada ginjal, gagal ginjal akut pernah dilaporkan.
 Pada muscuskeletal, seperti gangguan sinovitis pernah dilaporkan
 Pada mental, terjadinya halusinasi pernah dilaporkan.
 Hipersensitivitas, dapat menimbulkan reaksi alergi tapi jarang, seperti angiodema,
uritikaria, pruritis.(Sweetman, 2009)
3. Interaksi Alendronate dengan Obat Lain dan Makanan
Konsumsi alendronate bersamaan dengan adanya makanan dan suplemen kalsium
akan menurunkan penyerapan dari alendronate (Burns, 2008). Selain itu dapat pula
terjadi interaksi obat antara alendronate dengan beberapa obat lainnya, yaitu sebagai
 berikut :
 Obat yang meningkatkan efek / toksisitas alendronate : ranitidine dan aspirin.
 Obat yang mengurangi efek / toksisitas alendronate: seiring suplemen kalsium,
antasida.
Karena berbagai obat dapat menurunkan penyerapan alendronate, pasien harus
menunggu setidaknya 30 menit setelah minum obat sebelum mengkonsumsi alendronate
(Ehrenpreis, 2001).
4. Aturan Pakai obat dan Saran Terkait Pemberian Alendronat
Alindronate adalah aminobifosfat yang merupakan inhibitor poten resorpsi tulang dan
diberikan dalam pengelolaan osteoporosis baik sebagai agen tunggal ataupun dengan
vitamin D. alendronate digunakan untuk penyakit tulang paget. Selain itu obat ini juga
digunakan untuk pengobatan metastatis tulang dan hiperkalsemia yang ganas.
Alendronate diberikan oral sebagai garam natrium, tetapi dosis dinyatakan dalam asam
alendronic, alendronate 1,3 mg setara dengan sekitar 1 mg asam alendronic. Dosis yang
 biasa digunakan untuk pengobatan osteoporosisi pria dan wanita adalah 10 mg perhari.
Pascamenopause wanita dapat diberikan 5 mg setiap hari untuk profilaksis atau 70 mg
 perminggu dan 35 mg perminggu untuk profilaksis. Pria dengan osteoporosis dapat
diobati dengan 70 mg perminggu. Untuk pengobatan dan pencegahan osteoporosis yang
diinduksi kortikosteroid diberikan dosis 5 mg perhari. Wanita menopause yang tidak
mengambil HRT harus diberikan 10 mg perhari pada orang dewasa dengan tulang
diseaseof paget dosis biasa adalah 40 mg setiap hari selama 6 bulan. Pengobatan dapat
diulang jika diperlukan setelah selang waktu 6 bulan ( Sweetman,2009 ).

5. Saran apa yang berkaitan dengan pemberian alendronat?


Pasien harus diintruksikan meminum alendronate satu kali seminggu d engan dosis 70 mg,
dengan segelas penuh air pada pagi hari dan dalam waktu 30 menit sesudahnya tidak
 boleh makan atau minum yang lain. Alendronat dapat mengiritasi lapisan saluran
 pencernaan bagian atas, sehingga setelah meminumnya tidak boleh berbaring, minimal
selama 30 menit sesudahnya untuk menghindari refluks aliran kembali ke dalam
esophagus. Kalsium dan vitamin D dapat diminum dua kali sehari satu tablet, tidak
diminum bersamaan dengan alendronat karena dapat menurunkan absorbsi alendronat (
Sweetman,2009 ).

6. Pasien meminta informasi mengenai teripatide dan meminta saran anda tentang
kemungkinan pilihan tersebut. Berikan saran anda!

Teriparatide merupakan rekombinan hormon paratiroid manusia (1-34), adalah agen


anabolik pertama yang disetujui oleh FDA untuk pengobatan osteoporosis. Obat ini
umumnya digunakan untuk pasien dengan osteoporosis moderat hingga yang parah. Agen
ini berbeda dari terapi antiresorptif, dalam hal ini merangsang aktivitas osteoblastik untuk
membentuk tulang baru dengan pemberian sekali sehari. Teriparatide juga memiliki
 banyak aksi yang mirip dengan endogen hormon paratiroid, dan infus kontinyu
sebenarnya merangsang aktivitas osteoklastik dan meningkatkan resorpsi tulang. Dalam
suatu studi, sifat pembentuk tulangnya meningkatkan kepadatan mineral tulang pada
tulang belakang dan pinggul masing-masing sebesar 9% dan 3%. Setelah 21 bulan terapi,
 peningkatan ini menyebabkan 65% dan 35% penurunan patah tulang belakang dan
nonvertebral (Burns, 2008). Efek obat ini dalam meningkatkan  Bone Mass Density
(BMD) ketika digunakan secara tunggal ditemukan lebih besar daripada bila digunakan
dengan alendronate, atau penggunaan alendronate tunggal. Namun efikasi dalam
 pencegahan patah tulang yang kurang, menyebabkan obat ini digunakan sebagai lini
kedua untuk pasien yang tidak mampu atau kontraindikasi terhadap bisphosphonates
seperti alendronate (Sweetman, 2009).
Dosis teriparatide adalah 20 mcg diberikan secara injeksi subkutan sekali sehari.
Obat ini tersedia dalam multipledose-prefilled   dengan sistem pengiriman pena. Efek
samping yang umum termasuk mual, sakit kepala, kram kaki, pusing, ketidaknyamanan
 pada tempat injeksi, dan hiperkalsemia. Osteosarcoma telah diamati pada hewan uji,
tetapi tidak ada kasus telah dilaporkan pada manusia. Namun, ini menimbulkan
kekhawatiran sehingga menyebabkan dimasukkannya peringatan black box  di label
 produk. Selain itu terdapat peringatan bahwa teriparatide tidak boleh digunakan pada
 pasien dengan peningkatan risiko untuk osteosarcoma, termasuk pasien dengan penyakit
tulang paget, dimana dijelaskan peningkatan fosfatase alkali, radiasi sebelum terapi
melibatkan kerangka, dan / atau anak-anak dan dewasa muda dengan epiphyses terbuka.
Selain itu, teriparatide tidak boleh digunakan pada pasien yang sebelumnya sudah ada
hiperkalsemia atau terapi radiasi tulang (Burns, 2008)
7. Saran untuk Penggunaan Teriparatide
Pada kasus ini penggunaan teriparatide sebaiknya tidak dilakukan. Hal ini
dikarenakan melihat dari kondisi pasien yang tidak memiliki kontraindikasi terhadap
 penggunaan alendronate, maka sebaiknya alendronate menjadi pilihan pertama untuk
 pengobatan dalam kasus ini. Hal ini dikarenakan walaupun teriparatide memiliki
kemampuan untuk meningkatkan  Bone Mass Density (BMD) yang lebih besar ketika
digunakan secara tunggal dibandingkan penggunaan alendronate, namun efikasi dalam
 pencegahan patah tulang dari teriparatide lebih rendah, sehingga obat ini umumnya
digunakan sebagai lini kedua untuk pasien osteoporosis. Selain itu terdapat penelitian
yang menunjukkan bahwa teriparatide meningkatkan resiko osteosarcoma yang telah
diamati pada hewan uji, walaupun belum ada kasus yang telah dilaporkan pada manusia.
Kekhawatiran pasien terhadap penggunaan obat ini juga terkait dengan biaya terapi yang
 besar dan kebutuhan suntikan subkutan yang mempengaruhi kenyamanan pasien pada
 penggunaan teriparatide (Burns, 2008).

Anda mungkin juga menyukai