DISUSUN OLEH:
WIDYA OKTAVIONA
NIM: 616080715054
dan riset
menjadi masalah global yang melanda dunia. Masalah HIV/AIDS diyakini bagaikan
fenomena gunung es karena jumlah kasus yang dilaporkan tidak mencerminkan masalah
yang sebenarnya (Hardisman, 2009). Pada akhir tahun 2016 diestimasikan 36,7 juta
orang di dunia hidup dengan HIV, sebanyak 1,8 juta orang baru terinfeksi HIV, dan
menyebabkan 1 juta kematian pada tahun 2016 (WHO, 2017). Di dunia tercatat 34,5 juta
orang terjangkit HIV dengan penderita wanita sebesar 17,8 juta sedangkan penderita
anak berusia kurang dari 15 tahun 2,1 juta (UNAIDS, 2017). Asia Tenggara menduduki
peringkat kedua sebagai penderita HIV terbanyak setelah Afrika, yakni sebesar 3,5 juta
orang dengan 39% penderita HIV merupakan wanita dan anak perempuan (WHO, 2016).
sebagai penyumbang orang dengan HIV/AIDS terbanyak di Asia Tenggara setelah India
(60%) yakni sebesar 20% atau 690.000 ODHA (WHO, 2016). Tahun 2016, Indonesia
mengalami kenaikan kejadian insiden HIV menjadi 41.250 orang yang sebelumnya
sebesar 30.935 orang pada tahun 2015 (Ditjen P2P Kemenkes RI, 2016).
Hasil estimasi dan proyeksi jumlah orang dengan HIV/AIDS pada umur > 15
tahun di Indonesia pada tahun 2016 sebanyak 785.821 orang dengan jumlah infeksi baru
sebanyak 90.915 orang dan kematian sebanyak 40.349 orang (Ditjen P2P Kemenkes RI,
2016). Menurut jenis kelamin, penderita HIV/AIDS pada laki-laki masih lebih besar
dibandingkan perempuan. HIV positif pada laki-laki sebesar 63,3% dan pada perempuan
sebesar 36,7%. Sedangkan penderita AIDS pada laki-laki sebesar 67,9% dan pada
perempuan sebesar 31,5%. Proporsi HIV/AIDS terbesar masih pada penduduk usia
produktif (15-49 tahun) yang dibagi dalam tiga golongan umur yaitu 15-19 tahun (3,7%),
20-24 tahun (17,3%), dan 25-49 tahun (69,3%), dimana kemungkinan penularan terjadi
daftar negara menurut prevalensi HIV/AIDS pada orang dewasa. Sebagian besar data di
halaman ini diperoleh dari CIA World Factbook. Pada tahun 2015, diperkirakan terdapat
36,7 juta pengidap HIV di seluruh dunia, Pandemik yang paling parah terjadi di Afrika
Sub-Sahara dengan tingkat prevalensi yang melebihi 6%. Prevalensi HIV pada orang
dewasa bahkan melebihi 20% di Swaziland, Botswana, dan Lesotho. Di luar Afrika,
absolut, negara-negara dengan jumlah kasus HIV/AIDS terbesar adalah Afrika Selatan
(7.1 juta), Nigeria (3.2 juta) dan India (2.1 juta) (berdasarkan data akhir tahun
HIV/AIDS, sementara Bhutan memiliki populasi yang besar tetapi hanya terdapat 246
Kasus HIV/AIDS, tersebar di berbagai daerah. Namun, ada 12 provinsi yang memiliki
jumlah kasus penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh terbanyak. Daerah
tersebut, yaitu DKI Jakarta, Papua, Papua Barat, Jawa Timur, Jawa Barat, Bali, Sumatera
Utara, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Riau dan DI Yogyakarta.
5) Level dari epidemi HIV
Status epidemik HIV dan AIDS di Indonesia sudah dinyatakan pada tingkat concentrated
epidemic level oleh karena angka prevalensi kasus HIV dan AIDS di kalangan sub
populasi tertentu di atas 5%. Hasil Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku (STHP) tahun
2009 menunjukkan angka estimasi Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) di kalangan
wanita penjaja seks (WPS) langsung 6%, WPS tidak langsung 2%, waria 6%, pelanggan
WPS 22%, pasangan pelanggan 7%, lelaki seks lelaki (LSL) 10%, warga binaan 5%,
pengguna napza suntik (penasun) 37%, dan pasangan seks penasun 5%. Bahkan di
Provinsi Papua dan Papua Barat status epidemi sudah memasuki tingkatan generalized
epidemic level oleh karena prevalensi HIV pada masyarakat umum khususnya populasi
15-49 tahun sudah mencapai 2,4%. Epidemi HIV dan AIDS di Indonesia terkonsentrasi
pada populasi kunci, yang berasal dari dua cara penularan utama yaitu transmisi seksual
dan penggunaan napza suntik. Jumlah kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan di
Indonesia meningkat tajam dari 7.195 di tahun 2006 menjadi 76.879 di tahun 2011
(Kemkes, Laporan Situasi HIV dan AIDS di Indonesia, tahun 2006 dan 2011). Menurut
estimasi nasional infeksi HIV tahun 2009, diperkirakan terdapat 186.257 orang terinfeksi
HIV dan 6,4 juta orang berisiko tinggi terinfeksi HIV di Indonesia (Kemkes, Estimasi
dilihat dari dua sisi, yaitu dampak secara langsung dan secara tidak langsung.
Dampak ini dimulai dari tingkat individu, keluarga, masyarakat dan akhirnya pada
b. Dampak Sosial
seperti demam, batuk, sesak napas, diare, lemas, dan lain sebagainya. Selain itu
masalah sehari-hari lainnya yang dihadapi penderita penyakit berat pun dialami
oleh ODHA. Mereka pada umumnya mengalami depresi, merasa tertekan dan
merasa tidak berguna, bahkan ada yang memiliki keinginan untuk bunuh diri. Ini
adalah akibat dari stigmatisasi atau hukuman sosial dan diskriminasi masyarakat
terhadap informasi mengenai AIDS dan ODHA. Penolakan dan pengabaian yang
dilakukan oleh orang lain, terutama oleh keluarga akan menambah depresi yang
dialaminya (Djoerban, 1999) dalam Apri Astuti dan Kondang Budiyani (2008).
c. Dampak Psikologi
terinfeksi HIV akan mengalami masalah fisik, psikologis, sosial, dan spiritual.
Masalah psikologis yang muncul adalah stres, keyakinan diri yang rendah dan
kecemasan.
7) Artikel ilmiah mengenai isue HIV/AIDS di dunia Global yang bersumberdari
jurnal ilmiah
HIV dan AIDS merupakan sebuah penyakit menular yang menyerang sistem kekebalan
tubuh manusia. Fase mulai dari seseorang tertular HIV sampai memasuki AIDS adalah
fase yang cukup panjang dan membutuhkan waktu lama. Namun, yang perlu diingat,
pengobatan yang dijalani oleh ODHA pun tidak semerta-merta membunuh HIV yang
ada di dalam darah manusia. ART hanya berfungsi melemahkan virus tersebut sehingga
dapat memperpanjang waktu infeksi virus ke fase yang lebih serius. Kawasan dengan
angka kasus HIV dan AIDS terbanyak di dunia adalah kawasan Afrika. Penulis berhasil
mengidentifikasi tiga ancaman dari HIV dan AIDS kepada kawasan ini. Ancaman
pertama adalah ancaman sebagai akibat dari perpindahan penduduk. Sama dengan
kawasan lain di dunia, perpindahan penduduk adalah hal yang wajar di kawasan Afrika,
apalagi di era yang modern seperti sekarang. Hal yang paling banyak mendorong
seseorang untuk pindah adalah faktor ekonomi (Mmbaga dkk. 2008). Faktor ekonomi
membuat sebagian besar orang rela pindah, merantau ke tempat yang jauh, dan harus
berpisah dengan keluarga serta pasangannya dalam kurun waktu tertentu (Boerma dkk.
2002, Bwayo dkk. 1994, Zuma dkk. 2003). Oleh sebab itu, destinasi yang paling banyak
dituju adalah perkotaan demi mendapatkan pekerjaan dan upah yang lebih baik. Suatu
ketika, tingkat perpindahan penduduk di desa terus meningkat dan, di sisi lain,
penyebaran HIV juga mengalami peningkatan. Beberapa studi pun dilaukan untuk
mengetahui hubungan antara perpindahan penduduk dengan penyebaran HIV dan AIDS
di kawasan pedesaan (Zuma dkk. 2003, Coffee dkk. 2005, Kishamawe dkk. 2006).
Semua studi tersebut memiliki hasil penelitian yang sama bahwa perpindahan penduduk
memang berperan dalam penyebaran HIV dan AIDS di pedesaan Afrika. Ada dua
penjelasan terkait kesimpulan tersebut. Pertama, perilaku tenaga kerja dari desa selama
berada di kota cenderung terlibat dalam aktivitas seksual berisiko (Coffee, Lurie, dan
menderita IMS yang kemudian mengantar mereka ke penularan HIV. Alasan mereka
terlibat dalam hubungan seksual berisiko adalah karena mereka masih memiliki
dorongan atau hasrat untuk bereproduksi, namun pasangannya sedang tidak berada di
dekat mereka (Lurie dkk. 2003). Ketidakhadiran pasangan dan dorongan seksual tersebut
mendorong mereka untuk memilih alternatif yaitu dengan mencari pasangan yang lain.
Jadi, ketika mereka kembali ke daerah asalnya dan berhubungan seksual dengan
pasangannya, tidak menutup kemungkinan bahwa pasangan tersebut juga akan tertular
HIV. Penjelasan kedua karena tenaga kerja yang mengetahui statusnya sebagai ODHA
cenderung memilih ke daerah asalnya daripada tetap tinggal di daerahnya bekerja (Clark
dkk. 2007). Hal itu mereka lakukan agar ada seseorang yang merawatnya dan karena
mereka merasa lebih menyatu dengan lingkungan daerah asalnya. Padahal, daerah asal
mereka merupakan tempat yang minim fasilitas kesehatan. Ancaman HIV dan AIDS ke
orang-orang di daerah asalnya pun semakin besar. Ancaman kedua datang dari tidak
meratanya persebaran layanan kesehatan. Salah satu upaya penanggulangan kasus HIV
ART untuk para ODHA. Namun sayang, penyebaran layanan kesehatan tersebut masih
berpusat di daerah perkotaan sehingga masih belum banyak orang yang dapat
besar klinik kesehatan yang menyediakan layanan tes dan pengobatan HIV hanya ada di
kota-kota besar sehingga orang-orang harus menempuh jarak kurang lebih 50 km untuk
mencapai klinik tersebut (Wilson dan Blower 2007). Padahal, orang-orang di pedesaan
pun juga membutuhkan perawatan dan pengobatan. Kemudian ancaman terakhir dari
HIV dan AIDS adalah menurunnya jumlah dan kapasitas tenaga kesehatan. Para tenaga
kesehatan adalah pihak yang juga rentan tertular HIV dan AIDS karena mereka banyak
terlibat dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS. Sekitar 15% tenaga kesehatan
di sejumlah wilayah memutuskan untuk berhenti karena positif menderita HIV atau
AIDS, dan sebagian besar lainnya tetap melanjutkan pekerjaan meski menderita HIV
(Zambia Human Development Report 2007, Malawi Human Development Report 2005,
Zimbabwe Human Development Report 2003). Tanpa tenaga kesehatan yang memadai,
upaya penanggulangan HIV dan AIDS pun juga mengalami penurunan. Di sisi lain,
HIV dan AIDS di kawasan Afrika menurunkan minat anak-anak untuk belajar. Di
Afrika, anak-anak yang terdaftar masuk di tingkat Sekolah Dasar masih kurang dari 65%
(United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization n.d). Sementara itu,
jumlah anak yang harus putus sekolah karena tekanan AIDS lebih banyak lagi. Beberapa
jenis tekanan yang dimaksud adalah tuntutan merawat anggota keluarga yang menderita
ODHA, atau bahkan tertular AIDS itu sendiri. Dampaknya adalah anak-anak tersebut
tidak berkapasitas untuk mencari nafkah dengan layak di kemudian hari karena mereka
kualitas anak-anak tidak akan ada yang mampu menjadi tenaga kesehatan yang sangat
NAPZA
Berkembangnya jumlah pecandu NAPZA ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor
dari dalam (internal) diri meliputi: minat, rasa ingin tahu, lemahnya rasa
ketuhanan, kesetabilan emosi. Faktor yang kedua adalah faktor dari luar
NAPZA
terhadap HIV/AIDS
terhadap HIV/AIDS
Perubahan perilaku kesehatan seseorang dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor
kesehatan, personalia klinik atau sumber daya yang serupa itu. Faktor
contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama dan para petugas
- Pencegahan primer
jika resiko atau masalah sudah diidentifikasi tapi sebelum reaksi terjadi.
- Pencegahan Sekunder
Meliputi berbagai tindakan yang dimulai setelah ada gejala dari stressor.
optimal dan memelihara energi. Jika pencegahan sekunder tidak berhasil dan
rekonstitusi tidak terjadi maka struktur dasar tidak dapat mendukung sistem
berakhir pada kematian. Sementara itu, hingga saat ini belum ditemukan obat
- Pencegahan Tersier
Misalnya :
mengungkapkan perasaannya.
NAPZA
NAPZA. Upaya pencegahan ini dilakukan sejak anak berusia dini, agar faktor
yang dapat menghabat proses tumbuh kembang anak dapat diatasi dengan
baik.
- Pencegahan Sekunder : mengobati dan intervensi agar tidak lagi
menggunakan NAPZA.
1. Akan banyak uang yang dibutuhkan untuk penyembuhan dan perawatan kesehatan
pecandu jika tubuhnya rusak digerogoti zat beracun.
2. Dikucilkan dalam masyarakat dan pergaulan orang baik-baik. Selain itu biasanya
tukang candu narkoba akan bersikap anti sosial.\
3. Keluarga akan malu besar karena punya anggota keluarga yang memakai zat terlarang.
4. Kesempatan belajar hilang dan mungkin dapat dikeluarkan dari sekolah atau perguruan
tinggi alias DO / drop out.
5. Tidak dipercaya lagi oleh orang lain karena umumnya pecandu narkoba akan gemar
berbohong dan melakukan tindak kriminal.
6. Dosa akan terus bertambah karena lupa akan kewajiban Tuhan serta menjalani
kehidupan yang dilarang oleh ajaran agamanya.
7. Bisa dijebloskan ke dalam tembok derita / penjara yang sangat menyiksa lahir
batin.Biasanya setelah seorang pecandu sembuh dan sudah sadar dari mimpi-
mimpinya maka ia baru akan menyesali semua perbuatannya yang bodoh dan banyak
waktu serta kesempatan yang hilang tanpa disadarinya. Terlebih jika sadarnya ketika
berada di penjara. Segala caci-maki dan kutukan akan dilontarkan kepada benda haram
tersebut, namun semua telah terlambat dan berakhir tanpa bisa berbuat apa-apa.
B. Dampak Langsung Narkoba Bagi Jasmani / Tubuh Manusia
12.Dapat terinfeksi penyakit menular berbahaya seperti HIV AIDS, Hepatitis, Herpes,
TBC, dll.
Peperangan ini sangat melelahkan… Bayangkan saja bila Anda harus berperang
melawan diri Anda sendiri, dan Anda sama sekali tidak bisa sembunyi dari suara-suara
itu karena tidak ada tempat dimana Anda bisa sembunyi dari diri Anda sendiri dan tak
jarang bagian dirinya yang ingin menggunakan narkoba-lah yang menang dalam
peperangan ini. Suara-suara ini seringkali begitu kencang sehingga ia tidak lagi
menggunakan akal sehat karena pikirannya sudah terobsesi dengan narkoba dan
nikmatnya efek dari menggunakan narkoba. Sugesti inilah yang seringkali
menyebabkan pecandu relapse. Sugesti ini tidak bisa hilang dan tidak bisa
disembuhkan, karena inilah yang membedakan seorang pecandu dengan orang-orang
yang bukan pecandu. Orang-orang yang bukan pecandu dapat menghentikan
penggunaannya kapan saja, tanpa ada sugesti, tetapi para pecandu akan tetap memiliki
sugesti bahkan saat hidupnya sudah bisa dibilang normal kembali. Sugesti memang
tidak bisa disembuhkan, tetapi kita dapat merubah cara kita bereaksi atau merespon
terhadap sugesti itu.Dampak mental yang lain adalah pikiran dan perilaku obsesif
kompulsif, serta tindakan impulsive. Pikiran seorang pecandu menjadi terobsesi pada
narkoba dan penggunaan narkoba. Narkoba adalah satu-satunya hal yang ada didalam
pikirannya. Ia akan menggunakan semua daya pikirannya untuk memikirkan cara yang
tercepat untuk mendapatkan uang untuk membeli narkoba. Tetapi ia tidak pernah
memikirkan dampak dari tindakan yang dilakukannya, seperti mencuri, berbohong,
atau sharing needle karena perilakunya selalu impulsive, tanpa pernah dipikirkan
terlebih dahulu.Ia juga selalu berpikir dan berperilaku kompulsif, dalam artian ia selalu
mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama. Misalnya, seorang pecandu yang sudah
keluar dari sebuah tempat pemulihan sudah mengetahui bahwa ia tidak bisa
mengendalikan penggunaan narkobanya, tetapi saat sugestinya muncul, ia akan
berpikir bahwa mungkin sekarang ia sudah bisa mengendalikan penggunaannya, dan
akhirnya kembali menggunakan narkoba hanya untuk menemukan bahwa ia memang
tidak bisa mengendalikan penggunaannya! Bisa dikatakan bahwa dampak mental dari
narkoba adalah mematikan akal sehat para penggunanya, terutama yang sudah dalam
tahap kecanduan. Ini semua membuktikan bahwa penyakit adiksi adalah penyakit yang
licik, dan sangat berbahaya.
memiliki nafsu seksual yang tinggi, dan timbulnya berbagai penyakit seperti
membahayakan bagi generasi muda dalam suatu bangsa khususnya bagi anak-
Peran keluarga sangat penting bagi seorang anak karena keluarga mempunyai
psikologis seorang anak, sehingga apabila psikologis anak terganggu maka anak
akan lebih mudah lari dalam pergaulan negative di luar rumah dan anak juga akan
- Dampak Lingkungan
tersebut akan memakan waktu yang tidak sebentar, untuk dapat benar-
benar hilang.
Dehidrasi
pada dada dan perilaku agresif. Jika digunakan dalam jangka panjang
akibat overdosis.