Anda di halaman 1dari 29

MATA KULIAH HIV/AIDS

DISUSUN OLEH:

WIDYA OKTAVIONA
NIM: 616080715054

PRODI SARJANA KEPERAWATAN DAN PENDIDIKAN PROFESI NERS


STIKES MITRA BUNDA PERSADA BATAM
TAHUN AJARAN 2018/2019
1,2. Permasalahan terkait HIV dan penyalahgunaan NAPZA berdasarkan hasil penelitian

dan riset

1) Latar Belakang peningkatan kasus HIV/AIDS di dunia

Penyakit HIV/AIDS merupakan suatu penyakit yang terus berkembang dan

menjadi masalah global yang melanda dunia. Masalah HIV/AIDS diyakini bagaikan

fenomena gunung es karena jumlah kasus yang dilaporkan tidak mencerminkan masalah

yang sebenarnya (Hardisman, 2009). Pada akhir tahun 2016 diestimasikan 36,7 juta

orang di dunia hidup dengan HIV, sebanyak 1,8 juta orang baru terinfeksi HIV, dan

menyebabkan 1 juta kematian pada tahun 2016 (WHO, 2017). Di dunia tercatat 34,5 juta

orang terjangkit HIV dengan penderita wanita sebesar 17,8 juta sedangkan penderita

anak berusia kurang dari 15 tahun 2,1 juta (UNAIDS, 2017). Asia Tenggara menduduki

peringkat kedua sebagai penderita HIV terbanyak setelah Afrika, yakni sebesar 3,5 juta

orang dengan 39% penderita HIV merupakan wanita dan anak perempuan (WHO, 2016).

Pada tahun 2015, Indonesia menduduki peringkat kedua yang diestimasikan

sebagai penyumbang orang dengan HIV/AIDS terbanyak di Asia Tenggara setelah India

(60%) yakni sebesar 20% atau 690.000 ODHA (WHO, 2016). Tahun 2016, Indonesia

mengalami kenaikan kejadian insiden HIV menjadi 41.250 orang yang sebelumnya

sebesar 30.935 orang pada tahun 2015 (Ditjen P2P Kemenkes RI, 2016).

2) Penyebaran kasus HIV/AIDS di Indonesia

Hasil estimasi dan proyeksi jumlah orang dengan HIV/AIDS pada umur > 15

tahun di Indonesia pada tahun 2016 sebanyak 785.821 orang dengan jumlah infeksi baru

sebanyak 90.915 orang dan kematian sebanyak 40.349 orang (Ditjen P2P Kemenkes RI,

2016). Menurut jenis kelamin, penderita HIV/AIDS pada laki-laki masih lebih besar
dibandingkan perempuan. HIV positif pada laki-laki sebesar 63,3% dan pada perempuan

sebesar 36,7%. Sedangkan penderita AIDS pada laki-laki sebesar 67,9% dan pada

perempuan sebesar 31,5%. Proporsi HIV/AIDS terbesar masih pada penduduk usia

produktif (15-49 tahun) yang dibagi dalam tiga golongan umur yaitu 15-19 tahun (3,7%),

20-24 tahun (17,3%), dan 25-49 tahun (69,3%), dimana kemungkinan penularan terjadi

pada usia remaja (Kemenkes RI, 2017).

3) Epidemi HIV di beberapa Negara

daftar negara menurut prevalensi HIV/AIDS pada orang dewasa. Sebagian besar data di

halaman ini diperoleh dari CIA World Factbook. Pada tahun 2015, diperkirakan terdapat

36,7 juta pengidap HIV di seluruh dunia, Pandemik yang paling parah terjadi di Afrika

Sub-Sahara dengan tingkat prevalensi yang melebihi 6%. Prevalensi HIV pada orang

dewasa bahkan melebihi 20% di Swaziland, Botswana, dan Lesotho. Di luar Afrika,

Bahama merupakan negara dengan prevalensi terbesar (3,3%).Berdasarkan angka

absolut, negara-negara dengan jumlah kasus HIV/AIDS terbesar adalah Afrika Selatan

(7.1 juta), Nigeria (3.2 juta) dan India (2.1 juta) (berdasarkan data akhir tahun

2016).Sementara itu, Kepulauan Svalbard sama sekali tidak memiliki pengidap

HIV/AIDS, sementara Bhutan memiliki populasi yang besar tetapi hanya terdapat 246

kasus HIV/AIDS pada tahun 2011.

4) Epidemi HIV di beberapa provinsi di Indonesia

Kasus HIV/AIDS, tersebar di berbagai daerah. Namun, ada 12 provinsi yang memiliki

jumlah kasus penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh terbanyak. Daerah

tersebut, yaitu DKI Jakarta, Papua, Papua Barat, Jawa Timur, Jawa Barat, Bali, Sumatera

Utara, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Riau dan DI Yogyakarta.
5) Level dari epidemi HIV

Status epidemik HIV dan AIDS di Indonesia sudah dinyatakan pada tingkat concentrated

epidemic level oleh karena angka prevalensi kasus HIV dan AIDS di kalangan sub

populasi tertentu di atas 5%. Hasil Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku (STHP) tahun

2009 menunjukkan angka estimasi Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) di kalangan

wanita penjaja seks (WPS) langsung 6%, WPS tidak langsung 2%, waria 6%, pelanggan

WPS 22%, pasangan pelanggan 7%, lelaki seks lelaki (LSL) 10%, warga binaan 5%,

pengguna napza suntik (penasun) 37%, dan pasangan seks penasun 5%. Bahkan di

Provinsi Papua dan Papua Barat status epidemi sudah memasuki tingkatan generalized

epidemic level oleh karena prevalensi HIV pada masyarakat umum khususnya populasi

15-49 tahun sudah mencapai 2,4%. Epidemi HIV dan AIDS di Indonesia terkonsentrasi

pada populasi kunci, yang berasal dari dua cara penularan utama yaitu transmisi seksual

dan penggunaan napza suntik. Jumlah kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan di

Indonesia meningkat tajam dari 7.195 di tahun 2006 menjadi 76.879 di tahun 2011

(Kemkes, Laporan Situasi HIV dan AIDS di Indonesia, tahun 2006 dan 2011). Menurut

estimasi nasional infeksi HIV tahun 2009, diperkirakan terdapat 186.257 orang terinfeksi

HIV dan 6,4 juta orang berisiko tinggi terinfeksi HIV di Indonesia (Kemkes, Estimasi

Penduduk Dewasa yang Berisiko Terinfeksi HIV, 2009).

6) Dampak HIV di Negara Berkembang

a. Dampak Ekonomi HIV/AIDS

Menurut Pardita (2014) dampak HIV/AIDS di bidang ekonomi dapat

dilihat dari dua sisi, yaitu dampak secara langsung dan secara tidak langsung.
Dampak ini dimulai dari tingkat individu, keluarga, masyarakat dan akhirnya pada

negara bahkan dunia.

b. Dampak Sosial

ODHA menghadapi berbagai masalah dan penderitaan sehubungan

dengan penyakit yang ia derita. ODHA menderita akibat gejala penyakitnya

seperti demam, batuk, sesak napas, diare, lemas, dan lain sebagainya. Selain itu

masalah sehari-hari lainnya yang dihadapi penderita penyakit berat pun dialami

oleh ODHA. Mereka pada umumnya mengalami depresi, merasa tertekan dan

merasa tidak berguna, bahkan ada yang memiliki keinginan untuk bunuh diri. Ini

adalah akibat dari stigmatisasi atau hukuman sosial dan diskriminasi masyarakat

terhadap informasi mengenai AIDS dan ODHA. Penolakan dan pengabaian yang

dilakukan oleh orang lain, terutama oleh keluarga akan menambah depresi yang

dialaminya (Djoerban, 1999) dalam Apri Astuti dan Kondang Budiyani (2008).

c. Dampak Psikologi

Pardita (2014) menyatakan bahwa ODHA pada umumnya berada pada

kondisi yang membuat penderita merasakan menjelang kematian dalam waktu

dekat. Seseorang yang dinyatakan telah terinfeksi HIV, pada umumnya

menunjukkan perubahan karakter psikososial. Pasien yang dinyatakan telah

terinfeksi HIV akan mengalami masalah fisik, psikologis, sosial, dan spiritual.

Masalah psikologis yang muncul adalah stres, keyakinan diri yang rendah dan

kecemasan.
7) Artikel ilmiah mengenai isue HIV/AIDS di dunia Global yang bersumberdari

jurnal ilmiah

Ancaman HIV dan AIDS di Kawasan Afrika

HIV dan AIDS merupakan sebuah penyakit menular yang menyerang sistem kekebalan

tubuh manusia. Fase mulai dari seseorang tertular HIV sampai memasuki AIDS adalah

fase yang cukup panjang dan membutuhkan waktu lama. Namun, yang perlu diingat,

pengobatan yang dijalani oleh ODHA pun tidak semerta-merta membunuh HIV yang

ada di dalam darah manusia. ART hanya berfungsi melemahkan virus tersebut sehingga

dapat memperpanjang waktu infeksi virus ke fase yang lebih serius. Kawasan dengan

angka kasus HIV dan AIDS terbanyak di dunia adalah kawasan Afrika. Penulis berhasil

mengidentifikasi tiga ancaman dari HIV dan AIDS kepada kawasan ini. Ancaman

pertama adalah ancaman sebagai akibat dari perpindahan penduduk. Sama dengan

kawasan lain di dunia, perpindahan penduduk adalah hal yang wajar di kawasan Afrika,

apalagi di era yang modern seperti sekarang. Hal yang paling banyak mendorong

seseorang untuk pindah adalah faktor ekonomi (Mmbaga dkk. 2008). Faktor ekonomi

membuat sebagian besar orang rela pindah, merantau ke tempat yang jauh, dan harus

berpisah dengan keluarga serta pasangannya dalam kurun waktu tertentu (Boerma dkk.

2002, Bwayo dkk. 1994, Zuma dkk. 2003). Oleh sebab itu, destinasi yang paling banyak

dituju adalah perkotaan demi mendapatkan pekerjaan dan upah yang lebih baik. Suatu

ketika, tingkat perpindahan penduduk di desa terus meningkat dan, di sisi lain,

penyebaran HIV juga mengalami peningkatan. Beberapa studi pun dilaukan untuk

mengetahui hubungan antara perpindahan penduduk dengan penyebaran HIV dan AIDS
di kawasan pedesaan (Zuma dkk. 2003, Coffee dkk. 2005, Kishamawe dkk. 2006).

Semua studi tersebut memiliki hasil penelitian yang sama bahwa perpindahan penduduk

memang berperan dalam penyebaran HIV dan AIDS di pedesaan Afrika. Ada dua

penjelasan terkait kesimpulan tersebut. Pertama, perilaku tenaga kerja dari desa selama

berada di kota cenderung terlibat dalam aktivitas seksual berisiko (Coffee, Lurie, dan

Garnett 2007). Aktivitas seksual berisiko tersebut meningkatkan kemungkinan mereka

menderita IMS yang kemudian mengantar mereka ke penularan HIV. Alasan mereka

terlibat dalam hubungan seksual berisiko adalah karena mereka masih memiliki

dorongan atau hasrat untuk bereproduksi, namun pasangannya sedang tidak berada di

dekat mereka (Lurie dkk. 2003). Ketidakhadiran pasangan dan dorongan seksual tersebut

mendorong mereka untuk memilih alternatif yaitu dengan mencari pasangan yang lain.

Jadi, ketika mereka kembali ke daerah asalnya dan berhubungan seksual dengan

pasangannya, tidak menutup kemungkinan bahwa pasangan tersebut juga akan tertular

HIV. Penjelasan kedua karena tenaga kerja yang mengetahui statusnya sebagai ODHA

cenderung memilih ke daerah asalnya daripada tetap tinggal di daerahnya bekerja (Clark

dkk. 2007). Hal itu mereka lakukan agar ada seseorang yang merawatnya dan karena

mereka merasa lebih menyatu dengan lingkungan daerah asalnya. Padahal, daerah asal

mereka merupakan tempat yang minim fasilitas kesehatan. Ancaman HIV dan AIDS ke

orang-orang di daerah asalnya pun semakin besar. Ancaman kedua datang dari tidak

meratanya persebaran layanan kesehatan. Salah satu upaya penanggulangan kasus HIV

dan AIDS adalah dengan meningkatkan jumlah 752


layanan kesehatan yang berarti meningkatkan pula jumlah tenaga medis dan jumlah

ART untuk para ODHA. Namun sayang, penyebaran layanan kesehatan tersebut masih

berpusat di daerah perkotaan sehingga masih belum banyak orang yang dapat

mengaksesnya, terutama orang-orang di kawasan pedesaan. Di Afrika Selatan, sebagian

besar klinik kesehatan yang menyediakan layanan tes dan pengobatan HIV hanya ada di

kota-kota besar sehingga orang-orang harus menempuh jarak kurang lebih 50 km untuk

mencapai klinik tersebut (Wilson dan Blower 2007). Padahal, orang-orang di pedesaan

pun juga membutuhkan perawatan dan pengobatan. Kemudian ancaman terakhir dari

HIV dan AIDS adalah menurunnya jumlah dan kapasitas tenaga kesehatan. Para tenaga

kesehatan adalah pihak yang juga rentan tertular HIV dan AIDS karena mereka banyak

terlibat dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS. Sekitar 15% tenaga kesehatan

di sejumlah wilayah memutuskan untuk berhenti karena positif menderita HIV atau

AIDS, dan sebagian besar lainnya tetap melanjutkan pekerjaan meski menderita HIV

(Zambia Human Development Report 2007, Malawi Human Development Report 2005,

Zimbabwe Human Development Report 2003). Tanpa tenaga kesehatan yang memadai,

upaya penanggulangan HIV dan AIDS pun juga mengalami penurunan. Di sisi lain,

HIV dan AIDS di kawasan Afrika menurunkan minat anak-anak untuk belajar. Di

Afrika, anak-anak yang terdaftar masuk di tingkat Sekolah Dasar masih kurang dari 65%

(United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization n.d). Sementara itu,

jumlah anak yang harus putus sekolah karena tekanan AIDS lebih banyak lagi. Beberapa

jenis tekanan yang dimaksud adalah tuntutan merawat anggota keluarga yang menderita

AIDS, tuntutan mencari nafkah untuk pengobatan ODHA, menghidupi keseharian

ODHA, atau bahkan tertular AIDS itu sendiri. Dampaknya adalah anak-anak tersebut
tidak berkapasitas untuk mencari nafkah dengan layak di kemudian hari karena mereka

tidak memiliki kemampuan-kemampuan tertentu. Apabila dibiarkan terus menerus,

kualitas anak-anak tidak akan ada yang mampu menjadi tenaga kesehatan yang sangat

dibutuhkan oleh orang-orang di sekitar mereka.

3. a. Kelompok resiko penyalahgunaan NAPZA

 Faktor yang berpengaruh dalam perubahan perilaku beresiko penyalahgunaan

NAPZA

Berkembangnya jumlah pecandu NAPZA ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor

dari dalam (internal) diri meliputi: minat, rasa ingin tahu, lemahnya rasa

ketuhanan, kesetabilan emosi. Faktor yang kedua adalah faktor dari luar

(eksternal) diri meliputi: gangguan psikososial keluarga, lemahnya hukum

terhadap pengedar dan pengguna narkoba, lemahnya sistem sekolah termasuk

bimbingan konseling, lemahnya pendidikan agama.Tujuan penelitian untuk

menganalisis faktor Internal (Intelegensia, Kepribadian, Karakteristik Usia,

Pendidikan) dan faktor Eksternal (Kesempatan, Dukungan Keluarga,Teman

Sebaya, Masyarakat) yang mempengaruhi perilaku pecandu penyalahguna

NAPZA

b. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam perubahan perilaku beresiko

terhadap HIV/AIDS

 Faktor yang berpengaruh dalam perubahan dalam perubahan perilaku beresiko

terhadap HIV/AIDS

Perubahan perilaku kesehatan seseorang dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor

predisposing, enabling, reinforcing.


 Faktor Predisposing (Predisposisi)

Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap

kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang

berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat

pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya.

Sikap terhadap pencegahan HIV/AIDS

Sikap (attitude) merupakan konsep yang sangat penting dalam


komponen sosio-psikologis, karena merupakan kecenderungan untuk
bertindak dan berpersepsi. Sikap masih merupakan reaksi yang tertutup
dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek.
Menurut Newcomb dalam Notoatmodjo (2007) sikap adalah
kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan
pelaksanaan motif tertentu. Dalam kata lain fungsi sikap belum merupakan
tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan
predisposisi perilaku (tindakan) atau reaksi tertutup.
Sikap terdiri dari 4 tingkatan, yaitu:
a. Menerima (receiving) diartikan bahwa hanya subjek mau menerima
stimulus yang diberikan objek.
b. Menanggapi (responding) diartikan memberikan jawaban atau
tanggapan terhadap objek yang dihadapi.
c. Menghargai (valuing) diartikan subjek memberikan nilai yang positif
terhadap objek.
d. Bertanggung jawab (responsible) diartikan berani mengambil risiko
terhadap sikap yang sudah diambil.
Tingkat Pendidikan
Menurut Undang- Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 pasal
1 ayat 1 menyatakan bahwa pendidikan sebagai proses yang di
dalamnya seseorang belajar untuk mengetahui, mengetahui,
mengembangkan kemampuan, sikap dan bentukbentuk tingkah laku
lainnya untuk menyesuaikan dengan lingkungan dimana dia hidup.
Tujuan pokok pendidikan adalah membentuk orang-orang yang
berpribadi, berperikemanusiaan maupun menjadi anggota masyarakat
yang dapat mendidik dirinya sesuai dengan watak masyarakat itu
sendiri, mengurangi beberapa kesulitan atau hambatan perkembangan
hidupnya dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup maupun
mengatasi problematikanya (N.Shaleh Ahmad, 2011).
Usia.
Usia merupakan lama masa hidup seseorang terhitung dari waktu
kelahirannya sampai berlangsungnya penelitian dalam hitungan tahun
(Mutia, 2008). Usia menjadi salah satu faktor mempengaruhi perilaku
berisiko HIV/AIDS. Terdapat hubungan antara umur dengan tindakan
berisiko HIV (p=0,000). Semakin rendah umur seseorang maka akan
meningkatkan perilaku berisiko HIV dengan r= 0,653 (Efrina KA Purba
dkk, 2011).

 Faktor Enabling (Pemungkin)

Faktor pemungkin merupakan faktor yang mencakup berbagai

keterampilan dan sumber daya, dimana keterampilan dan sumber daya

merupakan poin penting yang diperlukan untuk melakukan perubahan

perilaku kesehatan. Sumber daya itu meliputi fasilitas pelayanan

kesehatan, personalia klinik atau sumber daya yang serupa itu. Faktor

pemungkin ini juga menyangkut keterjangkauan berbagai sumber daya,

biaya, jarak ketersediaan transportasi, waktu dan sebagainya.

Keterpaparan Informasi HIV/AIDS


Informasi merupakan sekumpulan fakta yang diolah dengan cara
tertentu sehingga mempunyai arti bagi penerima. Data yang telah diolah
menjadi sesuatu yang berguna bagi penerima serta dapat memberikan
pengetahuan. Berdasarkan penelitian Rahman dan Esti (2011) mengenai
faktor- faktor yang mempengaruhi perilaku pencegahan HIV/AIDS pada
remaja bahwa keterpaparan informasi mempengaruhi perilaku pencegahan
HIV/AIDS dengan nilai p= 0,019.
Ketersediaan VCT Voluntary Counseling And Testing (VCT)
kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis,
informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV,
mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan
ARV dan memastikan pemecahan masalah berbagai masalah terkait
dengan HIV/AIDS (Depkes RI, 2008). Kegiatan konseling yang
menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan
HIV/AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan
perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan ARV dan memastikan
pemecahan masalah berbagai masalah kesehatan terkait dengan
HIV/AIDS (Depkes RI, 2006).

 Faktor Reinforcing (Penguat)

Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh

masyarakat, tokoh agama dan para petugas kesehatan. Termasuk juga

disini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun

pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku

sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan

sikap positif serta dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku

contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama dan para petugas

terlebih lagi petugas kesehatan. Di samping itu, undang-undang juga

diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut.


4. Pencegahan HIV pada kelompok resiko

 Pencegahan primer , Sekunder, Tersier klien dengan HIV/AIDS

- Pencegahan primer

terjadi sebelum sistem bereaksi terhadap stressor, meliputi : promosi

kesehatan dan mempertahankan kesehatan. Pencegahan primer

mengutamakan pada penguatan flexible lines of defense dengan cara

mencegah stress dan mengurangi faktor-faktor resiko. Intervensi dilakukan

jika resiko atau masalah sudah diidentifikasi tapi sebelum reaksi terjadi.

Strateginya mencakup : immunisasi, pendidikan kesehatan, olah raga dan

perubahan gaya hidup.

Ada 3 pola penyebaran virus HIV, yakni :

1. Melalui hubungan seksual.


HIV dapat menyebar melalui hubungan seks pria ke wanita, wanita
ke pria maupun pria ke pria. Hubungan melalui seks ini dapat tertular
melalui cairan tubuh penderita HIV yakni cairan mani, cairan vagina dan
darah.
Upaya pencegahannya adalah dengan cara, tidak melakukan
hubungan seksual bagi orang yang belum menikah, dan melakukan
hubungan seks hanya dengan satu pasangan saja yang setia dan tidak
terinfeksi HIV atau tidak berganti-ganti pasangan. Juga mengurangi
jumlah pasangan seks sesedikit mungkin. Hindari hubungan seksual
dengan kelompok resiko tinggi menular AIDS serta menggunakan
kondom pada saat melakukan hubungan seksual dengan kelompok risiko
tinggi tertular AIDS dan pengidap HIV.
2. Melalui darah.
Penularan AIDS melalui darah terjadi dengan cara transfusi yang
mengandung HIV, penggunaan jarum suntik atau alat tusuk lainnya
(akupuntur, tato, tindik) bekas digunakan orang yang mengidap HIV tanpa
disterilkan dengan baik. Juga penggunaan pisau cukur, gunting kuku, atau
sikat gigi bekas pakai orang yang mengidap virus HIV.
Upaya pencegahannya dengan cara, darah yang digunakan untuk
transfusi diusahakan terbebas dari HIV dengan memeriksa darah donor.
Pencegahan penyebaran melalui darah dan donor darah dilakukan dengan
skrining adanya antibodi HIV, demikian pula semua organ yang akan
didonorkan, serta menghindari transfusi, suntikan, jahitan dan tindakan
invasif lainnya yang kurang perlu.
Upaya lainnya adalah mensterilisasikan alat-alat (jarum suntik,
maupun alat tusuk lainnya) yang telah digunakan, serta mensterilisasikan
alat-alat yang tercemar oleh cairan tubuh penderita AIDS. Kelompok
penyalahgunaan narkotika harus menghentikan kebiasaan penyuntikan
obat ke dalam badannya serta menghentikan kebiasaan menggunakan
jarum suntik bersamaan. Gunakan jarum suntik sekali pakai (disposable).
3. Melalui ibu yang terinfeksi HIV kepada bayinya.
Penularan dapat terjadi pada waktu bayi masih berada dalam
kandungan, pada waktu persalinan dan sesudah bayi dilahirkan serta pada
saat menyusui. ASI juga dapat menularkan HIV, tetapi bila wanita sudah
terinfeksi pada saat mengandung maka ada kemungkinan bayi yang
dilahirkan sudah terinfeksi HIV. Maka dianjurkan agar seorang ibu tetap
menyusui anaknya sekalipun HIV.
Bayi yang tidak diberikan ASI berisiko lebih besar tertular
penyakit lain atau menjadi kurang gizi. Bila ibu yang menderita HIV
tersebut mendapat pengobatan selama hamil maka dapat mengurangi
penularan kepada bayinya sebesar 2/3 daripada yang tidak mendapat
pengobatan.
WHO mencanangkan empat strategi untuk mencegah penularan
vertikal dari ibu kepada anak yaitu dengan cara mencegah jangan sampai
wanita terinfeksi HIV/AIDS, apabila sudah terinfeksi HIV/AIDS
mengusahakan supaya tidak terjadi kehamilan, bila sudah hamil dilakukan
pencegahan supaya tidak menular dari ibu kepada bayinya dan bila sudah
terinfeksi diberikan dukungan serta perawatan bagi ODHA dan
keluarganya

- Pencegahan Sekunder

Meliputi berbagai tindakan yang dimulai setelah ada gejala dari stressor.

Pencegahan sekunder mengutamakan pada penguatan internal lines of

resistance, mengurangi reaksi dan meningkatkan faktor-faktor resisten

sehingga melindungi struktur dasar melalui tindakan-tindakan yang tepat

sesuai gejala. Tujuannya adalah untuk memperoleh kestabilan sistem secara

optimal dan memelihara energi. Jika pencegahan sekunder tidak berhasil dan

rekonstitusi tidak terjadi maka struktur dasar tidak dapat mendukung sistem

dan intervensi-intervensinya sehingga bisa menyebabkan kematian.

Infeksi HIV/AIDS menyebabkan menurunnya sistem imun secara

progresif sehingga muncul berbagai infeksi oportunistik yang akhirnya dapat

berakhir pada kematian. Sementara itu, hingga saat ini belum ditemukan obat

maupun vaksin yang efektif. sehingga pengobatan HIV/AIDS dapat dibagi

dalam tiga kelompok sebagai berikut :

a) Pengobatan suportif yaitu pengobatan untuk meningkatkan


keadaan umum penderita. Pengobatan ini terdiri dari pemberian
gizi yang baik, obat simptomatik dan pemberian vitamin.
b) Pengobatan infeksi opurtunistik merupakan pengobatan untuk
mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai
infeksi HIV/AIDS. 28 Jenis-jenis mikroba yang menimbulkan
infeksi sekunder adalah protozoa (Pneumocystis carinii,
Toxoplasma, dan Cryptotosporidium), jamur (Kandidiasis), virus
(Herpes, cytomegalovirus/CMV, Papovirus) dan bakteri
(Mycobacterium TBC, Mycobacterium ovium intra cellular,
Streptococcus, dll). Penanganan terhadap infeksi opurtunistik ini
disesuaikan dengan jenis mikroorganisme penyebabnya dan
diberikan terus-menerus.
c) Pengobatan antiretroviral (ARV), ARV bekerja langsung
menghambat enzim reverse transcriptase atau menghambat kinerja
enzim protease. Pengobatan ARV terbukti bermanfaat
memperbaiki kualitas hidup, menjadikan infeksi opurtunistik
Universitas Sumatera Utara menjadi jarang dan lebih mudah
diatasi sehingga menekan morbiditas dan mortalitas dini, tetapi
ARV belum dapat menyembuhkan pasien HIV/AIDS ataupun
membunuh HIV.

- Pencegahan Tersier

Dilakukan setelah sistem ditangani dengan strategi-strategi pencegahan

sekunder. Pencegahan tersier difokuskan pada perbaikan kembali ke arah

stabilitas sistem klien secara optimal. Tujuan utamanya adalah untuk

memperkuat resistansi terhadap stressor untuk mencegah reaksi timbul

kembali atau regresi, sehingga dapat mempertahankan energi. Pencegahan

tersier cenderung untuk kembali pada pencegahan primer.

ODHA perlu diberikan dukungan berupa dukungan psikososial agar

penderita dapat melakukan aktivitas seperti semula/seoptimal mungkin.

Misalnya :

a. Memperbolehkannya untuk membicarakan hal-hal tertentu dan

mengungkapkan perasaannya.

b. Membangkitkan harga dirinya dengan melihat keberhasilan

hidupnya atau mengenang masa lalu yang indah.


c. Menerima perasaan marah, sedih, atau emosi dan reaksi lainnya.

d. Mengajarkan pada keluarga untuk mengambil hikmah, dapat

mengendalikan diri dan tidak menyalahkan diri atau orang lain.

e. Selain itu perlu diberikan perawatan paliatif (bagi pasien yang

tidak dapat disembuhkan atau sedang dalam tahap terminal) yang

mencakup, pemberian kenyamanan (seperti relaksasi dan distraksi,

menjaga pasien tetap bersih dan kering, memberi toleransi

maksimal terhadap permintaan pasien atau keluarga), pengelolaan

nyeri (bisa dilakukan dengan teknik relaksasi, pemijatan, distraksi,

meditasi, maupun pengobatan antinyeri), persiapan menjelang

kematian meliputi penjelasan yang memadai tentang keadaan

penderita, dan bantuan mempersiapkan pemakaman.

5. Pencegahan penyalahgunaan NAPZA

 Pencegahan Primer, Sekunder dan Tersier klien dengan penyalahgunaan

NAPZA

- Pencegahan primer : mengenali remaja resiko tinggi penyalahgunaan NAPZA

dan melakukan intervensi. Upaya ini terutama dilakukan untuk mengenali

remaja yang mempunyai resiko tinggi untuk menyalahgunakan NAPZA,

setelah itu melakukan intervensi terhadap mereka agar tidak menggunakan

NAPZA. Upaya pencegahan ini dilakukan sejak anak berusia dini, agar faktor

yang dapat menghabat proses tumbuh kembang anak dapat diatasi dengan

baik.
- Pencegahan Sekunder : mengobati dan intervensi agar tidak lagi

menggunakan NAPZA.

- Pencegahan Tersier : merehabilitasi penyalahgunaan NAPZA.

6. a. Dampak HIV/AIDS dalam kehidupan

1. Dampak NAPZA Terhadap Individu.


Memang sangatlah berbahaya bagi manusia. NAPZA dapat merusak kesehatan
manusia baik secara fisik, emosi, maupun perilaku pemakainya. Bahkan, pada
pemakaian dengan dosis berlebih atau yang dikenal dengan istilah over dosis (OD) bisa
mengakibatkan kematian tapi masih saja yang menyalahgunakannya (di dalam Masjid,
2007).
a. Dampak NAPZA terhadap fisik pemakai NAPZA akan mengalami gangguan-
gangguan fisik sebagai berikut berat badannya akan turun secara drastis, matanya
akan terlihat cekung dan merah, mukanya pucat, bibirnya menjadi kehitam-hitaman,
tangannya dipenuhi bintik-bintik merah., buang air besar dan kecil kurang lancer,
sembelit atau sakit perut tanpa alasan yang jelas. b. Dampak NAPZA terhadap
emosi pemakai NAPZA akan mengalami perubahan emosi sebagai berikut sangat
sensitif dan mudah bosan , jika ditegur atau dimarahi, pemakai akan menunjukkan
sikap membangkang , emosinya tidak stabil, Kehilangan nafsu makan.
b. Dampak NAPZA terhadap perilaku pemakai NAPZA akan menunjukkan perilaku
negatif sebagai berikut malas sering melupakan tanggung jawab, jarang
mengerjakan tugas-tugas rutinnya menunjukan sikap tidak peduli, menjauh dari
keluarga, mencuri uang di rumah, sekolah, ataupun tempat pekerjaan,
menggadaikan barang-barang berharga di rumah, sering menyendiri menghabiskan
waktu ditempat-tempat sepi dan gelap, seperti di kamar tidur, kloset, gudang, atau
kamar, takut akan air ,batuk dan pilek berkepanjangan,bersikap manipulatif, sering
berbohong dan ingkar janji dengan berbagai macam alasan, sering menguap,
mengaluarkan keringat berlebihan, sering mimpi buruk, sakit kepala, nyeri sendi (di
dalam Masjid, 2007).
DAMPAK PENYALAHGUNAAN NAPZA
Narkotika dan obat terlarang serta zat adiktif / psikotropika dapat menyebabkan efek
dan dampak negatif bagi pemakainya. Danmpak yang negatif itu sudah pasti merugikan
dan sangat buruk efeknya bagi kesehatan mental dan fisik.Meskipun demikian terkadang
beberapa jenis obat masih dipakai dalam dunia kedokteran, namun hanya diberikan bagi
pasien-pasien tertentu, bukan untuk dikonsumsi secara umum dan bebas oleh masyarakat.
Oleh karena itu obat dan narkotik yang disalahgunakan dapat menimbulkan berbagai
akibat yang beraneka ragam.

A. Dampak Tidak Langsung Narkoba Yang Disalahgunakan

1. Akan banyak uang yang dibutuhkan untuk penyembuhan dan perawatan kesehatan
pecandu jika tubuhnya rusak digerogoti zat beracun.

2. Dikucilkan dalam masyarakat dan pergaulan orang baik-baik. Selain itu biasanya
tukang candu narkoba akan bersikap anti sosial.\

3. Keluarga akan malu besar karena punya anggota keluarga yang memakai zat terlarang.

4. Kesempatan belajar hilang dan mungkin dapat dikeluarkan dari sekolah atau perguruan
tinggi alias DO / drop out.

5. Tidak dipercaya lagi oleh orang lain karena umumnya pecandu narkoba akan gemar
berbohong dan melakukan tindak kriminal.

6. Dosa akan terus bertambah karena lupa akan kewajiban Tuhan serta menjalani
kehidupan yang dilarang oleh ajaran agamanya.

7. Bisa dijebloskan ke dalam tembok derita / penjara yang sangat menyiksa lahir
batin.Biasanya setelah seorang pecandu sembuh dan sudah sadar dari mimpi-
mimpinya maka ia baru akan menyesali semua perbuatannya yang bodoh dan banyak
waktu serta kesempatan yang hilang tanpa disadarinya. Terlebih jika sadarnya ketika
berada di penjara. Segala caci-maki dan kutukan akan dilontarkan kepada benda haram
tersebut, namun semua telah terlambat dan berakhir tanpa bisa berbuat apa-apa.
B. Dampak Langsung Narkoba Bagi Jasmani / Tubuh Manusia

1. Gangguan pada jantung

2. Gangguan pada hemoprosik

3. Gangguan pada traktur urinarius

4. Gangguan pada otak

5. Gangguan pada tulang

6. Gangguan pada pembuluh darah

7. Gangguan pada endorin

8. Gangguan pada kulit

9. Gangguan pada sistem syaraf

10. Gangguan pada paru-paru

11. Gangguan pada sistem pencernaan

12.Dapat terinfeksi penyakit menular berbahaya seperti HIV AIDS, Hepatitis, Herpes,
TBC, dll.

13. Dan banyak dampak lainnya yang merugikan badan manusia

C. Dampak Langsung Narkoba Bagi Kejiwaan / Mental Manusia

1. Menyebabkan depresi mental.

2. Menyebabkan gangguan jiwa berat / psikotik.

3. Menyebabkan bunuh diri

4.Menyebabkan melakukan tindak kejahatan, kekerasan dan


pengrusakan.
Efek depresi bisa ditimbulkan akibat kecaman keluarga, teman dan masyarakat
atau kegagalan dalam mencoba berhenti memakai narkoba. Namun orang normal yang
depresi dapat menjadi pemakai narkoba karena mereka berpikir bahwa narkoba dapat
mengatasi dan melupakan masalah dirinya, akan tetapi semua itu tidak benar.

Upaya pencegahan terhadap penyebaran narkoba di kalangan pelajar, sudah


seyogianya menjadi tanggung jawab kita bersama. Dalam hal ini semua pihak
termasuk orang tua, guru, dan masyarakat harus turut berperan aktif dalam
mewaspadai ancaman narkoba terhadap anak-anak kita.Adapun upaya-upaya yang
lebih kongkret yang dapat kita lakukan adalah melakukan kerja sama dengan pihak
yang berwenang untuk melakukan penyuluhan tentang bahaya narkoba, atau mungkin
mengadakan razia mendadak secara rutin.Kemudian pendampingan dari orang tua
siswa itu sendiri dengan memberikan perhatian dan kasih sayang.Pihak sekolah harus
melakukan pengawasan yang ketat terhadap gerak-gerik anak didiknya, karena
biasanya penyebaran (transaksi) narkoba sering terjadi di sekitar lingkungan sekolah.
Yang tak kalah penting adalah, pendidikan moral dan keagamaan harus lebih
ditekankan kepada siswa.Karena salah satu penyebab terjerumusnya anak-anak ke
dalam lingkaran setan ini adalah kurangnya pendidikan moral dan keagamaan yang
mereka serap, sehingga perbuatan tercela seperti ini pun, akhirnya mereka jalani.Oleh
sebab itu, mulai saat ini, kita selaku pendidik, pengajar, dan sebagai orang tua, harus
sigap dan waspada, akan bahaya narkoba yang sewaktu-waktu dapat menjerat anak-
anak kita sendiri. Dengan berbagai upaya tersebut di atas, mari kita jaga dan awasi
anak didik kita, dari bahaya narkoba tersebut, sehingga harapan kita untuk menelurkan
generasi yang cerdas dan tangguh di masa yang akan datang dapat terealisasikan
dengan baik DAMPAK FISIKA adaptasi biologis tubuh kita terhadap penggunaan
narkoba untuk jangka waktu yang lama bisa dibilang cukup ekstensif, terutama dengan
obat-obatan yang tergolong dalam kelompok downers. Tubuh kita bahkan dapat
berubah begitu banyak hingga sel-sel dan organ-organ tubuh kita menjadi tergantung
pada obat itu hanya untuk bisa berfungsi normal.Salah satu contoh adaptasi biologis
dapat dilihat dengan alkohol. Alkohol mengganggu pelepasan dari beberapa transmisi
syaraf di otak. Alkohol juga meningkatkan cytocell dan mitokondria yang ada di
dalam liver untuk menetralisir zat-zat yang masuk. Sel-sel tubuh ini menjadi
tergantung pada alcohol untuk menjaga keseimbangan baru ini.Tetapi, bila
penggunaan narkoba dihentikan, ini akan mengubah semua susunan dan keseimbangan
kimia tubuh. Mungkin akan ada kelebihan suatu jenis enzym dan kurangnya transmisi
syaraf tertentu. Tiba-tiba saja, tubuh mencoba untuk mengembalikan keseimbangan
didalamnya. Biasanya, hal-hal yang ditekan/tidak dapat dilakukan tubuh saat
menggunakan narkoba, akan dilakukan secara berlebihan pada masa Gejala Putus Obat
(GPO) ini.Misalnya, bayangkan efek-efek yang menyenangkan dari suatu narkoba
dengan cepat berubah menjadi GPO yang sangat tidak mengenakkan saat seorang
pengguna berhenti menggunakan narkoba seperti heroin/putaw. Contoh: Saat
menggunakan seseorang akan mengalami konstipasi, tetapi GPO yang dialaminya
adalah diare, dll.GPO ini juga merupakan momok tersendiri bagi para pengguna
narkoba. Bagi para pecandu, terutama, ketakutan terhadap sakit yang akan dirasakan
saat mengalami GPO merupakan salah satu alasan mengapa mereka sulit untuk
berhenti menggunakan narkoba, terutama jenis putaw/heroin. Mereka tidak mau
meraskan pegal, linu, sakit-sakit pada sekujur tubuh dan persendian, kram otot,
insomnia, mual, muntah, dll yang merupakan selalu muncul bila pasokan narkoba
kedalam tubuh dihentikan.Selain ketergantungan sel-sel tubuh, organ-organ vital
dalam tubuh seperti liver, jantung, paru-paru, ginjal,dan otak juga mengalami
kerusakan akibat penggunaan jangka panjang narkoba. Banyak sekali pecandu narkoba
yang berakhiran dengan katup jantung yang bocor, paru-paru yang bolong, gagal
ginjal, serta liver yang rusak. Belum lagi kerusakan fisik yang muncul akibat infeksi
virus {Hepatitis C dan HIV/AIDS} yang sangat umum terjadi di kalangan pengguna
jarum suntik.Dampak positif narkotika bagi kehidupan manusiaWalaupun begitu,
setiap kehidupan memiliki dua sisi mata uang. Di balik dampak negatif, narkotika juga
memberikan dampak yang positif. Jika digunakan sebagaimana mestinya, terutama
untuk menyelamatkan jiwa manusia dan membantu dalam pengobatan, narkotika
memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Berikut dampak positif narkotika:1.
OpioidOpioid atau opium digunakan selama berabad-abad sebagai penghilang rasa
sakit dan untuk mencegah batuk dan diare.2. KokainDaun tanaman Erythroxylon coca
biasanya dikunyah-kunyah untuk mendapatkan efek stimulan, seperti untuk
meningkatkan daya tahan dan stamina serta mengurangi rasa lelah.3. Ganja
(ganja/cimeng)Orang-orang terdahulu menggunakan tanaman ganja untuk bahan
pembuat kantung karena serat yang dihasilkannya sangat kuat. Biji ganja juga
digunakan sebagai bahan pembuat minyak.

DAMPAK MENTAL Selain ketergantungan fisik, terjadi juga ketergantungan


mental. Ketergantungan mental ini lebih susah untuk dipulihkan daripada
ketergantungan fisik. Ketergantungan yang dialami secara fisik akan lewat setelah
GPO diatasi, tetapi setelah itu akan muncul ketergantungan mental, dalam bentuk yang
dikenal dengan istilah sugesti. Orang seringkali menganggap bahwa sakaw dan sugesti
adalah hal yang sama, ini adalah anggapan yang salah. Sakaw bersifat fisik, dan
merupakan istilah lain untuk Gejala Putus Obat, sedangkan sugesti adalah
ketergantungan mental, berupa munculnya keinginan untuk kembali menggunakan
narkoba. Sugesti ini tidak akan hilang saat tubuh sudah kembali berfungsi secara
normal.Sugesti ini bisa digambarkan sebagai suara-suara yang menggema di dalam
kepala seorang pecandu yang menyuruhnya untuk menggunakan narkoba. Sugesti
seringkali menyebabkan terjadinya ‘perang’ dalam diri seorang pecandu, karena di
satu sisi ada bagian dirinya yang sangat ingin menggunakan narkoba, sementara ada
bagian lain dalam dirinya yang mencegahnya.

Peperangan ini sangat melelahkan… Bayangkan saja bila Anda harus berperang
melawan diri Anda sendiri, dan Anda sama sekali tidak bisa sembunyi dari suara-suara
itu karena tidak ada tempat dimana Anda bisa sembunyi dari diri Anda sendiri dan tak
jarang bagian dirinya yang ingin menggunakan narkoba-lah yang menang dalam
peperangan ini. Suara-suara ini seringkali begitu kencang sehingga ia tidak lagi
menggunakan akal sehat karena pikirannya sudah terobsesi dengan narkoba dan
nikmatnya efek dari menggunakan narkoba. Sugesti inilah yang seringkali
menyebabkan pecandu relapse. Sugesti ini tidak bisa hilang dan tidak bisa
disembuhkan, karena inilah yang membedakan seorang pecandu dengan orang-orang
yang bukan pecandu. Orang-orang yang bukan pecandu dapat menghentikan
penggunaannya kapan saja, tanpa ada sugesti, tetapi para pecandu akan tetap memiliki
sugesti bahkan saat hidupnya sudah bisa dibilang normal kembali. Sugesti memang
tidak bisa disembuhkan, tetapi kita dapat merubah cara kita bereaksi atau merespon
terhadap sugesti itu.Dampak mental yang lain adalah pikiran dan perilaku obsesif
kompulsif, serta tindakan impulsive. Pikiran seorang pecandu menjadi terobsesi pada
narkoba dan penggunaan narkoba. Narkoba adalah satu-satunya hal yang ada didalam
pikirannya. Ia akan menggunakan semua daya pikirannya untuk memikirkan cara yang
tercepat untuk mendapatkan uang untuk membeli narkoba. Tetapi ia tidak pernah
memikirkan dampak dari tindakan yang dilakukannya, seperti mencuri, berbohong,
atau sharing needle karena perilakunya selalu impulsive, tanpa pernah dipikirkan
terlebih dahulu.Ia juga selalu berpikir dan berperilaku kompulsif, dalam artian ia selalu
mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama. Misalnya, seorang pecandu yang sudah
keluar dari sebuah tempat pemulihan sudah mengetahui bahwa ia tidak bisa
mengendalikan penggunaan narkobanya, tetapi saat sugestinya muncul, ia akan
berpikir bahwa mungkin sekarang ia sudah bisa mengendalikan penggunaannya, dan
akhirnya kembali menggunakan narkoba hanya untuk menemukan bahwa ia memang
tidak bisa mengendalikan penggunaannya! Bisa dikatakan bahwa dampak mental dari
narkoba adalah mematikan akal sehat para penggunanya, terutama yang sudah dalam
tahap kecanduan. Ini semua membuktikan bahwa penyakit adiksi adalah penyakit yang
licik, dan sangat berbahaya.

DAMPAK EMOSIONAL Narkoba adalah zat-zat yang mengubah mood


seseorang (mood altering substance). Saat menggunakan narkoba, mood, perasaan,
serta emosi seseorang ikut terpengaruh. Salah satu efek yang diciptakan oleh narkoba
adalah perubahan mood. Narkoba dapat mengakibatkan ekstrimnya perasaan, mood
atau emosi penggunanya. Jenis-jenis narkoba tertentu, terutama alkohol dan jenis-jenis
narkoba yang termasuk dalam kelompok uppers seperti Shabu-shabu, dapat
memunculkan perilaku agresif yang berlebihan dari si pengguna, dan seringkali
mengakibatkannya melakukan perilaku atau tindakan kekerasan. Terutama bila orang
tersebut pada dasarnya memang orang yang emosional dan bertemperamen panas.Ini
mengakibatkan tingginya domestic violence dan perilaku abusive dalam keluarga
seorang alkoholik atau pengguna Shabu-shabu. Karena pikiran yang terobsesi oleh
narkoba dan penggunaan narkoba, maka ia tidak akan takut untuk melakukan tindakan
kekerasan terhadap orang-orang yang mencoba menghalaginya untuk menggunakan
narkoba. Emosi seorang pecandu narkoba sangat labil dan bisa berubah kapan saja.
Satu saat tampaknya ia baik-baik saja, tetapi di bawah pengaruh narkoba semenit
kemudian ia bisa berubah menjadi orang yang seperti kesetanan, mengamuk,
melempar barang-barang, dan bahkan memukuli siapapun yang ada di dekatnya. Hal
ini sangat umum terjadi di keluarga seorang alkoholik atau pengguna Shabu-shabu.
Mereka tidak segan-segan memukul istri atau anak-anak bahkan orangtua mereka
sendiri. Karena melakukan semua tindakan kekerasan itu di bawah pengaruh narkoba,
maka terkadang ia tidak ingat apa yang telah dilakukannya.Saat seseorang menjadi
pecandu, ada suatu kepribadian baru yang muncul dalam dirinya, yaitu kepribadian
pecandu atau kepribadian si junkie. Kepribadian yang baru ini tidak peduli terhadap
orang lain, satu-satunya hal yang penting baginya adalah bagaimana cara agar ia tetap
bisa terus menggunakan narkoba. Ini sebabnya mengapa ada perubahan emosional
yang tampak jelas dalam diri seorang pecandu. Seorang anak yang tadinya selalu
bersikap manis, sopan, riang, dan jujur berubah total mejadi seorang pecandu yang
brengsek, pemurung, penyendiri, dan jago berbohong dan mencuri.Adiksi terhadap
narkoba membuat seseorang kehilangan kendali terhadap emosinya. Seorang pecandu
acapkali bertindak secara impuls, mengikuti dorongan emosi apapun yang muncul
dalam dirinya. Dan perubahan yang muncul ini bukan perubahan ringan, karena
pecandu adalah orang-orang yang memiliki perasaan dan emosi yang sangat
mendalam. Para pecandu seringkali diselimuti oleh perasaan bersalah, perasaan tidak
berguna, dan depresi mendalam yang seringkali membuatnya berpikir untuk
melakukan tindakan bunuh diri.Perasaan-perasaan ini pulalah yang membuatnya ingin
terus menggunakan, karena salah satu efek narkoba adalah mematikan perasaan dan
emosi kita. Di bawah pengaruh narkoba, ia dapat merasa senang dan nyaman, tanpa
harus merasakan perasaan-perasaan yang tidak mengenakkan. Tetapi… perasaan-
perasaan ini tidak hilang begitu saja, melainkan terkubur hidup-hidup di dalam diri
kita. Dan saat si pecandu berhenti menggunakan narkoba, perasaan-perasaan yang
selama ini mati atau terkubur dalam dirinya kembali bangkit, dan di saat-saat seperti
inilah pecandu membutuhkan suatu program pemulihan, untuk membantunya
menghadapi dan mengatasi perasaan-perasaan sulit itu.Satu hal juga yang perlu
diketahui adalah bahwa salah satu dampak buruk narkoba adalah mengakibatkan
pecandu memiliki suatu retardasi mental dan emosional. Contoh seorang pecandu
berusia 16 tahun saat ia pertama kali menggunakan narkoba, dan saat ia berusia 26
tahun ia berhenti menggunakan narkoba. Memang secara fisik ia berusia 26 tahun,
tetapi sebenarnya usia mental dan emosionalnya adalah 16 tahun. Ada 10 tahun yang
hilang saat ia menggunakan narkoba. Ini juga sebabnya mengapa ia tidak memiliki
pola pikir dan kestabilan emosi seperti layaknya orang-orang lain seusianya.

DAMPAK SPIRITUAL adiksi terhadap narkoba membuat seorang pecandu


menjadikan narkoba sebagai prioritas utama didalam kehidupannya. Narkoba adalah
pusat kehidupannya, dan semua hal/aspek lain dalam hidupnya berputar di sekitarnya.
Tidak ada hal lain yang lebih penting daripada narkoba, dan ia menaruh
kepentingannya untuk menggunakan narkoba di atas segala-galanya. Narkoba menjadi
jauh lebih penting daripada istri, suami, pacar, anak, orangtua, sekolah, pekerjaan,
dll.Ia berhenti melakukan aktivitas-aktivitas yang biasa ia lakukan sebelum ia
tenggelam dalam penggunaan narkobanya. Ia tidak lagi melakukan hobi-hobinya,
menjalani aktivitas normal seperti sekolah, kuliah, atau bekerja seperti biasa, bila
sebelumnya ia termasuk rajin beribadah bisa dipastikan ia akan menjauhi kegiatan
yang satu ini, apalagi dengan khotbah agama yang selalu didengar bahwa orang-orang
yang menggunakan narkoba adalah orang-orang yang berdosa.Ini menyebabkan
pecandu seringkali hidup tersolir, ia hidup dalam dunianya sendiri dan mengisolasi
dirinya dari dunia luar, yaitu dunia yang tidak ada hubungannya dengan narkoba. Ia
menjauhi keluarga dan teman-teman lamanya, dan mencari teman-teman baru yang
dianggap sama dengannya, yang dianggap dapat memahaminya dan tidak akan
mengkuliahinya tentang penggunaan narkobanya.Narkoba dianggap sebagai sahabat
yang selalu setia menemaninya. Orangtua bisa memarahinya, teman-teman mungkin
menjauhinya, pacar mungkin memutuskannya, bahkan Tuhan mungkin dianggap tidak
ada, tetapi narkoba selalu setia dan selalu dapat memberikan efek yang
diinginkannya.Secara spiritual, Narkoba adalah pusat hidupnya, dan bisa dikatakan
menggantikan posisi Tuhan. Adiksi terhadap narkoba membuat penggunaan narkoba
menjadi jauh lebih penting daripada keselamatan dirinya sendiri. Ia tidak lagi
memikirkan soal makan, tertular penyakit bila sharing needle, tertangkap polisi,
dll.Adiksi adalah penyakit yang mempengaruhi semua aspek hidup seorang manusia,
dan karenanya harus disadari bahwa pemulihan bagi seorang pecandu tidak hanya
bersifat fisik saja, tetapi juga harus mencakup ketiga aspek lainnya sebelum pemulihan
itu dapat dianggap sebagai suatu pemulihan yang sebenarnya.

7. a. Dampak penyalahgunaan NAPZA dalam kehidupan

- Dampak dalam Individu

Dampak penyalahgunaan NAPZA bagi penggunanya adalah dapat merasakan

kecemasan yang luar biasa, paranoid, delusi formikasi,berperilaku agresi,

memiliki nafsu seksual yang tinggi, dan timbulnya berbagai penyakit seperti

stroke, radang hati, jantung dan sebagainya hingga menimbulkan kematian.

Penyalahgunaan NAPZA dapat disimpulkan bahwa NAPZA dapat merusak dan

membahayakan bagi generasi muda dalam suatu bangsa khususnya bagi anak-

anak dan remaja (Budiarta, 2000).

- Dampak dalam keluarga

Peran keluarga sangat penting bagi seorang anak karena keluarga mempunyai

kewajiban dalam memberikan pendidikan dan pembentuk karakter pada anak

(Sudarsono, 2004). Keutuhan dalam keluarga juga dapat berpengaruh terhadap

psikologis seorang anak, sehingga apabila psikologis anak terganggu maka anak

akan lebih mudah lari dalam pergaulan negative di luar rumah dan anak juga akan

mudah terjerumus dalam penyalahgunaan NAPZA (Hawari, 2009).

- Dampak Lingkungan

Penyalahgunaan NAPZA dapat disebabkan salah satunya karena faktor

lingkungan keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil dalam suatu masyarakat.

Penyebab penyalahgunaan NAPZA pada lingkungan keluarga salah satunya yaitu

karena keharmonisan (Depkes,2001).


b. Masalah kesehatan dan penyakit terkait dengan penyalahgunaan NAPZA

 Mengganggu kondisi otak dan tubuh secara umum

Narkoba dapat memengaruhi kemampuan seseorang untuk menjalani

hidup sehat dan mengambil keputusan yang benar. Pengaruh obat-obatan

tersebut dapat berlangsung dalam jangka panjang.

 Perubahan sel saraf dalam otak

Konsumsi narkoba secara berulang dalam jangka panjang akan memicu

perubahan pada sel saraf dalam otak, yang kemudian mengganggu

komunikasi antar sel saraf. Bahkan setelah konsumsi dihentikan, efek

tersebut akan memakan waktu yang tidak sebentar, untuk dapat benar-

benar hilang.

 Dehidrasi

Bahaya narkoba jenis ekstasi, efeknya dapat menyebabkan dehidrasi, serta

ketidakseimbangan elektrolit. Hal ini kemudian yang menyebabkan

penggunanya mengalami kejang-kejang, serangan panik, halusinasi, sakit

pada dada dan perilaku agresif. Jika digunakan dalam jangka panjang

dapat merusak otak.

 Bingung dan hilang ingatan

Golongan obat-obatan asam gamma-hidroksibutirat dan rohypnol dapat

mengakibatkan efek sedatif, kebingungan, kehilangan ingatan, perubahan

perilaku, koordinasi tubuh terganggu dan menurunnya tingkat kesadaran.


 Halusinasi

Penggunaan mariyuana atau ganja dapat menyebabkan efek samping

halusinasi, muntah, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi, gangguan

kecemasan, kebingungan serta paranoia. Efek jangka panjang mariyuana

adalah gangguan mental seperti depresi dan gangguan kecemasan.

 Kejang hingga kematian

Bahaya narkoba berupa penyalahgunaan metamfetamin atau lebih dikenal

sebagai sabu-sabu, opium, dan kokain, dapat menyebabkan berbagai efek

buruk, termasuk perilaku psikotik, kejang-kejang, dan bahkan kematian

akibat overdosis.

Anda mungkin juga menyukai