Anda di halaman 1dari 15

TERAPI BERMAIN

A. Definisi Terapi Bermain


Bermain adalah bagian integral dari masa kanak-kanak, media yang unik
untuk memfasilitasi perkembangan ekspresi bahasa, keterampilan komunikasi,
perkembangan emosi, keterampilan sosial, keterampilan pengambilan keputusan,
dan perkembangan kognitif pada anak-anak (Landreth, 2001). Bermain juga
dikatakan sebagai media untuk eksplorasi dan penemuan hubungan interpersonal,
eksperimen dalam peran orang dewasa, dan memahami perasaannya sendiri.
Bermain adalah bentuk espresi diri yang paling lengkap yang pernah
dikembangkan manusia.
Bermain adalah rangkaian perilaku yang sangat kompleks dan
multidimensional, yang berubah secara signifikan seiring pertumbuhan dan
perkembangan anak, yang lebih mudah untuk diamati daripada untuk
didefinisikan dengan kata-kata. Kesulitan dalam mendefinisikan permainan yang
dapat diterima banyak pihak adalah karena tidak adanya satu set permainan yang
dapat mencakup banyak tipe permainan. Erikson (dalam Landreth, 2001)
mendefinisikan bermain sebagai suatu dimana ego dapat bertransaksi dengan
pengalaman dengan menciptakan situasi model dan juga dapat menguasai realitas
melalui percobaan dan perencanaan. Moustakas (dalam Landreth, 2001)
mendefinisikan permainan sebagai “pembiaran pergi”, kebebasan untuk
mengalami, membenamkan seseorang secara total dalam momen tersebut
sehingga tidak ada beda lagi antara diri dan objek dan diri sendiri dan orang lain.
Energi, hidup, spirit, kejutan, peleburan, kesadaran, pembaharuan, semuanya
adalah kualitas dalam permainan.
Menurut McCune, Nicolish, & Fenson (dalam Schaefer, et al,. 1991),
bermain dibedakan dari perilaku yang lain dalam hal: (a) ditujukan demi
kesenangan sendiri; (b) fokus lebih pada makna daripada hasil akhir; (c) diarahkan
pada eksplorasi subjek untuk melakukan sesuatu pada objek; (d) tanpa
mengharapkan hal serius; (e) tidak diatur oleh aturan eksternal; (f) adanya
keterikatan aktif dari pemainnya. Sedangkan Garvey dan Piaget menambahkan
bahwa permainan haruslah: (a) menyenangkan; (b) spontan, sukarela, motivasinya
instrinsik; (c) fleksibel; dan (d) berkait dengan pertumbuhan fisik dan kognitf.

Berikut beberapa definisi mengenai terapi bermain dari beberapa ahli:


1. Landreth (2001) mendefinisikan terapi bermain sebagai hubungan
interpersonal yang dinamis antara anak dengan terapis yang terlatih dalam
prosedur terapi bermain yang menyediakan materi permainan yang dipilih
dan memfasilitasi perkembangan suatu hubungan yang aman bagi anak
untuk sepenuhnya mengekspresikan dan eksplorasi dirinya (perasaan,
pikiran, pengalaman, dan perilakunya) melalui media bermain.
2. International Association for Play (APT), sebuah asosiasi terapi bermain
yang berpusat di Amerika, dalam situsnya di internet mendefinisikan terapi
bermain sebagai penggunaan secara sistematik dari model teoritis untuk
memantapkan proses interpersonal dimana terapis bermain menggunakan
kekuatan terapeutik permainan untuk membantu klien mencegah atau
menyelesaikan kesulitan-kesulitan psikososial dan mencapai pertumbuhan
dan perkembangan yang optimal.
3. Menurut Vanfleet, et al, 2010, terapi bermain merupakan suatu bentuk
permainan anak-anak, di mana mereka dapat berhubungan dengan orang
lain, saling mengenal, sehingga dapat mengungkapkan perasaannya sesuai
dengan kebutuhan mereka.
4. Asosiasi Terapi Bermain, 2008, dalam Homeyer, 2008, terapi bermain
didefinisikan sebagai penggunaan sistematis model teoritis untuk
membangun proses antar pribadi untuk membantu seseorang mencegah
atau mengatasi kesulitan psikososial serta mencapai pertumbuhan dan
perkembangan yang optimal.

Beberapa definisi terapi bermain tersebut mengarah pada beberapa hal


penting, yaitu: (a) tipe dan jumlah permainan yang digunakan; (b) konteks
permainan; (c) partisipan yang terlibat; (d) urutan permainan; (e) ruang yang
digunakan; (f) gaya bermain; (g) tingkat usaha yang dicurahkan dalam permainan.
Berdasarkan banyak definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa permainan adalah
aktivitas yang mengandung motivasi instrinsik, memberi kesenangan dan
kepuasaan bagi siapa yang terlibat, dan dipilih secara sukarela. Sementara terapi
bermain adalah pemanfaatan permainan sebagai media yang efektif bagi terapis,
untuk membantu klien mencegah atau menyelesaikan kesulitan-kesulitan
psikososial dan mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, melalui
kebebasan eksplorasi dan ekpresi diri ( Schaefer, et al., 1991).

B. Model Terapi Bermain


LaBauve, dkk (2001) macam-macam model dalam terapi bermain adalah :
1. Model Adlerian, Model ini menggunakan dasar teori Psikologi Individual
Adler, dengan dasar filosofi yaitu kehidupan sosial perlu untuk dimiliki,
perilaku adalah tujuannya, melihat hidup secara subyektif dan hidup
adalah sesuatu yang khusus dan kreatif. Model ini digunakan untuk anak
dengan kegagalan dalam berinteraksi sosial dan salah dalam mempercayai
gaya hidupnya.
2. Model Terapi Client-Centered, Teori yang mendasari adalah teori Rogers,
yang berpandangan bahwa motivasi internal yang dimiliki anak-anak
mendorong pertumbuhan dan aktualisasi diri. Terapi bermain dengan
pendekatan Client Centered Non Directive (terapi yang berpusat pada anak
secara tidak langsung), ini sesuai untuk anak-anak yang mengalami
ketidaksesuaian antara kejadian hidup dengan dirinya.
3. Model Kognitif-Behavioral, Model ini berpandangan bahwa anak
memiliki pikiran dan perasaan yang sama seperti orang dewasa yaitu
ditentukan melalui bagaimana anak berfikir tentang diri dan dunianya.
Model ini digunakan untuk menangani anak dengan kepercayaan irrasional
yang membawanya keluar dari perilaku maladaptif.
4. Model Ekosistemik, Dasar yang digunakan adalah teori dari terapi realitas,
yang mempunyai pandangan bahwa berada dalam interaksi terhadap
lingkungan dapat mempengaruhi perkembangan.
5. Model Eksistensialisme, Memiliki pandangan bahwa anak-anak adalah
manusia berguna, unik, ekspresi diri dan pertolongan terhadap diri sendiri
mendorong aktualisasi diri. Pendekatan ini menangani anak-anak yang
mengalami kesulitan untuk berkembang sesuai dengan keunikannya yang
melemahkan pertumbuhandirinya sehingga mengalami penolakan dalam
menjalin hubungan dengan teman-temannya.
6. Model Gestalt, Model Gestalt melihat manusia secara total, dilahirkan
dengan fungsi utuh. Pendekatan ini untuk terapi anak yang mengalami
kesulitan bertumbuh secara alami, anak yang mencoba untuk memenuhi
kebutuhan dengan cara yang tidak biasa, dan memiliki pengalaman luka
baik secara fisik maupun psikologis.
7. Model Jungian, Didasarkan pada teori analitik Jung, yang melihat bahwa
psikis terdiri dari ego, ketidaksadaran diri, dan ketidaksadaran kolektif,
kekuatan menyembuhkan adalah bawaan. Pendekatan ini biasanya
digunakan untuk membantu anak yang mengalami ketidakseimbangan
psikis, ego tidak dapat menjebatani antara dunia luar dan dalam dirinya.
8. Model Psikoanalitik, Pendekatan ini menggunakan teori psikoanalisa
tradisional, yang memiliki dasar filosofi tentang anak yaitu anak memiliki
rasa takut, memerlukan rasa aman, berusaha berhubungan dengan tuntutan
lingkungan. Pendekatan ini sesuai untuk anak yang mengalami konflik
internal, kekawatiran, represi, hambatan perkembangan, dan agresivitas.

C. Tujuan
Tujuan terapi bermain adalah:
1. Menciptakan suasana aman bagi anak-anak untuk mengekspresikan diri
mereka
2. Memahami bagaimana sesuatu dapat terjadi, mempelajari aturan sosial dan
mengatasi masalah mereka
3. Memberi kesempatan bagi anak-anak untuk berekspresi dan mencoba
sesuatu yang baru.

D. Manfaat
Bermain merupakan aktivitas penting pada masa anak-anak. Berikut ini adalah
bererapa manfaat bermain pada anak-anak :
1. Perkembangan aspek fisik. Anggota tubuh mendapat kesempatan untuk
digerakkan, anak dapat menyalurkan tenaga (energi) yang berlebihan,
sehingga ia tidak merasa gelisah. Dengan demikian otot-otot tubuh akan
tumbuh menjadi kuat.
2. Perkembangan aspek motorik kasar dan halus.
3. Perkembangan aspek sosial. Ia akan belajar tentang sistem nilai,
kebiasaan-kebiasaan dan standar moral yang dianut oleh masyarakat.
4. Perkembangan aspek emosi atau kepribadian. Anak mendapat kesempatan
untuk melepaskan ketegangan yang dialami, perasaan tertekan dan
menyalurkan dorongan-dorongan yang muncul dalam dirinya. Setidaknya
akan membuat anak relaks.
5. Perkembangan aspek kognisi. Anak belajar konsep dasar, mengembangkan
daya cipta, memahami kata-kata yang diucapkan oleh teman-temannya.
6. Mengasah ketajaman penginderaan, menjadikan anak kreatif, kritis dan
bukan anak yang acuh tak acuh terhadap kejadian disekelilingnya.
7. Sebagai media terapi, selama bermain perilaku anak-anak akan tampil
bebas dan bermain adalah sesuatu yang secara alamiah sudah dimiliki oleh
seorang anak.
8. Sebagai media intervensi, untuk melatih kemampuan-kemampuan tertentu
dan sering digunakan untuk melatih konsentrasi pada tugas tertentu,
melatih konsep dasar

Pada prinsipnya, terapi bermain digunakan untuk media bagi anak untuk
mengalihkan perhatiannya dari aktivitas yang berlebihan namun tidak bermanfaat,
melatih anak melakukan tugas satu persatu, melatih anak menunggu giliran, dan
mengalihkan sasaran agresivitas. Menurut Nurjaman, 2006, dalam Mulyaman,
2008, terapi bermain diyakini mampu menghilangkan batasan, hambatan dalam
diri, kecemasan, frustasi serta mempunyai masalah emosi dengan tujuan
mengubah tingkah laku anak yang tidak sesuai menjadi tingkah laku yang
diharapkan dan anak sering diajak bermain akan lebih kooperatif dan mudah
diajak kerjasama ketika menjalani pengobatan.

Pemanfaatan bermain sebagai sebuah terapi, misalnya pada anak penyandang


ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) atau GPPH (Gangguan
Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas) adalah keadaan neurologik perilaku
dengan gejala-gejala yang meliputi kyrangnya perhatian, perhatian mudah beralih,
hiperaktivitas, kegelisahan yang berlebihan, dan tindakan-tindakan yang bersifat
impulsif, bertindak sesuai dorongan hati tanpa memeperhatikan situasi (Schaefer,
et al., 1991). Pada anak penyandang ADHD terapi bermain dapat dilakukan untuk
membantu mengendalikan aktivitas yang berlebihan (hiperaktivitas), melatih
kemampuan mempertahankan perhatian pada objek tertentu, mengembangkan
keterampilan menunggu giliran, dan mengendalikan tingkat agresivitas. Tentu saja
pemberian terapi perilaku ini akan kurang efektif tanpa dibarengi dengan
treatment yang berupa obat-obatan yang membantu untuk mengendalikan
agresitivitas, memberikan ketenangan kepada anak, dan mengurangi kecemasan.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemberian terapi bermain bagi anak
ADHD adalah:
1. Tujuan dan target setiap sesi terapi bermain harus spesidik berdasarkan
kondisi dan keterampilan anak, dilakukan dengan bertahap, terstruktur,
dan konsisten. Salah satu yang perlu diperhatikan pada anak ADHD
adalah sensitivitas mereka terhadap perubahan sehingga kita harus
membantu menciptakan sesuatu yang rutin untuk mereka. Dalam hal ini,
konsistensi yang dapat diciptakan terapis misalnya dalam hal waktu,
aturan bermain, tempat, dan jumlah alat permaina. Pemilihan ini harus
didasarkan pada kondisi anak dan target perilaku yang dituju.
2. Permainan yang digunakan harus dipecah-pecah menjadi komponen-
komponen kecil yang diajarkan satu persatu dengan tahap dan cara yang
sama. Mereka selalu sulit mengorganisasikan waktu sehingga kita harus
membantu untuk memecah-mecah tugas menjadi komponen-komponen
kecil yang sederhana. Misalnya:acara menggambar dibagi dalam
kegiatan mengambil kertas, mengambil pensil, mengambil krayon,dst
3. Terapi diberikan dalam beberapa tahap, pertama dengan satu anak satu
terapis dalam tempat terapi khusus, kemudian perlahan-lahan anak akan
dilibatkan dalam permainan bersama anak lain (sebaiknya yang tidak
ADHD), dan jika sudah memungkinkan maka anak dilibatkan dalam
kelompok yang lebih besar. Permainan sosial ini harus dirancang terapis
dan orang tua untuk membantu anak mengembangkan keterampilan
bersosialisasi
4. Terapi bagi anak penyandang ADHD tidak dapat dilakukan hanya dengan
terapi tunggal. Mengingat bahwa gangguannya berkaitan dengan sirkuit
didalam otak, maka terapi bermain sebaiknya dilakukan bersama-sama
dengan terapi yang lain, yaitu terapi farmakologi. Rencana program terapi
yang dijalankan pun harus disusun dengan terpadu dan terstruktur dengan
baik, begitu juga proses evaluasinya.
5. Terapi bermain ini harus dilakukan oleh tenaga terapis yang sudah terlatih
dan betul-betul mencintai dunia anak dan pekerjaannya. Hal ini terlebih
pada penyandang ADHD karena menangani anak ADHD memerlukan
kesabaran dan ketefuhan hati yang tinggi. Jika pada anak non ADHD
target perubahan perilakuyang dibuat mungkin dapat dicapai dengan cepat
dan lebih mudah, maka bagi penyandang ADHD untuk mengendalikan
perilaku mereka saja mungkin sulit.
6. Keberhasilan program terapi bermain sangat ditentukan oleh bagus
tidaknya kerja sama terapis dengan orang tua dan orang-orang lain yang
terlibat dalam pengasuhan anak sehari-hari. Hal ini berkaitan dengan
proses transfer keterampilan yang sudah diperoleh selama terapi yang
harus terus dipelihara dan ditingkatkan dalam kehidupan diluar program
terapi.
7. Jika secara umum terapi bermain memberikan kebebasan kepada anak
untuk berekspresi dan eksplorasi, maka pada anak ADHD hal ini justru
akan digunakan untuk memperkenalkan aturan-aturan dan pengendalian
perilaku
8. Terapi bermain bagi penyandang ADHD dapat ditujukan untuk
meminimalkan/menghilangkan perilaku agresif, perilaku menyakiti diri
sendiri, dan menghilangkan perilaku berlebihan yang tidak bermanfaat.
Hal ini dapat dilakukan dengan melatihkan gerakan-gerakan tertentu
kepada anak, misalnya tepuk tangan, merentangkan tangan, menyusun
balok, bermain palu dan pasak, dan alat bermain yang lain. Dengan
mengenalkan gerakan yang lain dan berbagai alat bermain yang dapat
digunakan, maka diharapkan yang dapat digunakan untuk mengalihkan
agresivitas yang muncul, juga jika anak sering berlarian tak bertujuan.
Mengenalkan anak pada permainan konstruktif seperti menyusun balok
juga akan membantu anak mengenal urutan dan membantu
mengembangkan keterampilan motorik (Schaefer, et al., 1991).

E. Materi Bermain
Materi bermain dalam terapi bermaian dapat diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:
1. Mainan untuk memudahkan ekspresi
Mainan adalah kata-kata anak-anak dan bermain adalah bahasa
mereka. Oleh karena itu dalam terapi bermain harus tersedia mainan yang
memudahkan anak untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya.
Misalnya keluarga boneka manusia, keluarga boneka binatang, mobil, truk,
bis, dll.
2. Mainan yang mendorong kreativitas
Beberapa mainan, sudah menjadi sifat dasarnya mendorong
kreativitas. Sebuah kotak di pojok bisa menjadi rumah. Contoh lain seperti
krayon, malam, kertas lipat, balok kayu dll.

3. Mainan untuk menyalurkan emosi


Anak dapat menggunakan cat, pasir, tanah liat untuk menyalurkan
perasaannya yang kuat dimana dia tidak berani mengkomunikasikan
dengan lebih terbuka.
4. Mainan yang dapat mengekspresikan sifat agresi
Mainan senjata, pisau karet, pedang plastik, perisai dari kayu, palu,
catut menggambarkan kepada anak suatu arti yang mengekspresikan
permusuhan dan agresif. Menembak, menusuk, memukul, dan meninju
dengan keras adalah ekspresi simbolik dari kemarahan, dan jika diberi
kebebasan bermain akan memberikan terapeutik katarsis, konsentrasi dan
koordinasi.

F. Proses Pelaksanaan Terapi Bermain


1. Pelaksanaan Sesi Terapi Bermain
Pelaksanaan sesi terapi bermain pada subjek dimulai dengan langkah-
langkah yang berurutan yaitu:
a. Pembuatan Rancangan Treatment
Pembuatan rancangan treatmen dilakukan pada tahap awal
setelah penggalian data mengenai latar belakang keluarga dan
anak, kebutuhan anak serta dukungan orangtua. Untuk
mendapatkan rancangan treatmen yang tepat, perlu menciptakan
hubungan yang baik/ rapport antara terapis dengan anak, sehingga
anak dapat mengeksplorasi secara optimal dalam bermain dan
mempunyai perasaan senang dalam melakukan sesuatu, hasil
observasi selama awal sesi merupakan sumber informasi (Mc.
Mahon). Setelah semua informasi terkumpul dapat disimpulkan
kebutuhan anak sehingga rancangan treatmen beserta tujuannya
dapat dibuat dengan tepat. Setelah rancangan treatmen selesai
dibuat maka perlu diinformasikan pada orangtua untuk mendapat
persetujuan dan dukungan.

b. Pelaksanaan Treatment
Tahap selanjutnya adalah pelaksanaan. Dalam tahap ini
terapis melaksanakan rancangan treatment yang sudah dibuat
dengan menjaga sikap profesional, kejujuran dan kerahasiaan.
Selain itu terapis juga perlu menciptakan rasa aman dan kebebasan
pada diri anak untuk menentukan pilihan dan mengekspresikan
diri.
Seringkali anak dapat memulai permainan dengan spontan,
namun ada beberapa anak yang hanya diam saja di ruang terapi
bermain, oleh sebab itu sangat diperlukan terapis yang mampu
membuat anak nyaman dan aman. Menurut Mc. Mahon (2001), ada
beberapa cara untuk mengajak anak terlibat aktif dalam bermain,
misalnya : Terapis memainkan boneka tangan, bermain Teddy Bear
atau boneka lain, atau membuat hal-hal yang lucu. Hal ini
dilakukan untuk membuat anak mau bermain, bukan mengarahkan
permainan anak.
Ada kontrol dan batasan dalam pelaksanaan treatment,
yaitu : pastikan bahwa alat-alat permainan aman dimainkan anak-
anak, sehingga tidak membahayakan bagi anak tersebut, bagi
terapis atau orang lain yang terlibat. Kemudian pada saat anak
marah dan merusak mainan atau melakukan agresivitas, terapis
memberikan toleransi sampai batas tertentu dan berhak
menghentikan mainan dengan menggantikan mainan yang lain atau
menghentikan sesi treatmen.
Hasil observasi segera dicatat setelah sesi selesai, bila
dimungkinkan gunakan recorder sebagai perekam atau camera
perekam, sehingga mudah untuk menentukan treatmen selanjutnya.
Secara garis besar, tujuan dari terapi ini adalah menolong anak
untuk mampu berhadapan dan hidup dengan kondisi emosinya
yang terluka (Mc. Mahon). Oleh sebab itu ada beberapa tahap
kemajuan yang biasanya dilewati oleh anak, yaitu:
Tahap 1 : perasaan marah, cemas atau emosi yang tidak
mengenakan. Tingkah laku yang muncul anak nampak destruktif/
merusak mainan atau sebaliknya nampak ketakutan pada sesuatu.
Tahap 2: perasaan marah sudah terarah pada orang tertentu, bisa
terapisnya atau permainan simbol.
Tahap 3 : nampak ekspresi positif dan negatif berjalan bersama.
Misalnya: suatu saat anak menyuapi boneka, disaat yang lain dia
memukuli boneka tersebut.
Tahap 4 : anak sudah dapat memilih dan memisahkan perasaan
positif dan negatif tentang orang dan situasi dalam realitas.
c. Evaluasi Treatment
Pada evaluasi akhir, dinilai apakah terapi efektif atau
kurang efektif? Apakah treatment dilanjutkan atau dihentikan?
Terapi bermain kurang efektif jika dilakukan pada anak yang
pendiam atau pasif karena mereka akan sangat sulit untuk diajak
bermain oleh terapis. Proses dan lamanya terapi bervariasi tiap
anak dan kasus, dari beberapa minggu sampai 1 atau 2 tahun.
Untuk mengakhiri treatment, alangkah baiknya terapis mengajak
anak membuat suatu acara khusus sehingga anak tidak mengalami
kesedihan atau kekecewaan karena kehilangan suasana yang sudah
dia dapatkan. Terapis juga dapat memberikan bingkisan dari hasil
treatment, atau foto bersama.

2. Pendekatan terpadu dalam proses terapi bermain meliputi :


a. Relating
Terapis hendaknya dapat mengembangkan suasana yang
hangat dan permisif, namun tetap dapat membantu anak
bertanggungjawab terhadap tingkah lakunya dan mengajar anak
bagaimana cara yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhannya.
Sebab terapi bermain harus dapat menciptakan suatu pengalaman
yang membantu anak menghubungkan pikiran dan perasaan
terhadap tingkah laku seseorang.
b. Releasing
Dalam terapi bermain yang aman dan dijaga, anak dapat
mengekspresikan pikiran dan emosinya yang selama ini
disembunyikan. Beberapa anak dengan sangat garang memukul-
mukul tanah liat membentuk orang dan kemudian merobeknya dll.
Kegiatan ini merupakan cara anak untuk melepaskan emosi mereka
dan mengekspresikan perasaan mereka melalui bermain. Karena
katarsis ini memungkinkan anak untuk mengurangi ketegangan,
katarsis ini dapat merupakan terapeutik. Dalam sebagian besar
kasus, bagaimanapun juga terapis memerlukan katarsis untuk
membantu anak menghadapi perasaannya.
c. Re-creating
Yang dimaksud dengan re-creating adalah menciptakan
kembali kejadian-kejadian yang signifikan. Dalam tahap ini anak
menciptakan kembali kejadian-kejadian yang lalu, kejadian-
kejadian sekarang dan pengalaman-pengalaman perasaan yang
tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kejadian-kejadian
tersebut.
d. Re-experiencing
Pada tahap ini anak mengalami kembali kejadian-kejadian
melalui proses bermain. Anak-anak mulai mengembangkan
pengertian kejadian-kejadian masa lalu dan menghubungkan
pengertian itu dengan pikiran, perasaan dan tingkah laku sekarang
e. Resolving
Resolving merupakan tahap pemecahan. Dalam tahap ini
anak memperoleh pengertian bahwa dia mempunyai masalah dan
bereksperimen dengan berbagai pemecahan Karena tidak semua
masalah dapat dipecahkan, anak dapat mengembangkan
ketrampilan penting untuk menghadapi masalah.
3. Bermain di Kontrol Versus Bermain Bebas
Ada perbedaan pendapat apakan bermain seharusnya dikontrol atau
bebas. Menurut Levy mengontrol mainan dengan menyeleksi mainan-
mainan tertentu dapat digunakan untuk memecahkan konflik-konfliknya.
Namun, Axline dan Moustakas berpegang pada anak boleh memilih
mainannya secara bebas. Mereka mengatur ruangan dengan cara yang
sama untuk semua anak. Menurut pendapat mereka memilih mainan secara
spontan mengurangi kepalsuan. Baik bermain di kontrol maupun bermain
bebas memiliki keunggulan tersendiri untuk membantu anak memecahkan
masalahnya.

G. Penerapan Terapi Bermain


1. Konsep Puzzle
Puzzel berasal dari bahasa Inggris yang berarti teka-teki atau
bongkar pasang, media puzzle merupakan media sederhana yang
dimainkan dengan bongkar pasang. Berdasarkan pengertian tentang media
puzzle, maka dapat disimpulkan bahwa media puzzle merupakan alat
permainan edukatif yang dapat merangsang kemampuan matematika anak,
yang dimainkan dengan cara membongkar pasang kepingan puzzle
berdasarkan pasangannya.
2. Fungsi Permainan Puzzle :
a. Melatih konsentrasi, ketelitian dan kesabaran
b. Melatih koordinasi mata dan tangan. Anak belajar mencocokkan
keping-keping puzzle dan menyusunnya menjadi satu gambar.
c. Memperkuat daya ingat
d. Mengenalkan anak pada konsep hubungan
e. Dengan memilih gambar/bentuk, dapat melatih anak untuk berfikir
matematis (menggunakan otak kiri).

3. Metode Puzzle
a. Anak diberi penjelasan tentang prosedur pelaksanaan terapi
bermain yang meliputi waktu kegiatan, cara membuat, serta hal-hal
lain yang terkait dengan program terapi bermain.
b. Diawal permainan, anak diperkenalkan dengan puzzle, lalu
diberikan penjelasan mengenai cara bermain puzzle.
c. Setelah itu dengan panduan leader, anak diminta untuk mengamati
terlebih dahulu gambar yang ada di dalam puzzle, memencar
kepingan puzzle, menyusun kembali kepingan puzzle sesuai
gambar semula dengan benar.
d. Fasilitator mendampingi dan mengarahkan anak selama bermain
puzzle berlangsung.
e. Ibu dapat berperan sebagai fasilitator, tetapi tidak boleh ikut
terlibat dalam kegiatan membentuk mainan.
f. Setelah waktu yang ditentukan untuk terapi bermain habis, anak
dipersilahkan untuk berhenti, dan diberikan pujian atas keterlibatan
anak selama terapi bermain berlangsung.
g. Observer melakukan pengamatan dan memberikan evaluasi
terhadap perilaku anak dan proses jalannya terapi bermain.
h. Setelah anak selesai menyusun puzzle, anak diharapkan untuk
bercerita tentang gambar yang ada di dalam puzzle sesuai dengan
imajinasi anak.
i. Pada akhir kegiatan diberikan pengumuman hasil bangun terbaik
dan memberikan bangun tersebut sebagai reward.
j. Kemudian fasilitator mengembalikan hasil karya mereka dan
memberikan pujian kepada semua peserta sebagai reward.

DAFTAR PUSTAKA
Dwi, S. dkk. 2014. Proposal Terapi Bermain Menyusun Puzzle di Ruang Anak
Bona 2 RSUD Dr. Soetomo Surabaya. www.academia.edu /
10984703/Terapi_bermain. Diakses pada tanggal 18 April 2019.

Muhith, A. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa : Teori dan Aplikasi.


Yogyakarta: Penertbit ANDI.

Saputro, H. dan I. Fazrin. 2007. Anak Sakit Wajib Bermain di Rumah Sakit.
Ponorogo: Forum Ilmiah Kesehatan.

Zellawati, A. 2011. Terapi Bermain untuk Mengatasi Masalah pada Anak, Vol.2,
No.3. www.unaki.ac.id. Diakses pada tanggal 17 April 2019.

Anda mungkin juga menyukai