AKAL:
Abstrak
Allah swt., menganugerahkan akal kepada seluruh manusia yang merupakan kelebihan
manusia dibanding dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengan menggunakan
akalnya manusia dapat membuat hal-hal yang dapat mempermudah urusan mereka di
dunia. Tetapi segala yang dimiliki manusia sudah tentu ada keterbatasan-keterbatasan
sehingga ada batas-batas yang tidak boleh dilewati. Meskipun Islam sangat memperhatikan
dan memuliakan akal, tetapi tidak menyerahkan segala sesuatu kepada akal, bahkan Islam
membatasi ruang lingkup akal sesuai dengan kemampuannya, karena akal terbatas
jangkauannya, tidak akan mungkin bisa menjangkau hakekat segala sesuatu. Maka Islam
menundukkan akal terhadap Wahyu dan Sunnah Nabi saw., artinya di dalam segala hal
wahyu dan sunnah harus di dahulukan.
Akal memiliki posisi yang sangat tinggi dan mulia didalam Islam. Meski
demikian, bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami
agama. Islam memiliki aturan untuk menempatkan akal sebagaimana
mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu cocok dengan syariat
Allah swt, dalam permasalahan apa pun. Dengan akal maka terselamatlah diri
daripada mengikuti hawa nafsu yang sentiasa menyuruh untuk melakukan
keburukan. Dan setiap perbuatan buruk adalah yang akan membawa manusia
ke Neraka Jahannam, Allah SWT berfirman :
َّ َو َق ُالوا َل ْو ُك َّنا َن ْس َم ُع َأ ْو َن ْعق ُل َما ُك َّنا ف َأ ْص َحاب
الس ِع ري ِ ِي ِ
Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan
(peringatan itu) nescaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka
yang menyala-nyala". [Q.S. Al-Mulk : 10]
Akal adalah nikmat besar yang Allah swt titipkan dalam jasmani
manusia. Akal merupakan salah satu kekayaan yang sangat berharga bagi diri
manusia. Keberadaannya membuat manusia berbeda dengan makhluk-
makhluk lain ciptaan Allah. Bahkan tanpa akal manusia tidak
ubahnya seperti binatang yang hidup di muka bumi ini.
Akal itu adalah sebuah timbangan yang cermat, yang hasilnya adalah
pasti dan dapat dipercaya (Ibnu Khaldun, 1999: 457). Khaldun menjelaskan
mempergunakan akal itu menimbang soal-soal yang berhubungan dengan
keesaan Allah swt, atau hidup di akhirat kelak, atau hakikat kenabian
(nubuwah), atau hakikat sifat-sifat ketuhanan atau hal-hal lain di luar
kesanggupan akal, adalah sama dengan mencoba mempergunakan timbangan
tukang emas untuk menimbang gunung. Ini tidaklah berarti bahwa
timbangan itu sendiri tidak boleh dipercaya. Soal yang sebenarnya ialah
bahwa akal itu mempunyai batas-batas yang dengan keras membatasinya;
oleh karena itu tidak bisa diharapkan bahwa akal itu dalam memahami Allah
swt dan sifatsifatnya.
ditekankan pada penggunaan akal dalam setiap persoalan, namun di sisi lain
akal sangat membutuhkan wahyu (agama) atau lebih tepatnya religiusitas
dalam menimbang hal-hal yang bersifat abstrak (ghaib).
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan fungsi akal
secara optimal, sehingga akal dijadikan sebagai standar seseorang diberikan
beban taklif atau sebuah hukum. Jika seseorang kehilangan akal maka
hukum-pun tidak berlaku baginya. Saat itu dia dianggap sebagai orang yang
tidak terkena beban apapun.
Akal: 3
Sumber Kebenaran dalam Islam
B. Pengertian Akal
Akal adalah al-hijr atau an-nuha yang memiliki arti kecerdasan. Akal
berasal dari kata kerja ‘aqala yang artinya habasa, yaitu mengikat atau
menawan. Oleh karena itu, seseorang yang menggunakan akalnya, al-‘aql
adalah orang yang menawan atau mengikat hawa nafsunya. Orang yang
menggunakan akalnya pada dasarnya adalah orang yang mampu mengikat
2 Akal adalah penahan hawa nafsu untuk mengetahui amanat dan beban
kewajibannya, ia adalah pemahaman dan pemikiran yang selalu berbubah sesuai
dengan masalah yang dihadapi. Ia merupakan petunjuk yang membedakan hidayah
dan kesesatan, ia adalah kesadaran batin dan penglihatan batin yang berdaya tembus
melebihi penglihatan mata. Lihat, Nuril Huda, Memahami Islam Lewat Perguruan Tinggi
(Jakarta: Amzah, 2017), 35.
3 Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 7.
4 Nuril Huda, Memahami Islam Lewat Perguruan Tinggi (Jakarta: Amzah, 2017), 36.
5 Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 11.
Akal: 5
Sumber Kebenaran dalam Islam
6 Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 12.
7 Imam Syafi’ie, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur’an; Telaah dan Pendekatan Filsafat
Ilmu (Yogyakarta: UII Press, 2000), 74.
8 Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 13.
9 Nuril Huda, Memahami Islam Lewat Perguruan Tinggi (Jakarta: Amzah, 2017), 36.
10 Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Amzah, 2006), Cet. 2, 27.
11 Kaelany HD, Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), Cet.
2, 223.
12 Intelek adalah alat untuk memperoleh pengetahuan dalam alam nyata. Dalam
membentuk pengetahuan, intelek terikat oleh yang konkret, oleh karena itu ia hanya
mungkin berjalan selangkah demi selangkah, menyelesaikan arah demi
arah.sedangkan intuisi adalah alat untuk alam tak nyata (gaib). Dalam membentuk
pengetahuan, ia dapat melakukan lompatandari tidak tahu tiba tiba menjadi tahu.
Lihat, Rusyja Rustam dan Zainal A. Haris, Buku Ajar Pendidikan Agama Islam Di
Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Deepublish, 2018), 338.
6 Akal:
Sumber Kebenaran dalam Islam
daripada makhluk yang lain. Dengan akal, manusia dapat membedakan mana
yang hak dan mana yang batil. Mana yang halal dan mana yang haram.13
13 R. Bambang Sutikno, Sukses Bahagia dan Mulia Dengan 5 Mutiara Kecerdasan Spiritual
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2014), 17.
14 Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, 16.
15 Musa Asy’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an (Yogyakarta: Lembaga
19 Imam Syafi`ie, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al Qur`an (Yogyakarta: UII Press, 2000),
75.
20 M. Quraish Shihab, Logika Agama; Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akala Dalam Islam
110.
22 Muhammad Amin, “Kedudukan Akal Dalam Islam”, Jurnal PendidikanAgama Islam,
Akal juga sebagai alat untuk memahami dunia dengan hukum atau
sifat-sifatnya yang “gap, kausal, dan relatif”, serta kekuasaan Tuhan. Tidak
ada satupun ciptaan Tuhan di dunia ini tidak bermanfaat jika kita mau
menggunakan akal, yang diharamkan hanya niat penggunaannya.25
24 Dalam agama, wajib adalah perintah yang diharuskan untuk dilaksanakan, dan
haram adalah larangan yang harus ditinggalkan. Lihat, Harjoni, Agama Islam Dalam
Pandangan Filosofis (Bandung: Alfabeta, 2012), 221.
25 Contoh alcohol adalah bahan kimia yang diolah dari bahan alam (nabati) sangat
memerintahkan kita untuk berpikir dan menggunakan akal. Oleh karena itu,
bukan tanpa alasan jika dikatakan Islam sebagai agama rasional.27
27 Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 101.
28 Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 101.
29 Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 101-102.
30 Di samping kedua fungsi di atas, masih ada lagi yang melebihi keduanya, yaitu yang
mencakup keduanya, tapi dalam bentuk yang sempurna dan matang sehingga tidak
ada lagi kekurangan atau kekeruhan. Memang, bisa saja ada akal yang menghasilkan
pengetahuan, tetapi (masih berpotensi mengandung) kekurangan hikmah. Demikian
juga bisa jadi ada hikmah yang dilahirkan oleh mereka yang tidak berpengetahuan.
Lihat, Muhammad Amin, “Kedudukan Akal Dalam Islam”, Jurnal PendidikanAgama
Islam, Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2018, 4.
10 Akal:
Sumber Kebenaran dalam Islam
Akal pikiran adalah anugerah Tuhan yang paling tinggi kepada manusia.
Akal pikiran yang dimiliki manusia inilah yang membedakan dengan
makhluk-makhluk lain. Dengan akal pikiran yang dimiliki ini pulalah
manusia menempati tempat tertinggi di antara makhluk-makhluk lain baik
malaikat, jin, binatang dan sebagainya. Islam memberikan penghargaan
tertinggi terhadap akal. Penghargaan tertinggi terhadap akal tersebut
terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits itu sendiri..32 Tidak sedikit al-Qur’an
dan Hadits Nabi yang menganjurkan dan mendorong manusia untuk
mempergunakan akalnya dan banyak berpikir guna mengembangkan
intelektualnya. Dengan penggunaan akal itulah manusia dapat mengasah
intelek untuk kemudian menimbulkan sikap kecendikiawanan dan kearifan
baik terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan maupun terhadap
Tuhan.33
Banyak kata dalam al-Qur’an yang mengandung arti berpikir selain dari
kata akal, seperti “dabbara” (merenungkan) dalam 8 ayat, “faqiha” (mengerti)
dalam 20 ayat, “nazara” (melihat secara abstrak) dalam 30 ayat, dan
“tafakkara” (berfikir) dalam 16 ayat. Kata-kata yang berasal dari kata ‘aqala
dijumpai pada lebih dari 30 ayat. Sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, ayat-
ayat yang di dalamnya terdapat berbagai kata tersebut di atas mengandung
perintah agar manusia mempergunakan akal pikirannya.34 Selain itu, terdapat
31 Masbukin dan Alimuddin Hassan, “Antara Perdebatan dan Pembelaan dalam Sejarah”,
Akal dan Wahyu, Vol. 8, No. 2, Juli - Desember 2016, 2.
32 Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 39.
33 Hasbi Indra, “Pandangan Islam Tentang Ilmu Pengetahuan Dan Refleksinya Terhadap
Aktivitas Pendidikan Sains Di Dunia Muslim”, MIQOT, Vol. XXXIII No. 2, Juli-Desember
2009, 247.
34 Azyumardi Azra, Essei-Essei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Jakarta: Logos,
1995), 37.
Akal: 11
Sumber Kebenaran dalam Islam
pula sebutan yang menggambarkan sifat berfikir bagi seorang Muslim seperti
‘ulu al-bab (orang-orang yang berfikir), ‘ulu al-absar (orang-orang yang
melihat dengan akal-nya), dan ‘ulu al’ilm (orang-orang yang mengetahui).
Selanjutnya, kata akal sendiri erat kaitan-nya dengan berfikir. Arti kata
“ayat” adalah tanda. Tanda yang menunjukkan pada sesuatu yang terletak
tetapi tidak kelihatan di belakangnya. Untuk mengetahui-nya, manusia harus
memperhatikan tanda itu dengan mempergunakan akal-nya. Dalam Al-
Qur’an, sebagai telah disinggung di atas, ada kurang lebih 150 ayat mengenai
fenomena alam. Ayat-ayat ini disebut ayat “kauniah” (kejadian atau kosmos),
menjelaskan bahwa alam ini penuh dengan tanda-tanda yang harus difikirkan
manusia dan yang pada akhirnya akan membawa manusia kepada Tuhan.
Salah satu ayat yang terbaik di antara-nya adalah yang terdapat di dalam
surat Al-Baqarah, yang menjelaskan;
َّ ُ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ َّ ْ ُ ْ َّ َّ َ ْ َْ َّ إ َّن ف َخ ْلق
اس َو َما َ الن ض َو َاخ ِتَل ِف الل َ ْي ِل َوالن َه رار َوالفل ِك ال ِ يت ت ْج رري ِ يف البح رر ِبما ينفع ر ات َواْل ْرِ الس َم َاو َِ ْ َ ِ َ ي
اح ي ِّ ث ِف َيها ِم ْن ُك ِّل َد َّاب ٍة َو َت ْْصيف
َ الر َّ َ َ َ ْ َ َ ْ َ َ ْ ْ
بو اهت و م دع ب ض راْل ه ب ا َ الس َماء م ْن َماء َفأ ْح
ي َّ اَّلل ِ م َن
ُ َّ ل أنز
ِ ر ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ
َُ ر َ َ َ اْل ْر َ ْ َ َ َّ َ ْ َ َّ َ ُ ْ
ات ِلق ْو ٍم َي ْع ِقلون
ٍ ض ْلي ر و اء
ِ مالس ي ب رر خ س م ال اب
ِ
َ الس
ح َّ َو
35 https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-164
12 Akal:
Sumber Kebenaran dalam Islam
Dengan kata lain, akal-lah makhluk Tuhan yang tertinggi, dan akal yang
ada dalam diri manusia-lah yang digunakan Tuhan sebagai pegangan dalam
menentukan pemberian pahala atau hukuman kepada seseorang.36
36https://redaksiindonesia.com/read/kedudukan-akal-dalam-alquran-Haditst.html
37Sebuah kenyataan tak terbantahkan bahwa Al-Qur’an adalah kitab berbahasa Arab
yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Dalam menentukan dari mana asal Al-Qur’an, tiga
kemungkinan. Pertama, kitab itu karangan orang Arab. Kedua, karangan Nabi
Muhammad Saw. Dan yang ketiga, berasal dari Allah semata. Tidak ada lagi
kemungkinan selain dari tiga hal tersebut, sebab Al-Qur’an adalah khas Arab, baik
dari segi bahasa maupun gayanya. Kemungkinan pertama yang mengaakan bahwa Al-
Qur’an adalah karangan orang Arab, merupakan kemungkinan yang tertolak. Sebab,
mereka tidak mampu menghasilkan karya serupa, kendati ada tantangan dari Al-
Qur’an dan usaha dari mereka untuk menjawab tantangan itu. Kemungkinan kedua
yang menyatkan bahwa Al-Qur’an itu karangan Muhammad adalah kemungkinan
yang juga diterima oleh akal. Selama seluruh bangsa Arab juga tidak mampu
menghasilkan karya serupa, maka masuk akal pula apabila Muhammad – yang juga
termasuk bangsa Arab – tidak mampu menghasilkan karya yang serupa. Oleh karena
itu, jelas Al-Qur’an bukan karangannya. Apabila telah terbukti bahwa Al-Qur’an itu
bukan karangan bangsa Arab, bukan ula karangan Muhammad, maka yakinlah
bahwa sesungguhnya Al-Qur’an itu merupakan firman Allah, kalamullah, yang menjadi
mukjizat bagi orang yang membawanya. Lihat, Eggi Sudjana, Islam Fungsional (Jakarta:
Rajawali, 2008), 14.
Akal: 13
Sumber Kebenaran dalam Islam
Hadits ini sering dijadikan dalil berkenaan dengan peranan ijtihad dalam
hukum Islam. Akal dalam deskripsi di atas menempati posisi yang signifikan
dalam berijtihad. Namun demikian, di sana kita juga melihat isyarat bahwa
posisi akal secara hierarkis jatuh setelah al-Quran dan Sunah. Akal
menempati posisi ketiga.
Urgensi kehadiran akal juga dapat dilihat dalam Hadits Nabi yang
memerintahkan umat Islam untuk menuntut ilmu. Nabi SAW
bersabda: Mencari ilmu wajib hukumnya bagi muslimin dan muslimat (HR.
Muslim). Perintah untuk mencari ilmu dapat dipahami bahwa manusia harus
memaksimalkan potensi akalnya. Mengutip Syeikh az-Zarnuji dalam
kitab Talimul Mutaalim, ilmu inilah yang membedakan antara manusia dan
makhluk lain.38
Akal pastinya tidak hanya diyakini sebagai media tapi selain itu ia
merupakan sumber pengetahuan, sebagai metodologi juga sebagai
Secara etimologi, ijtihad berakar dari kata jahda yang berarti al-Masyaqqah
( yang sulit yang susah). Namun dalam Al-Qur’an kata jahda sebagaimana
dalam QS. An-Nahl:38, an-Nur:53, Fathir: 42 semuanya mengandung arti badzl
https://inseparfoundation.wordpress.com/2015/07/10/fungsi-akal-dalam-
39
memahami-al-quran/
Akal: 15
Sumber Kebenaran dalam Islam
Ijtihad jenis ini merupakan keharusan bagi setiap orang (fardhu ain),
yang menyangkut kepentingan dirinya sendiri. Sedangkan ijtihad yang
mengandung pengertian terbatas, mengacu kepada penalaran yang bersifat
ilmiah, sehingga kata “ijtihad” di sini merupakan technische term. Ijtihad
jenis ini secara khusus, berada pada ruang lingkup Bab Peradilan dan
Kekuasaan Kehakiman yang merupakan suatu keharusan bagi kepentingan
umum (fardhu kifayat).
40 Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam (Jakarta: Kencana, 2007), 190.
41 Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 82.
16 Akal:
Sumber Kebenaran dalam Islam
Oleh karena itu, ijtihad dalam pengertian ini hanya menjadi beban
sejumlah orang tertentu yang mempunyai kemampuan dan keahlian khusus,
serta mempunyai kewenangan dalam melakukan pelayanan bagi kepentingan
umum. Yang tergolong kategori ini adalah para hakim atau penasihat hukum
(mufti). Di sini, ijtihad merupakan fardhu kifayah.42
Hampir semua masalah pada masa itu dapat terjawab dengan al-
Qur’an atau hadits, serta fatwa para sahabat Rasulullah saw. Namun ketika
Islam mulai menyebar ke seluruh penjuru dunia, masalah-masalah baru pun
mulai bermunculan. Hal ini tentu tidak dapat lagi sekedar mengandalkan nash
secara teks bahasa, baik dalam al-Qur’an ataupun hadits. Adapun bahasa
yang digunakan dalam al-Qur’an adalah bahasa Arab, sehingga metode
terpenting dalam menggali hukum Islam adalah aspek bahasa. Implikasinya,
dalam kajian pemikiran hukum Islam didominasi oleh kaidah kebahasaan
(qawaid lughawiyah) atau logika bahasa yang deduktif, serta sulit menerima
perubahan. Sedangkan, hukum dari realitas empiris (al-‘Adat, syar’u man
qablana, ilmu pengetahuan) serta nalar rasion (istihsan) menjadi langka dan
sulit diterima. Hal inilah yang mengakibatkan hukum yang dikeluarkan tidak
jauh berbeda dengan teks al-Qur’an maupun hadits.
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan
dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi
Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-
gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam)
maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” (Q.S. Al-
43
Maidah: 5)
Umar bin Khattab tidak berpegang pada makna lahiriyah teks al-
Qur’an, akan tetapi melihat dari perspektif sosio-politik umat Islam, dimana
menurutnya jika perkawinan antar agama diijinkan maka akan terjadi kasus-
kasus penelantaran kaum muslimah. Melihat hal ini, sebagian ulama
memandang bahwa apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab adalah sejenis
ijtihad politik (tasharruf siyasi) yang timbul karena pertimbangan kemanfaatan
menurut tuntutan jaman dan tempat. Meskipun ijtihad Umar bin Khattab
menimbulkan kontroversi dan penilaian negatif di kalangan para sahabat,
tetapi itu merupakan langkah ijtihad pada masa awal Islam serta sebagai
upaya dalam melakukan kontekstualisasi ajaran Islam dalam sejarah.
Pada periode Islam awal, yaitu periode Islam di Mekkah ketika Al-
Qur’an awal diwahyukan, hukum Islam dimulai dengan tetap membiarkan
praktik-praktik hukum yang telah ada di dalam masyarakat. Namun
kemudian, sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Hamidullah, secara
bertahap, berdasarkan wahyu (al-Qur’an) dan sunnah Nabi Muhammad Saw,
sistem hukum yang telah menjadi kebiasaan pada masyarakat jahiliah
tersebut diperbaiki, dirombak dan bahkan diganti sama sekali dengan sistem
hukum Islam yang berbeda dalam kurun waktu sekitar dua puluh tiga tahun.
43
https://tafsirq.com/topik/Al+maidah+ayat+5
44
Hardy, “Pemikiran Hukum Islam dan Dinamika Masyarakat Periode Kontemporer”, 7-8.
18 Akal:
Sumber Kebenaran dalam Islam
45 Lukman Santoso, “Nomenklatur Dinamika Pemikiran Hukum Islam”, Epistemé, Vol. 11,
No. 1, Juni 2016, 69.
46 Agus Mohd. Najib, “Fiqih: Antara Syari’ah dan Budaya Lokal”, Jurnal MAZHABUNA,
Menurut A. Hânafi, hukum Islam telah berlaku umum dan dapat menyesuaikan diri
dengan kebutuhan hidup modern, sebagaimana ia telah mensinyalir dari Seminar
Hukum di Den Haag-Belanda Agustur 1948 dan Paris-Perancis Juli 1951.
52 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997), 46.
20 Akal:
Sumber Kebenaran dalam Islam
a. Sempurna (Paripurna)
b. Elastis (Fleksibel)
53 Anwar Haryono, Hukum Islam: Keluasan dan Keadilannya (Jakarta: Bulan Bintang,
1985), 113. Hasbie Ash-Shiddiqie, Pengantar Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang. 1975),
23-24. dan Cik Hasan Bisri, 112.
54 Anwar Haryono, Hukum Islam: Keluasan dan Keadilannya (Jakarta: Bulan Bintang.
1985), 112.
55 Hasbie Ash-Shiddiqie, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam (Jakarta: Tintamas. 1975),
27.
Akal: 21
Sumber Kebenaran dalam Islam
d. Sistematis
56 Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I‘lâm al-Muwaqqîn ‘anRabbi al-‘Âlamîn (Beirut: Dâr al-Fikr.
t.th.), jilid III, 14.
57 Muhammad Muslehudin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, terj. Yudian
59Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushûl al-Fiqh (Kairo: Maktabah Tijâriyah al-Kubrâ.
1969), 22. Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh (Mesir: Dâr al-Fikr al‘Arabiy. 1973),
76.
Akal: 23
Sumber Kebenaran dalam Islam
Secara harfiyah, ijtihâd berasal dari kata “juhd’ yang berarti sungguh-
sungguh dalam melaksanakan suatu perbuatan. Istilah ini pada mulanya
digunakan dalam bidang jurisprudensi (fiqh) untuk menyatakan salah satu
kaidah yang ditetapkan oleh para ulama madzhab dan menyusul
pembentukkannya. Apabila suatu kasus tidak ditemukan penjelasannya
dalam Al-Quran dan Sunnah, maka ia harus berijtihâd dengan ra’yunya.
corak kaidah, yakni kaidah Ushûl dan kaidah fiqh; Ketiga, aspek pemikiran
yang merupakan pijakan mendasar yang dipakai para ulama dalam berijtihâd.
Ada yang lebih dominan berpegang kepada nash/teks dan ada yang berpegang
kepada ra’yu/konteks.62
Sebagai implikasi dari tiga hal di atas, maka dalam kajian pemikiran
hukum Islam dikenal dua aliran utama dalam madzhab hukum Islam, yaitu
aliran fuqaha yang berpegang pada nash atau biasa disebut dengan ahl al-
hadîts/mutakallimîn (Imam Syâfi‘i dan pengikutnya) dan aliran fuqaha yang
lebih berpegang kepada ra’yu/akal dalam merumuskan metode hukumnya,
dikenal sebagai ahl al-ra’yu (Imam Hânafi dan pengikutnya).
Di antara hal-hal yang diperselisihkan oleh para ulama dan dua aliran
besar dalam hukum Islam tentang kedudukan sumbersumber hukum Islam
adalah: Pertama, masalah hadits/sunnah yang diperdebatkan sisi orisinalitas
dan validitasnya baik dari segi sanad, rawi maupun materi (matan) haditsnya
serta tingkat orientasi dan kecenderungan ulama di dalam memakai hadits
sebagai dasar hukum; Kedua, perbedaan pendapat tentang sumber hukum
Islam selain Al-Quran dan Sunnah, yaitu Qiyash, Istihsân, Mashlahah al-
Mursalah, dan sebagainya63
a. Metode Induktif
62 Murtadha Muthahari dan M. Baqir Ash-Shadr, Pengantar Ushûl Fiqh dan Ushûl Fiqh
Perbandingan, terj. Satrio Pinandih dan Ahsin Muhammad (Jakarta: Pustaka Hidayah.
1993), 44-50.
63 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ushûl Fiqh Perbandingan (Bandung: Piara. 1994), 44-47.
26 Akal:
Sumber Kebenaran dalam Islam
kalangan Mu‘tazilah dan ‘Asy‘ariyyah yang sarat dengan muatan teologi dan
filsafat.
b. Metode Deduktif
64 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ushûl Fiqh Perbandingan (Bandung: Piara. 1994), 31-
43.
65 Abdul Wahhâb Ibrâhim Abû Sulaymân, Fikr alUshûliy (Jeddah: Dâr al-Syurûq.
1983), 447-448.
Akal: 27
Sumber Kebenaran dalam Islam
kasus tertentu aliran ini menggunakan metode induktif, tapi dalam kasus lain
aliran ini juga menggunakan metode deduktif. Penggunaan dua metode
sekaligus sangat tergantung kepada adanya illat hukum yang berimplikasi
pada perubahan hukum yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi.66
Disamping itu, ijtihâd tidak hanya dipahami secara sempit dalam arti
rekonstruksi pemikiran di bidang hukum Islam, melainkan ijtihâd dipandang
sebagai wacana untuk membangun suatu peradaban manusia, dan khususnya
dalam pengem-bangan pengetahuan dan sains. Jadi, suatu pandangan yang
keliru apabila dikatakan oleh sebagian orang bahwa ‘pintu ijtihâd telah
tertutup’, padahal pola pikir dan cara pandang manusia senantiasa berubah
dan dinamis. Atas dasar itu, maka pintu ijtihâd akan selalu terbuka dan tetap
semisal aliran mutakallimin (ahl al-hadîts) dan aliran rasionalis (ahl al-ra’yi) tidak
hanya terjadi di kalangan Sunni antara pengikut Imam Syâfi‘î dan pengikut Imam
Abû Hanifah, akan tetapi juga terjadi di kalangan Syi’ah. Pemikiran hukum Islam
dalam kegiatan Ijtihad para ulama Syi’ah mengkristal menjadi dua corak, yakni ahl al-
hadîts yang dipelopori oleh sekte Syi’ah Imâmiyah, Zayidiyyah dan Ibâdiyyah, serta
ahl al-ra’yi yang dipelopori oleh sekte Syi’ah Ja‘fariyyah, Isma’iliyah dan Sabaiyah.
Lihat, Rachmat Syafe’i, Pengantar Ushûl Fiqh Perbandingan (Bandung: Piara. 1994), 41-43.
28 Akal:
Sumber Kebenaran dalam Islam
Prinsip ini sangat jelas tampak dalam proses penetapan hukum Islam.
Pada umumnya hukum-hukum itu disyarî‘at kan menunjukkan bahwa
hikmahnya adalah untuk memberi kemudahan dan keringanan. Karena tabiat
manusia tidak menyukai beban yang membatasi kemerdekaannya dan
manusia suka memperhatikan hukum dengan sangat hati-hati. Manusia
dalam mentaati hukum terbatas oleh pilihan-pilihan di mana apabila sanggup
melaksanakannya.
2) Menyedikitkan Beban
69Rachmat Syafe’i, Pengantar Ushûl Fiqh Perbandingan (Bandung: Piara. 1994), 3. Penulis
mengambil pemahaman dari sifat dan karakteristik hukum Islam yang elastis dan
dinamis. Bila saja perkembangan ijtihad diangggap pintunya telah tertutup pada
periode taklid, hal demikian semata-mata disebabkan kebanyakan ulama atau fuqaha
enggan untuk menemukan pemikiran baru dalam ijtihad, dan mereka (ulama taklid)
lebih suka merekonstruksi ulang dan atau senantiasa menyandarkan ijtihadnya
kepada guru-guru mereka.
Akal: 29
Sumber Kebenaran dalam Islam
4) Memperhatikan Kemaslahatan
70 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum, 6869. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushûl, 23-24.
71 A. Djazuli, Ushûl Fiqh, 20-23.
72 A. Djazuli, Ushûl Fiqh, 62-63.
30 Akal:
Sumber Kebenaran dalam Islam
pertimbangan hukum. Karena pola kehidupan terus berubah, maka dalam hal
perubahan hukum dan atau penggantiannya senantiasa diarahkan untuk
mencapai kemaslahatan umum.73
Teori ini dikemukakan oleh H.A.R. Gibb dalam The Modern Trends
of Islam yang menyatakan bahwa setiap orang Islam diharuskan tunduk dan
patuh kepada otoritas hukum agama yang dianutnya.43 Dengan kata lain,
bagi orang Islam terdapat kewajiban untuk menjalankan syarî‘at Islam dalam
bentuk ketaatan yang universal dan paripurna.
orang Islam berlaku penuh hukum Islam, sebab ia telah memeluk agama Islam
walaupun dalam pelak-sanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan.
4) Teori Receptie
G. Penutup
Akal adalah anugrah yang sangat mulia yang Allah berikan kepada
manusia, dengan akal manusia dapat membedakannya dengan mahluk yang
lain. Dengan akal manusia dapat membedakan mana yang hak dan mana yang
batil, dapat membedakan yang lurus dengan yang berliku-liku. Akal
sangatlah bannyak perannya dalam kehidupan sehari-hari, terutama didunia
74
Didi Kusnadi, “Pemikiran Hukum Islam Klasik Dan Modern: Karakteristik, Metode,
Pengembangan, Dan Keberlakuannya”, Asy-Syari‘ah, Vol. 16, No. 1, April 2014, 11-13.
32 Akal:
Sumber Kebenaran dalam Islam
DAFTAR PUSTAKA
Abû Zahrah, Muhammad, Ushûl al-Fiqh, Mesir: Dâr al-Fikr al‘Arabiy. 1973.
Al-Hafidz, Ahsin W, Kamus Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Amzah, 2006.
A. Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Buntang. 1970.
Amal, Taufik Adnan , Islam dan Tantangan Modernitas, Studi atas Pemikiran Hukum
Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1989.
Amin, Muhammad, Kedudukan Akal Dalam Islam, Jurnal Pendidikan Agama Islam
Vol. 3, No. 1.
Ash-Shiddiqie , Hasbie, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang. 1975.
Asy’ari, Musa, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, Yogyakarta:
Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992.
Azyumardi Azra, Essei-Essei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta:
Logos, 1995.
Didi, Kusnadi, Pemikiran Hukum Islam Klasik Dan Modern: Karakteristik, Metode,
Pengembangan, dan Keberlakuannya, Asy-Syari‘ah, Vol. 16,No. 1.
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997.
Hardy, Pemikiran Hukum Islam dan Dinamika Masyarakat Periode Kontemporer.
Harjoni, Agama Islam Dalam Pandangan Filosofis, Bandung: Alfabeta, 2012.
Haryono, Anwar, Hukum Islam: Keluasan dan Keadilannya, Jakarta: Bulan Bintang,
1985.
HD, Kaelany, Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan, Jakarta: Bumi Aksara, 2005.
https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-164
https://tafsirq.com/topik/Al+maidah+ayat+5
https://redaksiindonesia.com/read/kedudukan-akal-dalam-alquran-
Haditst.html
https://inseparfoundation.wordpress.com/2015/07/10/fungsi-akal-dalam-
memahami-al-quran/
Huda, Nuril, Memahami Islam Lewat Perguruan Tinggi, Jakarta: Amzah, 2017.
Ibrâhim Abû Sulaymân, Abdul Wahhâb, Fikr alUshûliy, Jeddah: Dâr al-Syurûq.
1983.
Indra, Hasbi, Pandangan Islam Tentang Ilmu Pengetahuan Dan Refleksinya Terhadap
Aktivitas Pendidikan Sains Di Dunia Muslim, MIQOT, Vol. XXXIII No. 2.
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushûl al-Fiqh, Kairo: Maktabah Tijâriyah al-Kubrâ.
1969.
Kusnadi, Didi, Pemikiran Hukum Islam Klasik Dan Modern: Karakteristik, Metode,
Pengembangan, Dan Keberlakuannya, Asy-Syari‘ah, Vol. 16, No. 1.
Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif,
1980.
Masbukin dan Alimuddin Hassan, Antara Perdebatan dan Pembelaan dalam
Sejarah, Akal dan Wahyu, Vol. 8, No. 2.
34 Akal:
Sumber Kebenaran dalam Islam