Anda di halaman 1dari 12

1.

Pengaruh Monopoli dalam Perdagangan

Pada awal kedatangannya, bangsa-bangsa barat diterima dengan baik oleh rakyat Indonesia. Hubungan
perdagangan tersebut kemudian berubah menjadi hubungan penguasaan atau penjajahan. VOC terus
berusaha memperoleh kekuasaan yang lebih dari sekedar jual beli. Itulah yang memicu kekecewaan,
kebencian, dan perlawanan fisik.

Pada awalnya VOC meminta keistimewaan hak-hak dagang. Akan tetapi, dalam perkembangannya
menjadi penguasaan pasar (monopoli). VOC menekan para Raja untuk memberikan kebijakan
perdagangan hanya dengan VOC. Akhirnya, VOC bukan hanya menguasai daerah perdagangan, tetapi
juga menguasai politik atau pemerintahan.

Apakah yang disebut dengan MONOPOLI? Monopoli adalah Penguasaan pasar yang dilakukan oleh satu
atau sedikit perusahaan. Bagaimnakah dampak monopoli ? Bagi pelaku perusahaan, monopoli sangat
menguntungkan karena mereka dapat menentukan harga beli dan harga jual. Sebagai contoh, Pada saat
melakukan monopoli rempah-rempah di Indonesia, VOC membuat perjanjian dengan kerajaan-kerajaan
di Indonesia . Isinya, Setiap kerajaan hanya mengizinkan rakyat menjual hasil bumi kepada VOC. Karena
produsen sudah dikuasai oleh VOC, maka pada saat rempah-rempah dijual, harganya sangat turun.
Sebaliknya, VOC menjualnya kembali ke Eropa dengan harga yang sangat tinggi.

Semua hal tersebut terjadi karena keterpaksaan. Belanda memaksa kerajaan-kerajaan di Indonesia untuk
menandatangani kontrak monopoli dengan berbagai cara. Salah satu caranya adalah politik adu domba
atau dikenal dengan " devide et impera ". Siapa yang diadu domba? adu domba yang dilakukan Belanda
dapat terjadi terhadap kerajaan yang satu dengan kerajaan yang lain, atau antarpejabat kerajaan. Apa
tujuan belanda melakukan adu domba?

Belanda berharap akan terjadi permusuhan antarbangsa Indonesia, sehingga terjadi perang
antarkerajaan. Belanda juga terlibat dalam konflik internal yang terjadi di kerajaan. Pada saat terjadi
perang antarkerajaan, Belanda mendukung salah satu kerajaan yang berperang. Demikian halnya saat
terjadi konflik didalam kerajaan, Belanda akan mendukung salah satu pihak. Setelah pihak yang didukung
belanda itu menang, Belanda akan meminta balas jasa.

Seusai perang, Belanda biasanya meminta imbalan berupa monopoli perdagangan atau penguasaan atas
beberapa lahan atau daerah. Akibat monopoli, Rakyat Indonesia sangat menderita. Mengapa demikian?
Dengan adanya monopoli, rakyat tidak memiliki kebebasan menjual hasil bumi mereka. Mereka terpaksa
menjual hasil bumi hanya kepada VOC. VOC dengan kekuasaannya membeli hasil bumi rakyat dengan
harga yang sangat rendah. Padahal apabila rakyat menjual kepada pedagang lain, harganya bisa jauh
lebih tinggi.

Untuk meluaskan kekuasaan, VOC mempersiapkan penguasaan dengan cara perang ( Militer ). Beberapa
Gubernur Jenderal, seperti Antonio van Diemon ( 1635-1645 ), Johan Maatsuyeker ( 1653-1678 ), Rijklof
van Goens ( 1678-1681 ), Cornelis Janzoon Speelman ( 1681-1684 ), Merupakan tokoh-tokoh peletak
dasar politik ekspansi VOC.

VOC mengalami kebangkrutan pada akhir abad XVIII. Korupsi dan manajemen perusahaan yang kurang
baik menjadi penyebab utama kebangkrutan VOC. Akhirnya, tanggal 13 Desember 1799, VOC
dibubarkan. Mulai tanggal 1 Januari 1800, Indonesia menjadi jajahan Pemerintah Belanda, Atau sering
disebut dengan Masa Pemerintahan Hindia Belanda. Mulai periode inilah belanda secara resmi
menjalankan pemerintahan kolonial dalam arti yang sebenarnya.

2. Pengaruh Kebijakan Kerja Paksa

Pernakah kalian mendengar istilah kerja rodi atau kerja paksa? Bagaimana rasanya apabila bekerja
karena terpaksa? Tentu saja bekerja karena terpaksa hasilnya tidak sebaik pekerjaan yang dilakukan
dengan suka rela. Melakukan pekerjaan karena dipaksa juga akan membuat seseorang menderita. Hal
itulah yang dialami bangsa Indonesia pada masa penjajahan dahulu. Pemerintah Belanda menginginkan
keuntungan sebanyak-banyaknya dari bumi Indonesia sehingga menerapkan kebijakan kerja paksa.

Rakyat Indonesia bekerja tanpa fasilitas yang memadai. Meraka tidak memperoleh penghasilan yang
layak, tidak diperhatikan asupan makannya, dan melakukan pekerjaan diluar batas-batas kemanusiaaan.
Bagaimana kerja pakasa yang terjadi pada masa pemerintahan Hindia Belanda?

Gubernur Jenderal Deandels, yang memerintah tahun 1808-1811, mengeluarkan berbagai kebijakan
seperti pembangunan militer, jalan raya, perbaikan pemerintahan, dan perbaikan ekonomi. Salah satu
kebijakan yang terkenal dan buktinya dapat disaksikan hingga masa sekarang adalah pembangunan jalan
Anyer-Panarukan ( Jalan Raya Pos ). Jalan raya pos sangat penting bagi pemerintah kolonial. jalan
tersebut dibangun dengan tujuan utama untuk kepentingan militer pemerintah kolonial. Dalam
perkembangannya, jalan tersebutmenjadi sarana transportasi pemerintahan dan mengangkut berbagai
hasil bumi. Hingga sekarang, Manfaat jalan tersebut masih dapat dirasakan. Dibalik besarnya proyek
tersebut, perlu dipertanyakan bagaimana proses pembangunan jalan yang melewati gunung yang terjal
dan medan yang sulit pada masa lalu? siapa yang menjalankan pembangunan?

Pembangunan jalan tersebut merupakan kebijakan pemerintah Republik Bataaf di bawah pimpinan
Gubernur Jenderal Herman Willem Deandels. Mereka memandang penting pembangunan jalur Anyer-
Panarukan. Selain untuk kepentingan pertahanan dan militer, jalan tersebut merupakan penghubung
kota-kota penting di pulau jawa yang merupakan penghasil tanaman ekspor. Dengan dibangunnya jalur
tersebut, proses distribusi barang dan jasa untuk kepentingan kolonial semakin cepat dan efisien.

Pembangunan jalur Anyer-Panarukan sebagian besar dilakukan oleh tenaga manusia. Puluhan ribu
penduduk dikerahkan untuk membangun jalan tersebut. Rakyat Indonesia dipaksa belanda untuk
membangun jalan. Mereka tidak digaji dan tidak menerima makanan yang layak. Akibatnya, ribuan
penduduk meninggal baik karena kelaparan maupun penyakit yang diderita. Pengerahan penduduk
untuk mengerjakan berbagai proyek Belanda inilah yang disebut kerja rodi atau kerja paksa.

3. Pengaruh Sistem Sewa Tanah

Kebun Raya Bogor merupakan salah satu pusat pengetahuan yang menyimpan berbagai jenis tanaman.
Tahukan kalian bahwa kebun raya tersebut sudah dibangun sejak abad XIX? Kebun raya bogor
merupakan salah satu bukti pengaruh kekuasaan Inggris di Indonesia. Bagaimana Inggris dapat
menguasai Indonesia?

Pada masa tersebut meletus perang di Eropa antara Prancis dan Belanda . Willem V dari negeri Belanda
berhasil lolos dari serangan Prancis dan melarikan diri ke Inggris. Willem V kemudian mengeluarkan
maklumat yang memerintahkan para pejabat jajahan Belanda menyerahkan wilayahnya kepada Inggris.
Maklumat ini dimaksudkan agar jajahan Belanda tidak jatuh ketangan Prancis.

Saat Inggris menguasai Indonesia, Gubernur Jenderal Lord Minto membagi daerah jajahan HIndia
Belanda menjadi empat gubernement, Yakni malaka, Sumatra, Jawa dan Maluku. Lord Minto selanjudnya
menyerahkan tanggung jawab kekuasaan atas seluruh wilayah itu kepada Letnan Gubernur Thomas
Stamford Raffles.
Salah satu kebijakan terkenal pada masa Reffles adalah sistem sewa tanah atau Landrent-sistem atau
Landelijk stalsel. Sistem tersebut memiliki ketentuan , antar lain sebagai berikut.

Petani harus menyewa tanah meskipun dia adalah pemiliki tanah tersebut

Harga sewa tanah tergantung kepada kondisi tanah.

Pembayaran sewa tanah dilakukan dengan uang tunai.

Bagi yang tidak memiliki tanah dikenakan pajak kepala.

Bagaimana pendapatmu tentang sistem sewa tanah ? Walupun lebih ringan dari sistem tanam paksa,
sewa tanah tetap memberatkan rakyat. Sistem sewa tanah menggambarkan bahwa seakan-akan rakyat
tidak memiliki tanah, padahal tanah tersebut adalah milik rakyat. Hasil sewa tanah juga tidak seluruhnya
digunakan untuk ekmakmuran rakyat. Hasil sewa tanh tersebut sebagain besar digunakan untuk
kepentingan penjajah.

Pelaksanaan sistem sewa tanah tersebut dianggap memiliki banyak kelemahan sehingga gagal diterapkan
di Indonesia. Beberapa penyebab kegagalan pelaksanaan sistem sewa tanah tersebut antara lain :

Sulit menentukan besar kecil pajak bagi pemilik tanah karena tidak semua rakyat memilik tanah yang
sama.

Sulit menentukan luas dan tingkat kesuburan tanah petani.

Keterbatasan jumlah pegawai

Masyarakat desa belum mengenal sistem uang.

Sistem sewa tanah diberlakukan terhadap daerah-daerah di pulau jawa, kecuali daerah-daerah Batavia
dan Parahyangan. Daerah-daerah Batavia umunya telah menjadi milik swasta dan daerah-daerah
Parahyangan merupakan daerah wajib tanaman kopi yang memberikan keuntungan besar kepada
pemerintah.

4. Pengaruh Sistem Tanam Paksa

Pada masa penjajahan abad XIX, tanaman tersebut merupakan komuditas utama ekspor Indonesia.
Karena itu, Belanda berusaha menaikkan akspor tanaman perkebunan tersebut. Apa lagi ketika awal
abad XX Belanda menghadapi perang di Eropa, yang menyebabkan kerugian keuangan yang besar. Selain
itu belanda menghadapi berbagai perlawanan rakyat Indonesia di berbagai daerah. Salah satu cara
Belanda menutupi kerugian itu adalah dengan meningkatkan ekspor. Peningkatan ekspor merupakan
pilihan Belanda untuk mempercepat penambahan pundi-pundi keuangan negara.

Pada tahun 1830, Johannes van den Bosch menerapkan sistem tanam paksa ( cultuur stelsel ). Kebijakan
ini diberlakukan karena belanda menghadapi kesulitan keuangan akibat perang Jawa atau Perang
Diponegoro ( 1825-1830 ) dan perang Belgia ( 1830-1831 ).

Ketentuan kebijakan tanam paksa yang diberlakukan pemerintah Hindia Belanda sangat memberatkan
masyarkat Indonesia. Apalagi, Pelaksanaannya penuh dengan penyelewengan sehingga semakin
menambah penderitaan rakyat Indonesia. Banyak ketentuan yang dilanggar atau diselewengkan baik
oleh pegawai Balanda ataupun Pribumi. Praktik-praktik penekanan dan pemaksaan terhadap rakyat
tersebut antara lain sebagai berikut :

Menurut ketentuan, tanah yang digunakan untuk tanaman wajib hanya 1/5 dari tanah yang dimiliki
rakyat. Namun kenyataannya, selalu lebih bahkan sampai 1/2 bagian dari tanah yang dimiliki rakyat.

Kelebihan hasil panen tanaman wajib tidak pernah dibayarkan

Waktu untuk kerja wajib melebihi dari 66 hari, dan tanpa imbalan yang memadai.

Tanah yang digunakan untuk tanaman wajib tetap dikenakan pajak.

Penderitaan rakyat Indonesia akibat kebijakan tanam paksa ini dapat dilihat dari jumlah angka kematian
rakyat Indonesia yang tinggi akibat kelaparan dan penyakit, kekurangan gizi. Pada tahun 1848-1850,
karena paceklik, 9/10 penduduk Grobongan Jawa Tengah Mati kelaparan. Dari jumlah penduduk yang
semula 89.000 orang, yang dapat bertahan hanya 9000 orang. Penduduk Demak yang semula berjumlah
336.000 orang hanya tersisa sebanyak 120.000 orang. Data ini belum termasuk data didaerah lain, yang
menunjukkan betapa mengerikannya masa penjajahan ada masa itu.

Sistem ini Membuat banyak pihak bersimpati dan mengecam praktik tanam paksa. Kecaman tidak hanya
datang dari bangsa Indonesia, tetapi juga orang-orang Belanda. Mereka menuntut agar Tanam paksa
dihapuskan. Kecaman dari berbagai pihak tersebut membuahkan hasil dengan dihapuskannya sistem
tanam paksa pada tahun 1870. Orang-orang Belanda yang menentang adanya Tanam Paksa tersebut
diantaranya Baron van Hoevel, E.F.E Douwes Dekker ( Multatuli ) dan L. Vitalis.

Pada tahun 1870, Keluar undang-undang Agraria ( Agrariche Wet ) yang mengatur tentang prinsip-prinsip
politik tanah di negeri jajahan yang menegaskan bahwa pihak swasta dapat menyewa tanah, baik tanah
pemerintah maupun tanah penduduk. Tanah-tanah pemerintah dapat disewa oleh pengusaha swasta
sampai 75 tahun. Tanah penduduk dapat disewa selam 5 tahun, dan ada juga yang disewa selam 30
tahun.

Pada tahun yang sama juga ( 1870 ) keluar undang-undang Gula ( Suiker Wet ), yang berisi larangan
mengangkut tebu keluar dari Indonesia. Tebu harus diproses di Indonesia. Pabrik gula milik pemerintah
akan dihapus secara bertahap dan diambil alih oleh pihak swasta. Pihak swasta diberi kesempatan yang
luas untuk mendirikan pabrik gula.

Malalui UU Gula, Perusahaan-perusahaan swasta Eropa mulai berinvestasi di Hindia Belanda di bidang
ekonomi. Sejak UU Agraria dan UU Gula dikeluarkan, puhak swasta semakin banyak memasuki tanah
jajahan di Indonesia. Mereka memainkan peran penting dalam mengeksploitasi tanah jajahan, Tanah
jajahan di Indonesia berfungsi sebagai tempat untuk mendapatkan bahan mentah untuk kepentingan
Industri di Eropa dan tempat penanaman modal asing, tempat pemasaran barang-barang hasil industri
dari Eropa, serta penyedia tenaga kerja yang murah.

5. Perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme

Secara umum, perlawanan terhadap bangsa Barat di Kepulauan Indonesia dapat dibedakan berdasarkan
waktu dan aktornya. Dalam konteks waktu, perlawanan itu dapat dikelompokkan dalam dua periode
besar. Pertama, perlawanan terhadap pedagang serakah yang berpolitik yang terjadi sepanjang abad ke-
16 sampai akhir abad ke-18. Kedua, perlawanan terhadap pemerintahan Hindia Belanda sejak abad ke-
19.

Dalam konteks aktor, perlawanan dapat dibedakan antara perlawanan oleh pemerintah atau elite lokal
dan perlawanan oleh masyarakat atau rakyat, termasuk didalamnya perlawanan yang dilakukan oleh
para migran seperti komunis Cina.

Terdapat perbedaan motif, bentuk gerakan dan ideologi pada masing-masing perlawanan, baik yang
dilakukan oleh kerajaan, elite lokal maupun oleh rakyat. Satu hal yang pasti, perlawanan itu berlangsung
seiring dengan perluasan kolonialisme dan imperialisme Barat di berbagai wilayah di Kepulauan
Nusantara.
Beberapa perlawanan bersifat sangat lokal dan bahkan individual atau kelompok kecil dan hanya
berlangsung dalam waktu yang singkat. Sedangkan perlawanan lain bersifat massal, mencakup wilayah
yang luas, persenjataan serta strategi perang yang canggih dan waktu yang lama.

Hanya kurang lebih satu tahun setelah kedatangan Portugis di Melaka, perlawanan terhadap kehadiran
bangsa Barat segera muncul baik karena alasan persaingan ekonomi dan politik maupun reaksi terhadap
tekanan yang dilakukan Portugis.

Setelah perlawanan dari komunitas di dalam kota Melaka, Pati Unus dari Jepara menyerbu Melaka pada
malam tahun baru akhir tahun 1512. Setelah itu secara berturut-turut pasukan dari Aceh, Jawa dan
Melayu silih berganti menyerang kedudukan Portugis di Melaka sejak tahun 1535, termasuk serangan
yang berkali-kali dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda sampai akhirnya Portugis dikalahkan Belanda pada
abad ke-17.

Perlawanan terhadap Portugis juga dilakukan oleh para penguasa dan masyarakat lokal di Kepulauan
Maluku, seperti yang dilakukan oleh pendukung Pangeran Ayola pada tahun 1531 dan 1534. Sementara
itu Sultan Baab Ullah, anak Sultan Khairun dari Ternate yang dibunuh Portugis pada tahun 1570,
mengepung benteng Portugis pada tahun 1575 dan memaksa mereka pergi dari Ternate.

Sebagian dari mereka kemudian menjadi cikal bakal dari keberadaan Portugis di Timor-Timor. Reaksi
yang sama juga ditunjukkan terhadap Belanda di Kepulauan Indonesia. Salah satu perlawanan awal
dilakukan oleh Sultan Agung dari Mataram, yang melakukan ekspansi militer ke posisi VOC di Jakarta
pada tahun 1628 dan 1629.

Dalam serangan pertama yang dimulai sejak Agustus 1628, pasukan Mataram banyak kehilangan prajurit
dan hampir saja berhasil merebut benteng VOC. Segerasetelah Sultan Agung menarik pasukannya pada
bulan Desember 1628, VOC menemukan 744 mayat pasukan Mataram di luar benteng mereka.
Pasukan Mataram juga gagal mengambil alih benteng VOC di Batavia dalam serangan yang kedua, namun
Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen meninggal di dalam benteng pada bulan September 1629 pada
saat markas VOC sedang dikepung oleh tentara Mataram.

Setelah itu terjadi beberapa pertempuran kecil antara Mataram dan VOC, sampai tahun 1636. Mataram
kemudian memutuskan untuk berhenti menghadang kapal-kapal VOC setelah menyadari bahwa Portugis
tidak mampu membantu mereka melawan VOC.

Pada abad yang sama perlawanan terhadap Belanda juga terjadi di Sulawesi dan Banten. Selain
mengandung unsur persaingan ekonomi dan politik seperti yang terjadi dengan Mataram, perlawanan di
Sulawesi pada tahap awal ini juga melibatkan konflik antara dua kerajaan lokal yaitu Makasar beserta
sekutunya melawan Bugis serta sekutunya.

Perlawanan pada periode ini melibatkan Sultan Hasanudin dan Aru Palaka. Penandatanganan Perjanjian
Bunganya pada tahun 1667 tidak menghentikan perlawanan kerajaan atau penguasa lokal di Sulawesi
Selatan terhadap Belanda, karena perlawanan terus dilakukan sampai abad-abad berikutnya.

Keadaan itu memaksa Belanda melakukan beberapa kali ekspedisi militer ke Suppa dan Tanette pada
tahun 1824. Di Banten perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1656 dan 1680 merupakan
kelanjutan dari perlawanan yang telah dilakukan penguasa Banten sebelumnya pada tahun 1619 dan
1633-1639.

Pada perlawanan antara tahun 1680 sampai 1683 hampir bersamaan dengan perlawanan Trunajaya di
Mataram, perang antara Sultan Ageng melawan VOC berkaitan juga dengan konflik internal di Kesultanan
Banten yang melibatkan Abdul Kahar atau kemudian menjadi Sultan Haji. Pasukan Sultan Ageng yang
sempat menduduki Cirebon dan dataran tinggi Periangan.

Mereka didukung oleh tentara dari Makasar yang dipimpin oleh Shaikh Yusuf Makasar, seorang ulama
yang telah tinggal di Banten sejak tahun 1672. Shaikh Yusuf ditangkap pada tahun 1683 dan dibuang ke
Afrika Selatan, tempat ia meninggal enam belas tahun kemudian.

Perlawanan yang dilakukan oleh orang Cina terhadap Belanda selama kurang lebih 17 tahun sejak 1741,
beberapa dengan perlawanan-perlawanan yang telah disebutkan sebelumnya. Perlawanan orang Cina itu
berkaitan dengan pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh orang Barat bersama budaknya
dengan dukungan tentara VOC di Batavia sejak 9 Desember 1740.

Dalam peristiwa itu tidak kurang dari 10.000 orang Cina dibunuh dan hampir seluruh perkampungan
orang Cina di Batavia dihancurkan atau dibakar. Orang Cina yang berhasil meloloskan diri mulai
mengadakan perlawanan dengan menyerang dimulai dari pos VOC di Juwana pada bulan Mei 1741.

Dalam serangan terhadap Semarang pada bulan November 1741, sekitar 3000 orang Cina yang
bersenjatakan 30 pucuk meriam didukung tidak kurang dari 20.000 orang Jawa. Serangan terhadap pos-
pos kedudukan Belanda terus dilakukan dan orang Cina bahkan terlibat dalam konflik internal di kerajaan
Mataram untuk menggulingkan Pakubuwono II, yang berpihak kepada Belanda.

Bersama-sama orang Jawa yang memusuhi Belanda dan Pakubuwono II, orang Cina menyerang ibu kota
Mataram di Kartasura dan berhasil menduduki keraton pada akhir bulan Juni 1742. Sementara itu pada
abad yang sama, Raja Ali Fisabililah dari kerajaan Riau-Johor berkali-kali melakukan serangan terhadap
posisi Belanda di sekitar selat Melaka, seperti serangan terhadap Melaka pada tahun 1784.

Disamping itu masih terdapat perlawanan-perlawanan lainnya di berbagai tempat di Kepulauan


Indonesia sampai VOC dibubarkan pada abad ke-18. Di antara beberapa perlawanan terhadap Hindia
Belanda yang terjadi pada abad ke-19, perlawanan Saparua, Paderi, Diponegoro, Banjar dan Aceh dapat
dikatagorikan sebagai perlawanan besar.

Di samping itu terjadi pula perlawanan bersenjata dalam skala yang sama atau lebih kecil hampir di
seluruh Indonesia, baik yang dilakukan kerajaan, elite lokal maupun rakyat yang berhadapan dengan
kebijakan politik pemerintah kolonial tentang keamanan dan keteraturan.

Beberapa perlawanan itu antara lain, perlawanan kesultanan Palembang dipimpin Sultan Mahmud
Badaruddin II pada tahun 1811, perlawanan kerajaan-kerajaan di Bali pada pertengahan abad ke-19,
perlawanan rakyat Pasemah tahun 1860-an, perlawanan rakyat Sunggal tahun 1872, perlawanan rakyat
Batak yang dipimpin oleh Si Singa Mangaraja selama 29 tahun sejak 1878, perlawanan yang dilakukan di
kerajaan Melayu Riau-Lingga, perlawanan rakyat di Nusantara Tenggara pada bulan Mei 1890 yang
dikenal sebagai ''skandal Flores'' dan banyak lagi perlawanan lainnya.
Tekanan ekonomi yang semakin berat yang ditandai oleh kerja wajib mengumpulkan kayu, penyerahan
wajib atap, ikan asin, dendeng dan kopi, penanaman wajib pala ditambah desas desus tentang kewajiban
bagi penduduk untuk menjadi serdadu Belanda mengakibatkan timbulnya perlawanan rakyat Saparua
pada tahun 1817.

Disamping enam pemimpin setempat yang lain, perlawanan ini dipimpin oleh Thomas Matulessy atau
Pattimura, seorang yang pernah berdinas sebagai tentara pada masa Inggris. Thomas Matulessy
ditangkap pada bulan November 1817, dan ia harus menjalani hukuman gantung hanya sembilan hari
sebelum perayaan Natal pada tahun 1817.

Berbeda dengan perlawanan yang terjadi di Saparua, perlawanan yang dilakukan oleh kaum Paderi di
Sumatera Barat sejak tahun 1821 sampai tahun 1837diawali oleh pertentangan antara kelompok yang
berbeda di dalam masyarakat Minangkabau seiring dengan pembaharuan yang dilakukan oleh tiga orang
ulama terkemuka sejak tahun 1803.

Bonjol yang menjadi salah satu pusat kegiatan perlawanan merupakan sebuah kota yang secara
ekonomis sedang berkembang. Penanaman kopi dan padi memacu pertumbuhan ekonomi dan
meningkatkan aktivitas perdagangan di wilayah ini.

Konflik internal itu digunakan oleh Belanda menutupi ambisi politik dan ekonomi untuk menguasai
Sumatera Barat. Ekspedisi militer Belanda melawan kaum Paderi sempat dihentikan karena kebutuhan
militer dan keuangan yang besar dialihkan untuk menghadapi perang di Jawa yang dipimpin oleh
Diponegoro.

Perlawanan yang dilakukan Pangeran Diponegoro dari Yogyakarta sejak tahun 1825 sampai tahun 1830
merupakan titik balik terpenting pada abad ke-19 yang menentukan kejayaan pemerintah kolonial dan
kemunduran penguasa lokal dalam sejarah politik Jawa dan bahkan sejarah Jawa secara keseluruhan.

Terdapat beberapa faktor saling berhubungan yang melatarbelakangi perlawanan Diponegoro. Pertama,
konflik internal yang melibatkan raja, bangsawan dan aristokrat. Kedua, Sultan Hamengkubuwono IV
tidak dianggap sebagai raja Jawa yang ideal. Ketiga, campur tangan Belanda yang semakin besar dalam
persoalan internal keraton. Keempat, persoalan pribadi antara Diponegoro dengan Sultan. Kelima,
kebijakan Belanda yang merugikan Diponegoro secara politik, sosial dan ekonomi. Keenam, sifat
Diponegoro yang kharismatik. Ketujuh, adanya dukungan sebagian elite dan rakyat yang besar terhadap
perjuangan Diponegoro baik di wilayah Surakarta maupun Yogyakarta.

Persoalan interen di antara bangsawan dan aristokrat Banjar yang mengundang campur tangan Belanda
juga merupakan salah satu faktor yang melatarbelakangi perang Banjar, perlawanan elite dan rakyat di
Kalimantan Selatan yang berlangsung hampir 50 tahun.

Melalui berbagai perjanjian panjang lange verklaring maupun perjanjian pendek korte verklaring,
Belanda tidak hanya mendapat kesempatan melakukan perdagangan melainkan juga menguasai wilayah
kekuasaan kerajaan Banjar.

Dibawah pimpinan Pangeran Antasari, perlawanan terhadap Belanda dilakukan sejak 28 April 1859.
Seperti nasib hampir seluruh kerajaan di luar Jawa dan Bali, perlawanan terhadap Belanda berakibat
terhadap penghapusan kerajaan Banjar pada tahun 1860.

Penangkapan terhadap Pangeran Hidayat dan kematian Pangeran Antasari tidak menghentikan
perlawanan elite lokal dan rakyat terhadap Belanda sampai perang berakhir pada tahun 1905.
Perlawanan kerajaan elite dan rakyat Aceh antara tahun 1873 sampai 1912 merupakan salah satu perang
yang melelahkan dan menguras keuangan pemerintah Hindia Belanda.

Penandatanganan Traktat Sumatera antara Inggris dan Belanda pada tahun 1871 membuka kesempatan
kepada Belanda untuk mulai melakukan intervensi langsung ke kerajaan Aceh. Akibatnya, Belanda
menyatakan perang terhadap Aceh pada tanggal 26 Maret 1873 karena kerajaan Aceh menolak
mengakui kedaulatan Belanda.

Perlawanan terhadap Belanda di Aceh menurut T. Ibrahim Alfian dapat dibagi dalam empat periode.
Pertama, periode masa Sultan Mahmudsyah, 1873-1874. Kedua, periode Mangkubumi yang berlangsung
kurang lebih 10 tahun. Ketiga, masa Sultan Muhammad Daudsyah sebagai sultan yang terakhir antara
tahun 1884 sampai dengan 1903. Terakhir, masa kericuhan sosial yang terjadi selama kurang lebih
sembilan tahun.

Biarpun secara resmi pemerintah Hindia Belanda menyatakan perang Aceh berakhir pada tahun 1912,
dalam kenyataan perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda terus berlangsung sampai Perang Dunia II.
Disamping perang yang telah diuraikan di atas, perlawanan rakyat terhadap Belanda juga dilakukan
dalam bentuk gerakan sosial pada abad ke-19 sampai awal pertengahan abad ke-20, baik yang
melibatkan gerakan bersenjata maupun hanya sekedar pembangkangan sosial.

Gerakan sosial biasanya bersifat informal dan tidak mengasosiasikan dirinya dengan negara. Sartono
Kartodirjo membagi gerakan sosial ini dalam tiga bentuk. Pertama, gerakan melawan pemerasan seperti
gerakan petani di tanah partikelir Ciomas tahun 1886, Ciampea tahun 1912, Slipi tahun 1913 dan
Surabaya tahun 1916.

Kedua, gerakan ratu adil yang bersifat mesianistis dan nativistis. Sepanjang abad 19 dan awal abad ke-
120 terdapat banyak gerakan ratu adil, seperti perlawanan Ahmad Ngisa di Banyumas tahun 1871, Kasan
Mukmin dari Gedangan tahun 1903, Dermojoyo dari Kediri tahun 1907 dan Mayor Diets dari Bergas Kidul
dekat Semarang tahun 1918.

Ketiga, gerakan sekte keagamaan. Beberapa gerakan dalam katagori terakhir ini adalah gerakan Ahmad
Rifangi dari Kalisalak dekat Pekalongan tahun 1850-an dan gerakan Madrais di Pariangan. Disamping itu
terdapat gerakan sosial serupa di Kalimantan dan Papua, seperti gerakan Muning di Kalimantan dan
gerakan Koreri di Biak antara tahun 1938 sampai dengan 1943.

Anda mungkin juga menyukai