Anda di halaman 1dari 37

DAFTAR ISI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................................... 9


A. Konsep Dasar Nyeri ................................................................................................... 9
1. Defenisi ............................................................................................................. 9
2. Fisiologi Nyeri .................................................................................................... 9
3. Jenis dan Bentuk Nyeri .................................................................................... 14
4. Faktor yang Mempengaruhi Nyeri .................................................................. 15
5. Pengukuran Intensitas Nyeri ........................................................................... 16
B. Asuhan Keperawatan Klien yang Mengalami Nyeri ................................................ 20
1. Pengkajian ....................................................................................................... 20
2. Diagnosa Keperawatan ................................................................................... 23
3. Perencanaan ................................................................................................... 24
4. Pelaksanaan .................................................................................................... 31
5. Evaluasi ........................................................................................................... 32
C. Konsep Post Partum (Nifas) .................................................................................... 35
1. Pengertian ....................................................................................................... 35
2. Tahapan Masa Nifas ........................................................................................ 36
3. Kebijakan Progam Nasional Masa Nifas .......................................................... 36
4. Proses Laktasi dan Menyusui .......................................................................... 39
5. Tujuan Asuhan Masa Nifas.............................................................................. 40
D. Bendungan ASI .......................................................................................................... 40
1. Pengertian ........................................................................................................ 40
2. Etiologi .............................................................................................................. 41
3. Patofisiologi ...................................................................................................... 42
4. Tanda dan Gejala .............................................................................................. 42
5. Penanganan Akibat Bendungan ASI.................................................................. 43

8
9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Nyeri

1. Defenisi

Nyeri adalah perasaan yang tidak nyaman yang sangat subjektif dan

hanya orang yang mengalaminya yang dapat menjelaskan dan

mengevaluasi perasaan tersebut (Long dalam Mubarak, 2014). Priharjo

dalam Mubarak (2014) mendefenisikan nyeri secara umum sebagai

perasaan tidak nyaman, baik ringan maupun berat. Arthur Curton dalam

Mubarak (2014) juga mendefenisikan nyeri merupakan suatu mekanisme

produksi bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang dirusak, dan

menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan

rangsangan nyeri (Mubarak, 2014).

2. Fisiologi Nyeri

Fisiologi nyeri menurut Mubarak dan Chayatin (2014), dipengaruhi

oleh interaksi antara sistem algesia tubuh dan transmisi sistem saraf serta

interpretasi stimulus, meliputi nosisepsi, teori gate control, dan

pengalaman nyeri

a. Nosisepsi
10

Menurut Mubarak dan Chayatin (2014), sistem saraf perifer

terdiri atas saraf sesorik primer yang khusus bertugas mendeteksi

kerusakan jaringan dan membangkitkan sensasi sentuhan, panas,

dingin, nyeri, dan tekanan. Reseptor yang bertugas merambatkan

sensasi nyeri disebut nosiseptor. Nosiseptor merupakan ujung-ujung

saraf perifer yang bebas dan tidak bermielin atau sedikit bermielin.

Reseptor nyeri tersebut dapat dirangsang oleh stimulus mekanis, suhu,

atau kimiawi sedangkan proses fisiologis terkait nyeri disebut

nosisepsi. Proses tersebut terdiri atas empat fase yaitu :

1) Transduksi. Pada fase transduksi, stimulus atau rangsangan yang

membahayakan (misalnya bahan kimia, suhu, listrik atau mekanis)

memicu pelepasan mediator biokimia (misalnya prostaglandin,

bradikinin, histamin, yang mensensitisasi nosiseptor.

2) Transmisi. Fase transmisi nyeri terdiri atas tiga bagian yaitu :

a) Stimulasi yang diterima oleh reseptor ditransmisikan berupa

impuls nyeri dari serabut saraf perifer ke medula spinalis. Jenis

nosiseptor yang terlibat dalam transmisi ini ada dua jenis, yaitu

serabut C dan serabut A-delta. Serabut C mentransmisikan

nyeri tumpul dan menyakitkan, sedangkan serabut A-delta

mentransmisikan nyeri yang tajam dan terlokalisasi.

b) Nyeri ditransmisikan dari medula spinalis ke batang otak dan

talamus melalui jalur spinotalamikus (STT) yang membawa

informasi tentang sifat dan lokasi stimulus ke talamus.


11

c) Sinyal diteruskan ke korteks sensorik somatik (tempat nyeri

dipersepsikan). Impuls yang ditransmisikan melalui STT

mengaktifkan respons otonomik dan limbik.

3) Persepsi. Pada fase ini, individu mulai menyadari adanya nyeri.

Tampaknya persepsi nyeri tersebut terjadi pada struktur korteks

sehingga memungkinkan munculnya berbagai strategi perilaku-

kognitif untuk mengurangi komponen sensorik dan afektif nyeri

(McCaffery & Pasero, 1999).

4) Modulasi. Fase ini disebut juga “sistem desenden”. Pada fase ini,

neuron di batang otak mengirimkan sinyal-sinyal kembali ke

medula spinalis. Serabut desenden tersebut melepaskan substansi

seperti opioid, serotonin, dan norepinefrin yang akan menghambat

impuls asenden yang membahayakan di bagian dorsal medula

spinalis.

b. Teori gate control

Banyak teori yang menjelaskan fisiologi nyeri, namun yang

paling sederhana adalah teori gate control yang dikemukan oleh

Melzack dan Well dalam Mubarak dan Chayatin (2014). Dalam

teorinya, kedua orang ahli ini menjelaskan bahwa substansi gelatinosa

(SG) pada medula spinalis bekerja layaknya pintu gerbang yang

memungkinkan atau menghalangi masuknya impuls nyeri menuju

otak. Pada mekanisme nyeri, stimulus nyeri ditransmisikan melalui

serabut saraf berdiameter kecil melewati gerbang. Akan tetapi, serabut


12

saraf berdiameter besar yang juga melewati gerbang tersebut dapat

menghambat transmisi impuls nyeri dengan cara menutup gerbang itu.

Impuls yang berkonduksi pada serabut berdiameter besar bukan

sekedar menutup gerbang, tetapi juga merambat langsung ke korteks

agar dapat diidentifikasi dengan cepat (Long dalam Mubarak dan

Chayatin, 2014).

c. Pengalaman nyeri

Pengalaman nyeri seseorang dipengaruhi oleh beberapa hal,

yakni: 1) arti nyeri bagi individu; 2) persepsi nyeri individu;

3) toleransi nyeri; 4) reaksi individu terhadap nyeri.

1) Makna nyeri.

Faktor yang mempengaruhi makna nyeri bagi individu antara

lain usia, jenis kelamin latar belakang sosial budaya, lingkungan,

pengalaman nyeri sekarang dan masa lalu.

2) Persepsi nyeri

Persepsi nyeri bisa berkurang atau hilang pada periode stres

berat aau dalam keadaan emosi. Kerusakan pada ujung saraf dapat

memblok nyeri dari sumbernya. Sebagai contoh, penderita luka

bakar derajat III tidak akan merasakan nyeri walaupun cederanya

sangat hebat karena ujung-ujung sarafnya telah rusak. Individu

lansia tidak mampu merasakan kerusakan jaringan yang biasanya

menimbulkan nyeri, ini dirasakan oleh orang yang lebih muda.

3) Toleransi terhadap nyeri


13

Toleransi terhadap nyeri terkait dengan intensitas nyeri yang

membuat seseorang sanggup menahan nyeri sebelum mencari

pertolongan. Meskipun setiap orang memiliki pola penahan nyeri

yang relatif stabil, namun tingkat toleransi berbeda tergantung pada

situasi yang ada. Toleransi terhadap nyeri tidak dipengaruhi oleh

usia, jenis kelamin, kelelahan, atau sedikit perubahan sikap. Faktor-

faktor yang mempengaruhi toleransi nyeri dapat dilihat pada

tabel 2.

Tabel 1

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Toleransi Nyeri

Meningkat Menurun

Alkohol Capai atau kelelahan

Obat-obatan Marah

Hipnosis Kebosanan

Panas Cemas

Gesekan atau garukan Nyeri yang kronis

Pengalihan perhatian Sakit atau penderitaan

Kepercayaan yang kuat

Sumber : Mubarak dan Chayatin (2014).

4) Reaksi terhadap nyeri

Setiap orang memberikan reaksi yang berbeda terhadap nyeri.

Ada yang menghadapinya dengan perasaan takut, gelisah dn cemas.


14

Ada pula yang menanggapinya dengan sikap yang optimis dan

penuh toleransi. Sebagian orang merespons nyeri dengan menangis,

mengerang dan menjerit-jerit, meminta pertolongan, gelisah di

tempat tidur atau berjalan mondar-mandir tak tentu arah untuk

mengurangi rasa nyeri. Sedangkan yang lainnya tidur sambil

menggemertakkan gigi, mengepalkan tangan, atau mengeluarkan

banyak keringat ketika mengalami nyeri.

3. Jenis dan Bentuk Nyeri

a. Jenis nyeri

Ada tiga jenis nyeri menurut Mubarak dan Chayatin (2014)

yaitu :

1) Nyeri perifer. Nyeri ini ada tiga macam : a) nyeri superfisial, yakni

rasa nyeri yang muncul akibat rangsangan pada kulit dan mukosa;

b) nyeri viseral, yakni rasa nyeri yang muncul akibat stimulasi

pada reseptor nyeri di rongga abdomen, kranium, dan toraks;

c) nyeri alih, yakni nyeri yang dirasakan pada daerah lain yang

jauh dari jaringan penyebab nyeri.

2) Nyeri sentral. Nyeri yang muncul akibat stimulasi pada medula

spinalis, batang otak, dan talamus.


15

3) Nyeri psikogenik. Nyeri yang tidak diketahui penyebab fisiknya.

Nyeri ini timbul akibat pikiran penderita sendiri. Seringkali nyeri

ini muncul karena faktor psikologis, bukan fisiologis.

b. Bentuk nyeri

Menurut Mubarak dan Chayatin (2014), secara umum bentuk

nyeri terbagi atas nyeri akut dan nyeri kronis.

1) Nyeri akut. Nyeri ini biasanya berlangsing tidak lebih dari 6 bulan.

Awitan gejalanya mendadak, dan biasanya penyebab serta lokasi

nyeri sudah diketahui. Nyeri akut ditandai dengan peningkatan

tegangan otot dan kecemasan yang keduanya meningkatkan

persepsi nyeri.

2) Nyeri kronis. Nyeri ini berlangsung > 6 bulan. Sumber nyeri bisa

diketahui atau tidak. Cenderung hilang timbul dan biasanya tidak

dapat disembuhkan. Selain itu, penginderaan nyeri menjadi lebih

dalam sehingga penderita sukar untuk menunjukkan lokasinya.

4. Faktor yang Mempengaruhi Nyeri

Faktor yang mempengaruhi nyeri menurut Mubarak dan Chayatin

(2014) yaitu : a. etik dan nilai budaya; b. tahap perkembangan;

c. lingkungan dan individu pendukung; d. pengalaman nyeri sebelumnya;

e. Ansietas dan stres.


16

5. Pengukuran Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri dapat diukur dengan beberapa cara, antara lain

dengan menggunakan skala nyeri menurut Hayward, Comparative Scale,

(Skala Angka), skala nyeri menurut McGill (McGill scale), dan skala

wajah atau Wong Baker FACES Rating Scale (Saputra, 2013).

a. Skala Angka nyeri 0-10 (Comparative Pain Scale)

Comparative Pain Scale atau skala angka dapat dinilai dengan

melihat keterangan dalam tabel berikut ini:

Tabel 2

Skala Nyeri Angka (Comparative Pain Scale)

Skala Keterangan

1 2

0 Tidak ada rasa nyeri / normal

Nyeri hampir tidak terasa (sangat ringan) seperti gigitan


1
nyamuk

Tidak menyenangkan. Nyeri ringan, seperti cubitan ringan


2
pada kulit

Bisa ditoleransi. Nyeri sangat terasan seperti pukulan ke


3
hidung atau suntikan

1 2

menyedihkan (kuat, nyeri yang dalam) seperti sakit gigi


4
dan nyeri disengat tawon
17

Sangat menyedihkan (kuat, dalam, nyeri yang menusuk)


5
seperti terkilir, keseleo

Intens (kuat, dalam, nyeri yang menusuk begitu kuat

6 sehingga tampaknya mempengaruhi salah satu dari panca

indra)menyebabkan tidak fokus dan komunikasi terganggu.

Sangat intens (kuat, dalam, nyeri yang menusuk begitu

kuat) dan merasakan rasa nyeri yang sangat mendominasi

7 indra sipenderita yang menyebabkan tidak bisa

berkomunikasi dengan baik dan tidak mampu melakukan

perawatan sendiri.

Benar-benar mengerikan (nyeri yang begitu kuat) sehingga

menyebabkan sipenderita tidak dapat berfikir jernih, dan


8
sering mengalami perubahan kepribadian yang parah jika

nyeri datang dan berlansung lama.

Menyiksa tak tertahankan (nyeri yang begitu kuat)

sehingga sipenderita tidak bisa mentoleransinya dan ingin


9
segera menghilangkan nyerinya bagaimanapun caranya

tanpa peduli dengan efek samping atau resiko nya.

Sakit yang tidak terbayangkan tidak dapat diungkapkan

(nyeri begitu kuat tidak sadarkan diri) biasanya pada skala

10 ini sipenderita tidak lagi merasakan nyeri karena sudah

tidak sadarkan diri akibat rasa nyeri yang sangat luar biasa

seperi pada kasus kecelakaan parah, multi fraktur.


18

Sumber : Mubarak dan Chayatin (2014).

Dari sepuluh skala diatas dapat dikelompokkan menjadi tiga

kelompok yaitu:

1) Skala nyeri 1 - 3 (nyeri ringan) nyeri masih dapat ditahan dan

tidak mengganggu pola aktivitas sipenderita.

2) Skala nyeri 4 - 6 (nyeri sedang) nyeri sedikit kuat sehingga dapat

mengganggu pola aktivitas penderita

3) Skala nyeri 7 - 10 (nyeri berat) nyeri yang sangat kuat sehingga

memerlukan therapy medis dan tidak dapat melakukan pola

aktivitas mandiri.

b. Skala nyeri menurut Hayward

Pengukuran intensitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri

Hayward dilakukan dengan meminta penderita untuk memilih salah

satu bilangan (dari 0-10) yang menurutnya paling menggambarkan

pengalaman nyeri yang dirasakan. Skala nyeri menurut Hayward

dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 3

Skala Nyeri Menurut Hayward

Skala Keterangan

1 2

0 Tidak nyeri

1-3 Nyeri ringan


19

4-6 Nyeri sedang

7-9 Sangat nyeri, tetapi masih dapat dikontrol dengan

aktivitas yang biasa dilakukan

10 Sangat nyeri dan tidak bisa dikontrol

Sumber : Mubarak dan Chayatin (2014).

c. Skala nyeri menurut McGill

Pengukuran intensitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri

McGill dilakukan dengan meminta penderita untuk memilih salah satu

bilangan (dari 0-5) yang menurutnya paling menggambarkan

pengalaman nyeri yang dirasakan. Skala nyeri menurut McGill dapat

dituliskan sebagai berikut : 0 : tidak nyeri; 1 : nyeri ringan; 2 : nyeri

sedang; 3 : nyeri berat; 4 : nyeri sangat berat; dan 5 : nyeri hebat.

d. Skala wajah atau Wong-Baker FACES Rating Scale

Pengukuran intensitas nyeri dengan skala wajah dilakukan

dengan cara memperhatikan mimik wajah klien pada saat nyeri

tersebut menyerang. Cara ini diterapkan pada klien yang tidak dapat

menyatakan intensitas nyerinya dengan skala angka, misalnya anak-

anak dan lansia. Skala wajah dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1
20

Skala FACES

B. Asuhan Keperawatan Klien yang Mengalami Nyeri

1. Pengkajian

Menurut Mubarak dan Chayatin (2014), pengkajian nyeri terdiri atas

dua komponen utama yaitu : a. riwayat nyeri untuk mendapatkan data dari

klien; b. observasi langsung pada respons perilaku dan fisiologis klien.

Tujuan pengkajian nyeri adalah untuk mendapatkan pemahaman

objektif terhadap pengalaman subjektif. Untuk membuat pengkajian nyeri

yang lengkap dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 4

Mnemonik untuk Pengkajian Nyeri

P Provoking (pemicu) : faktor yang memicu timbulnya nyeri.

Q Quality (kualitas nyeri), misalnya tumpul, tajam

R Region (daerah atau lokasi), yaitu perjalan ke daerah lain.

S Severity atau keganasan : yaitu intensitasnya

T Time (waktu), yaitu jangka waktu serangan dan frekuensi nyeri.

Sumber : Mubarak dan Chayatin (2014)


21

Secara umum, pengkajian riwayat nyeri menurut Mubarak dan

Chayatin (2014), adalah sebagai berikut :

a. Lokasi

Untuk menentukan lokasi nyeri yang spesifik, klien diminta

menunjukkan area nyerinya. Pengkajian ini bisa dilakukan dengan

bantuan gambar tubuh. Klien bisa menandai bagian tubuh yang

memiliki lebih dari satu sumber nyeri.

b. Intensitas nyeri

Penggunaan skala intensitas nyeri adalah metode yang mudah dan

terpercaya untuk menentukan intensitas nyeri klien. Skala nyeri yang

paling sering digunakan adalah rentang 0-5 atau 0-10. Angka “0”

menandakan tidak nyeri sama sekali dan angka tertinggi menandakan

nyeri “terhebat” yang dirasakan.

c. Kualitas nyeri.

Terkadang nyeri bisa terasa seperti “dipukul-pukul” atau “ditusuk-

tusuk”. Perawat perlu mencatat kata-kata yang digunakan klien untuk

menggambarkan nyerinya sebab informasi yang akurat dapat

berpengaruh besar pada diagnosis dan etiologi nyeri serta pilihan

tindakan yang diambil.

d. Pola nyeri.

Pola nyeri meliputi waktu awitan, durasi, dan kekambuhan atau

interval nyeri. Karenanya perawat perlu mengkaji kapan nyeri dimulai,


22

berapa lama nyeri berlangsung, apakah nyeri berulang, dan kapan nyeri

terakhir kali muncul.

e. Faktor presipitasi.

Terkadang aktivitas tertentu dapat memicu munculnya nyeri.

Sebagai contoh, aktivitas fisik yang berat dapat menimbulkan nyeri

dada. Selain itu, faktor lingkungan (lingkungan yang sangat dingin atau

sangat panas), stresor fisik dan emosional juga dapat memicu

munculnya nyeri.

f. Gejala yang menyertai. Gejala ini meliputi mual, muntah, pusing, dan

diare.

g. Pengaruh pada aktivitas sehari-hari.

Dengan mengetahui sejauh mana nyeri mempengaruhi aktivitas

harian klien akan membantu perawat memahami perspektif klien

tentang nyeri. Beberapa aspek kehidupan yang perlu dikaji terkait nyeri

adalah tidur, nafsu makan, konsentrasi, pekerjaan, hubungan

interpersonal, hubungan pernikahan, aktivitas di rumah, aktivitas di

waktu senggang, serta status emosional.

h. Sumber koping.

Setiap individu memiliki strategi koping yang berbeda dalam

menghadapi nyeri. Strategi tersebut dapat dipengaruhi oleh pengalaman

nyeri sebelumnya atau pengaruh agama atau budaya.

i. Respons afektif.
23

Respons afektif klien terhadap nyeri bervariasi, bergantung pada

situasi, derajat dan durasi nyeri, interpretasi tentang nyeri, dan banyak

faktor lainnya. Perawat perlu mengkaji adanya perasaan ansietas, takut,

lelah, depresi, atau perasaan gagal pada diri klien.

Menurut Doenges dan Moorehousse (2011), pengkajian nyeri atau

ketidaknyamanan pada klien khususnya dengan bendungan ASI adalah

nyeri tekan pada payudara, payudara membengkak dapat terjadi

diantara hari ke-3 sampai ke-5 post partum.

2. Diagnosa Keperawatan

Menurut NANDA (2003) dalam Mubarak dan Chayatin (2014),

diagnosa keperawatan untuk klien yang mengalami nyeri atau

ketidaknyamanan adalah : nyeri akut dan nyeri kronis. Saat menuliskan

pernyataan diagnostik, harus menyebutkan lokasinya (misalnya nyeri

pada pergelangan kaki kanan). Karena nyeri dapat pula menjadi etiologi

untuk diagnosis keperawatan lain seperti ketidakefektifan bersihan jalan

napas, ansietas ketidakefektifan koping, dll.

Menurut Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia atau SDKI

(2017), diagnosa keperawatan yang muncul selama masa nifas yaitu

ketidaknyamanan pasca partum yang merupakan perasaan tidak nyaman

yang berhubungan dengan kondisi setelah melahirkan. Penyebabnya

diantaranya, trauma perineum selama persalinan dan kelahiran, involusi

uterus, pembengkakan payudara dimana alveoli mulai terisi ASI,


24

kekurangan dukungan daro keluarga dan tenaga kesehatan,

ketudaktepatan posisi duduk dan faktor budaya. Data subjektif yang

didapatkan, mengeluh tidak nyaman dan data objektif yaitu klien tampak

meringis, terdapat kontraksi uterus, luka episiotomi, payudara bengkak,

tekanan darah meningkat, frekuensi nadi meningkat, berkeringat

berlebihan, menangis atau merintih dan haemoroid.

Diagnosa keperawatan nyeri atau ketidaknyamanan yang umumnya

terjadi pada klien dengan bendungan ASI, menurut Doenges dan

Moorehouse (2011) adalah nyeri akut berhubungan dengan edema atau

pembesaran jaringan atau distensi. Kemungkinan yang dapat dibuktikan

adalah klien melaporkan adanya rasa nyeri, nyeri tekan payudara,

perilaku melindungi atau distraksi, wajah menimbulkan nyeri.

3. Perencanaan

a. Pengertian perencanaan

Menurut Rohmah dan Walid (2009), perencanaan adalah

pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi dan

mengatasi masalah-masalah yang telah diidentifikasi

dalam diagnosa keperarawatan.

b. Kegiatan dalam tahap perencanaan

Adapun beberapa kegiatan yang dilakukan dalam tahap

perencanaan adalah : menentukan prioritas masalah keperawatan,


25

menetapkan tujuan dan kriteria hasil, merumuskan rencana tindakan

keperawatan, menetapkan rasional rencana tindakan keperawatan.

1) Menentukan prioritas masalah keperawatan

Beberapa teknik membuat skala prioritas menurut Rohmah

dan Walid (2009), antara lain :

a) Standar V, standar asuhan keperawatan : dalam standar V

asuhan keperawatan prioritas dititikberatkan pada masalah

yang mengancam kehidupan. Skala prioritasnya ditentukan

dengan konsep ; prioritas pertama masalah yang mengancam

kehidupan, prioritas kedua masalah yang mengancam

kesehatan, prioritas ketiga masalah yang mempengaruhi

perilaku manusia.

b) Depkes RI (1992), pedoman asuhan keperawatan : pedoman

asuhan keperawatan menetapkan bahwa ; prioritas pertama

diberikan pada masalah aktual, prioritas kedua pada masalah

potensial. Dalam praktiknya, ternyata tidak selalu yang aktual

menjadi prioritas yang lebih tinggi dibandingkan dengan

masalah potensial. Pada masalah yang diduga akan terjadi

bersifat mengancam jiwa dapat menjadi prioritas dibanding

dengan masalah aktual yang berisiko rendah.

c) Hierarki Maslow : Maslow telah membuat lima hirarki

kebutuhan dasar manusia, dimana hirarki yang menjadi

prioritas pemenuhan terletak pada kebutuhan dasar yang


26

bersifat fisiologis. Kebutuhan ini meliputi ; oksigenasi, cairan

dan elektrolit, eliminasi, nutrisi, istirahat tidur, aktivitas, seks

dan lain-lain. Prioritas kedua rasa aman dan nyaman,

dilanjutkan dengan cinta dan kasih sayang pada prioritas

ketiga. Prioritas berikutnya kebutuhan harga diri dan

aktualisasi diri.

d) Pendekatan body sistem (B1 sampai dengan B6) : pendekatan

ini menitikberatkan pada fungsi sistem tubuh, dimana fungsi

pernafasan merupakan prioritas pertama, karena gangguan

pada fungsi ini dapat mengancam klien. Fungsi pernafasan ini

terdiri dari jalan nafas dan pernafasan. Prioritas terakhir pada

sistem kulit, selaput lendir dan tulang.

2) Menetapkan tujuan dan kriteria hasil

Tujuan adalah perubahan perilaku klien yang diharapkan

oleh perawat setelah tindakan berhasil dilakukan. Kriteria tujuan

meliputi : rumusan singkat dan jelas, disusun berdasarkan

diagnosa keperawatan, spesifik, dapat diukur atau diobservasi,

realistis dapat dicapai, terdiri dari subjek, perilaku klien, kondisi

dan kriteria (Rohmah dan Walid, 2009).

Untuk merumuskan tujuan dan kriteria hasil, Rohmah dan

Walid (2009), mengemukakan 3 cara yaitu :

a) SPHKT (S : subjek, siapa yang mencapai tujuan ; P : predikat,

kata kerja yang dapat diukur, tulis sebelum kata kerja kata
27

“mampu”; H : hasil : respon fisiologis dan gaya hidup yang

diharapkan dari klien terhadap intervensi; K : kriteria,

mengukur kemajuan klien dalam mencapai hasil; T : time,

target waktu, periode tertentu mencapai kriteria hasil.

b) SPK (S: subjek; P; predikat atau perilaku yang diinginkan

setelah klien mencapai tujuan; K : kriteria atau kondisi

pencapaian tujuan.

c) SMART: Specifik (berfokus pada pasien, singkat dan jelas),

Measureable (dapat diukur), Achievable (Realistik),

Reasonable (ditentukan oleh perawat dan klien, dan Time

(kontrak waktu). Kriteria tujuan meliputi : rumusan singkat

dan jelas, disusun berdasarkan diagnosa keperawatan,

spesifik, dapat diukur atau diobservasi, realistisdapat dicapai,

terdiri dari subjek, perilaku klien, kondisi dan kriteria.

3) Merumuskan rencana tindakan keperawatan

Menurut Rohmah dan Walid (2009), tipe rencana tindakan

keperawatan diantaranya :

a) Diagnostik atau observasi : rencana tindakan keperawatan

untuk mengkaji atau melakukan observasi terhadap kemajuan

klien dengan pemantauan secara langsung yang dilakukan

secara kontinu. Dengan observasi ini diharapkan hal-hal yang

ditetapkan dalam kriteria hasil dapat dipantau secara

berkesinambungan sampai tujuan berhasil dicapai.


28

b) Terapeutik atau nursing treatment : rencana tindakan yang

ditetapkan untuk mengurangi, memperbaiki dan mencegah

perluasan masalah. Rencana tindakan ini berupa intervensi

mandiri perawat yang bersumber dari ilmu, kiat dan seni

keperawatan. Karena dalam suatu masalah keperawatan bisa

didapatkan beberapa alternatif penyelesaian masalahnya,

perawat dituntut untuk dapat memilih yang paling sesuai untuk

ditetapkan pada klien.

c) Penyuluhan atau health education atau pendidikan kesehatan :

rencana tindakan yang ditetapkan bertujuan untuk

meningkatkan perawatan diri klien dengan penekanan pada

partisipasi klien untuk bertanggung jawab terhadap perawatan

diri terutama untuk perawatan di rumah. Penyuluhan atau

pendidikan kesehatan diperlukan terutama bila masalah

keperawatan dan kriteria hasil berhubungan dengan aspek

kognitif, afektif dan psikomotor. Penyuluhan dapat berbentuk

penyuluhan umum tentang segala sesuatu tentang penyakit dan

perawatan klien atau juga lebih spesifik sesuai dengan masalah

yang terjadi.

d) Rujukan atau kolaborasi atau medical treatment : tindakan

medis yang dilimpahkan kepada perawat. Rencana kolaboratif

ini disesuaikan dengan masalah yang terjadi, masalah yang

bersifat kognitif, afektif dan psikomotor mungkin tidak


29

memerlukan tindakan medis. Namun untuk masalah yang

berhubungan dengan perubahan fungsi tubuh seringkali

memerlukan rencana kolaboratif.

Doenges dan Moorehouse (2011), mengemukakan bahwa hasil

yang akan diharapkan pada klien dengan masalah keperawatan “nyeri

akut” adalah : a. mengidentifikasi dan menggunakan intervensi untuk

mengatakan nyeri atau ketidaknyamanan dengan tepat;

b. mengungkapkan berkurangnya rasa nyeri atau ketidaknyamanan.

Intervensi untuk mengatasi masalah keperawatan nyeri akut

berhubungan dengan edema atau pembesaran jaringan atau distensi

payudara menurut Doenges dan Moorehuse (2011) adalah :

a. Tentukan adanya nyeri, lokasi, dan sifat nyeri atau ketidaknyamanan.

Rasional : mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan khusus dan

intervensi yang tepat.

b. Inspeksi payudara dan jaringan puting; kaji adanya pembesaran

dan/atau puting pecah-pecah. Pada 24 jam post partum, payudara

harus lunak dan tidak perih, puting susu harus bebas dari pecah-pecah

atau area kemerahan. Pembesaran payudara, nyeri tekan puting, atau

adanya pecah-pecah pada puting (bila klien menyusui) dapat terjadi

pada hari ke-2 sampai ke-3 post partum.

c. Anjurkan menggunakan bra penyokong. Rasional : mengangkat

payudara ke dalam dan ke depan, mengakibatkan posisi lebih nyaman.


30

d. Berikan informasi verbal dan tertulis, mengenai fisiologi dan

keuntungan menyusui, perawatan puting dan payudara, kebutuhan diet

khusus, dan faktor-faktor yang memudahkan atau mengganggu

keberhasilan menyusui. Rasional : membantu menjamin suplai susu

adekuat, mencegah puting pecah dan luka, memberikan kenyamanan,

dan membuat peran ibu menyusui. Pamflet dan buku-buku

menyediakan sumber yang dapat dirujuk klien sesuai kebutuhan.

e. Anjurkan klien memulai menyusui pada puting yang tidak nyeri tekan

untuk beberapa kali pemberian susu secara berurutan, bila hanya satu

puting yang nyeri atau luka. Rasional : respons mengisap awal kuat

dan mungkin menimbulkan nyeri dengan mulai memberi susu pda

payudara yang tidak sakit dan kemudian melanjutkan untuk

menggunakan payudara mungkin kurang menimbulkan nyeri dan

dapat meningkatkan penyembuhan.

f. Demonstrasikan dan tinjau ulang teknik-teknik penyusui. Perhatian

posisi bayi selama menyusu dan lama menyusu. Rasional : posisi yang

tepat biasanya mencegah luka puting, tanpa memperhatikan lamanya

menyusu.

g. Berikan kompres es pada area aksila payudara bila klien tidak

merencanakan menyusui. Berikan kompresi ketat dengan pengikat

selama 72 jam atau penggunaan bra penyokong yang sangat ketat.

Hindari pemajanan berlebihan dari payudara pada panas atau

merangsang payudara dengan bayi, pasangan seksual, atau klien


31

sampai proses supresi selesai (± 1 minggu). Rasional : pengikatan dan

kompres es mencegah laktasi dengan cara-cara mekanis dan metoda

yang disukai untuk menekan laktasi. Ketidaknyamanan berakhir kira-

kira 48-72 jam, tetapi dipermudah atau dihentiakn dengan

menghindari rangsangan puting.

h. Berikan analgesik 30-60 menit sebelum menyusui. Untuk klien yang

tidak menyusui, berikan analgesik setiap 3-4 jam selama pembesaran

payudara dan nyeri. Rasional : memberikan kenyamanan, khususnya

selama laktasi, bila nyeri paling hebat karena pelepasan oksitosin. Bila

klien bebas dari nyeri, dapat memfokuskan pada perawatannya sendiri

dan bayinya, dan pada pelaksanaan tugas-tugas menjadi ibu.

4. Pelaksanaan

a. Pengertian tahap pelaksanaan

Menurut Rohmah dan Walid (2009), pelaksanaan

(implementasi) adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai

tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan juga

meliputi pengumpulan data berkelanjutan, mengobservasi respon klien

selama dan sesudah pelaksanaan tindakan dan menilai data yang baru.

b. Tahap-tahap dalam pelaksanaan

Tahap-tahap yang harus dilaksanakan dalam tahap pelaksanaan

menurut Rohmah dan Walid (2009), adalah :


32

1) Tahap persiapan: a) revieuw rencana tindakan keperawatan;

(b) analisis pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan;

(c) antisipasi komplikasi yang akan timbul.

2) Tahap pelaksanaan : a) berfokus pada klien; b) berorientasi pada

tujuan dan kriteria hasil; c) memperhatikan keamanan fisik dan

psikologis klien; d) kompeten.

3) Tahap sesudah pelaksanaan : a) menilai keberhasilan tindakan;

b) mendokumentasikan tindakan, yang meliputi aktivitas tindakan

perawat, hasil atau repon klien, tanggal dan jam, nomor diagnosis

keperawatan, tanda tangan.

5. Evaluasi

a. Pengertian tahap evaluasi

Dalam proses keperawatan, evaluasi adalah suatu aktifitas

yang direncanakan, terus-menerus, aktifitas yang disengaja dimana

setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien, keluarga

dan perawat serta tenaga profesional lainnya menentukan; kemajuan

klien terhadap outcome yang dicapai dan keefektifan dari rencana

asuhan keperawatan (Nurjanah, 2010). Menurut Rohmah dan Walid

(2009), evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan

perubahan keadaan klien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan

kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan.

b. Tujuan tahap evaluasi


33

Tujuan dari evaluasi ini untuk : 1) mengakhiri rencana tindakan

keperawatan; 2) memodifikasi rencana tindakan keperawatan;

3) meneruskan rencana tindakan keperawatan (Rohmah dan Walid,

2009).

c. Macam-macam evaluasi

Menurut Rohmah dan Walid (2009), macam-macam evaluasi

antara lain :

1) Evaluasi proses (formatif), yaitu : a) evaluasi yang dilakukan setiap

selesai tindakan; b) berorientasi pada etiologi; c) dilakukan secara

terus-menerus sampai tujuan yang telah ditentukan tercapai.

2) Evaluasi hasil (sumatif) : a) evaluasi yang dilakukan setelah akhir

tindakan keperawatan secara paripurna; b) berorientasi pada

masalah keperawatan; c) menjelaskan keberhasilan atau

ketidakberhasilan; d) rekapitulasi dan kesimpulan status kesehatan

klien sesuai dengan kerangka waktu yang ditetapkan.

d. Komponen SOAP atau SOAPIER

Menurut Rohmah dan Walid (2009), untuk memudahkan

perawat mengevaluasi atau memantau perkembangan klien, digunakan

komponen SOAP atau SOAPIE atau SOAPIER. Penggunaannya

tergantung dari kebijakan setempat. Yang dimaksud dengan

SOAPIER adalah S (data subjektif) yaitu perawat menuliskan keluhan

klien yang masih dirasakan setelah dilakukan tindakan keperawatan.

O (data objektif) yaitu data berdasarkan hasil pengukuran atau


34

observasi perawat secara langsung kepada klien dan yang dirasakan

klien setelah dilakukan tindakan keperawatan. A (analisis) yaitu

interpretasi dari data subjektif dan objektif merupakan suatu masalah

atau diagnosis keperawatan yang masih terjadi atau juga dapat

dituliskan masalah atau diagnosis baru yang terjadi akibat perubahan

status kesehatan klien yang telah teridentifikasi datanya dalam data

subjektif dan objektif. P (perencanaan) yaitu perencanaan keperawatan

yang akan dilanjutkan, dihentikan, dimodifikasi atau ditambahkan dari

rencana tindakan keperawatan yang telah ditentukan sebelumnya.

Tindakan yang telah menunjukkan hasil yang memuaskan dan tidak

memerlukan tindakan ulang pada umumnya dihentikan. Tindakan

yang perlu dilanjutkan adalah tindakan yang masih kompeten untuk

menyelesaikan masalah klien dan membutuhkan waktu untuk

mencapai keberhasilannya.

Tindakan yang perlu dimodifikasi adalah tindakan yang dirasa

dapat membantu menyelesaikan masalah klien tetapi perlu

ditingkatkan kualitasnya atau mempunyai allternatif pilihan yang

diduga dapat membantu mempercepat proses penyembuhan.

Sedangkan rencana tindakan yang baru atau sebelumnya tidak ada

dapat ditentukan bila timbul masalah baru atau rencana tindakan yang

ada sudah tidak kompeten lagi untuk menyelesaikan masalah yang

ada.
35

Evaluasi keperawatan pada masalah nyeri dapat dinilai dari

kemampuan klien dalam merespons serangan nyeri, hilangnya rasa

nyeri, menurunnya intensitas nyeri, terdapat respon fisiologis yang

baik, dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan sehari-hari tanpa

keluhan nyeri.

C. Konsep Post Partum (Nifas)

1. Pengertian

Elisabeth (2015) juga mendefenisikan masa post partum atau

masa nifas adalah masa setelah keluarnya plasenta sampai alat-alat

reproduksi pulih seperti sebelum hamil secara normal masa nifas

berlangsung selama 6 minggu sampai 40 hari. Selain itu juga Saleha

(2009), mendefenisikan masa nifas (puerperium) yaitu waktu dimana

seorang ibu setelah melahirkan plasenta dan berakhir ketika alat – alat

kandungan kembali seperti keadaan normal sebelum hamil.

Dalam masa nifas ini pada umumnya terjadi beberapa perubahan

fisiologis dan psikologis, dan terjadi perubahan dalam sistem tubuh ibu

dalam masa nifas. Selama masa pemulihan tersebut si ibu akan

mengalami beberapa perubahan baik secara fisik maupun psikologis

sebenarnya sebagaian bersifat fisiologis. Dan dalam perubahan secara

fisik akan mengalami proses involusi. Namun selain involusi uterus ada

juga perubahan dalam system pencernaan dan eliminasi sedangkan dalam

perubahan psikologis akan mengalami fase taking in, fase taking hold dan
36

fase letting go. Salah satu perubahan yang terlihat yaitu proses menyusui

(Saleha, 2009 dan Anggraini, 2010). Menurut Marmi (2014), laktasi

adalah rangkaian proses menyusui mulai dari ASI diproduksi

(dihasilkan), disekresi dan pengeluaran ASI sampai pada proses bayi

menghisap dan menelan ASI dari payudara ibu.

2. Tahapan Masa Nifas

Tahapan masa nifas menurut Vivian, dkk (2011), yaitu;

a. Puerperium dini yaitu suatu masa kepulihan dimana ibu diperbolehkan

untuk berdiri dan berjalan-jalan; b. Puerpurium intermedial yaitu suatu

masa kepulihan dari organ-organ reproduksi selama kurang lebih

6-8 minggu; c. Remote puerpurium yaitu waktu yang diperlukan untuk

pulih dan sehat sempurna terutama bila selama hamil atau waktu

persalinan mempunyai komplikasi. Waktu untuk sehat bisa berminggu-

minggu, berbulan-bulan, atau tahunan.

3. Kebijakan Progam Nasional Masa Nifas

Kebijakan program nasional pada masa nifas yaitu paling sedikit

empat kali melakukan kunjungan pada masa nifas, dengan tujuan untuk:

a. Menilai kondisi kesehatan ibu dan bayi; b. Melakukan pencegahan

terhadap kemungkinan-kemungkinan adanya gangguan kesehatan ibu

nifas dan bayinya; c. Mendeteksi adanya komplikasi atau masalah yang

terjadi pada masa nifas; d. Menangani komplikasi atau masalah yang


37

timbul dan mengganggu kesehatan ibu nifas maupun bayinya

(Saleha, 2009).

Asuhan yang diberikan sewaktu melakukan kunjungan masa nifas

dapat dilihat dalam tabel 5 (hal.34)

Tabel 5

Asuhan dalam Kunjungan Masa Nifas

Kunjungan Waktu Asuhan

1 2 3

I 6-8 jam post Mencegah perdarahan masa nifas oleh

partum karena atonia uteri.

Mendeteksi dan perawatan penyebab lain

perdarahan serta melakukan rujukan bila

perdarahan berlanjut.

Memberikan konseling pada ibu dan

keluarga tentang cara mencegah

perdarahan yang disebabkan atonia uteri.

Pemberian ASI awal.

Mengajarkan cara mempererat hubungan

antara ibu dan bayi baru lahir.


38

Menjaga bayi tetap sehat melalui

pencegahan hipotermi.

Setelah bidan melakukan pertolongan

persalinan, maka bidan harus menjaga ibu

dan bayi untuk 2 jam pertama setelah

kelahiran atau sampai keadaan ibu dan

bayi baru lahir dalam keadaan baik.

II 6 hari post Memastikan involusi uterus barjalan

partum dengan normal, uterus berkontraksi

dengan baik, tinggi fundus uteri di bawah

umbilikus, tidak ada perdarahan

abnormal.

Menilai adanya tanda-tanda demam,

infeksi dan perdarahan.

Memastikan ibu mendapat istirahat yang

cukup.

Memastikan ibu mendapat makanan yang

bergizi dan cukup cairan.

Memastikan ibu menyusui dengan baik

dan benar serta tidak ada tanda-tanda

kesulitan menyusui.

Memberikan konseling tentang perawatan

bayi baru lahir.

III 2 minggu Asuhan pada 2 minggu post partum sama

post dengan asuhan yang diberikan pada


39

partum kunjungan 6 hari post partum.

IV 6 minggu Menanyakan penyulit-penyulit yang

post dialami ibu selama masa nifas.

partum Memberikan konseling KB secara dini.

Sumber : Saleha, (2009)

4. Proses Laktasi dan Menyusui

Laktasi dapat diartikan dengan pembentukan dan pengeluaran

ASI. Air susu ibu ini merupakan makanan pokok bagi bayi. Makanan

yang terbaik bagi bayi, makanan yang bersifat alamiah, bagi tiap ibu yang

melahirkan bayi akan tersedia makanan bagi bayi dari ibunya sendiri.

Bagi ibu yang menyusui akan terlalu dekat dengan anaknya, dan bagi si

anak akan lebih merasa puas dalam pelukan ibunya, merasa tentram,

aman, hangat, akan kasih sayang, ibunya. Untuk menghadapi masa laktasi

(menyusui) sejak dini kehamilan setelah terjadi perubahan-perubahan

pada kelenjar mammae yaitu : a. Proliferasi jaringan pada kelenjar-

kelanjar alvedi dan jaringan lemak bertambah; b. Keluar cairan susu

jolong dan ductus lactiferous disebut colostrum berwarna kuning / putih

susu; c. Hipervaskularisasi pada permukaan dan bagian dalam, dimana

vena-vena berdilatasi sehingga tampak jelas.


40

5. Tujuan Asuhan Masa Nifas

Menurut Suherni, dkk (2009), tujuan asuhan masa nifas

diantaranya, sebagai berikut:

a. Tujuan umum

Membantu ibu dan pasangannya selama masa transisi awal

mengasuh anak.

b. Tujuan khusus

1) Menjaga kesehatan ibu dan bayi, baik fisik maupun psikologisnya.

2) Melaksanakan skrining yang komprehensif, mendeteksi masalah,

mengobati atau merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu dan

bayinya.

3) Memberikan pendidikan kesehatan, tentang perawatan kesehatan

diri, nutrisi, KB, menyusui, pemberian imunisasi dan perawatan

bayi sehat.

4) Memberikan pelayanan keluarga berencana.

D. Bendungan ASI

1. Pengertian

Bendungan ASI adalah terjadinya pembengkakan pada payudara

karena peningkatan aliran vena dan limfe sehingga menyebabkan

bendungan ASI dan rasa nyeri disertai kenaikan suhu badan (Rukiyah dan

Yulianti, 2010). Sulisyawati (2009), juga mendefenisikan bendungan ASI


41

adalah kejadian dimana pengeluaran air susu terhalang duktus laktoferi

yang menyempit karena pembesaran vena dan pembuluh limfe.

2. Etiologi

Menurut Rukiyah dan Yulianti (2010), bendungan ASI disebabkan

oleh :

a. Pengosongan mammae yang tidak sempurna. Selama masa laktasi,

terjadi peningkatan produksi ASI yang berlebihan. Apabila bayi sudah

kenyang dan selesai menyusu dan payudara tidak dikosongkan, maka

masih terdapat sisa ASI di dalam payudara. Sisa ASI tersebut jika tidak

dikeluarkan dapat menimbulkan bendungan ASI.

b. Hisapan bayi tidak aktif. Pada masa laktasi, jika bayi tidak aktif

menghisap, maka akan menimbulkan bendungan ASI.

c. Posisi menyusui yang tidak benar. Teknik yang salah dalam menyusui

dapat mengakibatkan puting susu menjadi lecet dan menimbulkan rasa

nyeri pada saat bayi menyusu. Akibatnya ibu tidak mau menyusui

bayinya dan terjadi bendungan ASI.

d. Puting susu yang terbenam. Puting susu yang terbenam akan

menyulitkan bayi dalam menyusu, karena bayi tidak dapat menghisap

puting dan areola. Akibatnya bayi tidak mau menyusu dan terjadi

bendungan ASI.

e. Puting susu terlalu panjang. Puting susu yang panjang menimbulkan

kesulitan pada saat bayi menyusu karena bayi tidak dapat menghisap
42

areola dan merangsang sinus laktiferus untuk mengeluarkan ASI.

Akibatnya ASI tertahan dan menimbulkan bendungan ASI.

3. Patofisiologi

Selama 24 jam hingga 48 jam pertama sesudah terlihatnya sekresi

lacteal, payudara sering mengalami distensi menjadi keras dan berbenjol.

Sekresi lacteal terjadi pada 2-3 hari pertama setelah melahirkan. Jadi

bendungan ASI terjadi 3-5 hari pertama setelah melahirkan. Keadaan ini

yang disebut dengan bendungan air susu “caked breast” sering

menimbulkan rasa nyeri pada payudara dan kadang menimbulkan

kenaikan suhu badan. Keadaan tersebut menggambarkan adanya aliran

darah vena normal yang berlebihan dan mengembangkan limfatik pada

payudara yang merupakan prekusor regular untuk terjadinya laktasi

(Suherni dkk, 2009).

4. Tanda dan Gejala

Menurut Rukiyah dan Yulianti (2010), ibu yang mengalami

bendungan ASI ditandainya dengan payudara bengkak, panas serta keras

pada perabaan, puting susu bisa mendatar sehingga bayi sulit menyusu,

pengeluaran susu kadang terhalang oleh ductuli laktiferi menyempit,

payudara terasa nyeri bila ditekan, payudara berwarna kemerahan, dan

suhu tubuh sampai 38ºC.


43

5. Penanganan Akibat Bendungan ASI

a. Penatalaksanaan:

1) Susukan bayi segera setelah lahir.

a) Susukan bayi tanpa dijadwal.

b) Keluarkan sedikit ASI sebelum menyusui agar payudara lebih

lembek.

c) Keluarkan ASI dengan tangan atau pompa bila produksi

melebihi kebutuhan ASI.

d) Laksanakan perawatan payudara setelah melahirkan.

e) Untuk mengurangi rasa sakit pada payudara berikan kompres

dingin.

f) Untuk memudahkan bayi menghisap atau menangkap puting

susu berikan kompres sebelum menyusui.

g) Untuk mengurangi bendungan di vena dan pembuluh getah

bening dalam payudara lakukan pengurutan yang dimulai dari

puting ke arah korpus mamae.

h) Ibu harus rileks

i) Pijat leher dan punggung belakang.

j) Sebelum menyusui, pijat payudara dengan lembut, mulailah dari

luar kemudian perlahan-lahan bergerak ke arah puting susu dan

lebih berhati-hati pada area yang mengeras.

k) Menyusui sesering mungkin dengan jangka waktu selama

mungkin, susui bayi dengan payudara yang sakit jika ibu kuat
44

menahannya, karena bayi akan menyusui dengan penuh

semangat pada awal sesi menyususi, sehingga bisa

mengeringkannya dengan efektif.

l) Lanjutkan dengan mengeluarkan ASI dari payudara itu setiap

kali selesai menyusui jika bayi belum benar benar

menghabiskan isi payudara yang sakit tersebut.

2) Perawatan Payudara

Payudara merupakan sumber yang akan menjadi makanan

utama bagi anak. Karena itu jauh sebelumnya harus sesuai dengan

pembesaran payudara yang sifatnya menyokong payudara dari

bawah suspension bukan menekan dari depan.

Anda mungkin juga menyukai