Anda di halaman 1dari 9

ANAK KESAYANGAN IBU

(Sebuah Cerita Pendek)

Disusun sebagai Tugas Akhir Mata Pelajaran Bahasa Indonesia

Tahun Pelajaran 2018/2019

SMA SAN MARINO

Oleh

1. Cristoval Wenoch Kelas XII-IPA

2. Karenina Vincentia Kelas XII-IPA

3. Lucille Tantradinata Kelas XII-IPA

4. Reginald Lay Kelas XII-IPA

SMA SAN MARINO

Jakarta

2019
SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, Saya:

1. Cristoval Wenoch Kelas XII-IPA

2. Karenina Vincentia Kelas XII-IPA

3. Lucille Tantradinata Kelas XII-IPA

4. Reginald Lay Kelas XII-IPA

Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa:

1. Karya sastra berjudul ANAK KESAYANGAN IBU (sebuah cerita pendek)


adalah betul-betul karya kelompok saya sendiri.

2. Mengizinkan sekolah untuk menyimpan, menggandakan, dan


mempublikasikan sebagian atau seluruhnya karya tersebut untuk kepentingan
pendidikan.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Jakarta, 31 Januari 2019

Yang membuat pernyataan,

Cristoval Wenoch

1
ANAK KESAYANGAN IBU

(SINOPSIS)

Di hari liburan semester yang indah ini, Hindra, seorang anak yang periang,
akan pergi berlibur ke Malaysia bersama ibunya. Ini akan menjadi pengalaman
pertamanya ke luar negeri dan menaiki pesawat.

Banyak kegiatan seru yang mereka berdua lakukan di sana. Segala macam
wahana permainan, dan tempat wisata mereka coba dan kunjungi. Namun, liburan
kali ini bukanlah liburan yang biasa. Mereka akan mendapatkan suatu pengalaman
menegangkan yang akan membekas di benak mereka sampai kapan pun.

Kira-kira, kejadian macam apa yang akan membekas di benak mereka?

Jakarta, 31 Januari 2019

2
“Ini adalah panggilan terakhir kepada Ibu Jaya untuk penerbangan Leopard
Air dengan nomor penerbangan LP-4387 dengan tujuan Kuala Lumpur.”

Oh gawat! Itu adalah panggilan terakhir untuk kami! Ibuku langsung


menarik tanganku dan kami pun lari terbirit-birit bak dikejar setan. Untungnya, pak
pilot tidak meninggalkan kami.

Sehari sebelumnya...

Malam itu tak henti-hentinya aku tersenyum. Aku tak sabar menanti hari
esok. Aku melompat-lompat kegirangan mengelilingi meja makan sambil
bernyanyi “Libur T’lah Tiba”.

“Libur T’lah Tiba! Libur T’lah Tiba! Hore...”

“Hin... awas jatuh, sayang! Daripada kamu melompat-lompat terus,


mending bantu Mami mengemas barang-barang, yuk!” ibuku memotong
nyanyianku.

“Aduh mi, aku kan lagi bernyanyi! Jangan dipotong dong!”

“Ya sudah, kan bisa bernyanyi sambil mengemas,” sahut ibuku.

Dengan terpaksa, aku pun menuruti perkataan ibuku. Kami mengemas


barang-barang keperluan kami ke dalam koper. Sebenarnya, aku tidak terlalu
banyak membantu ibuku. Sebaliknya, aku malah bermain-main dengan barang-
barang yang tertata rapi di dalam koper. Ibuku sepertinya menjadi agak kesal karena
tingkah lakuku.

“Hindra sayang..., kamu belum mengantuk? Masuklah ke kamarmu dan


lekas tidur, nanti kau digigit mukmuk, lo!”

“Baik, Mami. Selamat malam,” jawabku sambil berlari ke kamar.

“Malam juga. Eh, cium mami dulu, dong!”

Aku pun mencium pipi ibuku dan memeluknya. Aku sangat sayang ibuku.
Lalu, aku bergegas ke kamarku dan melompat ke ranjangku. Tidak lupa aku berdoa

3
terlebih dahulu sebelum tidur. Setelah itu, aku langsung memeluk Kevin, boneka
anjing kesayanganku, dan tertidur pulas.

Cahaya mentari menerobos jendela kamarku. Dengan malas aku beranjak


dari tempat tidurku. Aku melirik jam kecil yang berada di sebelah tempat tidurku.
Waktu menunjukkan pukul 8 pagi dan aku pun tersentak kaget, mengingat bahwa
aku dan ibuku harus berangkat ke bandara pada pukul 9 pagi. Dengan cepat aku
mandi dan memakan sarapanku.

Taksi pun datang tak lama setelah sarapanku habis. Kami pun segera
meluncur ke bandara bersama pak sopir. Kami hampir terlambat!

Di Kuala Lumpur...

Wow...! Bandaranya luas sekali! Segala macam orang ada di sini. Ada orang
yang rambutnya seperti jeruk, ada yang seperti salak, dan masih banyak lagi. Aku
tidak pernah melihat hal semacam ini di lingkungan rumahku. Sementara aku
terpana akan kemewahan bandaranya, bus yang akan kami naiki ke Genting sudah
tiba.

Perjalanan ke Genting memakan waktu hampir 2 jam. Sesampainya di sana,


ibu langsung ke resepsionis untuk mengambil kartu kamar kami. Setelah
mendapatkannya, kami langsung naik ke kamar dengan lift.

“Mami! Ranjangnya luas dan empuk sekali!” ucapku sambil melompat-


lompat di ranjang.

“Hindra! Nanti si Kevin mami buang ya!”

“Ampun, mi!” melasku.

“Ya sudah, ya sudah. Ayo, kita pergi makan.”

Akhirnya, kami memutuskan untuk makan siang di salah satu restoran India
di dekat hotel. Makanannya enak-enak. Pelayan-pelayannya pun ramah sekali.
Selepas mengisi perut, kami kembali ke hotel. Aku diajak ibu ke tempat bermain
yang ada di hotel kami.

4
Ada kolam renang, roller coaster, komedi putar, dan masih banyak lagi.
“Bur...!” Aku melompat ke dalam kolam renang. Ya, aku tidak bisa berenang sih,
tapi untungnya aku memakai pelampung.

Sebelum kembali ke kamar, kami melahap makan malam terlebih dahulu,


yang tentunya sedap juga. Tidak lama kami menghabiskan waktu untuk bersenang-
senang. Kami kembali ke kamar agak pagi, karena kami sudah kelelahan. Kami
memutuskan untuk memulai petualangan kami esok hari.

Keesokan harinya...

Ibuku membangunkanku. Menyuruhku untuk segera mandi dan bersiap-siap.


Sarapan pun sudah dibawakannya ke dalam kamar. Hari ini, kami akan pergi ke
kota Kuala Lumpur.

Dengan menaiki bus, kami kembali ke Kuala Lumpur. Gedung-gedung


bangunan di kota itu sudah agak tua, dan sedikit kumuh. Pemandangannya sangat
indah, aku sampai tercengang melihatnya. Tak terasa, bus sudah sampai di depan
Menara Petronas.

Di dalam Petronas, aku menemani ibuku berbelanja. Ibuku tampak sangat


gembira. Mungkin barangnya murah-murah. Aku sih, tidak tahu. Aku tidak terlalu
tertarik.

Setelah beberapa lama, ibuku akhirnya selesai berbelanja juga.


Kelihatannya ibuku tahu kalau aku bosan. Ia pun mengajakku ke suatu tempat yang
bernama Petrosains. Di sana, aku melihat banyak sekali teknologi-teknologi yang
canggih. Ada juga tempat yang dibuat seperti luar angkasa. Aku seperti berada di
antara planet-planet.

Sehabis puas bermain, kami kembali ke hotel kami. Dengan menaiki bus
lagi, tentunya. Sesampainya kami di hotel, aku dan ibu, serta Kevin, segera terbang
ke pintu kamar kami.

5
Kartu kamar dikeluarkan ibuku dari tasnya. Ditempelkannya ke gagang
pintu. Anehnya, lampu merah di gagang itu tidak berubah menjadi hijau. Setelah
dicoba berkali-kali pun, pintunya tetap tidak terbuka.

“Hin, pintunya tidak mau terbuka, nih. Kita ke bawah ya, mami mau ke
resepsionis dulu untuk mengeluh,” ibuku berkata. Aku, sambil memeluk Kevin
dengan erat, menaiki lift dengan ibuku ke lantai dasar.

Sesampainya di lantai dasar, tampak sekerumunan orang yang mengantre di


depan meja resepsionis. “Hin, kamu diam-diam di sini saja ya. Kalau kamu ikut
mami, ribet. Jangan kabur ya, kamu!”

“Ya, jangan dong, mami. Aku kan mau ikut,” jawabku.

“Sudah, di sini saja. Jangan kepo.” seru ibuku.

Ibu meninggalkanku ke meja resepsionis. Tanganku berat melepaskan


genggamannya. Akhirnya ibuku pun tidak terlihat lagi bak ditelan ombak antrean.
Tanggul mataku sudah tidak dapat membendung luapan air mataku.

“Mami! Mami!” tak terasa kata-kata itu keluar terus menerus mulutku.
Orang-orang berlalu lalang tidak memedulikanku. Aku seperti Nobita tanpa
Doraemon. Tetapi, tiba-tiba ada seorang kakak menghampiriku.

“Ada apa yang berlaku, adik kecik?” Kata kakak itu dengan bahasa yang
agak asing, tapi bisa aku pahami.

“Mami... mami...” aku menjawabnya singkat sambil tersedu-sedu.

“Mami kau kat mana? Tak de ke?”

Tiba-tiba, kakak itu berteriak, “Mami! Mami!”. Orang-orang mulai


mengerumuniku dan kakak tadi. Ada yang tidak memedulikan, tetapi ada beberapa
yang mulai berteriak-teriak juga.

“Dik kecik, mami kau ‘dah tiba ini, jangan menangis lagi, ya. Akak tinggal
dulu,” kakak itu berkata kepadaku.

6
Orang-orang yang tadinya mengerumuniku pun satu persatu
meninggalkanku. Tetapi ada seorang ibu yang tetap berada di sampingku. Dia tiba-
tiba membopongku dan membawaku lari melewati ombak antrean ke luar hotel.

Si Kevin, yang aku pikir sudahku peluk erat-erat, ternyata lepas dari
pelukanku.

“Kevin!!!” aku memanggil namanya dengan sekuat tenaga.

“Budak ni tak boleh diam sikit ke? Nak ku cekik ke?” ancam wanita itu
dengan sedikit berbisik.

Aku dibawanya keluar hotel. Tepat di luar hotel, aku melihat ada parkiran
motor yang penuh. Wanita itu membawaku ke arah sebuah motor yang sudah agak
tua, dan warna catnya sudah mulai memudar.

Aku kira sudah tidak ada harapan lagi. Aku berpikir apakah aku akan
dijadikan anak tirinya? Jangan-jangan aku akan dijadikan pembatunya? Atau dia
akan memperjualbelikanku? Dengan kelelahan aku masih sedikit memikirkan
Kevin yang jatuh. Mana tahu dia tiba-tiba dapat menggonggong dan memberitahu
ibuku. Tetapi itu tidak mungkin. Aku sudah kelelahan.

“Hindra! Di mana kau...”

Sepertinya aku mendengar suara ibuku. Agak samar-samar. Aku memutar


kepalaku dan mataku ke segala arah. Tetapi aku tidak melihatnya di mana pun.
“Mungkin aku sedang berkhayal,” pikirku.

“Hindra!!!”

Aku mendengar suara itu lagi! Kali ini aku yakin, itu pasti bukan sebuah
khayalan. Ibuku memang sedang mencariku. Ternyata ibuku memang ada. Dia
sedang berlari ke arahku. Ada dua orang satpam di sampingnya.

“Mami!” seruku dengan seluruh sisa tenagaku.

“Itu pak! Itu anak saya!” serunya. “Hei! Lu mau ngapain anak gue?!!”

7
Wanita itu sepertinya panik, karena aku langsung dilepaskannya. Aku
terhempas ke tanah lumayan kencang. Wanita itu pun langsung menyalakan
motornya dan mengebut ke jalan raya.

Ibu langsung memelukku sampai aku sesak napas. Ibuku pun berkata,
“Kamu enggak kenapa-kenapa kan, Hin? Maafkan mami, ya...”

“Iya mi... tapi janji ya... mami enggak akan meninggalkan aku sendirian
lagi,” ujarku sambil terisak-isak. Kami berpelukan seperti Barney, sebuah film yang
pernah aku saksikan di televisi.

Rasanya kejadian itu berlangsung sangat cepat. Aku masih tidak mengerti
mengapa kejadian itu bisa sampai dapat menimpaku. Untung saja ibuku segera
datang menyelamatkanku. Kalau tidak, hari ini mungkin akan menjadi hari
terakhirku berjumpa dengannya. Aku sayang sekali kepadamu, ibu...

Anda mungkin juga menyukai