Anda di halaman 1dari 2

Jejak

Teori biologi menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari sebuah ovum dan sperma yang bertemu,
melebur, dan tumbuh; dari gumpalan sel menjadi seutuhnya tubuh. Dengan mata, mulut, hidung, kaki,
tangan, dan jantung yang berdetak, berdegup memompa darah ke otak yang tumbuh dengan pesat.
Kalau terserah aku, aku akan memasukkan manusia sebagai salah satu keajaiban dunia, karena
canggihnya proses pembuatan semua itu dengan hanya bermodalkan 46 rantai protein. Hebat
bukan? Kunci dari seluruh peradaban kita, tersegel dalam 46 rantai kecil yang apabila rusak sedikit
saja, bisa berubah seluruh bentuk, seluruh fungsi, dan kehidupan.

Menakjubkan.

Tapi yang membuatku terpukau bukanlah keajaiban alam itu. Bukanlah proses ilahi yang sampai
sekarang masih diteliti oleh beribu manusia pintar dengan jas putih dan spektrofotometri mereka; tapi
seorang manusia, yang aku yakini tidak terlahir dengan cara yang sama.

Pernahkah kau mendengar tawa anak kecil yang masih berumur 3 tahun? Saat mereka belum
mengerti benar tentang dunia dan mata mereka masih jernih; simbol kemurnian yang belum dirusak
oleh penduduk bumi. Tawa kecil yang berdenting membawa hangat itu, pastilah merupakan asalmu.
Terlahir dari kebahagiaan murni dan membawa kebahagiaan pula bersamamu. Pasti.
Karena hadirmu yang menggembirakan tidak hanya aku tapi juga semua yang mendengarmu,
melihatmu tingkahmu. Kalaupun tidak riang pasti setidaknya tersenyum simpul. Naifmu masih
diterjemahkan sebagai polos.

Dan pernahkah kau melihat seorang anak berusia 6 tahun, yang duduk meraung menangis
memanggil ibunya yang tak terlihat lagi di sebuah lorong supermarket besar? Saat panik menutupi
sedikit pikiran rasional yang anak kecil miliki, karena tidak tahunya ia saat satu-satunya kepastian
konstan pada hidupnya tercabut begitu saja tanpa persetujuannya, tanpa sepengetahuannya. Bisa
kau bayangkan kalutnya?

Itulah aku, saat melihatmu dipukul kepalanya dari belakang. Setelah kau menawarkan
menyebrangkan seorang bapak tua yang kesulitan membawa kardus yang terlihat berat.
Tidak! Mulut bisuku hanya bisa berteriak dalam heningnya malam, mataku yang tertutup koran bekas
hari ini hanya bisa membelalak dalam diam. Tubuh dekilku yang sering kau usap dan kau beri makan
tidak berani beranjak, seakan memelan waktu dunia saat aku melihat jelas dalam keremangan lampu
etalase; mentariku tumbang dalam kegelapan. Jalanan liar malam ini berubah menjadi keji.
Bagaimana bisa. Bagaimana bisa kau menangkap mentari di tengah malam buta?! Apa yang kau
lakukan?! Dasar dungu! Lepaskan ia, atau besok bisa-bisa terjadi kiamat di jalan kumuh ini!
Tapi kalimat itu tidak beranjak lebih dari dahiku sendiri. Saat nyeri di lutut kiriku mengingatkanku akan
bagaimana dulu rasanya memiliki kedua kaki untuk berlari, sebelum itu direnggut oleh orang-orang
yang sekarang sedang mengangkut tubuh lunglaimu dengan kasar ke mobil hitam besar. Kenangan
akan bandelnya aku memenuhi jatah setoran untuk diserahkan pada dewa mereka merubahku dari
seorang papa menjadi sampah masyarakat cacat yang tidak berguna. Hidup dari belas kasihan orang
lain dan kebisuan. Ingatan akan kengerian hilangnya separuh kaki membuatku bungkam dan seperti
tak merajai otakku sendiri lagi.

Tapi..

Tidak bisa aku berdiam diri. Saat matahari diculik dan sepertinya kebebasannya akan dikebiri.
Tangan gemetar mengumpulkan tenaga untuk bangkit, menggenggam kruks yang kau belikan
untukku saat kau tak lagi tega melihatku mengesot di atas aspal panas. Seluruh uluran tanganmu
seakan menghangat dalam pikiran, kemudian melesat membakar dadaku, membuatku berani
mengumpulkan seluruh tenaga dan melentinglah kruks kayu pada salah satu pemegang kakimu.
Tidak. Aku tidak akan rela. Aku tahu ketidakbergunaanku akan jauh lebih baik digunakan untuk
memastikan ketiadaanku lagi di dunia ini, tapi aku juga tidak akan berdiam diri melihat kiamat pada
duniaku sedang berlangsung. Yang mungkin dalam beberapa menit akan terenggut oleh brengsek
seperti mereka.

Persetan.

Teriakanku pasti membangunkan semua gelandang yang juga bermukim secara ilegal di emperan
toko. Atau mungkin mereka memang sudah bangun. Jeritanmu saat kesadaran dicuri darimu
membuat mereka tersentak siaga, mengintip dari balik koran lusuh. Biarlah kalau mereka tidak mau
bergerak, biarlah kalau mereka tidak peduli dengan semua hak mereka yang terampas; suatu hal
yang dibiasakan oleh kejamnya kemiskinan sehingga tak dimanusiakan lagi manusia. Dan mungkin,
yang dirampas dari mereka pun bukan hanya kemanusiaan, jiwa pun ikut dikikis perlahan sehingga
mati rasa mereka melihat aku yang didekati oleh setengah preman yang akan membopongmu masuk
van yang sudah terbuka pintunya.

Senyum mereka simpul, seakan lucu sekali melihat seorang buntung berkaki satu, gemetar dengan
mata melotot dan bibir bergetar ketakutan, mengacungkan tongkat kayu kearah mereka. Jentikkan
tangan yang menebarkan percik api dari rokok menegaskan bahwa mereka sedang senang,
mendapat mainan baru untuk dijadikan samsak hidup yang mungkin akan segera menjadi badan
tanpa ruh pasti sangat lucu.

Dan betul saja, samsak hidup ini bahkan keok pada hantaman pertama yang membuat rusukku
berderak, batuk darah tak terelakkan. Terjengkang aku pada aspal keropos yang dipenuhi dengan air
hujan yang menggenang. Tarikan dan hela nafas berubah menyakitkan. Seakan lebih baik bisa
kudiamkan dada ini. Tapi tak bisa, karena dentuman jantung yang menggila saat kaki mereka mulai
mendarat pada apa saja tubuhku. Kaki, perut, tangan, wajah. Bagian yang dulu dibentuk dari
keajaiban dunia, sekarang hanya menjadi onggokan daging nestapa yang tak patut ditengok. Jijik
mungkin melihat lumuran darah yang mengalir tanpa kran untuk menghentikannya. Pada jalanan
dekat got berbau bacin, nafasku tersengal; menghirup bau tai tikus dan semua kebusukan manusia
yang penglihatannya sudah tertutup lembar merah muda dan biru. Saat dua huruf didepan nominal
besar sudah menggantikan otak dan akal.

Tawa mereka bahkan tidak terasa mengejek lagi, saat denging pada kupingku terdengar makin
kencang dan kencang hingga rasanya memekakkan. Aku merasakan wajahku sembab, mataku
berdenyut bengkak dan sepertinya ada luka menganga bekas terhantam trotoar pada belakang
kepalaku. Dan disitu aku tergolek, tak berdaya melawan dunia rakus. Dan kau, tawa yang
melahirkanmu berubah pilu. Saat naifmu tak lagi tereja polos. Dan kita hanya berubah menjadi angka
di koran yang menyajikan bukti kejamnya manusia pada mata yang pasif yang juga tidak ingin
kehilangan kenyamanannya.

Anda mungkin juga menyukai