Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, sebelum ditemukan
vaksin, angka kejadian dan kematian akibat menderita pertusis cukup tinggi.
Ternyata 80% anak-anak dibawah umur 5 tahun pernah terserang peyakit pertusis,
sedangkan untuk orang dewasa sekitar 20% dari jumlah penduduk total.
Dengan kemajuan perkembangan antibiotic dan program imunisasi maka
mortalitas dan mobiditas penyakit ini menurun. Namun demikian penyakit ini
masih merupakan salah satu masalah kesehatan terutama mengenai bayi-bayi
dibawah umur.
Pertusis sangat infeksius pada orang yang tidak memiliki kekebalan.
Penyakit ini mudah menyebar ketika sipenderita batuk. Sekali seseorang terinfeksi
pertusis maka orang tersebut kebal terhadap penyakit untuk beberapa tahun tidak
untuk seumur hidup, kadang-kadang kembali terinfeksi beberapa tahun kemudian.
Pada saat ini vaksin pertusis tidak dianjurkan bagi orang dewasa. Walaupun orang
dewasa sering sebagai penyebab pertusis pada anak-anak, mungkin vaksin orang
dewasa dianjurkan untuk masa depan.

1.2 Rumusan Masalah


a) Apa definisi dari pertusis?
b) Bagaimana etiologi terjadinya pertusis?
c) Bagaimana patofisiologi terjadinya pertusis?
d) Bagaimana pathway dari pertusis?
e) Bagaimana manifestasi klinis pertusis?
f) Bagaimana tes diagnostik dari pertusis?
g) Bagaimana komplikasi dari pertusis?
h) Bagaimana penatalaksanaan dari pertusis?
i) Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada anak dengan pertusis ?

1
1.3 Tujuan Penulisan
a) Untuk mengetahui definisi dari pertusis
b) Untuk mengetahui etiologi terjadinya pertusis
c) Untuk mengetahui patofisiologi terjadinya pertusis
d) Untuk mengetahui pathway dari pertusis
e) Untuk mengetahui manifestasi klinis pertusis
f) Untuk mengetahui tes diagnostik dari pertusis
g) Untuk mengetahui komplikasi dari pertusis
h) Untuk mengetahui penatalaksanaan dari pertusis
i) Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan pada anak dengan pertusis

2
BAB 2
ISI

2.1 Definisi
Pertusis adalah penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh bakteri
Bordetella pertusis. Nama lain penyakit ini adalah Tussis quinta, whooping
cough,batuk rejan, batuk 100 hari (Arif Mansjoer 2000).
Pertusis adalah penyakit yang ditandai dengan radang saluran nafas yang
menimbulkan serangan batuk panjang yang bertubi-tubi, berakhir dengan inspirasi
berbising (Ramali, 2003).

2.2 Etiologi
Pertusis pertama kali dapat diisolasi pada tahun 1900 oleh Bordet dan
Gengou, kemudian pada tahun 1906 kuman pertusis dapat dikembangkan dalam
media buatan. Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu Bordetella Pertusis,
Bordetella Parapertusis, Boredetella Bronkiseptika, dan Bordetella Avium.
Bordetella pertusis adalah satu-satunya penyebab pertusis yaitu bakteri gram
negative , tidak bergerak, dan ditemukan dengan melakukan swab pada daerah
nasofaring dan ditanamkan pada media agar Bordet-Gengou (Arif Mansjoer, 2000).
Adapun ciri-ciri organisme ini antara lain :
a. Berbentuk batang (coccobacilus)
b. Tidak dapat bergerak
c. Bersifat gram negative
d. Ukuran panjang 0,5-1 um dan diameter 0,2-0,3 um
e. Tidak berspora, mempunyai kapsul
f. Mati pada suhu 55˚C selama ½ jam , dan tahan pada suhu rendah (0˚-10˚C)
g. Dengan perwanaan Toluidin blue, dapat terlihat granula bipolar metakromatik
h. Tidak sensitive pada tetrasiklin, ampicilin, eritomisin, tetapi resisten terhadap
penicillin
i. Menghasilkan 2 macam toksin , antara lain :
1) Toksi tidak tahan panas (Heat Labile Toxin)
2) Endotoksin (lipopolisakarida)
j. Melekat ke epitel pernafasan melalui hemaglutinasi filamentosa dan adhesi yang
dinamakan pertaktin.

3
k. Menghasilkan beberapa antigen, antara lain :
1) Toksin pertusis (PT)
2) Filamentous hemagglutinin (FHA)
3) Pertactine 69-kDa OMP
4) Aglutinogen fimbriae
5) Adenycyclase
6) Endotoksin
7) Tracheal cytotoxin
l. Dapat dibiakkan dimedia pembenihan yang disebut berdet gengou (potato-
blood-glycerol) yang diberi penisilin G 0,5 mikrogram/ml untuk menghambat
pertumbuhan organisme lain.
Factor-faktor kevirulenan Bordetella Pertusis :
a) Toksin pertusis : Histamine Sensitizing Factor (HSF), Iymphocytosis promoting
factor, Islet activating protein (IAP).
b) Adenilat siklase luarsel.
c) Hemaglunitin (HA) : F-HA (filamentous-HA), PT-HA (pertusis toxin- HA)
d) Toksin tak stabil panas (heat labile toxin).
Secara morfologis terdapat beberapa kuman yang menyerupai Bordetella
Pertusis seperti Bordete.

2.3 Patofisologi
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernafasan
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernafasan. Mekanisme pathogenesis
infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan,
perlawanan terhadap meaknisme pertahanan pejamu, kerusakan local dan akhirnya
timbul penyakit sistemik. Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada
perlekatan Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella
pertusis, kemudian bermultiplikasi dan menyebar keseluruh permukaan epitel
saluran nafas. Proses ini tidak invasive oleh karena pada pertusis tidak terjadi
bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan
toksin yang akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough.
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena
pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit
B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan sub unit
A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat
migrasi limfosit dan makrofag kedaerah infeksi.

4
Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai afek mengatur
sintesis protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi
fisiologis dari sel target termasuk lifosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan
pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan
meningkatkanaktivitas insulin, sehingga akan menurunkan konsentrasi gula darah.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid
peribronkial dan meningkatkan jumlah mukosa pada permukaan silia, maka fungsi
silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder
(tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. Influenza dan Staphylococcus aureus).
Penumpukan mucus akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan
obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan
pertukaran oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah
akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia.
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampa, dak apabila
sel mengalami regenarasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek
antibiotic terhadap proses penyalit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya
menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkantoksin pertusis.
Cara penularan pertusis , melalui :
a) Droplet infection
b) Kontak tidak langsung dari alat-alat yang terkontaminasi
c) Penyakit ini dapat ditularkan penderita kepada orang lain melalui percikan-
percikan ludah penderita pada saat batuk dan bersin
d) Dapat pula melalui sapu tangan, handuk dan alat-alat maka yang dicemari
kuman-kuman penyakit tersebut.
Tanpa dilakukan perawatan , orang yang menderita pertusis dapat
menjularkannya kepada orang lain selama 3 minggu setelah batuk dimulai.

2.4 Pathway
2.5 Manifestasi Klinis
Menurut Guinto-Ocampo H. (2006), periode inkubasi pertusis berkisar
antara 3-12 hari. Pertusis merupakan penyakit 6 minggu (a 6-week disease) yang
dibagi menjadi : stadium catarrhal, paroxysmal dan convalescent.
a) Stadium 1

5
Stadium ini berlangsungn 1-2 minggu. Stadium ini disebut juga
catarrahal phase, stadium kataralis, stadium prodromal, stadium pre-
paroksismal. Stadium ini tidak dapat dibedakan dengan infeksi saluran
pernafasan bagian atas dengan common cold, kongesti nasal, rinorea, dan bersin,
dapat disertai dengan sedikit demam (low-grade fever), tearing, dan
conjunctivaln suffusion.
Pada stadium ini, pasien sangat infeksius (menular) namun pertusis dapat
tetap menular selama tiga minggu atau lebih setelah onset batuk. Kuman paling
mudah diisolasi juga pada stadium ini
Menurut rampengan (2008), masa inkubasi pertusis 6-10 hari (rata-rata 7
hari), perjalanan penyakitnya berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Adapun
manifestasi klinis pada stadium ini adalah :
1) Gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas, yaitu dengan timbulnya rinore
dengan lender yang cair dan jernih.
2) Infeksi konjungtiva, lakrimasi
3) Batuk dan panas yang ringan
4) Kongesti nasalis
5) Anoreksia
Batuk yang timbul mula-mula pada malam hari, lalu siang hari, dan menjadi
semakin hebat. Secret banyak, menjadi kental dan lengket. Pada bayi terlihat
sakit berat dan iritabel.
b) Stadium 2
Stadium ini berlangsung 2-4 minggu atau lebih. Stadium ini juga disebut
paroxysmal phase, stadium akut paroksimal, stadium paroksismal, stadium
spasmodic. Penderita pada stadium ini disertai batuk berat yang tiba-tiba dan tak
terkontrol (paroxysms of intense coughing) yang berlangsung selama beberapa
menit. Bayi yang berusia kurang dari 6 bulan tidak disertai whoop yang khas
namun dapat disertai episode apnea (henti nafas sementara) dan berisiko
kelelahan (exhaustion).
Menurut Rampengan (2008), manifestasi klinis pada stadium ini adalah :
1) Whoop (batuk yang berbunyi nyaring), sering terdengar pada saat penderita
menarik nafas di akhir serangan batuk.
2) Batuk 5-10 kali, selama batyk anak tidak adapat bernafas, dan di akhir
serangan batuk anak menarik nafas dengan cepat dan dalam sehingga
terdengar bunyi melengking (whoop) dan di akhiri dengan muntah.

6
3) Selama serangan (batuk), muka penderita menjadi merah atau sianosis, mata
tampak menonjol, lidah menjulur keluar, dan gelisah. Juga tampak pelebaran
pembuluh darah yang jelas dikepala dan leher, petekie di wajah, pendarahan
subkonjungtiva dan sclera, bahkan ulserasi frenulum lidah.
4) Di akhir serangan, penderita sering memuntahkan lender kental.
5) Setelah 1 atau 2 minggu, serangan batuk makin menghebat.
c) Stadium 3
Stadium ini berlangsung 1-2 minggu. Stadium ini disebut juga stadium
konvalesens. Menurut Guinto-Ocampo H. (2006) dan Gama H., et.al. (2005),
pada stadium konvalesens, batuk dan muntah menurun. Namun batuk yang
terjadi merupakan batuk kronis yang dapat berlangsung selama berminggu-
minggu.
Dapat terjadi petekie pada kepala/leher, perdarahan kontungtiva, dapat terjadi
ronchi difus.
Menurut Rampengan (2008), manifestasi klinis pada stadium ini adalah :
1) Whoop dan muntah berhenti.
2) Batuk biasanya masih menetap dan segera menghilang setelah 2-3 minggu.
3) Beberapa penderita akan timbul serangan batuk paroksismal kembali dengan
whoop dan muntah-muntah. Episode ini terjadi berulang dalam beberapa
bulan bahkan hingga satu atau dua tahun, dan sering dihunungkan dengan
infeksi saluran nafas bagian atas yang berulang.

2.6 Tes Diagnostik


a. Pemeriksaan sputum
b. Pemeriksaan serologis untuk Bordetella pertusis.
c. ELISA
Elisa dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap
“filamentolus hemagglutinin (FHA)” dan toksin pertussis (TP). Nilai IgM-TP
serum tidak bernilai dalam penentuan seropositif oleh karena menggambarkan
respon imun primer dan dapat disebabkan oleh penyakit atau vaksinasi. IgG
langsung terhadap toksin pertussis merupakan test yang paling sensitive dan
spesifik untuk infeksi akut. IgA-FHA dan IgA-TP kurang sensitive daripada IgG-
TP tetapi sangat spesifik untuk infeksi natural dan tidak terlihat sesudah imunisasi
pertusis.
d. Leukositosis (15.000-100.000/mm3) dengan limfosis absolute selama stadium 1
dan stadium 2.

7
e. Didapatkan antibody (IgG terhadap toksin pertussis).
f. Diagnosis pasti dengan ditemukannya organisme Bordetella pertussis pada apus
nasofaring posterior (bahan media Bordet-Gengou).
g. Polymerase chain reaction (PCR) assay memiliki keuntungan sensitivnya lebih
tinggi daripada kultur pertusis konvensional.
h. Foto thoraks
Infiltrate pehiler (perihilsr infibrates), edema (atau mild interstitial
edema) dengan berbagai tingkat atelektasis yang bervariasi, mild peribronchial
cuffing, atau empiema. Konsolidasi (consolidation) merupakan indikasi adanya
infeksi bakteri sekunder atau pertussispneumonis (jarang). Adakalanya
pneumothorax, pneumomediastinium, atau udara dijaringan yang lunak dapat
terlihat.
Radiography tidak diindikasikan pada pasien dengan tanda-tanda vital
(vital signs) yang normal. Vital signs ini meliputi : tekanan darah, nadi, heart nate,
respiration rate, dan suhu tubuh.

2.7 Komplikasi
Komplikasi dari pertusis adalah sebagai berikut :
a. Pernafasan
Dapat terjadi otitis media, bronchitis, bronchopneumonia, ataelaktasis yang
disebabkan sumbatan mucus, amfisema, bronkietaksis, dan tuberculosis yang
sudah ada menjadi bertambah berat.
b. Sistem pencernaan
Muntah-muntah yang berat dapat menimbulkan emasiasis (anak menjadi
kurus sekali), prolapus rectum atau hernia yang mungkin timbul karena
tingginya tekanan intra abdominal, ulkus pada ujung lidah karena tergosok pada
gigi atau tergigit pada waktu serangan batuk, juga stomatitis.
c. Susunan saraf
Kejang dapat timbul karana gangguan keseimbangan elektrolit akibat
muntah-muntah, kadang-kadang terdapat kongesti dan edema pada otak,
mungkin pula terjadi perdarahan otak.
d. Lain-lain
Dapat pula terjadi perdarahan lain seperti epistaksis, hemoptisis dan
perdarahan subkonjungtiva.

2.8 Pentalaksanaan

8
Menurut Garna, et.al. (2005), terapi pertusis adalah :
a. Suportif
1) Isolasi (1-2 minggu)
2) Mencegah factor yang merangsang batuk (debu, asap, rokok).
3) Mempertahankan status nutrisi dan hidrasi
4) Oksigen bila sesak nafas
5) Pengisapan lender
6) Obat untuk mengurangi batuk paroksismal dengan kortikosteroid
(betametason) dan salbutamol (albuterol).
b. Eradikasi bakteri
Pilihan obat yang dapat diberikan adalah :
1) Eritromisin
Dosis : 40-50 mg/kg berat badan/hari, maksimal 2gram/hari, p.o., dibagi
dalam 4 dosis selama 14 hari.
2) Klaritromisin
Dosis : 15-20 mg/kg berat badan/hari, sehari 1x, p.o., dibagi dalam 2 dosis
selama 7 hari.
3) Azitromisin
Dosis : 10 mg/kg badan/hari, sehari 1x, p.o., dibagi selama 5 hari.
4) Kotrimoksasol
Dosis : 50 mg/kg berat badan/hari, p.o., dibagi dalam 2 dosis, selama 14 hari.
5) Ampisilin
Dosis : 100mg/kg berat badan/hari, p.o., dibagi dalam 4 dosis selama 14 hari.
Sedangkan Guinto-Ocampo (2006) mengusulkan penatalaksanaan pertusis sebagai
berikut :
a. Antibiotic
1. Erythromycin
- Mekanisme kerja : menghambat pertumbuhan bakteri, dengan menghalangi
disosiasipeptidly Trna dari ribosom menyebabkan RNA-dependent protein
synthesis berhenti.
- Dosis dewasa :
- Dosis anak-anak : 0,5 mL IM pada usia 2, 4,6, 15-18 bulan, dan 4-6 tahun.
7-18 tahun jadwal catch-up untuk imunisasi primer: 0,5 mL IM Td untuk 3
dosis. Berikanlah jarak 4 minggu diantara dosis pertama dan kedua, dan 6
bulan diantara dosis kedua dan ketiga; ikuti dengan dosis booster 6 bulan
setelah dosis ketiga (boleh menggantu Tdap untuk dosis jika usia sesuai).
- Dosis booster remaja (10-18 tahun) : Tdap 0,5 mL IM sekali, dosis tunggal.
2. Tdap
- Dosis dewasa : 0,5 mL IM sekali dosis tunggal. Booster dengan Td
direkomendasikan q10y. Lebih daria 65 th : tidak diindikasikan.

9
-Dosis anak-anak <10 tahun : tidak diindikasikan. 10-18 th : diberikan sesuai
dengan dosis dewasa.
Pertussis-specific immune globulin merupakan produk investigational yang
mungkin efektif untuk mengurangi batuk paroksismal namun masih
memerlukan evaluasi lebih lanjut.

2.8 Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a.Identitas klien :
Umur : Biasanya menyerang anak umur 1-5 tahun
Jenis kelamin : Lebih banyak anak laki-laki daripada anak perempuan
b. Keluhan utama : Klien mengeluh batuk terus menerus
c.Riwayat kesehatan sekarang : Kaji apakah klien batuk makin lama semakin
bertambah, berat badan menurun, mual/muntah, tidak selera makan, nyeri
tenggorokan.
d.Riwayat penyakit sebelumnya :Apakah klien mendapatkan imunisasi DPT
lengkap.
e. Dasar data dan pengkajian Fisik:
1) Makanan/cairan Data Subyektif : Anoreksia, muntah.
Data Obyektif : Badan biasanya kurus berat badan biasanya kurang dari
normal dengan perhitungan menurut Behrman, 1992: umur 5 bulan: BB= 2x
BBL.
umur 1 tahun: BB= 3x BBL atau: {umur (bulan) + 9): 2
Jumlah Hb (11,5-16 gr/dL) & albumin (3,8-4.4 gr/ dL) biasanya kurang dari
normal.
2) Pola eliminasi
Data Subyektif : BAB dan BAK lancar.
Data Obyektif : Urin berbau amoniak dan berwarna kuning.
3) Aktifitas/istirahat
Data Subyektif : Kelemahan, kelelahan.
Data Obyektif : Letargi.
4) Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan.

10
Data Subyektif: Pasien mengatakan sering batuk-batuk.
Data Obyektif : Tampak lemah.
5) Pola aktivitas dan latihan.
Data Subyektif: Batuk panjang, kelelahan, demam ringan.
Data Obyektif : Sesak, kelelahan otot dan nyeri.
6) Pola tidur dan istirahat
Data Subyektif : Mudah terbangun.
Data Obyektif : Gelisah.
7) Pola persepsi kognitif
Data Subyektif: Pasien mengatakan komunikasi terhambat akibat batuknya.
Data Obyektlf : Nyeri, mual.
8) Pola Persepsi dan konsep diri
Data Obyektlf : Gelisah.
9) Pola peran dan hubungan dengan sesama
Data Obyektif : Dirawat di tempat khusus.
10) Pola reproduksi dan seksualitas
Data Obyektlf : Keadaan umum lemah, ketidakmampuan beraktivitas.
11) Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stress
Data Subyektif: Pasien mengatakan stress terhadap batuk yang dialaminya.
Data Obyektif : Gelisah.
12) Pola sistem kepercayaan
Data Subyektif: Pasien mengatakan mengalami kesejahteraan spiritual.
Data Obyektlf : Rajin beribadah.
13) Nyeri/kenyamanan
Data subyektjf : Sakit kepala, nyeri dada, meningkat oleh batuk: nyeri dada
substemal (influenza).
Data obyektif : Pasien terlihat mengelus dada
l4) Pemeriksaan fisik
a) Neurosensori
Data Subyektif : Sakit kepala daerah frontal (pilek)
Data Obyektif : Kurang konsentrasi.
b) Pernafasan

11
Gejala Batuk-batuk ringan pada siang-malam, pilek, sesak. batuk
panjang tidak ada inspirium dan diakhiri whoop.
Tanda : Bunyi nafas terdengar ronkhi atau mengi.
Warna : Pucat/sianosis pada bibir/kuku.
c. Pemeriksaan klinis:
a) Leukosit meningkat (15000-45000 mm3) pada stadium kataralis dan
spasmodik.
b) Sputum kultur: Adanya kuman dalam biakan dengan imunofluoresen.
c) Foto thorak: Sedikit abnormal pada pasien yang menunjukkan infiltrat
perihil atau edema.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul :
a.Bersihan jalan nafas tidak efektif
b. Gangguan pertukaran gas
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
d. Intoleransi aktivitas
e. Hipertermi

3. Intervensi Keperawatan
Diagnosis keperawatan 1: Bersihan jalan nafas tidak efektif
No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
Keperawatan/Masalah
Kolaborasi
1. Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan tindakan 1. Pastikan kebutuhan
tidak efektif keperawatan selama…… oral/tracheal
berhubungan dengan : pasien menunjukkan suctioning
2. Berikan oksigen
1. infeksi, disfungsi, keefektifan jalan nafas
sesuai indikasi
neuromuskular, dibuktikan dengan kriteria
3. Anjurkan pasien
hyperplasia dinding hasil :
untuk istirahat dan
bronkus, alergi 1. Mendemostrasikan batuk
nafas dalam.
jalan nafas, asma, efektif dan suara nafas 4. Posisikan pasien
trauma. yang bersih, tidak ada untuk

12
2. Obstruksi jalan sianosis dan memaksimalkan
nafas : spasme jalan dyspneu(mampu ventilasi.
5. Lakukan fisioterapi
nafas, sekresi mengeluarkan sputum,
dada jika perlu
tertahan, banyaknya bernafas dengan mudah,
6. Keluarkan secret
mukus, adanya tidak ada pursed lips).
dengan batuk atau
2. Menunjukkan jalan nafas
jalan nafas buatan,
suction.
yang paten(klien tidak
sekresi bronkus, 7. Auskultasi suara
merasa tercekik, irama
adanya eksudat di nafas, catat adanya
nafas, frekuensi
alveolus, adanya suara tambahan.
pernafasan dalam 8. Berikan
benda asing di jalan
rentang normal, tidak bronkodilator
nafas.
9. Monitor status
DS: Dyspneu ada suara nafas
DO: Penurunan suara hemodinamik
abnormal).
10. Monitor respirasi dan
nafas, sianosis, 3. Mampu
status O2
adanya suara nafas mengidentifikasikan dan
11. Jelaskan pada pasien
tambahan (rales, mencegah faktor yang
dan keluarga pasien
wheezing), dapat menghambat jalan
tentang penggunaan
kesulitan bicara, nafas.
peralatan : O2,
batuk, dll.
Suction, Inhalasi.

2. Diagnosis Keperawatan 2 : Gangguan pertukaran gas


No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
Keperawatan/Masala
h Kolaborasi
1. Gangguan Setelah dilakukan tindakan 1. Posisikan pasien
pertukaran gas keperawatan selama….. untuk
berhubungan dengan gangguan pertukaran gas memaksimalkan
: pasien teratasi dengan ventilasi.
2. Pasang mayo bila
1. Ketidakseimbang kriteria hasil :
perlu
an perfusi 1. Mendemonstrasikan
3. Lakuakan fisioterapi
ventilasi peningkatan ventilasi
dada jika perlu.
2. Perubahan
dan oksigenasi yang 4. Keluarkan sekret
membrane
adekuat. dengan batuk atau
kapiler alveolar 2. Memelihara kebersihan

13
DS: sakit kepala paru-paru dan bebas dari suction.
5. Auskultasi suara
ketika bagun, tanda-tanda distress
nafas, catat adanya
dyspneu, pernafasan.
3. Mendemonstrasikan suara tambahan.
gangguan
6. Monitor respirasi dan
batuk efektif dan suara
penglihatan.
status O2
DO: Penurunan nafas yang bersih, tidak
7. Catat pergerakan
CO2, takikardi, ada sianosis, dan
dada, amati
hiperkapnia, dyspneu(mampu
kesimetrisan,
keletihan, mengeluarkan sputum,
penggunaan otot
iritabilitas, mampu bernafas dengan
tambahan, retraksi
hypoxia, sianosis, mudah)
otot supraclavicular
4. Tanda-tanda vitaldalam
warna kulit
dan intercostals.
batas normal
abnormal(pucat, 8. Monitor suara nafas
5. AGD dalam batas
kehitaman), seperti dengkur.
normal
9. Monitor TTV, AGD,
hipoksemia, AGD
elektrolit dan status
abnormal,
mental.
frekuensi dan
10. Observasi sianosis
kedalaman nafas
khususnya membrane
abnormal.
mukosa.
11. Jelaskan pada pasien
dan keluarga pasien
tentang persiapan
tindakan dan tujuan
penggunaan
peralatan O2(Suction,
Inhalasi)
3. Diagnosis keperawatan 3 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
Keperawatan/Masalah
Kolaborasi
1. Perubahan nutrisi Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji adanya alergi
kurang dari kebutuhan keperawatan selama….. makanan
tubuh berhubungan nutrisi kurang dari 2. Kolaborasi dengan

14
dengan : kebutuhan tubuh teratasi ahli gizi untuk
Ketidakmampuan dengan kriteria hasil : menentukan jumlah
untuk memasukkan 1. Adanya kalori dan nutrisi
atau mencerna nutrisi peningkatan berat yang dibutuhkan
oleh faktor biologis, badan sesuai pasien.
psikologis, ekonomi. dengan tujuan. 3. Anjurkan pasien
2. Berat badan ideal
untuk meningkatkan
sesuai dengan
intake Fe
tinggi badan.
4. Anjurkan pasien
3. Mampu
untuk meningkatkan
mengidentifikasi
protein dan vitamin C
kebutuhan nutrisi
4. Tidak ada tanda- 5. Berikan informasi
tanda malnutrisi tentang kebutuhan
nutrisi
6. Ajarkan pasien
bagaimana membuat
catatan makanan
harian.
7. Monitor adanya
penurunan berat
badan
8. Monitor turgor kulit
9. Monitor mual dan
muntah
10. Monitor pucat,
kemerahan, dan
kekeringan pada
konjungtiva
11. Monitor intake
nutrisi
4. Diagnosa keperawatan 4 : Intoleransi Aktivitas
No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
Keperawatan/Masalah

15
Kolaborasi
1. Intoleransi Aktivitas Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi adanya
berhubungan dengan keperawatan selama….. pembatasan klien
1.Imobilisasi pasien bertoleransi dalam melakukan
2.Kelemahan terhadap aktivitas, dengan aktivitas.
menyeluruh kriteria hasil : 2. Kaji adanya faktor
3.Ketidakseimbangan 1. Berpartisipasi dalam yang menyebabkan
antara suplai oksigen aktivitas fisik tanpa kelelahan.
dengan kebutuhan. disertai peningkatan 3. Monitor nutrisi dan
DS: Melaporkan secara tekanan darah, nadi, dan sumber energi yang
verbal adanya RR. adekuat.
kelelahan atau 2. Mampu melakukan 4. Monitor pasien akan
kelemahan, adanya aktivitas sehari-hari adanya kelelahan
dypsneu atau (ADLs) secara mandiri. fisik dan emosi
ketidaknyamanan 3. Keseimbangan aktivitas secara berlebihan.
dalam beraktivitas dan istirahat. 5. Monitor pola tidur
DO: Respon abnormal dan lamanya
dari tekanan darah tidur/istirahat pasien.
atau nadi terhadap 6. Bantu klien untuk
aktivitas. mengidentifikasi
aktivitas yang
mampu dilakukan.
7. Bantu untuk memilih
aktivitas konsisten
yang sesuai dengan
kemampuan fisik,
psikologi dan sosial.
8. Bantu untuk
mengidentifikasi dan
mendaptkan sumber
yang diperlukan
untuk aktivitas yang
diinginkan.

16
9. Bantu untuk
mendapatkan alat
bantuan aktivitas
seperti kursi roda,
krek.
10. Bantu klien untuk
membuat jadwal
latihan diwaktu
luang .
11. Bantu pasien yntuk
mengembangkan
motivasi diri dan
penguatan.
5.Diagnosa Keperawatan 5 : Hipertermi
No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
Keperawatan/Masalah
Kolaborasi
1. Hipertermi Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor suhu
berhubungan dengan: keperawatan sesering mungkin
1.Penyakit/trauma selama…..pasien 2. Monitor warna dan
2. Peningkatan menunjukkan: suhu kulit
metabolisme 1. Suhu 36-37oC 3. Monitor TD, nadi,
2.Aktivitas yang 2. Nadi dan RR dalam RR, dan suhu
berlebih rentang normal 4. Monitor
3.Dehidrasi 3. Tidak ada perubahan tingkatpenurunan
DO/DS : warna, kulit dan tidakada kesadaran.
Kenaikan suhu tubuh pusing, dan merasa 5. Monitor intake dan
diatas rentang nyaman. output.
normal, serangan 6. Selimuti pasien
kejang, kulit 7. Berikan cairan
kemerahan, intravena
pertambahan RR, 8. Kompres pasien pada
takikardi, kulit teraba lipat paha dan aksila.

17
panas/hangat. 9. Tingkatkan sirkulasi
udara
10. Tingkatkan intake
cairan dan nutrisi
11. Monitor hidrasi
seperti turgor kulit,
kelembaban
membrane mukosa).

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

18

Anda mungkin juga menyukai